Upload
hakhanh
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN
(Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS. )
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Indro Wibowo
NIM: 207044100425
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN
(Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS. )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Indro Wibowo
NIM: 207044100425
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. Ahmad Yani, MA
NIP.196404121994031004
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis Yuridis Penetapan Nomor :
083/Pdt.P/2010/PA.JS) Telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2011 Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1)
pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah
Jakarta, 20 Juni 2011
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP.19550505198201012
Panitia Ujian
1. Ketua Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP.19550505198201012
2. Sekertaris Mufidah, S.HI
3. Pembimbing I Drs.H. Ahmad Yani, MA
NIP. 19640121994031004
4. Penguji I Dr. H. M. Nurul Irfan, MA
NIP. 150326893
5. Penguji II Kamarusdiana, S.Ag, MH
NIP.19720224199803100
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 20 Juni 2011
Indro Wibowo
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah ta’ala Rabb semesta alam. Dzat yang maha
pengasih dan maha penyayang tak pandang sayang. Sesungguhnya tidak ada
seorang hamba yang lebih mulia di sisi Allah kecuali yang bertakwa kepada-Nya
dengan sebenar-benar takwa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk
kepada kita dengan risalah Islam yang mulia. Pembela hak-hak kaum wanita yang
sebelumnya telah diabaikan oleh masyarakat jahiliyah terdahulu dengan adanya
diskriminasi dan pemasungan hak-hak bagi mereka. Dengan adanya pencatatan
perkawinan maka hak – hak yang terabaikan dapat di penuhi dalam keluarga
sehingga timbul ketenteraman serta rasa keadilan dalam perkawinan.
Syukur Alhamdulillah karena dukungan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil, segala kesulitan
akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” untuk istriku
tercinta (Irdha Fajaryani) dan anakku tersayang (Nadindra Kirana Maheswari),
serta sembah bakti penulis kepada Ibunda Sri Rahayu, Ayahanda Kadarisman dan
Ibunda Sukesi yang tak henti – hentinya memberikan dorongan semangat serta
doa bagi penulis.
ii
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan
skripsi ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana M.A.,
Ketua dan Sekretaris Program Studi Al Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Drs. H. Ahmad yani, MA, dan Mufidah, S.HI, Koordinator Teknis
dan Sekertaris Program Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.A., dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.
5. Bapak Drs. Agus Yunih, S.H, M.HI Hakim pada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan serta Bapak TB. Zamroni, S.Ag Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama dan segenap jajaran
Karyawan/karyawati (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama yang telah
banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan
rujukan skripsi.
6. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi
Al Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
iii
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi jalan ilmu
bagi penulis selama duduk di bangku kuliah.
7. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengadaan
referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Sahabat-sahabat penulis di Peradilan Agama Non reguler angkatan
2007/2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. ’’Jangan
menjadi pohon kaku yang mudah patah, jadilah bambu yang mampu
melengkung melawan terpaan angin’’ serta Terima kasih atas semua
bantuan dan dukungan serta doanya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik kita semua di sisi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang penulis
terima tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya doa yang dapat penulis
panjatkan, semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT
kepada kita semua. Âmîn
Jakarta, 20 Juni 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .................................. 9
E. Studi Review Terdahulu ........................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II KERANGKA TEORI
A. Dasar dan Tujuan Perkawinan .................................................. 14
B. Rukun dan Syarat Perkawinan dalam Islam.............................. 20
C. Urgensi Pencatatan Perkawinan ................................................ 26
BAB III ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
A. Definisi Itsbat Nikah ................................................................ 32
B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan ........... 33
C. Dampak Itsbat Nikah sebelum dan sesudah Adanya Penetapan
Pengadilan Agama .................................................................... 42
v
BAB IV ANALISIS YURIDIS ITSBAT NIKAH DALAM
PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN
A. Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak
tercatat ...................................................................................... 47
B. Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama
Jakarta Selatan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Kebayoran Lama ....................................................................... 65
C. Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan
tidak tercatat ............................................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 75
B. Saran ......................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 78
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang
sangat penting baik ditinjau dari sudut sosial maupun yuridis, perkawinan
mempunyai arti dan kedudukan yang sangat berarti dalam tata kehidupan
manusia. Sebab dengan perkawinan dapat dibentuk ikatan hubungan
pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu
ikatan suami isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus
berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari
perkawinan adalah mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat.
Ditinjau dari segi yuridis perkawinan akan menimbulkan suatu
hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan isteri
secara timbal balik, selain hal tersebut juga merupakan suatu perbuatan
keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang,
sebagai salah satu masalah keagamaan maka setiap agama di dunia ini
mempunyai peraturan tersendiri tentang perkawinan. Sehingga pada
prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama
yang dianut oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan.1
Dengan melihat kepada arti, kedudukan dan tujuan yang sangat
penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu peraturan
1 Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Penerbit Alumi, 2001), Cet. Ke-IV, h. 17
2
yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu
perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan
dari pihak manapun juga, maka ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu suatu
aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan
hidupnya. Sehingga dengan demikian kepentingan masing-masing dapat
terpelihara dan terjamin, setiap anggota masyarakat mengetahui akan hak dan
kewajibannya masing-masing, tata atau aturan-aturan yang demikian itu lazim
juga disebut kaidah atau norma.2
Adapun yang termasuk macam-macam norma agama, hukum dan
kesusilaan, norma agama dalam hal ini adalah agama Islam yang bersumber
kepada hukum syara‟ yang terkandung dalam al-Qur‟an dan hadits. Sedangkan
norma hukum bersumber kepada:3
1. Undang-undang;
2. Kebiasaan (custom);
3. Keputusan-keputusan (Yurisprudensi);
4. Traktat (Treaty).
Dalam hal perkawinan, seseorang muslim wajib berpedoman kepada
hukum syara‟ yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan,
dilarang, dan dibolehkan.
2 Mufti Wiriadhihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Gadjah Mada, 2002), Cet. Ke-7, h. 6
3 C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas,
2001), Cet. Ke-III, h. 44
3
Dengan demikian perkawinan ditinjau dari hukum syar‟i adalah
merupakan pengabdian kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta
dengan segala kesempurnaan-Nya. Salah satu bukti kesempurnaan ciptaan-
Nya ialah adanya ketentuan-ketentuan syara‟ yang mengatur perkawinan
manusia agar mendapat ketentraman dan kasih sayang antara suami isteri yang
bahagia.4
Di samping wajib mengikuti ketentuan hukum syara‟ muslim warga
negara Indonesia harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber
kepada undang-undang negara, yang dimaksud dengan undang-undang ialah
peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh perlengkapan negara yang
mempunyai kewenangan membentuk undang-undang yakni presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di mana
diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, yang menyatakan:
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.”
Ini berarti dengan diundangkannya undang-undang perkawinan
merupakan suatu pedoman bagi seluruh warga Indonesia, baik muslim
maupun non muslim, undang-undang tersebut merupakan sumber hukum
mengenai perkawinan berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara
Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa dan
ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya. Namun oleh karena
4 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A‟la al-Indonisiya li al-
Da‟wah al-Islamiyyah, 2002), Cet. Ke-IX, h. 100.
4
undang-undang tersebut belum sepenuhnya memasyarakat, maka masih
terdapat keragu-raguan, khususnya sahnya perkawinan jika dikorelasikan
dengan pasal yang mengatur tentang catatan perkawinan dan akta nikah
ataukah sekedar syarat administratif belaka yang harus dipenuhi oleh orang
yang hendak melangsungkan perkawinan, karena prilaku mencatatkan
perkawinan memiliki urgensi yang vital dalam tatanan kehidupan sosial.
Dengan dalih tidak ada ketentuan mengenai catatan perkawinan dan
akta nikah dalam Islam, masih banyak warga negara Indonesia khususnya
muslim yang melangsungkan perkawinan mereka tanpa dicatatkan pada
lembaga resmi pemerintah. Catatan perkawinan merupakan ibadah ghairu
makhdhoh yang memiliki sifat terbuka dan dalam hukum syar‟i ketentuan
adanya dua orang saksi laki-laki merupakan bukti adanya perkawinan hanya
saja sifatnya limitative, hal ini sangat penting untuk kemaslahatan kedua belah
pihak, apabila ada tuduhan melakukan perzinahan dan sebagainya, maka
kedua belah pihak dapat mengemukakan saksi bahwa mereka sebenarnya telah
melakukan perkawinan (nikah). Demikian pula baik isteri maupun suami tidak
mudah untuk memungkiri perjanjian perkawinan yang suci tersebut terutama
kelak adanya sanggahan terhadap keturunannya. Untuk meyakinkan umat
Islam dalam perilaku perkawinan mereka khususnya mengenai pentingnya
catatan perkawinan, dan untuk menghilangkan keragu-raguan mereka terhadap
undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, berikut pendapat Hazairin,
… ia (Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974) merupakan
suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya
variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan yang
Maha Esa (pasal 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan).
5
Di samping hal tersebut unifikasi bertujuan hendak melengkapi segala apa
yang diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan, karena dalam hal
tersebut negara berhak mengatur sendiri sesuai dengan perkembangan dalam
masyarakat serta tuntutan zaman.5 Dalam implementasinya masih ada keragu-
raguan serta berbagai macam pelanggaran sehingga perkawinan tidak bisa
mencapai tujuan yang diidam-idamkan yakni membina rumah tangga yang
kekal dan bahagia yang berujung pada perceraian.
Jika pada waktu melangsungkan perkawinan mereka mendaftar dan
mencatatkan perkawinan tersebut pada lembaga resmi pemerintah yaitu
Kantor Urusan Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan Kantor
Catatan Sipil bagi warga negara yang beragama non Islam.
Dengan adanya akta nikah, perkawinan yang dilangsungkan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan akan terjamin hak-haknya sebagai suami
isteri, selain itu dengan adanya bukti catatan perkawinan dari pejabat yang
berwenang, maka perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan
mempunyai kekuatan yuridis.
Oleh karena itu ternyata adanya keharusan catatan perkawinan bagi
mereka yang ingin melangsungkannya, mempunyai nilai yuridis yang sangat
urgen, sebagai bukti autentik bahwasanya mereka telah melangsungkan
pernikahan dan membina rumah tangga, selain itu juga sebagai alat untuk
mendapatkan hak-hak masing-masing pihak sebagai suami isteri.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2)
sudah ditegaskan bahwa, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
5 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
(Jakarta: Tinta Mas, 2001), Cet. Ke-IV, h. 65
6
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1
tahun 1974 di atas dipertegas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat
(1) yaitu, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu; (1) untuk memenuhi ketentuan dalam
pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Undang-undang menentukan terhadap ketiadaan catatan nikah dapat dilakukan
melalui itsbat nikah dengan merujuk pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974, dan pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam, dengan dilakukannya itsbat nikah maka kedua pasangan suami isteri
mempunyai beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun
menurut perundang-undangan. Dengan ini dapat dihindari pelanggaran
terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon
mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai
tersebut.6 Sedangkan yang kedua adalah manfaat represif berkaitan dengan
perkawinan yang tidak memiliki akta nikah karena lain hal, bisa mengajukan
itsbat nikahnya (penetapan) kepada pengadilan.7
6 Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-III,
h. 111-112 7 Ibid., h. 117
7
Berdasarkan uraian di atas dan itsbat nikah Pengadilan Agama Jakarta
Selatan (Penetapan Nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS) penulis ingin lebih
mengetahui bagaimanakah sebenarnya itsbat nikah bila hal tersebut dilakukan
sesudah munculnya Undang – undang Nomor. 1 Tahun 1974 apakah telah
sesuai dengan hukum positif yang ada. Banyaknya pembahasan itsbat nikah
pada skripsi terdahulu membuat penulis ingin lebih melengkapi skripsi yang
ada dalam hal ini penulis ingin menelisik apa kendala yang dialami oleh
pasangan suami istri dalam mengitsbatkaan pernikahannya. Dan dalam
pengitsbatan nikah di Pengadilan Agama terdapat pula keterkaitan dengan
Kantor Urusan Agama sebagai suatu instansi dalam pencatatan akta nikah
sehingga nantinya suami istri tersebut mendapatkan salinan akta nikah sebagai
bukti ketercatatan mereka. Penulis ingin pula mengetahui bagaimanakah
pencatatan perkawinan antara pencatatan melalui itsbat nikah dengan
pencatatan nikah yang langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
Untuk lebih terarahnya materi penulisan skripsi ini maka penulis
membuat satu judul yaitu : Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis
yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA. JS)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Banyaknya pengajuan permohonan itsbat nikah pada masyarakat
Kecamatan Kebayoran Lama yang diajukan pada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan membuat penulis ingin mengetahui bagaimana hakim
8
memberikan penetapan itsbat nikah dan penulis mendapatkan salinan
penetapan Nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS. Dalam penetapan tersebut
perkawinan dilakukan pada tahun 2002 sedang pada KHI pasal 7 ayat 3
huruf (d) dinyatakan adanya itsbat nikah yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 maka penulis merasa sangat perlu
untuk membatasi, agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas dan
penulis membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup:
Apa yang menyebabkan M. Nasir bin Marmin dan Dahliana binti
Matsanih mengajukan itsbat nikah dan apa pertimbangan hakim, sehingga
mengabulkan itsbat nikah
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu
dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi
fokus penulis adalah bagaimanakah sebenarnya itsbat nikah karena
perkawinan tidak tercatat di Pengadilan Agama itu dapat terjadi. Adapun
rincian permasalahan penelitiannya sebagai berikut:
a. Bagaimanakah proses penetapan keputusan itsbat nikah dan
relevansinya terhadap perkawinan tidak tercatat?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan itsbat
nikah setelah adanya Undang – undang Nomor. 1 tahun 1974?
c. Mengapa Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mengabulkan permohonan itsbat nikah?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Mengetahui dan menjelaskan gambaran substansi itsbat nikah yang
terjadi di Pengadilan Agama.
b. Mengetahui dan menjelaskan penetapan itsbat nikah di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan bila perkawinan terjadi setelah adanya Undang
– undang No. 1 Tahun 1974.
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganalisis ketentuan
aturan hukum Perkawinan Undang – undang No. 1 Tahun 1974,
khususnya ketentuan tentang hukum perkawinan.
b. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum
itsbat nikah, agar berguna dalam penerapannya di masyarakat.
D. Metode Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan
pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara
mendekati masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan dan melihat
apakah sesuatu itu lebih baik ataukah buruk, benar atau salah dan seterusnya
berdasarkan norma-norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas
subjektif, mencakup penelaahan dan pengungkapan sosial dan kemanusiaan.
Selain itu penelitian ini dikatakan jenis penelitian kualitatif karena objek
10
penelitian ini adalah isi/content dari aturan-aturan hukum Undang-Undang
Perkawinan. Dan dalam penelitian skripsi ini juga menggunakan jenis
penelitian kuantitatif jenis penelitian lapangan (field research).
Data penelitian pada skripsi ini meliputi; sumber data dan jenis data.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu:
1. Data Primer
Pertama, data primer meliputi berkas-berkas Penetapan itsbat
nikah Nomor : 083/Pdt/2010/PA. JS.) yang diperoleh dari Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Kedua, wawancara dengan ketua majelis Bapak Drs. Agus Yunih,
S.H, M.HI. sebagai hakim yang telah memberikan pengesahan itsbat nikah
Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS dan Bapak TB. Zamroni, S.Ag selaku kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Lama yang mengeluarkan
salinan akta nikah
Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan
dan menghubungkannya dengan masalah yang dikaji.
2. Data Sekunder
Pertama, pada sumber data, sumber data primer terdapat pada
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Kedua,
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) khususnya pasal-pasal yang berkenaan dengan perkawinan. Ketiga,
aturan hukum yang dalam fikih, khususnya yang berkenaan dengan
pencatatan perkawinan. Pada jenis data, jenis data yang dikumpulkan
11
dalam skripsi ini adalah jenis data kualitatif yaitu data yang tidak
disuguhkan dalam bentuk angka-angka, dalam hal ini data yang
dikumpulkan tersebut berupa pemikiran yang relatif.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Menganalisis terhadap berkas penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS
2. Interview/wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan penulis
dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah
dipilih sebelumnya, yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
mensahkan putusan itsbat nikah Nomor : 083/P.dt/2010/PA.JS dan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Lama
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
dengan menggunakan teknik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun
metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi.
Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU
PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2007.
E. Studi Review Terdahulu
Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan
seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif
12
hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis
ketahui, belum ada seorangpun yang menulis itsbat nikah dalam perkawinan
(analisis yuridis penetapan nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS.) Berdasarkan hasil
penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik
serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Biarpun obyek kajiannya sama,
namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya:
Skripsi yang berjudul “Itsbat nikah karena perkawinan tidak tercatat
setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ( studi kasus Pengadilan
Agama Jakarta Timur )” yang ditulis oleh Ahmad Taridi, Program Studi al-
Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun 2005. Lebih
fokus kepada itsbat nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang No.
1 Tahun 1974 yang tejadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Kemudian yang ke dua “Itsbat nikah dan proses penyelesaiannya
dipengadilan agama (Studi analisis Jakarta timur) yang disusun oleh Ulfa
Fouziah pada tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus pada banyaknya kasus itsbat
nikah yang terjadi dipengadilan agama Jakarta timur dan ingin mengetahui
bagaimana proses persidangan itsbat nikah sesudah dan sebelum adanya
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Kemudian yang ketiga “Dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak
perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih
berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam itsbat nikah.
13
F. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan yang meliputi; Latar belakang masalah, Pembatasan
dan perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Metode
penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan.
BAB II : Kerangka teori, Pembahasan dalam bab ini mengenai dasar dan
tujuan perkawinan, rukun dan syarat dalam perkawinan Islam,
Urgensi pencatatan perkawinan.
BAB III : Itsbat nikah di pengadilan agama, Bab Ini Membahas definisi
itsbat nikah, hubungan itsbat nikah dengan pencatatan
perkawinan, dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya
penetapan pengadilan agama.
BAB IV : Analisis yuridis itsbat nikah dalam perkawinan di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, Bab ini membahas Deskripsi penetapan
itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat, Aplikasi
penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan di
Kantor Urusan (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Analisis
yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak
tercatatat
BAB V : Penutup yang meliputi; Kesimpulan dan Saran.
14
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Dasar dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah.1 Perkawinan atau pernikahan jika dalam
bahasa Arab disebut dengan dua kata ( نكاح _ زواج)2 yang artinya adalah nikah
atau kawin. Secara etimologi nikah (kawin) berarti “al-wath‟u wa al-dhammu”
(bersenggama atau bercampur). Begitu pula dalam pengertian majazi (kiasan)
orang menyebut nikah untuk arti akad. sebab, akad ini merupakan landasan
bolehnya melakukan persetubuhan.3 Dengan melihat kepada hakikat
perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan
bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan
itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
melangsungkan akad perkawinan diperintah oleh agama dan dengan telah
1 Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora
Utama Press, 2001),h. 14
2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara
Sumber Widya, 2001), cet 13., h. 191
3 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an
dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 4
15
berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan
perempuan menjadi mubah.4Islam diyakini umatnya sebagai agama yang
membawa rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil-‟alamiin). Seluruh
ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan
manusia. Sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam
tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang menyangkut akidah atau akhlak
semata, tetapi juga memberikan tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh
aspek kehidupan umat manusia, salah satunya adalah hukum perkawinan.5
Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti
melaksanakan ibadah.6 Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullâh
yang artinya perintah Allah dan RasulNya, tidak hanya keinginan manusia
semata atau hawa nafsunya saja, karena seseorang yang telah berumah tangga
berarti ia telah menjalankan sebagaian dari syariah agama Islam. Islam
sebagai Agama fitrah, dalam arti tuntunannya selalu sejalan dengan fitrah
manusia, menilai bahwa perkawinan adalah cara hidup yang wajar.7
Allah SWT menganjurkan perkawinan lewat firman-Nya QS. An-Nur
(24): 32 :
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. I. h. 43
5 Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), cet. I, h. 39
6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 3
7 M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an “Kalung Permata Buat Anak-anakku‟‟,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. II, h. 55.
16
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah maha luas (pemberian-
Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. An-Nur (24): 32)
Dalam hal ini Allah SWT menyeru para wali agar mengawinkan
orang-orang yang masih sendirian (Laki-laki yang belum beristri dan
perempuan yang belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Laki-laki
yang dibekali rasa senang terhadap wanita begitu juga sebaliknya, dalam
menempuh hidup di dunia sebagai khalifah tidak dibiarkan hidup sekehendak
nafsunya, akan tetapi diberi aturan hidup bersama dengan pasangannya itu.
Tujuannya agar mereka hidup dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih
sayang yang dapat menghibur dikala susah dan pemulih gairah dikala lelah.8
Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (21) : 21:
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum (21) : 21)
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan
inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Hukum Islam juga ditetapkan
8 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an
dan As-Sunnah, h. 7-15.
17
untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat,
baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Islam mengatur keluarga bukan
secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan
perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam al-Qur‟an
dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu
sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW.9
Perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak
memiliki arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini
merupakan realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan
berakal dalam penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir.
Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar, dan kawinlah jalan alami dan
biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan
naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang
yang halal.10
Pada hakekatnya, perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban,
pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dalam Islam, rasa cinta
kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan, bahkan merupakan
motivasinya. Sedang kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua
pihak, suami-isteri, dalam mengarungi kehidupan. Dan inilah yang akan
9 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1993), cet. IV, h. 59-60.
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980), cet. I. h. 19.
18
menjamin rasa cinta kasih berikut perkembangannya, sebagaimana rasa cinta
kasih itu sendiri menjadi pendorong kuat bagi suami – isteri dalam
melaksanakan kewajibannya masing-masing. Kalau kita kembali kepada
pokok syari‟ah untuk menafsirkan makna kewajiban di dalam kehidupan
suami - isteri , yang terlihat oleh kita adalah kewajiban seorang suami
memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Selain itu kita tidak
melihat adanya suatu ketentuan yang membatasi tugas-tugas. Hak-hak suami
atas isterinya adalah sebanding dengan hak-hak isteri atas suaminya,
sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur‟an :
”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf.” Terbukti agama ini tidak
menganggap memadai bila dalam perkawinan hanya terdapat perasaan cinta
kasih dan sayang saja. Lebih dari itu, Islam menekankan kewajiban
mempergauli isteri dengan baik. Hal ini berdasarkan nash alqur‟an : ”Dan
pergaulilah mereka secara patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”11
Islam menganjurkan seseorang berkeluarga karena dari segi batin
orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik. Demikian pula dari
segi ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amal kebaikan, dengan
berkeluarga akan dapat dipenuhi.12
Pemenuhan hasrat seksual adalah
kebutuhan biologis manusia. Pada umumnya, kebutuhan itulah yang menjadi
11
Ibid, h. 59-60. 12
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. I, h. 12.
19
faktor utama suatu perkawinan. Pemenuhan seksual adalah kenikmatan
sekaligus kewajiban. Oleh karena itu, seorang suami dan isteri berhak atas
lainnya secara timbal balik. Setiap dari keduanya berhak menuntut pihak lain
yang mengabaikan hubungan tersebut. Meninggalkan hubungan biologis
dengan sadar dan sengaja oleh suami - isteri sama akibatnya dengan
meninggalkannya karena ada halangan seperti terkena penyakit menular yang
susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang menimpa salah satu
pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya dapat
membatalkan perkawinan.
Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang
sangat ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam
mengaharamkan penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab
tindakan itu sama halnya dengan menghambat pengembangbiakan.13
Karena
tujuan pernikahan tidak lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna
mewujudkan rumah tangga yang mawaddah warrahmah (cinta dan kasih
sayang) dalam kehidupan keluarga.14
B. Rukun dan syarat dalam perkawinan Islam
Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam
setiap perbuatan hukum, sedang syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap
perbuatan hukum. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, syarat dirumuskan
13
Al- Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari‟at & Masyarakat, h. 72.
14
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 3
20
dengan, ‟‟sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i, dan dia
berada diluar hukum itu sendiri‟‟.15
Perbedaan antara rukun dan syarat,
khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tampak begitu tipis. Atas
dasar ini maka tidaklah mengherankan jika berkenaan dengan ihwal rukun dan
syarat nikah, ada hal – hal tertentu yang oleh sebagian ulama dikategorikan
kedalam syarat nikah. Jadi rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam setiap akad.16
Apabila kedua unsur tidak dipenuhi, maka perbuatan dianggap tidak
sah menurut hukum, demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus
dipenuhi rukun dan syarat.
1. Rukun dalam perkawinan
a. Adanya calon mempelai pria
b. Adanya calon mempelai wanita
c. Adanya wali
d. Adanya dua orang saksi
e. Adanya ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya) dan
qabul ( dari calon mempelai laki - laki atau wakilnya )17
2. Syarat dalam perkawinan
15
Tim Penyusun, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jil.
5, h. 1691
16
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 95-96 17
Aslih kurniawan, dkk, Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus
Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta Selatan, 2010), h. 24
21
Pada garis besarnya syarat – syarat sahnya perkawinan itu ada dua :
a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki – laki yang
ingin menjadikannya istri. perempuannya itu bukan merupakan orang
yang haram untuk dinikahi
b. Akad nikahnya dihadiri para saksi
Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan di jelaskan syarat-
syaratnya sebagai berikut :
a. Adanya laki-laki dan perempuan
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan
tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama
perempuan, adapun syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan
perempuan adalah sebagai berikut :18
Bagi calon mempelai laki - laki
1) Beragama Islam
2) Pria
3) Tidak dipaksa
4) Tidak beristri empat orang
5) Bukan mahramnya calon istri
6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya
7) Mengetahui calon istrinya tidak haram dinikahinya
8) Tidak sedang melakukan ihram
Bagi calon mempelai perempuan
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 64
22
1) Beragama Islam
2) Wanita
3) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah
5) Bukan mahramnya calon suami
6) Jelas orangnya
7) Tidak sedang dalam ihram19
b. Adanya wali
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang
karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas
orang lain dan dalam perkawinan wali adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah .
akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki – laki yang
dilakukan oleh mempelai laki – laki itu sendiri dan pihak perempuan
yang dilakukan oleh walinya.20
Syarat wali sebagai berikut
1) Beragama Islam
2) Baligh Berakal
3) Tidak dipaksa
4) Terang lelakinya
5) Adil bukan fasiq
19
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,
Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009), h.15 - 16
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 69
23
6) Tidak sedang ihram atau umroh
7) Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh
pemerintah (mahjur bissafah)
8) Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya
c. Adanya saksi:
Sabda nabi SAW :
”Dari Ibnu Abas, R.A berkata tidak sah nikah tanpa wali dan kedua
saksi yang adil” (HR.Imam Ahmad)21
Syarat saksi:
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Balig
4) Berakal
5) Adil
6) Mendengar
7) Tidak tuli
8) Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
9) Tidak pelupa(mughoffal)
10) Menjaga harga diri mengerti ijab dan qabul
11) Tidak merangkap menjadi wali22
21
Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Beirut: al-Maktab
al- Islami, 1985), h. 250 lihat juga Ala al-din Ali Ibnu Balban al Farisi shahih ibn Hibban Bitartibi
Ibnu Balban (Beirut: Muassasah al-risalah, 1997), h.386
24
d. Ijab dan qabul syarat-syaratnya:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai23
3) Ijab dan Qabul harus berbentuk dari asal kata ‟‟ inkah ‟‟ atau
‟‟tazwij ‟‟ atau terjemah dari dua kata tersebut yang dalam bahasa
berati ‟‟menikahkan‟‟
Contoh:
1) Ijab dari wali calon mempelai perempuan ‟‟ hai fulan bin fulan,
saya nikahkan fulanah, anak kandung saya dengan engkau,
dengan mas kawin (mahar)...................dibayar tunai (hutang).
2) Qabul dari calon mempelai pria ‟‟ saya terima nikahnya dan
kawinnya fulanah binti...............dengan mas kawin yan tersebut
tunai.24
a) Antara ijab dan qabul bersambungan
b) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
c) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram
haji atau umrah
22
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,
Membina Keluarga Sakinah, h. 25
23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana,
2006), Cet. 1, h. 63
24
Ibid, h. 26
25
d) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang
yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai
wanita dan dua orang saksi.25
e. Mahar
Di samping rukun dan syarat yang tersebut di atas, menurut para
ulama, mahar itu hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat
sahnya dalam perkawinan. Pengertian mahar adalah Pemberian khusus
yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan
mempelai laki – laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat
dari berlangsungnya akad nikah.26
Tentang mahar ini terdapat dalam
firman Allah pada surat an – Nisa‟ ayat 4 yang bunyinya :
4
Artinya : ”Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(QS, an
– Nisa‟(4): 4 )
Dan Nabi SAW bersabda kepada seorang laki - laki yang ingin menikah
25
Ibid, h. 63
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 85
26
‟‟Dari Sahal bin Sa‟ad bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wa Sallam berkata
pada seorang laki-laki nikahilah oleh kamu walaupun dengan mas kawin
berupa cincin dari besi‟‟(HR. Bukhari)27
C. Urgensi Pencatatan Nikah
Al-qur‟an dan Al-hadis tidak mengatur secara rinci mengenai
pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal itu,
sehingga diatur melalui perundang-undangan. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik
perkawinan yang berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang
dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan pada hukum Islam.28
Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian
yang dimaksud oleh Undang-undang. Juga dijelaskan bahwa akad nikah dalam
sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu penting akad
nikah sehingga ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati.
Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus
dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya
pencatatan perkawinan.29
Mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi
perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al-qur‟an yang
menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah.
27
Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Bardizbah
al Bukhari, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th), Juz III, h. 252
28
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet
1, h. 26
29 Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang –
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS,
2002), h. 139
27
firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).
Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-qur‟an. Akibatnya
kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral).
Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan
hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah
sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-„urusy
walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar‟I
tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang
berlangsung pada awal masa Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang
berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami
dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama.30
Sehingga alat bukti
kawin selain saksi belum dibutuhkan.
Dengan alasan-alasan yang disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa
pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.
Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, h. 120-121
28
maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan
(oral) kepada kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut
dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa
diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia
dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan
sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut Akta. Dengan demikian salah satu
bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.
Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak
ditemukan didalam kitab fikih ataupun fatwa-fatwa ulama.31
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi
kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum
perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam
mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat.32
Undang-
undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai
sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana
pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.
Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:
Tiap - tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
31
Ibid, h. 122
32
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 27
29
Ini adalah satu-satunya Ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan.
Didalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat
didalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan
pasal 3 dinyatakan:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) di lakukan sekurang- kurangnya
10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat(atas nama) bupati
kepala daerah.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun didalam undang-
undang perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah
pencatatan ini sangat dominan.33
Dalam kompilasi hukum Islam mengenai
pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan 6 mengungkapkan beberapa garis
hukum sebagai berikut.
Pasal 5
(1).Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2).Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1).Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat
nikah.
(2).Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
33
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, h. 122-123
30
Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak
hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul yang
menyatakan “Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam.” Ketertiban disini menyangkut Ghayat al-Tasyri‟ (tujuan hukum Islam)
yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2
ada klausul “tidak mempunyai kekuatan hukum.” Dan dapat diterjemakan
dengan makna tidak sah. Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang
tidak sah.34
Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan undang-undang
yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah sehingga tidak memiliki
legalitas di mata hukum sehingga hak-hak suami dan istri serta anak-anak
yang dilahirkan tidak memiliki jaminan perlindungan secara hukum.
Di sini perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah
melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secara syariat tetapi
juga memiliki legalitas formal yang dilindungi undang-undang Negara kita.
Sah secara syariat Islam dan mendapatkan perlindungan Negara merupakan
terminologi wajib yang seharusnya dilakukan oleh setiap warganegara
sehingga tidak muncul pilihan yang memisahkan kedua term tersebut. proses
awal dari mekanisme pertumbuhan kependudukan. Naiknya jumlah penduduk
atau menurunnya angka perkawinan turut menjadi bagian dari proses prediksi
kondisi masa depan.35
34
Ibid, h. 124
35
Abdul Gani, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟ Mimbar Hukum No 23( Tahun VI
1995), h.49
31
Masih banyaknya perkawinan yang tidak tercatat yang berakibat tidak
adanya bukti perkawinan yang sah. Mereka umumnya telah memiliki anak-
anak yang membutuhkan akses pelayanan sipil sebagai warganegara dan juga
pelayanan sosial. Mereka tidak memiliki identitas kewarganegaraan seperti,
KTP, Akta Kelahiran, Kartu keluarga, dan lain sebagainya. Mereka juga
kehilangan kesempatan meraih hak-hak kewarisan, mengurus passport dan
hak mendapatkan tunjangan keluarga.36
Adanya peraturan yang mengharuskan agar suatu perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kegunaannya agar
sebuah lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting dan
strategis dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya – upaya
negatif dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi
dari pengingkaran akad nikah oleh seorang suami dibelakang hari, yang
meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi tetapi
sudah tentu akan lebih dapat terlindungi dengan adanya pencatatan resmi
dilembaga yang berwenang untuk itu. Namun apabila suatu kehidupan suami
istri berlangsung tanpa Akta nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi
Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan
permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama
sehingga akan mempunyai kekuatan hukum dalam perkawinannya.37
36
Anwar Saadi, “Pentingnya Pencatatan Nikah, BP4 Perkawinan dan Keluarga”. No.
460/XXXVIII/2011, h. 24
37
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet. 1, h. 34
32
33
BAB III
ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
A. Dasar Hukum Itsbat Nikah
Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab ( ( اثبات yang merupakan masdar
dari kata ( اثبات- يثبت–اثبت ) yang mempunyai makna penetapan, penentuan atau
pembuktian.Yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu penetapan,
penentuan pembuktian atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan
yang telah dilakukan dengan alasan-alasan tertentu.38
Yang menjadi dasar
hukum dari itsbat nikah adalah BAB XIII Pasal 64 ketentuan peralihan
Undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini
berlaku yang dijadikan menurut peraturan lama adalah sah. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Pasal 7, yang terkandung dalam Pasal
64 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut
dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan “itsbat nikah”.39
Seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3)
menyebutkan :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.
38
Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catatat Setelah
Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, (Ahkam IV, No.8 ,
2002), h.75
39
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal: 64
34
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya Akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974.
B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan
yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat
salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka,
atau salah satu tidak bertanggung jawab. Karena dengan akta tersebut,
memiliki bukti autentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di
dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.40
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan
rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
40
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51-52
35
undangan yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu :
Pasal 5 ayat (1) ; Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat.
Pasal 5 ayat(2) ; pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur
dalam undang-undang No.22 tahun 1946 jo dan Undang-
undang No.32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya
Undang-undang republik indonesia tanggal 21 november
No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk
di seluruh daerah luar jawa dan madura.
Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 6 yang menyebutkan :
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat
nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.41
Secara rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab
II Pasal 2 menjelaskan tentang :
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang - undang No.32 Tahun 1954 tentang
pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.
41
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995).
Cet 1, h.109.
36
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 3 peraturan pemerintah sampai dengan pasal 9
peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-
undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.42
Dalam pasal 3 peraturan pemerintah nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menjelaskan
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang
akan dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu
alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.
42
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan
Agama, h.32
37
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4
peraturan pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang
diberitahukan meliputi : Nama, Umur, Agama atau kepercayaan, pekerjaan,
tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5
peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-
undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan). Dengan adanya pemberitahuan
ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat
dihindari.43
Tindakan yang harus diambil oleh pegawai pencatat nikah setelah
menerima pemberitahuan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor :
9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan sebagai berikut :
1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apabila tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai
pencatat meliputi pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam hal
tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir. Dapat dipergunakan
43
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 112-114
38
surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai
yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
b. Keterangan mengenai nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan,
tempat tinggal orang tua calon mempelai.
c. Izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2),
(3), (4), dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai
atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang, dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
e. Dispensasi pengadilan atau pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)
undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih.
g. Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau
PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau
keduanya anggota angkatan bersenjata.
h. Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai
pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.44
44
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995, Pasal: 6
39
Ketentuan dalam klausul Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 ayat
(1) dan (2) di atas memberi manfaat, Pertama : memelihara ketertiban hukum
yang menyangkut kompetensi relatif, kewilayahan dari pegawai pencatat
nikah. Kedua : menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum
lainnya, seperti : identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka.
Penelitian pegawai pencatat nikah juga bermaksud untuk meneliti status
perkawinan seseorang baik calon suami atau calon istri oleh karena itu, jika
diperlukan calon mempelai melampirkan surat-surat yang telah disebutkan di
atas.
Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum tidak
sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuan-
ketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik, peraturan
perundang-undangan memberi alternatif atau kelonggaran kepada pihak-pihak
karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan. Yaitu mengajukan
izin tertulis, izin pengadilan agama, apabila salah seorang calon mempelai
atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.45
Apabila suatu kehidupan
suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya sesuatu sebab,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama sehingga
yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya.
Dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengungkapkan sebagai
berikut :
45
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 113.
40
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.
3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan :
a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b) Hilangnya akta nikah
c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan
d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut undang-undang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan.
4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkwinan itu.46
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan suatu hal yang sangat
penting, dalam Al Qur'an masalah hutang piutang Allah menganjurkan kepada
kita untuk mencatatkan.
firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).
Para pemikir Islam (faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar
pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga
mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan
46
Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 7
41
pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya
mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih.
“Menolak kemudhoratan lebih didahulukan dari pada memperoleh
kemaslahatan”47
Dengan demikian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) yang
mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah
merupakan tuntunan perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan
umum di Negara Republik Indonesia.48
Dan usaha ini dimaksudkan agar setiap
pihak dapat mengerti dan menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan
keadilan dalam perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah
tangga. Menurut Ahmad Rofiq pencatatan perkawinan merupakan syarat
administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban
administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi
kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan
perkawinan ini adalah :
Pertama : Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar
tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat
perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan ini dapat dihindari
pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau
47
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Presfektif Fiqih, ( Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya Dengan Anglo Media, 2004), Cet Ke-1, h. 148.
48
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 29-30
42
menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas
calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon
mempelai tersebut.
Kedua : Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri yang
karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi
Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan
permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada pengadilan agama, pencatatan
inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk membentuk
masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak mementingkan
aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdatannya juga perlu
diperlukan secara seimbang.49
Dalam pembahasan di atas tampaklah hubungan itsbat nikah dengan
pencatatan perkawinan. Di mana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah
pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak
yang bersangkutan akan mendapatkan bukti autentik, telah terjadinya
perkawinan tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah, maka bagi yang
belum mendapatkan dapat dimintakan itsbat nikah (pengesahan nikah). Dalam
pasal 5 KHI disebutkan bahwa:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang – undang no. 22
Tahun 1946 jo. Undang – undang no. 32 Tahun 1945.
49
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 111-112
43
C. Dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya penetapan Pengadilan
Agama
1. Dampak sebelum diitsbatkannya perkawinan
Menurut hukum Islam, apabila suatu perkawinan dilakukan dan
memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka perkawinan tersebut adalah
sah menurut hukum Islam walaupun perkawinan tersebut tidak
mempunyai akta nikah, tetapi akibat hukumnya adalah sama dengan
perkawinan yang mempunyai akta nikah.50
Namun menurut ketentuan
hukum positif yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang
dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang – undang
No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu, pada pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa tiap –
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
Bila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan
menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbutan hukum karena itu
maka berakibat hukum, maka tidak dapat dianggap sebagai perbuatan
hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama
sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindung oleh
50
Mufidah Ulfah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut
Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, (Skripsi S1 Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara Medan, 2008), h. 86
44
hukum.51
Karena perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai
perkawinan yang tidak memenuhi syarat – syarat perkawinan seperti
dalam Undang – undang No. 1 Tahun 1974 maka perkawinan di bawah
tangan tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum,
sehinngga perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang dapat
diakui dan dilindungi oleh hukum. Walaupun demikian dampak dari
perkawinan sebelum diitsbatkannya perkawinan tersebut atau dengan kata
lain perkawinan tanpa akta nikah yaitu sebagai berikut:
a. Makna historis Undang – undang No.1 Tahun 1974 akan tidak efektif
sehingga tujuan dari lahirnya Undang – undang perkawinan tersebut
tidak akan tercapai. Maka dengan demikian pengorbanan bangsa dan
Negara untuk lahirnya Undang – undang perkawinan akan sia – sia
b. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti
yang dikehendaki oleh Undang – undang No. 1 Tahun 1974 pasal (2),
sehingga akan menciptakan kondisi ketidak teraturan di dalam
mekanisme kependudukan
c. Naik turunnya jumlah penduduk dan pengaturan umur kawin atau
angaka kelahiran tidak akan dapat terkendali dan pada akhirnya akan
berulang kembali ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penduduk
dengan mekanisme konsumsi nasional.
d. Masyarakat pada umumnya, terutama masyarakat Islam dipandang
tidak lagi mempedulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam
51
Abdul Gani, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟. Mimbar Hukum No 23 (Tahun VI,
1995), h. 47-48
45
bidang hukum yang pada akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa
pelaksanaan ajaran agama Islam tidak memerlukan keterlibatan negara.
e. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perkawinan maka peluang untuk
putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas. Kondisi seperti ini
akan berakhir tanpa keterlibatan produser hukum sebagai akibat
langsung dari pemenuhan pelaksanaan unsur tata cara pelaksanaan
perkawinan.
f. Apabila perkawinan di bawah tangan terjadi maka secara hukum hanya
dapat diikuti dengan perceraian di bawah tangan juga.52
Dan apabila dampak tersebut ditinjau dari para pelaku sebelum
diitsbatkanya perkawinan mereka tersebut adalah sebagai berikut :
1) Perkawinan tidak dianggap sah.
Meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan,
namun dimata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika
belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama .
2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu.
Anak – anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang
tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu ( Pasal 42 dan 43
Undang – undang perkawinan ) sedang hubungan perdata dengan
ayahnya tidak
52
Mufidah Ulfah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut
Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, h. 83-84
46
3) Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.
Akibat lebih jauh dari perkawinan tidak tercatat adalah, baik istri
maupun anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak
berhak menuntut nafkah maupun warisan dari ayahnya harta yang
didapat dalam perkawinan tersebut hanya dimiliki oleh masing –
masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono –
gini/harta bersama
4) Terhadap suami
Hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan dan merugikan bagi
suami yang melakukan perkawinan, sebelum diitsbatkannya
perkawinan yang terjadi justru menguntungkannya, karena suami
bebas menikah lagi, sebab perkawinan sebelumnya dianggap tidak sah
menurut hukum, sehingga ia bisa berkelit dan menghindar dari
kewajibannya memberikan nafkah kepada istri dan anak – anaknya.53
2. Dampak sesudah diitsbatkannya perkawinan
Akibat hukum dari diitsbatkannya perkawinan oleh pengadilan
agama adalah sebagai berikut :
a. Timbulnya hak – hak dan kewajiban antara suami istri, suami menjadi
kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga.
b. Anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut menjadi anak
yang sah dimata hukum Negara
53
Intan Ghina, ” Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan
Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan‟‟, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari
http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang-menikah-di-
bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan/
47
c. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak – anak
dan istrinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama
d. Berhak saling waris mewarisi antara suami dan istri dan anak – anak
dengan orang tua
e. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perampuannya
f. Bila di antara suami atau istri meninggal salah satunya, maka yang
lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak – anak dan
hartanya54
54
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet 4, h. 49-50
48
BAB IV
ANALISIS YURIDIS ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat
1. Proses dalam mengajukan permohonan/pengesahan itsbat nikah
Eksistensi dan independensi lembaga pengadilan agama sejak
terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, kedudukannya sejajar dengan lembaga
peradilan lain dilingkungan Peradilan Umum, Tata Usaha Negara dan
Peradilan Militer. Kewenangan Pengadilan Agama (PA) pasca terbitnya
UU baru tersebut makin luas. Pengadilan Agama berkuasa atas perkara
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang
selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili
perkara dalam tingkat pertama. Jenis perkara yang menjadi kuasa
Pengadilan Agama; pertama tentang perkawinan, kedua tentang warisan,
wasiat, dan hibah, ketiga tentang perkara wakaf dan sedekah, keempat
tentang ekonomi syariah55
Pengadilan Agama dituntut untuk mampu
melaksanakan UU tersebut sebaik – baiknya dengan mempersiapkan diri
dari segi SDM maupun layanan publik bagi masyarakat pencari keadilan.
55
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Lembaga
Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.
1, h. 139-140
49
Dan masyarakat pencari keadilan tidak perlu dikhawatirkan dan jangan
selalu disudutkan dengan menganggap mereka sebagai “masyarakat yang
buta hukum”.
Oleh karenanya perlu memberikan kesempatan dan pembelajaran
tentang hukum kepada mereka khususnya dalam hal bagaimana beracara
dimuka pengadilan yang benar.56
Adapun proses pengajuan permohonan
pengajuan/pengesahan itsbat nikah adalah sebagai berikut :
Langkah 1. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat.
a. Mendatangi kantor pengadilan agama diwilayah tempat tinggal anda.
b. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat
dibuat sendiri. Apabila tidak bisa membuat surat permohonan, anda
dapat meminta bantuan kepada pos bakum (pos bantuan hukum) yang
ada pada pengadilan setempat secara cuma – cuma.
c. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan
yaitu:
1) Surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai
2) Surat permohonan itsbat nikah.
d. Memfoto copi formulir permohonan itsbat nikah sebanyak 5
(lima)rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir
yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan
kepada petugas pengadilan, satu foto copy disimpan.
56
Patly Parakasi, ‟‟ Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan di
Pengadilan Agama Jember‟‟ artikel di akses pada 8 Mei 2011 dari
http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf
50
e. Melampirkan surat – surat yang diperlukan, antara lain surat
keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.57
Langkah 2. membayar panjar perkara
a. Membayar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar
biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untuk berperkara
secara cuma – cuma (prodeo).
b. Apabila mendapat fasilitas prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan
perkara dipengadilan menjadi tanggung jawab pengadilan kecuali baya
transportasi dari rumah kepengadilan. Apabila biaya tersebut masih
tidak terjangkau, maka dapat mengajukan sidang keliling. Rincian
informasi tentang sidang keliling dapat dilihat di panduan sidang
keliling.
c. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti
pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar perkara.
Langkah 3. Menunggu panggilan sidang dari pengadilan.
a. Pengadilan akan mengirim surat panggilan yang berisi tentang tanggal
dan tempat sidang kepada pemohon dan termohon secara langsung ke
alamat yang tertera dalam surat permohonan.58
Langkah 4. Menghadiri persidangan
a. Datang ke pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera
dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan
terlambat.
57
‟‟Panduan Pengajuan itsbat/Pengesahan nikah” artikel di akses pada 16 Mei 2011 dari
www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANITSBATNIKAH.doc
58
Ibid
51
b. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti surat panggilan
persidangan, foto copy formulir permohonan yang telah diisi. Dalam
sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para pihak
misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi
tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi
permohonan.
c. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada
pemohon/termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu
sidang berikutnya. Bagi pemoho/termohon yang tidak hadir dalam
sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan
ulang kepada yang bersangkutan melalui surat.
d. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus
memprsiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim.
Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta menghadirkan saksi –
saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan tersebut, di antaranya
wali nikah dan saksi nikah, atau orang – orang dekat yang mengetahui
pernikahan itu.
Langkah 5. Putusan/penetapan pengadilan
a. Jika permohonan anda dikabulkan, pengadilan akan mengeluarkan
putusan/penetapan itsbat nikah
b. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka
waktu setelah 14 hari dari sidang akhir
52
c. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri kekantor
pengadilan agama atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat
kuasa
d. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, anda bisa
meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan
menunjukkan bukti salinan putusan/ penetapan pengadilan tersebut.59
2. Itsbat nikah penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang memeriksa dan mengadili
perkara – perkara tertentu pada tingkat pertama, telah menjatuhkan penetapan
sebagai berikut dalam perkara antara :
M. Nasir bin Marmin, umur 40 tahun, agama islam, pekerjaan karyawan
swasta, tempat tinggal jalan kramat RT.009 RW.001 No.38, kelurahan
kebayoran lama utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta selatan.
Selanjutnya disebut sebagai “ Pemohon I “
Dahliana binti Matsanih, Umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawati,
tempat tinggal jalan kramat RT. 009 RW. 001 No.38, kelurahan kebayoran
lama utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Selanjutnya disebut
sebagai “Pemohon II “60
Pegadilan agama tersebut ;
Telah mempelajari berkas perkara ;
59
Ibid
60
Penetapan Putusan Nomor ; 083/P.dt/2010/PA.JS, Pengadilan Agama Jakarta Selatan
53
Telah mendengar keterangan pemohon I dan II serta saksi – saksi
dipersidangan ;
a. Duduk perkara
menimbang, bahwa para pemohon dengan surat permohonannya tertanggal
21 mei 2010 dan telah terdaftar dikepaniteraan pengadilan agama Jakarta
Selatan di bawah register prkara nomor : 083/Pdt.p/2010/PA.JS., pada
pokoknya bermaksud sebagai berikut :
1) Bahwa, pada tanggal 26 agustus 2002 telah dilangsungkan pernikahan
secara agama islam antara pemohon I dengan pemohon II diwilayah
KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan wali ayah
kandung pemohon II bernama Matsanih (almarhum), dengan mahar
berupa perlengkapan alat shalat tunai, dan saksi nikah Andi Sopian dan
Ngadino ;
2) bahwa, pada waktu akad nikah dilangsungkan pemohon I berstatus
perjaka dan pemohon II berstatus perawan ;
3) Bahwa, dari pernikahan pemohon I dengan pemohon II telah
dikaruniai 1 (satu) orang anak, yang bernama ; Muhammad Gilang
Ramadhan, laki – laki, umur 6,5 tahun
4) Bahwa pemohon I dengan pemohon II tidak ada hubungan keluarga
yang menghalangi perkawinan ;61
5) Bahwa, sejak menikah antara pemohon I dengan pemohon II hingga
saat ini belum pernah mendapatkan surat nikah dari KUA. Wilayah
61
Ibid
54
kecamatan kebayoran lama, Jakarta Selatan karena pada saat menikah
tidak dicatatkan di KUA tersebut ;
6) Bahwa, tujuan pemohon I dan pemohon II ke pengadilan agama
Jakarta selatan adalah untuk memohon disyahkan pernikahan pemohon
I dengan pemohon II, kepentingaan adalah untuk kepastian hokum
perkawinan yang berlaku di Indonesia dan untuk mengurus akta
kelahiran anak/sekolah anak ;
7) Bahwa, dengan hal tersebut diatas pemohon I dan pemohon II mohon
kepada bapak ketua pengadilan agama Jakarta selatan untuk
menetapkan sahnya perkawinan pemohon I dengan pemohon II yang
dilangsungkan pada 26 agustus 2002 ;
8) Bahwa berdasarkan dalil dan alasan tersebut di atas, maka dengan ini
pemohon memohon kepada bapak ketua pengadilan agama Jakarta
selatan cq. Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat
menentukan hari persidangan, kemudian memanggil pemohon I dan
pemohon II untuk diperiksa dan diadili, selanjutnya memberikan
putusan yang amarnya sebagai berikut :
a) Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon.
b) Menyatakan sah perkawinan pemohon I (M.Nasir bin Marmin)
dengan pemohon II (Dahliana binti Matsanih) yang dilaksanakan
pada tanggal 26 agustus 2002 ;
55
c) Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.62
Atau apabila pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain,
menjatuhkan yang seadil – adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan untuk itu para
pemohon telah datang menghadap;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan permohonan para pemohon
yang isinya tetap dipertahankan oleh para pemohon;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya, para
pemohon telah mengajukan bukti surat berupa :
a. Foto copy KTP an. Pemohon I, bukti P. 1;
b. Foto copy KTP an. Pemohon II, bukti P. 2;
c. Foto Copy Kartu Keluarga an. Pemohon II, bukti P. 2;
d. Asli Surat Keterangan menikah yang dikeluarkan oleh ketua RT.
009/01, bukti P. 4;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para
pemohon telah mengajukan bukti saksi sebagai berikut :
b. Saksi - saksi
1) Ngadino, menerangkan dibaawah sumpah sebagai berikut :
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan II dan saksi adalah ketua
RT pemohon I dan pemohon II;
62
Ibid
56
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan pemohon II dan setahu
saksi pemohon I dan II menikah pada tanggal 26 agustus 2002,
bujang dan gadis;63
Bahwa setahu saksi perkawinan pemohon I dan pemohon II
dilaksanakan dirumah pemohon II di Jakarta dengan wali nikah
ayah kandung pemohon II dan dihadiri saksi – saksi dan undangan
serta maharnya berupa perlengkapan shalat, tunai;
Bahwa setahu saksi, saksi pernikahan adalah saksi dan andi sopian;
Bahwa setahu saksi saat pemohon I dan II menikah dilaksanakan
secara agama Islam; dan telah dikaruniai 1 anak yang kesemuanya
saksi kenal;
Bahwa saksi hadir dalam akad nikah tersebut dan juga saksi tahu
saat keduanya menjalani rumah tangga;
Bahwa setahu saksi antara pemohon I dan II dan setahu saksi tidak
terdapat halangan untuk melaksanakan pernikahan baik disebabkan
pertalian darah dan halangan lainnya menurut agama dan Undang –
undang serta saksi jga tidak pernah mendengar adanya gugatan
keberatan atas perkawinan antara pemohon I dan II;
Bahwa setahu saksi perkawinan pemohoon I dan II tidak dicatatkan
karena saat itu pemohon I tidaak punya dana dan perkawinan
dilakukan dihadapan orang banyak;
63
Ibid
57
Bahwa setahu saksi pemohon I hanya beristrikan pemohon II dan
sejak pernikahannya belum pernah bercerai dan tidak pernah
berpoligami;
Bahwa setahu saksi pemohon I dan II sangat membutuhkan surat
nikah tersebut sebagai pegangan karena selama ini perkawinan
tidak dicatatkan oleh petugas;64
2) Andi Sopian, menerangkan dibawah sumpah sebagai berikut :
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan II dan saksi adalah
tetangga pemohon I dan II;
Bahwa saksi kenal dengan pemohon I dan pemohon II dan setahu
saksi pemohon I dan II menikah pada tanggal 26 agustus 2002,
bujang dan gadis;
Bahwa setahu saksi perkawina pemohon I dan II dilaksanakan
dirumah pemohon II di Jakarta dengan wali nikah ayah kandung
pemoho II dan dihadiri saksi – saksi dan undangan serta maharnya
berupa perlengkapan shalat, tunai;
Bahwa setahu saksi, saksi pernikahan adala saksi dan ngadino;
Bahwa setahu saksi saat pemohon I dan II menikah dilaksanakan
secara agama Islam; dan telah dikaruniai 1 orang anak yang
kesemuanya saksi kenal;
Bahwa saksi hadir dalam akad nikah tersebut dan juga saksi tahu
saat keduanya menjalani rumah tangga;
64
Ibid
58
Bahwa setahu saksi antara pemohon I dan II dan setahu saksi tidak
terdapat halangan untuk melaksanakan pernikahan baik disebabkan
pertalian darah dan halangan lainnya menurut agama dan undang –
undang serta saksi juga tidak pernah mendengar adanya gugatan
keberatan atas perkawinan antara pemohon I dan II;65
Bahwa setahu saksi perkawinan pemohon I dan II tidak dicatatkan
karena saat itu pemohon I tidak punya dana dan perkawinan
dilakukan dihadapan orang banyak;
Bahwa setahu saksi pemohon I hanya beristrikan pemohon II dan
sejak pernikahannya belum pernah bercerai dan tidak pernah
berpoligami;
Bahwa setahu saksi pemohon I dan II sangat membutuhkan surat
nikah tersebut sebagai pegangan karena selama ini perkawinan
tidak dicatatkan oleh petugas;
Menimbang, bahwa tentang jalannya pemeriksaan lebih jauh di
persidangan semuanya telah dicatat dalam berita acara pemeriksaan
perkara ini. Untuk mempersingkat uraian dalam penetapan ini, majelis
Hakim menunjuk pada berita acara dimaksud;
c. Pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para pemohon
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang bahwa yang menjadi dalil permohonan para pemohon
sebagaimana di dalam posita dan petitum permohonan para pemohon
65
Ibid
59
adalah mengenai permohonan pengesahan nikah antara pemohon I dengan
pemohon II yang dilaksanakan pada tanggal 26 agustus 2002 dihadapan
pegawai pencatat nikah KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan untuk pegangan dan kepastian hukum;66
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi 1 dan 2
dipersidangan jika dihubungkan dengan dalil permohonan para pemohon
ditemukan Fakta – fakta hukum sebagai berikut :
1) Bahwa pada tanggal 26 agustus 2002 telah dilangsungkan pernikahan
secara agama Islam antara pemohon I dan pemohin II diwilayah
KUA, kebayoran lama, Jakarta Selatan dengan wali ayah kandung
pemohon II bernama Matsanih, dengan mahar berupa
perlengkapan/alat shalat, dan dengan dihadiri oleh orang – orang
yang telah dewasa antara lain Ngadino dan Andi sopian
2) Bahwa berdasarkan keterangan saksi 1 dan 2 antara Pemohon I dan II
tidak memiliki halangan secara hukum, baik atas dasar keturunan
(pertalian darah) atau halangan lainnya menurut agama dan/atau
Undang – undang, adat – istiadat, serta tidak pernah Ada gugatan
keberatan dari pihak manapun atas pernikahan pemohon I dan II;
3) Bahwa saksi 1 dan 2 menyatakan, sejak menikahnya pemohon I dan
pemohon II belum pernah bercerai dan tidak paernah berpoligami
serta dari pernikahannya telah dikaruniai 1 orang anak yang bernama
Muhammad gilang ramadhan, umur 6,5 tahun;67
66
Ibid
67
Ibid
60
Bahwa berdasarkan kenyataan terebut di atas, dapat disimpulkan
pernikahan antara pemohon I dan II telah dilakukan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku;
Menimbang bahwa bukti P.3, P.4, dan P.5 adalah bukti yang
menguatkan indikasi pernikahan pemohon I dan pemohon II dan atau
paling tidak bukti – bukti tersebut memperkuat dugaan adanya pernikahan
yang sah antara pemohon I dan II, sedangkan bukti P.1 dan P. 2 adalah
bukti kependudukan;
Menimbang, bahwa pemohon I dan II sangat membutuhkan surat
nikah tersebut bagi kejelasan status hukum perkawinan pemohon I dan II
dan pegangan pemohon I dan II;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 7 huruf (d dan e)
inpres Nomor : 1 Tahun 1992 Kompilasi Hukum Islam : „‟ Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama karena adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya UU No. Tahun 1974 dan terhadap mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974‟‟ ;
Menimbang, bahwa terhadap perkawinan yang dilakukan pemohon
I dan II, majelis hakim tidak melihat adanya unsur – unsur yang menjadi
halangan unntuk melakukan pernikahan antara pemohon I dengan
pemohon II, dan secara nyata perkawinan tersebut telah dilakukan di muka
umum serta tidak ada yang menyatakan keberatan atas perkawinan
tersebut telah sesuai syariat Islam;
61
Menimbang, secara substansial perkawinan antara pemohon I dan
pemohon II telah memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur
pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan dilakukan sesuai dengan ketentuan
pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974, dan dalam posisi seperti ini
kedudukan syarat administratif atas pencatatan pernikahan pemohon I dan
II dianggap telah terpenuhi, dan keduanya tidak terdapat halangan untuk
melangsungkan pernikahan;
Menimbang, berdasarkan pertimbangan – pertimbangan tersebut
diatas, majelis hakim berpendapat dalil permohonan para pemohon telah
cukup beralasan sesuai dengan ketentuan pasal 7 huruf (d dan e) inpres no
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Oleh karenanya
permohonan pemohon I dan II dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa segala biaya yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada para pemohon;68
Mengingat, akan segala peraturan perundang – undangan yang
berlaku dan hukum syar‟a yang bersangkutan;
d. Penetapan Hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dalam perkara
Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS
Mengabulkan permohonan pemohon I dan pemohon II;
1) Menyatakan sah perkawinan pemohon I (M. Nasir bin Marmin)
dengan pemohon II (Dahliana binti Matsanih) yang dilangsungkan
pada tanggal 26 Agustus 2002;
68
Ibid
62
2) Membebankan biaya perkara kepada pemohon I dan Pemohon II
sebesar Rp 211.000,-(dua ratus sebelas ribu rupiah);
Demikianlah putusan ini diambil dalam musyawarah majelis hakim
pengadilan agama Jakarta selatan pada hari : kamis tanggal 17 juni 2010
M. bertepatan dengan tanggal 4 Rajab 1431 H. dengan Drs. Agus Yunih,
S.H, M.HI., sebagai hakim ketua, Dra. Hj.Ai Zainab, S.H. dan Dra, Hj. Ida
Nursa‟adah, S.H.,M.H. masing-masing sebagai hakim anggota. Putusan
mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh
hakim ketua tersebut dengan dihadiri Hakim – hakim anggota tersebut
serta dibantu oleh Ahlan, S.H sebagai panitera pengganti serta dihadiri
pula oleh pemohon I dan pemohon II;69
3. Sebab ditetapkannya itsbat nikah Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS oleh
Hakim
Pentingnya arti sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan
dengan masalah mua‟malah sangatlah urgen, Islam sebagai agama yang
sempurna telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk
mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain.70
Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 282 :
69
Ibid
70
Aqib Maimun, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Dikantor Urusan Agama (KUA)
Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 51
63
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan
benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).
Hukum Islam tidak memisahkan antara hukum ibadah (pengaturan
hubungan manusia dengan Allah) di satu pihak dan hukum muamalah
(pengaturan hubungan hak dan kewajiban dengan sesama manusia) di pihak
lain, meskipun hukum Islam membedakan antara ibadah dan mua‟malah.
Hukum Islam mengajarkan kepada ummatan muslimatan tentang eksistensi
nilai peribadatan dalam aktivitas muamalah, sebagaimana hukum Islam juga
mengajarkan tentang dimensi sosial dalam setiap peribadatan yang
disyariatkkan. Dengan kalimat lain, dalam peribadatan Islam dipastikan
terkandung nilai – nilai sosial, sementara dalam mua‟malah Islam juga
dipastikan mengandung nilai – nilai ibadah. Di sinilah terletak arti penting dari
hubungan timbal balik antara ibadah dan muamalah dan atau muamalah dan
ibadah, dan di sinilah pula terletak arti penting dari kelebihan hukum Islam
yang norma maupun nilai hukumnya tidak pernah kering dari kerohanian.71
Islam mengajarkan kepada para pemeluknya mempermudah segala sesuatu
dan bukan malah mempersulit sesuatu apalagi dalam hal ini menuju kepada
suatu kebaikan dan cita – cita yang mulia yaitu demi melangsungkan dan
menggapai sebuah mahligai pernikahan yang disunahkan dalam Islam. Dalam
hal ini Negara mewajibkan adanya pencatatan dalam setiap pernikahan bagi
71
Muhammad Amin Suma, Kedudukan Dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia,(kumpulan perkuliahan dan seminar, T.tp, 2009), h. 23
64
warga negaranya bukanlah untuk mempersulit warganya akan tetapi justru
melindungi hak – hak warga tersebut demi terciptanya kenyamanan dan
ketertiban masyarakat.72
Atas dasar itulah dapat penulis simpulkan bahwa
pencatatan memang sangat diperlukan dan urgen dalam segala peristiwa
antara satu orang dengan orang lain (masalah mua‟malah) dalam hal ini
berkaitan dengan masalah pernikahan. Dalam itsbat nikah menurut Agus
Yunih selaku Hakim ketua majelis pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
pasal 7 ayat 3 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan yang dilakukan
oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang –
undang No. 1 Tahun 1974. Artinya perlu diberikan ruang seluas – luasnya
bagi mereka yang melakukan perkawinan dan perkawinan ini tidak
bertentangan dengan syariat hukum Islam. Pasal ini disebut juga oleh beliau
sebagai pasal sapu jagat, Teorinya bahwa itsbat nikah dibolehkan sepanjang
tidak bertentangan makanya di dalam Undang-undang khususnya dalam
Kompilasi Hukum Islam, itsbat nikah yang dapat diajukan kepengadilan
agama terbatas mengenai hal-hal :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya Akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
72
Aqib Maimun, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Di Kantor Urusan Agama (KUA)
(Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec Cilandak)”, h. 51
65
Jadi berdasarkan hal-hal tersebut mengabulkan itsbat nikah yang
bersangkutan yang berperkara dalam No: 083/Pdt.P/2010/PA.JS dengan
pertimbangan-pertimbangan, bahwa seluruh syarat dan rukun tidak ada yang
dilanggar, tidak ada yang bertentangan. Dia melakukan itsbat nikah saat itu
karena tidak punya uang sehinga dia melakukan nikah, itupun dilakukan
dengan I‟lanun nikah diberitahukan kepada tetangga bahkan RT setempat pun
tahu. Berhubung Andi Sopian memberikan kesaksian bahwa pernikahan itu
ada, baik secara formal maupun substansial. Sehingga tidak ada alasan bagi
kita untuk menolak perkawinan itu dan saya tidak melihat adanya indikasi
penyimpangan dan penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Ini yang
saya lihat hanya untuk kepentingan administrasi pencatatan dan untuk
kepentingan masa depan anak di situ aspek maslahat lebih besar „‟Dar„ul-
mafaasidi muqaddamun a‟la jalbil mashalihi‟‟ jika ditolak bisa kita
bayangkan anak - anaknya dan sebagainya. Berbeda dengan kasus itsbat nikah
yang memang sering kali disalah gunakan, biasanya itsbat nikah yang diawali
dengan persengketaan harta. Dia itu orang yang tidak mampu tidak mungkin
ada harta yang dipersengketakan.73
B. Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh pengadilan Agama Jakarta Selatan
di Kantor Urusan Agama (KUA) Kebayoran Lama
Menurut Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang
sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut pasal 2 ayat (1) yaitu
perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing –
73
Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 12 April 2011
66
masing dan pasal 2 ayat (2) yaitu dilakukan pencatatan sesuai dengan
peraturan perundang – undang yang berlaku yang disebut dengan surat akta.
Surat akta adalah suatu tulisan yang semata – mata dibuat untuk membuktikan
sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus ditandatangani. Adapun
syarat – syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat akta dapat disebut
sebagai akta adalah
1. Surat itu harus ditandatangani
2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau
perikatan
3. Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti74
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP
No. 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. bagi mereka yang
melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor
Urusan Agama ( KUA). Perkawinan dicatatkan kepada pejabat pencatat yang
ditunjuk Negara (pemerintah). Pemerintah berkewajiban mencatat, dan
sebagai alat bukti yang sah dalam perkawinan dengan diberikannya salinan
akta nikah. Akta teresbut bertujuan mengatur hubungan hukum masing –
masing sebagai suami istri.75
Adanya suatu ikatan perkawinan yang diakui
secara hukum adalah suatu perkawinan yang hanya dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah yang ditunjuk. Jadi didalam struktur lembaga pencatatan
perkawinan terdapat Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
74
Viktor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 52
75
. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h. 16
67
Dalam hal ini perkawinan dibawah tangan bukan merupakan
perkawinan yang sah di hadapan hukum negara tetapi hanya sah menurut
agama karena terpenuhinya rukun nikah. Akan tetapi banyak bermunculan
pendapat-pendapat dari masyarakat yang berbeda mengenai sah dan tidaknya
perkawinan bawah tangan. Ada sebagian besar masyarakat Islam yang
berpendapat bahwa perkawinan bawah tangan dianggap sah menurut hukum
agama walaupun tidak didaftarkan atau dicatat pada Kantor Urusan Agama
setempat. Hal tersebut banyak terjadi sebagai akibat dampak negatif dari
penafsiran atau penjelasan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya bersifat administratif belaka. Jadi tidak
akan menyebabkan batalnya perkawinan.76
Kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap
harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan
diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti autentik tentang
telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah.77
Mengenai pencatatan
itsbat nikah putusan Nomor : 083/P.dt/2010/PA.JS di Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Kebayoran Lama telah dicatatkan kedalam register dengan
Nomor akta : 1169/180/VII/2010 adapun prosesnya adalah sebagai berikut :
pemohon membawa surat keterangan model N1 (surat keterangan untuk
nikah), N2 (surat keterangan tentang orang tua), N4 (surat keterangan asal
usul) dari kelurahan, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga, pas foto 2x3
76
Suci wulansari, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://id-
id.facebook.com/note.php?note_id=158583027518190
77
Wasit Aulawi, “ Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Amarulah Ahmad,
ed, Dimensi Hukum Islam Dalam System Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani, 1996), h. 57
68
(5 lembar) dan disertakan putusan penetapan dari Pengadilan Agama, lalu
didaftarkan di KUA Kecamatan Kebayoran Lama, setelah mendaftarkan
maksud mereka barulah itsbat mereka dicatatkan ke dalam register dengan
tanggal pernikahan mereka dahulu sesuai dengan apa yang ada dalam putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan merekapun mendapat buku salinan
akta pernikahan mereka.
Sebenarnya putusan itsbat pernikahan itu sudah punya kekuatan
hukum yang tetap, ketika alasan mereka pernikahannya tidak tercatat
kemudian pengadilan hanya membenarkan nilai pernikahannya, tempat
pernikahannya yang pernah dilakukan dahulu dianggap benar dan ketika ingin
memiliki legalitas mereka lebih yakin untuk memiliki buku nikah dari Kantor
Urusan Agama.78
C. Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak
tercatat
Pada pasal 2 ayat 1 kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab qabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam),
maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama tetapi sahnya
perkawinan perlu disahkan lagi oleh Negara. Dalam perkara antara pemohon
M. Nasir bin Marmin dan Dahliana binti Matsanih telah dapat dibuktikan
bahwa telah terjadi sebuah akad nikah, ini telah dapat dibuktikan. Apabila
78
TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 05 Mei 2011
69
diamati dari keterangan para saksi yang diajukan pemohon, telah mencukupi
syarat–syarat yang dibutuhkan menurut hukum syara.
Terjadi perkawinan keduanya ditempat tinggal pemohon, menurut
sifatnya adalah sesuatu yang sulit dibohongi. Sebab, sebuah perkawinan
sekecil apapun acaranya akan mengundang orang disekitarnya, tetapi akad
nikah tersebut tidak mungkin hanya dihadiri oleh dua orang saja, mesti
melibatkan beberapa orang yang sekurang – kurangnya wali harus hadir untuk
menikahkan dan dua orang saksi yang dipercaya. Dengan hadirnya beberapa
orang pihak ketiga, akad nikah tidak lagi menjadi sesuatu yang dirahasiakan
dan akad nikah tersebut juga dapat ditelusuri kebenarannya dalam satu
komunitas.
Dalam perkawinan itu menurut laporan pemohon yang bertindak
sebagai walinya adalah ayah kandung pemohon (Dahliana) perkawinan
tersebut juga dihadiri saksi Ngadino serta Andi Sopian memberi kesaksian
bahwa pemohon juga tidak mempunyai dana untuk melaksanakan perkawinan
di Kantor Urusan Agama (KUA) dan menurut para saksi juga setelah
perkawinan mereka hidup sebagai suami istri dan dikaruniai seorang anak.
Dalam peraturan syara‟ seperti yang dirumuskan oleh pakarnya dalam buku-
buku fiqh dari berbagai madzab yang pada intinya adalah, kemestian adanya
ijab dan qabul dari dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang
diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang
menunjukkan telah terjadinya ijab dan qabul, serta dihadiri oleh dua orang
saksi yang telah balig, berakal lagi beragama Islam dimana dua orang saksi itu
disyaratkan mendengar sendiri secara langsung lafal ijab dan qabul tersebut.
70
ketentuaan-ketentuan tersebut dianggap sebagai unsur pembentuk bagi akad
nikah. Apabila unsur-unsur seperti dalam syariat Islam secara sempurna dapat
dipenuhi, maka akad nikah secara syara telah dianggap sah sehingga halal
bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah, dan anak dari hasil
hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam
anjuran pemerintah, dan adanya pencatatan perkawinan merupakan syarat
administratif bukan merupakan salah satu sahnya syarat perkawinan
sedangkan perkawinannya sendiri tetap sah karena standar sah dan tidaknya
perkawinan ditentukan oleh norma – norma agama dari pihak-pihak yang
melakukan perkawinan, dengan adanya perkawinan tersebut maka perkawinan
akan memiliki bukti yang sah dan autentik oleh karena itu tanpa adanya suatu
pencatatan maka suatu perkawinan tidak memiliki akta nikah sebagai bukti
dari perkawinan yang telah dilakukan. Akan tetapi sangat dianjurkan agar
perkawinan bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi
berwenang hal ini sebagai langkah preventif untuk mencegah timbulnya
dampak hukum yang negatif sebagai akibat timbulnya perkawinan bawah
tangan tersebut.
Untuk pencatatan perkawinan di bawah tangan Undang-undang
mengatur pada pasal 7 Kompilasi Hukum Islam dan tentang pengitsbatan
nikah pemohon ini dikarenakan pemohon membutuhkan salinan akte nikah
untuk kepastian hukum dan pengurusan akta kelahiran anak dalam hal ini bila
itsbat tersebut tidak diajukan oleh pemohon maka problem hukum tidak dapat
terselesaikan dan ini merugikan bagi perempuan dan anaknya.sebagai istri
71
yang sah secara agama istri tidak bisa menuntut hak waris bila terjadi
perceraian, hak pengaduan bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau hak
perlindungan hukum bila pergi tanpa pesan dan posisi suami yang tidak
tersentuh hukum bila terjadi kekerasan. Akibat negatif yang harus diderita
oleh istri dan anaknya tersebut disebabkan oleh suami , itulah penerapan
hukum yang kosong dari sasarannya bahkan berakibat sebaliknya dari tujuan
suatu hukum.
Setiap bentuk hukum dirumuskan dengan pertimbangan adanya
manfaat yang akan diraih oleh pihak – pihak yang menerapkannya atau
adanya mudarat yang akan dihilangkan. Jika dalam penerapan hukum ternyata
harus ada yang akan menderita, maka pihak yang akan menderita itu
hendaklah pihak yang layak untuk menanggung sebuah derita sebagai derita
dari perbuatannya sendiri, bukan harus menderita disebabkan orang lain.
Apabila dicermati pasal-pasal yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
yang berbicara tentang peraturan yang mengharuskan pencatatan nikah pada
badan yang berwajib, adanya peluang bermohon untuk mengitsbatkan nikah
itu tidak lain adalah dengan pertimbangan agar penerapan suatu peraturan
tidak kaku.
Perkawinan yang telah melalui pencatatan memunculkan kemaslahatan
bagi umum artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan.
Sebab menurut hukum positif Indonesia, menikah dibawah tangan itu tidak
diakui sama sekali. Adanya ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika
dicatat oleh petugas yang ditunjuk. Bagi perkawinan di bawah tangan yang
tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat
mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan) nikah kepada
Pengadilan Agama hal tersebut terdapat pada pasal Kompilasi Hukum Islam
pasal 7 ayat (3).
72
Dalam amar putusan penetapan Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS, majelis
hakim dalam pertimbangannya, Perkawinan para pemohan tersebut Hakim
tidak melihat adanya unsur – unsur yang menjadi halangan untuk melakukan
pernikahan serta tidak ada yang menyatakan keberatan atas perkawinan
tersebut dan telah sesuai syariat Islam dan secara substansial memenuhi syarat
dan rukun sebagaimana diatur pasal 14 KHI dan dilakukan sesuai ketentuan
pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sehingga perkawinannya sesuai dengan
ketentuan pasal 7 Ayat (3) huruf (d dan e) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
KHI. Permohonan pengesahan nikah dimaksud telah berdasarkan hukum dan
beralasan dalam mengabulkan permohonan tersebut.
Namun dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d) penulis tidak sependapat
dengan apa yang menjadi alasan hakim dalam penetapan Nomor:
083/P.dt/2010/PA.JS sebab dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d) menyatakan
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974,
dimana perkawinan M. Nasir bin Marmin dengan Dahliana binti Matsanih
dilakukan pada tanggal 26 agustus 2002. Hal ini dapat menimbulkan persepsi
– persepsi negatif dalam masyarakat, sisi negatif ini akan digunakan oleh
orang – orang yang tidak bertanggung jawab untuk mempermudah urusan
pernikahan. Mereka akan berpikir untuk menikah lebih dahulu tanpa
dicatatkan, nantipun bisa diitsbatkan.
Sebenarnya tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan
perkawinan dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan bukan
berarti kita melakukan kejahatan. Namun jelas pula dalam hal ini memberikan
dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan
perempuan dan anak – anak lalu lalu membuka ruang pernikahan - pernikahan
73
dibawah tangan yang lain. Apalagi dengan perkawinan poligami dibawah
tangan, dampak perkawinan di bawah tangan tersebut akan menimbulkan
akibat – akibat sebagai berikut:
1. Perkawinan tidak dianggap sah
meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun
dimata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat
oleh Kantor Urusan Agama .
2. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Anak – anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang
tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu ( pasal 42 dan 43 Undang
– undang perkawinan ) sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak
3. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibat lebih jauh
dari perkawinan tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak – anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah
maupun warisan dari ayahnya harta yang didapat dalam perkawinan
tersebut hanya dimiliki oleh masing – masing yang menghasilkannya,
karena tidak adanya harta gono – gini/harta bersama.
Alasan Hakim Selanjutnya tentang ketiadaan dana dari para pemohon
untuk mencatatkan perkawinannya seperti penulis kutip dari wawancara
penulis dengan hakim yang menetapkan itsbat nikah Nomor :
083/P.dt/2010/PA.JS yaitu sebagai berikut “ Dia melakukan nikah saat itu
karena tidak punya uang sehingga dia melakukan nikah, itupun dilakukan
74
dengan I‟lanun nikah diberitahukan kepada tetangga bahkan RT setempat pun
tahu ”.80
lihat juga kesaksian dari saksi Ngadino dan Andi Sopian.
Dalam hal ini penulis juga tidak sependapat dengan apa yang
diungkapkan oleh hakim dan saksi karena dalam pencatatan nikah bagi
mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai dana, dapat memintakan
surat keterangan tidak mampu dari RT dimana para pemohon tinggal yang
disahkan oleh pejabat kantor kelurahan dan kecamatan. Ini tercantum pada
Undang – undang Nomor; 22 Tahun 1946 pasal (1). Surat keterangan tidak
mampu tersebut dapat membebaskan biaya setoran penerimaan Negara bukan
pajak. Seperti dalam pengadilan kita kenal dengan istilah prodeo (proses
berperkara cuma – cuma dengan biaya Negara) kepada para calon pengantin
yang ingin mencatatkan perkawinannya.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Kepala KUA Kecamatan
Kebayoran Lama “Dalam pencatatan nikah bagi yang tidak mampu bisa
melampirkan surat keterangan tidak mampu yang diminta dari RT dimana
calon pengantin tinggal dan diketahui pejabat kantor kelurahan dan kecamatan
setempat“.81
Jadi dapat dilihat bahwa alasan pencatatan biaya nikah mahal dan
keterbatasan dana adalah alasan yang menurut penulis terlalu dibuat – buat
untuk melegalkan perkawinan di bawah tangan, ataukah sebenarnya mereka
tidak mau mengikatkan diri pada hukum yang telah diatur oleh Negara,
sehingga dalam hal ini menurut penulis terjadi pembangkangan Undang –
undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974. Sebab bila kekuatan Undang –
undang tidak disertai dengan hukuman maka semakin banyak yang melanggar
karena tidak adanya sanksi. Perlu ada aturan kedepan, nikah tidak di Kantor
Urusan Agama (KUA) tidak sah karena Include nikah, secara syariat dan
punya kekuatan hukum.
80
Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 12 April 2011
81
TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 05 Mei 2011
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan masalah dan uraian di atas penulis menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan pembuktian atau
pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan
alasan-alasan tertentu. Tentang pengitsbatan nikah tercantum pada Undang
– undang No. 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7, Pasal
tersebut menjadi acuan Pengadilan Agama dalam penetapan itsbat nikah.
Bagi perkawinan yang belum dicatatkan mengajukan permohonan
itsbatnya ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Lalu
membayar biaya perkara atau panjar perkara setelah itu ditetapkan majelis
hakimnya baru hakim menerima perkara dan menetapkan waktu sidang
dan melakukan perintah pemanggilan pada para pihak dan ini dinamakan
proses administratif. Dalam sidang pertama hakim hanya meyakinkan
para pihak dan memberikan pemahaman tentang baik dan buruknya
tentang itsbat nikah. Lalu melakukan pemeriksaan dari mulai membaca
permohonan pemohon dan langsung kepada pembuktian setelah itu ketua
majelis hakim mengambil keputusan. Tentang relevansinya terhadap
perkawinan tidak tercatat dalam Perkawinan yang dilangsungkan tanpa
dicatatkan dan tidak dibuktikan dengan akta perkawinan, secara normatif –
76
agamis (Islam) tetap sah selama terpenuhinya syarat dan rukun yang
menjadi patokan kebolehan perkawinan, tetapi secara prosedural –
administratif perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, dan selain
itu perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Peraturan
Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian
perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan perkembangan hukum
dan mewujudkan kemaslahatan umum di Indonesia dan dimaksudkan agar
setiap pihak dapat mengerti serta menyadari betapa pentingnya nilai
ketertiban dan keadilan dalam perkawinan. Juga dalam perkawinan tidak
mementingkan aspek fiqh saja, tetapi aspek – aspek keperdataannya juga
diperlukan secara seimbang. Oleh sebab itu dengan tercatatnya suatu
perkawinan pihak yang bersangkutan akan mendapatkan akta nikah
sebagai bukti autentik.
2. Dalam hal penetapan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang No. 1
Tahun 1974, hakim menitik beratkan pada Kompilasi Hukum Islam pasal
7 ayat 3 huruf (e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang – undang No. 1
Tahun 1974 karena dalam UU tersebut mengatur tentang syarat dan
hukum perkawinan. Sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1
Tahun 1974 maka itsbatnya akan disahkan, hakim juga
mempertimbangkan aspek maslahat dalam memutuskan itsbat nikah
setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974
77
3. Di kabulkannya itsbat nikah oleh hakim di karenakan seluruh syarat dan
rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan tidak ada indikasi
penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Itsbat
nikah pemohon hanya untuk kepentingan pencatatan dan masa depan anak
dan hakim melihat pada aspek „‟Dar‟ul mafaasidi muqaddamun a‟la jalbil
mashalihi‟‟
B. Saran – saran
Dari apa yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diberikan suatu
saran – saran sebagai berikut :
1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, dari pemerintah maupun
pemuka agama akan dampak – dampak negatif pernikahan dibawah tangan
2. Bagi perempuan, perlu dipertimbangkan kembali untuk menikah dibawah
tangan, karena dampak hukum sangat merugikan pihak perempuan dan
anaknya kelak
3. Perlu adanya penegakan hukum khususnya pada Undang – undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan agar hakim dapat selektif dalam hal
mengabulkan itsbat nikah.
4. Dan perlu adanya aturan kedepan, bagi yang menikah dibawah tangan
harus dikenakan sanksi untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku agar
tidak menimbulkan dampak – dampak negatif dikemudian hari.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Penerbit Alumi, 2001)
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1993)
Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas
Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal
Perempuan, 2004)
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Presfektif Fiqih, ( Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya Dengan Anglo Media, 2004)
Aulawi, Wasit, “ Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Amarulah
Ahmad, ed, Dimensi Hukum Islam Dalam System Hukum Nasional
(Jakarta: Gema Insani, 1996)
Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar Al
Fikr, t.th),
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,
Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009)
Bin Nuh, Abd dan Bakry, Oemar, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT .
Mutiara Sumber Widya, 2001)
Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah
Bersama Pasang Surutnya Lembaga Peradilan Agama Hingga
Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006)
Effendi M. Zein , Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
(Jakarta: Kencana, 2004)
79
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003)
Gani, Abdul, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟ , Mimbar Hukum No 23( Tahun
VI 1995)
Ghina, Intan, ” Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah
Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan‟‟,
artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
(Jakarta: Tinta Mas, 2001)
Hanbal , Abdullah Ahmad bin , Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (
Beirut: al-Maktab al- Islami, 1985)
Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta:
Humaniora Utama Press, 2001)
Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-
Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002)
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A‟la al-Indonisiya
li al-Da‟wah al-Islamiyyah, 2002)
Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tinta
Mas, 2001)
Kurniawan, Aslih, dkk, Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus
Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta
Selatan, 2010)
Mukti Arto, Ahmad, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996)
M. Situmorang, Viktor dan Sitanggang, Cormentya, Aspek Hukum Catatan Sipil
di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991)
Maimun, Aqib, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Dikantor Urusan Agama
(KUA) Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak”, (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010)
Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no.
1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006)
80
Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhada Perundang
– Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002)
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995)
Shihab, M.Quraish, Pengantin Al-Qur‟an “Kalung Permata Buat Anak-anakku‟‟,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007)
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980)
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005)
----------- Kedudukan Dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia,
(kumpulan perkuliahan dan seminar, T.tp, 2009)
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007)
Saadi, Anwar, “Pentingnya Pencatatan Nikah, BP4 Perkawinan dan Keluarga”.
No. 460/XXXVIII/2011
Sofyan, Yayan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catatat Setelah
Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan”, (Ahkam IV, No.8 ,2002)
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1980)
Tim Penyusun, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007)
Ulfah, Mufidah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah
Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan
Hukum Islam‟‟, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera
Utara Medan, 2008)
81
Patly Parakasi,‟‟Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan di Pengadilan Agama
Jember‟‟ artikel di akses pada 8 Mei 2011 dari
http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf
Panduan Pengajuan itsbat/Pengesahan nikah” artikel di akses pada 16 Mei 2011
dari www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANITSBATNIKAH.doc
Penetapan Putusan Nomor ; 083/P.dt/2010/PA.JS, Pengadilan Agama Jakarta
Selatan
Wiriadhihardja, Mufti, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta:
Penerbit Gadjah Mada, 2002)
wulansari Suci, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://id-
id.facebook.com/note.php?note_id=158583027518190
Wawancara Pribadi dengan Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Jakarta, 12 April 2011
Wawancara Pribadi dengan TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta, 05 Mei 2011