18
19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Letak Administratif Kelurahan Pulutan terletak di Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dengan perbatasan wilayah kelurahan sebagai berikut: Batas sebelah Timur : Kelurahan Sidorejo Lor Batas sebelah Selatan : Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Kecandran Batas sebelah Barat : Kecamatan Tuntang Batas sebelah Utara : Kelurahan Blotongan Gambar 4.1. Peta Wilayah Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga (Sumber: Arsip Kelurahan, 2015) Secara administratif luas wilayah Kelurahan Pulutan adalah 237,099 hektar, dengan luas lahan sawah sebesar 130,214 hektar, lahan kering 101,214 hektar dan lainnya sebesar 5,671 hektar. Kelurahan Pulutan memiliki 5 kelompok tani binaan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Salatiga diantaranya Makmur II, Makmur III, Sido Umbul I, Sido Umbul II dan Sido Makmur. Seluruh kelompok tani yang ada di Kelurahan Pulutan tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Sumber Makmur yang diketuai oleh Bapak Ashadi Komjajin.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Letak Administratifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14923/4/T1_522012042_BAB IV... · berturut-turut berupa demplot seluas satu hektar dengan

  • Upload
    lamdien

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Letak Administratif

Kelurahan Pulutan terletak di Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi

Jawa Tengah dengan perbatasan wilayah kelurahan sebagai berikut:

Batas sebelah Timur : Kelurahan Sidorejo Lor

Batas sebelah Selatan : Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Kecandran

Batas sebelah Barat : Kecamatan Tuntang

Batas sebelah Utara : Kelurahan Blotongan

Gambar 4.1. Peta Wilayah Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

(Sumber: Arsip Kelurahan, 2015)

Secara administratif luas wilayah Kelurahan Pulutan adalah 237,099

hektar, dengan luas lahan sawah sebesar 130,214 hektar, lahan kering 101,214

hektar dan lainnya sebesar 5,671 hektar. Kelurahan Pulutan memiliki 5 kelompok

tani binaan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Salatiga diantaranya Makmur II,

Makmur III, Sido Umbul I, Sido Umbul II dan Sido Makmur. Seluruh kelompok

tani yang ada di Kelurahan Pulutan tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani

Sumber Makmur yang diketuai oleh Bapak Ashadi Komjajin.

20

4.2. Program Budidaya Padi Organik di Kelurahan Pulutan Kecamatan

Sidorejo Kota Salatiga

Program Budidaya Padi Organik merupakan program hasil kerja sama

antara Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Salatiga dengan PT. Sidomincul yang

bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani serta meminimalisir

ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik. Selain itu, dalam program

budidaya padi organik petani diarahkan agar mampu membuat pupuk maupun

pestisida organik secara mandiri sehingga dapat menekan pengeluaran usahatani.

Dalam program ini dilakukan pelatihan selama empat kali musim tanam

berturut-turut berupa demplot seluas satu hektar dengan fasilitas saprodi gratis

dari PT. Sidomuncul berupa pupuk dan pestisida organik serta pengarahan dan

pendampingan dari PT. Sidomuncul dan Pemerintah dengan tahap awal

perencanaan, pengenalan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program setiap

pasca panen. Selain berupaya untuk menigkatkan pendapatan dan mengurangi

ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik, program ini juga bertujuan

untuk menciptakan pertanian ramah lingkungan, petani yang mandiri serta dalam

jangka panjang terjalin hubungan kerja sama antara kelompok tani dengan PT.

Sidomuncul.

4.3. Karakteristik Responden

4.3.1. Umur

Umur merupakan usia petani sejak dilahirkan hingga saat penelitian

dilakukan.

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur (tahun) Jumlah Sampel

Orang %

Produktif (14 – 64 th) 24 71

Tidak Produktif (≥65) 10 29

Total 34 100

Rata-rata umur (tahun) 55

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Tabel 4.1, menunjukkan sebagian besar responden masuk kedalam kriteria

umur produktif yaitu 24 orang (71%). Sedangkan untuk umur tidak produktif

sebanyak 10 orang (29%). Burhansyah (2014) menyatakan bahwa pada umumnya

21

petani berada pada usia produktif, sehingga dapat diandalkan untuk

mengembangkan usaha padi dengan baik. Hal ini juga sejalan dengan pendapat

Wahyuniarti (2011) yang menyatakan bahwa sebagian besar (90%) petani padi

terdiri dari usia produktif sedangkan sisanya responden dengan umur tidak

produktif. Selain itu, Susanti (2008) menyatakan bahwa sebagian besar petani

padi organik berumur lebih dari 55 tahun dan antara 46-55 tahun.

4.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga responden merupakan anggota keluarga

(anak dan istri) yang masih menjadi tanggung jawab kepala keluarga dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggunan Keluarga

Jumlah Tanggungan Keluarga (orang) Jumlah Sampel

Orang %

< 3 9 26

3 – 5 23 68

> 5 2 6

Total 34 100

Rata-rata Jumlah Tanggungan Keluarga

(orang) 3

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Berdasarkan Tabel 4.2, sebagian besar responden memiliki jumlah

tanggungan keluarga 3 sampai 5 orang yaitu 23 orang (68%). Responden dengan

jumlah anggota keluarga kurang dari 3 sebanyak 9 orang (26%), sedangkan

responden dengan jumlah tanggungan keluarga lebih dari 5 orang yaitu hanya 2

orang (6%). Jumlah tanggungan keluarga yang ikut berpartisipasi berpengaruh

terhadap kategori adopter, hal ini dikarenakan pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan usahatani bergantung pada kepala keluarga (Sari, dkk. 2009).

4.3.3. Pendidikan

Pendidikan merupakan pendidikan formal petani terakhir yang pernah

ditempuh.

22

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah Sampel

Orang %

Tidak Sekolah 1 3

SD 17 50

SMP 9 26

SMA 6 18

Universitas 1 3

Total 34 100

Rata-rata Pendidikan SD

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Berdasarkan Tabel 4.3, responden dengan tingkat pendidikan SD paling

mendominasi yaitu sebanyak 17 orang (50%). Responden dengan tingkat

pendidikan SMP sebanyak 9 orang (26%), SMA yaitu 6 orang (18%) dan pada

jenjang universitas 1 orang (3%), sedangkan responden yang tidak menempuh

pendidikan formal yaitu 1 orang (3%). Fenomena pendidikan petani padi sebagian

besar rendah sejalan dengan penelitian Wahyuniarti (2011) menyatakan bahwa

responden dengan lama pendidikan 6 tahun mendominasi dari seluruh responden.

Susanti, dkk (2008), juga menyatakan bahwa responden sebagian responden

hanya menempuh pendidikan sampai jenjang SD karena kondisi pendidikan saat

petani berusia sekolah belum semudah saat ini.

4.3.4. Luas Lahan Usahatani

Luas lahan merupakan luas penguasaan lahan usahatani baik milik sendiri

atau kontrak lahan.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani

Luas Lahan (ha) Jumlah Sampel

Orang %

Sempit (< 0,5) 23 68

Sedang (0,5 – 2) 11 32

Luas (> 2) 0 0

Total 34 100

Rata-rata Luas Lahan (ha) 0,4343

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Tabel 4.4, menunjukkan mayoritas respoden memiliki luas lahan usahatani

dengan kriteria sempit yaitu sebanyak 23 orang (68%). Responden dengan luas

23

lahan usahatani kriteria sedang sebanyak 11 orang (32%), sedangkan responden

dengan luas lahan usahatani dengan kriteria luas yaitu tidak ada. Lahan yang

dimaksud meliputi lahan sewa maupun kepemilikan sendiri yang ditanami

tanaman padi pada musim tanam 3 tahun 2015. Fardiaz (2008) dalam dari 35

responden luas lahan usahatani padi yang dimiliki tiap responden merupakan

lahan sempit (<0,5 ha).

4.3.5. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih pendapatan kotor dengan

pengeluaran total usahatani dari responden.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Usahatani

Pendapatan Usahatani (Rupiah/Hektar/Musim

Tanam)

Jumlah Sampel

Orang %

0 – 10.000.000 1 3

>10.000.000 – 20.000.000 18 53

>20.000.000 – 30.000.000 12 35

>30.000.000 3 9

Total 34 100

Rata-rata Pendapatan 19.818.033

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam kelompok

tani Makmur II berpendapatan usahatani lebih besar dari Rp 10.000000,000-Rp

20.000.000,00 yaitu sebanyak 18 responden (53%). Menurut Wahyuniarti (2011)

sebagian petani padi berpendapatan di bawah Rp 10.000.000,00 yang dipengaruhi

oleh luasan lahan yang digunakan untuk usahatani dan tingkat keberhasilan petani

dalam menjalankan usahatani mereka.

4.3.6. Lama Berusahatani

Lama berusahatani merupakan lama petani telah bekerja sebagai petani

baik itu pekerjaan utama maupun sampingan.

24

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Berusahatani

Lama Berusahatani (tahun) Jumlah Sampel

Orang %

4 – 16 13 38

17 – 29 10 29

30 – 42 5 15

43 – 55 6 18

Total 34 100

Rata-rata Lama Berusahatani (tahun) 24

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Tabel 4.6, menunjukkan bahwa responden dengan lama usahatani 4-16

tahun lebih mendominasi yaitu sebanyak 13 orang (38%). Petani dengan lama

usahatani 17-29 tahun sebanyak 10 orang (29%), 30-42 tahun sebanyak 5 orang

(15%), sedangkan 43-55 tahun sebanyak 6 orang (18%). Lama berusahatani

berhubungan dengan pengalaman petani terhadap permasalahan maupun

pengelolaan sistem pertaniannya sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan

agar tidak terjadi kesalahan yang sama dalam usahataninya (Hasyim, 2006).

4.3.7. Kosmopolitan

Kosmopolitan merupakan tingkat hubungan dengan “dunia luar” diluar

sistem sosialnya sendiri.

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kosmopolitan

Kosmopolitan Jumlah Sampel

Orang %

Rendah (9-15) 3 9

Sedang (16-22) 25 74

Tinggi (23-39) 6 17

Total 34 100

Rata-rata Kosmopolitan 19,47

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Berdasarkan Tabel 4.7, tingkat kosmopolitan responden dibagi menjadi

rendah, sedang dan tinggi. Kosmopolitan berhubungan dengan tingkat informasi

yang didapatkan oleh responden dari luar sistem sosialnya atau kelompok tani di

kelurahan tersebut. Sebagian besar responden, memiliki keingintahuan yang

cukup untuk mencari informasi dari luar mengenai budidaya padi secara organik.

Sedangkan tingkat kosmopolitan yang rendah disebabkan karena tingkat

25

keingintahuan dan usaha mencari informasi di luar sistem sosialnya juga rendah.

Sebaliknya dengan tingkat kosmopolitan yang tinggi disebabkan karena

responden mempunyai keingintahuan yang tinggi untuk mencari informasi tentang

budidaya padi secara organik di luar sistem sosialnya. Berdasarkan wawancara

petani mencari informasi di luar sistem sosialnya melalui kunjungan ke sentra

produksi padi organik, mengikuti seminar, bertanya langsung kepada penyuluh

pertanian maupun melakukan studi banding dengan kelompok tani di luar daerah.

4.4. Potensi Karakter Keinovatifan Petani Menurut Kategori Rogers

Pengkategorian petani adopter didasarkan pada kategori Rogers dimana

pada kategori Rogers terdapat 5 kategori adopter yaitu innovator, early adopter,

early majority, late majority dan laggard. Penentuan setiap kategori adopter

ditentukan dengan pengambilan nilai tertinggi dari setiap item pertanyaan

keinovatifan petani. Persentase kategori petani berdasarkan karakteristik menurut

kategori Rogers dapat dilihat pada gambar 4.2 :

Gambar 4.2 Grafik Potensi Karakter Keinovatifan Kelompok Tani Makmur II

(Sumber: Analisis Data Primer, 2016)

Kategori petani kelompok tani Makmur II Kelurahan Pulutan, Kecamatan

Sidorejo, Kota Salatiga digolongkan berdasarkan kategori adopter menurut teori

Rogers. Namun, terdapat 2 orang petani yang tidak memenuhi karakteristik

adopter yang kemudian digolongkan menjadi kategori non adopter.

Pengkategorian petani adopter maupun non adopter berdasarkan item pertanyaan

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

Innovator Early

Adopter

Early

Majority

Later

Majority

Laggard Non Adopter

26

yang disusun berdasarkan karakteristik tiap-tiap kategori petani. Skor tertinggi

yang diperoleh pada setiap pertanyaan kategori petani berarti menunjukkan

kategori petani adopter berdasarkan kategori Rogers.

Berdasarkan karakteristiknya, deskripsi karakteristik petani pada setiap

kategori dapat dilihat pada Tabel 4.8 :

Tabel 4.8. Kategori Petani Berdasarkan Karakteristik Petani

Innovator Early

Adopter

Early

Majority

Late

Majority Laggard

Non

Adopter

Umur

Produktif (14-64

tahun) 1 8 6 6 1 2

Tdk Produktif ( ≥

64 tahun) 1 0 3 5 1 0

Jumlah Tanggungan

Keluarga

< 3 0 2 3 2 1 1

3-5 1 6 5 9 1 1

> 5 1 0 1 0 0 0

Pendidikan

Tidak Sekolah 0 0 0 0 0 1

SD 0 3 4 8 2 0

SMP 0 2 4 2 0 1

SMA 2 2 1 1 0 0

Universitas 0 1 0 0 0 0

Luas Lahan

Sempit ( < 0,5 ha) 1 2 8 9 1 2

Sedang (0,5 – 2

ha) 1 6 1 2 1 0

Luas (> 2 ha) 0 0 0 0 0 0

Pendapatan

Usahatani

0 – 10.000.000 0 0 0 1 0 0

> 10.000.000 –

20.000.000 0 2 9 4 2 1

> 20.000.000 –

30.000.000 0 6 0 5 0 1

> 30.000.000 2 0 0 1 0 0

Lama Usahatani

4 – 16 tahun 0 4 4 4 0 1

17 – 29 tahun 1 4 3 2 0 0

30 – 42 tahun 0 0 2 1 1 1

43 – 55 tahun 1 0 0 4 1 0

Kosmopolitan

Rendah (9-15) 0 0 0 0 1 2

Sedang (16-22) 0 4 9 11 1 0

Tinggi (23-29) 2 4 0 0 0 0

Total Respoden 2 8 9 11 2 2

% 6 24 26 32 6 6

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 34 responden Kelompok Tani Makmur

II, hanya terdapat 2 orang (6%) yang dikategorikan sebagai petani innovator.

27

Responden yang tergolong sebagai innovator adalah Bapak Ashadi dan Bapak

Sofyani, dimana Bapak Ashadi merupakan ketua Kelompok Tani Makmur II

sedangkan Bapak Sofyani adalah salah satu anggota kelompok yang lahannya

tergabung dalam demplot program budidaya padi organik. Bapak Ashadi dan

Bapak Sofyani dikatakan sebagai innovator karena sesuai dengan karakteristik

seorang innovator, selain itu mereka mampu melakukan budidaya padi secara

organik sebelum anggota kelompok lain melakukannya. Berdasarkan karakteristik

innovator bapak Ashadi dan Sofyani merupakan petani yang berani menanggung

risiko dalam menghadapi kegagalan dari percobaannya serta mampu mengatasi

masalah pertanian. Selain itu golongan innovator lebih berani mengambil risiko,

mampu mengatur, mampu mengaplikasikan suatu inovasi serta mampu mengatasi

ketidakpastian informasi.

Petani dengan kategori early adopter pada kelompok tani Makmur II

berjumlah 8 orang (24%). Responden yang tergolong sebagai early adopter

diantaranya Bapak Muzani dan Bapak Dzikroni yang merupakan pengurus dari

Kelompok Tani Makmur II. Selain itu Bapak Najmudin dan Bapak Abdul

Mutholib merupakan anggota kelompok yang lahannya digunakan sebagai dempot

program pertanian padi organik. Bapak Fauzan sebagai anggota kelompok dengan

jenjang pendidikan tertinggi yang ditempuh tergolong dalam early adopter.

Beberapa anggota kelompok maupun pengurus yang tergolong sebagai early

adopter merupakan responden dengan karakteristik yang sesuai dengan petani

kategori early adopter karena merupakan anggota yang dapat dijadikan opinion

leader yang berpengaruh dalam kelompok tani serta dapat dapat dijadikan role

model dari anggota tersebut. Berdasarkan karakteristik early adopter Bapak

Dzikroni, Abdul Mutholib, Najmudin dan Fauzan tergolongan adopter yang

mempunyai karakteristik lebih terbuka dan lebih luwes, sehingga mereka dapat

bergaul lebih rapat dengan petani umumnya. Golongan ini mempunyai pendidikan

yang cukup dan lebih aktif mencari informasi melalui penyuluh maupun media

massa yang tersedia. Petani yang tergolong dalam kelompok early adopter adalah

petani yang mempunyai karakteristik sesuai dengan kategori Rogers yaitu opinion

leader yang paling berpengaruh, role model dalam sebuah sistem serta dihargai

dan disegani orang disekitarnya.

28

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa kategori early majority berjumlah 9 orang

(26%). Sebagian besar responden yang tergolong dalam early majority yaitu

berpendidikan SMP. Responden yang tergolong dalam early majority sebagian

sudah ada yang menerapkan budidaya padi secara organik, namun terdapat juga

responden yang masih ragu-ragu. Responden yang masih ragu-ragu pada dasarnya

ingin melihat hasil yang nyata dari budidaya padi secara organik, mereka akan

melakukan budidaya padi secara organik apabila hasil dari budidaya padi organik

lebih baik dari budidaya padi secara konvensional. Golongan early majority

merupakan golongan yang lebih lambat mengadopsi suatu inovasi daripada

golongan innovator dan early adopter akan tetapi lebih mudah terpengaruh dan

mengikuti suatu inovasi yang diberikan. Namun golongan ini masih memiliki sifat

hati-hati akan kegagalan dan akan mengadopsi inovasi jika sudah terdapat bukti

yang nyata. Karakteristik katogori early majority antara lain sering berinteraksi

dengan orang-orang sekitar, jarang mendapatkan posisi sebagai opinion leader,

sepertiganya adalah bagian dari sistem (kategori atau tipe terbesar dalam sistem)

dan berhati-hati sebelum mengadopsi inovasi baru. Rogers (1983) mengemukakan

bahwa kategori early majority merupakan kategori penganut cepat.

Berdasarkan Tabel 4.8, kategori petani yang paling dominan adalah late

majority sebanyak 11 orang (32%). Responden golongan late majority merupakan

responden dengan jumlah terbanyak. Dari seluruh responden, sebagian responden

merupakan golongan late majority dengan pendidikan SD. Dari data yang

demikian, pendidikan akan mempengaruhi pola pikir yang akan mempengaruhi

persepsi petani terhadap suatu inovasi. Late majority yaitu golongan petani yang

kurang mampu, lahan pertanian yang dimiliki sangat sempit, rata-rata dibawah 0,5

hektar, yang menyebabkan golongan late majority berbuat lebih waspada dan hati-

hati terhadap adanya inovasi karena takut mengalami kegagalan. Golongan late

majority akan mengadopsi inovasi apabila kebanyakan petani sekitar sudah

mengikuti dan menerapkan inovasi yang diberikan. Jadi penerapan inovasi

teknologi terhadap golongan ini sangat lambat. Sari, dkk. (2009) mengemukakan

bahwa late majority digolongkan dalam adopter lambat. Dalam pengambilan

keputusan faktor yang mempengaruhi kategori adopter cepat maupun lambat

adalah umur, pendidikan formal serta persepsi terhadap inovasi tersebut. Keadaan

29

petani Makmur II yang digolongkan dalam late majority sesuai dengan kategori

yang disebutkan oleh Rogers yaitu berjumlah sepertiga dari suatu sistem sosial,

mendapatkan tekanan dari orang-orang sekitarnya, terkelurahank ekonomi, skeptis

dan sangat berhati-hati.

Golongan laggard pada Tabel 4.8 diketahui berjumlah 2 orang (6%).

Responden yang tergolong laggard adalah Bapak Bilal Nurdin dan Bapak Asrori.

Berdasarkan hasil wawancara, responden tersebut mengatakan lebih nyaman

bertani secara konvensional meskipun tidak menutup kemungkinan akan

melakukan budidaya secara organik karena pengetahuan terhadap potensi dari

budidaya padi secara organik. Namun demikian, untuk saat ini responden tersebut

belum berkeinginan melakukan budidaya padi secara organik karena input

produksi serta perawatan membutuhkan tenaga yang lebih banyak daripada

budidaya padi secara konvensional. Petani yang tergolong laggard merupakan

petani usia lanjut, fanatik terhadap tradisi dan sulit diberikan pengertian-

pengertian yang dapat mengubah pola pikir, cara kerja dan hidupnnya. Laggard

bersikap apatis terhadap adanya teknologi baru. Sulitnya golongan laggard dalam

mengadopsi suatu inovasi dikarenakan mereka tidak mudah terpengaruh oleh

adanya opinion leader, lebih berorientasi pada masa lalu dan berprasangka buruk

terhadap inovasi. Namun demikian, laggard akan mengadopsi inovasi dalam

waktu yang cukup lama dibandingkan kelompok adopter yang lainnya.

Golongan non adopter merupakan golongan petani yang tidak mau

mengadopsi suatu inovasi meskipun dalam jangka waktu yang lama. Perbedaan

antara laggard dengan non adopter adalah dalam proses penerimaan inovasi.

Golongan laggard kemungkinan menerima inovasi, tetapi proses adopsinya

membutuhkan waktu yang lama. Sedangakan non adopter tidak mau menerima

dan tidak mengadopsi adanya inovasi. Tabel 4.8 menunjukkan jumlah non

adopter yaitu 2 orang (6%) yang menunjukkan bahwa dari sebagian besar sampel

merupakan golongan adopter. Hal ini dipengaruhi karena non adopter tidak mau

menerima adanya inovasi. Faktor umur dan pendidikan juga sangat berpengaruh

dimana pada golongan non adopter terdapat petani yang tidak sekolah dengan usia

tidak produktif. Responden yang tergolong dalam non adopter adalah Bapak Ali

Maksum dan Ibu Rukanah. Bapak Ali Maksum dan Ibu Rukanah tidak mau

30

menerima informasi dan mengadopsi pertanian padi secara organik. Mereka lebih

nyaman bertani secara konvensional karena sudah lama melakukannnya dan juga

karena cara bertani dari orangtuanya dulu. Selain itu, faktor pendidikan yang

menjadi faktor yang berpengaruh terhadap cara pandang seseorang terhadap suatu

inovasi. Ibu Rukanah sendiri merupakan salah satu responden yang tidak

bersekolah sehingga dalam penerimaan informasi mengenai pertanian padi

organik beliau kurang mampu memahami dan menerima.

4.5. Analisis Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Potensi

Karakter Keinovatifan Petani

Analisis hubungan antara faktor karakteristik responden yang terdiri dari

umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan usahatani, pendapatan

usahatani, lama berusahatani dan kosmopolitan dengan potensi karakter

keinovatifan petani menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan program

SPSS 16,0 for Windows. Hasil analisis hubungan antara karakteristik responden

yang terdiri dari umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan

usahatani, pendapatan usahatani, lama berusahatani dan kosmopolitan dengan

potensi karakter keinovatifan petani di Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo,

Kota Salatiga dapat dilihat pada Tabel 4.9 :

Tabel 4.9. Hubungan Karakteristik Petani (X) dengan Potensi Karakter Keinovatifan

Petani (Y)

No Variabel (X)

Kategori Petani

Adopter (Y) Kesimpulan

rs p α

1 Umur (X1) -0,128

0,472 0,05 Tidak signifikan

2 Jumlah Tanggungan Keluarga (X2) 0,105

0,556 0,05 Tidak signifikan

3 Pendidikan (X3) 0,358*

0,037 0,05 Signifikan

4 Luas Lahan Usahatani (X4) 0,451**

0,007 0,01 Signifikan

5 Pendapatan Berusahatani (X5) 0,400* 0,019 0,05 Signifikan

6 Lama Usahatani (X6) -0,165

0,351 0,05 Tidak signifikan

7 Kosmopolitan (X7) 0,752**

0,000 0,01 Signifikan

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Keterangan: rs

p

α

*

**

: koefisian korelasi Rank Spearman

: probabilitas

: taraf kepercayaan

: signifikan pada taraf kepercayaan 95%

: sangat signifikan pada taraf kepercayaan 99%

31

1. Hubungan Antara Umur (X1) dengan Potensi Karakter Keinovatifan

Petani (Y)

Berdasarkan hasil olah data dengan aplikasi SPSS 16.0 menunjukkan bahwa

variabel tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel umur dengan

potensi karakter keinovatifan petani. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.9 dimana

pada taraf kepercayaan 95% nilai p > 0,05 (0,472 > 0,05), sehingga H0 diterima

dan H1 ditolak. Pada nilai koefisiensi korelasi rs = -0,128 yang menunjukkan

korelasi antara kedua variabel sangat rendah dengan arah yang negatif.

Mengacu Tabel 4.8, umur petani produktif dan tidak produktif merata,

sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara setiap kategori yang

menunjukkan semakin muda umur petani maka potensi karakter keinovatifan

petani semakin tinggi. Pernyataan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian

Sari, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa umur mempengaruhi adopsi inovasi,

yaitu adopter dengan umur yang lebih muda lebih inovatif dan lebih cepat dalam

mengadopsi suatu inovasi. Penelitian ini sejalan dengan pernyataan Susanti, dkk.

(2008), bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan

pengambilan keputusan. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan petani dalam

budidaya padi secara konvensional. Petani dengan usia lanjut akan berorientasi

pada pengalaman bertani secara konvensional yang sudah dilakukan sebelumnya,

sehingga petani dengan usia lanjut lebih sulit dalam menerima suatu hal baru

terutama budidaya padi secara organik. Wahyuniarti (2011) menyatakan faktor

umur dapat mempengaruhi sesorang untuk mempersepsikan suatu hal yang sedang

berlangsung. Petani yang berumur matang lebih mudah dalam menerima inovasi

dan memahami mengenai manfaat bahan pangan organik.

2. Hubungan Antara Jumlah Tanggungan Keluarga (X2) dengan Potensi

Karakter Keinovatifan Petani (Y)

Variabel jumlah tanggungan keluarga dengan potensi karakter keinovatifan

petani memiliki nilai rs sebesar 0,105 yang menunjukkan bahwa kedua veriabel

berkorelasi sangat lemah dengan arah yang positif. Tabel 4.9 menunjukkan pada

taraf kepercayaan 95% nilai p > α (0,556 > 0,05), sehingga H0 diterima.

Mengacu Tabel 4.8, jumlah tanggungan keluarga setiap kategori petani

merata sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang menunjukkan

32

semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin tinggi potensi

karakter keinovatifan petani. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan

penelitian Sari, dkk. (2013) yang menyatakan bahwa jumlah keluarga yang ikut

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usahatani

bergantung pada kepala keluarga. Sedangkan Hasyim (2006) mengemukakan

jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan hal pemenuhan kebutuhan yang

mengacu pada tingkat pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani yang

masih tergolong dalam kelompok early majority dimana mereka masih sangat

berhati-hati dalam mengadopsi budidaya padi secara organik. Sikap hati-hati yang

ditunjukkan oleh petani menunjukkan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap

hasil budidaya padi secara organik dan takut jika usahataninya mengalami

kerugian. Lalla, dkk. (2012) mengemukakan bahwa jumlah tanggungan keluarga

tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi karena tenaga kerja yang

digunakan merupakan tenaga dari luar anggota keluarganya. Pada budidaya padi

secara organik sendiri kebutuhan tenaga kerja lebih banyak karena dalam

budidayanya proses perawatan dan pemupukan lebih sering dilakukan

dibandingkan dengan budidaya padi secara konvensional.

3. Hubungan Antara Pendidikan (X3) dengan Potensi Karakter

Keinovatifan Petani (Y)

Tabel 4.9 menunjukkan nilai rs sebesar 0,358 yang berarti variabel

pendidikan dengan potensi karakter keinovatifan petani mempunyai korelasi

rendah dengan arah yang positif yang berarti terdapat hubungan searah antara

kedua variabel dimana semakin tinggi pendidikan maka peluang petani menjadi

innovator semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Pada taraf kepercayaan 95%

nilai p < α (0,037 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa antara variabel

pendidikan dengan potensi kategori keinovatifan petani mempunyai hubungan

yang signifikan.

Mengacu Tabel 4.8, semakin tingginya pendidikanpada setiap kategori

petani maka potensi karakter keinovatifan petani akan lebih tinggi pula. Hal ini

sejalan dengan penelitian Hasyim (2006) yang mengemukakan bahwa tingkat

pendidikan yang dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta

wawasan petani dan akan mempengaruhi penerapan inovasi untuk meningkatkan

33

usahataninya. Tingkat pendidikan yang dimiliki petani dapat mempengaruhi suatu

inovasi akan diadopsi oleh petani. Petani dengan tingkat pendidikan yang tinggi

menunjukkan pola pikir yang terbuka serta dapat menerima informasi dan hal-hal

baru dari luar sistem sosialnya. Sehingga petani dengan pendidikan yang lebih

tinggi cenderung ingin mengetahui suatu hal baru tersebut.

Menurut Wahyuniarti (2011), pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi

petani dalam berfikir sehingga petani akan mempunyai kemampuan menganalisa

situasi, pencarian informasi, referensi dan pertimbangan dalam pertanian organik.

Selain itu petani juga dapat membandingkan antara pertanian organik dengan

konvensional dalam manfaat positif bagi kehidupan. Soekartawi (2005)

menyatakan bahwa petani dengan pendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam

melaksanakan adopsi inovasi, sebaliknya petani dengan pendidikan rendah akan

sulit untuk melaksanakan adopsi.

4. Hubungan Antara Luas Lahan Usahatani (X4) dengan Potensi Karakter

Keinovatifan Petani (Y)

Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa pada taraf kepercayaan 99%, nilai p

< α ( 0,007 < 0,01), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat

hubungan yang signifikan antara luas lahan usahatani dengan potensi karakter

keinovatifan petani dengan arah yang positif dengan nilai rs sebesar 0,451 yang

dapat dikatakan kedua variabel mempunyai korelasi sedang. Nilai rs yang positif

menunjukkan hubungan searah antara kedua variabel, dimana semakin luas suatu

lahan usahatani maka semakin tinggi pula peluang petani menjadi innovator.

Mengacu Tabel 4.8, potensi karakter keinovatifan petani akan semakin

tinggi seiring dengan semakin tingginya luas lahan usahatani. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Burhansyah (2014) bahwa setiap 1 ha lahan yang dimiliki

petani memberikan peluang untuk mempercepat adopsi inovasi sekitar 3 kali lipat.

Selain itu, Harinta (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penguasaan

lahan berpengaruh secara signifikan dengan kecepatan adopsi inovasi pertanian

yang berarti semakin luas lahan usahataninya maka semakin cepat mengadopsi

inovasi pertanian. Mardikanto (2009) yang menyatakan bahwa semakin luas lahan

usahatani maka akan semakin cepat mengadopsi inovasi, karena mempunyai

kemampuan ekonomi yang yang lebih. Yusnita (2010) mengemukakan bahwa

34

petani dengan lahan yang luas berharap keuntungan yang besar sekalipun risiko

kegagalan juga besar. Petani dengan lahan yang luas akan lebih serius dan aktif

dalam mengusahakan usahataninya.

5. Hubungan Antara Pendapatan Usahatani (X5) dengan Potensi Karakter

Keinovatifan Petani (Y)

Berdasarkan tabel 4.9, diketahui pada taraf kepercayaan 99% nilai p < α

(0,019 < 0,05) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima, yang berarti bahwa antara

variabel pendapatan usahatani dengan potensi karakter keinovatifan petani

terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif dengan nilai rs =

0,400 yang menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi sedang. Nilai rs

yang positif menunjukkan hubungan searah antara kedua variabel, dimana

semakin tinggi pendapatan usahatani maka peluang petani menjadi innovator

semakin tinggi, demikian juga sebaliknya.

Mengacu Tabel 4.8, semakin tingginya pendapatan usahatani maka akan

semakin tinggi pula potensi karakter keinovatifan petani. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Mardikanto (2009) bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan

usahatani biasanya petani lebih inovatif dan lebih cepat mengadopsi inovasi.

Menurut Yusnita (2010), pendapatan mempunyai hubungan yang signifikan

dengan tingkat adopsi inovasi, yang berarti semakin tinggi pendapatan petani

maka tingkat adopsi petani semakin tinggi pula. Responden dengan yang memiliki

tingkat pendapatan tinggi dapat melakukan tindakan untuk keberhasilan

usahataninya meskipun dalam penyiapan bibit dan pupuk mendapat bantuan dari

pemerintah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di lapangan, dimana

responden dengan pendapatan yang tinggi lebih inovatif dan lebih cepat

mengadopsi inovasi meskipun mendapat bantuan pupuk dan pestisida dari PT.

Sidomuncul.

6. Hubungan Antara Lama Berusahatani (X6) dengan Potensi Karakter

Keinovatifan Petani (Y)

Berdasarkan Tabel 4.9, pada taraf kepercayaan 95% nilai p > α (0,351 >

0,05) maka H0 diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara variabel lama berusahatani dengan potensi karakter keinovatifan petani.

Nilai rs = -0,165 yang menunjukkan bahwa korelasi antara variabel lama

35

berusahatani dengan kategori petani sangat rendah dengan arah yang negatif.

Mengacu Tabel 4.8, potensi karakter keinovatifan petani tidak terlihat perbedaan

yang signifikan antara setiap kategori petani. Pernyataan tersebut bertolak

belakang dengan pendapat Fardiaz (2008), yang menyatakan bahwa lama

berusahatani berpengaruh terhadap pengalaman petani yang mengacu pada

dampak pertanian konvensional sehingga petani akan cenderung tertarik pada

pertanian organik. Selain itu, pengalaman bertani organik memberikan berbagai

macam keuntungan diantaranya kemudahan dalam penerapan, hasil lebih sehat,

kesuburan tanah tetap terjaga dan harga jual produk yang lebih tinggi

dibandingkan produk non organik.

Berdasarkan penelitian di lapangan, responden masih merasakan nyaman

dengan cara bertani secara konvensional. Hal ini dikarenakan pertanian secara

konvensional sudah dilakukan sejak lama sehingga kemauan untuk beralih ke

pertanian organik masih sulit. Program budidaya padi organik yang baru berjalan

selama 2 musim tanam juga belum dapat memberikan bukti yang signifikan

kepada petani untuk segera beralih ke budidaya padi secara organik.

7. Hubungan Antara Kosmopolitan (X7) dengan Potensi Karakter

Keinovatifan Petani (Y)

Berdasarkan Tabel 4.9, pada taraf kepercayaan 99% nilai p < 0,01 (0,000 <

0,01) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima, maka antara variabel kosmopolitan

dengan potensi karakter keinovatifan petani terdapat hubungan yang signifikan

dengan arah yang positif dengan nilai rs = 0,752 yang menunjukkan bahwa kedua

variabel memiliki korelasi yang kuat. Nilai rs yang positif menunjukkan hubungan

searah antara kedua variabel, dimana semakin tinggi kosmopolitan maka semakin

tinggi pula peluang petani menjadi innovator.

Mengacu Tabel 4.8, kosmopolitan yang semakin tinggi maka petani

memiliki potensi karakter keinovatifan lebih tinggi yang menunjukkan petani itu

lebih inovatif. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Valentinawati (2010)

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kosmopolit dengan

adopsi inovasi. Tidak adanya hubungan antara tingkat kosmopolit dengan adopsi

inovasi dikarenakan informasi yang diperoleh petani sudah cukup sehingga

mereka tidak perlu mencari informasi di luar sistem sosialnya. Namun demikian,

36

Mardikanto (2009) yang menyatakan bahwa masyarakat yang kosmopolit akan

mempercepat berlangsungnya adopsi inovasi karena ada keinginan untuk

mencoba sesuatu hal baru seperti yang telah dinikmati oleh orang-orang di luar

sistem sosialnya sendiri. Petani dengan tingkat kosmopolitan yang tinggi

cenderung aktif dalam menggali informasi, sehingga dengan informasi yang

dimiliki akan mendorong dalam mengadopsi suatu inovasi.