Upload
others
View
33
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ENDOSIMBION PADA KARANG PORITES
SEHAT DAN TERINFEKSI WHITE SYNDROME DI PERAIRAN KONDANG MERAK –
MALANG SELATAN
SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Oleh :
MIRANTI HERDIUTAMI
NIM. 135080600111077
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ENDOSIMBION PADA KARANG PORITES
SEHAT DAN TERINFEKSI WHITE SYNDROME DI PERAIRAN KONDANG MERAK –
MALANG SELATAN
SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kelautan (S.Kel)
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Universitas Brawijaya
Oleh :
MIRANTI HERDIUTAMI
NIM. 135080600111077
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ENDOSIMBION PADA KARANG
PORITES SEHAT DAN TERINFEKSI WHITE SYNDROME DI PERAIRAN KONDANG MERAK –
MALANG SELATAN
Nama Mahasiswa : MIRANTI HERDIUTAMI
NIM : 135080600111077
Program Studi : Ilmu Kelautan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : FENI IRANAWATI,S.Pi.,M.Si.,Ph.D
Pembimbing 2 : MULIAWATI HANDAYANI,S.Pi.,M.Si
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : OKTIYAS MUZAKY LUTHFI,ST.,M.Sc
Dosen Penguji 2 : RARASRUM DYAH K,S.Kel.,M.Sc.,M.Si
Tanggal Ujian : 23 Oktober
i
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ENDOSIMBION PADA
KARANG PORITES SEHAT DAN TERINFEKSI WHITE
SYNDROME DI PERAIRAN KONDANG MERAK – MALANG
SELATAN
Nama Mahasiswa : MIRANTI HERDIUTAMI
NIM : 135080600111077
Program Studi : Ilmu Kelautan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : FENI IRANAWATI,S.Pi.,M.Si.,Ph.D
Pembimbing 2 : MULIAWATI HANDAYANI,S.Pi.,M.Si
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : OKTIYAS MUZAKY LUTHFI,ST.,M.Sc
Dosen Penguji 2 : RARASRUM DYAH K,S.Kel.,M.Sc.,M.Si
Tanggal Ujian : 23 Oktober 2017
ii
PERNYATAAN ORIGINALITAS
Dengan ini, saya yang bernama dibawah ini:
Nama : Miranti Herdiutami
NIM : 135080600111077
Angkatan : 2013
Program Studi: Ilmu Kelautan
menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini benar-benar hasil dari
penelitian dan pemikiran yang saya lakukan sendiri. Sepanjang pengetahuan saya
tidak pernah terdapat tulisan, pendapat, atau karya orang lain yang pernah diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam kutipan sebagai literatur dalam skripsi ini
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Apabila pada kemudian hari terbukti atau
dapat dibuktikan bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiasi, maka saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut, sesuai dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
Penulis,
Miranti Herdiutami
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Miranti Herdiutami
NIM : 135080600111077
Tempat / Tgl Lahir : Bandung / 27 Desember 1995
No. Tes Masuk P.T. : 1133410790
Jurusan : Manajemen Sumberdaya Perairan / Pemanfaatan
SumberdayaPerikanan dan Kelautan / Sosial Ekonomi
Perikanan dan Kelautan *)
Program Studi : Ilmu Kelautan
Status Mahasiswa : Biasa / Pindahan / Tugas Belajar / Ijin Belajar
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan *)
Agama : Islam
Status Perkawinan : ( Sudah Kawin / Belum Kawin *)
Alamat : Jl. Permata Tamansari I No. 12 RT.03 / RT.11 Arcamanik -
Bandung
RIWAYAT PENDIDIKAN
No Jenis Pendidikan Tahun
Keterangan Masuk Lulus
1 S.D 2001 2007 SD Santo Yusup 2
2 S.L.T.P 2007 2010 SMP Santo Yusup
3 S.L.T.A 2010 2013 SMA Santa Maria 2
4 Perguruan Tinggi ..........
5 Perguruan Tinggi (Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan)
2013 2017 Universitas Brawijaya
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian hingga penyusunan Skripsi ini tidak
akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT yang telah menghendaki serta selalu me-Ridhoi penulis dari mulai
perencanaan pelaksanaan penelitian hingga penyusunan Skripsi ini berlangsung.
2. Keluarga penulis (Mamah, Bapak, Mas, Adik) yang me-Ridhoi setiap langkah
penulis dan mendoakan penulis meskipun terpaut jarak yang cukup jauh.
3. Ibu Feni Iranawati,S.Pi.,M.Si.,Ph.D selaku dosen pembimbing I penulis yang telah
membimbing penulis sejak penyusunan proposal hingga penyusunan Skripsi dan
tak henti-hentinya memberikan masukan, bimbingan dan semangat secara moril.
4. Ibu Muliawati Handayani,S.Pi.,M.Si selaku dosen pembimbing II penulis yang telah
membimbing, memberi arahan dan masukan positif bagi penulis sejak penentuan
topik, penyusunan proposal hingga penyusunan skripsi
5. Saudara/i saya tercinta Mayda Ria, Arizal Mahendra, Rifki N, Yusuf, Nyoman, Feri,
Puspa Khaerani, Seananda Firly, Mutiara Nurul, Zefanya N, Sanido P, Fikerman L,
Haris Maulana, dan teman-teman Ilmu Kelautan 2013 ATLANTIK yang telah
membantu penulis dalam menghadapi masa-masa sulit selama melaksanakan
penelitian maupun selama penyusunan skripsi.
Serta pihak-pihak lain yang turut serta membantu penulis selama pelaksanaan
penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih. Penulis
tidak dapat membalasnya selain dengan doa, semoga semua pihak yang telah
membantu penulis diberikan balasan oleh Allah SWT.
v
ABSTRAK
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ENDOSIMBION PADA KARANG PORITES SEHAT
DAN TERINFEKSI WHITE SYNDROME DI PERAIRAN KONDANG MERAK MALANG
SELATAN
Miranti Herdiutami1, Feni Iranawati1, Muliawati Handayani1
Terumbu Karang ialah suatu bagian dari organisme bawah laut yang banyak
berasosiasi dengan berbagai makhluk hidup dan mudah untuk terinfeksi oleh bakteri yang
menyebabkan terjadinya suatu syndrome. Bakteri dapat bersimbion dan salah satunya menjadi
penyebab White Syndrome (WS) yang menjadikan karang memiliki bercak berwarna putih
pada skeletonnya dan hilangnya sebagian jaringan hidup pada polyp karang. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui nilai prevalensi White Syndrome (WS), dan mengisolasi serta
mengidentifikasi bakteri yang bersimbion pada karang yang terinfeksi White Syndrome di
Perairan Kondang Merak – Malang Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan mulai dari
studi lapang, pendekatan Mikrobiologi, dan pendekatan Molekular yang dilakukan di
laboratorium. Hasil dari penelitian diketahui bahwa nilai prevalensi White Syndrome pada
stasiun 1 sebesar 37%, dan pada stasiun 2 sebesar 18%. Uji aktivitas daya hambat antara
bakteri dari sampel karang sehat dalam melawan bakteri dari sampel karang terinfeksi WS
menunjukkan zona bening terbesar pada sampel D 1.1 dengan H 1.1. Rata-rata nilai zona
bening dalam waktu inkubasi 1 x 24 jam hingga 4 x 24 jam ialah sebesar 5 mm, 4,5 mm, 4,5
mm, dan 4 mm, dan keduanya tergolong pada gram bakteri positif. Hasil molekular
menunjukkan bahwa isolat bakteri D1.1 653 (bp) 81% anggota Vibrio azureus (accession
number gi|1032655614KU845391.1), dan isolat H1.1 359 (bp) 98% adalah anggota
Streptomyces sp. (accession number GiJ1032528973JKX 279646.1).
ABSTRACT
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF ENDOSIMBIONT BACTERIA ON HEALTH AND
INFECTED BY WHITE SYNDROME ON PORITES AT KONDANG MERAK BEACH – SOUTH
MALANG
Miranti Herdiutami1, Feni Iranawati1, Muliawati Handayani1
Coral reef is consortium of reef and others marine organisms, which is have high risk
to infect diseases. White Syndrome is one of the disease would infect by bacteria. It caused
losses tissue and white spot color on their skeleton. This research aims to determine
prevalence WS, to isolate and to identify symbiont of bacteria caused WS disease in Porites sp.
at Kondang Merak Beach – South Malang. Method are devided into three step, 1). Field
sampling to calculate prevalence and collect sample, 2) microbiology to culture bacteria, 3).
Molecular approach to identify bacteria which is causing and potential antibacterial of WS using
16rRNA. Prevalence of WS show that 37% at station 1 and 18% at station 2. Challenge test
between bacteria from heath and disease bacteria determined from size of inhibit zona. Isolate
D 1.1 and H 1.1 are pairs of isolate which have largest inhibit zone on 24 – 96 hours
approximatelly 5; 4.5; 4.5, and 4 mm and both of them is include on positive gram bacteria.
Molecular approach successfully to sequence 653 bp from D 1.1 in 81% similarity with Vibrio
azureus (accession number gi|1032655614KU845391.1) and 359 bp from H 11 in 98%
similarity with Streptomyces sp. (accession number GiJ1032528973JKX 279646.1).
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan judul “Isolasi dan Identifikasi Bakteri Endosimbion pada Karang Porites
Sehat dan Terinfeksi White Syndrome di Perairan Kondang Merak – Malang
Selatan”. Skripsi ini disusun secara sistematis sebagai berdasarkan pelaskanaan
penelitian skripsi untuk mengetahui tahapan maupun prosedur kerja dalam isolasi dan
identifiksai secara mikrobiologi molekular penyebab syndrome pada Terumbu Karang
White Syndrome di Perairan Kondang Merak, Malang Selatan – Jawa Timur.
Semoga skripsi yang telah disusun ini dapat dipergunakan sebagai acuan,
petunjuk maupun pedoman dalam pelaksanaan penelitian skripsi penulis. Penulis
mengucapkan terima kasih semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini hingga pelaksanaan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Apabila
terdapat kata – kata yang kurang berkenan, baik dari segi isi maupun penulisan,
penulis memohon maaf. Semoga skripsi ini menjadi ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Malang, 6 Juli 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Isi Halaman
IDENTITAS TIM PENGUJI ........................................................................................... 3
PERNYATAAN ORIGINALITAS .....................................................................................i
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................................. iii
ABSTRAK .....................................................................................................................v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xi
1. PENDAHULUAN ....................................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang .................................................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Pendekatan Masalah ........................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penelitian ................................................. Error! Bookmark not defined.
1.4 Manfaat Penelitian ............................................... Error! Bookmark not defined.
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................... Error! Bookmark not defined.
2.1 Kondisi Karang di Perairan Kondang Merak ....... Error! Bookmark not defined.
2.1.1 Ekologi dan Parameter lingkungan bagi Karang ........... Error! Bookmark not
defined.
2.2 White Syndrome .................................................. Error! Bookmark not defined.
2.3 Bakteri endosimbion penyebab syndrome karang Error! Bookmark not defined.
2.3.1 Morfologi bentuk bakteri ................................ Error! Bookmark not defined.
2.4 Uji aktivitas daya hambat pada bakteri penyakit karang dengan metode difusi
kertas cakram....................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5 Identifikasi morfologi bakteri dengan teknik pewarnaan gramError! Bookmark not defined.
2.5.1 Perbedaan bakteri gram positif dan negatif ... Error! Bookmark not defined.
2.6 Identifikasi bakteri secara molekular .................... Error! Bookmark not defined.
3. METODE PENELITIAN ............................................. Error! Bookmark not defined.
viii
3.1 Lokasi Penelitian ................................................. Error! Bookmark not defined.
3.2 Waktu Penelitian ................................................. Error! Bookmark not defined.
3.3 Diagram Alir Penelitian ........................................ Error! Bookmark not defined.
3.4 Metode Penelitian ................................................ Error! Bookmark not defined.
3.5 Alat dan Bahan Penelitian ................................... Error! Bookmark not defined.
3.5.1 Alat ............................................................... Error! Bookmark not defined.
3.5.2 Bahan ........................................................... Error! Bookmark not defined.
3.6 Variabel dan rancangan sampel penelitian .......... Error! Bookmark not defined.
3.7 Prosedur Penelitian .............................................. Error! Bookmark not defined.
3.7.1. Survey Lokasi Penelitian dan Penentuan Titik Sampling ... Error! Bookmark
not defined.
3.7.2. Metode pengambilan data dan sampel......... Error! Bookmark not defined.
3.7.4. Sterilisasi Alat dan Bahan ............................ Error! Bookmark not defined.
3.7.5. Studi Mikrobiologi ......................................... Error! Bookmark not defined.
3.7.6 Studi Molekular ............................................. Error! Bookmark not defined.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
4.1 Prevalensi penyakit White Syndrome .................. Error! Bookmark not defined.
4.2 Data pendukung parameter perairan Perairan Kondang MerakError! Bookmark not defined.
4.3 Studi Mikrobiologi ................................................ Error! Bookmark not defined.
4.3.1 Hasil isolasi bakteri karang sehat dan terinfeksi White Syndrome .........Error!
Bookmark not defined.
4.3.2 Hasil uji aktivitas daya hambat dengan metode difusi kertas cakram ...Error!
Bookmark not defined.
4.3.3 Karakterisasi hasil pewarnaan strain gram bakteri ....... Error! Bookmark not
defined.
4.4 Studi Molekular .................................................... Error! Bookmark not defined.
4.4.1 Hasil sequencing dan BLAST ........................ Error! Bookmark not defined.
4.4.2 Pohon Filogenetik kekerabatan isolat bakteri Error! Bookmark not defined.
5. PENUTUP ................................................................. Error! Bookmark not defined.
5.1 Kesimpulan ......................................................... Error! Bookmark not defined.
5.2 Kendala dan Saran .............................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ...................................................... Error! Bookmark not defined.
LAMPIRAN ................................................................... Error! Bookmark not defined.
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Karang Porites ............................................ Error! Bookmark not defined.
Gambar 2. White Syndrome pada karang Massive ....... Error! Bookmark not defined.
Gambar 3. White Syndrome pada karang Branching .... Error! Bookmark not defined.
Gambar 4. Penyakit Karang dan Patogen Penyebabnya. ............ Error! Bookmark not
defined.
Gambar 5. Jenis morfologi bentuk, ukuran, elevasi, dan margin bakteri ................Error!
Bookmark not defined.
Gambar 6. Zona bening hasil uji antimikroba dengan difusi agar. Error! Bookmark not
defined.
Gambar 7. Peta lokasi pengambilan sampel ................. Error! Bookmark not defined.
Gambar 8. Diagram alir penelitian ................................. Error! Bookmark not defined.
Gambar 9. Transek yang akan digunakan .................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 10. Sampel karang terinfeksi White Syndrome Error! Bookmark not defined.
Gambar 11. Pengamatan hasil penanaman isolat dominan ......... Error! Bookmark not
defined.
Gambar 12. Perbandingan morfologi isolat bakteri ukuran small, large, moserate.
..................................................................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 13. Morfologi bentuk spindle, circular, dan irregular ...... Error! Bookmark not
defined.
Gambar 14. Perbandingan isolat elevasi flat dan raised Error! Bookmark not defined.
Gambar 15. Perbandingan margin isolat lobate, entire, serate, dan undulate .......Error!
Bookmark not defined.
Gambar 16. Hasil uji daya hambat dengan zona bening terbesar Error! Bookmark not
defined.
x
Gambar 17. Elektroforegram baik hasil sequence isolat D.1.1 ..... Error! Bookmark not
defined.
Gambar 18. Elektroforegram baik hasil sequence isolat H.1.1 ..... Error! Bookmark not
defined.
Gambar 19. Pohon filogenik kekerabatan isolat D 1.1 ... Error! Bookmark not defined.
Gambar 20. Pohon filogenik kekerabatan isolat D 1.1 ... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Jenis – jenis pathogen yang menyebabkan penyakit pada karang ..........Error!
Bookmark not defined.
Tabel 2. Perbedaan sifat bakteri gram positif dan negatif ............. Error! Bookmark not
defined.
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam penelitian ............ Error! Bookmark not defined.
Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam penelitian ......... Error! Bookmark not defined.
Tabel 5. Rancangan variabel kode sampel ................... Error! Bookmark not defined.
Tabel 6. Hasil pengukuran nilai absorbansi ................... Error! Bookmark not defined.
Tabel 7. Data prevalensi penyakit karang White Syndrome di lokasi stasiun
pengambilan sampel ...................................... Error! Bookmark not defined.
Tabel 8. Data hasil pengukuran nilai parameter ........... Error! Bookmark not defined.
Tabel 9. Data hasil pengamatan morfologi isolat bakteri Error! Bookmark not defined.
Tabel 10. Tabel nilai rata-rata aktivitas daya hambat ( standar deviasi) dengan
metode difusi kertas cakram ........................ Error! Bookmark not defined.
xi
Tabel 11. Hasil karakterisasi pewarnaan gram bakteri positif dan negatif .............Error!
Bookmark not defined.
Tabel 12. Data hasil BLAST isolat bakteri target ........... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Dokumentasi ............................................. Error! Bookmark not defined.
Lampiran 2.Data bentuk isolasi isolat dominan ............. Error! Bookmark not defined.
Lampiran 3. Data perhitungan uji daya hambat bakteri . Error! Bookmark not defined.
Lampiran 4. Hasil pengamatan pewarnaan gram bakteri ............. Error! Bookmark not
defined.
Lampiran 5. Hasil BLAST isolat bakteri H1.1 ................ Error! Bookmark not defined.
Lampiran 6. Hasil BLAST isolat bakteri H1.1 ................ Error! Bookmark not defined.
12
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang merupakan salah satu komponen ekologi bawah laut yang
kadangkala diibaratkan sebagai ekosistem hutan hujan tropis dimana merupakan
salah satu ekosistem bawah laut yang paling beragam, produktif dan memiliki
keindahan yang khusus di dunia. Kondisi lingkungan tersebut di samping
menyebabkan tekanan pada ekosistem karang, juga dapat berpengaruh terhadap
sensitivitas inang dan meningkatnya virulensi pathogen. Perubahan kondisi
lingkungan justru lebih memungkinkan pathogen berkembang biak lebih cepat dan
meningkatkan kemampuan pathogen di dalam menginfeksi karang yang sensitif
menyebabkan munculnya penyakit pada karang (Soenardjo, 2013). Syndrome
karang dapat timbul dalam suatu ekosistem dikarenakan adanya sinergitas dari
“Triangle disease”, yaitu hubungan antara pathogen, lingkungan dan karang (Putra,
2014). Selain itu, Usman (2015) mengatakan bahwa bakteri di perairan laut dapat
mendiami seluruh bagian laut mulai dari permukaan laut hingga dasar baik hidup
bebas maupun bersimbioni dengan organisme. Menurut Hazrul (2016), munculnya
syndrome pada karang salah satunya disebabkan oleh interaksi antara host atau
inang dalam biota karang, agen / pembawa yang bersifat pathogen juga bagi
lingkungan.
Menurut Richardson (2017), beberapa penyakit karang baru dilaporkan
terjadi di beberapa lokasi pada tahun 1990-an. Penyakit tersebut antara lain Red
Band (RBD), White Band Tipe-II (WBD-II), White Plague Tipe-II (WP-II), Yellow
2
Blotch (YBS), Dark Spot (DSD), White Pox (WPX), Aspergillosis (ASP) dan Patchy
Nekrosis (PNE). Penyakit White Syndrome menyebar secara cepat oleh asosiasi
dari bakteri hingga di Perairan Caribean. Penyakit WS ini menyerang karang melalui
jaringan yang utuh hingga jaringan karang yang sedang terluka (Gignoux-Wolfsohn,
2012). Berbeda dengan gangguan pada karang lainnya, White Syndrome dapat
diketahui melalui identifikasi secara visual yang dimana terdapat bagian bercak
berwarna putih secara jelas yang memisahkan antara jaringan yang hidup dan
jaringan mati secara pada karang (Lentz, 2011). Di era globalisasi ini, dengan
semakin menurunnya kualitas perairan, White Syndrome pada karang mulai banyak
ditemukan salah satunya di Perairan Kondang Merak – Malang Selatan
Pantai Kondang Merak yang terletak di Kecamatan Bantur, Kabupaten
Malang Selatan merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki potensi bagi
habitat terumbu karang. Menurut Nugraha (2017), tutupan karang di perairan
Kondang Merak tersebar pada jarak >50 meter dari garis pantai dengan variasi suhu
27o – 29o C. Terdapat daerah tidak ditemukan karang dan tergantikan oleh alga, dan
diduga terjadi kompetisi secara ruang antara karang dengan alga sehingga
berpotensi untuk meningkatkan tingkat penyakit serta kerusakan pada karang di
Perairan Kondang Merak.
Bakteri yang bersimbion dengan karang telah banyak dikarakterisasi dan
diketahui beberapa berpotensi sebagai sumber kimia bahan hayati laut, terutama
setelah diketahui permukaan karang lebih kaya akan nutrisi daripada di sedimen dan
badan air. Informasi lebih lanjut menyebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa
bakteri-bakteri tersebut merupakan sumber metabolit sekunder untuk senyawa-
senyawa antibiotik baru (Sabdono dan Radjasa, 2006). Asosiasi bakteri dapat
menyebabkan penyakit karang yang merusak jaringan pada bagian karang, salah
3
satunya menyerang jaringan hidup pada karang (tissue loss). Analisa secara
mikrobiologi dan molekular menjadi suatu tahapan metode dalam menganalisa jenis
bakteri simbion pada karang sehat yang memiliki potensi menghambat pertumbuhan
bakteri dari karang terinfeksi White Syndrome. Hal ini dibuktikan dengan uji daya
hambat antibakteri menggunakan kertas cakram dan dilanjutkan dengan
karakterisasi melalui prinsip pewarnaan gram bakteri serta proses molekular.
Pendekatan molekular dimulai dari proses isolasi DNA, metode PCR yang
dilanjutkan hingga hasil sequencing serta dilakukan proses BLAST. Proses BLAST
(Basic Local Alignment Search Tools) dilakukan untuk mendapatkan informasi
genetik berupa homology kekerabatan dari jenis bakteri endosimbion pada karang
terkena Syndrome.
Penelitian ini menjadi cukup penting untuk mengetahui tingkat kerentanan
karang dari bakteri yang bersimbion pada karang sehingga menyebabkan White
Syndrome. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi genetik
dari bakteri yang bersimbion pada karang yang memiliki aktivitas daya hambat
dengan bakteri karang terinfeksi White Syndrome. Dalam hal ini, Perairan Kondang
Merak – Malang Selatan menjadi suatu lokasi yang tepat untuk dijadikan tempat
pengamatan serta pengambilan sampel pada karang yang terinfeksi White
Syndrome dan patahan karang yang masih sehat untuk dapat dijadikan suatu studi
pembandingan dalam kajian karakterisasi bakteri simbion pada karang yang
menyebabkan terjadinya WS.
1.2 Pendekatan Masalah
Syndrome pada karang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan
protozoa. Selain menyebabkan hilangnya jaringan karang, suatu syndrome karang
juga dapat menyebabkan perubahan yang signifikan pada tingkat reproduksi,
4
pertumbuhan, struktur komunitas, keanekaragaman spesies serta kelimpahan
organisme karang yang mengacu pada keadaan ekosistem terumbu karang
(Wangpraseurt, 2012). Pendekatan secara mikrobiologi dan molekular akan
memberikan gambaran tentang karakter serta jenis bakteri yang bersimbion dalam
karang. Pendekatan pada teknik mikrobiologi dikembangkan sebagai bentuk
pemahaman mendalam bakteri yang bersimbion pada karang mulai dari
dilakukannya ekstraksi sampel, penanaman pada media, peremajaan isolat murni,
uji aktivitas daya hambat hingga klasifikasi pewarnaan gram bakteri. Dalam
penelitian terapan selanjutnya dilakukan pendekatan pada teknik molekular untuk
mendapatkan materi dasar plasma dengan informasi genetik bakteri mulai dari
proses isolasi DNA hingga sequencing. Pada intinya, penelitian ini bertujuan untuk
mengisolasi dan identifikasi bakteri yang bersimbion pada karang yang sehat dan
terinfeksi White Syndrome.
Menurut Pichon (2014), Porites adalah Genus yang memiliki spesies
terbanyak setelah Acropora. Berdasarkan hasil survey dan studi literatur penulis,
diketahui bahwa karang jenis Porites cukup banyak ditemukan di perairan Kondang
Merak dan memiliki sistem adaptasi yang mudah serta rentan terhadap ancaman
serta gangguan. Genus Porites adalah salah satu jenis karang yang sering terinfeksi
penyakit karang dan memiliki sistem adaptasi yang cepat dengan lingkungan tempat
habitatnya dimana berperan sebagai bentuk ekosistem terumbu karang salah
satunya ialah mikroatol.
Adapun yang dijadikan sebagai rumusan masalah penelitian dalam skripsi ini
ialah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi kerusakan karang yang disebabkan oleh penyakit White
Syndrome pada karang Porites di perairan Kondang Merak ?
5
2. Apakah bakteri yang berasosiasi pada karang Porites sehat mampu
menghambat aktivitas bakteri endosimbion dari karang Porites yang terinfeksi
White Syndrome ?
3. Bagaimana mengidentifikasi bakteri berdasarkan prinsip pewarnaan gram serta
molekular dari bakteri karang Porites sehat dan karang Porites yang terjangkit
White Syndrome ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini ialah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kondisi kerusakan karang Porites yang terjangkit White Syndrome
melalui hasil perhitungan prevalensi di Perairan Kondang Merak.
2. Mengetahui daya hambat bakteri endosimbion dari karang Porites sehat
terhadap aktivitas bakteri endosimbion dari karang Porites yang terinfeksi White
Syndrome
3. Mengidentifikasi bakteri endosimbion dari karang Porites sehat dan yang
terinfeksi White Syndrome berdasarkan pewarnaan gram dan molekular.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
berupa:
1. Sebagai materi dasar penerapan bioteknologi di dalam upaya pemulihan
terumbu karang yang disebabkan oleh bakteri endosimbion pada karang.
2. Menyediakan referensi dalam skala metode mikrobiologi dan molekular
mengenai bakteri simbion pada karang yang terinfeksi syndrome.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Karang di Perairan Kondang Merak
Kondang Merak secara administratif masuk ke dalam wilayah Malang
Selatan yang mempunyai karakter pantai berbatu (rocky shore), dimana terhubung
langsung dengan Samudera Hindia dan berombak besar serta arus deras. Hal ini
sangat mungkin, dikarenakan perairan Kondang Merak berhubungan langsung
dengan Samudera Hindia. Perairan Kondang Merak merupakan sebuah teluk
dengan garis pantai sepanjang 3 km. Zonasi terumbu karang di wilayah Kondang
Merak tersebar di wilayah Back Reef, Reef Flat, Reef Crest Dan Reef Slope (Luthfi,
2016). Kondang Merak merupakan salah satu pantai di sebelah selatan Kabupaten
Malang yang landai dengan daerah pantai yang berpasir, dan berbatu dengan
keanekaragaman terumbu karang yang beranekaragam (Hazrul, 2016).
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu di Perairan Kondang Merak,
tidak menutup kemungkinan bahwa berbagai kerusakan dan syndrome pada Karang
terjadi hingga menghasilkan sebuah data prevalensi penyakit karang. Menurut
Priono and Satyani (2010), berbagai faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya
penyakit karang di antaranya disebabkan oleh faktor abiotik yaitu oleh temperatur,
sedimentasi, zat kimia, nutrien tidak seimbang, radiasi ultra-violet, dan faktor biotik
seperti predasi, kompetisi dengan alga, dan terinfeksi oleh bakteri. Penyakit yang
disebabkan oleh faktor biotik, agen etiologinya adalah makhluk hidup seperti
pathogen atau parasit. Banyak organisme yang hidup bersimbion dengan organisme
lain, di antaranya ada yang bersimbiosis mutualisme (saling menguntungkan) di
mana organisme mendapatkan nutrisi dari tubuh inangnya. Jika parasit dapat
menyebabkan penyakit dan kematian pada tubuh inangnya misalnya adanya virus,
7
bakeri, jamur dan protozoa (mikroparasit) serta metazoan seperti cacing helminthes
dan arthtopods (makroparasit).
Menurut Nugraha (2017), tutupan karang perairan Kondang Merak tergolong
buruk hingga sedang berkisar 0,4 - 9%. Hal ini berkaitan dengan tutupan alga pada
karang di Kondang Merak yang dikategorikan berbanding terbalik, dimana ketika
tutupan alga tinggi maka tutupan karang menunjukkan nilai rendah dan sebaliknya.
Berbagai gangguan yang sering terjadi pada karang di perairan Kondang Merak
yang paling mendoninasi ialah sedimentasi dan tutupan alga. Hal tersebut
dipengaruhi oleh kondisi hidrodinamika dan pasang surut di perairan Pantai
Kondang Merak yang membentuk Teluk. Berdasarkan studi lapang, gangguan
lainnya yang paling berpotensi bagi kerusakan karang di Kondang Merak ialah
Bleaching dan beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti Pink Line
Syndrome, White Syndrome dan Brown Band Disease. Berbagai biota yang
seringkali menjadi predator bagi karang ialah teritip (barnacle) dan worm yang
menyebabkan lubang-lubang pada polyp karang.
2.1.1 Ekologi dan Parameter lingkungan bagi Karang
Adapun menurut Suharsono (2008), karang Porites diklasifikasikan sebagai
berikut :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Ordo : Scleractinia (Madreporaria)
Famili : Poritidae
Genus : Porites (Sumber: Google images, 2017)
Gambar 1. Karang Porites
8
Porites merupakan salah satu genus dari karang batu (stony coral) biasa
juga dikenal dengan istilah karang SPS (small polyp stony) yang menjadi salah satu
ekologi yang mendominasi ekosistem Terumbu Karang. Genus Porites membentuk
karang batu yang sangat besar (massive), selain itu Porites juga berbentuk karang
branching, encrusting atau digitata. Memiliki polip (koralit) kecil (kurang dari 2 mm).
Genus Porites banyak tersebar di Indo-Pasifik dan Atlantik. Warna dominan krem,
kuning, coklat atau ungu.
Keberadaan faktor biotik dan abiotik dalam ekosistem terumbu karang adalah
bagian yang saling mempengaruhi. Hal ini berkaitan dengan strategi adaptasi karang
dengan bentuk pertumbuhan tertentu yang mempresentasikan dimana zonasi
karang berada. Bentuk pertumbuhan yang dimiliki karang adalah sebagai strategi
ekspansi untuk menguasai ruang baik secara vertikal maupun horizontal. Pada
terumbu karang di daerah tropis, pembentukan zonasi pertumbuhan vertikal
komunitas karang merupakan pola yang umum dijumpai. Hal ini merupakan toleransi
antar spesies karang terhadap faktor fisika perairan seperti gelombang, arus,
pasang surut, cahaya, temperatur, dan sedimentasi. Semua aspek tersebut adalah
faktor pembatas pertumbuhan karang dan mempengaruhi bentuk pertumbuhannya
(Luthfi, 2016).
Faktor pembatas keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan karang itu sendiri, berikut beberapa parameter pembatas
terumbu karang menurut Irwan, Kelvin, and Kamal (2012) adalah sebagai berikut:
1. Suhu, perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan
yang rata-rata suhu tahunannya 23-25°C, terumbu karang dapat mentoleransi
suhu 36- 40°C.
9
2. Kedalaman, terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih
dalam dari 50-70 m, kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman 25 m
atau kurang.
3. Cahaya, cahaya merupakan salah satu faktor yang paling penting yang
membatasi terumbu karang, cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis
oleh zooxanthella simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana, titik
kompensasi untuk karang merupakan kedalaman dengan intensitas cahaya
berkurang sampai 15- 20% dari intensitas di permukaan.
4. Salinitas, salinitas lingkungan terumbu karang hampir menyerupai tingkat
salinitas air laut yang normal, yakni 32-35‰.
5. Sedimen atau pengendapan, akibat sedimentasi atau pengendapan mempunyai
pengaruh negatif terhadap karang, endapan dalam air berakibat negatif, yaitu
mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae
dalam jaringan karang.
2.2 White Syndrome
Syndrome pada karang yang terjadi dimana menyerang jaringan karang
hingga berwarna putih salah satunya ialah White Syndrome. Berbeda dengan coral
bleaching, White Syndrome terjadi akibat hilangnya jaringan hidup (tissue loss) pada
polyp karang karena gangguan dari bakteri yang berasosiasi dilingkungan ekosistem
terumbu karang. Menurut Richardson (2017), tingkat jaringan karang yang hilang
pada White Syndrome sebesar 1/8 – ¼ inci/hari, dan rangka karang yang kosong
segera akan diganti dengan alga berfilamen. Bercak berwarna putih pada polyp
karang lebarnya dapat mencapai antara 5-10 cm.
White Syndrome pada karang terjadi banyak di laut Carribean pada tahun
1970an dan meningkat serta semakin menyebar hingga ke Samudera Hindia.
10
Diketahui bahwa White Syndrome terjadi disebabkan salah satunya oleh faktor
asosiasi pathogen yang menyerang mortalitas dan jaringan tissue pada karang
(Bruckner, 2009). White Syndrome banyak terjadi pada jenis karang Acropora.
Penyakit ini menyerang tidak pada seluruh bagian karang, namun hanya pada
sebagian bagian polyp karang yang memberi batasan antara jaringan karang yang
sehat dengan karang yang sudah mati. Jaringan karang yang tersisa pada cabang
tidak menunjukkan adanya pemutihan, walaupun koloni yfang terpengaruh secara
keseluruhan terlihat adanya goresan berwarna putih.
Menurut Raymundo (2008), White Syndrome mematikan jaringan hidup di
sekeliling karang dan meninggalkan kerangka karang yang berwarna putih. White
Syndrome diyakini disebabkan oleh bakteri pathogen yang belum diketahui, memiliki
pengaruh yang sama terhadap karang, dengan meninggalkan kerangka karang
berwarna putih yang mati. Syndrome ini menghancurkan struktur terumbu karena
kerangka koral yang mati yang dibawa alga kemudian dikoloni oleh alga,
invertebrata, jenis-jenis siput, dan spons cloinid yang membuat lubang dan
melemahkan kerangka karang, sehingga kerangka karang menjadi rapuh dan patah
saat badai terjadi. Contoh gambar dari White Syndrome dapat dilihat pada Gambar 2
dan Gambar 3 sebagai berikut.
Gambar 2. White Syndrome pada karang Massive
11
Gambar 3. White Syndrome pada karang Branching
(Sumber: Google images, 2017)
2.3 Bakteri endosimbion penyebab syndrome karang
Munculnya syndrome pada karang dicirikan dengan adanya perubahan
warna, kerusakan dari skeleton biota karang, sampai dengan kehilangan
jaringannya. Syndrome salah satunya merupakan faktor dari interaksi antara host
atau inang dalam biota karang, agen / pembawa yang bersifat pathogen juga bagi
lingkungan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penurunan kualitas
lingkungan perairan sangat berperan terhadap munculnya agen atau
mikroorganisme pembawa pathogen terhadap karang (Hazrul, 2016). Selain itu
sedimentasi, polusi yang ditimbulkan oleh limbah domestik, sampah, sampai dengan
air ballast yang masuk ke ekosistem terumbu karang berpotensi munculnya bakteri
pathogen pemicu terjadinya syndrome pada karang. Bakteri merupakan komunitas
agent (pathogen) yang hidup bersama dengan biota lain dan melakukan berbagai
interaksi yang paling penting dan mendasar dalam ekologi di lingkungan laut hingga
bersimbion didalamnya. Bakteri dapat mempengaruhi proses metabolism organisme
lain disekitarnya, oleh karena itu beberapa bakteri simbion memiliki kecenderungan
12
menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai pertahanan terhadap
patogen dan organisme fouling.
Menurut Santavy (2005), ketika terumbu karang mengalami luka pada bagian
koloninya maka karang akan mengeluarkan lendir yang disebut dengan Muccus dan
akan mengalami stress. Luka dan stress tersebut menyebabkan virus dan bakteri
mudah menyerang biota karang. Menurut Ritchie (1998), masuknya pathogen baru
ke wilayah ekosistem terumbu karang dapat dibawa oleh organisme laut yang lain.
Mekanisme ini dapat terjadi ketika organisme pembawa pathogen yang berasal dari
karang berpenyakit masuk atau berinteraksi dengan karang yang sehat. Selain itu,
pathogen yang masuk ke laut juga dapat terbawa melalui run-off dari darat, water
ballast dari kapal, debu dan pembuangan limbah.
Pengetahuan tentang komunitas mikrobia yang bersimbion dengan karang
masih sangat sedikit, dan sebagian besar penelitian yang sampai saat ini dilakukan
masih mengalami hambatan oleh keterbatasan teknik mikrobiologi tradisional yang
berbasis pada mikroskopi dan kultivasi (Soenardjo, 2013). Pendekatan secara
mikrobiologi akan memberikan gambaran tentang populasi bakteri yang bersimbion
dengan karang. Contoh bakteri simbion yang bertindak sebagai pathogen pada
syndrome karang hingga menyebabkan penyakit karang menurut (Raymundo 2008),
dapat dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut.
a. b.
13
c. d.
Gambar 4. Penyakit Karang dan Patogen Penyebabnya. Ket. (a.) Aurantimonas
coralicida (bacterium) Bakteri Penyebab Penyakit White Plague II pada
Diploria labyrinthiformis (b.) dan (c.) Vibrio carchariae (bacterium)
Bakteri Penyebab Penyakit (d.) White Syndrome pada Acropora
cervicornis (Sumber: Raymundo, 2008)
Menurut ICRI (2010), beberapa jenis pathogen yang menyebabkan penyakit
pada karang atau Coral Desease adapun dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis – jenis pathogen yang menyebabkan penyakit pada karang
No. Penyakit dan Lokasi Patogen Host
1. Bleaching (Mediterania Timur)
Vibrio shiloi Oculina patagonica
2. Bleaching dan lisis (Samudra Hindia dan Laut Merah)
Vibrio coralliilyticus Pocillopora damicornis
3. Aspergillosis (Karibia) Aspergillus sydowii Gorgonians (kipas laut)
4. White Syndrome (Karibia) Vibrio spp Acropora sp.
5. White plague (Karibia)
Aurantimonas coralicida
Beberapa jenis karang
6. White plague (Laut Merah)
Thalassomonas loyana
Beberapa jenis karang
7. White patches (Karibia)
Serratia marcescens
Acropora palmata
14
8. Yellow band disease (Karibia dan Laut Merah)
Vibrio spp.
Montastrea spp.
9. Black band disease Konsorsium Beberapa jenis karang
2.3.1 Morfologi bentuk bakteri
Bakteri termasuk dalam golongan prokariota yang strukturnya lebih
sederhana dari eukariota. Morfologi bakteri dapat dibagi ke dalam 3 bentuk utama,
yaitu kokus, batang, dan spiral. Dengan diameter umumnya 1 – 10 um, bakteri jenis
pathogen biasa tumbuh baik pada suhu 37oC. Bakteri dapat ditumbuhkan dalam
suatu medium agar dan akan membentuk penampakan berupa koloni. Koloni sel
bakteri merupakan sekelompok masa sel yang dapat dilihat dengan mata langsung.
Semua sel dalam koloni itu sama dan dianggap semua sel itu merupakan keturunan
(progeny) satu mikroorganisme dan karena itu mewakili sebagai biakan murni.
Penampakan koloni bakteri dalam media lempeng agar menunjukkan bentuk dan
ukuran koloni yang khas, dapat dilihat dari bentuk keseluruhan penampakan koloni,
tepi dan permukaan koloni. Koloni bakteri dapat berbentuk bulat, tak beraturan
dengan permukaan cembung, cekung atau datar serta tepi koloni rata atau
bergelombang dan sebagainya. Pada medium agar miring penampakan koloni
bakteri ada yang serupa benang (filamen), menyebar, serupa akar dan sebagainya
(Cervino et al.,2008).
Menurut Dwidjoseputro (1981), penjelasan mengenai bentuk morfologi
bakteri adalah sebagai berikut:
1 Ukuran. Mengacu berdasarkan ukuran bakteri pada cawan petri yang telah
ditanam pada media, ukuran bakteri terbagi kedalam titik (pinpoint), kecil
(small), sedang (moderate), dan besar (large).
15
2 Form (bentuk), mengacu kepada bentuk dari suatu koloni bakteri, yaitu
melingkar (circular), tidak menentu (irregular), benang (filamentous),
memanjang (spindle), dan berakar (rhizoid). Form tersebut adalah bentuk-
bentuk dari koloni bakteri yang mungkin akan sering kita jumpai.
3 Elevasi. Untuk mendeskripsikan tampak samping dari suatu koloni. Jenis
elevasi adalah rata (flat), timbul (raised), timbul dan memiliki tonjolan kecil
(unbonate), dan cembung (convex).
4 Margin. Margin atau tepi suatu koloni juga merupakan karakteristik yang penting
dalam mengidentifikasi suatu organisme. Margin dari suatu bakteri antara lain
penuh (entire), bergelombang (undulate), berlekuk (lobate), keriting (curled),
dan seperti kawat (filiform).
Adapun gambar dari jenis-jenis ukuran, bentuk, elevasi, dan margin bakteri
yang dapat diamati seperti pada Gambar 5.
Sumber: (Dwidjoseputro, 1981)
Gambar 5. Jenis morfologi bentuk, ukuran, elevasi, dan margin bakteri
16
2.4 Uji aktivitas daya hambat pada bakteri penyakit karang dengan metode
difusi kertas cakram
Penelitian mengenai uji daya hambat antara isolat bakteri dari karang sehat
dengan isolat bakteri dari karang sakit bertujuan untuk mengetahui potensi aktivitas
daya hambat antar bakteri dengan prinsip uji antibakteri. Hal ini dibuktikan dengan
tingkat kemunculan zona bening dengan metode difusi kertas cakram. Menurut
Brock, Thomas D, and Madigan (2004), pengujian antibakteri adalah teknik untuk
mengukur berapa besar potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan
efek bagi mikroorganisme yang dimana menggunakan prinsip metode difusi.
Metode difusi adalah salah satu metode pengujian kerentanan bakteri
terhadap antimikroba atau sering juga dinamakan uji daya hambat. Metode ini
digunakan untuk menetukan resistensi atau sensivitas bakteri aerob dan fakultatif
anaerob terhadap bahan kimia tertentu. Metode difusi agar dilakukan dengan bahan
uji yang telah dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dimasukkan kedalam sumuran
atau diteteskan pada paper disk. Kemudian ditanam dalam medium padat yang telah
berisi mikroba uji. Setelah inkubasi diamati adanya zona bening di sekitar sumuran
atau paper disk. Kemampuan bahan uji menghambat bakteri uji ditandai dengan
terbentuknya zona jernih disekitar cakram uji dan dievaluasi : >20 mm (strong
inhibition), 5-10 mm (moderate inhibition) and <5 mm (weak inhibition) (Pelczar,
1998). Hasil dari cara kerja tersebut dapat dilihat pada Gambar.6.
17
Gambar 6. Zona bening hasil uji antimikroba dengan difusi agar.
Penggunaan zat atibiotik dapat digunakan sebagai kontrol positif untuk
mengkoreksi uji kemunculan zona hambat yang muncul. Pada kontrol positif,
diharuskan memiliki zona hambat dikarenakan penggunaan zat antibiotik yang
bersifat membunuh bakteri. Menurut Pelczar (1998), zat kimia akan menghambat
atau mematikan mikroorganisme berkisar dari unsur logam berat, seperti perak dan
tembaga sampai kepada molekul organik yang kompleks seperti persenyawaan
amonium. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat, atau dibunuh dengan
sarana atau proses fisik, atau bahan kimia. Beberapa contoh sarana fisik ialah suhu,
tekanan, radiasi, dan penyaringan. Suatu proses fisik adalah suatu prosedur yang
mengakibatkan perubahan, misalnya pembakaran, sterilisasi, dan sanitasi. Suatu
keadaan yang menghambat pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan adanya
zona bening,disebut bakteriostatis
Antibiotik adalah zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, dan zat-zat itu
dalam jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat kegiatan
mikroorganisme yang lain. Antibiotik yang efektif bagi banyak spesies bakteri, baik
kokus, basil, maupun spiril, dikatakan mempunyai spektrum yang luas. Sebaliknya,
suatu antibiotik yang hanya efektif untuk spesies tertentu, disebut antibiotik yang
spektrumnya sempit. Antibiotik pertama adalah penisilin, suatu zat yang dihasilkan
18
oleh jamur Penicillium. Penggunaan kontrol sebagai tolak ukur dalam pengujian
zona hambat sangat penting dan menjadi faktor dalam keberhasilan untuk menarik
sebuah kesimpulan. Kontrol positif dalam uji zona hambat menggunakan variabel
yang secara positif akan memunculkan zona hambat, dan kontrol negatif
menggunakan variabel yang tidak akan memunculkan zona hambat. Maka dari itu,
akan diambil kesimpulan dari hasil uji zona hambat yang muncul dari uji daya
hambat antarbakteri uji dan kontrol positif yang digunakan (Dwidjoseputro, 1981).
Pada penelitian mikrobiologi karang sebelumnya, banyak hal difokuskan
pada lapisan mucuss struktur karang dengan menggunakan teknik kultur tradisional.
Banyaknya bakteri di lapisan mukus diperkirakan mencapai 105–106 (cfu) per mil
(Rosenberg, 2007). Pengamatan tentang komunitas mikroba yang bersimbion
dengan karang hingga saat ini masih sangat sedikit, sebagian besar penelitian yang
telah dilakukan masih mengalami hambatan oleh keterbatasan teknik mikrobiologi
tradisional yang berbasis pada mikroskopi dan kultivasi. Komunitas mikroba yang
bersimbion dengan karang yang terkena syndrome berbeda dengan karang yang
sehat meskipun tidak terlihat adanya gejala (symptom) dari syndrome. Senyawa
antimikroba yang dihasilkan oleh karang mungkin berfungsi dalam mengendalikan
mikrobiota terkait, misalnya antimikroba Peptide damicornis paling aktif terhadap
jamur dan beberapa bakteri gram-positif (tetapi tidak semua). Mukus karang juga
mengandung antimikroba yang ampuh, dimana bakteri yang bersimbion dengan
karang berada di dalam Mucus atau lendir pada polyp karang (Pantos, 2003).
2.5 Identifikasi morfologi bakteri dengan teknik pewarnaan gram
Menurut Dwidjoseputro (1981), mikroorganisme yang ada di alam ini
mempunyai morfologi, struktur dan sifat-sifat yang khas, begitu pula dengan bakteri.
Bakteri yang hidup hampir tidak berwarna dan kontras dengan air, dimana sel-sel
19
bakteri tersebut disuspensikan. Salah satu cara untuk mengamati bentuk sel bakteri
sehingga mudah untuk diidentifikasi ialah dengan metode pengecatan atau
pewarnaan. Hal tersebut juga berfungsi untuk mengetahui sifat fisiologisnya yaitu
mengetahui reaksi dinding sel bakteri melalui serangkaian pengecatan.
Mikroorganisme sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, karena tidak mengadsorpsi
ataupun membiaskan cahaya. Penggunaan zat warna memungkinkan pengamatan
struktur sel seperti spora dan bahan infeksi yang mengandung zat pati dan granula
fosfat.
Metode pengecatan pertama kali ditemukan oleh Christian Gram pada tahun
1884. Dengan metode ini bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif yang dibedakan berdasarkan dari reaksi atau
sifat bakteri terhadap cat tersebut. Reaksi atau sifat bakteri tersebut ditentukan oleh
komposisi dinding selnya sehingga pengecatan gram tidak bisa dilakukan pada
mikroorganisme yang tidak mempunyai dinding sel seperti Mycoplasma sp.
Pewarnaan gram merupakan pewarnaan diferensial yang sangat berguna dan paling
banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi. Pewarnaan merupakan tahap
penting dalam pencirian dan identifikasi bakteri. Pewarnaan gram memberikan hasil
yang baik, bila digunakan biakan segar yang berumur 24-48 jam. Bila digunakan
biakan tua, terdapat kemungkinan penyimpanan hasil pewarnaan gram. Pada biakan
tua, banyak sel mengalami kerusakan pada dinding-dinding selnya. Kerusakan pada
dinding sel ini menyebabkan zat warna dapat keluar sewaktu dicuci dengan lartan
pemucat. Ini berarti bahwa bakteri gram positif dengan dinding sel yang rusak tidak
lagi dapat memertahankan kristal violet sehingga terlihat sebagai bakteri gram
negatif. Sebelum dilakukan pewarnaan, ulasan bakteri dibuat di atas kaca objek
yang kemudian difiksasi. Jumlah bakteri yang terdapat pada ulasan haruslah cukup
20
banyak sehingga dapat terlihat bentuk dan penataanya sewaktu diamati. Kesalahan
yang sering kali dibuat adalah menggunakan suspensi bakteri yang terlalu padat
terutama bila suspensi tersebut berasal dari bukan media padat. Sebaliknya pada
suatu suspensi bakteri bila terlalu encer, maka akan diperoleh kesulitan sewaktu
mencari bakteri pada preparatnya (Waluyo, 2004).
Untuk pewarnaan yang mengamati morfologi sel mikroorganisme maka
seringkali setelah pembuatan preparat ulas dilakukan fiksasi diikuti oleh pewarnaan.
Fiksasi dapat dilakukan dengan cara melewatkan preparat diatas api atau
merendamnya dengan metanol. Fiksasi digunakan untuk :
1. Mengamati bakteri oleh karena sel bakteri lebih jelas terlihat setelah diwarnai
2. Melekatkan bakteri pada glass objek
3. Mematikan bakteri
Pada bakteri gram positif akan mengikat reagent warna ungu dari kristal
ungu, dan pada bakteri gram negatif akan mengikat reagent warna merah dari
safranin. Proses pewarnaan gram ini melalui proses fiksasi, pemberian reagent
serta pengawetan oleh lugol dan alkohol 96% agar bentuk morfologi bakteri dapat
daiamati melalui mikroskop (Pelczar, 1998).
2.5.1 Perbedaan bakteri gram positif dan negatif
Ada beberapa hal yang membedakan karakter bakteri berdasarkan jenis
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Menurut (Klien, 2017), menyatakan
bahwa gram positif dinding selnya mengandung peptidoglikan dan juga asam teikoat
serta asam teikuronat. Oleh sebab itu, dinding sel bakteri gram positif sebagian
adalah polisakarida. Pada beberapa bakteri asam teikoat merupakan antigen
permukaan (antigen dinding sel), dan ada yang merupakan selaput pada selnya.
Asam teikoat ini pada umumnya terdiri dari gula netral seperti galaktosa, manosa,
21
ramnosa, arabinosa dan glukosamin. Lapisan seperti itu akan menyelimuti seluruh
sel bakteri sehingga menyerupai selubung yang kuat dan dinamakan murein. Untuk
dinding sel bakteri gram negatif terdapat peptidoglikan yang sedikit sekali dan
berada diantara selaput luar dan selaput dalam dinding sel. Dinding sel bakteri gram
negatif sebelah luar merupakan komponen yang terdiri dari fosfolipid dan beberapa
protein yang sering disebut sebagai auto layer. Bakteri gram positif yang mengikat
warna ungu dari reagent kristal ungu biasa tergolong bakteri non-pathogen,
sedangkan bakteri gram negatif yang mengikat warna merah dari reagent safranin
biasa tergolong ke dalam bakteri pathogen. Perbedaan secara relatif sifat antara
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif menurut Madigan et al., (2017) dapat
dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Perbedaan sifat bakteri gram positif dan negatif
SIFAT Sifat Perbedaan Relatif
Bakteri gram positif Bakteri gram negatif
Komposisi dinding sel Kandungan lipid rendah
(1-4 %)
Kandungan lipid tinggi
(11 – 22 %)
Ketahanan terhadap
penisilin
Lebih sensitif Lebih tahan
Penghambatan oleh
pewarna basa
Lebih dihambat Kurang dihambat
Kebutuhan Nutrien Kebanyakan spesies
relatif kompleks
Relatif sederhana
Ketahanan terhadap
perlakuan fisik
Lebih tahan Kurang tahan
2.6 Identifikasi bakteri secara molekular
Untuk mengetahui karakter bakteri dan jenis dari isolat bakteri yang telah
dikultur, identifikasi secara molekular ialah salah satu cara yang dapat dilakukan
agar didapat pula informasi genetik dari jenis bakteri yang sedang dikaji. Proses
identifikasi secara molekular dimulai dari proses ekstraksi dan isolasi DNA, PCR,
22
Elektroforesis, yang kemudian dilanjutkan dengan Sequencing untuk mendapatkan
data berupa elektrogram dari basa nitrogen dari sampel bakteri untuk dapat diolah
dalam software dan dilakukan proses BLAST untuk mengetahui kesamaan
pasangan basa dengan isolat referensi yang terdapat di bank gen (Sabdono and
Radjasa, 2006).
Menurut Nugroho (2015), isolat yang menunjukkan potensi adanya zona
bening terbesar dalam uji daya hambat, dilanjutkan pada identifikasi secara
molekular. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode chelex kemudian suspensi DNA
yang diperoleh dilakukan amplifikasi menggunakan metode PCR. Primer yang
digunakan untuk PCR 16S rDNA adalah primer adalah primer universal 27F (5'-
AGAGTTTGATCMTGGCTCAG-3') dan primer spesifik eubacteria 1492R (5'-
CTGTTTGCTCCCCACGCTTTC-3'). Produk reaksi PCR kemudian diamati dengan
elektroforesis gel dengan menggunakan konsentrasi agarosa 0,8% yang dilanjutkan
dengan proses sequencing. Sekuens yang diperoleh dianalisis dengan
menyejajarkan urutan nukleotida dengan sekuens yang diduga yang terdapat dalam
bank gen menggunakan program MEGA, kemudian daerah yang memiliki kesamaan
urutan sekuens dianalisis lagi menggunakan penyejajaran yang terdapat dalam
fasilitas penyejajaran Basic Local Allignment Search Tool (BLAST) untuk
menentukan persentase kesamaan pasangan basa dengan isolat referensi yang
terdapat di bank gen.
22
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Tempat yang menjadi lokasi penelitian ini terbagi menjadi 2, yaitu skala
lapangan untuk pengambilan sampel dan skala laboratorium untuk melakukan
penelitian dan pengamatan. Lokasi lapangan yang dijadikan tempat untuk
pengambilan sampel dalam penelitian ini ialah di Pantai Kondang Merak –
Kecamatan Bantur, Malang Selatan. Lokasi dilakukan pengamatan secara
Mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Brawijaya – Malang dan pengujian secara molekular dilakukan di
Laboratorium Biologi dan Molekular Fakultas SAINTEK – UIN Maulana Malik
Ibrahim, Malang. Peta lokasi dari tempat pengambilan sampel dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel
23
3.2 Waktu Penelitian
Penelitian terbagi ke dalam 2 kurun waktu, yaitu pengambilan sampel di
lapangan serta penelitian dan pengamatan skala mikrobiologi dan molekular di
laboratorium. Adapun pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 17 – 18 April
2017. Untuk penelitian dan pengamatan mikrobiologi dilakukan pada tanggal 19
April 2017 – 27 Mei 2017, dan pengujian molekular dilakukan pada tanggal 1
Juni 2017 – 10 Agustus 2017.
24
3.3 Diagram Alir Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara runtut sesuai metode yang telah ditentukan.
Runtutan dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 8.
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Pengambilan
Sampel
Inokulasi kutur bakteri dari agar miring ke media cair
Peremajaan 3 koloni dominan ke agar miring
Penanaman kultur bakteri metode pour plate
Penghancuran sampel
Penentuan lokasi Stasiun Perairan Malang Selatan
Penghitungan nilai absorbansi kultur bakteri
media cair
Uji daya hambat bakteri penyakit karang
Pewarnaan bakteri gram positif dan gram negatif
Pengukuran parameter
lingkungan
Identifikasi molekular (Isolasi DNA, PCR,
Elektroforesis, Sequencing, Blast)
Analisis
Penghitungan prevalensi
penyakit karang
Kesimpulan
25
3.4 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif eksploratif.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena dan
mencari secara ekstensif tentang penyebab atau apa saja yang mempengaruhi
terjadinya fenomena tersebut (Arikunto, 1992). Pengambilan sampel menggunakan
metode purposive sampling method yaitu metode pengambilan sampel yang
dilakukan dengan mengambil subyek bukan berdasarkan strata, random atau
daerah, tetapi berdasarkan tujuan tertentu. Kelebihan teknik purposive sampling
dibandingkan dengan random sampling karena teknik ini terfokus pada seleksi
biota/sampel dengan pertimbangan tertentu, sehingga lokasi pengambilan sampel
yang telah ditentukan memberikan informasi yang diperlukan dan memiliki peluang
yang sama bagi setiap biota/sampel. Untuk Rancangan sampel, digunakan dalam
rancangan uji daya hambat dimana menantang antara 3 isolat bakteri dari sampel
karang terinfeksi White Syndrome dengan 3 isolat bakteri dari sampel karang sehat
menggunakan metode difusi kertas cakram. Uji daya hambat tersebut melibatkan
kontrol positif serta negatif yang diambil dari Ampicilin dan air laut steril.
Metode uji daya hambat dilakukan dengan pengulangan 2 kali (Duplo).
Analisa statistik dalam penelitian ini dititikberatkan pada hasil zona bening pada
masa inkubasi selama 4x24 jam. Reaksi dari semua sampel tersebut temasuk
pengulangan yang dilakukan, diukur dan diinput dalam tabel dan dicari nilai rata-
rata dari hasil kedua pengulangan pada setiap sampel tersebut. Hal ini bertujuan
agar didapat kesimpulan potensi daya hambat dari bakteri endosimbion karang
sehat untuk menghambat pertumbuhan bakteri dari karang terinfeksi White
Syndrome. Selain itu, karakter dari isolat bakteri dari karang sakit dan karang sehat
diketahui karakternya secara pewarnaan gram dan molekular untuk mendapatkan
26
informasi genetik dari isolat bakteri mulai dari proses isolasi DNA sampel, PCR,
elektroforesis, sequencing, dan proses BLAST homology.
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari alat dan bahan
pada saat pengambilan sampel di lapangan dan penelitian secara mikrobiologi di
laboratorium
3.5.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian saat pengambilan sampel di lapang
dan pengamatan di laboratorium disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian
No Nama Alat Spesifikasi Kegunaan
1. Alat selam dasar - Perlengkapan manta taw
2. Tatah dan Palu - Pengambilan sampel karang
3. Kamera under
water
Canon
Powershoot
Dokumentasi
4. Cool box - Penyimpan sampel sementara
5. pH meter - Mengukur pH air
6. DO meter LUTRON – 5510 Mengukur oksigen trelarut
7. Termometer
digital
- Mengukur suhu air
8. Salinometer Ketelitian 0,01 0/00 Mengukur salinitas
9. GPS (Global
Positioning
System)
GARMIN Oregon
650
Survey positioning
10.
Buku identifikasi
karang
Coral Finder by
Veron
Mengidentifikasi karang
11. Buku ID Cards of
Coral Diseases
CRTR Indo-Pacific
by Roger Beeden
Mengidentifikasi jenis penyakit
karang
27
No Nama Alat Spesifikasi Kegunaan
12. Roll meter Bison 30 m Sebagai Line Transect
pengukuran Preevlansi
penyakit karang
13. Sabak / akrilik - Mencatat data dalam air
14. Autoklaf Tommy ES-315 Mensterilisasi alat dan bahan
15. Laminair Flow BIOBASE AHC-
4D1
Tempat steril melakukan
penanaman dan isolasi bakteri
16. Inkubator Memmert ICP 600 Tempat inkubasi sampel bakteri
17. Vortex mixer Mediline scientific
vortex mixer VM
3000-D
Menghomogenkan kultur cair
pada tabung reaksi
18. Timbangan
digital
BOECO Germany
ketelitian 0,1 mg
Menimbang berat bubuk media
dan berat sampel
19. Kulkas - Menyimpan media steril dan
bahan
20. Tabung
Erlenmeyer
PHYREX 250ML,
500ML
Tempat membuat media dan
larutan
21. Beaker glass PYREX 250ML,
500ML
Tempat larutan dan air laut
steril
22. Cawan petri ANUMBRA
Glasses 80 mm
Tempat penanaman isolate
bakteri dan uji antipathogen
23. Tabung reaksi PYREX IWAKI
Asahi Glass TE-32
Tempat kultur media cair dan
peremajaan bakteri pada agar
miring
24. Jarum ose bulat - Alat menggores media dan
mengambil isolate bakteri
25. Bunsen - Pengkondisian aseptis
26. Sprayer - Tempat alkohol sebagai
pengkondisian aseptis
27. Object glass NORMAX Tempat meletakan bakteri pada
proses pewarnaan gram
Tabel 3. Lanjutan
28
No Nama Alat Spesifikasi Kegunaan
28. Magnetic stirrer
dan hotplate
IKAMAG
Janke&Kunkel-IKA
Labortechnik
Menghomogenkan larutan
29. Mikroskop Olympus CX22 Alat untuk mengamati hasil
pewarnaan gram bakteri
30. Bak pengecatan Wheaton 900303 Tempat untuk pewarnaan gram
bakteri
31. Rak tabung
reaksi
- Tempat meletakkan tabung
reaksi
32. Corong HERMAX 75 mm Membantu menuangkan larutan
33. Penjepit - Menjepit object glass
34. Mortar dan Alu - menghancurkan sampel karang
35. Gelas ukur PYREX 10 ml Mengukur larutan dan media
36. Pipet volume
dan bola hisap
PYREX 10 ml Mengambil larutan dan media
37. Mikropipet Dragon Lab 20ul,
100 ul
Mengambil larutan dalam
volume kecil
38. Tabung
Ependorf
Ependorf 1,5 ml Tempal sampel
39. Centrifuge Hettich EBA 200 Peluruh ekstrak
40. Waterbath Memert WNB7 Inkubasi larutan
41. Mesin DNA
Thermal Eyeler
Major Science
Thermal Cycler
PCR
Mesin PCR
42. Elektroforesis YAMABISHI Proses running elektroforesis
43. UV-illuminator PCF Cabinet UV3 Membaca hasil elektroforesis
3.5.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian saat pengambilan sampel di lapang
dan pengamatan di laboratorium disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 3. Lanjutan
29
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian
No. Nama Bahan Kuantitas Kegunaan
1. Sampel karang
sakit dan sehat
12 gram Media isolasi, media uji dan
kultur bakteri
2. Air laut steril 5 liter Sebagai pembilas sampel
3. Plastik zip 20 buah Wadan sampel karang
4. Kertas Label 1 pack Memberi tanda dan nama
sampel
5. Aquades 2 liter Sebagai pelarut dan untuk
mengkalibrasi alat dan bahan
6. Tissue 1 pack Membersihkan alat dan bahan
7. Tagging 2 buah Penanda lokasi stasiun
pengambilan sampel
8. Kabel tis 1 pack Merekatkan tangging
9. Sampel karang
sakit dan sehat
12 Gram Media isolasi, dan bahan kultur
bakteri
10. Air laut steril 5 liter Sebagai pelaut untuk membuat
media Zobell 2261 E
11. Pepton 25 gram Bahan media Zobell 2261 E
12. Yeast Extract 25 gram Bahan media Zobell 2261 E
13. Bubuk Agar 50 gram Bahan media Zobell 2261 E
14. Aquades 3 liter Membilas alat dan bahan serta
membilas saat pewrnaan gram
15. Alkohol 70 % 2 liter Pengkondisian aseptis
16. Kristal ungu 10 ml Reagent pewarnaan gram
pengikat bakteri gram positif
17. Lugol / Iodine 10 ml Reagent pewarnaan gram
sebagai pengawet bakteri
18. Alkohol 96 % 10 ml Reagent pembilas lugol
19. Safranin 10 ml Reagent pewarnaan gram
pengikat bakteri gram negatif
30
No. Nama Bahan Kuantitas Kegunaan
20. Immersed oil 10 ml Minyak yang memperjelas
pengamatan melalui object
glass oleh lensa mikroskop
21. Kertas cakram 60 buah Media difusi bakteri dalam
metode uji antipathogen
22. Cotton swab 12 buah Meratakan bakteri sampel
karang sakit ke media agar
23. Ampicilin 1 tablet kontrol positif uji antipathogen
24. Alumunium foil 1 pack Sebagai pembungkus dan alas
25. Plastik wrap 1 pack pembungkus bagian tepi cawan
petri dan alat yang steril
26. Plastik anti
panas
1 pack Pembungkus alat dan bahan
yang akan disterilisasi
27. Kertas label 1 pack Memberi tanda nama pada
sampel
28. Tissue 1 pack Membersihkan alat dan bahan
29. Kapas 1 pack Menutup bibir tabung reaksi
dan Erlenmeyer
30. Primer 27 F
dan 1492 R
1 Set Primer
31. Primer Box Air 1 Set Primer rep-PCR
32. Ready To Go
(RTG)Kit
1 Set Reagen PCR
33. Megamix
Bromide
1 Set Reagen PCR
34. Ethidium
Bromide
1 Set Pewarna Berkas DNA
35. Loading Buffer 10 ul Buffer Sampel dan Marker
36. Agarose 1 Set Bahan Gel Elektoforesis
37. Buffer TAE 1x 500 ml Buffer Elektroforesis
38. Purfication Kit 1 Set Purification Produk PCR
Tabel 4. Lanjutan
31
No. Nama Bahan Kuantitas Kegunaan
39. Buffer TE 1 Set Ekstraksi DNA
40. Lysozym 1 Set Ekstraksi DNA
3.6 Variabel dan rancangan sampel penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah bakteri yang bersimbion
pada sampel karang Porites (massive) sehat dan yang terinfeksi White Syndrome
disertai dengan data bentuk morfologi dari penanaman hasil pengenceran
bertingkat, data hasil pewarnaan gram, serta data resistensi berupa zona hambat
bakteri. Variabel sebagai data pendukung yang dianalisa adalah tingkat pravelansi
penyakit karang, parameter kualitas perairan (pH, salinitas, DO, suhu). Uji daya
hambat dilakukan antara isolat bakteri dari sampel karang terinfeksi White Syndrome
dengan isolat bakteri dari karang sehat pada masing-masing stasiun pengambilan
sampel di pantai Kondang Merak. Pada uji daya hambat, disertai variabel kontrol
positif dan negatif dari Ampicilin dan air laut steril. Rancangan 12 sampel dan kode
yang tertera pada setiap sampel dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut:
Tabel 3. Rancangan variabel kode sampel
Lokasi Jenis karang Kode sampel bakteri karang sehat
Stasiun 1
Sampel karang sehat
H 1.1
H 1.2
H 1.3
Sampel karang sakit
D 1.1
D 1.2
D 1.3
Stasiun 2
Sampel karang sehat
H 2.1
H 2.2
H 2.3
Sampel karang sakit
D 2.1
D 2.2
D 2.3
Tabel 4. Lanjutan
32
Pada rancangan sampel ini, kode sampel yang dituliskan berdasarkan pada
jenis sampel bakteri dari sampel karang Porites sehat dan karang terinfeksi White
Syndrome pada 2 stasiun berbeda di Perairan Kondang Merak. Untuk bakteri dari
karang sehat, diberi kode H dan kode D untuk bakteri dari karang terinfeksi White
Syndrome. Seperti pada kode H 1.1 dimana merupakan kode isolat bakteri 1 dari
karang Porites sehat pada stasiun 1. Angka pertama pada kode sampel merupakan
kode dari lokasi stasiun dan angka kedua merupakan nomor isolat bakteri dominan
dari sampel karang.
3.7 Prosedur Penelitian
Adapun prosedur yang dilakukan selama penelitian ini berlangsung terdiri
dari prosedur di lapangan dan di laboratorium. Prosedur di lapangan dimulai dari
survey lokasi, pengambilan sampel karang sakit dan sehat. dilanjutkan dengan
prosedur di laboratorium mulai dari ekstraksi sampel, pengenceran bertingkat,
penanaman, isolasi dan purifikasi bakteri, pewarnaan gram bakteri hingga uji daya
hambat antara isolat bakteri sampel karang terinfeksi White Syndrome dengan
karang sehat yang kemudian dilanjutkan dengan analisa molekular mulai dari isolasi
DNA sampel hingga BLAST data dari hasil sequencing. Adapun penjelasan dari
setiap prosedur tersebut dijelaskan sebagai berikut:
3.7.1. Survey Lokasi Penelitian dan Penentuan Titik Sampling
Survey di lakukan di Perairan Kondang Merak, Kecamatan Bantur - Malang
Selatan pada kedalaman 1-5 meter menggunakan skin dive. Skin dive digunakan
untuk mengamati daerah terumbu karang yang berada di perairan yang dangkal
(Santavy, 2005). Survey lokasi dilakukan secara insitu di perairan Kondang Merak
untuk mengetahui titik lokasi yang terinfeksi White Syndrome . Selain itu, dihitung
prevelansinya pada setiap titik stasiun di Perairan Malang Selatan dan dilakukan
33
dokumentasi pengambilan foto sampel karang yang diambil menggunakan kamera,
lalu melakukan tagging (pemberian tanda) serta koordinat lokasi stasiun.
3.7.2. Metode pengambilan data dan sampel
Karang didokumentasikan dan dicatat hingga tingkat genus kemudian
diidentifikasi dengan menggunakan coral finder dari Russel Key. Identifikasi penyakit
karang dilakukan dengan mendokumentasikan karang yang terkena penyakit,
kemudian di identifikasi menggunakan Underwater Cards for Assessing Coral Health
on Indo-Pacific Reefs (Moelyaningrum, 2016).
Pengambilan sampel karang sakit dan sehat dilakukan dengan
menggunakan skin dive pada kedalaman 1-5 m. Sampel karang diambil
menggunakan tatah dan palu dengan metode pengerukan (scraping) pada karang
yang sehat dan karang yang terkena penyakit. Setelah mendapatkan sampel
karang yang terinfeksi White Syndrome, ambil patahan karang yang sehat dengan
jenis yang sama dengan rentan jarak sekitar 10 m. Kemudian sampel karang sakit
maupun sehat dari setiap stasiun dimasukkan ke dalam plastik zip lock kemudian
dibilas dengan air laut steril dan diusapi oleh alkohol untuk membersihkan bakteri
perairan yang masih menempel pada permukaan karang. Setelah diibersihkan oleh
alkohol dan diberi air laut steril pada plastik zip lock, sampel karang dari setiap
stasiun diberi label dan disimpan dengan aman di dalam coolbox yang sudah
dibersihkan agar terhindar dari kontaminasi bakteri. Pengukuran parameter
lingkungan yaitu meliputi suhu, pH, DO, dan salinitas sebagai data pendukung. Data
pravelensi penyakit White Syndrome di tiap stasiun pun dihitung sebagai data
pendukung dari penelitian. Metode pengambilan data prevalensi penyakit karang
dilakukan dengan menggunakan metode transek sabuk (belt transect) dengan
34
modifikasi plot 5x2m (Raymundo, 2008). Gambar dari bentuk metode belt transect
yang digunakan saat di lapang dapat dilihat pada Gambar 9 sebagai berikut.
Gambar 3. Transek yang akan digunakan
Adapun rumus perhitungan prevelansi dari penyakit White Syndrome pada
karang Porites saat di lapang adalah sebagai berikut:
(Raymundo, 2008)
3.7.4. Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan harus disterilkan agar terhindar dari
kontaminasi berbagai mikroba dan bakteri yang tidak diinginkan. Disamping itu,
setiap pembuatan media yang akan digunakan selalu disterilisasi agar terhindar dari
mikroba atau bakteri yang tidak diinginkan. Sterilisasi dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu sterilisasi basah dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 20 menit dan
tekanan 1,5 atm serta sterilisasi kering menggunakan oven pada suhu 180 oC
selama 30 menit.
3.7.5. Studi Mikrobiologi
Hal – hal yang dilakukan pada studi mikrobiologi dalam penelitian ini dimulai
dari pembuatan media Zobell 2261E, pengolahan sampel, pengenceran bertingkat,
2
m
5 m
5 m
25 m
2 m
35
isolasi dan purifikasi, uji daya hambat, hingga pewarnaan gram bakteri positif serta
negatif. Adapun penjelasan dari studi mikrobiologi pada penelitian ini ialah sebagai
berikut:
3.5.7.1 Pembuatan media dan pengolahan sampel
Sebelum mengolah sampel yang akan dikultur, media disiapkan
menggunakan media Zobell 2261E. Media dibuat dan dituang ke dalam cawan petri
yang telah disterilisasi. Media yang digunakan untuk mengkultur ialah media agar
Zobell 2261E yang dimana menurut Usman (2015), terdiri dari 2,5 gr Pepton, 0,5 gr
Yeast Extract, dan 15 gr bubuk agar, yang dilarutkan dengan per 1000 ml air laut
steril. Diketahui bahwa media tersebut cukup baik sebagai media bagi
mikroorganisme yang hidup dalam lingkungan bersalinitas. Semua komposisi
tersebut dihomogenkan dengan magnetic stirrer yang kemudian dipanaskan
menggunakan microwave dan disterilisasi kembali sebelum akhirnya dituangkan ke
dalam cawan petri sebagai media kultur bakteri dari sampel. Setiap satu cawan petri
berisi 20 ml media agar Zobell 2261E yang kemudian didinginkan ke dalam lemari
pendingin dengan dibungkus plastik wrap sebelumnya.
Setiap sampel karang yang sehat dan terinfeksi White Syndrome diekstrak
dengan cara dihaluskan. Sampel yang masih terdapat dalam plastik zip dan telah
dibilas dengan alkohol dan air laut steril disiapkan untuk dihaluskan. Setiap sampel
potongan fragmen karang Genus Porites yang terinfeksi White Syndrome dan yang
sehat dihancurkan sedikit demi sedikit hingga halus dan diambil sebanyak 5 gram
untuk dilanjutkan kepada proses pengenceran 10-3 dalam setiap 9 ml aquades steril
pada tabung reaksi. Menurut Sabdono dan Radjasa (2006), setiap pengenceran
hingga 10-5 dihomogenkan menggunakan Vortex Mixer agar larutan pengenceran
36
tersebut tersuspensi dengan baik dan bakteri yang akan dikultur tidak terlalu padat
ketika ditanam pada media agar Zobell 2261E di dalam cawan petri yang steril.
3.5.7.2 Isolasi dan Purifikasi Bakteri
Penanaman bakteri yang berasal dari karang yang sehat dengan karang
yang sakit dengan menggunakan metode penyebaran (spread plate). Dari seri
pengenceran 10-3 tersebut selanjutnya diambil 100 µL (0.1 mL) sampel dan
disebarkan ke dalam cawan petri steril berisi media agar Zobell 2261E
menggunakan spreader. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 26°C selama 7 hari.
Untuk menghindari kontaminasi maka cawan petri ditutup dengan parafilm
selanjutnya dibungkus dengan plastik wrap. Setelah diinkubasi, koloni bakteri yang
tumbuh diamati bentuk koloni, warna dan permukaan koloninya. Setiap koloni yang
mempunyai bentuk dan warna yang berbeda dipisahkan. Kemudian metode goresan
dilakukan untuk pemisahan dan pemurnian isolat tiap-tiap bakteri (Sabdono dan
Radjasa, 2006).
Setiap koloni bakteri yang berbeda digoreskan pada permukaan media
Zobell 2261E steril pada masing-masing cawan petri yang telah disiapkan. Setelah
itu, cawan-cawan tersebut diinkubasikan pada suhu kamar (30oC) selama 2 x 24
jam dan diamati pertumbuhannya. Apabila tumbuh koloni-koloni baru, maka
dilakukan penggoresan ulang pada media agar Zobell 2261E hingga terdapat koloni
tunggal. Berdasarkan gambaran morfologi isolat bakteri menurut Dwidjoseputro
(1981), diambil 3 isolat dominan yang paling mendominasi dari hasil penanaman
tersebut berdasarkan dari ukuran, bentuk, margin, warna dan elevasi isolat yang
tumbuh tersebut. Setelah dilakukan pengamatan dan pendataan 3 isolat dominan
dari sampel karang sakit dan sehat dari setiap stasiun, dilakukan peremajaan bakteri
dari isolat pada media agar miring untuk berlanjut ke proses selanjutnya pada uji
37
daya hambat antara bakteri endosimbion karang sehat dengan bakteri dari karang
terinfeksi penyakit White Syndrome.
3.5.7.3 Uji aktivitas daya hambat bakteri endosimbion karang sehat terhadap
bakteri karang Porites terinfenksi penyakit White Syndrome
Uji daya hambat untuk mengetahui potensi hambat yang dimiliki antar isolat
bakteri. Untuk itu, kultur bakeri pada media cair yang telah diinkubasi selama 2 x 24
jam diukur nilai absorbansinya dan dilakukan peyetaraan agar uji aktivitas daya
hambat dilakukan dengan jumlah bakteri yang sama. Pengukuran nilai absorbansi
tersebut diukur dengan prinsip densitas sampel menggunakan alat spektrofotometer.
Penyetaraan nilai absorbansi pada sampel kultur bakteri dilakukan dengan rumus
pengenceran antara volume dan nillai absorbansi V1 x N1 = V2 x N2 dkimana dicari
nilai V2 sebagai volume media Zobell cair yang ditambahkan untuk menyetarakan.
Pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer menggunakan panjang
gelombang 600 nm untuk bakteri. Penyetaraan dilakukan dengan tujuan untuk
mengubah nilai absorbansi menjadi nilai terendah yang ada pada hasil pengukuran
sebesar 0,200 nm. Hasil dari pengukuran nilai absorbansi dapat dilihat pada Tabel 6
sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil pengukuran nilai absorbansi
Lokasi Kode sampel Nilai
Stasiun 1
H 1.1 0.272
H 1.2 0.526
H 1.3 0.516
D 1.1 0.721
D 1.2 0.880
D 1.3 0.688
Stasiun 2
H 2.1 0.526
H 2.2 0.629
H 2.3 0.711
D 2.1 0.569
38
D 2.2 0.730
D 2.3 0.612
Setelah mengisolasi isolat bakteri dominan yang tumbuh dari hasil
penanaman dan pengamatan, selanjutnya adalah melakukan uji konfirmasi
menggunakan metode difusi agar dengan kertas cakram (Sabdono dan Radjasa,
2006). Sebanyak 100µL biakan cair bakteri dari sampel White Syndrome yang
sedang dalam masa pertumbuhan atau berumur 1 sampai dengan 2 hari diratakan di
atas media Agar Zobell 2261E hingga merata dan didiamkan selama 30 menit. Hal
ini dilakukan agar bakteri meresap pada media. Selanjutnya, kertas cakram steril
diletakkan di atas permukaan media agar Zobell 2261E yang sama, setelah itu 20 µL
bakteri dari sampel karang Porites sehat diteteskan di atas kertas cakram. Media
agar Zobell 2261E tersebut, kemudian diinkubasi 2 x 24 jam dan diamati
pembentukan zona hambatnya. Zona hambat yang terbentuk diukur menggunakan
jangka sorong.
Dalam uji aktivitas daya hambat, digunakan kontrol positif dari antibiotik
turunan Ampicilin dan kontrol negatif dari air laut steril. Menurut Wijaya and
Nopriansyah (2012), ampicilin merupakan salah satu antibiotik yang cukup banyak
diregistrasikan di Kementerian Pertanian, baik dalam bentuk tunggal maupun
kombinasi. Ampicilin merupakan antibiotik berspektrum luas yang aktif terhadap
bakteri Gram positif yang tidak menghasilkan β-laktamase. Dosis standar bagi
penggunaan Ampicilin ialah pada range 30–35% atau 0.3 mg/ml pelarut. Dalam
pengujian daya hambat ini, dosis ampicillin dibuat dengan komposisi 0,3 mg/ 1 ml
aquades steril. Sedangkan penggunaan air laut steril sebagai kontrol negatif ialah 20
ul setara dengan jumlah kultur isolat bakteri sehat yang didifusikan ke kertas
cakram.
39
Dalam rentan waktu inkubasi hingga 1 x 24 jam, reaksi yang terjadi pada
cawan petri dengan metode difusi kertas cakram diamati dan diukur setiap diameter
zona bening dan reaksi yang terjadi di sekeliling kertas cakram. Uji daya hambat ini
dilakukan secara duplo atau dua kali pengulangan dimana pada tabel pegamatan
dihitung rata-rata setiap reaksi daya hambat yang terjadi antara pengulangan 1 dan
pengulangan 2. Yang menjadi output dalam uji daya hambat ini ialah untuk
mengetahui potensi daya hambat dari bakteri karang sehat dalam menghambat
pertumbuhan bakteri dari karang terinfeksi White Syndrome. Zona hambat yang
ditandai dengan adanya bagian bening paling besar disekeliling kertas cakram
dicatat dan isolat dari karang sehat dan karang sakit terkait ditindaklanjuti untuk
dilakukan pengamatan lebih lanjut ke arah molekular.
3.5.7.4 Karakterisasi Bakteri
Karakterisasi bakteri yang diamati ialah secara morfologi, hal ini dilakukan
untuk mengetahui ciri-ciri fisik dari bakteri tersebut. Morfologi bakteri dapat dilakukan
ketika sel bakteri telah dilakukan pengecatan. Pewarnaan atau pengecatan gram
menggunakan 4 jenis pewarna yaitu kristal ungu, lugol, etanol 96% dan Safranin.
Bakteri yang akan diidentifikasi menggunakan biakan bakteri yang berumur antara
24-48 jam (Sabdono dan Radjasa, 2006).
Langkah pertama dalam pengecatan gram adalah dengan membuat preparat
ulas dari bakteri tersebut kemudian difiksasi di atas api. Kemudian diberi larutan
Kristal violet selama satu menit. Setelah satu menit, preparat tersebut dibilas dengan
air mengalir sampai warna ungu tidak mengalir lagi dan dikeringkan. Preparat yang
telah kering ditetesi lugol selama 2 menit, kemudian dibilas menggunakan air yang
mengalir kemudian dikeringkan. Preparat yang telah kering selanjutnya ditetesi
etanol 96% selama 30 detik, kemudian dibilas menggunakan air yang mengalir dan
40
dikeringkan. Selanjutnya, preparat yang telah kering ditetesi safarin selama 30 detik,
setelah 30 detik preparat tersebut dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan untuk
diamati.
Pewarnaan gram bakteri akan menentukan jenis gram positif serta negatif
dari isolat bakteri yang sedang diamati (Ben-Haim 2003). Untuk bakteri gram positif
akan ditunjukan dengan warna ungu, dan untuk bakteri gram negatif akan
ditunjukkan dengan warna merah pada pengamatan di mikroskop setelah dilakukan
proses fiksasi dan pewarnaan. Proses pewarnaan strain gram bakteri diawali
dengan pengambilan bakteri isolat murni pada cawan petri menggunakan jarum ose
dan dilarutkan dengan 2 tetes aquades pada object glass. Fiksasi object glass hasil
campuran tersebut dilakukan diatas Bunsen menggunakan penjepit. Setelah
difiksasi, tetesi object glass tersebut dengan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam
proses pewarnaan seperti amilum, alkohol 96%, kristal ungu, dan safranin. Setelah
dikeringkan, amati object glass hasil pewarnaan pada mikroskop dengan perbesaran
1000x.
Pewarnaan Gram merupakan pewarnaan diferensial yang bayak digunakan
dalam laboratorium mikrobiologi guna pencirian dan identifikasi bakteri. Perbedaan
hasil dalam pewarnaan ini disebabkan perbedaan struktur dinding sel bakteri dan
perbedaan kandungan asam ribonukleat antara bakteri Gram positif dan Gram
negatif. Pewarnaan dengan zat warna yang mengandung iodium menyebabkan
amilopektin berwarna biru atau keunguan, sedangkan glikogen berwarna merah
kecoklatan atau merah keunguan. Dengan melakukan pewarnaan sangat
memungkinkan kita untuk melihat bakteri dengan jelas, tetapi tidak dapat
membedakan jenis-jenis bakteri yang berbeda dengan morfologi yang sama
(Machmud, 2001). Bakteri Gram-negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan
41
zat warna metil ungu pada metode pewarnaan Gram. Bakteri gram-positif akan
mempertahankan zat warna metil ungu gelap setelah dicuci dengan alkohol,
sementara bakteri gram-negatif tidak.
3.7.6 Studi Molekular
Pendekatan secara molekular dilakukan untuk mendapatkan informasi
genetik bakteri yang memiliki daya hambat paling optimal dari kemunculan diameter
zona bening terbesar. Bakteri endosimbion karang sehat yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri endosimbion karang yang terinfeksi White Syndrome dengan
baik disiapkan dalam bentuk kultur media cair pada umur 2x24 jam. Sepasang
bakteri dari karang sehat dan bakteri dari karang terinfeksi White Syndrome diisolasi
untuk didapatkan ekstrak DNA dengan ampifikasi PCR menggunakan primer 16S
yang kemudian diketahui panjang untai DNA nya melalui proses elektroforesis dan
dilanjutkan dengan sequencing untuk mendapatkan informasi genetik yang
kemudian diakhiri dengan proses BLAST dan pembuatan pohon filogenetik.
3.7.6.1 Ekstraksi DNA dan Amplifikasi PCR 16S rDNA
Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) merupakan senyawa kimia yang paling
penting dalam makhluk hidup. DNA merupakan senyawa yang mengandung
informasi genetik makhluk hidup dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Metode
ekstraksi DNA dilakukan dengan modifikasi dari metode (Oikonomou et al., 2012).
DNA dari masing-masing kultur bakteri yang baru tumbuh diekstraksi dengan
menggunakan QIAamp DNA (QIAGEN) (Altschul et al., 1997).
Sebelum digunakan, ekstrak DNA disimpan pada suhu -20 oC. Perlakuan
temperatur yang digunakan pada PCR ini adalah : denaturasi yaitu memanaskan
DNA supaya untai ganda DNA terpisah pada 94o C selama 2 menit, kemudian 30
siklus (annealing pada 50o C selama 40 detik, extension pada 72o C selama 1 menit
42
dan denaturasi kembali pada 94o C selama 40 detik), serta 42o C selama 1 menit,
72o C selama 5 menit dan terakhir 4o C Primer yang digunakan untuk PCR 16S rDNA
adalah primer universal 27F (5'-AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-3') dan primer
spesifik eubacteria 1492R (5'-TGGTTACCTTGTTACGACTT-3') (Roff et al., 2011).
Visualisasi produk PCR 16S rDNA ini dilakukan melalui elektroforesis dengan cara
memasukkan 5 μl produk PCR ke dalam sumur gel agarose 1 % yang telah
direndam larutan buffer TAE 1 X, gel kemudian dielektroforesis dengan voltase
sebesar 100 V selama ± 45 menit. Setelah elektroforesis, gel direndam ethidium
bromide selama 10 menit untuk memberikan warna pada pita DNA yang
terperangkap pada gel. Terakhir, pita hasil PCR dapat dilihat dengan menggunakan
alat UV-illuminator.
3.7.6.2 Elektroforesis
Secara umum, elektroforesis digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi,
dan memurnikan fragmen DNA. Elektroforesis dilakukan dengan gel agarose
berkonsentrasi 1 %. Untuk gel bervolume 20 ml cara pembuatannya adalah dengan
melarutkan agarose sebanyak 0,4 gr ke dalam buffer TAE 1x dan memanaskannya
hingga homogen. Setelah homogen, tuang larutan ke dalam cetakan gel yang telah
tersedia lalu biarkan hingga mengeras sebelum digunakan. Sebelum elektroforesis
dijalankan, terlebih dahulu produk PCR dan marker dimasukkan ke dalam sumur gel.
Apabila produk PCR dan marker tidak mengandung loading buffer maka dapat
ditambahkan 1 μl loading buffer dengan cara mencampurkannya terlebih dahulu di
atas mika atau parafilm. Setelah itu kemudian alat dijalankan dengan voltase 100 V
selama ± 45 menit. Hasil elektroforesis tersebut diamati dengan UVIlluminator.
43
3.7.6.4 Sekuensing DNA
Sekuensing dilakukan dengan menggunakan siklus PCR sekuensing
menggunakan Big Dye Terminator v.3.1. dan sekuen analisis secara otomatis (ABI
3130XL, Applied Biosystem). Formula untuk reaksi PCR sekuensing yaitu: 2 μl big
dye 2 μl buffer 10x, 4 μl template DNA, 1 μl primer dengan konsentrasi 3,2 pmol,
ddH2O hingga volume akhir 10 μl. Proses sequencing akan menghasilkan
elektogram dari informasi geentik yang berisikan basa nitrogen (ACGT) dari sampel
1 isolat bakteri karang Porites sehat dan 1 isolat bakteri karang Porites terinfeksi
White Syndrome.
3.7.6.5 BLAST Homology
Hasil sequencing yang didapatkan diolah dalam software MEGA dan diambil
bagian elektrogram dari basa nitrogen terbaik untuk selanjutnya dilakukan
penelusuran (BLAST). Penelusuran dilakukan dengan menggunakan internet melalui
program pelacakan database Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) pada
National Center for Biotechnology Information, National Institute for Health, USA
(www.ncbi.nlm.nih.gov). Data hasil kemiripan dengan suatu spesies yang diperoleh
melalui hasil BLAST dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif. Beberapa
data hasil BLAST yang paling berkerabat, diunduh dalam format Fasta dan
ditindaklanjut diolah hingga ke dalam format Mega untuk dibuat dalam pohon
filogenik kekerabatan.
44
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Prevalensi penyakit White Syndrome
Prevalensi ialah nilai luasan yang dimana dihitung berdasarkan pada panjang
transek yang digunakan. Nilai prevalensi didapat melalui pengukuran menggunakan
Belt Transect sejajar dengan garis pantai di setiap stasiun pengambilan sampel.
Berdasarkan rumus penghitungan prevalensi menurut Raymundo (2008), dihitung
jumlah koloni sakit dari satu transek sepanjang 25 m dibagi dengan jumlah total semua
koloni dan dikalikan dengan 100%.
Nilai prevelansi dihitung di 2 stasiun lokasi pengambilan sampel dimana
dihitung jumlah koloni karang sakit dan jumlah total semua koloni karang. Lokasi dari
stasiun 1 berada di sebelah Timur dari tebing di Pantai Kondang Merak dengan jarak
sekitar 300 m dari bibir pantai pada titik koordinat -8.397441o ; 112.517473o. Lokasi
stasiun 2 berada di sebelah Barat Daya dari tebing Pantai Kondang Merak dengan
jarak 500 m dari bibir pantai pada titik koordinat -8.397569o ; 112.516610o. Berikut
data hasil perhitungan prevalensi karang terinfeksi White Syndrome pada stasiun
lokasi pengambilan sampel yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 1. Data prevalensi penyakit karang White Syndrome di lokasi stasiun
pengambilan sampel
Stasiun
Jumlah Koloni Sakit
(Porites) JumlahTotal Koloni Sehat
Jumlah total
koloni
Prevalensi penyakit karang
WBD
1 14 24
38 37%
2 8 37 45 18%
45
Berdasarkan hasil perhitungan data prevalensi karang yang terinfeksi penyakit
White Syndrome di 2 lokasi stasiun pengambilan sampel, didapatkan nilai prevalensi
pada stasiun 1 sebesar 37% dengan jumlah koloni di terinfeksi White Syndrome ialah
14 dari jumlah total sebanyak 38 koloni. Pada stasiun 2, didapatkan nilai prevalensi
sebesar 18% dengan jumlah koloni terinfeksi White Syndrome sebanyak 8 dari jumlah
total sebanyak 45 koloni. Hal ini menjadi data pendukung sebagai dasar kajian dari
penyakit White Syndrome pada karang yang terdapat di perairan Kondang Merak.
Foto karang terinfeksi penyakit White Syndrome di lapang yang diambil sebagai
sampel pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 sebagai berikut.
(a) (b)
(c)
Gambar 1. Sampel karang terinfeksi White Syndrome. Ket. (a) di lokasi stasiun I, (b)
di lokasi stasiun II, (c) White Syndrome menurut Raymundo (2008)
46
Sampel karang terinfeksi White Syndrome yang diambil, memiliki ciri-ciri
hilangnya jaringan hidup yang ditunjukkan dengan adanya bercak rata berwarna putih.
Ketika polyp karang disentuh, bagian bercak berwarna putih akan mengeluarkan
mucuss atau lendir lebih banyak dari karang pada umumnya. Selain itu, Hazrul (2016)
mengatakan bahwa White Syndrome merupakan hilangnya jaringan karang dengan
ciri bercak putih atau garis tebal putih tidak teratur. Penyakit ini ditemukan menyerang
karang bercabang dan karang massive. Menurut Raymundo (2008), penampakan
karang yang terinfeksi White Syndrome memiliki gradiasi warna hingga berwarna putih
dan biasa membentuk melingkar secara linear. Selain itu, Bruckner (2009)
mengatakan bahwa White Syndrome banyak terjadi pada jenis karang Acropora dan
dilaporkan menyebabkan kematian karang Acropora cervicornis sebesar 85 % pada
tahun 1980 di U.S. Virgin Islands. Namun, Ben-Haim (2003) mengatakan bahwa
peningkatan patogenitas dari komunitas mikroba sangat mudah terjadi pada karang
salah satunya bergantung pada ukuran dan kerentanan karang tersebut dengan
lingkungannya, salah satunya dapat terjadi pada karang massive.
Selain White Syndrome, menurut Luthfi (2016) beberapa zona reef flat di
Perairan Kondang Merak akan sangat dangkal ketika surut sehingga akan terpapar
sinar matahari, paparan dalam waktu yang lama akan mengakibatkan karang
mengalami gangguan hingga stress dan bleaching akibat paparan sinar matahari dan
surut ekstrim, sesuai dalam penelitian NOAA.
4.2 Data pendukung parameter perairan Perairan Kondang Merak
Parameter lingkungan merupakan suatu aspek penting sebagai data
pendukung kualitas air yang mempengaruhi keaadan ekologi kehidupan makhluk
hidup di bawah laut salah satunya terumbu karang. Parameter umum yang mutlak
diketahui sebagai data pendukung penggambaran kualitas perairan laut ialah suhu,
47
pH, salinitas, dan DO. Keempat dari parameter tersebut sebagai tolak ukur kualitas
perairan di titik lokasi stasiun pengambilan sampel. Dalam penelitian ini, karang sehat
dan karang sakit yang terjangkit White Syndrome sangat rentan terhadap lingkungan
disekitarnya. Parameter yang dihitung pada saat pengambilan sampel ialah suhu, pH,
salinitas, serta DO yang dimana 4 parameter insitu tersebut ialah parameter kualitas
air yang sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup berbagai organisme di
perairan laut serta menjadi parameter mendasar bagi kualitas perairan laut. Adapun
tabel nilai parameter di perairan Kondang Merak disajikan pada Tabel 8 sebagai
berikut.
Tabel 2. Data hasil pengukuran nilai parameter
Pada kondisi ini, perbandingan hasil pengukuran kualitas air Perairan Kondang
Merak dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
- Suhu
Nilai pengukuran suhu saat pengambilan sampel di perairan Kondang Merak ialah
sebesar 29,9o C. Hasil pengukuran suhu pada penelitian-penelitian sebelumnya di
perairan Kondang Merak yaitu sebesar 27,01⁰C oleh Cleopatria (2015), 28,6oC
oleh Widyawati (2015), dan 27,8oC oleh Luthfi (2016). Hal ini menunjukkan bahwa
dari hasil pengukuran suhu mulai tahun 2015 hingga tahun 2017 terdapat kenaikan
suhu di perairan Kondang Merak sebesar 2,8OC. Menurut Brown (1997), faktor-
faktor kunci yang diduga dapat mempengaruhi terumbu karang selama periode
Parameter
Rata – rata
Suhu (oC) 29.9
Salinitas (o/oo) 35
pH (-) 6.78
DO (mg/L) 5.9
48
perubahan iklim adalah naiknya permukaan laut (Sea level rise), peningkatan suhu
air laut, perubahan kelarutan mineral karbonat, bertambahnya radiasi ultraviolet
dan kemungkinan menguatnya aktivitas badai dan arus. Kerusakan yang terjadi
pada ekosistem terumbu karang dapat disebabkan oleh perubahan iklim secara
global. Menurut Gilman et al. (2008), kenaikan permukaan air laut yang ekstrim,
badai, curah hujan (presipitasi), perubahan suhu, peningkatan konsentrasi CO2,
pola sirkulasi air laut dan tanggapan ekosistem merupakan dampak dari
perubahan iklim secara global. Perubahan iklim global menyebabkan perubahan
struktur komunitas ekosistem pesisir dan laut. Peningkatan suhu dan naiknya
muka air laut menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang dengan
hilangnya zooxanthella pada jaringan karang.
- pH
Hasil pengukuran rata-rata nilai pH perairan Kondang Merak ialah 6,8 dimana
dapat disimpulkan bahwa nilai pH di perairan Kondang Merak cenderung asam.
Perbandingan nilai pH yang didapat dari hasil pengukuran pada penelitian
sebelumnya di perairan Kondang Merak yaitu sebesar 8 oleh Cleopatria (2015),
7,33 oleh Widyawati (2015), 8,7 oleh Luthfi (2016), dimana dari hasil pengukuran
pH di Perairan Kondang Merak mulai tahun 2015 – 2017 mengalami penurunan
nilai pH sebesar 2,2. Hubungan antara nilai pH dengan kondisi karang sangat
berpengaruh pada proses kalsifikasi pembentukan zat kapur pada karang. Menurut
Souhoka and Patty (2013), variasi dari nilai derajat keasaman (pH) air laut dapat
dijadikan sebagai salah satu identifikasi kualitas air laut. Pada kisaran nilai pH
tertentu dapat diindikasikan terjadinya suatu perubahan dalam kualitas air.
Meningkatnya suhu suatu perairan menyebabkan penurunan nilai pH dan memberi
dampak pada kondisi ekologi karang serta biota.
49
- DO
Kadar oksigen terlarut atau DO (Dissolved Oxygen) pada air laut sangat berkaitan
dengan proses fotosintesis di kolom perairan. Pada hasil pengukuran, didapatkan
nilai DO rata-rata sebesar 5,9 mg/L. Hal ini disimpulkan bahwa nilai kandungan DO
di perairan Kondang Merak mengalami penurunan sebesar 1,6 mg/L dari hasil
pengukuran dalam penelitian-penelitian sebelumnya sebesar 7,54 mg/L oleh
Cleopatria (2015), 5,7 mg/L oleh Widyawati (2015), dan sebesar 8,3 mg/L oleh
Luthfi (2016). Kandungan oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh suhu,
turbulensi, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen di perairan berkaitan dengan
proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air yang lainnya berlangsung
optimal karena ketersediaan cahaya matahari yang cukup. Menurut Septyadi
(2013), pertumbuhan karang di tempat yang berarus lebih baik dibandingkan
dengan perairan yang tenang. Adanya arus berfungsi untuk mensuplai nutrien dan
oksigen yang sangat dibutuhkan oleh organisme di daerah terumbu karang.
- Salinitas
Hasil pengukuran nilai salinitas saat pengambilan sampel di perairan Kondang
Merak ialah sebesar 35 o/oo. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran pada
penelitian sebelumnya sebesar 35 o/oo oleh Cleopatria (2015), 34,4 o/oo oleh
Widyawati (2015), dan 26 o/oo oleh Luthfi (2016) dapat diketahui bahwa terjadi
perubahan nilai salinitas di perairan Kondang Merak berdasarkan hasil studi
terdahulu. Supriharyono (2007), menyatakan, binatang karang hidup subur pada
kisaran salinitas antara 34–36 0/00. Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan
karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut sekitar dan
pengaruh alam seperti hujan.
50
4.3 Studi Mikrobiologi
4.3.1 Hasil isolasi bakteri karang sehat dan terinfeksi White Syndrome
Hasil dari penanaman setelah diinkubasi selama 2x24 jam dalam media agar
Zobell 2261E pada cawan, selanjutnya diamati bentuk morfologinya mulai dari ukuran,
bentuk, elevasi, serta warna berpacu pada gambar morfologi bakteri menurut
Dwidjoseputro (1981). Pada penelitian ini, diambil 3 isolat dominan yang tumbuh pada
media penanaman. Isolat hasil penanaman dari larutan pengenceran bertingkat, dapat
dilihat pada Gambar 11 sebagai berikut.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Pengamatan hasil penanaman isolat dominan. Ket. (a) Sampel St.1 H, (b)
sampel St.1 D, (c) sampel St.2 H, (d) sampel St.2 D
51
Selanjutnya, isolat yang dipilih dimurnikan dengan metode gores kuadran untuk
memisahkan koloni tunggal pada setiap sampel. Dari hasil pengamatan secara visual
pada isolat yang tumbuh, diperoleh data morfologi pada setiap isolat dominan. Proses
selanjutnya dilakukan kultur pada media cair dan uji daya hambat untuk mengetahui
potensi daya hambat antara isolat bakteri dari karang sehat dengan isolat bakteri
karang terinfeksi White Syndrome. Dalam pengamatan isolat bakteri, data morfologi
isolat dominan pada setiap sampel dapat dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut.
Tabel 3. Data hasil pengamatan morfologi isolat bakteri
Ket. Variabel huruf merupakan kode jenis karang dimana H (Health) sampel
karang sehat, dan D (Disease) sampel karang terinfeksi White Syndrome. Untuk
variabel angka terdiri dari 2 angka, dimana angka pertama menunjukkan kode stasiun
sampel dan kode angka kedua menunjukkan kode nomor isolat dominan. yang
dijelaskan sebagai berikut.
Lokasi Kode sampel Ukuran Bentuk Elevasi Margin Warna
Kondang Merak 1
H 1.1 Moderate Irregular Raised Lobate Putih susu
H 1.2 Moderate Irregular Raised Undulate Putih susu
H 1.3 Small Irregular Raised Lobate Putih susu
D 1.1 Moderate Spindle Raised Serate Putih susu
D 1.2 Moderate Irregular Flat Entire Putih susu
D 1.3 Moderate Irregular Flat Undulate Putih susu
Kondang Merak 2
H 2.1 Small Circular Raised Lobate Putih susu
H 2.2 Large Irregular Raised Lobate Putih susu
H 2.3 Moderate Irregular Raised Lobate Putih susu
D 2.1 Moderate Irregular Raised Undulate Putih susu
D 2.2 Small Irregular Raised Lobate Putih susu
D 2.3 Moderate Irregular Raised Lobate Putih susu
52
a. Ukuran
1. Moderate
Jenis bakteri ukuran Moderate (sedang) terdapat pada 8 isolat dari 12 isolat
yang diamati. Rata-rata isolat bakteri ukuran moderate yang ditemukan dari
hasil pengamatan memiliki diameter tidak lebih dari 10 mm dan tidak kurang
dari 5 mm. Contoh dari isolat Moderate dapat dilihat pada Gambar 12.
2. Small
Bakteri ukuran small (kecil) ditemukan pada 3 dari 12 isolat bakteri yang
diamati. Diameter dari isolat bakteri ukuran small yang ditemukan pada
pengamatan kurang dari 5 mm.
3. Large
Bakteri ukuran Large (besar) hanya ditemukan pada 1 dari 12 isolat yang ada.
Diameter dari isolat bakteri ukuran large yang ditemukan pada pengamatan
lebih dari 10 mm.
(a) (b)
Gambar 3. Perbandingan morfologi isolat bakteri ukuran small, large, moserate. Ket.
(a) Isolat pada cawan sampel St.2 H, (b) Isolat pada cawan sampel St.1 H
Moderate
Small
Large
e
53
b. Bentuk
1. Irregular
Isolat bakteri yang tergolong dalam bentuk Irregular (tidak beraturan)
ditemukan pada 10 dari 12 isolat yang diamati. Gambar dari isolat bakteri
irregular dapat dilihat pada Gambar 13.
2. Spindle
Isolat bakteri yang tergolong dalam bentuk spindle (memanjang) ditemukan
pada 1 dari 12 isolat yang diamati. Contoh isolat bentuk Spindle dapat dilihat
pada Gambar 13 sebagai berikut.
3. Circular
Isolat bakteri yang tergolong dalam bentuk b Circular (bulat) ditemukan pada
1 dari 12 isolat yang diamati. Bentuk circular pada isolat yang ditemukan
tampak bulat kecil. Isolat bentuk Circular dapat dilihat pada Gambar 13
sebagai berikut.
(a) (b)
Gambar 4. Morfologi bentuk spindle, circular, dan irregular. Ket. (a) pada cawan St.1
D, (b) pada cawan St.2 H
Irregular
Circular Spindle
54
c. Elevasi
1. Raised
Isolat bakteri yang tergolong dalam elevasi Raised (timbul atau memiliki
tonjolan kecil) ditemukan pada 11 dari 12 isolat yang diamati. Gambar dari
isolat bakteri raised dapat dilihat pada Gambar 14.
2. Flat
Isolat bakteri yang tergolong dalam elevasi rata atau flat ditemukan pada 1
dari 12 isolat yang ada saat pengamatan dan terlihat tipis dari isolat lainnya.
Gambar dari isolat flat dapat dilihat pada Gambar 14 sebagai berikut.
(a)
(b) Gambar 5. Perbandingan isolat elevasi flat dan raised. Ket. (a) pada cawan St.2 H, (b)
pada cawan St.1 D
d. Margin
1. Lobate
Isolat bakteri yang tergolong dalam margin lobate, memiliki bentuk pinggiran
berlekuk. Isolat dengan margin lobate ditemukan pada 7 dari 12 isolat bakteri
yang ada. Gambar dari isolat margin lobate dapat dilihat pada Gambar 15.
Raised
Flat
55
2. Undulate
Isolat bakteri yang tergolong dalam margin Undulate (bergelombang)
ditemukan pada 3 isolat dari 12 isolat yang diamati. Gambar dari isolat bakteri
undulate dapat dilihat pada Gambar 15.
3. Serate
Bentuk pinggiran atau margin Serate pada isolat bakteri terlihat seperti
pinggiran yang lebih tajam dan lancip. Isolat dengan margin serate ditemukan
pada 1 dari 12 isolat bakteri yang diamati.
4. Entire
Isolat bakteri yang tergolong dalam bentuk pinggiran atau margin entire
memiliki pinggiran yang berbentuk penuh atau terlihat lebih rapi sempurna
dibandingkan margin lainnya. Isolat bakteri dengan margin Entire ditemukan
pada 1 dari 12 isolat bakteri yang ada. Gambar isolat margin Entire dapat
dilihat pada Gambar 15 sebagai berikut.
(a) (b)
Gambar 6. Perbandingan margin isolat lobate, entire, serate, dan undulate. Ket. (a)
cawan sampel St. 1 H, (b) cawan sampel St.2 D
e. Warna
Lobate
Serate
Entire
Undulate
56
Rata – rata warna dari setiap isolat bakteri yang ditemukan saat pengamatan
ialah berwarna putih susu. Baik dari berbagai ukuran, bentuk, elevasi, serta
margin yang ada, seluruh isolat yang ditemukan dalam pengamatan semua
berwarna putih susu.
4.3.2 Hasil uji aktivitas daya hambat dengan metode difusi kertas cakram
Uji aktivitas daya hambat dilakukan untuk melihat isolat bakteri yang
berlawanan dimana akan membentuk zona bening terhadap bakteri uji. Isolat bakteri
dari karang sehat ditantang dengan isolat bakteri dari karang terinfeksi White
Syndrome mengunakan metode difusi kertas cakram. Sebanyak 3 isolat bakteri dari
karang sehat pada satu stasiun ditantang dengan 3 isolat bakteri terkena White
Syndrome dari stasiun yang sama, dan diamati zona bening / resistensi yang muncul
mulai dari waktu inkubasi 1x24 jam – 4x24 jam. Menurut Cappuccino and Sherman
(1987), beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya zona hambat bakteri
diantaranya ialah difusi bahan antimikroba ke dalam media dan interaksinya dengan
mikroorganisme uji, jumlah mikroorganisme yang digunakan, kecepatan tumbuh
mikroorganisme yang diuji, dan sensitifitas miikroorganisme terhadap bahan
antimikroba yang diuji. Tingginya tingkat keanekaragaman komunitas bakteri yang
berasosiasi pada karang, akan memungkinkan banyaknya penghambatan bakteri dan
terjadi secara bersamaan secara kompleks dalam holobiont karang.
Uji aktivitas daya hambat dengan metode difusi kertas cakram dimana terdapat
kemunculan zona bening / resistensi, diamati dan diukur menggunakan jangka sorong.
Menurut Pelczar (1998), kemampuan bahan uji menghambat bakteri uji ditandai
dengan terbentuknya zona jernih disekitar cakram uji dan dievaluasi : >20 mm (strong
inhibition), 5-10 mm (moderate inhibition) and <5 mm (weak inhibition). Dalam metode
difusi kertas cakram ini, setiap 3 isolat bakteri karang sehat ditantang masing-masing
57
dengan 3 isolat bakteri karang terinfeksi White Syndrome pada stasiun yang sama.
Hasil pengukuran uji daya hambat dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut.
Tabel 4. Tabel nilai rata-rata aktivitas daya hambat ( standar deviasi) dengan metode
difusi kertas cakram
Sample 1x24 Jam 2x24 jam 3x24 jam 4x24 jam
D 1.1
H 1.1 5 0.00 4.5 0.71 4.5 0.71 4 1.41
H 1.2 2.5 2.12 3.5 0.71 4 1.41 4.5 2.12
H 1.3 2 0.00 3 1.41 3 1.41 3 1.41
+ 7 0.00 7.5 0.71 8 0.00 8.5 0.71
- 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
D 1.2
H 1.1 3 1.41 3.5 0.71 6 0.00 6 0.00
H 1.2 3 1.41 4.5 2.12 4.5 2.12 4.5 2.12
H 1.3 2.5 0.71 3 0.00 3 0.00 3 0.00
+ 5 1.41 5 1.41 5 1.41 5 1.41
- 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
D 1.3
H 1.1 3 0.00 3.5 0.71 4.5 0.71 4.5 0.71
H 1.2 3 0.00 3.5 0.71 3.5 0.71 3.5 0.71
H 1.3 2.5 0.71 4 0.00 4 0.00 4 0.00
+ 5.5 0.71 5 0.00 4.5 0.71 4 0.00
- 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
D 2.1
H 1.1 1.5 2.12 1.5 2.12 1.5 2.12 1.5 2.12
H 1.2 3 1.41 3 1.41 3 1.41 1.5 0.71
H 1.3 3 0.00 3 0.00 3 0.00 3 0.00
+ 3.5 0.71 3.5 0.71 3.5 0.71 3 0.00
- 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
D 2.2
H 1.1 1.5 0.71 1.5 2.12 1.5 2.12 1.5 2.12
H 1.2 3 2.83 3 2.83 3.5 3.54 2 1.41
H 1.3 4 1.41 4 1.41 4 1.41 3.5 0.71
+ 4 0.00 4 0.00 3 0.00 3 0.00
- 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
D 2.3
H 1.1 1.5 0.71 2 0.00 2 0.00 3 0.00
H 1.2 1 1.41 1 1.41 1 1.41 0 0.00
H 1.3 1 1.41 3.5 0.71 3.5 0.71 3.5 0.71
+ 2.5 0.71 2.5 0.71 2.5 0.71 3 1.41
- 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00
Berdasarkan data pada tabel diatas, terdapat 3 nilai daya hambat paling besar
dari isolat kode sampel Health dalam melawan isolat Disease. Pasangan isolat
58
tersebut ialah D 1.1 dengan H 1.1, isolat D 1.2 dengan H 1.1, dan isolat D 1.3 dengan
H 1.2. Pada pasangan isolat H 1.2 dengan D 1.2 dan H 1.1 dengan D 1.3,
menunjukkan adanya daya hambat oleh isolat Health pada waktu inkubasi 1x24
sebesar 3 mm. Pada inkubasi 4x24 jam, terdapat kenaikan pada kedua pasangan
isolat tersebut menjadi 4 mm. Akantetapi, pasangan isolat H 1.1 dengan D 1.1 memiliki
nilai daya hambat optimal pada waktu inkubasi 1x24 jam sebesar 5 mm. Namun, pada
waktu inkubasi 4x24 jam, terdapat penurunan nilai daya hambat menjadi 4 mm.
Dari data aktivitas daya hambat tersebut, dapat disimpulkan bahwa isolat
bakteri H1.1 tergolong ke dalam daya hambat bakteriostatis dimana hanya berpotensi
menghambat namun tidak membunuh isolat D 1.1. Hal tersebut dilihat dari
menurunnya nilai diameter zona bening pada umur inkubasi 4 x 24 jam namun
memiliki nilai daya hambat paling optimal pada inkubasi 1x24 jam. Oleh karena itu, hal
tersebut menjadi alasan pemilihan isolat H 1.1 dan D 1.1 untuk diuji secara molekuler.
Aktivitas zona hambat antara isolat H 1.1 D 1.1 dapat dilihat pada Gambar 17.
(a) (b)
Gambar 7. Hasil uji daya hambat dengan zona bening terbesar. Ket. (a) pada cawan
pengulangan I (b) pada cawan pengulangan II
Berdasarkan referensi menurut Pelczar (1998) mengenai zona hambat bakteri,
diameter zona bening antara isolat H 1.1 dengan D 1.1 tergolong ke dalam jenis daya
c
59
hambat lemah (>5mm). Menurut Geffen, Ron, and Rosenberg (2009), beberapa
bakteri mampu menghambat berbagai bakteri asosiasi disekitarnya. Hal ini berpotensi
mempengaruhi struktur komunitas mikroba secara keseluruhan secara in situ melalui
penghambatan langsung beberapa spesies bakteri yang berkompetisi. Selain itu,
analisis gen fungsional menunjukkan bahwa stres meningkatkan kelimpahan gen
mikroba yang terlibat dalam virulensi, resistensi stres dan metabolisme sekunder.
Stres atau gangguan yang dialami oleh karang (scleractinian) menyebabkan karang
tersebut akan melepaskan dengan cepat bahan antibakteri (coral antibacterial activity
atau CAA) yang mampu menewaskan berbagai jenis bakteri, termasuk patogen
karang Vibrio coralliilyticus. Karang dapat mengeluarkan CAA secara aktif ketika
mengalami kondisi stress, dimana Mucus pada karang menjadi salah satu bagian yang
berasoisiasi dengan adanya CAA.
4.3.3 Karakterisasi hasil pewarnaan strain gram bakteri
Hasil pewarnaan gram bakteri diamati melalui mikroskop untuk mengetahui
warna yang mengikat setiap isolat bakteri setelah dilakukan fiksasi dan pengecatan
dengan reagent. Berdasarkan hasil uji daya hambat yang dibahas pada subbab
sebelumnya, diketahui bahwa isolat H 1.1 berpotensi dalam menghambat isolat D 1.1.
Hasil pewarnaan gram bakteri kedua isolat tersebut dapat dilihat pada Tabel 11
sebagai berikut:
Tabel 5. Hasil karakterisasi pewarnaan gram bakteri positif dan negatif
Kode sampel Warna Gram
H 1.1 Ungu Positif
D 1.1 Ungu Positif
Dari hasil pewaranan gram yang dilakukan pada setiap isolat, diketahui bahwa
isolat H 1.1 dan D 1.1 berada pada jenis bakteri gram positif. Pada hasil pewarnaan
gram, kedua isolat tersebut diamati pada mikroskop dan terlihat mengikat warna ungu.
60
Hal tersebut menunjukkan bahwa antara isolat H 1.1 dan D 1.1 kecil kemungkinan
tergolong ke pada jenis bakteri pathogen. Bakteri yang berasimbion pada karang
sangat beragam dan juga memiliki karakter yang beragam. Kondisi lingkungan
perairan dari habitat karang turut akan mempengaruhi karakternya, salah satunya jenis
gram bakteri. Isolat bakteri D 1.1 yang berasal dari sampel karang terinfeksi White
Syndrome tergolong pada bakteri gram positif, hal tersebut kembali lagi kepada
karakter bakteri yang berasosiasi dimana sangat beragam.
Bakteri Gram positif adalah bakteri yang dinding selnya menyerap warna violet
dan memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal, sedangkan bakteri Gram negatif adalah
bakteri yang dinding selnya menyerap warna merah, dan memiliki lapisan
peptidoglikan yang tipis. Lapisan peptidoglikan pada bakteri Gram negatif terletak
diantara membran plasma dengan membran luar. Menurut Sridiati (2016), bakteri
Gram negatif yang bersifat lebih berbahaya daripada bakteri Gram positif berpotensi
sebagai bakteri pathogen. Hal tersebut karena membran luar pada dinding sel bakteri
gram negatif dapat melindungi bakteri sebagai sistem pertahanan inang, dan
menghalangi masuknya obat-obatan antibiotik. Senyawa lipopolisakarida pada
membran luar bakteri Gram negatif juga dapat bersifat toksik (racun) bagi inang.
4.4 Studi Molekular
Dalam hasil dari penelitian ini, dilibatkan studi molekular melalui berbagai
proses dan metode untuk mengetahui jenis isolat bakteri yang memiliki potensi daya
hambat. Hasil proses molekular ini digunakan untuk mengetahui kemiripan informasi
genetik isolat yang diujikan dengan salah satu spesies bakteri, sehingga diketahui
jenis spesies dari isolat bakteri yang memiliki potensi daya hambat. Selain itu,
informasi homology bakteri yang didapat digunakan untuk mengetahui kekerabatan
diantaranya yang digambarkan dalam pohon filogenik.
61
4.4.1 Hasil sequencing dan BLAST
Hasil ekstraksi dari isolat karang sehat dan karang terinfeksi White Syndrome
dengan zona hambat terbaik ditindaklanjut untuk analisis molekular. Pasangan isolat D
1.1 dan H 1.1 dipilih untuk diuji molekular karena memiliki daya hambat besar pada
waktu inkubasi 1x24 jam. Hal tersebut menjadi alasan untuk mengetahui identitas
secara molekuler dari isolat D 1.1 dan H 1.1 hasil isolasi. Melalui hasil ekstraksi DNA,
PCR, hingga sequencing, didapatkan data berupa elektroforegram berisi untaian basa
nukleotida untuk mengetahui susunan basa isolat yang diteliti dan selanjutnya
dilakukan identifikasi dengan membandingkan sequence yang diperoleh dengan data
sequence di Gene Bank (BLAST). Adapun penjelasan informasi genetik yang
didapatkan dari hasil proses BLAST ialah sebagai berikut.
a. Isolat bakteri D 1.1
Berdasarkan hasil sequencing, diperoleh panjang untaian DNA yang ada
dalam elektroforegram dari isolat D 1.1 sebesar 653 bp. Elektroforegram isolat D 1.1
memiliki noise yang tidak terlalu banyak, namun terdapat beberapa basa nukleotida
yang tidak terbaca (N). Hal ini dapat diatasi dengan melakukan pengecekan
elektroforegram pada posisi yang tidak terbaca dengan perbesaran peak yang lebih
tinggi untuk memastikan basa nukleotida yang tepat. Sebelum dilakukan BLAST,
dilakukan pemotongan pada awal dan akhir sequence 30 bp untuk menghilangkan
noise yang ada. Sebagian elektroforegram hasil sequencing isolat D 1.1 dan urutan
basa nukleotidanya dapat dilihat dalam potongan elektroforegram pada Gambar 17
sebagai berikut.
62
Gambar 8. Elektroforegram baik hasil sequence isolat D.1.1
Hasil potongan elektroforegram yang sudah baik dan rapih dari noise dipilih
dan dilakukan Alignment by Muscle pada toolbar Alignment untuk mengkoreksi ulang
basa nukleotida yang ada. Hasil BLAST menunjukkan bahwa untai nukleotida dari
isolat D 1.1 sepanjang 653 bp (base pairs) memiliki kekerabatan terdekat sebesar 81%
dengan spesies Vibrio azureus yang tertera pada Lampiran 5. Berdasarkan referensi
dari hasil BLAST menurut Aznar et al. (1994), spesies bakteri Vibrio azureus banyak
ditemukan di perairan baik tawar maupun di laut. Sebagai bakteri pathogen, spesies
bakteri Vibrio sp. memiliki kecenderungan mudah untuk bersimbiosis dengan
lingkungan disekitarnya, salah satunya pada sponge dan karang. Selain itu, bakteri
Vibrio sp. dapat diisolasi pada kondisi lingkungan yang bersuhu dan bersalinitas sama
seperti lingkungan habitat tiram, kerang dan ikan. Bakteri spesies tersebut biasa
banyak berakumulasi pada sedimen dan plankton. Isolat yang muncul pada 5 urutan
pertama dari hasil BLAST isolat D 1.1 yang lainnya ialah spesies Vibrio
parahaemolyticus strain NSTH08 16S, Vibrio sp. SD21 16S, Vibrio parahaemolyticus
strain N8B 16S, dan Vibrio parahaemolyticus strain TVS8 16S.
b. Isolat bakteri H 1.1
Untuk hasil sequencing isolat H 1.1, diperoleh panjang untaian DNA yang ada
dalam elektroforegram dari isolat D 1.1 sebesar 359 bp. Elektroforegram isolat D 1.1
63
juga memiliki noise dan terdapat beberapa basa nukleotida yang tidak terbaca (N). Hal
tersebut juga diatasi dengan pengecekan ulang basa nukleotida yg tidak terbaca pada
urutan elektroforegram. Pemotongan sequence juga dilakukan pada bagian awal dan
akhir sebesar 30 bp untuk menghilangkan noise yang ada. Panjang basa nukleotida
hasil pengolahan sequence isolat H 1.1 pada penelitian ini lebih pendek dari basa
nukeotida isolat D 1.1. Sebagian elektroforegram hasil sequencing isolat H 1.1 dan
urutan basa nukleotidanya dapat dilihat dalam potongan elektroforegram pada
Gambar 18 sebagai berikut.
Gambar 9. Elektroforegram baik hasil sequence isolat H.1.1
Berdasarkan hasil BLAST dari hasil sequence isolat bakteri H 1.1 (Lampiran 6),
diketahui bahwa panjang nukleotida isolat tersebut sepanjang 359 bp (base pairs)
memiliki kekerabatan terdekat 98% dengan bakteri spesies Streptomyces sp.
Berdasarkan referensi dari hasil BLAST, diketahui bahwa spesies bakteri
Streptomyces sp. merupakan isolat bakteri non-pathogen yang biasa banyak
ditemukan dan hidup pada tanah dan perairan. Bakteri tersebut biasa berada di danau
maupun perairan laut dan juga memiliki kemamapuan mereduksi Hidrogen (H2).
Menurut Constant, Poissant, and Villemur (2008), spesies bakteri Streptomyces sp.
diketahui memiliki potensi sebagai antimicrobial terutama di perairan dan lingkungan
tanah. Selain itu, Higginbotham and Murphy (2010) menyatakan bahwa bakteri
64
Streptomyces sp. memiliki kandungan bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai
antibiotik, akan tetapi lebih dari 100.000 jenis antibiotiknya tersebut belum
diidentifikasi. Pada proses BLAST isolat H 1.1, terdapat 9 hasil BLAST yang muncul
dan hanya dipilih 5 hasil yang memiliki nilai E-Value lebih kecil dari 10-5. Menurut
Iranawati et al., (2012) pencarian dari hasil BLAST yang menunjukkan kesamaan
signifikan memiliki nilai E-Value <10-5 dengan protein pada database dari Gene Bank.
Secara signifikan, proses analisa kekerabatan dicocokan dengan data sequence
sampel. Spesies bakteri yang muncul pada 5 urutan pertama dari hasil BLAST isolat H
1.1 yang lainnya ialah Uncultured bacterium clone oc5 16S, Uncultured bacterium
clone 282 16S, Uncultured Methylobacterium sp. partial 16S, dan Bacillus thuringiensis
strain SM5 16S.
Primer yang digunakan untuk mengidentifikasi kedua isolat yang diteliti
merupakan primer spesifik 16 rDNA dengan target sequence sebesar 1000 bp.
Sequence16S rDNA mempunyai daerah sekuen yang terkonservasi, sehingga mutasi
akan terbatas dan dapat mengklasifikasikan bakteri pada tingkat famili, genus maupun
spesies. Hasil sekuen 16S rDNA dapat digunakan untuk menduga hubungan
kekerabatan secara alami antara spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan
jauh serta dapat digunakan untuk membedakan spesies yang mempunyai kekerabatan
dekat dari berbagai daerah (Sabdono and Radjasa, 2006).
Pada penelitian ini, hasil elektroforegram dari kedua isolat memiliki panjang
kurang dari 1000 bp. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh kurangnya kuantitas DNA
sampel yang diektraksi, sehingga kurangnya basa nukleotida template yang
diamplifikasi. Selain itu, terjadinya troubleshooting pada proses PCR pun
mempengaruhi hasil sequencing dan menjadi salah satu alasan panjang
elektroforegram yang didapat tidak mencapai sebesar 1000 bp. Selain itu, Negritto
65
(2010) mengatakan salah satu hal yang dapat menyebabkan kerusakan DNA ialah
patahnya DNA yang dapat terjadi saat proses isolasi DNA atau pada proses
amplifikasi. Proses isolasi DNA menggunakan bahan-bahan untuk menghancurkan
sel, protein, dan debris sel yang dapat menyebabkan patahnya untaian DNA.
Patahnya untaian DNA juga dapat terjadi karena proses amplifikasi dengan PCR
dalam tahapan denaturasi dan renaturasi yang berkaitan dengan permainan suhu.
Menurut Rinanda (2011), identifikasi dengan analisis sekuensing gen 16S
rRNA dinilai memberikan hasil yang sangat akurat dan dapat dijadikan sebagai
metode diagnosis dalam aplikasi klinis. Analisis sekuensing dinilai dapat menjawab
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan identifikasi berbasis mikrobiologi
konvensional. Metode ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan
pada mikroorganisme sensitif yang sulit untuk dikultur serta menunjukkan hasil uji
biokimia yang tidak dapat digolongkan pada genus atau spesies tertentu (secara
fenotipik membingungkan atau belum pernah ditemukan sebelumnya).
Hasil BLAST kekerabatan dari kedua isolat tersebut dapat dilihat pada Tabel
12 sebagai berikut.
Tabel 6. Data hasil BLAST isolat bakteri target
Kode Isolat
Description Max Score
Total Score
Query Cover
E value
Indent Accession Number (Gen
Bank)
D1.1 Vibrio azureus 357 357 81% 2e-94 81% gi|1032655614|KU845391.1
H.1.1 Streptomyces sp.
73.1 73.1 10% 5e-09 98% gi|1032528973|KX279646.1
Berdasarkan referensi dari (ICRI 2010), diketahui bahwa bakteri penyebab
penyakit White Syndrome ialah Vibrio carchariae. Hasil BLAST menunjukkan bahwa
isolat D 1.1 dekat dengan spesies Vibrio azureus. sedangkan isolat bakteri H1.1 dekat
dengan spesies Streptomyces sp. Menurut Sagita (2016), informasi dari hasil BLAST
66
tersebut berupa Score, Query Coverage, E-value dan Maximum identity. Score adalah
jumlah keselarasan semua segmen dari urutan database yang cocok dengan urutan
nukleotida. Nilai skor menunjukkan keakuratan nilai penjajaran sequence berupa
nukleotida yang tidak diketahui dengan sekuens nukleotida yang terdapat di dalam
Gene Bank. Semakin tinggi nilai skor yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat
homologi kedua sequence. Query coverage adalah persentasi dari panjang nukleotida
yang selaras dengan database yang terdapat pada BLAST. Max identity adalah nilai
tertinggi dari persentasi identitas atau kecocokan antara sekuen query dengan sekuen
database yang tersejajarkan. Nilai E-value merupakan nilai dugaan yang memberikan
ukuran statistik yang signifikan terhadap kedua sekuen. Nilai E-value yang semakin
tinggi menunjukkan tingkat homologi antar sequence semakin rendah, sedangkan
nilai E-value yang semakin rendah menunjukkan tingkat homologi antar sequence
semakin tinggi. Nilai E-value bernilai 0 (nol) menunjukkan bahwa kedua sekuens
tersebut identik.
4.4.2 Pohon Filogenetik kekerabatan isolat bakteri
Berdasarkan hasil BLAST, diambil beberapa urutan hasil BLAST teratas seperti
yang terdapat pada Lampiran 5. Setelah itu, selanjutnya dilakukan analisis filogeni
dengan menggunakan data sequence masing –masing isolat H 1.1 dan D 1.1 dengan
data di beberapa file informasi genetik isolat bakteri yang berkerabat dari Lampiran 5
menggunakan software MEGA 6. Hasil filogenik disajikan berbentuk pohon filogenetik
pada Gambar 19 dan Gambar 20.
67
a. Pohon Filogenetik isolat D 1.1
Gambar 10. Pohon filogenik kekerabatan isolat D 1.1
68
Teknik dalam mengidentifikasi bakteri berbasis sequence, umumnya
menggunakan informasi berupa gen pengkode spesifik. Filogeni sangat bermanfaat
dalam mengetahui diversitas biologis, menyusun klasifikasi, dan menjelaskan
fenomena yang terjadi selama proses evolusi Informasi kekerabatan (Emerson et al.,
2008). Dari hasil pohon filogenik pada Gambar 19, diketahui bahwa isolat D 1.1
memiliki kekerabatan dengan beberapa spesies bakteri hasil BLAST yang data
informasinya dimasukkan ke dalam pohon filogenik. Isolat bakteri D 1.1 memiliki
kekerabatan dengan panjang cabang 0.020 daripada pusat pohon filogenik isolat D
1.1, dimana berarti terdapat 20 kali terbentuknya cabang yang sama dari 1000 kali
pengulangan dalam pembentukan pohon filogenetik. Secara umum, cabang yang
dapat dikatakan akurat apabila peluang terbentuknya percabangan diatas 80%.
Menurut Iranawati et al., (2012), dalam pencarian BLAST yang menunjukkan
kesamaan yang signifikan dalam database Gene Bank sebesar 87 %, mayoritas cocok
dengan urutan sampel yang diujikan.
Akan tetapi, melihat hasil BLAST yang menunjukan bahwa 10 urutan teratas
merupakan spesies dari genus Vibrio sp., maka kemungkinan besar isolat D 1.1
merupakan anggota dari genus Vibrio sp. Pembuatan pohon filogenetik dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Tree. Menurut Yang and
Rannala (2012), Maximum Likelihood merupakan metode statistik berbasis karakter
yang membandingkan seluruh sequence dalam penyejajaran untuk memperhitungkan
nilai kemungkinan pada setiap pohon filogenetik.
69
b. Pohon Filogenetik isolat H 1.1
Gambar 11. Pohon filogenik kekerabatan isolat D 1.1
70
Dengan cara yang sama seperti yang dilakukan untuk isolat D 1.1, dilakukan
analisa filogenik untuk isolat H 1.1. Dari hasil pohon filogenetik pada Gambar 20,
diketahui bahwa isolat H 1.1 memiliki kekerabatan dengan beberapa spesies bakteri
hasil BLAST yang data informasinya dimasukkan ke dalam pohon filogenik
(Lampiran 6). Isolat bakteri H 1.1 memiliki kekerabatan sebesar 0.331 dengan data
hasil BLAST pada Lampiran 6. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat 331 kali
terbentuknya cabang yang sama dari 1000 kali pengulangan (bootstrap) dalam
pembentukan pohon filogenetik. Percabangan yang dapat dipercaya apabila nilai
query cover >80%. Menurut Asthari (2014), sampel yang memiliki nilai identity 99%,
nilai query cover 100%, dan nilai E value (expect value) 0.0, menunjukkan bahwa
hasil identifikasi DNA dari sampel tersebut memiliki tingkat kesamaan yang tinggi
dengan data DNA yang terdapat pada GenBank.
Hasil BLAST pada urutan kedua menunjukkan bahwa isolat H 1.1 diduga
merupakan spesies Streptomyces sp. Akan tetapi, berdasarkan nilai query covernya
yang sangat kecil (10%), maka identifikasi ini harus ditinjau ulang dengan hati-hati.
Untuk itu, perlu dilakukan analisa identifikasi lebih lanjut seperti identifikasi secara
biokimia dan molekuler dengan menggunakan primer yang lain.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang
dapat ditarik adalah :
1 Prevalensi White Syndrome di perairan Kondang Merak – Kabupaten Malang
Selatan (stasiun I sebesar 37% dan stasiun sebesar II 18%) dengan data
pendukung dari parameter perairan dari suhu sebesar 29,9oC, salinitas 35
ppt, pH 6,78, serta DO 5,9 mg/L.
2 Isolat H 1.1 (Isolat 1 dari sampel karang sehat di stasiun I) memiliki potensi
daya hambat terbesar terhadap bakteri dari sampel terinfeksi White
Syndrome pada isolat D 1.1 (solat 1 dari sampel karang sakit di stasiun 1).
Daya hambat antar isolat tersebut memiliki nilai rata-rata zona bening /
resistensi paling besar yaitu sebesar 4.5 ±0.41mm.
3 Terdapat 2 isolat dari sampel H 1.2 dan H 1.3 tergolong bakteri gram negatif
dan 10 isolat bakteri dari sampel H 1.1, D 1.1, D 1.2, D 1.3, H 2.1, H 2.2, H
2.3, D 2.1, D 2.2, serta D 2.3 tergolong ke dalam jenis bakteri gram positif.
Hasil analisis BLAST menunjukkan bahwa isolat bakteri D1.1 653 (bp) 81%
adalah anggota Vibrio azureus (accession number
gi|1032655614|KU845391.1), sedangkan isolat bakteri H1.1 359 (bp) 98%
adalah anggota Streptomyces sp. (accession number GiJ1032528973JKX
279646.1).
5.2 Kendala dan Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya mengenai uji daya hambat antar bakteri dengan
bakteri, perlu adanya penghitungan fase bakteri yang sama dengan
pembuatan kurva antara nilai absorbansi dengan hasil TPC isolat bakteri.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji histopatologi pada
penyakit karang yang menjadi target dalam penelitian sebagai pembuktian
dari bakteri yang menyebabkan penyakit White Syndrome atau bukan, dan
melakukan identifikasi secara molekular dengan menggunakan primer lain
sebagai bahan pertimbangan pada kualitas hasil sequencing.
73
DAFTAR PUSTAKA
Altschul, S F, T L Madden, A A Schäffer, J Zhang, Z Zhang, W Miller, and D J
Lipman. 1997. “Gapped BLAST and PSI-BLAST: A New Generation of
Protein Database Search Programs.” Nucleic Acids Research 25
(17):3389–3402.
Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. Rineka
Cipta.
Asthari Kris Hardani, Cynthia. 2014. “„Analisis Data Dna.‟” Buku Panduan
Praktikum Mata Kuliah Bioteknologi Kelautan, 2014. FPIK UB: Malang
Aznar, R., W. Ludwig, R. I. Amann, and K. H. Schleifer. 1994. “Sequence
Determination of rRNA Genes of Pathogenic Vibrio Species and Whole-
Cell Identification of Vibrio Vulnificus with rRNA-Targeted Oligonucleotide
Probes.” International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology 44 (2):330–337.
Ben-Haim, Y. 2003. “Vibrio Coralliilyticus Sp. Nov., a Temperature-Dependent
Pathogen of the Coral Pocillopora Damicornis.” International Journal Of
Systematic And Evolutionary Microbiology 53 (1):309–15.
Brock, Thomas D, and Madigan. 2004. “Biology of Microorganisms, 6th Edition.”
2004. https://www.abebooks.com. Diakses pada 23 Juli 2017. Pukul
18.00 WIB
Brown, Barbara E. 1997. “Disturbances to Reefs in Recent Times.” Life and
Death of Coral Reefs, 354–379.
Bruckner, Andrew. 2009. “The Global Perspective of Incidence and Prevalence of
Coral Diseases.” Coral Health and Disease in the Pacific: Vision for
Action, 90.
Cappuccino, James G., and Natalie Sherman. 1987. Microbiology: A Laboratory
Manual. Benjamin/Cummings: New York
Cervino, J.M., F.L. Thompson, B. Gomez-Gil, E.A. Lorence, T.J. Goreau, R.L.
Hayes, K.B. Winiarski-Cervino, G.W. Smith, K. Hughen, and E. Bartels.
2008. “The Vibrio Core Group Induces Yellow Band Disease in Caribbean
and Indo-Pacific Reef-Building Corals.” Journal of Applied Microbiology
105 (5):1658–71.
74
Cleopatria, Kapti. 2015. “Studi Tentang Penyakit Karang Scleractinia Di Perairan
Kondang Merak Kabupaten Malang.” Sarjana, Universitas Brawijaya.
Constant, Philippe, Laurier Poissant, and Richard Villemur. 2008. “Isolation of
Streptomyces Sp. PCB7, the First Microorganism Demonstrating High-
Affinity Uptake of Tropospheric H2.” The ISME Journal 2 (10):1066.
Dwidjoseputro, D. 1981. Dasar-dasar mikrobiologi. Penerbit Djambatan: Jakarta
Emerson, David, Liane Agulto, Henry Liu, and Liping Liu. 2008. “Identifying and
Characterizing Bacteria in an Era of Genomics and Proteomics.”
BioScience 58 (10):925–936.
Geffen, Yuval, Eliora Z. Ron, and Eugene Rosenberg. 2009. “Regulation of
Release of Antibacterials from Stressed Scleractinian Corals.” FEMS
Microbiology Letters 295 (1):103–9.
Gignoux-Wolfsohn, S. A. 2012. “White Syndrome Transmission in the Threatened
Coral, Acropora Cervicornis.” Scientific Reports 2 (November).
Gilman, Eric L., Joanna Ellison, Norman C. Duke, and Colin Field. 2008. “Threats
to Mangroves from Climate Change and Adaptation Options: A Review.”
Aquatic Botany 89 (2):237–50.
Google images. 2017. www.googleimages.com. Diakses pada 2 Juni 2017.
Pukul 18.00 WIB
Hazrul, Hazrul. 2016. “Identifikasi Penyakit Karang (Scleractinia) Di Perairan
Pulau Saponda Laut, Sulawesi Tenggara.” Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu
Kelautan) 1 (2). http://ojs.uho.ac.id. Diakses pada 12 Juni 2017. Pukul
19.20 WIB
Higginbotham, Sarah J., and Cormac D. Murphy. 2010. “Identification and
Characterisation of a Streptomyces Sp. Isolate Exhibiting Activity against
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus.” Microbiological Research
165 (1):82–86.
ICRI. 2010. “ICRI News | International Coral Reef Initiative.”
http://www.icriforum.org. Diakses pada 22 Juli 2017. Pukul 13.00 WIB
Iranawati, Feni, Hyungtaek Jung, Vincent Chand, David A. Hurwood, and Peter
B. Mather. 2012. “Analysis of Genome Survey Sequences and SSR
Marker Development for Siamese Mud Carp, Henicorhynchus Siamensis,
Using 454 Pyrosequencing.” International Journal of Molecular Sciences
13 (12):10807–27.
75
Irwan, Asep, Jaya Kelvin, and Ghalib Kamal. 2012. “Analisis Kualitas Air Dengan
Pendekatan Statistik Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Biawak
Indramayu.” UNPAD. Jawa Barat. http://www.digilib.itb.ac.id. Diakses
pada 17 Mei 2017. Pukul 14.00 WIB
Klien. 1999. “Perbedaan Bakteri Gram Positif Dan Bakteri Gram Negatif.” E-
Jurnal. http://www.e-jurnal.com. Diakses pada 7 Mei 2017. Pukul 22.00
WIB
Lentz, Jennifer A. 2011. “Evaluating Patterns of a White-Band Disease (WBD)
Outbreak in Acropora Palmata Using Spatial Analysis: A Comparison of
Transect and Colony Clustering.” PLoS ONE 6 (7):e21830.
Luthfi, Oktiyas Muzaky. 2016. “Bentuk Pertumbuhan Karang Di Wilayah Rataan
Terumbu (Reef Flat) Perairan Kondang Merak, Malang, Sebagai Strategi
Adaptasi Terhadap Lingkungan.” ResearchGate.
https://www.researchgate.net. Diakses pada 24 Mei 2017. Pukul 14.00
WIB
Machmud, Muhammad. 2001. “Teknik Penyimpanan Dan Pemeliharaan
Mikroba.” Buletin AgroBio 4 (1):24–32.
Madigan, Michael T., Kelly S. Bender, Daniel H. Buckley, W. Matthew Sattley,
and David A. Stahl. 2017. Brock Biology of Microorganisms. Pearson
Education: New York
Moelyaningrum, Anita Dewi. 2016. “Kajian Potensi Pengembangan Mangrove Di
Pesisir Puger Kabupaten Jember, Jawa Timur, Indonesia.”
http://repository unej.ac.id. Diakses pada 16 Juli 2017. Pukul 12.00 WIB
Negritto, Cristina. 2010. “Double-Strand DNA Breaks | Learn Science at
Scitable.” Scitable by Nature Education. 2010. https://www.nature.com.
Diakses pada 12 Juni 2017. Pukul 12.00 WIB
Nugraha, Dias Alfian. n.d. “Analisis Sebaran Karang Di Perairan Kondang Merak,
Malang Selatan.” Accessed February 12, 2017.
https://www.researchgate.net. Diakses pada 13 Juli 2017. Pukul 19.00
WIB
Nugroho, Rizky Pandji. 2015. “Bioprospeksi Dan Identifikasi Molekuler Bakteri
Yang Berasosiasi Dengan Alga Hijau Sebagai Penghasil Senyawa
Antibakteri.” Prosiding KPSDA 1 (1). http://www.jurnal.fkip.uns.ac.id.
Diakses pada 20 Juli 2017. Pukul 17.00 WIB
76
Oikonomou, Nikos, Marios-Angelos Mouratis, Argyris Tzouvelekis, Eleanna
Kaffe, Christos Valavanis, George Vilaras, Andreas Karameris, Glenn D.
Prestwich, Demosthenes Bouros, and Vassilis Aidinis. 2012. “Pulmonary
Autotaxin Expression Contributes to the Pathogenesis of Pulmonary
Fibrosis.” American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology 47
(5):566–74.
Pantos, Olga. 2003. “The Bacterial Ecology of a Plague-like Disease Affecting the
Caribbean Coral Montastrea Annularis.” Environmental Microbiology 5
(5):370–82.
Pelczar, Michael. E, Chan. 1998. Dasar- dasar Microbiology. Penerbit Universitas
Indonesia: Jakarta
Pichon, Michel. n.d. “Recent Changes in Scleractinian Coral Nomenclature and
classification.(A Practical Guide for Coral and Reef Ecologists).”
http://www.mideastcrs.org. Diakses pada 13 Juli 2017. Pukul 19.00 WIB
Priono, Bambang, and Darti Satyani. 2010. “Sekilas Tentang Beberapa Jenis
Ikan Hias Air Tawar Yang Dilarang Masuk Ke Indonesia.” Media
Akuakultur 5 (2):102–108.
Putra P., Yesaya. 2014. Aktivitas Bakteri Karang sebagai Agen Antipatogen
Ulcerative White Spots di Perairan Pulau Panjang, Jepara. Fakultas
Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
http://repository.uksw.edu. Diakses pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30. WIB
Raymundo, Laurie. 2008. “A Coral Disease Handbook: Guidelines for
Assessment, Monitoring and Management | Biological.” 2008.
https://www.sprep.org. Diakses pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30. WIB
Richardson, L. n.d. “Proceedings of the 1997 Science Meeting.” http://www.amlc-
carib.org. Diakses pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30. WIB
Rinanda, Tristia. 2011. “Analisis Sekuensing 16s Rrna Di Bidang Mikrobiologi.”
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 11 (3):172–177.
Ritchie, R. 1998. “Proceedings of the 1997 Science Meeting.” 1998.
http://www.amlc-carib.org. Diakses pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30. WIB
Roff, George, E. Charlotte E. Kvennefors, Maoz Fine, Juan Ortiz, Joanne E.
Davy, and Ove Hoegh-Guldberg. 2011. “The Ecology of „Acroporid White
Syndrome‟, a Coral Disease from the Southern Great Barrier Reef.”
Edited by Richard K. F. Unsworth. PLoS ONE 6 (12):e26829.
77
Rosenberg, Eugene. 2007. “The Role of Microorganisms in Coral Health,
Disease and Evolution.” Nature Reviews Microbiology 5 (5):355–62.
Sabdono, Agus, and Ocky Karna Radjasa. 2006. “Karakterisasi Molekuler Bakteri
Yang Berasosiasi Dengan Penyakit Bbd (Black Band Disease) Pada
Karang Acropora Sp Di Perairan Karimunjawa.” Ilmu Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Sciences 11 (3):158–162.
Sagita, Dian. 2016. “Analisis Hasil BLAST.” 2016.
http://diansagitafitri.blogspot.com. Diakses pada 13 Juli 2017. Pukul 10.00
WIB
Santavy, Deborah L. 2005. “The Condition of Coral Reefs in South Florida (2000)
Using Coral Disease and Bleaching as Indicators.” Environmental
Monitoring and Assessment 100 (1):129–152.
Septyadi, Agoes. 2013. “Analisis Perbedaan Morfologi Dan Kelimpahan Karang
Pada Daerah Rataan Terumbu (Reef Flate) Dengan Daerah Tubir (Reef
Slope) Di Pulau Panjang, Jepara.” http://www.academia.edu. Diakses
pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30. WIB
Soenardjo, Nirwani. 2013. “Karakterisasi Bakteri Yang Berasosiasi Dengan
Penyakit Pink-Blotchdi P. Sambangan, Karimunjawa.” Buletin
Oseanografi Marina 2 (1):58–65.
Souhoka, Jemmy, and Simon I. Patty. 2013. “Hydrology Monitoring In
Conjunction With The Condition Of Coral Reefs In The Waters of Talise
Island, North Sulawesi.” Jurnal Ilmiah Platax 1 (3):138–147.
Sridiati, Fitria. 2016. “Pengertian Bakteri Gram Positif Dan Negatif.” Pengertian
Bakteri Gram Positif Dan Negatif. 2016. http://www.sridianti.com. Diakses
pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30. WIB
Suharsono. 2008. Jenis-Jenis Karang Di Indonesia. Jakarta: LIPI, Coremap
Program.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Djambatan:
Jakarta
Usman, Wulan Sari. 2015. “Bakteri Asosiasi Karang Yang Terinfeksi Penyakit
Brown Band (Brb) Di Perairan Pulau Barranglompo Kota Makassar.”
http://repository.unhas.ac.id. Diakses pada 13 Juni 2017. Pukul 12.30.
WIB
Waluyo. 2004. Mikrobiologi Kesehatan: Peran Mikrobiologi Dalam Bidang
Kesehatan. Penerbit Andi: Jakarta
78
Wangpraseurt, Daniel. 2012. “In Situ Oxygen Dynamics in Coral-Algal
Interactions.” PLoS ONE 7 (2):e31192.
Widyawati, Trias. 2015. “Analisis Hubungan Faktor Lingkungan Dengan
Komposisi Plankton Di Perairan Kondang Merak, Malang.” Sarjana,
Universitas Brawijaya. http://repository.ub.ac.id. Diakses pada 13 Juni
2017. Pukul 12.30. WIB
Wijaya, Surya, and Hendra Nopriansyah. 2012. “Uji Invitro Efek Antibakteri
Ekstrak Daging Muda Buah Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa)
Terhadap Klebsiella Pneumoniae.” JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kedokteran Indonesia 1 (1):1–9.
Yang, Ziheng, and Bruce Rannala. 2012. “Molecular Phylogenetics: Principles
and Practice.” Nature Reviews Genetics 13 (5):303–14.