65
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di Indonesia tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan masyarak merupakan negara penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India dan RRC, dengan j kasus baru tiap tahun sebesar 558.000 dan sekitar 140.000 kematian akibat pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan pada seluruh kalangan usia. 1 Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. D Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. 2 Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 pendudu prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang munc 2 Agar tujuan penanggulangan TB dapat tercapai dengan baik maka diteta jangka panjang, yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit T cara memutuskan rantai penularan. Sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah k masyarakat di Indonesia. Sedangkan tujuan program jangka pendek adalah men minimal 85 % penderita baru BTA (+), tercapainya cakupan 70 % dari semua penderita diperkirakan dan mencegah timbulnya resistensi obat TB di masyarakat. 1 Untuk mendukung keberhasilan terhadap upaya yang dilakukan tersebut, perlu ad strategi kebijakan pembangunan di bidang kesehatan. Oleh kerana itu Depart membuat suatuPedoman Nasional Penanggulangan TB, salahsatu diantaranya tertuang kebijakan WHO yaitu dengan strategi yang direkomendasikan Directly Observed Treatment

ISI

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Di Indonesia tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India dan RRC, dengan jumlah kasus baru tiap tahun sebesar 558.000 dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan pada seluruh kalangan usia.1 Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.2 Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.2 Agar tujuan penanggulangan TB dapat tercapai dengan baik maka ditetapkan program jangka panjang, yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan rantai penularan. Sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sedangkan tujuan program jangka pendek adalah menyembuhkan minimal 85 % penderita baru BTA (+), tercapainya cakupan 70 % dari semua penderita TB yang diperkirakan dan mencegah timbulnya resistensi obat TB di masyarakat. 1 Untuk mendukung keberhasilan terhadap upaya yang dilakukan tersebut, perlu adanya strategi kebijakan pembangunan di bidang kesehatan. Oleh kerana itu Departemen Kesehatan membuat suatu Pedoman Nasional Penanggulangan TB, salah satu diantaranya tertuang kebijakan WHO yaitu dengan strategi yang direkomendasikan Directly Observed Treatment1

Shortcoures (DOTS) yang meliputi atas 5 komponen yaitu : komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana; diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis;pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO); kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin; pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. 1,3 Di Indonesia DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2000 tingkat deteksi hanya 21 persen jauh di bawah target WHO, 70 persen, oleh karena itu usaha untuk mendeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatan lagi. 1 Dalam melaksanakan Pembangunan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten mempunyai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di tingkat kecamatan yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dalam rangka mencapai kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat 2010 pemerintah telah menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu, salah satunya memanfaatkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di berbagai daerah sebagai pusat pelayanan kesehatan terdepan dan sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat diwilayah kerjanya. 1 Sesuai dengan tugas dan fungsi puskesmas yang menangani berbagai macam program, salah satu program yang dilaksanakan di Puskesmas adalah penanggulangan penyakit TB yang dimulai dari menjaring penderita dengan pemeriksaan dahak dengan mikroskopis sputum BTA sampai pengobatan dan pengontrolannya. Hal ini membutuhkan tenaga kesehatan yang berkualitas, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena penyakit TB ini membutuhkan waktu 6-8 bulan masa pengobatan, maka perlu diberikan informasi kepada masyarakat agar mengerti tetang akibat yang ditimbulkan penyakit TB dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh petugas kesehatan puskesmas. 4 Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mencari tahu faktor faktor yang melatarbelakangi cakupan suspek TB di Puskesmas Tempuran periode Januari Februari 2012 masih rendah yaitu 3,57 %, masih di bawah target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang2

yaitu sebesar 80 %, tertuang di dalam laporan berjudul Evaluasi Program Cakupan Penemuan Suspek TB paru di Puskesmas Tempuran periode Januari Februari 2012

I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Faktor faktor apa sajakah yang menyebabkan rendahnya Cakupan Suspek TB Paru pada Puskesmas Tempuran Periode Januari Februari 2012? 2. Apa sajakah alternative pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan? 3. Apakah prioritas pemecahan masalah sesuai dengan penyebab masalah yang ada? 4. Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan untuk pemecahan masalah tersebut?

1.3 Batasan judul Penulis memilih judul Evaluasi Program Cakupan Suspek TB paru di Puskesmas Tempuran Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang Periode Januari Februari 2012 Penulisan tugas mandiri ini dilakukan untuk menganalisis faktor faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru, menentukan alternatif pemecahan masalah dan prioritas pemecahan masalah serta merencanakan kegiatan yang akan dilakukan. Cakupan penemuan suspek TB paru yang dianalisis hanya 2 bulan, yaitu bulan Januari dan Februari 2012, sesuai dengan hasil cakupan bulan berjalan SPM 2012, dimana pencapaian cakupan suspek TB paru yang diraih Puskesmas Tempuran masih di bawah target pencapaian yang ditetapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang.

1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui, mengidentifikasi, menganalisis faktor faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru, menentukan dan merumuskan alternative pemecahan masalah dan prioritas pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab masalah, serta kegiatan yang dapat dilakukan untuk pemecahan masalah tersebut di Puskesmas Tempuran.3

1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mampu menganalisis faktor faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas Tempuran, kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang. 2. Mampu memberikan alternative pemecahan masalah yang menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas Tempuran Kabupaten Magelang. 3. Mampu menentukan prioritas pemecahan masalah yang menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas Tempuran Kabupaten Magelang. 4. Mampu menyusun rencana kegiatan (POA) pemecahan masalah terpilih.

1.5 Manfaat kegiatan 1.5.1 Manfaat bagi Penulis 1. Melatih kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat. 2. Melatih kemampuan analisis dan pemecahan masalah terhadap penyebab masalah yang ada 1.5.2 Manfaat bagi Puskesmas 1. Membantu puskesmas Tempuran dalam mengidentifikasi

penyebab rendahnya penemuan cakupan suspek TB paru. 2. Membantu puskesmas dalam memberikan alternative penyelesaian terhadap masalah rendahnya cakupan suspek TB paru. 1.5.3 Manfaat bagi Masyarakat 1. Masyarakat menjadi lebih paham bagaimana deteksi dini terhadap penyakit TBC. 2. Masyarakat bisa mencegah dan berobat sedini mungkin jika terkena penyakit TBC

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.2

II.2 Gejala Klinis TB Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). 1. Gejala respiratorik - batuk 2 minggu atau lebih - batuk darah -sesak napas -nyeri dada 2. Gejala sistemik -Demam - Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun 3. Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.2

II.3 Tuberkulosis di Indonesia Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi5

insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.5 Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.5

Gambar 1. Pencapaian Program Pengendalian TB Nasional 1995 - 2009

Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.5

6

Tabel 1. Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009

II.4 Strategi Nasional Program Pengendalian TB Selama dekade terakhir, perkembangan program pengendalian TB semakin melaju. Pada tahun 2009, angka penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan telah mencapai target global MDGs (yaitu 73% CDR dan 91% angka keberhasilan pengobatan). Apabila sumber pembiayaan untuk pengendalian TB tetap terjaga ketersediaannya serta program pengendalian TB dikelola dengan baik, maka secara realistis diharapkan bahwa pada akhir tahun 2015 Indonesia akan mampu mencapai target MDG untuk TB.5 Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi, terdiri dari 4 strategi umum dan didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh strategi ini berkesinambungan dengan strategi nasional sebelumnya, dengan rumusan strategi yang mempertajam respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi nasional program pengendalian TB nasional sebagai berikut:5 1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu. 2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya. 3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care. 4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB. 5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB. 6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. 7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.7

Strategi 1 sampai dengan strategi 4 merupakan strategi umum, dimana strategi ini harus didukung oleh strategi fungsional yang terdapat pada strategi 5 sampai dengan strategi 7 untuk memperkuat fungsi-fungsi manajerial dalam program pengendalian TB.5 Salah satu program yang akan dikembangkan untuk memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu, yaitu: Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin Mutunya.5 Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi pemeriksaan laboratorium untuk TB berkembang dengan pesat, deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan sputum mikroskopis tetap merupakan kunci utama dalam penemuan kasus TB. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan mutu dan kinerja laboratorium TB mikroskopik, kultur, DST dan pemeriksaan lain untuk menunjang keberhasilan program pengendalian TB nasional. Selain pembentukan dan penguatan jejaring laboratorium mikroskopis TB, kultur dan uji kepekaan Mycobacterium Tuberculosis, aspek mutu dalam pelayanan laboratorium ini dikembangkan melalui pelaksanaan pemeriksaan laboratorium TB yang aman bagi petugas, pasien dan lingkungan, mutu fasilitas laboratorium dan tenaga yang terlatih khususnya di daerah yang melayani masyarakat miskin, rentan (termasuk anak) dan belum terjangkau serta penjaminan mutu melalui quality assurance internal dan eksternal seluruh fasilitas laboratorium dan upaya peningkatan mutu berkelanjutan yang tersertifikasi/akreditasi. Validasi berbagai metode diagnosis baru juga akan dilaksanakan seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi laboratorium untuk TB serta perluasan kegiatan DST di tingkat provinsi.5 Selain strategi untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan akurasi dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis TB secara tepat, diperlukan pula strategi untuk mengurangi keterlambatan diagnosis, baik yang disebabkan oleh faktor pelayanan kesehatan maupun faktor pasien. Intervensi yang dilakukan mencakup:5 Meningkatkan intensitas penemuan aktif dengan cara skrining pada kelompok rentan tertentu (a.l. HIV, anak kurang gizi, rutan/lapas, daerah kumuh, diabetes dan perokok) Memprioritaskan pemeriksaan kontak Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan penyedia pelayanan terhadap simtom TB dan pelaksanaan ISTC Meningkatkan kepatuhan terhadap alur standar diagnosis Melaksanakan upaya meningkatkan kesehatan paru secara komprehensif8

II.5 Pelaksana Pengendalian TB di Indonesia Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara administrative berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan. Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas, militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada di dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperlukan dalam menerapkan program pengendalian TB yang terpadu.5 Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang punggung dalam program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota memiliki sejumlah FPK primer berbentuk Puskesmas, terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Pada saat ini Indonesia memiliki 1.649 PRM, 4.140 PS dan 1.632 PPM. Selain Puskesmas, terdapat pula fasilitas pelayanan rumah sakit, rutan/lapas, balai pengobatan dan fasilitas lainnya yang telah menerapkan strategi DOTS. Tenaga yang telah dilatih strategi DOTS berjumlah 5.735 dokter Puskesmas, 7.019 petugas TB dan 4.065 petugas laboratorium. Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk perencanaan, pembiayaan dan pemantauan pelayanannya. Di seksi P2M Wakil supervisor (wasor) TB bertanggung jawab atas pemantauan program, register dan ketersediaan obat.5 Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO) serta staf Dinas Kesehatan, khususnya di provinsi dengan beban TB yang tinggi. Di beberapa provinsi dengan wilayah geografis yang luas dan jumlah FPK yang besar, telah mulai dikembangkan sistem klaster kabupaten/kota yang bertujuan utama untuk meningkatkan mutu implementasi strategi DOTS di rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat kerja telah terlibat pula dalam program pengendalian TB melalui jejaring dengan Kabupaten/kota dan Puskesmas.5

9

Tabel 2. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) yang Telah Menerapkan Strategi DOTS

II.6 Pemeriksaan Bakteriologik a. Bahan pemeriksasan2 Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsy (termasuk biopsy jarum halus/BJH). b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan2 Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): - Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) - Pagi ( keesokan harinya ) - Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan10

apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: - Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya - Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml - Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak - Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus - Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil - Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi - Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak - Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium. c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.2 Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.

Pemeriksaan mikroskopik: Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)

11

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif 1kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks, kemudian 1kali positif, 2 kali negatif BTA positif 2kali negatif BTA negative

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : - Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh - Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.2

II.7 Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa (Lampiran)

II.8 Penemuan Suspek TB Paru Indikator nasional yang dipakai untuk menentukan keberhasilan pencapaian program TB adalah angka penemuan penderita (Case Detection Rate) minimal 70%, angka kesembuhan (Cure Rate) minimal 85%, angka konversi (Conversion Rate) minimal 80% dan angka kesalahan laboratorium (Error Rate) maksimal 5%.1 Menurut Depkes RI (2006) dalam pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis bahwa pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan berurutan berupa sewaktu-pagisewaktu (SPS). Dahak sewaktu pertama diambil waktu pasien datang pertama kali dengan kecurigaan tuberkulosis, dahak pagi diambil besok paginya serta dahak sewaktu kedua diambil waktu pasien datang mengantarkan dahak pagi. Penderita yang positif BTA dilakukan pemeriksaan kontak serumah.4 Menurut Ikatan Dokter Indonesia\ dalam Standard Internasional untuk Pelayanan Tuberkulosis atau International Standard\s for Tuberculosis Care (ISTC) tahun 2008, semua12

pasien (dewasa, remaja, anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 kali dan sebaiknya 3 kali, jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi.4 Pemeriksaan TB anak dilakukan dengan sistem skoring sesuai dengan buku pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jika ada pasien yang dicurigai TB anak datang ke KIA, maka petugas KIA konsul ke dokter dan dokter melakukan skoring. Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan karena batuk-batuk bukan merupakan gejala utama dan pengambilan dahak juga sulit, maka perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat, maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lain sesuai indikasi seperti bilasan lambung, pungsi pleura dan lain- lain.6 Pelaksanaan MTBS yang baik dan cermat akan dapat mendeteksi adanya penderita TB anak secara dini karena MTBS merupakan suatu mekanisme pelayanan terpadu yang terintegrasi. Pelaksanaan MTBS yang baik akan dapat melakukan penilaian status gizi balita. Jika status Gizi anak kurang, gizi buruk atau 2 bulan berturut-turut tidak naik, dicari penyebabnya dan dilakukan evaluasi yang mengarah ke tuberkulosis anak.6

II.9 Penemuan Suspek TB Cara Pasif Promotive. Penemuan suspek tuberkulosis secara pasif di tempat pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas pembantu, polindes dan waktu pelaksanaan puskesmas keliling. Penemuan suspek tuberkulosis di puskesmas dilakukan di Balai Pengobatan (BP) untuk pasien dewasa dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk pasien anak-anak. Jika ada pasien dengan gejala batukbatuk lebih 3 minggu datang berobat ke puskesmas (BP) di konsulkan ke dokter serta diberikan penyuluhan mengenai penyakitnya, kemudian dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan BTA sputum. Sebelum pengambilan dahak, petugas pengelola program TB melakukan pencatatan mengenai identitas pasien. 1 Penemuan suspek tuberkulosis di puskesmas melibatkan petugas BP, KIA, pengelola program TB, dokter puskesmas dan petugas laboratorium. Pot sputum di sediakan di puskesmas pembantu, polindes dan puskesmas keliling. Jika ada pasien dengan gejala batuk-batuk lebih 3 minggu maka dokter atau petugas puskesmas pembantu dan polindes memberikan penyuluhan13

kepada pasien mengenai penyakitnya dan diminta mengambil dahak untuk pemeriksaan BTA sputum. Dahak sewaktu pertama di puskesmas pembantu dan polindes diantarkan oleh petugas puskesmas pembantu dan polindes, sedangkan waktu puskesmas keliling dibawa langsung oleh petugas. Untuk dahak pagi, pasien diberikan pot sputum dan diminta mengantarkan ke puskesmas. 1 Penemuan secara pasif (penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan) tersebut didukung penyuluhan yang aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat yang lebih dikenal dengan passive promotive case finding. 1

II.10 Penemuan Suspek TB Cara Aktif Selektif. Penjemputan dahak pagi bagi tersangka merupakan suatu cara untuk menemukan dan mendeteksi penderita tuberkulosis secara dini dan termasuk cara penemuan penderita TB yang aktif selektif. 1 Pemeriksaan kontak serumah pada pasien dengan BTA positif oleh petugas pengelola program TB. Kalau ada tanda-tanda dengan gejala tuberkulosis maka dilakukan pemeriksaan BTA sputum. 1 Melibatkan petugas sanitasi untuk melakukan inspeksi sanitasi ke rumah dan lingkungan penderita tuberkulosis BTA positif. Pada umumnya keadaan rumah dan lingkungan penderita tuberkulosis dengan higienis yang jelek dan kotor, ventilasi rumah kurang baik, penghuni yang padat dengan ekonomi yang lemah. Inspeksi sanitasi juga dapat melakukan penyuluhan kepada penderita dan keluarga penderita mengenai penyakit tuberkulosis. 1 Jika ada anak yang menderita tuberkulosis, maka puskesmas harus mencari sumber penularan yang biasanya berasal dari penderita BTA positif dan tidak jauh dari rumah penderita. 1 Pemeriksaan BTA sputum pasien ISPA yang berulang juga merupakan suatu metode untuk mendeteksi dan menemukan penderita baru tuberkulosis secara dini. Pasien ISPA yang tidak sembuh-sembuh setelah dilakukan pengobatan sebaiknya di curigai kearah penyakit tuberkulosis yang berguna untuk mencegah keterlambatan diagnosis dan pengobatan serta penyebaran penyakit dapat di kurangi. Jika pemeriksaan BTA sputum14

pasien ISPA yang berulang hasilnya positif, maka petugas puskesmas dapat melakukan penelusuran sumber penularan yang biasanya tidak jauh dari rumah penderita.1

II.11 Faktor Budaya, dan lingkungan dalam Penemuan Suspek TB. Menurut Blum (1974) derajat kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu faktor perilaku individu/masyarakat, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan serta faktor genetik. Budaya masyarakat akan mempengaruhi perilaku dan lingkungan hidup masyarakat sehingga akan menentukan derajat kesehatan suatu masyarakat. 1 Sebagian masyarakat beranggapan bahwa gejala penyakit tuberkulosis karena penyakit kutukan, termakan racun atau kena guna-guna oleh perbuatan orang lain sehingga penderita berusaha untuk menyembunyikan penyakitnya karena takut dikucilkan dan disingkirkan dari pergaulan masyarakat, sehingga penderita tidak mau mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan. Anggapan seperti ini menyebabkan masyarakat berobat ke dukun kampung. 1 Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. 1 Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanye pada kelompok tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat. 1 Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis dapat dilakukan dengan penyuluhan perorangan dan kelompok. Penyuluhan perorangan kepada penderita tuberkulosis yang dilakukan dengan baik dan berkesinambungan dapat meningkatkan pemahaman penderita terhadap penyakit yang dideritanya sehingga dapat menghindari penderita dari kemungkinan drop out dalam minum obat dan dapat mencegah terjadinya penularan penyakit kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya. Penyuluhan juga dilakukan kepada keluarga penderita dan pengawas minum obat (PMO) yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan mereka terhadap penyakit tuberkulosis yang menyebabkan keluarga dan PMO dapat memberikan dorongan kepada penderita untuk melakukan pengobatan sampai selesai. 115

Penyuluhan kelompok mengenai peyakit tuberkulosis dapat dilakukan puskesmas dengan cara memadukan dengan kegiatan-kegiatan masyarakat seperti mejelis taklim, wirid-wirid pengajian, kegiatan PKK dan kegiatan di kecamatan sehingga kesulitan puskesmas dalam mengumpulkan masyarakat dapat teratasi. 1 Dalam melakukan penyuluhan mengenai penyakit tuberkulosis, pengelola program TB puskesmas dapat melakukan kerjasama lintas program dengan petugas Promosi Kesehatan (Promkes) puskesmas sehingga penyuluhan yang dilakukan dapat terintegrasi dengan kegiatan Promkes yang menyebabkan penyuluhan mengenai penyakit tuberkulosis dapat berjalan secara terus menerus dan berkesinambungan. 1 Disamping itu untuk melakukan penyuluhan perorangan kepada penderita tuberkulosis dan keluarganya, pengelola program TB puskesmas dapat juga melakukan kerjasama lintas program dengan petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) dimana petugas Perkesmas sering mengunjungi pasien tuberculosis ke rumahnya sehingga petugas Perkesmas dapat dimintai untuk memberikan penyuluhan mengenai penyakit tuberkulosis dan pentingnya penderita memakan OAT sampai selesai dan sembuh. 1 Kejelian pihak puskesmas mencari dan mengajak tokoh-tokoh masyarakat yang bisa bekerja merupakan kunci utama dalam memprakarsai gerakan social kesehatan seperti program PHBS. Dalam era desentralisasi seharusnya dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas dapat membuat kebijakan dalam penemuan tersangka tuberkulosis yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. 1 Survei pada tahun 2004 tersebut juga mengungkapkan pola pencarian pelayanan kesehatan. Apabila terdapat anggota keluarga yang mempunyai gejala TB, 66% akan memilih berkunjung ke Puskesmas, 49% ke dokter praktik swasta, 42% ke rumah sakit pemerintah, 14% ke rumah sakit swasta dan sebesar 11% ke bidan atau perawat praktik swasta. Namun pada responden yang pernah menjalani pengobatan TB, tiga FPK utama yang digunakan adalah rumah sakit, Puskesmas dan praktik dokter swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat regional menunjukkan bahwa Puskesmas merupakan FPK utama di KTI, sedangkan untuk wilayah lain rumah sakit merupakan fasilitas yang utama. 1 Keterlambatan dalam mengakses fasilitas DOTS untuk diagnosis dan pengobatan TB merupakan tantangan utama di Indonesia dengan wilayah geografis yang sangat luas. Untuk meningkatkan penemuan penderita tuberkulosis, dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas dapat16

melakukan modifikasi metode penemuan suspek tuberkulosis dengan memperhatikan budaya daerah setempat. 1

II.12 Strategi Kemitraan untuk Penjaringan TB Paru Kemitraan dengan praktisi swasta dalam program penanggulangan tuberkulosis jika terlaksana dengan baik akan mampu meningkatkan penemuan penderita tuberculosis serta dapat melaksanakan pengobatan berdasarkan strategi DOTS. Dokter praktik swasta memiliki potensi untuk dilibatkan dalam penemuan dan pengobatan penderita TB paru berdasarkan strategi DOTS. 5 Dokter praktik swasta berperan dalam penemuan kasus TB dan mengirim pasien tersangka TB untuk melakukan pemeriksaan BTA sputum ke puskesmas, melakukan pengobatan sampai tuntas dengan strategi DOTS, menunjuk PMO, membuat catatan dan pelaporan yang nantinya akan dijemput oleh petugas puskesmas. Penderita tersangka TB yang telah melakukan pemeriksaan BTA sputum di puskesmas hasil kiriman dokter praktik swasta, dikembalikan lagi ke dokter praktik swasta. Supaya dokter praktik swasta tertarik dengan program ini, maka pihak puskesmas dapat memberikan OAT secara cuma-cuma kepada dokter praktik swasta dan mempersilahkan dokter praktik swasta mengambil biaya konsultasinya. 5 Bidan dan perawat praktik swasta dalam kemitraan program penanggulangan TB berperan dalam menemukan penderita tersangka tuberkulosis dan mengirimnya ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan BTA sputum. Peran dari Dinkes dan Puskesmas adalah dengan menyediakan sarana yang dibutuhkan praktisi swasta dalam program penanggulangan tuberkulosis seperti pot sputum, OAT dan formulir pencatatan dan pelaporan. 5 Kemitraan yang terjalin perlu dilakukan pemantauan secara berkala, apakah masingmasing pihak telah menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Dalam melakukan pemantauan, sebaiknya dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten dan organisasi profesi kesehatan seperti IDI, IBI dan PPNI. Dinas kesehatan kabupaten juga membuat kesepakatan dengan masingmasing organisasi profesi kesehatan tersebut. 5

17

II.13 Definisi Pengetahuan II.13.1. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari Tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai (Drs. Sidi Gazalba). Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledgement is justified true beliefed).

II.13.1.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dalam kamus filsafat, dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memilliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketehui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru dalam diri orang tersebut menjadi proses berurutan : 1. Awarenes, dimana orang tersebut menyadari pengetahuan terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). 2. Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus.

18

3. Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik buruknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4. Trial, dimana orang telah mulai mecoba perilaku baru. 5. Adaptation, dimana orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran dan sikap.

II.13.1.2. Tingkat Pengetahuan Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003): 1. Tahu (Know) Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan. 2. Memahami (Comprehension) Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (Aplication) Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukumhukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya. 4. Analisis (Analysis) Universitas Sumatera UtaraKemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu komponenkomponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti kata kerja mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan. 5. Sintesis (Sinthesis) Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.19

6. Evaluasi (Evaluation) Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).

II.13.1.3. Pengukuran Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalamam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatantingkatan diatas (Notoadmojo, 2003) a. Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100% b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60%-75% c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%

II.13.2.

Perilaku

II.13.2.1. Defenisi Perilaku Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas

manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.20

Determinan perilaku

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

II.14. Determinan Perilaku Green (1980), mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes) (Notoatmodjo, 1993: 102-103). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yakni : 1. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku kesehatan, misalnya pemeriksaan kehamilan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Di samping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil, misalnya orang hamil tidak boleh disuntik (periksa hamil termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntik bisa menyebabkan anak cacat. Karena faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah. 2. Faktor-faktor sarana dan prasarana (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Dokter atau Bidan Praktek Swasta, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku pemeriksaan kehamilan tersebut di atas, ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil; misalnya Puskesmas, Polindes, Bidan

21

Praktek, ataupun Rumah Sakit. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung 3. Faktor-faktor sikap (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini Undang-Undang, peraturan-peraturan bayik dari Pusat maupun Pemerintah Daerah yang terkait dengan kesehatan.Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, malainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu Undang-Undang, peraturanperaturan, dan sebagainya diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti contoh perilaku periksa hamil tersebut di atas; di samping pengetahuan dan kesadaran pentingnya periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas periksa hamil, juga diperlukan perilaku contoh dari tokoh masyarakat setempat. Demikian juga diperlukan peraturan atau perundanganundangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan periksa hamil. Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, dan sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. 6

II.15 Urutan Siklus Pemecahan Masalah a. Identifikasi masalah Menetapkan keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin dicapai, menetapkan indictor tertentu sebagai dasar pengukuran kinerja. Kemudian mempelajari keadaan yang terjadi dengan menghitung atau mengukur hasil pencapain. Yang terakhir membandingkan antara keadaan nyata yang terjadi dengan keadaan tertentu yang diinginkan atau indicator tertentu yang sudah ditetapkan. b. Penentuan penyebab masalah Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan dengan curah pendapat. Penentuan penyebab masalah dilakukan dengan22

menggunakan fishbone. Hal ini hendaknya jangan menyimpang dari masalah tersebut. c. Memilih penyebab yang paling mungkin Penyebab masalah yang paling mgkn harus dipilih dari sebab sebab yang didukung oleh data atau konfirmasi dan pengamatan. d. Menentukan alternative pemecahan masalah Sering kali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari penyebab yang sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat langsung pada alternative pemecahan masalah. e. Penetapan pemecahan masalah Setelah alternative pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan pemecahan terpilih. Apabila ditemukan beberapa alternative maka digunakan Hanlon Kualitatif untuk menentukan / memilih pemecahan masalah. f. Penyusunan rencanan penerapan Rencana penerapan pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA (Plan of Action) atau rencana kegiatan. g. Monitoring dan evaluasi Ada dua segi pemantauan yaitu apakan kegiatan penerapan pemecahan masalah yang sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan menyangkut masalah itu sendiri, apakah permasalahan sudah dapat dipecahkan.

23

1. Identifikasi Masalah 2. Penentuan Prioritas Masalah

8. Monitoring Dan Evaluasi

7. Penyusunan Rencana Penerapan

3. Analisis Penyebab Masalah

6. Penetapan Pemecahan Masalah Terpilih 5. Menentukan Alternatif Pemecahan Masalah

4. Memilih Penyebab yang Paling Mungkin

Gambar 2. Kerangka Pikir Pemecahan Masalah7II.16. Analisis Masalah Dalam menganalisis masalah digunakan metode pendekatan sistem untuk mencari kemungkinan penyebab dan menyusun pendekatan-pendekatan masalah. Dari pendekatan sistem ini dapat ditelusuri hal-hal yang mungkin menyebabkan munculnya permasalahan di desa Ringinanom, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang. Adapun sistem yang diutarakan di sini adalah sistem terbuka pelayanan kesehatan yang dijabarkan sebagai berikut.

24

INPUT Man Money Methode Material Machine PROSES P1 P2 P3 OUTPUT Cakupan Program Outcome

LINGKUNGAN Fisik Kependudukan Sosial budaya Sosial ekonomi Kebijakan Gambar 3. Analisis Penyebab Masalah dengan Pendekatan Sistem Masalah yang timbul terdapat pada output dimana hasil kegiatan tidak sesuai dengan standar minimal. Hal yang penting pada upaya pemecahan masalah adalah kegiatan dalam rangka pemecahan masalah harus sesuai dengan penyebab masalah tersebut, berdasarkan pendekatan system masalah dapat terjadi pada input maupun proses.

II.17. Penentuan Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks Menggunakan Rumus MxlxV/C. Setelah menemukan alternative pemecahan ,masalah, maka selanjutnya dilakukan penentuan prioritas alternative pemecahan masalah yang dapat dilakukan dengan menggunakan criteria matriks MxlxV/C. Berikut ini proses penentuan prioritas alternative pemecahan masalah dengan menggunakan kriteria matriks: 1. Magnitude(M) adalah besarnya penyebab masalah dari pemecahan masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar (banyak) penyebab masalah yang dapat diselesaikan dengan pemecahan masalah, semakin efektif. 2. Importancy (I) adalah pentingnya cara pemecahan masalah, makin penting cara penyelesaian dalam mengatasi penyebab masalah, maka semakin efektif. 3. Vulnerability (V) adalah sensitifitas cara penyelesaian masalah. Makin sensitif bentuk penyelesaian masalah, maka semakin efektif 4. Cost adalah perkiraan besarnya biaya yang diperlukan untuk meakukan pemecahan masalah. 25

Masing-masing masalah diberi nilai 1-5. Bila makin magnitude makan nilainya makin besar, mendekati 5. Begitu juga dalam melakukan penilaian pada criteria I dan V.

Magnitude

Vulnerability

Importancy

1= Tidak Magnitude 2= Kurang Magnitude 3= Cukup magnitude

2=Kurang Penting 3=Cukup penting 4= Penting 5= Sangat penting

2=Kurang sensitif 3=Cukup sensitif 4=Penting 5=Sangat penting

Cost

1= Tidak Penting

1= Tidak sensitif

1= Sangat murah 2=Murah 3=Cukup murah 4=Kurang murah 5=Tidak murah

4=Magnitude5=Sangat Magnitude

II.18. Penilaian Skor Kuesioner Pengetahuan dan Perilaku Penilaian pada pengisian kuesioner pengetahuan tentang penyakit TB memakai pembagian mkriteria nilai sebagai berikut, dimana dari total pertanyaan yang dicantumkan, bila responden dapat menjawab benar lebih dari 70%, maka dianggap baik pengetahuannya, sedangkan apabila < 70% dianggap kurang baik pengetahuannya. Kemudian, dengan kuesioner perilaku, berupa pilihanganda dan dipilih jawaban sesuai dengan kehidupan responden di masyarakat. Penilaian Skir minimal 70% B= Baik (>70%) K=Kurang ( 7 : Pengetahuan baik Dari hasil survey, didapatkan 3 responden (30%) pengetahuannya baik, 1 responden yang lain (10%) pengetahuannya cukup, dan 6 responden (60%) pengetahuannya kurang. Kesimpulannya pengetahuan penduduk desa yang suspek TB tentang TB paru masih kurang.

Tabel 22. Hasil Pengisian Kuisioner Mengenai Perilaku No. Pertanyaan 1. Jika anda sakit, apakah anda berobat ke bidan desa/ puskesmas? 2. Apakah tidak terdapat kendala 1 0 0 0 0 1 0 1 0 144

1 1

2 1

3 1

4 1

5 0

6 1

7 1

8 1

9 0

10 1

berobat ke bidan desa/ puskesmas? 3. Apakah anda mengkonsumsi makanan yang bergizi? Total Kriteria Penilaian 1: jawaban yang diharapkan 0: Jawaban yang tidak diharapkan Penilaian 0-1: Perilaku kurang 2-3: Perilaku baik Dari hasil survey, didapatkan 7 responden (70%) yang perilaku penduduk tentang kesadaran terhadap kesehatan baik dan 3 responden (30%) yang perilaku penduduk tentang kesadaran terhadap kesehatan kurang. Kesimpulannya perilaku penduduk desa yang suspek TB paru tentang kesadaran terhadap kesehatan sudah baik. 3 B 2 B 2 B 1 K 0 K 3 B 2 B 3 B 0 K 3 B 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1

45

BAB VI PEMBAHASAN

VI.1 IDENTIFIKASI MASALAH Identifikasi masalah dan penentuan prioritas masalah telah dilakukan berdasarkan hasil evaluasi program Puskesmas Tempuran selama bulan Januari-Februari 2012 dibandingkan target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang tahun 2010. Sesuai evaluasi ditemukan program program yang masih menjadi masalah. Cakupan suspek TB paru merupakan salah satu indikator kinerja yang menjadi masalah sehingga diperlukan analisis kemungkinan penyebab masalah di Puskesmas Tempuran. Cakupan suspek TB paru di Puskesmas Tempuran memiliki skor pencapaian 4%, jauh dibawah target yang ditetapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yaitu sebesar 80%. Sementara itu, di Desa Sidoagung penemuan suspek TB dari bulan Januari-Februari 2012 adalah 10 padahal seharusnya target yang dicapai adalah 68. Dan cakupan penemuan kasus suspek TB di Desa Sidoagung adalah 14,7% sedangkan target yang seharusnya dicapai 80%. Oleh karena itu, penemuan kasus suspek TB di Desa Sidoagung masih jauh dari target. Hasil Cakupan Penemuan suspek TB paru di Desa Sidoagung kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang Besar sasaran Suspek TB paru = 10,7 x 6335 1000 = 68 Rendahnya cakupan suspek TB dapat disebabkan oleh beberapa hal, dari hasil pengamatan dan survey yang dilakukan antara lain penyebabnya adalah: kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru, tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran, masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC, cara pengumpulan dahak yang kurang tepat.46

= 10.7 x jumlah penduduk desa Sidoagung 1000

VI.2 ANALISIS PENYEBAB MASALAH Tabel 23. Kemungkinan Penyebab Masalah INPUT Man KELEBIHAN Tersedianya tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat dan petugas laboratorium) dan koordinator program yang kompeten untuk mendeteksi penderita TB paru. Tenaga kesehatan yang kompeten dalam melakukan pendeteksian TB paru tersebar merata, tidak hanya di puskesmas, tetapi juga di Posyandu dan Pustu. Money Dana untuk penyuluhan mengenai TBC didapat dari dana BOK. Tersedianya dana dari Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang untuk kasus TB Paru, mulai dari penemuan kasus, pemeriksaan sputum BTA, dan pengobatan Methode Terdapat alur diagnosis TB paru dalam penjaringan suspek TB paru Adanya kegiatan aktif dari petugas kesehatan untuk melakukan kegiatan kunjungan rumah dalam keluarga kegiatan pemeriksaan kontak 1 Cara pengumpulan dahak yang kurang tepat. Petugas laboratorium sudah lama tidak mengikuti Pelatihan Tidak ada dana khusus untuk penyuluhan TBC dan untuk KEKURANGAN Kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru.

transportasi petugas kesehatan dalam rangka kunjungan rumah.

pemeriksaan mikroskopis dahak. Tidak adanya pencatatan dan pendataan suspek terhadap TB paru pasien yang

memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran.

47

Material

Tersedianya posyandu, pustu, dan PKD yang merujuk puskesmas pasien suspek TB paru ke

-

Tersedianya laboratorium sebagai sarana untuk pemeriksaan dahak pasien suspek TB paru

Machine

Tersedianya

alat

untuk

melakukan

Kurangnya poster dan leaflet di tempat tempat umum untuk sosialisasi penyakit TB paru.

pemeriksaan fisik (stetoskop). Tersedianya alat alat laboratorium untuk melakukan pemeriksaan sampel dahak (pot dahak, objek glass, pipet, reagen pewarna, lampu spiritus, dll). Tersedianya form laboratorium untuk

pencatatan hasil pemeriksaan laboratorium. Tersedianya buku register pemeriksaan BTA. Tersedianya pamflet mengenai TB paru di laboratorium. Masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan keluhan batuknya dan memeriksakan dahaknya ke laboratorium.

Lingkungan

Terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan dari wilayah tempat tinggal masyarakat. Masyarakat jika sakit memilih berobat ke tenaga kesehatan terdekat dari pada ke dukun.

48

PROSES P1

KELEBIHAN Terdapatnya target penjaringan jumlah pasien suspek TB di Puskesmas dan Pustu. Tersedianya alat untuk pemeriksaan fisik untuk pemeriksaan pasien di Puskesmas dan pustu. Pemeriksaan BTA di laboratorium puskesmas Tempuran selama jam kerja dari hari Senin - Sabtu dari jam 08.00 - 13.00

KEKURANGAN Tidak adanya jadwal

rutin penyuluhan tentang TB kepada masyarakat. Kurangnya peran aktif kader untuk membantu petugas kesehatan dalam penjaringan suspek TB.

P2

Petugas kesehatan (bidan, dokter dan perawat) di BP umum melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik kepada pasien tersangka TB dan melakukan rujukan ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan dahak.

Beberapa tersangka TB tidak kembali untuk sampel

mengumpulkan dahak.

Kurangnya pengetahuan TB paru pada kader kader kesehatan di desa

Petugas

kesehatan anjuran

di

pustu, untuk

posyandu melakukan

memberikan

pemeriksaan dahak ke puskesmas pada pasien suspek TB yang ditemukan. Pasien mendapatkan pot dahak dan pengarahan cara mengeluarkan dahak dari petugas

Jumlah penyuluhan TB paru masih kurang.

laboratorium. P3 Terdapatnya laporan mengenai jumlah pasien suspek TB di puskesmas, didapatkan dari pendataan pasien suspek TB dari BP umum dan pasien suspek TB yang dilakukan pemeriksaan BTA di laboratorium. Adanya pemetaan / pencatatan pasien suspek TB berdasarkan desa asal tempat tinggal. Terdapat pengawasan dari Dinkes Kabupaten setiap 3 bulan, terhadap preparat dahak yang Tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta praktek poliklinik). (bidan, dokter swasta,

49

dikerjakan di Laboratorium Puskesmas Salaman 1. Preparat tersebut sekaligus juga dikirim ke Dinkes Provinsi oleh Dinkes Kabupaten. Laporan program P2M TB paru dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten tiap 3 bulan sekali, disertai dengan data pencapaian program. Evaluasi program 6 bulan 1 tahun sekali

Dari analisis penyebab masalah di atas maka didapatkan beberapa penyebab masalah yaitu: 1. Kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru. 2. Tidak ada dana khusus untuk penyuluhan TBC dan untuk transportasi petugas kesehatan dalam rangka kunjungan rumah. 3. Cara pengumpulan dahak yang kurang tepat. 4. Petugas laboratorium sudah lama tidak mengikuti Pelatihan pemeriksaan mikroskopis dahak. 5. Kurangnya poster dan leaflet di tempat tempat umum untuk sosialisasi penyakit TB paru. 6. Tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran. 7. Masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC. 8. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan keluhan batuknya dan memeriksakan dahaknya ke laboratorium. 9. Tidak adanya jadwal rutin penyuluhan tentang TB kepada masyarakat. 10. Kurangnya peran aktif kader untuk membantu petugas kesehatan dalam penjaringan suspek TB. 11. Beberapa tersangka TB tidak kembali untuk mengumpulkan sampel dahak.

50

Gambar 8. Diagram fish bone

Cara pengumpulan dahak yang kurang tepat. Petugas laboratorium sudah lama tidak mengikuti Pelatihan pemeriksaan mikroskopis dahak. Tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran.

INPUTTidak ada dana khusus untuk penyuluhan TBC dan untuk transportasi petugas kesehatan dalam rangka kunjungan rumah

METHOD

Kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru.

MAN MONEY MACHINEKurangnya poster dan leaflet di tempat tempat umum untuk sosialisasi penyakit TB paru.

-

MATERIALCakupan Suspek TB Paru di Desa Sidoagung 14,7%

LINGKUNGAN Masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan keluhan batuknya dan memeriksakan dahaknya ke laboratorium.

Tidak adanya jadwal rutin penyuluhan tentang TB kepada masyarakat. Kurangnya peran aktif kader untuk membantu petugas kesehatan dalam penjaringan suspek TB.

P1 Beberapa tersangka TB tidak kembali untuk mengumpulkan sampel dahak. Kurangnya pengetahuan TB paru pada kader kader kesehatan di desa Jumlah penyuluhan TB paru masih kurang.

P2

P3 PROSES

Tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik).

51

VI.3 PENYEBAB MASALAH PALING MUNGKIN Setelah dilakukan konfirmasi kepada coordinator pemegang program P2M TB Paru melalui wawancara tanggal 10 April 2012 didapatkan masalah: 1. Kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru. 2. Tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran. 3. Masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC. 4. Cara pengumpulan dahak yang kurang tepat.

VI.4 ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH Tabel 24. Alternatif Pemecahan Masalah No. 1 Penyebab Masalah Kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru. Alternatif Pemecahan Masalah Meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru.

2

Tidak

adanya

pencatatan

dan

Mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas.

pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas

Tempuran 3 Masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru. 4 Cara pengumpulan dahak yang kurang tepat. Memberikan penyuluhan kepada

bidan desa dan kader aktif tentang52

cara dan syarat pengambilan sampel dahak yang benar. Mengingatkan kepada bidan desa dan kader aktif untuk mengedukasi

tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak kepada pasien-pasien suspek TB.

53

VI. 5 PENGGABUNGAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB.

Meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader.

Tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas

Mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas.

Tempuran

Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru.

Masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC. Memberikan penyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak yang benar. Cara pengumpulan dahak yang kurang tepat. Mengingatkan kepada bidan desa dan kader aktif untuk mengedukasi tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak kepada pasien-pasien suspek TB.

54

VI.6 Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks MIVC Tabel 25. Matriks MIVC Alternatif Pemecahan Masalah Meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru. Mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru. Memberikan penyuluhan 5 5 4 2 50 III 5 5 5 2 62,5 I 4 4 3 2 24 IV Magnitude (M) 5 Importancy (I) 4 Vulnerabil ity (V) 5 Cost (C) 2 50 Jumlah Priorita s II

kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara dan syarat pengambilan yang benar. Mengingatkan kepada bidan desa dan kader aktif untuk mengedukasi tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak kepada pasien-pasien suspek TB.55

sampel

dahak

4

4

3

2

24

V

Berdasarkan matriks MIVC maka didapatkan prioritas alternatif pemecahan masalah sebagai berikut: 1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru. 2. Meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru. 3. Memberikan penyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak yang benar. 4. Mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas. 5. Mengingatkan kepada bidan desa dan kader aktif untuk mengedukasi tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak kepada pasien-pasien suspek TB.VI.7 Rencana Kegiatan dari Strategi Pemecahan Masalah Tabel 26. Rencana Kegiatan dari Strategi Pemecahan Masalah No. 1. Pemecahan Masalah yang Paling Mungkin

2.

3.

4.

5.

Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru. Meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru. Memberikan penyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak yang benar. Mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas. Mengingatkan kepada bidan desa dan kader aktif untuk mengedukasi tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak kepada pasien-pasien suspek TB.

Bentuk Kegiatan Melakukan penyuluhan TB paru kepada masyarakat. Rapat koordinasi

Melakukan penyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara pengambilan dahak yang benar. Melakukan pertemuan dengan tenaga kesehatan swasta.

Rapat koordinasi

56

VI.8

Plan Of Action

Tabel 27. Plan of Action No 1. Kegiatan Penyuluhan TB Paru Tujuan Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang TB Paru Sasaran Masyarakat di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran Lokasi Balai Desa Pelaksana Bagian P2M TB Paru dan Bagian Promkes Waktu 6 bulan sekali dimulai bulan mei 2012 Dana Dana Operasiona l Puskesmas Tempuran Metode Penyuluha n Tolak ukur Proses: Terselenggaranya penyuluhan tentang TB Paru Hasil: Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang TB Paru 2 Rapat Koordinasi Meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader. Bagian P2M Puskesma TB paru, bagian Promosi Kesehatan dan Kesehatan lingkungan Puskesmas Tempuran s Tempuran Bagian P2M TB paru, bagian Promosi Kesehatan dan Kesehatan lingkunga n Puskesma 6 bulan sekali dimulai bulan Mei 2012 Dana Operasiona l Puskesmas Tempuran Rapat Proses: Terselenggaranya rapat yang membahas program untuk meningkatkan cakupan suspek TB paru Hasil: Meningkatnya kerjasama antara P2M TB paru - Promosi57

s Tempuran

Kesehatan - Kesehatan lingkungan untuk meningkatkan cakupan suspek TB paru.

3.

Penyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif.

untuk

memberikan Bidan desa

Balai desa.

Bagian P2M TB Paru dan Bagian Promkes

6 bulan sekali dimulai bulan Mei 2012

Dana Operasiona l Puskesmas Tempuran

Penyuluha n

Proses: Terselenggaranya penyuluhan tentang cara pengambilan dahak yang baik. Hasil: Meningkatnya pengetahuan kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara pengambilan dahak yang benar.

penyuluhan kepada dan kader bidan desa dan kader aktif. aktif tentang cara

pengambilan dahak yang baik.

58

VI.9 GANN CHART Tabel 28. Gann Chart No Kegiatan Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agu stus 1. Penyuluhan tentang TB paru Sept Okt Nov Des

2. 3.

Rapat KoordinasiPenyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif.

59

BAB VII PENUTUP

VII.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil evaluasi program Puskesmas Tempuran pada bulan Januari dan Februari 2012, didapatkan skor pencapaian program cakupan suspek TB paru yaitu 4%, jauh di bawah target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yaitu 80%. Kemudian selanjutnya dilakukan analisis kemungkinan penyebab masalah yang melatarbelakangi rendahnya cakupan suspek TB paru. Setelah dilakukan konfirmasi dengan Koordinator P2M TB paru, ditemukan 4 penyebab masalah paling mungkin, yaitu kurang optimalnya pemberdayaan bidan desa dan kader kesehatan desa dalam memberikan penyuluhan tentang TB paru, tidak adanya pencatatan dan pendataan terhadap pasien suspek TB paru yang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan swasta (bidan, dokter praktek swasta, poliklinik) di area wilayah kerja Puskesmas Tempuran, masyarakat kurang mengenali gejala penyakit TBC, cara pengumpulan dahak yang kurang tepat. Alternatif pemecahan masalah yang paling bermanfaat adalah memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB paru untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru, meningkatkan atau memaksimalkan kinerja bidan desa dan kader untuk memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru, memberikan penyuluhan kepada bidan desa dan kader aktif tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak yang benar, mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas, mengingatkan kepada bidan desa dan kader aktif untuk mengedukasi tentang cara dan syarat pengambilan sampel dahak kepada pasien-pasien suspek TB.

VII.2 Saran 1. Terhadap Puskesmas Tempuran : a. Penambahan Jadwal penyuluhan di balai desa, sekolah atau tempat umum lainnya untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB paru. b. Mengusahakan kembali tenaga kesehatan yang bekerja pada pelayanan kesehatan swasta mengisi blanko pasien suspek TB yang telah disediakan oleh puskesmas.

60

c. Mengusahakan dan meningkatkan kerjasama antara P2M TB paru dan bagian Promkes serta Kesling, antara lain dengan bersama - sama melakukan inspeksi sanitasi lingkungan, kunjungan rumah pada keluarga dengan kontak TB (+) d. Peran aktif dari tenaga kesehatan serta kader untuk memberikan penyuluhan kepada warga tentang cara pengeluaran dahak yang baik, sehingga sampel yang diperiksa pun dapat akurat. 2. Untuk masyarakat: a. Masyarakat diharapkan untuk lebih memahami dan mawas diri terhadap gejala gejala TB paru dan faktor risikonya b. Pasien suspek TB paru diharapkan menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan dahak di Puskesmas setempat c. Pasien dengan TB paru diharapkan untuk kontrol rutin dan berobat secara teratur ke puskesmas

61

DAFTAR PUSTAKA

1. Implementasi Penemuan Suspek Tuberkulosis di Puskesmas. Available at http://www.lrc-kmpk.ugm.ac.id/id/UPPDF/_working/No.14_syahrizal_antoni_01_09.pdf Accessed on 7th April 2012. 2. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf Accessed on 7th April 2012. 3. DOTS. Available at http://www.who.int/tb/dots/en/. Accessed on 7th April 2012. 4. Panduan bagi Petugas Laboratorium. Pemeriksaan mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007 5. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 2014. Available at http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdf Accessed on 7th April 2012. 6. Pudjiadi AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. 7. Hartoyo. Handout : Manajemen Pelayanan/Manajemen Program di Puskesmas. Magelang; 2012

62

KUESIONER TB Identitas responden Usia: Alamat: Pekerjaan: Pendidikan terakhir:

1. Apakah anda tahu tentang flek paru? a. Ya b. Tidak 2. Apakah anda mengetahui gejala-gejala flek paru? a. Ya b. Tidak 3. Apakah flek paru itu berbahaya? a. Ya b. Tidak 4. Apakah flek paru menular? a. Ya b. Tidak 5. Apakah flek paru dapat disembuhkan? a. Ya b. Tidak 6. Apakah anda tahu berapa lama pengobatan flek paru? a. Ya b. Tidak 7. Apakah anda tahu obat flek paru gratis dari pemerintah? a. Ya b. Tidak

63

8. Apakah anda pernah/sedang mengalami gejala seperti batuk berdahak lama, badan lemah, berat badan menurun, nafsu makan menurun, berkeringat di malam hari? a. Ya b. Tidak 9. Apakah di lingkungan sekitar rumah (tetangga) anda ada yang mempunyai gejala serupa seperti anda (seperti diatas)? a. Ya b. Tidak 10. Apakah petugas kesehatan (bidan desa, mantra, dokter) pernah memberikan penyuluhan tentang penyakit flek paru? a. Ya b. Tidak 11. Jika anda sakit, apakah anda berobat ke bidan desa/ puskesmas? a. Ya b. Tidak 12. Apakah tidak terdapat kendala berobat ke bidan desa/ puskesmas? a. Ya b. Tidak 13. Apakah anda mengkonsumsi makanan yang bergizi? a. Ya b. Tidak

64

65