43
BAB I PENDAHULUAN Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi bladder normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan bladder dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat. 1 Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di Asia adalah sebuah survai oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70% perempuan) dari 11 negara (termasuk 499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa 1

Isi Neurogenic Bladder

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Isi Neurogenic Bladder

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis

spesifik ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan

suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi bladder

normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi

dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor

dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral,

sehingga penyebab neurogenik dari gangguan bladder dapat diakibatkan oleh

lesi pada berbagai derajat.1

Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di Asia

adalah sebuah survai oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board)

pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70%

perempuan) dari 11 negara (termasuk 499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa

prevalensi Neurogenic Bladder secara umum pada orang Asia adalah sekitar

50,6%. Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder

sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis

ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis; trauma

merupakan penyebab akut serta memberikan manifestasi klasik. Dalam

kesempatan ini dibahas Neurogenic Bladder akibat cedera spinal.2,3

1

Page 2: Isi Neurogenic Bladder

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Struktur otot detrusor dan sfingter

Susunan sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi

akan menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut

detrusor pada daerah leher bladder berbeda antara pria dan wanita dimana

pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut

membentuk suatu sfingter leher bladder yang efektif untuk mencegah

terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter

uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot lurik berbentuk sirkuler.

Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara

pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara

anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pada

pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu discharge tonik

konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses

miksi.1,2,3

B. Persyarafan bladder dan sfingter

1. Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)

Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari

serabut preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada

kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut

2

Page 3: Isi Neurogenic Bladder

preganglioner keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal

anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus

parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner pendek berjalan dari

pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tidak terdapat

perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglioner dan

otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut postganglioner

mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung

vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies

transmitter nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun

keberadaannya pada manusia diragukan.1,2

2. Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)

Bladder menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis

thorakolumbal melalui n.hipogastrik. Leher bladder menerima

persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing

dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran

sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi

lumbal saja tidak berpengaruh pada miksi meskipun pada umumnya

akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher bladder pria banyak

mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas simpatis selama

ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk mencegah

ejakulasi retrograde.2,3

3. Persyarafan somantik (N.pudendus)

3

Page 4: Isi Neurogenic Bladder

Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian

dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz

menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis

pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai

nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang

menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai

diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu

penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing

menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan

persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari

sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam n.pudendus

dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal

dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara

elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut

lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.1,2,3

4. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah

Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan

berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung

sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi

P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat

mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan

sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang

saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan

4

Page 5: Isi Neurogenic Bladder

pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang

berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi bladder

tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi bladder yang

normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak

bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik

tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari

distensi bladder dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan

sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan

memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral

sebagai aferen bladder. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari

daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi

viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang

telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras

ascending dari bladder dan uretra berjalan di dalam traktus

sphinothalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga

berperan pada transmisi dari informasi aferen. 1,2,3

5

Page 6: Isi Neurogenic Bladder

Gambar 1 Persyarafan Bladder4

C. Hubungan dengan susunan saraf pusat

1. Pusat Miksi Pons

Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-

bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan

bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana

refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan

pengisian atau pengosongan bladder. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat

pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain

di otak.1,2

2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons

6

Page 7: Isi Neurogenic Bladder

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian

anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa

urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas bladder atau retensi urine.

Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya bladder yang hiperrefleksi. 1,2

D. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter bladder

1. Pengisian urine

Pada pengisian bladder, distensi yang timbul ditandai dengan adanya

aktivitas sensor regang pada dinding bladder. Pada bladder normal, tekanan

intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari

aktivitas detrusor dan active compliance dari bladder. Inhibisi dari aktivitas

motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan

medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance bladder kurang

diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh Selain

akomodasi bladder, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas

otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi

dibandingkan tekanan intravesikal dan urinetidak mengalir keluar5,6

2. Pengaliran urine

Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari

distensi bladder yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif

terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui

dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan

lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi bladder. Inhibisi tonus simpatis

7

Page 8: Isi Neurogenic Bladder

pada leher bladder juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal

diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan

bladder yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas

sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi. 5,6

E. Definisi Neurogenic bladder

Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi bladder akibat kerusakan

sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih.

Keadaan ini bisa berupa bladder tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk

miksi (underactive bladder) maupun bladder terlalu aktif dan melakukan

pengosongan bladder berdasar refleks yang tak terkendali (overactive

bladder) 3,7

F. Etiologi

A. Kelainan pada sistem saraf pusat :8

1. Alzheimer’s disease

2. Meningomielocele

3. Tumor otak atau medulla spinalis

4. Multiple sclerosis

5. Parkinson disease

6. Cedera medulla spinalis

7. Pemulihan stroke

8

Page 9: Isi Neurogenic Bladder

B. Kelainan pada sistem saraf tepi : 8

1. Neuropati alkoholik

2. Diabetes neuropati

3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis

4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus

5. Defisiensi vitamin B12

G. Patologi

Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung

jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :2,3,9

A. Lesi supra pons

Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi

dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus

frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada

umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan

hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi

periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus

atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi bladder yang

hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila

terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunteer.

B. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis

Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan

bagian sacral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi

9

Page 10: Isi Neurogenic Bladder

kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa

keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:

1. Bladder yang hiperrefleksi

Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi

normal akan menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi

yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang

kecil dari volume bladder.

2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)

Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului

kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan

otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi

akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal

yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran

kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari bladder hanya bila

kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter

sehingga aliran urine terputus-putus.

3. Kontraksi detrusor yang lemah

Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga

pengosongan bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila

dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan

volume residu pasca miksi.

4. Peningkatan volume residu paska miksi

10

Page 11: Isi Neurogenic Bladder

Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder

yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume

tambahan untuk terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh

mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.

C. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)

Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun

ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi bladder dan

hilangnya sensibilitas bladder. Proses pendahuluan miksi secara volunteer

hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang,

bladder menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah

parsial. Compliance bladder juga hilang karena hal ini merupakan suatu

proses aktif yang tergantung pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari

peregangan bladder terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan karena

informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui

n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter

mengganggu mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher bladder

memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi

selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga

stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.

H. Gejala

Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi,

frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan

11

Page 12: Isi Neurogenic Bladder

yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang

dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia

detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun

suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan

patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan

kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan

lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis bagian sakral, DDS dapat

menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia

detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan

kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat

kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.

Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi

pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat

timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini

sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan

timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter

yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan

dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan

overflow.7,8,10

I. Evaluasi dan Penatalaksanaan

A. Evaluasi

12

Page 13: Isi Neurogenic Bladder

Pendekatan sistematis untuk mengetahui masalah gangguan miksi

selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal

yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah

komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi

penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan bladder dan

deteksi hiperrefleksia detrusor.3,7,8,10

1. Penilaian saluran kencing bagian atas

Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing

bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial

mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal

dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi

urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran

bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks

vesikoureteral.

2. Penilaian pengosongan bladder

Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat

pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu

urine lebih dari 100 ml dikatakan bermakna.

3. Deteksi hiperrefleksia detrusor

Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan

membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS

yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi

dengan baik denganmenggunakan filling cystometrogram (CMG).

13

Page 14: Isi Neurogenic Bladder

Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian

bladder bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada

penderita dengan hiperrefleksia bladder, terjadi peningkatan tekanan

yang spontan pada pengisian.

4. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan

sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing.

Adanya tonus anal, reflex anal dan refleks bulbokavernosus hanya

menandakan utuhnya konus danlengkung refleks lokal. Didapatkannya

kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter

dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang

inkomplit. Pada lesi medulla spinalis, dalam hari pertama sampai 3

atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah

lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok

spinal. Dalam periode ini, bladder bersifat arefleksi danmemerlukan

drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan

menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan

aktifitas refleks bladder. Tes air es dikatakan positif bila pengisian

dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari

bladder. Drainase bladder yang adekuat selama fase syok spinal akan

dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari

bladder yang arefleksi.

B. Penatalaksanaan

14

Page 15: Isi Neurogenic Bladder

Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi bladder adalah untuk

mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.

1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan bladder dapat dilakukan dengan

cara :

Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi

perianal

Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre

Clean intermittent self-catheterisation

Indwelling urethral catheter

2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor

Bladder training (bladder drill)

Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin

3. Penatalaksanaa operatif

Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan

kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.

J. Rehabilitasi Neurogenic Bladder

Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya

mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal

atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.

Mencegah/mengurangi infeksi saluran kemih, mencegah komplikasi saluran

kemih lebih lanjut akan menurunkan angka kematian, terutama pada penderita

cedera medula spinalis. Gagal ginjal merupakan penyebab utama kematian pada

15

Page 16: Isi Neurogenic Bladder

pasien cedera medula spinalis. Untuk mencegah komplikasi tersebut, diupayakan

mempertahankan fungsi pengosongan kandung kencing dengan residu urine

seminimal mungkin, mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam sistem

saluran kemih, serta eradiksi dini terhadap infeksi saluran kemih yang mungkin

terjadi. Ketiga upaya tersebut tercakup dalam penatalaksanaan neurogenic bladder

yang akan dibahas, yang bertujuan mempertahankan fungsi ginjal secara efektif

sehingga penderita cedera medulla spinalis dapat mandiri mengatur kandung

kencingnya.

Tujuan rehabilitasi:

1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal

bebas kateter bladder dan uretra

menghilangkan obstruksi uretra

2. Keadaan abakterial

sterile intermittent catherization

pengosongan bladder secara sering dan teratur

3. Pengosongan bladder secara tuntas pada setiap masa pengosongan dengan

cara mengembangkan/ meningkatkan kekuatan ekspulsi pada waktu yang

cukup, sesuai dengan yang dibutuhkan.

Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training :

1. Kateterisasi intermiten

2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh

3. Refleks stimulasi terhadap bladder

4. Crede manuever

16

Page 17: Isi Neurogenic Bladder

5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap bladder.

Hal tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neruogenic bladder.

Kontra indikasi bladder training:

- Sistitis berat

- Pielonefritis

- Gangguan/kelainan uretra

- Hidronefrosis

- Vesicourethral reflux

- Batu traktus urinarius

- Penderita tidak kooperatif

Program kateterisasi kontinyu

Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena bladder selalu kosong,

sehingga kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi atrofi serta penurunan tonus

otot bladder; ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu

dianjurkan program kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk

mencapai keadaan bebas kateter berkisar antara 3 - 278 hari atau sekitar 8-10

minggu, jika tidak ada obstruksi.

Paremeter keberhasilan

1) Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar, baik secara

spontan, dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava

manuever secara mudah.

2) Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml. Tak didapat perubahan

patologis pada saluran kemih.

17

Page 18: Isi Neurogenic Bladder

3) Penderita bebas kateter.

Program Kateterisasi Intermiten

Metoda ini dengan teknik non touch pertama kali diperkenalkan oleh

Guttmann. Karena hasilnya memuaskan, cara ini dengan cepat diikuti oleh klinik-

klinik lain. Pada saat ini hampir seluruh klinik di seluruh dunia menganggap

kateterisasi intermiten merupakan method of choice. Sebagian kecil penulis

meragukan perbedaannya dibandingkan dengan metoda lain.

Keberatan atau kerugian tersebut antara lain adalah:

a) Bahaya distensi bladder tetap ada.

b) Risiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang.

c) Risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung

distal uretra (flora normal).

Terhadap bahaya-bahaya tersebut diajukan beberapa cara pencegahan:

a) Restriksi cairan. Bila penderita dirawat dalam ruangan ber-AC, maka

jumlah cairan total yang dapat diberikan ialah 1500 ml/hari, dibagi rata

tiap 2 jam. Kateterisasi dilakukan tiap 6 jam. Berdasarkan ketentuan ini

maka pada tiap kateterisasi akan diperoleh urin tidak lebih dari 500 ml.

Bila ternyata lebih, maka pemberian cairan dikurangi atau frekuensi

kateterisasi ditambah. Tentunya restriksi cairan ini harus disesuaikan bila

ruang perawatan tanpa AC.

b) Risiko trauma uretra dapat dicegah, paling tidak dikurangi dengan

menggunakan kateter jenis lunak yang biasanya dibuat dari bahan

18

Page 19: Isi Neurogenic Bladder

polivinil. Sebaiknya dengan ujung bulat (misalnya kateter Jacques

polivinil no. 14 Fr).

c) Sebelum pemasangan, baik pada kateter maupun uretra diberi pelumas

terlebih dahulu. Jangan sekali-kali memasang kateter pada seorang

penderita pria dalam keadaan refleksi ereksi.

d) Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik "non touch". Di samping itu

berikan cairan antibiotika/ antiseptika ke dalam bladder setiap habis

kateterisasi; bahan yang dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan

klinik lainnya.

Bladder UMN (Upper Motor Neuron)

Pada tahap akut pengosongan bladder dilakukan dengan cara kateterisasi

intermiten. Dua hari kemudian lakukan pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan

tes air dingin. Bila belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah

percobaan-percobaan tersebut positif, latihan bladder dimulai. Caranya adalah

dengan ketokan pada dinding abdomen daerah suprapubis setiap 2 jam. Tindakan

yang dimaksudkan untuk merangsang refleks miksi ini harus dilakukan oleh

penderita di luar jam-jam tidur (kecuali penderita tetraplegi).

Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat Bila jumlah urin

yang dapat dikeluarkan melalui cara ini kira-kira sebanyak jumlah urin yang

didapat melalui kateter, maka pada jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika

kurang, kateterisasi tetap dilakukan. Mudah dipahami bahwa makin efisien refleks

miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi. Kateterisasi dapat dihentikan sama

sekali bila keadaan ini sudah tercapai, restriksi cairan dapat dilonggarkan.

19

Page 20: Isi Neurogenic Bladder

Kadang-kadang bladder training tak memberikan hasil memuaskan:biasanya

disebabkan oleh dua kemungkinan:

1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien

2. Sfingter uretra kurang efisien

Bladder LMN (Lower Motor Neuroni)

Prosedur rehabilitasi bladder LMN biasanya tidak sulit. Miksi spontan

dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan hasil memuaskan. Hanya sedikit

penulis yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih

mempunyai kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten :

Menentukan tipe bladder UMN, LMN atau campuran;

caranya:

- Lakukan pemeriksaan ACR/BCR

- Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble)

- Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder Volume) yaitu

mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan dengan tapping/express.

- Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test)

Bila hasil positif; berarti fungsi otot detrusor masih baik. Dari hasil

pemeriksaan di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder dan jumlah cairan yang

diminum.

Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam

Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam

20

Page 21: Isi Neurogenic Bladder

Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam. Sebelum menjalani program ini

sebaiknya dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum

kreatin dan serum urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun uretro

sistografi.

Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu urine < l00

ml, frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin ditambah. Ditunggu sampai 3

kali berturut-turut. Demikian seterusnya sampai bebas kateter. Apabila terdapat

kendala, misalnya sampai 7 hari sisa urin masih lebih dari 200 ml atau bila dalam

2 hari program tanda-tanda miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan

dosis maksimum 100 mg/hari. Dimulai dengan 15-60 mg/hari dibagi 3 dosis.

Dosis awal : 5 mg (3x5 mg) diobservasi tiap 2 hari. Bila respon kurang, dosis

dapat ditingkatkan sampai dosis efektif. Pemberian dihentikan bila sisa urine

menetap sampai 1 minggu. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemberian

obat-obatan dapat dipertimbangkan.

Obat Untuk Retensio Urine

A. Jenis Penyekat Alfa

Cara Kerja:

1) Merelaksasi otot polos

2) Meningkatkan urinary flow rate pada obstruksi akibat spasme

Efek samping: Sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala, mulut

kering, mual, takhkardi dan palpitasi

Obat yang dipakai:

1. Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl

21

Page 22: Isi Neurogenic Bladder

Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max lOmg/hari

2. Indoramin 20 mg/tbl

Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2 minggu 1 tbl.

sampai 100 mg/hari

3. Prazosin HCl (Minipress® 1 mg/2 mg/tbl.)

Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap 3-7 hari sampai

max 2x2 mg.

4. Terazosin HCl (Hytrin® 1 mg/2 mg/tbl)

Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg setiap minggu sampai

max lOmg/hari dosis tunggal. Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap

tidur sampai pusingnya hilang.

B. Jenis Para Simpatomimetik

Cara kerja:

1) Meningkatkan efek muskarinik

2) Meningkatkan aktivitas m. detrusor

3) Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar bladder, peranannya untuk

mengatasi retensio urine terbatas.

Efek samping : Keringat, bradikardi, kolik intestinal

Obat yang dipakai:

1. Carbachol 2 mg/tbl

2. Bethanechol chloride Urecholin lOmg/tbl). Dosis 3-4 x 10-25mg _ jam

sebelum makan

22

Page 23: Isi Neurogenic Bladder

3. Distigmine bromide 5 mg/tbl. Dosis 5 mg/hari atau 2 hari _ jam sebelum

makan

TERAPI FARMAKOLOGIS INKONTINENSIA URINAE

Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas bladder dengan

mengurangi kontraksi m. detrusor yang tidak stabil. Efek samping : mulut kering,

pandangan kabur, glaukoma. Obat yang dipakai:

1. Flavoxate HCl lOOmg/tbl

Indikasi: Inkontinensia, disuria, spasme bladder akibat kateterisasi. Dosis :

3 x 200 mg/hari

2. Oxybutynin HCl 2,5 mg/5 mg/tbl.

Indikasi: Inkontinensia, Neurogenic Bladder instability nocturnal enuresis.

Dosis : 2-3 x 5 mg/hari maksimum. 4x5 mg/hari. Untuk orang tua dosis

dimulai dari 2x2,5 mg perhari dengan dosis maksimum 2x5 mg/hari; untuk

anak di atas usia 5 tahun dimulai dari 2x2,5 mg/hari maksimum.3x5

mg/hari. Hati hati pada: gagal ginjal/hepar, hipertiroid, penyakit jantung,

hipertrofi prostat, kehamilan dan menyusui. Kontraindikasi:

obstruksi/atoni intestinal atau bladder glaucoma

3. Propantheline bromide

Dosis: 2-3 x 15-30 mg/hari satu jam sebelum makan.

4. Ani depresan trisiklik

23

Page 24: Isi Neurogenic Bladder

Imipramine HCl (Tofranil 25 mg/tbl). Indikasi: Inkontinensia, noctural

enuresis. Dosis : 1-3 x 25 mg/hari dapat ditingkatkan bertahap setiap

minggu sampai maksimum 6-8 tbl/hari. Untuk enuresis pada anak-anak di

atas 5 tahun diberikan dosis tunggal setelah makan malam; usia 5-8 tahun:

1 tbl, usia 8-12 tahun: 1-2 tbl usia 12 tahun : sampai maksimum 3 tbl.

Jangan diberikan bersama obat MAO. Toleransi terhadap alkohol

berkurang, bila terjadi reaksi kulit, stop pemberian agranulositosis, hati-

hati pada kehamilan. Kontraindikasi tidak diketahui; relatif pada penyakit

jantung, gangguan bladder akibat obstruksi, glaucoma.

Jika bladder training dan obat-obatan masih belum berhasil baik,beberapa

prosedur konservatif non operatif, dapat dipertimbangkan.

Tindakan-tindakan tersebut ialah:

a) Anestesi mukosa bladder

Berlawanan dengan bladder normal, pada neurogenic bladder, kontraksi

otot detrusor kadang-kadang justru mengakibatkan aktivasi impuls tonik

pada sfingter uretra; akibatnya sfingter uretra menjadi sulit terbuka. Di

pihak lain keadaan tonik sfingter uretra secara reflektoris akan

mengakibatkan inhibisi

kontraksi otot detrusor, sehingga kontraksi makin lemah, jadi timbul

keadaan kontraksi otot sulit terbuka. Pemberian anestesi lokal ke dalam

bladder diharapkan dapat mengurangi rangsangan, sehingga refleks miksi

tidak berlebihan. Dianjurkan mengulangi prosedur ini tiap hari untuk kira-

kira dua minggu.

24

Page 25: Isi Neurogenic Bladder

b) Blok n. pudendus

Prosedur ini diindikasikan pada keadaan sfingter uretra terlampau spastik.

Dengan blok n. pudendus bilateral diharapkan impuls tonik pada sfingter

uretra berkurang.Secara reflektoris kontraksi otot detrusor juga diharapkan

lebih efisien, Bahan yang biasa dipergunakan adalah larutan fenol atau

lignokain.

Follow Up

Follow up harus teratur dan berkesinambungan. Pada tahun pertama dapat

dilakukan tiap 2-3 bulan. Pada tahun-tahun selanjutnya mungkin cukup tiap 4-6

bulan. Patokan ini untuk penderita dengan bladder yang tergolong memuaskan

(residu < 80 ml). Untuk penderita dengan bladder yang tergolong tidak

memuaskan (> 150 ml) ada baiknya lebih sering memeriksakan diri, karena

volume residual urine yang besar mempunyai kecenderungan menyebabkan

reinfeksi (potensi wash-out rendah).

Pada dasarnya hal-hal yang perlu dilakukan pada follow up ialah :

1. Urinalisis

2. Ada tidaknya hambatan arus miksi. Dinilai dari catatan titik terjauh

pancaran urin.

3. Kultur urin

Biasanya spesimen diambil dari urin pancaran tengah midstream urine).

Perlu ditekankan bahwa ada tidaknya infeksi bladder yang membakat

jangan didasarkan atas gejala klinis:

25

Page 26: Isi Neurogenic Bladder

pada penderita paraplegi/tetraplegi biasanya secara subjektif terlambat

ketimbang orang normal. Pedoman berikut patut dipergunakan sebagai

referensi:

a. Bila jumlah koloni < 104 per ml, dianggap tak ada infeksi

b. Bila jumlah koloni > 105 per ml, infeksi sudah membakat sehingga

perlu pemberian terapi adekuat.

c. Bila jumlah koloni antara 104-105 per ml, meragukan sehingga perlu

kultur ulang.

4. Residual urine

Diharapkan volume residual urine berkurang, paling tidak menetap. Bila

ternyata bertambah, maka harus dilakukan evaluasi ulang, terutama untuk

menilai efisiensi kontraksi otot detrusor dan ada tidaknya resistensi

outflow yang bertambah

5. Tes fungsi ginjal

6. IVP/sistouretrografi ada kalanya perlu dilakukan atas indikasi. Umumnya

follow up membutuhkan rawat inap selama 1-2 hari; suatu spinal unit yang

baik selalu menyediakan beberapa tempat tidur kosong untuk maksud

tersebut.

26

Page 27: Isi Neurogenic Bladder

BAB III

PENUTUP

Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi bladder akibat kerusakan

sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih.

Keadaan ini bisa berupa bladder tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk

miksi (underactive bladder) maupun bladder terlalu aktif dan melakukan

pengosongan bladder berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder).

Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,

retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang

mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat

menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat

timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi

urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Retensi dapat juga

timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga

dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi

susunan saraf pusat. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia

detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.

Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya

mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal

atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.

27

Page 28: Isi Neurogenic Bladder

Daftar Pustaka

1. Faiz and Moffat. At a Glance ANATOMI. Jakarta: Erlangga, 2004.

2. Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.

3. Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.

4. Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic Bowel, and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 2002; 82 (6): 601-612.

5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC, 2007.

6. Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC, 2001.

7. Rackley R. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In : http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 20 Agustus 2013).

8. Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victor’s Principles of Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.

9. Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil Livingstone, 1993.

10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice 2nd

Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.

11. Luthfie S.H. Penatalaksanaan Rehabilitasi Neurogenic Bladder. CDK 2008; 65(6): 337-41.

28