18
ISSN 2339-0638 Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah Analisis Situasi Cepat Jonatan A. Lassa (Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia; Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia) Maddi Djara (Penerjemah ke Bahasa Indonesia) June 2017 Kutipan: Lassa, JA. 2017. Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah Analisis Situasi Cepat, Kertas Kerja #17, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kertas Kerja IRGSC No. 17 www.irgsc.org/publication[ISSN 2339-0638] Tulisan ini disajikan di sini untuk meminta pendapat untuk perbaikan. Pandangan yang diutarakan dalam Kertas Kerja IRGSC adalah pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Institute of Resource Governance and Social Change. Kertas Kerja ini belum melewati tinjauan dan persetujuan akademis formal. Tulisan-tulisan ditampilkan dalam rangkaian ini untuk mendapatkan umpan balik serta mendorong perdebatan tentang tantangan kebijakan public tentang pembangunan dan sumber daya yang berisiko. Hak cipta dipegang oleh (para) penulis. Tulisan hanya dapat diunduh untuk kepentingan pembelajaran dan penelitian.

ISSN 2339-0638 - irgsc.orgirgsc.org/pubs/wp/IRGSCWP17-locust-outbreak-sumba-indonesia-bahasa.pdfdalam Kertas Kerja IRGSC adalah pandangan penulis dan ... pemerintah daerah untuk mengendalikan

  • Upload
    vutu

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ISSN 2339-0638

Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia:

Sebuah Analisis Situasi Cepat

Jonatan A. Lassa

(Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia; Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia)

Maddi Djara (Penerjemah ke Bahasa Indonesia)

June 2017

Kutipan:

Lassa, JA. 2017. Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah

Analisis Situasi Cepat, Kertas Kerja #17, Institute of Resource Governance and Social

Change (IRGSC)

Kertas Kerja IRGSC No. 17 www.irgsc.org/publication[ISSN 2339-0638]

Tulisan ini disajikan di sini untuk meminta pendapat untuk perbaikan. Pandangan yang diutarakan

dalam Kertas Kerja IRGSC adalah pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan

Institute of Resource Governance and Social Change. Kertas Kerja ini belum melewati tinjauan dan

persetujuan akademis formal. Tulisan-tulisan ditampilkan dalam rangkaian ini untuk mendapatkan

umpan balik serta mendorong perdebatan tentang tantangan kebijakan public tentang pembangunan

dan sumber daya yang berisiko. Hak cipta dipegang oleh (para) penulis. Tulisan hanya dapat diunduh

untuk kepentingan pembelajaran dan penelitian.

2

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia: A Rapid

Situational Analysis

Jonatan A. Lassa1,2

1Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia

2 Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia

Maddi Djara3

3Penerjemah ke Bahasa Indonesia

Abstrak. Wabah hama belalang dahsyat yang menyerang Pulau Sumba, Indonesia pada tahun 1997-

2003 kembali terjadi. Pada tanggal 10 Juni 2017, berbagai media berita lokal, nasional serta media

sosial menyorot serangan hama belalang pada sebuah bandara setempat di mana jutaan belalang

mengganggu penerbangan akibat rendahnya jarak pandangan di dan sekitar bandara tersebut. Tulisan

ini memberikan penjelasan cepat tentang apa yang terjadi, besaran skala kejadian, titik masalah serta

tindakan kedaruratan yang telah diambil pemerintah serta apa yang perlu dilakukan dalam jangka

pendek dan jangka yang lebih panjang. Secara ringkas penulis menyoroti lima puluh tahun sejarah

wabah hama di Pulau Sumba Sumba. Lebih lanjut tulisan ini menyoroti pembelajaran dari kejadian-

kejadian tersebut serta menyajikan hikmah tentang hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi

intensitas wabah tersebut saat ini dan di masa depan. Penulis mengusulkan penggunaan teknologi yang

relatif murah seperti sistem pemantauan udara tanpa awak untuk memantau hama sehingga dapat

memantau dan mengendalikan wabah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melakukan

transformasi terhadap sistem tata kelola agar lebih adaptif dan responsif, tidak hanya menghadapi

perubahan dinamis keadaan lingkungan termasuk iklim, tetapi juga dalam hal pemanfaatan teknologi

baru untuk pemantauan yang efisien dan intervensi yang efektif.

Kata Kunci Wabah hama belalang, guncangan iklim, El-Nino, risiko bencana, pengelolaan risiko,

pencegahan wabah

Pengantar: Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba

Serangan wabah hama belalang kembara yang terjadi di Sumba Timur, Indonesia baru-baru ini

telah mengakibatkan krisis lokal di mana tanpa ada peringatan dini, hama tersebut menyerang dan

mengganggu pelayanan Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu, Sumba Timur pada tanggal

10 Juni 2017. Kejadian itu langsung menjadi pemberitaan media nasional karena penyebaran

gambar kejadian di media maupun media sosial. Lebih dari seratus posting dan pemutakhiran

status Facebook dalam waktu 10-14 Juni 2017 menerangkan tentang serangan belalang kembara

di beberapa tempat dan rumah di Kota Waingapu (mis. Killa 2017, Pada 2017; Maubokul 2017).

Sebuah foto melaporkan bahwa hanya “dalam sehari, belalang menghabiskan semua daun pohon

bambu” di sebuah lingkungan (Lodji 2017).

Wabah tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2016 ketika belalang ‘menguasai’ kebun,

semak dan pohon. Menurut pejabat daerah, pusat sebaran hama belalang saat ini “hanya di

enam” (dari 22) kecamatan di Sumba Timur, yaitu Pahunga Lodu, Rindi, Umalulu, Kambata

Mapambuhang, Pandawai dan Kambera. Pejabat daerah juga mengeluarkan pernyataan senada

3

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

tentang titik masalah yang sama pada bulan Juni 2016 (VOA Indonesia 2016). Sebulan setelah

wabah pertama, bupati Sumba Timur mengumumkan keadaan darurat pada tanggal 13 July 2016

(Dengi 2016). Karena penurunan intensitas serangan pada bulan Agustus 2016 dan bulan-bulan

berikutnya, pemerintah daerah menurunkan tingkat kewaspadaannya (Lintas NTT 2016b). Karena

itu, skala serangan belalang pada tahun berikutnya bisa menyerang wilayah yang lebih luas dari

pada yang wilayah diklaim pemerintah daerah sebagai titik masalah.

Salah satu masalah yang dihadapi adalah keenam kecamatan tersebut mencakup 27 persen

wilayah Kabupaten Sumba Timur (7000 km2) sedangkan di Dinas Pertanian Kabupaten Sumba

Timur hanya terdapat sepuluh petugas yang bertanggung jawab atas serangga, yang bekerja

“siang dan malam” untuk mengurangi intensitas wabah tersebut (Yiwa 2017). Hal ini diperparah

dengan kurangnya teknologi untuk memantau hama. Pendekatan utama yang diambil oleh

pemerintah daerah untuk mengendalikan wabah yang terjadi adalah penyemprotan pestisida di

wilayah yang mengalami wabah. Pendekatan serupa telah digunakan sejak tahun lalu. Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) misalnya, dilibatkan dalam upaya mengurangi intensitas

wabah hama belalang dengan menyemprot semak-semak terdekat (Lintas NTT 2016a).

Dampak yang termati dapat dilihat langsung dari kerusakan dan gagal panen di kecamatan-

kecamatan yang disebut di atas. Baik tanaman padi maupun jagung terkena dampak dari hama ini.

Namun demikian, terdapat laporan yang saling bertentangan dari pihak pemerintah daerah. Salah

satu versi berita baiknya menyatakan bahwa serangan ini terjadi setelah panen terakhir sehingga

tampaknya berita tentang kerusakan tertunda sampai ada pemberitahuan lebih lanjut (Aziz 2017).

Berita baik lainnya adalah bahwa tidak seperti wabah tahun 1998-2003 (Lihat Gambar 2A dan

2B), sebagian besar padi yang berada dalam masa pertumbuhan masih belum diserang. Karena

itu, perhitungan rinci masih perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana dan siapa yang

akan melaksanakannya?

Sejumlah langkah yang telah diambil pemerintah daerah adalah: Pertama, pemerintah cepat

mengadakan koordinasi antar lembaga dan memberi tanggapan. Dinas Pertanian, Dinas Sosial,

dan Badan Penanggulangan Bencana serta lembaga pemerintah lain telah turun ke lapangan

memantau dan mengambil tindakan (Yiwa 2017). Kedua, pemerintah daerah telah membagikan

pestisida kepada masyarakat untuk memberantas larva belalang. Dengan bantuan TNI, tenaga

entomologi telah menyemprot wilayah yang dicurigai sebagai tempat perkembangbiakan belalang

serta wilayah yang terserang belalang. Pada tingkatan tertentu, pendekatan ini dapat mengurangi

wabah, terutama di wilayah-wilayah terisolir tempat konsentrasi populasi belalang yang masih

berada pada tahap paling awal siklus hidupnya sehingga dapat dikendalikan. Strategi ketiga yang

diumumkan pemerintah daerah memanfaatkan 100 ton persediaan beras. Strategi ini merupakan

standar operasional yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan, di mana masing-masing

kabupaten menyimpan 100 ton beras untuk cadangan kedaruratan (Bere 2017). Keempat,

diadakan koordinasi vertikal dengan pemerintah provinsi dan pusat untuk memobilisir lebih

banyak dukungan guna mengantisipasi adanya peningkatan serangan.

Tindakan pada tingkat masyarakat antara lain termasuk intervensi berikut: Pertama, setiap

petani mengusir belalang dari sisa tanaman di kebun masing-masing menggunakan tongkat atau

4

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

D

sejenisnya (MaxFM 2017). Kedua, selain intervensi per rumah tangga, sejumlah masyarakat dan

relawan menggunakan pestisida yang dibagikan untuk menyemprot kumpulan nimfa dan kawanan

belalang dewasa. Dinas Pertanian Kabupaten bekerja sama dengan sejumlah masyarakat untuk

menyemprot belalang kembara (MaxFM 2017).

Pemerintah daerah menggabungkan berbagai upaya ini dan menggunakannya sebagai strategi

utama komunikasi krisis guna menenangkan masyarakat. Namun demikian, jejaring sosial dan

media yang peduli prihatin dengan pemanfaatan pestisida. Keprihatinan tersebut memiliki dasar

tersendiri karena sebagian masyarakat lokal yang terlibat dalam upaya menangani wabah ini

melakukan penyemprotan tanpa pengaman (mis. menggunakan kaki kosong dan tanpa

menggunakan masker ketika menyemprot kawanan belalang). Namun demikian, pemerintah

daerah juga memiliki keprihatinan untuk mencegah agar krisis ini tidak berubah menjadi bencana.

Strategi serupa telah disusun pada tahun sebelumnya.

Pola Wabah Belalang: Apa yang Kita Ketahui Sejauh ini?

Pemahaman awal tentang wabah belalang bergantung pada tiga tahap, yaitu CMG. C merujuk

kepada konsentrasi belalang, M adalah penggandaan dan G adalah gregarisasi (titik di mana

serangga atau hama tunggal beralih menjadi kawanan (gregaria) akibat pertumbuhan populasi

yang mendadak). Peralihan dari konsentrasi menuju penggandaan sampai ke gregarisasi

bergantung pada konteks ekologi setempat. Dampak kekeringan akibat El-Nino kuat sering kali

mengakibatkan musim kering yang panjang dengan besaran dan skala yang tidak dapat ditolerir

sehingga sejumlah sumber daya biologis (seperti pemangsa alami seperti burung dan lalat

parasitoid) menghilang dan belalang dapat menggandakan diri tanpa kendali (Roffey dan Popov

1968) khususnya ketika musim hujan tiba (Magor et. al. 2008).

Gambar 1. Pola Wabah Hama Belalang [Sumber: Disadur dari Lecoq dan Sukirno 1999:159] [Catatan dari Lecoq dan Sukirno 1999:159] B adalah peluang peningkatan populasi melalui perkembangbiakan; C, peluang peningkatan kepadatan dengan pembatasan wilayah yang ditempati; G, ambang gregarisasi (2000 belalang dewasa/ha); L, populasi belalang kembara; ne. populasi kompleks musuh alami; R, musim hujan; 1-5. Generasi berurutan dari belalang kembara (3 di musim hujan, 2 di musim kering). D ditambahkan penulis untuk mengindikasikan bahwa semakin besar selisih antara ne dan L dapat mengakibatkan wabah yang lebih besar.

5

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Sejumlah pakar menyatakan bahwa “periode kering pasti sangat penting bagi kondisi lingkungan

yang sangat lembab ini, karena tingkat curah hujan lebih cocok dengan kebutuhan ekologis normal

serangga ini. Selain itu, kekeringan pasti mengakibatkan penurunan populasi musuh alami yang

tajam, yang berfungsi sebagai pengendali populasi normal belalang” (Lecoq dan Sukirno

1999:155). Berdasarkan fenomena yang terjadi tahun 1997/1998 di Sumatera bagian selatan, Lecoq

dan Sukirno (1999:159) (Gambar 1) mengemukakan hipotesis tentang dinamika populasi belalang

kembara oriental dan dampak musuh alami pada pengendalian populasi belalang (B) (Lihat Gambar

1), peluang peningkatan populasi melalui perkembangbiakan (C) yang berpotensi menunu peluang

konsentrasi populasi padat dengan membatasi wilayah yang ditempati; G adalah ambang gregarisasi

yaitu 2000 belalang per ha. Yang perlu ditakuti adalah membesarnya selisih antara musuh alami dan

populasi belalang di mana semakin besar selisih (D), semakin besar pula kerusakan yang terjadi

akibat wabah.

Cisse, S. et. al. 2015 mengungkap sebuah penelitian empiris di mana ambang gregarisasi bisa jadi

lebih kompleks/rumit dibanding ambang yang dispekulasi/dihipotesiskan Lecoq dan Sukirno 1999).

Yang lebih menarik adalah fakta bahwa gregarisasi bergantung pada beberapa faktor termasuk

konteks ekologi dan perubahan kondisi lingkungan. Cease et. al. (2012) menyatakan bahwa

“penggembalaan ternak yang berat mendorong wabah belalang melalui mekanisme peralihan

kandungan hara tumbuhan menuju kondisi lebih rendah nitrogen yang cocok untuk belalang jenis

Oedaleus asiaticus.” Perlu dilakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan apakah mekanisme

ini yang terjadi di Sumba sehingga bisa didapatkan kesimpulan yang lebih kuat tentang ambang

tersebut.

Beberapa model pencegahan wabah telah diidentifikasi pada abad ke-20. Salah satu model yang

paling tua adalah pendekatan “in situ” di mana dibentuk tim-tim daerah untuk memantau dan

mengendalikan wilayah serangan. Model ini telah digunakan oleh pemerintah daerah pada tahun

2016 dan 2017. Pendekatan ini memiliki keunggulan kalau wilayah yang diserang kecil sehingga

sampai tingkatan tertentu dapat dikendalikan. Namun demikian, pendekatan ini lebih bersifat

reaktif dan kurang efektif untuk wilayah serangan yang lebih luas (Magor et. al. 2008).

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi yang lebih awal dapat mencegah sejumlah

wabah (Magor et. al. 2008). Intervensi dimaksud dapat dilakukan sebelum dimulainya hujan pasca

musim kemarau atau kekeringan. Hal ini membutuhkan insentif dari pemerintah pusat dan daerah

untuk menciptakan kondisi agar sebelum musim hujan tiba, dapat dilakukan tindakan kontrol

dengan meningkatkan peluang mortalitas/kematian kumpulan nimfa dan kawanan belalang.

Inovasi teknologi untuk memantau hama bukanlah sesuatu yang baru. Teknologi pengindraan jauh

sudah lazim digunakan di banyak negara. Walaupun teknologi pengindraan jauh dapat membantu

menyediakan informasi bagi petani dan pemerintah daerah tentang potensi wabah (Mahlein, AK.

2016), teknologi tersebut bisa jadi mahal dan asing bagi pejabat pemerintahan di Sumba. Dalam

konteks kegiatan belalang juta (desert-locust), gagasan penggunaan teknologi pengindraan jauh

sudah ada sejak 30-40 tahun lalu (lihat Tucker et. al. 2005; Despland et. al. 2004. Bryceson 1989;

Tappan et. al. 1991).

6

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Sejarah Singkat Wabah Belalang di Sumba Timur

Serangan hama belalang dan tikus menjadi bagian dari kepercayaan tradisional di Sumba. Sebagai

contoh, Kapita (1976:362) menggarisbawahi fakta bahwa penduduk setempat berdoa meminta

Tuhan mengirimkan burung hantu untuk mencegah bencana dari hama seperti tikus, belalang dan

wereng. Pengamatan empiris juga menunjukkan bahwa pembakaran terkendali telah digunakan

sebagai strategi penghidupan utama untuk mengendalikan belalang (Russell-Smith, J. et. al. 2007).

Namun demikian, masih perlu ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana pembakaran terkendali

selalu dapat dilakukan petani dan bagaimana strategi tersebut dapat memecahkan masalah belalang

dalam jangka panjang. Sayangnya, sebagian besar penelitian ilmu sosial di Sumba sama sekali tidak

membahas masalah wabah hama belalang.

Beberapa pustaka telah mencatat pengalaman terbaru tentang hama belalang kembara khususnya

dalam 60 tahun terakhir. Lecoq dan Sukirno (1999) mencatat bahwa wabah hama belalang terjadi

pada tahun 1973/1976. Sejarah lisan dari desa-desa seperti Napu, Haharu, Sumba Timur,

mengindikasikan bahwa pada tahun 1957 terjadi ledakan hama besar-besaran sehingga

mengakibatkan kelaparan (Tabel 1). NOAA mencatat tahun 1957/1958 sebagai tahun El-Nino kuat.

Teka-teki cerita-cerita masyarakat (dan/atau sejarah lisan) ini sejalan dengan dokumen yang tak

diterbitkan seperti proses partisipatif yang dilaksanakan PMPB Kupang tahun 2003 dan 2007 yang

menunjukkan bahwa sebagian besar wabah belalang di Sumba dalam 60 tahun terakhir terjadi pada

saat kejadian El-Nino kuat (Tabel 1). Hal ini bisa berarti bahwa kekeringan yang parah dan sangat

parah mengakibatkan hilangnya sejumlah pemangsa alami saat daerah tersebut memasuki musim

hujan, dan hama tidak terawasi sehingga berkembang tanpa kendali.

Tabel 1 Sejarah Wabah Belalang di Sumba 1950an-2017

Tahun El-Nino [berdasarkan

catatan NOAA]

Tahun Wabah Hama Belalang

Kejadian bencana (masa sulit/paceklik)

Intervensi yang dilakukan

1957-1958 [El-Nino kuat]

1957 Serangan hama (terutama ledakan Populasi Wereng)

Pangan masa paceklik dari hutan setempat

1963/1964 [El-Nino sedang]

1965/1966 [El-Nino kuat]

1965

El-Nino kuat – Kekeringan

Menjual ternak dan pangan masa paceklik dari hutam setempat

1972/1973 [El-Nino kuat]

1974 – 1975 Serangan belalang Ubi liar dari hutan setempat (iwi)

1997/1998 [El-Nino sangat kuat]

1997/1998

Kekeringan akibat El-Nino Pangan masa paceklik dari hutan setempat

dan mandara

2002/2003 [El- Nino sedang]

1998-2003

Serangan belalang Eskalasi wabah hama belalang dimulai Pangan masa paceklik dari hutan setempat dan mandara

7

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

2015/2016 [El-Nino sangat kuat]

2016-2017

El-Nino – Kekeringan – mengakibatkan wabah hama belalang

Eskalasi wabah hama belalang tahun 2016 dan 2017.

Sumber: Lassa 2011; PMPB Kupang, Laporan PRA di Sumba Timur 2003; dan berbagai sumber termasuk klasifikasi tahun El-Nino dan La-Nina dari NOAA.

Ke-empat kabupaten di Sumba termasuk kabupaten termiskin di Indonesia. Salah satu alasannya

adalah warisan bahaya dan risiko alamiah termasuk kerentanan terhadap wabah hama belalang

sekurang-kurangnya dalam 70 tahun terakhir (Lassa 2011). Sejumlah praktik dan gagasan lokal

untuk menangani risiko wabah hama belalang telah diidentifikasi oleh LSM dan masyarakat lokal

(PMPB Kupang 2003):

Pada bulan November, saat musim tanam hampir dimulai dan nyali (ulat panjang) muncul, petani

memutuskan untuk tidak menanami lahan karena lebih berpeluang gagal.

Jika terdapat ombak besar pada bulan September dan Oktober serta masyarakat menanam

jagung pada bulan November karena dipandang sebagai tanda musim normal, maka panen akan

baik. Namun jika ombak muncul di akhir Oktober dan November, tanaman lebih berpeluang

gagal.

Yayasan Tananua di Waingapu mengadakan penilaian risiko di desa-desa atau masyarakat

tempat kerjanya, dari berbagai sudut. Mereka mengatakan bahwa gagasan yang tepat tentang

adaptasi iklim adalah penganekaragaman pilihan penghidupan termasuk di dalamnya

penganekaragaman pangan. Ini merupakan cara paling kreatif menghadapi risiko terkait iklim

(Randandma 2011). Sebagai contoh, di desa Meurumba, Sumba Timur, Tananua mendapati

bahwa masyarakat setempat mengidentifikasi opsi-opsi penghidupan mereka untuk mengatasi

ketidakpastian iklim. Pertama, mereka menanam tanaman seperti, jagung, umbi-umbian dan

kacang-kacangan. Kedua, mereka menanam komoditi hutan non kayu (dikenal sebagai tanaman

umur panjang) seperti pohon kemiri, pinang, kopi, mahoni, jati putih dan sirih. Ketiga,

mengakses layanan simpan pinjam. Keempat menanam dan menjual sayur dan akhirnya

melibatkan diri dalam kegiatan mandara (barter).

Selain itu, penduduk desa Meurumba juga memandang beras murah sebagai tanaman pilihan.

Hutan masyarakat dan rumah tangga adalah pilihan berikutnya. Opsi terakhir merupakan

bagian dari upaya untuk meningkatkan jumlah ternak kecil.

Patut dicatat bahwa ketika masyarakat setempat diminta menyebutkan opsi-opsi untuk adaptasi

dan penurunan risiko dalam konteks kelaparan dan kekeringan, jawaban yang diberikan kurang

lebih sama dengan yang diperoleh dari proses PMPB tahun 2003 di desa Napu.

Dampak Wabah Hama Belalang di Sumba Timur Sejak 1990

Jejak wabah hama belalang di Sumba sejak tahun 1990 dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.

Catatan resmi dari Statistik Pertanian menunjukkan bahwa semua panen tanaman pangan

termasuk jagung, padi, kedelai, kacang hijau dan kacang tanah mencapai nol (Gambar 2a).

Kacang-kacangan merupakan kelompok tanaman yang paling rentan seperti terlihat dari fakta

8

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

bahwa masyarakat setempat tidak bisa mendapatkan hasil panen sama sekali pada tahun 1998,

2001 dan 2003. Pada periode 1998-2003, kedelai dapat dipanen pada tahun 1999.

Produksi padi dan jagung pada tahun 1998, 2001 dan 2002 gagal total. Masyarakat setempat hidup

dari penghidupan alternatif serta bantuan pangan dan subsidi. Gambar 2b menunjukkan bahwa

kesenjangan semakin meningkat antara karbohidrat yang diproduksi (gabungan padi dan jagung)

dengan kebutuhan total (diukur dengan setara beras 400 gram per hari) . Dampak wabah hama

belalang di Sumba secara umum dan di Sumba Timur khususnya, sangat merusak.

Menurut klasifikasi terbaru daerah tertinggal (daerah miskin) di Indonesia, versi bulan Juni 2017,

semua kabupaten di Sumba dimasukkan sebagai daerah prioritas oleh presiden untuk tahun

anggaran 2017 dan 2018 (Pemerintah Indonesia 2017). Hal ini memperkuat pola yang sudah ada

selama 20 tahun di mana semua kabupaten di Sumba termasuk dalam kabupaten ‘termiskin’ di

NTT.

Sumba Timur sering kali masuk urutan pertama kerusakan dan kerugian panen. Sebagai contoh,

dalam jangka waktu tanpa wabah hama belalang, Sumba Timur mengalami kerugian sebesar 29.4%

dalam bentuk gagal panen di tahun 2009 (WFP 2011). Gambar 3 menyajikan Atlas Kerentanan dan

Ketahanan Pangan /Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2010 yang disusun World Food

Program (WFP) dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT. Ukuran FSVA ketahanan pangan

antara lain adalah akses pangan. Konsentrasi kemiskinan yang tinggi juga terjadi di Sumba Timur.

Survey Ekonomi Nasional terakhir pada tahun 2013 menunjukkan bahwa di Sumba Timur masih

terdapat 260.000 orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (sekitar 28 persen dari total

penduduk).

Gambar 2a Kecenderungan Panen Tanaman Pangan 1990-2015. Sumber: Penulis, berdasarkan Statistik Pertanian 2016

9

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Gambar 2b. Kecenderungan Produksi jagung dan padi 1990-2015 Sumber: Penulis, berdasarkan Statistik Pertanian 2016

Gambar 3. Atlas Kerentanan Pangan, NTT

Sumber: World Food Program 2011

Memahami Kerentanan Ganda Sumba terhadap Guncangan Iklim

Iklim yang tak menentu di Sumba berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dan angka

panen. Sumba Timur sering kali dikelompokkan ke dalam tipe iklim dengan musim hujan yang

lebih pendek, yaitu hanya 0-2 bulan basah. Sering kali jumlah hari hujan yang lebih pendek, serta

hari tanpa hujan yang panjang. Lebih dari separuh lahan di Sumba adalah sabana, yang cocok untuk

pertanian lahan kering serta pengembangan peternakan. Selain dari beberapa tempat di Sumba Barat

dan Tengah, pulau ini memiliki intensitas curah hujan yang rendah. Secara umum, iklim di Sumba

tidak menentu (Lihat Lassa et. al. 2013).

Salah satu pertanyaan yang patut diajukan adalah: apa saja implikasi jangka panjang wabah hama

10

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

belalang bagi ‘coping mechanism’/mekanisme pemecahan masalah masyarakat? Kegagalan total

tanaman pertanian yang terjadi dalam 20 tahun terakhir mendorong masyarakat setempat untuk

melakukan penyesuaian sementara dari ‘pola penghidupan yang berbasis tanaman pangan’ menuju

‘pola penghidupan yang berbasis padang rumput’ melalui promosi bersama agro-forestry (yang

mendukung tanaman perdagangan melalui Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) serta pertanian dan

hortikultura (untuk mendukung penganekaragaman tanaman pangan). Penulis berpendapat bahwa

HHNK perlu menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian iklim dalam di daerah pedesaan.

HHNK mempunyai kontribusi besar terhadap pendapatan dan penghidupan masyarakat.

Secara tradisional masyarakat Sumba dikenal memiliki tiga tingkatan sosial: kaum bangsawan

(maramba), kaum menengah (kabihu) dan kaum hamba (ata). Kekuasaan tradisional para

marambas disimbolkan dengan kendali atas kaum ata atas serta aset penghidupan lain seperti lahan

dan ternak (kuda, kerbau dan sapi) (Twikromo 2008). Walaupun saat ini Sumba muncul sebagai

masyarakat tanpa kelas (PMPB 2003), sistem kelas telah memberi dampak positif sekaligus negatif.

Dampak positifnya adalah terdapat pengaturan ‘berbagi risiko informal’ di mana kelas yang

berkedudukan tinggi dapat mentransfer sumber daya kepada kaum ata saat terjadi kedaruratan.

Sementara itu, kaum ata mendapatkan kewenangan sendiri dalam produksi pangan, khususnya

tenaga kerja peternakan dan pertanian.

Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan hutan di seluruh Sumba mengalami

penurunan dari sekitar 50% pada tahun 1927 menjadi 10% pada tahun 1997,dan baru-baru ini

mencapai 8%. Kenyataannya, tutupan hutan bersih mungkin kurang dari 6,5% (Burung Indonesia

2009). Degradasi hutan dan vegetasi banyak dikaitkan dengan pemanfaatan hasil hutan yang tidak

berkelanjutan serta pengelolaan pemanfaatan lahan yang tak berkelanjutan (dalam bentuk

pembakaran padang rumput tak terkendali).

Sebuah studi yang dilakukan PMPB Kupang tentang Napu secara singkat menghubungkan

penghidupan, pangan, dan risiko. Napu terletak di ketinggian sekitar 150 meter di atas muka air

laut rata-rata (MSL). Desa ini memiliki bentangan alam yang khas Sumba yang didominasi bukit

padang rumput dengan ketinggian 150 – 400 MSL. Desa ini mempunya dua dusun. Dusun pertama

adalah Napu dengan lahan yang sangat kering dan dusun kedua adalah Prailangina dengan kondisi

yang lebih subur. Secara keseluruhan terdapat 180 rumah tangga (806 jiwa) pada tahun 2003.

Penghidupan utama di Napu adalah:

Tanaman pangan sebagai ‘pilihan terbaik pertama’. Tanaman pangan termasuk jagung, padi

lahan kering, ubi-ubian (termasuk ubi kayu, ubi jalar/ubi manis serta varietas ubi jalar lokal

lainnya) serta berbagai jenis kacang-kacangan.

Ternak besar termasuk sapi, kuda, dan kerbau.

Ternak kecil yang terdiri dari babi, ayam, dan kambing.

Nelayan subsisten sering kali memanen hasil dari laut menggunakan peralatan tradisional.

Input non pertanian lain seperti kerajinan dan tenun.

11

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Tabel 2 Kalendar musiman untuk semua kegiatan penghidupan di Napu, Sumba Timur No

Kegiatan

Bulan dalam setahun Keterangan

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12

1 Musim hujan – status quo XX X XX XX Keragaman iklim

2 Jagung - status quo X X X X X X Kegiatan biasa

3 Padi lahan kering X X X X Kegiatan biasa

4 Ubi kayu X X X X X X X Kurang informasi

5 Kacang tanah X X X X X Kegiatan biasa

6 Kacang hitam Kegiatan biasa

7 Panen kemiri X X X X X HHNK

8 Panen asan X X X X HHNK

9 Panen kutu lak X X X X HHNK

10 Masa paceklik/krisis pangan X X X X X Kegiatan biasa

11 Tahun ajaran baru mulai X X X X Kegiatan biasa

12 Menjual ternak besar X X X X X Kegiatan biasa

13 Menjual ternak kecil X X X X Kegiatan biasa

14 Mandara (barter) X X Kegiatan biasa

15 Menjual tenaga X X X X X X X X X X Kegiatan biasa

16 Membakar padang oleh ata X X X X X Kegiatan biasa

17 Ubi manis/jalar Kegiatan biasa

18 Tanam ubi-ubian domestikasi

X X X Antisipasi kekeringan

19 Panen ubi-ubian liar X X X Antisipasi kekeringan

Sumber: Lassa et. al. 2011, disadur dari PMPB Kupang dan Sandelwood 2003

Barter, yang disebut mandara, sering kali menjadi sarana pertukaran, terutama pada bulan Juli-Agustus setelah akhir

kegiatan tanaman pangan di desa Napu. Mandara sering kali dilakukan di Lewa, yang merupakan lahan pertanian.

Informasi anekdotal menunjukkan bahwa makanan yang diperoleh dari Mandara sering kali disimpan dan dimakan

12

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

selama masa paceklik, khususnya bulan Desember-Februari ketika persediaan makanan sudah menipis (PMPB Kupang

2003). Perlu dicatat bahwa berdasarkan pengamatan mendalam (Killa 2011 dalam Lassa 2011), Mandara sering kali

diaktifkan dan dipraktikkan oleh mereka yang memiliki kedekatan jejaring sosial (jarang sekali dilakukan dengan orang

asing). Karena itu, ciri utama transaksi dan transfer sumber daya mandara adalah hubungan kekerabatan dan

kepercayaan sosial.

Berdasarkan berbagai survei dasar yang dilakukan World Vision dan Pemerintah Daerah Sumba Timur (dengan 2.134

responden), ditemukan bahwa masyarakat pedesaan memiliki lima opsi untuk mengakses pangan: (1)

Tanaman pangan79,7%

Membeli dari pasar setempat 88%

Mendapatkan dari hutan 14%

Mandara 13%

Lain-lain 2%

Dari survei yang sama ditemukan bahwa di 65% rumah tangga tanaman pangannya hanya dapat

memenuhi kebutuhan rumah tangga selama 3 bulan, dan di 22% rumah tangga tanaman

pangannya dapat memenuhi kebutuhan selama 6 bulan. Para responden juga mencatat bahwa

penghalang utama akses pangan adalah kegagalan produksi (48%) dan ketiadaan akses lahan

(41%).1

Ata (kaum hamba) sering kali 'menjual' tenaga mereka sebagai penjaga ternak (Table 2, #16).

Pendapatan yang diperoleh sering kali dalam bentuk ‘bagi hasil’ dengan rasio 1:5. Dalam

praktiknya, untuk setiap 5 ternak, kaum ata mendapatkan 1 ternak. Terdapat mekanisme lain

seperti intensif bagi mereka yang berhasil meningkatkan bobot ternak (khususnya sapi). Praktik ini

sering kali mengakibatkan proses pembakaran padang rumput, karena dengan membakar padang

rumput, kaum ata akan mendapatkan keuntungan berupa rumput yang cepat tumbuh kembali,

sehingga menjadi sumber pakan ternak.

Studi yang dilakukan Tacconi dan Ruchiat (2006:72) di Sumba Timur (Desa Lukuwingir-Kiritana)

menunjukkan bahwa struktur khas pendapatan rumah tangga di Sumba Timur adalah sebagai

berikut:

Tanaman pangan 36%

Pohon-pohonan 4.2%

Ternak 23.8%,

Hasil Hutan Non Kayu 30.7%

Padang rumput 5.3%

Tabel 3 Hasil Hutan Non Kayu: produksi lak 2010-2014

Tahun 2010 2011 2012 2013 2014

Kutu lak (ton)

20 80 117 96 360

1 Survei dasar bersama yang dilakukan World Vision Waingapu dan Pemerintah Daerah Sumba Timur 2007 [Tidak terbit]

13

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Sumber: Dinas Kehutanan Sumba 2011, Sumba Timur Dalam Angka 2016 dan Lassa 2011.

Pemerintah Daerah di Sumba mengakui tiga sumber utama HHNK yaitu asam, kemiri dan

lak/seedlac (dari kutu lak atau laccifer lacca)2. Sumba Timur menghasilkan 791 ton dan 899 ton

kemiri berturut-turut pada tahun 2007 dan 2014. Kabupaten ini juga menghasilkan 592 ton kutu lak

pada tahun 2007. Pada tahun 2011, setiap kg kutu lak dihargai Rp 12.000 (A$1.2) (Lassa 2011).

Walaupun terjadi sedikit penurunan produksi (Tabel 3), Kutu Lak konsisten memberikan sumbangan

terhadap ekonomi daerah bersama dengan hasil HNK lainnya.

Catatan Akhir

Pemantauan dan pengendalian hama memerlukan teknologi dan inovasi. Sebagai tindak lanjut, hal

yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah penggunaan drone untuk pemantauan hama

(Tammen 2015). Hal ini dapat dilakukan karena harga drone semakin murah dan generasi baru

drone bisa cocok untuk melaksanakan tugas pemantauan dan pengendalian wabah hama.

Masalahnya bukan apakah pemerintah daerah dapat mengakses dan menggunakan teknologi

tersebut, tetapi bagaimana pemerintah daerah menggunakannya untuk memberikan informasi

sebagai dasar bagi peringatan dini untuk tindakan dan tanggap awal.

Yang menjadikan wilayah terpencil seperti Sumba Timur dan wilayah lain rentan terhadap risiko

iklim adalah kinerja lembaga formal yang rendah. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman pribadi

penulis, data iklim tidak dikumpulkan secara konsisten dalam 20 tahun terakhir. Mutu

pengumpulan data iklim terlalu rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar tindakan awal.

Selain itu, terdapat kesalahan sistemik dalam pemasukan data iklim di tingkat kabupaten (Lassa

2011). Selalu ada data yang kurang dari separuh stasiun pengukur curah hujan dan hal ini dikaitkan

dengan angka perpindahan staf yang tinggi, kinerja SDM yang di bawah standar, serta

ketidaktahuan mengenai pentingnya data iklim untuk penyusunan kebijakan pertanian di Sumba

Timur.

Dalam pencegahan dan tanggap cepat terhadap wabah hama belalang, perlu ada upaya peningkatan

kemampuan yang berarti bagi tenaga pemerintah yang sudah ada. Pencegahan dan tanggap cepat

membutuhkan respon krisis strategis yang beroperasi secara terus menerus. Pertanyaannya adalah

bagaimana caranya agar dinas pertanian bekerja secara lebih strategis dan responsif terhadap risiko

bencana. Bagaimana mengelola desentralisasi agar memberi dampak positif bagi orang miskin dan

kelompok yang paling rentan? Bagaimana memberi pemahaman kepada para pejabat pemerintah

yang baru terpilih tentang kerumitan masalah lokal serta tantangan pembangunan di desa? Tentang

bagaimana koordinasi antar lembaga serta tanggap bersama dapat berkontribusi terhadap

terkendalinya situasi krisis, penulis menyarankan perlunya studi sistimatis terhadap situasi saat ini

Selain itu, pencegahan wabah hama belalang harus dijadikan sarana peningkatan mutu layanan

2 Kutu lak atau seedlac merupakan sekresi dari serangga bernama Laccifer yang digunakan sebagai bahan mentah

kosmetika, cat dll.

14

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

ekosistem termasuk perlindungan hutam alami dan hutan masyarakat. Dengan demikian,

pengaturan dan pengelolaan wabah hama belalang secara kewilayahan dan kepemerintahan berada

di luar lingkup teknis tugas para pakar serangga dan pakar pertanian daerah.

Referensi

Aziz, N. 2017. Belalang menyerang Sumba Timur ketika panen hampir usai. BBC Indonesia.

Bere, SM. 2017. Millions of locusts attacked Waingapu Airport in Sumba Timur.

Kompas 12/06/2017.

Bryceson, K.P. 1989. The use of landsat MSS data to determine the distribution of locust eggbeds

in the Riverina region of New South Wales, Australia. International Journal of Remote Sensing

10(11):1749-1762

Burung Indonesia 2009. Forest and birds in Sumba Island.

Cease, A.J. 2012. Heavy livestock grazing promotes locust outbreaks by lowering plant nitrogen

content. Science 335(6067):467-469

Cisse, S. et. al. 2015. Estimation of density threshold of gregarization of desert locust hoppers from

field sampling in Mauritania. Entomologia Experimentalis et Applicata 156: 136–148. DOI:

10.1111/eea.12323

Chapuis, M.-P 2008. Do outbreaks affect genetic population structure? A worldwide survey in

Locusta migratoria, a pest plagued by microsatellite null alleles. Molecular Ecology 17(16):3640-

3653

Dengi, H. 2016. Serangan Belalang Kembara, Bupati Sumba Timur Nyatakan Darurat Bencana.

KBR.id Online 14 July 2016. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40247285 [Last accessed 13

June 2017.

Despland, E., Rosenberg, J., Simpson, S.J. 2004. Landscape structure and locust swarming: A

satellite's eye view. Ecography 27(3): 381-391.

David, C. 2011. Interview with Christ David, Director of Kopesda in Waingapu, on 22 Sept 2011.

Hutabarat, S. 2006. Forestry development through development of non-timber forest products in

East Nusa Tenggara in S. Djoeroemana et. al. Eds. Integrated rural development in East Nusa

Tenggara, Proceedings of a workshop to identify sustainable rural livelihoods, held in Kupang,

Indonesia, 5–7 April 2006.

GoI (2017). Central government included 122 regions are disadvantaged regions 2015-2019.

http://setkab.go.id/122-daerah-ini-ditetapkan-pemerintah-sebagai-daerah-tertinggal-2015-2019/

[Last accessed 14 June 2017]

Michel Lecoq and Sukirno 1999. Drought and an Exceptional Outbreak of the Oriental Migratory

Locust, Locusta migratoria manilensis (Meyen 1835) in Indonesia (Orthoptera: Acrididae). Journal

of Orthoptera Research 8:153-161

Killa, M. 2017. Facebook update, 11 June 2017, viewed 11 June 2017

Lintas NTTa 2016. TNI Bantu Berantas Hama Belalang di Sumba, Lintas NTT 16 July 2017.

http://www.lintasntt.com/tni-bantu-berantas-hama-belalang-di-sumba/ Last accessed 13 June 2017

Lintas NTT 2016b. The locust outbreak have been de-escalated (Serangan Hama Belalang di Sumba

15

IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Mulai Berkurang). Lintas NTT 9 August 2016. www.lintasntt.com/serangan-hama-belalang-di-

sumba-mulai-berkurang/ Last accessed 13 June 2017.

Lodji, RR. 2017. Facebook update with photos from the field, 13 June 2017, viewed 13 June 2017.

Lassa, J. et al. 2011. Final Report Feasibility Study on Nusa Tengara Timur Province: Rural

Livelihoods and Food Security Under Changing Climate and Disaster Risks Context. Circle Report

to Lutheran World Relief to Circle Indonesia October 2011.

16 IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Lassa, J. et. al. 2013. Impact of Climate Change of Agriculture and Food Security: Options for

Local Adaptation in East Nusa Tenggara, Indonesia. Working Paper #8, IRGSC Indonesia

Magor, JI., Lecoq, M. and Hunter, D.M. 2008.Preventive control and Desert Locust plagues. Crop

Protection 27(12):1527-1533.

Mahlein, AK. 2016. Plant Disease Detection by Imaging Sensors – Parallels and Specific

Demands for Precision Agriculture and Plant Phenotyping. Plant Disease, 100(2):241-251.

https://doi.org/10.1094/PDIS-03-15-0340-FE.

MaxFM 2017. Kembara attacks getting crazier in Kambaniru.

maxfmwaingapu.com/2017/06/serangan-kembara-menggila-di-kambaniru/ Last accessed 13

June 2017

Maubokul 2017, Facebook update, 10 June 2017, viewed 13 June 2017

Pada, E. 2017. Facebook update, 11 June, viewed 12 June 2017

PMPB 2003. Food and Livelihoods Monitoring System, PMPB Kupang and Yayasan Sandelwood).

Unpublished draft report 1 April 2003.

Radandima, H. Staff Tananua. Personal interviewed in June 2011 by the author.

Russell-Smith, J. et. al. 2007. Rural Livelihoods and Burning Practices in Savanna Landscapes of

Nusa Tenggara Timur, Eastern Indonesia. Human Ecology, 35(3):345-359.

Roffey, J and Popov, G. 1968. Environmental and Behavioural Processes in a Desert Locust

Outbreak. Nature 219(5153):446-450.

Tammen, G. 2015. Using unmanned aerial systems to detect emerging pest insects, diseases in food

crops. https://phys.org/news/2015-03-unmanned-aerial-emerging-pest-insects.html [Last accessed

June 13 2017]

Tacconi, Luca and Ruchiat, Yayat 2006. Livelihoods, fire and policy in eastern Indonesia.

Singapore Journal of Tropical Geography 27 pp. 67–81.

Tappan, G. Moorej, D.G., and Kanusenberger, W.I. 1991. Monitoring grasshopper and locust

habitats in sahelian africa using gis and remote sensing technology! International Journal of

Geographical Information Systems 5(1):123-135.

Tucker, C.J., Hielkema, J.U., Roffey, J. 1985. The potential of satellite remote sensing of

ecological conditions for survey and forecasting desert-locust activity. International Journal of

Remote Sensing 6(1): 127-138

Twikromo YA. 2008. The local elite and the appropriation of modernity : a case in Sumba

Timur, Indonesia. Ph. D. Radboud Universiteit Nijmegen 2008.

Yiwa, R. 2017. Facebook update on 13 June 2017, followed by personal correspondence on 13 June

2017.

VOA Indonesia 2016. Locust pest attacked hundreds of land in Sumba Timur (Bahasa: Hama

Belalang Serang Ratusan Hektar Lahan di Sumba Timur. VoA Indonesia 11 July 2016. Last

accessed 13 June 2017 www.voaindonesia.com/a/hama-belalang-serang-ratusan-hektar-lahan-

di- sumba-timur/3413083.html

WFP 2010. Nutrition Security and Food Security in Seven Districts in NTT Province, Indonesia:

Status, Causes and Recommendations for Response. UN Joint Food Security Assessment

17 IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

Lampiran 1. Foto belalang kembara yang ‘menguasai’ Sumba Timur

Lampiran 1.1. Landasan Bandara Waingapu ditempati jutaan belalang tanggal 10 Juni 2017 Photo

Credit: Kompas/Zainal Ismail [http://regional.kompas.com/read/2017/06/12/11460031/jutaan.belalang.serang.bandara.waingapu.di.sumba.timur]

Lampiran 1.2. Anggota militer membantu pemerintah daerah memerangi kumpulan nimfa dan

kawann belalang Photo credit: Kompas/Letnan Kolonel Infanteri Elvin T Saragi

http://sains.kompas.com/read/2017/06/14/160500023/dilema.sumba.timur.hadapi.serangan.belalang.

10.tahun.sekali

18 IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638

WP No: Working Paper No. 17

Title: The Return of Locust Outbreak in Sumba, Indonesia: A Rapid Situational

Analysis

Keywords

Locust outbreak, climatic shocks, El-Nino, disaster risk, risk management,

outbreak prevention

Author(s): Jonatan A. Lassa

(corresponding author: [email protected])

Date: June 2017

Link: http://www.irgsc.org/pubs/wp.html

Using empirically grounded evidence, IRGSC seeks to contribute to international and national

debates on resource governance, disaster reduction, risk governance, climate adaptation, health

policy, knowledge governance and development studies in general.

IRGSC Working Paper series is published electronically by Institute of Resource Governance and

Social Change.

The views expressed in each working paper are those of the author or authors of the paper.

They do not necessarily represent the views of IRGSC or its editorial committee.

Citation of this electronic publication should be made in the following format: Author, Year.

"Title", IRGSC Working Paper No. Date, http://www.irgsc.org/pubs/wp.html

Editorial committee:

Ermi ML. Ndoen,

PhD Gabriel Faimau ,

PhD Dominggus

Elcid Li, PhD Dr.

Jonatan A. Lassa Dr. Saut S. Sagala

Institute of Resource Governance and

Social Change RW Monginsidi II, No 2B

Kelapa Lima

Kupang, 85227, NTT,

Indonesia www.irgsc.org