Upload
lythuy
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keragaan Tanaman Kelapa
Hasil pengamatan diperoleh bahwa jumlah daun, lingkar batang
dan produksi buah per tandan antar umur kelapa tidak berbeda. Luas
daun kelapa 5 tahun lebih besar dibanding kelapa 20 dan 50 tahun,
selengkapnya disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Karakter vegetatif dan produksi tanaman kelapa.
Umur
kelapa
(tahun)
Jumlah daun
(pelepah.
phn -1)
Luas
daun (m2.
phn -1)
ILD
Tinggi
pohon
(m)
lingkar
batang
(m)
Produksi
(buah.
tandan -1.
bln -1)
5
20
50
28
31
29
339
301
192
4
4
2
3
12
15
-
1
1
-
6
5
Kelapa umur 5 tahun mempunyai luas daun terbesar karena
kontribusi luas anak-daun (leaflet) lebih luas dibandingkan dengan
kelapa umur 20 dan 50 tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
luas daun makin mengecil bersamaan dengan semakin bertambahnya
umur kelapa sebagaimana dikemukakan oleh beberapa hasil penelitian
sebelumnya (Ohler 2006; Lamanda et al. 2004; Darwis 1988).
Luas proyeksi tajuk kelapa umur 5, 20 dan 50 tahun berturut -turut
adalah 39.57, 92.24, dan 50.24 m2. Luas proyeksi menunjukkan tingkat
penutupan terhadap lahan dalam pertanaman, dan terbukti dengan makin
tingginya nilai tersebut naungan di bawah kelapa pada kelapa umur 20
tahun adalah yang tertinggi dan diperparah dengan sistem tanam segitiga
yang rapat. Indeks luas daun nilainya sangat dipengaruhi oleh luas tajuk,
karena luasan lahan konstan, hal itu terbukti dari nilai ILD pada kelapa
umur 5 tahun. Pada umur tertentu tajuk akan mencapai ukuran maksimum
dan bisa mencapai ILD maksimum juga kemudian berangsur-angsur nilai
tersebut menurun sejalan dengan berkurangnya ukuran daun karena
29
bertambahnya umur kelapa. Jadi mengapa pada umur tertentu produksi
tanaman kelapa mulai menurun, dipastikan salah satunya karena pola
perkembangan ukuran tajuk tersebut yang dikaitkan dengan proses
fotosintesis. Jika dihubungkan dengan umur kelapa, maka ukuran tajuk
dan produksi maksimum terjadi antara 45-55 tahun.
Berdasarkan pengamatan visual di lapang, menunjukkan bahwa
tingkat naungan pada kelapa 20 tahun adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan 50 tahun (Lampiran 2). Sistem tanam kelapa turut
memberikan sumbangan yang besar pada hal tersebut . Dengan demikian,
karakter tanaman dan sistem tanam kelapa akan memberikan ruang yang
berbeda untuk transmisi radiasi matahari melewati tajuk. Dalam
penelitian ini belum dikaji lebih detail pengaruh dari pergerakan tajuk
karena angin. Hal ini sebenarnya menarik untuk dikaji karena pergerakan
bayangan tajuk juga berpengaruh pada total transmisi radiasi matahari di
pertanaman kelapa.
4.2 Radiasi Matahari
4.2.1 Intensitas dan lama penyinaran matahari
Kegiatan penelitian dilakukan selama Juni hingga Oktober 2007
(periode pertama) dan Maret hingga Juli 2008 (periode kedua). Selama
penelitian periode pertama, total intensitas radiasi matahari yang
diterima 48 957 gcal.cm-2
dengan rata-rata harian 3 221 gcal.cm-2
. Pada
periode kedua penelitian (Maret 2008 hingga Juli 2008) intensitas radiasi
matahari yang terukur sebanyak 42 571 gcal.cm-2
dan rata-rata harian
sebesar 282 gcal.cm-2
. Selama delapan bulan kegiatan penelitian
intensitas radiasi matahari bulanan tersebar merata dengan nilai antara
250-358 gcal.cm-2
. Distribusi intensitas radiasi matahari dan lama
penyinaran harian disajikan dalam Tabel 2.
Intensitas radiasi matahari harian tidak berfluktuasi tinggi selama
penelitian berlangsung. Lama penyinaran harian sebesar 21-40% dan
rata-rata terjadi selama 4-9 hari. Lama penyinaran >50% terjadi selama
10-23 hari tiap bulannya. Lama penyinaran matahari harian tertinggi
terjadi pada bulan Mei dan terendah bulan Maret.
30
Tabel 2 Intensitas radiasi matahari dan lama penyinaran harian periode
tanam Juni-Oktober 2007 dan Maret-Juli 2008
Bulan Intensitas
gcal.cm-2
Lama penyinaran (%)
0-2 21-40 41-50 >50
Periode I
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Periode II
Maret
April
Mei
Juni
Juli
293
314
332
358
315
255
286
325
294
250
7
6
6
2
1
10
8
4
6
8
4
7
5
8
9
9
9
4
7
8
8
4
4
2
4
2
2
-
2
3
11
14
16
18
17
10
11
23
15
12
Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi
Utara.
4.2.2 Transmisi radiasi matahari
Pada tanaman tunggal, hubungan antara besarnya radiasi yang
diintersep umumnya berbanding lurus dengan bentuk dan luas daun,
tetapi pada sistem pertanaman tidak demikian, karena populasi,
pola/sistem tanam, dan umur tanaman lebih menentukan. Sebaran spasial
transmisi radiasi pada pertanaman kelapa atau palma lainnya ditentukan
oleh beberapa hal, seperti (i) jarak tanam pohon (spasi lorong), (ii) tinggi
pohon, (iii) lebar tajuk, dan (iv) kepadatan tajuk (Sitompul 1998).
Beberapa kajian tentang hal tersebut sebagian telah dikerjakan dalam
penelitian ini. Berdasarkan analisis data radiasi matahari pada
pertanaman kelapa, maka diperoleh rata-rata persentase transmisi radiasi
matahari terbesar terdapat di pertanaman kelapa umur 50 tahun (49%)
dan terendah pada kelapa umur 20 tahun (22%) (perhatikan Gambar 2).
Besarnya nilai transmisi radiasi matahari pada kelapa umur 50 tahun
disebabkan oleh makin tingginya tanaman, dimana batang kelapa yang
lurus dan ukuran tajuk yang makin kecil memungkinkan radiasi yang
diteruskan ke permukaan lahan di antara kelapa lebih banyak.
31
Gambar 2 Transmisi radiasi matahari pada beberapa umur kelapa di
Kebun Percobaan Kima Atas Manado-Sulawesi Utara.
Pola transmisi radiasi matahari temporal dapat dilihat pada
Gambar 3. Berdasarkan hasil analisis ternyata pada kelapa umur 5 dan
50 tahun jumlah radiasi tertinggi yang mencapai permukaan lahan di
bawah pertanaman kelapa terjadi pada saat mid-day. Tapi, pola tersebut
tidak terjadi pada tanaman kelapa umur 20 tahun yang mempunyai
tingkat naungan tinggi (Gambar 3).
Pola distribusi radiasi pada sistem tanam segitiga selain umur 20
tahun mirip dengan sistem segiempat (garis merah di Gambar 3) tapi,
kuantitas radiasi masih lebih rendah dibanding pada sistem tanam
segiempat. Itulah sebabnya, ketersediaan radiasi matahari harian yang
minim pada pertanaman kelapa sistem tanam segitiga menjadi kendala
yang berarti jika usaha tani kelapa polikultur akan diterapkan.
Hasil simulasi untuk menunjukkan pola distribusi temporal radiasi
matahari harian juga telah dibuat (Gambar 4). Animasi tanaman kelapa
3D dibuat persis menyerupai tanaman kelapa di lokasi, terutama ukuran
tinggi dan garis tengah tajuk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
pertanaman kelapa sistem tanam segitiga menerima radiasi lebih rendah
dibanding pertanaman kelapa sistem tanam segiempat.
32
Gambar 3 Distribusi temporal harian radiasi matahari pada beberapa
umur kelapa berdasarkan waktu pengamatan (hasil observasi)
di Kebun Percobaan Kima Atas, Manado-Sulawesi Utara.
Berdasarkan hasil tersebut, maka program ekstensifikasi atau
peremajaan kelapa sebaiknya menerapkan sistem tanam kelapa
segiempat. Pengaturan jarak dan sistem tanam seperti ini akan
menguntungkan jika diterapkan sistem polikultur.
Gambar 4 Distribusi temporal radiasi matahari pada beberapa umur
kelapa berdasarkan waktu pengamatan (hasil simulasi)
33
Pola distribusi spasial radiasi matahari pada penelitian ini dikaji
dengan menggunakan teknik simulasi. Animasi kelapa 3D dibuat
menjadi dua model seperti kelapa umur 20 tahun dan 50 tahun dan diatur
jarak dan sistem tanam sesuai dengan yang ada di lokasi penelitian.
Untuk mendapatkan visual yang jelas, maka simulasi dilakukan pada 21
Maret pukul 12.00. Hasil simulasi disajikan dalam Gambar 5 dan 6.
Gambar 5 Simulasi tanaman kelapa umur 50 tahun dengan tinggi 15 m
dan ditanam segiempat. (a) posisi bayangan tajuk dan (b)
distribusi spasial radiasi matahari.
a
a
b
34
Gambar 6 Simulasi tanaman kelapa umur 20 tahun dengan tinggi 12 m
dan ditanam segitiga. (a) posisi bayangan tajuk dan (b)
distribusi spasial radiasi matahari
Distribusi spasial radiasi matahari pada pertanaman kelapa
segitiga menempati kawasan yang sempit pada lahan di antara barisan
kelapa sedangkan pada sistem segiempat lahan yang kena paparan radiasi
langsung relatif lebih luas dan hampir menempati seluruh kawasan pada
lahan di bawah (understorey) tajuk kelapa. Gambar visual dan sebaran
data berupa grafik kontour memperkuat hasil observasi mengenai
distribusi spasial radiasi matahari di pertanaman kelapa.
a
b
a
35
Data distribusi spasial radiasi matahari pada pertanaman kelapa
hasil simulasi dapat divisualisasi berupa skater grafik . Titik pengamatan
diberi kode angka 1-30 yang merupakan light meter helpers. Pada saat
simulasi setiap titik pengamatan tersebut akan terlihat data radiasi
(dalam satuan lux). Hasil analisis data dengan excel disajikan dalam
Gambar 7. Pola distribusi spasial radiasi matahari menunjukkan bahwa
lahan dalam barisan kelapa sistem tanam segiempat mendapatkan
paparan yang tinggi di bagian tengah, namun tidak demikian yang terjadi
pada pertanaman kelapa sistem segiempat. Pola distribusi pada sistem
segiempat menyerupai pola pada pertanaman kelapa sawit yaitu jumlah
radiasi makin membesar ke arah tengah barisan antar tanaman (Wilson
& Ludlow 1991) dan pada sistem agroforestri lorong tanaman pohon
(Suryanto et al. 2005).
Gambar 7 Distribusi radiasi matahari berdasarkan posisi pengamatan
pada sistem tanam kelapa segitiga dan segiempat (simulasi
21 Maret pukul 12.00 pada kordinat 1.32 LU dan 124.54 BT)
Variasi sebaran radiasi yang diperlihatkan kelapa umur 20 tahun,
akan menambah kesulitan dalam praktek pemanfaatan lahan di antara
kelapa. Bagi tanaman-tanaman yang memerlukan naungan, maka sistem
36
tanam segitiga adalah lokasi yang lebih cocok dibanding pada sistem
tanam kelapa segiempat. Itulah sebabnya, pemilihan jenis tanaman sela
sangat menentukan keberhasilan usaha tani kelapa polikultur.
Dasar yang umum digunakan untuk mengetahui pola distribusi
radiasi berdasarkan umur kelapa adalah yang dikemukakan oleh Nelliat
et.al (1974) yang dikembangkan dari sistem tanam segiempat 7.5x7.5 m.
Hasil tersebut sepenuhnya dapat digunakan karena ada sistem tanam
lainnya. Oleh karena itu, dengan menggunakan teknik animasi telah
dibuat model 3D kelapa sistem tanam segitiga dan segiempat dengan
tujuh tingkatan umur berbeda. Simulasi dilakukan pada 21 Maret pukul
10.00-14.00 (lima jam tiap hari) supaya didapatkan data yang
representatif mewakili setiap karakter umur dan sistem tanam (hasilnya
disajikan di Gambar 8).
Gambar 8 Distribusi radiasi matahari di pertanaman kelapa sistem tanam
segitiga dan segiempat hasil simulasi dengan 3Ds Max
Design versi 2011.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata radiasi matahari yang
mencapai permukaan lahan di pertanaman kelapa sistem segitiga sebesar
31 384lux lebih rendah dibanding sistem segiempat yaitu 57 205lux.
37
Nilai radiasi terendah untuk kedua sistem tanam terjadi pada kelapa umur
20 tahun. Radiasi matahari pada sistem tanam segitiga dan segiempat
masing-masing adalah 23 394 dan 42 689lux (Gambar 8). Pola yang
disajikan pada Gambar 8 „mirip‟ dengan yang dikemukakan oleh Nelliat.
Perbedaannya bahwa dalam model yang lama tersebut tidak disajikan
pola radiasi matahari sistem tanam kelapa segitiga.
4.3 Suhu dan Kelembaban Udara
Profil suhu rata-rata harian di pertanaman kelapa berumur 5, 20,
dan 50 tahun bervariasi antara 25-290C. Rataan suhu lebih tinggi terukur
pada pertanaman kelapa berumur 5 dan 50 tahun dan terendah pada
pertanaman kelapa umur 20 tahun. Rataan suhu udara harian di lahan
terbuka berkisar antara 27-300C dan lebih tinggi 1-2
0C dibanding suhu di
bawah pertanaman kelapa (Gambar 9).
Energi radiasi matahari yang berbeda yang diterima di se tiap
pertanaman kelapa menyebabkan perbedaan profil suhu dan kelembaban
udara, meskipun tidak berfluktuasi terlalu tinggi Baldy & Stighter (1997)
mengemukakan bahwa suhu rata-rata di kawasan agroforestri lebih
rendah dibanding kawasan terbuka, dan karena efek naungan juga, maka
variasi suhu di bawah pertanaman tidak terlalu besar. Copeland (1931)
mendapatkan variasi suhu di pertanaman kelapa sebesar 270C dan di
lahan terbuka 300C.
Di kawasan hutan suhu udara akan lebih rendah di banding lahan
terbuka, dan variasi diurnal suhu tidak terlalu besar. Pengurangan
fluktuasi suhu yang terlalu ekstrim, baik suhu tanah maupun suhu udara
biasa dilakukan dengan menggunakan pohon pelindung seperti pada
pertanaman kopi (Beer et al. 1998). Suhu udara juga dipengaruhi oleh
fluktuasi jumlah energi radiasi matahari yang diterima permukaan bumi.
Besaran radiasi matahari yang diterima secara langsung mempengaruhi
proses perpindahan massa, kapasitas panas udara serta kerapatan udara
(Lakitan 2002) dan flutkutasi suhu di dekat permukaan bumi akan
38
Gambar 9 Profil suhu dan kelembaban udara di pertanaman kelapa dan
lahan terbuka di Kebun Percobaan Kima Atas, Manado-
Sulawesi Utara.
berbanding lurus dengan besarnya energi radiasi matahari yang diterima
(Handoko 1993; Jumin 2002).
Pengukuran kelembaban memperlihatkan rata-rata kelembaban
udara di lahan terbuka dan pertanaman kelapa umur 5 tahun lebih rendah
39
namun lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan di pertanaman kelapa
umur 20 dan 50 tahun. Rata-rata fluktuasi harian kelembaban udara tidak
begitu besar dan berkisar 75-80%. Kelembaban menyatakan seberapa
besar kandungan air yang ada pada satuan kolom udara dan berhubungan
dengan laju evapotranspirasi. Kedua unsur iklim mikro ini (suhu dan
kelembaban) secara simultan berperan dalam proses transpirasi. Di alam
nilai kelembaban udara biasanya berbanding terbalik dengan besaran
nilai suhu.(Handoko 1993).
Berdasarkan data kelembaban yang terukur menunjukkan bahwa
kisaran kelembaban udara masih berada level optimum yang diperlukan
tanaman, sehingga diasumsikan bahwa proses metabolisme tidak
mendapat pengaruh negatif. Suhu yang rendah dan kelembaban yang
tinggi akan memperkecil laju evaporasi dan laju transpirasi tanaman,
sekaligus mempertahankan ketersediaan air lebih lama bagi tanaman
kelapa maupun tanaman sela (Proud 2005). Namun, kondisi lembab yang
berlangsung lama akan bisa mendukung berkembangnya penyakit
tanaman yang disebabkan oleh jamur, seperti jamur Phythopthora sp.
4.4 Kadar Air Tanah
Kadar air tanah (Kat) pada tiga lokasi pertanaman kelapa berkisar
antara 5-80% di area terbuka antara 5-32%. Kat pada pertanaman kelapa
umur 20 tahun bervariasi antara 15-80% dengan rata-rata 41% merupakan
kadar air tertinggi dibandingkan dengan dua umur kelapa la innya yang
berkisar antara 21-24%. Tingkat naungan yang tinggi menyebabkan
besaran evaporasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan lahan yang
banyak mendapat paparan radiasi matahari. Meskipun nantinya terjadi
kondisi cekaman air akibat suplai hujan yang kurang, tapi antara tanaman
sela dan kelapa tidak akan saling berkompetisi. Sistem perakaran kelapa
aktif hanya tersebar 2 m dari pangkal batang dan tanaman sela ditanam
pada posisi diluar kawasan perakaran tersebut.
40
4.5 Sifat Hujan
4.5.1 Curah hujan bulanan dan hari hujan
Menurut WMO (World Meterogical Organization), batasan hari
hujan adalah hari dengan curah hujan ≥ 0.5 mm. Berdasarkan kriteria
tersebut, maka jumlah hari hujan (HH) selama penelitian periode pertama
(Juni 2007 hingga Oktober 2007) adalah 92 hari atau rata-rata 18 HH per
bulan. Jumlah curah hujan selama periode tersebut adalah 1 166 mm atau
rata-rata 233 mm per bulan. Selama penelit ian, curah hujan bulanan
tertinggi terjadi pada bulan Juni 2007 yakni 366 mm dan hari hujan
terbanyak yakni 25. Sebaliknya curah hujan terendah adalah 67 mm
dengan jumlah HH 9 terjadi pada bulan September 2007. Kebutuhan air
tanaman pangan selama penelitian tetap terpenuhi jika melihat sifat curah
hujan dan jumlah hari hujan selama periode tanam pertama maupun
kedua. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Distribusi hari hujan (HH), jumlah hujan bulanan, dan jumlah
harian selama penelitian (Juni 2007– Oktober 2007).
Bulan Hari hujan
(HH.bln-1
)
Curah hujan
(mm.bln-1
)
Curah hujan
(mm.hari-1
)
Maksimum Ratarata
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
25
17
18
9
23
366
143
336
67
254
65
36
72
22
46
12
5
11
2
8
Total
Rata-rata
92
18
1 166
233
48
8
Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi
Utara.
Jumlah hari hujan periode kedua penelitian (Maret 2008 hingga
Juli 2008) adalah 122 hari dengan total hujan 1 599 mm. Total curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 522 mm dan HH terjadi
selama 27 hari. Hujan yang paling rendah terjadi di bulan Mei yaitu 84
mm dan HH 15 hari. Berdasarkan sebaran hujan tersebut dapat dikatakan
41
bahwa air tidak menjadi kendala bagi tanaman sela pada penelitian tahap
pertama dan kedua. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Distribusi hujan bulanan dan jumlah hari hujan selama
penelitian tahap pertama (Maret 2008–Juli 2008).
Bulan Hari hujan
(HH.bln-1
)
Curah hujan
(mm.bln-1
)
Curah hujan
(mm.hari-1
)
Maksimum Rata-rata
Maret
April
Mei
Juni
Juli
28
27
15
24
28
413
522
84
161
419
101
138
28
36
144
13
17
3
5
14
Total
Rata-rata
122
24
1 599
320
89
11
Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi
Utara.
4.5.2 Jeluk hujan
Jeluk hujan menggambarkan sebaran jumlah hujan tertentu yang
terjadi setiap hari, dan berdasarkan pengukuran langsung di lapang, telah
diklasifikasi empat jeluk hujan, 0-20, 20–40, 40–60, dan >60mm
Berdasarkan perhitungan, maka sebaran jeluk hujan dominan terjadi
pada kisaran 0-20 mm yang terjadi selama 26 HH, tapi intensitas
terbanyak pada hujan >60 mm meskipun hanya 11 HH tapi total curah
hujan sebanyak 1 155 mm. Jeluk hujan terendah pada kisaran 0-20 mm
dengan total hujan sebanyak 272 mm dan berlangsung selama 26 HH.
Data hujan yang dianalisis seperti ini baik untuk informasi pertanian,
karena dapat digunakan untuk menentukan jadual tanam. Jeluk hujan 20
harian ini memberikan gambaran distribusi intensitas hujan yang terjadi
selama periode tertentu, tergantuing sumber data yang digunakan. Data
tersebut juga memberikan gambaran bahwa hujan cukup merata
sepanjang penelitian dilaksanakan. Intensitas tinggi (>60 mm) jarang
terjadi, sehingga pemeliharaan tanaman bisa dilakukan dengan baik.
Rincian jeluk hujan dan besaran komponen distribusi hujan selama dua
periode penelitian (2007 dan 2008) disajikan dalam Tabel 5.
42
Tabel 5 Jeluk hujan pada setiap hari hujan di lokasi penelitian .
Komponen Jeluk (mm hari
-1)
0-20 >20-40 >40-60 >60 Jumlah
Jumlah HH
%
Curah hujan
%
26
47
272
13
11
20
340
16
7
13
364
17
11
20
1 155
54
55
100
2 131
100
Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi
Utara.
.
4.6 Distribusi Hujan
4.6.1 Curahan tajuk
Curahan tajuk pada masing-masing umur kelapa tidak sama
besarnya, tapi umumnya mempunyai pola hubungan yang sama dengan
total curah hujan, yaitu linear positif Artinya semakin besar curah hujan
total, nilai curahan tajuk juga makin besar (Gambar 10).
Gambar 10 Hubungan antara curah hujan total dengan curahan tajuk (Tf)
pada beberapa umur tanaman kelapa di Kebun Percobaan
Kima Atas, Manado-Sulawesi Utara.
.
Persentase curahan tajuk pada kelapa umur 5, 20, dan 50 tahun
berturut-turut 72, 60, dan 60% dari rata-rata total curah hujan yang
terjadi di tiap lokasi. Posisi pelepah daun pada t ajuk kelapa umur 5
43
tahun umumnya tegak dan berbentuk sepert “sapu”,sehingga
memudahkan air hujan melewatinya dibanding pada kelapa umur 20 dan
50 tahun. Pada kelapa dewasa bentuk tajuk seperi bundar (cone), dan
karena pilotaksis daun yang unik, maka pelepah satu deng an yang
lainnnya saling silang menyilang dan membuat daun saling menutup.
4.6.2 Aliran batang
Kendala pengukuran aliran batang karena adanya tonjolon bekas
pelepah daun dan “takikan” yaitu pelukaan yang dibuat pemanjat untuk
tempat pijakan kaki saat memanjat kelapa. Aliran air hujan melalaui
batang banyak terdispersi (splashed) sehingga tidak semuanya dapat
terukur. Itulah sebabnya pengukuran aliran batang pada penelitian ini
sangat bias sebagaimana yang digambarkan melalui model linear pada
Gambar 11 dengan nilai koefisien determinasi yang rendah.
Gambar 11 Hubungan antara curah hujan total dengan aliran batang (S f)
pada beberapa umur tanaman kelapa di Kebun Percobaan
Kima Atas, Manado-Sulawesi Utara.
Berdasarkan hasil analisis maka persentase aliran batang umur 50
tahun sebesar 11% dan kelapa umur 20 tahun sebesar 3% dari rata-rata
total curah hujan yang terjadi di tiap lokasi. Hasil yang didapatkan pada
44
beberapa penelitian, khususnya pada kelapa sawit dan tanaman kelapa
juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu rata-rata kurang dari
20% (Ridwan 2009; Pelawi 2009; Japar 2000).
Model empiris hubungan antara curah hujan total dengan aliran
batang menunjukkan hubungan yang yang tidak berarti, karena koefisien
determinasi sangat rendah (Gambar 11). Selain faktor morfologi batang
kelapa, maka jarak (distance) tempuh air hujan menuju ke alat pengukur
yang jauh menyebabkan bias pengukuran tersebut . Jadi, model yang
memadai untuk menyajikan hubungan antara curah hujan total dengan
aliran batang tidak dapat diandalkan.
4.6.3 Hujan efektif
Hujan efektif atau hujan neto (Pn) adalah hujan yang dapat
mencapai lahan di bawah suatu pertanaman, dan besarnya Pn tergantung
pada nilai curahan tajuk (T f) dan aliran batang (S f). Model empiris yang
menghubungkan antara besarnya curah hujan (P) dengan hujan efektif
(Pn) menunjukkan bahwa makin besar curah hujan total, maka air yang
mencapai lahan di bawah kelapa juga akan makin banyak, dan pola ini
sama untuk semua umur kelapa yang diteliti (Gambar 12).
Gambar 12 Hubungan total curah hujan dengan hujan efektif (Pn) kelapa
umur 5, 20, dan 50 tahun di Kebun Percobaan Kima Atas,
Manado-Sulawesi Utara.
45
Hubungan curah hujan total dengan hujan efektif pada tanaman
kelapa sawit umur 8 tahun bersifat kuadratik dengan model empiris
Pn=11.244 e0.0077X
(Suharto 2007). Pola hubungan antara hujan total
dengan hujan efektif pada semua umur tanaman kelapa bersifat linear
positif dengan nilai koefisien determinasi (R2) lebih besar dari 0.80.
Artinya, besaran hujan efektif fluktuasinya cukup kuat dipengaruhi oleh
curah hujan total. Persentase hujan efektif yang diterima di pertanaman
kelapa umur 5, 20, dan 50 tahun berturut-turut adalah 71, 63, dan 71%
dari rata-ratra total curah hujan di masing-masing lokasi. Lahan di
pertamanan kelapa umur 5 tahun mendapatkan hujan efektif tertinggi di
banding umur kelapa 20 dan 50 tahun karena dimungkinkan oleh bentuk
tajuk. Hujan efektif pada sawit sebesar 47% (Suharto 2007).
Bentuk dan struktur tajuk kelapa sebenarnya tidak terlalu baik
untuk mencegah proses erosi permukaan. Anak daun kelapa bisa
berfungsi memperbesar butiran air yang jatuh ke tanah, sehingga
mempunyai energi kinetik besar saat menerpa permukaan tanah . Energi
tersebut bisa mempunyai daya dispersi atau penguraian yang besar
terhadap butiran/agregat tanah.
4.6.4 Intersepsi tajuk
Intersepsi tajuk tanaman menyatakan besaran dari kemampuan
tanaman menahan air hujan. Sebagaimana hujan efektif, maka intersepsi
tajuk juga besarannya ditentukan oleh arsitek tajuk setiap tanaman.
Intersepsi tajuk adalah selisih antara total curah hujan dengan hujan
efektif. Hubungan antara intersepsi hujan dengan curah hujan total tidak
mempunyai pola yang jelas tapi pada kelapa sawit, model empiris
hubungan curah hujan dengan intersepsi tajuk bersifat kuadratik, dengan
persamaan P int=12.122e0.0083X
(R2=0.6792) (Suharto 2007). Intersepsi
tajuk tertinggi terjadi pada kelapa umur 20 tahun (38%) dan terendah
pada kelapa 5 tahun (27%) dari rata-rata total curah hujan yang terjadi.
Nilai intersepsi tajuk termasuk unik, karena pada curah hujan
<10mm persentase intersepsi tajuk bisa mencapai >70%. Artinya, setiap
tajuk hanya efektif hanya akan mempunyai kapasitas optimum menahan
46
air pada jumlah tertentu (intensitas rendah), selebihnya fungsi tajuk tidak
lagi efektif. Intersepsi pada sawit umur 8 tahun maksimum bisa
mencapai 65% dari hujan yang terjadi. Intersepsi tajuk kelapa Dalam,
Genjah, dan Hibrida berturut-turut sebesar 12, 9, dan 31% (Japar 2000).
Pelawi (2009) mendapatkan nilai intersepsi untuk kelapa sawit umur 10,
25 dan 35 tahun berturut-turut sebesar 52, 58, dan 71% dari total hujan
yang terjadi.
Hasil penelitian, khususnya nilai intersepsi tajuk yang tidak
berpola diduga karena karakter tanaman kelapa yang mempunyai pola
batang tunggal. Dicurigai banyak hujan yang jatuh kealat penampung
tanpa melalui tajuk dan itu terjadi pada kelapa umur 5 tahun dan 50.
Analisis distribusi hujan lengkapnya disajikan pada Lampiran 8.
4.6.5 Hubungan karakter kelapa dengan distribusi hujan
Karakter fisik tanaman kelapa, baik karakter daun atau tajuk
maupun batang sangat mempengaruhi kemampuan tanaman untuk
meneruskan atau menahan air hujan yang masuk pada sistem pertanaman.
Hubungan antara karakter tajuk dengan distribusi hujan dapat ditunjukan
dengan nilai kapasitas dan porositas tajuk. Pendekatan ini biasanya
digunakan pada sistem tanaman/pohon dan telah diaplikasi pada tanaman
kelapa. Nilai karakter tersebut disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Karakter tajuk dan batang kelapa dihubungkan dengan variabel
distributribusi hujan (rata-rata hujan.hari-1
adalah 9 mm).
Umur kelapa
(tahun)
Kapasitas
tajuk(Kc)
(mm)
Porositas
tajuk (Pc)
Kapasitas
batang (Ks)
(mm)
Koefisien
input batang,
(Is)
(mm)
5
20
50
5
11
6
0.7
0.4
0.5
0.0
0.2
-0.7
0.00
0.02
0.11
Kapasitas tajuk (Kc) adalah nilai yang memberikan petunjuk
mengenai kemampuan maksimum tajuk menampung air hujan. Nilai ini
adalah fungsi dari curah hujan total dan curahan tajuk. Nilai Kc kelapa
umur 20 tahun adalah yang tertinggi dibandingkan umur kelapa lainnya.
47
Berdasarkan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa tajuk kelapa
tersebut mampu menyimpan hujan untuk setiap kejadian hujan lebih
banyak. Hal ini terjadi ditunjang oleh karakter tajuk antara lain luas
daun, jumlah daun, dan jenis kelapa, yaitu Hibrida. Hibrida persilangan
Dalam x Dalam yang terpilih pada penelitian ini memiliki daun lebih
rapat dan lebih panjang dibandingkan kelapa Dalam.
Porositas tajuk (Pc) adalah sifat dari tajuk untuk bisa ditembus
oleh air hujan. Porositas tajuk kelapa umur 5 tahun adalah yang tertinggi,
dikarenakan bentuk (shape) tajuk seperti “sapu” artinya sebagian besar
pelepah daun hampir tegak, sehingga meloloskan air lebih banyak
dibanding tajuk kelapa lainnya pada penelitian ini. Kapasitas tajuk
dengan nilai yang tinggi akan diikuti oleh sifat porositas yang rendah,
artinya tajuk yang dapat menampung hujan lebih banyak , mempunyai
sifat untuk meneruskan hujan sebagai curahan tajuk lebih sedikit, begitu
juga sebaliknya.
Nilai kapasitas batang dan koefisien input batang tidak
memberikan gambaran atau pola yang jelas, karena nilai yang diperoleh
terlalu minim. Hal ini terjadi karena data pengukuran aliran batang tidak
mempunyai nilai korelasi yang kuat dengan besarnya curah hujan.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa bentuk batang kelapa yang
lebih panjang dengan permukaan yang kasar menjadi salah satu
penyebabnya. Data analisis distribusi hujan selengkapnya disajikan pada
Lampiran 8.
4.7 Parameter Tanaman Sela
4.7.1 Pertumbuhan dan produksi jagung
Tanaman jagung yang digunakan pada dasarnya hanya sebagai
tanaman indikator, untuk melihat seberapa besar perbedaan radiasi
matahari, perbedaan profil suhu dan kelembaban serta distribusi hujan
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman sela di antara kelapa.
Hasil pengamatan memperlihatkan perbedaan rata-rata tinggi tanaman
dan jumlah daun tanaman jagung pada empat lokasi penanaman.
48
Analisis statistik menunjukkan nilai variabel vegetatif tidak
berbeda nyata, tapi jumlah daun dan tinggi tanaman jagung tertinggi
didapatkan pada jagung yang ditanam pada lahan terbuka. Itulah
sebabnya, jika dihubungkan dengan fungsi daun untuk mengintersep dan
tempat terjadinya proses fotosint esa, maka logis jika produksi jagung
tertinggi diperoleh pada lahan terbuka. Hasil analisis disajikan dalam
Tabel 7 dan analisis ragam di Lampiran 9.
Tabel 7 Parameter vegetatif jagung di pertanaman kelapa dan di lahan
terbuka.
Lokasi
Jumlah daun Tinggi
(cm)
Kelapa 5 tahun
Kelapa 20 tahun
Kelapa 50 tahun
Lahan terbuka
8.9b
8.5a
9.8b
10.1b
221.6a
155.3b
187.7b
252.9a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf
uji 5%(uji F)
Komponen vegetatif pada jagung yang ditanam pada pertanaman
kelapa 20 tahun, terutama tinggi tanaman lebih rendah dibanding lokasi
lainnya, gejala etiolasi (pemanjangan) tidak terjadi karena pertumbuhan
jagung sangat tidak baik. Jumlah daun tidak berbeda, karena dianggap
sifat genetis jagung sampai pada taraf naungan seperti ini tidak
menyebabkan gangguan genetis yang parah, sehingga laju pembentukan
daun tetap sama meskipun dengan karakter morfologi yang berbeda.
Perbedaan radiasi matahari yang diterima akan berpengaruh pada
keseluruhan proses metabolisme, sehingga terjadi perbedaan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara keseluruhan.
Pertumbuhan yang terganggu menyebabkan produksi tanaman
tidak mencapai angka potensial. Squire (1990) mengemukakan bahwa
produksi bahan kering tanaman berbanding lurus dengan besarnya
intersepsi radiasi matahari oleh tanaman. Tanaman jagung yang
tergolong kelompok C4 merupakan contoh tanaman yang memerlukan
energi radiasi yang besar. Hal itu terbukti pada jagung yang di
49
pertanaman kelapa umur 20 tahun, karena transmisi radiasi hanya 22 %.
Akibatnya pertumbuhan tanaman tidak sebaik jagung di pertanaman
kelapa umur 5 dan 50 tahun atau di lahan terbuka.
Rukmana (1997) mengemukakan bahwa jagung yang mendapat
naungan berat akan terhambat pertumbuhannya, batang menjadi kurus
dan tongkolnya ringan bahkan tidak terbentuk buah sehingga
produksinya cenderung menurun. Hasil penelitian Musa (2007)
mendapatkan nilai parameter vegetatif lebih baik pada jagung di
lahan terbuka dan di tanaman kelapa berumur lebih dari 15 tahun
dibandingkan dengan nilai pada pertanaman kelapa berumur kurang dari
15 tahun.
Jika dinamika suhu dihubungkan dengan produksi bahan kering,
maka secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan suhu 100C
produksi bahan kering akan meningkat sebesar dua kali (Q 10), dengan
catatan tanaman tumbuh dalam kisaran suhu optimum (Chang 1974).
Suhu udara sangat menentukan pembentukan jaringan baru melalui
pengaruhnya terhadap pembelahan dan pemanjangan jaringan meristem.
Suhu berperanan pada metabolisme tanaman ditunjukkan dengan
pengaruhnya yang besar terhadap proses respirasi (Baharsyah 1982).
Pada penelitian ini, rata-rata suhu udara pada berbagai umur tanaman
kelapa tidak berbeda dan tidak juga melampaui kebutuhan dasar suhu
tanaman jagung, sehingga unsur iklim mikro ini bukan penyebab utama
perbedaan produksi bahan kering, tapi lebih dominan karena perbedaan
penerimaan radiasi matahari.
Pada tanaman semusim, produksi adalah indikator baik tidaknya
masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman selama fase vegetatif.
Produksi tanaman jagung yang diperoleh pada penelitian ini
membuktikan hal tersebut. Tanaman jagung dengan parameter vegetatif
yang tidak baik pada pertanaman kelapa umur 20 tahun menghasilkan
jagung lebih rendah dibandingkan dengan yang ditanam pada pertanaman
kelapa 5, 50 tahun, dan lahan terbuka.
50
Secara umum, produksi jagung yang ditanam di bawah kelapa
lebih rendah dibanding dengan produksi jagung pada lahan terbuka
(perlakuan kontrol). Produksi jagung di lahan terbuka 5.4 t.ha-1
di
pertanaman kelapa umur 5, 20, dan 50 tahun berturut-turut 3.2, 1.9, dan
3.9 t.ha-1
.
Rochette et al. (1996) mendapatkan bahwa efisiensi penggunaan
radiasi matahari oleh tanaman pada saat berawan bisa berkurang 66%
dibanding saat cuaca cerah. Selanjutnya Braconnier (1998) dengan
membuat empat level naungan buatan dengan tingkat transmisi sebesar
31, 41, 72, dan 100% (x) mendapatkan hubungan linear positif antara
besarnya tingkat naungan buatan dengan produksi pipilan kering (Y) yang
digambarkan dengan persamaan empiris Y=0.0837x + 0.2921
(R2=0.99).Berdasarkan model tersebut bisa disimpulkan bahwa produksi
jagung akan bertambah sejalan dengan meningkatnya penerimaan radiasi
radiasi atau akan makin rendah dengan semakin meningkatnya tingkat
naungan.
Pada penelitian ini telah dibuat model empiris yang
menghubungkan besarnya transmisi radiasi matahari (R t) dengan
produksi tanaman sela. Asumsi yang dibuat untuk membangun model
empiris adalah (1) air dan hara tersedia selama masa pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, (2) suhu dan kelembaban antar blok kelapa
tidak berbeda ekstrim (sesuai hasil penelitian), (3) gangguan hama dan
penyakit minimal, dan (4) pengelolaan dan pemeliharaan dilakukan
sesuai standar untuk tiap jenis tanaman sela. Asumsi-asumsi tersebut
yang digunakan sebagai unsur pendukung model empiris yang diperolah.
Adapun model empiris untuk jagung yaitu Y(jgg) =2.28ln(R t)-5.42,
[R2=0.99], analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 10. Jika
dihubungkan dengan variabel iklim mikro lainnya seperti suhu, maka
kebutuhan suhu optimal untuk masa pertumbuhan tanaman jagung antara
27-300C (Irfan 1999 diacu dalam Musa 2007). Rataan suhu harian antar
lokasi tidak berfluktuasi secara ekstrim dan masih memenuhi kebutuhan
optimum bagi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung.
51
Dengan demikian, dapat dianggap bahwa bervariasinya pertumbuhan dan
produksi jagung pada percobaan ini lebih ditentukan oleh keragaman
penerimaan radiasi matahari karena perbedaan umur tanaman dan sistem
tanam kelapa.
4.7.2 Pertumbuhan dan produksi padi
Tanaman indikator kedua yang dicobakan pada penelitian ini
adalah padi gogo varietas Limboto yang dipesan langsung dari Balai
Penelitian Padi (Balit Padi) Badan Litbang Pertanian-Sukamandi, Jawa
Barat. Meskipun padi jenis ini dilaporkan resisten terhadap naungan,
namun indikator vegetatif dan produksinya memberikan gambaran bahwa
perbedaan penerimaan radiasi matahari yang ditransmisikan akibat
perbedaan umur tanaman tetap menyebabkan perbedaan nyata pada
parameter yang diamati. Hasil pengamatan karakter vegetatif dan
produksi tanaman padi yang ditanam pada tiga umur kelapa dan lahan
terbuka disajikan dalam Tabel 8 dan analisis di Lampiran 9.
Tabel 8 Parameter vegetatif dan produksi padi di pertanaman kelapa dan
lahan terbuka.
Lokasi Tinggi padi
(cm)
Anakan padi
Per rumpun
Produksi
(t.ha-1
)
Kelapa 5 thn
Kelapa 20 thn
Kelapa 50 thn
Lahan terbuka
80.9a
87.8b
81.2a
79.8a
8.4a
7.5a
10.5b
11.3b
2.9a
1.4b
3.5c
4.7d
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji F)
Tanaman padi gogo yang paling tinggi ditemukan pada
pertanaman kelapa umur 20 tahun, hal ini terjadi karena adanya proses
etiolasi. Jumlah radiasi matahari yang mencapai tanaman padi hanya
22% dari total yang diterima di lahan terbuka atau di atas tajuk kelapa
sehingga tidak cukup juga bagi pembentukan jumlah anakan yang rata -
rata hanya 7 per rumpun. Akibatnya, produksi padi Gabah Kering Giling
(GKG) di lokasi ini paling rendah dibanding padi gogo yang ditanam di
pertanaman kelapa umur 5, 50, dan lahan terbuka.
52
Potensi produksi padi ini tidak tercapai pada penelitian ini, tapi
dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa penanaman padi gogo
dipertanaman kelapa dengan tingkat transmisi radiasi hanya 38% (kelapa
umur 5 tahun) atau 49% (umur 50 tahun) masih memungkinkan untuk
dilakukan. Hubungan antara besarnya transmisi radiasi matahari (Rt)
dengan produksi padi gogo (Ypadi) dimodelkan dengan Y(padi) =2.17ln(R t)-
4.85 [R2=0.98] (selengkapnya di Lampiran 10).
4.7.3 Pertumbuhan dan produksi kacang tanah
Kacang tanah memberikan respon yang tidak terpola terhadap
perbedaan transmisi radiasi matahari dibanding tanaman jagung dan
kacang tanah. Berdasarkan analisis ragam, produksi bahan kering antar
lokasi berbeda nyata, dan produksi terbesar diperoleh pada lahan terbuka
dan terendah pada kelapa berumur 20 tahun. Produksi polong total dan
polong berisi terbanyak juga diperoleh dari lahan terbuka dan terendah di
kelapa umur 20 tahun. Informasi selengkapnya disajikan dalam Tabel 9
(analisis di Lampiran 9).
Tabel 9 Parameter vegetatif dan produksi kacang tanah di pertanaman
kelapa dan lahan terbuka.
Lokasi
Berat kering
(g.tan-1
)
Total polong
(polong.tan-1
)
Polong berisi
(polong.tan-1
)
Kelapa 5 thn
Kelapa 20 thn
Kelapa 50 thn
Lahan terbuka
26.5a
25.6a
28.5b
30.0c
9.4a
9.1b
9.5c
9.6c
6.4a
6.0b
6.4a
6.5a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf
uji 5% (uji F)
Produksi kacang tanah sangat dipengaruhi oleh selain kondisi
tanah dan pemeliharaan, juga ketersediaan faktor lingkungan fisik
lainnya seperti air, radiasi matahari, suhu. Melalui indikator curah hujan,
maka jumlah yang optimal untuk kacang tanah antara 800-1 300 mm per
tahun, kondisi ini terpenuhi selama masa tanam. Hasil pengamatan suhu
dan kelembaban udara di lokasi penelitian menunjukkan angka yang
tidak menjadi penghalang tanaman bertumbuh dan berproduksi dengan
53
baik. Jadi adanya perbedaan produksi kemungkinan besar lebih
diakibatkan oleh level radiasi yang tidak sesuai, karena kacang tanah
umumnya memerlukan cahaya penuh (Anonim 2010).
Produksi kacang tanah tertinggi diperoleh di lahan terbuka yaitu
1.9 t.ha-1
. Produksi kacang tanah yang ditanam di bawah kelapa
umumnya lebih rendah dibanding lahan terbuka (kontrol). Rata-rata
produksi kacang tanah pada pertanaman kelapa umur 5, 20 dan 50 tahun
berturut-turut 1.6, 0.9, dan 1.6 t.ha-1
. Rataan Potensi produksi kacang
tanah varietas Kelinci menurut deskripsi yang dikeluarkan Pusat
Penelitian Tanaman Pangan adalah 1-2 ton.ha-1
[Puslibangtan 2012).
Persentase produksi yang ditanam di bawah kelapa dibanding potensi
produksi kacang tanah berkisar antara 59.33-88.30%, sedangkan pada
lahan terbuka presentase produksi 94% dari potensi produksi tertinggi.
Konversi rata-rata produksi kacang tanah dalam penelitian ini
tidak mencapai potensi produksi yang lebih dari 2 t.ha-1
. Apalagi pada
tanaman kelapa yang berumur 20 tahun produk kacang tanah sangat
kurang dibanding lokasi lainnya. Tanpa menyebutkan berapa persentasi
tingkat naungan Suparman & Abdurahman (2003) mendapatkan bahwa
produksi 14 galur kacang tanah di pertanaman kelapa rata 1.4 t.ha-1
dan
di lahan terbuka 2.7 t.ha-1
. Hal ini menunjukkan bahwa memang kacang
tanah lebih sesuai diusahakan di lahan terbuka, namun dengan tingkat
naungan yang rendah kacang tanah masih dapat berproduksi dengan baik,
sebagaimana diperlihatkan hasil kacang tanah pada pertanaman kelapa
umur lebih dari 5 dan 50 tahun.
Hubungan antara transmisi radiasi matahari (R t) dengan
keragaman produksi kacang tanah (Ykcg) telah digunakan untuk membuat
model empiris produksi kacang tanah. Model empiris mempunyai pola
logaritmik dengan persamaan matematik Ykcg=0.63ln(R t)-2.01, [R2=0.84]
(Lampiran 10).
4.8. Produktivitas Lahan
Indikator Parameter produktivitas lahan adalah indeks land
equiavalent ratio (LER). Indeks ini merupakan indikator adanya
54
perubahan tingkat produktivitas lahan setelah diusahakan, baik dengan
sistem tanam monokultur maupun polikultur. LER pada penelitian ini
dihitung dengan basis usaha tani kelapa polikultur. Nilai LER polikultur
kelapa+jagung pada umur kelapa 20 dan 50 tahun berturut-turut sebesar
1.9 dan 1.75, kelapa+padi bernilai 1.8 dan 1.9, dan kelapa+kacang
tanah adalah 1.9 dan 1.8. Semua kombinasi usaha tani kelapa polikultur
meningkatkan produktivitas lahan sebesar 75-99%. Hasil penelitian
Koesmaryono & Sabaruddin (2005) mendapatkan LER pada kombinasi
tanaman jagung dan kacang tanah pada musim hujan dan kemarau
sebesar 1.63 dan 1.62. Artinya sistim tanam antar tanaman pangan juga
dapat meningkatkan produktivitas lahan >60%.
Kesimpulan umumnya, bahwa pemanfaatan lahan di antara kelapa
atau sistem tanam polikultur dapat meningkatkan produktivitas lahan.
Artinya, petani akan mendapatkan nilai tambah dengan sistem tanam
polikultur. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat
sekaligus efisiensi penggunaan lahan juga makin bertambah (Analisis
lengkap di Lampiran 11)
4.9 Analisis Usaha Tani
Produksi jagung, padi, dan kacang tanah pada penelitian ini
umumnya tidak mencapai produksi potensial, apalagi yang diusahakan di
bawah pertanaman kelapa. Penghitungan nilai manfaat model usaha tani
polikultur dilakukan dengan memasukkan pendapatan antara produk
kelapa dengan tanaman sela. Produk kelapa dalam analisis usaha tani
dibagi menjadi dua macam produk, yaitu kopra dan kelapa segar
(butiran). Di beberapa sentra pabrik tepung kelapa atau pabrik minyak ,
produk kelapa butiran lebih banyak digunakan dibanding kopra.
Hasil analisis BC ratio pada usaha tani kelapa monokultur
menunjukkan bahwa pada kelapa umur 20 dan 50 tahun sebaiknya produk
kelapa diarahkan pada kelapa segar (BC ratio 4.1 dan 3.1), karena produk
kopra merugikan dengan (BC ratio 0.4 dan 0.12). Kelapa umur 5 tahun
belum dilakukan analisis karena kelapa belum berproduksi. Jika semua
produk kelapa butiran dikombinasikan dengan produk tanaman sela,
55
maka nilai BC ratio berkisar antara 1.3-3.6. BC ratio tertinggi ada pada
kombinasi kelapa-50+jagung (3.6) dan terendah pada kombinasi kelapa-
20+padi (1.3). Jika petani mengandalkan produk kopra, maka hanya
kombinasi kelapa (umur 20 dan 50 tahun) dengan kacang tanah yang nilai
BC rationya antara 2.4-3.6, kombinasi kelapa-50+jagung dan kombinasi-
50+padi bernilai 1.9 dan 1.5, dan kombinasi yang sama pada kelapa
umur 20 tahun bernilai 0.7 dan 0.1.
Pengusahaan padi dan jagung yang tidak ekonomis pada
pertanaman kelapa umur 20 tahun, selain disumbang oleh produktivitas
tanaman sela yang rendah juga diperparah dengan besarnya biaya
produksi (kopra). Jika tanaman jagung, padi, dan kacang tanah
merupakan usaha tani monokultur seperti di lahan terbuka, maka Nilai
BC ratio yang diperoleh adalah 2.5-4.2.
Nilai BC ratio >1 menunjukkan bahwa usaha tani tersebut layak
secara ekonomi untuk dilakukan. Berdasarkan kajian yang dilakukan
dapat dikatakan bahwa nilai kelayakan usaha tani dipengaruhi oleh
kuantitas dan harga produk yang dihasilkan. Produk kopra dengan
rendemen hasil yang kecil terhadap berat buah dibandingkan dengan
produk butiran juga berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani.
Biaya memproduksi kopra dan waktu yang diperlukan untuk proses kopra
juga berkontribusi terhadap menurunnya pendapatan atau keuntungan
petani. Jadi, Keuntungan yang diperoleh dari usaha tani kelapa
polikultur akibat kontribusi silang dari kedua komoditi yang ada (hasil
analisis di Lampiran 12-15).