36

ISOLA POS EDISI 53

Embed Size (px)

DESCRIPTION

JEJAK STATUTA

Citation preview

3November 2012 | | 33

Pemimpin UmumIsman R. Yoezron

Pemimpin RedaksiJulia Hartini

Staf RedaksiCindy Mutiaratu, Farid Maulana, Isman R.

Yoezron, Lia Anggraeni, Melly Anggun Puspita, Nisa Rizkiah, Ratih Ika Wijayanti, Rifqi Nurul

Aslami, Siti Haryanti, Yuni Misdiantika

Setter/LayouterYuni Misdiantika

FotograferCindy Mutiaratu

Kontributor GambarRedy N Saputra

Pemimpin PerusahaanLia Anggraeni

IklanLia Anggraeni

SirkulasiMelly Anggun Puspita

ProduksiMelly Anggun Puspita

Kulit MukaTressa Triandy

PenerbitUnit Pers Mahasiswa

Universitas Pendidikan Indonesia

Pelindung Rektor Universitas Pendidikan Indonesia

PembinaPembantu Rektor

Bidang Kemahasiswaan dan KemitraanUniversitas Pendidikan Indonesia

Penasihat Dr. Zakarias Sukarya Soetedja, M.Sn

Dr. Yuyus suherman, M.Si

Alamat RedaksiSekretariat UPM UPI, Gedung Pusat Kegiatan

Mahasiswa (PKM) UPI Lt.1 Ruang 02Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154.

Tel: 022-2013163 ext 3207 Fax: 022-2103651 E-mail: [email protected]: http://isolapos.com

Twitter : @isolapos

KETUA UMUM: ISMAN R. YOEZRON SEKRETARIS: MELLY ANGGUN PUSPITA BENDAHARA: LIA ANGGRAENI BIDANG ORGANISASI: NISA RIZKIAH BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN: RIFQI NURUL ASLAMI BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN: SITI HARYANTI

DARI REDAKSI

UPM UPI 2012-2013

REVOLUSI, sebuah kata yang akan mengantarkan ingatan kita pada cerita sejarah, sebuah

manifesto, dan pemberontakan. Kaum pemberontak adalah mereka yang muncul lantaran janji-janji palsu penguasa. Masih kental dalam ingatan ketika mahasiswa juga turut menjadi bagian dari kaum revolusioner waktu itu. Ketika mereka pun menjadi teropong untuk melihat penguasa dengan janji-janji besar dan sebuah ideologi kaku yang digunakan untuk memberi pembenaran atas kekuasaan mereka. Nyatanya, keadaan mahasiswa tak jauh berbeda hari ini, ketika mereka pun dituntut untuk menjadi stake out, pengawas dan controller penguasa. Universitas menjadi tempat di mana seluruh kegiatan mahasiswa dikembalikan. Tentu saja, universitas juga menjadi payung yang menaungi berbagai aktivitas mahasiswa tak terkecuali memberikan pelayanan terbaik terhadap hak-hak mahasiswa.

Namun, kebijakan-kebijakan universitas seringkali menjadi batu sandungan atas pergerakan mahasiswa. Kewajibannya dalam memberikan pelayanan terbaik terhadap hak-hak mahasiswa pada akhirnya dikaburkan

dengan sebuah hasrat kekuasaan. Hal ini lantas dikaitkan dengan bagaimana peran penguasa kampus dalam merumuskan kebijakan universitas. Di sinilah peran mahasiswa sebagai stake out dan controller dibutuhkan. Meski diakui atau tidak, peran itu menjadi dilematis ketika dihadapkan pada persoalan mendasar tentang perannya sebagai akademisi. Karena hal itulah, Isola Pos edisi kali ini mencoba mengajak mahasiswa memahami kembali perannya. Mahasiswa nampaknya perlu sadar bagaimana persoalan statuta universitas dan pengaruhnya terhadap kemahasiswaan, akademik, struktur organisasi universitas di dalamnya. Banyak pasal-pasal yang perlu dikritisi oleh mahasiswa.

Selain mengangkat tema besar yaitu statuta, Isola Pos edisi 53 pun mengangkat masalah kemahasiswaan tentang berdirinya UKM-UKM baru tanpa didukung fasilitas yang memadai dan masalah pungutan kepada mahasiswa baru yang masih dilakukan oleh sejumlah himpunan mahasiswa jurusan di UPI. Sebagai mahasiswa, kita perlu berpikir kritis dalam masalah yang terjadi di universitas ini. Akhir kata, selamat membaca dan selamat berapresiasi.

Sejarah dan Peran Mahasiswa

4 | | November 2012

DAFTAR ISI

Ilustrasi Kulit Muka:Tressa Triandy

LAPORAN UTAMA

Wacana mengenai Statuta UPI bergulir sejak berubahnya status UPI dari Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PT-BH). Rancangan statuta pun menuai berbagai komentar dan tanggapan dari seluruh kalangan sivitas akademika, tak terkecuali mahasiswa. Statuta diharapkan mengakomodasi seluruh aspirasi, dan menjadi titik tolak perubahan UPI. Namun, apakah harapan itu benar-benar didengar pihak perumus statuta?

DARI REDAKSI | 3 EDITORIAL | 7 KILAS KAMPUS | 14 RESENSI BUKU | 32SKETSA | 6 OPINI | 8 KEMAHASISWAAN | 24 RESENSI FILM | 33SURAT PEMBACA | 4 BINCANG | 10 KONTEKS | 28 KOLOM | 34POJOK ISOLA | 5 KAMPUS | 12 TEATER | 30 ZOOM | 35

17

SURAT PEMBACA

Peran pegawai Tata Usaha (TU) di universitas ini sangat penting. Mereka membantu dosen dan mahasiswa dalam hal-hal yang sifatnya administratif. Tentu saja, peran mereka tak bisa digantikan oleh siapapun. Mayoritas, sebagai warga kampus, mahasiswa kerap memanfaatkan jasa pegawai TU. Mahasiswa yang harus membuat berbagai surat, baik yang berhubungan dengan akademik atau organisasi yang tentunya lewat jasa para pegawai TU.

Namun sayang, di universitas sebesar UPI, pelayanan para pegawai TU tidak prima. Ketika saya membuat surat, banyak ketidakprimaan yang saya dapatkan. Ketidakprimaan tersebut terlihat dari telatnya masuk kerja, keluar kerja lebih awal, lamanya proses pembuatan surat padahal kalau melihat teknis pembuatannya tidak terlalu rumit.

Selain itu, nilai-nilai kearifan lokal kita yang mengajarkan keramahtamahan,

Pegawai TU BAAK Tidak Ramah dalam MelayaniRumitnya Sistem Penilaian di UPItidak terlihat pada pelayanan mereka. Para pegawai yang saya temui tidak tersenyum, bahkan ada yang berbicara tetapi tidak melihat langsung pada saya. Kerap, mereka malah memarahi saya bila ada syarat-syarat pembuatan surat yang tidak lengkap atau keliru.

Memang, ketidakprimaan dan ketidakramahan itu tidak dilakukan oleh semua pegawai TU di universitas ini. Ada sebagian yang cukup prima dan ramah dalam memberikan pelayanan administratif. Namun, sudah selayaknya bila semua pegawai TU bisa memberikan pelayanan yang baik dan prima karena itu sudah menjadi hak mahasiswa yang berkuliah di universitas ini.

Muhamad PatoniMahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra

Indonesia.

S U R A T P E M B A C A

Semester genap kemarin, ketika melihat nilai di siak.upi.edu, nilai salah satu mata kuliah saya E. Ternyata tidak hanya saya, kawan satu kelas saya juga mengalami hal yang sama. Kami menanyakan hal ini kepada petugas di jurusan, katanya sekarang semua nilai dimasukkan oleh dosen. Ketika bertanya ke dosen yang bersangkutan, katanya sudah memasukan nilai. Tapi nyatanya nilai kami masih E.

Kami tanyakan kembali ke petugas jurusan, katanya kami harus mengontrak kembali mata kuliah itu. Tapi tidak harus masuk perkuliahan, hanya sebagai syarat untuk mengeluarkan nilai saja.

Dengan adanya kesalahan seperti itu akan banyak mahasiswa yang dirugikan. Senior saya misalnya, dia gagal melakukan sidang gara-gara dosen salah memberikan nilai. Dia harus mengontrak mata kuliah lagi.

Karena kesalahan ini juga, kawan saya gagal cumlaude. Karena, Ia harus mengontrak dua kali mata kuliah yang sama. Apakah sekarang UPI sudah tidak mengenal FNUB? Perbaikan sistem penilaian kok malah menyusahkan. Miris.

Irma DamayantiMahasiswa UPI

5November 2012 | |

Redaksi menerima opini, esai sastra, cerita pendek, feature atau tentang riset/hasil riset. Tulisan disampaikan melalui email atau langsung ke alamat redaksi dengan identitas lengkap. Redaksi berhak menyunting naskah kiriman tanpa mengubah substansi.

Alamat Redaksi:

Sekretariat Unit Pers Mahasiswa UPI

Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM)

UPI Lt. 1 Ruang 02

Jl. Dr. Setiabudhi 229 Bandung.

40154 Indonesia

E-mail: [email protected]

Website: http://isolapos.com

Pojok Isola

Saya memiliki sebuah saran untuk UPI yang mungkin bisa membantu para alumninya kelak. Apabila kita melihat ke kampus-kampus lain, ada satu hal yang mereka miliki tapi tidak UPI miliki. Hal itu adalah keberadaan Career Development Center (CDC). Sudah banyak Perguruan Tinggi baik negeri ataupun swasta yang memiliki CDC untuk membantu para alumninya mencari kerja dan juga mempromosikan bahwa Perguruan Tinggi mereka mampu menciptakan sumber daya manusia yang andal.

Mengapa sampai sekarang UPI masih belum memiliki sebuah CDC. Jika dalam dunia marketing, UPI bisa dibilang tidak memi liki pe layanan "After-Sales". UPI seolah-olah jual-putus. Ketika su dah terjual, ya sudah tidak ada hubungan apa- apa lagi.

Demi kebaikan kita bersama, kebutuhan untuk adanya CDC di UPI adalah kritikal. CDC UPI seharusnya sudah berdiri sejak 10 tahun ke belakang. Untuk mengejar ketinggalan itu, proses pendirian CDC UPI harus dimulai dari sekarang. Saya dan segenap Alumni UPI siap mencurahkan segenap daya, dana, dan upaya untuk berdirinya CDC UPI. Demi UPI, Alumni UPI dan Mahasiswa UPI!

Eri FirmantoAlumni UPI dari Jurusan Pendidikan Teknik Elektro angkatan 2002.

Kapan UPI Punya Careeer Development Center?

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memang memiliki pencitraan yang luar biasa di mata masyarakat dan pihak pemerintah. Namun, hal itu tak berarti bagi mahasiswa. Karena pada kenyataannya masih banyak yang harus dibenahi di lingkungan UPI sendiri. Dari sekian banyak permasalahan internal lingkungan di UPI, masalah keamanan kampus masih menduduki posisi paling rawan.

Ini sangat berpolemik, banyak keluhan dan kritis mahasiswa di media sosial terkait dengan keamanan perangkat kendaraan bermotor. Mulai dari kehilangan helm dan lecet pada motor akibat tangan jahil yang tidak diketahui siapa pelakunya.

Di samping itu, lahan parkir juga masih belum tertata dengan baik. Masih ada tempat yang seharusnya tidak dijadikan lahan parkir bagi siapapun. Jelas, tata ruang UPI khususnya fasilitas tempat parkir masih belum optimal. Lantas apa gunanya security yang seharusnya mengatur lalu lintas di lingkungan UPI?

Mungkin pihak kampus mencoba berbagai solusi untuk mengatur lahan parkir tetapi ada baiknya jika UPI membuat lahan parkir khusus seperti basement yang bisa menampung banyak kendaraan bermotor dan mempermudah pihak security untuk melakukan keamanan sehingga adanya fokus keamanan bagi kendaraan bermotor di UPI.

Arini MuchtaramMahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan

Lagi-lagi Masalah Parkir

S U R A T P E M B A C A

“Apa bedanya ngadain acara dengan kaderisasi?” ungkap Presiden BEM Rema UPI, Hamdan Ardiansyah.

Emang himpunan itu sama juga Event Organizer ya pak presiden...

“Ini juga salah satu upaya pencitraan untuk UPI,” tandas Kepala Divisi emahasiswaan Syahroni.

Pencitraan terusss!!

“Jika UPI tidak memenuhi aturan yang ada, UPI akan di-turunkan derajatnya dari A ke B oleh negara,” ujar Direk tur Direktorat Akademik, Agus Taufik.

Asal jangan BL aja yah pak..

“Masa, mahasiswa yang dilay-ani, tapi mahasiswa juga yang melayani,”ujar Ketua Tim Pe-rumus Statuta UPI, Aminudin Azis

mahasiswa kan mandiri, pak.

6 | | November 2012

SKETSA

IKLAN

7November 2012 | |

EDITORIAL

STATUTA. Satu kata yang akhir-akhir ini santer diperbincangkan sivitas akademika Universitas

Pendidikan Indonesia (UPI). Sejak tim perumus meluncurkan drafnya awal Oktober lalu, deretan pasal yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan UPI ini sontak menjadi perhatian. Berbagai kalangan angkat bicara, mulai guru besar hingga mahasiswa, suaranya sama: Statuta sejatinya menjadi langkah perubahan.

Kita mesti tepuk tangan kepada tim perumus yang sudah bekerja keras me-rampungkan rancangan sta tuta. Tetapi, bukan juga berarti kita harus menelan bulat segala pasal yang dirancang. Statuta adalah penentu nasib kampus penghasil guru ini. Artinya, semua stakeholder perlu ikut serta memberi masukan. Semua aspirasi perlu terakomodasi, agar tak ada lagi yang terdiskriminasi akibat aturan yang merugikan.

Semua pihak pasti sepakat, bahwa statuta baru ini harus merangkul setiap kalangan. Jangan ada lagi aturan yang bersifat elitis, yang mengutamakan sebagian pihak yang berkepentingan. Seluruh elemen, tanpa terkecuali, harus diposisikan sebagai bagian yang berkepentingan memperbaiki penyelenggaraan kampus. Artinya, semua elemen yang berkontribusi langsung adalah stakeholder yang mesti diakui dan diakomodasi dalam statuta.

Ironis, jika kita menyimak pernyataan ketua tim perumus Statuta UPI, Aminudin Azis, pada saat sosialisasi perdana draf Statuta di auditorium gedung Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dihadapan hadirin, Ia menyatakan dengan tegas bahwa mahasiswa bukanlah stakeholder, serta tak perlu dilibatkan untuk menetapkan kebijakan di Majelis Wali Amanat (MWA). Tentunya ini merupakan pernyataan yang diskriminatif, mengingat bahwa mahasiswa adalah elemen yang paling besar di kampus ini.

Pernyataan itu tentunya bakal melukai seluruh jiwa mahasiswa. Entah apa yang ada di benak sang guru besar, yang jelas dalam pernyataan itu

tersirat bahwa mahasiswa nantinya akan disubordinasi dalam setiap kepentingan kampus. Mahasiswa akan dijadikan objek dari berbagai aturan daripada diposisikan sebagai subjek yang berkontribusi. Mahasiswa seolah diposisikan sebagai benda mati yang dapat diperlakukan sesuka hati.

Pernyataan itu memberi kita gambaran: UPI benar-benar sudah kehilangan orientasi pendidikannya. Kampus berlabel pendidikan ini tentu tahu, bahwa dalam pendidikan peserta didik adalah subjek aktif bukan objek pasif. Sudah tak jaman lagi mahasiswa hanya dicocok hidungnya seperti kerbau. Dipermainkan oleh berbagai aturan yang dibuat sepihak.

Pernyataan itu sebetulnya terlontar saat ada geliat dari mahasiswa yang ingin duduk di MWA. Tak hanya pernyataan konyol itu yang terlontar, ada yang lebih lucu lagi. Dalam kelanjutan pernyataannya, selain mahasiswa dianggap bukan stakeholder, Aminudin menyatakan bahwa jika mahasiswa ada di MWA nantinya akan “memusingkan”. Entah apa artinya, apakah ini berarti mereka sudah tak lagi tahan kritik? Sehingga begitu defensifnya ketika mahasiswa ingin di MWA. Atau hanya ketakutan tak bisa melindungi kepentingan semata? Menyitir ungkapan Soe Hok Gie, “Guru

yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau!”

Tapi, meski begitu mahasiswa tak perlu bertindak berlebihan dan keukeuh mesti duduk di MWA. Mahasiswa juga perlu introspeksi, apakah sudah mampu mewakili kepentingan puluhan ribu mahasiswa di kampus ini? Jika mengkalkulasikan suara mahasiswa di MWA yang hanya satu suara, tentunya tak akan pernah bisa menang. Apalagi jika mahasiswa belum mampu menampik setiap godaan kepentingan kampus. Alih-alih mewakili suara mahasiswa, malah terlena dengan arus kepentingan.

Jika hal ini terjadi, tentunya akan menjadi semacam blunder bagi mahasiswa. Persoalan ini sangat riskan menimbulkan konflik horizontal dikalangan mahasiswa. Tentunya tak bijak juga jika keukeuh ingin duduk di MWA, tapi tak pernah introspeksi kualitas diri. Lebih baik mahasiswa menjadi “watchdog” saja: tetap galak! Karena, bukan tidak mungkin jika sudah berada pada arus birokrasi kampus, mahasiswa akan letoy seperti kerupuk tersiram air. Lebih baik, perkuat kekompakan agar suara kita didengar dan diakomodasi oleh setiap pemegang kebijakan.

Begitupun para petinggi kampus. Patutnya, dengan dirumuskannya statuta baru, dijadikan sebagai momen untuk perubahan kampus ini menjadi lebih baik. Jangan sampai statuta ini dikatakan sebagai replikasi dari Badan Hukum Milik Negara yang banyak dinilai tidak efektif dan efisien. Perbaiki organisasi kampus, agar anggaran untuk akademik tak tersedot akibat bengkaknya struktur.

Rumusan Statuta ini, sejatinya adalah momen untuk memperkuat identitas dan integritas kampus. Jangan sampai statuta hanya dipenuhi oleh orientasi-orientasi yang bersifat politis atau bahkan orientasi bisnis. Statuta tak boleh melupakan jati diri UPI sebagai lembaga pendidikan. Jangan sampai dikatakan lagi bahwa universitas ini banci, tak punya jatidiri. Berubah!

Statuta,Momen Perubahan?

8 | | November 2012

OPINI

SAAT ini dunia perpolitikan di Indonesia sudah banyak dimasuki oleh para artis yang

sering kita lihat di berbagai media, baik itu di media cetak maupun di media elektronik. Mereka lebih memilih dunia perpolitikan ketimbang dunia hiburan yang sudah meningkatkan kepopularitasannya. Contohnya, saat ini banyak kepala daerah dari kalangan artis, bahkan di DPR pun banyak anggota legislatif yang berasal dari kalangan artis. Satu sisi hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik warga Indonesia sudah kian meningkat, menuju ke arah partisipasi politik yang partisipatif dalam mewujudkan negara Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi. Tapi, di sisi lain bisa saja para artis yang ingin berkecimpung di dunia perpolitikan Indonesia hanya dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan partai politik (parpol) dalam memperebutkan kekuasaan dan kemenangan dalam pemilu. Baik itu pemilu legislatif, pemilukada, maupun pilpres.

Partai politik memanfaatkan para artis untuk bertarung di kancah pemilu karena para artis mempunyai modal utama dalam mengambil suara rakyat, yaitu “popularitas”. Artis-artis yang akan bertarung di kancah pemilu tidak terlalu sulit untuk berkampanye mengenalkan atau mempromosikan dirinya. Pasalnya, mereka sudah dikenal masyarakat karena sering tampil di berbagai media. Tentunya, ini merupakan sebuah modal yang sangat besar dalam memperoleh simpati rakyat. Seperti kita tahu, bahwa masyarakat dalam memilih calon pemimpin saat pemilu yang pertama dilihat adalah kepopularitasan sang calon. Masyarakat cenderung

mengabaikan visi-misi dan integritas yang dimiliki oleh calon pemimpin tersebut. Tidak bisa dibantah bahwa ketenaran atau kepopularitasan seseorang merupakan modal yang sangat besar dalam meningkatkan citra dirinya maupun citra parpolnya.

Seharusnya, masyarakat jangan terpaku pada kepopularitasan seseorang saja, jangan melihat dari luarnya saja, tetapi kita harus melihat juga isi atau kemampuan dan integritas yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Jangan seperti pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” atau “membeli kucing didalam karung”. Masyarakat jangan tertipu dengan ketenaran seseorang, tetapi harus mempertimbangkan juga kemampuan atau visi-misi yang dimiliki oleh

seorang pemimpin. Banyak para politisi dari kalangan artis yang ternyata tidak berkompeten di bidang politik dan ternyata tersandung dengan kasus korupsi seperti Angelina Sondakh, dll.

Tetapi kita juga tidak bisa memungkiri masih banyak para politisi dari kalangan artis yang berkompeten dan mempunyai integritas dalam menjalankan amanah dari rakyat. Tetapi, pada umumnya parpol hanya “memanfaatkan kepopularitasan” para artis untuk kepentingan mendapatkan tempat dan kekuasaan belaka, tanpa mempertimbangkan kompetensi yang dimiliki oleh seorang artis untuk menjadi wakil rakyat atau seorang pemimpin. Seharusnya yang diutamakan adalah visi-misi dan integritasnya bukan hanya mengandalkan kepopularitasannya saja. Ketenaran atau kepopularitasan memang penting untuk mempertimbangkan seseorang agar bisa maju mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, kepala daerah atau presiden sekalipun, karena kepopularitasan merupakan modal awal yang harus diperlukan oleh para poilitisi dalam memenangkan pemilu. Tapi ada hal lain yang jauh lebih penting yaitu integritas yang kuat dan benar-benar ingin memperjuangkan hak rakyat, tanpa mementingkan kepentingan-kepentingan parpol saja.

Semoga masyarakat Indonesia sudah cerdas dan pintar dalam memilih atau menentukan calon pemimpin yang dipilihnya. Lebih selektif dan lebih kritis lagi dalam menentukan pilihannya dalam sebuah pemilu. Semoga masyakarat bisa melihat lebih dalam pada visi-misi calon, integritas yang kuat, memegang amanah, dan akhlak yang baik.

POLITIKPOPULARITAS

Oleh Andriyana

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan UPI 2010

9November 2012 | |

OPINI

KAMPUS menjadi ladang yang luas dan subur bagi aktivitas setiap individu di dalamnya

khususnya mahasiswa. Maka tak heran bila di kampus, segala hal terjadi. Acapkali mahasiswa (kaum mayoritas) yang selalu menjadi bulan-bulanan setiap kali kebijakan diputuskan.

Mereka seakan menjadi objek sasaran yang dibidik birokrasi terkait kebijakan yang seolah dirahasiakan. Kekritisan bisa disebut satu pegangan awal yang mesti dipegang teguh oleh mahasiswa untuk menjawab seluruh kebersimpangan dari setiap kebijakan yang tak berpihak

.Kapasitas, Kapabilitas, Kritis

Erikson dalam (Gage & Berliner,1975), tokoh perkembangan kepribadian menjelaskan perkembangan pada masa dewasa atau remaja akhir mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk hidup secara kreatif, produktif dan bersemangat.

Paragraf di atas menyiratkan bahwasanya kapasitas mahasiswa sebenarnya dapat didongkrak melalui upaya pemilahan hasil dinamika positif dari lingkungan dan penyikapan bijak saat menghadapi berbagai macam persoalan yang merujuk pada perkembangan individu.

Sejatinya dalam perkembangan, setiap individu mengalami proses yang berbeda dalam rangka proses pemenuhan kebutuhan sebagai dampaknya yakni suatu kepuasan insentif. Insentif berarti dorongan, impetus, impuls, motivasi, perangsang, stimulus. Maka dengan adanya dorongan atau rangsangan, munculah sebuah wacana (teori) mengenai ‘dinamika perilaku individu’.

Perilaku mahasiswa yang positif dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian. Penelitian di sini lebih menitikberatkan kepada

karya tulis ilmiah, riset, ataupun makalah utuh. Penelitian diposisikan sebagai sebuah karya nyata yang dapat disumbangkan selagi menjadi mahasiswa. Dengan budaya meneliti dan kritis, mahasiswa telah menyumbang gagasan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Sebab saat ada sebuah permasalahan, mahasiswa mengajukan inovasi atau strategi/metode, kemudian membahasnya sekaligus mencari solusi dari masalah tersebut.

Pendidikan nonformal (baca: komunitas) pun telah menjadi satu cabang yang independen, yang berlangsung pada dasarnya tak berbatas ruang dan waktu. Strategi penciptaan kekritisanini sebagai langkah mengantisipasi kejenuhan mahasiswa terhadap hal-hal formal dan terkesan mengekang/monoton. Akhirnya, kerap menimbulkan sikap skeptis dan kurang objektif dalam menilai kemampuan dan potensi diri sendiri. Sehingga permasalahan demi permasalahan terjadi dalam kurun waktu yang tak bergitu lama.

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya krisis moral, budaya, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Kenyataan di lapangan itu dikuatkan dengan data dari Kemenakertrans (2009) masih menunjukkan angka pengangguran terbuka dari tahun 2007 tercatat menembus angka 9,4% lalu pada 2008 sedikit mengalami penurunan menembus angka 8,42% dan terakhir pada Februari 2009 menembus angka 8,14% (lulusan D3 sebanyak 486.000 jiwa dan S1 sebanyak 626.000) dari total jumlah penduduk. Maksud awal yang digagas dalam upaya pembentukan kekritisan ini, salah satunya ialah meminimalisasi angka pengangguran. Selain itu harapan agar setelah

selesai menempuh proses pendidikan Strata-1 di pendidikan tinggi, seorang mahasiswa bukan diarahkan untuk menjadi pencari pekerjaan, melainkan bagaimana intelektualitas yang selalu dikoar-koarkan tersebut dapat dimaksimalkan dan mahasiswa menjadi tenaga kerja professional yang mampu membangun usaha sendiri.

Dalam konteks ini, penanaman nilai-nilai kesadaran kritis dipandang sangatlah penting. Selain mengasah kepekaan solidaritas, memahami pluralitas dan heterogen, serta swadaya, ini juga dimaksudkan menghilangkan budaya mengekor metode-metode pendidikan ideologis kapitalis yang saat ini semakin gencar menyebar. Sebuah keniscayaan apabila terciptanya komunitas dalam ruang nonformal yang memiliki kesadaran kritis ini terjadi proses dialogis terhadap segala apa yang menjadi ketertarikan setiap individu. Situasi ini akan memberikan peluang untuk mengeksplorasi segala hal dan melahirkan kreativitas mahasiswa.

Kesimpulan sederhana dari pemaparan di atas, sesekali mahasiswa nampaknya harus dibebaskan dari pengaruh kekuasaan yang selalu mengikat di kampus pendidikan ini. Tentu saja kebebasan di sini bukan semaunya sendiri, melainkan tetap terikat pada suatu aturan alam kehidupan secara dialektis.

Dengan demikian, para intelektualis atau mahasiswa dapat mencerna segala sesuatu untuk diteliti dari ruang bebas, lebih diarahkan pada proses pembebasan perasaan, pikiran teoritis dan ilmiah atau idealisme melalui persinggungannya dengan praksis di kehidupan nyata sehingga tercapainya kesejajaran pembagian ilmu pengetahuan.

Prospek Penelitian danKekritisan MahasiswaOleh Betta Anugrah Setiani

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2009

10 | | November 2012

MELIHAT kondisi saat ini, sejak Indonesia merdeka 67 tahun yang lalu, ternyata masalah keaksaraan masih saja belum terpecahkan. Jumlah penduduk buta aksara masih saja memperlihatkan angka yang tinggi. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif dalam pembangunan bangsa jika tak segera dipecahkan. Jika

masalah tersebut berlarut-larut, bangsa ini akan semakin terpuruk. Lalu apa sebenarnya solusi dari masalah buta aksara? Masalah ini sudah diberantas sejak lama, namun masih saja

menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Buta aksara belum dapat dihapuskan keberadaannya. Untuk menjawab hal tersebut, reporter Isola Pos, Julia Hartini menemui Profesor Pendidikan Luar Sekolah

(PLS), Mustafa Kamil yang juga pemerhati masalah keaksaraan. Isola Pos mencoba melacak sumber permasalahan sekaligus menggali solusi dari persoalan keaksaraan.

Keaksaraan, Tingkatkan Pembangunan Bangsa

BINCANGJULIA/ISOLA POS

10 | | November 2012

11November 2012 | |

Bagaimana kondisi keaksaraan saat ini?

Kondisi keaksaraan saat ini, di Jawa Barat sampai Oktober 2010 sebanyak 8,3 juta jiwa. Jawa Barat termasuk salah satu wilayah yang mempunyai penduduk buta aksara cukup tinggi mengingat penduduknya juga yang banyak.

Kategori buta aksara itu seperti apa? Sebenarnya ada tiga kelompok yang

disebut dengan orang buta akasara yaitu orang yang tidak bisa membaca, menulis, berhitung angka dan huruf latin.

Di Indonesia sendiri, ada orang yang bisa membaca huruf-huruf arab tapi tidak bisa membaca huruf latin maka orang tersebut disebut juga orang yang buta aksara. Orang yang mengalami buta aksara tidak semuanya tidak pernah bisa membaca, menulis dan berhitung huruf dan angka latin. Namun, ada juga orang yang pernah bisa namun mengalami buta aksara kembali karena kemampuannya tidak pernah dimanfaatkan.

Faktor penyebabnya?Ada beberapa hal yang

menyebabkan buta aksara. Hal itu karena kemampuan seseorang tidak pernah difungsikan ketika menulis, membaca dan berhitung sehingga menyebabkan buta aksara kembali. Selain itu pendidikan yang tidak merata di tiap-tiap daerah.

Kondisi ini paling banyak melanda kaum perempuan, karena kesempatan untuk belajar bagi perempuan sangat kecil dan relatif rendah. Misalnya, perempuan harus mengurus kegiatan rumah tangga dan mengurus anak sehingga waktunya untuk belajar sangatlah sedikit. Selain perempuan, orang yang banyak terkena buta aksara adalah orang-orang yang tinggal di pedesaan dan melanda orang-orang yang berusia produktif.

Lalu, langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk memberantas buta aksara?

Pertama, ada program literasi yaitu program mandiri dan fungsional. Program mandiri yaitu program kemandirian yang dilakukan seseorang karena orang tersebut merasa dirinya perlu belajar. Adanya kekurangan dalam diri membuat Ia bertanya dan mengembangkan kemampuannya serta

berusaha mengembangkan usaha-usaha sendiri.

Kedua, dengan program fungsional yaitu melatih kemampuannya dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya berhitung ketika belanja, membaca harga dan membaca nama tempat. Ketika dia pergi ke manapun, dia membaca hal-hal apa saja yang dia lihat. Program fungsional ini juga dilakukan saat membaca koran, majalah, serta melihat informasi di televisi, atau juga ikut mengajarkan kepada anaknya.

Ketiga, pemberantasan buta aksara pun bisa dilakukan dengan membuka taman bacaan di tempat umum, baik di pedesaan maupun di perkotaan sehingga terbuka untuk organisasi kemasyarakatan untuk mendirikan taman bacaan di mana-mana.

Keempat, dengan menggunakan budaya lokal, misalnya dengan kebiasaan hidup mereka ketika bermasyarakat. Mereka mengintegrasikan belajar membaca huruf latin dengan huruf arab atau bahasa daerah.

Apakah pemerintah bisa dikatakan yang paling bertanggungjawab atas kemandekan pengurangan buta aksara dimasyarakat, bagaimana peran UPI dalam memberantas buta aksara?

Sebenarnya ini bukan hanya

tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab masyarakat. Menurut saya, pemerintah belum berhasil memberantas buta aksara. Meskipun begitu, pemerintah mempunyai program literasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Masyarakat yaitu Pendidikan Anak Usia Dini baik pendidikan formal dan informal. Ada hal yang bagus dari program yang ada adalah Pusat Kelompok Belajar Masyarakat yang dikembangkan di daerah-daerah.

Untuk peran mahasiswa UPI sendiri yaitu diadakannya Kuliah Kerja Nyata (KKN), di mana ada tema khusus tentang buta aksara. Mahasiswa bisa mengajarkan penduduk sekitar yang buta aksara lewat program-program KKN.

Sejauh apa dampaknya terhadap pembangunan?

Banyak dampak yang ditimbulkan ketika seseorang mengalami buta aksara yaitu tingkat kelayakan hidup rendah. Pembangunan bangsa tetap di bawah. Jika tingkat melek huruf rendah, maka indeks pembangunan manusia akan rendah seperti kesehatan, pendidikan dll. Mereka pun tidak bisa ikut berkontribusi dalam program-program pembangunan Indonesia. Hal yang paling mendasar, mereka akan sulit berkomunikasi.

TTL : Sumedang, 19 November 1962Pendidikan : S1 PLS, IKIP S2 PLS UPI S3 PLS UPI Xavier University PhillipinesBidang keahlian : Pendidikan Luar Sekolah dan Pembangunan MasyarakatPekerjaan : Pembantu Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FIP serta Guru Besar Pendidikan Luar SekolahKarya ilmiah : - Menulis dan meneliti pembelajaran keaksaraan untuk masyarakat Indonesia.- Menulis di beberapa jurnal nasional tentang keaksaraan dan menulis akademik tentang pendidikan keaksaraan.- Menulis buku tentang Komingkang yang didanai oleh Criced A Tsukuba University.

Prof.Dr.H. Mustafa Kamil

BINCANG

12 | | November 2012

Matahari belum begitu menyengat , saat Anton Sukoco menginjakkan kakinya di

Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pertengahan Juni 2012 lalu. Sejak pukul enam pagi Anton dan anaknya Memi Zulfahmi, bergegas dari rumahnya menuju kampus Bumi Siliwangi. Ketika sampai, Anton, sempat kebingu ngan mencari tempat yang dituju . “Saya baru pertama kali ke sini,” kata pria asal Banjaran itu.

Ternyata sudah banyak ‘Anton’ lainnya yang memenuhi Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) yang jadi tujuan Anton. Disana, mereka orang tua mahasiswa baru yang bermasalah dalam pembayaran biaya registrasi masuk mengadu kepada Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) UPI. Tujuan mereka sama: meminta penangguhan waktu pembayaran. Bahkan, tak sedikit yang mengajukan permohonan bantuan biaya masuk yang tak mampu dibayar.

Anggota Advokasi Center BEM Rema yang sudah berjaga sejak pagi menyambut Anton dan orang tua mahasiswa baru lainnya. Mereka meminta persyaratan yang sudah ditentukan. Setelah selesai, Anton dipersilahkan pulang. “Kita data dan wawancara,” kata Ketua Direktur Jenderal Advokasi BEM Rema, Latifah.

Rupanya, masalah ini selalu ada tiap tahunnya. Untuk menyelesaikan masalah rutin itu, kali ini BEM Rema menawarkan dua solusi. Memasukkan mahasiswa tidak mampu ke dalam kuota Bidik Misi juga di kuota Program Bantuan Mahasiswa Tidak Mampu (BMTM). Anton, disarankan untuk mengikuti program BMTM.

Tiga hari kemudian, Anton mendatangi Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Furqon. Sebelumnya, Anton sudah melengkapi persyaratan yang disarankan BEM Rema. Di masjid Al-Furqon, lagi-lagi Anton harus rela antre sampai azan ashar berkumandang.

Memang, tahun ini universitas menunjuk DKM Al-Furqon untuk melayani mahasiswa yang mengajukan penangguhan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor UPI nomor 365/DKM-ALF-UPI/V/12, universitas menunjuk DKM Al-Furqon sebagai pengelola Bantuan Pinjaman Mahasiswa Tidak Mampu – sebelumnya disebut BMTM. Masih dalam SK itu, Ratih Ruhiyati ditunjuk sebagai koordinator pelaksana membawahi lima anggota.

Meski ditunjuk sebagai pengelola BMTM, DKM Al-Furqon ternyata tidak benar-benar mandiri mengelola dana. Menurut anggota pelaksana harian DKM Al-Furqon, Dudung

Rahmat Hidayat, pihaknya hanya mendata siapa yang mengajukan bantuan, tapi untuk menetapkan penerima, dimusyawarahkan bersama Direktorat Akademik dan Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa). Untuk penyaluran dana pun dilakukan dengan cara dikirim langsung dari rekening universitas ke rekening mahasiswa. “Rekening BMTM dan rekening BMT Al-Furqon dipisah,” kata Dudung di ruang kerjanya.

Prosedurnya, setelah menyortir data mahasiswa penangguhan, DKM, Dirmawa, dan Direktorat Akademik menetapkan penerima BMTM. Empat SK yang dikeluarkan terkait penerima BMTM tahun ini. DKM mengeluarkan SK pertama 14 Agustus 2012, uang BMTM keluar sebesar Rp 360,79 juta, dengan rincian: 41 mahasiswa baru dan 31 mahasiswa lama. Untuk mahasiswa jalur seleksi mandiri dikeluarkan Rp 1,7 miliar. SK tambahan untuk mahasiswa baru dan mahasiswa lama, keluar sebesar Rp 71,13 juta. Total dana BMTM yang cair sebesar Rp 2,14 miliar.

Saat di DKM Anton kembali diwawancarai. Kali ini oleh anggota Ratih Ruhiyati, Asri Handayani. Anton diminta menandatangani perjanjian diatas materai. Hasilnya, DKM Al-Furqon memberi pinjaman kepada Anton untuk membayar biaya masuk. Pinjaman tak berupa uang cash.

KAMPUS

Babak Dua BMTMOleh Farid Maulana

FARI

D/IS

OLA

POS

13November 2012 | |

Melainkan di angsur dan langsung di kirim ke rekening jika masa registrasi kontrak mata kuliah tiba.

Karena berupa pinjaman, Anton yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual es krim keliling harus mencicil biaya yang Ia pinjam dari dana BMTM. Berdasarkan perjanjian, Anton harus melunasi pinjaman tersebut paling lambat sampai Memi menyelesaikan masa perkuliahan. “Tadinya sih nggak mau pinjam, saya usahakan cicilannya 300 ribu per bulan,” kata Anton sambil menerawang.

Namun, ternyata nasib baik menghampiri Memi. Namanya tercantum juga sebagai penerima bantuan Bidik Misi. Anton senang. Setidaknya Anton dapat bernafas lega, tak perlu memikirkan cicilan yang harus dibayar tiap bulan. Meskipun uang Bidik Misi tak langsung cair.

Tak seberuntung Memi, mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan, Rifa Nailufar hanya dapat pinjaman. Ia harus segera melunasi biaya sebesar 10,5 juta yang Ia pinjam dari BMTM. Saat registrasi Rifa baru membayar satu juta dari Rp 11,5 yang harus Ia bayar. Dalam perjanjian yang diteken dengan DKM Al-Furqon Rifa bisa mencicil sampai 20 kali.

Saat ditemui Isola Pos Kepala Divisi Perekrutan Mahasiswa Baru, Asep Supriyatna membenarkan ihwal uang BMTM yang hanya dipinjamkan. Orangtua harus melunasi pinjaman sesuai dengan perjanjian yang telah diteken. “Diusahakan bisa mengembalikan,” kata Asep.

Asep punya alasan kenapa BMTM hanya dipinjamkan. Ia tidak ingin BMTM jadi sasaran orang tidak bertanggung jawab. Pernah ada, Asep bercerita, mahasiswa yang diberi bantuan, tapi belakangan mahasiswa tersebut malah pindah ke perguruan tinggi lain. “Karena dibilang ada uang, mereka bilang gak ada uang,” ujarnya. Meski begitu, kata Asep, tetap ada kemungkinan mahasiswa yang meminjam dibatalkan kewajibannya alias digratiskan. Asep mengatakan akan memeriksa ulang data mahasiswa yang mendapatkan bantuan. “Kalau betul jujur tidak punya uang, nanti kita evaluasi,” kata dia.

Bentuk pinjaman itu ternyata mengundang kritik dari mahasiswa. Tahun lalu mahasiswa sampai menggelar aksi solidaritas menolak BMTM yang hanya berbentuk pinjaman. Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan, Restu

Nurwahyudin jelas-jelas menolak bentuk pinjaman. Menurutnya orangtua yang mengajukan bantuan BMTM itu harus kembali memikirkan pengembalian uang yang dipinjam. BMTM, lanjut Restu, adalah uang yang diambil dari mahasiswa dan untuk mahasiswa. “Bukan dana abadi,” kata Restu.

***Sebelum UPI membuat program

BMTM, beberapa universitas sudah membuat program serupa. ITB dengan Ikatan Orangtua Mahasiswa (IOM) ITB yang umurnya hampir setengah abad. Tujuannya sama, membantu mahasiswa yang kurang mampu. Namun, dalam pengelolaannya terdapat perbedaan.

Untuk mendapatkan bantuan ini mahasiswa hanya perlu memenuhi persyaratan yang ada, seperti fotokopi Kartu Keluarga dan Surat keterangan tidak mampu. Setelah melengkapi data, mahasiswa diwawancara oleh pengurus. Tak ada visitasi, semua berdasarkan kepercayaan. “Selama ini gak ada masalah, masak sih anak berbohong,” kata Kepala Staf Sekretariat IOM, Ani Suliawaty yang bertugas sejak tahun 2000.

Selain untuk membantu mahasiswa yang tidak mampu bayar kuliah, IOM juga digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan mahasiswa, biaya hidup mahasiswa, sampai persoalan biaya tugas akhir. Tak seperti BMTM, IOM diberikan dalam bentuk beasiswa. “Pure aja bantuan,” kata Ani. Setiap tahun, kata Ani, 500-an yang mendapatkan beasiswa IOM.

Untuk mempertanggungjawabkan uang masyarakat itu, pengurus IOM tiap tahun memaparkan laporan penggunaan dan pendapatan IOM kepada orangtua mahasiswa. “Kami juga diaudit akuntan publik,” kata Ani sambil tersenyum.

***Berbda dengan tahun sebelumnya,

UPI dan DKM terus membenahi pengelolaan BMTM. Salah satunya, menyusun peraturan terkait BMTM. Saat tahun perdana program BMTM ini dilaksanakan, tak ada peraturan yang jelas. Hal ini sempat mengherankan mahasiswa. Sampai-sampai banyak mahasiswa yang mempertanyakan. “Apa maksud universitas,” kata mahasiswa Pendidikan Luar Biasa, Asep Abdul Aziz saat itu.

Juni lalu sempat beredar draf peraturan BMTM di kalangan mahasiswa. 14 agustus 2012 lalu, Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional, Furqon mengesahkan peraturan itu.

Dalam peraturan bertanggal 14 Agustus itu BMTM berganti nama menjadi Bantuan Dana Sumbangan Bagi Mahasiswa Tidak Mampu (BDS MTM). Peraturan tersebut menyebutkan, yang bisa mendapatkan bantuan adalah mahsiswa D3 dan mahasiswa S1. Poin lainnya, menyebutkan bantuan berbentuk pinjaman tanpa bunga dan bisa dilunasi setelah lulus. Kapan disosialisasikan? Asri mengatakan DKM, Direktorat Kemahasiswaan,dan Direktorat Akademik sudah berencana menyosialisasikan kepada mahasiswa. “Lagi cari jadwal,” kata dia.

KAMPUS

FARI

D/IS

OLA

POS

Surat Keputusan DKM Al- Furqan UPI

14 | | November 2012

KENDATI menuai kecaman, rencana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerapkan

parkir berbayar bagi mahasiswa keukeuh dilanjutkan. Lebih dari setahun rencana mengendap, ternyata UPI tengah mengambil ancang-ancang menunggu momen tepat. “Rencana ini kemungkinan akan dilaksanakan,” ujar Kepala bagian Operasi, Inventaris, dan Pemeliharaan UPI, Purno.

Menurut Purno, universitas kini telah mengajukan tawaran ke beberapa investor demi memuluskan rencana itu. Pasalnya dana yang dimiliki UPI untuk mewujudkan rencana tersebut sangatlah minim. “Gedung parkir akan membutuhkan dana operasional, seperti pembayaran satpam agar pengguna jasa mendapat manfaat,” ujar Purno.

Meski begitu, UPI belum menemukan

investor yang sreg untuk diajak bekerja sama, “belum ada yang nyantol,” katanya. Nantinya, investor yang sepakat akan menjadi pihak ketiga yang membiayai pembangunan gedung parkir.

Karena hal itu pula lah, kata Purno, yang membuat pembangunan gedung parkir belum terlaksana juga. Hingga saat ini belum ada kucuran dana untuk membiayai pembangunan gedung parkir. “Dananya juga belum turun dari anggarannya,” katanya. Bisa dipastikan pembangunan gedung parkir ditunda

hingga tahun 2013.Dana yang belum tersedia tak lantas

membuat persiapan UPI membangun gedung parkir menyurut. Terlihat, UPI sudah berbenah dengan meratakan bangunan tepat di depan gedung Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis yang nantinya akan dibangun gedung parkir.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa UPI, Hamdan Ardiansyah menyayangkan dalih-dalih yang

Parkir Berbayar Lanjut,Meski Minim Dana

Oleh Lia Anggraeni

SAAT Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (MOKAKU) penghujung Agustus 2012

lalu, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia, Sunaryo Kartadinata pernah berjanji bahwa tak akan pernah mengeluarkan mahasiswa hanya karena masalah biaya. “Saya ingin mahasiswi kedepan mempunyai cita-cita dan mimpi yang tinggi,” ujarnya.

Namun rupanya, pernyataan rektor tersebut hanya omong kosong belaka. Tak genap sebulan sejak pernyataan itu dilontarkan, seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2009, Dea Yuliani, di drop out (DO) karena terlambat membayar biaya masuk Ujian Mandiri (UM).

Bahkan, surat pengajuan pengunduran diri atas nama Dea yang dibuat sepihak oleh Direktur Direktorat

Akademik, Agus Taufik pada 25 September 2012, diteken oleh Sunaryo. Artinya, mimpi Dea untuk melanjutkan kuliah, harus terhenti oleh putusan DO yang diteken rektornya sendiri.

Saat ditemui di ruangannya, 22 Oktober kemarin, Agus mengungkapkan bahwa saat ini Dea sudah tidak tercatat lagi sebagai mahasiswa UPI. Katanya, sebuah Surat Keputusan sudah dikeluarkan oleh Sunaryo. “Pak rektor sudah mengeluarkan surat keputusan sesuai dengan aturan yang bersangkutan, dengan berat hati,” tutur Agus.

Meski Agus menyayangkan hal itu namun UPI harus mematuhi peraturan yang telah dibuat. “Jika UPI tidak memenuhi aturan yang ada, UPI akan diturunkan derajatnya dari A ke B oleh negara. Mau mengorbankan UPI atau

bagaimana?” ujar Agus.Sebelumnya pada semester tiga,

Dea sempat dicutikan oleh universitas. Agus menceritakan bahwa pada waktu itu, Dea diminta untuk datang ke Direktorat Akademik. Namun Dea tak kunjung datang. Padahal menurut Agus Dea akan diminta keterangan perihal kesanggupan waktu untuk melunasi biaya masuk UM.

Beruntung, pada semester empat Dea dapat berkuliah kembali karena lolos advokasi di jurusannya. Namun pada semester lima dan enam ia kembali dicutipaksakan oleh universitas, dengan alasan yang sama. Lewat pesan singkatnya pada Isola Pos, Dea hanya mengatakan bahwa permasalahan tentangnya telah diserahkan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) UPI. “Sekarang saya tidak diizikan kuliah,” tambah Dea.

Kini, komitmen rektor mulai ditagih oleh Presiden BEM Rema UPI, Hamdan Ardiansyah. “Saya minta komitmen dari Pak Rektor sebagai penanggung jawab universitas,” tegas Hamdan.

Audiensi pun digelar oleh Tim Advokasi BEM Rema UPI dengan

Drop Out Lantaran Tak Mampu

KILASKAMPUS

Oleh Lia Anggraeni

CINDY/ISOLA POS

15November 2012 | | 15November 2012 | |

dikemukakan oleh universitas. Salah satunya, tentang gedung parkir yang membutuhkan biaya operasional yang dijadikan alasan universitas untuk menerapkan parkir berbayar. Padahal, kata Hamdan, tahun ini universitas telah menaikkan anggaran untuk biaya semesteran hampir dua kali lipat. Jika universitas mengatakan bahwa anggaran tahun ini masih kurang, Hamdan menilai hal tersebut tidak masuk akal.

Meski begitu, mahasiswa sepenuhnya menyetujui penyediaan fasilitas itu namun tetap tak sepakat perihal mesti membayar. Misalnya, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Muhamad Hilmi Azizi. Ia menegaskan, sudah menjadi kewajiban universitas menyediakan fasilitas untuk mahasiswa, sehingga tak perlu mahasiswa harus membayar. “Kita sudah membayar biaya yang cukup mahal,” katanya.

Hal senada diungkapkan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda, Yosef Mubarok Ibrahim. Ia mengatakan dengan adanya gedung parkir akan membuat kendaraan lebih tertib. “Gratis, aman, dan tertib,” ujarnya.

Pembantu Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FPBS, Dadang- Sudana, Jumat 12 Oktober 2012. Dalam pertemuan yang berlangsung singkat itu, Dadang hanya menyatakan akan mengusahakan agar Dea bisa tetap kuliah.

Selang tiga hari kemudian, sebuah aksi pun digalang oleh BEM Rema UPI bersama beberapa himpunan jurusan perwakilan tiap fakultas. Dalam aksinya tersebut, mereka mengajukan dua tuntutan kepada universitas. Diantaranya agar universitas memperbaiki sistem pelayanan akademik, khususnya sistem registrasi dan menindaklanjuti dampak dari buruknya pelayanan akademik UPI.

Aksi tersebut mendapatkan tanggapan langsung dari Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional, Furqon. Katanya, Furqon akan mengoreksi pelayanan kemahasiswaan yang dinilai kurang baik. Namun, bagai nasi sudah menjadi bubur bagi Dea. Betapapun banyaknya janji, baik dari rektor, atau pun Furqon, tak dapat mengembalikan mimpi dea untuk dapat berkuliah.

KILASKAMPUS

PADA pertengahan Oktober 2012 lalu, saat ditemui di ruangan Ketua Jurusan Seni Rupa

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia (FPBS UPI), Zakarias S. Soeteja tengah sibuk di depan layar komputernya. Saat ditanya mengenai desas-desus akan berdirinya Fakultas Pendidikan Seni dan Budaya (FPSB), Zakarias menanggapi dengan senyuman tanda wacana itu memang benar.

Pengembangan ini tiada lain dilatarbelakangi oleh potensi UPI sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang sekarang menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Hukum yang memiliki kemandirian dan akuntabilitas.

Zakarias mengungkapkan bahwa pengajuan pemisahan fakultas ini telah diajukan ke Senat Akademik (SA). Namun pihak SA belum membicarakan kembali tentang pemisahan Jurusan-jurusan Seni dengan fakultas Bahasa. “Pihak kami berharap pengajuan proposal, segera disetujui oleh SA,” ucap Zakarias sambil memperlihatkan proposal pengajuan berdirinya fakultas baru kepada Isola Pos.

Saat ditanyakan perihal proposal pengajuan fakultas baru, Ketua SA Syihabuddin menyampaikan bahwa pembahasan akan berdirinya FPSB belum dibicarakan di tataran SA. “Proposalnya sudah sampai, namun

belum sempat dipelajari,” ujar Syihabuddin.

Niat pengembangan FPSB ini sebetulnya sudah dirintis sejak Chaedar Alwasilah menjabat dekan FPBS periode 2004-2008. “Keinginan dari teman-teman jurusan muncul kembali, tetapi fakultas tidak berani mengusulkannya berhubung SDM dan sarana prasarananya tidak memungkinkan,” ujar Dekan FPBS UPI, Nenden Srilengkanawati.

Alasan pemisahan juru s an -jurusan Seni dari Bahasa, menurut penjelasan Zakarias, secara filosofis, keilmuan seni berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang tergabung dalam kelompok ilmu-ilmu bahasa dan sastra. “Oleh karena itu, menurut para pengembang usulan pengembangan fakultas ini, posisi jurusan-jurusan seni di FPBS kurang tepat dilihat dari segi karakter keilmuan,” jelas Zakarias.

Pemisahan jurusan-jurusan Seni dari Bahasa disambut baik oleh Nenden. Menurutnya, dalam pemisahan ini masing-masing dapat fokus pada bidangnya, baik keilmuan Bahasa maupun Seni. “Misalnya pengajuan akreditasi sebuah jurnal, setiap jurnal tidak boleh mewadahi dua cabang ilmu,” tanggap Nenden.

Rencananya, jurusan-jurusan baru akan dibuka jika FPSB telah disetujui. Program Studi (Prodi) yang akan dikembangkan nantinya adalah Seni Drama, Kriya, Disain, Seni Murni, Etnomusikologi, Etnokoreologi dan Etnodramatologi.

Oleh Yuni Misdiantika

Seni Siap Pisahkan Diri dari Bahasa

YUNI/ISOLA POS

16 | | November 201216 | | November 2012

IKLAN

17November 2012 | | 17November 2012 | |

LAPORAN UTAMASTATUTA

RUANG auditorium Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) tampak tak biasa pagi itu. Sejak pagi

hari, di Jum’at pertama bulan Oktober 2012, ruangan megah itu sudah diisi para petinggi kampus dan guru besar. Terlihat tuan rumah, Dekan FPMIPA Asep Kadarohman, hadir dalam pertemuan istimewa itu. Tak hanya Asep, bahkan beberapa dekan fakultas lainnya pun turut hadir disana. Istimewa acaranya, momen itu adalah pertama kalinya Statuta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang baru, diperkenalkan kepada khalayak.

Dirumuskannya statuta adalah langkah awal UPI meraih status barunya sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Sejak batalnya Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan yang digantikan UU Pendidikan Tinggi, status lamanya sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) juga kadaluarsa. Status UPI yang sempat simpang siur kini telah jelas: PTN BH. Kadaluarsanya BHMN serta merta menjadikan Anggaran Dasarnya (AD) juga basi. Statuta baru UPI menggantikan, mengiringi di update-nya status UPI sebagai PTN BH.

Dalam acara istimewa itu, terlihat sederet tim perumus statuta sudah bersiap di atas panggung auditorium. Pembantu Rektor Bidang Perencanaan dan Pengembangan UPI, Aminudin Azis, pembicara utama sosialisasi. Ia yang merupakan ketua tim perumus, mulai menjelaskan pasal demi pasal draf statuta hasil kerja kerasnya dengan anggota tim lain. “Tentunya ada pasal-pasal yang harus diperbaiki,” ujar Amin.

Memang, menurut Amin, statuta yang pertama disosialisasikan itu masih perlu diberi masukan. Pasalnya, rumusan ini masih sepihak dirancang, dan masih belum sempurna. Belum mengakomodasi masukan dari stakeholder yang nantinya bakalan menjadi subjek

hukum langsung dari statuta.Dari deretan pasal yang dibahas, dan berbagai momen

sosialisasi sepertinya pertanyaan tentang perbedaan statuta dengan AD BHMN yang sering terlontar. Banyak pihak yang menilai statuta baru hanya replikasi dari AD BHMN. Tidak ada beda yang signifikan jika dibanding perubahan statusnya. Dosen Pendidikan Bahasa Jerman, Azis Mahfudin misalnya. Saat acara sosialisasi statuta di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Ia bertanya hal itu. Namun menurutnya, jawaban tim masih identik dengan BHMN. “Subtansi dari PTN BH harus ada pembeda dengan BHMN,” ujarnya.

Tak hanya Azis, nada sama juga terlontar dari Dekan Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB), Edi Suryadi. Ia menilai statuta baru tak ada perbedaan dengan produk sebelumnya. “Statuta ini belum diatur secara detail, masih garis besar saja,” katanya.

Begitupun kata Pembantu Dekan Bidang Keuangan dan Sumberdaya, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Johar Permana. Bahkan Ia berkomentar bahwa statuta baru hanya redaksinya saja yang berubah. “Tidak ada yang secara subtansif berubah,” tegas Johar.

Terlepas dari komentar miring itu, statuta ternyata telah diajukan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir Oktober lalu. Padahal, statuta universitas ini dinilai masih jauh dari sempurna. “Belum matang, baru 50 persen, saya rasa ini masih belum,” kata Edi Suryadi saat ditemui Isola Pos.

Dari berbagai sosialisasi yang dilakukan untuk menjaring masukan dari sivitas, tampaknya tak banyak yang diakomodasi. Tak ada sosialisasi ulang mengenai revisinya. “Saya sendiri jadi bingung mekanisme kerjanya itu, mungkin semua ditampung dulu, lalu digodog satgas,” kata Edi. Tapi bukankah sudah diajukan?

LAPORAN UTAMA

Statuta, Muka Lama Wajah BaruOleh Isman R. Yoezron

YUNI/ISOLA POS

17November 2012 | |

18 | | November 201218 | | November 2012

LAPORAN UTAMA STATUTA

Mahasiswa Bukan Stakeholder?Oleh Julia Hartini

SENJA awal November 2012 baru saja menjelang, saat ruang utama Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa dijejali para aktivis Organisasi Mahasiwa (Ormawa) Universitas

Pendidikan Indonesia (UPI). Tampak, perwakilan Ormawa dari Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan sudah duduk melingkar mencermati pernyataan sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) UPI menyoal statuta baru UPI. Pertemuan ini adalah respon dan kritik atas dikirimkannya rancangan statuta ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pada akhir Oktober lalu.

Belasan kritikan ditulis BEM dalam lembaran pernyataan sikap mereka. Poin utamanya, menyoal keberadaan mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA) yang tak juga dicantumkan dalam statuta. Pembicara utama, Menteri Dalam Negeri Bem Rema, Dudy Asep Setiadi berapi-api menjelaskan poin pernyataan sikap atas pasal-pasal dalam Statuta UPI.

Menyuarakan keinginan mahasiswa untuk berada di MWA sebenarnya bukanlah kali itu saja. Sebelumnya, saat

sosialisasi perdana draf statuta di Auditorium Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA), soal ini juga pernah dibahas. Tepatnya pada 5 Oktober 2012 lalu. Presiden BEM Rema, Hamdan Ardiansyah menggebu-gebu menyampaikan aspirasinya kepada Ketua Tim Perumus Statuta UPI, Aminudin Azis.

Saat itu, setelah Aminudin menjelaskan poin-poin draf statuta, antusias Hamdan acung tangan menanggapi dan bertanya. Tampaknya, sebelum acara ini digelar Ia telah lebih dulu mengkaji. Tanpa banyak cingcong, Hamdan mengutarakan keinginannya agar unsur mahasiswa terlibat dalam MWA, seperti di UGM, ITB dan IPB yang sudah melibatkan mahasiswa dalam MWA.

“Mana kedewasaan universitas untuk memosisikan mahasiswa di MWA? Mengingat mahasiswa merupakan stakeholder (pemangku kebijakan-red) yang dapat membuat good governance untuk cita-cita UPI,” ujar Hamdan berapi-api. Hamdan tak banyak mengkritisi substansi pasal yang tertuang di draf statuta. Aspirasi Hamdan mantap hanya satu:

LAPORAN UTAMA STATUTACINDY/ISOLA POS

19November 2012 | | 19November 2012 | |

LAPORAN UTAMASTATUTA

wakil mahasiswa duduk di MWA.Memang, dalam draf statuta pasal 13

ayat 2 tentang MWA, mahasiswa absen dicantumkan sebagai kelengkapan unsur MWA. Pertanyaan Hamdan tak langsung dijawab tim, suara minor itu tenggelam dalam pusaran pertanyaan lain. Hingga pada saatnya pertanyaan Hamdan dijawab, Aminudin melontrakan pernyataan yang mengejutkan Hamdan dan perwakilan mahasiswa lain. Saat itu, Aminudin menyatakan tegas bahwa mahasiswa bukanlah bagian dari stakeholder UPI atau tak berhak ikut mengambil kebijakan.

Sangkalan Ketua Tim Statuta itu sontak memicu riuh mahasiswa tanda tak setuju. Menjelaskan ungkapan itu, Amin menyatakan bahwa mahasiswa adalah pihak yang dilayani, oleh karena itu unsur MWA tidak perlu diwakili oleh mahasiwa. “Masa, mahasiswa yang dilayani, tapi mahasiswa juga yang melayani,” ujar Azis sambil menyunggingkan senyuman.

Menurutnya, mahasiswa diposisikan sebagai objek bukan bagian dari pemegang kebijakan. Baginya, hanya dosen dan tenaga pendidiklah yang melayani mahasiswa juga yang berhak membuat kebijakan, mahasiswa tak berhak.

Alasan lain, Aminudin ketakutan, jika memasukkan mahasiswa dalam unsur MWA akan memunculkan kesulitan, terutama ketika masa jabatan perwakilan mahasiswa tersebut habis. “Nantinya lieur,” katanya.

Pasalnya, menurut Aminudin, menteri perlu membuat Surat Keputusan (SK) setiap tahun mengenai keanggotaan MWA. Tetapi, tidak mungkin mahasiswa ada di MWA selama lima tahun.

Selanjutnya, kata Aminudin, jika mahasiswa ada dalam unsur MWA, maka penentuan siapa yang mewakili akan tak jelas. Alasannya, mahasiswa tak hanya S1 saja, S2, dan S3 juga bagian dari mahasiswa. “Siapa yang akan mendudukinya, apakah BEM, Ketua UKM atau siapa?” tanya Aminudin.

Saat dikonfirmasi terkait hal itu, Hamdan mengatakan posisi yang pantas untuk mahasiswa yang menduduki MWA tak lain adalah pihak BEM Rema. “Menurut saya, Presiden

Bem Rema-lah yang duduk di MWA,” katanya. Menurut Hamdan, hal itu dimaksudkan agar dapat sekaligus dipertanggungjawabkan sekalian ketika Sidang Umum Mahasiswa dan BEM mampu melakukan kontrol terkait kebijakan universitas. “Saya siap duduk di MWA,” ujar Hamdan mantap.

Hamdan bersikukuh, perlunya unsur mahasiswa dalam MWA. Fungsinya, menurut Hamdan, untuk menyalurkan aspirasi seperti keinginan mahasiswa, karena keinginan mahasiswa tidak bisa diwakilkan oleh dosen atau direktur-direktur. “Adapun, informasi-informasi yang bisa diketahui sebelum keputusan itu disahkan,” kata Hamdan.

Meski tak diakui sebagai pihak yang berhak memangku kepentingan, BEM Rema tetap mengupayakan

agar mahasiswa bisa duduk di MWA. Menteri pendidikan BEM REMA, Fajar Abdullah Azzam menyampaikan pihaknya akan berusaha agar mahasiswa duduk di MWA. “Karena ketika kami ada di MWA, informasi sekecil apapun, akan kami tahu,” ujar Azzam

Bersikukuhnya BEM Rema yang ingin duduk manis di MWA, tak sepenuhnya disetujui seluruh lapisan mahasiswa. Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), Restu Nur Wahyudin misalnya. Ia setuju perlunya mahasiswa duduk di MWA, namun melihat kondisi saat ini, posisi mahasiswa di MWA cukup riskan. Beberapa hal yang Restu pertimbangkan, pertama kuantitas di MWA, jika pun mahasiswa diberi kursi di MWA, hanya satu kursi hingga tak akan banyak berpengaruh bagi kebijakan.

Kedua, Restu berpendapat,

masuknya mahasiswa akan berimplikasi pada munculnya konflik horizontal di kalangan mahasiswa sendiri. “Apalagi mengingat kualitas BEM saat ini yang jauh dari harapan, jika yang duduk adalah BEM,” ucap Restu.

Meskipun begitu, Restu tidak sepakat pada pernyataan bahwa mahasiswa bukan sebagai stakeholder. Bagi Restu, mahasiswa tetap pihak yang harus dilibatkan dalam setiap rumusan kebijakan.

Mahasiswa, kata Restu, bukanlah seorang siswa yang bisa diatur-atur begitu saja oleh sekolah. Mahasiswa dapat bertindak ketika tidak setuju dengan aturan yang dibuat. “Nah, mahasiswa berperan aktif dalam pengambilan kebijakan,” tutur Restu.

Restu khawatir ketika ada kebijakan yang diturunkan oleh pihak rektorat, mahasiswa di MWA tidak bisa berargumen. Rektorat bisa saja

berkata setiap kebijakan merupakan keputusan yang telah disepakati

oleh semua elemen. “Hal itu bisa membuat kesolidan mahasiswa menjadi berkurang,” ujar Restu sambil mengelus dagu.

Sebelumnya, 24 September 2012 lalu, pihak BEM Rema

memang telah mengundang mahasiswa ITB, Briliandaru M.

Pribadi yang duduk di MWA ITB. Ia menceritakan pada awalnya Ia tidak merasa kebingungan ketika duduk di MWA, “namun, setelah berlama-lama di MWA, saya jadi bingung harus melakukan apa ketika duduk di MWA,” ujar Briliandaru pada acara pembahasan statuta yang diadakan di Auditorium Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan.

Jika menyimak beberapa kali sosiali sa si, kemungkinan mahasiswa untuk dilibatkan dalam MWA sangat kecil. Mengingat, tim penyusun Statuta UPI, bersikeras mengatakan bahwa tidak akan dimasukannya unsur mahasiswa dalam MWA UPI. Salah satu anggota tim penyusun statuta, Yadi Ruyadi, selalu bersikeras mengatakan bahwa mahasiswa adalah orang yang perlu dilayani dan bukan pemangku kebijakan. Selain itu, jika melihat perkembangan draf statuta, unsur mahasiswa masih juga tidak dimasukkan dalam draf.

Nah, mahasiswa berperan aktif

dalam pengambilan kebijakan

20 | | November 201220 | | November 2012

LAPORAN UTAMA STATUTA

LOBI utama gedung Garnadi, tampak lengang pagi itu di penghujung Oktober 2012. Tak banyak mahasiswa lalu lalang, beberapa hanya duduk-duduk di kursi

dekat ruangan milik Dekan Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Edi Suryadi. Saat Isola Pos menyambangi tempat Ia bekerja, Edi tampak sedang mencatat di beberapa lembar kertas buku catatannya. Sejenak, sembari melemparkan senyum hangatnya, Edi mempersilahkan duduk. “Silahkan, saya sedang menulis-nulis ini,” sambut Edi lalu meneruskan kembali catatannya yang belum selesai.

Rupanya Edi sedang mempersiapkan catatan untuk mengkritisi draf Statuta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di rapat Senat Akademik (SA) siang harinya. Kala itu Edi bersedia membocorkan sedikit catatannya kepada Isola Pos. Dengan kalimat yang tenang, Edi menjelaskan bahwa dirinya menyoroti persoalan manajemen universitas yang tak banyak berubah di statuta yang baru. “Persoalan manajemen, yang memang koordinasi kemudian komunikasi, job deskripsi, belum ter-manage dengan baik,” tutur Edi. “Ini yang mesti diperbaiki,” tandasnya.

Menyoal manajemen universitas, bagi Edi merupakan soal

utama yang perlu disoroti. Karena, menurutnya selama ini terjadi missmatch dalam manajemen organisasi yang akhirnya menimbulkan ketidakefisienan. Terlebih, Edi tidak melihat adanya perubahan di statuta baru jika dibandingkan dengan BHMN.

Edi mencontohkan, bahwa selama ini dalam organisasi universitas, organ utama seperti rektorat, fakultas, jurusan dan prodi tidak menjadi unit strategis dalam pengambilan kebijakan. Alih-alih, menurut Edi, unit penunjang seperti biro akademik, direktorat-direktorat, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, malah menjadi pemain utama dalam pengambil kebijakan.

Akibatnya, kata Edi, antara unit penunjang dengan unit utama sering terjadi misscomunication dan missmanagement. “Karena ternyata unit penunjang, semacam direktorat ini, mengambil kebijakan, padahal mereka penunjang,” ujar Edi. Bagi Edi, direktorat-direktorat dan unit penunjang lainnya seharusnya mengurusi teknis administratif, dan pendukung dari unit utama. Bukan malah menjadi pemain utama. “Macam pemain bola, pemain cadangannya jadi pemain utama,” katanya sambil tertawa kecil.

Oleh Isman R. Yoezron

Struktur Bengkak Universitas

LAPORAN UTAMA STATUTACINDY/ISOLA POS

21November 2012 | | 21November 2012 | |

LAPORAN UTAMASTATUTA

Hampir sepakat dengan Edi, Pembantu Dekan Bidang Keuangan dan Sumberdaya Fakultas Ilmu Pendidikan, Johar Permana pun mengutarakan persoalan yang sama. Sebelumya, Johar menanggapi terlebih dahulu statuta baru, yang dipandangnya secara prinsip tak ada perbedaan dengan praktik Badan Hukum Milik Negara (BHMN). “Tidak ada yang secara subtansif berubah, dari PT BHMN ke PTN BH ini,” ujar Johar.

Menyoroti manajemen universitas, Johar yang juga Guru Besar Administrasi Pendidikan UPI itu memandang, struktur universitas selama ini tidak seimbang. Menurutnya, dalam momen perubahan statuta ini, perlu ada sebuah keseimbangan dalam struktur PTN BH.

Misalnya, Johar menyoroti perihal jabatan-jabatan yang bersifat teknis di organ universitas yang banyak diisi oleh dosen, sehingga memunculkan ketidak seimbangan. “Dosen itu tataran kulturnya akademik, harus seimbang,” ujarnya.

Bercerita kepada Isola Pos, Johar pernah mewacanakan agar kepala divisi di organ universitas jangan diisi oleh dosen, melainkan tenaga administratif. Dosen, menurut Johar, lebih baik bertugas mendampingi tenaga administratif. Sehingga, dosen bertugas mengabdikan ilmunya sebagai ahli dalam mendampingi kinerja tenaga administratif. “Bukan malah menjabat, kemudian mengambil keputusan dalam jabatannya gitu, ” ujar Johar menyindir. “Bahkan saya mengisukan kedepan seharusnya PD (pembantu dekan-red) itu tenaga administratif lah, supaya seimbang,” lanjutnya.

Bahkan Johar mengusulkan, dosen-dosen yang menjabat di jabatan teknis administrasi seperti direktorat, biro dan divisi untuk segera keluar. “Sebaiknya ada kebijakan untuk itu, kemudian memposisikan tenaga administrasi,” ujar Johar. Menurutnya, selama ini tenaga administrasi kurang dibina kemampuan profesionalnya.

Selanjutnya Johar sepakat jika dikatakan bahwa mutu akademik di UPI menjadi rendah akibat banyaknya dosen yang menjabat di tataran administratif. “Aset SDM kita yang di akademik mengisi pekerjaan administrasi,” ujarnya. Sementara, lanjut Johar, karir tenaga administrasi yang seharusnya mengisi jabatan menjadi terhambat. “Macet kan, tidak

punya peta karir,” katanya.Baik Johar maupun Edi,

keduanya berharap persoalan ini diperbaiki dalam statuta universitas. “Tujuannya tiada lain agar efisiensi, efektifitas, kemudian produktifitas lembaga menjadi optimal,” kata Edi menekankan. “Saya tidak terlalu banyak melihat perubahan, statuta ini masih garis besar saja,” lanjut dia.

Sudah menjadi rahasia umum, kata Edi bahwa selama ini organisasi universitas tidak seimbang. Ia setuju jika dikatakan bahwa bentuk organisasi terlalu gemuk diatas, namun ditataran teknis, organnya semakin menyempit. “Menggelembung diatas, kebawahnya kecil,” ujarnya sembari memetakan dengan tangan.

Edi memandang, struktur yang perlu diperkuat bukan di tataran jabatan y a n g l e b i h

a t a s seperti direktorat ataupun biro-biro. Melainkan, struktur yang diperkuat mesti di tataran bawah, yakni fakultas, jurusan dan prodi. “Karena itu yang nanti langsung berhadapan dengan mahasiswa, dengan proses akademik, ” ujarnya. “Coba, bayangkan di prodi itu hanya ada ketua prodi, harus ngurus akademik semuanya, tentu tidak mampu,” lanjut dia terheran-heran.

Nada serupa juga terlontar dari dosen pendidikan bahasa Jerman, Azis Mahfudin. Menurutnya, bentuk organisasi universitas selama ini memang terlalu gemuk di atas. “Padahal kegiatan akademik ada di bawah, di jurusan, prodi,” katanya. Azis mencontohkan, betapa tumpang tindihnya kondisi organ universitas di bidang akademik. “Untuk apa ada pembantu rektor akademik lantas ada lagi direktur akademik?” u j a r A z i s m e m p e r t a n y a k a n .

Tidak ada yang secara subtansif berubah, dari PT

BHMN ke PTN BH

Menurutnya, supaya organisasi berjalan efektif, tidak usah ada lagi unit lain di tingkat atas. “Dibawah, ditingkat fakultas, baru harus ada, karena yang substansial adalah masalah akademik di fakultas,” tandasnya. Bagi Azis, kondisi tumpang tindih tersebut perlu segera dibenahi dalam statuta. Harusnya, kata Azis, struktur organisasi lebih ramping, efektif dan efisien. “Kan tidak jelas di statuta ini,” ujarnya.

Ketidakjelasan mengenai persoalan ini juga menurut Edi nantinya akan menimbulkan banyak permasalahan. Edi mencontohkan, adanya struktur bayangan di prodi yang tidak ada dalam aturan. “Di prodi mengangkat bidang akademik, karena saking banyaknya urusan, kan ini tidak ada dalam aturan struktur,” katanya.

Persoalan ini, dari sudut pandang Edi, diakibatkan oleh ketidak jelasan aturan serta tidak diperkuatnya struktur organisasi di tataran bawah. “Ini yang memang perlu diperbaiki,

akhirnya inefisien,” tegasnya.Struktur yang bengkak dan

tidak efisien ini, kata Edi, akhirnya menyerap biaya yang lebih tinggi. Edi mengakui, memang dari sudut pandang perbaikan kinerja akan menjadi lebih baik, karena ada banyak orang yang membantu

mengurusi. Akan tetapi jika dilihat dari biaya yang dikeluarkan

untuk membayai bengkaknya organ universitas, Edi menilai sangat tidak efisien. “Dari sudut pandang biaya, ya tidak efisien,” ujarnya.

Dampak lainnya, yang Edi garis bawahi ialah tidak tergarapnya urusan mahasiswa. Sehingga, muncul persoalan dimana urusan mahasiswa yang seharusnya bisa diurusi oleh prodi atau jurusan, malah ditentukan nasibnya oleh unit penunjang seperti direktorat. Ia mencontohkan kasus Drop Out mahasiswa akibat telah habisnya masa kuliah. “Mahasiswa DO, prodi nggak tau kan,” ujarnya.

Seharusnya, prodi dapat melakukan tindakan preventif sebelum hal itu terjadi. Namun, akibat segala urusan terkait ada di ranah unit penunjang, akhirnya prodi tidak bisa melakukan tindakan tersebut. “Nah ini yang saya inginkan posisi fakultas, jurusan atau prodi ini diperkuat strukturnya,” kata Edi. Supaya, lanjut Edi, “urusan mahasiswa tergeroh (tertangani-red) bahasa saya itu.”

22 | | November 201222 | | November 2012

LAPORAN UTAMA STATUTA

Tim Penyusun Satuta UPI saat mendiskusikan draf statuta UPI di Audiotorium FPMIPA, Jumat (5/10)

SEJAK pagi ruang Auditorium B Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) sudah ramai dipadati

para dosen juga mahasiswa. Jajaran dekanat kala itu juga turut hadir pertanda pertemuan begitu penting. Agenda hari itu adalah sosialisasi rancangan Statuta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada pertengahan Oktober lalu.

Terlihat, anggota tim penyusun statuta sudah siap di meja depan menghadap para hadirin. Yadi Ruyadi pembicara utama, didampingi rekannya, Ridwan Purnama serta Pembantu Dekan bidang Akademik dan Kemahasiswaan FPBS, Dadang Sudana. Tak mengulur waktu, setelah acara dibuka Dadang, Yadi lantas memaparkan isi hasil rancangan statuta revisi 8 Oktober 2012.

Setelah sejam lebih memaparkan draf statuta, ruang tanya jawab pun dibuka. Sepertinya, kesempatan itu memang dimanfaatkan oleh para dosen untuk bertanya dan memberi masukan. Terbukti, berbagai lontaran pertanyaan juga pernyataan memberondong tim statuta. Bahkan, banyak acungan tangan yang tak mendapat kesempatan. Kesempatan itu pula tak di sia-siakan Tatang, seorang dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Tanpa basa-basi Tatang mempertanyakan soal pengembangan akademik.

Saat ditemui Isola Pos, Tatang mengatakan semangat pengembangan akademik dalam draf statuta dirasa masih

kurang. Menurutnya, UPI sebagai lembaga pendidikan harus lebih berorientasi pada pengembangan akademik mahasiswa. Alasannya, pencapaian visi UPI, pelopor dan unggul bergantung kualitas lulusan yang dihasilkan. “Kita harus merevisi ulang bagaimana agar sarana-sarana yang ada berorientasi pada pengembangan pendidikan,” kata Tatang kembali mengingatkan.

Untuk hal ini, Tatang punya beberapa masukan. Salah satunya, pelibatan guru besar dalam struktur organisasi harus dikurangi. Menurutnya, guru besar harus lebih fokus dalam penelitian dan mengajar. “Supaya tidak mubazir, mereka sangat potensial,” kata dia. “Bagaimana kita bisa mencapai leading and outstanding, sementara orang-orang yang ahli kurang dilibatkan.”

Ia menambahkan, untuk jabatan yang tidak berhubungan dengan akademik lebih baik diisi tenaga administrasi. “Apakah masih perlu dosen mengisi pembantu dekan bidang keuangan?” tanya Tatang.

Berbeda dengan Tatang, Guru Besar Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Ace Suryadi, lebih menyoroti kinerja Senat Akademik (SA). SA dinilai Ace, lebih banyak mengurusi urusan politik kampus, ketimbang urusan akademik. Meskipun tugas-tugas SA, contohnya, menyusun kebijakan akademik universitas dan melakukan pengawasan mutu akademik. Namun,

menurut Ace, masih ada tugas yang cenderung politis, macam pemilihan rektor dan wakil rektor.

Ace juga punya saran. Menurut dia, sebaiknya anggota SA diisi perwakilan berdasarkan keahlian keilmuan, bukan perwakilan fakultas. “Sehingga namanya Senat Akademik. Jadi orang-orangnya pengajar, peneliti,” katanya.

Ketua SA, Syihabudin, menolak pernyataan Ace yang menganggap SA cenderung politis. Ia memastikan timnya telah menjalankan tugas-tugas pengembangan akademik. “Tidak ada yang politis-politis.” Buktinya, kata Syihabudin, SA menyusun pedoman kenaikan jabatan dosen, menambah program penulisan karya ilmiah, dan membahas usulan pembukaan program studi baru. “Baru-baru ini membuka S-2 ekonomi dan keuangan,” katanya.

Baik Ace maupun Tatang sama-sama berharap dengan statuta yang sedang disusun. Ace berujar, “Kita harus hati-hati, jangan sampai kita mengulangi kesalahan.” “Semangat kita adalah membimbing mahasiswa. Itu harus tercermin dari awal sampai akhir,” kata Tatang beri anjuran.

Sepertinya usulan Ace dan Tatang tinggallah usulan. Sampai Tim penyusun statuta mengirimkan draf ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhir Oktober lalu, isinya tak banyak berubah.

Akademik yang TerlupakanOleh Farid Maulana

JULIA/ISOLA POS

23November 2012 | | 23November 2012 | |

LAPORAN UTAMASTATUTA

Ketua Kopma BS UPI - Angga Bhakti Kusuma “Statuta UPI sekilas dari yang saya baca kurang melibatkan mahasiswa dalam penyusunannya serta pembahasan mengenai mahasiswa di dalamnya belum banyak. Apakah ini menandakan peran mahasiswa di UPI belum dilihat atau dirasakan? Mari kita renungkan.”

Bicara Statuta

Menteri luar negeri (Menlu) BEM REMA UPI, Alfian Riza

“Statuta itu ibarat fondasi bangunan. Ia harus dibangun dengan komposisi yang bisa menahan bangunan itu dalam waktu yang ditentukan. Namun, statuta UPI hari ini tidak memerhatikan

komponen pengisi fondasi itu, banyak kecacatan dalam formatnya. Jika memaksakan dengan bentuk seperti ini, bangunan UPI akan segitu mudah untuk dirobohkan.”

Ketua Jurusan PGSD UPI - Dede Somarya “Saya menolak adanya statuta UPI, jika Statuta UPI tidak bisa menyejahterakan dosen serta karyawannya. Saya setuju dengan Statuta UPI jika bisa menyejahterakan dosen dan karyawanya. Menurut saya, statuta UPI itu banci, karena adanya indikasi komersial di dalamnya.

Sany Rohendi- Anggota UKSK UPI “Statuta adalah cikal bakal dari UU PT yang kita tolak beberapa waktu lalu. Keberadaan

statuta ini, perlu dipantau dan dikritisi oleh mahasiswa, karena statuta adalah landasan hukum yang menjadi pijakan setiap kebijakan UPI ke depan .”

Menteri Dalam Negeri BEM Rema UPI – Dudi Asep SeptiadiItu kecacatan dari segi pembentukkan tim perumus statuta. Kita juga kecewa dalam proses sosialisasi draf statuta. Kami mahasiswa kecewa dengan penunjukkan mahasiswa sebagai tim sosialisasi, akan tetapi tidak pernah diberikan informasi, perubahan, dan perkembangan penyusunan statuta UPI. Kami hanya diberikan draf statuta tertanggal 2 oktober 2012, sehingga kami merasa perumusan statuta ini ada indikasi hanya melibatkan kelompok tertentu saja. Padahal seharusnya penyusunan statuta itu melibatkan semua unsur yang ada di universitas.

LAPORAN UTAMASTATUTA

SEJAK wacana mengenai rancangan Statuta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bergulir, berbagai tanggapan muncul dari khalayak sivitas akademika UPI. Meski beberapa

kali sosialisasi draf rancangan digelar, namun kadang aspirasi mereka tak tertampung dalam sesi diskusi. Sejatinya, statuta yang merupakan penentu nasib penyelenggaraan UPI, perlu mengakomodasi masukan dari segala pihak. Berikut Isola Pos menghimpun beberapa tanggapan dari sivitas akademika mengenai rancangan Statuta UPI yang baru.

23November 2012 | |

24 | | November 2012

HAMPIR setiap hari, terlebih saat beranjak senja, Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tak pernah absen oleh

kegiatan mahasiswa. PKM tak ubahnya seperti markas besar kegiatan mahasiswa, kian hari semakin dipadati mahasiswa. Bahkan, kerap terlihat kegiatan mahasiswa tak tertampung di gedung ini. Beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bahkan tak mendapat jatah sekretariat meski sudah lama berdiri.

Kondisi ini mencapai puncaknya pada awal Oktober 2012 lalu. Beberapa UKM menuntut untuk diberi jatah tempat berkegiatan di gedung ini. Bahkan, saat itu Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan, Syahidin, sampai turun tangan menengahi kisruh pembicaraan mengenai

UKM ini. Duduk satu meja, tak berarti menemukan solusi. Menjamurnya UKM baru, menjadi permasalahan tersendiri.

Tercatat, pada tahun 2010 UKM yang berdiri berjumlah 56. Hanya dalam kurun waktu dua tahun saja, 7 UKM dikabulkan berdiri oleh Dirmawa. Sehingga tercatat pada tahun 2012 ada 63 UKM yang berdiri. Kepala Divisi Kemahasiswaan Syahroni, beralasan mudahnya mendirikan UKM adalah implementasi Surat Keputusan (SK) Rektor No.8052/H40/HK/2010 tentang Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa). “Kami tak sembarangan jika tak ada aturan,” ujarnya.

Bagi Syahroni, asalkan UKM yang akan berdiri dinilai baik dan bermanfaat bagi sivitas UPI, maka tak ada halangan

Euforia UKMOleh Rifqi Nurul Aslami

Dirmawa bersama FKUKM saat konsolidasi Sekre UKM, di Gedung PKM UPI, Jum’at (5/10).

KEMAHASISWAAN

RIFQI/ISOLA POS

25November 2012 | |

untuk disahkan. Meskipun, kata Syahroni, berbagai pertimbangan lain pun ikut menentukan. “Ini juga salah satu upaya pencitraan untuk UPI,” tandas Syahroni.

Namun, akibat mudahnya pendirian UKM, mengundang nada sumbang dari beberapa kalangan. Menurut Anggota UKM Arena Studi Apresiasi Sastra, Zulfa Nasrullah, misalnya. Ia menilai bahwa mudahnya mendirikan UKM baru tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas. Selain itu, menurut Zulfa, banyak berdiri UKM akhirnya memunculkan kesan lain. “Menjadi euforia belaka saya kira,” Zulfa berujar.

UPI banyak memunculkan UKM dan hal itu harus dipersiapkan oleh

UPI, seperti fasilitas untuk kegiatan UKM, sehingga tidak mempersulit mahasiswa untuk mengembangkan organisasinya. “Kemarin karena ketidaksiapan UPI terhadap maraknya UKM, membuat banyak UKM yang berebut sekretariat,” kata Zulfa.

Sama halnya dengan Zulfa, Ketua UKM Pramuka, Dirham Andi Purnama mengatakan seharusnya sebelum mengesahkan UKM, UPI lebih siap dan sigap menanggapi membludaknya UKM. Sehingga, ketika bermunculan UKM baru dibarengi dengan penyediaan tempat kegiatannya juga.

Dirham mencontohkan permasalahan UKM yang belum memiliki sekretariat, hal itu menurutnya tidak akan terjadi

jika Dirmawa cepat mengondisikan UKM-UKM yang ada. “Mungkin, kalau bukan dari mahasiswa yang memaksa Dirmawa bertindak, perebutan sekre masih berlarut-larut hingga sekarang,” papar Dirham.

Komentar miring juga terlontar dari Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (FK UKM), Triana Lestari. Ia memandang bahwa menjamurnya UKM baru justru akibat dari ketidakjelasan pengaturan secara rinci di SK Ormawa. Bahkan, Triana menilai, belum ada standar yang jelas yang mengatur pendirian UKM. “Seharusnya pihak universitas membuat standardisasi pendirian UKM,” sarannya. “Nanti, FK UKM akan menggandeng Dirmawa untuk membuat standar itu,” tambahnya. Pembuatan standar ini, menurut Triana, sangat penting demi menyiasati membludaknya UKM baru.

Triana mengkhawatirkan nanti akan terlalu banyak UKM yang muncul tapi tidak ada standar kegiatan yang jelas, sehingga mengakibatkan banyak UKM yang tumpang tindih kegiatannya.

Menanggapi adanya suara sumbang mengenai UKM, Dirmawa angkat bicara. Syahidin yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Dirmawa berjanji, akan menertibkan UKM. Syahidin bersama FK UKM akan mengadakan Workshop tata cara pembuatan dan pengajuan UKM.

Tidak hanya itu, untuk menertibkan carut marutnya UKM, pihak Dirmawa akan membuat sistem administrasi online seperti penyerahan laporan pertanggungjawaban dan proposal kegiatan yang masuk. Sehingga, dengan hal ini diharap mempermudah baik mahasiswa maupun Dirmawa untuk mengecek kegiatan Ormawa. Dari sistem itu pun Dirmawa bisa tahu, mana UKM yang aktif berkegiatan dan mana UKM yang hanya terpampang namanya saja.

Selanjutnya, FK UKM yang mengoordinasi semua UKM dan melaporkanya kepada Dirmawa. “Karena memang mereka tugasnya memberikan informasi kepada kami,” ujar Syahidin.

Mengenai workshop pembuatan UKM yang diadakan oleh Dirmawa, rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 26 November 2012 .

KEMAHASISWAAN

26 | | November 2012

MATAHARI berada di puncaknya ketika suasana kelas Jurusan Pendidikan Geografi riuh

oleh suara mahasiswa baru (Maba) usai mengikuti perkuliahan. Spontan obrolan itu terhenti ketika beberapa mahasiswa lain masuk ke dalam kelas. Wajah-wajah itu tak asing. Mereka pernah bertemu para mahasiswa ini saat penjaringan Maba usai registrasi akademik, Juli lalu. Kedatangan mereka ke kelas saat itu untuk menyosialisasikan rangkaian pengaderan yang harus dilalui Maba. Tak lupa biaya yang harus mereka siapkan untuk salah satu kegiatan pengaderan yaitu Penerimaan Anggota Baru (PAB) yang jumlahnya mencapai 190 ribu per orang.

Mendengar ini, sontak beberapa mahasiswa kembali mengeluh. Sudah mengeluarkan uang berjuta-juta untuk bisa kuliah di UPI, kini harus merogoh kocek lagi untuk kegiatan pengaderan. Dewi misalnya, mahasiswa asal Sumedang ini merasa terbebani dengan nominal yang harus Ia bayar. Meski begitu, Ia tetap membayar karena kewajiban untuk mengikuti pengaderan. “Saya memang merasa terbebani cuman

ini kan keharusan,” kata Dewi pada Isola Pos.

Pungutan yang dilakukan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) ini sebetulnya dilarang oleh universitas melalui Surat Edaran No:4069/UN40/KM/2011. Dalam edaran tersebut dikatakan setiap Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) tidak diperkenankan mengadakan pungutan apapun kepada Maba di luar ketentuan UPI.

Selain itu, Maba pun sudah membayar Dana Pengembangan Kemahasiswaan (DPK) saat registrasi sebesar 190 ribu. DPK ini dialokasikan untuk semua kegiatan kemahasiswaan termasuk pengaderan. Nantinya uang tersebut akan masuk ke keuangan universitas yang kemudian disalurkan ke masing-masing fakultas. Setelah itu baru dicairkan ke HMJ.

Ketua HMJ Pendidikan Geografi, Ricky P Ramadhan mengaku memungut karena tidak tahu bahwa DPK bisa digunakan untuk biaya pengaderan. Ia mengatakan selama ini himpunannya menggunakan dana tersebut untuk kegiatan diluar pengaderan seperti seminar dan lainnya. “Saya tidak tahu

kalau DPK bisa digunakan untuk pengaderan. Kirain dana itu khusus untuk seminar dan kegiatan lainnya,” kata Ricky.

Selain itu, lanjut Ricky, DPK tidak akan cukup untuk membiayai seluruh kegiatan pengaderan seperti Latihan Kepemimpinan Mahasiswa, Program Pengenalan Lingkungan Geografi, dan sejumlah kegiatan lainnya. “Kegiatan tersebut dilakukan di luar kampus, biayanya tidak sedikit, jadi 80% diambil dari Maba,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan (BEMJ Adpend), Moh. Ajid Abdulmajid. Saat ini BEMJ Adpen memungut sebesar 180 ribu per orang. Menurutnya, pungutan terhadap Maba ini dilakukan karena DPK yang tidak akan cukup untuk satu tahun kepengurusan. Ia mengatakan saat ini Maba Jurusan Adpend sebanyak 57 orang dan DPK nya kurang lebih sebesar 9 juta. Dana ini nantinya akan terbagi lagi untuk Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebesar 17%. “Otomatis kalau DPK cair tidak mungkin Maba enggak bayar,”

Pungut Sana Pungut Sini

Oleh Melly Anggun Puspita

KEMAHASISWAAN

DOK. SATRASIAHIMATRASIA meminta pinjaman pada mahasiswa baru di Partere UPI, saat Penerimaan Mahasiswa Baru.

27November 2012 | |

tandasnya.Ajid menuturkan BEMJ Adpend

sebetulnya mengalokasikan DPK untuk pengaderan sebesar 2 juta. Namun hingga saat ini DPK belum bisa dicairkan sehingga mereka terpaksa meminjam dulu ke dana abadi. Dana abadi adalah dana yang dikumpulkan dari mahasiswa Adpend yang menerima beasiswa PPA dan BBM sebesar 5%. “Kita punya Dana Abadi, jadi kalau kekurangan dana biasa pinjam dulu,” jelasnya.

Berbeda dengan BEMJ Adpend dan HMJP Geografi, Himpunan Mahasiswa Fisika (HMF) tidak melakukan pungutan sepeser pun kepada Maba untuk pengaderan. Menurut Ketua HMF, Hari Rachmat Wijaya, Maba sudah menyumbang besar dan itu cukup untuk melakukan kegiatan pengaderan mereka sendiri. “Jadi kalau dipungut lagi, khawatir itu akan memberatkan mereka,” ujar Hari.

Menurut Hari, tahun ini HMF menggunakan sisa DPK kepengurusan sebelumnya untuk membiayai pengaderan Maba, sebab DPK tahun 2012 yang belum cair. “HMF mendapatkan warisan sebesar 14 juta diawal itu,” kata Hari.

Hari memandang seharusnya HMJ bisa mengakali minimnya DPK bukan dengan memungut dari Maba. Ia mengatakan ada juga HMJ di Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) yang meminjam dana ke jurusannya untuk pengaderan. Baru setelah DPK cair, pinjaman itu diganti. “Sebenarnya tergantung bagaimana mengakalinya, apakah dari Maba atau pinjam dulu,” ungkapnya.

Salah satu himpunan yang juga meminjam adalah Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMASTRASIA). Mereka meminjam kepada Maba sebesar 35 ribu untuk menutupi kekurangan DPK yang tidak cukup untuk pengaderan. Menurut ketua HIMASTRASIA, Zulfa Nasrulloh, pungutan itu nantinya akan dikembalikan dalam bentuk baju dan buku catatan. “Jadi sebetulnya nol persen,” kata Zulfa.

Menurut Zulfa, Maba membayar DPK fungsinya untuk mendapatkan ilmu-ilmu pengaderan sehingga mereka siap menjadi mahasiswa yang sesungguhnya. “Makanya ini penting untuk difasilitasi bukannya dipersulit dengan jumlah biaya yang mahal,” ujarnya.

Zulfa pun mengatakan proses pencairan DPK dari fakultas tidak

bisa diakses cepat oleh himpunannya. Hingga akhirnya Ia harus mengirim surat permohonan dana kepada Direktur Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) yang sebelumnya harus ditandatangani pihak fakultas. Surat itu nantinya akan ditujukan ke Direktorat Keuangan. Akhirnya dicairkan sejumlah uang, namun itu bukan DPK. Nantinya dana pinjaman ini akan diganti setelah DPK 2012 cair. “Ini proses regulasinya lama, birokrasinya belum jelas, terlalu berbelit-belit. Seharusnya lima hari setelah Maba membayar registrasi, bisa cair,” kata Zulfa.

Senada dengan Zulfa, Ajid pun merasa kecewa akan lambatnya pencairan DPK di fakultas. Padahal menurutnya BEMJ Adpen telah memberikan Surat Pertanggung jawaban Belanja (SPTB) sebagai salah satu syarat untuk mencairkan dana tersebut. Menurut pihak fakultas, kata Ajid, tidak bisa cair ini karena sejumlah HMJ lain di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) belum mengumpulkan SPTB masing-masing. Hingga akhirnya ini berimbas pada HMJ yang telah menyelesaikan kewajibannya. “Tolonglah dipermudah, ini H-2 PAB (Penerimaan Anggota Baru-red) belum terima sama sekali,” keluhnya.

Dikonfirmasi mengenai pungutan yang dilakukan sejumlah HMJ, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) UPI, Hamdan Ardiansyah, tidak menyalahkan tindakan tersebut. Ia menganalogikan kegiatan pengaderan ini dengan seminar. Setiap mahasiswa yang ingin ikut seminar, wajib membayar. Mereka pun akan mendapatkan fasilitas seperti snack, tempat, sertifikat dan sebagainya. Begitu pun pengaderan ada feedback-nya. “Apa bedanya ngadain

acara dengan kaderisasi? Asalkan jelas transparansinya, enggak masalah,” katanya.

Hamdan tidak mengilegalkan pungutan ini karena menurutnya DPK nanti tidak akan cukup untuk satu tahun kepungurusan jika digunakan untuk pengaderan. Ia juga mengatakan ada sejumlah kegiatan internal seperti acara penyambutan wisudawan dan silahturahmi angkatan yang tidak bisa mengajukan dana ke universitas. “Kegiatan internal seperti itu pasti mengandalkan DPK karena tidak bisa di-support universitas,” ujarnya.

Berbeda dengan Hamdan, Zulfa memandang untuk kegiatan diluar pengaderan HMJ jangan mengandalkan DPK. Menurutnya masih banyak pilihan lain seperti dana kompetitif dari universitas, dana bantuan untuk kegiatan mahasiswa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) atau sponsorship dari perusahaan-perusahaan. “Kalau dari DPK terus mah ya mana usahanya atuh? Ormawa itu harus berpikir untuk meregenerasi uang itu,” katanya.

Menanggapi hal ini, Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan, Syahidin, mengatakan bahwa dirinya tidak membenarkan adanya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh HMJ. Syahidin juga mengaku tidak mengetahui adanya pungutan tersebut. “Tidak ada yang mengadu ke sini, tapi itu jelas tidak boleh dilakukan di luar ketentuan universitas,” tegasnya.

Menurut Syahidin, permasalahan ini seharusnya ditangani oleh fakultas langsung karena DPK dikelola oleh setiap fakultas. “Ini kan anak buah mereka (fakultas-red), kalau Ormawa, baru saya yang gerak,” katanya.

KEMAHASISWAAN

Surat Edaran dari UPI tentang larangan pungutan kepada mahasiswa baru di luar ketentuan UPI.

28 | | November 2012

PEREMPUAN itu terlihat gelisah. Matanya tak lepas memelototi layar komputer di hadapannya. Raut wajahnya menyiratkan kebingungan. Sejenak, Ia

mendongakkan wajahnya. Tak berapa lama, Ia pun bangkit dari kursinya, maju ke depan laboratorium menghampiri seorang pria. “Pak, banyak soalnya yang tidak keluar. Saya harus gimana, ya?” Ia bertanya.

Namanya Ema, Ia salah satu guru Bahasa Arab dari SMA Kema Bandung. Pagi itu Ia mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) gelombang II di SMPN 4 Bandung. Sengaja hari itu, 9 Oktober 2012 Ia datang satu jam lebih awal dari waktu yang telah ditentukan. Pukul 7 pagi Ia sudah tiba di SMPN 4, padahal tes UKG baru dimulai pukul 8 pagi. “Saya takut macet,” ujar Ema sambil tersenyum.

Sayangnya saat hendak mengerjakan soal UKG, Ema dibuat kebingungan. Dari 100 soal yang ada, Ia hanya dapat menjawab 24 pertanyaan saja. Bukan karena Ia tak bisa menjawab, namun 76 soal lainnya tidak muncul pada layar

komputer. “Ada soal, option jawabannya tidak ada. Ada option jawabannya, tapi soal tidak ada,” keluhnya.

Ema pun mengadukannya kepada pengawas UKG yang tengah bertugas. Namun, Ema hanya disarankan mengisi soal yang lengkap dengan pilihan jawabannya. Mau tak mau, Ema hanya dapat mengerjakan soal seadanya. “Nggak apa-apa nilainya seadanya,” tutur Ema.

***Diceritakan Sekretaris Jenderal Federasi Perguruan

Independen Indonesia (FGII), Iwan Hernawan, pada 15 Agustus 2012 lalu, ramai-ramai dirinya beserta FGII, FSGI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Koalisi Pendidikan menggugat UKG ke Mahkamah Agung. Pasalnya waktu itu UKG tidak memiliki landasan hukum. Namun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Muhammad Nuh, tetap bersikukuh mempertahankan kebijakan ini. Menurutnya, UKG bertujuan untuk memetakan kompetensi dasar

Sejumlah guru sedang melaksanakan tes UKG di Laboratorium Komputer SMPN 4 Bandung, (9/10)

KONTEKS

Ujian Bagi sang PengujiOleh Lia Anggraeni

LIA/ISOLA POS

29November 2012 | |

pengembangan keprofesian guru, dan juga bagian dari penilaian kinerja guru. “Kami protes bersama-sama, baru setelah itu dikeluarkan Permendiknas,” kata Iwan.

Kini UKG telah memasuki gelombang kedua, sebelumnya gelombang pertama telah digelar pada Juli 2012 lalu. Namun, hujan kritikan pedas terhadap UKG belum reda. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dinilai Iwan, sengaja mengobyek UKG agar keran anggaran pendidikan 2012 mengalir deras.

Selain itu, Iwan kecewa melihat hasil UKG yang memperlihatkan kualitas guru terbilang rendah diekspose di media. Rata-rata nilai yang diraih oleh guru berkisar 42. Sehingga hal ini dipandang Iwan menjadi celah untuk dimanfaatkan Kemendikbud demi melancarkan proyek-proyek selanjutnya ke pemerintah. Nantinya menurut Iwan, alasan ini digunakan untuk mendapat bantuan sebesar-besarnya. “Ironis kan? Guru dikatakan jelek kualitasnya habis-habisan oleh pemerintah, lalu diekspose di media,” tutur Iwan gusar.

Tuduhan tentang pemborosan biaya pun tak luput dialamatkan pada penyelenggaraan UKG. Hal ini dikuatkan dengan fakta adanya kucuran dana bagi setiap guru yang mengikuti UKG. Iwan mengungkapkan bahwa satu peserta UKG diberi amplop berisi Rp 100.000. “Kalo jumlahnya 1.020.000 guru, berapa biaya yang dikeluarkan? Ini kan penghamburan,” tandas Iwan.

Hal yang serupa dilontarkan oleh Kepala Hubungan Masyarakat SMPN 4 Bandung, Tahzur. Ia menganggap bahwa UKG merupakan proyek-proyekan belaka buatan pemerintah. UKG dinilai bermuka dua oleh Tahzur. “Seperti berbuat baik tapi tidak baik. Berbuat untuk melibatkan bahwa guru itu mempunyai potensi. Tapi mempermalukan guru secara tidak langsung,” tegasnya.

Terlepas dari wacana pemborosan dana, Ketua Sertifikasi Universitas Pendidikan Indonesia, Tjutju Jurniasih mengatakan bahwa UKG merupakan hal yang penting untuk menjaga profesi guru. Namun, Tjutju berpendapat lain. Menurutnya secara idealisme UKG bertujuan agar guru yang sudah tersertifikasi tetap menunjukkan kinerja profesional. Sehingga guru yang sudah tersertifikasi itu tidak

lantas mengabaikan dirinya sendiri. “Itu kan tujuan yang bagus,” ujar Tjutju.

Kontras dengan yang dinilai Tjutju, Iwan berkomentar bahwa UKG merupakan program yang mendadak dan tidak terencana secara matang. Di samping itu, baginya UKG merupakan suatu bentuk evaluasi yang tidak holistic karena mengevaluasi kompetensi guru dalam aspek kognitif saja.

Namun, melihat hasil UKG yang tidak memuaskan, kualitas guru pun ikut dipertanyakan. Dalam hal ini, Iwan menuding UPI sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kualitas guru. Pasalnya ijazah dan sertifikasi dikeluarkan oleh UPI, jika hasilnya buruk, jangan menyalahkan para guru. “Masa pabriknya dikatakan jelek, mendukung? Sertifikasi dikeluarkan oleh UPI, mengapa UPI mendukung UKG? Itu blunder kalo

UPI mendukung UKG,” tutur Iwan. Iwan berharap pemerintah dapat meningkatkan kualitas guru. Hal itu dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan pendidikan yang baik bagi guru. Namun jika kualitas guru rendah, Iwan menyindir bahwa yang patut introspeksi diri adalah UPI. “Kalau hasilnya jelek yang salah UPI dong, jangan salahkan kami para guru,” ujar Iwan.

Peran Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) Melemah

Nada sumbang mengenai hasil UKG dan kualitas guru menimbulkan tanda tanya besar, ada apa dengan guru? Padahal saat ini jumlah LPTK di Indonesia mencapai 374 LPTK, yaitu 32 perguruan tinggi dan 342 perguruan swasta.

Iwan punya komentar tentang hal ini. Ia menilai peran LPTK saat ini

mulai melemah. Guru tak dibekali kemampuan mendidik. “Sekarang ini guru hanya dididik untuk mengajar. Mau kemana pendidikan Indonesia?” tanya Iwan. Hal serupa pun dilontarkan oleh Guru Besar Pendidikan Kewarganegaraan, Aim Abdulkarim.

Persoalan ini kata Aim, mengerucut kepada siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas quality insurance guru. Sehingga LPTK lah yang dituding mesti bertanggung jawab. “Yang harus tanggung jawab adalah LPTK-LPTK mulai dari produksi hingga termasuk jumlah lulusan,” Aim berujar.

Ia mengungkapkan bahwa saat ini jumlah lulusan guru sudah overloaded. “Kalo membludak mau dikemanakan?” tanyanya. Idealnya, LPTK mesti mengevaluasi kebutuhan-kebutuhan perkembangan yang ada di masyarakat khususnya mengenai guru yang profesional. Misalnya, Aim mencontohkan, LPTK harus mempunyai sekolah laboratorium. Gunanya semua calon guru bisa praktek mengajar di situ, dimulai dari membuat perencanaan

sampai mengaplikasikannya di depan kelas. “Microteaching harus digalakkan untuk di LPTK,” usulnya.

Namun, permasalahannya microteaching sebagai sumber peningkatan kualitas guru professional belum disediakan secara

professional oleh LPTK, contohnya UPI menurut Aim. Aim menganggap

bahwa UPI tidak serius dalam menyiapkan guru yang profesional.

Menurut Aim UPI perlu berbenah, terutama dalam soal keberanian untuk memilih orientasi dominannya. Maksudnya, UPI yang core business-nya dalam bidang pendidikan harus memfokuskan diri di bidang pendidikan. Aim sepakat bahwa sekarang ini UPI bak toko kelontong. Ia menyayangkan banyaknya program studi non pendidikan yang dibuka UPI. Ini menandakan bahwa UPI tidak fokus. “Kalau core business-nya keguruan, harusnya serius,” kata Aim.

Aim berharap UPI kembali pada jati diri yang sesungguhnya. UPI dapat mempertahankan jati dirinya yang kokoh yang terus dipegang, diperkuat, dan dipertahankan menjadi kekuatan yang besar. Sehingga UPI dapat mencetak guru yang professional. “Itulah LPTK. Apalagi kalo namanya Universitas Pendidikan Indonesia,” tutupnya sambil tersenyum.

KONTEKS

Kalau core business-nya keguruan,

harusnyaserius

30 | | November 2012

Bud

aya

“Pabalap-pabalap.paheula heula… pagancang-gancangPatingsaliweur weur weurSilih siap kaditu kadieu kaditu kadieuAduh lieur lieur lieur…”

BEGITULAH nyanyian masyarakat sebuah desa yang tengah mempersiapkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Bagi masyarakat Pilkada bukan

barang baru, termasuk pertentangan dan persaingan yang mewarnainya.

Seorang pria nampak berdiri resah, ialah Karyana, Kemudian Ia memanggil sang istri dengan nada tinggi. Tak ayal, yang dipanggil tergesa menghampiri suaminya. Begitu ditemui, kedapatan suaminya sedang gusar ternyata. Pakaian Karyana sama dengan lawan politiknya, Suminta. Karyana enggan memakai barang yang sama dengan Suminta.

Suminta telah menjadi kepala desa sebelumnya. Pemilihan kali ini Suminta mantap kembali mencalonkan diri. Sebagai lawan politik, Karyana benci pada Suminta, meski keduanya tak pernah menunjukkan langsung. Pemicunya, pertengkaran antara orangtua Karyana dengan Suminta di masa lalu. Permusuhan itu, masih terbawa hingga saat ini.

Persaingan antara Karyana dan Suminta semakin kentara

saat mendekati waktu pemilihan. Dalam masa kampanye, baik Karyana atau Suminta kerap menyambangi beberapa tokoh masyarakat dan meminta memilihnya. “Pak Haji, kiriman kanggo ibu-ibu pengajian sudah sampai? Jangan lupa sampaikan, supaya memilih saya,” ucap Suminta.

Masing-masing tim sukses menyebar ke seluruh desa. Tentunya, baik Karyana maupun Suminta membagikan berbagai macam “bantuan” untuk masyarakat. Sayangnya, tim sukses yang mereka percaya tidaklah sesetia yang mereka harapkan. Saat pembagian “bantuan” untuk masyarakat, tim sukses ikut mengambil jatah yang seharusnya dibagikan.

Hari demi hari berlalu, persaingan antara Suminta dan Karyana semakin sengit. Namun, lain halnya dengan anak-anak mereka, yaitu Dini dan Rahmat yang saling mencintai. Mereka merasa sedih dengan orang tua mereka yang tak pernah akur. Alunan musik dan permainan lampu mewarnai perbincangan antara Dini dan Rahmat.

Suasana panggung kini nampak berubah, lampu kuning redup tampak menghiasinya. Dini dan Rahmat yang tengah duduk diatas panggung saat itu akhirnya sepakat menyiasati agar orang tua mereka berdamai. Akhirnya, Dini dan Rahmat sepakat bertemu dengan orang tua mereka, Karyana dan Suminta. Saat pertemuan itu, mereka mengatakan bahwa

CINDY/ISOLA POS

Oleh Nisa Rizkiah

Teater,Antara Seni dan Kritik Sosial

Debat antara Suminta dan Karyana saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah

31November 2012 | |

tidak seharusnya mereka bertengkar hanya karena perebutan jabatan dan dendam masa lalu. “Masyarakat kumaha rek demokratis, lamun pamingpinna oge teu akur, sajarah hebeul geus waktosna dikubur,” ucap Dini dan Rahmat.

Tiba-tiba lampu padam. Tak lama kemudian lampu menyala kembali dan seluruh pemain telah berkumpul di atas panggung sembari membungkukan badan. Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh ruangan yang ditujukan pada pemain pertunjukan Satru, karya sutradara Gusjur Mahesa. Pertunjukan dipentaskan di Gedung Graha Sanusi Universitas Padjajaran, Minggu 28 Oktober 2012. Pementasan ini diperankan oleh kelompok Teater Tarian Mahesa (TTM).

TTM ini sudah cukup lama bergelut di dunia teater, yakni sejak sebelas tahun lalu. Kelompok ini digawangi oleh seorang aktivis teater bernama Gusjur Mahesa. Seiring perjalanannya, TTM telah banyak meraih penghargaan, diantaranya Juara I Festival Teater Bahasa Sunda tahun 2008 dan 2010.

Dalam penampilannya, TTM kerap menampilkan teater yang berhubungan dengan kesenjangan dalam kehidupan nyata atau dikenal dengan nama teater kritik sosial. “Teater kritik sosial itu diperlukan untuk membela keadilan dan kesejahteraan sosial,” ucap Gusjur.

Dalam perjalanan seni teater, sebelum adanya teater kritik sosial seperti dijelaskan di atas, sejarah lahirnya teater di Indonesia cukup panjang. Saat masa Hindu Budha teater sudah ada. Walaupun saat itu belum disebut sebagai seni teater, namun unsur-unsur yang ada di dalamnya berkaitan dengan teater di kemudian hari. Ketika masa awal keberadaannya,

teater memang berhubungan dengan hal-hal mistik, tapi kemudian hal itu bergeser dan menjadi sebuah pertunjukan teater yang bersifat tradisional. Seperti ludruk, wayang, lenong, dan ketoprak.

Seiring waktu, teater pun berkembang. Teater tradisional mulai bergeser menjadi teater modern yang dibawakan oleh golongan bangsawan dan bangsa Belanda saat menjajah di Indonesia. Awal diperkenalkannya teater modern melalui naskah yang ditulis oleh F. Wiggers pada tahun 1901. Namun, saat itu nama yang dikenal bukanlah teater, tapi sandiwara. Bahasa yang digunakan dalam sandiwara itupun belum menggunakan bahasa indonesia, namun masih menggunakan bahasa melayu.

Barulah beberapa tahun kemudian kelompok sandiwara mulai menggunakan bahasa indonesia. Akhirnya, kemerdekaan diraih oleh Bangsa Indonesia dan kelompok teater pun semakin mengalami perkembangan yang pesat. Begitu pula dengan teater daerah, seperti kelompok teater yang ada di Bandung. Awalnya digagas oleh Jim Lim, kemudian dilanjutkan oleh Suyatna Anirun yang bernama Studi Club Teater Bandung. “Sampai sekarang ada di Rumentang Siang, teaternya sangat realis dan formalis,” ujar Iman Soleh, dosen jurusan teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.

Iman menjelaskan, bahwa fungsi teater pada awalnya adalah sebagai alat ritual. “Teater tidak hanya hiburan, tetapi ritus untuk bersyukur kepada Tuhan,” ucap Iman. Namun, sesuai dengan perkembangannya, akhirnya fungsi tersebut semakin bergeser. Dewasa ini, pertunjukan teater

cenderung sebagai alat kontrol sosial.Hal senada diungkapkan oleh

Gusjur, menurutnya peralihan fungsi teater ini karena keadaan zaman yang semakin kompleks. Menurutnya dahulu orang hanya cukup mencari makanan dengan berburu, namun saat ini keadaan lebih rumit. Hingga akhirnya banyak terjadi kesenjangan sosial dan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari. “Akhirnya seniman merasa terpanggil untuk memperbaiki keadaan ini,” ucap Gusjur.

Sebagai kelompok seniman mahasiswa juga yang merasa mempunyai tanggung jawab terhadap keadaan sosial, Teater lakon yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mencoba menyajikan pertunjukan teater yang mengandung unsur kritik sosial. Rangga Rahadian, salah satu anggota teater lakon mengatakan, banyak realita sosial yang perlu dikritisi dan dibenahi.

Rangga menjelaskan, bahwa Teater Lakon dengan pertunjukan kritik sosialnya banyak meraih penghargaan. Diantaranya, juara I di Kompetisi Teater Indonesia tahun 2010 dan juara II Festamasio tahun 2011.

Begitu banyaknya kelompok teater yang ada di Indonesia, baik dari kalangan umum maupun mahasiswa, mereka tak pernah bosan menyuguhkan teater kritik sosial. Namun, apakah setiap pertunjukan mereka mendapat respon dari pihak-pihak yang dikritik?

BUDAYA

CINDY/ISOLA POS

DOK. TTM

Aktor TTM saat adegan kampanye salah satu kandidat kepala desa

Tokoh Dini dan Rahmat saat latihan untuk pagelaran Satru

32 | | November 2012

SERINGKAH Anda merasakan dinginnya Kota Bandung saat kabut datang perlahan ketika pagi?

Atau memerhatikan indahnya bangunan bersejarah di pinggiran jalan yang ramai? Meskipun di Bandung banyak hal yang perlu diperbaiki, namun selalu ada alasan untuk mencintai sebuah daerah, tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Hal itu juga yang diceritakan dalam film ini, tentang rasa cinta yang tak terbendung di pulau perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, Atambua, Nusa Tenggara Barat.

Saat itu, Jaoa (Guidino Soares) terus-menerus memutar kaset rekaman ibunya. Dalam rekaman itu, Ibunya meminta Ayah Jaoa pulang dan membawa Jaoa ke Liquica, Timor Leste. Kebimbangan pun hinggap dibenak Jaoa, antara rindu atau bertahan di perbatasan Indonesia.

Setiap hari Jaoa dengan sabar mengurus ayahnya, Ronaldo (Petrus Beyleto). Ia menghadapi sikap ayahnya yang sering mabuk-mabukan. Namun, ayahnya mabuk bukan tanpa alasan. Ia terlalu pusing memikirkan masalah. Salah satunya, terpisahnya Timor Leste dengan Indonesia.

Joao bukan hanya berpikir tentang ayahnya saja, namun Ia juga terpikir

Nikia, seorang perempuan remaja (Putri Moruk) yang saat ini kembali ke Atambua dan melaksanakan ritual duka untuk kakeknya yang meninggal. Nikia tinggal tidak jauh dari rumah Jaoa. Semakin hari, rasa cintanya semakin membuncah. Ketika Nikia akan kembali ke Kupang, Ia pun mengikutinya tanpa memedulikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Padahal, ayahnya baru saja keluar dari penjara akibat memukul tentara dengan botol. Hal itu Ia lakukan saat ditanyai tentang keterlibatannya membunuh saat kerusuhan yang terjadi akibat pemisahan antara Indonesia dan Timor (Timor Leste)

Setelah keluar dari penjara, Ronaldo pun pulang ke rumah dan melihat Jaoa tidak ada. Dengan segera Ia mencari tahu keberadaan Jaoa. Setelah mengetahui di mana Jaoa, Ronaldo pun menyusulnya ke Kupang, akhirnya Jaoa terpisah dengan Nikia. Jaoa dan Ronaldo menyusul keluarganya di Timor Leste dan menetap di sana. Meskipun begitu, Ia tak pernah melupakan Indonesia, yang selama ini Ia pertahankan dalam hati nuraninya.

Begitulah film ini merekam tentang cinta, baik terhadap tanah air dengan

segala masalah yang timbul serta cinta terhadap sesama manusia. Film yang disutradarai oleh Riri Riza, bercerita kisah sosial dengan latar sebuah pulau perbatasan yang indah dengan segala yang dimilikinya.

Ada hal yang menarik dalam film ini, yaitu ekplorasi penggunaan Bahasa Daerah Atambua dari awal sampai akhir cerita. Selain itu digambarkannya masyarakat sekitar seperti kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat Atambua. Di sanalah titik tekan kebudayaan yang digambarkan dalam film ini.

Meskipun begitu, ada kekurangan dalam film ini yaitu konflik yang kurang mengena dan terkesan terburu-buru sehingga terhenti sampai pada klimaks yang hambar. Misalnya, saat Ronaldo, ayah dari Jaoa ditanyai tentang kerterlibatannya atas pembunuhan yang terjadi karena referendum tahun 1999, saat Timor Leste memutuskan memisahkan diri. Penonton mengira ada kelanjutan yang dasyat, misalnya ingatan tentang kerusuhan ataupun penyelesaian atas kejadian tersebut. Namun, cerita tersebut tersendat saat Ronaldo mendapat hukuman penjara.

Selain itu, kisah dalam film ini banyak diverbalkan, bukan berupa adegan-adegan yang dihadirkan. Sehingga, terlalu singkat dan tak begitu jelas kronologis ceritanya.

Dalam film ini, ada hal yang bisa kita petik yaitu, rasa cinta terhadap Negara Indonesia. Meski kita berada di pulau manapun dan terpisahkan oleh letak geografis maupun kemerdekaan negara lain atas Indonesia, namun hati nurani tak pernah bisa dibohongi. Asal usul tak pernah berkilah di mana seseorang dibesarkan di tanah kelahirannya, begitulah film ini berpesan.

Terbebas dari hal itu, film ini bisa dijadikan rujukan tontonan Anda. Selamat menonton, selamat mengapresiasi atas karya putra dan putri bangsa!

Keyakinan yangtak Pernah Lenyap

… di sana aku melihat sebuah pulau yang ajaib/ saat matahari mulai terbenam/ kelelawar mulai pergi meninggalkan pulau itu/ mula-mula sedikit/ sedikit jadi banyak/ puluhan menjadi ratusan/ ratusan jadi ribuan/ langit gelap, tapi aku tidak takut/ gelap kala itu tak membuatku takut/ tapi menjadi keindahan/ aku menunggu kiriman berita kapan kau akan pulang/ ke pulau atambua/ (Ronaldo_Aktor Atumbua 39derajat)

Judul Film : Atambua 39° CelsiusSutradara : Riri RizaProduksi : Miles ProductionDurasi : 81 menit

kesekolah.com

RESENSIFILM

Oleh Julia Hartini

33November 2012 | |

INDONESIA pernah menjadi surga Candu pada abad ke- 17. Saat itu, satu dari dua puluh orang Jawa

merupakan pengisap candu. Masyarakat Jawa telah akrab dengan candu sampai-sampai pada masa itu candu selalu disajikan di rumah-rumah orang kaya, juga di kalangan pengembara, musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling, dan tukang-tukang upahan di perkebunan.

Dulu, untuk mendapatkan candu sangat mudah, karena ada campur ta-ngan dari pemerintah. Candu yang masuk ke Indonesia merupakan ha sil kongkalingkong pemerintah ko lo nial dengan masyarakat Hin dia Belanda pada masa itu.

Candu atau opium itu sendiri di jual secara resmi oleh para Kolonial. Di mana pemerintah Kolonial bekerjasama dengan para pengepak (orang yang berani membayar pajak untuk menjadi distributor opium). Para pengepak candu atau pemenang lelang penjualan

opium akan mendistribusikan candu itu ke masyarakat dan rata-rata para pengepak opium adalah orang China yang ada di Indonesia. Dari opium inilah bagaimana pemerintah kolonial mendapatkan pemasukan berjuta-juta gulden untuk membangun gedung-gedung dan fasilitas yang ada di kerajaan Belanda. Selain itu pendapatan keuntungan dari penjualan candu juga digunakan untuk menambal keuangan yang kosong karena perang di Jawa (Perang Diponegoro).

Inilah kisah candu yang diceritakan oleh James R. Rush dalam bukunya Candu Tempo Doeloe. Candu Tempoe Doeloe yang berjudul asli Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 adalah buah karya James dalam peninggalan bahasa dan tersampainya kabar berita. Ditulis secara runtut berdasar kronik sejarah, buku ini membawa pembaca menelusuri sejarah candu yang masuk ke Hindia Belanda.

KongkalingkongCanduTempo Dulu

James mengajak pembacanya untuk merasakan betapa pada waktu itu candu begitu akrab dengan kehidupan orang-orang Jawa. Begitu detail dan runtutnya buku ini sehingga dapat membuat pembaca merasakan akan kedasyatan candu yang dimonopoli Belanda saat itu.

Buku ini begitu menarik untuk dibaca, khususnya bagi mereka penyuka sejarah. Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa ikut diulas di sini. Salah satunya kerajaan Diponegoro yang pernah mengalami krisis ekonomi.

Selanjutnya James R. Rush menggambarkan sejarah panjang yang penuh dengan cerita manis-pahitnya candu. Hal tersebut dilengkapi dengan foto dan cerita bagaimana mereka mengisap candu dan menikmatinya, sehingga pembaca dapat berimajinasi tentang bagaimana realitas masyarakat pengisap candu di Jawa antara tahun 1860-1910 dan bagaimana China menguasai pasar distributor candu atau opium tersebut.

Namun, penggunaan bahasa yang terlalu rumit menjadi kelemahan Candu Tempo Doeloe. Ditulis dalam bahasa terjemahan membuat pembaca sulit untuk mengerti. Dalam buku ini banyak ditemukan bahasa asing yang dapat membuat pembaca gamang menemukan makna kata tersebut, seperti bahasa kata Cochin, afdeling, Bencon dan lain-lain.

Terlepas dari itu, dengan membaca buku ini kita menjadi tahu bagaimana jahatnya candu yang telah memperdaya manusia pada zaman dahulu. Dimana setiap orang yang menghisap candu ini maka si pengisap itu akan terbuaian dengan kenikmatan sesaat. Buku Candu Tempoe Doeloe ini mengajak kita untuk meninggalkan barang laknat bernama Candu atau sekarang populer dengan nama Narkoba!

RIFQI/ISOLA POS

RESENSIBUKU

Judul:Candu Tempoe Doeloe Penyusun:James R. Rush

ISBN:978-602-9402-10-0Terbit:Juni 2012

Penerbit:Komunitas Bambu

Ukuran:15,5 x 24 cm

Halaman:295

Oleh Rifqi Nurul Aslami

34 | | November 2012

TI D A K K A H “pasar” adalah sebuah tempat

di ma na kesendirian se-benarnya justru hadir: kebersamaan yang s e m u, per jum pa an ya n g se men tara dan hanya ber langsung di per mukaan, per te-mu an antara se jum-lah penjual de ngan se jumlah pembeli, yang masing -masing per tama-tama hanya memikirkan bagai-mana kebutuhan sen-diri dipenuhi?

Itu ungkapan Nietz-che , disitir Goenawan Mo-ham mad dalam esainya berjudul Zarathustra di Te ngah Pasar. Tulisan ini tak hendak membahas esai itu, atau menceritakan Nietzsche sang pembunuh Tuhan. Namun, hanya mengorek sisa-sisa makna “pasar” yang biasa ditelinga kita. Kadang pasar, betapapun biasanya, dapat melahirkan aura kebebalan yang menjadikan semua tak biasa.

Memaknai pasar, berarti rela menceburkan diri pada situasi penuh muslihat dan penuh kemunafikan yang lugu. Betapa tidak, di pasar, di mana kita menemukan sebuah hubungan manusia yang disederhanakan menja-di sebuah kepentingan. Disana ka-da ng Tuhan mati dengan sendirinya. Digantikan Tuhan baru berupa lembaran berderet angka dan bertuliskan rupiah. Ya, ang seketika menjadi tajam, sampai dapat membunuh tuhan. Jika kejujuran adalah setetes percikan Tuhan, uang dengan keadidayaan pasif membunuhnya ketika di pasar.

Hanya di pasar, yang menjadikan perjumpaan hanya berlangsung diper-mukaan. Sebuah arti sosial, rontok digerus habis oleh persaingan dagang. Tak perlu susah-susah mencari arti keadilan saat dipasar, keadilan hanyalah bagian dari becek yang terinjak: ada

namun tak dipedulikan. Bahkan kadang, di pasarlah keadilan menjadi sebuah lumpur kotor yang muak untuk diperbincangkan.

Di pasar, “banyak orang” bisa menjadi dua makna. Pertama, hanya sebuah kerumitan. Kedua, sebuah keuntungan. Makna yang mana dipilih: tergantung kepentingan. Keduanya tak ada yang berarti dalam makna yang lebih tinggi. Kerumitan tak pernah menyelesaikan permasalahan. Keuntungan tak pernah berarti sebuah jawaban. Yang menjadi jembatan hanyalah satu hal : Nurani! Tapi adakah wujud nurani saat di pasar?

Hanya di pasarlah keuntungan pribadi menjadi raja dari semua fikiran. Picik tak perlu lagi disembunyikan. Begitu digdayanya wujud ini, sehingga jongko sayuran pun dapat dengan mudah menjual smart phone atau komputer jinjing. Asalkan konsumen membutuhkan, tak peduli lagi jati diri. Semua dapat saja dengan cepat menjadi toko kelontongan. Serba ada, serba dibutuhkan, serba keuntungan.

Pasar, Ya! Sebuah tempat dimana kekotoran dengan mudah disamarkan menjadi kemewahan. Kemunafikan menjadi begitu religius. Tipuan menjadi

sebuah metode ampuh. Juga dimana sebuah kecurangan dianggap sebagai lifestyle yang tak perlu diperdebatkan. Saking basinya, saking biasanya, saking kadaluarsanya.

Apa jadinya jika model hidup pasar ada di sebuah lembaga penghasil sarjana? Tidakkah pertemuan, s e m i n a r - s e m i n a r, lokakarya, simposium bahkan perkuliahan hanyalah menjadi semu yang sementara dan hanya berlangsung dipermukaan? Tiada makna, tiada hakikat.

Akankah keshalehan calon sarjana menjadi hilang? Tuhannya berganti dengan uang, Tuhannya berganti dengan kepentingan dan ambisi pribadi yang hanya mengejar keuntungan. Egoisme adalah harga mati. Idealisme hanyalah becek yang menjadi muak untuk diperbincangkan. Keadilan adalah wacana tanpa makna, retorika tanpa perwujudan.

Jika universitas menjadi pasar, akankah banyak mahasiswa hanyalah bagian dari kerumitan? Bukan bagian dari jalan keluar, tak lagi jadi agen perubahan. Atau hanyalah segerombolan pencari keuntungan yang tak lagi peduli pada kejujuran. Sarjana jauh dari nurani, sarjana hanya penjajah baru rakyat sendiri. Atau bahkan, hanya penganggur berpengetahuan?

Akankah diam, jika kampus menjadi pasar? Yang tak lagi peduli pada jati diri, tak ingat kenapa ia harus berdiri. Menjadi toko kelontong! Fakultas menjadi toserba: asalkan banyak peminat, jurusan apa saja siap dibuka. Tak peduli lagi identitas, yang ada hanyalah keuntungan.

Apakah kita belajar? Atau hanya dipasar?

PASAROleh Isman R Yoezron

KOLOM

34 | | Nopember 2012

35November 2012 | |

[ ]ZOOM

35November 2012 | |

ABAIOleh Cindy Mutiaratu

SUSAHNYA jadi papan, dapat tugas berat menegakkan peraturan tetapi berbicara pun tak dapat. Sudah bisu, dilumpuhkan pula oleh pengabaian. Kalimat-kalimat yang dituliskan pun sekadar ancaman belaka. Dapat dilihat, tapi tidak dapat didengar, apalah gunanya? Telinga tidak dapat memilih apa yang

hendak didengar, tetapi pandangan dapat dialihkan. Mudah saja mengabaikan papan yang bisu.Tidak ada yang membela sang papan bisu. Orang yang menancapkannya pun mengabaikannya setelah

memasangnya. “selesai sudah tugasku,” ucap sang penancap setelah papannya terpasang dengan rapi.Tetapi papan itu tidak sendiri, di luar sana masih banyak papan-papan terabai, berusaha meraung

melawan pengabaian tetapi tak berdaya. Menyaksikan pengabaian yang diabaikan dalam keheningan.