66
BAB I LAPORAN KASUS I.1 Identitas Nama : An. M. Munawir Umur : 15 tahun Agama : Islam Suku bangsa : Jawa Pekerjaan : Pelajar Alamat : Wates Tanggal MRS : 25 Juli 2015 Nomor RM : 271825 I.2 Anamnesa : Keluhan utama : Dada dan perut melepuh dan nyeri RPS : Tiga jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai motor sambil memeluk botol bensin. Motor pasien jatuh sehingga dada, perut, paha dan telapak tangan kanan pasien terkena tumpahan bensin yang kemudian tersulut api dari gesekan motor dengan aspal. Pasien mengeluhkan adanya lepuh dan terasa nyeri pada bagian yang terbakar. RPD: Alergi obat (-) Asma (-) 1

isi-3 fix.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: isi-3 fix.doc

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas

Nama : An. M. Munawir

Umur : 15 tahun

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Wates

Tanggal MRS : 25 Juli 2015

Nomor RM : 271825

I.2 Anamnesa :

Keluhan utama : Dada dan perut melepuh dan nyeri

RPS :

Tiga jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai motor sambil memeluk

botol bensin. Motor pasien jatuh sehingga dada, perut, paha dan telapak tangan kanan

pasien terkena tumpahan bensin yang kemudian tersulut api dari gesekan motor

dengan aspal. Pasien mengeluhkan adanya lepuh dan terasa nyeri pada bagian yang

terbakar.

RPD:

Alergi obat (-)

Asma (-)

Keluhan yang sama (-)

I.3 Pemeriksaan fisik

Kesadaran umum : compos mentis

GCS : 15 (E4 M6 V5)

Airway : tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas. Sesak (-)

1

Page 2: isi-3 fix.doc

Breathing : RR 22 x/menit, wheezing (-), ronki (-)

Circulation : Tensi : 100/60 mmHg, Nadi : 112 x/menit,

perfusi baik (tangan hangat, merah, kering)

Suhu : 36,0 °C

Makan / minum (+)

Mual / muntah (-)

Berat Badan : 35 kg

Status Lokalis

Inspeksi : Terdapat luka bakar pada regio toraks anterior, abdomen, femoris anterior

dextra et sinistra, palmar dextra.

Kepala dan leher : 0 %

Trunkus anterior : 13 %

Trunkus posterior : 0 %

Ekstremitas superior dextra : 1 % (palmaris dextra)

Ekstremitas superior sinistra : 0 %

Ekstremitas inferior dextra : 9 % (femoris anterior)

Ekstremitas inferior sinistra : 9 % (femoris anterior)

Genitalia : 1 % +

Total : 33 %

I.4 Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium:

Hemoglobin 13,7 mg/dl N: 10-15 g/dl

Hematokrit 42,8 % N: 30-48%

Leukosit 2.390/μl N: 4.000-10.000/μl

Trombosit 299.000/ μl N: 150.000-400.000/ μl

Creatinine 1,5 mg/dl N: 0,9-1,3 mg/dl

Ureum 61 mg/dl N: 19- 44 mg/dl

Albumin 2,86 mg dl N : 3,5 – 6,2 g/dl

Clothing Time 13’ N: 9’-15’

Bleeding Time 2’ N: 1’-3’

2

Page 3: isi-3 fix.doc

I.5 Assesment

Combustio Grade II 33%

F. Planning

Inf. RL 80 tpm

Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr

Inj. Ranitidine 2 x 50 mg

Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip

Rawat luka dengan silver sulfadiazine krim

Pro debridement di ruang operasi

G. Status Operasi

ASA II

H. Laporan Anestesi Pasien

a. Diagnosa pra bedah : Combustio Grade II 33%

b. Diagnosa pasca bedah : Combustio Grade II 33%

c. Jenis pembedahan : Debridement

d. Jenis anestesi : Anestesi umum (general anesthesia)

Premedikasi anestesi

- Atropin sulfat 0,25 mg

- Midazolam 2,5 mg

- Fentanil 35 µg

- Atrakurium 20 mg

Induksi dan durante operasi

Induksi dengan menggunakan propofol IV kemudian pemeliharaan

anestesi dengan menggunakan kombinasi inhalasi sevoflurane, N2O dan

oksigen. Durante operasi selama 1 jam dan diberikan cairan Ringer Laktat

sebanyak 500 ml. Urin output sebanyak ±50 ml. Pada akhir operasi

diberikan 30 mg ketorolac dalam 500 ml RL.

3

Page 4: isi-3 fix.doc

Post operasi:

Setelah operasi pasien dibawa ke ruang bedah dengan status kesadaran

somnolen.Napas spontan, rhonki (-), wheezing (-). Circulation S1 dan S2

tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).

Follow Up

Tanggal Perjalanan penyakit Pengobatan yang diberikan27.07.201506.00 WIB

S/ Luka tersiram bensin 2 hari yang lalu.

O/TD : 100/70 mmHgRR : 20 x/menitN : 88 x/menitT : 36,6oC

A/ Combustio grade II 33%

IVFD RL 80 gtt/menit Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr Inj. Ranitidine 2 x 50 mg Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip Burnazin cream Rawatluka

28.07.201506.00 WIB

S/ Nyeri pada luka

O/TD : 100/60 mmHgRR : 20 x/menitN : 80 x/menitT : 36,5oC

A/ Combustio grade II 33%

IVFD RL 80 gtt/menit Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr Inj. Ranitidine 2 x 50 mg Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip Burnazin cream Rawatluka Pro debridement

29.07.201506.00 WIB

S/ Nyeri pada luka

O/TD : 100/60 mmHgRR : 21 x/menitN : 84 x/menitT : 36,7oC

A/ Combustio grade II 33%

IVFD RL 80 gtt/menit Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr Inj. Ranitidine 2 x 50 mg Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip Burnazin cream Rawatluka Pro debridement

4

Page 5: isi-3 fix.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka Bakar

A.1 Definisi Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan

kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.

Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi

yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.

Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak

langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah

tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga

dapat menyebabkan luka bakar.

A.2Etiologi

Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:

1. Paparan api

a. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan

menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar

pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki

kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh

atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

b. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.

Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami

kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat

seperti solder besi atau peralatan masak.

2. Scalds (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama

waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang

disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.

Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu

5

Page 6: isi-3 fix.doc

sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka

umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan

garis yang menandai permukaan cairan.

3. Uap panas

Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap

panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta

dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat

menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.

4. Gas panas

Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi

jalan nafas akibat edema.

5. Aliran listrik

Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.

Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan

percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.

6. Zat kimia (asam atau basa)

7. Radiasi

8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

A.3Epidemiologi

Dari laporan American Burn Association 2012 dikatakan bahwa angka morbiditas

96,1% lebih banyak terjadi pada wanita (69%). Berdasarkan tempat kejadian, 69 % di

rumah tangga dan 9% di tempat kerja, 7% di jalan raya, 5% di rekreasi atau olahraga

10% dan lain-lain.

A.4Klasifikasi Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,

adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat

tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang

paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon

dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi

lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar. Kedalaman luka bakar

dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:

6

Page 7: isi-3 fix.doc

Derajat I

Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan

untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam

5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai

eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh

luka bakar derajat I adalah sunburn.

Gambar 1. Luka Bakar Grade 1

Derajat II

Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat

epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut

misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.

Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-

3 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan

eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai

rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,

dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera

berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

7

Page 8: isi-3 fix.doc

Gambar 2. Luka Bakar Grade 2

Derajat III

Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan

yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat

menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali

jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa

nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki

persarafan sudah tidak intak.

Gambar 3. Luka Bakar Grade 3

8

Page 9: isi-3 fix.doc

Gambar 4. Derajat Luka Bakar Berdasarkan Kedalaman

Tabel 1. Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Kedalamannya

A.5 Patofisiologi

Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik. Pembuluh

kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang

ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya

permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak

elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler.

Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan

9

Page 10: isi-3 fix.doc

yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II,

dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.

Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:

1. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah potensial sel

membran istirahat, dan tetany memunculkan otot. 

2. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan jaringan

besar dan nekrosis coagulative.

3. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi otot

kekerasan.

Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya energi yang

disampaikan, resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus listrik, jenis arus, jalur

arus, dan lamanya kontak. Efek sistemik dan kerusakan jaringan secara langsung

proporsional dengan besarnya arus yang. Jumlah arus (ampere) secara langsung

berhubungan dengan tegangan dan berbanding terbalik dengan perlawanan,

sebagaimana ditentukan oleh hukum Ohm (I = V / R, dimana I = arus, V = tegangan,

R = resistansi). Dari parameter yang dijelaskan oleh hukum Ohm, tegangan biasanya

dapat ditentukan dan digunakan untuk mengukur besarnya potensi pemaparan saat ini

dan besarnya cedera yang disebabkan.

Sengatan listrik diklasifikasikan sebagai tegangan tinggi (> 1000 volt) atau tegangan

rendah (<1000 volt). Sebagai aturan umum, tegangan tinggi dikaitkan dengan

morbiditas dan kematian yang lebih besar, meskipun cedera fatal dapat terjadi pada

tegangan rendah. Tubuh memiliki tahanan yang berbeda-beda. Secara umum,

jaringan dengan cairan yang tinggi dan mengandung banyak elektrolit mampu

mengkonduksi listrik lebih baik. Tulang memiliki tahanan paling tinggi. Sedangkan

jaringan saraf memiliki tahanan paling rendah, dan bersama-sama dengan pembuluh

darah, otot, dan selaput lender juga memiliki tahanan yang rendah terhadap listrik.

Kulit memberikan tahanan “intermediate” dan merupakan faktor yang paling penting

menghambat aliran arus. Kulit adalah resistor utama terhadap arus listrik, dan derajat

resistensi ditentukan oleh ketebalan dan kelembaban. Ini bervariasi dari 1000 ohm

untuk kulit tipis lembab untuk beberapa ribu ohm untuk kulit kapalan kering.

10

Page 11: isi-3 fix.doc

Jalur arus menentukan jaringan yang berisiko dan apa jenis cedera yang dihasilkan.

Arus listrik yang melewati kepala atau dada lebih mungkin menghasilkan luka fatal.

Arus transthoracic dapat menyebabkan aritmia fatal, kerusakan jantung langsung,

atau pernapasan. Transcranial arus dapat menyebabkan cedera otak langsung, kejang,

pernapasan, dan kelumpuhan.

Cedera electrothermal mengakibatkan edema jaringan. Meningkatnya permeabilitas

kapiler akibat terpajan suhu tinggi menyebabkan terjadinya perpindahan cairan yang

berasal dari jaringan interstisial yang mengawali terjadinya edema yang akan

menghasilkan sindrom kompartemen. Ekstremitas adalah struktur yang paling sering

terlibat untuk pengembangan sindrom kompartemen.Sindrom kompartemen

merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial pada

kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya

perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih

bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan

gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat,

tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi

pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup

atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena

gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat

menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor,

suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta

penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan

meningkatnya diuresis.Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati,

yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah

infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler

yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan

tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari

dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan

kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya

11

Page 12: isi-3 fix.doc

sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai

antibiotik.

Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan

terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut

luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau

basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia)

yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat

terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan

meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel

yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau

sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut

hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III

yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di

persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.

Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus

menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat

menurun karena kekurangan ion kalium.Stres atau badan faali yang terjadi pada

penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung

atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini

dikenal sebagai tukak Curling.

Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat dan

cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang

menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir

selalu berlanjut dengan Mutli-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS

terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan

sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan perfusi (sirkulasi

mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.

12

Page 13: isi-3 fix.doc

Gambar 5. Perubahan Sistemik Akibat Luka Bakar

A.6 Fase Luka Bakar

Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan penyakitnya

dibedakan dalam 3 fase :

1. Fase akut / fase syok / fase awal

Fase ini mulai dari saat kejadian sampai penderita mendapat perawatan di

IRD /Unit luka bakar.

Pada fase ini penderita luka bakar, seperti penderita trauma lainnya, akan

mengalami ancaman dan gangguan airway (jalan napas), breathing (mekanisme

bernafas) dan gangguan circulation(sirkulasi).

Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan

elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Adanya syok

yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang

masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi.

2. Fase Subakut

Fase ini berlangsung setelah fase syok berakhir atau dapat teratasi. Luka

yangterjadi dapat menyebabkan beberapa masalah yaitu :

a. Proses inflamasi atau infeksi.

b. Problem penutupan luka

c. Keadaan hipermetabolisme.

13

Page 14: isi-3 fix.doc

3. Fase Lanjut

Fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat

jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang

hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.

A.7 Luas Luka Bakar

Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa

metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:

Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas

telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar

hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.

Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’,

yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas

atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan,

serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah

genitalia.

Gambar 6. Perhitungan Luka Bakar Berdasarkan Rule of Nine

14

Page 15: isi-3 fix.doc

Metode Lund dan Browder

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di

kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan

pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh

pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:

o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso

dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.

o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai

dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Tabel 1. Skor Lund dan Browder

15

Page 16: isi-3 fix.doc

A.8 Kriteria Berat Ringannya

1. Luka bakar berat (major burn)

a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia

50 tahun

b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama

c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum

d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas

luka bakar

e. Luka bakar listrik tegangan tinggi

f. Disertai trauma lainnya

g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi

2. Luka bakar sedang (moderate burn)

a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III

kurang dari 10 %

b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa >

40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak

mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum

3. Luka bakar ringan

a. Luka bakar dengan luas < 10 % pada dewasa

b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut

c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan,

kaki, dan perineum

Tabel 2. American Burn Association Burn Injury Severity Grading System

16

Page 17: isi-3 fix.doc

A.9. Penatalaksanaan

Primary Survey

Airway, yakni membebaskan jalan nafas agar pasien dapat tetap bernafas secara

normal

Breathing, mengecek kecepatan pernafasan yakni sekitar 20x/ menit

Circulation, melakukan palpasi pada nadi untuk mengecek pulsasi yang pada

orang normal berkisar antar 60 – 100x/ menit

Disability

o Periksa kesadaran.

o Periksa ukuran pupil.

Environment

o Jaga pasien dalam keadaan hangat.

Secara sistematik dapat dilakukan 6c : clothing, cooling, cleaning,

chemoprophylaxis, covering and comforting. Untuk pertolongan pertama dapat

dilakukan langkah clothing dan cooling, baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas

kesehatan

Clothing : singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian

yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada

fase cleaning.

Cooling : Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air

mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah

normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3

jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air sering

diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia

(penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es

karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga

justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar

karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir

yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa

bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang

mengalir.

17

Page 18: isi-3 fix.doc

Cleaning : pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa

sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan

lebih cepat dan risiko infeksi berkurang.

Chemoprophylaxis : Pemberian krim silver sulvadiazin untuk penanganan

infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak boleh

diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir,

ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2 bulan

Covering : penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan

derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau

bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan)

bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya

lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau

larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.

Comforting : dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri.

Tentukan luas luka bakar

Telah dibahas sebelumnya.

Resusitasi cairan

Resusitasi cairan diindikasikan bila luas luka bakar > 10% pada anak-anak atau >

15% pada dewasa. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:

Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh

vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan

Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.

Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin

survival seluruh sel

Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan

stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.

Formula yang sering digunakan untuk manajemen cairan pada luka bakar mayor

yaitu Parkland, modified Parkland, Brooke, modified Brooke, Evans dan Monafo’s

formula.

18

Page 19: isi-3 fix.doc

Parkland formula

1. 24 jam pertama: cairan Ringer Laktat (RL) 4 mL/kgBB untuk setiap 1%

permukaan tubuh yang terbakar pada dewasa dan 3 mL/kgBB untuk setiap 1%

permukaan tubuh yang terbakar pada anak. Cairan RL ditambahkan untuk

maintenance pada anak:

- 4 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 0-10 kg

- 40 mL/jam + 2 mL/jam untuk anak dengan berat 10-20 kg

- 60 mL/jam + 1 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 20 kg atau lebih.

Formula ini direkomendasikan tanpa koloid di 24 jam pertama.

2. 24 jam selanjutnya: koloid diberikan sebesar 20-60% dari kalkulasi volume

plasma. Tanpa kristaloid. Glukosa pada air ditambahkan untuk mempertahankan

output urin 0,5 – 1 mL/jam pada dewasa dan 1 mL/jam pada anak.

Tekanan darah kadang sulit diukur dan hasilnya kurang dapat dipercaya.

Pengukuran produksi urin tiap jam merupakan alat monitor yang baik untuk

menilai volume sirkulasi darah. Pemberian cairan cukup untuk dapat

mempertahankan produksi urin 1,0 mL/kgBB/jam pada anak-anak dengan berat

badan 30 kg atau kurang, dan 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang dewasa.

Resusitasi luka bakar yang ideal adalah mengembalikan volume plasma dengan

efektif tanpa efek samping. Kristaloid isotonic, cairan hipertonik, dan koloid

telah digunakan untuk tujuan ini, namun setiap cairan memiliki kelebihan dan

kekurangan. Tak satupun dari mereka ideal, dan tak ada yang lebih superior

dibanding yang lain.

1. Kristaloid isotonik

Kristaloid tersedia dan lebih murah dibanding alternative lain. Cairan RL,

cairan Hartmann (sebuah cairan yang mirip dengan RL) dan NaCl 0,9%

adalah cairan yang sering digunakan. Ada beberapa efek samping dari

kristaloid: pemberian volume NaCl 0,9% yang besar memproduksi

hyperchloremic acidosis, RL meningkatkan aktivasi neutrofil setelah

resusitasi untuk hemoragik atau setelah infus tanpa hemoragik. RL

digunakan oleh sebagian besar rumah sakit mengandung campuran ini. Efek

19

Page 20: isi-3 fix.doc

samping lain yang telah didemonstrasikan yaitu kristaloid memiliki

pengaruh yang besar pada koagulasi.

2. Cairan hipertonik

Pentingnya ion Na di patofisiologi syok luka bakar telah ditekankan oleh

beberapa studi sebelumnya. Na masuk ke dalam sel shingga terjadi edema

sel dan hipo-osmolar intravascular volume cairan. Pemasangan infus cairan

hipertonik yang segera telah dibuktikan meningkatkan osmolaritas plasma

dan membatasi edema sel. Penggunaan cairan dengan konsentrasi 250

mEq/L, Moyer at al. mampu mendapatkan resusitasi fisologis yang efektif

dengan total volume yang rendah dibandingkan cairan isotonic pada 24 jam

pertama. Namun Huang et al. menemukan bahwa setelah 48 jam pasien

yang diterapi dengan cairan hipertonik atau RL memberikan hasil yang

sama. Mereka juga mendemonstrasikan bahwa resusitasi cairan hipertonik

berhubungan dengan peningkatan insidens gagal ginjal dan kematian. Saat

ini, resusitasi dengan cairan hipertonik menjadi pilihan menarik secara

fungsi fisiologis sesuai teorinya, tetapi memerlukan pemantauan ketat dan

resiko hipernatremi dan aggal ginjal menjadi perhatian utama.

3. Koloid

Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar komparemen vaskular

memberikan kontribusi pada pembentukan edema. Kebocoran kapiler bisa

bertahan hingga 24 jam setelah trauma bakar. Peneliti lain menemukan

ekstravasasi ekstravasasi albumin berhenti 8 jam setelah trauma bakar.

Koloid sebagai cairan hiperosmotik, digunakan untuk meningkatkan

osmolalitas intravascular dan menghentikan ekstravasasi kristaloid.

Resusitasi nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak

dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian

nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya

mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian

nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah

terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak

awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

20

Page 21: isi-3 fix.doc

Perawatan luka bakar

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin

dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan

‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2

mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-

10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang

bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri

walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan

benzodiazepine sebagai tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar

1. Eksisi dini

Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris

(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari

ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:

a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan

dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan

berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada

daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan

menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya

iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan

dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin

lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.

b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi

– komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan

nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang

menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.

c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses

angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini

mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.

Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro –

21

Page 22: isi-3 fix.doc

organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar

yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.

Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian

cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar

derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan

juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini

juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Eksisi

dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.

Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.

2. Skin grafting

Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini

adalah:

a. Menghentikan evaporate heat loss

b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu

c. Melindungi jaringan yang terbuka

A.10.Prognosis

Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya

permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu

faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut

menentukan kecepatan penyembuhan.

Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar

antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut

hipertrofik dan kontraktur.

A.11.Komplikasi

Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ

Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis. SIRS adalah suatu bentuk respon

klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi

ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,

pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator

inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses

22

Page 23: isi-3 fix.doc

penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan

faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan

menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan

berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-

system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ

(Multi-system Organ Failure/MOF).

Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,

inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria

klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest

phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila

dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:

- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)

- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah

(PaCO2< 32 mmHg)

- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000

sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).

Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur

darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan

dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS

adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut

sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.

Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan

sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan

merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.

MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar

dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang

menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi

secara simultan.

23

Page 24: isi-3 fix.doc

Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan

penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu

menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi

mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya

translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal

usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat

perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa

jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya

imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang

berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien

dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi

mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.

Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu

SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan

sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati).

Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus

berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal

(Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-

otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric

Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke

kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena

penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.

Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang

sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.

LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang

pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada

hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas

pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.

Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase

akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh

24

Page 25: isi-3 fix.doc

modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi

yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya

menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan

pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar

merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi

pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan

pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis,

anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan

Disseminated intravascular coagulation (DIC). Penatalaksanaan luka bakar

bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan

sepsis.

B. Terapi Cairan Perioperatif

B.1. Dasar-Dasar Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam

pemberian cairan perioperatif, yaitu:

1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian

Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari dan

elektrolit utama Na+ =1-2 mmol/kgBB/haridan K+ = 1 mmol/kgBB/hari.

Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat

pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan

pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan

yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak

dibandingkan elektrolit).

2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah

Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita

bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali

menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,

translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya

insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak.

25

Page 26: isi-3 fix.doc

Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum

dilakukan pembedahan.

3. Kehilangan cairan saat pembedahan

a. Perdarahan

Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : botol penampung darah yang

disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump) dengan cara

menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa

yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10 ml darah, sedangkan

tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah ± 100-10 ml.

Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa

ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan

keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan

kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan

kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma

terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan

bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan

banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai

kamar bedah.

b. Kehilangan cairan lainnya

Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih

menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan

translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan

(evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan

yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal

istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat

berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami

trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah

cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau

ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang

ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah

dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional

cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan

fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.

26

Page 27: isi-3 fix.doc

4. Gangguan fungsi ginjal

Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:

- Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.

- Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh

meningkatnya kadar aldosteron.

- Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya

retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules)

meningkat.

- Ginjal tidak mampu mengekskresikan “free water” atau untuk

menghasilkan urin hipotonis.

B.2 Pengganti defisit Pra bedah

1. Kebutuhan cairan normal

Pemenuhan kebutuhan normal cairan adalah untuk

menggantikan cairan yang normalnya keluar melalui ginjal,

saluran cerna, paru-paru dan keringat. Rata – rata

kebutuhan cairan 30 – 40 mL/KgBB/24 jam. Bila pasien

tidak dapat minum, cairan diberikan melalui infus atau pipa

lambung. Pemberian cairan dapat dilakukan dengan

perhitungan 2 ml/kg/jam. Dalam perhitungan pemberian

cairan selain dihitung pemberian cairan, juga dihitung

kebutuhan elektrolit terutama natrium dan kalium.

Kebutuhan natrium harian yaitu 2-4 mEq/ kgBB/ hari

sedangkan kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari. Pada

hari pertama dan kedua pasca bedah tidak diperlukan

pemberian kalium kecuali jika hasil laboratorium

menunjukkan hipokalemia.

2. Pengganti defisit puasa

Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,

lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada

masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada

27

Page 28: isi-3 fix.doc

diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan

pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup

diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan

Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi

yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih

dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami

pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2

ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan

cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit

bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau

rehidrasi sebelum induksi anestesi.

3. Terapi cairan intra operatif

Gangguan cairan pada kasus bedah umumnya menyangkut

kompartemen ekstra sel sehingga jenis cairan yang dipilih

untuk terapi harus merupai komposisi cairan ekstra sel.

Cairan pengganti juga harus disesuaikan dengan komposisi

cairan tubuh yang hilang selama perawatan. Selama

pembedahan, pemberian cairan didasarkan pada (1)

jumlah cairan untuk menggantikan darah yang keluar yaitu

cairan NaCl 0.9% atau ringer laktat sebanyak lebih kurang

3 kali jumlah perdarahan, (2) perkiraan defisit cairan yang

belum sepenuhnya terkoreksi misalnya (misalnya defisit

cairan 5 liter, diberikan resusitasi cairan awal 3 liter dan

kekurangan 2 liter dibagi menjadi: 1 liter diberikan dalam 8

jam sedangkan 1 liter sisanya diberikan dalam 16 jam), (3)

cairan rumatan selama pembedahan bergantung pada

jenis operasinya, berkisar antara 2,5 mL/kg/jam (untuk

operasi pada superfisial) hingga 15 mL/kg/jam (untuk

operasi pembukaan rongga abdomen).

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan

kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan

(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan

28

Page 29: isi-3 fix.doc

yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah

darah yang hilang.

a. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya

bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan

saja selama pembedahan.

b. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat

diberikan cairan sebanyak 2-4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat

trauma pembedahan. Tindakan bedah meliputi appendektomi, repair

tendon dan timpanoplasti.

c. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 4-6

ml/kgBB/jam. Pembedahan sedang merupakan pembedahan dengan

durasi kurang dari 3 jam dan pemberian anestesi dengan pipa

endotrakeal atau total intravena. Tindakan bedah yang termasuk

golongan ini adalah histerektomi dan hernia inguinal.

d. Pembedahan dengan trauma berat diberikan cairan sebanyak 6-8

ml/kgBB/jam. Pembedahan berat merupakan pembedahan dengan

durasi lebih dari 3 jam dengan perdarahan lebih dari 10% estimated

blood volume (EBV). Pembedahan ini meliputi bedah saraf,

laparotomi, bedah thoraks dan kardiovaskuler.

4. Penggantian darah yang hilang

Perdarahan kurang dari 10% EBV (EBV = Estimated Blood Volume =

taksiran volume darah) digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali

lipat dari volume darah yang hilang. Perdarahan lebih dari 10% dapat

digantikan dengan menggunakan cairan koloid. Kehilangan darah sampai

sekitar 20% EBV akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan

penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun

pada seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga

gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi

komponen vasoaktif. Perdarahan lebih dari 20% perlu digantikan dengan

darah.

Tabel 3. Perkiraan volume darah

29

Page 30: isi-3 fix.doc

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan

kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan

pertimbangan berdasarkan:

a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum

pembedahan

b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi

c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.

d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)

e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan

f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit.

g. Usia penderita

Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:

a. 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan

kadar hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

b. Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar

hemoglobin 3gr% Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan

cairan secukupnya sehingga diuresis ± 1 ml/kgBB/jam.

B.3 Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:

30

Page 31: isi-3 fix.doc

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.

Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ±

50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan

pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang

rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,

akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi

air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu

pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma

pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup

memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan

protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%.

Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu

larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat

minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:

a. Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan

1°C suhu tubuh

b. Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.

c. Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan

humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan

yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya

diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan

tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi

tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil,

jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

B.4 Pilihan Jenis Cairan

1. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di

31

Page 32: isi-3 fix.doc

setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan

alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.

Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)

ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit

volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar

20-30 menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah

sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema

perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema

jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian

Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang

dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat

mengakibatkan timbulnya edema paru berat.

Larutan ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan

untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir

menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut

akan mengalami metabolisme dihati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya

yang sering digunakan adalah nacl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat

mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan

menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida karena perbedaan

sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke

ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih

untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Selain itu, pemberian cairan

kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya

tekanan intra cranial.

Tabel 4. Komposisi Cairan Kristaloid

32

Page 33: isi-3 fix.doc

2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma

substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan

yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang

menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)

dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk

resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau

pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak

(misal luka bakar).

Tabel 5. Jenis Cairan Koloid

33

Page 34: isi-3 fix.doc

Tabel 5. Keuntungan dan Kerugian Jenis Cairan

Kristalloid KoloidAdvantages

Inexpensive Promotes urinary flow (intravascular volume) Fluid of choice for initial resuscitation of trauma/hemorrhage. Expands intravascular volume (1/4 volume given retained intravascularly) Restores third space losses

More sustained intravascullar increase (1/3 still intravascullar at 24 hr) Maintain plasma colloid oncotic pressure. Requires smaller volume for equal effect Less peripheral edema (more fluid remains intravascullar) May lower intracranial pressure

Disadvantages Dillutes colloid osmotic pressure Promotes peripheral edema Higher incidence of pulmonary edema Requires large volume Effects are transient

Expensive May produce coagulopathy (dextrans and helastarch) With capilary leak may potentiate fluid loss to the interstitium Impairs subsequent cross matching of bool (dextrans) Dilutes cloting factors and plateletsPlatelets adhesiveness (absorption onto platelet membrane receptor)

34

Page 35: isi-3 fix.doc

Potential blocking of renal tubules and reticuloendhotelial cells in the liver. Possible anaphylactoid reaction with dextrans.

BAB III

ANALISA KASUS

1. Bagaimana terapi cairan perioperatif pada pasien ini?

Pemberian cairan selama operasi disesuaikan dengan kebutuhan cairan pasien

meliputi kebutuhan cairan maintenance, pengganti puasa dan stress operasi.

Perhitungan kebutuhan cairan maintenance adalah:

a. Dewasa

Kebutuhan cairan (ml/jam) = 2 x berat badan (kg)

b. Anak

Kebutuhan cairan (ml/jam) = 4 x BB (untuk 10 kg pertama) + 2 x BB

(untuk 10 kg kedua) + 1 x BB (untuk tiap kg di atas 20 kg)

35

Page 36: isi-3 fix.doc

Perhitungan kebutuhan cairan pengganti puasa adalah jumlah jam puasa x cairan

maintenance. Cairan pengganti puasa akan diberikan dalam tiga jam dengan rincian

50% diberikan pada jam pertama operasi, 25% diberikan pada jam kedua operasi dan

25% diberikan pada jam ketiga operasi.

Perhitungan kebutuhan cairan akibat stress operasi dibagi menjadi tiga berdasarkan

jenis operasi yang dilakukan (operasi kecil, sedang dan besar). Operasi kecil

membutuhkan cairan 2-4 ml/kg/jam, operasi sedang membutuhkan cairan 4-6

ml/kg/jam dan operasi besar membutuhkan cairan 6-8 ml/kg/jam.

Pada prinsipnya kecepatan pemberian cairan selama pembedahan adalah menjamin

tekanan darah stabil tanpa menggunakan obat vasokonstriktor, dengan produksi urin

mencapai 0,5-1 ml/kg/jam. Perdarahan: bila kurang dari 10% dari jumlah darah,

cukup diganti dengan cairan kristaloid, namun bila lebih dari 10% maka

dipertimbangkan untuk diganti dengan cairan koloid, jika lebih dari 20% maka perlu

diganti dengan darah.

Pasien dalam kasus adalah pasien anak usia 15 tahun yang memiliki berat badan 33

kg dengan diagnosa combustion grade II 33%. Pasien berpuasa selama 6 jam sebelum

pembedahan debridement sehingga perhitungan kebutuhan cairan selama

pembedahan adalah sebagai berikut:

Maintenance : (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 15) = 75 ml/jam

Pengganti puasa : 6 x 75 = 450 ml

Stres operasi : 4 x 35 = 140 ml/jam

Kebutuhan cairan jam I adalah

= 50% cairan pengganti puasa + cairan maintenance + cairan stress operasi

= 50% x 450 ml + 75 ml + 140 ml

= 225 ml + 75 ml + 140 ml

= 440 ml

Kebutuhan cairan jam II/III adalah

= 25% cairan pengganti puasa + cairan maintenance + cairan stress operasi

36

Page 37: isi-3 fix.doc

= 25% x 450 ml + 75 ml + 140 ml

= 112 ml + 75 ml + 140 ml

= 327 ml

Pada pasien ini dilakukan operasi selama 1 jam dan diberikan cairan sebanyak 500 ml

sehingga disimpulkan bahwa pemberian cairan pada pasien ini kurang tepat akibat

pemberian cairan yang berlebih. Urin yang dihasilkan pasien selama operasi yaitu

±50 ml. Urin output normal adalah 1 ml/kg/jam.

2. Bagaimana persiapan pra anestesi pada pasien ini?

Anestesi meliputi 5 tahapan yaitu persiapan pra anestesi, premedikasi, induksi

anestesi, monitoring anestesi dan monitoring pasca anestesi. Evaluasi pra anestesi

bertujuan untuk :

Mengetahui status fisik pasien praoperatif

Mengetahui dan menganalisis jenis operasi

Memilih jenis dan teknik anastesi yang sesuai

Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau

pasca bedah

Mempersiapkan obat/alat guna untuk menanggulangi penyulit yang

diramalkan.

Pra anestesi meliputi tindakan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,

penentuan klasifikasi status fisik dan pemilihan tekhnik serta obat anestesi yang

sesuai.

Anamnesis meliputi identitas pasien, riwayat penyakit yang pernah diderita,

riwayat operasi dan tindakan anestesi sebelumnya, riwayat obat-obatan yang

sedang dan telah digunakan, dan kebiasaan buruk (merokok atau alkohol).

Pemeriksaan fisik meliputi penilaian terhadap tinggi badan, berat badan, suhu

badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi, pola

dan frekuensi pernafasan. Pemeriksaan fisik dirangkum dalam pola ABCD, yaitu

Airway, Breathing, Circulation dan Disability.

Pemeriksaan penunjang meliputi darah rutin, urin rutin, kimia darah, dan beberapa

penunjang lain sesuai kebutuhan.

37

Page 38: isi-3 fix.doc

Perencanaan anestesi meliputi memutuskan tekhnik anestesi dan obat yang akan

digunakan. Pemilihan ini disesuaikan pada rencana pembedahan dan keadaan

pasien.

Menentukan prognosis berdasarkan klasifikasi status fisik ASA.

Pada pasien telah dilakukan evaluasi pra anastesi dan didapatkan keluhan lepuh pada

dada, perut dan telapak tangan yang disebabkan oleh luka bakar yang terjadi 3 jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan terasa nyeri pada bagian yang

terbakar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, GCS 15

(E4 M6 V5), Airway tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas. Sesak (-), Breathing

RR 22 x/menit, wheezing (-), ronki (-), Circulation Tensi : 100/60 mmHg, Nadi : 112

x/menit, perfusibaik (tanganhangat, merah, kering). Dari hasil pemeriksaan pada

regio toraks anterior, abdomen, femoris anterior dextra et sinistra, palmar dextra.

Didapatkan luka bakar grade II 33 % (Trunkus anterior 13 %, ekstremitas superior

dextra 1 % (palmaris dextra), ekstremitas inferior dextra 9 %, ekstremitas inferior

sinistra 9 % dan genitalia1 %).

Dari hasil pemerikaan laboratorium didapatkan peningkatan ureum 61 mg/dl,

creatinin 1,5 mg/dl, penurunan albumin 2,86 mg/dl, pemeriksaan clothing dan

bleeding time dalam batas normal. Berdasarkan hasil pemeriksaan disimpulkan pasien

termasuk dalam ASA II (Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik

ringan sam pai sedang). Hal ini didasarkan pada kondisi pasien yang terjadi

hipoalbumin dan peningkatan ureum dan kreatinin.

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar elektrolit serum. Hal ini kurang

tepat karena pada luka bakar terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler yang

menyebabkan elektrolit dan cairan keluar dari intravaskuler sehingga terjadi

ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, kadar elektrolit penting diperiksa untuk

koreksi sebelum operasi dilakukan karena kadar kalium berlebih atau hiperkalemia

dapat menyebabkan kejang, khususnya bila obat muscle relaxant yang digunakan

adalah golongan depolarizing muscle relaxant seperti suksinilkolin yang semakin

meningkatkan kadar kalium ekstraseluler.

38

Page 39: isi-3 fix.doc

Hipoalbumin merupakan keadaan yang terjadi pada pasien luka bakar. Meskipun luas

luka bakar < 10% terjadi perubahan metabolik. Luka bakar akan menyebabkan respon

hipermetabolik dan hiperkatabolik yang berhubungan dengan luas dan dalamnya

kerusakan. Luka bakar >20% akan menyebabkan kehilangan dari cairan ekstraseluler

dan dapat menyebabkan shock karena terjadi peningkatan permeabilitas yang akan

diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke

jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskular dan

edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga

sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan gangguan perfusi sel

atau jaringan atau organ (syok). Hipoalbumin akan menyebabkan komplikasi berupa

edema, gangguan penyembuhan luka dan peningkatan resiko sepsis.

Pada pasien juga terjadi peningkatan ureum dan creatinin yang mengarahkan terdapat

gangguan pada ginjal. Pada luka bakar selain terjadi hipoalbumin dapat juga terjadi

gagal ginjal akut. Proses ini dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu gangguan

filtrasi dan disfungsi tubulus. Gangguan filteasi disebabkan penurunan kardiak output

yang biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan yang akan biasanya terjadi pada

terhambat atau resusitasi cairan yang tidak mencukupi. Kondisi gagal ginjal akut akan

menyebabkan disfungsi organ multipel.

3. Bagaimana pemilihan jenis anestesi pada pasien ini?

Pada pasien sudah tepat dilakukan general anastesi. Hal ini dikarenakan operasi yang

dilakukan memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal. Pada general

anestesi harus dicapai trias anastesi berupa hipnotik, anestesi dan relaksasi. Sebelum

pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu

pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan

induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :

a. Meredakan kecemasan dan ketakutan

b. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

c. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah

d. Mengurangi isi cairan lambung

e. Membuat amnesia

f. Memperlancar induksi anestesi

39

Page 40: isi-3 fix.doc

g. Meminimalkan jumlah obat anestesi

h. Mengurangi reflek yang membahayakan

Premedikasi yang diberikan pada pasien adalah atropin sulfat sebagai antikolinergik

untuk menghindari vagal reflek dan mengurangi sekresi air liur yang berlebihan.

Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan

menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis sulfas atropin adalah 0,005-0,01

mg/kgBB. Sehingga dosis yang dibutuhkan dengan berat badan pasien 35 kg adalah

0,175-0,35 mg. Pada pasien diberikan juga midazolam diberikan sebagai anxiolysis,

sedasi dan amnesia anterograde. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja

cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien

orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan

pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit

setelah penyuntikan. Dosis penggunaan midazolam adalah 0,07-0,10 mg/kgBB.

Sehingga pada pasien dibutuhkan 2,45-3,5 mg. Selain itu pada pasien diberikan

fentanil sebagai analgesik. Dosis fentanil adalah 1-2µg/kgBB sehingga pada pasien

dibutuhkan 35-70 µg. Pasien ini diberikan atrakuirum yang merupakan agen muscle

relaxant non-depolarisasi. Dosis intubasi atrakurium adalah 0,5-0,6 mg/kg dan dosis

rumatan atrakurium adalah 0,1 mg/kg. Durasi kerja atrakurium selama 20-45 menit.

Pada pasien ini diperlukan 17,5 mg.

Salah satu respon obat yang terganggu pada pasien luka bakar adalah respon terhadap

agen penghambat neuromuskuler. Cedera luka bakar menyebabkan proliferasi

reseptor asetilkolin nikotinik extrajunctional sehingga mengakibatkan peningkatan

resistensi terhadap nondepolarizing muscle relaxant dan peningkatan sensitivitas

depolarizing muscle relaxant (seperti suksinilkolin). Pemberian suksinilkolin

sebaiknya dalam 24 jam pertama karena bila diberikan setelah lebih dari 24 jam

setelah cedera luka bakar dapat menyebabkan respon hiperkalemi letal yang akan

bertahan minimal 18 bulan. Resistensi nondepolarizing muscle relaxant terjadi dalam

minggu pertama cedera dan bertahan hingga satu tahun.Pasien luka bakar mungkin

memerlukan dosis 2 hingga 5 kali lebih besar dibandingkan pasien non-luka bakar.

40

Page 41: isi-3 fix.doc

Pada pasien ini dosis pemberian muscle relaxant atrakurium kurang tepat yaitu hanya

20 mg yang berada dalam rentang dosis normal. Seharusnya pada pasien luka bakar

diberikan dosis atrakurium 2-5 kali lebih besar dari dosis normal karena terjadi

peningkatan resistensi respon obat non-depolarizing muscle relaxant.

Pada pasien induksi menggunakan propofolatau di-iso profil fenol yang merupakan

obat anestesi intravenayang memiliki efek hipnotik murni tanpa efek analgesik

maupun relaksasi otot. Dosis sebesar 2-2,5 mg/kgBB, sehingga dosis yang

dibutuhkan adalah 70 - 87,5 mg. Agen induksi yang dapat digunakan adalah

propofol, thiopental, dan ketamin. Propofol dan thiopental harus diberikan secara

hati-hati dengan menggunakan dosis minimal terkait dengan depresi napas dan

jantung. Pilihan utama obat induksi general anesthesia adalah ketamin karena

memiliki banyak keuntungan. Ketamin cocok untuk pasien hipovolemi terkait dengan

efek simpatomimetik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut

jantung. Peningkatan resistensi vaskular bermanfaat selama operasi luka bakar karena

dapat mengurangi kehilangan panas dan darah dari kulit yang terluka. Ketamin juga

memiliki efek anestesi disosiatif dan analgesi yang poten. Namun, ketamin

meningkatkan aliran darah otak dan tekanan darah sistemik sehingga harus dihindari

pada pasien cedera kepala tertutup dan cedera tembus mata.

Pemasangan ETT merupakan standar perawatan untuk dewasa dan juga berguna

untuk bayi dan anak yang menjalani operasi luka bakar. Intubasi berguna pada pasien

anak dengan cedera luka bakar berat yang membutuhkan tekanan ventilasi yang

tinggi terkait dengan penurunan komplians paru akibat cedera inhalasi atau resusitasi

cairan dalam jumlah besar.

Pemberian anestesi maintenance durante operatif berupa campuran gas N2O dan O2

dan sevofluran. Gas N2O atau gas gelak memiliki efek analgesi dan tidak memiliki

efek hipnotik. Efek analgesinya relatif lemah akibat kombinasi dengan oksigen. Gas

N2O memiliki kelarutan 15 kali lebih besar dalam plasma dibandingkan dengan

oksigen dan mampu berdifusi ke dalam semua rongga dalam tubuh sehingga dapat

menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa oksigen sehingga setiap

pemberian N2O harus disertai dengan O2. Kombinasi N2O dengan O2 diberikan

41

Page 42: isi-3 fix.doc

dengan perbandingan adalah 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien

yang memerlukan tunjangan oksigen lebih banyak) atau 50 : 50 (untuk pasien yang

berisiko tinggi).

Sevoflurane merupakan obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan

dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.Rendahnya

kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi

berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah

menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dosis yang dibutuhkan untuk

maintenanceantara 0,5 – 3,00 % dalam O2 dan N2O.

Cedera luka bakar sangat nyeri terkait dengan cedera jaringan langsung dan

hiperalgesia yang dimediasi inflamasi. Stimulasi nyeri ujung saraf oleh mediator

inflamasi (seperti bradikinin dan histamin) dan neurotransmiter (seperti glutamat dan

substansi P) mempengaruhi mekanisme nyeri sentral dan perifer. Analgesi yang

adekuat diperlukan untuk menghindari keluaran fisiologis dan psikologis yang buruk.

Pemberian opioid oral tetap merupakan terapi pilihan untuk manajemen nyeri pada

prosedur operasi luka bakar.

Pemberian analgesi pada pasien dalam kasus kurang tepat karena hanya diberikan

ketorolac yang merupakan golongan obat antiinflamasi nonsteroid. Seharusnya

diberikan obat golongan opioid sebagai analgesi pascabedah pada pasien luka bakar.

Dapat diberikan opioid berupa morfin sulfat per oral dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg tiap

4-6 jam sehingga pada pasien ini dapat diberikan 7 mg tiap 6 jam.

42

Page 43: isi-3 fix.doc

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pemberian cairan pada pasien ini kurang tepat karena pemberian cairan berlebih

dapat menyebabkan komplikasi seperti edema paru. Pemberian cairan seharusnya

disesuaikan dengan perhitungan kebutuhan cairan meliputi cairan maintenance,

pengganti puasa dan stres operasi.

2. Pemeriksaan kadar elektrolit seharusnya dilakukan sebelum operasi agar dapat

dilakukan koreksi bila diperlukan karena pada luka bakar terjadi peningkatan

permeabilitas vaskular yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.

3. Pemberian dosis muscle relaxant yaitu atracurium pada pasien ini kurang tepat,

seharusnya dosis atracurium diberikan 2-5 kali lebih besar dibandingkan dosis

normal.

4. Pemberian ketorolac (analgesik golongan non steroid) kurang tepat, seharusnya

diberikan analgesik golongan opioid berupa morfin sulfat peroral dengan dosis 0,2 –

0,5 mg/kgBB tiap 4-6 jam.

43

Page 44: isi-3 fix.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Aguayo-Becerra OA, Torres-Garibay C, Macias-Amezcua MD, et al. Serum

albumin level as a risk factor for mortality in burn patients. Clinics.

2013;68(7):940-5.

2. Beasley W, Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL. Grabb and Smith

Plastics Surgery 6 thedition. 2007. Philadelphia: Lippincott William & Willkin. Pp

512-29.

3. Beauchcamp, Evers, Mattox. Sabiston Text Book of Surgery. Philadelphia:

Elseiver Saunders. 2012. Pp. 521-47.

4. Bhananker SM, Cullen BF. Burns. In: Fleisher LA, ed. Anesthesia and

Uncommon Diseases; 2012. Pp. 520.

5. Bishop S, Maguire S. Anaesthesia and Intensive Care for Major Burns.

Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. 2012:1-5.

6. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR et al. Schwartz`s Principle of Surgery

Tenth Edition. 2015. Philadelphia: McGraw Hill. Pp 1820-21.

7. Emara SS, Alzaylai AA. Renal Failure in Burn Patients: A Review. Annals of

Burn and Fire Disaster. 2013;26(1):12-15.

8. Fenlon S, Nene S. Burns in Children. Critical Care & Pain. 2007;7(3):76-80.

9. Harbin KR, Norris T. Anesthetic Management of Patients with Major Burn Injury.

AANA Journal. 2012;80(6):430-9.

10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2001. Hlm. 68.

11. Lund CC, Browder NC. The estimation of areas of burns. Surg GynecolObstet.

1944; 79: 352.

12. Mangku G, Senapathgi TGA. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2010. Hlm. 23-86.

13. Torpy JM, General Anestesia. J. American Medical Association. 2011;305(10):

1050.

44