13
ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI AKALIA Mahasiswa Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika dan sopan santun. Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan sebagaimana anak bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman. Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia terutama remaja. Sebagaimana telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang notabenenya lebih banyak menggunakan media tersebut. Berbagai masalah yang muncul tak terkendali, generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama bagaikan lawan yang abadi. Oleh karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter. Inti ajaran kerasulan Nabi Muhammad SAW yaitu perbaikan akhlak. Ajaran ini berkaitan erat dengan salah satu krisis yang dirasakan oleh bangsa Indonesia, yakni Krisis Moral (moral crisis). Fenomena yang sekarang ini yang sangat memilukan mulai dari tawuran antar pelajar, etnis dan agama, penggunaan obat terlarang (narkoba), miras, perjudian, pelecehan seksual, perusakan fasilitas umum secara brutal dan tindak kekerasan antar elemen bangsa. Semua gengguan perilaku (behavior disorder) atau gangguan karakter (character disorder) tersebut menyebabkan

ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

AKALIA

Mahasiswa Magister Sains Psikologi

Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika dan sopan

santun. Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan sebagaimana anak

bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman. Namun seiring laju

perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian

besar masyarakat dunia terutama remaja. Sebagaimana telah diketahui dengan adanya kemajuan

informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar

masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran

besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun

sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang notabenenya

lebih banyak menggunakan media tersebut. Berbagai masalah yang muncul tak terkendali,

generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama

bagaikan lawan yang abadi. Oleh karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih

melalui membangun pendidikan karakter.

Inti ajaran kerasulan Nabi Muhammad SAW yaitu perbaikan akhlak. Ajaran ini berkaitan

erat dengan salah satu krisis yang dirasakan oleh bangsa Indonesia, yakni Krisis Moral (moral

crisis). Fenomena yang sekarang ini yang sangat memilukan mulai dari tawuran antar pelajar, etnis

dan agama, penggunaan obat terlarang (narkoba), miras, perjudian, pelecehan seksual, perusakan

fasilitas umum secara brutal dan tindak kekerasan antar elemen bangsa. Semua gengguan perilaku

(behavior disorder) atau gangguan karakter (character disorder) tersebut menyebabkan

Page 2: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

ketidakmampuan penyesuaian dan mengembangkan diri bagi individu, yang tentunya akan

berdampak negative bagi ketenangan dan keharmonisan hidupnya.

Krisis moral remaja pada era globalisasi adalah keadaan moral yang suram yang terjadi

pada masa pertumbuhan anak menuju dewasa dalam jangka waktu antara beberapa peristiwa.

Hilangnya moral para remaja adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di seluruh pelosok

bumi nusantara Indonesia. Moral remaja yang telah hilang termasuk dalam kenakalan remaja.

Yaitu masalah yang telah mengancam bangsa ini. Remaja yang seharusnya menjadi tumpuan masa

depan bangsa tidak lagi dapat diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah

banyak menulis tinta emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional. Namun tidak sedikit juga

para remaja ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya

sendiri.

Sudah banyak sekali kasus bahwa generasi muda sebagai motor dan tulang punggung

negara ini sudah rusak moral (akhlak) dan perilakunya. Budaya Islam sebagai budaya yang

seharusnya dikembangkan dan dijadikan sebagai ukuran atau filter penyaring dilupakan bahkan

dilecehkan. Generasi muda sudah kehilangan takaran iman yang bisa menepis pengaruh budaya

luar yang merusak kepribadian kita sebagai bangsa. Generasi muda kita banyak kehilangan arah

dan tersesat dalam area yang sangat berbahaya dan cenderung hanya menggunakan nafsu sebagai

takarannya.

Dengan rusaknya moral dan akhlak generasi muda, maka secara perlahan akan merusak

tatanan suatu bangsa dan tinggal menunggu kehancurannya. Allah jelas telah mengingatkan kita

bahwa hancurnya bangsa diakibatkan rusaknya moral dan akhlak pemudanya. Al- Qur’an dan

Hadits yang diabaikan akan memberikan dampak ketersesatan dan kehancuran manusia yang ada

dalam negara tersebut.

Sementara itu Wila Huky, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Daroesono (1986)

merumuskan pengertian moral secara kompeherensip sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah

laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam

lingkungan tertentu, ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup

atau agama tertentu, sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran

bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang

berlaku dalam lingkungannya. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan

Page 3: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. (Kompas, di unduh pada tanggal 20

Desember 2015).

Menurut Soejono Soekanto norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai

kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat

ikatannya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya.

Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal

adanya empat pengertian, yaitu : cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan

adat istiadat (custom).

Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan

yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Seseorang dapat

dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang

dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah

mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya

agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman

seperti yang dialami waktu anak-anak.

Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan

nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain.

Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi

yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain

(dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana

yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

Namun, moral remaja pada era globalisasi ini telah menyimpang dari ajaran tentang

tingkah laku hidup atau ajaran agama tertentu yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat.

Mereka cenderung mengagung-agungkan budaya Barat dibandingkan budaya asli Indonesia yang

sebenarnya sangat unik dan beragam. Bukan hanya mengagung-agungkan budaya Barat saja tapi

teknologi global pun juga ikut mempengaruhi krisis moral pada remaja. Kebudayaan sama halnya

dengan spesies-spesies, mengalami seleksi berdasarkan adaptasinya terhadap lingkungan, yakni :

sejauh mana kebudayaan itu membantu anggota-anggotanya untuk survive dan memelihara

kebudayaan itu sendiri.

Nilai merupakan sesuatu yang baik, diinginkan atau dicita-citakan dan dianggap penting

oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan santun. Menurut Green, sikap merupakan

Page 4: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

kesediaan bereaksi individu terhadap suatu hal, sikap berkaitan dengan motif dan mendasari

tingkah laku seseorang. Tingkah laku adalah implementasi dari sikap yang diwujudkan dalam

perbuatan.

Dalam kaitan dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam

bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Dalam hal ini aliran

Psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma dan nilai. Semua konsep itu menurut

Freud menyatu dalam konsepnya super ego. Super ego sendiri dalam teori Freud merupakan

bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego, sehingga tidak

bertentangan dengan masyarakat.

Tindakan yang diduga kuat mampu menyelesaikan patologi sosial tersebut adalah

perbaikan budi pekerti yang luhur (akhlaq al-karimah). Karena itu, Penulis mencoba memberi

konteks pada makalah ini dengan mengedepankan judul di atas. Judul yang dimaksudkan untuk

menjelaskan variabel Islam yang dapat mempengaruhi atau berperan pada variabel Pendidikan

Budi Pekerti.

B. Perumusan Masalah

a. Apa yang di maksud dengan Agama Islam?

b. Apa yang di maksud dengan Pendidikan?

c. Apa yang di maksud dengan Budi Pekerti?

d. Bagaimana pandangan Ahli Hadist dan pandangan Al-Quran mengenai Budi Pekerti?

e. Bagaimana Kaitannya Pendidikan Budi Pekerti dengan Islam?

f. Bagaimana Pengukuran Budi Pekerti (Karakter) dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan Umum

Untuk memberikan kontribusi dalam menambah wawasan, gambaran dan pemahaman

yang jelas mengenai Islam dan Pendidikan Budi Pekerti serta kaitannya dengan Krisis Moral serta

sebagai salah satu rujukan untuk memahami lebih lanjut dari sisi tema yang sama dalam konteks

keislaman pada pendidikan budi pekerti.

Tujuan Khusus

a. Memahami apa yang di maksud Islam

Page 5: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

b. Memahami apa yang di maksud pendidikan

c. Memahami apa yang di maksud budi pekerti

d. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Qur’an dan hadist mengenai budi pekerti

e. Mengetahui peran keislaman pada budi pekerti

f. Memahami Pengukuran Budi Pekerti / Karakter dalam Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Agama Islam

Definisi Agama Islam

Islam adalah doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada hamba-Nya melalui

para rasul. Dalam islam memuat sejarah ajaran yang tidak sebatas pada aspek ritual tapi juga

mencakup aspek peradaban dengan misi utamanya sebagai rahmatan lil a’lamin, islam hadir

dengan menyuguhkan tata nilai yang bersifat plural dan inklusif yang merambah kedalam semua

rana kehidupan. Para ahli dari semua kalangan berusaha menterjemahkan dan menikmati

‘penjamuan’ islam menurut disiplin nya masing-masing.

Islam adalah agama kepatuhan, kebersihan dari cacat, dan perdamaian untuk memperoleh

keselamatan dunia dan akhirat. Hal itu didasarkan atas arti harfiyah islam yang seakar dengan kata:

a. As-Salam

Menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan, dan kepatuhan

b. As-Silm dan As-Salm

Damai dan aman

c. As-Salm dan As-Salamah

Bersih dan selamat dari cacat, baik lahir maupun batin

Orang islam (muslim) adalah orang yang menyerah, tunduk, patuh dalam melakukan yang

baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan

dan perdamaian hidup di dunia dan akhirat.

Page 6: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Ruang Lingkup Ajaran Islam

Ruang lingkup ajaran islam mencakup tiga domain (Muhaimin, Mujib, Mudzakir, 2012) yaitu:

a. Kepercayan (I’tiqodiyah)

Berhubungan dengan rukun iman seperti iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari

kebangkitan dan taqdir.

b. perbuatan (amaliyah)

perbuatan amaliyah disini terbagi dalam dua bagian, yaitu:

- masalah ibadah berkaitan dengan rukun islam, seperti syahadat, sholat, zakat, puasa, haji dan

ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.

- Masalah muamalah, berkaitan dengan interaksi manusia dengan sesamanya, baik

perseorangan maupun kelompok seperti akad, pembelanjaan, hukuman, hukum jinayah

(pidana dan perdata).

c. etika (khuluqiyah)

berkaitan dengan kesusilaan, budi pekerti, adab(sopan santun) yang menjadi perhiasan bagi

seseorang dalam rangka mencapai keutamaan. Nilai-nilai seperti jujur(shidiq),

terpercaya(amanah), adil, sabar, syukur, pemaaf, tidak tergantung pada materi(zuhud), menerima

apa adanya(qona’ah), berserah diri kepada Allah(tawakal), malu berbuat buruk (hayya),

persaudaraan(ukhuwah), toleransi(tasamuh), tolong menolong(ta’awun) dan saling

menanggung(takaful) adalah serangkaian bentuk dari budi pekerti yang luhur(akhlaq al-karimah).

B. Budi Pekerti

Pengertian Budi Pekerti

Istilah budi pekerti sering kali dipersamakan dengan istilah sopan santun, susila, moral,

etika, adab atau akhlak. Kesemuanya istilah itu memiliki makna yang sama, yaitu sikap, perilaku,

dan tindakan individu yang mengacu pada norma baik buruk dalam hubungannya dengan sesama

individu, anggota keluarga, masyarakat, hidup berbangsa, bernegara bahkan sebagai umat

beragama, yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan kualittas diri. Dalam budi pekeri

memuat bangunan nilai-nilai yang baik dan benar, yang menjadi acuan perilaku (code of conduct)

dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.

Page 7: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap

dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam perbuatan

dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari

kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at dan akal pikiran,

maka ia dinamakan budi pekerti mulia dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk,

maka disebutlah budi pekerti yang tercela.

Menuru Saint Thomas Aquinas, yang di kutip oleh Mann dan Kreyche, teori tentang baik-

buruk dalam ajaran budi pekerti sangat tergantung pada kehendak Tuhan. Apa yang dianggap dan

ditentukan baik atau buruk oleh Tuhan, maka baik buruk pula untuk moral manusia. Sementara

Immanuel Kant menekankan criteria baik-buruk dalam ajaran budi pekerti berdasarkan intuisi,

karena hukum budi pekerti itu berada di dalam diri manusia yang terdalam. Sementara Plato dan

Arsitoteles dengan aliran Rasionalismenya memandang bahwa criteria baik buruknya berdasarkan

rasio manusia, karena rasio merupakan sumber etika.

Pandangan yang tepat bagi masyarakat Muslim Indonesia terhadap beberapa aliran budi

pekerti diatas adalah konvergen. Artinya, semua aliran dapat diakomodir sedemikian rupa, tanpa

mengabaikan salah satunya. Sebagai bangsa yang beragama, masyarakat muslim Indonesia telah

tertanam nilai-nilai ajaran agama, yang dalam pelaksanaannya tidak akan berbenturan dengan

nilai-nilai universal budi pekerti yang diturunkan dari hukum-hukum rasional, intuitif maupun

tradisi atau falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Islam dihadirkan bukan untuk merusak atau

mencabut tata nilai budi pekerti yang melembaga dalam suatu tradisi, melainkan untuk

menyempurnakannya.

Sumber-sumber Budi Pekerti

Budi pekerti dapat diturunkan dari berbagai sumber :

a. Ajaran agama

Semua agama menghendaki umatnya berlaku dan bertindak baik, bahkan doktrin ini menjadi inti

ajaran agama. Tidak satupun agama mengajak kepada umatnya untuk bertindak anarkis, destruktif

dan menginjak-injak hak dan kehormatan orang lain.

b. Falsafah hidup

Setiap Negara memiliki falsafah hidup yang menjadi pedoman bagi bangsanya untuk berperilaku

baik. Falsafah hidup tersebut diturunkan dari kesepakatan bersama yang disusun dengan berpijak

Page 8: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

pada prinsip berketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan

keadilan untuk kebaikan dan keharmonisan bersama.

c. Tradisi

Tradisi merupakan adat istiadat atau kebiasaan suatu masyarakat, yang mana kebiasaan itu

dilakukan secara menetap dan konsisten oleh anggotanya. Tradisi terbentuk atas kesepakatan

bersama karena di pandang memiliki nilai kebaikan bagi komunitas masyarakat tertentu.

C. Pendidikan Budi Pekerti dalam Islam

Hubungan Pendidikan Budi Pekerti dan Islam

Misi utama kerasulan Nabi Muhammad S.A.W.adalah untuk memperbaiki akhlak

umatnya. Hal itu didasari atas Hadis Riwayat Imam Malik bin Anas dari Anas bin Malik:

إنما بعثت ألتمم مكارم األخالق

“aku diutus untuk menyempunakan Akhlak”.

Akhlak yang dimaksud dalam hadis tersebut ekuivalen dengan budi pekerti. Oleh karna

misi nya sebagai pengemban perbaikan budi pekerti, maka beliau senantiasa menunjukan uswah

hasanah (suri tauladan yang baik) sebagai bentuk internalisasi nilai dan prototype budi pekerti

yang baik, agar umatnya dapat menirunya dengan mudah. Hal ini didasarkan atas firman Allah

SWT. Dalam QS. al-ahzab ayat 21:

لقد كان لكم فى رسول هللا أسوة حسنة لمن كان يرجوا هللا واليوم األخر وذكر هللا كثيرا

“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)

bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut

Allah. ”

Dalam konteks pendidikan, hadits dan ayat tersebut mengandung dua isyarat. Pertama,

bahwa tujuan utama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Adalah pendidikan budi pekerti

yang mulia (karimah) dan terpuji (mahmudah). Tentu saja sumber budi pekerti disini adalah apa

yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua, dalam proses budi pekerti itu, beliau tidak

saja membuang tradisi yang dianggap sebuah prilaku yang baik menurut masyarakat setempat.

Karna itulah beliau menggunakan istilah “menyempurnakan” bukan mengganti. Dapat

Page 9: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

disimpulkan bahwa ajaran budi pekerti beliau adalah “memelihara yang lama yang baik dan

mengambil yang baru yang lebih baik.”

Hal ini menunjukan akan keluwesan dan inklusifisme ajaran islam terhadap

transinternalisasi pendidikan budi pekerti. Islam yang ajaran intinya berpijak pada prinsip

keutuhan (tauhid) menolak segala fikiran dan tindakan yang berbau sekuler, yang memisahkan

antara ajaran agama dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena sekularisasi akan

melahirkan kepribadian yang pecah (split personality). Sebagai implementasi dari pemahaman

tersebut, umat islam Indonesia yang memiliki hubungan vertical baik dengan Allah (habl Min

Allah) seharusnya di ikuti oleh hubungan horizontal yang baik pula terhadap sesama manusia

(Habl Min Al nnas), sehingga terjadi hubungan yang simbiotik antara keshalehan individual

(dalam bentuk ibadah) dan keshalehan sosial (dalam bentuk muamalah).

Dimensi Pendidikan Budi Pekerti menurut Thomas Lickona

1. Pengetahuan moral (moral knowing). meliputi kesadaran moral (moral awareness),

pengetahuan tentang nilai moral (knowing moral values), perspective-taking, pertimbangan

moral (moral reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri

(self-knowledge).

2. Perasaan moral (moral feeling). meliputi suara hati (conscience), harga diri (self-esteem), ikut

merasakan atau terlibat penderitaan yang lain (empathy), cinta yang baik (loving the good),

pengendalian diri (self-control), dan kemanusiaan (humanity).

3. Ttindakan moral (moral action). meliputi kemampuan (competency), kemauan (will), ebiasaan

(habit). (Mujib, 2006)

Dimensi Pendidikan Budi Pekerti dalam Islam

Pendidikan budi pekerti yang dikembangkan dalam islam memiliki tiga dimensi, yaitu :

1. dimensi ketuhanan (ilahiyyah)

menjelaskan hubungan individu dengan tuhannya, yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai

ketuhanan pada diri manusia, seperti sifat-sifat Al-Rahman (nilai kasih), Al-Rohiem (nilai sayang),

Al-Malik (nilai kepemimpinan), Al-Quddus (nilai kesucian), Al-Salam (nilai kesajahteraan atau

kedamaian), Al-Khaliq (nilai produktifitas dan kreatifitas), Al-Mushawir (nilai estetika), dan

seterusnya yang berhubungan dengan Asmaul’Husna.

Page 10: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

2. dimensi kemanusiaan (insaniyah)

menjelaskan hubungan individu dengan sesama manusia, yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai

kemanusiaan yang universal, seperti saling menolong atau membantu, hormat-menghormati,

saling menanggung simpati, empati, memiliki tanggung jawab sosial, kepedulian sosial dan

kepekaan sosial.

3. dimensi kealaman (‘alamiyah)

menjelaskan hubungan individu dengan alam semesta, karena manusia dicipakan oleh Allah

sebagai khalifahnya di muka bumi. Nilai-nilai yang ditanamkan pada individu adalah bagaimana

ia mampu memelihara, memakmurkan dan memanfaatkan alam ini dangan baik, sebagai sarana

beribadah kepada-Nya baik terhadap alam abiotik (bebatuan, tambang, air, udara, tanah, api, dan

sebagainya) maupun biotik (segala jenis tumbuhan dan hewan).

D. Pengukuran Budi Pekerti (karakter) dalam islam

Menurut Abdul Mujib (2012) Dalam pengukuran (measurement) karakter dalam Islam

terdapat beberapa persoalan, baik secara substantif maupun metodologis. Ironisnya persoalan ini

justru menjadi penghambat bagi pengembangan alat ukur dan proses pengukurannya, bahkan

sampai taraf kesimpulan bahwa karakter Islam tidak dapat dan tidak perlu diukur. Kesimpulan

seperti itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara total, melainkan perlu klasifikasi

permasalahannya menurut konteksnya.

Persoalan pertama, apakah karakter Islam yang bercirikan baik-buruk dapat diukur.

Bukankah pengukuran ilmiah bersifat objektif dan bebas nilai yang tidak melibatkan penilaian

baik buruk? Dari perdebatan ini muncul pendapat bahwa karakter Islam tidak perlu diukur

melainkan hanya perlu dinilai, karena konsep pengukuran berbeda dengan penilaian. Pengukuran

merupakan proses menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat

kuantitatif, bahkan merupakan proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Sedangkan

penilaian dipahami sebagai proses mendapatkan informasi secara berkala dan menyeluruh tentang

proses dan hasil dari perkembangan karakter yang lebih bersifat kualitatif, sekalipun kuantitatif

pun memungkinkan. Sebagian yang lain mengambil sikap bahwa pengukuran karakter diperlukan

untuk mengetahui perkembangan karakter individu dari satu periode ke periode berikutnya dengan

menggunakan selfevaluation(muhasabah), bukan untuk mengetahui perbandingan tingkat karakter

satu orang terhadap orang lain.

Page 11: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Persoalan kedua, apakah karakter Islam yang bersifat metaempiris (seperti pengukuran

ikhlas dan takwa) dapat diukur secara kuantitatif. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa karakter

Islam bersumber dari nash dan pemikiran para ulama’ yang orientasi perilakunya pada teosentris.

Mungkinkan pengukuran mampu memasuki wilayah yang indikator dan normanya sulit dan tak

dapat dijangkau manusia? Dalam menanggapi persoalan ini ada beberapa pendapat yang

mengemuka:

1. Selama variabel karakter dapat didefinisi-operasional-kan maka variabel itu dapat diukur,

apapun variabelnya termasuk variabel karakter seperti ikhlash dan takwa. Pendapat ini

mengikuti paham positivistik yang menyatakan bahwa variabel itu menjadi bermakna jika dapat

diverifikasi secara empiris.

2. Variabel karakter itu tidak perlu diukur karena normanya tak terjangkau dengan indikator

empiris. Nabi Muhammad ketika ditanya tentang ‘takwa’, beliau menjawab “takwa itu di sini”

diucapkan tiga kali dengan menisyaratkan tangannya ke dada (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Hadis ini menandakan betapa sulitnya mengukur variabel takwa. Kalau pengukuran dipaksakan

maka menjadi sia-sia, karena indikatornya tidak utuh.

3. Terhadap variabel karakter tertentu yang dapat diukur secara langsung, seperti sabar, syukur,

jujur, dan sebagainya, karena indikatornya jelas dan terjangkau secara empiris. Namun terdapat

variabel karakter tertentu yang tidak perlu diukur seperti ikhlas, takwa, ma’rifatullah dan

sebagainya, Karakter terakhir ini lebih tepat dinilai, bukan diukur.

Persoalan ketiga, apakah hasil pengukuran karakter Islam berlaku sebagaimana hasil

pengukuran variabel pada umumnya, yang memiliki ciri realtif dan tentatif. Misalnya, setelah

dilakukan pengukuran karakter ikhlas ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

kepuasan kerja, maka rekomendasi penelitiannya adalah tidak perlu ikhlas dalam kerja karena

tidak memberi pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Apakah hal itu tidak mereduksi

kemutlakan Islam, bukankah Islam lebih ‘terhormat’ dijadikan sebaga doktrin yang tidak perlu

diverifikasi keabsahannya dengan penelitian empiris. Bukankah Islam itu benar dengan sendirinya

tanpa perlu verifikasi empiris?. Sekalipun demikian problemnya, sesungguhnya Islam yang

diterima oleh umat Islam merupakan hasil ijtihad, sehingga jika terjadi hasil penelitian seperti di

atas sematamata atas nama ijtihad peneliti, yang apabila benar dapat dua pahala dan apabila salah

masih mendapat satu pahala.

Page 12: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Persoalan keempat, apakah yang diukur “karakter Islam” ataukah “karakter muslim,” sebab

keduanya memiliki perbedaan: Karakter Islam (al-akhlaq al-Islamiyah), pengukuran yang

didasarkan atas konsep karakter dalam Islam. Normanya bersifat deduktif-normatif yang

diturunkan dari ajaran Islam. Karena normatif maka fokus pengukuran ini pada ‘bagaimana

seharusnya’ karakter individu. Langkah-langkan operasional yang ditempuh adalah menggali

pengertian, aspek atau dimensi, indikator karakter tertentu dalam Islam yang digali dari ayat-ayat

al-Qur’an, hadis dan pendapat para ulama.

pengukuran ini untuk mengetahui apakah individu yang diukur memiliki karakter yang

sesuai dengan ajaran Islam. Kemungkinan hasil yang didapat dalam pengukuran adalah (1)

Individu muslim yang berkarakter Islam; (2) individu muslim yang tidak memiliki karakter Islam;

(3) Individu non-muslim berkarakter Islami; dan (4) Individu nonmuslim tidak memiliki karakter

Islami. Karenanya, individu yang dimaksud bukan saja berstatus muslim, namun mencakup juga

individu non-muslim, sehingga banyak ungkapan “orang itu memiliki karakter Islami, sekalipun

ia non-muslim.” Walaupun demikian, ungkapan itu masih dipertanyakan: “Masihkan disebut

karakter Islami bagi nonmuslim yang tanpa melibatkan domain keimanan kepada Allah Swt.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi maka kesimpulan yang dapat diambil dari makalah

ini adalah sebagai berikut:

1. Pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap

dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam

perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran

2. Islam yang ajaran intinya berpijak pada prinsip keutuhan (tauhid) menolak segala fikiran

dan tindakan yang berbau sekuler, yang memisahkan antara ajaran agama dan falsafah hidup

berbangsa dan bernegara, karena sekularisasi akan melahirkan kepribadian yang pecah (split

personality).

Page 13: ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

3. Demi keseimbangan pendidikan, manusia tidak ingin hanya mengedepankan aspek pendidikan

material, tetapi juga pendidikan moral-spiritual.

B. SARAN

Pada makalah ini masih banyak tema yang terkait secara teoritis dengan budi pekerti, yang

belum ikut dikaitkan pada penjelasan di makalah ini, seperti misalnya kaitan antara budi pekerti

dengan konteks filsafat islam dan secara menyeluruh dengan konteks psikologi islam dimana

tentunya hal tersebut akan memperkaya pemahaman pembaca mengenai akhlaqul karimah dan

pendidikan. Penulis berharap bahwa pada penulisan makalah yang mendatang, aspek tersebut bisa

ikut dibahas.

Sebagai generasi muda seharusnya kita dapat lebih menghargai budaya kita sendiri dan

menjadi remaja yang bermoral yang mampu melawan dampak negatif dari globalisasi dan

mengambil dampak positifnya. Tentunya dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita

kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Hamid Hasan, Said, Dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa. Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional.

Mujib, A (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media

Muhaimin, Mujib A., Mudzakir. 2012. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan.

Jakarta: Prenada Media

Mujib. A. 2012. Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Islam. Fak Psikologi UMS

Sujono, Administrasi dan SupervisinPendidikan, Jakarta: PPLPTK Depdikbud, 1989.

http://www.kompasiana.com/ditarahayu/makalah-krisis-moral-remaja-pada-era-

globalisasi_54f7ae21a33311541d8b478c (di unduh pada tanggal 20 november 2015