96
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang batasnya. Berdasarkan berbagai studi epidemologi selama ini, patokan kadar asam urat normal adalah <7 mg/dl pada laki-laki dan <6 mg/dl pada perempuan (Hidayat, 2009). Hiperurisemia dapat menyebabkan gangguan pada ginjal yaitu berupa batu ginjal, gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat (Wortmann, 2005). Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna, baik di Indonesia maupun di dunia. Batu ginjal merupakan bagian dari batu saluran kemih, dimana menempati urutan ketiga di bidang urologi setelah penyakit infeksi saluran kemih dan kelainan prostat (Stoller, 2000). Sedangkan batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan di saluran kemih (Sja’bani, 2006). Penyakit ini dapat menyebabkan 1

Isi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hubungan antara peningkatan kadar asam urat dengan kejadian batu ginjal di RSKD balikpapan

Citation preview

Page 1: Isi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat

darah di atas normal. Secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan

asam urat di serum yang melewati ambang batasnya. Berdasarkan berbagai studi

epidemologi selama ini, patokan kadar asam urat normal adalah <7 mg/dl pada

laki-laki dan <6 mg/dl pada perempuan (Hidayat, 2009). Hiperurisemia dapat

menyebabkan gangguan pada ginjal yaitu berupa batu ginjal, gangguan ginjal akut

dan kronis akibat asam urat (Wortmann, 2005).

Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna,

baik di Indonesia maupun di dunia. Batu ginjal merupakan bagian dari batu

saluran kemih, dimana menempati urutan ketiga di bidang urologi setelah

penyakit infeksi saluran kemih dan kelainan prostat (Stoller, 2000). Sedangkan

batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan di saluran kemih (Sja’bani,

2006). Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi berupa gagal ginjal dan

infeksi saluran kemih (Cahyono, 2009). Sekitar 10% orang yang pernah

mengalami batu ginjal akan mengalami kekambuhan satu tahun kemudian, dan

sekitar 50% akan mengalami kekambuhan 10 tahun kemudian (Rahardjo, 2005),

sehingga perlu kiranya dilakukan identifikasi penyebab timbulnya batu untuk

pencegahan kekambuhan batu dan kerusakan lebih lanjut pada ginjal dan saluran

kencing lainnya (Dewi, 2008).

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki angka prevalensi penyakit batu

ginjal (Rahardjo, 2005). Insiden batu ginjal lebih banyak terjadi pada laki-laki,

1

Page 2: Isi

dimana jumlah pasien laki-laki 3-4 kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien

perempuan (Purnomo, 2008). Diduga faktor hormon estrogen yang mencegah

terjadinya agregrasi garam kalsium (Razak, 1993). Sedangkan usia puncak

kejadian batu ginjal yaitu pada usia 30-50 tahun (Purnomo, 2008).

Di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, batu saluran

kemih banyak dijumpai di saluran kemih bagian atas, sedangkan di negara

berkembang seperti India, Thailand dan Indonesia lebih banyak dijumpai batu

kandung kemih (Sja’bani,2006). Di beberapa rumah sakit dilaporkan ada

perubahan proporsi batu ginjal dibandingkan batu saluran kemih bagian bawah.

Salah satunya di Rumah Sakit dr.Kariadi dimana dari jumlah semua pasien batu

saluran kemih terdapat 58,4% (1993) dan 73% (1998) pasien batu ginjal. Dan

pada tahun 2003 jumlah penderita batu saluran kemih naik dari 32,8% menjadi

39,1% (2005) dibanding seluruh kasus urologi dan sebagian besar batu saluran

kemih bagian atas (Muslim, 2007).

Menurut data RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan tahun 2004-

2008 didapatkan peningkatan pasien batu ginjal ,dimana didapatkan 124 pasien

batu ginjal pada tahun 2004 dan 185 pasien pada tahun 2008. Disini tampak

bahwa terdapat peningkatan kasus batu ginjal pada tahun 2004-2008 yaitu sebesar

32.9%.

Berbagai laporan telah menunjukkan pentingnya asam urat di dalam

proses pembentukan batu. Sekitar 20-35% dari penderita dengan endapan kristal

garam asam urat di ginjal, akan terbentuk batu ginjal, dimana pembentukan batu

dapat terjadi pada kadar asam urat serum 770 mmol/L (13 mg/dl). Asam urat tidak

hanya berperan dalam pembentukan batu asam urat tetapi juga berperan dalam

2

Page 3: Isi

pembentukan jenis batu ginjal lainnya, dimana pada beberapa pasien non gouty

arthritis yang hyperuricemia didapatkan batu ginjal jenis kalsium oksalat atau

batu kalsium fosfat (Wortmann, 2005). Sukahatya dan Ali (1975) mendapatkan

58,2% dari 291 kasusnya mempunyai kadar asam urat darah melebihi 7 mg/dl,

tapi hanya 25% dari batu yang dianalisa kimia merupakan batu urat (Lubis, 1982).

Sja’bani, dkk (2001) menyatakan bahwa dari 96 batu yang dianalisis ditemukan

batu yang mengandung asam urat tinggi, bentuk murni sebanyak 24 (25%) dan

batu campuran asam urat bersama kalsium oksalat/kalsium fosfat sebanyak 71

(73%) (Dewi, 2008).

Berdasarkan data di atas, peneliti akan melakukan penelitian untuk

membuktikan adanya hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) dengan kejadian batu ginjal (nephrolithiasis).

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) dengan kejadian batu ginjal (nephrolithiasis)?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan

antara peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia) dengan kejadian batu

ginjal (nephrolithiasis).

3

Page 4: Isi

1.3.2 Tujuan khusus

1 Mengetahui prevalensi pasien dengan peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) 7-9.9 mg/dl yang disertai batu ginjal (nephrolithiasis) di

RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo

2 Mengetahui prevalensi pasien dengan peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) 10-11.9 mg/dl yang disertai batu ginjal (nephrolithiasis)

di RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo

3 Mengetahui prevalensi pasien dengan peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) ≥ 12 mg/dl yang disertai batu ginjal (nephrolithiasis) di

RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo

4 Mengetahui prevalensi pasien dengan peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) yang disertai batu ginjal (nephrolithiasis) di RSUD

dr.Kanujoso Djatiwibowo.

5 Mendapatkan gambaran jenis kelamin pada pasien dengan peningkatan

kadar asam urat serum (hyperuricemia) di RSUD dr.Kanujoso

Djatiwibowo.

6 Mendapatkan gambaran umur pada pasien dengan peningkatan kadar asam

urat serum (hyperuricemia) di RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo.

1.1. Manfaat Penelitian

1.1.1 Manfaat klinis

Manfaat klinis yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai acuan bahwa hiperurisemia merupakan faktor resiko

terjadinya batu ginjal (nephrolithiasis).

4

Page 5: Isi

2. Sebagai acuan untuk melakukan pencegahan terbentuknya batu ginjal

(nephrolithiasis).

3. Sebagai masukan kepada dokter dan petugas kesehatan tentang

pentingnya pemeriksaan kadar asam urat serum pada penderita batu

ginjal (nephrolithiasis).

1.1.2 Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber data

untuk penelitian berikutnya, serta dijadikan sebagai pendorong bagi pihak yang

berkepentingan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

5

Page 6: Isi

BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1 Asam Urat

2.1.1 Definisi

Asam urat adalah hasil akhir dari katabolisme (pemecahan) purin. Purin

adalah salah satu kelompok struktur kimia pembentuk DNA (gambar 2.1). Yang

termasuk kelompok purin adalah Adenosin dan Guanosin. Saat DNA

dihancurkan, purin pun akan dikatabolisme. Hasil akhirnya berupa asam urat

(Rodwell, 2003).

Gambar 2.1 Struktur Purin(Sumber: Hardjasasmita, 2000)

Asam urat merupakan asam lemah dengan pKa 5,75. Urat cenderung

berada di cairan plasma ekstraselular dan cairan synovial. Sekitar 98% urat

membentuk monosodium urat pada pH 7.4. Monosodium urat mudah disaring dari

plasma. Plasma terlarut monosodium urat pada konsentrasi 6,8 mg/dl pada 37oC.

Pada kadar asam urat yang lebih tinggi, plasma menjadi jenuh dan potensial

mengendap membentuk kristal urat. Akan tetapi, kadang-kadang pengendapan ini

tidak terjadi meskipun kadar asam urat tinggi, hal ini kemungkinan karena adanya

suatu zat pelarut dalam plasma (Wortmann, 2005).

Garam asam urat bersifat jauh lebih larut di dalam air dibandingkan asam

urat. Urin pada pH 5 hanya dapat melarutkan sekitar sepersepuluh total urat (15

mg/dl) yang dapat dilarutkan oleh urin pada pH 7 (150-200 mg/dl), dan pH urin

6

6

Page 7: Isi

yang normal secara khas berada di bawah 5,8. Dengan demikian, kristal saluran

kemih berupa natrium urat ditemukan di sebelah proksimal lokasi asidifikasi urin

(tubulus distal dan koligentes), sedangkan kristal asam urat ditemukan di sebelah

distal. Karena sebagian besar batu pada sistem pengumpul saluran kemih tersusun

atas asam urat, pembentukan batu dapat dikurangi dengan alkalinasi urin

(Rodwell, 2003).

Kadar rata-rata urat di dalam darah dan serum tergantung usia dan jenis

kelamin. Asam urat tergolong normal bila pria di bawah 7 dan wanita di bawah 6

mg/dl, sebelum pubertas sekitar 3,5 mg/dl. Setelah pubertas, pada pria kadarnya

meningkat secara bertahap dan dapat mencapai 5,2 mg/dl. Pada perempuan kadar

asam urat biasanya tetap rendah, baru pada usia pramenoupause kadarnya

meningkat mendekati kadar pada laki-laki bisa mencapai 4,7 mg/dl (Misnadiarly,

2007).

2.1.2 Pembentukan asam urat

Asam urat pada manusia dibentuk sebagai hasil katabolisme purin (salah

satu unsur protein) yang menyusun material genetik. Manusia mengubah

nukleotida purin yang utama, yaitu adenosin dan guanin menjadi produk akhir

asam urat yang diekskresikan keluar. Guanin yang berasal dari guanosin dan

hipoxantin yang berasal dari adenosin: melalui pembentukan xantin keduanya

dikonversi menjasi asam urat; reaksinya berturut-turut dikatalisis oleh enzim

guanase dan xantin oksidase (Hardjasasmita, 2000).

Hipoxantin diturunkan dari adenosin (Hardjasasmita, 2000), adenosin

pertama-tama mengalami deaminase menjadi inosin oleh enzim adenosin

deaminase. Fosforolisis ikatan N-glikosidat inosin dan guanosin, yang dikatalisis

7

Page 8: Isi

oleh enzim nukleosida purin fosforilase, akan melepas senyawa ribosa 1-fosfat

dan basa purin (Rodwell, 2003).

Selanjutnya, dengan dikatalisis oleh enzim xantin oksidase, hipoxantin

mula-mula dioksidase menjadi xantin untuk selanjutnya xantin diubah menjadi

asam urat seperti pada gambar 2.2. Sedangkan guanin pembentuk xantin berasal

dari guanosin, dimana guanosin dengan Pi serta dikatalisis oleh enzim purin

nukleosida fosforilase melepaskan gugus Ribosa-1P (Hardjasasmita, 2000).

Gambar 2.2 Katabolisme Purin(Sumber: Hardjasasmita, 2000)

2.1.3 Ekskresi asam urat

Eksresi netto asam urat total pada manusia normal rata-rata adalah 400-

600 mg/24 jam. Banyak senyawa yang secara alami terdapat di alam dan senyawa

farmakologik mempengaruhi absorpsi serta sekresi natrium urat pada ginjal

(Rodwell, 2003).

8

Page 9: Isi

Pada primata, ginjal adalah rute utama untuk pembuangan dari hasil akhir

metabolisme purin (Clive, 2000). Secara normal, dua pertiga dari urat dikeluarkan

oleh ginjal, dan kebanyakan dari sisa dihilangkan melalui usus. Empat model

komponen sekresi asam urat oleh ginjal pada manusia: (1) filtrasi glomerular, (2)

reabsorbsi oleh tubular, (3) sekresi, dan (4) postsecretory reabsorbsi. Kira-kira 8-

12% urat yang disaring oleh glomeruli dikeluarkan pada air seni sebagai asam

urat. Setelah filtrasi, 98-100% urat direabsorbsi; setengah dari reabsorbsi urat

dikeluarkan kembali ke dalam proximal tubule, dan sekitar 40% direabsorbsi lagi

oleh tubulus distalis (Wortmann, 2005). Namun bila produksi urat menjadi sangat

berlebihan atau pembuangannya (ekskresi) berkurang, akibatnya kadar asam urat

dalam darah menjadi tinggi. Keadaan ini yang disebut hiperurisemia (Misnadiarly,

2007).

1.1 Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan asam urat darah

diatas normal. Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme asam

urat (overproduction), penurunan pengeluaran asam urat urin (underexcretion),

atau gabungan keduanya.

Banyak batasan untuk menyatakan hiperurisemia, secara umum kadar

asam urat diatas dua standart deviasi hasil laboratorium pada populasi normal

dikatakan sebagai hiperurisemia (Schumacher, 1992). Batasan pragmatis yang

sering digunakan untuk hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana terjadi

peningkatan kadar asam urat yang bisa mencerminkan adanya kelainan patologi

(Putra, 2006). Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2

standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal. Namun secara pragmatis

9

Page 10: Isi

dapat digunakan patokan kadar asam urat <7 mg/dl pada laki-laki, dan <6 mg/dl

pada perempuan, berdasarkan berbagai studi epidemologi selama ini (Hidayat,

2009).

Hiperurisemia juga didefinisikan sebagai kadar asam urat plasma lebih

dari 420 mmol/l (7,0 mg/dl). Resiko terjadinya artritis gout dan urolitiasis

meningkat dengan adanya peningkatan kadar asam urat (Wortmann, 2005).

Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6-47,2% yang bervariasi pada berbagai

populasi (Hidayat, 2009). Angka kejadian hiperurisemia pada masyarakat

Indonesia, belum ada data yang pasti. Mengingat Indonesia terdiri dari berbagai

suku sangat mungkin memiliki angka kejadian yang lebih bervariasi (Putra, 2007).

1.1.1 Etiologi

Penyebab hiperurisemia dan gout dapat diibedakan dengan hiperurisemia

primer, sekunder dan idiopatik seperti pada tabel 2.1. Hiperurisemia primer adalah

hiperurisemia tanpa disebabkan penyakit lain atau penyebab lain. Hiperurisemia

sekunder adalah hiperurisemia yang disebabkan oleh penyakit lain atau penyebab

lain. Hiperurisemia idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab

primer, kelainan genetik, dan tanpa kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.

(Putra, 2006).

10

Page 11: Isi

Tabel 2.1 Klasifikasi Hiperurisemia dan Gout Tipe Kelainan metabolic Keturunan

Primer Kelainan molekuler

yang belum jelas (99% dari gout primer):- Underexcretion

(80-90% dari gout primer)

- Overproduction (10-20% dari gout primer)

Kelainan enzim spesifik (< 1% dari gout primer)- Peningkatan

aktivitas varian dari enzim PRPP synthetase

- Kekurangan sebagian dari enzim HPRT

Belum jelas

Belum jelas

Overproduction asam urat, peningkatan PP-ribosa-P

Overproduction asam urat, peningkatan aktivitas biosintesis de novo karena

peningkatan jumlah PRPP, pada sindrom Kelley-Seegmiller

Poligenik

Poligenik

X-Linked

X-Linked

Sekunder Peningkatan biosintesis

de novo- Kekurangan

menyeluruh enzim HPRT

- Kekurangan enzim glucosa-6-phosphatase

- Kekurangan enzim fructose-1-phosphate aldolase

Peningkatan degradasi ATP, peningkatan pemecahan asam nucleat

Underexcretion asam urat pada ginjal

Overproduction asam urat, peningkatan biosintesis de novo, pada sindrom

Lesch NyhanOverproduction dan underexcretion

asam urat, pada glycogen storage disease type 1 (Von Gierke)

Overproduction dan underexcretion asam urat

Overproduction asam urat, pada hemolisis kronis, polisitemia,

metaplasi myeloid

Penurunan filtrasi, hambatan sekresi tubulus dan atau perubahan resorbsi

dari asam urat

X-Linked

Autosomal recessive

Autosomal recessive

Bukan keturunan

Beberapa autosomal dominan, bukan

keturunan, banyak belum diketahui

Idiopatik Tidak diketahui(Kelley,1997)

a. Hiperurisemia primer

Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dengan kelainan molekuler

yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim spesifik.

Hiperurisemia primer kelainan molekuler yang belum jelas terbanyak didapatkan

11

Page 12: Isi

yaitu mencapai 99%, terdiri dari hiperurisemia karena underexcretion (80-90%)

dan karena overproduction (10-20%). Hiperurisemia primer karena kelainan

enzim spesifik diperkirakan hanya 1%, yaitu karena peningkatan aktivitas varian

dari enzim phosphoribosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan kekurangan

sebagian dari enzim hypoxanthine phosphoribosyltransferase (HPRT).

Hiperurisemia karena underexcretion kemungkinan disebabkan karena faktor

genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat sehingga

menyebabkan hiperurisemia. Bagaimana kelainan pada ginjal sehingga

menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat belum jelas diketahui.

Kemungkinan disebabkan karena gangguan sekresi asam urat dari tubulus ginjal.

Kadar fractional uric acid clearance pada hiperurisemia primer tipe

underexcretion didapatkan lebih rendah dari orang normal (Putra, 2006).

Hiperurisemia primer karena kelainan enzim spesifik akibat peningkatan

aktivitas varian dari enzim PRPP synthetase menyebabkan peningkatan

pembentukan purin nucleotide melalui sintesis de novo, sehingga terjadi

hiperurisemia tipe overproduction. Telah diketahui enzim ini disandi oleh DNA

pada kromosom X, dan diturunkan secara dominan. Hiperurisemia primer karena

kelainan enzim spesifik yang disebabkan kekurangan sebagian dari enzim HPRT

disebut sindrom Kelley-Seegmiller. Enzim HPRT berperan dalam mengubah purin

bases menjadi purin nucleotide dengan bantuan PRPP dalam proses pemakaian

ulang dari metabolisme purin. Kekurangan enzim HPRT menyebabkan

peningkatan produksi (overproduction) asam urat sebagai akibat peningkatan de

novo biosintesis. Diperkirakan terdapat tiga mekanisme overproduction asam urat.

Pertama, kekurangan enzim yang menyebabkan kekurangan inosine mono

12

Page 13: Isi

phosphate (IMP) atau purin nucleoitide yang mempunyai efek feedback inhibition

proses biosintesis de novo. Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan

peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan. Peningkatan jumlah PRPP

menyebabkan biosintesis de novo meningkat. Ketiga, kekurangan enzim HPRT

menyebabkan hypoxanthine tidak bisa kembali diubah menjadi IMP, sehingga

terjadi peningkatan oksidasi hypoxanthine menjadi asam urat. Kekurangan enzim

HPRT diturunkan secara X-Linked dan bersifat resesif, sehingga didapatkan

terutama pada laki-laki. Telah diketahui terjadi berbagai mutasi genetik dari

kelainan enzim ini (Putra, 2006).

b. Hiperurisemia sekunder

Hiperurisemia sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan

yang menyebabkan peningkatan biosintesa de novo, yaitu kelainan yang

menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukelat dan

kelainan yang menyebabkan underexcretion. Hiperurisemia sekunder karena

peningkatan biosintes de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh

enzim HPRT pada syndrome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim glucosa 6-

phosphatase pada glycogen storage disease (Von Gierkee), dan kelainan karena

kekurangan enzim fructose-1-phosphate aldolase (Putra, 2006).

Sindrom Lesh-Nyhan disebabkan karena kekurangan menyeluruh enzim

HPRT yang diturunkan secara X-Linked dan bersifat resesif. Kekurangan enzim

HPRT ini akan menyebabkan peningkatan biosintesis de novo sehingga terjadi

hiperurisemia tipe overproduction. Sindrom ini terjadi pada usia anak-anak

dengan gejala hiperurisemia tipe overproduction, dan gout premature bersama

gejala neurologis berupa retardasi mental berat, self mutilation, choreoathethosis,

13

Page 14: Isi

dan spastisitas. Kelainan neurologis ini kemungkinan karena aktivitas enzim

HPRT berkurang sehingga menyebabkan disfungsi neurokemikal otak. Diagnosis

sindrom ini dibuat berdasarkan klinis enzim HPRT pada eritrosit. Kekurangan

enzim ini dapat mencapai 1-70% (Putra, 2006).

Penyakit glycogen storage disease tipe 1 (Von Gierke), akibat penurunan

enzim glucose 6-phosphatase (G 6-pase) menyebabkan hiperurisemia yang

bersifat autosomal resesif. Hiperurisemia terjadi karena gabungan overproduction

dan underexcretion karena peningkatan pemecahan ATP. Enzim G 6-pase

berperan mengubah glucose 6-phosphate (G 6-P) menjadi glukosa dalam

metabolisme karbohidrat, sehingga kekurangan enzim ini mudah menyebabkan

hipoglikemi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, tubuh mengadakan pemecahan

glikogen di hati (glikogenolisis). Karena kekurangan enzim G 6-pase, glukosa

tidak terbentuk sehingga menyebabkan penumpukan G 6-P (Backer, 2005).

Terjadi juga glikolisis anaerob yaitu pemecahan glukosa menjadi G 6-P dengan

pemecahan ATP dengan hasil lain berupa peningkatan asam laktat, asam lemak

bebas, trigliserida, dan piruvat (Rosenthal, 1998). Hiperurisemia disebabkan

overproduction melalui peningkatan melalui biosintesis de novo akibat

peningkatan PRPP. Peningkatan PRPP ini diperkirakan melalui dua mekanisme.

Pertama, peningkatan glucose 5-phosphate menyebabkan peningkatan reaksi

pentose phosphate pathway peningkatan ribose 6-phosphate yang menghasilkan

PRPP. Kedua, berkurangnya feedback inhibition terhadap biosintesis de novo pada

hati selama terjadi hipoglikemia sehingga menyebabkan enzim amidoPRT dan

PRPP synthetase (Backer, 2005). Underexcretion diperkirakan karena adanya

hasil metabolit yaitu hiperlaktemia dan ketonemia. Tanda klinis sindrom ini

14

Page 15: Isi

adalah terjadi pada anak-anak dengan tanda khas berupa bentuk tubuh pendek,

hepatomegali (Wortmann, 2005).

Hiperurisemia juga dapat disebabkan oleh penyakit glycogen storage type

III, V, VI yang disebut hiperurisemia miogenik. Aktivitas yang berat secara

normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi pemecahan ATP dan

resorbsi abnormal pada ginjal. Pada keadaan normal atau keadaan anaerob,

aktivitas yang menyebabkan peningkatan hasil pemecahan ATP berupa inosine,

hypoxanthine, dan didalam hati dipecah menjadi xantin dan asam urat (Putra,

2006).

Pada penyakit hereditary fructose intolerance karena kekurangan enzim

fructose-1-phosphate aldolase dapat menyebabkan hiperurisemia. Enzim ini

mengubah fructose-1-phosphate menjadi dihidroxy-asetofosfonat dan

gliseraldehida. Kekurangan enzim ini dan dengan diet tinggi fructose

menyebabkan penumpukan fructose 1-phosphate, kemudian akan diubah menjadi

fructose 6-phosphate dengan bantuan ATP sebagai sumber fosfat. Fructose 6-

phosphate juga merupakan salah satu senyawa antara jalur glikolisis anaerob

(Hardjasasmita, 2000). Peningkatan pemecahan ATP menyebabkan pembentukan

asam urat meningkat, dan lactic acidosis serta asidosis renal tubular menyebabkan

hambatan pengeluaran asam urat melalui ginjal, sehingga terjadi hiperurisemia

(Becker, 2005).

Hiperurisemia sekunder tipe overproduction dapat disebabkan karena

keadaan yang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau peningkatan

pemecahan asam nukleat dari intisel. Peningkatan pemecahan ATP akan

membentuk AMP, dan berlanjut membentuk IMP atau purin nucleotide dalam

15

Page 16: Isi

metabolisme purin (Kelley, 1997). Pemecahan inti sel akan meningkatkan

produksi purin nucleotide dan berlanjut menyebabkan peningkatan produksi asam

urat. Keadaan yang sering menyebabkan pemecahan inti sel adalah penyakit

hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan dari mieloproliferatif dan

limfoproliferatif atau keganasan lainnya (Putra, 2006).

Beberapa penyakit atau kelainan dapat menyebabkan hiperurisemia

sekunder karena gangguan pengeluaran asam urat melalui ginjal (underexcretion).

Gangguan pengeluaran asam urat melalui ginjal dapat melalui gangguan dalam

filtrasi, reabsorbsi, sekresi, dan reabsorbsi pasca sekresi (Putra, 2006).

Hiperurisemia sekunder yang disebabkan karena underexcretion

dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal,

penurunan filtrasi glomerolus, penurunan fractional uric acid clearance dan

pemakaian obat-obatan. Hiperurisemia karena penurunan masa ginjal disebabkan

penyakit ginjal kronik yang menyebabkan gangguan filtrasi asam urat.

Hiperurisemia karena penurunan filtrasi glomerolus dapat terjadi pada dehidrasi,

dan diabetes insipidus. Hiperurisemia karena penurunan fractional uric acid

clearance adalah pada penyakit hipertensi, myxoedema, hiperparatiroid, sindroma

Down, peningkatan asam oganik seperti pada latihan berat, kelaparan, peminum

alkohol, keadaan ketoasidosis, lead nephropathy, sarkoidosis, sindrom Barter dan

keracunan berilium. Pemakaian obat seperti obat diuretik dosis terapeutik, salisilat

dosis rendah, pirasinamid, etambutol, dan nikotinat, dan siklosporin (Putra, 2006).

Hiperurisemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologinya

yaitu overproduction asam urat, penurunan ekskresi asam urat dan kombinasi

keduanya seperti pada tabel 2.2. Peningkatan produksi asam urat (overproduction)

16

Page 17: Isi

terjadi karena tubuh memproduksi asam urat secara berlebihan (Misdaniarly,

2007). Peningkatan produksi asam urat (overproduction) terjadi pada minoritas

pasien dengan hiperurisemia. Penyebab peningkatan produksi asam urat

(overproduction) yaitu eksogen (diet tinggi purin) atau endogen (defek enzim).

Diet dalam hal ini berperan pada urat serum sebanding dengan purin. Pembatasan

asupan purin dapat mengurangi rata-rata nilai serum sekitar 60 μmol/L (1.0

mg/dL) dan eksresi urat sekitar 1.2 mmol/d (200 mg/d) (Wortmann, 2005).

Makanan tinggi purin yaitu jeroan, bayam, durian, daging, makanan laut, kacang

tanah, tape, sarden, santan, alpukat, dan alkohol (Misdaniarly, 2007).

Tabel 2.2 Klasifikasi Hiperurisemia Berdasarkan PatofisiologiUrate overproductionPrimary idiopathicHPRT deficiencyPRPP synthetase overactivityHemolytic processesLymphoproliferative disease

Myeloploriferative diseasePolycythemia vera Psoriasis Paget’s diseaseGlycogenosis III, V, VI

RhabdomyolisisExercise AlkoholObesityPurin-rich diet

Decreased uric acid excretionPrimary idiopathicRenal insufficiencyPolycystic kidney diseaseDiabetes insipidusHypertensionAcidosis Lactic acidosisDiabetic ketoasidosisDown syndrome

Starvation ketosisBerylioscis SarcoidosisLead intoxicationHyperparathyroidismHipotyroidismToxemia of pregnancyBartter’s syndrome

Drug ingestionSalicylates (>2g/d)DiureticsAlkoholLevodopaEthambutolPyrazinamideNicotinic acidCyclosporine

Combine mechanismGlucose 6-phosphatase deficiency

Fructose-1-phosphate aldolase defeciency

Alkoholshock

(Sumber: Wortmann, 2005)

1.1.2 Pemeriksaan penunjang

Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Anamnesis

terutama ditujukan untuk mendapatkan faktor keturunan, dan kelainan atau

penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga

yang menderita hiperurisemia atau gout. Untuk mencari penyebab hiperurisemia

17

Page 18: Isi

sekunder perlu ditanyakan apakah pasien peminum alkohol, memakan obat-obatan

tertentu secara teratur, adanya kelainan darah, kelainan ginjal atau penyakit

lainnya (Putra, 2006).

Pada pemeriksaan fisik, pasien biasanya asimptomatik, dan tidak ada

penemuan fisik spesifik yang ditemukan. Pemeriksaan fisik untuk mencari

kelainan atau penyakit sekunder, terutama menyangkut tanda-tanda anemia atau

phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular dan tekanan darah,

keadaan dan tanda kelainan ginjal serta kelainan pada sendi (Putra, 2006).

Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mengarahkan dan memastikan

penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan dipilih

berdasarkan perkiraan diagnosis setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisik (Kelley, 1997). Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah

pemeriksaan darah rutin untuk asam urat darah dan kreatinin darah, pemeriksaan

urin untuk asam urat dan kreatinin urin 24 jam; dan pemeriksaan penunjang lain

yang diperlukan. Pemeriksaan enzim sebagai penyebab hiperurisemia

dilaksanakan tergantung pada perkiraan diagnosis (Putra, 2006).

Pemeriksaan asam urat dalam urin 24 jam penting dikerjakan untuk

mengetahui penyebab dari hiperurisemia apakah overproduction atau

underexcretion. Kadar asam urat urin 24 jam di bawah 600 mg/hari adalah normal

pada orang dewasa makan pantang urin selama 3-5 hari sebelum pemeriksaan.

Namun makan pantang purin selama 3-5 hari sering tidak praktis. Maka pada

orang yang makan biasa tanpa pantang purin kadar asam urat urin diatas 1000

mg/hari adalah abnormal, dan kadar 800-1000 mg.hari adalah borderline (Becker,

2005). Batasan overproduction asam urat adalah kadar asam urat urin 24 jam

18

Page 19: Isi

diatas normal, kadar 1000 mg/hari pada orang yang makan biasa tanpa pantang

purin dapat dikatakan overproduction (Becker, 2005). Cohem MG mengatakan

apabila kadar asam urat urin 24 jam lebih dari 670 mg/dl hari pada diet rendah

purin perlu diteliti kemungkinan adanya overproduction karena genetik.

Overproduction dapat diketahui dengan menghitung perbandingan asam urat urin

24 jam dan keratin 24 jam atau perbandingan kliren asam urat dan kliren kreatinin

fractional uric acid clearance yaitu perbandingan klirens urat dibagi klirens

kreatin dikalikan 100. Nilai perbandingan asam urat kreatinin urin lebih dari 0,75

menyatakan adanya overproduction (Putra, 2006).

Dengan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang, terutama kadar asam urat dan kreatinin urin 24 jam dapat diperkirakan

faktor penyebab hiperurisemia sehingga penanganan hiperurisemia dapat

diberikan secara menyeluruh dan rasional (Putra, 2006).

1.1.3 Komplikasi

Komplikasi paling banyak hiperurisemia adalah artritis gout. gout

berhubungan dengan durasi maupun berat hiperurisemia. Selain menyebabkan

artritis gout, hiperurisemia juga menyebabkan gangguan pada ginjal, yaitu

nephrolithiasis, urate nephropathy (penyebab jarang terjadinya renal insufisiensi

karena deposisi kristal monosodium urat di jaringan ginjal), uric acid nephropathy

(keadaan reversibel dimana terjadi gagal ginjal akut berasal dari deposit kristal

asam urat dalam jumlah besar).

a. Nefrolitiasis

Uric acid nephrolithiasis merupakan salah satu komplikasi hiperurisemia

tetapi tidak selalu didapatkan pada penderita gout. Dimana kurang lebih 50%

19

Page 20: Isi

dengan kadar asam urat 770 mmol/L (13 mg/dl) atau eksresi asam urat > 6,5

mmol/d (1100 mg/d). Asam urat juga dapat berperan dalam pembentukan jenis

batu ginjal lainnya. Beberapa pasien non gouty arthritis dengan batu kalsium

oksalat atau kalsium fosfat didapatkan hiperurisemia atau hiperuricaciduria

(Wortmann, 2005).

b. Urate nephropathy

Urate nephropathy, kadang-kadang menyebabkan urate nephrosis, dimana

merupakan manifestasi dari gout yang berat dan dengan gambaran histoPA

didapatkan penumpukan kristal monosodium urat yang dikelilingi oleh sel giant

sebagai reaksi inflamasi pada medullary interstitial dan piramid. Gangguan ini

sudah jarang terjadi dan tidak dapat didiagnosa tanpa adanya arthritis gout.

Lesinya secara klinis asimptomatik atau menyebabkan proteinuri, hipertensi, dan

insufisiensi renal (Wortmann, 2005). Proses kerusakan ginjal juga diperberat bila

kadar asam urat > 13 mg/dl pada pria dan > 10mg/dl pada wanita.

c. Uric acid nepropathy

Keadaan reversibel yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut karena

adanya endapan asam urat di tubulus ginjal dan collecting ducts dimana

menyebabkan obstruksi pada aliran urin. Uric acid nepropathy terjadi karena

overproduction asam urat secara mendadak dan ditandai dengan adanya

hyperuricaciduria. Keadaan ini akan meningkat menjadi kristal asam urat dan

terbentuknya batu asam urat. Beberapa faktor terbentuknya kristal asam urat yaitu

karena adanya dehidrasi dan asidosis. Terapi yang tepat dapat menurunkan

mortalitas menjadi 50%. Kadar asam urat tidak selalu bisa digunakan untuk

mendiagnosa karena didapatkan variasi pada peningkatan kadar asam urat, yaitu

20

Page 21: Isi

720-4800 mmol/L (12-18mg/dl). Pada gagal ginjal akut didapatkan penurunan

ekskresi urin, urinary uric acid normal atau menurun, dan ratio asam urat dan

creatinin <1 (Wortmann, 2005).

1.2 Nefrolitiasis

Batu ginjal merupakan keadaan yang tidak normal di dalam ginjal, dan

mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal dijumpai

khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di

kandung kemih seperti pada gambar 2.3. Batu ginjal sebagian besar mengandung

batu kalsium. Batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan disaluran

kemih. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, batu saluran

kemih banyak dijumpai di saluran kemih bagian atas, sedangkan di negara

berkembang seperti India, Thailand dan Indonesia lebih banyak dijumpai batu

kandung kemih. Di daerah Semarang, sejak tahun 1979 proporsi batu ginjal

dijumpai relative meningkat dibanding proporsi batu kandung kemih (Sja’bani,

2006).

1.2.1 Epidemiologi nefrolitiasis

Angka kejadian batu saluran kemih di Amerika Serikat sekitar 10% dari

keseluruhan penyakit. Timbulnya batu saluran kemih di dunia industrial

diperkirakan akan meningkat 0,2%. Di Amerika Serikat lebih banyak terjadi batu

di traktus urinarius bagian atas dibandingkan dengan negara lain. Kurang lebih 2

juta pasien batu yang dirawat pertahunnya, dimana sejak tahun 1994 telah terjadi

peningkatan sekitar 40% (Rahardjo, 2005).

Dari sisi jenis kelamin, pria lebih beresiko terkena batu ginjal

dibandingkan wanita, yaitu 3-4 kali lebih besar dari wanita. Sekitar 10% orang

21

Page 22: Isi

yang pernah mengalami batu ginjal akan mengalami kekambuhan satu tahun

kemudian. Kekambuhan akan terjadi apabila pasien tidak merubah gaya hidup.

Konsumsi makanan juga berpengaruh. Makanan dengan kadar oksalat, natrium,

dan kalsium yang tinggi dan protein hewani dengan purin tinggi dapat memicu

terbentuknya batu ginjal.

Gambar 2.3 Batu Ginjal(Sumber: Liou, 2009)

1.2.2 Etiologi nefrolitiasis

Secara umum, terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya

dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,

dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadi batu

pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang

berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal

dari lingkungan disekitarnya. Faktor intrinsiknya yaitu herediter, umur (sering

pada usia 30-50 tahun), dan jenis kelamin dimana jumlah pasien laki-laki tiga kali

lebih banyak dibandingkan pasien perempuan. Sedangkan faktor ekstrinsik antara

lain geografi, iklim dan temperatur, asupan air dimana kurangnya asupan air dan

tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan

22

Page 23: Isi

insidensi ini, diet (diet tinggi purin, oksalat, kalsium), dan pekerjaan (Purnomo,

2008).

1.2.3 Patofisiologi nefrolitiasis

Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu disaluran kemih

seperti pada gambar 2.4, tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang

paling berperan. Beberapa teori pembentukan batu antara lain:

a. Teori supersaturasi

Secara teoritis batu dapat terbentuk disaluran kemih terutama pada tempat-

tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada

system kaliks ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan pada pelvikalises (stenosis

utero-pelvis), divertikel, obstruksi intravesikal kronis seperti pada hiperplasia

prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan

yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-kristal

yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam

urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut)

dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya

presipitasi kristal, yang saling mengadakan presipitasi membentuk batu inti

(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan

lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar,

agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu menyumbat saluran kemih,

untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi

kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat sehingga

membentuk batu yang cukup besar dan menyumbat saluran kemih. Kondisi-

kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid didalam

23

Page 24: Isi

urin, konsentrasi solut didalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau

adanya korpus alienum didalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu

(Purnomo, 2008).

b. Teori nukleasi

Batu terbentuk didalam urin karena adanya inti batu (nucleus). Partikel-

berada dalam larutan kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap didalam

nukleus itu itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal

atau benda asing disaluran kemih (Purnomo, 2008). Beberapa zat bisa terdapat

dalam satu batu karena kristal yang telah terbentuk sebelumnya berperan sebagai

inti kristalisasi dan memudahkan pengendapan bagi zat metastabil terlarut lainnya

(Lang, 2006).

c. Penghambat kristalisasi

Supersaturasi kalsium, oksalat, dan asam urat dalam urin dipengaruhi oleh

adanya inhibitor kristalisasi. Urin orang normal mengandung zat inhibitor

kristalisasi. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa pada sebagian individu

terjadi pembentukan batu, sedangkan pada individu lain tidak, meskipun sama-

sama terjadi supersaturasi. Ternyata pada penderita batu saluran kemih, tidak

didapatkan zat yang bersifat sebagai penghambat (inhibitor) dalam pembentukan

batu. Telah diketahui bahwa magnesium, fosfat, dan pirofosfat, dapat

menghambat nukleasi spontan kristal kalsium. Beberapa jenis glikosaminoglikans,

seperti khondroitin sulfat dapat menghambat pembentukan kristal kalsium yang

telah terbentuk sebelumnya. Zat lain yang mempunyai peranan inhibitor yaitu

asam ribonukleat, asam amino, terutama alanin, sulfat, flourida, dan seng. Jika

24

Page 25: Isi

kadar salah satu atau beberapa zat tersebut berkurang, akan memudahkan

terbentuknya batu (Trihono, 2002).

Gambar 2.4 Patofisiologi Pembentukan Batu (Sumber: Lang, 2006)

1.2.4 Komposisi batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat

atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xantin, dan

sistin. Data mengenai komposisi/kandungan zat yang terdapat pada batu sangat

penting untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.

Jenis batu terbanyak adalah kalsium oksalat (40-60%), kalsium fosfat (20-60%),

asam urat (5-10%), struvite (5-15%), dan sistin (1-2,5%) (Cahyono, 2009).

a. Batu kalsium

Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari

seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri dari kalsium oksalat,

kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsur tersebut (Purnumo, 2008). Sering

25

Page 26: Isi

kali penyebab batu kalsium tidak diketahui. Umumnya, batu kalsium terbentuk

saat terjadi ketidakseimbangan komponen dalam urin, yang bisa menyebabkan

atau menghambat pembentukan batu. Faktor genetik memegang peranan 45%

kasus batu kalsium (Rahardjo, 2005). Batu kalsium sering terjadi pada laki-laki,

dan sering pada dekade ketiga dan keempat kehidupan (Asplin, 2005). Faktor

terjadinya batu kalsium yaitu hiperkalsiuri, hiperoksaluri, hiperurikosuri,

hipositraturi, dan hipomagnesiuri (Purnomo, 2008).

b. Batu struvit

Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini

disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi adalah

kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim

urease dan merubah urin menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi

amoniak. (CO(NH2)2 + H2O 2NH3 + CO2)

Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium,

ammonium, fosfat, dan karbonat membentuk batu magnesium ammonium fosfat

(MAP) (Mg NH4 PO4 H20) dan karbonat apatit. Karena batu ini terdiri dari 3

kation (Ca++ Mg++ NH4+) batu jenis ini dikenal sebagai batu triple phosphate.

Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea adalah Proteus spp, Klebsiella,

Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak

menimbulkan infeksi saluran kemih tetapi kuman ini bukan termasuk pemecah

urea (Purnomo, 2008).

c. Batu asam urat

Batu asam urat pada gambar 2.5 merupakan 5-10% dari seluruh batu

saluran kemih. Diantara 75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan

26

Page 27: Isi

sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak

diderita oleh pasien dengan penyakit gout, mieloproliferatif, dan pasien yang

mendapatkan terapi antikanker, dan yang menggunakan obat uricosuric

diantaranya adalah sulfinpirason, thiazide dan salisilat. Kegemukan, peminum

alkohol, dan diet tinggi protein mempunyai peluang yang lebih besar untuk

mendapatkan penyakit ini.

Gambar 2.5 Batu Asam Urat (Sumber: Fervenza , 2005)

Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah urin yang

terlalu asam (pH urin < 6), volume urin yang jumlahnya sedikit (< 2 liter/hari),

dan hiperurikosuri atau kadar asam urat yang tinggi (Purnomo, 2008).

d. Batu jenis lain

Batu sistin, xantin, batu triamteren dan batu sillikat sangat jarang dijumpai

di Indonesia.

1.2.5 Gejala klinis nefrolitiasis

Batu ginjal merupakan akibat sekunder proses intrarenal, ekstrarenal, dan

gangguan metabolik dan lingkungan. Oleh karena itu sebagai gejala batu ginjal

perlu pula diperhatikan gejala dari proses primer yang bersangkutan. Batu ginjal

memberikan keluhan bila terjadi obstruksi partial atau bila batu berubah posisi.

Dua puluh persen batu ginjal memberikan keluhan nyeri abdomen, yang pada

umumnya terasa dipinggang seperti pada gambar 2.6. Nyeri didaerah pinggang

27

Page 28: Isi

terasa bila batu menyumbat kaliks atau hubungan ureter pelvis, yang disebabkan

oleh karena peregangan parenkim dan sampai ginjal, kolik sebagai akibat spasme

dan hiperperistaltik otot polos kaliks dan pelvis. Kolik terjadi bila batu bergerak

dari kaliks ke pelvis atau dari pelvis ke ureter. Sebagian besar pasien memberi

gejala hematuria, baik hematuria makroskopis maupun mikroskopik, piuri, mual

dan muntah, serta rasa kembung karena ileus paralitik. Sering kali disertai gejala

infeksi traktus urianarius, seperti demam tinggi, menggigil, disuria, dan

polakisuria. Eneuresis dan anuria akut sebagai akibat batu yang menyumbat salah

satu atau kedua ginjal jarang ditemukan.

Gambar 2.6 Lokasi Nyeri Pada Batu Ginjal(Sumber: Cahyono, 2009 )

Batu dapat asimptomatik, baik tunggal maupun muktipel, dan seringkali

ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan urin dan radiologis dada dan

abdomen. Batu ginjal tidak memberi gejala bila terletak di submukosa atau

melekat pada parenkim; juga batu kecil pada kaliks minor, sampai diameter ≥1cm

(Trihono, 2002).

1.2.6 Diagnosis nefrolitiasis

Besarnya nilai faktor resiko dalam meyebabkan batu bervariasi sesuai

dengan populasi yang ada. Mengenali semua faktor resiko batu ginjal diperlukan

28

Page 29: Isi

untuk tindakan evaluasi dan tindakan pengobatan pasien dengan penyakit batu

kambuh (Sja’bani, 2006). Diagnosis dari batu secara umum seperti pada gambar

2.10 dapat ditegakkan melalui:

Gambar 2.7 Tahapan Diagnosa Pasien Kolik Renal(Sumber: Portis, 2001)

a. Anamnesis

Anamnesis yang teliti dapat membantu dalam mendiagnosa penyakit ini.

Hal-hal yang perlu diketahui meliputi, saat mulai timbul keluhan, riwayat

perjalanan penyakit, pola makanan, pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu

saluran kemih pada keluarga yang disebabkan hiperoksaluria, hiperkalsiuria,

sistinuria, hiperurisemia, herediter, asidosis tubular ginjal, riwayat pengeluaran

batu secara spontan, riwayat pertumbuhan dan perkembangan, masukan vitamin,

adanya penyakit yang memerlukan imobilisasi, dehidrasi, endokrinopati, atau

Pasien nyeri abdomen

Diagnostic imaging

PIV jika tidak ada CT scan

Foto polos abdomen

Ultrasonografi (USG)

Semua pasien lainnya

Pasien dengan riwayat batu radioopak

Pasien hamil, cholesistitis atau suspek

kelainan ginekologi

CT scan

Batu (+) Batu (-)

Klinis batu ginjal

Batu (+)

Batu (-)

Pasien nyeri abdomen

Anamnesa dan pemeriksaan fisik

Suspek kolik renal

29

Page 30: Isi

riwayat tindakan bedah baik langsung terhadap saluran kemih maupun ditempat

lain (Purnomo,2008).

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok didaerah

costovertebrae, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-

tanda gagal ginjal (Purnomo, 2008).

c. Pemeriksaan penunjang

Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk

menegakkan diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan

radiologik, laboratorium, dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan

adanya obstruksi saluran kemih, infeksi, dan gangguan faal ginjal (Dejong, 2003).

Adapun pemeriksaan yang akan dilakukan, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium mempunyai tiga tujuan, yaitu mengetahui faktor

resiko batu ginjal, mengetahui adanya komplikasi batu ginjal, dan mengetahui

jenis serta penyebab timbulnya batu ginjal. Pemeriksaan laboratorium yang

dilakukan adalah urinalisis, analisis air kemih 24 jam, kimia darah, dan analisa

batu seperti pada tabel 2.3 (Cahyono, 2009). Analisis batu merupakan hal yang

penting sebagai dasar pengobatan konservatif dan pencegahan residif.

Pemeriksaan analisis batu saluran kemih yang telah dikeluarkan sangat penting

untuk menentukan penyebab terbentuknya batu, terutama untuk batu saluran

kemih bagian atas, dan mempunyai peranan dalam keberhasilan pengobatan batu

(Trihono, 2002).

30

Page 31: Isi

Tabel 2.3 Pemeriksaan Laboratorium Pada Penyakit Batu GinjalJenis pemeriksaan Kemungkinan penemuan Penjelasan Urinalisis Leukosituri

EritrosituriKeasaman pH urin

Infeksi saluran kemihCedera saluran kemihpH < 5,5 memudahkan terbentuknya batu ginjal

Kimia darah KreatininKadar kalsium,fosfat, asam urat darahHormone paratiroid

Mencerminkan fungsi ginjal

Adakah hiperparatiroidAnalisis air kemih 24 jam

HiperkalsiuriHiperoksaluriaHiperuricusoriaHipositraturi

Ekskresi kalsium > 250 mg/24 jamEkskresi oksalat > 45 mg/24 jam,Ekskresi asam urat > 800 mg/24 jamEkskresi sitrat < 450 mg/24 jam

Analisis batu Unsur pembentuk batu (Sumber: Cahyono, 2009)

2. Ultrasonografi (USG)

USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,

yaitu pada keadaan alergi pada bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada

wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu ginjal

(yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau

pengkerutan ginjal (Purnomo,2008). Selain itu, USG dapat menentukan ukuran,

bentuk dan posisi batu. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk

menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu

radiolusen (Sja’bani, 2006).

3. Pemeriksaan radiologik

Pembuatan foto polos dapat menentukan besar, jumlah, macam dan lokasi

batu radio-opak serta komposisi batu pada traktus urinarius. Batu-batu jenis

kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering ditemui

dibandingkan batu lain seperti pada gambar 2.8. Sedangkan batu asam urat

bersifat non-opak atau radiolusen. Urutan radio-opasitas beberapa batu saluran

kemih seperti pada tabel 2.4 (Purnomo, 2008).

31

Page 32: Isi

Tabel 2.4 Urutan Radio-Opasitas Beberapa Batu Saluran KemihJenis batu Radioopasitas

Kalsium OpakMAP SemiopakUrat/sistin Non opak

(Sumber: Purnomo, 2008)

Gambar 2.8 Gambaran Foto Polos Abdomen Batu Kalsium Oksalat Pada Ginjal Kanan(Sumber: Pietrow, 2006)

Keterbatasan pemeriksaan ini adalah tidak dapat menentukan batu

radiolusen, batu kecil, batu yang tertutup bayangan struktur tulang. Pemeriksaan

ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal atau batu diluar ginjal

(Sja’bani,2006). Oleh karena itu, foto polos sering perlu ditambah dengan foto

pielografi intravena (PIV) (Dejong, 2003). Pemeriksaan ini bertujuan menilai

keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu

semi-opak maupun batu non-opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos

abdomen seperti pada gambar 2.9. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan

sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai

penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Purnomo, 2008).

Gambar 2.9 Gambaran Filling Defect Batu Asam Urat Pada PIV(Sumber: Stoller, 2007)

32

Page 33: Isi

Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara

terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila pada kedua ureter tersumbat total. Cara

ini dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup

sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit (Dejong,

2003).

4. Pemeriksaan lainnya

Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa

batu saluran kemih, antara lain angiografi ginjal, scanning ginjal (bila fungsi

ginjal buruk), sistoskopi (jarang dilakukan pada batu ginjal), kateterisasi ureter

(dapat membantu menentukan letak infeksi dan mengukur fungsi ginjal).

1.2.7 Komplikasi nefrolitiasis

Komplikasi batu saluran kemih biasanya obstruksi, infeksi sekunder, dan

iritasi yang berkepanjangan pada epitel yang dapat menimbulkan keganasan yang

sering berupa karsinoma epidermoid. Sebagai akibat obstruksi, khususnya di

ginjal dapat terjadi hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa

pionefritis yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal seperti pada gambar 2.10.

Bila terjadi pada kedua ginjal, akan timbul uremia karena kegagalan kedua ginjal

(Dejong, 2003).

33

Page 34: Isi

Gambar 2.10 Komplikasi dan Penyulit Batu Ginjal (Sumber: Cahyono,2009)

1.2.8 Penatalaksanaan nefrolitiasis

Berhasilnya penatalaksanaan batu saluran kemih ditentukan oleh lima

faktor ialah ketetapan diagnostik, lokasi batu, adanya infeksi saluran kemih dan

derajat beratnya, kerusakan fungsi ginjal, serta tatalaksana yang tepat. Terapi

dinyatakan berhasil apabila keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah,

infeksi telah dapat dieradikasi dan fungsi ginjal dapat dipertahankan (Trihono,

2002). Pada prinsipnya, penatalaksanaan batu ginjal dilakukan dengan dua cara,

yaitu cara konservatif dan intervensi urologi (Cahyono, 2009).

a. Terapi konservatif ( medikamentosa dan simptomatik)

Dalam pengobatan konservatif, yang dilakukan adalah mengupayakan agar

batu dapat keluar secara spontan dengan menggunakan obat-obatan dan cara

lainnya tanpa melalui tindakan operasi atau tindakan medis lainnya. Terapi medis

batu saluran kemih berusaha mengeluarkan batu atau melarutkan batu.

Pengobatan simptomatik mengusahakan agar nyeri, khususnya kolik, yang terjadi

berkurang dengan pemberian parasimpatolitik (Dejong, 2003). Terapi

madikamentosa ditujukan untuk batu ukuran kurang dari 5 mm, karena

Urolitiasis

Obstruksi Infeksi PielonefritisUreteritisSistisis

HidronefrosisHidroureter

PionefrosisUrosepsis

Gagal ginjal

34

Page 35: Isi

diharapkan batu dapat keluar spontan. Selain untuk mengurangi nyeri, terapi

medikamentosa juga diberikan untuk memperlancar aliran urin dengan pemberian

diuretikum, dan minum banyak agar dapat mendorong batu keluar dari saluran

kemih (Purnomo, 2008).

b. Tindakan urologi

Indikasi untuk melakukan tindakan/urologi adalah batu ginjal > 5 mm atau

dengan tindakan konservatif tidak memungkinkan keluar spontan, batu ginjal

yang menyebabkan nyeri yang tidak segera menghilang, hidronefrosis permanen,

jumlah urin < 500 cc/ 24 jam pada seseorang dengan satu ginjal, batu ginjal

dengan infeksi, batu staghorn, pasien dengan ginjal transplantasi, dan ada

hubungan dengan pekerjaan, seperti pilot (Cahyono, 2009).

Ada beberapa jenis tindakan urologi, yaitu Extracorporeal Shockwave

Lithotripsy (ESWL), melalui tindakan PNL(Percutaneous Nephro Lithopaxy),

bedah laparoskopi, atau pembedahan terbuka.

1. Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL)

Alat ESWL seperti pada gambar 2.11 adalah pemecah batu yang

diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah

batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan

invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil

sehingga mudah dikeluarkan melaului saluran kemih seperti pada gambar 2.12.

Tidak jarang pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan

nyeri kolik dan menyebabkan hematuri (Purnomo, 2008). Keberhasilan tindakan

ESWL menurut Sribubat, dkk (2008), yaang dipublikasikan dalam Cohrane

Database of Systematic Review tergantung pada ukuran, lokasi, dan komposisi

35

Page 36: Isi

batu. Keberhasilan tindakan ESWL mencapai lebih dari 90%, terutama untuk batu

ginjal berukuran < 2 cm. berdasarkan lokasi batunya, batu di pelvis ginjal

memberikan keberhasilan 86-89%. Batu kalsium oksalat dihidrat dan asam urat

lebih mudah dipecah dibandingkan batu kalsium oksalat monohidrat dan sistin

(Cahyono, 2009).

Gambar 2.11 Alat Untuk Melakukan ESWL(Sumber: Liou, 2009)

Gambar 2.12 Tindakan ESWL Untuk Menghancurkan Batu Ginjal(Sumber: Liou, 2009)

2. PNL(Percutaneous Nephro Lithopaxy)

PNL yaitu mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal dengan

cara memasukkan alat endoskopi ke system kalikses melalui insisi pada kulit

seperti pada gambar 2.13. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih

dahulu menjadi fragmen – fragmen kecil (Purnomo, 2008).

36

Page 37: Isi

Gambar 2.13 Tindakan PNL (Percutaneous Nephro Lithopaxy)(Sumber: Dejong, 2003)

Nefrolitrotripsi percutan dapat digunakan saat ESWL tidak ada atau tidak

efektif. Cara ini lebih efektif pada pasien yang mengalami obesitas berat. Cara ini

aman untuk usia lanjut dan anak-anak. Cara ini juga lebih baik dari ESWL untuk

batu ginjal, yang tetap berada dalam ureter lebih dari empat minggu. (Rahardjo,

2005). PNL memiliki keuntungan yaitu jika batu dapat dilihat, hampir dipastikan

batu tersebut dapat dihancurkan, dengan alat fleksibel, ureter dapat dilihat secara

langsung sehingga fragmen kecil dapat diidentifikasi dan diangkat dan proses

cepat, dengan hasil yang dapat diketahui saat itu juga (Sastroasmoro, 2005).

3. Pembedahan

Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotriptor, alat gelombang

kejut, atau bila cara non-bedah tidak berhasil. Walaupun demikian, sudah barang

tentu untuk menentukan tindakan bedah pada suatu penyakit batu saluran kemih

perlu seperangkat indikasi. Batu ginjal yang terletak dikaliks selain oleh indikasi

umum, perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus

dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak mudah karena batu biasanya

tersembunyi didalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan

hidronefrosis, infeksi, dan menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu

pelvis terlebih lagi yang berbentuk tanduk rusa (batu staghorn) berpeluang besar

menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi untuk batu pielum yang sederhana

37

Page 38: Isi

disebut pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa dengan pielolitotomi yang

diperluas seperti pada gambar 2.14.

Gambar 2.14 Tindak Bedah Untuk Urolithiasis (Sumber: Dejong, 2003)

1.2.9 Pencegahan nefrolitiasis

Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang

tidak kalah penting adalah upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka

kekambuhan batu ginjal rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10

tahun. Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang

menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya

pencegahan itu berupa menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan

diusahakan produksi urin sebanyak 2-3 L per hari ,diet untuk mengurangi kadar

zat – zat komponen pembentuk batu, aktivitas harian yang cukup, dan pemberian

medikamentosa seperti pada tabel 2.5.

38

Page 39: Isi

Tabel 2.5 Tindakan atau Terapi Untuk Pencegahan Timbulnya Kembali Batu

Jenis batu Faktor penyebab timbulnya batu

Jenis obat/tindakan Mekanisme kerja obat

Kalsium Hiperkalsiuri absortif

Natrium selulosa fosfat Mengikat Ca dalam usus absorbs ↓

Thiazide ↑ reabsorbsi Ca ditubulusOrthofosfat ↓ sintesa vitamin D

↑urin inhibitor

Hiperkalsiuri renal Thiazide ↑ reabsorbsi Ca ditubulusHiperkalsiuri resorbtif

Paratiroidektomi ↓ resorbsi Ca ditulang

Hipositraturi Potasium sitrat ↑ pH; ↑ sitrat; ↓Ca urin

Hipomagnesiuri Magnesium sitrat ↑ Mg urinHiperuricosuri Allopurinol ↓ asam urat

PyridoxinKalsium suplemen

MAP Infeksi Antibiotic Eradikasi infeksi AHA (amino hydroxamic acid)

Urease inibitor

Urat Dehidrasi Hidrasi cukup ↑ pHpH urin ↓ Potasium alkali (Nat bik)hiperuricosuri Allopurinol ↓ asam urat

(Sumber: Purnomo, 2008)

Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah

rendah protein, karena protein akan memicu ekskresi kalsium urin dan

menyebabkan suasana urin menjadi lebih asam; rendah oksalat, rendah garam dan

rendah purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang

menderita hiperkalsiuri absorbtif tipe II (Purnomo, 2008).

1.3 Hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia)

dengan batu ginjal (nephrolithiasis)

Batu terdiri atas kristal – kristal yang tersusun oleh bahan organik maupun

anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam

keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan

tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Pada beberapa orang

dengan diet tinggi purin, alkohol berlebihan, kekurangan enzim hypoxanthine

phosphoribosil transferase yang bertugas mengubah bentuk purin menjadi asam

39

Page 40: Isi

urat, serta adanya bahan purin yang berlebihan akibat pembentukan sel dan

perusakan sel-sel secara berlebihan (misalnya, obat kemoterapi yang merusak sel-

sel kanker) akan menyebabkan peningkatan produksi asam urat. Dimana asam

urat relative tidak larut didalam urin sehingga mudah sekali terbentuk kristal.

Kristal – kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk batu inti

(nucleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan

lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar,

agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu menyumbat saluran kemih.

Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi

kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat sehingga

membentuk batu yang cukup besar dan menyumbat saluran kemih (Purnomo,

2008).

Pada pasien dengan kadar asam urat serumnya tinggi akan terjadi

ketidakseimbangan antara faktor produksi dan pembuangan (Cahyono, 2009).

Dimana akan terjadi presipitasi garam urat (MSU) pada jaringan, sendi, ginjal,

ureter, dan kandung kemih. Bila presipitasi garam urat terjadi di ginjal maka akan

menyebabkan terbentuknya batu ginjal seperti pada gambar 2.15.

40

Page 41: Isi

Gambar 2.15 Hubungan Hiperurisemia dengan Batu Ginjal(Silbernagl, 2006)

Alkohol

Obat

Alkohol

Obat

ObesitasObesitasThiazideThiazide

Renal stone Renal stone

41

Page 42: Isi

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

1.4 Kerangka Konsep

Hiperurisemia

7-9.9 mg/dl 10-11.9 mg/dl ≥ 12 mg/dl

Urat nephropathy Uric acid nephropathy

Kristalisasi asam urat di tubulus ginjal

Deposisi MSU di renal interstitium

Batu ginjal

Supersaturasi urinPenurunan zat inhibitor

Deposisi MSU di ginjal

Kristalisasi MSU di ginjal

Kristalisasi MSU di renal interstitium

Agregrasi kristal

Menarik bahan-bahan kristal lain

Ukuran kristal membesar

Keterangan:

= Diteliti

= Tidak diteliti

42

42

Page 43: Isi

Hiperurisemia atau peningkatan kadar asam urat serum dapat terjadi

karena produksi dari purin yang berlebihan dan dapat juga karena gangguan

sekresi di ginjal ataupun gangguan pada keduanya. Dengan peningkatan kadar

asam urat dapat menyebabkan terbentuknya urate nephropathy, uric acid

nephropathy, dan batu ginjal, dimana pada urate nephropathy terjadi deposisi

monosodium urat (MSU) di renal interstitium sehingga menyebabkan

pembentukan batu ginjal. Sedangkan pada uric acid nephropathy dimana terjadi

peningkatan asam urat serum akan menyebabkan terjadinya supersaturasi urin

diikuti kristalisasi asam urat di tubulus ginjal terutama di collecting ducts

sehingga meningkatkan kejadian batu ginjal. Jadi pada keadaan hiperurisemia

dapat menyebabkan terbentuknya kristal diginjal, karena asam urat tidak dapat

larut dalam air. Kemudian kristal-kristal tersebut akan mengadakan presipitasi

membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregrasi,

sehingga menjadi kristal yang lebih besar dan selanjutnya akan terbentuk batu

ginjal.

3.2 Hipotesis

Terdapat hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) dengan kejadian batu ginjal (nephrolithiasis).

43

Page 44: Isi

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan

desain studi cross sectional yang bertujuan untuk menilai korelasi antara

peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia) dengan kejadian batu ginjal

(nephrolithiasis).

1.2 Lokasi dan Waktu penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan. Waktu pelaksanaan penelitian adalah pada bulan Desember 2009-

Januari 2010.

1.3 Populasi dan Sampel

1.1.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien yang menjalani rawat inap di RSUD

dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan bagian Penyakit Dalam dan Urologi

periode Januari-Desember 2008.

1.1.2 Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien dengan hasil

laboratorium hyperuricemia yang menjalani rawat inap di RSUD dr.Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan bagian Penyakit Dalam dan Urologi periode Januari –

Desember 2008.

44

Page 45: Isi

1.1.3 Tehnik pengambilan sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cara total

sampling.

1.1.4 Karakteristik sampel penelitian

1.1.4.1 Kriteria inklusi

1. Pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang menjalani

rawat inap.

2. Pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang berusia ≥ 30

tahun.

1.1.4.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien yang hasil laboratorium hyperuricemia dengan riwayat

pemakaian obat-obatan (thiazide, salisilat dosis rendah,

pirasinamid, etambutol, dan nikotinat, siklosporin, dan

kemoterapi).

4.3.5 Variabel penelitian

4.1.1.1 Variabel bebas

Variebel bebas pada penelitian ini adalah peningkatan kadar asam

urat serum (hyperuricemia).

4.1.1.2 Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah batu ginjal

(nephrolithiasis).

45

Page 46: Isi

4.1.1.3 Definisi operasional variabel

1. Hiperurisemia : adalah keadaan dimana terjadi peningkatan asam

urat darah di atas normal. Batasan yang dipergunakan untuk

hiperurisemia adalah dimana kadar asam urat 7 mg/dl untuk laki –

laki dan 6 mg/dl untuk perempuan (Putra, 2006). Pada penelitian

ini pasien dikatakan hiperurisemia dilihat dari hasil laboratorium

pada rekam medik. Dan pada pemeriksaan kadar asam urat serum

didapatkan kadarnya di atas 7 mg/dl dan pada penelitian ini kadar

asam urat serum dibagi menjadi tiga interval, yaitu 7-9.9 mg/dl,

10-11.9 mg/dl dan ≥ 12 mg/dl.

2. Nefrolitiasis : pasien yang didiagnosa batu ginjal yang dilihat

dari rekam medik dan hasil anamnesa dan pemeriksaan yang

mendukung.

1.4 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan adalah data sekunder dari Rekam Medik

dengan hasil laboratorium peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia)

yang menjalani rawat inap di RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan bagian

Penyakit Dalam dan Urologi periode Januari - Desember 2008.

1.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Data penelitian diperoleh dari data sekunder. Data sekunder yang

digunakan yaitu rekam medik pasien di RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan dalam periode satu tahun yaitu tahun 2008. Kemudian dilakukan

pengambilan sampel yaitu pasien dengan hasil laboratorium peningkatan kadar

46

Page 47: Isi

asam urat serum (hyperuricemia). Setelah itu sampel dipisahkan sesuai

karakteristik yang diinginkan. Kemudian dilakukan analisa data.

1.6 Analisa Data

Data sekunder yang diperoleh dari rekam medik penderita dengan

peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia) yang batu ginjal

(nephrolithiasis) kemudian diolah dahulu dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

dan diagram, untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan tergantung

digunakan uji korelasi yaitu koefisien kontingensi dan bermakna bila p<0,05

dengan menggunakan program SPSS for windows versi 16.00 dan disajikan

dalam bentuk tabel.

1.7 Alur penelitian

Rekam medik pasien rawat inap di Rumah Sakit dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan bagian Penyakit Dalam dan Urologi periode

Januari-Desember 2008 (medical record)

≥ 30 tahun

Analisa

7-9.9 mg/dl ≥ 12 mg/dl

Hasil laboratorium hyperuricemia

Batu ginjal

Kesimpulan

10-11.9 mg/dl

47

Page 48: Isi

1.8 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dapat menganalisa jenis-jenis batu

ginjal, tidak dapat menginklusikan pasien batu yang tidak terdiagnosa, serta tidak

menilai pasien batu ginjal dengan kadar asam urat normal.

1.9 Jadwal Penelitian

No. KegiatanSep2009

Okt2009 Nov

2009Des2009

Jan2010

Feb2010

Maret2010

I II III IV I II III IV

1Menyusun proposal

2Presentasi proposal

3Mengumpulkan data

4Analisa data

5Pembuatan laporan

6Presentasi Akhir

48

Page 49: Isi

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian dari data rekam medik pada pasien yang

dirawat di bagian Penyakit Dalam dan Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan, pada periode Januari sampai Desember 2008 didapatkan 161 orang

pasien yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien dengan hasil laboratorium

hyperuricemia (peningkatan kadar asam urat serum).

5.1 Deskripsi Karakteristik Pasien Sampel Penelitian

5.1.1 Deskripsi Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia

Penderita hiperurisemia yang datang ke bagian Penyakit Dalam dan

bagian Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan yang berusia antara

40-49 tahun menunjukkan persentase tertinggi yaitu sebesar 32.9%, sedangkan

rentang usia lainnya mempunyai frekuensi yang bervariasi, dengan rincian

sebagai berikut :

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia PasienUsia Pasien Frekuensi Persentase (%)

30-39 th 32 19.9%40-49 th 53 32.9%50-59 th 38 23.6%60-69 th 30 18.6%>70 th 8 5%Total 161 100%

Sumber : Data primer yang diolah dengan SPSS 16

49

Page 50: Isi

Gambar 5.1. Distribusi Frekuensi Usia Pasien

Dari data tersebut dapat disimpulkan 3 urutan tertinggi didapatkan pada

rentang usia 40 sampai 49 tahun sebesar 32,9%, selanjutnya pada usia 50 sampai

59 tahun sebesar 23.6 % dan persentase terbanyak ketiga pada usia 30 sampai 39

tahun yaitu sebesar 19.9%.

Tabel 5.2 Tabulasi Silang Usia Pasien dengan Kejadian Batu Ginjal

Batu ginjalTotal

(+) (-)

Usia pasien 30-39 th n

% batu ginjal7

16.3%25

21.2%32

40-49 th n% batu ginjal

1432.6%

3933.1%

53

50-59 th n% batu ginjal

1227.9%

2622.0%

38

60-69 th n% batu ginjal

920.9%

2117.8%

30

≥ 70 th n% batu ginjal

12.3%

75.9%

8

Total n% batu ginjal

43100%

118100%

161

Sumber: Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa batu ginjal terbanyak ditemukan pada usia

40-49 tahun sebanyak 14 pasien (32.6%). Selanjutnya pada usia 50-59 tahun

50

Page 51: Isi

sebanyak 12 pasien (27.9%), usia 60-69 tahun sebanyak 9 pasien (20.9%), usia

30-39 tahun sebanyak 7 pasien (16.3%) dan pada usia >70 tahun sebanyak 1

pasien (2.3%).

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 161 orang Pasien

dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang datang ke bagian Penyakit Dalam

dan bagian Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, sebanyak 112

orang (69.6%) merupakan pasien laki-laki, dan 49 orang (30.4%) merupakan

pasien perempuan.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin PasienJenis Kelamin Pasien Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 112 69.6%Perempuan 49 30.4%

Total 161 100%Sumber : Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien

Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa dari jumlah pasien

dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang datang ke bagian Penyakit Dalam

dan Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan lebih banyak jumlah

pasien laki-laki daripada jumlah pasien perempuan.

51

Page 52: Isi

Tabel 5.4 Tabulasi Silang Jenis Kelamin Pasien dengan Kejadian Batu Ginjal

Batu ginjalTotal

(+) (-)

Jenis kelamin pasien

Laki-laki n% batu ginjal

3172.1%

8168.6%

112

Perempuan n% batu ginjal

1227.9%

3731.4%

49

Total n% batu ginjal

43100%

118100%

161

Sumber : Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 43 pasien batu ginjal terbanyak

ditemukan pada pasien laki-laki sebanyak 31 pasien (72.1%), sedangkan untuk

pasien perempuan didapatkan sebanyak 12 pasien (27.9 %).

5.1.3 Deskripsi Karakteristik Sampel Berdasarkan Kadar Asam Urat Serum

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 161 orang Pasien

dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang datang ke bagian Penyakit Dalam

dan bagian Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, sebanyak 112

orang (69.6%) dengan kadar asam urat serum sebesar 7-9.9 mg/dl, 21 orang

(13.6%) dengan kadar asam urat serum sebesar 10-11.9 mg/dl, dan 27 pasien

(16.8%) dengan kadar asam urat ≥ 12 mg/dl

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Peningkatan Kadar Asam Urat serum PasienKadar Asam Urat Frekuensi Persentase (%)

7-9.9 mg/dl10-11.9 mg/dl

≥ 12 mg/dl

1122227

69.6%13.6%16.8%

Total 161 100%Sumber : Data primer yang diolah dengan SPSS 16

52

Page 53: Isi

Gambar 5.3 Distribusi Frekuensi Peningkatan Kadar Asam Urat Serum Pasien

Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa dari jumlah pasien

dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang datang ke bagian Penyakit Dalam

dan Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan lebih banyak pada

kadar 7-11.9 mg/dl.

Tabel 5.6 Tabulasi Silang Jenis Kelamin pasien dengan Klasifikasi Kadar Asam Urat

Kadar Asam Urat (mg/dl)Total

7-9.9 10-11.9 ≥ 12

Jenis kelamin pasien

Laki-laki n% kadar

asam urat

8273.2%

1463.6%

1659.3%

112

Perempuan n% kadar

asam urat

3026.8%

836.4%

1140.7%

49

Total n% kadar

asam urat

112100%

22100%

27100%

161

Sumber: Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari keseluruhan pasien dengan hasil

laboratorium hiperurisemia didapatkan bahwa pasien dengan kadar asam urat

serum 7-9.9 mg/dl lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu sebanyak 82

pasien (73.2%), sedangkan pada perempuan sebanyak 30 pasien (26.8%). Begitu

53

Page 54: Isi

pula pada pasien dengan kadar asam urat 10-11.9 mg/dl lebih banyak ditemukan

pada laki-laki yaitu sebanyak 14 pasien (63.6%), sedangkan pada perempuan

sebanyak 8 pasien (36.4%). Sedangkan pasien dengan kadar asam urat serum ≥ 12

mg/dl lebih banyak ditemukan pada laki-laki sebanyak 16 pasien (59.3%), dan

pada perempuan sebanyak 11 pasien (40.7)

Tabel 5.7 Tabulasi Silang Kadar Asam Urat Serum, Usia Pasien dengan Kejadian Batu GinjalKlasifikasi

usia pasien

Batu GinjalTotal

(+) (-)

30-39 tahun

Kadar Asam Urat Serum pasien 7-9.9 mg/dl

10-11.9 mg/dl511

1609

21110≥ 12 mg/dl

Total 7 25 3240-49 tahun

Kadar Asam Urat Serum pasien 7-9.9 mg/dl

10-11.9 mg/dl103

287

3810

≥ 12 mg/dl 1 4 4Total 14 39 53

50-59 tahun

Kadar Asam Urat Serum pasien 7-9.9 mg/dl

10-11.9 mg/dl102

144

246

≥ 12 mg/dl 0 8 8Total 12 26 38

60-69 tahun

Kadar Asam Urat Serum pasien 7-9.9 mg/dl

10-11.9 mg/dl72

162

234

≥ 12 mg/dl 0 3 3Total 9 21 30

≥ 70 tahun Kadar Asam Urat Serum pasien 7-9.9 mg/dl

10-11.9 mg/dl10

51

61

≥ 12 mg/dl 0 1 1Total 1 7 8

Total pasien 43 118 161Sumber: Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa batu ginjal terbanyak ditemukan pada

pasien usia 40-49 tahun sebanyak 14 pasien, dimana didapatkan sebanyak 10

54

Page 55: Isi

pasien dengan kadar asam urat serum 7-9.9 mg/dl, 3 pasien dengan kadar 10-11.9

mg/dl dan sebanyak 1 pasien dengan kadar asam urat serum ≥ 12 mg/dl.

5.1.4 Deskripsi Karakteristik Sampel Berdasarkan Diagnosa

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 161 orang pasien

dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang datang ke bagian Penyakit Dalam

dan bagian Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, dimana

didapatkan 43 pasien dengan diagnosa batu ginjal (26.7%) dan 118 pasien dengan

diagnosa tanpa batu ginjal (73.3%).

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Diagnosa PasienDiagnosa Frekuensi Persentase (%)

Batu ginjal 43 26.7%Tanpa batu ginjal 118 73.3%

Total 161 100%Sumber : Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Gambar 5.4 Distribusi Frekuensi Diagnosa Pasien

5.2 Analisis Data

5.2.1 Tabulasi Silang Antara peningkatan kadar asam urat serum pasien dengan

kejadian batu ginjal

55

Page 56: Isi

Bentuk tabulasi silang (crosstabs) yang dapat menggambarkan penyebaran

data secara lebih terinci dari pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia

dengan diagnosa pasien, sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5.9 Tabulasi Silang Kadar Asam Urat Serum Pasien dengan Kejadian Batu Ginjal

Batu ginjalTotal

(+) (-)Kadar asam urat serum

pasien7-9.9 mg/dl n

% Total33

20.5%79

49.1%112

10-11.9 mg/dl n% Total

85.0%

148.7%

22

≥ 12 mg/dl n% Total

21.2%

2515.5%

27

Total n% Total

4326.7%

11873.3%

161

Sumber: Data primer yang diolah dengan SPSS 16

Pada hasil tabel silang (crosstabs) di atas terlihat bahwa pasien dengan

diagnosa batu ginjal secara berurutan banyak terdapat pada kadar 7-9.9 mg/dl

yaitu sebanyak 33 pasien (20.5%), pada kadar 10-11.9 mg/dl yaitu sebanyak 8

pasien (5.0%), sedangkan pada kadar ≥ 12 mg/dl ditemukan sebanyak 2 pasien

(1.2%).

5.2.2 Hubungan Antara Peningkatan Kadar Asam Urat Serum dengan Kejadian

Batu Ginjal

Untuk menguji adanya hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum

dengan kejadian batu ginjal pada pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia

yang datang ke bagian Penyakit Dalam dan Urologi RSUD dr. Kanujoso

56

Page 57: Isi

Djatiwibowo Balikpapan, maka digunakan uji koefisien kontingensi. Ukuran dari

derajat keeratan hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum dengan

kejadian batu ginjal pada pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang

datang ke bagian Penyakit Dalam dan Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan tersebut, dapat diinterpretasikan sebagai berikut.

Tabel 5.10 Uji Korelasi Koefisien Kontingensi

Value Approx. sig.Nominal by nominal Koefisien kontingensi 0.199 0.037

N of valid case 161

Sumber : Data primer yang diolah dengan 16

Berdasarkan Tabel 5.9 diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,037, dimana

lebih kecil dari α=0.05 yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna

(signifikan) antara peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia) dengan

kejadian batu ginjal (nephrolithiasis) .

57

Page 58: Isi

BAB 6

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara

peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia) dengan kejadian batu ginjal

di RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia yang datang

ke bagian Penyakit Dalam dan Urologi RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo

Balikpapan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dan diperoleh

161orang sampel dalam penelitian ini.

Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pengambilan data

menggunakan data sekunder, dalam penelitian ini adalah rekam medis dimana

pencatatan yang kurang lengkap terhadap pemeriksaan yang dilakukan (tidak

semua pasien batu ginjal dilakukan pemeriksaan kadar asam urat serum, dan pada

beberapa rekam medik tidak tercantum hasil laboratorium pasien, dan tidak semua

pasien hiperurisemia dilakukan pemeriksaan radiologik untuk memeriksa apakah

terdapat batu pada ginjal pasien tersebut) karena disesuaikan dengan kebutuhan

diagnosis dan faktor biaya yang harus dikeluarkan pasien bukan merupakan

kepentingan penelitian. Dan selain itu, terdapat faktor-faktor lain sebagai faktor

yang memicu terbentuknya batu ginjal pada penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkkan bahwa pasien dengan hasil

laboratorium hiperurisemia terbanyak ditemukan pada usia antara 40-49 tahun

sebanyak 32.9% , selanjutnya pada usia 50-59 tahun sebanyak 23.6%. Hal ini

sesuai yang dikatakan Misnadiarly (2007) bahwa hiperurisemia lebih rentan

58

Page 59: Isi

terjadi pada usia pertengahan yaitu 30-50 tahun. Selain itu, Luk (2005)

menerangkan bahwa peningkatan kadar asam urat dipengaruhi oleh usia dan berat

badan, dimana peningkatan usia seseorang juga akan diikuti oleh peningkatan

kadar asam urat serum. Bahkan menurut Conen (2004), kadar asam urat pada

perempuan peningkatan dimulai sejak masa menopause, sedangkan pada laki-laki

tidak terlihat perbedaan pada usia berapapun. Selain itu, pada penelitian ini

didapatkan bahwa batu ginjal terbanyak ditemukan pada usia 40-49 tahun. Hal ini

sesuai dengan yang dikatakan Purnomo (2008) bahwa batu ginjal sering terjadi

pada usia 30-50 tahun, dimana pada penelitian ini kelompok usia yang paling

banyak menderita batu ginjal adalah usia 30-59 tahun yaitu sebanyak 76.7%.

Pasien dengan hasil laboratorium hiperurisemia ditemukan lebih banyak

pada laki-laki daripada perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Misnadiarly

(2007) bahwa laki-laki lebih sering menderita hiperurisemia, karena pada

perempuan terdapat hormon estrogen, dimana membantu dalam ekskresi

(pembuangan) asam urat melalui urin, sehingga membuat kadar asam urat pada

wanita tetap rendah dan baru meningkat setelah menopause.

Penelitian ini mendapatkan pasien batu ginjal lebih banyak ditemukan

pada laki-laki. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Razak (1993) bahwa pada

perempuan mempunyai hormon estrogen, dimana dapat mencegah terjadinya

agregasi garam kalsium, sehingga lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Dewi

(2008) menerangkan hal ini disebabkan karena laki-laki mempunyai ukuran tubuh

(body size) yang lebih besar dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan

intake nutrisi dan kalori lebih banyak yang menyebabkan oksalat yang lebih tinggi

59

Page 60: Isi

di urin. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa insiden batu ginjal lebih banyak

pada laki-laki (72%) daripada perempuan (28%).

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pasien dengan hasil

laboratorium hiperurisemia lebih banyak ditemukan pada kadar 7-9.9 mg/dl,

dimana lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan.

Hiperurisemia terjadi akibat ketidakseimbangan antara dua proses yaitu produksi

dan sekresi asam urat. Pemakaian obat-obatan tertentu dapat menyebabkan

hiperurisemi karena dapat menurunkan ekskresi asam urat di urin yaitu antara lain

thiazide, low dose aspirin, siklosporin, pirazinamide, ethambutol dan niasin. Luk

(2005) menerangkan bahwa hampir 80% pasien dengan penggunaan siklosporin

memiliki kadar asam urat ≥ 12 mg/dl. Pada penelitian ini hanya didapatkan 27

pasien dengan kadar ≥ 12 mg/dl (16.8%). Hal ini dapat disebabkan karena peneliti

mengeksklusikan pasien dengan pengobatan yang dapat memicu tingginya kadar

asam urat.

Penelitian ini mendapatkan hanya 26.7% pasien hiperurisemia yang

terdiagnosa batu ginjal dan dari keseluruhan pasien batu ginjal ternyata banyak

ditemukan pada kadar 7-12 mg. Selain itu, berdasarkan hasil uji korelasi

koefisien kontingensi menunjukkan nilai signifikansi (p) sebesar 0.037 yang lebih

kecil dari α=0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara peningkatan kadar asam urat serum (hyperuricemia) dengan

kejadian batu ginjal (nephrolithiasis).

Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa kepustakaan, dimana berbagai

laporan telah menunjukkan pentingnya asam urat di dalam proses pembentukan

batu. Menurut Hidayat (2009) hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi

60

Page 61: Isi

peningkatan kadar asam urat darah di atas normal, dan menurut Wortmann (2005)

hiperurisemia sendiri dapat menyebabkan gangguan pada ginjal yaitu berupa batu

ginjal, gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat. Hal ini sesuai dengan

yang dikatakan

Purnomo (2008) menerangkan bahwa batu ginjal terdiri atas kristal yang

tersusun oleh bahan-bahan organik dan bahan anorganik yang terlarut dalam urin.

Lang (2006) mengatakan bahwa zat pembentuk konkremen dapat mengendap di

urin jika ambang kelarutannya terlampaui. Jika konsentrasinya meningkat

melebihi rentang metastabil akan terjadi kristalisasi. Hal ini sesuai dengan

Rahardjo (2005) yang menerangkan bahwa proses berkembangnya batu ginjal

adalah penjenuhan, dimana melibatkan garam yang dibawa urin, salah satunya

yaitu asam urat dan dapat menjadi sangat terkonsentrasi di bawah kondisi tertentu,

yaitu jika volume urin menurun secara signifikan atau jika garam pembentuk

kristal berada pada titik yang tidak dapat lagi dilarutkan (supersaturasi).

Kemudian garam akan mengendap dan membentuk kristal sehingga terbentuk

batu.

Purnomo (2008) mengatakan bahwa hiperurisemia dapat menyebabkan

terbentuknya kristal diginjal, karena asam urat bersifat tidak dapat larut dalam air,

kemudian kristal-kristal tersebut akan mengadakan presipitasi membentuk inti

batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregrasi, sehingga menjadi

kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya besar, agregat Kristal masih rapuh

dan belum cukup mampu menyumbat saluran kemih, untuk itu agregat Kristal

menempel pada epitel saluran kemih, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan

61

Page 62: Isi

pada agregat sehingga batu ginjal yang cukup besar dan menyumbat saluran

kemih.

Penelitian ini mendapatkan bahwa dari keseluruhan pasien batu ginjal

ternyata banyak ditemukan pada kadar 7-9.9 mg/dl. Hal ini berkebalikan dengan

pernyataan Wortmann (2005), dimana hampir 50% pembentukan batu dapat

terjadi pada kadar asam urat serum 13 mg/dl. Begitu pula dengan pernyataan

Misnadiarly (2007) bahwa kadar asam urat serum > 9 mg/dl merupakan faktor

resiko berkembangnya batu ginjal. Tetapi hasil penelitian diatas sesuai yang

dikatakan Purnomo (2008) bahwa secara epidemiologis terdapat beberapa faktor

yang mempermudah terjadinya batu pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah

faktor intrinsik (herediter, usia, jenis kelamin) dan ekstrinsik (geografi, iklim dan

temperatur, asupan air, dan diet tinggi purin, kalsium, oksalat, kalsium, dan

pekerjaan). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Misnadiarly (2007) bahwa pada

negara tropis, dimana keringat banyak dikeluarkan dan biasanya terjadi dehidrasi

kronis, maka didapatkan tingkat batu ginjal yang tinggi. Faktor – faktor ini dapat

menfasilitasi pembentukan batu ginjal, sehingga peningkatan kadar asam urat > 9

mg/dl hanyalah salah satu dari banyak faktor resiko berkembangnya batu ginjal.

62

Page 63: Isi

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar asam urat

(hyperuricemia) dengan kejadian batu ginjal (nephrolithiasis) di RSUD dr.

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dengan nilai signifikan sebesar 0.037,

dimana lebih kecil dari α= 0.05.

2. Prevalensi pasien hiperurisemia dengan kadar 7-9.9 mg/dl yang menjalani

rawat inap di RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan bagian

Penyakit Dalam dan Urologi dengan diagnosa batu ginjal sebesar 20.5%.

3. Prevalensi pasien hiperurisemia dengan kadar 10-11.9 mg/dl yang

menjalani rawat inap di RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

bagian Penyakit Dalam dan Urologi dengan diagnosa batu ginjal sebesar

5.0%.

4. Pasien hiperurisemia dengan kadar ≥ 12 mg/dl yang menjalani rawat inap

di RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan bagian Penyakit Dalam

dan Urologi dengan diagnosa batu ginjal ditemukan hanya 2 pasien,

dengan prevalensi sebesar 1.2% dimana hal ini bertolakbelakang dengan

teori dari beberapa kajian pustaka.

63

Page 64: Isi

5. Pasien dengan hasil laboratorium peningkatan kadar asam urat serum

(hyperuricemia) lebih banyak ditemukan pada laki-laki, usia 40-49 tahun,

dan prevalensi pasien dengan diagnosa batu ginjal sebesar 26.7%.

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan dan pembahasan hasil penelitian, dikemukakan

saran-saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian dengan penggunaan data primer, agar data yang

didapat lebih akurat.

2. Untuk membuktikan peningkatan kadar asam urat serum ≥ 13 mg/dl paling

sering mendorong terjadinya batu ginjal, diperlukan penelitian lebih lanjut

dengan jumlah pasien yang lebih banyak pada kadar ≥ 13 mg/dl.

3. Hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain selain

hiperurisemia yang dapat menyebabkan pembentukan batu ginjal.

64