Upload
ulagracerosyidah
View
64
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Jumlah istri Rasulullah yang lebih dari 1 membawa hikmah yang sangat mendalam di masa kini
yaitu semakin banyaknya sumber-sumber ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan fiqih
wanita, karena memang dari sanalah umumnya pelajaran Rasulullah SAW tentang wanita itu
berasal. Seandainya Rasulullah SAW hanya beristrikan satu orang saja, maka kajian fiqih
wanita sekarang ini akan menjadi sangat sempit karena sumbernya terbatas hanya dari satu
orang. Dengan beristri sampai 11 orang, maka sumber itu menjadi cukup banyak. Maka
purnalah Islam sebagai agama yang syamil mutakamil.
Berikut adalah nama nama dan alasan alasan beliau memperistri :
1. Khodijah binti Khuwailid RA,ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau
25 tahun dan Khodijah 40 tahun. Dari pernikahnnya dengan Khodijah Rasulullah SAW memiliki
sejumlah anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi semua anak laki-laki beliau meninggal.
Sedangkan yang anak-anak perempuan beliau adalah: Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum dan
Fatimah. Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain selama Khodijah masih hidup.
2. Saudah binti Zam’ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun
kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda
yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr.
3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas
dari kenabian, setahun setelah beliau menikahi Saudah atau dua tahun dan lima bulan sebelum
Hijrah. Ia dinikahi ketika berusia 6 tahun dan tinggal serumah di bulan Syawwal 6 bulan setelah
hijrah pada saat usia beliau 9 tahun. Ia adalah seorang gadis dan Rasulullah SAW tidak
pernah menikahi seorang gadis selain Aisyah.
Dengan menikahi Aisyah, maka hubungan beliau dengan Abu Bakar menjadi sangat kuat dan
mereka memiliki ikatan emosional yang khusus. Posisi Abu Bakar sendiri sangat pending dalam
dakwah Rasulullah SAW baik selama beliau masih hidup dan setelah wafat. Abu Bakar adalah
khalifah Rasulullah yang pertama yang di bawahnya semua bentuk perpecahan menjadi sirna.
Selain itu Aisyah ra adalah sosok wanita yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat tinggi
dimana begitu banyak ajaran Islam terutama masalah rumah tangga dan urusan wanita yang
sumbernya berasal dari sosok ibunda muslimin ini.
4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin
Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau
menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob.
Dengan menikahi hafshah putri Umar, maka hubungan emosional antara Rasulullah SAW
dengan Umar menjadi sedemikian akrab, kuat dan tak tergoyahkan. Tidak heran karena Umar
memiliki pernanan sangant penting dalam dakwah baik ketika fajar Islam baru mulai merekah
maupun saat perluasan Islam ke tiga peradaban besar dunia. Di tangan Umar, Islam berhasil
membuktikan hampir semua kabar gembira di masa Rasulullah SAW bahwa Islam akan
mengalahkan semua agama di dunia.
5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho?sho?ah dan dikenal sebagai
Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh
bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada
tahun keempat Hijriyyah. Ia meninggal dua atau tiga bulan setelah pernikahannya dengan
Rasulullah SAW .
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA, sebelumnya menikah dengan Abu
salamah, akan tetapi suaminya tersebut meninggal di bulan Jumada Akhir tahun 4 Hijriyah
dengan menngalkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ia dinikahi oleh Rasulullah
SAW pada bulan Syawwal di tahun yang sama.
Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-
anak yatim tersebut.
7. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri
bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh
suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo?dah tahun kelima dari
Hijrah.
Pernikahan tersebut adalah atas perintah Alloh SWT untuk menghapus kebiasaan Jahiliyah
dalam hal pengangkatan anak dan juga menghapus segala konskuensi pengangkatan anak
tersebut.
8. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza?ah. Ia merupakan
tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus
oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya?ban tahun ke 6 Hijrah.
Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilhnya
(karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang.
9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin
Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni
dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Ketika
Rasulullah SAW mengirim Amr bin Umayyah Adh-Dhomari untuk menyampaikan surat kepada
raja Najasy pada bulan Muharrom tahun 7 Hijrah. Nabi mengkhitbah Ummu Habibah melalu
raja tersebut dan dinikahkan serta dipulangkan kembali ke Madinah bersama Surahbil bin
Hasanah.
Sehingga alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok
pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke
Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di
Mekkah.
10. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang
Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah
menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah.
Pernakahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka
kabilah.
11. Maimunah binti Al- Harits RA , saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia
adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa?dah tahun 7 Hijrah
pada saat melaksanakan Umroh Qadho.
Dari kesemua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW, tak satupun dari mereka yang melahirkan
anak hasil perkawinan mereka dengan Rasulullah SAW, kecuali Khadijatul Kubra seperti yang
disebutkan di atas. Namun Rasulullah SAW pernah memiliki anak laki-laki selain dari Khadijah
yaitu dari seorang budak wanita yang bernama Mariah Al-Qibthiyah yang merupakan hadiah
dari Muqauqis pembesar Mesir. Anak itu bernama Ibrahim namun meninggal saat masih kecil.
Demikianlah sekelumit data singkat para istri Rasulullah SAW yang mulia, dimana secara
khusus Rasulullah SAW diizinkan mengawini mereka dan julah mereka lebih dari 4 orang, batas
maksimal poligami dalam Islam.
Dari kesemuanya itu, umumnya Rasulullah SAW menikahi mereka karena pertimbangan
kemanusiaan dan kelancaran urusan dakwah.
Buat para pejuang hak asasi manusia, para pejuang hak hak perempuan, para penentang
poligami, para pejuang feminis, para pejuang kesetaraan gender, dan para pendakwah islam
silahkan baca Surat Untuk Pejuang Hak-Hak Wanita . Bagaimana perasaan anda jika ada di
posisi mereka
Khadijah Binti KhuwailidKhodijah merupakan sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid
bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahiryah
yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat
kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah).
Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang
wanita yang cerdas dan agung. ia dikenal sebagai seorang wanita yang teguh dan cerdik
bahkan memiliki perangai yang amat luhur. Karena itu tidak heran jika banyak laki-laki dari
kaumnya (pada waktu itu) yang menaruh simpati kepadanya.
Pada mulanya, khodijah dinikah oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua
orang anak bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikah oleh Atiq bin
‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya, namun akhirnya mereka
bercerai.
Setelah itu, banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan khodijah agar
menajdi istri mereka, namun seperti yang tercatat dalam buku sejarah, ia selalu
memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, menyibukkan diri mengurusi
perniagaan yang -bahkan- membuatnya menjadi wanita janda yang kaya raya.
Suatu hari, ia berhasrat mencari seseorang yang dapat menjual dagangannya, tatkala khodijah
mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi), terkenal memiliki sifat
jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka khodijah meminta kepada Muhammad untuk
menjualkan dagangannya bersama seorang pembantu laki-laki yang bernama Maisarah.
Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh
selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujui tawaran Khodijah sehingga berangkatlah
Muhammad bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba
yang sangat banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang amat memuaskan itu, akan
tetapi dalam kenyataannya, khodijah malah lebih tertarik dan takjub akan pribadi luhur yang di
tonjolkan Muhammad melebihi hasil dagang yang dibawanya dari perniagaan.
Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, sesuatu yang
sangat abstrak dan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Akan tetapi dia merasa pesimis;
kemungkinan pemuda seperti Muhammad tidaklah mau menikahi seorang wanita janda yang
sudha berumur lebih tua daripadanya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun sedngkan
Muhammad saat itu sudha baru berusia 25 tahun. Apa nanti kata orang karena ia telah
menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Saat kebingungan dan kegelisahan menerobos sendi perasannya itu yang sangat halus, tiba-
tiba saja muncul pada waktu itu seorang sahabat karib yang bernama Nafisah binti Munabbih
yang member banyak informasi sehingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang
disembuyikan oleh Khodijah tentang problematika hidup yang dihadapinya.
Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan
bahwa Khadijah merupakan seorang wanita pilihan yang memiliki martabat, keturunan orang
terhormat, memiliki harta dan berparas cantik. Terbukti dengan banyaknya para pemuka
Quraisy yang begitu getol melamar dirinya.
Setelah itu, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad al-
Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya
raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan
Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk
menikahi sayyidah Khadijah. Saat itu juga, berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain
menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra
saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Setelah usai akad nikah, disembelih beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-
orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan yang salah satu diantara
mereka terdapat Halimah as-Sa’diyah yang dating menyaksikan pernikahan anak susuannya.
Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah
perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang
sekarang telah menjadi suami tercinta.
Akhirnya Sayyidah Quraisy menjadi istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai
contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami yang selalu
mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan pribadi. Manakala Muhammad
mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad.
Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya, Abu
Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu ‘anhu
agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam .
Allah memberikan karunia pada rumah tangga yang penuh kasing saying ini-berupa
kebahagaiaan dan kenikmatan yang berlimpah-ruah, dan mengkaruniakan kepada mereka
putra-putri yang amat baik bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kultsum dan
Fatimah.
Allah akhirnya menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq (pada wkatu itu) menyukai Khalwat
(menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau
menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira’ sebulan penuh pada setiap
tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit dan jauh dari
perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain
–lain.
Sayyidah ath-Thahirah ini tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang
harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak
pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala
kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas
yang harus dia kerjakan dirumah.
Apabila dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa
mengikuti suaminya yang terkasih itu dari jauh. Bahkan –kerapkali tanpa sepengetahuan
Muhammad- dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu
suaminya yang sedang menyendiri itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang
Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan
beliau di dalam gua Hira’ pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu. Di
waktu fajar Nabi Saw keluar dari gua menuju rumahnya dalam keadaaan takut, khawatir dan
menggigil seraya berkata: “Selimutilah aku ….selimutilah aku …”.
Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, Nabi menjawab “Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku”.
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh
keyakinan “Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku
dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh aku berharap agar anda
menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya,
sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan,
memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau
karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.
Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan Khodijah
dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal, ia
menceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka tiada
ucapan yang keluar dari mulut Waraqah selain perkataan: “Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa
Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar, maka sungguh
telah datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan
Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung”.
Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah berkata: “Demi yang jiwaku
ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka
akan mendustakanmu, menyakitimu, mengusir bahkan memerangimu. Seandainya aku masih
menemui hari itu sungguh aku akan menolong agama Allah “.
Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ” Apakah mereka akan mengusirku?”. Waraqah menjawab: “Betul, tiada
seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang
menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…”.
Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat.
Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mendengar penuturan
Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan
berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu merupakan
sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan agama Allah. Maka beliau
menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau
mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.
Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
yang pertama kali masuk Islam. Seorang istri Nabi yang mencintai suaminya dan juga beriman,
berdiri mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dicintainya untuk menolong,
menguatkan dan membantunya serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan
dan ancaman sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya. Tidaklah beliau
mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang
menyedihkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali Allah melapangkan dadanya
melalui istri saat Muhammad Saw kembali ke rumahnya. Khadijah meneguhkan pendiriannya,
menghiburnya, membenarkan dan mengingatkan bahwa celaan manusia tidak akan
berpengaruh pada beliau Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apalagi Allah selalu mendukung dan menyemangatinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an “Hai orang-
orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan agungkanlah Rabb-
Mu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah)
Rabb-Mu, bersabarlah!”(Al-Muddatstsir:1-7).
Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh
barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa
untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallâhu ‘anha turut
mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan
kepadanya. Diantara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat
putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.
Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya, akan
tetapi Khadijah tetap berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Mengenai
hal ini Allah berfirman:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’
, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” . (Al-’Ankabut:1-2).
Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim untuk menghadap Allah
tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Ia melihat dengan
mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala
menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang
pencipta dengan penuh kemuliaan.
Khodijah harus berpisah pula dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari
Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu karena putrinya hijrah ke negeri Habsyah untuk
menyelamatkan agamanya dari gangguan orang-orang musyrik. Ia menyaksikan dari waktu ke
waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata putus
asa bagi seorang Mujahidah sekaliber Khodijah. Ia laksanakan setiap saat apa yang
difirmankan Allah Ta’ala :
“Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-
sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan kitab sebelum kamu dan dari orang-
orang yang mempersekutukan Allah, ganguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu
bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang di
utamakan “. (Ali Imran:186).
Sebelumnya, Khodijah juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya al-
Amin ash-Shiddiq saat berdakwah di jalan Allah, namun Muhammad Saw menghadapi segala
musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran
dan kekuatannya. Muhammad Saw mencampakkan seluruh bujukan kesanangan dunia yang
menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu pula, Muhammad
bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran
yang belum pernah dikenal orang sebelumnya, Beliau bersabda: “Demi Allah wahai paman!
seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku
agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya
hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenannya”.
Saat orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk
menekan kaum muslimin dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis
naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah; Khadijah tidak
ragu bergabung dengan kaum muslimin dan rela meninggalkan kampung halaman guna
menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertainya,
Khodijah menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi
kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan dengan
keimanan yang tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah
mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di usia 65 tahun. Selang
enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul
Khodijah yang sabar tiga tahun sebelum hijrah.
Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang dihadapi Roasulullah. Karena
bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah merupakan teman yang tulus dalam
memperjuangkan Islam.
Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya setelah sampai pada waktu
yang telah ditetapkan, setelah berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam
berdakwah di jalan Allah SWT dan berjihad dijalan-Nya. Dalalm hubungannya, beliau menjadi
istri yang bijaksana, maka tidak aneh jika Khodijah mampu meletakkan urusan sesuai dengan
tempatnya dan mencurahkan segala kemampuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan
Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar
gembira dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya dan
tidak ada pula keributan didalamnya. Karena itu pula Rasulullah melambangkan keistimewaan
Khodijah dengan sabdanya “Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita
adalah Khadijah binti Khuwailid”.
Saudah binti Zam’ah
Walaupun Saudah binti Zam’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan
istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat
yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah
ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke
Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama
bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena
memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullah
adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan
hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Dia adalah Seorang Janda
Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat
oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tengah
mengalami masa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang
Quraisy untuk menyiksa Rasulullah dan kaum muslimin. Pada tahun-tahun
ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpikir untuk kembali ke
Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh
hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat
Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka
memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga
kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap sabar,
bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.
Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa
Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan
kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau
menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau
menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah
perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang
mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau,
Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam
kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zam’ah yang ikut berjuang dan
senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah
yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan
Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakim, salah seorang
mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin
Madh’um. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani,
dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah. Melalui
kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami
kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya
akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum
dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman
bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir
hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada
pendiriannya.
Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang
orang yang akan mengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau
mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada
orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau
yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa
apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau
pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika
engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan
jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti
Zam’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zam’ah, yang sejak
keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan
Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa
orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk
memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah
dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah
wafat.
Jika kita rajin menyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan
Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zam’ah, kita akan
menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah
seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak
kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya
sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita
pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya
Saudah binti Zam’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zam’ah bin Abdi
Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu
dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal
memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah
dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan
tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan,
suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah
Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu
Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya,
Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang
dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat
memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang
muslimah.
Hijrah ke Habbasyah
Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak
mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga
terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa
keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan
Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara
kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar mereka
tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah
ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu
hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum
muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut
merasakan pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya
menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang
diyakininya.
Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah
walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya
mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan
untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu
yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan
mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara
seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka
menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah
pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk
kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan
mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali
adalah Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit
karena kelaparan sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia
meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah.
Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya
meninggal dunia. Baru saja dia mengalami betapa sedihnya meninggalkan
kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan
penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya
ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya
dalam jihad di jalan Allah.
Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Saudah binti Zam’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan
ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa
mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya
janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah
membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam.
Akan tetapi, ternyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela.
Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke
rumah ayahnya, Zam’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek
moyang. Akan tetapi, Zam’ah bin Qais tetap menerima dan menghormati
putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya
meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia
menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat
kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang
sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi
pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah
tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan
meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan
menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah
menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan
hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa
gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan
nikmat yahg sebesar ini?
Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu
merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan
sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena
kematian suaminya. Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya
sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan
meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zam’ah bin Qais mengetahui
siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran
itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang
ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah,
dan perkawinan itu terlaksana dengan baik.
Berada di Rumah Rasulullah
Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalamnya dia
merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat
Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu
Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan
baik.
Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati
Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya
dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan
posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan
kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu
cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang
dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah.
Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan
suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengah-tengah keluarga
Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan
Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan
Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi
kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih
dari beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang
memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih
sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu
Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya
menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah
melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan
tersebut? Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia
merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa
cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi
Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh
oleh kepentingan duniawi.
Hijrahnya ke Madinah
Pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah tanpa
keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang
membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zam’ah. Bersama Ummu
Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan
hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah
menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada
Rasulullah.
Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah
Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-
putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah
seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Islam di Yatsrib
terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan
Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau hendak
membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu kehidupan Rasulullah
tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan
pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya,
barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau
membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
Sikap Hidupnya
Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar.
Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia
sering membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah
sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat
melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh
kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau,
tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling besar di dunia ini
adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah berkata, “Tidak ada
wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Saudah
binti Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiiki wanita
lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang pikirannya cerdas dan
senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam jihad, keyakinan,
kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam gilirannya
untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah
mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin
menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku
ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-
malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang
biasa diinginkan kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun
mengurungkan niatnya. Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah
dengan baik-baik agar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau
yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap
mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-
istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap
mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum
berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai
beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini
Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali
kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang
syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam
kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang
yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun
mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula
Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu
pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya
bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi
menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau.
Beberapa saat setelah haji wada’, Shallallahu ‘alaihi wasallam sakit keras.
Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah
Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk
beliau dan membantu Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia
memutuskan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta
bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan
semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan
kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat seperti
itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa Saudah sangat
mencintai putrinya.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri
untuk beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan
bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga
riwayat yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 Hijrah.
Yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada
masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
Sifat dan Keutamaannya
Hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya
dalam menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk
kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan
keluarganya sendiri. Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena
perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang
berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya
menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah
orang tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri.
Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya
bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar
keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya tidak
pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada
sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan
Allah, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya,
yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur
Rasulullah. Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri
hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah
Saudah binti Zam’ah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di
sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-
Sa’abu, Riyadh
Tambahan kisah lainnya:
Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi
wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah
telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam
dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat
yang lain.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit
dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh
saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan
Saudah pada bulan Ramadhan.
Saudah adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan
kesegaran candanya, sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-
Nakha’i bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika
ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang
hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah.
Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat
hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku,
bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin
dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi
istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan tetap
menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-
Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik..” (QS.
An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu
Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum
berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika
berjalan, sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku
sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku
ingin sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia
berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada
Aisyah. ( Shahih Muslim 2/1085).
Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat
kepada Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian
setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di
rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu
Dawud 2/140).
Aisyah berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu
malam untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya
tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat
itu. Saat itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami
tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka
Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu
di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang makan malam, di tangannya
ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya berkata kepadanya:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku
dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu, maka saat itu
turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para
wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim).
Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin
kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-
bagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar
dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang
terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54
Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah.
Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang
melimpah.
Aisyah binti abu bakar
Dia adalah gurunya kaum laki-laki, seorang wanita yang suka kebenaran,
putri dari seorang laki-laki yang suka kebenaran, yaitu Khalifah Abu Bakar
dari suku Quraisy At-Taimiyyah di Makkah, ibunda kaum mukmin, istri
pemimpin seluruh manusia, istri Nabi yang paling dicintai, sekaligus putri
dari laki-laki yang paling dicintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
. Ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa ‘Amr bin ‘Ash
Rodhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Siapakah orang yang paling engkau cintai, wahai Rasulullah?" Rasul
menjawab: '''Aisyah.'' 'Amr bertanya lagi: "Kalau laki-laki?" Rasul menjawab:
"Ayahnya.
Selain itu Aisyah adalah wanita yang dibersihkan namanya langsung dari
atas langit ketujuh. Dia juga adalah wanita yang telah membuktikan kepada
dunia sejak 14 abad yang lalu bahwa seorang wanita memungkinkan untuk
lebih pandai daripada kaum laki-laki dalam bidang politik atau strategi
perang.
Wanita ini bukan lulusan perguruan tinggi dan juga tidak pernah belajar dari
para orientalis dan dunia Barat. Ia adalah murid dan alumni madrasah
kenabian dan madrasah iman. Sejak kecil ia sudah diasuh oleh seorang yang
paling utama, yaitu ayahnya, Abu Bakar. Ketika menginjak dewasa ia diasuh
oleh seorang nabi dan guru umat manusia, yaitu suaminya sendiri.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, terkumpullah
dalam dirinya ilmu, keutamaan, dan keterangan-keterangan yang menjadi
referensi manusia sampai saat ini. Teks hadits-hadits yang diriwayatkannya
selalu menjadi bahan kajian di fakultas-fakultas sastra, sebagai kalimat yang
begitu tinggi nilai sastranya. Ucapan dan fatwanya selalu menjadi bahan
kajian di fakultas-fakultas agama, sedang tindakan-tindakannya menjadi
materi penting bagi setiap pengajar mata pelajaran/mata kuliah sejarah
bangsa Arab dan Islam.
Pernikahan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengannya merupakan
perintah langsung dari Allah 'Azza wa jalla setelah wafatnya Khadijah.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari 'Aisyah
Rodhiallahu ‘anha, dia berkata: "Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
pernah bersabda: 'Aku pernah melihat engkau dalam mimpiku tiga hari
berturut-turut (sebelum aku menikahimu). Ada malaikat yang datang
kepadaku dengan membawa gambarmu yang ditutup dengan secarik kain
sutera. Malaikat itu berkata: 'Ini adalah istrimu'. Aku pun lalu membuka kain
yang menutupi wajahmu. Ketika ternyata wanita tersebut adalah engkau
('Aisyah), aku lalu berkata: 'Jika mimpi ini benar dari Allah, kelak pasti akan
menjadi kenyataan.''’
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam menikahi 'Aisyah dan Saudah pada
waktu yang bersamaan. Hanya saja pada saat itu Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam tidak langsung hidup serumah dengan 'Aisyah. Setelah
kurang lebih tiga tahun hidup serumah dengan Saudah, tepatnya pada bulan
Syawal setelah perang Badar, barulah beliau hidup serumah dengan 'Aisyah.
'Aisyah menempati salah satu kamar yang terletak di komplek Masjid
Nabawi. yang terbuat dari batu bata dan beratapkan pelepah kurma. Alas
tidurnya hanyalah kulit hewan yang diisi rumput kering; alas duduknya
berupa tikar; sedang tirai kamarnya terbuat dari bulu hewan. Di rumah yang
sederhana itulah 'Aisyah memulai kehidupan sebagai istri yang kelak akan
menjadi perbincangan dalam sejarah.
Pernikahan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang utama dan penting.
Setelah menikah, seorang wanita akan menjadi istri dan selanjutnya akan
menjadi seorang ibu. Kekayaan dunia sebanyak apa pun, kemuliaan setinggi
awan, kepandaian yang tak tertandingi, dan jabatan yang begitu tinggi,
sekali-kali tidak akan ada artinya bagi seorang wanita jika tidak menikah dan
tidak mempunyai suami, sebab tidaklah mungkin bahagia seseorang yang
berpaling dari fitrahnya.
Dalam kehidupan berumah tangga, 'Aisyah merupakan guru bagi setiap
wanita di dunia sepanjang masa. Ia adalah sebaik-baik istri dalam bersikap
ramah kepada suami, menghibur hatinya, dan menghilangkan derita suami
yang berasal dari luar rumah, baik yang disebabkan karena pahitnya
kehidupan maupun karena rintangan dan hambatan yarig ditemui ketika
menjalankan tugas agama.
'Aisyah adalah seorang istri yang paling berjiwa mulia, dermawan, dan sabar
dalam mengarungi kehidupan bersama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi
wasallam yang serba kekurangan, hingga pernah dalam jangka waktu yang
lama di dapurnya tidak terlihat adanya api untuk pemanggangan roti atau
keperluan masak lainnya. Selama itu mereka hanya makan kurma dan
minum air putih.
Ketika kaum muslim telah menguasai berbagai pelosok negeri dan kekayaan
datang melimpah, 'Aisyah pernah diberi uang seratus ribu dirham. Uang itu
langsung ia bagikan kepada orang-orang hingga tak tersisa sekeping pun di
tangannya, padahal pada waktu itu di rumahnya tidak ada apa-apa dan saat
itu ia sedang berpuasa. Salah seorang pelayannya berkata: "Alangkah
baiknya kalau engkau membeli sekerat daging meskipun satu dirham saja
untuk berbuka puasa!" Ia menjawab: "Seandainya engkau katakan hal itu
dari tadi, niscaya aku melakukannya.
Dia adalah wanita yang tidak disengsarakan oleh kemiskinan dan tidak
dilalaikan oleh kekayaan. Ia selalu menjaga kemuliaan dirinya, sehingga
dunia dalam pandangannya adalah rendah nilainya. Datang dan perginya
dunia tidaklah dihiraukannya.
Dia adalah sebaik-baik istri yang amat memperhatikan dan memanfaatkan
pertemuan langsung dengan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam,
sehingga dia menguasai berbagai ilmu dan memiliki kefasihan berbicara
yang menjadikan dirinya sebagai guru para shahabat dan sebagai rujukan
untuk memahami Hadits, sunnah, dan fiqih. Az-Zuhri berkata: "Seandainya
ilmu semua wanita disatukan, lalu dibandingkan dengan ilmu 'Aisyah,
tentulah ilmu 'Aisyah lebih utama daripada ilmu mereka."1
Hisyam bin 'Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: "Sungguh aku
telah banyak belajar dari 'Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun
yang lebih pandai daripada 'Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah
diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair, permasalahan yang ditanyakan
kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab, nasab, hukum, serta
pengobatan. Aku bertanya kepadanya: 'Wahai bibi, dari manakah engkau
mengetahui ilmu pengobatan?' 'Aisyah menjawab: 'Aku sakit, lalu aku diobati
dengan sesuatu; ada orang lain sakit juga diobati dengan sesuatu; dan aku
juga mendengar orang banyak, sebagian mereka mengobati sebagian yang
lain, sehingga aku mengetahui dan menghafalnya. "'2
Dalam riwayat lain dari A'masy, dari Abu Dhuha dari Masruq, Abud Dhuha
berkata: "Kami pernah bertanya kepada Masruq: 'Apakah 'Aisyah juga
menguasai ilmu faraidh?' Dia menjawab: 'Demi Allah, aku pernah melihat
para shahabat Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam yang senior biasa bertanya
kepada 'Aisyah tentang faraidh. "'3
Selain memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan, 'Aisyah juga memiliki
kekurangan, yakni memiliki sifat gampang cemburu. Bahkan dia termasuk
istri Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam yang paling besar rasa cemburunya.
Rasa cemburu memang termasuk sifat pembawaan seorang wanita. Namun
demikian, perasaan cemburu yang ada pada 'Aisyah masih berada dalam
batas yang wajar dan selalu mendapat bimbingan dari Nabi, sehingga tidak
sampai melampaui batas dan tidak sampai menyakiti istri Nabi Sholallahu
‘alaihi wasallam yang lain.
Di antara kejadian paling menggelisahkan yang pernah menimpa 'Aisyah
adalah tuduhan keji yang terkenal dengan sebutan Haditsul ifki (berita
bohong-Insyaa Allah akan dibahas diKIS.com di pembahasan yang lain) yang
dituduhkan kepadanya, padahal diri 'Aisyah sangat jauh dengan apa yang
dituduhkan itu. Akhirnya, turunlah ayat Al-Qur'an yang menerangkan
kesucian dirinya. Cobaan yang menimpa wanita yang amat utama ini
merupakan pelajaran berharga bagi setiap wanita, karena tidak ada wanita
di dunia ini yang bebas dari tuduhan buruk.
Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sakit sekembalinya dari haji
Wada' dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, setelah dirasa selesai dalam
menunaikan amanat dan menyampaikan risalah, beliau lalu berkeliling
kepada istri-istrinya sebagaimana biasa. Pada saat membagi jatah giliran
kepada istri-istrinya itu beliau selalu bertanya: "Di mana saya besok? Di
mana saya lusa?" Hal ini mengisyaratkan bahwa beliau ingin segera sampai
pada hari giliran 'Aisyah. Para istri Nabi yang lain pun bisa mengerti hal itu
dan merelakan Nabi untuk tinggal di tempat istri yang mana yang beliau
sukai selama sakit, sehingga mereka semuanya berkata: "Ya Rasulullah,
kami rela memberikan jatah giliran, kami kepada 'Aisyah.4
Kekasih Allah itu pun pindah ke rumah istri tercintanya. Di sana 'Aisyah
dengan setia menjaga dan merawat beliau. Bahkan saking cintanya, sakit
yang diderita Nabi itu rela 'Aisyah tebus dengan dirinya kalau memang hal
itu memungkinkan. 'Aisyah berkata: "Aku rela menjadikan diriku, ayahku,
dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah." Tak lama kemudian Rasul
pun wafat di atas pangkuan 'Aisyah.
'Aisyah melukiskan detik-detik terakhir dari kehidupan Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam sebagai berikut: "Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
meninggal dunia di rumahku, pada hari giliranku, dan beliau bersandar di
dadaku. Sesaat sebelum beliau wafat, 'Abdur Rahman bin Abu Bakar
(saudaraku) datang menemuiku sambil membawa siwak, kemudian
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam melihat siwak tersebut, sehingga aku
mengira bahwa beliau menginginkannya. Siwak itu pun aku minta, lalu
kukunyah (supaya halus), kukebutkan, dan kubereskan sebaik-baiknya
sehingga siap dipakai. Selanjutnya, siwak itu kuberikan kepada Nabi
Sholallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bersiwak dengan sebaik-baiknya,
sehingga belum pernah aku melihat cara bersiwak beliau sebaik itu. Setelah
itu beliau bermaksud memberikannya kembali kepadaku, namun tangan
beliau lemas. Aku pun mendo'akan beliau dengan do'a yang biasa diucapkan
Jibril untuk beliau dan yang selalu beliau baca bila beliau sedang sakit.
(Alloohumma robban naasi... dst.) Akan tetapi, saat itu beliau tidak membaca
do'a tersebut, melainkan beliau mengarahkan pandangannya ke atas, lalu
membaca do'a: 'Arrofiiqol a'laa (Ya Allah, kumpulkanlah aku di surga
bersama mereka yang derajatnya paling tinggi: para nabi, shiddiqin,
syuhada', dan shalihin). Segala puji bagi Allah yang telah menyatukan air
liurku dengan air liur beliau pada penghabisan hari beliau di dunia.5
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di kamar 'Aisyah, tepat
di tempat beliau meninggal. Sepeninggal Rasulullah, 'Aisyah banyak
menghabiskan waktunya untuk memberikan ta'lim. baik kepada kaum laki-
laki maupun wanita (di rumahnya) dan banyak berperan serta dalam
mengukir sejarah Islam sampai wafatnya. 'Aisyah wafat pada malam Selasa
bulan Ramadhan tahun 57 Hijriyah pada usia 66 tahun.6
Para generasi sepeninggal 'Aisyah selalu mengkaji dan meneliti detail
kehidupannya sejak usia 6 tahun, dengan harapan bisa mengambil hikmah
dan ibrah dari model tarbiyyah (pendidikan) yang telah membentuk pribadi
beliau menjadi figur tunggal yang belum ada duanya sejak empat belas abad
silam.
1) Baca Al-Mustadrak IV/11, pembahasan tentang Pengetahuan para
shahabat, oleh Al-Hakim; dan Majma'uz Zawaa'id IX/245 oleh Al-Haitsami. Al-
Haitsami berkata: "Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan
rawi yang tepercaya."
2) Baca Hilyatul Auliya' II/49. Riwayat ini memiliki rawi yang tsiqqah.
3) Hadits ini diriwayatkan oleh Darimi dalam As-Sunan II/342, Ibnu Sa'd
dalam At-Thabaqat VIII/66, dan Hakim dalam Al-Mustadrak IV/11.
4) Baca Shahih Muslim, kitab Keutamaan Para Shahabat, bab Keutamaan
Aisyah Rodhiallahu ‘anha.
5) Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (Al-Musnad V1/48) dan Hakim (Al-
Mustadrak 1V/7). Hakim berkata: "Hadits ini shahih berdasarkan syarat yang
ditetapkan Bukhari dan Muslim." Adz-Dzahabi juga sepakat atas keshahihan
Hadits ini.
6) Baca Al-Istii'aab IV/1885 dan Taariikhut Thabari (Peristiwa-peristiwa pada
tahun 58 Hijriyah).
Hafsah ra binti Umar bin Khattab (Istri rasulullah yang hafal al-Qura'an)
Beliau adl Hafsah putri dari Umar bin Khaththab seorang shahabat agung yg melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshoh adl seorang wanita yg masih muda dan berparas cantik bertaqwa dan wanita yg disegani. Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yg mulia bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yg pernah berhijrah dua kali ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah krn sakit yg beliau alami waktu perang Uhud. Beliau meninggalkan seorang janda yg masih muda dan bertaqwa yakni Hafshoh yg ketika itu masih berumur 18 tahun. Umar benar-benar merasakan gelisah dgn adanya keadaan putrinya yg menjanda dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan dgn wafatnya menantunya yg dia adl seorang muhajir dan mujahid. Beliau mulai merasakan kesedihan tiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar berkesimpulan utk mencarikan suami utk putrinya sehingga dia dapat bergaul dengannya dan agar
kebahagiaan yg telah hilang tatkala dia menjadi seorang istri selama kurang lbh enam bulan dapat kembali. Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallaahu ‘anhu orang yg paling dicintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam krn Abu Bakar dgn sifat tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafshoh yg mewarisi watak bapaknya yakni bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka segeralah Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal Hafshoh berserta ujian yg menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan dgn rasa iba dan belas kasihan. Kemudian barulah Umar menawari Abu Bakar agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar mau menerima seorang yg masih muda dan bertakwa putri dari seorang laki-laki yg dijadikan oleh Allah penyebab utk menguatkan Islam. Namun ternyata Abu Bakar tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar dgn membawa kekecewaan hatinya yg hampir-hampir dia tidak percaya . Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yg mana ketika itu istri beliau yg bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat krn sakit yg dideritanya. Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar mau menikahi putrinya namun beliau menjawab “Aku belum ingin menikah saat ini”. Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman tersebut setelah ditolak oleh Abu Bakar. Dan beliau merasa malu utk bertemu dgn salah seorang dari kedua shahabatnya tersebut padahal mereka berdua adl kawan karibnya dan teman kepercayaannya yg faham betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan keadaan dan sikap Abu Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah SAW seraya berkata “Hafshoh akan dinikahi oleh orang yg lbh baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yg lbh baik daripada Hafshoh ” Wajah Umar bin Khaththab berseri-seri krn kemuliaan yg agung ini yg mana belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala kesusahan hatinya maka dgn segera dia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada tiap orang yg dicintainya sedangkan Abu Bakar adl orang yg pertama kali beliau temui. Maka tatkala Abu Bakar melihat Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka beliau mengucapkan selamat kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil berkata “janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar krn aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshoh. Hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; seandainya beliau menolak Hafshoh maka pastilah aku akan menikahinya. Maka Madinah mendapat barokah dgn indahnya pernikahan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dgn Hafshoh binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan Utsman bin Affan dgn Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga. Begitulah Hafshoh bergabung dgn istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yg suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada
kecemburuan beliau mendekati Aisyah krn dia lbh pantas dan lbh layak utk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dgn Aisyah mengikuti pesan bapaknya yg berkata “Betapa kerdilnya engkau bila dibanding dgn Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dgn ayahnya”. Hafshoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi maka turunlah ayat “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong utk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabimaka sesungguhnya Allah adl pelindungnya dan Jibril” . Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak sekali utk Hafshoh tatkala Hafshoh dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali dgn perintah yg dibawa oleh Jibril ‘alaihissalam yg mana dia berkata “Dia adl seorang wanita yg rajin shaum rajin shalat dan dia adl istrimu di surga.” Hafshoh pernah merasa bersalah krn menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dgn menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshoh hidup bersama Nabi dgn hubungan yg harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rasul yg mulia menghadap Ar-Rafiiq Al-A’la dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq maka Hafshoh-lah yg dipercaya diantara Ummahatul Mukminin termasuk Aisyah didalamnya utk menjaga mushaf Al-Qur’an yg pertama. Hafshoh radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta’at kepada Allah rajin shaum dan juga shalat satu-satunya orang yg dipercaya utk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini dan kitabnya yg paling utama yg sebagai mukjizat yg kekal sumber hukum yg lurus dan ‘aqidahnya yg utuh. Ketika ayah beliau yg ketika itu adl Amirul mukminin merasakan dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi pada bulan Dzulhijjah tahun 13 hijriyah maka Hafshoh adl putri beliau yg mendapat wasiat yg beliau tinggalkan. Hafshoh wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu ‘anhu setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yg bernama Abdullah dgn wasiat yg diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu ‘anhu. Semoga Allah meridhai beliau krn beliau telah menjaga al-Qur’an al- Karim dan beliau adl wanita yg disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah dan bahwa beliau adl istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sumber Al-Sofwa Al-Islam Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Wanita-Wanita Terkemuka: Zainab binti Khuzaimah, Ibu Orang-Orang Miskin
REPUBLIKA.CO.ID, Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal
dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia
adalah istri Rasulullah kedua yang wafat setelah Khadijah Al-Kubra. Untuk
memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus mayat Zainab dengan
tangan beliau sendiri.
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin
Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah Al-Hilaliyah. Ibunya bemama
Hindun binti Auf bin Harits bin Hamatsah.
Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan
disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang
rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian.
Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu
orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu
Sa'ad. Gelar tersebut disandangnya sejak masa Jahiliyah. Ath-Thabari, dalam
kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun menerangkan bahwa
Rasulullah SAW menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan
ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul Masakin sejak zaman Jahiliyah.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal
dengan sifat pemurahnya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-
orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut
sudah tertanam dalam dirinya sejak memeluk Islam, walaupun pada saat itu dia
belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan
memperoleh pahala di sisi Allah.
Zainab binti Khuzaimah termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam
dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya
yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri
dari perbuatan Jahiliyah.
Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua
sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa
suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdul Muthalib, yang kemudian
menceraikannya.
Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang
Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan suami keduanya adalah
Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan
pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat
yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya
adalah Thufail bin Harits bin Abdul Muthalib.
Oleh karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya
ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk memuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits
(saudara laki-laki Thufail) menikahinya. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin
Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah
Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan
orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam
perang tersebut.
Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya
hingga Rasulullah saw menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin
melindungi dan meringankan beban hidup yang dialaminya. Hati beliau menjadi
luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal
dengan kelemah-lembutannya terhadap orang-orang miskin.
Sebagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela
mendahulukan kepentingan kaum Muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beliau
senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan
miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orang-orang miskin.
Selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai istri
Rasulullah SAW yang senang meringankan beban saudara-saudaranya.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha bin Yasir, bahwa Zainab mempunyai
seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak
dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah
memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW pernah menyatakan pujian kepada
Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah dengan sabdanya, "Ia benar-benar
menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan
bersedekah kepada mereka."
Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah
tangga Nabi SAW, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas,
Rasulullah menikahinya karena kasih sayang terhadap umatya walaupun wajah
Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang
bersedia menikahinya.
Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun
banyak terdapat perbedaan pendapat. Salah satu pendapat mengatakan bahwa
Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain
delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat karena Zainab
meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan
penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari 30
tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya.
Ummu Salamah Ummul Mukminin (Hindun binti Abu Umayyah Al
Makhzumiyah)
Beliau adalah seorang wanita yang sangat terlindungi dan suci. Dia adalah
Hindun binti Abu Umayyah Al Makhzumiyah, keponakan Saifulloh Khalid bin
Walid dan Abu Jahal bin Hisyam. Termasuk wanita yang hijrah pertama kali.
Sebelum menjadi istri Nabi, dia menjadi istri saudara sepersusuan beliau,
yaitu Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzumi, seorang lelaki sholih. Nabi
Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menikahinya pada tahun 4 Hijriyah dan dia
termasuk wanita yang paling cantik serta paling mulia nasabnya.
Dia istri Nabi yang terakhir kali meninggal dunia. Diberi umur panjang dan
mengetahui pembunuhan Husain Asy Syahid, sehingga membuatnya
pingsan karena sangat bersedih. Tidak berselang lama setelah peristiwa itu,
dia pun meninggal dunia.
Ummu Salamah memiliki anak dan para sahabat, yaitu Umar, Salamah dan
Zainab. Selain itu juga memiliki sejumlah hadits. Beliau berusia kurang lebih
90 tahun. Ayahnya adalah seorang penunggang kuda terbaik dan seorang
dermawan bernama Hudzaifah.
Ada yang menamakan Ummu Salamah dengan Ramlah, yaitu Ummu
Habibah. Beliau juga termasuk salah seorang shohabiyah yang faqih.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Abu Maryam, dia berkata, “Ummu Salamah
berkata kepada Abu Salamah,
“Aku mendapat berita bahwa wanita yang memiliki suami yang dijamin
masuk surga, kemudian dia tidak menikah lagi, maka Alloh akan
mengumpulkan mereka kembali di surga. Oleh karena itu, aku memintamu
berjanji agar tidak menikah lagi sesudahku dan aku tidak menikah lagi
sesudahmu. ” Abu Salamah menjawab, “Apakah kamu akan menantiku?”
Ummu Salamah berkata, “Ya.” Abu Salamah berkata, “Jika aku mati maka
menikahlah. Ya Alloh, berilah Ummu Salamah orang yang lebih baik dariku,
yang tidak membuatnya sedih dan tidak menganiayanya.”
Setelah Abu Salamah meninggal, Ummu Salamah berkata, “Siapa yang lebih
baik dari Abu Salamah? Aku menunggu.” Tiba-tiba Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi Wa Sallam muncul sambil berdiri di depan pintu lalu menyatakan
pinangannya kepada dirinya. Ummu Salamah menjawab, “Aku ingin
mendatangi sendiri Rosululloh atau mendatangi beliau bersama keluargaku.”
Keesokan harinya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam melamarnya.
Diriwayatkan dari Tsabit, bahwa Ibnu Umar bin Abu Salamah menceritakan
kepadaku dari ayahnya ketika masa iddah (penantian bagi istri yang ditalak
atau ditinggal mati oleh suaminya) Ummu Salamah habis, dia dilamar oleh
Abu Bakar, tetapi dia menolak, kemudian dilamar Umar, namun dia menolak.
Setelah itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus seseorang
untuk melamarnya, dan dia berkata,
“Selamat datang, katakan kepada Rosululloh aku adalah seorang yang
pencemburu dan aku mempunyai anak kecil. Aku juga tidak mempunyai wali
yang menyaksikan.”
Setelah itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam mengirim seorang utusan
kepadanya untuk menyampaikan jawaban mengenai perkataannya,
“Mengenai perkataanmu bahwa kamu mempunyai anak kecil, maka Alloh
akan mencukupi anakmu. Mengenai perkataanmu bahwa kamu seorang
pencemburu, maka aku akan berdo’a kepada Alloh agar menghilangkan
kecemburuanmu. Sedangkan para wali, tidak ada seorang pun diantara
mereka kecuali akan ridha kepadaku.”
Ummu Salamah kemudian berkata, “Wahai Umar, berdirilah dan nikahkanlah
Rosululloh denganku.”
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sedangkan aku tidak
akan mengurangi apa yang aku berikan kepada si fulanah.” Beliau
menikahinya tepat pada bulan Syawwal tahun 4 Hijriyah.
Diriwayatkan dari Muththalib bin Abdullah bin Hanthab, dia berkata,
“Ada seorang janda Arab menghadap pemimpin kaum muslimin pada awal
Isya sebagai pengantin, lalu dia berdiri pada akhir malam untuk membuat
adonan.”
Maksudnya adalah Ummu Salamah.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata, “Ketika Abu Salamah
meninggal dunia, aku mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan
berkata,
“Apa yang harus aku katakan?” Beliau bersabda, “Katakan, ‘Ya Alloh,
ampunilah kami dan dia dan gantilah untukku seorang pengganti yang
baik.’” Aku lalu membacanya dan Alloh menggantikannya dengan
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam.
Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam
pernah bersabda kepada istri-istrinya,
“Jika kamu menjadi istriku di surga maka janganlah menikah sesudahku,
karena wanita yang akan menjadi istri seseorang di surga adalah yang
menjadi istri terakhirnya di dunia.”
Oleh karena itu, Beliau mengharamkan istri-istrinya untuk menikah
sepeninggal beliau, karena mereka akan menjadi istri-istri beliau di surga.
Ummu Salamah wafat pada tahun 61 Hijriyah.
Sumber: Ringkasan Siyar A’lam An Nubala (Imam Adz Dzahabi).
Posted by Aditya at 5:03 AM
Labels: Shahabiyah (Sahabat Wanita)
Ummu Salamah
Dicelah-celah kita mengkaji sirah tentang kehebatan kehidupan insan agung bernama
Muhammad bin Abdulllah, Rasul utusan Allah kepada kita , kesetiaan Abu Bakar As-
siddiq, ketegasan Umar Al-Khatab dan kisah Saidina Ali yang bersemangat, terselit
kisah-kisah wanita hebat dizaman Rasulullah s.a.w. Mungkin kisah-kisah sahabiah ini
jarang kita dengar, namun disebalik kisah sahabiah ini terselit seribu satu pengajaran
untuk menjadi contoh ikutan buat kita yang mendamba syurga dan redha Allah.
Kali ini saya memilih kisah Ummu Salamah r.a, mari kita membaca dan menghayati
kisah hidup wanita mulia ini. Wanita yang kesabaran dan ketabahannya membuahkan
balasan yang agung.
Imam Adz-Dzahabi menjelaskan identiti Ummu Salamah;
“ Ummu Salamah adalah wanita terhormat, berhijab dan suci. Namanya Hindun binti
Abu Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin
Murrah Al-Makhzumiyah. Ummu Salamah merupakan sepupu kepada Khalid bin Walid
yang digelar Pedang Allah dan Abu Jahal bin Hisyam. Dia termasuk wanita yang
pertama kali berhijrah. Sebelum menjadi isteri Nabi Muhammad s.a.w, Ummu Salamah
menikah dengan Abu Salamah bin Abdul Asad Aal-Makhzumi, seorang lelaki yang
soleh.”
Mari kita melirik sejenak kehidupan Ummu Salamah sebelum kedatangan islam. Ummu
Salamah adalah seorang wanita yang sangat terhormat dan mulia, berasal dari
keluarga yang terhormat kerana beliau berasal dari bani Makhzum. Ayahnya juga
adalah seorang tokoh Quraisy yang dermawan dan pemurah dan selalu memberi bekal
kepada musafir yang kehabisan bekal. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
dermawan membuatkan Ummu Salamah menjadi seorang yang dermawan, mempunyai
hati yang bersih serta sangat menghayati erti belas kasihan sehingga memancarlah
kebaikan dan kemurahan hatinya kepada manusia.
Sejak kecil lagi Ummu Salamah sudah menampakkan keperibadian yang kuat untuk
menjadi wanita terhormat. Beliau juga memiliki rupa paras yang cantik jelita. Setelah
meningkat dewasa, Ummu Salamah dipinang oleh Abdullah(Abu Salamah) bin Abdul
Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Abu Salamah merupakan seorang
pemuda Quraisy yang terkenal dengan kesatriaan beliau menunggang kuda, beliau
juga saudara sesusu Nabi Muhammad s.a.w. Pernikahan Hindun (Ummu Salamah) dan
Abu Salamah dilangsungkan dan mereka hidup bahagia. Setelah Islam tersebar ke
Mekah, Ummu Salamah dan suaminya termasuk antara yang segera beriman kepada
Allah s.w.t.
Ketika hendak berhijrah ke Madinah, Ummu Salamah dan suaminya mengalami
peristiwa yang amat memilukan. Ketika Abu Salamah, Ummu Salamah dan putera
mereka, Salamah bin Abu Salamah sedang bersiap sedia mahu ke Madinah, berlaku
pergaduhan antara keluarga bani Asad dan Bani Mughirah. Keluarga bani Mughirah
(keluarga Ummu Salamah) tidak membenarkan Abu Salamah membawa Ummu
Salamah pergi ke Madinah manakala bani Asad ( keluarga Abu Salamah) pula tidak
membenarkan anak mereka ( Salamah) bersama Ummu Salamah. Setelah itu
keluarga bani Mughirah dan bani Asad merebut putera mereka dan keluarga bani Asad
berjaya mendapatkan putera Ummu Salamah. Ummu Salamah dibawa pulang oleh
keluarganya ( bani Mughirah), anaknya dibawa oleh keluarga suaminya (bani Asad)
manakala suaminya, Abu Salamah meneruskan perhijrahan ke Madinah. Maka Ummu
Salamah terpisah dengan anak dan suaminya. Namun begitu Ummu Salamah diberi
kesabaran yang tinggi untuk terus sabar melalui ujian itu.
Sejak terpisah dengan suami dan anaknya, setiap pagi Ummu Salamah akan pergi ke
tanah lapang dan duduk sambil menangis. Hal itu dilakukan selama setahun sehingga
pada suatu hari seorang sepupunya dari bani Mughirah melihatnya dan berkata kepada
keluarga bani Mughirah yang lainya;
“ Tidakkan kalian merasa simpati terhadap wanita malang itu? Kalian telah
memisahkannya dari suami dan anaknya.”
Tidak lama selepas itu keluarga bani Mughirah membenarkan Ummu Salamah pergi
mencari suaminya di Madinah. Keluarga bani Asad juga mengembalikan puteranya,
Salamah kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah mengeluarkan untanya dan
membawa bersama puteranya keluar mencari suaminya. Beliau memulakan perjalanan
sendirian bertemankan puteranya yang masih kecil, namun pergantungannya kepada
Allah sentiasa melebihi segala-galanya.Di dalam perjalanan, beliau bertemu dengan
Utsman bin Thalhah dan Utsman membantu perjalanannya sehingga beliau bertemu
dengan suami tercinta, Abu Salamah. Setelah bertemu dengan suaminya di Madinah,
Ummu Salamah hidup bahagia dan dapat beribadah dengan tenang dan bertaqwa serta
menggali setiap bentuk kebaikan daripada Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah berusaha
keras mendidik empat anaknya ( Zainab, Umar, Salamah dan Durrah) dengan
menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah.
Ummu Salamah sangat menyokong suaminya untuk berjuang di medan jihad. Beliau
setia menyembuhkan luka-luka pada badan suaminya seusai peperangan,sehinggalah
suaminya mengalami kecederaan teruk ketika perang Uhud. Ketika terbaring menanti
detik kematian, terjadilah perbualan yang sangat mengharukan antara Abu Salamah
dan Ummu Salamah. Ziyad bin Abu Maryam menuturkan, saat itu Ummu Salamah
berkata,
“Aku mendengar bahawa jika seorang isteri ditinggal mati oleh suaminya, sementara
suaminya itu menjadi penghuni syurga, lalu isterinya tidak menikah lagi, maka Allah
akan mengumpulkan mereka kembali di dalam syurga. Kerana itu aku bersumpah
bahawa engkau tidak akan menikah lagi (seandainya aku yang mati terlebih dahulu)
dan aku tidak akan menikah lagi setelah engkau mati.”
Abu Salamah berkata, “Adakah engkau mahu taat kepadaku?”
Ummu Salamah menjawab, “ya.”
Abu Salamah berkata, “ Jika aku mati terlebih dahulu maka menikahlah lagi. Ya Allah,
jika aku mati maka berilah Ummu Salamah seorang suami yang lebih baik dariku yang
tidak akan membuatnya sedih dan tidak akan menyakitinya.”
Tidak lama selepas itu, Abu Salamah meninggal dunia. Allah memakbulkan doa Abu
Salamah apabila setelah kematian Abu Salamah, Allah mendatangkan insan paling
mulia kepada Ummu Salamah. Setelah kematian suaminya, Rasulullah s.a.w telah
datang meminang Ummu Salamah. Ummu Salamah berkahwin dengan Rasulullah
s..a.w dan termasuk dalam keluarga yang mulia dan suci. Betapa Allah mengagungkan
Ummu Salamah, keagungan yang tiada tolak bandingnya dengan dunia dan seluruh isi
dunia. Ummu Salamah menjalani kehidupan yang sangat bahagia dan barakah
bersama Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah menjadi seorang isteri yang sangat baik
kepada Rasulullah s.a.w. Beliau banyak membantu dakwah Rasulullah s.a.w kerana
beliau memiliki pemikiran yang bernas. Diceritakan dalam satu kisah ketika perjanjian
Hudaibiyah, setelah selesai menandatangani perjanjian damai dengan kaum musyrik,
Rasulullah s.a.w berkata kepada para sahabatnya,
“ Bersiap-siaplah, sembelihlah haiwan-haiwan korban kalian dan cukurlah rambut
kalian.”
Namun, saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang berdiri dan melaksanakan
perintah baginda walaupun perintah itu diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah s.a.w.
Melihat tidak ada tindakan dari pihak sahabatnya, Rasulullah lantas masuk ke khemah
dan menemui Ummu Salamah, menceritakan kejadian tersebut. Disinilah Ummu
Salamah memainkan peranannya dengan baik sekali. Wanita yang punya pemikiran
yang hebat ini menyelamatkan para sahabat dari derhaka kepada Rasulullah s.a.w.
Ummu Salamah berkata;
“ Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin sahabat-sahabatmu mengerjakan
perintahmu? Keluarlah dan jangan berbicara dengan siapa pun sebelum engkau
menyembelih haiwan korbanmu, memanggil pencukur untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah s.a.w mengikut saranan Ummu Salamah. Baginda keluar tanpa berbicara
dengan siapa pun lalu menyembelih haiwan korbannya serta mencukur rambutnya.
Ketika para sahabat melihat tindakan baginda, para sahabat lantas bangkit dan
menyembelih haiwan korban mereka serta mencukur rambut mereka.
Ummu Salamah juga sangat menyayangi orang-orang yang ada disekelilingnya. Beliau
akan sentiasa bahagia jika dapat memberi khabar gembira kepada orang sekelilingnya.
Beliau juga yang menyampaikan khabar kepada Abu Lubabah bahawa Allah telah
menerima taubatnya. Ummu Salamah juga pernah memujuk Rasulullah untuk
memaafkan Abu Sufyan bin Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah. Ketika mereka
berdua ingin menemui Rasulullah s.a.w di Abwa’, mereka berusaha mengadap baginda
namun ketika melihat kedatangan mereka, Rasulullah lantas memalingkan muka
kerana tidak dapat menerima perlakuan mereka selama ini yang sangat menyakitkan
baginda. Namun Ummu Salamah bertindak memujuk Rasulullah dengan berkata;
“ Wahai Rasulullah, bagaimanapun mereka bukanlah orang yang paling menyakitimu
selama ini.”
Imam Adz-Dzahabi menyebut sifat Ummu Salamah;
“ Dia dianggap salah seorang ulama generasi sahabat.”
Bagaimana Ummu Salamah tidak mencapai darjat setinggi itu, setiap saat beliau
mendengar langsung bacaan al-quran daripada Rasulullah dan mendengar kata-kata
Nabi s.a.w dari lisan baginda. Ummu Salamah juga menjadi rujukan para sahabat
dalam beberapa persoalan hukum dan fatwa, terutama persoalan yang berkaitan
dengan wanita. Ummu Salamah juga meriwayat 378 hadis yang dihafalnya dengan
baik.
Ummu Salamah meninggal dunia ketika usianya sekitar 90 tahun dan sempat berada
dalam dalam pemerintahan Khulafah ar-Rasyidin hingga pemerintahan Yazid bin
Mu’awiyyah. Imam Adz-Dzahabi berkata;
“ Dia adalah Ummul Mukminin yang paling akhir meninggal dunia.”
Demikianlah diceritakan kisah hidup wanita agung, Hindun atau dikenali sebagai Ummu
Salamah. Betapa kemuliaan akhlaknya, kesucian hatinya dan ketabahannya menjalani
ujian kehidupan menjadikan beliau insan yang diagungkan darjatnya oleh Allah s.w.t.
sehingga diberi tempat oleh Allah s.w.t. menjalani kehidupan yang barakah bersama
insan semulia Rasulullah s.a.w. Betapa kematangan pemikiran beliau menyumbang
kepada kejayaan dakwah Rasulullah s.a.w.Semoga ketabahan hatinya, kesetiaannya
kepada insan tersayang, kesuciaan hatinya, kesungguhannya mendidik sifat taqwa
dalam diri, kesungguhannya menanamkan rasa cinta anak-anaknya kepada Allah dan
Rasullah menjadi teladan buat kita yang sentiasa mendamba redha Ilahi. Semoga Allah
meredhai Ummu Salamah dan menjadikan syurga firdaus sebagai tempat persinggahan
terakhir buat beliau.
ZAINAB binti Jahsy Pernikahan Rasulullah saw. dengan Zainab binti Jahsy r.a. didasarkan pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab. A. Nasab dan Masa Pertumbuhannya Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik. Zainab termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah. B. Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah Terdapat beberapa ayat A1-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah saw. Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali
memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid, “Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad) Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.” Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi saw.. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka: “Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36) Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi saw. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah saw. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab. Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah. Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah SWT berfirman, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab:5) Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37) Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi saw. menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat. C. Menjadi Ummul-Mukminin Rasulullah saw. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah. Zainab mulai memasuki rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya. Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40) Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab r.a., wanita Yahudiyah itu. Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah. D. Saat Wafatnya Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.” Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah. Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat
bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.” Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin. (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]
Kisah-kisah teladan : Juwairiyah Binti al-Harits
Beliau adalah Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-Khuza’iyah al-Mushthaliqiyyah.Beliau adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang Muraisi’.Hasil Undian Juwairiyyah adalah bagian untuk Tsabit Bin Qais bin syamas atau anak pamannya, tatkala itu Juwairiyyah berumur 20 tahun. Dan akhirnya beliau selamat dari kehinaan sebagai tawanan/rampasan perang dan kerendahannya.
Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya. Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat kondis seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah: ”Maukah engkau mendapatkan hal yang
lebih baik dari itu ?”. Maka dia menjawab dengan sopan: ”Apakah itu Ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab: ”Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!”. Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab:”Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Aku telah melakukannya”.‘Aisyah, Ummul Mukmini berkata:”Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata:”Kerabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan pernikahan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah.Dan Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah:”Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji gandum.Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan Juwairiyyah radhiallaahu ‘anha. Beliau berkata: ”Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan berkata: ”Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih di antara kita; apakah anda setuju?”.“Baiklah”, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab:”Aku memilih Allah dan Rasul-Nya”.Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H.Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.
JUWAIRIYAH BINTI AL-HARITS SEBAGAI ASBAB HIDAYAH BAGI KAUMNYAJanuary 26, 2011 · by aan · in Ummul Mukminin
Parasnya begitu cantik, luas ilmunya dan mulia akhlaknya. Begitulah sejarah Islam melukiskan Juwairiyah binti Al-Harits. Sejatinya, ia bernama Barrah.Wanita itu berasal dari Bani Musthaliq yang menyembah berhala. Ayahnya, Al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang gemar menyembah patung dan sangat memusuhi Islam.
Barrah sempat menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan. Ayahnya berencana untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Bani Musthaliq sangat bernafsu untuk mengalahkan pasukan tentara Islam dan mengambil alih kekuasaan di antara suku-suku Arab. Rencana itupun sampai ke telinga Rasulullah SAW.
Untuk memastikan kabar itu, Nabi SAW lalu menugaskan Buraidah bin Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran informasi itu. Ternyata, rencana penyerangan yang akan dilakukan Bani Musthaliq itu tak sekedar isu melainkan kenyataan. Rasulullah pun menyusun kekuatan dan menyerang terlebih dahulu.
Pertempuran tentara Islam melawan kaum kafir dari Bani Musthaliq itu dikenal sebagai perang Perang Muraisi’ dan terjadi pada bulan Sya’ban tahun kelima Hijrah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Pemimpin bani Musthaliq, Al-Harits melarikan diri dari medan peperangan dan suami Barrah tewas terbunuh.
Seluruh penduduk yang selamat, termasuk Barrah menjadi tawanan. Sebagai seorang terpelajar, mengetahui dirinya menjadi tawanan, Barrah mengajukan tawaran untuk membebaskan diri. Ia lalu mencoba bernegosiasi dan meminta bertemu dengan Nabi SAW. Upayanya membuahkan hasil.
“Ya Rasulullah, aku Barrah, putri dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan dengan menjadi tawanan perang dan jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin menebus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku!” ujarnya.
Nabi SAW berpikir sejenak. Lalu Rasulullah SAW balik bertanya, “Maukah engkau yang lebih baik dari itu?”
Seketika Barrah tercengang dan balik bertanya, “Apakah gerangan itu, wahai Rasulullah?
Lalu Nabi SAW berkata, “Aku tebus dirimu, lalu kunikahi engkau.”
Mendengar jawaban Nabi SAW, wajah Barrah pun berubah berseri-seri.
“Baiklah, wahai Rasulullah,” tutur Burdah. Lalu Rasulullah SAW menikahinya dan nama Barrah pun diganti menjadi Juwairiyah.
Seperti diriwayatkan Aisyah RA, kabar pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah menyebar cepat di kalangan kaum Muslimin. Secara tak terduga, pernikahan itu menjadi berkah bagi kaum Bani Musthaliq yang tertawan dan menjadi budak. Para sahabat membebaskan semua tawanan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Juwairiyah. Dan makin banyak yang berbondong-bondong masuk agama islam
kisah istri rosulullah Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah (Wafat 50 H)
Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan tulus selama
mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang dengan ikhlas
menyerahkan dirnya kepada kepada Rasulullah ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah
telah menurunkan ayat yang berhubungan dengan dirinya:
“.. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya,
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…” (QS. Al-Ahzab:50)
Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya. Hal itu
menunjukkan kadar ketakwaan dan keirnanan Maimunah. Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan
yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan
wanita yang pertarna kali merneluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab
binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam.), Asma binti Urnais (istri Ja’far bin Abu Thalib),
dan Salma binti Umais (istri Hamzah bin Abdul-Muththalib).
Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan
Nama lengkap Mairmnah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin
Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin
Hamathah bin Jarsy.
Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas
meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan
Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat
orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak
dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia
menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka
tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar riwayat
mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati
dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kekokohan Iman
Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya
kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk
dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam A1-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-
Zuhri.
Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. ini telah dinyatakan dalam Al-
Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal, istri
Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan
dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhi menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun
mengabarkannya kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang
Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi
dirinya.
Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki
Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk
menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum
muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. Untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau
dan kaum muslirnin rneninggalkan Mekah.
Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar
tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan
tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.
Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita
yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia dikenal dengan
kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Riwayat-
riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas.
Saat Wafatnya
Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari
haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia
delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga
sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir
meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Ummu HabibahUmmu Habibah atau nama sebenarnya Ramlah Binti Abu Sufyan. Inilah
serikandi islam yang patut dijadikan teladan bagi muslimah zaman
sekarang. Bagaimana tidak? orang-orang terdekat dan dicintainya
merupakan musuh baginya. Mereka berusaha memurtadkan dan
memalingkannya dari jalan kebenaran. Dialah salah seorang ummul
mukminin yang banyak diuji keimanannya.
Ramlah Binti Abu Sufyan merupakan puteri kepada seorang pemimpin
Quraisy dan orang-orang musyrik hingga penaklukan Mekah. Namun,
Ramlah binti Abu Sufyan tetap beriman sekalipun ayahnya memaksa
dirinya untuk kafir ketika itu. Abu Sufyan tidak mampu memaksa
anaknya ketika itu kerana anaknya menunjukkan pendirian yang kuat
dan semangat yang tekad. Ramlah Binti Abu Sufyan rela menanggung
beban yang melelahkan dan berat kerana memperjuangkan
akidahnya.
Pada mulanya, beliau menikah dengan Ubaidullah bin Jahsy, seorang
muslim seperti beliau. Tatkala kekejaman kaum kafir terhadap kaum
muslimin, Ramlah berhijrah menuju Habsyah bersama suaminya.
Disanalah beliau melahirkan seorang anak perempuan, yang diberi
nama Habibah. Dengan nama anaknya inilah beliau digelar
dengan Kun` yah Ummu Habibah.
Ummu habibah senantiasa bersabar dalam memikul beban lantaran
memperjuangkan dirinya yang dalam keterasingan dan hanya seorang
diri, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Bahkan terjadi musibah
yang tidak dia sangka sebelumnya.
Beliau bercerita,
"Aku melihat dalam mimpi, suamiku dengan bentuk yang sangat buruk
dan menakutkan. Aku pun terperanjat dan bangun, kemudian aku
memohon perlindungan kepada Allah SWT dari hal itu. Ternyata
tatkala pagi suamiku telah memeluk agama Nasrani. Kuceritakan
mimpiku kepadanya, namun ia tidak mengubah pendiriannya."
Suaminya mencuba dengan segala kemampuan untuk
memurtadkannya, namun Ummu Habibah tetap istiqamah. Bahkan
beliau berusaha mengajak suaminya untuk kembali ke Islam, walaupun
ditolak mentah-mentah dan malah suaminya semakin asyik dengan
khamr. Hal ini berterusan hingga ia meninggal. Hari-hari berlalu di
bumi hijrah, dengan ujian-ujian berat menemani Ummu Habibah.
Tetapi dengan keimanan yang dikaruniakan Allah SWT, dirinya mampu
menghadapinya.
Suatu malam, dia melihat dalam mimpinya ada yang memanggilnya;
"Wahai ummu mukminin...!"
Beliaupun terperanjat bangun. Beliau menakwilkan mimpi tersebut
bahwa Rasulullah SAW kelak akan menikahinya. Setelah selesai masa
iddah-nya, tiba-tiba ada seorang budak wanita (jariyah) dari Raja
Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa Rasulullah SAW
telah meminangnya.
Alangkah bahagianya beliau mendengar khabar gembira tersebut.
Sehingga beliau berkata;
"Semoga Allah memberikan khabar gembira untukmu"
Kerana terlalu gembira dengan khabar itu, beliau menanggalkan
gelang kakinya lalu diberikan kepada budak wanita yang membawakan
perkhabaran tersebut. Setelah itu, beliau meminta Khalid bin Sa'id bin
Al-‘Ash untuk menjadi wakil baginya menerima lamaran Raja Najasy.
Rasulullah bertemu dengannya pada tahun ke enam atau ke tujuh
Hijriyah. Ketika itu Ummu Habibah berumur 40 tahun. Ummu Habibah
menempatkan urusan agama pada tempat yang pertama. Beliau
utamakan akidahnya daripada keluarga. Beliau menyatakan bahwa
kesetiaan beliau adalah tidak berbelah bahagi untuk Allah dan Rasul-
Nya bukan untuk seorang pun selain keduanya.
Ummu Habibah Binti Abu Sufyan (Wafat 44 H/664 M)Posted on 20 Juni 2008. Filed under: Isteri-isteri Nabi, Wanita | Kaitkata:Biografi, Hadits, Ibu, isteri-isteri rasulullah, istri nabi, Jejak, Kisah,Motivasi, Muslim, Muslimah, Perempuan, Salaf, Sejarah, Tauladan, Ulama, ummul mukminin, Wanita, Wanita Sholehah |
Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan
dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya
hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam
dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan
meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu
Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat
berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya
karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup
di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus.
Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat
tergerak sehingga beliau menikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada
dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah
bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri
beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah
kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang
memelopori pernentangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin,
yaitu Abu Sufyan.
Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad
Shalalahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin
Unayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan.
Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang
merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat,
kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy
mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah
terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn
‘alaihissalam. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji
untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah
menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti
kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalam hatinya
terbesit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim
‘alaihissalam.
Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang
membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama
orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah
tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun
mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy
menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah
memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara
mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah
beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan,
pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar
mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah
mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah
lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian
nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di
Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka
menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu
Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah
perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah
mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang
musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum
muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan
kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat,
namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah
memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat.
Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai
condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat
suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan
berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah
berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih
baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk
memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk
agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian
aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak
mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras
sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah keluar dari agama Islam yang telah dia pertaruhkan
dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan
kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah
pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya
sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan
mempertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa
terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kemurtadan
suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal
orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaum
muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya
tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suaminya telah meninggalkan
rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia
kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan
menanti takdir dari Allah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam selalu memantau keadaan umat
Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di
Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang
Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang
ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia
berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan
memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian
aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan,
“Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang
utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah,
seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman
pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah
mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku
menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’
Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak
mengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku,
kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di
kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena
kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersama
Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja
Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan
keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman
Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan
orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah:
7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu
Habibah binti Abi Sufyan.
Hidup bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus Amru bin Umayyah ke
Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin
untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin
sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di
tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita
kemenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu
pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dari
Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita,
terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu
Habibah ke dalam rumah, yang ketika itu bersamaan juga dengan
pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah
seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi
membebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut
kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda
dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak
menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu,
belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah
yang menunjukkan rasa cemburu.
Posisi yang Sulit
Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di
antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum
musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia
menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang
tuanya.
Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-
tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan
membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan
kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif
menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu
Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin
akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani
Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan
kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan
yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi
untuk berdamai dengan Rasulullah.
Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah,
tetapi terlebih dahulu menemui Ummu Habibah dan berusaha memperalat
putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah
ketika melihat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak
berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman
dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari
keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya
Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu
Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu
Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian
berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau
menyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas
duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku
tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan
merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa
usahanya untuk menggagalkan serangan kaum muslimin ke Mekah telah
gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin
akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalamnya
terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia
mendoakan kaum muslimin agar memperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan kaum muslimin untuk membebaskan Mekah. Rasulullah
bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya
sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya
kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan
menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk
Islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya
dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau
menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas
kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang
sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan
Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu
Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia
pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia
akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan
Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan
Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
Akhir sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup
menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas
kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan
ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia
tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia
juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika
bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits
Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara
hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam,
niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah
berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku
mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalam usia tujuh puluh tahun.
Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain.
Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di
tempat yang layak penuh berkah. Amin.
Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA. (628–672 M)
Status ketika menikah: Janda dari Kinanah, salah seorang tokoh Yahudi yang
terbunuh dalam perang Khaibar.
Periode menikah: 628 M, tahun ke-7 Hijriyah.
Anak: tidak ada.
Fakta penting: Shafiyah adalah istri Rasulullah SAW yang berlatar belakang
etnis Yahudi. Sukunya diserang karena telah melanggar perjanjian yang sudah
mereka sepakati dengan kaum Muslimin. Shafiyyah termasuk salah seorang
tawanan saat itu. Nabi berjanji menikahinya jika ia masuk Islam. Maka masuklah
ia dalam Islam.
RAIHANAHPara perawi hadits berselisih pendapat tentang kehidupan Raihanah. Selain itu, tidak banyak riwayat yang menjelaskan istri Rasulullah yang satu ini. Permasalahan berpusat pada data apakah Rasulullah membebaskannya kemudian menikahinya atau beliau hanya menjadikannya sebagai budak? Sebagian riwayat mengatakan bahwa Raihanah termasuk salah seorang istri beliau, namun riwayat lain mengatakan bahwa dia bukan istri beliau. Agar permalahannya jelas, berikut ini dipaparkan perjalanan hidup Raihanah. Di dalam Thabaqat yang diriwayatkan Ibnu Saad, dikatakan bahwa Raihanah sendiri berkata, “Ketika Bani Quraizhah ditawan, saya termasuk yang dihadapkan kepada Rasulullah. Beliau menyuruhku menyendiri karena Rasulullah saw. memiliki hak sebagai pemilih pertama atas rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin. Ketika aku menyendiri, Allah memberiku petunjuk. Beliau mengirirnku ke rumah Urnrnul-Mundzir binti Qais untuk beberapa hari. Beliau mernanggilku dan rnenyuruhku duduk di hadapannya seraya herkata, ‘Jika engkau memilih Allah dan Rasul-Nya maka Rasul-Nya akan memilihmu untuk dirinya.’ Aku menjawab, ‘Aku telah memilih Allah dan Rasul-Nya.’ Ketika aku memeluk Islam, beliau membebaskan dan menikahiku. Kernudian beliau memberiku dua belas uqiyah dan satu nasya sebagaimana beliau berikan kepada istri-istri lainnya, kemudian melangsungkan pernikahan denganku di rumah Ummul-Mundzir. Beliau memberi bagian kepadaku sebagaimana terhadap istri-istri lainnya, dan beliau menyuruhku memakai hijab.” Nama lengkap Raihanah adalah Raihanah binti Zaid bin Amru Khunaqah bin Syam’un bin Zaid dan Bani Nadhir. Suaminya, al-Hakam, berasal dan Bani Quraizhah. Di dalam kitab As-Samthust-Tsamin fii Manaqih Ummahatul-Mukminin (Perangkai Mutiara Berharga dalam Keunggulan Istri-istri Nabi), Ath-Thabari rneriwayatkan, “Muhammad bin Umar mengabarkan kepada kami bahwa Abdullah bin Ja’far bin Yazid ibnul-Haad mengabarkan kepada kami, dari Tsa’labah bin Abi Malik, ‘Raihanah binti Zaid bin Amru bin Khunaqah dari Bani Nadhir bersuarnikan seseorang dari kalangan mereka yang bernama al-Hakam. Ketika Bani Quraizhah ditawan, Rasulullah rnenawannya, kemudian membebaskannya dan menikahinya hingga dia meninggal di sisinya.” Di dalam kitab ini pun disebutkan bahwa Muhammad bin Umar mengabarkan kepada karni, Shaleh
bin Ja’far mengabarkan dari Muhammad bin Kaab, “Raihanah termasuk yang Allah bebaskan. Dia adalah wanita cantik dan menawan. Ketika suaminya terbunuh, dia berada dalam tawanan. Dia menjadi bagian Rasulullah pada hari penaklukan Bani Quraizhah. Rasululah saw. memberinya pilihan antara Islam dan tetap dalam agamanya, dan ternyata dia memilih Islam. Rasulullah membebaskannya kemudian menikahi dan memberikannya hijab. Suatu waktu dia sangat cemburu kepada Rasulullah sehingga beliau menceraikannya. Akibat percerainnya, dia tidak dapat tidur dan sangat bersedih. Rasulullah saw. menemui dan merujuknya kembali sehingga dia tetap bersama Rasulullah hingga meninggal dunia sebelum Rasulullah wafat.” Di dalam riwayat lain dalam buku yang sama disebutkan bahwa Raihanah tidak termasuk istri-istri Rasulullah. Abdul Malik bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, dari Ayyub bin Abdur-Rahman bin Sha’shaah, dari Ayyub bin Basyir al-Mu’awy, “Ketika Bani Quraizhah ditawan, Rasulullah saw. mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qais atau yang dikenal dengan sebutan Ummul-Mundzir. Dia tinggal bersamanya hingga datang haid sekali lalu suci dari haidnya itu. Ummul-Mundzir memberi kabar kepada Rasulullah. Beliau mendatanginya di rumah Ummul Mundzir, dan berkata, ‘Jika kamu suka, aku akan membebaskanmu lalu menikahimu, niscaya akan aku lakukan. Dan jika kamu suka, aku akan menjadikanmu sebagai budakku.’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku lebih suka menjadi budakmu. Hal itu lebih meringankan bagiku dan bagimu.’ Lalu dia tetap menjadi budak beliau dan digauli sebagai budak hingga akhir hayatnya.” Demikianlah sekilas riwayat Raihanah binti Zaid bin Amru. Dalam hal kami (penulis buku) tidak terlalu menganalisis riwayat-riwayat yang lain, hanya saja kami sudah meyakini kesepakatan para perawi hadits tentang wafatnya Raihanah semasa hidup Nabi saw. Semoga Allah SWT mengasihi dan meridhainya. Amin. (Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)