27
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seluruh hukum yang ditetpakan oleh Alllah SWT atas hamba Nya dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari mashlahah. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk melakukannya adalah mengandung manfaat bagi dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu ada yang dilakukannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakannya sesudahnya. Umpamaya Allah menyuruh shalat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan jasmani. Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemashlahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Umpamanya meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mebuk yang dapat merusak tubuh, jiwa ( mental ) , dan akal. Mahlahah itu diperhtungkan oleh mujtahid yang berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemikan hukumnya di dalam A – Qur’an, Sunnah, maupun dalam ijma’. Dalam hal ini si Mujtahid menggunakan metode ,ashlahah dalam menggali dan mentepakn hukum. Pembahasan ini akan dibahas dalam makalah secara jelas. B. RUMUSAN MASALAH 1 | Page

Isi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mutlak dan mukoyyad

Citation preview

BAB IPENDAHULUANA. LATAR BELAKANGSeluruh hukum yang ditetpakan oleh Alllah SWT atas hamba Nya dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara yang sepi dari mashlahah. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk melakukannya adalah mengandung manfaat bagi dirinya baik secara langsung atau tidak. Manfaat itu ada yang dilakukannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakannya sesudahnya. Umpamaya Allah menyuruh shalat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan jasmani.Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemashlahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Umpamanya meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mebuk yang dapat merusak tubuh, jiwa ( mental ) , dan akal.Mahlahah itu diperhtungkan oleh mujtahid yang berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemikan hukumnya di dalam A Quran, Sunnah, maupun dalam ijma. Dalam hal ini si Mujtahid menggunakan metode ,ashlahah dalam menggali dan mentepakn hukum. Pembahasan ini akan dibahas dalam makalah secara jelas.B. RUMUSAN MASALAH1. Apakah definisi mashlahah ?2. Apa saja jenis jenis mashlahah ?3. Apakah definisi mashlahah mursalah ?4. Bagaimana mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad ?5. Bagaimana relevansi mashlahah mursalah dalam masa kini ?C. TUJUAN1. Mengetahui definisi mashlahah2. Mengetahui saja jenis jenis mashlahah3. Mengetahui definisi mashlahah mursalah4. Mengetahui kedudukan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad5. Mengetahui relevansi mashlahah mursalah dalam masa kini

BAB IIPEMBAHASANA. Definisi Maslahah Sebelum menjelaskan arti maslahah mursalah, perlu dibahas lebih dahulu tentang maslahah, karena maslahah mursalahah itu merupakan salah satu bentuk dari maslahah.Maslahah ( (berasal dari kata shalaha()dengan penambahan alif diawalanya yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau :rusak. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah (), yaitu manfaat atau terlepas daripadanya kerusakan. Pengertian maslahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menhasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan.Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah.Dengan begitu maslaha itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.Dalam mengartikan maslahah secara definitif terdapat perb edaan rumusan dikalangan ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama.1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan), namun hakikat dari maslahah adalah : Memelihara tujuan syara (dalam menetapkan hokum).Sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hokum itu ada lima yaitu : memlihara jiwa, agama, akal, keturunan dan harta.[footnoteRef:2] [2: Jalaluddin Abdurrahman, Al Mashalih Al- Mursalah wa Makanatiha fi at Tasyri, hal 13]

2. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi Al-Ghazali diatas, yaitu : Memelihara tujuan syara (dalam menetapka hokum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia. Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi Al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya, karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan menolak kemaslahatan berarti menarik kerusakan.3. Al-Iez Ibn Abd Al-Salam dalam kitabnya, Qawaid Al-Ahkam, memberikan arti maslahah dalam bentuk hakikinya dengan kesenangan dan kenimatan. Sedangkan bentuk majazinya adalah sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersebut. Arti ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu : kelezatan dan sebab-sebanya serta kesenagangan dan sebab-sebabnya.4. Al-Syatibi mengartikan maslahah itu dari dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara kepada maslahah.a. Dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan, berarti : Sesuatu yang kembali kepda tegaknyakehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akalinya secara mutlak.b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara kepada maslahah,yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hokum syara. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.5. Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid Al-Alimal- Maqasidh al-Ammah li al-syari ati al-islamiyyah mendefinisikan maslahah sebagai berikut : Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara dalam bentuk ibadat atau adat.Definisi dari Al-Thufi ini bersesuaian dengan definisi dari al-Ghazali yang memandang maslahah dalam artian syara sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara.Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) dari manusia, sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hokum.Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antar maslahah dalam pengertian bahasa (umum) dengan maslahah dalam pengertian hokum atau syara.Perbedaannya terlihat dari segi tujuan syara yang dijadikan rujukan.Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan maslahah dalam arti syara yang menjadi titik bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan tujuhan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu mendapatkan kesenganan dan menghindarkan ketidaksenangan.Selanjutnya yusuf Hamid dalam kitab al-Maqashid menjelaskan keistimewaan maslahahsyarI itu dibanding dengan maslahah dalam artian umum, sebagai berikut :1. Yang menjadi sandaran dari maslahah itu selalu petunjuk syara, bukan semata berdasarkan akal manusia, karena akal manusia itu bersifat tidak sempurna, bersifat relative dan subjektif selalu dibatasi waktu dan tempat serta selalu terpengaruh lingkungan dan dorongan hawa nafsu.2. Pengertian maslahah atau buruk dan baik dalam pandangan syara tidak terbatas untuk kepentingan dunia saja tetapi juga untuk akhirat tidak hanya untuk kepentingan semusim, tetapi berlaku untuk sepanjang masa.3. Maslahah dalam artian syara tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian fisik jasmani saja tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental spiritual atau secara ruhaniyah.B. Jenis-jenis MaslahahSebagaimana dijelaskan diatas bahwa maslahah dalam artian syara bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum, yaitu memelihara lima prisip pokok kehidupan. Umpamnya larangan meminum minuman keras. Adanya larangan ini menurut akal sehat mengandung kebaikan atau maslahah karena dapat menghindarkan diri dari kerusakan akal dan mental. Hal ini telah sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan haramnya minum minuman keras, yaitu untuk memelihara akal manusia sebagai salah satu dari lima prinsip kehidupan pokok manusia yang harus dipelihara.Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah ada tiga macam yaitu : maslahaha dharuriyah, maslahah hajiyah, dan maslahah tashniyah.a. Maslahah dharuriyah ( ) adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara lansung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya suatu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama; melarang membunuh untuk memelihara jiwa; melarang minum minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk menjaga harta.b. Maslahah hajiyah ( ) adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Maslahah hajiyah juga jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan perusakan.Contoh maslahah hajiyah adalah :menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama; makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk sempurnanya akal; melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau maslahah dalam tingkat haji.Sebaliknya ada perbuatan yang secara tidak langsung akan berdampak pada pengurangan atau perusakan lima kebutuhan pokok, seperti; menghina agama berdampak pada memlihara agama; mogok makan pada memelihara jiwa; minum dan makan merangsang pada memelihara akal; melihat aurat dalam memelihara keturunan; dan menipu akan berdampak pada memelihara harta. Semuanya adalah perbuatan buruk yang dilarang. Menjauhi larangan tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat haji.c. Maslahah tahsiniyah adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang kuat adalah maslahah dharuriyah, kemudian dibawahnya adalah maslahah hajiyah, dan berikutnya maslahah tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara beururutan adalah : agama, jiwa, akal , keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antar sesamanya. Dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji; dan didahulukan haji atas tahsini.Begitu pula bila terjadi perbenturan antara sesama yang dharuri tersebut, maka tingkat yang lebih tinggi harus didahulukan. Jihad dijalan Allah, disyariatkan untuk menegakkan agama meskipun dengan mengurbankan jiwa dan harta sebagaimana tersebut dalam firman Allah dalam surat al-maidah (5I: 41 :

Berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu dalam jalan (menegakkan) agama Allah.Ayat diatas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas jiwa dan harta. Begitu pula syariat membolehkan meminum khamr bagi orang yang tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara jiwa itu harus didahulukan atas memelihara akal. (hubungan maslahah dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum akan diuraikan dalam bahasa maqashid al-syariah).2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, maslahah itu disebut juga dengan manasib atau keserasian maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib itu dari segi pembuat hukum (syari) memerhatikannya atau tidak maslahah terbagi kepada tiga jenis, yaitu :a. Maslahah al-mutabarah , yaitu maslahah yang diperhitungkann oleh syari. Maksudnya, ada petunjuk dari syari, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.Dari langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap maslahah tersebut, maslahah terbagi dua :1) Munasib muatsir , yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari) yang memerhatikan maslahah tersebut, maksudnya, ada petunjuk syara dalam bentuk nash atau ijma yang menetapkan bahwa maslahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.Contoh dalil nash yang menunjuk langsung kepada maslahah, umpamanya tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit, hal ini disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya penyakit yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan disebut munasib .Hal ini ditegaskan dalam surat al-baqarah (2): 222 : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.Contoh dalil yang menunjuk langsung kepada maslahah dalam bentuk ijma, umpamanya menetapkan adanya kewalian ayah terhadap harta anak-anak dengan illat belum dewasa. Adanya hubungan belum dewasa dengan perwalian adalah maslahah atau munasib. Dalam hal ini ijma sendiri yang mengatakan hal demikian.2) Munasib mulaiim ( ) yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara baik dalam bentuk nash atau ijma tentang perhatian syara terhadap maslahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya syara meskipun secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara sebagai alasan untuk hukum yang sejenis. Umpamanya :a) Berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak gadisnya itu belum dewasa. belum dewasa ini menjadi alasan bagi hukum yang sejenis dengan itu, yaitu perwalian dalam dalam harta milik anak kecil.b) Bolehnya jama shalat bagi orang yang muqim (penduduk setempat) karena hujan. Keadaan hujan itu memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hokum jama shalat, namun syara melalui ijma menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu dalam perjalanan (safar) yaitu menjadi alasan untuk bolehnya jama shalat.c) Menetapkan keadaan dingin menjadi alasan untuk halangan shalat berjamaah. Tidak ada petunjuk dari syara yang menetapkan dingin itu sebagai alsan untuk tidak ikut shalat berjamaah.namun ada petunjuk syara bahwa keadaan yang sejenis dengan dingin itu, yaitu perjalanan yang dijadikan syara sebagai alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan shalat jamaah tersebut, yaitu jama shalat. dingin itu sejenis dengan perjalanan yaitu sama dalam hal menyulitkan; sedangkan meninggalkan shalat berjamaah sejenis dengan jama shalat, yaitu sama-sama rukhsah (keringanan) hukumnya.Dari uraian diatas, tampak bahwa dalam bentuk maslahah yang dalilnya tidak langsung itu masih ada perhatian syara kepada maslahah tersebut, meskipun sangat kecil.b. Maslahah al-Mulghah , atau maslahah yang ditolak, yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara dan ada petunjuk syara yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara, namun ternyata syara menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahah itu. Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran hukum, yaitu mencampuri istrinya disiang hari di bulan ramadhan untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut-turut, karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syari' dalam menetapkan hukum, yautu menjerakan orang dalam melakukan pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini, ternyata tidak demikian menurut syari, bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk membuatnya jera.Contoh lain umpamanya, dimasa kini masyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk meyamakan derajatnya dengan orang laki-laki. Oleh karena itu akal menganggap baik atau maslahah untuk menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh hata warisan. Hal ini pun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya ho\ukum waris oleh Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada laki-laki. Namun hokum Allah telah jelas dan ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat anNisa (4): 176 :c. Maslahah al-Mursalat ( ), atau yang juga bisa disebut istishlah (), yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara yang menolaknya.Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan maslahah al-mutabarah, sebagaimana juga mereka sepakat dalam menolak maslahah mulghoh. Menggunakan metode maslahah mursalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan dikalangan ulama.[footnoteRef:3] [3: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hal 348 - 354]

C. Arti Mashlahah Mursalah Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat mausuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maslahah. Tentang arti maslahah telah dijelaskan diatas, secara etimologis dan terminologis.Al-mursalat () adalah isim maful (objek) dari fiil madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu dengan penambahan huruf alif dipangkalnya, sehinga menjadi , secara etimologis artinya terlepas, atau dalam arti (bebas). Kata terlepas dan bebas disini bila dihubngkan dengan kata maslahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Di antara definisi tersebut adalah: 1. Al-Ghazali dalam kitab al-musytasfa merumuskan maslahah mursalah sebagi berikut : Apa-apa (maslahah ) yang tidak ada bukti baginya dari syara dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memrhatikannya.2. Al-syaukani dalam kitab irsyad al-fuhul memberikan definisi : Maslahah yang tidak diketahui apakah syari menolaknya atau memperhitungkannya.3. Ibnu qudamah dari ulama Hmabali memberi rumusan : 4. Abdul Wahab Khalaf[footnoteRef:4] [4: Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh , hal 84]

Selain definisi diatas masih banyak definisi lainnya tentang maslahat murasalah, namun karena pentingnya hampir bersamaan , tidak perlu dikemukakan semuanya. Memang terdapat rumusan yang berbeda namun perbedaannya tidak smapai pada perbedaan hakikatnya.Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut :1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menhindarkan keburukan bagi manusia.2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara; dalam menetapkan hokum 3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara tersebut tidak ada petunjuk syara secara khusus yang menoaknya, juga tidak ada petnujuk syara yang mengakuinya.Maslahah mursalah tersebut dalam beberapa literature disebut dengan maslahah muthlaqah, ada pula yang menyebutnya dengan munasib mursal juga ada yang menamainya dengan al-istihlah, perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.[footnoteRef:5] [5: Kutbuddin Aibak, metodologi Pembaruan Hukum Islam, hal 202]

D. Mashlahah Mursalah Sebagai Metode IjtihadDi atas telah disinggung bahwa mashlahah itu ada tiga macam, yaitu mashlahah al mutabarah, mashlahah al mulghah , dan mashlahah al mursalah.Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan mashlahah al mutabarah , namun tidak menempatkannya sebagai dalil atau metode yang berdiri sendiri. Ia digunakan karena adanya petunjuk syara yang mengakuinya, baik secara langung ataupun tidak langsung. Pengakuan akan mashlahah dalam bentuk ini sebagai metode ijtihad karena adanya petunjuk syara tersebut. Ia diamalkan dalam rangka pengamalan qiyas.[footnoteRef:6] [6: Muhammad Kamaluddin Imam, Ushul hal . 199]

Demikian pula terdapat kesepakatan ulama untuk tidak menggunakan mashlahah al mulghah dalam berijtihad, karena meskipun ada mashlahahnya menurut akal dan dianggap sejalan pula dengan tujuan syara, namun bertentangan dengan dalil yang ada. Menurut jumhur ulama bila terdapat pertentangan antara nash dengan mashlahah , maka nash harus diidahulukan. Tetapi Ath Thufi ( dinukilkan olej Al Khlallaf ) berpendapat bahwa nash dan ijma sejalan dengan pertimbangan untuk memelihara mashlahah, maka mashlahah tersebut dapat diamalkan karena dalam hal ini ada tiga unsur yang mendukungnya untuk dijadikan ketetapan hukum, yaitu nash dan mashlahah. Namun, bila nash menyalahi perimbangan mashlahah tersebut, maka harus didahulukan pertimbangan untuk mashlahah daripada nash dan ijma. Tentunya yang dimaksud nash di sini adalah nash yaang lemah atau zhanni dari segi wurudnya dan segi dilalahnya. Demikian pula yang dimaksud dengan ijma di sini kiranya adalah ijma yang lemah.Adapun perbedan pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah itu oleh syari baik secara langsung maupun tidak langsung, karena sebagaimana disebutkan di atas bahwa diamalkannya mashlahah itu oleh jumhur ulama adalah karena adanya dukungan syari, meskipun secara tidak langsung.Di samping itu ulama dan penulis ushul fiqh pun berbeda pandangan dalam menukkilkan pendapat madzhab. Imam Malik beserta penganut Madzhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad.Tentang ulama Hanafiah terhadap mashlahah mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut Al Amidi banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengunakannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafiah menggunakan mashlahah mursalah. Tampaknya ulama yang berangggapan bahwa sebagian ulama Hanafiah mengamalkan mashlahah mursalah ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan istihsan yang populer di kalanagan ulama Hanafiyah.Ulama yang menukilkan digunakannya mashlahah mursalah di kalangan ulama Hanafiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa penggunaan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu catatan bahwa meskipun mashlahah mursalah itu dekat dengan prinsip pokok hukum syara yng sudah ditetapkan.Al Ghazali sebagai pengikut Imam Syafii secara tegas dalam kitabnya ( Al Madkul dan Al Mustashfa ) menyatakan bahwa ia menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat dharuri ( menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan ), Qathi ( pasti ) dan kullli ( menyeluruh ) secara kumulatif. Pendapat shahih yang menyatakan bahwa mashlahah mursalah itu tidak memilki kekkuatan hujjah dan tidak boleh melakukan ijtihad denga metode ini menurut ulama Hambali.Kalangan ulama yang menolak penggunaan qiyas seperti Al- Zhahiri, ulama Syiah, dan sebagian ulama Mutazilah, begitu pula Qadhi Al Baidhawi menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.Adapun syarat syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan mashlahah mursalah , di antaranya :a) Mahlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusi secara utuh.b) Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah benar benar telah sejalan dengan maksud tujuan syara dalam menetepakan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.c) Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al Quran dan Sunnah, maupun ijma terdahulu.d) Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus menghindarkan umat dari kesulitan.Argumentasi kalangan ulama yang meggunakan mashlahah mursalah, di antaranya :a) Adanya takrir ( pengakuan ) Nabi atas penjelasan Muadz Bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil rayi bila tidak menemukan ayat Al Quran dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.b) Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas di kalangan sahabat tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. c) Suatu mashlahah bila telah nyat kemashlahatannya dan telah sejalan dengan maksud Syari, maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syari , meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.d) Bila dalam keadaan tertentu tidak boleh menggunakan metode mashlahah , maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri mengiginkan kemudahan hamba Nya dan menjauhkan kesulitan. Seperti ditagaskan dalam Surah Al Baqarah : 185 daN Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.Kelompok ulama yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad menegemukakan argumentasi, di antaranya :a) Bila suatu masalah ada petunjuk syari yang membenarkannya atau yang disebut mutabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjk syara yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara berarti mengakui aka kurangg lengkapnya Al Quran maupun Sunnah Nabi. b) Beramal dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menuntut hawa nafsu.c) Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan menghasilkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum.d) Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara karena alasan berubahnya waktu, berlainan tempat berlakunya hukum syara, juga karena berlanan antara seseorang dengan orang lain. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara yang universal serta meliputi seluruh umat Islam.Kelompok yang menerima , ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula kelompok yang menolak, ternyata dasar penolakannya adalah marena khawatir dari kemungkina tergelincir pada kesalahan jika sampai menetapkan hukum sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya kekahawatiran ini dapat dihidnarkan, umpamanya telah ditemukan garis keasamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan mashlahah mursalah dalam berijtihad, sebagaimana Imam Syafii melakukannya.Selanjutnya terlihat bahwa ulama yang megggunakan mashlahah mursalah itu menetapkan batasan wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah di luar ibadah, seperti muamalat dan adat.E. Relevansi Mashlahah Mursalah Di Masa KiniTelah disinggung pada bahasan tentang Relevansi Istihsan di masa kini dan mendatang , bahwa dewasa ini dan lebih lebih lagi pada masa mendatang permasalahan kehidupan mnusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahn itu harus dihadapi umat Islamyang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Semua permasalahan tersebut tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan penedekatan dengan cara atau metode lama ( konvensional ) yangg digunakan ulama terdahuu.Kita akan menghadapi kesulitan dalam menemukan dalil nash atau petunjuk syara unutk mendudukan hukum dari kasus yang muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan metode qiyas dalam menerapkan hukumnyan karena tidak dapat ditemukan padanannya dengan nash atau ijma ulama, sebab jarak waktunya sudah begitu jauh. Selain itu mungkin ada eberapa persyaratan qiyas yang sulit terpenuhi.Dalam kondisi demikian kita akan berhadapan dengan beberapa kasus yang secara rasional dapat dinilai baik buruknya untuk menetakan hukumnya, teteapi tidak ( sulit ) menemukan dukungan hukumnya dari nash. Dalam upaya mencari solusi agar seluruh tindak tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, mashahah mursalah itu dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk mengeliminasi ( mengurangi ) atau menghilangkan kekhawatirann akan tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka dalam berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah itu sebaiknya dilakukan secara bersama sama. [footnoteRef:7] [7: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II ,hal 363 364 ]

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULAN maslahah dalam pengertian bahasa (umum) dengan maslahah dalam pengertian hokum atau syara.Perbedaannya terlihat dari segi tujuan syara yang dijadikan rujukan.Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan maslahah dalam arti syara yang menjadi titik bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan tujuhan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu mendapatkan kesenganan dan menghindarkan ketidaksenangan. Adapun syarat syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan mashlahah mursalah , di antaranya :a) Mahlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusi secara utuh.b) Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah benar benar telah sejalan dengan maksud tujuan syara dalam menetepakan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.c) Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al Quran dan Sunnah, maupun ijma terdahulu.d) Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus menghindarkan umat dari kesulitan.

DAFTAR PUSTAKASyarifuddin, Amir, Ushul Fiqh II, Jakarta : Prenada Media Grup, 2008Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Maktabah Ad Dakwah Al Islamiyah Syabab Al Azhar, 1987Abdurrahman, Jalaluddin, Al Mashalih Al Mursalah wa Makanatiha Fi at Tasyri, Dar Al Kitab Al Jami1983Aibak, Kutbuddin, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008Imam, Muhammad Kamaluddin, Ushul al Fiqh al Islamiy, Iskandariah : Dar al Mathbu at al Jamiiyyah1 | Page

15 | Page