59
BAB 1 PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Jika hanya terdapat proteinuria tanpa kehadiran manifestasi klinis disebut nephrotic-range proteinuria. (1, 2) Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif. (2, 3) Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T. (3) 1

Isi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nnn

Citation preview

Page 1: Isi

BAB 1

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang

ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh

per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,

hiperkoagulabilitas. Jika hanya terdapat proteinuria tanpa kehadiran manifestasi

klinis disebut nephrotic-range proteinuria. (1, 2)

Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)

yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak

diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya

penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat,

reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi

ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif. (2, 3)

Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi

penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi

neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T

dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang

diperantarai sel T. (3)

Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua

gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,

tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi

protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap

berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan

lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan

metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.(4-6)

Umumnya pada SN, fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus

yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN

dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid,

tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik. Jika tidak terdiagnosa  atau

1

Page 2: Isi

tidak diterapi, sindrom ini dapat berakibat kerusakan pada glomeruli hingga

menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus hingga berakhir gagal ginjal.(1, 4)

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).

Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa

3/1000.000/tahun. Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati

lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat

diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang

dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50

tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. (2, 3)

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita

Nama : Sdr. S

Umur : 14 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Sudung Timur RT 4/9 Sukowiryo Jelbuk

Status : Belum menikah

Pendidikan : : SMP

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status Pelayanan : BPJS PBI

No. RM : 09.24.37

Tanggal MRS : 11 September 2015

Tanggal Pmx : 15 September 2015

Tanggal KRS : 16 September 2015

2

Page 3: Isi

2.2 Anamnesis

Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan orang

tua pasien pada tanggal 15 September 2015 di Ruang Anturium RSD dr. Soebandi

Jember.

2.2.1 Keluhan Utama

Wajah bengkak

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk rumah sakit tanggal 11 September 2015 dengan

keluhan wajah bengkak terutama pada bagian mata dan pipi. Pasien

mengeluhkan wajahnya bengkak sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya

bengkak pada wajah dirasakan ketika pagi hari, semakin malam semakin

berkurang. Bengkak juga dialami ketika pasien kelelahan setelah

beraktivitas. Kaki pasien juga kadang-kadang mengalami bengkak.

Sebelumnya pasien sering mengeluh BAK sedikit dan berwarna

kuning gelap serta berbuih, terutama jika terdapat anggota badan yang

bengkak. Tidak ada nyeri ketika BAK. Nafsu makan pasien menurun

semenjak sakit dan pasien merasakan badan terasa lemah serta mudah

lelah. Pasien tidak batuk, pilek, tidak mual, tidak muntah, tidak demam,

tidak pusing, tidak ada nyeri dada atau dada terasa berdebar-debar, tidak

ada nyeri perut dan tidak ada nyeri pinggang. Pasien tidak mengkonsumsi

alkohol dan obat-obatan dalam waktu lama. Akan tetapi pasien sering

mengkonsumsi minuman berenergi sejak kecil. BAB pasien normal. Berat

badan pasien bertambah 1 kg semenjak bengkak, sebelumnya 53 kg

menjadi 54 kg dalam waktu 1 minggu.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyatakan mempunyai riwayat penyakit ginjal sejak + 4 tahun

yang lalu dan MRS dengan keluhan wajah bengkak, terutama di bagian

mata pipi seperti sekarang ini. Kemudian sering kontrol ke dokter dan

3

Page 4: Isi

tidak pernah lagi mengalami wajah bengkak selama beberapa tahun. Saat

ini keluhan tersebut muncul kembali.

Hipertensi disangkal, DM disangkal, Asma disangkal, Alergi makanan

seperti ayam dan telur (+).

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan

Obat-obatan dari dokter.

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi

Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pasien tinggal di Sudung

Timur RT 4/9 Sukowiryo Jelbuk. Dari riwayat lingkungan, pasien tinggal

di sebuah rumah yang luasnya 35 meter persegi, berdinding tembok dan

berlantai keramik yang terdiri dari 2 kamar tidur dengan ventilasi, 1 kamar

mandi, dapur, dan ruang tamu. Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan satu

orang adik. Pasien tidur di kasur ranjang. Sumber air berasal dari sumur.

Penghasilan orang tua per bulan ± 2.000.000/bulan.

Kesan : Riwayat sosial lingkungan ekonomi cukup.

2.2.7 Riwayat Sanitasi Lingkungan

Rumah pasien berukuran kira-kira 5 x 6 meter, terdiri dari 2 kamar tidur,

ruang tamu dan dapur. Pasien dan keluarga menggunakan sumur untuk

kebutuhan mandi dan mencuci serta sebagai sumber air untuk dikonsumsi.

Air minum sehari-hari yang berasal dari sumur selalu dimasak hingga

mendidih sebelum dikonsumsi. Untuk kebutuhan kakus, pasien dan

keluarga menggunakan kamar mandi sendiri.

Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan cukup.

4

Page 5: Isi

2.2.8 Riwayat Gizi

Sehari pasien makan 3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah

nasi, tempe, tahu, kadang-kadang sayur, ikan, daging, dan jarang sekali

makan buah-buahan.

BB : 54 kg

TB : 168 cm

BMI = Berat Badan ( k g) = 54

Tinggi Badan(m)2 (1,68)2

BMI = 19,13 (normal)

Kesan : Riwayat gizi cukup.

2.2.9 Anamnesis Sistem

- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), demam (-),

kejang (-), nyeri kepala (-)

- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-)

- Sistem pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)

- Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu

makan menurun (+), nyeri perut (-), BAB normal

- Sistem urogenital : BAK (+) sedikit, berwarna kuning gelap

dan berbuih

- Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik

(-), purpura (-), ptekie (-)

- Sistem muskuloskeletal : edema (+), atrofi (-), deformitas (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : cukup

Kesadaran : compos mentis, GCS 4-5-6

Vital Sign : TD : 130/100 mmHg

Nadi : 96 x/menit

RR : 20 x/menit

5

Page 6: Isi

Suhu : 36,5 oC

Pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)

Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-), purpura

(-), ptekie (-)

Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Otot : edema (+), atrofi (-)

Tulang : deformitas (-)

Status gizi : BB : 54 kg

TB : 168 cm

BMI : 19, 13

Kesan : Edema (+) pada otot. Kesan status gizi cukup.

2.3.2 Pemeriksaan Khusus

a. Kepala

- Bentuk : bulat lonjong, simetris

- Rambut : hitam, lurus

- Mata : konjungtiva anemis : -/-

sklera ikterus : -/-

edema palpebra : +/+

refleks cahaya : +/+

- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)

- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)

- Mulut : sianosis (-), bau (-), edema pipi (+)

b. Leher

- KGB : tidak ada pembesaran

- Tiroid : tidak membesar

- JVP : tidak meningkat

c. Thorax

1. Cor :

6

Page 7: Isi

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : ictus cordis tidak teraba

- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S

- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)

2.Pulmo :

Aspectus Ventralis Aspectus DorsalisIns Bentuk dada normal

SimetrisRetraksi (-)Gerak nafas tertinggal (-)

Bentuk dada normal SimetrisRetraksi (-)Gerak nafas tertinggal (-)

Per Nyeri tekan (-)Fremitus raba

N N

N N

N N

Nyeri tekan (-)Fremitus raba

N N

N N

N N

Pal Sonor-Redup

S S

S S

S S

S S R R

S R

Sonor-Redup

S S

S S

S S

S S R R

S R

7

Page 8: Isi

Aus Suara Dasar

V V

V V

V V

V V V V

V V

Wheezing

- -

- -

- -

- - - -

- -

Rhonki

- -

- -

- -

- - - -

- -

Suara Dasar

V V

V V

V V

V V V V

V V

Wheezing

- -

- -

- -

- - - -

- -

Rhonki

- -

- -

- -

- - - -

- -

8

Page 9: Isi

d. Abdomen

- Inspeksi : flat

- Auskultasi : bising usus (+) normal

- Palpasi : soepel, H/L/R dbn, nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-)

- Perkusi : timpani

e. Ekstremitas

- Superior : akral hangat +/+, edema -/-

- Inferior : akral hangat +/+, edema +/+

Kesan : Ditemukan edema +/+ pada palpebra dan ekstremitas inferior.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

a. 11 September 2015

URIN LENGKAP (UL)Warna Kuning

keruhKuning jernih

PH 7,0 4,8-7,5

BJ 1,015 1,015-1,025

Protein Positif 3~150mg/dL

Negatif

Glukosa Positif 1~50mg/dL

Normal

Urobilin Normal Normal

Bilirubin Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Leukosit makros Negatif Negatif

Blood macros Positif 1 Negatif

Eritrosit 10-25 0-2

Lekosit 0-2 0-2

Epitel squamosa 2-5 2-5

Epitel renal Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

9

Page 10: Isi

Silinder Negatif Negatif

Bakteri Positif Negatif

Yeast Negatif Negatif

FAAL HATI

Albumin 1,8 3,4-4,8 gr/dL

FAAL GINJAL

Kreatinin serum 1,3 0,6-1,3 mg/dL

LEMAK

Trigliserida 360 <150 mg/dL

Kolesterol Total 500 <220 mg/dL

Kolesterol LDL 415 <100 mg/dL

Kesan : Didapatkan warna urin kuning keruh dan protein urin (+)

3~150mg/dL. Glukosa urin (+) 1~50mg/dL. Ditemukan bakteri dalam

urin serta hipoalbumin dan hiperlipidemia.

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan

HEMATOLOGI

HEMATOLOGI LENGKAP (HLT)

Hemoglobin 10.8 13.0-16.0 gr/dLLeukosit 12.6 4.5-11.0 109/L

Hematokrit 33.4 37-49 %

Trombosit 531 150-450 109/L

b. 16 September 2015

URIN LENGKAP (UL)Warna Kuning

keruhKuning jernih

PH 6,0 4,8-7,5

BJ 1,020 1,015-1,025

Protein Positif 3~150mg/dL

Negatif

10

Page 11: Isi

Glukosa Normal Normal

Urobilin Normal Normal

Bilirubin Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Leukosit makros Negatif Negatif

Blood makros Positif 1 Negatif

Esbach 6,0 0,03-0,15 gr/24 jam

Kesan : Didapatkan warna urin kuning keruh dan protein urin (+)

3~150mg/dL. Serta hasil Esbach 6,0 gr/24 jam.

2.4.2. USG Abdomen

11

Page 12: Isi

2.7 Resume

Anamnesis:

Seorang laki-laki umur 14 tahun dengan keluhan utama wajah bengkak

terutama bagian mata dan pipi, sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya

bengkak pada wajah dirasakan ketika pagi hari, semakin malam semakin

berkurang. Bengkak juga dialami ketika pasien kelelahan setelah

beraktivitas. Kaki pasien juga kadang-kadang mengalami bengkak. Pasien

sering mengeluh BAK sedikit dan berwarna kuning gelap serta berbuih,

terutama jika terdapat anggota badan yang bengkak. Tidak ada nyeri

ketika BAK. Nafsu makan pasien menurun semenjak sakit dan pasien

merasakan badan terasa lemah serta mudah lelah. Pasien tidak batuk,

pilek, tidak mual, tidak muntah, tidak demam, tidak pusing, tidak ada nyeri

dada atau dada terasa berdebar-debar, tidak ada nyeri perut dan tidak ada

nyeri pinggang. Pasien tidak mengkonsumsi lcohol dan obat-obatan dalam

waktu lama. Akan tetapi pasien sering mengkonsumsi minuman berenergi

12

Page 13: Isi

sejak kecil. BAB pasien normal. Berat badan pasien bertambah 1 kg

semenjak bengkak, sebelumnya 53 kg menjadi 54 kg dalam waktu 1

minggu.

Riwayat penyakit ginjal sejak + 4 tahun yang lalu dan MRS dengan

keluhan wajah bengkak, terutama di bagian mata dan pipi seperti sekarang

ini.

Pemeriksaan Fisik:

Didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran compos mentis,

palpebra edema +/+, thorax (cor, pulmo) dan abdomen dalam batas

normal, edema pada ekstremitas inferior +/+ disertai piting edema +/+

Pemeriksaan Penunjang:

Urin Lengkap (UL) : Didapatkan warna urin kuning keruh dan protein

urin

(+) 3~150mg/dL.

Faal Hati : Didapatkan hipoalbuminemia.

Lemak : Didapatkan hiperlipidemia.

Esbach : Didapatkan 6.0 gr/24 jam.

2.6 Diagnosis Banding

Sindroma Nefrotik

Sirosis Hepatis

Decomp cordis

Malnutrisi

2.7. Planning

2.7.1 Planning Diagnostik

Pemeriksaan Laboratorium, meliputi :

o Pemeriksaan Protein ESBACH

o Pemeriksaan Liver Function Test (LFT)

Foto Thorax

USG abdomen

13

Page 14: Isi

2.7.2 Planning Monitoring

Vital Sign

Produksi Urin

2.7.3 Planninng Terapi

Inf. PZ 8 tpm

p/o Captopril 12,5mg 1/2-0-1/2

p/o Methyl prednisolon 2x62,5

2.7.4 Planning Edukasi

Istirahat yang cukup

Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga

(penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta

usaha pencegahan komplikasi)

Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung

penyembuhan pasien

2.8. Prognosis

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

2.8 Follow up

Jum’at, 11 September 2015 Sabtu, 12 September 2015

S KU: Kedua mata dan pipi serta kaki kanan kiri bengkak

KU: bengkak pada mata dan pipi serta kaki kanan dan kiri sudah berkurang

14

Inj. Ceftazidime 2x1 gr

Inj. Lasix 2x1

p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0

Page 15: Isi

O KU: cukupKes: compos mentisTD: 130/100 mmHgN: 90 x/mntRR: 20 x/mntTax: 36,5oCK/L:a/i/c/d:-/-/-/-Thorax: c/p: dbNAbd: flat, BU (+), timpani, soepelExt: AH di keempat akral, edema +/+ pada ext. inferior

KU: cukupKes: compos mentisTD: 120/90 mmHgN: 96 x/mntRR: 20 x/mntTax: 36,5oCK/L:a/i/c/d:-/-/-/-Thorax: c/p: dbNAbd: flat, BU (+), timpani, soepelExt: AH di keempat akral, edema +/+ pada ext. inferior

A Sindroma Nefrotik Sindroma Nefrotik

P Inf. PZ 8 tpmInj, Ceftazidime 2x1Inj. Lasix 2x1p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0p/o Captopril 12,5 mg ½ - 0 - ½ p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mg

Inf. PZ 8 tpmInj, Ceftazidime 2x1Inj. Lasix 2x1p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0p/o Captopril 12,5 mg ½ - 0 - ½ p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mg

Minggu, 13 September 2015 Senin, 14 September 2015

S KU: bengkak pada mata dan pipi serta kaki kanan dan kiri sudah berkurang

KU: mata dan pipi serta kaki kanan dan kiri sudah tidak bengkak

O KU: cukupKes: compos mentisTD: 120/80 mmHgN: 78 x/mntRR: 20 x/mntTax: 36,5oCK/L:a/i/c/d:-/-/-/-Thorax: c/p: dbNAbd: flat, BU (+), timpani, soepelExt: AH di keempat akral, edema +/+ pada ext. inferior

KU: cukupKes: compos mentisTD: 110/70 mmHgN: 68 x/mntRR: 20 x/mntTax: 36,5oCK/L:a/i/c/d:-/-/-/-Thorax: c/p: dbNAbd: flat, BU (+), timpani, soepelExt: AH di keempat akral, edema -/- pada ext. inferior

A Sindroma Nefrotik Sindroma Nefrotik

15

Page 16: Isi

P Inf. PZ 8 tpmInj, Ceftazidime 2x1Inj. Lasix 2x1p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0p/o Captopril 12,5 mg ½ - 0 - ½ p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mg

Inf. PZ 8 tpmInj, Ceftazidime 2x1Inj. Lasix 2x1p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0p/o Captopril 12,5 mg ½ - 0 - ½ p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mg

Selasa, 15 September 2015 Rabu, 16 September 2015

S KU: mata dan pipi serta kaki kanan dan kiri sudah tidak bengkak

KU: mata dan pipi serta kaki kanan dan kiri sudah tidak bengkak

O KU: cukupKes: compos mentisTD: 120/80 mmHgN: 80 x/mntRR: 20 x/mntTax: 36,5oCK/L:a/i/c/d:-/-/-/-Thorax: c/p: dbNAbd: flat, BU (+), timpani, soepelExt: AH di keempat akral, edema -/- pada ext. inferior

KU: cukupKes: compos mentisTD: 110/80 mmHgN: 80 x/mntRR: 20 x/mntTax: 36,5oCK/L:a/i/c/d:-/-/-/-Thorax: c/p: dbNAbd: flat, BU (+), timpani, soepelExt: AH di keempat akral, edema -/- pada ext. inferior

A Sindroma Nefrotik Sindroma Nefrotik

P Inf. PZ8 tpmInj, Ceftazidime 2x1Inj. Lasix 2x1p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0p/o Captopril 12,5 mg ½ - 0 - ½ p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mgUSG abdomen

Inf. PZ 8 tpmInj, Ceftazidime 2x1Inj. Lasix 2x1p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0p/o Captopril 12,5 mg ½ - 0 - ½ p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mg

Pemeriksaan Laboratorium

11 September 2015

URIN LENGKAP (UL)Warna Kuning Kuning jernih

16

Page 17: Isi

keruhPH 7,0 4,8-7,5

BJ 1,015 1,015-1,025

Protein Positif 3~150mg/dL

Negatif

Glukosa Positif 1~50mg/dL

Normal

Urobilin Normal Normal

Bilirubin Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Leukosit makros Negatif Negatif

Blood macros Positif 1 Negatif

Eritrosit 10-25 0-2

Lekosit 0-2 0-2

Epitel squamosa 2-5 2-5

Epitel renal Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Silinder Negatif Negatif

Bakteri Positif Negatif

Yeast Negatif Negatif

FAAL HATI

Albumin 1,8 3,4-4,8 gr/dL

FAAL GINJAL

Kreatinin serum 1,3 0,6-1,3 mg/dL

LEMAK

Trigliserida 360 <150 mg/dL

Kolesterol Total 500 <220 mg/dL

Kolesterol LDL 415 <100 mg/dL

Kesan : Didapatkan warna urin kuning keruh dan protein urin (+)

3~150mg/dL. Glukosa urin (+) 1~50mg/dL. Ditemukan bakteri dalam

urin serta hipoalbumin dan hiperlipidemia.

17

Page 18: Isi

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal Satuan

HEMATOLOGI

HEMATOLOGI LENGKAP (HLT)

Hemoglobin 10.8 13.0-16.0 gr/dLLeukosit 12.6 4.5-11.0 109/L

Hematokrit 33.4 37-49 %

Trombosit 531 150-450 109/L

16 September 2015

URIN LENGKAP (UL)Warna Kuning

keruhKuning jernih

PH 6,0 4,8-7,5

BJ 1,020 1,015-1,025

Protein Positif 3~150mg/dL

Negatif

Glukosa Normal Normal

Urobilin Normal Normal

Bilirubin Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Leukosit makros Negatif Negatif

Blood makros Positif 1 Negatif

Esbach 6,0 0,03-0,15 gr/24 jam

Kesan : Didapatkan warna urin kuning keruh dan protein urin (+)

3~150mg/dL. Serta hasil Esbach 6,0 gr/24 jam.

USG abdomen

18

Page 19: Isi

19

Page 20: Isi

BAB 3

PEMBAHASAN

Textbook Kondisi PasienAnamnesis

Urin berbuih Kaki berat Kaki bengkak Kaki terasa dingin atau tidak

rasa Lemah Mudah lelah Anoreksia Diare

Anamnesis(+)(+)(+)(-)(+)(+)(+)(-)

Pemeriksaan Fisik Edema di daerah periorbita,

konjungtiva Edema pada dinding perut Edema pada sendi lutut Efusi pleura Ascites Hilangnya masa otot rangka Kuku memperlihatkan pita-pita

putih melintang

Pemeriksaan Fisik(+)(-)(-)(-)(-)(-)(-)

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Protein ESBACH Pemeriksaan Faal Hati Pemeriksaan Lemak Pemeriksaan Urin Lengkap

(UL) Foto Thorax

Pemeriksaan Penunjang(+)

HipoalbuminemiaHiperlipidemia

Warma kuning keruh dan protein (+) 3~150mg/dL

(-)

Penatalaksanaan Antibiotik Pengobatan untuk edema

(diuretika)

Pengobatan untuk proteinuria (ACEI)

Terapi hiperlipidemia (HMG-Co A reductase/Statin)

Steroid

PenatalaksanaanInj. Ceftazidime 2x1 gr

Inj. Lasix 2x1

p/o Spironolacton 25 mg 1-0-0

p/o Captopril 12,5mg 1/2-0-1/2

(-)

p/o Methyl prednisolon 2x62,5 mg

20

Page 21: Isi

BAB 4

SINDROMA NEFROTIK

4.1. Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang

ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per

hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,

hiperkoagulabilitas. Jika hanya terdapat proteinuria tanpa kehadiran manifestasi

klinis disebut nephrotic-range proteinuria. (1, 2)

4.2. Epidemiologi

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)

dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada

masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. (4)

Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir

20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi

tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat

terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari

semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran histologik

sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5%

mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab lainnya. (4)

4.3. Etiologi

Sindrom nefrotik disebabkan oleh banyak varian penyakit, seperti

kerusakan ginjal, terutama pada MBG. Secara langsung, dapat menyebabkan

21

Page 22: Isi

ekskresi protein abnormal dalam urin. Penyebab paling sering pada anak-anak

adalah minimal lesi, dan glomerulonefritis membrane pada orang dewasa. (7)

Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap

sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibody.

Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi : (8)

1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.

Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa

neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-

bulan pertama kehidupannya.

2. Sindroma nefrotik sekunder

Dapat disebabkan oleh :

a. Malaria kuartana atau parasit lain

b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematous diseminata, purpura anafilaktoid

c. Glumerulonefritis akut atau glumerulonefritis kronis dan thrombosis vena

renalis

d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan

lebah, air raksa

e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano-

proliferatif hipokomplementemik

3. Sindroma nefrotik idiopatik

Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal

dengan mikroskop biasa dan mikroskop electron. Churg membagi dalam 4

golongan yaitu : (8)

a. Kelainan minimal

b. Nefropati membranosa

c. Glumerulonefritis proliferatif

d. Glumerulosklerosis fokal segmental

Klasifikasi lain yaitu : (1)

1. Glomerulonefritis pimer

22

Page 23: Isi

a. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)

b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)

c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)

d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

e. Glomerulonefritis proliferatif lain

2. Glomerulonferitis sekunder akibat infeksi :

a. HIV

b. Hepatitis virus B dan C

c. Sifilis

d. Malaria

e. Skistosomiasis

f. Tuberkulosis

g. Lepra

3. Keganasan

a. Adenokarsinoma paru

b. Limfoma Hodgkin

c. Mieloma multipel

d. Karsinoma ginjal

4. Penyakit jaringan penghubung

a. Lupus eritematosus sistemik

b. Artritits reumatoid

5. Efek obat dan toksin

a. NSAID

b. Preparat emas

c. Penisilinamin

d. Probenesid

e. Air raksa

f. Kaptopril

g. Heroin

23

Page 24: Isi

6. Lain-lain

1) Diabetes melitus

2) Amiloidosis

3) Pre-eklamsia

4) Refluks vesikoureter

5) Sengatan lebah

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam

kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN

membranosa(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan

histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling

sering ditemukan misalnya pada GN pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus

hepatitis B, akibat obat misalnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit

sistemik, misalnya pada SLE dan diabetes melitus. (3)

4.4. PATOFISIOLOGI

Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat dari

kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, namun penyebab terjadinya

proteinuria belum diketahui benar. Dalam keadaan normal, membran basal glomerulus

mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme

penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua

berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme

penghalang tersebut terganggu. Hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di

sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif

tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar

kapiler glomerulus.(1, 3, 8)

Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan

ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein

yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin, sedangkan pada

proteinuria non-selektif yang lolos keluar merupakan protein dengan molekul besar

24

Page 25: Isi

seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria sendiri ditentukan oleh keutuhan struktur

membran basal glomerulus. (1)

Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana basalis glomerulus,

maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat

kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah index selectivity of proteinuria (ISP).

ISP dapat ditentukan dengan mengukur rasio antara clearance IgG dan clearance

trasnferin. (4)

ISP = Bila ISP <0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang

secara klinik menunjukkan : (4)

1. Kerusakan glomerulus ringan

2. Respon terhadap kortikosteroid baik

Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang secara

klinik menunjukkan : (4)

1. Kerusakan glomerulus berat

2. Tidak respon terhadap kortikosteroid

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi melalui kehilangan yang banyak

melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang difiltrasi, di tubulus

proksimal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasama, yang

memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial.

Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan

sistem renin angiotensin aldosteron, yang merangsang absorbsi natrium di tubulus distal.

Rasio sintesis albumin di hati meningkat untuk mengatasi hal ini namun tidak mencapai

level yang cukup untuk mencegah hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang

hilang biasanya melebihi 2 gram per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin.

Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl. (1, 8)

Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga

intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteine-mia. Diet tinggi

protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan

ekskresi albumin melalui urin. (4)

25

Page 26: Isi

Edema

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori

underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya

edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma

sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema.

Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah

hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang

memicu aktivitas system renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin

serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga

produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Mekanisme

kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi retensi cairan selanjutnya

mengakibatkan pengenceran  plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik

plasma yang pada akhirny amempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial

sehingga edema akan semakin berlanjut. (3, 4, 6)

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.

Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi retensi

natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstrseluler meningkat

sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan

menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara

bersama pada pasien SN.(6)

Hiperlipidemia

Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml. akhir-akhir

ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang

meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen

lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein

(VLDL), dan trigliserida. (4)

Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis lipoprotein yang

terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat

26

Page 27: Isi

hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya.

Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. (4)

Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase.

Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan

tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein

lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat

keluarnya protein ke dalam urin. (4)

Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun

dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada

status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum

meningkat. (3)

Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan

plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,

trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel

serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI). (2)

Lipiduri

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini

berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel. (2)

Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,

penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia,

Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel

T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. (2)

27

Page 28: Isi

5. Gambaran Klinis

Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya terlihat pada

kedua kelopak mata, yang nampak terutama waktu bangun tidur. Edema dapat menetap

atau bertambah, baik lambat ataupun cepat atau dapat hilang dan timbul kembali.

Selama periode ini edema preorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi,

lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah

sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut

lagi dapat timbul ascites, pembengkakan skrotum atau labia dan bahkan efusi pleura. (4, 8)

Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN, diare

sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan keadaan ini rupanya tidak

berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.

Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis

albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di

perut yang kadang-kadang berat dapat terjadi, kemungkinan adanya abdomen akut atau

peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila

komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat

disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri

dirasakan terbatas pada kuadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan

erat dengan beratnya edema. Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis

dan prolap ani. (8)

Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa

efusi pleura maka pernafasan sering tergangguu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. (8)

Tanda lain dari SN adalah hilangnya massa otot rangka, hipertensi, kuku

memperlihatkan pita-pita putih melintang (Muerchke’s Band) akibat hipoalbuminemia. (4)

Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang merupakan

stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan

dan merasa bersalah merupakan respon emosional tidak saja pada orangtua pasien,

namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi

28

Page 29: Isi

penjelasan untuk mengatasinya. Para dokter yang sadar dapat berusaha mendorong

meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha

menolong mencegah dan mengurangi komplikasi. (8)

4.5. Diagnosis

1) Anamnesis

Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti bengkak di

kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan, dan

rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan juga mengenai riwayat

buang air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar, adakah oligouria. Keluhan lain

juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit

yang mengarah ke penyebab penyakit ginjal seperti hipertensi. (1, 8)

2) Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai atau

adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan., tanda-tanda

hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema. (1, 8)

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara lain hitung darah

lengkap, kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada urinalisis ditemukan

masif proteinuria (3+ sampai 4+), glikosuria, sel-sel granular, sel hialin, dan sel-sel

lemak. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik

(>20eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus

fokal). Dari makroskopis, urin tampak berbuih. Pada pemeriksaan darah didapatkan

hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperkolesterolemia lebih dari 200 mg/dl. (1-3, 8)

Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap

menderita sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada tingkat lebih atau

setara dengan 50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami sindrom nefrotik.

Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis

29

Page 30: Isi

trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagula-bilitas. Pada SN primer, untuk

menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon

terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal. (1, 2)

4.6. Penatalaksanaan

Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan tujuan untuk

mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,

memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Pengobatan SN terdiri dari terapi

umum pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-

spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. (3,

8)

Terapi non spesifik:

a. Pengobatan untuk edema

1) Diet

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap

kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa

metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus.

Jadi cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam

urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6

g/kgBBideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.(3, 8)

Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 ± 2 gram/hari. Menggu-nakan

garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan, hanya

diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari.

Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari. (3, 8)

Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan

keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila perlu tirah

baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan

adanya insufisiensi venous. (4)

30

Page 31: Isi

2) Diuretik

Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop

diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikom-binasikan dengan

spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada

pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit

darah (kalium dan natrium). Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema,

biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1

gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 gram/kgBB selama 4

jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian

furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. (8)

Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20

ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya

komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat diberikan

selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan.

Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin

dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gr/l darah, maka penggunaan

diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan

warna urin serta muntahan bila ada, harus dipantau secara berkala. (3, 8)

3) Pengobatan untuk proteinuria

Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi

proteinuri digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

(ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat vasokonstriksi pada arteriol

eferen, misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2

minggu. ACEI berfungsi untuk menurun-kan pembuangan protein dalam air kemih dan

menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki

kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar

kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. (2-

4)

31

Page 32: Isi

Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin

3x50mg. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati

membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis

prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler

glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu

OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah

agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan

penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan

bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. (2)

Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan

ACEI, dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis

interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat

kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi

efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian

ACEI atau ARB saja. (2, 4)

4) Koreksi hipoproteinemia

Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan peningkatan

kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita

(anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN

diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang

dimakan) dan protein cukup (0,8-1mg/ kgBB/hr). (4)

5) Terapi hiperlipidemia

Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN

meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi

umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita

SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl

co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menu-runkan kolesterol plasma. Obat

golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil,

32

Page 33: Isi

bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit

menurunkan kadar kolesterol. (2, 4)

Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang

meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan

kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid.

Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi

dengan gemfibrozil. (2)

Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan

kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin

D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. (2)

6) Hiperkoagulabilitas

Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian anti-koagulasi

jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya resiko thrombosis,

tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu dipertimbangkan

antikoagulasi jangka panjang, seperti warfarin. (4)

7) Pengobatan infeksi

Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder. Di

beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik profilaksis

dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang. Di Indonesia

tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala,

dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. (4, 8)

8) Pengobatan hipertensi

Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin Calcium

Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut

berperan dalam pengelolaan hipertensi. (4)

33

Page 34: Isi

Terapi Spesifik

Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan gangguan

imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian imunosupresif. (4)

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang

memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa

pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik

terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada

kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi

ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena

itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada

nefropati jenis ini.

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya

prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap

dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada

orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4

minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien

akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan

mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.(2)

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,

remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200

mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan

edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl,

kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan

resisten jika klinis dan hasil lab tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah

pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. (2)

Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati

lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-

40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping

34

Page 35: Isi

pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak,

osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus. (2)

1) Pengobatan Relaps

Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan

dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami

proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison

terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi

diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria

menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan

proteinuria ≥2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps. (8)

Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat

penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps

yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi

dalam beberapa golongan : (8)

a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)

b. Relaps jarang : jumlah relaps <2

c. Relaps sering : jumlah relaps ≥2 kali (40-50%)

2) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid,

setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid

alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis

terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis

ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba

dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating,

tetapi <1,0>2. (8)

Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami relaps

setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam

setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-

35

Page 36: Isi

12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek

samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi. Chlorambucil

digunakan dengan alasan yang sama  dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr

selama 8-12 minggu. (4)

Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide,

diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis

selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung

selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek

nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal. (4)

3) Pengobatan SN resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.

Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk melihat

gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut

mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik

bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan

siklosporin, metilprednisolon, dan obat imunosupresif lainnya. (8)

4.7. Komplikasi

1) Hiperkoagulasi

Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan

antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S, peningkatan

sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet. Keadaan-keadaan ini

meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli spontan pada pasien. Emboli

paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi pada pasien SN. (4)

Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada

Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis vena

renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria, dan

gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke dan infark

miokard juga merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi. (4)

2) Infeksi sekunder

36

Page 37: Isi

Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN terutama

oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek

imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan

gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun

atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin.

Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas

seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel

T agar dapat berfungsi dengan normal, infeksi yang paling sering terutama infeksi kulit

oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,TBC. (3, 4, 6)

Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan

kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak

ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. (3)

3) Gangguan tubulus renalis

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan

kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium

dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan

ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.(3)

4) Gagal ginjal akut

Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui

berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan

timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab

gagal ginjal akut adalah terjadi edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada

tubular ginjal yang menyebabkan penurunan LFG. Sindrom nefrotik dapat progresi dan

berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. (3, 4)

5) Anemia

Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten

terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu

transferin serum yangmenurun akibat proteinuria. (3)

6) Peritonitis

37

Page 38: Isi

Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk

perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus

pneumonia, E.coli. (3)

7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral

Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat

tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi

globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. (3)

8) Hipokalsemia

Disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium

terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di samping itu pasien sering

mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan

membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi

kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia,

hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan

adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada

penderita SN jarang ditemukan. (3)

Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium dan tulang pada

manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga

menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma juga

ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena

fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang

tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang

terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin

plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-

stimulating hormone) tetap normal  sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. (9)

9) Hiperlipidemia dan Lipiduria

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol

umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit

38

Page 39: Isi

meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density

lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol.  Kadar trigliserid yang tinggi

dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu

ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein

(Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. (9)

10) Malnutrisi

Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai

proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus yang menurun, dan

proses katabolisme yang tinggi. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini

tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang.

Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang

dijumpai pada SN. (3, 4, 6)

11) Keseimbangan Nitrogen

Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi

negatif. (9)

4.8. Prognosis

Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera dapat

mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompen-sasi ginjal

maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang

baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.(3)

Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya

terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal. Penyembuhan

klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid.

Prognosis minimal lesion lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-

anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.  (3)

Prognosis buruk pada glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN),

kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif

dan pada sindrom nefrotik. (3)

39

Page 40: Isi

DAFTAR PUSTAKA

1. Shafa R. Sindroma Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Desember 2011 Date: Available from: http://drshafa.wordpress.com/sindrom-nefrotik/.

40

Page 41: Isi

2. Gunawan C. Sindrom Nefrotik : Patogenesis dan Penatalaksanaan Samarinda: Universitas Mulawarman; 2006.

3. Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. November 2010 Date: Available from: www.scribd.com.

4. Anonim. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. 2011 Date: Available from: http://skydrugz.blogspot.com/.

5. Rauf S. Sindrom Nefrotik. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUH. p. 21-30.

6. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW d, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007.

7. Anonim. Nephrotic Syndrome. Journal [serial on the Internet]. 2009 Date: Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000490.htm.

8. Israr Y. Sindrom Nefrotik. Riau: Belibis; 2008 [cited. Available from: www.belibis17.tk.

9. Anonim. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Oktober 2010 Date: Available from: http://kumpulanreferat.wordpress.com/.

41