Upload
bechta-perkasa-asky
View
54
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Islam dan ModernitasOleh : Bekhta Perkasa Asky, S.Ag.
Pendahuluan
Moderen dan modernisasi kini menjadi bagian dari sebuah gejala umum. Semua bangsa
dan intitusi formal, informal. dan non formal di dalamnya terlibat dalam proses
modernisasi. J.W. Schoorl mencatat bahwa manifestasi proses ini pertama kali nampak
di Inggris pada abad ke-18 dalam catatan sejarah yang disebut dengan revolusi industri.
Sejak itu gejala tersebut meluas ke semua penjuru dunia. Mula–mula ke daerah–
daerah yang kebudayaannya semacam, yaitu ke Eropa dan Amerika Utara, kemudian ke
bagian - bagian dunia yang lain dengan daerah–daerah yang kebudayaannya berbeda
sama sekali dengan kebudaayaan Eropa. Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang
begitu biasa, sehingga masyarakat dunia sering dibagi menjadi dua kategori : negara
maju dan negara berkembang. Masing – masing terdiri atas negara yang telah
mengalami modernisasi dan negara–negara yang sedang mengadakan proses
modernisasi. Dalam pembagian itu tidak disediakan tempat untuk kemungkinan adanya
negara yang karena sesuatu hal tidak terlibat dalam proses modernisasi itu.1 Oleh
karena itu, dapatlah dikatakan bahwa modernisasi maupun modernitas adalah sebuah
keniscayaan sebuah tuntutan zaman.
Dalam konteks keberagamaan, modernisasi dalam pengertiannya yang dimodifikasi,
didukung oleh pemikir Islam di Indonesia. Dengan tema pemikiran yang diangkatnya,
Rasionalisasi Bukan Westernisasi, Nurcholis Madjid menyatakan, “ pengertian yang
1 J.W Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara – negara Sedang Berkembang, ( terj) R.G. Soekadijo, ( Jakarta : PT. Gramedia, 1981 ), h. 1
1
mudah mengenai modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik,
dengan rasionalisasi. Dan itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja
baru yang tidak aqliah ( rasional ), dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata
kerja baru yang aqliah, kegunaannya adalah untuk memperoleh daya guna yang
maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di
bidang ilmu pengetahuan..... Jadi sesuatu dapat disebut modern kalau bersifat rasional,
ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum–hukum yang berjalan dengan alam. 2
Namun modernisasi pun bukannya tak lepas dari penentangan dan kritik. Modernisasi
yang mengawal majunya peradaban dunia, dengan kemajuan–kemajuan di bidang
IPTEK punya sisi lain yang layak dicermati. Dalam sebuah artikel, M. Uhaib As’ad
dan M Harun al Rosyid, mengutip pemikiran Sayed Hussein Nasr yang mengatakan
bahwa modernisme tidak berakar pada dimensi transenden dalam pandangan tradisional
Islam. Mereka juga menulis bahwa hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh
Brifault dalam bukunya The Making of Humanity, bahwa peradaban modern telah
menelantarkan serta mereduksi nilai–nilai kemanusiaan yang esensial, sehingga
manusia moderen telah terpelanting dari eksistensinya lalu mengalami keterasingan
jiwa. 3
Apa yang disebut Brifault di atas bukannya suatu isapan jempol belaka. Jamie C.
Miller, seorang ilmuwan pemerhati dunia anak menulis, bahwa pada awal tahun 1950,
sebuah jajak pendapat dilakukan terhadap seluruh guru yang ada di Amerika Serikat.
Jajak pendapat tersebut meminta mereka menulis lima masalah teratas yang ada di
2 Nurcholis Madjid, Keislaman, Kemoderenan, dan Keislaman, ( Bandung : Mizan, 1987), h. 1723 M. Uhaib As’ad dan M Harun al Rosyid, “ Spiritualitas dan Modernitas antara konvergensi dan devergensi” dalam Seri Dian II Tahun I, Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Masyarakat ( Yogyakarta : Institut Dian / Interfidei, 1994 ), h. 276 - 277
2
sekolah. Daftar itu berisi : Bicara saat bukan giliarannya, mengunyah permen karet,
membuat keributan, berlarian di lorong sekolah dan menerobos antrean. Selanjutnya
pada awal 1990, para guru diberi pertanyaan yang sama. Beberapa jawaban mereka
sesuai dengan perkiraan . walaupun demikian, daftar tersebut cukup mengejutkan:
Pemakaian obat-obatan terlarang dan alkohol, membawa pisau dan senjata api ke
sekolah, kehamilan, bunuh diri dan pemerkosaan. 4
Kekhawatiran terhadap modernitas vis a vis kepada Islam juga dirasakan komunitas
cendekia muslim di lingkungan Intitut Agama Islam Negeri Sumatera Utara. Dalam
prospektus penerimaan Mahasiswa Baru Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara
tahun 2007, untuk program baru PPS IAIN pada tahun 2007 ini, yakni Program Studi
Islam dan Modernitas,dinyatakan bahwa salah satu dasar dibukanya program tersebut
adalah adanya kekahawatiran tentang peran agama ( Islam ) di era modern sekarang ini
yang terus mengemuka di kalangan masyarakat Islam.Atau setidaknya masih ada
sebagian golongan Islam yang belum dapat melihat kontribusi nilai–nilai kemoderenan
bagi eksistensi agama, atau kontribusi agama bagi masyarakat di era moderen yang
demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan memberikan dampak negative
bagi kehidupan masyarakat 5
Pertanyaannya adalah, apakah Islam sebagai agama yang kita anut bersifat adoptif dan
adaptif terhadap modernitas ataukah sebaliknya bersifat antipatif dan kontra produktif
terhadapnya
4 Jamie C. Miller, Mengasah Kecerdasan Moral Anak ( terj.) Lovely, ( Bandung: Kaifa, PT. Mizan Pustaka, 2003), h. 25-6 5 Lihat , Brosur Penerimaan Mahasiswa Baru, Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara 2007/2008.
3
Makalah ini mencoba mengulas permasalahan yang terkait dengan keinginan untuk
menjawab pertanyaan di atas.
Tuntutan Zaman
Dalam konteks keberagamaan, modernisasi ditandai sebagai awal mengkristalnya
pertentangan antara akal melawan Bible. Dalam hal ini, Adnin Armas menuliskan
bahwa hal ini dapat ditelusuri mulai abad pertengahan ( middle age ) Barat, ketika
peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat
kemajuan penelitian ilmiah. Penyebabnya adalah Bible mengandung hal–hal yang
kontradiktif dengan akal. Revolusi ilmiah ( scientific revolution ) yang dirintis
Copernicus dengan teori Heliosentris dianggap bertentangan dengan ajaran Bible 6.
Dalam Bible disebutkan bahwa matahari dan bulan diciptakan setelah bumi. Adnin
mengutip Maurice Bucaille, yang mengatakan bahwa fakta ini bertentangan dengan ide-
ide dasar tentang sitem solar 7. Orang Barat menyebut sejarah zaman pertengahan itu
sebagai zaman kegelapan ( dark age ). Saat itu akal disubordinasikan di bawah Bible.
Karena itulah, mereka menamakan sejarah peradaban Eropa pada abad XV dan XVI
sebagai zaman kelahiran kembali ( renaissaance ). Karena saat itu akal terbebas dari
Bible. Mereka juga menyebut abad XVII hingga abad XIX sebagai zaman Pencerahan
Eropa ( european enlighment ). Periode ini ditandai dengan semaraknya semangat
rasionalisasi oleh Barat. Para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan. politikus
dan lain-lainnya menulis berbagai karya yang menitikberatkan apek kemanusiaan,
kebebasan, dan keadilan. Begitu hebatnya euforia yang berkembang, dari kondisi yang
sangat terbatas dan sempit oleh pandangan gereja, menjadi keadaan yang bebas tanpa
6 Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2003) , h. 37 Maurice Bucaille, The Bible the Quran and Science, h. 34
4
batas. Dalam tulisannya yang mengutip Herbert Marcuse, Reason and Revolution, hal.
267, Adnin mengatakan.........sehingga doktrin tentang tuhan pun harus diubah menjadi
doktrin tentang manusia. Kebahagiaan yang abadi bermula dari transformasi kerajaan
langit kepada republik bumi. 8
Dalam pengertian seperti ini, kita melihat bahwa tuntutan akan kebebasan yang berasal
dari Barat, jelas mempunyai latar belakang sejarah tersendiri. Hal yang jelas berbeda
bila kita melihat latar belakang tuntutan perubahan zaman yang ada dan berkembang di
dalam dunia Islam. Tuntutan- tuntutan perubahan yang ada dalam Islam, pada awalnya
justru bermula dari semangat menyebarluaskan agama ini ke muka bumi.
Kemampuan Islam untuk merespon tuntutan perubahan dan situasi baru dalam
kerangka pengembangan misi Islam, dinyatakan juga oleh Karen Amstrong. Dia
menulis, …….. namun, sejak seratus tahun setelah kematian Muhammad, para khalifah
mulai mendorong masuknya para pemeluk baru. Orang-orang mulai berduyun-duyun
ke Islam, membuktikan bahwa al Qur’an menjawab kebutuhan religius bagi orang-
orang Timur Tengah dan Afrika Utara. Islam mampu membaurkan kearifan
kebudayaan kuno lain dan dengan cepat membangun tradisi budaya baru yang berbeda.
Islam bukan sebuah kekuatan pemecah belah yang mengancam, malahan Islam
membuktikan mampu menyatukan masyarakat 9
Kondisi perluasan wilayah dengan geografi dan dinamika sosiologi dan antropologi
baru tentunya menuntut adanya perubahan–perubahan dan penyesuaian dengan
lingkungan yang baru. Dalam konteks sederhana saja, dalam keputusan fiqh, tentunya
wacana fiqh zakat Indonesia tidak seluruhnya sama dengan fiqh di Arab. Jenis- jenis
8 Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2003) , h. 59 Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, ( terj. ) Syirikit Syah, ( Surabaya : Risalah Gusti, 2002 ) , h. 382.
5
hasil bumi maupun hewan yang menjadi objek zakat antara dua wilayah ini sudah
berbeda.
Dan sekarang, ketika fenomena yang berkembang adalah fenomena globalisasi, tentu
saja dinamika dan perkembangannya menuntut perubahan yang sudah tidak lagi sama
dengan tuntutan pada periode sebelum ini. Isu–isu yang berkembang sudah tidak lagi
sekedar Hak Asasi Manusia, demokrasi, namun telah berkembang seperti terorisme,
perang nuklir dsb.
Dalam ranah fikih, tuntutan penjelasan agama juga berkembang kepada jawaban fikih
atas permasalhan kedudukan wanita, kasus bunga bank, kedudukan warga non muslim,
jual beli valuta asing, pasar modal, saham, zakat gaji, salat dan puasa di daerah
abnormal, bunuh diri, euthanasia, operasi pergantian kelamin, hukum waris Islam di
Indonesia dan lain sebagainya. 10
Memahami Islam
Berbicara masalah Islam dan tuntutan zaman, Murtadha Muthahhari, setidaknya
mencatat 2 hal penting yang menuntut pemecahan segera. Kedua permasalahan tersebut
adalah : Pertama, pentingnya mengenal dan mengetahui secara benar ajaran Islam yang
murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, aturan pola pikir dan
kepercayaan yang konstruktif, komprehensif, dan akan mengantar manusia kepada
kebahagiaan. Kedua, pentingnya mengenal dan mengetahui kondisi dan tuntutan
zaman. Demikian pula halnya dengan kemampuan membedakan dan memisahkan hasil
10 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, ( Bandung : Mizan, 1994 ) h. 65
6
– hasil kemajuan pengetahuan dan sains dari fenomena–fenomena menyimpang yang
memicu tumbuh dan berkembangnya segala bentuk kemerosotan dan kemunduran. 11
Mengenal Islam secara utuh dan benar, tentunya akan sangat membantu kita untuk
meletakkan posisi sentral Islam di hadapan segala macam perubahan yang merupakan
suatu keharusan sejarah. Dengan mengenal posisi Islam yang tepat, tentunya, segala
macam bentuk dan tuntutan perubahan dapat diterima dengan segala bentuk ijtihad –
ijtihad baru. Hal ini tentunya tidak mungkin akan dapat dicapai bila al Qur’an sebagai
sumber ajaran yang sempurna belum dipahami secara utuh dan padu.
Diantara pelbagai pemikiraan yang berkembang tentang metodologi pemahaman al
Qur’an , Fazlur Rahman, sebagai seorang yang banyak diilhami oleh pendapat al
Syathibi ( w. 1388 ), seorang yuris Maliki yang terkenal , dalam bukunya al-
Muwafiqot, tentang betapa mendesak dan masuk akalnya untuk memahami al Qur’an
sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif, meneruskan sisi pandangan ini, yakni
dengan menekankan bahwa yang bernilai mutlak dalam al Qur’an adalah “ prinsip –
prinsip umumnya” bukan bagian-bagian individualnya. Katanya. “ .......tetapi, seperti
telah saya katakan, al Qur’an memberikan, baik secara eksplisit ataupun implisit,
alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan-keputusan tersebut, darimana kita
bisa menyimpulkan prinsip-prinsip umum. Sebenarnya, inilah satu-satunya cara yang
meyakinkan untuk menarik kebenaran yang sesungguhnya mengenai ajaran al Qur’an.
Kita harus menggeneralisasi atas dasar penanganan al Qur’an terhadap kasus-kasus
aktual – mempertimbangkan dengan semestinya situasi sosio historis yang ada pada
saat terjadinya kasus-kasus tersebut – karena, walaupun kita bisa menemukan beberapa
11 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, ( terj ) Ahmad Sobandi, ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1996 ), h. 7
7
pernyataan atau prinsip umum penanganan-penanganan konkret atas masalah-masalah
aktual, darimana pernyataan atau prinsip-prinsip tersebut mesti dilepaskan. Hasil bersih
dari pertimbangan ini adalah sebagai berikut. Dalam membangun sesuatu stel hukum
atau pranata, harus ada suatu gerakan ganda; Pertama, kita harus bergerak dari
penanganan-penanganan kasus konkrit oleh al Qur’an – dengan memperhitungkan
kondisi sosial yang relevan pada waktu itu – ke prinsip-prinsip umum dimana
keseluruhan ajaran al Qur’an berpusat. Kedua, dari peringkat umum ini harus
dilakukan gerakan kembali kepada legislasi yang spesifik, dengan memperhitungkan
kondisi-kondisi sosial yang ada sekarang. 12
Murtadha Muthahhari, juga menjelaskan kaidah mulazamah ( kaidah kesesuaian ). Dia
menjelaskan bahwa kita harus menjadi orang – orang muta’abbid. Artinya kita
mengamalkan semua hukum yang sudah ditentukan oleh agama, baik sudah kita
ketahui hikmahnya ataupun belum. Namun tidak ada yang namanya sikap ta’abbud
semata–mata dalam agama. Maksudnya ialah bahwa tidak ada hukum yang kosong
dari hikmah. Setiap hukum pasti mempunyai hikmah. Karena itu, di kalangan ulama,
ada dua kaidah yang saling bertentangan dan mereka sebut kaidah kesesuaian
( mulazamah ). Mereka, para ulama, mengatakan bahwa selalu ada keseuaian
( mulazamah) antara hukum akal dan syariat. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang
dihukumi penting oleh akal pasti juga dihukumi demikian oleh agama dan sebaliknya.
Dengan kaidah ini, jika akal menyingkap adanya suatu maslahat tertentu dalam suatu
masalah tertentu dalam suatu masalah ( penyingkapan ini bersifat pasti dan yakin, dan
bukan penyingkapan yang hanya berupa dugaan dan perkiraan ), maka dalam hal ini
12 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, ( terj.) Ahsin Mohammad, ( Bandung : Spustaka, 1985), h. 22-3
8
kita wajib menetapkan bahwa Islam pun menetapkan hukum yang sama denga hukum
yang ditetapkan oleh akal, meskipun hukum itu belum sampai kepada kita. 13
Dalam kerangka berfikir di atas, kita melihat bahwa pemahaman Islam, dapat lebih
bersifat luwes dan fleksibel.
Muslim Modern
Dalam konteks Islam dan kemoderenan, Nurcholis menyatakan bahwa Tuhan banyak
memerintahkan manusia menggunakan akalnya. Karena itu, modernisasi baginya
merupakaan “ keharusan, malah kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan
pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa” 14 dan kemudian dikatakannya,
“ .........modernitas ( kemoderenaan, sikap yang moderen ) mengandung arti yang lebih
mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah... Jadi
modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan-penemuan kebenaran
yang relatif menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah.... dan yang
moderen secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.”
15 Wacana penggunaan potensi akal sebagai hal yang sangat dituntut oleh ajaran
aagama, pada akhirnya menjadikan masalah pendidikan menjasi masalah yang sangat
penting dan urgen di dalam agama Islam. Allah di dalam al Qur’an, memuji orang-
orang yang berjuang mengasah akal daan pikirannya, menuntut ilmu dan dinyatakan
sebagai orang – orang yang ditinggikan derajatnya
13 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, ( terj ) Ahmad Sobandi, ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1996 ), h. 17414 Nurcholis Madjid, Keislaman, Kemoderenan, dan Keislaman, ( Bandung : Mizan, 1987), h. 17215 Ibid, h. 174-5
9
Sikap berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menjalani kehidupan di dunia ini
dengan segala perubahannya, dilandasi semangat kebenaran juga ditawarkan oleh Toto
Tasmara. Menurutnya, didalam memandang dunia, ajaran Islam menunjukkan
karakteristiknya yang sangat berbeda dengan ajaran yang lainnya. Islam menyatakan
dunia sebagai sesuatu yang konkret dan in actu (keadaan yang nyata; menantang),
sebagai suatu kondisi yang bersifat “ sesuatu yang niscaya” (condition ssine qua non)
atau kepastian yang harus dihadapi. Sehingga setiap muslim dengan sangat sadar tidak
mungkin menganut konsepsi isolasi, menjadi seorang petapa, rahib, atau pendeta yang
mencari keheningan budi dengan melepas fitrahnya
“ mendunia”. Karena justru dengan mendunia itulah, dia ingin menyatakan dirinya
sebagai khalifah yang memanfaatkan dunia uintuk menggapai sukses dunia akhirat. Dia
mendunia sekaligus mengakhiratkan dirinya. 16
Penutup
Islam sebagai agama yang kita anut bersifat adoptif dan adaptif terhadap modernitas
dan sebaliknya tidak bersifat antipatif dan kontra produktif terhadapnya. Oleh
karenanya, sosok manusia muslim moderen, bukanlah sosok yang anti perubahan dan
mengasingkan diri dari tuntutan zaman. Muslim moderen, selayaknya mewakili suatu
kegemilangan sejarah seperti yang diyakini oleh Profesor Ernest Gellner dalam
bukunya Muslim Society, sebagaimana dikutip oleh Akbar S Ahmed, “ Islam, memang
tidak menciptakan manusia moderen, tetapi Islam merupakan agama yang mungkin
paling tepat dan cocok bagi dunia moderen ini. “17
16 Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah, Menggali Potensi Diri, ( Jakarta : Gema Insani Press, 2000), h. 79 17 Akber S Ahmed, Citra Muslim, ( terj.) Nanding Ram, Ramli Ya’kub, ( Jakarta: Erlangga, 1992), h. 9
10
Di sisi lain, dialog Islam dan modernitas, juga merupakan suatu proses yang terus
berkelanjutan dan tiada henti. Karen Amstrong menulis, “ Kebangkitan dan kejatuhan
berbagai kerajaan dan dinasti, pengembangan lebih jauh agama Islam ke India dan
Indonesia, daan perkembangan cara dan suasana baru serta berbeda dalam
menginterpretasikan al Qur’an, dapat dipandang sebagai kelanjutan dialog Islam
dengan modernitas sampai belakangan ini. 18
Wallahu a’lam bisshowab
Medan, Agustus 2007
Bekhta Perkasa Asky
18 Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, ( terj. ) Syirikit Syah, ( Surabaya : Risalah Gusti, 2002 ) , h. 383.
11
Daftar Rujukan
Ahmed, Akber S, Citra Muslim, ( terj.) Nanding Ram, Ramli Ya’kub, ( Jakarta: Erlangga, 1992)
Amstrong , Karen, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, ( terj. ) Syirikit Syah, ( Surabaya : Risalah Gusti, 2002 )
Armas , Adnin, Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2003)
As’ad , M. Uhaib dan M Harun al Rosyid, “ Spiritualitas dan Modernitas antara konvergensi dan devergensi” dalam Seri Dian II Tahun I, Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Masyarakat, ( Yogyakarta : Institut Dian /Interfidei, 1994 )
Bucaille , Maurice, The Bible the Quran and ScienceMadjid , Nurcholis, Keislaman, Kemoderenan, dan Keislaman, ( Bandung : Mizan,
1987)Miller , Jamie C., Mengasah Kecerdasan Moral Anak ( terj.) Lovely, ( Bandung: Kaifa,
PT. Mizan Pustaka, 2003)Muthahhari , Murtadha, Islam dan Tantangan Zaman, ( terj ) Ahmad Sobandi,
( Bandung : Pustaka Hidayah, 1996 )Rahman , Fazlur, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, ( terj.)
Ahsin Mohammad, ( Bandung : Spustaka, 1985)Schoorl, J.W, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara – negara
Sedang Berkembang, ( terj) R.G. Soekadijo, ( Jakarta : PT. Gramedia, 1981 ) Tasmara , Toto, Menuju Muslim Kaffah, Menggali Potensi Diri, ( Jakarta : Gema Insani
Press, 2000) Yafie , Ali, Menggagas Fiqh Sosial, ( Bandung : Mizan, 1994 )
12