103
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional terutama dengan semakin banyaknya proyek-proyek pembangunan fisik serta bervariasinya dunia usaha yang berkembang dewasa ini maka kebutuhan akan barang- barang modal makin meningkat sehingga memerlukan sumber-sumber pembiayaan yang mendukung kegiatan pembangunan dunia usaha. Untuk pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang tidak terlepas dari pembangunan industri dan perdagangan tersebut diperlukan beberapa faktor untuk menunjang keberhasilannya. Salah satu faktornya adalah pembiayaan, yang digunakan untuk penggandaan barang- barang modal bagi kelangsungan kegiatan usaha. 1

Isi Skipsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

LEASING DI INDONESI

Citation preview

Page 1: Isi Skipsi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional terutama dengan semakin

banyaknya proyek-proyek pembangunan fisik serta bervariasinya dunia usaha

yang berkembang dewasa ini maka kebutuhan akan barang-barang modal makin

meningkat sehingga memerlukan sumber-sumber pembiayaan yang mendukung

kegiatan pembangunan dunia usaha.

Untuk pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang tidak terlepas dari

pembangunan industri dan perdagangan tersebut diperlukan beberapa faktor untuk

menunjang keberhasilannya. Salah satu faktornya adalah pembiayaan, yang

digunakan untuk penggandaan barang-barang modal bagi kelangsungan kegiatan

usaha.

Perolehan pembiayaan tersebut bisa melalui lembaga perbangkan maupun

lembaga non bank, dan salah satu alternatif yang dapat dipakai oleh lembaga

perbangkan maupun non bank adalah menggunakan mekanisme leasing.

Sejak diakui keberadaanya hingga sekarang leasing di Indonesia telah

menunjukan perkembangan yang cukup pesat dan menggembirakan. Hal tersebut

dapat dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan, nilai kontrak leasing yang

dipakai dalam peraktek.

1

Page 2: Isi Skipsi

Selain itu leasing dapat pula dikatakan sebagai salah satu cara untuk

menghimpun dana yang terdapat dalam masyarakat serta menginvestasikannya

kembali kedalam sektor-sektor ekonami tertentu yang dianggap produktif.

Walaupun leasing merupakan ciptaan peraktek atau kebiasaan masyarakat

akan tetapi hingga kini belum ada perangkat hukum yang mengatur secara

memadai sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kegiatan

leasing tersebut terutama jika terjadi suatu sengketa.

Pembahasan leasing ini diharapkan dapat menjadi bagian dari kebijakan

pembangunan di bidang hukum yang melandasi kegiatan pembangunan di bidang

ekonomi sebagaimana tertulis dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

( TAP MPR) No. IV/ MPR/ 1999 Tentang Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ),

dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menitik beratkan arah kebijakan

pembangunan dibidang hukum dan ekonomi, diantarannya melalui

pengembangan, penataan dan penegakan hukum secara konsisten untuk lebih

menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran supermasi hukum serta

menghargai hak asasi manusia dan dengan melakukan pengembangan kebijakan

di bidang industri, perdagangan dan investasi dalam rangka meningkatkan daya

saing global.1 Terlebih lagi jika hal tersebut dihubungkan dengan Undang-

Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas

hukum 2, maka kegiatan pembangunan di dalam bidang ekonomi, khususnya

1 Indonesia, TAP MPR No.IV/ MPR/ 1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara.2 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh.

2

Page 3: Isi Skipsi

peraktek pembiayaan yang berbentuk leasing ini dengan sendirinya harus berdasar

atas hukum yang berlaku.

Beranjak dari penjelasan tersebut di atas serta melihat manfaat yang diperoleh

jenis usaha leasing inilah yang mendorong penulis untuk membahas

permasalaahan leasing sebagai salah satu alternatif pembiayaan dalam kegiatan

disektor ekonomi, ditinjau dari segi hukum yang melandasinnya berserta upaya-

upaya hukum yang dapat dilakukan bila timbul suatu sengketa di kemudian hari,

sehingga dapat tercipta suatu kepastian hukum dalam kegiatan leasing tersebut.

B. Pokok Permasalahan

Untuk menghindari melebarnya pembahasan permasalahan yang ada,

penulisan sekeripsi ini dibatasi oleh ruang lingkup yang hanya membahas

mengenai pengertian leasing sebagaimana yang dimaksud oleh surat Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha

( Leasing) yang dapat disimpulkan berupa jenis kegiatan usaha yang berjenis

Financial Leasing dan Operating Leasing 3 yang selanjutnya akan dirangkum ke

dalam suatu pokok-pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Ketentuan-ketentuan hukum apakah yang melandasi dan mengatur mengenai

pelaksanaan perjanjian atau kontrak leasing selama ini, sehingga pelaksanaan

leasing tersebut dapat diterima dan diterapkan di Indonesia ?

3 Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing), Kepmen Keuangan No. 1169/ KMK.01/ 1991 ps 1

3

Page 4: Isi Skipsi

2. Apakah ketentuan-ketentuan hukum yang ada tersebut sudah dapat

memberikan jaminan yang adanya kepastian hukum bagi para pihak yang

mengaitkan diri dan melaksanakan perjanjian atau kontrak leasing dimaksud ?

3. Bagaimanakah bentuk dan cara penyelesaian suatu sengketa yang timbul

kemudian hari dari adanya perjanjian atau kontrak leasing ?

C. Tujuan Penelitian

Melihat besarnya peran leasing sebagai alternatifpembiayaandan pesatnya

berkembang leasing di tengah-tengah masyarakat, maka penelitian ini di harapkan

bertujuan untuk dapat :

1. Mengetahui lebih jauh mengenai pengaturan pelaksanaan leasing dan

perkembangannya di Indonesia.

2. mengetahui proses terjadinya kontrak atau perjanjian leasing dalam praktek di

Indonesia serta dampaknya bagi para pihak yang melaksanakan kontrak

tersebut .

3. Mengetahui beberapa alternatif cara penyelesaian sengketa yang timbul

dalam perjanjian atau kontrak leasing untuk dapat memberikan suatu

gambaran yang jelas mengenai cara penyelesaian terbaik dari beberapa

alternatif yang ada tersebut .

4

Page 5: Isi Skipsi

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipilih dalam penulisan skripsi ini, menggunakan

metode deskriptif analitis. Dimana penyusunan skripsi ini, penulis mengupayakan

semaksimal mungkin untuk mendapatkan data-data dan informasi dari sumber-

sumber yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan melalui studi kepustakaan

( library research ) dan penelitian lapangan ( field research ).

Adapun penelitian kepustakaan, akan dipelajari dan diteliti bahan-bahan

kepustakaan yang terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat

seperti norma dasar, peraturan dasar atau peraturan perundang-undangan serta

putusan pengadilan.

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yang dipakai seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya

dari kalangan akademis dan praktisi hukum baik berupa buku, majalah, artikel

maupun makalah dari seminar-seminar.

5

Page 6: Isi Skipsi

Karena skripsi ini perinsipnya merupakan suatu peroses yang dimulai dari

mengidentifikasikan masalah mengenai leasing dan bagaimana pelaksanaannya

dewasa ini yang kemudian memperbandingkannya dengan beberapa bentuk

perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata seperti sewa menyewa, sewa beli dan

jual beli maka sudah selayaknya dalam penulisan ini juga penulis menggunakan

studi kasus ( methode case study ) dengan mengacu kepada suatu putusan hakim

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam penyelesaian sengketa yang

timbul dari adanya perjanjian leasing dalam prakteknya.

E. Sistimatika Penulisan

Selanjutnya sistimatika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang

terdiri dari :

Bab I : Pendahuluan

Pada bab I ini akan diuraikan mengenai hal-hal dan ketentuan

menyangkut penulisan secara keseluruhan yang meliputi Latar

belakang, Permasalahan, Tujuan penelitian, Metode penelitian serta

Sistimatika penulisan.

Bab II : Tinjauan Kepustakaan

Bab II akan memuat delapan materi pokok yaitu Pengertian leasing,

sejarah dan perkembangan leasing, dasar hukum, jenis-jenis leasing,

obyek dan subyek leasing, perbedaan leasing dengan perjanjian jual

beli secara angsuran, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian sewa

6

Page 7: Isi Skipsi

beli, sahnya perjanjian leasing, proses terjadinya perjanjian leasing,

hak dan kewajiban para pihak serta perjanjian baku.

7

Page 8: Isi Skipsi

Bab III : Masalah dan penyelesaian Perselisihan

Pada bab III ini akan menguraikan tentang pokok pembahasan

mengenai resiko dan wanprestasi yang timbul dari perjanjian leasing,

serta sarana penyelesaiaanya, seperti melalui negoisasi dan

perdamaian.

Bab IV : Penutup

Bab IV merupakan bab penutup yang menjelaskan kesimpulan dari

penulis setelah melakukan pembahasan terhadap topik

permasalahan. Dan kemudian penulisan sekeripsi ini akan diakhiri

dengan pemberian saran sebagai pemikiran dari penulis.

8

Page 9: Isi Skipsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PERJANJIAN LEASING

Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum sewa

menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivative dari sewa menyewa

karena memeng dasarnya leasing adalah sewa menyewa.4 Sedangkan secara

umum leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan

barang modal untuk di gunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik

secara langsung maupun tidak.

Sedangkan untuk definisi leasing di Indonesia dapat di sebutkan sebagai

berikut:

“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk di gunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarken bembayaran-pambayaran secara berkala di sertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau untuk memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah di sepakati bersama”.

Selanjutnya defenisi di maksud mengalami perubahan dengan lahirnya

peraturan perundang-undangan baru, yang menyatakan bahwa:

“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finan lease) maupun sewa guna usaha tanpa

4 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, Cet,1, (Bandung Cara Adtiya bakri; 1999).

9

Page 10: Isi Skipsi

tanpa hak opsi (operating lease) untuk di pergunakan oleh lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”5.

Dari defenisi tersebut di atas, dapat di tafsirkan dua hal yang berbeda yaitu,

pertama bahwa pada awalnya leasing di maksudkan hanya untuk kemudahan bagi

pembayaran perusahaan-perusahaan saja, namun perkembangan selanjuatnya

leasing juga dapat di berikan kepada indinvidu dengan peruntukan barang yang

belum tentuuntuk kegiatan usaha.

Dan penafsiran kedua adalah bahwa pada prinsifnya dua pengertian leasing di

maksud adalah sama, yaitu menyangkut unsur-unsur penertian yang terdiri dari :

A Suatu kegiatan pembiayaan

Leasing yang di maksudkan sebagai usaha memberikan kemudahan

pembiayaan, yang tidak hanya hanya terbatas kepada perusahaan akan tetapi

juga dapat di berikan kepada individu dengan peruntukan barang yang belum

tentu untuk kegiatan usaha.

B Penyediaan barang modal

Barang modal ini sangat bervareasi, misalnya berupa mesin-mesin,

pesawat terbang, peralatan kantor seperti computer, mesin foto copy,

kendaraan bermotor dan sebagainya.

C Jangka waktu tertentu

5 Departemen Keuangan, Surat Keputusan Bersama Mentri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI, No. Kep/ 122/ MK/ IV/ 21/ 1974 ; No.32/ M/ SK/ 2/ 1974 dan No.30/ M/ SK/2/ 1974 Tentang Perijinaan Usaha Lising, Pasal 1

10

Page 11: Isi Skipsi

Biasanya dalam kontrak leasing di tentukan untuk berapa tahun leasing

tersebut di lakukan. Adapun jangka waktu leasing di tetapkan dalam 3

kategori yaitu:

1 Jangka singkat, yaitu minimal dua tahun

2 jangka menengah, yaitu minimal 3 (tiga tahun)

3 Jangka panjang, yaitu minimal 7 (tujuh tahun)

D Pembayaran kembali secara berkala

Besar dan lamanya angsuran sesuai dengan kesepakatan yang telah di

tuangkan dalam kontrak leasing.

E Hak opsi untuk membeli barang modal

Di akhir masa leasing, kepada lease di berikan hak opsi yaitu apakah hak

opsi akn membeli barang modal yang bersangkutan dengan harga terlebih

dahulu di tetapkan dalam kontrak leasing atau memperpanjang kontrak

leasing. Namun demikian tidak semua jenis leasing memberikan hak opsi.

F Nilai sisa (resido) yang di sepakati bersama.

Besarnya jumlah uang yang harus di bayar kembali kepada leasse di

akhiri masa leasing atau pada saat leasse mempunyai hak opsi. Dan nilai sisa

ini biasanya sudah di tetapkan bersama terlebih dahulu dalam kontrak leasing.

Meskipun leasing telah nyata ada dan hal itu karena akibat kemajuan dan

perkembangan tehnik dari cara pembiayaan, akan tetapi Indonesia dan beberapa

11

Page 12: Isi Skipsi

negara lainnya belum mempunyai peraturan yang mengaturnya sebagai lembaga

hukum.

Adapun yang dapat dijadikan dasar hukum dari perlaksanaan leasing di

Indonesia, yang terpenting diklasifikasikan sebagai berikut :

1.Umum.

a. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan

pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III mengenai

ketentuan umum tentang perikatan yang menganut sistim terbuka.

Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur oleh Undang-undang6.

b. Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat-syarat untuk syahnya suatu

perjanjian. Syarat pertama yang menentukan tentang kata sepakat antara

kedua belah pihak syahnya perjanjian. Persetujuan kedua belah pihak yang

merupakan kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Pasal 1321

KHUPerdata menentukan tiga hal yang menyebabkan sepakat yang

diberikan tidak sah yaitu karena kekhilafan, paksaan dan penipuan.

Dengan adanya azas konsensual ini maka suatu perjanjian bukan saja sudah

dilahirkan tetapi juga sudah sah jika terlah tercapai sepakat mengenai hal-

hal pokok perjanjian tersendiri.

6 Fuady, op.cit. hal 6

12

Page 13: Isi Skipsi

c. Pasal 1548 sampai 1580 KHUPerdata yang berisikan ketentuan-ketentuan

tentang sewa menyewa sepanjang tidak diadakan penyimpangan oleh para

pihak. 7

2. Khusus8.

1. Surat Keputusan Menteri Keuangan, Nomor Kep.38/MK/IV/1/1972, tentang

Lembaga Keuangan, yang telah diubah dengan keputusan Menteri

Keuangan, Nomor 562/KMK/011/1982.

2. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan

Menteri Perindustrian

No. 122/MK/IV/1974;

No. 32/M/SK/2/1974;

No. 30/Kpb/I/1974;

Tentang perijinan usaha leasing.

3. Keputusan Presiden RI No. 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan.

4. Keputusan Menteri Keuangan RI, Nomor 1251/KMK. 013/1988, tentang

ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan, sebagaimana

telah diubah dengan keputusan menteri keuangan Nomor.

1256/KMK.00/1989.

7 Tunggal, op.cit. hal 12

8 Fuady, op.cit. hal 10

13

Page 14: Isi Skipsi

5. Keputusan menteri keuangan RI, Nomor. 634/KMK. 013/1990, tentang

pengadaan barang modal berfasilitas melalui Perusahaan sewa Guna Usaha

(Perusahaan Leasing).

6. Keputusan Menteri Keuangan RI, Nomor. 1169/KMK. 01/1991, tentang

kegiatan sewa guna usaha.

Leasing secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) jenis, yaitu 9:

1.Financial Lease

2.Operating Lease

Klasifikasi leasing ke dalam financial lease dan operating lease berdasarkan

pada substansi hak dari leassee, dengan pengertian apabila leasing atau sewa guna

usaha dengan hak opsi maka disebut Financial Lease, sedangkan leasing atau

sewa guna usaha tanpa hak opsi maka disebut Opeating Lease.

Adapun penjelasan lebih lanjut kedua macam leasing tersebut adalah sebagai

berikut 10:

1. Financial Lease

Dalam Financial Lease, bukan saja pemakaian atau pemanfaatan suatu barang

yang diberikan atau dipindahkan dari lessor kepada leassee, akan tetapi juga

sebagian dari resiko pemilik digeserkan kepada lease.

9 Departemen Keuangan, No. 1169/KMK.01/1991, op.cit., Ps. 1 huruf a

10 Fuady, op.cit. hal 16.

14

Page 15: Isi Skipsi

Financial Lease ini sering disebut juga dengan capital lease atau full-payout

lease. Financial Lease merupakan suatu corak lease yang lebih seri diterapkan,

dengan cirri-ciri sebagai berikut :

a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif panjang.

b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus

keuntungan yang diharapkan oleh lessor.

c. Diberikan hak opsi untuk leasse untuk membeli barang di akhir masa

leasing.

d. Financal lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan .

e. Harga sewa yang dibayar perbulan oleh leasing dapat dengan jumlahnya

yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga

pinjaman.

f. Biasanya lease yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak

dan asuransi.

g. Kontrak lease tidak dapat dibatalkan sepihak.

Dalam praktek kegiatan financial lease dapat dibedakan dari bentuk variatif

lainnya11, yaitu :

a.Sales and Lease Back

Sale and lease back merupakan suatu jenis pembiayaan dengan nama barang

sebenarnya berasal dari lease, kemudian dibeli oleh lessor. Selanjutnya,

barang tersebut oleh leassee disewanya kembali dari lessor untuk suatu

11 Ibid, hal 18.

15

Page 16: Isi Skipsi

periode tertentu. Biasanya bentuk sale and lease back ini mengambil bentuk

financial lease, oleh karena lessor dari semula memang tidak berkeinginan

memiliki barang tersebut. Sehingga, bentuk sale and lease back ini mirip

dengan hutang uang untuk suatu keperluan tertentu dengan bayaran cicilan di

mana barang tersebut dipergunakan sebagai jaminan hutang.

b. Direct Lease

Direct Lease merupakan leasing dimana barangnya tidak dibeli terlebih

dahulu oleh lessor dari lessee seperti pada sale and lease back, tetapi lessor

membeli suatu barang dari pihak ketiga, yakni pihak supplier,untuk kemudian

barang tersebut dileasingkan kepada pihak lessee. Jadi dalam hal ini, pihak

lessee sebenarnya membutuhkan barang modal untuk usahanya. Atau untuk

keperluannya, tetapi memerlukan bantuan biaya dari pihak Lessor untuk

pengadaan barang tersebut.

c.Leverage Lease

Leverage Lease merupakan suatu jenis financial leasing dengan mana pihak

yang memberikan pembiyaan disamping lessor juga pihak ketiga. Biasanya

Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai

tinggi, dimana pihak lessor hanya membiayai antara 20% sampai 40% dari

pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayaai oleh pihak ketiga,

yang merupakan hasil pinjaman lessor dari pihak ketiga tersebut dengan

memakai kontrak leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya.

Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant.

16

Page 17: Isi Skipsi

Biasanya dalam leveraged lease ini terdapat juga seorang yang disebut

manager. Yakni pihak yang melaksanakan tender kepada lessee, dan

mengatur hubungan dan negosiasi antara. Lessor, lessee dan debt participant.

d. Cross Border Lease

Cross Border merupakan leasing dengan mana pihak lessor dan pihak lessee

berada dalam dua negara yang berbeda.

e. Net Lease

Ini merupakan bentuk financial leasing dimana lessee yang menanggung

resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar

pajak dan asuransinya.

f. Net-net Lease

Ini juga merupakan financial leasing dimana lessee tidak hanya menanggung

resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak

saja, bahkan lessee harus mengembalikan barang kepada lessor dalam kondisi,

dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian leasing. Sering juga dipakai

istilah Non-Maintenance Lease baik untuk Net Lease maupun untuk Net-net

Lease.

g. Full Service Lease

Full Service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease. Yang

dimaksudkan adalah Leasing dengan nama pihak Lessor bertanggung jawab

atas pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak.

17

Page 18: Isi Skipsi

h. Big Ticket Lease

Ini merupakan leasing untuk barang-barang yang mahal, misalnya pesawat

terbang dan dengan jangka waktu leasing yang relatif lama. Misalnya sampai

10 (sepuluh) tahun.

i. Captive Leasing

Yang dimaksudkan dengan captive leasing adalah leasing yang ditawarkan

oleh lessor kepada langganan tertentu yang telah terlebih dahulu ada

hubungan dengan lessor. Dalam hal ini,biasanya yang menjadi barang obyek

leasing adalah barang yang merupakan merk dari lessor sendiri.

j. Third Party Leasing

Third Party Leasing merupakan kebalikan dari captive leasing. Dalam hal

Third Party Leasing ini pihak lessor bebas menawarkan leasing kepada siapa

saja. Jadi lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan

lessee.

k. Wrap Lease

Wrap Lease merupakan jenis leasing yang biasanya pihak lessor tidak

mengembil resiko, sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya.

Tetapi tentunya ini akan memberatkan lessee karena dia harus membayar

cicilan yang besar. Karena ini pihak lessor biasanya meleassee kembali

barang tersebut kepada investor yang mau menanggung resiko, sehingga

jangka waktu leasing bagi lessee akan menjadi lebih panjang, sehingga

cicilannya menjadi relatif kecil. Wrap Lease ini belum lazim di Indonesia,

18

Page 19: Isi Skipsi

dan sringkali bentuk leasing seperti ini dipraktekkan terhadap leaseing

komputer.

l. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on Investment Lease

Pembagian kepada tiga jenis leasing ini adalah jika, dipergunakan criteria

“cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh lessee kepada lessor.

Yang dimaksud dengan Straight Payable Lease adalah leasing yang

cicilannya dibayar oleh lessee kepada lessor tiap bulannya dan dengan

jumlah cicilan yang selalu sama.

Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease adalah leasing yang

metode pembayaran cicilannya oleh lessee kepada lessor dilakukan tiap

periode tertentu. Misalnya dibayar tiap bulan sekali. Sedangkan yang

dimaksud dengan Return on Investment Lease adalah suatu jenis leasing

dimana pembayaran cicilan oleh lessee kepada lessor hanya terhadap

angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap

akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan lessee.

2.Operating Lease

Dalam operating lease, pemilik barang hanya menyerahkan kepada lessee

hak sementara untuk menikmati atau mempergunakan barang yang menjadi

obyek lease, dan resiko terhadap obyek tetap terjadi beban lessor sebagai

pemilik barang.

19

Page 20: Isi Skipsi

Operating lease disebut juga service lease . Operating lease ini biasanya

merupakan suatu corak leasing dengan karakteristik sebagai berikut :

a.Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia

ekonomis dari barang tersebut.

b.Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah

keuntungan yang diharapkan lessor.

c.Tidak diberikan “hak opsi” bagi lessee untuk membeli barang diakhir masa

leaseing.

d.Biasanya operating lease dikhususkan untuk barang-barang yang mudah

terjual setelah pemakaian (yang laku dipasar barang bekas).

e.Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena

umumnya mereka mempunyai keahlian dalam seluk beluk tentang barang

tersebut. Sebab, dalam operaring lease, jasa pemeliharaan merupakan

tanggung jawab lessor.

f.Biasanya harga sewa setiap bulannya dibayar dengan jumlah yang tetap.

g.Biasanya lessorlah yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak

dan asuransi.

h.Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh leassee, dengan

mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor.

20

Page 21: Isi Skipsi

B. SUBYEK DAN OBYEK PERJANJIAN LEASING

Dalam suatu perjanjian leasing pada prinsipnya ada 2 pihak atau subyek yang

terkait,12 yaitu :

1. Subyek

1.1. Lessor.

Pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada

pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan

perusahaan pembiayaan yang bersifat multi finance atau hanya yang

khusus bergerak dibidang leasing

Lessor sebagai lembaga pembiayaan, yang dapat dilakukan oleh:

a. Bank

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh bank yang akan melaksanakan

kegiatan leasing ditratur berdasarkan undang-udnang No, 7 tahun 1992

tentang perbankan. Tetapi pengaturan tersebut tidak akan mengurangi

kewajiban dari Bank yang bersangkutan untuk meminta ijin dari

Menteri Keuangan.

b. Lembaga Keuangan Bukan Bank.

Selain harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam surat

keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, untuk usaha

12 Departemen Keuangan, No. 1251/KMK.013/1988 op.cit.,.

21

Page 22: Isi Skipsi

ini juga harus mempunyai tata usaha atau pembukuan tersendiri

(khusus).

c. Perusahaan Pembiayaan

Selain harus berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi, juga harus

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam surat keputusan Menteri

Keuangan No. 1251/KMK.013/1988.

1.2. Lessee .

Perusahaan atau Perorangan yang menggunakanbarang modal dengan

pembiayaan dari lessor13.

Selanjutnya mengenai subyekleasing ini diatur oleh Surat Keputusan

Menteri Keuagnan No.649/KMK/IV/5/1974 Tentang Perijinan Usaha

Leasing dan pengumyuan Direktur Jenderal Moneter No.

Peng-307/DJM/III.1/7/197414.

2. Obyek

Yang dimaksud dengan obyek perjanjian adalahhal yang diwajibkan

kepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana pihak yang berhak

(kreditur) mempunyai hak.

Dalam perjanjianleasing tidak semua barang dapat dijadikan obyek

perjanjian leasing. Oleh karenanya yangdapat menjadi obyek dari perjanjian

13 Departemen Keuangan, No. 30/Kpb/I/1974. op. cit., Pasal 1 ayat 114 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Batu, 1979), hal.21.

22

Page 23: Isi Skipsi

leasing adalah barang Modal, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang

berharga atau bernilai dalam lalu lintas ekonomi15.

C. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

Leasing apabila ditinjau dari sudut ilmu hukum adalah bagian dari hukum

perdata, karena terikat oleh ketentuan buku III KUHPerdata yang mengatur

perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang berdasarkan suatu

perikatan, yaitu suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara

dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu (suatu

barang) dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan

memenuhi tuntutan itu16.

Dari perikatan yang lahir karena adanya kata sepakat tersebut, selanjutnya

direalisasikan kedalam bentuk suatu perjanjian tertulis, yang pada akhirnya akan

menimbulkan hak dan kewajiban y ang berimbang bagi para pihak yang membuat

perjanjian dimaksud, artinya keseimbangan untuk mendapatkan kesempatan yang

sama dengan tujuan memperoleh suatu hasil yang adil dan patut.

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 1338 Kitab Undang-

undang hukum perdata yang menyebutkan 17:

15 Andasasmita, op.cit., hal 38.

16 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet XXI, (Jakarta : Intermasa, 1987) hal 122

17 Retno Wulan, op. cit., hal 12

23

Page 24: Isi Skipsi

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali

selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikat baik”

Sehingga karenanya para pihak hendaknya menjalankan hak dan kewajiban

yang berhubungan dengan perjanjian yang dibuatnya dengan sebaik-baiknya.

Dalam perjanjian leasing, secara garis besar dapat digambarkan berupa, lessor

wajib menyediakan barang modal bagi lessee untuk dapat dinikmati kegunaan

bagi keperluan lessee, dan untuk itu lessee mempunyi kewajiban untuk

membayar imbalan jada atau biayasewa kepada lessor atas penyediaan barang

modal tersebut. Selama jangka waktu perjanjian leasing berjalan, hak milik atas

barang yang dilease secara hukum tetap berada pda tangan lessor. Dan pada

akhir periode lesse memiliki hak opsi untuk membeli barang modal yang,

disewanya atau memperpanjang kembali jangka waktu leasing, disamping

lessee juga diwajibkan untuk menjada serta memelihara barang modal yang

disewanya tersebut secara baik dan layak.

Adapun ketentuan –ketentuan yang lainnya yang lebih khusus mengatur

mengenai hak dan kewajiban dari lessor dan lessee adalah ketentuan pasal 1548

sampai dengan padal 1580 KUHPerdata18

18 Andasasmita, op, cit., hal 17.

24

Page 25: Isi Skipsi

D. SAHNYA PERJANJIAN LEASING

Hukum perjanjian menganut sistim terbuka, artinya kepada masyarakat

diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat perjanjian dengan

syarat-syarat yang mereka tentukan sepakati bersama, termasuk untuk membuat

perjanjian leasing19.

Sistim terbuka dari KUHPerdata terbaca dalam pasal 1338 ayat 1, yang

berbunyi20“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah beralaku sebgai Undang-

undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dengan demikian undang-undang memperkenankan setiap orang untuk

membuat perjanjian seperti yang mereka kehendaki, dan perjanjian yang mereka

buat itu akan mengikat mereka seperti undang-undang mengikat. Oleh karenanya

setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja, sesuai dengan yang diangan-

angankan, dikehendaki serta disepakati, asal saja perjanjian yang mereka buat itu

tidak bertentangan denganundang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.

Jadi para pihak dapat membuat perjanjian dengan ketentuan sendiri meskipun

menyimpang dwari ketentuan yang tercantum dalam KHUPerdata. Akan tetapi

apabila mereka tidak mengatur sendiri syarat perjanjian tentang suatu hal yang

dipandang oleh undang-undang cukup penting, maka pasal-pasal dalam

KUHPerdata yang berhubungan dengan hal tersebut secara otomatis akan

19 Retno Wulan, “Klausula-Klausula Penting Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Menuju Standarisasi Dokumentasi Dan Penyelesaian Sengketa Yang Terjado Dalam Praktek” (makalah disampaikan pada seminarsehari tentang leasing dan perkembangannya, Jakarta, 1966)

20 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgeljk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 25, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), ps. 1338

25

Page 26: Isi Skipsi

berlaku. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa pasal-pasal yang mengatur

perjanjian dalam KHUPerdata merupakan hukum pelengkap saja, karena memang

pasal-pasal dalam KUHPerdata ini hanya berfungsi sekedar melengkapi

perjanjian yang dibuat dengan tidak mencantumkan hak dan kewajiban para pihak

secara lengkap21.

Meskipun para pihak dalam pembuatan perjanjian diberikan kebebasan dalam

membuat perjanjian leasing namun tidak berarti mereka dapat bebas dapat bebas

berbuat menurut kemauan yang mreka inginkan Karena ada beberapa hal yang

harus tetap ditaati sebagaimana yang disimpulkan dari ketentuan pasal 1320

KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan

4 (empat) syarat, yaitu22 :

1. Sepakat mereka yang membuat perjanjian.

Yang dimaksud dengan kata sepakat adalah, bahwa kedua subyek yang

membuat perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau seia-sekata, mengenai hal-

hal pokok dari perjanjian yang mereka buat itu. Kata sepakat ini harus

diberikan secara bebas atau sukarela. Menurut pasal 1321 KUHPerdata, kata

sepakat yang telah diberikan ini, akan menjadi sah, apabila kata sepakat

diberikan karena :

a. Salah pengertian atau kekhilafan;

b. Paksaan;

21 Retno Wulan, op. cit., hal 6

22 Ibid, Hal. 7

26

Page 27: Isi Skipsi

c. Penipuan;

2. Kecakapan untuk membuat Perjanjian

suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai

kewenangn untuk membuat perjanjian dengan lain perkataan, pihak yang

bersangkutan harus cakap untuk berbuat menurut hukum dan harus

menginsyafi benar akan tanggung jawab yang akan dipikulnya sebagai akibat

dari perjanjian yang dibuatnya itu. Undang-undang tidak menyatakan dengan

jelas siapa-siapa yang dianggap cakap untukmelakukan perbuatan hukum.

Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan, bahwa orang-orang yang dianggap tidak

cakap untuk membuat perjanjian adalah :

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian tertentu (c kini sudah tidak berlaku).

Apabila pasal tersebut ditafsirkan secara a contrario, maka orang-orang yang

dapat membuat perjanjian adalah orang-orang yang sudah dewasa, orang-

orang yang tidak berada dibawah pengampuan. Wanita yang tidak dilarang

oleh undang-undang.

Menurut pasal 330 KUHPerdata, orang dewasa adalah orang yang telah

berumum 21 tahun, atau yang berumur kurang dari 21 tahun, akan tetapi

27

Page 28: Isi Skipsi

sebelumnya telah menikah. Dan oleh pasal 50 undang-undang No. 1 tahun

1974, tentang perkawinan, batas usia dewasa ditentukan 18 tahun.

Setelah adanya undang-undang No. 1/4974 pasal 31 ayat 1 dengan jelas

menyatakan, bahwa hak hak kedudukan istri adalah seimbang dengan hak

dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan di

masyarakat.

Dalam ayat 2 dijelaskan lebih lanjut, bahwa masing-masing pihak berhak

untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Obyek tertentu

Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan, bahwa paling sedikit yang menjadi

obyek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, baik mengenai benda

berwujud atau benda yang tidak berwujud. Sedangkan menurut ketentuan

pasal 1334 KUHPerdata obyek perjanjian dapat pula berupa barang-

barang yang baru diharapkan akan ada dikemudian hari, jadi barang itu

belum ada pada waktu perjanjian dibuat. Contoh dari perjanjian seperti ini

adalah perjanjian jual beli hasil panen tahun depan. Sehingga karenanya

perjanjian yang tidak mempunyai obyek tertentu, adalah batal demi

hukum.

4. Suatu sebab yang halal.

28

Page 29: Isi Skipsi

Syarat yang terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu

sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab, adalah isi perjanjian itu

sendiri, Pasal 1335 KUHPerdata menentukan, bahwa perjanjian akan

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan jika dibuat dengan tanpa sebab atau

dibuat berdasarkan sebab palsu atau sebab yang terlarang. Perjanjian

dikatakan dibuat tanpa sebab, jika tujuan dimaksud oleh para pihak pada

waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya apabila dibuat suatu

perjanjian novasi atas suatu perjanjian yang tidak ada sebelumnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan sebab yang palsu adalah suatu sebab

yang dibuat oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari

perjanjin itu, misalnya apabila dibuat perjanjian jual beli morphin dengan

sebab palsu, yaitu untuk pengobatan, padahal sebab yang sebenarnya

adalah untuk dipakai secara bebas.

Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang menurut pasal 1337

KUHPerdata adalah, sebab yang bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian yang bertentangan dengan

undang-undang misalnya adalah perjanjian yang dibuat antara ayah dan

anak untuk tidak saling mewarisi. Perjanjian yang bertentangan dengan

ketertiban umum misalnya, apabila dibuaaat perjanjian pemberian upah

antara A dan C, sebesar Rp. 2.000.000,- apabila C membunuh B.

perjanjian yang bertentangan dnegan kesulitan misalnya, perjanjian antara

suami istri, bahwa suami bersedia menceraikan istrinya, apabila istri

29

Page 30: Isi Skipsi

berjanji, bahwa setelah ia kawin lagi, akan memberikan sebuah mobil

kepada bekas suaminya.

Perjanjian yang dibuat dengan Causa yang tidak halal, apabila

dimohonkan pelaksanaanya kepada Pengadilan Negeri akan tidak

berhasil, oleh karena perjanjian semacam itu sejak semula adalah batal

demi hukum.

Syarat pertama, dan syarat kedua disebut syarat subyektif, oleh karena syarat

ini langsung menyangkut orang atau subyek yang membuat perjanjian. Apabila

salah satu dari syarat subyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut atas

permohonan pihak yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Perjanjian

tersebut selama belum dibatalkan tetap berlaku. Pembatalan berlaku sejak putusan

hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap (ex nunc), jadi tidak sejak

semula.

Syarat ketiga dan syarat keempat disebut syarat obyektif. Disebut demikian

oleh karena syarat tersebut menyangkut obyek perjanjian. Apabila salah satu dari

syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut diatas permohonan pihak yang

bersangkutan atau secara ex officio dapat dinyatakan batal demi hukum,

perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Pembatalahj adalah sejak semula

(ex tunc). Kedua belah pihak dikembalikan dalam keadaan semula sebelum

perjanjian dibuat.

Selain dari syarat-syarat tersebut diatas mengenai syahnya suatu perjanjian

leasing, ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara khusus mengenai syarat-

30

Page 31: Isi Skipsi

syarat yang harus ada dalam suatu perjanjian leasing, adalah dicantumkannya hal-

halnya sebagaimana yang diatur dalam surat keputusan menteri keuangan No.

1169/KMK.01/1991, yang terdiri dari :

a. Jenis transaksi sewa guna usaha;

b. Nama dan alamat masing-masin pihak;

c. Nama, jenis, tipe dan lokasi penggunaan barang modal;

d. Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha, angsuran

pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa, simpanan jaminan,

dan ketentuan asuransi atas barang modal yang disewa guna usahakan;

e. Masa sewa guna usaha;

f. Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepatm

dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal

yang disewa guna usaha dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi

karena sebab apapun;

g. Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha dengan

hak opsi;

h. Tanggungjawab para pihak atas barang modal yang disewa guna usaha.

Serta kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan perjanjian

leasing dan dapat diterjemahkan dalam bahasa asing jika dianggap perlu.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, tentang para pihak

dalam pelaksanaan leasing yang terdiri dari pihak yang memberikan pembiayaan

31

Page 32: Isi Skipsi

(lessor), pihak yang menerima pembiayaan (lessee) dan pihak penyedia barang

modal (supplier).

Proses transaktsi leasing dapat dimulai pada saat seorang atau suatu

perusahaan membutuhkan barang modal untuk menunjang jalannya produksi

perusahaan.

Secara garis besar proses transaksi leasing sampai dengan dilakukannya

pembuatan perjanjian leasing dapat dilakukan melalui 3 tahap, yaitu :

1. Tahap Permohonan

Pertama-tama dalam proses transaksi leasing ini pihak calon lessee yaitu

orang atau perusahaan yang membutuhkan barang-barang modal mengajukan

proposal permohonan untuk menggunakan fasilitas leasing terhadap barang

mdoal yang diinginkannya kepada perusahaan leasing. Mengisi formulir

permohonan lessee yang telah disediakan oleh perusahaan leasing yang

berisikan keterangan penting yang merupakan bahan atau data bagi

perusahaan leasing untuk mengadakan analisis akseptabelitas dari calon

leasee, seperti keterangan umum dan latar belakang orang atau perusahaan

yang mengajukan permohonan lease, keterangan barang yang akan menjadi

obyektif, syarat-syarat dari lessee, keterangan tenttang penjamin, keterangan-

keterangan mengenai bank-bank dimana pemohon leasing menjadi nasabah,

dll.

Setelah pemohon leasing tersebut mengisi formulir permohonan leasing,

pihak perusahaan leasing akan mengadakan analisis dan evaluasi terhadap

32

Page 33: Isi Skipsi

pemohon leasing tersebut, diantaranya dengan mengdakan pemeriksaan

terhadap kebenaran barang yang dibutuhkan tersebut merupakan barang

modal yang akan menunjang jalannya usaha dari pemohon, kemampuan usaha

dari pemohon yang berkaitan dengan kemampuan pemohon untuk membayar

angsuran dari perjanjian lesing nantinya. Pemeriksaan terhadap obyek leasing

yang menyangkut harga barang tersebut, kemampuan (umur ekonomis) dari

barang tersebut.

Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh perusahaan leasing sebagaimana telah

dijelaskan diatas, maka hasil pemeriksaan tersebut dapat berguna untuk

menentukan keputusan yang akan diambil , yaitu dapat berupa :

- Permohonan leasing ditolak;

- Menunda permohonan leasing atau

- Permohonan leasing dikabulkan.

Apabila permohonan tersebut dikabulkanmaka dapat dilanjutkan ketahap

berikutnya yaitu tahap perundingan.

2. Tahap Perundingan

Tahap perundingan atau tahap negoisasi merupakan tahap kedua dalam

pelaksanaan realisasi transaksi leasing. Dalam tahap ini pemohon dan

perusahaan leasing mengadakan perundingan untuk membicarakan hal-hal

yang berhubungan dengan permohonan leasing yang diajukan. Perundingan

tersebut adalah mengenai hal-hal yang pokok yaitu mengenai barang, harga

33

Page 34: Isi Skipsi

dan syarat-syarat perjanjian. Mengenai barang misalnya dimana letak atau

lokasi barang dan apakah factor lain dalam lokasi tersebut, mengenai harga,

apakah harga yang dibayarkan sudah termasuk asuransi dan lain sebagainya.

System terbuka yang merupakan asas yang utama dalamperjanjian seharusnya

dapat terlihat dalam tahap.

Jadi bila si pemohon tidak menyetujui syarat-syarat yang diajukan oleh pihak

perusahaan leasing maka pemohon dapat saja meninggalkan perusahaan

leasing tersebut dan dapat mencari perusahaan leasing lain yang kemungkinan

dapat memberikan persyaratan yang lebih ringan atau lunak.

Tetapi apabila kedua belah pihak sepakat terhadap syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh mereka maka proses selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian

leasing.

3. Tahap Pembuatan Perjanjian

Setelah terjadi kesepakatan dalam tahap perundingan mengenai perjanjian

leasing maka proses transaksi ini akan diakhiri dengan tahap pembuatan

perjanjian leasing. Adapun pembuatan akta perjanjian leasing ini dapat

dilakukan dalam dua bentuk, yaitu :

a. Akta dibawah tangan23

23 Retno Wulan, op. cit., hal 2.

34

Page 35: Isi Skipsi

pembuatan akta dibawah tangan kini merupakan kesepakatan yang mudah

dan dapat dilakukan dengan singkat oleh karena dapat dilakukan tanpa

harus adanya notaries. Dengan kata lain, segala persyaratan yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak dalam tahap perundingan akan

dituangkan dalam akta perjanjian leasing, yang dibuat minimal sebanyak 2

buah dan keduanya harus asli, oleh pihak lessor, yang selanjutnya akan

ditandatangani oleh para pihak.

Dengan adanya tanda tangan kedua belah pihak menandakan adanya

kesepakatan kedua belah pihak terhadap perjanjian leasing yang mereka

buat.

b. Akta Notaris 24

Apabila diinginkan adanya akta otentik dalam pembuatan perjanjian

leasing maka hal tersebut dapat dilakukan dengan meminta bantuan

notaries yang ditunjuk oleh kedua belah pihak. Segala hasil perundingan

yang telah disepakati oleh para pihak diserahkan kepada pihak notaries.

Notaries kemudian merumuskan kembali apa saja yang telah menjadi

kesepakatan para pihak dan kemudian menuangkannya dalam suatu akta

perjanjian, minimal sebanyak tiga rangkap dimana dua rangka akta

haruslah asli.

24 Ibid.

35

Page 36: Isi Skipsi

Setelah perjanjian yang dibuat oleh notaries tersebut selesi maka

kemudian dibacakan dihadapan kedua belah pihak. Setelah kedua belah

pihak merasa tidak ada keberatan terhadap akta perjanjian tersebut maka

akta tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak dihadapan notaries

dan para saksi. Pada prakteknya bentuk dari akta perjanjian leasing yang

lebih dominan dipergunakan oleh para pihak, adalah dalam bentuk akta

dibawah tangan, hal tersebut dikarenakan bentuk akta perjanjian semacam

ini dianggap lebih singkat, tidak bertele-tele dan biaya murah.

E. MASALAH HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai syarat sahnya suatu

perjanjian dan proses pembuatan suatu perjanjian leasing yang selayaknya untuk

dilakukan atau dipenuhi, sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.

Namun ada kalanya suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat

sahnya suatu perjanjian tidak dapat terlaksana sebagaimana yang telah

diperjanjikan. Dalam hukum perjanjian, ada dua hal yang menyebabkan tidak

terlaksananya suatu perjanjian yaitu Overmatch dan Wanprestasi atau ingkar

janji.25

1. Resiko

25 Tunggal, op.cit., hal. 44

36

Page 37: Isi Skipsi

Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu

kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.26 Dan siapa yang harus memikul

kerugian-kerugian itu?

Dengan demikian persoalan resiko itu berpokok pangkal pada kejadian yang

dalam hukum Perjanjian dinamakan Keadaan Memaksa. Dimana persoalan

resiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi

adalah buntut dari wanprestasi.

Dalam buku III KUH Perdata terdapat beberapa pasal yang mengatur

mengenai resiko, namun dari beberapa pasal yang ada, hanya ketentuan pasal

1553 yang mengatur masalah resiko dalam perjanjian sewa menyewa yang

dapat dianalogikan kedalam perjanjian leasing.

Dalam Perjanjian leasing resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian

jikalau ada kejadian.

Pada waktu perjanjian leasing berjalan terdapat kemungkinan bahwa barang

modal yang menjadi obyek leasing tersebut mengalami kerusakan,

kemusnahan, kehilangan akibat dari suatu peristiwa yang bukan karena

kesalahan pihak lesse maupun pihak lessor. Apabila terjadi peristiwa tersebut

maka peristiwa tersebut dapat digolongkan keadaan memaksa yang tidak

dapat dihindari. Keadaan memaksa (Overmatch) adalah peristiwa yang terjadi

tidak disengaja dan terjadinya itu tidak dapat diduga ketika membuat

perjanjian leasing.

26 Subekti, op.cit., hal. 59.

37

Page 38: Isi Skipsi

Sedangkan keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolute) yaitu dalam

halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya

oleh karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tidak mutlak

(Relatif), yaitu berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat juga

dilaksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari hak si

berhutang (misalnya adanya larangan dari pemerintah mengenai barang hasil

produksi dari si Lessee).

Yang menjadi masalah sekarang bila terjadi keadaan memaksa dalam

perjanjian leasing, siapakah yang akan menanggung kerugian yang

ditimbulkan. Dalam perjanjian leasing dewasa ini umumnya keadaan

memaksa dimasukkan ke dalam resiko yang harus ditanggung. Resiko berarti

kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada kejadian di luar kesalahan

salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.

Hal tersebut menjadi permasalahan oleh karena kedua pihak baik pihak lesse

maupun pihak lessor tidaklah berasalah.

Seperti telah disebutkan pada bab-bab terdahulu bahwa mengenai kegiatan

sewa guna usaha atau leasing belum diatur dengan Undang-Undang tetapi

hanya dengan surat Keputusan Menteri Keuangan. Adapun dalam surat

keputusan tersebut hanya diatur mengenai hal-hal yang bersifat administratif

yang berkenaan dengan hak dan kewenangan pemerintah dalam membina dan

mengarahkan serta mengawasi kegiatan usaha leasing. Karena tidak diatur

38

Page 39: Isi Skipsi

dengan Undang-Undang maka mengenai pengaturan masalah resiko dalam

perjanjian leasing belum jelas.

Jika kita berpedoman pada KUH Perdata, maka mengenai resiko diatur dalam

ketentuan pasal 1237, 1460, 1545 dan 1553.

Dari keempat pasal tersebut di atas yang dapat dianalogikan dengan

perjanjian leasing adalah pasal 1553, yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan persetujuannya sewa, tetapi tidak dalam satu kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi”.

Dari keempat pasal tersebut diatas yang dapat dianalogikan dengan perjanjian

leasing adalah pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena

mengenai perkataan gugur itu, dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak

tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lainnya. Dengan perkataan lain

kerugian akibat kemusnahan itu dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.27

Beban resiko dalam pasal 1553 tersebut diletakkan pada pemilik benda

meskipun penyewa tidak dapat meminta keuntungan atas hal tersebut.

Tetapi sesuai dengan sifat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak

mereka masih diberi kebebasan untuk menentukan siapa yang bertanggung

jawab mengenai resiko baik karena keadaan memaksa maupun karena hal-hal

yang tidak disengaja lainnya.

27 Subekti, op.cit., hal 62.

39

Page 40: Isi Skipsi

Selain dari pada itu juga di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan no.

1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) diatur

sedikit mengenai masalah resiko.

“Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung Lessee dalam hal barang modal yang disewa guna dengan hak opsi hilang rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun.”

Kata-kata “karena sebab apapun” dalam pasal di atas dapat disamakan dengan

keadaan memaksa. Jadi dengan demikian mengenai keadaan memaksa

seharusnya dicantumkan dalam klausul perjanjian leasing. Akan tetapi

mengenai siapa yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas keadaan

memaksa tersebut tidak dapat sepenuhnya atas keadaan memaksa tersebut

tidak dapat diambil suatu kesimpulan.

Kalaupun hal tersebut dapat ditafsirkan akan timbul dua kemungkinan, yaitu :

1. Kerugian harus ditanggung oleh pihak lessee.

2. Kerugian harus ditanggung oleh kedua belah pihak.

Dalam prakteknya ternyata pihak lessor mengambil kemungkinan pertama

untuk dicantumkan dalam klausul perjanjian leasing. Jadi pihak lessee

bertanggung jawab atas barang yang menjadi objek leasing.

Hal ini dapat dilihat dalam contoh suatu perjanjian leasing yang terdapat pada

bagian lampiran skripsi ini. Dimana dalam bagian yang mengatur tentang

kehilangan dan kerusakan pada peralatan pasal 13 menyatakan :

40

Page 41: Isi Skipsi

1. Penyewa (lessee) dengan ini menerima dan harus menanggung sejak

dimulai Jangka Waktu yang disebut dalam Pasal 2, seluruh resiko atas

kehilangan atau kerusakan pada peralatan atau sebagainya yang timbul

karena sebab apapun.

2. Dalam hal kehilangan kerusakan pada peralatan. Penyewa atas biayanya

dan atas pilihan yang menyewakan, harus segera.

a. Mengganti peralatan yang serupa dalam keadaan baik dan berjalan;

atau

b. Memulihkan peralatan dalam keadaan baik dan berjalan.

Dari apa yang dijelaskan di atas tergambar jelas apabila isi perjanjian leasing

tersebut sangat menguntungkan pihak lessor. Sebagai perusahaan pembiayaan

(finance company) jelas ia tidak ingin pembiayaan yang dilakukan

menimbulkan kerugian baginya oleh karena keuntungan merupakan tujuan

utama perusahaan tersebut. Jadi pembiayaan yang telah dikeluarkan tersebut

harus dapat diperoleh kembali tanpa kekurangan apapun. Oleh karena itu

wajar jika dalam perjanjian leasing yang dirancang perusahaan pembiayaan.

Lessor dibebaskan dari segala tanggung jawab mengenai resiko apapun.

2. Wanprestasi

Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya

prestasi buruk. Yaitu apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang

41

Page 42: Isi Skipsi

diperjanjikan dan karenanya debitur dapat dikatakan telah lalai, alpa atau

ingkar janji.28

Adapun wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur itu dapat

berupa 4 macam29 :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang penting dimana terdapat debitur

yang melakukan wanprestasi itu diancam dengan beberapa sanksi atau hukum.

Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi Debitur yang lalai ada

empat macam, 30 yaitu :

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti rugi. Yang terdiri dari biaya, rugi dan bunga.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, undang-undang memberikan ketentuan

yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti

rugi, yaitu hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan apa yang boleh

dituntut sebagai ganti rugi, yaitu hanya meliputi kerugian yang dapat

28 Subekti, op.cit., hal. 45.29 Ibid.30 Ibid.

42

Page 43: Isi Skipsi

diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. Hal

tersebut merupakan perlindungan terhadap seorang Debitur dari

kesewenang-wenangan Kreditur.

2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. Yang

harus dimintakan kepada hakim, meskipun syarat batal mengenai tidak

dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.

3. Peralihan resiko, yaitu kewajiban untuk memikul kerugian yang menimpa

barang yang menjadi obyek perjanjian. Misalnya Debitur bertanggung

jawab atas objek perjanjian.

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di depan hakim.

Yaitu kewajiban pihak yang dikalahkan untuk membayar biaya perkara.

Misalnya Debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi

suatu perkara di depan hakim.

Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak

memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-

pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut.31

Undang-undang memberikan upaya hukum untuk menentukan kapan saatnya

seseorang dapat dikatakan wanprestasi, yaitu dengan adanya suatu pernyataan

lalai (ingebrekestelling, somasi)32. Oleh karenanya debitur akan dianggap lalai

31 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Edisi Kedua, Cet.1, (Bandung, 1996, hal. 23

32 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, cet.1, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal 12.

43

Page 44: Isi Skipsi

dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih

dahulu ditagih, dan kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur

menghendaki pelaksanaan perjanjian.33

Apabila debitur sudah diperingati atau sudah dengan tegas ditagih janjinya,

tetapi tetap tidak melakukan prestasinya, maka debitur berada dalam keadaan

lalai atau alpha, sehingga terhadapnya dapat dilakukan sanksi-sanksi yaitu

penuntutan ganti rugi, pembatalan perjanjian, dan peralihan resiko.34

Dengan demikian pernyataan lalai ini diperlukan dalam hal kreditur meminta

ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya

ingkar janji atau wanprestasi.35 Dan cara pemberitahuan pernyataan lalai

tersebut diatur dalam ketentuan pasal 1238 Kitab undang-undang Hukum

Perdata yang menyatakan :

Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Surat perintah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah suatu pernyataan

resmi oleh seorang jurusita pengadilan, dan akta sejenis itu yang dimaksud

adalah suatu peringatan tertulis. Tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan

secara lisan, namun akan lebih baik dilakukan secara tertulis dan sebaiknya

dengan surat tercatat agar lebih mudah pembuktiannya di muka hakim dan

sulit dipungkiri oleh kreditur.33 Subekti , op.cit., hal. 46.34 Ibid., hal. 47.35 Badrulzaman, op.cit., hal. 24.

44

Page 45: Isi Skipsi

Dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menentukan

bahwa kewajiban untuk memberikan pernyataan lalai atau peringatan terhadap

lessee dapat ditiadakan dengan jalan menentukan dalam perjanjian bahwa

suatu wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee cukup dibuktikan dengan

lewatnya waktu pembayaran angsuran uang sewa, atau sejak saat

dilakukannya tindakan-tindakan yang dilarang oleh perjanjian tersebut.

Dalam pelaksanaan perjanjian leasing, wanprestasi umumnya dilakukan oleh

pihak lessee, baik itu yang bersifat sementara dalam arti menunggak dan

kemudian membayar, juga bisa bersifat tetap dalam arti persoalan itu terpaksa

diselesaikan melalui proses hukum.

Dalam perjanjian leasing, maka berbagai kemungkinan wanprestasi dapat

terjadi dengan konsekuensi yuridis yang berbeda pula36. Adapun hal-hal yang

dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi tersebut37 antara lain :

1. Lessee menunda pembayaran sewa yang telah seharusnya dibayar atau

baru membayar sekian hari setelah tanggal tertentu atau lessee melakukan

pembayaran tapi tidak sebagaimana yang telah diperjanjikan;

2. Tidak membayar denda atas keterlambatnanya membayar uang sewa itu

atau terlambat membayar denda itu;

3. Dalam keadaan tidak mampu ataupun tidak mau lagi membayar uang

sewa, hal ini terjadi dengan kemungkinan pihak lessee jatuh pailit hingga

36 Fuady, op.cit., hal. 45.37 Tunggal, op.cit., hal. 46.

45

Page 46: Isi Skipsi

tidak bisa membayar sewa barang yang dileasednya, atau memang dengan

sengaja lessee tidak membayar sewa yang sudah jatuh tempo

pembayarannya.

4. Melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggar perjanjian

leasing itu sendiri, misalnya tanpa seijin lesso (secara tertulis) lessee

mengalih pakaikan barang yang dilease kepada pihak lain, menjadikan

barang tersebut sebagai jaminan terhadap hutangnya atau menjual barang

tersebut dengan tujuan antara lain melepaskan diri dari pembayaran sewa

yang dilanggarnya atau menghilangnya label barang dan sebagainya.

Untuk wanprestasi tersebut, lessor dapat menetapkan sanksi, yaitu :

a. Untuk setiap keterlambatan membayar uang sewa, maka lessee harus

membayar bunga keterlambatan (sekian persen) dihitung sejak tanggal

jatuh tempo pembayaran sewa;

b. Menarik suatu deposito guna menjamin ketaatan lessee terhadap

perjanjian leasing yang akan dikembalikan lagi kepada lessee pada masa

berakhirnya leasing dengan dikurangi jumlah-jumlah yang harus dibayar

oleh lessee tanpa bunga;

c. Menarik dan menguasai kembali barang yang dilease, dimana biaya-biaya

harus ditanggung oleh lessee termasuk pembongkaran dan pemindahan

dari tempat lessee ke tempat lessor

46

Page 47: Isi Skipsi

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN LEASING

Wanprestasi dalam perjanjian leasing umumnya dilakukan oleh pihak

lessee dan biasanya wanprestasi tersebut mengenai soal pembayaran uang sewa

atau pembayaran lainnya yang sudah merupakan kewajiban lessee atau juga

47

Page 48: Isi Skipsi

mengenai dilanggarnya kewajiban atau larangan oleh pihak lessee yang tercantum

dalam perjanjian.

Dalam terjadinya wanprestasi atau terjadinya sengketa tentu diperlukan suatu

jalan penyelesaiannya. Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh

untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dikemudian hari, yaitu melalui

negosiasi dan perdamaian, arbitrase, serta melalui badan peradilan.

Adapun uraian mengenai penyelesaian sengketa tersebut adalah sebagai berikut :

1. Negosiasi dan Perdamaian

Di sini lessor dan lessee mengadakan suatu perdamaian sendiri di luar sidang.

Pelaksanaan perdamaian tersebut tergantung dari negosiasi yang dilakukan

kedua pihak, sehingga terjadi persetujuan dari kedua belah pihak agar

sengketa tersebut tidak dilanjutkan lagi. Perdamaian yang dilakukan kedua

belah pihak di luar sidang, dalam prakteknya hanya berkekuatan sebagai

persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah

satu pihak, maka masih harus diajukan lagi persengketaan tersebut melalui

suatu proses di pengadilan.

Dalam sengketa perjanjian leasing, apabila terjadi perdamaian antara kedua

belah pihak, maka pihak lessor akan mengambil kembali barang-barang

miliknya yang dikuasai oleh lessee.

2. Arbitrase

Lembaga arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah

lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok

48

Page 49: Isi Skipsi

dapat dilaksanakan arbitrase adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337

Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,

Staatblad 1941; 44) atau pasal 337 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa

dan Madura (Rechtsreglement Buitengeswesten, Staatsblad 1927; 227). Kedua

ketentuan dasar tersebut dianggap menjadi dasar berlakunya ketentuan

arbitrase yang diatur kelembagaannya secara cukup lengkap dalam ketentuan

pasal 615 sampai pasal 651 Reglement Acara Perdata (Reglement op de

Rechtsvordering, Staatsblad 1847, 52) bagi seluruh golongan penduduk

Hindia Belanda waktu itu38. Dengan berlakunya ketentuan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, semua ketentuan di muka dinyatakan tidak berlaku lagi.

Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 tahun 1999 :

arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengkata.

Dengan demikian syarat pengikatan diri untuk menyelesaikan sengketa

melalui arbitrase merupakan suatu prasyarat karena berdasarkan kontrak dan

kemauan (permufakatan) dari para pihak sendirilah persoalannya diajukan

melalui arbitrase, dan tanpa adanya persetujuan tentang hal itu tidak mungkin

untuk dipakai cara penyelesaiannya kepada arbitrase ini.39

38 “Arbitrase Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Business News No. 6393, 25 November 1999, hal. 7.

39 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, cet.2 (Bandung : Alumni, 1986), hal.109

49

Page 50: Isi Skipsi

Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan dalam lembaga

arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara

dalam lembaga peradilan pada umumnya. Proses jalannya pemeriksaan

tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai,

sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses

pemeriksaan, serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang diambil dari

sejak permohonan untuk pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya

dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak yang

meminta penyelesaian perselisihan atau sengketa mereka melalui lembaga

arbitrase tersebut.40

Berdasarkan ketentuan pasal 34 Undang-Undang No. 30 tahun 1999

menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan

dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional maupun internasional

berdasarkan atas kesepakatan para pihak. Dan dalam hal yang demikian, maka

proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase

tersebut (yang dipilih oleh para pihak) akan dilakukan menurut peraturan dan

acara dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditentukan lain oleh para

pihak.

Di Indonesia, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga

resmi untuk menyelesaikan masalah sengketa dagang pada umumnya dan

sengketa leasing pada khususnya, menyarankan kepada para pihak yang ingin

40 “Berbagai Aturan Dasar Yang Wajib Dipenuhi Sehubungan Dengan Jalannya Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase”, Business News, No. 6423, 3 Februari 2000, hal. 7.

50

Page 51: Isi Skipsi

menggunakan arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia, untuk

mencantumkan dalam perjanjian mereka klausula standar sebagai berikut41 :

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh arbiter yang ditunjuk menurut peraturan tersebut”.

Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, bila ada pihak yang tidak mau

melaksanakan putusan dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia, dalam jangka

waktu yang telah ditentukan maka putusan dari Badan Arbitrase Nasional

Indonesia tersebut akan dikirimkan ke Pengadilan Negeri untuk dimintakan

pelaksanaan eksekusinya.

Selain dari pada itu lembaga arbitrase memiliki beberapa kelebihan

dibandingkan lembaga peradilan, hal tersebut sebagaimana dijelaskan pada

Penjelasan umum Undang-undang No. 30 1999 pada alinea IV yang

menyatakan bahwa kelebihan tersebut antara lain meliputi :

1. Jaminan kerahasiaan;

2. Terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan

administratif;

3. Dapat memilih sendiri arbiter (hakim swasta) berdasarkan pada

pengetahuan, pengalaman serta latar belakangnya, serta personalianya

yang jujur dan adil;

41 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.11

51

Page 52: Isi Skipsi

4. Dapat menentukan sendiri pilihan hukum, proses dan tempat

penyelenggaraan arbitrase;

5. Putusan bersifat mengikat dan dilakukan melalui tata cara (prosedur) yang

sederhana serta langsung dapat dilaksanakan.

Sedangkan perbedaan yang paling menyolok diantara dua proses penyelesaian

tersebut hanya menyangkut masalah jangka waktu dan sifat penyelesaiannya

saja. Dimana pada proses penyelesaian melalui arbitrase hanya memerlukan

180 hari atau selama-lamanya kurang dari 455 hari dan bersifat final.

3. Badan Peradilan

Leasing pada dasarnya merupakan salah satu bentuk hukum ekonomi, yang

aturan mainnya baru berbentuk Deregulasi Keputusan Presiden dan

Keputusan Menteri Keuangan, yang menitik beratkan pada masalah yang

bersifat administratif seperti perizinan dan Perpajakan. Akibatnya tidak ada

standar hukum yang bersifat Unified Legal Frame Work, sehingga dalam

penyelesaian permasalahan yang timbul dari transaksi leasing akan

berpedoman kepada Hukum Perjanjian sebagaimana yang diatur KUH

Perdata, dengan cara mengkonstruksikannya sebagai perjanjian atau bentuk

perjanjian tertentu (Contractus Sui Generis).42

Perselisihan atau sengketa yang timbul sehubungan dengan perjanjian leasing

apabila diajukan melalui suatu gugatan kepada Pengadilan Negeri merupakan

42 Hasil wawancara dengan Bapak M. Yahyah Harahap, Mantan Hakim Agung.

52

Page 53: Isi Skipsi

sengketa perdata yang harus diperiksa, dipertimbangkan dan diputuskan oleh

hakim atau majelis hakim yang bersangkutan. Seperti diketahui bahwa

terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding

kepada Pengadilan Tinggi dan setelah adanya putusan dari Pengadilan Tinggi

masih dapat diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Adapun mengenai hukum acara yang mengatur penyelesaian sengketa perdata

melalui badan peradilan, umumnya diatur dalam Het Herziene Indonesisch

Reglement (HIR).

Untuk memperbaiki atau memulihkan hak-hak lessor yang telah menderita

kerugian akibat ingkar janji dari pihak lessee sebagai yang telah disepakatinya

dalam perjanjian dan juga kemungkinan sebagai akibat dari perbuatan pihak

lessee yang melawan hukum, maka lessor antara lain dapat menuntut lessee,

melalui pengajuan surat gugatan ke Pengadilan Negeri sebagai badan

peradilan tingkat pertama agar :

1. Melakukan sita revindikator atas barang-barang yang menjadi obyek

perjanjian leasing dengan maksud untuk mengambil kembali barang-

barang milik lessor yang berada dalam kekuasaan lessee, untuk kemudian

diserahkan kepada lessor.

2. Menghukum pihak lessee membayar ganti rugi kepada pihak lessor atas

kerugian yang telah dideritanya sebagai akibat dari tindakan ingkar janji

atau wanprestasi dan atau melawan hukum yang telah dilakukan oleh

lessee yaitu berupa :

53

Page 54: Isi Skipsi

a. Uang angsuran yang masih tertunggak;

b. Denda atas tunggakan ditambah bunganya;

c. Seluruh uang sewa yang masih berjalan hingga angsuran yang

terakhir;

d. Residual value (nilai sisa) dari barang yang dileased;

e. Biaya-biaya penagihan, termasuk biaya perkara dan honor pengacara;

f. Bunga yang bersangkutan.

3. Meletakkan sita jaminan atas harta milik lessor lainnya untuk menjamin

pembayaran ganti rugi.

4. Mengalihkan segala resiko kepada pihak lessee.

5. Menghukum pihak lessee membayar segala ongkos perkara.

6. Menuntut kepada hakim untuk membatalkan perjanjian lease atau

menyatakan perjanjian tersebut batal akibat adanya ingkar janji.

Hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutuskan sengketa

yang timbul sehubungan dengan adanya perjanjian leasing yang dibuat oleh

kedua pihak, yang pertama-tama dipakai sebagai dasar adalah surat gugatan

yang telah dibuat oleh Penggugat. Oleh karena itu, gugatan harus dibuat

dengan jelas, lengkap, padat dan berisi.

Fundamentum Petendi atau posita harus lengkap, namun tidak bertele-tele,

dan terutama apa yang diminta agar dikabulkan oleh hukum, Petitum harus

54

Page 55: Isi Skipsi

lengkap. Hal itu oleh karena pasal 178 Het Herziene Indonesisch Reglement

(HIR) menyatakan :

1. Pada waktu bermusyawarah, hakim karena jabatannya wajib melengkapi

segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak;

2. Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan;

3. Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau

memberikan lebih dari pada yang dituntut.

Dari pasal 178 ayat 3 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) nampak

jelas bahwa petitum harus lengkap oleh karena hakim tidak bisa mengabulkan

hal-hal yang tidak dituntut.

Dalam hal hakim berusaha meneliti apakah perjanjian tersebut benar-benar

merupakan suatu perjanjian leasing ataukah digolongkan dalam perjanjian

sewa-menyewa, maka hakim akan memperhatikan hal sebagai berikut43 :

- Maksud sebenarnya dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian;

- Sifat perjanjiannya;

- Adat kebiasaan yang berlaku;

- Janji-janji yang ditinjau hubungannya antara satu sama lain dan dengan

penafsiran yang sistematis;

43 Retno Wulan, “Klausula-klausula Penting Dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Menuju Standarisasi Dokumentasi dan Penyelesaian Sengketa Yang Terjadi Dalam Praktek” (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Leasing dan Perkembangannya, Jakarta, 1996.

55

Page 56: Isi Skipsi

- Jika ada keragu-raguan maka perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian

orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk

keuntungan orang yang telah mengakibatkan dirinya untuk itu;

- Kalau dalam persetujuan telah disebutkan sesuatu hal, misalnya mengenai

penegasan sesuatu hak, maka ini tidak boleh digunakan untuk membatasi

hak-hak yang berakar pada hal-hal yang tidak disebutkan.

Adapun yang menjadi landasan bagi hakim dalam mengemban tugasnya

tersebut adalah Undang-undang No. 14 tahun 1970, yaitu Undang-Undang

Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 5 dikemukakan, bahwa

pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

dan bahwa dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan

dan berusaha sekeras-berasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan

untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dengan biaya ringan.

Dalam pasal 14 dikemukakan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan hakim wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya. Pasal tersebut selanjutnya mengemukakan,

bahwa ketentuan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Dalam pasal 18 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut

dikemukakan, bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai

kekuatan hukum, apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

56

Page 57: Isi Skipsi

Pasal 23 dari Undang-Undang tersebut mengemukakan, bahwa segala putusan

pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,

juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang

bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

Dalam menghadapi perkara yang bersangkutan hakim harus menguasai

dengan baik Hukum Acara Perdata, terutama yang menyangkut beban

pembuktian dan kekuatan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah

pihak.

Oleh karenanya pasal-pasal dari buku III KUH Perdata yang memuat asas-

asas Hukum Perjanjian, antara lain pasal 1338, pasal 1320, pasal 1339, pasal

1354, pasal 1456, haruslah dikuasai hakim dengan baik, untuk dapat menelaah

keabsahan perjanjian leasing yang bersangkutan44.

B. ANALISIS KASUS SENGKETA PERJANJIAN LEASING

Pada bagian di atas telah dijelaskan, adakalanya suatu perjanjian yang

telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian tidak dapat terlaksana

sebagaimana yang telah diperjanjikan akibat salah satu pihak yaitu lessee telah

ingkar janji atau wanprestasi. Dan salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan

lessor untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya ialah dengan mengajukan

sengketa perjanjian leasing tersebut kepada lembaga peradilan.

44 Ibid

57

Page 58: Isi Skipsi

Berikut ini akan dibahas mengenai kasus sengketa Perjanjian Leasing

yang disebabkan oleh adanya perbuatan Ingkar Janji (wanprestasi), yang proses

penyelesaiannya melalui Negosiasi dan Perdamaian, dan kasus tersebut telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu Di sini lessor dan lessee mengadakan

suatu perdamaian sendiri di luar sidang. Pelaksanaan perdamaian tersebut

tergantung dari negosiasi yang dilakukan kedua pihak, sehingga terjadi

persetujuan dari kedua belah pihak agar sengketa tersebut tidak dilanjutkan lagi.

Perdamaian yang dilakukan kedua belah pihak di luar siding. Adapun kasus

dimaksud adalah sebagai berikut :

Pada hari selasa tanggal 25 mei tahun 2004 telah dibuat dan ditandatangani

perjanjian oleh dan antara :

Hartadi Soeharto dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut dan selaku

demikian untuk dan atas nama serta sah mewakili PT. Pro Car Internasional

Finance yang berkedudukan di Jakarta maupun selaku kuasa PT Bank INA

Perdana sebagaimana ternyata dari perjanjian kerjasama penyaluran kredit

kendaran bermotor roda empat dalam bentuk pembiayaan bersama (joint

financing) nomor : BIP/38/KK-HW/2003 tertanggal 22 desember 2003. untuk

selanjutnya disebut kreditur dengan Ferdinand H yang beralamat di PS Kecapi

GG.Mesjid 2/64 Rt003/008 JatiWarna Bekasi dalam hal ini bertindak untuk dan

atas nama diri sendiri selanjutnya disebut debitur. Kedua belah pihak setuju untuk

mengadakan perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fidusia

58

Page 59: Isi Skipsi

(selanjutnya disebut Perjanjian) dengan mengunakan syarat-syarat dan ketentuan-

ketentuan sebagai berikut :

1. kreditur menyetujui untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada debitur

berupa pembiayaan satu unit kendaraan bermotor (selanjutnya disebut kendaraan)

dengan spesifikasi sebagai berikut :

Type : Suzuki/ Carry ST 100 No Polisi : B 2953 LY

No rangka : MHYESL4104J-662921 Warna : Merah Bata

N0 mesin : F10A-ID-662921 Tahun : 2004

Dalam keadaan : Baru

BPKB atas nama : Ferdinand H

2. baik kreditur maupun debitur setuju dan sepakat atas pemberian atau

penerimaan pembiayaan tersebut ditentukan sebagai berikut :

a. jumlah pinjaman pokok adalah sebesar Rp. 38.500.000

b. pinjaman tersebut diberikan untuk jangka waktu 24 bulan sejak ditandatanganinya

perjanjian ini

c. pembayaran kembali dilakukan dalam 24 angsuran yang dibayarkan selambat-

lambatnya pada tanggal 25 setiap bulannya dan dimulai tanggal 25-06-2004

dengan besar angsuran Rp. 2.053.333

Perjanjian ini berlaku dan mengikat sejak penandatanganan oleh kedua belah

pihak dan berakhir sampai kewajiban debitur selesai dipenuhi seluruhnya. Kedua

belah pihak telah sepakat untuk tunduk dan patuh kepada seluruh syarat perjanjian

59

Page 60: Isi Skipsi

sebagaimana yang terkatub pada halaman sebelah perjanjian ini yang juga merupakan

satu kesatuan dari dan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini.

Menurut perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fiducia

nomor : 01-04624 tertanggal 25 mei 2004 antara PT Pro Car Internasional Finance

dengan Ferdinand H sebagai debitur, bahwa debitur tersebut tidak memenuhi

kewajibannya yaitu bilamana pembiayaan tidak dibayar lunas pada waktu yang telah

ditetapkan maka Kreditur berhak untuk menjual seluruh jaminan sehubungan dengan

pembiayan ini.

60

Page 61: Isi Skipsi

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian-uraian singkat dan sederhana sebagaimana yang

telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, mengenai leasing dan pelaksanaannya,

ada beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh penulis dari pembahasan tersebut,

diantaranya sebagai berikut :

Leasing adalah suatu pranata hukum perjanjian yang lahir dan tumbuh

berkembang dari kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat, yang berkaitan dengan

masalah pembiayaan. Pranata leasing adalah perjanjian In Nominat karena tidak

mempunyai nama atau penyebutan di dalam KUH Perdata, namun demikian

dalam perkembangannya pranata leasing mengacu kepada ketentuan pasal 1338

juncto pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III mengenai

ketentuan umum tentang perikatan yang menganut sistem terbuka, yang

merupakan asas pokok dari hukum perjanjian. Yaitu suatu asas yang memberikan

kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian

yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan, serta memenuhi ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.

Para pihak apabila menghendaki, juga dapat membuat suatu perjanjian diluar dari

ketentuan buku III KUH Perdata, maka karenanya buku III KUH Perdata itu

sering dikatakan hanya bersifat sebagai pelengkap saja.

61

Page 62: Isi Skipsi

Pesatnya perkembangan leasing selanjutnya membuat pemerintah merasa

perlu untuk mengatur lebih khusus mengenai pelaksanaan leasing. Hal tersebut

dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa deregulasi yang bertaraf Keputusan

Presiden atau dibawahnya yang menitik beratkan pada masalah perijinan,

kegiatan, ketentuan dan tata cara pelaksanaan, dan lain sebagainya mengenai

leasing.

Ketentuan-ketentuan yang ada tersebut apabila dikaitkan dengan para

pihak yang melaksanakan perjanjian leasing belumlah cukup memadai, hal itu

dikarenakan aturan yang ada tersebut hanya bersifat administratif saja dan

disamping itu pula aturan dimaksud, kedudukannya berada di bawah peraturan

yang setingkat dengan Undang-Undang.

Dengan demikian pelaksanaan leasing di Indonesia dapat dikatakan belum

mempunyai suatu ketentuan peraturan perundang-undangan atau standar hukum

yang kokoh. Oleh karena itu aturan yang ada tersebut kurang memberikan

jaminan kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakan perjanjian leasing.

Apabila timbul sengketa diantara para pihak yang membuat perjanjian,

ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa

tersebut, antara lain dengan menggunakan upaya perdamaian melalui suatu

negosiasi antara para pihak, jika tidak memperoleh perdamaian, maka para dapat

mengajukan permasalahan ketingkat selanjutnya yaitu melalui badan arbitrase

atau melalui lembaga Peradilan.

62

Page 63: Isi Skipsi

Untuk menentukan apakah pihak yang berwenang adalah badan arbitrase atau

lembaga peradilan, para pihak akan mengacu kepada isi perjanjian, badan atau

lembaga manakah yang telah dipilih oleh para pihak bila terjadi sengketa.

B. SARAN-SARAN

Mengingat pengaturan tentang leasing yang ada saat ini, hanya dalam

tingkat Keputusan Presiden serta peraturan-peraturan pelaksanaan dibawahnya.

Hal tersebut menyebabkan leasing belum mempunyai suatu landasan perundang-

undangan yang kokoh.

Untuk itu perlu ditingkatkan upaya pembaharuan hukum secara terarah

dan terpadu melalui penyusunan suatu perundang-undangan baru yang sangat

dibutuhkan dalam rangka untuk dapat membantu dan mendukung pelaksanaan

dari transaksi leasing tersebut, sehingga terlaksananya suatu standar hukum yang

bersifat Unified Legal Frame Work.

Adalah merupakan tugas dari pemerintah Indonesia beserta aparat-aparat

yang berwenang untuk segera meningkatkan peraturan-peraturan yang ada

menjadi suatu Undang-Undang khusus yang notabene mengatur perihal leasing

secara keseluruhan dan lengkap sehingga terciptanya Law Enforcement.

Hal tersebut dirasakan perlu mengingat dalam prakteknya transaksi

leasing masing terdapat penyimpangan-penyimpangan, dan untuk

mengantisipasinya perlu diciptakan suatu iklim berusaha yang sehat serta

63

Page 64: Isi Skipsi

kompetitif, menghilangkan hal-hal yang bisa menimbulkan kekurangan atau

penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian leasing itu sendiri.

Selain dari pada itu juga perlu kiranya dipikirkan mengenai upaya untuk

membatasi sedemikian rupa pemakaian asas-asas dalam KUH Perdata diantaranya

mengenai asas kebebasan berkontrak yang bersifat semu, dalam arti bahwa pihak

yang mempunyai kedudukan lebih kuat lebih banyak menentukan isi perjanjian,

hal ini jelas akan merugikan pihak-pihak yang lemah.

64