Upload
aryani-octaviayaya
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan
mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku
tindak kejahatan. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus
berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP
(baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan
untuk menghukum pelaku kejahatan agar menimbulkan efek jera.
Hukuman mati yang ada di Indonesia saat ini merupakan sistem KUHP
peninggalan kolonial Belanda. Eksekusi hukuman mati di Indonesia pertama kali
dilaksanakan terhadap Oesin Batfari terdakwa kasus pembunuhan pada tahun
1979. Bahkan pada zaman orde baru sanksi pidana mati yang dijatuhkan kepada
pelaku pelanggaran hukum di Indonesia semakin meningkat. Pada zaman orde
baru ini, kebanyakan yang di eksekusi adalah pelaku kejahatan politik.
Setelah reformasi sanksi pidana mati yang dijatuhkan di Indonesia semakin
meningkat. Sepanjang 2008, terdapat 8 hukuman mati yang dijalankan, mereka
yang dihukum adalah dua warga Nigeria penyelundup narkoba, dukun Ahmad
Saroji yang membunuh 42 orang di Sumatera Utara, Tubagus Yusuf Mulyana
dukun pengganda uang yang membunuh delapan orang di Banten, serta Sumiarsih
dan Sugeng yang terlibat pembunuhan satu keluarga di Surabaya. Eksekusi yang
paling terkenal pada tahun 2008 dan mendapat perhatian luas dari publik adalah
eksekusi Imam Samudra dan Ali Ghufron, terpidana Bom Bali 2002.
Pada tahun 2013 terpidana mati terbanyak adalah pembunuhan berencana
dan narkotika, lepas tahun 2013 hingga tahun 2014 tidak ada yang dieksekusi
mati. Namun memasuki tahun 2015 eksekusi mati didominasi oleh terpidana
2
narkotika. Dan kemungkinan besar akan disusul oleh eksekusi mati duo bali nine
dengan kejahatan narkotika yang sama.
Penghargaan kehidupan terhadap pelanggar peraturan dalam hal ini terutama
pengedar narkotika, juga telah gugur seiring dengan banyaknya kehidupan yang
telah dia langgar. Banyaknya nyawa yang melayang dan kesempatan hidup yang
layak atas korbannya harus menjadi pertimbangan yang sangat penting. Juga
potensi pembiaran, akan berakibat pada lebih banyak hilangnya nyawa akibat
narkotika, dan semakin banyak generasi muda yang hancur, tentu pemerintah
melihat dari sisi kehidupan orang banyak yang harus diselamatkan sebagai
penerus bangsa.
Pemerintah tentunya memiliki dasar hukum dan alasan yang sangat
mendasar akan hukuman mati, serta eksitensi hukuman mati yang diberlakukan di
Indonesia. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menolak grasi pelaku
kejahatan peredaran narkoba dengan alasan bahwa Indonesia saat ini berada
dalam situasi darurat narkoba, sehingga hukuman mati dianggap bisa memberi
efek jera pada pelaku kejahatan narkoba. Presiden Joko Widodo juga
menyampaikan penegasan tersebut menyusul makin maraknya komentar maupun
protes dari dunia internasional atas pelaksanaan hukuman mati tersebut.
Segala sesuatu harus berdasarkan hukum, dan tiap warga negara harus
menjunjung tinggi hukum. Sebagaimana yang terdapat dalam pertimbangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yaitu :“
Bahwa negara Republik Indonesia ialah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya dengan
tiada kecualinya.”
Dalam hukum positif indonesia, penggunaan pidana hukuman mati masih
dianggap sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang
dapat dikualifikasikan kejahatan yang berat. Hal itu dapat dilihat masih diangap
3
relevan nya pasal 10 KUHP dengan menempatkan pidana mati sebagai pidana
pokok, selain itu hukum pidana diluar KUHP juga dapat sebagian yang
menempatkan hukuman mati sebagai sanksi dari langgarnya perbuatan yang diatur
didalam nya..
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas kami mencoba mengkerucutkan perma-
salahan yang ada dalam suatu rangkaian rumusan masalah sebagai berikut :
1. Efektivitas pelaksanaan hukuman mati sebagai upaya penegakan
supremasi hukum di Indonesia.
2. Eksistensi pidana mati dalam perspektif hukum pidana di Indonesia
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pidana mati.
2. Untuk mendidik masyarakat Indonesia agar menjadi orang-orang yang
berkelakuan baik
D. Manfaat Penulisan
1. Menyadarkan masyarakat akan pentingnya pidana mati untuk diterapkan
dalam sistem hukuman pidana di Indonesia.
2. Menyadarkan masyarakat akan metode pidana mati dengan berlandasan
kajian dari HAM di indonesia.
3. Penyelesaian kontroversi pidana hukuman mati dengan menggunakan
kajian kebijakan hukuman pidana serta berdasarkan dari HAM serta
kebudayaan masyarakat serta kultur dari masyarakat indonesia itu sendiri.
4
Bab II Pembahasan
A. Pelaksanaan Hukuman Mati Sebagai Upaya Penegakan
Supremasi Hukum Di Indonesia.
1. Sejarah Hukuman Mati Indonesia
Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman
(pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi
sejarah mencatat bahwa jenis hukuman yang saat ini merupakan jenis
hukuman yang terberat dan tertua yang pernah ada, bahkan menurut Codex
Hammurabbi yang diperkirakan yang diperkirakan telah ada sekitar 2000
tahun sebelum masehi, pidana mati ini telah digunakan’ pada orang yang
telah melakukan kejahatan tertentu, bahkan menurut Codex Hammurabbi
tersebut dikatakan, “kalau ada binatang pemeliharaan yang membunuh orang,
maka binatang berikut pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab taurat Agama
Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati
in juga telah diatur, disahkan dan diperguanakan pada orang-orang tertentu
yang telah melakukan kejahatan pada masa itu, seperti contohnya dengan
melempari seorang anak yang durhaka sehingga mati oleh orang-orang
sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21)
Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya dijaman Romawi
Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam
bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, disalibkan,
5
ditenggelamkam, digergaji, bahkan pada sekitar abad ke-4 disemua daerah
jajahan Roimawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukkan dengan cara
yang sama yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang
sampai digantung hidup-hidup dipinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai
penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah ang
menyatakan, “kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu, hukuman itu
adalah di pancung kepalanya, dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh,
depekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang
buas didalam gelanggan arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi
sati “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat gereja maupun raja-
raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk terus menerus
membuat rakyat tetap tunduk pada para menguasa yang ada. Contohnya
adalah hukum / peraturan yang berkembang pada abd pertengahan, yaitu
“criminal extra ordinaria ini yang sangat adalah terkenal adalah criminal
stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan jahat, durjana. Tetapi tidak
ditentukan perbuatan berupa ap yang dimaksud disitu.
Sewaktu romawi kuno itu diterima (diresipeer) dieropa brat pada
abad pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra ordinaria diterima
pula oleh raja-raja yang berkuasa.Dan dengan adanya criminal extra ordinaria
ini selalau diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu
secara sewenag-wenang, menurut kehendaknya dan kebutuhannya reaja itu
sendiri”.Perbuatan sewenang-wenangan penguasa inilah yamng lalu menjadi
titik otak munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan
munculnya asas legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum seperti
Montesquieu, J.J. Rousseau, von Feurbach, dsb.
Akan tetapi sekalipun asa legalitas tersebut kemudian diterima dan
dimasukan dalam perundangan yang ada (Code penal Perancis), tidak berarti
6
menghapuskan pidana mati itu sendiri, hanya saja membatasi penguasa
dalamn menerapkan pidana itu sendiri. Penjajahan perancis oleh Napoleon
(1801) kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya, bahaya dan
guncangan terhadap perekonomian,tetapi juga sampai dengan pemahaman
dan perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda (Nederlannd). Seperti
dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh Nenderland karena
penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v.
Strafrecht Nederland 1881”.
Yang kemudian sejarah mencatat oleh kerena itu penjajahan
belanda di indonesia, secara perlahan-lahan hukum pidana mulai
diperlihatkan dan mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada dan
kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni ada saat Wetboek v. strafrecht
itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di indonesia pada tahun
1918, baik bagi golongan Bumi putera, timur asing maupun golongan
penduduk eropa, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang
Pidana (KUPH). Dalam KUPH inilah pidana mati (death penalty)
dicantumkan dan dan mendapat pengaturanya yang sah (legal act) bagi
pemerintah / negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan
terhadap orang yang melakukan detik tertentu.
Dalam KUHP Indonesia telah tercantum hukuman pidana mati
yang sekiranya telah di tetapkan sebagai suatu pidana pokok meskipun
sekarang sedang dip roses kembali oleh pemerintah atas penetapan hukuman
mati sebagai pidana pokok, akan tetapi dalam tinjauan yang sebenarnya
pidana mati mungkin perlu di karenakandapat menjerakan dan menekan serta
menakut-nakuti penjahat, dan relative tidak menimbulkan sakit jika
dilaksanakan dengan tepat
7
2. Pelaksanaan Hukuman Mati Di Indonesia
Sekalipun telah memiliki pengaturanya sediri dalam pasal 11 KUHP
yang menyatakan; hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat
penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan dan
mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan
tempat orang itu berdiri.
Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami
perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2
peraturan dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan
baru yang di undangkan olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana
mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1
pada tanggal 2 maret dan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal
dari pemerintah pendudukan Jepang).
Kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan proklamasi
kemerdekaan indinesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara
pidana gantung seperti yang ada dalam pasal 11 KUHP. Pada tahun 1964,
terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui
penetapan Presiden No.2 tahun 1964 ini juga melalui lembaran negara tahun
1964 nomor 38, dirubah menjadi undang-undang No.2 tahun 1964.
Melaui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini
tidak lagi dengan cara digantung oleh sorang algojo, melainkan dengan cara
ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut
ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan
tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI.
Disini terlihat bahwa efek penjeraan atau untuk mencoba membuat
takut orang banyak agar suatu detik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari
8
pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi
dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tyersebut terlihat
kerana pidana mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak di tempat umum
untuk dilihat oleh khayalan ramai.
Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di indonesia juga
diharapakan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat
bagaimana dalam rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan,
dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan
memjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan talah
mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini
dijadikan suatu ancaman pidana sacara alternatife. (pasal 61 konsep KUHP
1999-2000). Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap
sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapakan, akan
tetapi pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu alternatif yang
bersifat khusu dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih
dianut hingga sekarang berdasakan KUHP lam (Wetboek van strafrecht).
Berikut adalah beberapa uraian yang dapat menjelaskan tentang
bagaimana efektivitas pelaksanaan hukuman kati di Indonesia :
1. Karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan
sistem peradian yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih.
Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati
lahir dari sebuah proses yang slah. Kasus hukuman mati sengkon dan
karta pada tahun 1980 lalu di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat
kita. Hukum sebagai institusi buatan manusia tentu tidak selalu benar dan
selalu bisa salah.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembukyian limiah hukuman mati
akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah
9
gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingkan dengan jenis hukuman lainya. Kajian PBB tentang
hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan
antara 1988-2000 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak
membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dan
hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya
tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh
problem struktral lainya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara
yang korup. Ditahun 2005 misalnya ditemukan pebrik pil ekstasi
bersekala internasional di Cikande,Serang,Banten. Pabrik ini dianggap
sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga didunia dengan total produksi 100
kelogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp. 100 milyar.
Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian; komisaris
MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang.
Maningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda
Metrojaya. Angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainya
(narkoba) tahun 2004 naik hingga 39.36 persen jika dengan dibandingkan
dengan kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 polda metrojaya
telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1,338 kasus jika
dibandingkan kasus narkoba tahun2003 yang hanya 3.441 kasus. Bahkan
untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor
yang menguatkan berulangnya tindakan dimasa depan.
Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk
meningkatkan redikalisme an militansi para pelaku. Sampai ssat ini
bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama
sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhit bkali pada
1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh didri di Bali. Satu
10
pernyatan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Ausralia, Jakarta (9
september 2004). Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman
mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13
November 2005:
“saya tidak kaget dengan vonis ini kerena saya sudah menyangka
sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini kerena di
jatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasrkan hukum setan, bukan
hukum Alla.Kalaupun saya du hukum mati, berarti saya mati syahid”.
Sikap ini juga ditunjukan terdakwa kasus bom lainnya yang
umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang
telah dilakukan. Penerapan hukum mati jelas tidak berefek positif untuk
kejahatan terorisme semacam ini.
3. Praktek hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan
disikriminasi, dimana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari
kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa diketegorikan
sabagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku
pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan
merugiakan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Padahal
janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa
seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM.
4. Penerapan hukuman mati juga menunbjukkan wajib politik indonesia
yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati karena
sesuai dengan hukum positif indonesia. Pada hal semnjak era
roformasi/transisi politik berlajan telah terjadi berbagai perubahan hukum
dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa
produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan
11
pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen
Kedua)menyatakan :
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-
undangan yang bartentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat
masih terdapat 11 perundang-undangan yang masih mencantumkan
hukuman mati.
5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu.
Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih
kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak
menjalankan hukuman mati kepada warga negara Indonesia, dengan
alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman
mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus lainnya baru-baru
ini.
B. Beberapa aspek dalam penerapan hukum pidana mati
1. Hak Asasi Manusia ( HAM)
Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pidana mati
tidak bertentangan HAM. UUD 1945 membatasi kebebasan dan Hak Asasi
Manusia dengan suatu kewajiban asasi dan kewajiban hukum. Kewajiban
asasi adalah setiap orang diwajibkan menghormati HAM orang lain dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan
12
Kewajiban hukum dimana setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang.
Dapat dipahami bahwa HAM dalam konsep Indonesia memiliki
karakter yang berbeda dengan HAM dalam konsep Barat. HAM dalam
konsep Indonesia menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Hal ini sesuai dengan pandangan hidup dan budaya Indonesia yang
bersifat komunal, namun tetap menghormati hak-hak individu. Sedangkan
HAM dalam konsep Barat lebih mengutamakan hak, sedangkan kewajiban
bersifat sekunder. Hal ini tentu tidak terlepas dari pengaruh faham
individualisme dan liberalisme Barat.
Sekalipun HAM bersifat universal, namun di dalam penerapannya
bersifat relatif. Maka dalam pembentukan berbagai konvensi HAM
internasional, hukuman mati masih diakui oleh dunia internasional
walaupun sebagian negara telah menghapuskan hukuman mati.
2. Aspek Adat
Hukuman mati timbul dari pandangan hidup dan nilai-nilai asli bangsa
Indonesia yang menitik beratkan pada kondisi harmoni antara hak dan
kewajiban. Pepatah orang dulu berbunyi: “hutang darah dibayar darah,
hutang nyawa dibayar nyawa”. Jadi, walaupun KUHP adalah produk
hukun zaman kolonial namun landasan filisofi dan sosiologi yang
terkandung di dalamnya mempunyai relevansi erat dengan nilai-nilai asli
bangsa Indonesia.
3. Aspek Politis
Pemberlakuan hukuman mati di dalam KUHP pada saat zaman
kolonial Belanda sarat dengan kepentingan politis, yaitu sebagai instrumen
untuk mempertahankan kekuasaan. Sebagaimana ungkapan Lord Shang
bahwa kalau ingin negara kuat maka rakyatnya harus lemah. Namun
13
pernyataan semacam itu sudah tidak relevan dengan alam demokrasi saat
ini.
Dapat disimpulkan bahwa hukuman mati masih relevan untuk
diterapkan karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat
istiadat, maupun dengan HAM. Namun di dalam penerapannya harus
dilakukan secara hati-hati, karena apabila seseorang telah dieksekusi maka
pada saat itu pula koreksi terhadap kesalahannya telah tertutup. Menurut
J.E sahetapy (2007;56) bahwa pidana mati bukanlah sarana utama untuk
mengatur, menertibkan dan memperbaikimasyarakat.
Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir apabila sarana lain
tidak berfungsi dengan baik. Oleh karena itu pidana mati masih dianggap
eksis untuk dipertahankan dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana
(KUHP), karena dianggap masih relevan dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Hal ini diperkuat dengan tanggapan dari Mahkamah Konstitusi
(MK) yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi dan
diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari
seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab
XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran sistematis, hak asasi manusia yang
diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada
pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
(Winastiti Yuliana Sekarpuri,2009:43) Mahkamah Konstitusi (MK) juga
memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana dituangkan dalam
pertimbangan hukum putusan.
Salah satunya adalah ke depan, dalam rangka pembaruan hukum
pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundangundangan yang
terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan pidanamati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
hendaklah diperhatikan dengan sungguh sungguh. Pidana mati bukan lagi
14
merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus
dan alternatif.
Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama
sepuluh tahun yang apabila terpidanaberkelakuan terpuji dapat diubah
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Selain itu,
demi kepastian hukum yang adil, MK juga menyarankan agar semua
putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera
dilaksanakan....................
B. Tanggapan tentang penerapan hukuman mati di IndonesiaPerlu diketahui oleh kita bersama terlebih dahulu fungsi dilakukannya hukuman adalah sebagai alat untuk memaksa agar peraturan ditaati dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman sehingga terwujudnya rasa kesejahteraan dan keamanan bagi masyarkat.
Percumalah aturan dibuat bila tidak ada sanksi yang diterapkan bila aturan itu dilanggar karena tidak ada efek jera atau pengaruh bagi si pelanggar aturan tersebut. Sehingga kami sangatlah yakin kalau hukuman mati itu sangat diperlukan karena selain dapat memberi efek cegah dan rasa takut bagi orang lain untuk tidak melakukannya pelanggaran. Dan juga dapat memberikan rasa aman dan terlindung bagi setiap orang. sesuai dengan Pasal 28 G UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak atas perlindungan. Bagaimana mungkin rasa aman & terlindung itu dapat terjadi, bila si pelaku kejatahan tersebut masih diberi kesempatan di dunia ini.
Pasal 28 G UUD 1945
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dan ancaman kelakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)Dalam beberapa pendapat yang kami dapat di salahsatu forum beralamatkan indonesiaindonesia.com bahwa Hukuman mati itu melanggar hak asasi manusia seperti yang tertera pada pasal 28 A UUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
15
Tetapi di pasal 28 G UUD 1945 juga jelas tertera bahwa manusia berhak untuk mendapatkan perlindungan. Contohnya perlindungan dari kejahatan narkoba dan terorisme yang dapat tiba-tiba mengancam nyawanya.Dalam hal yang seperti ini asas kepentingan umum sangat harus ditegakan menyampingkan kepentingan khusus atau pribadi. logikanya seperti ini bila 1000 (seribu) Orang terancam nyawanya karena hanya seorang teroris melakukan tindak kejahatan terorisme untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dan sekarang apakah Anda rela akan tetap berpendapat kalau 1000 orang yang terancam nyawanya tadi meninggal sia-sia tanpa tau kesalahannya demi hanya mementingkan kepentingan khusus untuk menyelamatkan nyawa si teroris tersebut?
Kami dari tim pro sangat jelas untuk mengatakan Hukuman mati pantas diberikan kepada teroris tersebut karena si pelaku ini selain telah melanggar hak hidup dan juga hak atas perlindungan setiap orang.juga telah mengganggu keamanan, ekonomi, pariwisata serta mengganggu & mengancam stabilitas Negara yang berdampak luas bagi masyarakat.
Dari data yang kami dapatkan 5 peristiwa besar terorisme di Indonesia dari tahun 2002 yaitu : Bom bali 2002, JW marriot, kedubes Asutralia, Bom Bali 2005, Bom Cirebon 2011. Telah menewaskan 248 Jiwa tewas dan 486 orang jiwa luka-luka. Sangatlah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang teroris yang telah membunuh ratusan jiwa orang. agar tidak terjadinya korban-korban lainnya lagi, Oleh sebab itu pelaku harus di Hukum mati dan harus dicari otak dari permasalahan ini agar tindakan-tindakan seperti ini tidak terjadi lagi. dan dapat terciptanya hal-hal yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28 G dan juga dapat melindungi masyarakat luas.
Soal hukuman mati ini, Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan bahwa hukuman mati yang diancamkan untuk kejahatan tertentu dalam UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hukuman mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia (HAM).
Hak asasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, dibatasi oleh pasal 28J, bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Pandangan konstitusi itu, ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Jadi sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi mengenai masalah Hukuman mati ini.
Bahkan Ketua Sub Komisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Soelistyowati Soegondo ia berpendapat bahwa hukuman mati sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sehingga dengan sangat jelas hukuman mati dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Dan perlu diketahui oleh kita bersama hukuman mati dimaksudkan bukan hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku juga untuk memberi efek psikologis dan shock therapy bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak kejahatan lagi.
Oleh karena itu kami sangatlah yakin bila hukuman mati dapat mengurai tingkat kejahatan seperti halnya data yang kami dapatkan Fakta membuktikan, bila
16
dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime pada tahun 2012, misalnya, tingkat kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100.000 orang. Bandingkan dengan Finlandia 2,2, Belgia 1,7 dan Russia 10,2 tingkat kejahatan. Dari data ini dapat dilihat, efek cegah dari hukuman mati berpengaruh bagi orang yang ingin melakukan kejahatan seperti korupsi, narkotika, tindak kejahatan lainnya.
28 J ayat 2 UUD 1945
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Negatif bila hukuman mati dihapus
1. Kejahatan akan meningkat karena tidak takut dijatuhi hukuman yang berat.
2. Biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk hukuman penjara seumur hidup.
3. Akan ada rasa tidak aman dalam hidup rakyat karena takut akan penjahat
yang berkeliaran diantara mereka.
4. Keadilan tidak diterapkan dengan baik karena tidak ada pembalasan yang
setimpal bagi kejahatan berat seperti pembunuhan.
Positif bila hukuman mati tetap di jalankan
1. Kejahatan yang tidak dapat ditoleransi dengan uang atau apapun di dunia ini
bisa terbalaskan.
2. Mencegah banyak orang untuk membunuh atau berbuat kejahatan berat
lainnya karena gentar akan hukuman yang sangat berat.
3. Pembunuh yang sudah dieksekusi bisa dipastikan tidak membunuh lagi
sehingga tidak memakan korban lainnya.
4. Menegakkan harga nyawa manusia yang mahal dan hanya bisa dibayar
dengan nyawa sehingga seseorang tidak dapat seenaknya membunuh orang
lain.
17
5. Kebencian dan rasa takut terhadap pelaku kejahatan akan hilang karena
penjahat telah dieksekusi.
6. Biaya yang dikeluarkan lebih sedikit daripada hukuman penjara seumur
hdup.
7. Penyelidikan akan kasus akan lebih teliti karena tidak mau salah eksekusi.
Bab III Penutup
18
A. Kesimpulan
1. Eksistensi pidana mati dalam perspektif hukum pidana adalah
bahwa pidana mati tetap dipertahankan dalam peraturan hukum di
Indonesia, karena dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945, dan hal ini diperkuat dengan serta keputusan Mahkamah Konstitusi.
2. Penerapan pidana mati dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) harus memperhatikan/melihat kepada kasus-kasus
yang akan diberlakukan, dalam arti termasuk dalam kejahatan berat...
B. Saran
1. Seorang hakim harus lebih cerdas dan teliti, untuk melihat
bagaimana batas-batas tindak pidana, yang perlu diberlakukan pidana mati
terhadapnya, sehingga hasilnya dapat memberikan kepuasan dan tidak ada
pihak tertentu yang merasa dirugikan.
2. Dengan diberlakukannya pidana mati dalam Pasal 10 Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), maka lembaga kasasi, banding
dan peninjaun kembali (PK), tidak perlu diberlakukan, karena dapat
mengurangi masa hukuman.
Selesai