28
RETORIKA OASE DI PADANG PASIR: SEBUAH ANALISIS DIRKURSUS STUDI RETORIKA DALAM BINGKAI HISTORIS PROPOSAL SKRIPSI diajukan untuk menempuh ujian sarjana pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran DANIEL RUSYAD HAMDANNY 210110080305 UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI BANDUNG 2011

Islamic Rhetoric

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Islamic Rhetoric

RETORIKA OASE DI PADANG PASIR:

SEBUAH ANALISIS DIRKURSUS

STUDI RETORIKA DALAM BINGKAI HISTORIS

PROPOSAL SKRIPSI

diajukan untuk menempuh ujian sarjanapada Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Padjadjaran

DANIEL RUSYAD HAMDANNY

210110080305

UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

BANDUNG 2011

Page 2: Islamic Rhetoric

2

DAFTAR ISI

Daftar Isi 2

Pendahuluan 3

Latar Belakang 3

Fokus Penelitian 8

Maksud Penelitian 9

Tujuan Penelitian 10

Kegunaan Penelitian 10

Kerangka Pemikiran 11

Metodelogi 19

Sumber Data 20

Teknik Pengumpulan Data 22

Teknik Analisis Data 23

Keabsahan Data 24

Lokasi dan Waktu Penelitian 27

Daftar Pustaka 28

Page 3: Islamic Rhetoric

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sesungguhnya di balik penjelasan itu terkandung sihir

Muhammad

Jika kau hendak menasehati, bicaralah dengan singkat dan padat. Sungguh

perkataan yang panjang, sebagiannya meniadakan bagian lain (dari benak

pendengarmu)

Abu Bakar

Penelitian mengenai retorika, khususnya retorika pada masa Yunani dan

Romawi, telah banyak dilakukan baik oleh sejarawan maupun sarjana komunikasi. Di

antaranya Prof. Erik Gunderson dari Universitas Berkeley yang pada 2009

menyunting sebuah kompilasi esai ilmiah bertajuk Cambridge Companion to Ancient

Rhetoric. Gunderson, dalam buku tersebut memaparkan kajian elaboratif perihal isu-

isu kompleks retorika di masa Yunani hingga Romawi yang dibedah dengan

pendekatan analisis wacana (discourse analysis).

Sebelum Companion Gunderson terbit, di tahun 2004, James Herrick, Guru

Besar Ilmu komunikasi Universitas Winconsin menulis sebuah karya ilmiah yang

memiliki setting serupa: The History and Theory of Rhetoric. Herrick secara

kronologis merinci karakteristik retorika Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, dan

Page 4: Islamic Rhetoric

4

retorika kontemporer. Tentu saja sebelum kedua buku itu terbit pun, telah ada ratusan

bahkan ribuan penelitian serupa. Saking banyaknya, mungkin kita sudah akrab

dengan aktor dan atribut yang menjadi ciri khas retorika Yunani dan Romawi.

Sebut saja Homerus dengan Iliad dan Odisius-nya yang konon tergolong karya

sastra tertua yang lestari dan isinya banyak diingat hingga masa kini. Perang Trojan,

meski fiktif, menjadi wacana yang banyak dipersepsi sebagai setting sejarah pra

kejayaan Yunani. Socrates, seorang filsuf yang tak pernah menulis satu buku pun,

namun logika silogisme-nya, yang diperkenalkan oleh murid-muridnya, dikenal

sepanjang masa. Corax, seorang sophist sekaligus pengacara yang pandai bersilat

lidah dan dengan bakatnya itu ia mampu menyelamatkan banyak kliennya dalam

proses pengadilan. Plato dengan bukunya: Gorgias dan Phaedrus, retor yang juga

memiliki sekolah pertama dalam sejarah: Akademi Plato. Aristotles dengan De Arte

Rhetorica –keliru jika kita tak menganggap buku itu sebagai karya ilmiah pertama

dalam kajian retorika. Tiga pendekatan argumentasi yang termasyhur: logos, pathos,

dan ethos, muncul untuk pertama kalinya dalam De Arte karya Aristoteles. Kemudian

Gorgias, sophist sekaligus retor yang mengenalkan konsep propriety yaitu proses

adaptasi wacana ke dalam berbagai variable ekstrinsik retorika. Bicaralah sesuai

dengan kondisi lawan bicara Anda, salah satu prinsip dalam konsep tersebut.

Seluruh tokoh di muka dengan sekelumit atribut dan karya mereka secara

otomatis mengingatkan kita pada retorika Yunani Kuno (Ancient Greek). Lalu di era

Romawi, kita diingatkan pada Cicero dengan De Inventione serta karya

pamungkasnya, Ad Herenium. Dalam karya yang disebut terakhir itulah, pelajar

Page 5: Islamic Rhetoric

5

Kajian Retorika diperkenalkan dengan Lima Aturan Retorika (The Five Canons of

Rhetoric) yang sampai detik ini bertahan dan menjadi alat utama dalam membedah

keefektifan sebuah proses retorika. Masih di masa Romawi, Quintilian menjadi ikon

guru retorika yang mengedepankan kaidah estetika.

Penulis merasakan butuhnya pengayaan kembali kajian retorika. Jika setiap

peradaban mampu menampilkan keelokan atau tepatnya kekhasan retorika,

sebagaimana retorika Yunani yang mengedepankan logika- tampak dalam proses

argumentasi- lalu retorika Romawi mengedepankan estetika –dalam penyampaian

pesan. Penulis menemukan sebuah fase dalam sejarah yang belum terpindai ke dalam

kajian retorika, yakni fase akhir Peradaban Sasaniah dan Bizantium di Semenanjung

Arabi menjelang kemunculan Peradaban Islam.

Fase ini penulis anggap kritikal untuk diangkat karena dua alasan. Pertama,

periode ini merupakan fase penerus sekaligus pembuka fase lainnya dalam sejarah:

peralihan abad pertengahan yang dikenal sebagai dark ages menuju masa pencerahan

atau renaissance. Sedangkan retorika tidak begitu populer pada abad pertengahan, tak

pelak retorika pada saat itu dianggap mati suri. Rakhmat (2008:10) menguraikan

kondisi retorika di masa itu bahwa “membicarakan” diganti dengan “menembak”.

Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang

yang pandai berbicara. Kondisi itu memberikan sebuah hipotesis bahwa sempat

terjadi ‘peralihan’ pemain dalam membangun tradisi retorika pada masa tersebut.

Alasan kedua, sebagaimana retorika di masa Yunani dan Romawi, Retorika pada

Periode Kemunculan Islam pun –merujuk pada peralihan fase romawi helenistik

Page 6: Islamic Rhetoric

6

yang ditandai dengan runtuhnya peradaban Sasaniah dan Bizantium- memiliki

kekhasan dan keunggulan tertentu yang peneliti percaya dapat memperkaya khazanah

kajian retorika yang telah ada.

Penulis memilih frasa Retorika Oase –dengan sesekali menggunakan istilah

Retorika Muhammad- untuk mempermudah ingatan pembaca ketimbang

menggunakan istilah yang lebih panjang: Retorika di Masa Kemunculan Islam yang

Memperantarai Abad Pertengahan dan Masa Pencerahan. Objek formal dalam studi

ini adalah retorika yang dibawakan oleh pendiri –meskipun penulis lebih

meyakininya sebagai penyambung- sekaligus penyebar ajaran atau agama Islam.

Posisinya sebagai penyebar perdana agama ini relevan untuk merepresentasikan

bagaimana kekhasan Retorika yang dikenalkan atau menjadi ciri khas Islam.

Sebagaimana Aristotle mengakrabkan kita pada retorika Yunani, Cicero pada retorika

romawi, dalam studi ini Muhammad pada retorika Peradaban Islam. Se

Penulis terinspirasi oleh Nancy Worman, Ph.D. yang membedah retorika

Yunani Kuno dengan pendekatan sejarah, lingusitik, dengan bingkai analisis

diskursus dalam esainya yang bertajuk Fighting Words: Status, Stature, and Verbal

Contest. Teori Speech Act dalam membedah Iliod kemudian menguraikan dialog

antar tokoh di dalamnya dengan berbagai nuansa komunikasi yang tentu saja

diimbangi lensa historis Yunani pada abad ke delapan sebelum masehi, Worman

dengan cermat menguraikan retorika yang khas pada masa tersebut.

Penulis juga terilhami oleh Prof. Dr. Abdul Halim Syalabi dari Universitas

Qatar yang menguraikan keunggulan Fann Al-khitabah (Al Bayaan) atau retorika

Page 7: Islamic Rhetoric

7

sebelum dan setelah Islam dengan metode komparatif. Meski masih terkesan

simplisistik tetapi Syalabi cukup membuka jalan analisis selanjutnya yang lebih

holistik dan mendalam.

Kajian Retorika Muhammad menurut penulis sangat penting dan relevan

terhadap pengembangan ilmu komunikasi. Muhammad yang menjadi objek sentral

dalam hal ini tidak saja memiliki daya pikat karena diyakini oleh sebagian ummat

manusia-termasuk penulis- sebagai Nabi. Bahkan di luar label kenabian pun,

Muhammad memiliki kualitas potensi kemanusiaan, khususnya kualitas

kepemimpinan yang diakui bukan saja oleh ummat Islam.

Meski klasik, namun isu mengenai penempatan Muhammad sebagai urutan

pertama dalam 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah oleh Michael H.

Hart yang notabene beragama Yahudi adalah bukti betapa Muhammad adalah figur

yang sangat disegani ummat manusia.

Jika kita menyaratkan keefektifan persuasi sebagai tolok ukur kesuksesan

retorika, penulis berkeyakinan perlunya mengambil sebuah kajian mendalam

bagaimana sosok Muhammad –sebagai hipotesis awal merujuk pada deskripsi

Barnaby Rogerson dalam Biografi Muhammad- yang terlahir dalam suatu masyarakat

tribalistis, penuh persaingan antarklan, dengan karakteristik iliteral, fanatik, dan

pengaruh kekuasaan dua imperium adidaya, mampu menyatukan mereka semua di

bawah naungan yang ia komunikasikan sebagai ajaran Tuhan. Komunikasi macam

apa yang mampu melembutkan karakteristik masyarakat padang pasir yang dikenal

keras. Mengubah fanatisme menjadi keingintahuan akan kebenaran (filsafat).

Page 8: Islamic Rhetoric

8

Menyatukan klan yang sekian lama jatuh dalam jurang permusuhan ke dalam

persaudaraan yang tidak terikat darah dan materi.

Penulis pernah menjadi pelajar (santriwan) di sebuah pesantren di Jawa Timur

selama enam tahun, penulis cukup akrab dengan ilmu-ilmu bahasa Arab dan kajian

mengenai fann al- khitabah atau balaghah -yang kerap disepadankan dengan termin

retorika. Pengetahuan dasar ini menjadi modal sekunder penulis dalam menganalisis

retorika Muhammad dengan kerangka analisis wacana yang berpijak pada model

Discourse Analysis Van Dijk dan Model Rehetorical Discourse James A Herrick.

1.2. Fokus Penelitian

Penelitian ini berupaya menganalisis retorika nabi yang dibatasi pada wacana

Muhammad menyampaikan tiga kotbahnya, yakni kotbah perdana di Mekkah, kotbah

kecaman terhadap tindakan kolutif, serta kotbah terakhir yang dikenal dengan

khutbatu-l-wada’ atau kotbah perpisahan.

Fokus penelitian berkisar pada daya tarik kotbah, bagaimana Muhammad

membangun argumentasi dalam kotbahnya, proposisi serta penyusunan pesan kotbah,

adaptasi kotbah dengan kondisi audiens, kekuatan kata serta motif historis yang

berkaitan dengan pesan kotbah, dan pendekatan persuasif yang tampak dalam kotbah.

Fenomena historis berupa kognisi sosial dan interaksi partisipan actual dengan segala

atributnya yang menjadi preseden kotbah menjadi konteks dalam membedah kotbah

Muhammad yang berperan sebagai teks.

Page 9: Islamic Rhetoric

9

1.3. Maksud Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacara

(discourse analysis). Penulis, dengan metode tersebut, berupaya mengeksplorasi

retorika Muhammad –dibatasi pada Kotbah Perdana di Mekkah, Kotbah tentang

Pencurian, dan Kotbah Pamungkas di Madinah- sebagai sebuah wacana yang

ditelusuri dengan tiga pendekatan yaitu:

Penggunaan bahasa (language use)

Proses kognisi sosial (social cognition)

Interaksi partisipan (interaction)

Penggunaan bahasa, dalam penelitian ini, adalah kotbah Muhammad yang

berperan sebagai teks. Sedangkan proses kognisi sosial dan interaksi partisipan

merupakan konteks yang dipengaruhi sekaligus mempengaruhi teks. Sehingga

analisis wacana- merujuk pada definisi Van Dijk- dalam penelitian ini berbicara

mengenai teks di dalam konteks.

Kaitan teks dan konteks diuji dengan mengeksplorasi empat kritik konstruk yang

dikembangkan Gill dan Whedbee sebagai berikut:

Exigence (Isu sasaran)

Audience (Audiens atau pendengar Aktual)

Genre (Sifat atau karakteristik teks)

Rhetor Credibility (Posisi sosial Muhammad di tengah audiens)

Page 10: Islamic Rhetoric

10

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada akhirnya bertujuan menghadirkan gambaran atau deskripsi

tentang Retorika Muhammad- sebagai suatu teks- yang khas dan aplikatif, disertai

eksplorasi konteks yang melatari sekaligus memengaruhi teks tersebut. Gambaran

yang penulis hadirkan merupakan hasil dari analisis kotbah dengan menjawab lima

pertanyaan sebagai berikut:

A. Bagaimanakah retorika Muhammad direncanakan?

B. Bagaimanakah adaptasi retorika Muhammad terhadap audiens?

C. Bagaimanakah motif manusia (human motives) muncul dalam retorika

Muhammad?

D. Bagaimanakah respon retorika Muhammad terhadap situasi yang melatarinya?

E. Bagaimanakah teknik persuasi dalam retorika Muhammad?

Uraian retorika Muhammad sebagai jawaban dari kelima pertanyaan tersebut

diharapkan dapat menjadi bakal sebuah model Wacana Retorika Muhammad atau

Wacana Retorika Nabi (Prophetic Rhetorical Discourse).

1.5. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu kegunaan teoretis

dan kegunaan praktis.

Page 11: Islamic Rhetoric

11

1.5.1. Kegunaan Teoretis

Penelitian mengenai Retorika Muhammad ini diharapkan mampu memperkaya

Ilmu Komunikasi pada umumnya dan Kajian Retorika pada khususnya

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pendorong untuk diadakannya

penelitian-penelitian serupa

1.5.2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih bagi para orator (public

speakers) pada umumnya dan para da’i serta muballigh khususnya dalam

mengenalkan kualitas dan karakteristik Retorika Muhammad yang aplikatif.

1.6. Kerangka Pemikiran

1.6.1. Analisis Wacana: Studi Teks di dalam Konteks

Analisis Wacana (Discourse Analysis) merupakan studi teks di dalam konteks. Teks

merupakan penggunaan bahasa dalam segala bentuknya. Pemahaman mengenai teks

terus berkembang sesuai dengan perkembangan komunikasi, baik sebagai kajian ilmu

ataupun fenomena sosial. Sedangkan konteks dalam analisis wacana dapat dipahami

sebagai proses komunikasi keyakinan (communication of belief) yang dipengaruhi

oleh kognisi sosial, dan interaksi yang terjadi pada saat penggunaan bahasa terjadi.

Page 12: Islamic Rhetoric

12

Analisis Wacana, sebagai sebuah studi, memiliki prinsip-prinsip sebagaimana studi

lainnya. Van Dijk (1997:29) secara elaboratif merinci prinsip tersebut ke dalam dua

belas butir sebagai berikut:

Naturally Occuring Text and Talk. Analisis wacana mensyaratkan adanya

pembicaraan atau teks yang terjadi apa adanya. Data atau objek yang dianalisis

harus benar-benar murni tanpa melalui perubahan-perubahan terlebih dahulu.

Context. Wacana merupakan dianalisis dan dikaji sebagai bagian konstitutif dari

konteks lokal, global, sosial, dan kultural. Pembicaraan dan teks dalam berbagai

cara memberikan isyarat relevansi kontekstual, dan sebab itu struktur-struktur

konteks perlu diobservasi dan dianalisis secara mendetail.

Discourse as Talk. Pembicaraan kerap kali dianggap sebagai dasar atau bentuk

wacana primordial. Pada dasarnya, wacana tidak dibatasi pada teks atau

pembicaraan tertentu, wacana bisa dalam bentuk pembicaraan formal maupun

informal.

Discourse as Social Practice of Members. Baik wacana tertulis (written

discourse) maupun wacana terucap (spoken discourse) merupakan bentuk-bentuk

dari praktik sosial dalam konteks sosio-kultural. Pengguna bahasa yang terlibat

dalam wacana bukan sekadar pribadi- individu, melainkan juga anggota

kelompok, institusi, atau budaya yang bervariasi.

Member’s Category. Hal ini lumrah dalam analisis percakapan, untuk tidak

‘memaksakan’ gagasan atau kategori yang dibentuk sebelumnya, peneliti dituntut

Page 13: Islamic Rhetoric

13

untuk menghargai cara anggota sosial mengintepretasi diri mereka, dan cara

mereka mengkategori sifat atau karakteristik dunia sosial dan reaksi mereka

atasnya, termasuk atas wacana.

Sequentiality. Penyelesaian wacana bersifat linear dan sekuensial, dalam

menciptakan dan memahami baik pembicaraan maupun naskah. Sifat pertama

berlaku dalam setiap tingkat, unit-unit struktural (kalimat, proposisi, dan

tindakan) harus dijelaskan atau diintepretasikan secara relatif pada unit

sebelumnya. Relativitas diskursif juga melibatkan fungsionalitas, yakni elemen

selanjutnya memiliki fungsi-fungsi khusus pada elemen sebelumnya. Prinsip ini

juga berimplikasi bahwa pengguna bahasa saling memengaruhi baik secara

mental dan interaksional.

Constructivity. Di samping bersifat sekuensial, wacana juga bersifat konstruktif

dalam arti bahwa unit-unit konstitutif wacana dapat, secara fungsional,

digunakan, dipahami, atau dianalisis sebagai elemen dari bagian yang lebih besar,

karenanya mampu menciptakan struktur hierarki.

Levels and Dimension. Analis wacana cenderung mengiris, secara teoretis,

menjadi beberapa lapis, dimensi, atau tingkatan- tingkatan, dan pada saat yang

sama juga menghubungkan level-level tersebut. Lapisan, dimensi, atau tingkatan

tersebut merepresentasikan tipe-tipe fenomena yang berbeda dan terlibat dalam

wacana, seperti suara, bentuk pesan, makna, dan tindak. Pengguna bahasa di lain

Page 14: Islamic Rhetoric

14

pihak mengatur level-level atau dimensi wacana secara strategis dalam waktu

yang bersamaan.

Meaning and Function. Baik para pengguna bahasa maupun analis, keduanya

(bekerja dengan) makna: dalam pemahaman dan analisis mereka, mereka

mengajukan pertanyaan seperti ‘Apa yang ia maksudkan di sini?’ atau

“Bagaimana hal ini masuk akal atau wajar dalam konteks tersebut?’ sebagaimana

terjadi pada kasus atau prinsip lainnya, prinsip ini juga memiliki implikasi

fungsional atau implikasi eksplanatori: ‘Mengapa hal itu disebutkan di sini?’

Rules. Bahasa, komunikasi, sebagaimana wacana, seluruhnya diasumsikan

memiliki aturan atau berwujud mengikuti kaidah (to be rule governed).

Pembicaraan (Talk) dan Teks dianalisis sebagai manifestasi atau hubungan

daripada aturan-aturan grammar, tekstual, komunikatif, atau aturan interaksi yang

menjadi konsesnsus sosial. Pada saat yang bersamaan, bagaimanapun, kajian

wacana actual berfokus pada bagaimana aturan dilanggar, diabaikanm satau

diubah, dan apa fungsi diskursif atau fungsi sosial dalam kaitannya dengan

pelanggaran yang tampak.

Strategies. Selain aturan, pengguna bahasa juga mengetahui dan mempraktikan

strategi-strategi expedient mental (pendekatan persuasive terapetik, pen.) dan

interaksional dalam pemahaman serta penyelesaian wacana secara efektif dan

dalam merealisasikan tujuan-tujuan komunikatif atau sosial. Relevansi strategi ini

dapat dianalogikan dengan permainan catur: pemain catur membutuhkan

Page 15: Islamic Rhetoric

15

pengetahuan mengenai peraturan permainan untuk memainkan permainan

tersebut pada giliran pertama, lalu ia perlu menggunakan taktik, gambit, dan

pergerakan yang andal dalam strategi secara keseluruhan untuk bertahan atau

menang.

Social Cognition. Prinsip ini kurang dikenal, tetapi memiliki relevansi yang tak

kurang penting dalam analisis wacana, yakni peranan kognisi fundamental: proses

dan representasi mental dalam menciptakan dan memahami teks dan pembicaraan

(talk). Hanya sedikit saja dari aspek-aspek wacana yang didiskusikan di muka

(makna, koherensi, aksi atau tindak, dan sebagainya) yang dapat dipahami dan

dijelaskan dengan baik, tanpa mendalami jalan berpikir (the mind) dari pengguna

bahasa. Di samping ingatan pribadi dan pengalaman terhadap sebuah kejadian

(models), representasi sosio-kultural yang sama-sama dimiliki secara consensus

(pengetahuan, sikap, ideologi, norma, dan nilai) dari pengguna bahasa sebagai

anggota kelompok juga memainkan peranan yang mendasar dalam wacana, sama

halnya dalam deskripsi dan eksplanasi. Kognisi, diyakini dalam berbagai jalan

dan cara, sebagai penghubung (interface) antara wacana dan masyarakat

(discourse and society)

1.6.2. Kajian Retorika dalam Analisis Wacana

Retorika, cetus Aristoteles dalam De Arte Rhetorica., tidak memiliki cakupan atau

kajian pokok khusus tersendiri, karena ia ditemukan dimana-mana. Ricard Mckeon

Page 16: Islamic Rhetoric

16

(Booth, 2004:4) mengulangi ungkapan Aristotles tersebut, dalam bukunya Rhetoric:

Essay on Invention and Discovery, bahwa retorika adalah seni yang universal dan

arsitektonik. Kemana pun kita pergi, kita selalu menemukan retorika. Apapun yang

kita lakukan, pasti mengandung retorika. Termenung pun, misalnya, merupakan

kegiatan retorika. Itulah alasan Mckeon menganggap retorika universal.

Arsitektonik berarti menawarkan sebuah struktur yang kemudian digunakan

secara lintas disiplin keilmuwan. Retorika pada dasarnya menjawab bagaimana kita

mengelola bahasa (sintaksis) dan mempergunakannya (pragmatis) secara efektif.

Retorika juga menjawab bagaimana mengelola logika berpikir secara sistematis.

“Retorika”, menurut Corbett (1990:5) adalah “seni wacana yang bertujuan

untuk meningkatkan kecakapan seorang pembicara atau penulis yang berupaya untuk

memberi informasi, membujuk, atau memotivasi pendengar tertentu dalam situasi-

situasi tertentu”. Definisi tersebut sangat akrab dengan teori-teori komunikasi yang

memandang komunikasi secara pasif dan berlangsung secara linear.

Definisi retorika yang lebih sempit dikemukakan oleh Cicero, Seorang Orator

Ulung pada masa Romawi, dalam karyanya Ad Herenium, “Retorika adalah seni

besar yang terdiri dari lima seni kecil: inventio, dispositio, elocutio, memoria, dan

pronunciatio. Ia merupakan pidato yang didisain untuk membujuk rayu (to

persuade).” Retorika dalam definisi tak lain merupakan teknik persuasi, bahkan

penulis lebih memilih untuk menyebutnya manajemen pesan.

Meski sangat sederhana, definisi Cicero terhadap retorika sangat powerful,

terbukti bahwa sampai saat ini pembahasan mengenai retorika, khususnya yang

Page 17: Islamic Rhetoric

17

berkaitan dengan pragmatics, tak lepas dari lima seni kecil yang diungkapkan

olehnya. Bahkan Ancient Rhetorics for Contemporary Students menjadikan lima seni

kecil sebagai bab besar dengan uraian hampir lima ratus lembar.

Wayne Booth dalam Rhetoric of RHETORIC mendefinisikan retorika sebagai

“cakupan seni yang menyeluruh, tidak hanya persuasi tetapi juga dalam menciptakan

atau mengurangi kesalahpahaman” Jika kita cermati definisi Booth dengan merekam

pernyataan-pernyataan yang mendahului definisi tersebut dalam buku Rhetoric of

RHETORIC, kesan yang timbul adalah sebuah upaya untuk mengembalikan retorika

pada sifat kenetralannya.

Retorika tidak seperti apa yang John Locke (Herrick 2004:1) yakini sebagai alat

untuk menyusupkan ide-ide yang salah, menyesatkan pengadilan, dan sebagai tipuan

yang benar-benar nyata. Retorika juga tidak semulia pemahaman Santa Agustinus:

“Retorika adalah seni menyampaikan (pesan) dengan jelas, secara indah (ketika

dibutuhkan), secara persuasif, dan penuh dengan kebenaran-kebenaran yang dapat

diketahui oleh akal secara cermat” Retorika, merujuk pada definisi Booth, adalah

netral. Ia bisa menjadi alat untuk menciptakan sekaligus membelokkan pemahaman

manusia akan sesuatu.

Universalitas objek kajian retorika menjadikan penelitian tentang retorika

menjadi sangat kaya. Dewasa ini, penelitian mengenai retorika dilakukan dengan

memadukan analisis objek kajian ditinjau secara multi-perspektif. The Gendered

Pulpit Mountford misalnya, merupakan hasil studi retorika dan feminisme mengenai

kondisi kotbah keagamaan di Amerika Serikat. Rhetoric of the Americas merupakan

Page 18: Islamic Rhetoric

18

studi retorika dan sejarah pembentukan bangsa Amerika. Dan penelitian retorika yang

menjadi concern dalam proposal ini adalah kajian retorika dan sejarah yang

menawarkan sebuah metode aplikatif, diantaranya Ancient Rhetoric for

Contemporary Students Sharon Crowley.

Definisi retorika yang paling sesuai dengan kerangka pemikiran dalam

penelitian ini adalah apa yang disampaikan James A. Herrick sebagai studi sistematis

dan praktik ekspresi simbolik yang efektif dan menyengaja. Efektif, jelas Herrick

berarti mencapai tujuan atau maksud dari pengguna symbol, baik berupa bujukan

(persuaion), kejelasan (clarity), keindahan (beauty), atau pemahaman bersama

(mutual understanding). Seni retorika dapat membuat penggunaan symbol lebih

persuasif, lebih indah, diingat, kuat, cerdas, jelas, dan secara umum lebih mendorong.

Dengan karakteristik tersebut, retorika merupakan seni mempergunakan symbol

secara efektif.

Penyajian seni retorika secara sistematis, gambaran mengenai elemen-elemen

retorika (junctions) yang saling berpapasan, serta penjelasan tentang bagaimana

retorika mencapai tujuan-tujuannya secara kolektif, jelas Herrick dipahami sebagai

teori retorika. Kemudian, wacana (discourse) yang diciptakan (crafted) sesuai dengan

prinsip-prinsip seni retorika, yang oleh sebab itu menjadi produk dari seni ini dinamai

wacana retorika (rhetorical discourse) atau Herrick menyebutnya sekadar retorika.

Wacana retorika, masih merujuk pada pemahaman James A, Herrick, memiliki

lima karakterstik yang membedakannya dari tipe komunikasi lainnya. Karakteristik

tersebut adalah sebagai berikut:

Page 19: Islamic Rhetoric

19

1. Retorika direncanakan

2. Retorika diadaptasikan dengan audiens

3. Retorika menampilkan motif-motif manusia

4. Retorika bersifat responsive terhadap situasi

5. Retorika berupaya mempersuasi

1.7. Metodelogi

1.7.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis

wacana (discourse analysis). Meski fokus penelitian menitik beratkan pada pesan

retoris Nabi Muhammad dalam tiga kotbahnya yang masyhur di Mekkah dan

Madinah, bukan berarti kerangka yang paling sesuai adalah tradisi semiotika. Karena

Semiotika, sebagaimana dijelaskan oleh Littlejohn (2008:105), meski membantu

dalam memahami pesan dan makna pesan, tetapi tidak terlalu memperhatikan situasi

sosial dan cultural pada saat suatu pidato atau kotbah disampaikan. Sedangkan

penelitian ini mencoba menganalisis teks –language use, yaitu tiga kotbah

Muhammad- melalui konteks –yaitu proses kognisi sosial dan interaksi partisipan

yang menjadi latar belakang teks yang saling mempengaruhi. Karena itu Discourse

Analysis lebih tepat digunakan sebagai kerangka acuan penelitian ini.

Menurut Jorgensen dan Phillips (2002:1) bahwa analisis diskursus adalah upaya

untuk menganalisis cara-cara tertentu dalam membicarakan dan memahami dunia

(atau suatu aspek dari dunia).

Page 20: Islamic Rhetoric

20

Analisis Diskursus merupakan metode yang erat kaitannya dengan penggunaan

bahasa (pragmatics). Karena kedekatannya itu, Nancy Wood (2006:11) memahami

diskursus sebagai bahasa dan konteks (pada saat bahasa itu dipergunakan). Analisis

Diskursus merupakan sebuah metode terbuka dan tidak terikat. Terbuka dalam arti

metode ini digunakan lintas disiplin ilmu sosial. Dan tidak terikat oleh framework

atau bingkai teori-teori tertentu.

Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Dalam

penelitian kualitatif, peneliti sebagai subjek penelitian merupakan hal yang tak

terpisahkan dari objek penelitian yang ditelitinya. Peneliti menganalisis berbagai

literatur yang relevan sebelum akhirnya member intepretasi dan kesimpulan.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat intepretif (menggunakan

penafsiran) yang melibatkan banyak metode dalam menelaah masalah penelitiannya.

(Mulyana: 2007:5).

1.7.2. Sumber Data

Sumber data utama yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah literatur

mengenai retorika dalam kotbah Nabi Muhammad –edisi asli dan bukan saduran atau

terjemahan- dan buku-buku sejarah sebagai data utama yang mendukung eksplorasi

konteks: kognisi sosial dan interaksi partisipan dalam kotbah. Buku mengenai

Page 21: Islamic Rhetoric

21

psikologi dan bahasa menjadi pemerkaya dalam analisis pada bagian-bagian tertentu,

khususnya dalam sub bagian sintaksis dan semantik dalam penelitian.

Berikut adalah literatur utama sebagai sumber data dalam penelitian ini:

• Al-Kamil karya Ibnu Atsir

• As-Shahih Al-Bukhari karya Imam Bukhari

• As-Shahih Al-Muslim karya Imam Muslim

• Al Khitabah Wa I’daadul Khatiib karya Dr. Abdul Jalil Syalabi

• Madinatul Balaghah karya Syaikh Musa Zanjani

• Al-Tarikh at Tabari karya Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir At-Tabari

• Jawahiru-l-Balaghah karya Ahmad Al Hasyimi

• Arabic Rhetoric: A Pragmatic Analysis karya Hussein A Raof

• Muhammad: His Life Based on the Earliest Source karya Martin Lings

• The Arabs: A History karya Eugeune Rogan

• The History and Theory of Rhetoric James A Herry

• Discourse As Structure And Process karya Teun A Van Dijk

• Society and Discourse karya Teun A. Van Dijk

• Discourse and Social Psychology karya Potter dan Wetherell

• Understanding Muhammad: A Psychobiography karya Ali Sina

• The Rhetoric of Power in Late Antiquity: Religion, Politics in

Byzantium, Europe, and the Early Islamic World suntingan Robert M.

Frakes, Elizabeth D. Digeser, dan Justin Stephen

Page 22: Islamic Rhetoric

22

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini hampir sepenuhnya dikerjakan dengan teknik telaah atau studi

kepustakaan. Adapun teknik lainnya hanya merupakan pelengkap atau membantu

teknik utama saja dalam memastikan validitas serta reliabilitas data saja.

Studi kepustakaan, sebagai teknik utama dalam penelitian ini, penulis

membaca banyak buku, majalah, diktat, atau jurnal untuk mendukung

penelitian. Literatur yang menjadi rujukan bertemakan:

a. Retorika dan analisis wacana

b. Sintaksis, semantic, dan pragmatik

c. Sejarah, khususnya sejarah Arab pada masa kehadiran Islam

d. Hadits

e. Biografi Muhammad atau Sirah Nabawiyyah

f. Ilmu Bahasa Arab, khususnya mengenai Fann Al-Khitabah

Teknik pelengkap dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Wawancara, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa teoretisi dan

praktisi retorika, ahli sejarah Islam dan timur tengah serta ahli bahasa arab.

Dokumentasi, mempelajari arsip-arsip dan berbagai film dokumenter tentang

Muhammad dan Sejarah Islam di Jazirah Arab

Page 23: Islamic Rhetoric

23

1.7.4. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini bersifat induktif

atau Bottom-Up Approach. Bottom-up approach (Woods, 2006:12) merupakan upaya

untuk memulai analisis suatu wacana yang dimulai dengan analisis terhadap pola

komunikasi verbal dan noverbal yang digunakan dalam wacana.

Lalu analis, dalam hal ini, mencari suatu bukti dan motif-motif tertentu yang

menyebabkan wacana tersebut dikonstruksi. Penggunaan kata yang langka, pemilihan

kalimat dan atau frase, pengulangan-pengulangan, komposisi pesan, penekanan, dan

lain sebagainya.

Seiddel dalam Moleong (2007: 248) analisis data kualitatif prosesnya berjalan

sebagai berikut:

• Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan demikian hal itu

diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

• Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,

membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.

• Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,

mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat

temuan-temuan umum.

1.7.5. Keabsahan Data

Secara umum validitas adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskripsi, kesimpulan

penjelasan, tafsiran, dan segala jenis laporan (Alwasilah, 2002: 169). Suatu temuan

Page 24: Islamic Rhetoric

24

atau data dalam penelitian kualitatif dapat dinyatakan valid apabila tidak ada

perbedaan antara yang dilaporkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek

penelitian.

Validitas membuktikan bahwa yang diamati sesuai dengan realita yang

sesungguhnya terjadi serta membuktikan penjelasan yang diberikan sesuai dengan

yang sebenarnya terjadi pula. Patut diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut

penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada

konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seorang sebagai hasil proses mental tiap

individu dengan berbagai latar belakangnya.

Validitas internal merupakan ukuran tentang kebenaran data yang diperoleh

dengan instrumen yakni apakah instrumen itu dilakukan dengan sungguh-sungguh

mengukur variabel yang sebenarnya (Nasution, 1992: 105). Validitas internal pada

penelitian kualitatif menggambarkan konsep yang ada pada penelitian dan konsep

yang ada pada partisipan. Validitas internal mengusahakan tercapainya aspek

kebenaran hasil penelitian sehingga dapat dipercaya. Data-data yang diperoleh harus

diakui atau diterima kebenarannya oleh sumber informasi dan data-data tersebut

harus dibenarkan oleh sumber atau informan lainnya. Ukuran kebenaran pada

penelitian kualitatif disebut kredibilitas.

Peneliti akan melakukan triangulasi sumber, waktu dan teknik sebagai teknik

uji kredibilitas data. Adapun pengertian dari ketiga teknik tersebut menurut Sugiyono,

bahwa triangulasi sumber adalah cara mengecek data yang telah diperoleh melalui

Page 25: Islamic Rhetoric

25

beberapa sumber, sedangkan triangulasi waktu adalah cara penguji kredibilitas data

dengan melakukan pengecekan dalam waktu atau situasi yang berbeda.

Triangulasi teknik adalah cara pengujian kredibilitas data dengan menggunakan

teknik yang berbeda, adapun teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam,

observasi, dan dokumentasi. Hal terkahir yang dilakukan dalam menguji kredibilitas

data adalah member check, peneliti melakukan proses pengecekan data kepada

pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti

data tersebut valid, sehingga semakin kredibel.

Validitas eksternal pada penelitian kuantitatif berkenaan dengan derajat akurasi

apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana

sampel tersebut diambil. Validitas eksternal dalam penelitian kualitatif menggunakan

istilah transferability atau keteralihan. Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan,

sampai mana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain.

Moleong (2007: 324) mengatakan:

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara

konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan hal tersebut seorang

peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang

kesamaan konteks. Maka peneliti dalam membuat laporannya harus

memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan

demikian pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut, sehingga dapat

memutuskan dapat atau tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian

tersebut di tempat lain.

Page 26: Islamic Rhetoric

26

Moleong sendiri mengungkapkan, usaha membangun keteralihan dalam

penelitian kualitatif jelas sangat berbeda dengan nonkualitatif dengan validitas

eksternalnya. Hal itu dilakukan dengan cara uraian rinci (thick description) dalam

penelitian kualitatif. Teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya

sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang

menggambarkan konteks tempat penelitian dilaksanakan. Jelas laporan itu harus

mengacu pada fokus penelitian. Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus

sekali segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pembaca agar ia dapat memahami

temuan-temuan yang diperoleh.

Reliabilitas menunjukkan adanya konsistensi, yaitu memberikan kesamaan

hasil sehingga dapat dipercaya. Istilah reliabilitas tidak digunakan dalam penelitian

kualitatif, melainkan dependability. Pengujian dependability dilakukan dengan cara

melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh

auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas

peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan

masalah/fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis

data, sampai membuat kesimpulan data, melakukan uji keabsahsan data, sampai

membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tidak

mempunyai dan tak dapat menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka

dependabilitas penelitiannya patut diragukan (Sanafiah Faisal dalam Sugiyono, 2007:

131).

Page 27: Islamic Rhetoric

27

1.7.6. Lokasi dan Waktu Penelitian

1.7.6.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini bersifat on-the-table-research atau penelitian-di-atas-meja. Proses

penelitian dapat berlangsung dimana saja dengan syarat ketersediaan sumber data dan

alat atau kebutuhan teknis penelitian. Wawancara dengan ahli, dilaksanakan di tempat

dan pada kesempatan yang sesuai dengan kesiapan narasumber.

1.7.6.2. Waktu Penelitian

Penelitian memakan waktu sekurangnya tiga bulan. Dimulai pada bulan Desember

2011 dan berakhir pada bulan Februari 2012.

Page 28: Islamic Rhetoric

28

1.8. Daftar Pustaka

Dijk, Teun A.Van. 1997. Discourse As Structure And Process. Sage Publication, Inc.London.

Dijk, Teun A.Van. 2009. Society and Discourse. Cambridge University Press. New York.

Griffin, Em. 2012. A First Look At Communication Theory. McGraw Hill Companies, Inc. New York

Herrick, James. A. 2006. The History and Theory of Rhetorics. Sage Publication. London

Littlejohn. Stephen W.; Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. Sage Publication, Inc. Thousand Oaks