86
1 JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004 LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI) 2004

JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

1

JAJAK PENDAPAT DAN

PEMILU DI INDONESIA

Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal

Hasil Pemilu 1999 dan 2004

LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI)

2004

Page 2: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

2

JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA :

Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal

Hasil Pemilu 1999 dan 2004

Daftar Isi

Halaman

Pendahuluan

I Memprediksi Hasil Pemilu

II Pengalaman Gallup Poll dan Social Weather Stations

III Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 1999

IV Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 2004

V Kesulitan dan Tantangan Jajak Pendapat di Indonesia

VI Exit Poll dan Quick count

VII Jajak Pendapat Non Ilmiah

VIII Penutup

Daftar Pustaka

Page 3: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

3

PENDAHULUAN

Pemilihan umum bukan hanya hari penentuan bagi partai politik tetapi juga bagi

lembaga jajak pendapat. Kami di Lembaga Survei Indonesia (LSI) kerap berkelakar,

Pemilu akan menjadi ajang apakah LSI akan lolos electoral treshold ataukah tidak.

Istilah ini kami pakai sekedar kelakar apakah ramalan jajak pendapat LSI mendekati

atau tidak dengan hasil aktual Pemilu 5 April lalu. Jika ramalan LSI gagal atau tidak

sesuai dengan kenyataan aktual Pemilu, tentu kredibilitas kami sebagai lembaga

jajak pendapat akan berkurang.

LSI sendiri melakukan jajak pendapat (survei) nasional tiap tiga bulan sekali untuk

merekam opini publik yang berkembang saat itu.Menghadapi Pemilu, selain survei

bulan Agustus dan November 2003, kami membuat survei nasional di bulan Maret

2004. Data lapangan dikumpulkan dari tanggal 8-20 Maret 2004. Tentu ada alasan

pokok kenapa kami melakukan wawancara lapangan mendekati hari Pemilu. Kami

ingin merekam pendapat publik sampai masa akhir menjelang hari pencoblosan.

Kami juga ingin mengetahui efek kampanye di kalangan pemilih. Wawancara

lapangan itu, dengan bantuan dan dedikasi pewawancara lapangan sebanyak 350

orang, bisa diselesaikan tepat waktu. Sekarang tinggal publikasi hasil jajak

pendapat itu.

Ketika memutuskan mempublikasikan hasil survei, kami diliputi perasaan was-was.

Sejumlah kolega menyarankan agar hasil survei itu disimpan dulu di laci meja,

menunggu hari Pemilihan. Publikasi hasil jajak pendapat menjelang hari pemilihan

rawan terhadap tuduhan mempengaruhi pemilih.1 Hasil jajak pendapat itu baru

dikeluarkan setelah pencobloan dan dipakai sekedar menjelaskan preferensi pemilih.

Sejumlah orang juga menyarakan agar menunda publikasi hasil, tetapi dengan

alasan menjada kredibilitas LSI. Sebagai lembaga yang baru berdiri ( pertengahan

tahun 2003), LSI sebaiknya tidak ikut meramalkan atau memprediksi hasil Pemilu.

Sebab jika gagal, orang tidak akan mempercayai lagi hasil jajak pendapat LSI.

1 Efek ini kerap disebut sebagai bandwagon effect. Secara sederhana efek ini dapat digambarkan sebagai berikut. Hasil jajak pendapat dapat mempengaruhi pilihan pemilih, karena orang cenderung mengikuti penapat mayoritas. Jika partai A disebut oleh lembaga jajak pendapat memenangkan Pemilu, pemilih akan cenderung memilih partai A. Ini karena hasil jajak pendapat akan mengesankan pertama kalai kalau partai A populer, dan popularitas partai itu akan mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihan pada partai populer----ini terutama terjadi pada pemilih yang sampai menjelang hari pemilihan masih bimbang akan memilih partai mana.

Page 4: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

4

Profesi pollster sendiri kerap disamakan dengan dokter. Kredibilitas seorang dokter

diukur dari apakah dokter bisa mendiagnosa dengan tepat penyakit seorang pasien.

Diagnosa yang baik akan menentukan obat dan jenis tindakan yang akan dilakukan

untuk penyembuhan. Pollster, lewat riset dan metode yang dipakai juga berusaha

untuk mendiagnosa ( merumuskan) pendapat masyarakat. Kredibilitas pollster dan

lembaga jajak pendapat akhirnya dikur dari apakah hasilnya sama taau tidak dengan

hasil Pemilu. Berbeda dengan survei pemasaran, survei politik bisa dengan mudah

hasilnya dikonfirmasi dengan hasil aktual Pemilu. Jika dalam jajak pendapat partai A

memenangkan Pemilu, publik dengan mudah akan menilai apakah hasil aktual

Pemilu juga menghasilan partai A sebagai pemenang.

Rasa was-was itu juga dipicu oleh perkembangan politik yang dinamis dan sukar

diprediksikan menjelang hari pencoblosan 5 April. Survei yang kami lakukan pada

bulan Agustus dan November 2003 secara konsisten menempatkan Golkar sebagai

pemenang Pemilu menggeser PDI Perjuangan. Survei sejenis sampai akhir tahun

2003 ( seperti yang dilakukan oleh CESDA-LP3ES, IRI, IFES, Balitbang PDIP) juga

menempatkan Golkar sebagai pemenang dengan angka cukup signifikan

meninggalkan PDIP. Tetapi menjelang kampanye bulan Maret 2004, partai Golkar

yang semula muncul dengan ide inovatif berupa konvensi, tampil kurang menggigit.

Sebaliknya, PDIP memanfaatkan kampanye Pemilu untuk memperbaiki citra dengan

konsolidasi besar-besar dan penayangan iklan yang masih di media massa.

Menjelang kampanye, politik Indonesia juga ditandai dengan kemunculan Partai

Demokrat, partai yang semula kurang diperhitungkan. Setelah pendiri Partai

Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono keluar dari kabinet, popularitas partai ini

tampak naik yang ditandai dengan kampanye Partai Demokrat yang selalu dihadiri

banyak simpatisan. Peristiwa politik yang dinamis itu membuat prediksi pemenang

Pemilu makin sulit dilakukan dibandingkan dnegan masa sebelum kampanye.

Kami akhirnya memutuskan mempublikasikan hasil jajak pendapat itu lewat sebuah

konferensi pers tanggal 2 April di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta.2 Publikasi itu tentu

bukan dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilih. Kami memilih tanggal itu sebagai

bentuk pertanggungjawaban akademis kepada publik. Konferensi pers itu dimuat

oleh sejumlah suratkabar keesokan harinya, dan menjadi bahan laporan utama

2 Lihat materi konferensi pers 2 April 2004, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004.

Page 5: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

5

sebuah majalah berita. Lewat publikasi yang dekat dengan hari pencoblosan 5 April

itu, orang akan dengan mudah membandingkan hasil survei LSI itu dengan hasil

aktual Pemilu. Orang bisa menilai secara terbuka apakah ramalan LSI mendekati

atau tidak dengan kenyataan aktual Pemilu. Tentu ada perbedaan mendasar antara

ramalan yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat dengan ramalan seorang

paranormal. Ramalan dari paranormal bersumber dari intuisi dan perasaan,

sementara lembaga jajak pendapat mendasarkan ramalannya pada riset dan data

lapangan.

Sama seperti politisi yang menunggu dengan perasaan berdebar apakah namanya

lolos atau tidak sebagai anggota DPR, kami juga menunggu hasil Pemilu itu dengan

perasaan berdebar. Hasil Pemilu yang diumumkan 5 Mei menunjukkan ramalan LSI

tepat. Ketepatan itu bukan hanya pada pemenang Pemilu dan komposisi pemenang

tetapijug prediksi perolehan suara yang tidak jauh berbeda dengan angka aktual

yang bisa dicapai partai politik. Ini bukan hanya keberhasilan LSI. Ini adalah

keberhasilan lembaga jajak pendapat di Indonesia.

Buku ini mendokumentasikan kinerja lembaga jajak pendapat dalam meramal hasil

Pemilu. Argumen yang diusung oleh buku ini, jika jajak pendapat dilakukan dengan

metode yang benar maka hasilnya bisa dengan tepat bisa memprediksi pemenang

Pemilu. Jajak pendapat di Indonesia bisa mengikuti jejak lembaga jajak pendapat di

negara-negara Barat yang telah menempati posisi penting karena terbukti tepat

dalam merekam opini publik. Buku ini disusun tentu saja tidak dimaksudkan sebagai

media gagah-gagahan. Buku ini hanya memberi ilustrasi dan gambaran bahwa jajak

pendapat bisa menjadi alat ukur yang terpercaya.

Jajak pendapat harus diakui masih barang baru di Indonesia. Tidak semua orang

percaya dengan jajak pendapat. Argumen yang sering dilontarkan mereka yang tidak

percaya dengan jajak pendapat adalah, metode ini hanya cocok di negara Barat dan

mustahil diterapkan di Indonesia. 3 Sejumlah orang bahkan acapkali melontarkan

penilaian miring terhadap lembaga jajak pendapat, seperti lembaga jajakpendapat

dibayar oleh partai A dengan sengaja untuk mendongkrak suara partai itu. Lembaga

jajak pendapat, kami tentu saja tidak bisa menghalangi penilaian seperti itu.

3 Politisi juga tidak mendasarkan kegiatan dan kebijakan berdasarkan hasil jajak pendapat. Dukungan terhadap partai atau tokoh politik tertentu misalnya masih dilihat dari cara yang tradisional, seperti berapa banyak pawai atau kampanye terbuka dihadiri oleh simpatisan.

Page 6: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

6

Lembaga jajak pendapat justru harus membuktikan dirinya kepada publik, bahwa

hasil riset yang dilakukan bisa dengan tepat merekam opini publik. Buku ini hadir

diantaranya sebagai bukti bahwa jika dilakukan dengan benar, jajak pendapat bisa

dengan tepat merekam pendapat masyarakat. Buku ini pertama kali akan

menguaraikan pengalaman jajak pendapat dan Pemilu di negara lain, dalam hal ini

Amerika dan Filipina. Bagaimana di dua negara itu jajak pendapat telah menjadi alat

yang terpercaya untuk merekam pilihan masyarakat saat Pemilu. Dilanjutkan dengan

tinjauan jajak pendapat Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

Page 7: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

7

I.MEMPREDIKSI HASIL PEMILU

Pemilu adalah pertaruhan bagi lembaga jajak pendapat. Lewat Pemilu, publik bisa

menilai apakah ramalan lembaga jajak pendapat benar atau tidak. Pertanyaan

penting untuk diajukan adalah, apakah jajak pendapat perolehan suara Pemilu di

Indonesia bisa diandalkan? Apakah hasil jajak pendapat itu bisa memprediksikan

dengan tepat hasil Pemilu yang sesungguhnya?

JAJAK PENDAPAT PEMILU MASA ORDE BARU

Jajak pendapat terutama mengenai Pemilu adalah barang baru. Selama puluhan

tahun masa Orde Baru kegiatan ini bisa dikatakan mati. Memang ada beberapa

lembaga jajak pendapat yang mengadakan survei tentang berbagai hal. Tetapi tidak

ada yang berbicara tentang Pemilu. Sekurang-kurangnya ada dua alasan kenapa

kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu tidak berkembang semasa Orde Baru.

Pertama, kegiatan mengukur opini publik terutama yang berhubungan dengan

masalah politik masih tabu dilakukan, kalau tidak seseorang bisa dituduh

menggulingkan pemerintahan atau subversif. Pengalaman SUBURI. Jajak pendapat

mengenai politik adalah barang baru di Indonesia. Usaha untuk mengetahui

poendapat umum yang berkembang akan selalu dihalang-halangi.

Titik balik dari kemunduran jajak pendapat politik adalah peristiwa survei PT SUBURI

di tahun 1972. 4Lembaga survei ini didirikan tahun 1967. Sejarahnya, saat itu Sjarif

Thajib, Duta Besar Indonesia di Amerika, menyatakan perlunya lembaga riset di

Indonesia. Thajib tampaknya terpesona dengan suburnya lembaga penjaringan opini

publik ini di Amerika. Kesempatan itu datang ketika Asia Research Organization yang

berpusat di Manila menawarkan diri masuk dan menjalankan bisnis riset di

Indonesia. Masuknya SUBURI ke Indonesia juga dibantu oleh Panitia Penanaman

Modal Asing ( saat itu diketuai oleh Prof Sadli dari Universitas Indonesia ) yang

merasa di Indonesia perlu adanya biro riset. Meski baru berdiri, SUBURI mendapat

banyak proyek penelitian terutama dari lembaga dan departemen pemerintah serta

kedutaan asing. 5SUBURI misalnya mendapat kontrak penelitian dengan pemerintah

4 Tinjauan menarik mengenai kasus survei SUBURI dan survei lain sepanjang Orde Baru, lihat Daniel Dhakidae,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada seminar Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993 5 Mengenai sejarah PT SUBURI, lihat Tempo 17 Juni 1972

Page 8: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

8

Jakarta tentang perbaikan kampung dan departemen penerangan mengenai TVRI.

Lembaga riset ini juga pernah membuat penelitian mengenai pendidikan dan

keluarga berencana dari pemerintah. Dinas Penerangan AS (USIS) telahd ua kali

memakai jasa PT SUBURI. Yang pertama soal pendapat pendengar radio Suara

Amerika dan kedua soal bacaan berbahasa Inggris yang dikeluarkan oleh USIS. 6

Lembaga ini mati untuk selamanya, setelah membuat survei mengenai politik di

tahun 1972. Survei politik sebenarnya bukan hal baru bari SUBURI. Sebelumnya, di

tahun 1969 lembaga ini pernah membuat Pre Election Survey (PES) dengan dana

dari BAKIN. Survei tahun 1972 yang menghebohkan itu ingin mengukur pendapat

masyarakat mengenai persoalan ekonomi dan sosial. Survei dilakukan di Jawa

Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta. Ada 53 buah pertanyaan yang

diajukan, tetapi yang akhirnya menyulut kontroversi adalah pertanyaan nomor 38.

Pertanyaan itu berbunyi: “ Sekarang kami mohon sudilah Bapak memberi penilaian

pada beberap orang yang terhormat sebagai berikut tentang sifat-sifatnya dalam

menjalnkan kepemimpinan mereka, menilai pejabat tinggi tersebut dari 1 sampai 10.

Dengan catatan 1 terendah dan 10 tertinggi”. Nama-nama itu adalah 1. Gubernur

Jawa Bart Solihin, 2. Menteri Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono, 3. Presiden

Soeharto, 4. Jenderal Nasuition, 5. Gubernur Jakarta Ali Sadikin, 6. Menteri Luar

Negeri Adam Malik, 7. Direktur Utam Pertamina Ibnu Sutowo, 8. Menteri

Perdagangan Soemitro. Menurut pengakuan pengelola SUBURI, Soeharto

dicantumkan dalam urutan tiga karena dalam metodologi penelitian pertanyaan

harus oibyektif dan tidak memberi sugesti kepada responden. Karena itu tokoh yang

dianggap penting selalu ditempatkan pada tempat yang tidak mencolok. 7

Pertanyaan SUBURI itu tidak ada yang aneh dan tidak ada yang salah secara

metodologi. Tetapi ketika dinilai secara politik, pertanyaan itu dicurigai macam-

macam. Survei itu pertamakali dipersoalkan ketika tenaga peneliti lapangan yang

mewawancari penduduk di Semarang. Satuan Tugas Intelejen Kodam VII

menangkap tenaga pewawancara lapangan. Kodam VII di Semarang mencurigai

kegiatan survei itu sebagai spionase. 8 Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud

6 Tempo, 1 Juli 1972 7 Tempo, 1 Juli 1972 8 Pejabat militer di Kodam VII mengatakan ada tiga macam bentuk kegiatan intelejen: intelejen perang, intelejen teknis dan intelejen strategis. Apa yang dilakukan oleh PT SUBURI oleh Kodam VII dikategorikan sebagai bentuk intelejen strategis. Kodam VII menuduh PT

Page 9: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

9

menuduh SUBRI melakukan tindakan subversi yang bisa mengganggu ketertiban dan

kemanan masyarakat. 9 Tidak begitu jelas, siapa yang membiayai penelitian ini.

Majalah Tempo yang mewawancari sejumlah sumber menegarai partai Golkar yang

menyewa PT SUBURI untuk melakukan penelitian tersebut. Karena riset ini, lembaga

ini ditutup dan dicabut ijinnya. Direkturnya, John M. Digregorio diminta angkat kaki

dari Indonesia. 10 Peristiwa survei SUBURI ini bukan hanya menutup perusahaan

riset tertua ini, tetapi juga menjadi sinyal matinya survei opini publik di Indonesia.

Penelitian mengenai masalah sosial dan politik menjadi sulit untuk dilakukan.

Kalaupun dilakukan, tidak menyentuh soal partai, Pemilu atau presiden kalau tidak

ingin dicap melakukan kegiatan subversi. Ijin melakukan survei juga diperketat.

Setelah kasus SUBURI, dan berlaku hingga masa Orde Baru, setiap penelitian harus

seizin Gubernur dan Laksus Kopkamtibda. Sebelum ijin keluar, Laksus Kopkamtibda

akan meneliti terlebih dahulu kegiatan penelitian dan instrumen yang dipakai. 11

Pasca jajak pendapat SUBURI, sangat sedikit survei atau jajak pendapat mengenai

politik di Indonesia. Sebagaian besar penelitian itu dilakukan untuk keperluan studi

di perguruan tinggi. Selain karena birokrasi penelitian, minimnya pengukuran opini

publik mengenai politik ini diperparah oleh sikap pemerintah dan pejabat yang tidak

senang kalau hasil kinerjanya dinilai. Apalagi kalau penelitian itu hasilnya buruk bagi

pemerintah. Kegiatan penelitian karena itu tidak dianggap sebagai cermin untuk

mengetahui kelemahan dan antisipasi langkah masa depan. Penelitian sebaliknya

acap dipandang menyebarluaskan keburukan kepada masyarakat. Selain survei

mengenai Pemilu, survei soal korupsi atau kemiskinan misalnya bisa dengan mudah

dituduh oleh pejabat pemerintah menyebarluaskan kebohongan kepada

masyarakat.12 Karena berbagai kendala itu, tidak mengherankan jikalau riset yang

SUBURI menjual hasil survei kepada negara blok Barat atau blok Timur. Tujuannya adalah memata-matai Indonesia. Lihat Tempo, 17 Juni 1972 9 Tempo, 1 Juli 1972; Tempo, 24 Juni 1972 10 Tempo, 30 September 1972; Tempo, 14 Oktober 1972 11 Tempo, 8 Juli 1972 12 Peristiwa unik mengenai ini adalah penelitian mengenai peta kemiskinan yang dibuat oleh Bappenas tahun 1993. Peta itu mengkategorikan 1.236 kecamatan di Indonesia ( atau 34 persen) sebagai miskin atau sangat miskin. Peta itu dibuat dari data di tingkat desa. Ukuran yang dipakai ada tujuh indikator, yang salah satunya adalah tingkat pendapatan desa per kapita. Data itu diambil dan dikalkulasikan Kantor Bangdes di kabupaten, terus dinaikkan ke tingkat provinsi. Peta itu menjadi ramai dan digugat bukan karena hasilnya, tetapi karenanya datanya dianggap memalukukan oleh sejumlah kepala daerah. Sejumlah gubernur dan bupati protes karena peta itu membuat malu daerah, dan merak ramai-ramai menolakj peta yang dibuat oleh Bappenas. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana penelitian dengan indikator dan ukuran tertentu dinilai bukan dari kadar penelitiannya, tetapi dari aspek di luar penelitian itu

Page 10: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

10

banyak berkembang semasa Orde Baru adalah survei non politik, seperti survei

pemasaran yang tumbuh sejak tahun 1970-an.

Alasan kedua kenapa jajak pendapat mengenai politik ( lebih spesifik Pemilu) lama

absen dikarenakan sifat Pemilu di Indonesia sendiri. Sepanjang Orde Baru, Golkar

muncul sebagai kekuatan mayoritas dengan suara di atas 70%. Karena itu, meramal

siapa pemenang Pemilu menjadi kegiatan yang sia-sia karena hasil Pemilu memang

sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilakukan. Pemilu masa Orde Baru juga

ditandai dengan mobilisasi besar-besaran untuk mendukung dan memenangkan

Golkar. Mobilisasi itu bisa formal (dengan mengerahkan dukungan birokrasi dan

dana) juga informal. Pemilu masa Orde Baru itu sendiri tidaklah benar-benar

merupakan Pemilu dalam arti sesungguhnya, karena memang sejak awal sudah

didesain untuk memenangkan Golkar. Pemilu itu juga diwarnai banyak kecurangan

dan pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti. Melakukan jajak pendapat tentang

pemilu sama sekali tidak berguna, karena hasil jajak pendapat pasti tidak bisa

dibandingkan dengan hasil Pemilu.

JAJAK PENDAPAT PEMILU PASCA ORDE BARU

Kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu itu baru berkembang setelah Pemilu yang

demokratis tahun 1999. Jajak pendapat mengenai Pemilu makin marak pada Pemilu

2004. Kalau soal Pemilu relatif baru, kegiatan jajak pendapat untuk tema lain

sebenarnya sudah marak sejak tahun 1990-an. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak tahun 1992 aktif melakukan jajak

pendapat dengan berbagai tema. Sejumlah peneliti LP3ES mempelajari metode

jajak pendapat ini di beberapa lembaga jajak pendapat di Amerika dan Filipina. Topik

yang diangkat LP3ES pada tahap awal belum menyentuh politik, tetapi soal sosial

seperti kebebasan pers, komitmen nasional dan sebagainya. LP3ES juga

bekerjasama dengan beberapa media ( seperti majalah Tajuk ) membuat jajak

pendapat secara rutin dari berbagai isu aktual yang berkembang saat itu. Selain

LP3ES, Litbang Kompas juga lembaga yang bisa dicatat aktif melakukan jajak

pendapat sejak tahun 1990-an. Litbang Kompas mengangkat berbagai jajak

pendapat lewat telepon mengenai isu-isu kebijakan publik.

sendiri---seperti menghina atau memalukan daerah. Lihat mengenai kasus peta kemiskinan ini dalam Tempo, 8 Mei 1993; Tempo, 15 Mei 1993.

Page 11: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

11

LP3ES membuat jajak pendapat mengenai Pemilu sejak tahun 1997. Hasil jajak

pendapat itu memperoleh angka presisi yang baik. Dua tahun kemudian, LP3ES

membuat jajak pendapat dengan populasi wilayah Jawa.13 Di tahun 1999 ini, selain

LP3ES tercatat ada 3 lembaga jajak pendapat lain yang menyelenggarakan survei

mengenai Pemilu, yakni RPC (Resource Productivity Center), IFES (International

Foundation for Election Systems), Litbang Kompas dan Komite Pemberdayaan

Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI. RPC adalah lembaga yang bergerak dalam bidang

survei dan penelitian. Selain soal politik, RPC melakukan sejumlah jajak pendapat

lain dengan beragam tema. RPC juga menyelenggarakan riset pemasaran dan survei

khalayak di sejumlah media. IFES adalah lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang

mengkhususkan diri pada reformasi sistem Pemilu di banyak negara. Jajak pendapat

adalah salah satu lini kegiatan IFES selain kegiatan lain seperti diskusi rancangan

undang-undang Pemilu, pendidikan pemilih dan sebagainya.

Pada Pemilu 2004, lebih banyak lagi lembaga yang membuat jajak pendapat

mengenai Pemilu. Selama satu tahun (April 2003-Maret 2004) paling tidak ada 7

lembaga yang membuat jajak pendapat soal Pemilu. Selain LP3ES dan IFES, ada 5

lembaga baru yang membuat jajak pendapat yakni Badan Penelitian dan

Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research

Institute), IRI (International Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI),

dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Balitbang PDIP adalah organ resmi dari PDIP yang

bertanggungjawab dalam melakukan kajian dan masukan kepada Dewan Pimpinan

Pusat PDIP. IRI adalah lembaga nirlaba yang menginduk pada partai Republik

Amerika. Sama seperti IFES, kegiatan survei adalah salah satu dari sejumlah

kegiatan IRI selain pendidikan politik, pemberdayaan pemilih.

Sementara DRI adalah badan di bawah Danareksa. Survei ini adalah bagian dari

survei lain yang dilakukan oleh DRI mengenai ekonomi. Meski sejak lama

menjalankan riset, survei mengenai politik baru dilakukan oleh DRI menjelang

Pemilu 2004. Lembaga baru lain adalah Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS). Lembaga

ini didirikan tahun 1998 dan sejak 1999 melakukan jajak pendapat atas sejumlah isu

diantaranya soal etnis Tionghoa, Soeharto dan sebagainya. SSS pada awalnya

banyak bekerjasama dengan Laboratorium Ilmu Politik UI dalam menyelenggarakan

jajak pendapat. Pada Pemilu 2004, SSS melakukan seri jajak pendapat

13 Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004.

Page 12: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

12

untukmengukur sentimen publk. Total ada 8 jajak pendapat yang dilakukaan SSS

dari Mei 2002 hingga April 2004.14 Lembaga jajak pendapat lain yang baru adalah

LSI (Lembaga Survey Indonesia). LSI adalah lembaga yang mengkhususkan diri

pada survei opini publik di Indonesia. Lembaga ini baru didirikan pada pertengahan

tahun 2003, dan mulai melakukan survei nasional sejak Agustus 2003. Secara rutin,

LSI melakukan survei tiap tiga bulan sekali untuk merekam sentimen publik.

URGENSI RAMALAN PEMILU

Soal maramal hasil Pemilu adalah sesuatu yang krusial bagi lembaga jajak pendapat.

Kenapa? Kita bisa tengok pendapat tokoh jajak pendapat, George Gallup. Menurut

Gallup, jajak pendapat adalah upaya untuk mengetahui opini publik tetapi tidak

dilakukan dengan menanyakan kepada semua orang ( seperti halnya Pemilu atau

referendum). Opini publik itu diketahui lewat sejumlah orang yang dikenal sebagai

sampel. Teknik ilmiah dan metode statistik yang modern menurut Gallup bisa

menjamin bahwa sampel yang diambil representasi dengan suara semua anggota

masyarakat. Lembaga jajak pendapat tidak perlu bertanya kepada semua anggota

masyarakat, cukup mengambil sampel ( dengan dasar dan metode ilmiah), dan

hasilnya bisa mencerminkan suara seluruh masyarakat. Dengan sampel, menurut

Gallup, jajak pendapat bisa dilakukan tiap hari dengan biaya yang murah. Kita bisa

tahu suara publik dari hari ke hari. Pemerintah bisa mendapatkan informasi apa saja

masalah yang dikeluhkan oleh publik dengan data yang lebih akurat.15

Logika pemakaian sampel itu justru letak pangkal soalnya. Bagaimana kita yakin

bahwa sampel mewakili populasi? Bagaimana kita bisa yakin bahwa pendapat dari

2.000 orang responden sama dengan pendapat 147 juta pemilih Indonesia? Pemilu

adalah satu-satunya jalan bagi lembaga jajak pendapat untuk menguji akurasi dari

suatu sampel. Lewat Pemilu, lembaga jajak pendapat bisa membuktikan, bahwa

dengan metode penarikan sampel yang benar dan ketat, suara dari 2.000 orang

sama dengan suar 147 juta pemilih. Jika Pemilu adalah populasi (masyarakat yang

telah aktual menggunakan hak pilihnya), maka jajak pendapat adalah sampel (orang

yang dipilih sebagai sampel). Kalau prinsip acak (random) bekerja, kalau teknik

14 Wawancara Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated, 4 Mei 2004. 15 Lebih lanjur lihat George Gallup, “ Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur (ed), Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California,Wadsworth & Brooks Inc,1985.

Page 13: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

13

penarikan sampel dilakukan secara ketat, seharusnya hasil sampel secara statistik

tidak berbeda jauh dengan populasi.

PEMILU JAJAK PENDAPAT POPULASI SAMPEL

147 pemilih 1000-5000 responden

Di negara Barat, seperti Amerika, jajak pendapat Pemilu dipakai untuk membuktikan

kepada publik bahwa teknik penarikan sampel yang mereka pakai bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buktinya, hasil survei mereka sama persis

dengan hasil Pemilu aktual. Di Indonesia, sampai saat ini masih banyak suara

sumbang mengenai akurasi lembaga jajak pendapat. Pemilu adalah kesempatan bagi

lembaga jajak pendapat untuk belajar sekaligus membuktikan kepada publik

Indonesia bahwa apa yang telah mereka kerjakan bisa dipertanggungjawabkan.

Caranya sederhana, bandingkan antar hasil jajak pendapat dengan hasil Pemilu.

Kalau hasilnya sama, maka metode yang yang dipakai oleh lembaga jajak pendapat

tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Meski sederhana, cara itu mengandung resiko

yang berat. Lembaga yang gagal memprediksi pemenang Pemilu, bisa kehilangan

kredibilitasnya. Di Amerika bahkan kesalahan yang dibuat oleh lembaga jajak

pendapat sering berujung pada penghentian kegiatan jajak pendapat oleh lembaga.

Pertanyaan kemudian adalah, ukuran apa yang dipakai untuk menilai jajak pendapat

berhasil dan gagal? Kriteria apa yang bisa dipakai untuk memvonis apakah lembaga

jajak pendapat benar atau salah? Menurut Daniel Dhakidae, ada dua kriteria yang

bisa dipakai untuk menilai kualitas dari lembaga jajak pendapat yang memprediksi

hasil Pemilu. 16Pertama, akurasi, yakni sejauh mana lembaga jajak pendapat secara

benar memprediksi partai pemenang Pemilu dan komposisi peringkat pemenang

Pemilu. Akurasi berkaitan dengan benar tidaknya ramalan lembaga jajak pendapat

(correctness). Jika lembaga jajak pendapat memprediksi partai A yang

memenangkan Pemilu, maka ramalan itu baru bisa dianggap presisi jika hasil Pemilu

memang memposisikan partai A sebagai pemenang. Akurasi yang lebih baik jika

lembaga jajak pendapat bukan hanya bisa memprediksi partai A sebagai pemenang 16 Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14 Agustus 1999.

Page 14: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

14

tetapi juga bisa memprediksi urutan pemenang, dari partai A sampai E misalnya

masing-masing dengan urutan 1 sampai sekian.

Kedua, presisi. Jika akurasi berkaitan dengan correctness, maka presisi berkaitan

dengan ketepatan (exactness). Lembaga jajak pendapat dituntut bukan hanya tepat

dalam memprediksi pemenang Pemilu, tetapi juga memprediksi perolehan suara

masing-masing partai. Makin dekat ramalan perolehan partai dengan hasil perolehan

partai yang sebenarnya di Pemilu, maka makin bagus pula kinerja dari lembaga jajak

pendapat.

AKURASI

PRESISI

Sejauh mana lembaga jajak pendapat bisa dengan tepat memprediksi pemenang Pemilu dan struktur (posisi) peringkat partai pemenang Pemilu

Sejauh mana lembaga jajak pendapat bisa memprediksi perolehan suara masing-masing partai

Page 15: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

15

II. PENGALAMAN GALLUP POLL DAN

SOCIAL WEATHER STATIONS

Di Indonesia, masih banyak orang yang tidak percaya dengan jajak pendapat.

Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah suara dari sampel yang hanya 2.000

orang bisa menggambarkan suara pemilih di Indonesia yang mencapai 147 juta

orang? Apakah mungkin suara pemilih sebanyak itu bisa tergambar lewat sampel

yang hanya berjumlah ribuan saja. Kegiatan jajak pendapat lalu dipandang sebagai

usaha sia-sia, kalau tidak sebagai usaha buang-buang waktu. Jajak pendapat di

Indonesia belum dianggap sebagai alat ukur yang terpercaya untuk mengetahui

pendapat umum. Celakanya, ketidakpercayaan pada jajak pendapat ini bukan hanya

melanda masyarakat awam, tetapi juga akademisi atau politisi. Banyak diantara

mereka yang pernah mengecap pendidikan di luar negeri. Debat mengenai

jajakpendapat di Indonesia, acapkali bahkan diwarnai dengan perdebatan yang tidak

bermutu seperti siapa orang di belakang lembaga jajak pnedapat atau agenda apa

yang dibawa oleh lembaga jajak pendapat.

Jika di Indonesia orang masih berdebat apakah jajak pendapat bisa dipercaya atau

tidak, atau apakah sampel menggambarkan populasi atau tidak, di negeri Barat

perdebatan ini sudah usai sebelum perang Dunia II. Tidak pernah terdengar

pernyataan politisi atau akademisi yang meragukan atau tidak mempercayai jajak

pendapat. Bahkan karena percaya bahwa jajakpendapat adalah alat yang terpercaya

untuk mengukur pendapat umum, di Amerika jajakpendapat dianggap sebagai pilar

kelima demokrasi----setelah yudikatif, eksekutif, legislatif, dan pers. Kepercayaan

pada jajak pendapat ini memang tidak timbul satu malam. Kunci kepercayaan itu

adalah lembaga jajak pendapat sendiri yang berhasil membuktikan diri bahwa

metode dan alat yang mereka pakai akurat dan tepat. Di Indonesia masih banyak

orang mempertanyakan kebenaran jajakpendapat, mungkin karena belum banyak

bukti keberhasilan jajak pendapat dalam menggambarkan opini yang berkembang di

masyarakat.

GALLUP POLL

Gallup Poll acapkali dijadikan sebagai ukuran lembaga jajak pendapat yang berhasil.

Lembaga ini bukan hanya bisa akurat memprediksi presiden terpilih tetapi juga

Page 16: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

16

secara presisi memproyeksikan perolehan suara presiden. Dari tahun 1936 hingga

2000, rata-rata selisih prediksi Gallup hanya berada pada kisaran angka 1.5 %. 17Artinya, jika Gallup memprediksikan kandidat A mendapat 40% suara, angka

sebenarnya ( hasil Pemilu) tidak lebih besar atau lebih kecil dari angka itu. Pada

tahun-tahun tertentu (seperti tahun 1972), selisih antara angka prediksi dan hasil

aktual hanya 0.2%. 18 Keberhasilan ini tidak terjadi pada satu malam. Setelah

melewati proses jatuh bangun, Gallup Poll bisa membangun suatu sistem yang

terpercaya dan bisa mengukur dengan valid opini publik yang berkembang di

Amerika.

Gallup Poll berdiri tahun 1930-an. 19Saat itu lembaga ini terbilang kecil bahkan tidak

dikenal. Lembaga jajak pendapat yang dikenal saat itu adalah majalah Literary

Digest. Majalah ini hanyakah salah satu dari sekian puluh media yang menjamur

dengan kegiatan jajak pendapat. Media yang melakukan jajak pendapat bisa

terangkat gengsinya, apalagi kalau berhasil meramal dengan benar siapa presiden

Amerika. Tetapi prinsip statistik modern dengan pemakaian sampel probabilitas

belum dikenal luas saat itu. Lembaga jajak pendapat di tahun-tahun itu berpikir

linear, semakin banyak orang yang diwawancarai maka semakin baik. Lembaga jajak

pendapat lalu berlomba membuat jajak pendapat dengan jumlah sampel puluhan

juta orang. Gengsi lembaga jajak pendapat bahkan diukur dari berapa banyak orang

yang berhasil diwawancarai atau memasukkan jawabannya. Karena banyaknya suara

yang masuk itu, jajak pendapat ini sering dikenal sebagai pemilihan tidak resmi

(straw vote).

Majalah Literary Digest sendiri adalah lembaga yang paling menonjol era ini karena

dikenal mampu menghimpun suara puluhan juta. Lembaga ini memulai jajak

pendapat dari tahun 1916. Pada tahun 1920, Literary Digest memakai 11 juta suara.

17 Lihat Herbert F Weisberg, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to Survey Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage Publication, 1996, hal. 151 18 Memang Gallup Poll pernah membuat kesalahan prediksi, tetapi kesalahan itu masih bisa dimaafkan. Yang paling terkenal adalah pemilihan tahun 2000 lalu. Gallup memprediksi Gore yang menang, padahal yang menang adalah George W. Bush. Tetapi kesalahan ini dimaafkan karena basis jajak pendapat Gallup adalah popular vote, bulan electoral vote. Dan memang kalau dilihat perolehan suara nasional (popular vote), Gore mendapat suara lebih besar dari Bush. 19 Profil dan sejarah Gallup ( dan sejumlah organisasi jajak pendapat besar di Amerika) lihat David W.Moore, The Superpollster:How They Measure and Manipulate Public Opinion in America, Second Edition,New York,Four Walls Eight Windows,1995.

Page 17: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

17

Angka ini bertambah di tahun 1920 dengan 16.5 juta suara. Sampai tahun 1932,

Literary Digest selalu akurat memprediksi siapa pemenang Pemilu di Amerika.

Ramalan yang benar ini bukan hanya membuat citra Literary Digest makin bagus

tetapi juga mendorong Digest untuk menambah jumlah suara yang ikut menjawab

presiden pilihan. Tetapi sebuah musibah menimpa Literary Digest pada tahun

1936.20 Digest salah memprediksi kemenangan presiden yang membuat majalah ini

menghentikan kegiatan jajak pendapat untuk selamanya. Saat itu ada dua calon

yakni Alfred M.Landon ( Republik) dan Franklin D.Roosevelt (Demokrat). Literary

Digest memprediksi Alfred M.Landon yang memenangkan Pemilu. Pemilu

sesungguhnya justru Roosevelt yang menang. Kenapa Digest bisa mengalami

kesalahan prediksi padahal sampel yang dipakai mencapai 10 juta orang? Kesalahan

utama Literary Digest adalah pada teknik pengambilan sampel. Sampel Digest

diambil dari buku telepon dan pendaftaran mobil---semacam STNK.Tahun 1936 di

Amerika ditandai dengan masa malaise, dengan pengangguran yang tinggi.Lebih

banyak orang yang yang tidak makmur dibandingkan dengan warga yang

berkecukupan. Mereka ini diabaikan dalam jajak pendapat Literary Digest.

Akibatnya, suara publik yang miskin yang lebih condong memilih Roosevelt tidak

bisa diprediksikan oleh Digest.

Kesalahan Digest ini membawa efek sampingan. Ahli jajak pendapat mulai

memikirkan teknik statistik yang bisa dipakai untuk meramalkan suara pemilih.

Kegagalan Digest itu juga membuat publik Amerika mulai terbiasa dengan satu

nama, Gallup Poll. Lembaga dengan pendiri George Gallup ini, sama sekali

tenggelam di bawah kebesaran nama Literary Digest. Di tahun 1936 itu, ketika

Digest salah memprediksi, Gallup justru berhasil memprediksi kemenangan

Roosevelt. Yang dilakukan Gallup saat itu adalah membuat sampel yang menjamin

tercapainya reporesentasi dengan memperhitungkna terlebih dahulu proporsi untuk

partai Demokrat dan Republik. Keberhasilan Gallup ini membuat publik Amerika

mulai menoleh kepada lembaga-lembaga baru. Selain Gallup, nama lain yang

muncul saat itu adalah Ropper dan Crosley. Pemilihan presiden Amerika tahun 1940

dan 1944 juga berhasil diprediksikan oleh Gallup dan lembaga jajak pendapat baru

ini.

20 Analisis lebih terperinci mengenai peristiswa tahun 1936 ini lihat Mervin D.Field,”Political Opinion in The United States of America,” dalam Robert M.Worcester (ed), Political Opinion Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983, hal.198-208.

Page 18: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

18

Tabel : Ramalan Gallup dan Hasil Pemilu Aktual di AS 1972-2000

TAHUN

Kandidat

Survei Gallup

Hasil Aktual Pemilu

Selisih

Rata-Rata Kesalahan

Bush 48 47.9 0.1 Gore 46 48.4 -2.4

2000 Nader 4 2.7 1.3

1.3

Clinton 52 50.1 1.9 Dole 41 41.4 -0.4

1996 Perot 7 8.5 -1.5

1.3

Clinton 49 43.3 5.7 Bush 37 37.7 -0.7

1992 Perot 14 19 -5

3.8

Bush 56 53 2.1 1988 Dukakis 44 46.1 -2.1

2.1

Reagan 59 59.2 -0.2 1984 Mondale 41 40.8 0.2

0.2

Reagan 47 50.8 -3.8 Carter 44 41 3 Anderson 8 6.6 1.4

1980 Other 1 1.6 -0.6

2.2

Carter 48 50.1 -2.1 Ford 49 48.1 0.9 McCarthy 2 0.9 1.1

1976 Other 1 0.9 0.1

1.1

Nixon 62 61.8 0.2 1972 McGovern 38 38.2 -0.2

0.2

Nixon 43 43.5 -0.5 Humphrey 42 42.9 -0.9

1968 Wallace 15 13.6 1.4

0.9

Johnson 64 61.3 2.7 1964 Goldwater 36 38.7 -2.7

2.7

Kennedy 51 50.1 0.9 1960 Nixon 49 49.9 -0.9

0.9

Rata-rata kesalahan Gallup Poll 1960-2000 = 1.5

Tetapi lembaga jajak pendapat ini mengalami ujian berat, ketika tahun 1948 kembali

mengalami kegagalan seperti halnya yang terjadi di tahun 1936. Saat itu dua

kandidat yang bertarung memperebutkan kursi presiden adalah Harry S. Truman

(Demokrat) dan Thomas E. Dewey (Republik). Semua lembaga jajak pendapat

(Gallup, Ropper dan Crosley) memprediksi Thomas E. Dewey yang akan

memenangkan pemilihan. Kenyataannya, Truman menang atas Dewey dengan

selisih suara 5 persen. Kesalahan itu sangat memalukan karena suratkabar yang

terbit di hari pemilihan memuat analisis dan prediksi lembaga jajak pendapat yang

menempatkan Dewey sebagai pemenang. Lembaga jajak pendapat mengalami krisis

Page 19: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

19

kedua setelah tahun 1936. Kepercayaan publik makin turun terhadap jajak

pendapat.

Untungnya, kejadian tahun 1948 itu tidak diikuti dengan pembubaran secara massal

lembaga jajak pendapat seperti terjadi di tahun 1936. Lembaga jajak pendapat

seperti Gallup mulai menerapkan prionsip probabilitas dalam pengambilan sampel.

Dengan prinsip probabilitas ini, sampel yang diambil lebih terjamin derajat

representasinya. Lewat pengambilan sampel yang ketat, lembaga jajak pendapat

tidak perlu mewawancarai puluhan atau ratusan ribu orang. Cukup dengan sampel

sebanyak 2.000 hingga 5.000 orang asal diambil secara acak (random) dan dengan

prinsip pengambilan sampel benar, hasilnya bisa menggambarkan suara pemilih.

Sejak 1948 itu, kesalahan prediksi lembaga jajak pendapat menjadi lebih kecil.

Lembaga jajak pendapat bukan hanya berhasil memprediksikan siapa yang akan

memenangkan Pemilu tetapi juga memprediksi dengan tepat berapa perolehan suara

masing-masing kandidat. Sehingga muncul adagium, presiden di Amerika sudah

diketahui sebelum rakyat Amerika datangke biliksuara dan menentukanpresiden

pilihan mereka.

SOCIAL WEATHER STATIONS

Tidak benar kalau dikatakan jajak pendapat ini hanya cocok di negara maju. Jajak

pendapat asal dilakukan dengan hati-hati bisa memprediksi hasil Pemilu seperti

halnya di Amerika. Kita bisa mengacu kepada jajak pendapat yang dilakukan oleh

lembaga Social Weather Stations (SWS) di Filipina.

Perlu dicatat, kegiatan jajak pendapat dan prediksi pemenang Pemilu mempunyai

tradisi yang panjang di Filipina. Sejak tahun 1946, kegiatan ramal meramal siapa

pemenang Pemilu lewat jajak pendapat ini sudah dikenal oleh publik Filipina. Tetapi

baiknya, Ferdinand Marcos di tahun 1972 membuat kegiatan jajakpendapat ini

praktis terhenti. Filipina mengalami era baru sistem otoriterisme dimana segala hal

yang berbau politik dan berurusan dengan negara dilarang. Tumbangnya Marcos di

tahun 1983, membuat kegiatan jajak pendapat yang pernah tenggelam kembali

muncul ke permukaan. Social Weather Stations lahir pada era ini. Lembaga ini

berdiri tahun 1985 sebagai organisasi non profit dan non partisan. Kegiatan

utamanya adalah membuat survei dengan metode statistik modern isu-isu nasional

termasuk Pemilu. SWS membuat laporean secara berkala indikator kepercayaan

Page 20: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

20

publik atas kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sejak tahun 1992, lembaga ini

membuat jajak pendapat pemilihan presiden, dan secara tepat memprediksi

pemenang Pemilu. 21

Pemilihan presiden di Filipina sendiri mempunyai sistem yang unik. Presiden dan

wakil presiden dipilih secara langsung tiap enam tahun sekali. Berbeda dengan di

Indonesia dimana presiden dan wakil presiden merupakan pasangan satu paket, di

Filipina presien dan wakil presiden dipilih secara terpisah. Bisa terjadi kemungkinan,

presiden dan wakil presiden berasal dari partai yang berbeda. Selain Pemilu untuk

memilih presiden dan wakil presiden, Pemilu juga dilakukan untuk memilih 24

anggota senat (senator). Berbeda dengan di Indonesia atau Amerika dimana

senator berasal dari daerah pemilihan tertentu, di Filipina tidak dikenal daerah

pemilihan atau senator dari negara bagian tertentu. Calon anggota senat bersaing

secara nasional memperebutkan 24 kursi. Karena itu jajak pendapat untuk

meramalkan siapa anggota senat yang lolos relatif sulit. Meski demikian, SWS

terbukti berhasil meramal dengan tepat pemenang Pemilu di Filipina semenjak tahun

1992. Di tahun 1992 lembaga ini juga bisa memprediksi Fidel Ramos sebagai

presiden dan tahun 1998 dengan presiden Joseph Estrada. Pemilihan anggota senat

di tahun 1987, 1992, 1995, 1998 dan 2001 juga telah dapat diprediksi oleh SWS

satu minggu sebelum hari pemungutan suara. 22

Dalam setiap surveinya, SWS memakai sampel sebesar 1.000 responden. Jumlah

sampel sebesar ini cukup untuk memprediksi suara pemilih Filipina yang berjumlah

sekitar 23 juta suara. Medan yang dihadapi oleh SWS hampir mirip dengan di

Indonesia, dimana lembaga jajak pendapat dihadapkan pada populasi yang

heterogen dengan suku bangsa yang beraneka, dan jenjang sosial pendidikan yang

berlainan pula. Prediksi SWS bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Rata-rata

kesalahan prediksi SWS hanya berkisar pada angka 2.5%. Kebenaran prediksi SWS

21 Mengenai SWS dan sejarah jajak pendapat di Filipina, lihat tulisan Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An Encyclopedia Article,Occasional Paper, SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. 22 Tinjauan umum mengenai survei SWS dan Pemilu di Filipina lihat Mahar Mangahas, Linda Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and National Elections in The Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

Page 21: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

21

ini turut membuat bukan hanya pamor SWS naik tetapi juga kepercayaan publik

terhadap jajak pendapat. 23

Tabel:Prediksi SWS dan Hasil Aktual Pemilu di Filipina Tahun 1992-1998

Hasil Survei (26 April-4 Mei)

Aktual Pemilu Selisih PRESIDEN 1992

% Rank % Rank % Ramos 26.8 1 23.6 1 3.3 Santiago 25 2 19.7 2 5.3 Cojuanco 16.2 3 18.2 3 -2 Mitra 14.1 4 14.6 4 -0.6 Marcos 6.5 5 10.3 5 -3.7 Salonga 8 6 10.2 6 -2.3 Laurel 3.3 7 3.4 7 -0.1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.4

Hasil Survei (26 April-4 Mei)

Aktual Pemilu Selisih WAKIL PRESIDEN

1992 % Rank % Rank %

Estrada 30.6 1 33 1 -2.4 Fernan 21.3 2 21.7 2 -0.4 Osmena 18.9 3 16.5 3 2.5 R. Magsaysay 15.1 4 14.2 4 0.9 Pimentel 9 5 9.9 5 -0.9 V. Magsaysay 3.1 6 3.4 6 -0.3 Kalaw 2 7 1.3 7 0.7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 1.2

Hasil Survei (2-4 Mei)

Aktual Pemilu Selisih PRESIDEN 1998

% Rank % Rank % Estrada 33 1 39.9 1 -6.9 De Venecia 15 2 15.9 2 -0.9 Roco 11 3 13.8 3 -2.8 Osmena 11 4 12.4 4 -1.4 Lim 10 5 8.7 5 1.3 De Villa 6 6 4.9 6 1.1 Santiago 2 8 3 7 -1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.2

23 Sebuah survei yang pernah dilakukan oleh SWS membuktikan kepercayaan publik Filipina atas jajak pendapat. Lima dari enam warga Filipina percaya bahwa prediksi pemenang Pemilu yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat selalu benar.Lebih dari itu publik di Filipina juga percaya bahwa sampel 1.000orang yang diambil secara tepat dapat merefleksikan seluruh populasi.Lihat Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

Page 22: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

22

Hasil Survei (2-4 Mei)

Aktual Pemilu Selisih WAKIL PRESIDEN

1998 % Rank % Rank %

Arroyo 42 1 49.6 1 -7.6 Angara 18 2 22.1 2 -4.1 Orbos 10 4 13 3 -3 Osmena 11 3 9.2 4 1.8 Tatad 2 5 2.9 5 -0.9 Sueno 2 6 2.1 6 -0.1 Santiago 2 7 0.9 7 1.1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.6

Page 23: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

23

III. JAJAK PENDAPAT

DAN RAMALAN PEMILU 1999

Pemilu 1999 adalah tantangan pertama bagi lembaga jajak pendapat di Indonesia.

Inilah untuk pertama kalinya, sejak tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum secara

terbuka dan demokratis. Jika disebut tantangan, paling tidak karena dua alasan

berikut. Pertama, pada Pemilu tahun 1999 itu sebanyak 48 partai politik bersaing

secara terbuka memperebutkan pemilih. Dengan jumlah partai sebanyak itu, peta

politik menjadi sangat terfragmentasi (tersebar). Lembaga jajak pendapat

dihadapkan pada pilihan untuk meramal partai pemenang Pemilu dari partai

sebanyak itu. Ini ditambah dengan tidak adanya peta awal kekuatan politik yang

ada. Hasil Pemilu sebelum 1999 sama sekali tidak bisa dijadikan dasar dan patokan

untuk meramal hasil Pemilu. Kedua, lembaga jajak pendapat bukan hanya

dihadapkan pada kelangkaan peta partai politik, tetapi juga kelangkaan dalam

standar survei di Indonesia. Seperti telah disinggung di muka, kegiatan jajak

pendapat selama Orde Baru terutama mengenai Pemilu bisa dikatakan mati.

Lembaga jajak pendapat tidak punya data pembanding bagaimana melakukan jajak

pendapat di wilayah yang sedemikian luas sedemikian terbagi dalam struktur

sosiologis yang berbeda pula.

Fakta menunjukkan, lembaga jajak pendapat di Indonesia bisa melewati dua

hambatan tersebut. Meskipun kegiatan jajak pendapat relatif baru, hasil dari

lembaga jajak pendapat itu sangat menggembirakan dan mengangumkan. Lembaga

jajak pendapat berhasil memprediksi dengan benar pemenang Pemilu tahun 1999.

Saat Pemilu tahun 1999 itu, paling tidak ada lima lembaga yang mengadakan jajak

pendapat mengenai Pemilu---masing-masing RPC (Resource Productivity Center),

IFES (International Foundation for Election Systems), LP3ES (Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Litbang Kompas dan Komite

Pemberdayaan Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI.

RPC melakukan survei bulan Desember 1998-Januari 1999. Lembaga ini melakukan

kerjasama dengan harian The Jakarta Post dan mempublikasikan hasil survei di

suratkabar berbahasa Inggris tersebut. Survei RPC tidak secara langsung

menanyakan pilihan partai. Survei itu lebih dimaksudkan untuk mengetahui

pandangan publik mengenai berbagai hal mengenai Pemilu dan isu penting lain

Page 24: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

24

seperti dwi fungsi ABRI. Hasil survei RPC itu dimuat (secara ekskusif) di harian The

Jakarta Post edisi 23 Januari 1999. IFES melakukan survei bulan Desember 1998-

Februari 1999. Survei yang dilakukan oleh IFES juga tidak secara spesifik

sebenarnya ingin mengetahui perolehan suara masing-masing partai. Survei itu ingin

menggali pandangan publik mengenai situasi nasional saat ini, arti dan pengetahuan

publik mengenai Pemilu serta penilaian atas kinerja lembaga negara dan lembaga

penyelenggara Pemilu. Di luar itu, IFES menanyakan pengetahuan mengenai partai

peserta Pemilu dan penilaian atas partai.

Jika RPC dan IFES tidak secara spesifik menanyakan partai pilihan, sebaliknya

Litbang Kompas, LP3ES dan KPP-Lab Politik UI melakukan survei untuk mengetahui

popularitas dan kekuatan partai. Survei Litbang Kompas dilakukan pada 17-27 April.

Hasil survei itu dimuat di harian Kompas tanggal 12 Mei 1999. Survei ini adalah

bagian dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas menjelang Pemilu

1999. Sejak pertengahan 1998, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat lewat

telepon mengenai berbagai hal soal Pemilu seperti persiapan Pemilu, pengetahuan

mengenai Pemilu, isu penundaan Pemilu dan sebagainya. Khusus mengenai prediksi

Pemilu ini, Litbang Kompas tidak melakukan lewat telepon tetapi melakukan

wawancara secara langsung ( face to face) di lima kota. LP3ES juga melakukan

survei untuk memprediksi kekuatan partai politik menjalang Pemilu 1999. Hasil

survei LP3ES itu dimuat hampir semua suratkabar nasional di bulan Mei 1999. KPP-

Lab Politik UI juga secara spesifik membuat jajak pendapat mengenai partai dan

calon presiden populer tahun 1999. Hasil jajak pendapat KPP-Lab Politik UI ini

dimuat di sejumlah media bulan April 1999.

Lembaga Periode Pengambilan Data Publikasi RPC Desember-Januari Jakarta Post edisi 23 Januari 1999 IFES Desember 1998-Februari 1999 Pres release dan upload di internet

Maret 1999 ( www.ifes.og) LP3ES Mei 1999 Pres release Mei 1999 Litbang Kompas

17-27 April 1999 Kompas, 12 Mei 1999

KPP-Lab Politik UI

April 1999 Pres release April 1999 dan berita media bulan April 1999

Penilaian atas prediksi lembaga jajak pendapat ini didasarkan pada prediksi atas 7

partai politik dengan suara terbesar ( PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN dan PK).

Sementara prediksi atas 35 partai lain tidak diikutsertakan. Hal ini karena

keterbatasan data publikasi hasil jajak pendapat. Semua lembaga jajak pendapat

Page 25: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

25

(RPC, IFES, LP3ES, Litbang Kompas dan KPP-Lab Politik UI) tidak ada satu pun yang

melakukan prediksi perolehan suara dari 48 partai. Publikasi umumnya hanya 5 atau

7 partai dengan suara terbesar. Partai lain hanya dilaporkan dengan kategori partai

lainnya. Demi alasan keseragaman, supaya data bisa diperbandingkan, analisis

hanya dibatasi pada prediksi lembaga jajak pendapat atas 7 partai saja.

PREDIKSI LEMBAGA JAJAK PENDAPAT

Lima lembaga jajak pendapat tersebut berani membuat survei dengan berbagai

keterbatasannya. Bagaimana hasil jajak pendapat itu harus dinilai? Daniel Dhakidae,

ketua Litbang Kompas membuat ulasan yang bagus dan lengkap lembaga jajak

pendapat ini. 24 Bab ini hanya melengkapi tulisan Daniel Dhakidae tersebut dan

mengulas apa yang belum dipaparkan oleh Daniel Dhakidae dalam tulisannya

tersebut. Kriteria yang dipakai untuk menilai kualitas jajak pendapat adalah akurasi

dan presisi.

Di negara yang mempunyai tradisi panjang jajak pendapat (seperti Amerika atau

Eropa), lembaga jajak pendapat bukan lagi berkutat pada akurasi tetapi presisi.

Berbagai lembaga jajak pendapat umumnya bisa dengan tepat memprediksi siapa

partai atau presiden yang akan memenangkan Pemilu. Gengsi antar lembaga jajak

pendapat karenanya bukan diukur dari akurasi, tetapi seberapa kecil selisih antara

prediksi perolehan suara partai atau kandidat presiden dengan perolehan aktual

dalam Pemilu. Tetapi di negara dengan tradisi jajak pendapat yang pendek, seperti

Indonesia, masalah akurasi ini masih tetap menghantui lembaga jajak pendapat.

Tabel menyajikan data mengenai prediksi lembaga survei dan hasil aktual Pemilu

1999. Dari sudut presisi, kelima lembaga jajak pendapat itu telah benar memprediksi

PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999. Di luar berbagai kesulitan, lembaga jajak

pendapat berhasil membuktikan bahwa jajak pendapat adalah alat yang terpercaya

untuk mengukur opini publik. Selain berhasil memprediksi PDIP sebagai pemenang

Pemilu, lembaga jajak pendapat ini juga secara keseluruhan menemukan adanya 5

partai besar dari 48 partai yang ikut dalam Pemilu---masing-masing PDIP, Golkar,

PKB, PPP dan PAN. Tetapi jika dilihat lebih ke dalam dari aspek akurasi ini, sebagian

besar lembaga jajak pendapat tidak berhasil meramalkan komposisi urutan

24 Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14 Agustus 1999.

Page 26: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

26

pemenang Pemilu. Dari lima lembaga jajak pendapat itu, hanya IFES yang berhasil

dengan akurat memprediksi 7 partai dengan urutan masing-masing dari partai

dengan perolehan suara besar ke kecil: PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dan PK.

Sementara lembaga jajak pendapat lain gagal secara tepat memprediksi komposisi

pemenang ini. Survei RPC memprediksi PAN di urutan dua, disusul oleh PKB, Golkar,

PBB dan PK. KPP-Lap Politik UI juga menemukan komposisi Pemanang Pemilu yang

mirip dengan RPC, yakni PAN di urutan 2 partai dengan perolehan suara terbanyak.

Kesamaan dari dua survei ini adalah suara PAN yang besar, sementara suara PKB

dan Golkar lebih kecil. Sebaliknya, survei LP3ES menemukan suara PKB yang lebih

besar dari Golkar. LP3ES secara akurat berhasil memotret perolehan suara PPP dan

PAN yang lebih kecil dari PKB dan Golkar. Sementara survei Litbang Kompas, justru

menemukan suara PPP yang besar, lebih besar dari Golkar dan PKB. Tetapi survei ini

berhasil memprediksikan perolehan suara PBB dan PK yang tidak besar.

Selain komposisi pemenang Pemilu, lembaga jajak pendapat tahun 1999 ini juga

kurang berhasil dalam memotret perolehan suara masing-masing partai. Tabel itu

juga menyajikan skor kesalahan prediksi dari masing-masing lembaga jajak

pendapat dari tabel terlihat, hanya IFES dan L3ES yang mempunyai skor kesalahan

rata-rata prediksi di bawah 5 %. Skor kesalahan terbesar dicapai oleh KPP-Lab

Politik UI dengan kesalahan prediksi sebesar 9.31%. Jika dibandingkan dengan

Social Weather Stations di Filipina, maka kesalahan prediksi ini masing terbilang

tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan lembaga jajak pendapat seperti Gallup yang

rata-rata kesalahan prediksi di bawah 2%.

Hasil Survei

Aktual Pemilu Selisih (Aktual Pemilu-Hasil Survei) RPC

% Rank % Rank % PDIP 30.7 1 33.7 1 3 Golkar 16.7 4-5 22.4 2 5.7 PKB 19.2 3 12.6 3 -6.6 PPP 16 4-5 10.7 4 -5.3 PAN 22.6 2 7.1 5 -15.5 PBB 7.6 1.9 6 -5.7 PK 7.7

6-7 1.4 7 -6.3

Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei RPC = 6.87

Hasil Survei

Aktual Pemilu Selisih IFES

% Posisi % Posisi %

Page 27: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

27

PDIP 29 1 33.7 1 4.7 Golkar 23 2 22.4 2 -0.6 PKB 20 3 12.6 3 -7.4 PPP 17 10.7 4 -6.3 PAN 16

4-5 7.1 5 -8.9

PBB 3 1.9 6 -1.1 PK 2

6-7 1.4 7 -0.6

Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IFES= 4.23

Hasil Survei

Aktual Pemilu Selisih LP3ES

% Posisi % Posisi % PDIP 27.8 1 33.7 1 5.9 Golkar 23.6 3 22.4 2 -1.2 PKB 25 2 12.6 3 -12.4 PPP 8.3 10.7 4 2.4 PAN 8.3

4-5 7.1 5 -1.2

PBB - - 1.9 6 - PK - - 1.4 7 - Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LP3ES = 4.62

Keterangan: Dalam publikasi di media, perolehan suara PBB dan PK digabung menjadi satu bersama dengan partai lain ( dengan label : partai lainnya). Jadi tidak diketahui secara persis perolehan suara untuk PBB dan PK. Kesalahan absolut rata-rata dihitung hanya dari 5 partai ( minus PBB dan PK).

Hasil Survei

Aktual Pemilu Selisih LITBANG KOMPAS

% Posisi % Posisi % PDIP 24.1 1 33.7 1 9.6 Golkar 14.3 3-4 22.4 2 8.1 PKB 4.6 5 12.6 3 8 PPP 16.7 2 10.7 4 -6 PAN 12.8 3-4 7.1 5 -5.7 PBB - - 1.9 6 - PK - - 1.4 7 - Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Litbang Kompas = 7.48

Keterangan: Perolehan suara PBB dan PK digabung oleh Litbang Kompas bersama partai lain dengan lebel: partai lainnya. Jadi tidak diketahui secara persis perolehan suara untuk PBB dan PK. Kealahan absolut rata-rata karenanya dihitung hanya dari 5 partai (minus PBB dan PK).

Hasil Survei

Aktual Pemilu Selisih KPP-LAB POLITIK

FISIP UI % Posisi % Posisi %

PDIP 19.5 1 33.7 1 14.2 Golkar 9.3 3 22.4 2 13.1

Page 28: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

28

PKB 1.8 5-7 12.6 3 10.8 PPP 4 4 10.7 4 6.7 PAN 15.8 2 7.1 5 -8.7 PBB 2 1.9 6 -0.1 PK 3

5-7 1.4 7 -1.6

Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei KPP-Lab Politik UI = 9.31

Meski tidak secara presisi memprediksi perolehan suara partai, apa yang sudah

dikerjakan oleh lembaga jajak pendapat tahun 1999, layak mendapat apresiasi.

Salah satu alasannya, di tengah aneka macam kesulitan dan keterbatasan ( baik

dana, uang maupun tenaga), lembaga jajak pendapat itutelah berhasil secara kurat

memprediksi partai Pemenang Pemilu. Usaha yang tidak mudah karena lembaga

jajak pendapat harus menemukan satu partai di tengah 48 partai yang ikut berlaga

dalam Pemilu 1999. Tetapi perlu penjelasan, kenapa lembaga jajak pendapat

berhasil secara akurat memprediksi pemenang Pemilu tetapi gagal dalam

memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Faktor apa juga yang menyebabkan

lembaga jajak pendapat belum berhasil secara presisi menebak perolehan suara

masing-masing partai.

AKURASI

Lembaga jajak pendapat memang berhasil meramal PDIP sebagai pemenang Pemilu,

tetapi sebagian besar lembaga jajak pendapat ( kecuali IFES) salah dalam

memprediksi Golkar, PKB dan PAN. Ada dua kesalahan yang umum yang ditemukan

dalam hal prediksi komposisi pemenang Pemilu ini. Pertama, sejumlah lembaga jajak

pendapat yang memprediksi PAN akan menempati posisi atas dalam Pemilu 1999.

Padahal kenyataannya, PAN hanya menempati posisi 5 dari urutan partai pemenang

Pemilu. RPC dan KPP-Lab Politik UI misalnya memprediksi PAN akan menempati

posisi 2 di bawah PDIP. Yang menarik, jika RPC dan KPP-Lab Politik UI gagal

memprediksi posisi PAN, LP3ES dan Litbang Kompas berhasil memprediksi posisi

PAN, yang berada di kisaran posisi 4-5. Kedua, sejumlah lembaga jajak pendapat

juga gagal dalam meramal posisi Golkar. Di luar IFES, Golkar diprediksikan oleh

lembaga jajak pendapat itu berada di urutan 3 ke atas. Bahkan dalam survei RPC,

Golkar menempati pososi nomor 4. Bagaimana menjelaskan kesalahan ini?

Faktor penjelas yang paling mungkin diberikan adalah populasi dari masing-masing

lembaga jajak pendapat. Lembaga jajak pendapat di Indonesia menghadapi medan

geografis yang luas. Ini ditambah dengan kekuatan partai politik yang tidak merata

Page 29: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

29

di semua wilayah Indonesia. Ada partai yang sangat kuat di Jawa ( seperti PDIP dan

PKB).Tetapi ada partai yang justru sangat kuat di luar Jawa ( seperti Golkar dan

PPP). Dengan kondisi populasi yang luas itu, makin besar populasi dari lembaga

jajak pendapat, makin akurat pula lembaga jajak pendapat itu dalam memprediksi

komposisi pemenang Pemilu. Tidak mengherankan jikalau dalam prediksi Pemilu

1999 ini hanya IFES yang secara tepat memprediksi komposisi pemenang Pemilu.

IFES adalah satu-satunya lembaga jajak pendapat yang saat itu melakukan survei

secara nasional. Dari 27 provinsi yang ada saat itu, semua disurvei kecuali 5 provinsi

dengan alasan keamanan ( Timor Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah)

serta alasan akses yang sulit ( Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur). Dengan

populasi tersebut, sampel IFES mencakup hampir 92% suara nasional. Dengan

populasi yang luas tersebut, tidak mengherankan jikalau IFES dengan akurat

memprediksi posisi Golkar yang masih berada di urutan dua di bawah PDIP.

Sejatinya, meski banyak digugat Golkar masih merupakan kekuatan yang signifikan

terutama di luar Jawa. Dengan populasi yang luas di luar pulau Jawa, IFES bisa

menangkap fenomena tersebut.

Hasil survei LP3ES juga memperkuat argumen bagaimana populasi yang diambil oleh

masing-masing lembaga jajak pendapat turut menentukan akurasi hasil jajak

pendapat. LP3ES hanya melakukan survei di Pulau Jawa. Jika dilihat data populasi

BPS, Pulau Jawa menyumbang 59% populasi, sementara wilayah luar Jawa 41%.

Lembaga jajak pendapat yang melakukan survei hanya di Pulau Jawa, mengabaikan

suara dari 41% populasi tersebut. Akibatnya suara Golkar yang besar justru diluar

Jawa juga tidak bisa diprediksikan oleh LP3ES. Sebaliknya, dengan populasi Jawa,

survei ini menemukan suara untuk PKB yang besar, berada diposisi 2 di bawah PDIP.

Hasil ini juga tidak terlampau mengherankan jikalau diingat partai dengan tokoh

Abdurrahman Wahid ini sangat kuat di pulau Jawa, utamanya Jawa Timur.

KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT

PARTAI

RPC IFES LP3ES Litbang Kompas

KPP-Lab Politik UI

PDIP 1 1 1 1 1 Golkar 4-5 2 3 3-4 3 PKB 3 3 2 5 5-7 PPP 4-5 2 4 PAN 2

4-5

4-5 3-4 2

PBB 6-7 6-7 - - 5-7

Page 30: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

30

PK - -

Selain cakupan Jawa Luar Jawa, aspek penting dari populasi jajak pendapat adalah,

apakah mereka memasukkan masyarakat desa kota ataukah hanya masyarakat kota

saja. Jika kita menengok data populasi yang dikuarkan oleh BPS tahun 2000,

populasi masyarakat desa mencapai 58%, sedangkan masyarakat kota berjumlah

42% dari total populasi. Proporsi masyarakat desa dan kota ini memang banyak

mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan data sensus BPS tahun 1990. Pada

tahun 1990, komposisi penduduk desa kota ini baru berjumlah 64% untuk

masyarakat desa dan 36% masyarakat kota. Kendati banyak mengalami perubahan

komposisi penduduk, fakta yang tidak bisa ditampik adalah masih banyaknya

penduduk Indonesia yang berada di desa. Lembaga jajak pendapat yang tidak

menyertakan masyarakat desa sebagai populasi, mengabaikan suara dari 58%

populasi. Dari lembaga jajak pendapat tahun 1999 ini, hanya IFES dan LP3ES saja

yang menyertakan masyarakat desa dan kota dalam kerangka populasinya.

Sementara Litbang Kompas, RPC dan KPP-Lab Politik UI hanya menyertakan

masyarakat kota saja.

Akibatnya akan terasa dalam ramalan berbagai lembaga jajak pendapat itu ketika

harus memprediksikan komposisi pemenang Pemilu. IFES dan LP3ES berhasil

memetakan fenomena Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai kota. Partai ini

sangat kuat di masyarakat terpelajar di kota. Setelah kejatuhan Soeharto,

popularitas PAN dan Amien Rais memang meroket. Tetapi gegap gempita berita

mengenai Amien Rais hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan yang relatif

mudah dalam akses informasi. Sementara di kalangan masyarakat desa, dinamika

politik ini tidak berhasil diikuti. Tidaklah mengherankan jikalau survei RPC dan KPP-

Lab Politik UI menempatkan PAN di posisi 2 di bawah PDIP. Dalam jajak pendapat

KPP-Lab Politik UI, perolehan suara PAN bahkan terpaut beberapa angka saja dari

PDIP. Ketidakakuratan dalam memprediksi fenomana PAN sebagai partai kota, juga

diikuti dengan ketidakakuratan dalam memprediksi PKB sebagai partai desa. Karena

tidak menyertakan masyarakat desa yang menjadi basis suara PKB, dua lembaga

survei ini juga gagal meramal posisi PKB. Dalam jajak pendapat KPP-Lab Politik UI,

perolehan suara PKB bahkan diprediksi lebih kecil dari pada PBB dan PK. Sebaliknya,

LP3ES berhasil memprediksi fenomena PAN dan PKB karena menyertakan populasi

dari desa dan kota.

Page 31: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

31

LEMBAGA POPULASI CAKUPAN WILAYAH

PSU

RPC 5 kota besar (Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan)

Hanya menyertakan kota besar

Desa /kelurahan

IFES Nasional, memasukkan 22 provinsi. Provinsi yang tidak disertakan dengan alasan teknis dan keamanan adalah Timor Timur, Irian Jaya, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur.

Menyertakan desa dan kota

Desa /kelurahan

LP3ES Seluruh Jawa Menyertakan desa dan kota

Desa /kelurahan

Litbang Kompas

5 kota besar ( Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, dan Ujungpandang)

Hanya menyertakan kota besar

Desa /kelurahan

KPP-Lab Politik UI

6 kota ( Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Banda Aceh, Medan dan Ujung Pandang)

Hanya menyertakan kota besar

Pemilik telepon

PRESISI

Lembaga jajak pendapat di Indonesia dihadapkan pada populasi yang sedemikian

luas dan heterogen. Mengabaikan populasi yang heterogen itu akan berakibat pada

ramalan yang tidak akurat. Kenyataan ini bukan tidak disadari oleh lembaga jajak

pendapat. Tetapi mereka harus berkompromi dengan dana, waktu, dan tenaga.

Kalau populasi yang luas harus dicover, dibutuhkan banyak dana , tenaga dan

waktu. Pilihan yang kemudian diambil oleh sejumlah lembaga jajak pendapat itu

adalah mengambil sejumlah wilayah dengan pertimbangan metodologis tertentu.

Pilihan ini terbukti berhasil dalam memprediksi pemenang Pemilu (PDIP),

tetapikurang tepat dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Di luar

masalah populasi itu adalah soal jumlah sampel yang akan diambil. Aspek ini juga

sekali lagi bersinggungan dengan waktu, dana dan tenaga. Makin banyak sampel

yang diambil, maka makin banyak tenaga pewawancara, makin lama proses

pengumpulan data dan makin banyak uang harus dikeluarkan.

Secara teoritis, jumlah sampel berkaitan dengan presisi. Jumlah sampelmenentukan

berapa kesalahan yang terjadi karena pengambilan sampel ( sampling error). Hasil

suatu survei yang berdasarkan data sampel, harus selalu dibaca dengan

memperhitungkan besar kecilnya sampling error. Taruhlah misalnya atau survei

menemukan partai A mendapat 25 % suara, dimana sampling error survei itu

sebesar 2%. Maka hasil sesungguhnya dari perolehan suara partai A tersebut harus

Page 32: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

32

dibaca berada di interval ± 4 %. Atau berada di antara 21% -29%. Jika lembaga

jajak pendapat ingin agar hasilnya lebih mendekati kenyataan, maka angka sampling

error harus diperkecil. Misalnya dengan memakai sampling error 2%. Jika angka ini

yang dipakai, prediksi perolehan suara partai A berada di kisaran interval 23%-27%.

Tetapi memperkecil sampling error secara otomatis akan menambah jumlah sampel.

Besar kecilnya sampling error ini bisa ditentukan sebelum survei dikerjakan. Yang

perlu dicatat, persoalan jumlah sampel dan sampling error ini hanyalah satu soal

saja dari kesalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan survei. Masalah yang

cukup pelik justru pada soal kesalahan di luar pengambilan sampel (non sampling

error),misalnya apakah wawancara telah dilakukan dengan benar,apakah pertanyaan

telah dibacakan cukup akurat, dan sebagainya.

Persoalan jumlah sampel dan akurasi ini akan terlihat ketika lembaga jajak pendapat

berusaha memprediksikan perolehan suara dari masing-masing partai. Lembaga

jajak pendapat bisa memprediksi PDIP, tetapi kesulitan ketika memprediksi suara

perolehan partai tengah ( PKB, PAN dan PPP). Hasil aktual Pemilu menunjukkan

selisih di antara ketiga partai itu tidak lebih dari 5%. Dengan selisih yang kecil

tersebut, lembaga jajak pendapat tidak cukup aman untuk menentukan mana yang

tertinggi perolehan suaranya di antara ketiga partai tersebut. Kesulitan ini terlihat

misalnya dalam survei RPC ketika harus memprediksi suara PK dan PBN karena

perbedaan suara yang relatif kecil. Atau dalam survei Litbang Kompas yang sukar

membedakan posisi antara PKB dan PAN. Yang menarik dari semua survei ini adalah

IFES. Lembaga survei ini (hanya) memakai sampel sebanyak 1.507. Meski jumlah

sampel ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan lembaga jajak pendapat lain,

IFES ternyata berhasil memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Ini membuktikan

sebetulnya jumlah sampel adalah soal sekunder dalam survei di Indonesia. Yang

menjadi soal primer adalah populasi yang luas dan teknik penarikan sampel yang

tepat. Jika hal ini bisa dikerjakan dengan benar, hasil dari sampel sejumlah 1.500

responden sudah cukup dalam memprediksi hasil Pemilu.

LEMBAGA TEKNIK PENARIKAN SAMPEL JUMLAH SAMPEL

TEKNIK WAWANCARA

RPC Stratified random sampling. Sampel ditarik secara random dari 5 kota yang dipilih.

1.250 Wawancara langsung

IFES Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan

1.507 Wawancara langsung

Page 33: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

33

jenis kelamin. LP3ES Multistage Random Sampling (MRS).

Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.

2.970 Wawancara langsung

Litbang Kompas

Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random menyertakan 52 kelurahan, 104 RW dan 208 RT.

1.500 Wawancara langsung

KPP-Lab Politik UI

Sampel diambil secara random dari Buku Petunjuk Telepon

2.000 Wawancara telepon

Sekarang kita akan meninjau lebih detil soal presisi dari lembaga jajak pendapat ini

dalam meramal hasil Pemilu 1999. Yang menarik dari ramalan perolehan suaraini

adalah lembaga jajak pendapat berhasil meramal dengan tepat perolehan suara dari

partai kecil ( di luar PDIP, PKB, PPP,Golkar dan PAN). Suara dari partai PBB dan PKS

bisa diramal dengan baik. Rata-rata kesalahan peramalan dari lima lembaga ini di

bawah 3%. PDIP dan Golkar juga bisa diramal dengan baik meski rata-rata

kesalahan masih di atas 5%. Lembaga IFES, LP3ES dan RPC berhasil meramal

perolehan suara partai Golkar dengan selisih di bawah 6%. Demikian juga dengan

perolehan suara PDIP yang berhasil diramal dengan baik oleh RPC, IFES, LP3ES dan

Litbang Kompas. Hanya KPP-Lab Politik UI yang gagal meramal dengan baik

perolehan suara PDIP dan Golkar. Ini ditandai dengan kesalahan absolut yang besar

( di atas 12%).

SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI

PARTAI RPC IFES LP3ES Litbang

Kompas KPP-Lab Politik UI

Rata-Rata Selisih

PDIP 3 4.7 5.9 9.6 14.2 7.48 Golkar 5.7 -0.6 -1.2 8.1 13.1 5.02 PKB -6.6 -7.4 -12.4 8 10.8 -1.52 PPP -5.3 -6.3 2.4 -6 6.7 -1.7 PAN -15.5 -8.9 -1.2 -5.7 -8.7 -8 PBB -5.7 -1.1 - - -0.1 -2.3 PK -6.3 -0.6 - - -1.6 -2.83 Keterangan: Rata-rata deviasi dihitung dari selisih rata-rata dari 5 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+)atau negatif (-) diabaikan.

Kalau PDIP dan Golkar relatif bisa diramal dengan selisih tidak begitu besar, tidak

demikian halnya dengan PKB, PPP dan PAN. Rata-rata kesalahan lima lembaga ini

dalam meramal suara ketiga partai di atas 7%. Perolehan suara PKB yang paling

Page 34: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

34

sulit diramalkan. Lembaga RPC, IFES dan LP3ES meramalkan perolehan suara PKB

lebih besar dari yang aktual didapat saat Pemilu. Sebaliknya Litbang Kompas dan

KPP-Lab Politik UI meramalkan perolehan suara PKB di bawah dari yang berhasil

didapatkan PKB dalam Pemilu. Kesalahan paling besar dalam meramal PKB

dilakukan oleh LP3ES dengan selisih suara 12.4%. Yang menarik, kalau LP3ES gagal

dalam meramal perolehan suara PKB, lembaga ini justru sangat berhasil dalam

meramal perolehan suara PPP dan PAN. Tingkat kesalahan LP3ES dalam meramal

perolehan suara dua partai ini paling kecil dibandingkan dengan empat lembaga

jajak pendapat lain.

Alasan yang bisa diberikan untuk menjelaskan kesalahan dalam meramalkan

perolehan suara ini adalah soal sampel yang didapatkan masing-masing lembaga

jajak pendapat. Indonesia bukan hanya negeri dengan penduduk yang tersebar dari

ribuan pulau, tetapi juga berbeda dalam karakteristik sosial. Ada perbedaan yang

besar antara masyarakat yang berpendidikan tinggi dengan masyarakat

berpendidikan rendah. Ada jurang lebar antara masyarakat berpenghasilan tinggi

dengan rendah. Celakanya, karakteristik yang beragam itu menentukan pilihan

partai. Karena itu sampel yang didapatkan tidak hanya harus merepresentasikan

keragaman wilayah ( Jawa-Luar Jawa dan desa kota) tetapi juga harus merefleksikan

keragaman karakteristik sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat

penghasilan dan sebagainya. Cara paling mudah untuk mengecek apakah

sampeldari lembaga jajak pendapat representatif atau tidak adalah dengan

membandingkan apakah ciri-ciri karakter dari sampel (seperti pendidikan,

penghasilan, suku bangsa, pekerjaan dan sebagainya) identik atau tidak dengan

data populasi. Representasi ini penting karena ada partai yang kuat di satu kelompok

tertentu tetapi ada juga partai yang tidak kuat di kelompok masyarakat lain.

Berbagai survei ( diantaranya oleh IRI dan LSI) menunjukkan hanya PDIP dan Golkar

saja yang bisa disebut sebagai partai mirip miniatur Indonesia. Basis pendukung dari

dua partai ini kuat di segala segmen lapisan masyarakat (dari lapisan tinggi,

menengah atau rendah). Sementara partai lain ada yang sangat kuat di lapisan

menengah dan tinggi (seperti PAN), tetapi ada juga yang berakar dari lapisan

masyarakat bawag (seperti PKB). Karakter pemilih seperti itu mengakibatkan

lembaga survei harus mendapatkan sampel yang seakurat dan sedekat mungkin

dengan gambaran populasi. Jika sampel yang didapat lebih banyak dari kalangan

Page 35: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

35

masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan tinggi misalnya, maka hasilnya akan

bias kepada partai dengan basis massa dari kelompok itu. Demikian juga sebaliknya.

LEMBAGA KARAKTER POPULASI (BPS Tahun 2000-Tingkat Pendidikan)

KARAKTER SAMPEL (%)

DEVIASI (Karakter Populasi- Sampel (%)

Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -

RPC

Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Lulus SMP/dibawah: 79 % 58 21 Lulus SLTA: 18 30 -12

IFES

Lulus Akademi / di atasnya: 4% 12 -8 Lulus SMP/dibawah: 79 % 39 40 Lulus SLTA: 18 42 -24

Litbang Kompas

Lulus S1 / di atasnya: 4% 19 -15 Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -

LP3ES

Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -

KPP-Lab Politik UI

Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Keterangan: Survei RPC, KPP dan LP3ES seperti dpublikasikan di media tidak menyertakan profil pendidikan responden. Karena keterbatasan data, tidak bisa dinilai deviasi antara karakter populasi dan sampel.

Karakter pemilih semacam itu bisa menjelaskan kesalahan lembaga jajak pendapat

dalam meramalkan perolehan suara masing-masing partai. Golkar dan PDIP bisa

diramalkan dengan seleisuh tidak besar karena secara karakter pemilih kedua partai

ini memang terseber secara merata. Sampel yang bias ke kelompok masyarakat

tertentu misalnya tidak berakibat jauh kepada perolehan suara dari masing-masing

partai. Tetapi akan sangat terasa ketika lembaga jajak pendapat meramal terutama

PKB dan PAN. Kedua partai ini berbeda secara diametral. PKB didirikan oleh sejumlah

ulama Nahdatul Ulama dan didukung oleh massa NU yang tersebar di desa-desa

terutama Jawa. Sebaliknya PAN didirikan oleh sejumlah intelektual dan akademisi.

Basis massa PAN adalah warga perkotaan.

IFES dan Litbang Kompas meramal perolehan suara PKB lebih kecil dari yang

sebenarnya didapatkan PKB dengan selisih di atas 7%. Jika dilihat karakter sampel

kedua lembaga ini, memang agak bias kekelompok berpendidikan menengah.

Jumlah mereka yang berpendidikan rendah (lulus SD dan SMP atau di bawahnya)

lebih kecil dari populasi. Jika kita mengacu kepada data BPS tahun 2000, jumlah

Page 36: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

36

mereka yang berpendidikan SMP atau di bawahnya ini adalah mayoritas, mencapai

79%. Sementara sampel Litbang Kompas, hanya 39%. Dengan jumlah sampel

berpendidikan rendah lebih sedikit, tidak mengherankan jikalau suara PKB mengecil

alam temuan lembaga jajak pendapat tersebut. Penjelasan karakter sampel ini

hanya salah satu penjelas. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentu saja perlu

tinjauan dan penelitian lebih mendalam. Karena penjelas ini juga tidak cukup

memuaskan untuk menjelaskan berbagai fenomena lain. Seperti suara PKB di survei

IFES. Meskipun karakter sampel berpendidikan rendah di IFES tidak proporsional

(hanya 58%), ternyata suara PKB cukup besar dalam prediksi IFES.

Page 37: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

37

IV. JAJAK PENDAPAT

DAN RAMALAN PEMILU 2004

Setiap masa punya tantangan yang berbeda. Pada Pemilu 1999, lembaga jajak

pendapat ditantang menghasilkan temuan yang akurat. Lembaga jajak pendapat

berhasil menjawab tantangan itu dengan menemukan hasil pemenang Pemilu yang

sama dengan hasil aktual Pemilu, yakni PDIP. Pada Pemilu 2004, tantangan lembaga

jajak pendapat tidak hanya berhenti sampai di situ. Lembaga jajak pendapat dituntut

bukan hanya akurat tetapi juga presisi---sesuatu yang belum bisa dicapai oleh

lembaga jajak pendapat tahun 1999. Tantangan besar dari lembaga tahun 2004 ini

bukan hanya bisa meramalkan siapa pemenang Pemilu, tetapi juga secara presisi

meramalkan perolehan suara masing-masing partai.

Pada Pemilu 2004 ini, kegiatan jajak pendapat marak dilakukan. Suratkabar,

dotcom dan televisi membuat aneka jajak pendapat baik lewat telepon maupun SMS.

Meski banyak sekali jajak pendapat, hanya beberapa jajak pendapat saja yang bisa

kita pertimbangkan. Ada sejumlah kriteria untuk menyaring jajak pendapat. Jajak

pendapat itu haruslah dilakukan dengan metode ilmiah yang ketat dan dengan

prinsip pengambilan sampel yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, jajak

pendapat lewat in call atau lewat SMS tidak disertakan dalam analisis di bab ini.

Jajak pendapat tersebut tidak berpretensi ilmiah. Karena tidak berpretensi ilmiah,

hasilnya tentu saja tidak bisa dipakai untuk melakukan generalisasi suara pemilih.

Aneka jajak pendapat itu hanya bisa dilihat semata sebagi hiburan, karena hasilnya

sama sekali tidak bisa dipakai untuk menggambarkan populasi masyarakat pemilih

Indonesia.

Dalam konteks Pemilu di Indonesia, jajak pendapat itu harus dilakukan secara

langsung, lewat wawancara langsung (face to face). Berbagai jajak pendapat lewat

telepon atau internet tidak dimasukkan karena bisa yang besar antara sampel

dengan populasi. Telepon dan internet masih dimiliki oleh segelintir orang, selain

sampel yang dimabil dari telepon atau internet relatif hanya memasukkan responden

kota. Padahal, berbicara Pemilu adalah berbicara tentang kota dan desa. Ketiga,

jajak pendapat itu dimaksudkan untuk menggambarkan suara nasional. Dari tiga

syarat tersebut paling tidak ada 7 survei yang bisa ditinjau dan diperbandingkan:

LP3ES ( Lembaga Penelitian Penerbitan Ekonomi dan Sosial), Badan Penelitian dan

Page 38: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

38

Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research

Institute), IFES (International Foundation for Election Systems), IRI (International

Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI), dan Soegeng Sarjadi

Syndicated. Ketujuh survei tersebut dilakukan satu tahun terakhir. Jika ada lembaga

jajak pendapat yang dalam satu tahun terakhir membuat jajak pendapat lebih dari

sekali ( LSI, IFES dan IRI), maka yang dianalisis adalah hasil jajak pendapat yang

paling dekat dengan hari pencoblosan tanggal 5 April. 25

Ada dua catatan bagaimana penilaian atas hasil jajak pendapat ini dilakukan.

Pertama, akurasi maupun presisi lembaga jajak pendapat hanya didasarkan pada

ramalan atas 7 partai politik dengan suara terbesar (Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD, PKS

dan PAN). Kesalahan absolut rata-rata karenanya juga dihitung dari 7 partai

tersebut. Idealnya kinerja lembaga jajak pendapat itu dilihat dari prediksi mereka

atas 24 partai yang ikut berlaga dalam Pemilu 2004. Tetapi karena keterbatasan

data, perhitungan hanya bisa dilakukan atas prediksi 7 partai itu. 26Kedua, lembaga

jajak pendapat bisa jadi tidak mendesain survei yang mereka lakukan untuk tujuan

prediksi Pemilu. Dalam analisis ini, tujuan jajak pendapat dikesampingkan. Yang

menjadi perhatian adalah apakah dalam jajak pendapat itu ada pertanyan mengenai

pilihan partai atau tidak. 27

25 Khusus untuk LP3ES, selain survei bulan Mei 2003, lembaga ini juga membuat jajak pendapat di bulan Maret 2004. Hanya saja, jajak pendapat terakhir ini dilakukan lewat telepon. Meski dua jajak pendapat itu dilakukan secara serius dan dengan metode yang ketat, kerangka sampel diambil dari Buku Telepon. Jadi yang dipakai adalah jajak pendapat di bulan Mei 2003. 26 Keterbatasan data itu meliputi dua hal. Pertama, sejumlah survei dilakukan sebelum bulan Desember 2003 ( LP3ES, IRI, Balitbang PDIP, dan DRI). Padahal, partai peserta Pemilu baru ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 7 Desember 2003. Pada tanggal itu, KPU mengumumkan partai mana saja yang lolos verifikasi dan berhak menjadi peserta Pemilu 2004. Sebelum tanggal 7 Desember, hanya ada 6 partai yang sudah diketahui sebagai peserta Pemilu karena lolos electoral treshold yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PAN dan PBB. Itu artinya, jajak pendapat yang dilakukan sebelum 7 Desember 2003 tidak bisa mengukur popularitas atau pilihan kepada partai baru---seperti Partai Pelopor, Partai Bintang Reformasi, Partai Karya Peduli Bangsa dan sebagainya. Hanya jajak pendapat LSI, IFES dan SSS yang dilakukan setelah Desember 2003 dan karenanya ada data lengkap pilihan atas 24 partai. Kedua, dalam publikasi resmi lembaga jajak pendapat ( baik dalam konferensi pers atau laporan penelitian), prediksi perolehan suara dari 24 partai jarang ditampilkan. Lembaga jajak pendapat umumnya hanya menampikkan 5 atau 7 partai dengan perolehan suara terbesar. Partai lain dilaporkan dalam satu ketegori: partai lainnya. Supaya seragam dan bisa diperbandingkan antara satu lembaga jajak pendapat dengan lembaga jajak pendapat lain, dipilih prediksi atas 7 partai saja. 27 Survei IFES (International Foundation for Election Systems) misalnya. Survei berkala yang dilakukan oleh IFES tidak dimaksudkan untuk mengukur kekuatan partai. Survei terutama ditujukan untuk pendidikan pemilih seperti pengetahuan mengenai sistem Pemilu dan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu. Tetapi karena dalam survei itu ada pertanyaan mengenai partai dan presiden, dimasukkan dalam analisis.

Page 39: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

39

Dari 7 lembaga jajak pendapat, mereka menemukan struktur partai pemenang

Pemilu yang mirip, yakni peralihan kekuasaan dari PDIP ke Golkar. Lembaga jajak

pendapat tersebut juga menemukan naiknya suara secara signifikan Partai Keadilan

Sejahtera (PKS). Bersama dengan Partai Demokrat, PKS diprediksikan akan lolos

electoral treshold dan masuk dalam partai papan tengah. Jajak pendapat juga

menemukan turunnya perolehan suara Partai Bulan Bintang. Sampai hari ini kita

belum bisa mengecek apakah ramalan lembaga jajak pendapat tersebut benar atau

salah. Perhitungan yang lebih cermat untuk mengetahui apakah lembaga jajak

pendapat itu akurat atau tidak dalam memprediksi hasil Pemilu bisa kita lakukan

tanggal 5 Mei 2004 ----saat perhitungan resmi berakhir. Sebagian besar lembaga

jajak pendapat berhasil memprediksi 3 besar pemenang Pemilu---Golkar. PDIP dan

PKB. Hasil ini menunjukkan, meski lembaga jajak pendapat itu menggunakan sampel

kecil antar 1.250-5000 orang responden dengan tepat bisa memprediksi suara

Pemilih yang mencapai 146 juta orang.

Survei LP3ES (Mei 2003)

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 18 1 21.58 1 3.58 PDIP 7 2 18.53 2 11.53 PKB 2 10.57 3 8.57 PPP 5

3-5 8.15 4 3.15

PD - - 7.45 5 - PKS - - 7.34 6 - PAN 4 3-5 6.44 7 2.44 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LP3ES= 5.85

Keterangan: pilihan partai untuk PKS dijadikan satu oleh LP3ES dengan partai lain dalam label: partai lainnya. Jadi, tidak bisa diperoleh angka pasti perolehan suara PKS. Sementara untuk Partai Demokrat, saat survei dijalankan belum terbentuk. Kesalahan absolut rata-rata dihitung dari 5 partai.

Survei Balitbang PDIP (Juni 2003)

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 28.7 1 21.58 1 -7.12 PDIP 21.2 2 18.53 2 -2.67 PKB 11.2 10.57 3 -0.63 PPP 12.5 3- 4 8.15 4 -4.35 PD - - 7.45 5 - PKS - - 7.34 6 - PAN 9 5 6.44 7 -2.56

Page 40: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

40

Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Balitbang PDIP= 3.47 Keterangan: pilihan partai untuk PKS dijadikan satu oleh Balitbang PDIP dengan partai lain dalam label: partai lainnya. Jadi, tidak bisa diperoleh angka pasti perolehan suara PKS. Sementara untuk Partai Demokrat, saat survei dijalankan belum terbentuk. Kesalahan absolut rata-rata dihitung dari 5 partai.

Survei IRI (Desember 2003)

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 24 1 21.58 1 -2.42 PDIP 19 2 18.53 2 -0.47 PKB 10 3 10.57 3 0.57 PPP 7 4 8.15 4 1.15 PD - - 7.45 5 - PKS 3 6 7.34 6 4.34 PAN 5 5 6.44 7 1.44 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IRI= 1.73

Keterangan: Saat survei dilakukan, Partai Demokrat belum terbentuk ( belum diverifikasi oleh KPU). Kesalahan absolut rata-rata survei dihitung dari 6 partai.

Survei DRI (Oktober 2003)

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 21.9 1 21.58 1 -0.32 PDIP 9.6 2 18.53 2 8.93 PKB 6.6 10.57 3 3.97 PPP 5.7

3-4 8.15 4 2.45

PD - - 7.45 5 - PKS 2 6-7 7.34 6 5.34 PAN 5.2 5 6.44 7 1.24 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei DRI = 3.71

Keterangan: Saat survei dilakukan, Partai Demokrat belum terbentuk ( belum diverifikasi oleh KPU). Kesalahan absolut rata-rata survei dihitung dari 6 partai.

Survei LSI (Maret 2004 )

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 23.2 1 21.58 1 -1.62 PDIP 17.5 2 18.53 2 1.03 PKB 9.5 3 10.57 3 1.07 PPP 5.7 8.15 4 2.45 PD 4.9 7.45 5 2.55 PKS 5.5

5-7 7.34 6 1.84

PAN 7.4 4 6.44 7 -0.96 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LSI= 1.64

Page 41: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

41

Survei IFES (Maret 2004 )

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 22.2 1 21.58 1 -0.62 PDIP 11.5 2 18.53 2 7.03 PKB 6.6 3 10.57 3 3.97 PPP 5 8.15 4 3.15 PD 4.1 7.45 5 3.35 PKS 3.6

5-7 7.34 6 3.74

PAN 6.4 4 6.44 7 0.04 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IFES = 3.13

Survei SSS (Februari-Maret 2004 )

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 15.8 2 21.58 1 5.78 PDIP 20.7 1 18.53 2 -2.17 PKB 12.4 3-4 10.57 3 -1.83 PPP 5.7 6 8.15 4 2.45 PD 3.2 7-8 7.45 5 4.25 PKS 10.6 5 7.34 6 -3.26 PAN 13.5 3-4 6.44 7 -7.06 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SSS= 3.83

AKURASI

Membandingkan hasil antara jajak pendapat satu dengan jajak pendapat lain

memang terkesan tidak adil. Karena jajak pendapat satu mempunyai instrumen,

sampel, dan rumusan pertanyaan yang berbeda. Tetapi disini sesungguhnya

masalahnya. Jajak pendapat pada dasarnya tergantung kepada bagaimana

pengambilan sampel, rumusan pertanyaan, tujuan, dan metode wawancara. Populasi

dan teknik penarikan sampel yang berbeda, metode wawancara yang berbeda dan

rumusan pertanyaan yang berbeda akan menghasilkan “temuan” yang berbeda pula.

Dari 7 jajak pendapat Pemilu 2004 yang dianalisis dan diperbandingkan dalam bab

ini perlu diberi catatan khusus. Jajak pendapat LP3ES, Balitbang PDIP dan

Danareksa Institute karena dilakukan jauh sebelum Pemilu ( lebih dari enam bulan)

berbeda dengan jajak pendapat IFES, IRI, LSI dan SSS. Jajak pendapat yang

pertama dilakukan ketika orang (mungkin) belum punya pilihan. Sementara jajak

pendapat kedua dilakukan menjelang pemilihan, dan orang kemungkinan sudah

mempunyai pilihan partai. Tidak mengherankan jikalau jajak pendapat yang kedua,

lebih mendekati kenyataan hasil aktual Pemilu dibandingkan dengan jajak pendapat

Page 42: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

42

yang pertama. Selain itu, jajak pendapat pertama karena dilakukan jauh sebelum

Pemilu, peristiwa-peristiwa penting menjelang Pemilu, atau perubahan opini sebelum

Pemilu tidak bisa diakomodasi dalam jajak pendapat.

Lembaga Periode Pengambilan Data

Publikasi

LP3ES 1-12 Mei 2003 Laporan penelitian, konferensi pers bulan Mei, berita media bulan Mei 2003 dan website LP3ES (www.lp3es.or.id)

Balitbang PDIP

Mei-Juni 2003 Laporan penelitian, dan berita media bulan Juni 2003

DRI Oktober 2003 Newsletter Danareksa edisi bulan Oktober 2003

IFES 21-24 Maret 2004 Berita suratkabar bulan Maret 2004, website ifes (www.ifes.org)

IRI 7-22 Desember 2003 Konferensi pers Januari 2004 dan website IRI ( www.iri-indonesia.org)

LSI 18-24 Maret 2004 Konferensi pers 2 April 2004, berita media edisi 3 April 2004 dan website LSI (www.lsi.or.id)

SSS Februari-Maret 2004 Laporan penelitian, berita suratkabar edisi bulan Maret 2004 dan website SSS (www.sss-csp.or.id)

Dari 7 jajak pendapat tersebut, ternyata menghasilkan temuan yang hampir mirip

satu sama lain. Tabel memperlihatkan hasil jajak pendapat berbagai lembaga soal

partai pilihan. Jajak pendapat menghasilkan Golkar sebagai pemenang Pemilu dan

PDIP tergeser di urutan kedua. Yang agak berbeda dari 7 jajak pendapat tersebut

hanyalah Soegeng Sarjadi Syndicated saja yang gagal meramalkan Golkar sebagai

pemenang Pemilu. Perhatian sekarang kita arahkan kepada empat jajak pendapat (

DRI, LSI, IRI, IFES). Meskipun angka prosentasenya berbeda, keempat lembaga itu

menghasilkan urutan pilihan partai yang akan dicoblos oleh responden tiga besar

adalah: Golkar, PDIP, dan PKB. Posisi 4 hingga delapan agak berbeda antara

lembaga jajak pendapat. Pada jajak pendapat IFES urutan 4 hingga 8 masing-

masing: PAN, PPP, PD, PKS dan PBB. Di LSI, berturut-turut PAN, PPP, PKS, PD, dan

PBB. Sementara dalam jajak pendapat di IRI, urutan 4-8 masing-masing: PPP, PAN,

PKS dan PBB. Meski urutan posisi 4 hingga 8 berbeda antara masing-masing

lembaga jajak pendapat, tetapi perbedaan itu masih bisa ditolerir secara statistik.

Karena selisih partai dengan posisi 4 hingga 8 sangat tipis, masih berada di bawah

margin of error dari masing-masing lembaga jajak pendapat yang berkisar di angka

1 hingga 2.5%.

Page 43: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

43

Hasil jajak pendapat ini yang mirip ini menunjukkan jika jajak pendapat dilakukan

dengan metode yang sama maka hasilnya juga sama. Dari 7 lembaga jajak pendapat

tersebut, IRI, IFES dan LSI memakai metode penarikan sampel yang sama

(multistage random sampling). Dan seperti terlihat dalam tabel, metode yang sama

ini menghasilkan temuan yang mirip. Yang agak berbeda adalah Soegeng Sarjadi

Syndicated. Tetapi diantara lembaga survei yang lain, metode penarikan sampel SSS

ini yang berbeda. Sehingga hasilnya berbeda dengan lembaga jajak pendapat yang

lain.

KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT

PARTAI

LP3ES Balitbang PDIP

IRI DRI LSI IFES SSS

Komposisi Aktual Hasil Pemilu

Golkar 1 1 1 1 1 1 2 1 PDIP 2 2 2 2 2 2 1 2 PKB 3 3 3 3-4 3 PPP

3-5 3- 4 4

3-4 6 4

PD - - - - 7-8 5 PKS - - 6 6-7

5-7

5-7 5 6

PAN 3-5 5 5 5 4 4 3-4 7

Jika dibandingkan dengan prediksi lembaga jajak pendapat Pemilu 1999, maka

prediksi yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat Pemilu 2004 ini lebih baik. Mereka

bukan hanya berhasil meramalkan pemenang Pemilu, tetapi juga tiga sampai lima

besar partai dengan perolehan suara terbanyak. Dari 7 lembaga jajak pendapat, tiga

lembaga ( IFES, IRI dan LSI) yang menghasilkan temuan mirip dengan struktur

kemenangan partai. Sementara lembaga yang lain, hanya urutan 1-3 yang sama

sementara urutan ke bawahnya agak berbeda dengan hasil aktual Pemilu.

Salah satu penjelas kenapa tiga lembaga tersebut yang bisa memprediksi dengan

mirip komposisi pemenang Pemiliu, karena tiga lembaga itu menjangkau populasi

paling luas. Dengan populasi yang luas, derajat keragaman masyarakat Indonesia

bisa diakomodasi dalam survei. IFES dan LSI yang menyertakan semua provinsi di

Indonesia (100 % dari populasi). Meskipun tidak menyertakan semua wilayah

provinsi di Indonesia, IRI juga melakukukan jajak pendapat nasional, tetapi populasi

yang diambil 94% dari populasi. Ada 9 provinsi yang tidak diikutsertakan dalam

survei IRI, dengan berbagai alasan ( alasan keamanan, akses dan sedikitnya

populasi) yakni Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo,

Page 44: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

44

Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat. Berbeda dengan keempat lembaga

tersebut adalah DRI dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Mengingat keragaman

masyarakat Indonesia, makin banyak provinsi yang dimasukkan makin bagus. Dalam

konteks Pemilu, ada satu faktor kunci kenapa keragaman provinsi ini penting. Partai-

partai politik umumnya mempunyai basis wilayah masing-masing. Di tempat lain

bisa jadi partai politik kalah, tetapi di wilayah basis massa-nya, partai politik itu

mendapat dukungan luas. Golkar secara tradisi sangat kuat di wilayah Sulawesi

Selatan, PKB kuat (sekali) di Jawa Timur, PAN di Sumatera Barat, PDIP di Bali.

Partai-partai dengan basis massa penganut Kristen yang di Jawa tidak mendapat

tempat, di wilayah Maluku atau Nusa Tenggara justru bisa berjaya.

Yang perlu mendapat catatan adalah Danareksa Research Institute (DRI). Jajak

pendapat DRI hanya didasarkan pada 5 wilayah terpilih yakni Jakarta, Jawa Timur,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara----wilayah-wilayah

ini umum diambil sebagai sampel dalam survei-survei pemasaran dan ekonomi. Hasil

survei DRI selama ini memang tidak terlampu berbeda dibandingkan dengan survei

nasional yang dilakukan berbagai lembaga. Tetapi kelamahan DRI adalah cakupan

wilayah yang terbatas. Satu wilayah dihilangkan misalnya akan mengubah struktur

hasil secara keseluruhan. 28

Teknik Penarikan Sampel Jajak Pendapat Berbagai Lembaga

Lembaga Populasi PSU Teknik Penarikan Sampel

Jumlah Sampel

LP3ES 13 provinsi di Indonesia yang diambil secara random (Jabotabek, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali,

Desa Multistage random sampling. Sampel ditarik secara random dari 13 provinsi, dengan proporsi jenis kelamin (laki-laki perempuan) seimbang, 50%.

3.000

28 Taruhlan pilihan partai politik. Prosentase Golkar yang besar sangat besar disumbang oleh responden yang berasal dari Sukawesi Selatan. Dalam survei Dri bulan Juli lalu misalnya, 34 persen responden di Sulawesi Selatan memilih Golkar . Bandingkan dengan pilihan responden atas partai lain yang hanya berkisar di bawah 5%. Jika Sulawesi Selatan dihilangkan (misalnya), akan mengubah proporsi angka-angka ini secara keseluruhan. Atau kandidat presiden Yusuf Kalla. Di Sulawesi Selatan, ia didukung oleh 22% responden. Padahal di wilayah lain, paling besar hanya 4%. Fenomena yang sama untuk partai PKB di Jawa Timur. Dengan kata lain, dengan cakupan wilayah yang terbatas, DRI mendapatkan wilayah yang sangat Golkar, atau wilayah yang sangat PDI dan sangat PKB.

Page 45: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

45

dan Nusa Tenggara Timur)

Balitbang PDIP

18 provinsi yang diambil secara random (Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua )

Desa Multistage random sampling. Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.

2.500

DRI 5 provinsi di Indonesia (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan)

Desa Stratified random sampling. Sampel ditarik dari 5 provinsi berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan dan tingkat sosial ekonomi.

1.700

IFES 32 provinsi (termasuk Aceh, Maluku dan Papua)

Desa Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.

1.250

IRI 23 provinsi. 9 provinsi yang tidak diikutsertakan adalah Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat

Kecamatan Probability Proportional to Size (PPS). Sampel diambil secara random dan proporsional sesuai dengan populasi provinsi

2.540

LSI 32 provinsi (termasuk Aceh, Maluku dan Papua)

Desa Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.

2.760

SSS 15 Provinsi ( terdiri atas 19 kota dan 14 kabupaten)

Kabupaten/ kotamadya

Stratified random sampling.

5.000

Page 46: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

46

PRESISI

Ukuran kedua yang bisa dipakai untuk menilai lembaga jajak pendapat adalah

presisi, apakah lembaga jajak pendapat bisa meramalkan dengan benar perolehan

suara partai. Yang menarik, dari 7 lembaga yang ditinjau, bisa memprediksi

perolehan suara dengan selisih tidak besar. Rata-rata kesalahan absolut lembaga

jajak pendapat dalam memprediksi suara 7 partai di bawah 6%. Kesalahan absolut

survei berturut-turut dari besar ke kecil adalah sebagai berikut: LP3ES (5.85%),

Balitbang PDIP (3.47%), SSS (3.83%), DRI (3.71%), IFES (3.13%), IRI (1.73%)

dan LSI (1.64%).

Yang perlu dicatat dari prediksi perolehan suara partai ini adalah waktu

penyelenggaraan jajak pendapat. Survei yang dilakukan enam bulan sebelum Pemilu

lebih besar tingkat kesalahan prediksi suara dibandingkan dengan survei yang

dilakukan menjelang Pemilu. Pada survei yang dilakukan hampir setahun sebelum

Pemilu ( LP3ES atau Balitbang PDIP), bisa dipastikan suara pemilih belum

mengkristal. Orang masih menimbang-nimbang partai apa yang akan dipilih.

Besarnya orang yang masih menimbang-nimbang dan belum menentukan partai

pilihan ini pada gilirannya akan berimbas pada perolehan suara partai yang

ditemukan oleh lembaga jajak pendapat. Jajak pendapat LP3ES, Balitbang PDIP dan

DRI karena dilakukan jauh sebelum Pemilu ditandai dengan selisih yang masih besar

dengan perolehan riil partai. Masalah itu tidak banyak dialami oleh jajak pendapat

yang dilakukan menjelang hari pencoblosan. Pemilih secara teoritis sudah punya

partai pilihan. Jumlah pemilih yang belum memutuskan atau masih menimbang-

nimbang partai pilihan, makin berkurang. Pada gilirannya, prediksi suara lebih

mendekati kenyataan.

Lebih dalam kita bisa menilai bagaimana capaian yang berhasil didapat oleh

lembaga jajak pendapat dalam memprediksi suara masing-masing partai. Tabel itu

menunjukkan berapa selisih ( deviasi) perbedaan antara hasil survei dengan hasil

aktual Pemilu. Angka plus minus bisa dikesampingkan. Makin kecil angka selisih,

makin dekat prediksi dengan hasil aktual. Ada beberapa temuan yang menarik dari

data ini. Pertama, lembaga jajak pendapat berhasil memprediksi dengan selisih

suara kecil partai pemenang Pemilu ( Golkar). Total dari 7 lembaga jajak pendapat

bila di rata-rata, hanya 3.1%. Yang paling mendekati adalah DRI dengan selisih

0.32%, IFES dengan selisih 0.62%, dan LSI dengan selisih 1.62%.

Page 47: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

47

Jika perolehan suara partai Golkar bisa diprediksi dengan selisih kecil, sebaliknya

PDIP angka selisihnya masih besar. Rata-rata dari 7 lembaga jajak pendapat ini,

selisih prediksi suara PDIP mencapai 4.8%. Lembaga yang paling dekat dalam

memprediksi perolehan suara PDIP adalah IRI dengan selisih 0.47% dan LSI dengan

selisih 1.03%. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Balitbang PDIP dan Soegeng

Sarjadi Syndicated juga berhasil memprediksikan perolehan suara partai PDIP

dengan selisih masing-masing 2.67% dan 2.17%. Yang menggembirakan adalah dari

7 partai dengan perolehan suara terbesar, bisa diprediksikan dengan baik oleh

lembaga jajak pendapat. Semuanya bisa diprediksi dengan kesalahan di bawah 5%.

Dari 8 partai itu, yang paling besar derajat perbedaan adalah prediksi atas Partai

Demokrat (PD). Kesalahan dalam memprediksi suara PDI ini bisa terjadi karena

besarnya suara yang pindah menjelang pemilihan. Lembaga jajak pendapat yang

tidak mengamati perpindahan suara itu sampai kampanye Pemilu, tidak akan

berhasil dengan cermat memprediksi munculnya Partai Demokrat (PD).

SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI

PARTAI

LP3ES Balitbang PDIP

IRI DRI LSI IFES SSS

Rata-Rata Selisih

Golkar 3.58 -7.12 -2.42 -0.32 -1.62 -0.62 5.78 3.1

PDIP 11.53 -2.67 -0.47 8.93 1.03 7.03 -2.17 4.8

PKB 8.57 -0.63 0.57 3.97 1.07 3.97 -1.83 2.9

PPP 3.15 -4.35 1.15 2.45 2.45 3.15 2.45 2.7 PD - - - - 2.55 3.35 4.25 3.4

PKS - - 4.34 5.34 1.84 3.74 -3.26 3.7

PAN 2.44 -2.56 1.44 1.24 -0.96 0.04 -7.06 2.2

Keterangan: Rata-rata selisih (deviasi) dihitung dari selisih rata-rata dari 7 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+) atau negatif (-) diabaikan. Khusus untuk Partai Demokrat, selisih dihitung dari 3 lembaga, dan PKS dari 5 lembaga.

Dekatnya prediksi antar lembaga jajak pendapat juga menguatkan harapn, bila jajak

pendapat dilakukan dengan benar, dengan teknik pengambilan sampel yang standar

maka hasilnya akan mendekati kenyataan. Hampir semua lembaga survei memakai

teknik stratified random sampling atau multistage random sampling. Sampel diambil

dengan memperhatikan proporsi jenis kelamin dan proporsi desa kota. Apapun

Page 48: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

48

metode penarikan sampel yang dipakai, tujuan akhirnya adalah menghasilkan

sampel yang representasi terhadap populasi. Salah satu cara paling mudah untuk

menilai apakah sampel representatif atau tidak adalah dengan membandingkan

karakter sampel dengan karakter populasi. Karakteristik sampel seperti desa kota,

pekerjaan, pendidikan, penghasilan, agama, atau suku bangsa bisa dibandingkan

secara langsung antara sampel dengan populasi ( yang umum dipakai adalah data

demografi BPS). Makin mirip karakter sampel dengan populasi maka makin bagus

sampel yang diperoleh.

Sebagian besar lembaga survei pendapat umum mengambil 1.000-5.000 responden.

Jumlah sampel ini seringkali krusial karena berhubungan dengan biaya penelitian.

Makin banyak sampel makin banyak biaya yang harus dikeluarkan. Beberapa

lembaga survei menekan jumlah sampel untuk menekan biaya penelitian ini. Tetapi

jumlah sampel (yang berhubungan dengan tingkat kesalahan yang bisa ditoleransi—

sampling error) hanyalah satu soal. Yang lebih penting dan krusial adalah bagaimana

responden. Berbagai penelitian membuktikan jumlah sampel memang penting tetapi

tidak pernah ada survei yang salah hanya karena kurang sampel. Kesalahan banyak

survei justru terjaadi karena sampel yang diambil tidak representatif. 29

Di luar perdebatan soal jumlah sampel dan sampling error, persoalan survei di

Indonesia justru terletak pada masalah di luar teknis pengambilan sampel (non

sampling error). Apakah pertanyaan dipahami oleh responden, apakah wawancara

dilakukan dengan orang yang benar, apakah responden menjawab secara jujur

pertanyaan pewawancara, bagaimana logat, bahasa mempengaruhi wawancara dan

sebagainya. Kesulitan lain, bagaimana mengontrol pewawancara, bagaimana spot

chek dilakukan dengan benar agar hasil benar-benar mencerminkan pendapat yang

sebenarnya. Persoalan ini jauh lebih memusingkan lembaga survei dibandingkan

persoalan jumlah sampel. Sayang, berbagai publikasi jajak pendapat, tidak

menyertakan response rate jajak pendapat. Padahal dari sini bisa diketahui,

seberapa besar responden asli dan seberapa banyak responden pengganti yang

dipakai. Berapa banyak orang yang tidak bersedia diwawancarai. Publikasi yang

menyertakan angka response rate ini adalah jajak pendapat IRI. Dari publikasi IRI

bisa diketahui, responden asli yang berhasil diwawancarai sebesar 65,7%. Sisanya

29 Lihat David S. Moore, Statistics: Concept and Controversies, Second Edition, New York, WH Freeman, 1985, hal. 12-16

Page 49: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

49

adalah pengganti. Di bebarap wilayah seperti Riau dan Banten angka response rate

di bawah 50 persen. Tantangan jajak pendapat di Indonesia yang tidak bisa

dianggap sepele adalah kepastian bahwa wawancara telah dilakukan secara benar,

dan pertanyaan dalam kuesioner telah dibuat dan diajukan dengan benar pula.

Karakter Sampel Jajak Pendapat Berbagai Lembaga

LEMBAGA KARAKTER POPULASI (BPS Tahun 2000-Tingkat Pendidikan)

KARAKTER SAMPEL (%)

DEVIASI (Karakter Populasi- Sampel (%)

Lulus SMP/dibawah: 79 % 60.7 -18.3 Lulus SLTA: 18 29 11

LP3ES

Lulus S1 / di atasnya: 4% 9 5 Lulus SMP/dibawah: 79 % 64 -15 Lulus SLTA: 18 24 6

Balitbang PDIP

Lulus Akademi / di atasnya: 4% 8 4 Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -

DRI

Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -

IFES

Lulus Akademi / di atasnya: 4% 7.6 3.6 Lulus SMP/dibawah: 79 % 65 -14 Lulus SLTA: 18 28 10

IRI

Lulus S1 / di atasnya: 4% 7 3 Lulus SMP/dibawah: 79 % 70.2 -8.8 Lulus SLTA: 18 20.3 2.3

LSI

Lulus S1 / di atasnya: 4% 9.5 5.5 Lulus SMP/dibawah: 79 % 59.48 -19.52 Lulus SLTA: 18 31.2 13.2

SSS

Lulus S1 / di atasnya: 4% 9.3 5.3 Keterangan: DRI dalam publikasinya tidak menyertakan profil responden. Dalam publikasi IFES, kategori lulus SMP dan SMA digabung, jadi tidak bisa dibandingkan. Ada beberapa ukuran karakter populasi yang biasa dipakai untuk mengukur derajat representasi sampel ( seperti proporsi desa kota, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, pekerjaan dsb). Tetapi untuk keperluan tulisan ini, hanya dipakai satu ukuran yakni tingkat pendidikan.

Masing-masing lembaga jajak pendapat mengajukan pertanyaan mengenai partai

pilihan dengan cara yang berbeda. LSI menanyakan secara langsung apa partai

pilihan pemilih. Sementara IFES tidak menanyakan secara langsung apa partai

pilihan pemilih, tetapi partai apa yang dianggap paling menyuarakan aspirasi

pemilih. Meski tidak secara langsung menunjuk partai pilihan, pertanyaan ini sama

saja dengan bertanya soal partai pilihan. Dugaan saya ( bisa salah) rumusan

Page 50: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

50

pertanyaan ini dipakai oleh IFES untuk mengurangi kemungkinan jawaban

responden yang tidak sebenarnya karena takut, malu, atau sungkan dengan

kehadiran pewawancara. Perlu penelitian lebih mendalam apakah rumusan

pertanyaan yang berbeda ini menghasilkan efek yang berbeda ketika diterima oleh

responden. Rumusan pertanyaan mana yang lebih bisa diterima oleh responden dan

secara potensial lebih bisa menghasilkan jawaban yang benar dari responden.

Rumusan Pertanyaan Jajak Pendapat Berbagai Lembaga

Lembaga Rumusan Pertanyaan LP3ES Pertanyaan tentang pilihan partai, rumusan pertanyaan

CESDA adalah: “Seandainya Pemilu dilaksanakan besok, partai manakah yang akan Anda pilih?

Balitbang PDIP Balitbang PDIP menanyakan jika Pemilu diadakan hari ini partai apa yang dipilih.

DRI (Danareksa Research Institute)

Tiap putaran jajak pendapat, DRI selalu menanyakan pertanyaan (yang sama). Jika hari ini Pemilu, partai apa yang dipilih responden.

IFES (International Foundation for Election Systems)

IFES tidak menanyakan secara langsung partai pilihan. Pertanyaan yang diajukan oleh IFES adalah: Partai apa yang paling mewakili aspirasi?

IRI (International Republican Institute)

IRI menanyakan kepada responden, jika Pemilu diadakan hari ini partai apa yang dipilih. IRI membuat dua pertanyaan, partai pilihan pertama yang akan dipilih, partai pilihan kedua yang akan dipilih.

Lembaga Survey Indonesia (LSI)

LSI menanyakan kepada responden, “ Jika Ikut Pemilu, sebutkan nama partai Ibu/Bapak pilih?”. Kepada responden yang tidak mau menjawab, LSI menanyakan partai apa yang paling pantas didukung.

Soegeng Sarjadi Syndicated

Pertanyaan tentang sikap (penilaian). Untuk partai politik, Soegeng Sarjadi Syndicated menanyakan,” Menurut Anda, partai Mana Yang Layak Memimpin Pemerintahan?”.

Yang perlu dicatat adalah, basis dari semua jajak pendapat itu adalah popular vote

(suara nasional), sementara penghitungan anggota legislatif berdasarkan electoral

vote ( bilangan pembagi di masing-masing wilayah). Bisa jadi partai A yang

diprediksikan nomor 2, tetapi jumlah kursinya menduduki peringkat pertama. Kalau

ini yang terjadi, bukan kesalahan dari ramalan jajak pendapat . Karena sekali lagi

basis perhitungannya adalah suara nasional.

Page 51: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

51

V. KESULITAN

JAJAK PENDAPAT DI INDONESIA

Dari bab terdahulu terlihat, di usia yang relatif muda lembaga jajak pendapat bisa

meramal dengan baik hasil Pemilu. Di luar soal ramalan Pemilu tersebut, ada

berbagai kesulitan yang dialami oleh lembaga jajak pendapat. Kesulitan ini berujung

pada sulitnya lembaga jajak pendapat ini untuk membuat prediksi pemenang Pemilu

dengan benar dan tepat.

KERANGKA SAMPEL

Pertama, buruknya mutu kerangka sampel ( sampling frame) di Indonesia. Kerangka

sampel adalah jantung bagi sebuah penelitian survei. Kerangka sampel

mengidentifikasi anggota dari populasi. Dengan kerangka sampel yang baik,

lembaga jajak pendapat bisa mengidentifikasi dengan benar sampel yang akan

diambil. Sampel yang buruk kerap kali bukan diakibatkan oleh metode penarikan

sampel yang jelek, tetapi juga kerangka sampel yang tidak baik.

Untuk penelitian yang memakai telepon, ada kerangka sampel yang bagus yakni

Buku Petunjuk Telepon yang memuat daftar nama-nama pemilik telepon. Kerangka

sampel ini diperbaharui setiap tahun dan mencerminkan populasi pemilik telepon

yang sesungguhnya. Sementara untuk penelitian dengan wawancara langsung ( face

to face ), kerangka samel yang biasa dipaki dan diandalkan oleh lembaga jajak

pendapat adalah Daftar Desa yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).

Kerangka sampel berupa daftar desa ini acap dikeluhkan oleh lembaga jajak

pendapat. Ini karena data desa hanya diperbaharui tiap 10 tahun sekali. Padahal

proses pemekaran mengakibatkan perubahan yang cepat. Satu desa atau kelurahan

yang semula anggota dari kecamatan A sudah berganti ke kecamatan B. Dan

seterusnya. Kerangka sampel itu juga tidak bisa mengakomodasi perubahan status

desa. Di beberapa wilayah misalnya Jawa dan Kalimantan terjadi perubahan status

desa, dari yang semual desa menjadi kelurahan. Perubahan ini tidak cepat bisa

diakomodasi dalam kerangka sampel karena baru diperbaharui tiap 10 tahun sekali.

Padahal, status desa atau kelurahan ini punya dampak yang signifikan dalam

konteks Pemilu. Selama ini muncul hipotesis partai yang kuat di desa dan partai

yang kuat di kota. Perubahan status desa atau kelurahan ini bisa berdampak pada

perubahan perilaku politik anggota masyarakat.

Page 52: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

52

Di luar soal update data yang lamban, kerangka sampel yang tersedia juga tidak

lengkap. Kerangka sampel itu hanya memuat daftar nama desa, tetapi tidak

diketahui secara pasti karakter dari masing-masing desa. Data semacam ini paling

jauh hanya sampai tingkat kecamatan. Sejumlah lembaga jajak pendapat berusaha

mengatasi keterbatasan kerang sampel BPS. IRI misalnya memetakan terlebih

dahulu populasi dari provinsi hingga kecamatan. Jika data jumlah populasi yang

tersedia dari BPS adalah tahun lalu, IRI melakukan estimasi besar populasi saat

jajak pendapat dikerjakan. Atas dasar itu proporsi bisa dibuat. 30Primary Sampling

Unit (PSU), yang diambil oleh IRI adalah kecamatan. Karena baru pada level

kecamatan tersedia data karakter populasi, seperti jenis kelamin, pendidikan,

penghasilan, pekerjaan dan sebagainya.

Soal keterbatasan kerangka sampel ini akan makin terlihat jika kita menuntut ada

peta kekuatan partai politik di masing-masing wilayah. Dalam konteks jajak

pendapat mengenai Pemilu, data semacam itu penting supaya sampel yang didapat

mencerminkan kekuatan yang ada dalam masyarakat. 31Data dari Komisi Pemilihan

Umum (KPU) tahun 1999 misalnya hanya sebatas sampai tingkat Kabupaten. Litbang

Kompas telah menerbitkan buku mengenai peta kekuatan partai politik tahun 1999. 32Buku itu sangat berguna untuk melengkapi data KPU, sehingga kita bisa lebih

mengetahui peta politik sampai tingkat kecamatan. Tetapi data itu belummasuk

sampai ke tingkat desa.

TINGGINYA ANGKA UNDECIDED VOTERS

Dalam konteks Pemilu, lembaga jajak pendapat mengalami kesulitan meramal hasil

Pemilu akibat masih tingginya angka pemilih yang belum memutuskan (undecided

voters). Survei IRI, IFES dan DRI menemukan lebih dari 25% responden yang tidak

mau menyebut partai pilihan dengan berbagai alasan----bisa rahasia, takut dan

sebagainya. Survei LP3ES yang dilakukan satu tahun sebelum Pemilu, bahkan

menemukan sebesar 55% responden yang belum mau menyebutkan partai pilihan.

Tingginya angka responden yang belum memutuskan partai pilihan ini menyulitkan

30 Wawancara Yanti Sugarda, direktur Polling Center, 7 Mei 2004. Polling Center adalah lembaga yang mengerjakan penelitian lapangan dari IRI ( misalnya jajak pendapat IRI bulan Maret 2003). 31 Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004. 32 Litbang Kompas, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004

Page 53: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

53

bagi lembaga jajak pendapat untuk membuat prediksi. Angka sebesar itu lebih besar

dari perolehan suara pemenang Pemilu tahun 2004 ini.

Tingkat undecided voters yang relatif kecil (di bawah 20%) ada dalam survei LSI dan

SSS. Angka undecided voters dalam survei LSI sebesar 17.2%, sementara SSS

sebesar 4.8%. Tingkat undecided voters dalam jajak pendapat LSI relaif kecil karena

LSI menanyakan lebih lanjut responden yang menjawab tidak tahu. 33Sementara

untuk jajak pendapat SSS kemungkinan karena responden survei ini yang mayoritas

warga kota.

Tingginya undecided voters ini adalah penyakit lama. Selama puluhan tahun di masa

Orde Baru, dengan kebijakan massa mengambang, masyarakat diasingkan dari

pembicaraan politik. Survei perihal partai politik selama puluhan tahun juga absen.

Tidaklah mengherankan jikalau banyak warga yang masih malu, atau takut

menjawab partai pilihan ketika ditanya oleh pewawancara. Perasaan takut atau tidak

mau menjawab partai pilihan ini ternyata masih tetap tinggi meski Pemilu tinggal

beberapa hari lagi. Tabel menggambarkan angka undecided voters yang dilaporkan

oleh sejumlah lembaga jajak pendapat pada Pemilu 1999 dan 2004. Apa yang

terlihat dalam tabel tersebut adalah, tidak ada perubahan yang signifikan dari

kondisi tahun 1999 dan 2004. Rata-rata angka undecided voters dari survei tahun

1999 dan 2004 masih di kisaran angka 25%.

PEMILU 1999 PEMILU 2004 Lembaga Angka Undecided

Voters Lembaga Angka Undecided

Voters RPC 10.9 IRI 27 Litbang Kompas 18.3 DRI 35.6 IFES 32 IFES 30.3 LP3ES - LSI 17.2 KPP-Lab Politik UI 28.8 SSS 4.8 Balitbang PDIP 18.2 LP3ES 55 Rata-Rata = 22.5 Rata-Rata = 26.87

33 LSI memberi dua pertanyaan soal partai pilihan. Pertanyaan pertama partai pilihan responden. Untuk responden yang tidakmenjawab atau mengatakan rahasia atau belum menentukan partai pilihan, LSI menanyakan pertanyaan lanjutan partai apa yang dianggap pantas. Gabungan antara partai pilihan dan partai yang dianggap pantas ini yang dipresentasikan sebagai suara perolehan partai.

Page 54: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

54

Dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina, angka undecided voters di

Indonesia ini sangat besar. Berbagai survei Social Weather Stations (SWS) di Filipina

misalnya, menemukan angka undecided voters ini di bawah 5%. Apalagi di negara

dengan tradisi demokrasi yang panjang seperti Amerika, lembaga jajak pendapat

tidak pernah menghadapi kesulitan akibat responden tidak mau menjawab partai ap

yang akan dipilih. Tingginya angka undecided voters ini menyulitkan lembaga

terutama dalam membuat prediksi perolehan suar. Karena masih ada 25% orang

yang belum atau tidak mau menjawab partai pilihan, maka perolahan suara partai

yang diprediksikan oleh lembaga tersebut punya potensi selisih yang besar.

POPULASI HETEROGEN

Persoalan besar yang dihadapi oleh lembaga jajak pendapat di Indoensia berkaitan

dengan populasi yang heterogen. Wilayah Indonesia tersebar dengan masyarakat

yang sangat heterogen baik dari pendidikan, pendapatan ataupun pekerjaan. Ini

masih ditambah dengan dukungan partai politik yang terfragmentasi. Partai politik

mempunyai basis dukungan di tiap-tiap wilayah. Kecuali Partai Golkar dan PDIP,

tidak ada partai politik dengan kekuatan yang merata di semua wilayah Indonesia.

PKB sangat kuat di Jawa Timur tetapi lemah di luar Jawa. PBR kuat di Jakarta dan

Jawa Barat teapi lemah di wilayah lain. PAN kuat di Jawa Tengah, Yogyakarta dan

Sumatera tetapi lemah juga di wilayah lain. Atau PDS yang kuat di Sulawesi Utara,

Nusa Tenggara dan Papua, tetapi relatif tidak bersinar di wilayah dengan mayoritas

penduduk Islam. Apa artinya? Kekuatan yang terfragmentasi ini mengharuskan

lembaga jajak pendapat untuk mengambil populasi Indonesia secara keseluruhan.

Jika Jawa Timur tidak diikutsertakan sebagai populasi misalnya, suara PKB dipastikan

akan jeblok dan lembaga jajak pendapat tidak akan bisa akurat memprediksi

perolehan suara PKB.

Hal ini bisa dilihat misalnya dalam hasil survei Soegeng Sajadi Syndicated. Dalam

survei SSS 28 Februari-3 Maret 2004, PKB mendapatkan 12.4% sedangkan PAN

13.5%. Jika kita mengacu kepada hasil perhitungan suara sementara KPU dan hasil

berbagai lembaga jajak pendapat, suara PAN tidak lebih besar daripada PKB. Lebih

besarnya suara PAN daripada PKB ini bisa dimengerti jikalau kita melihat populasi

yang diambil. Dari 19 kota dan 14 kabupaten yang diambil oleh SSS, hanya ada 2

yang daerah Jawa Timur yang secara tradisional menjadi basis suara PKB----yakni

Surabaya dan Gresik. Suara PKB kemungkinan disumbang oleh responden yang

Page 55: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

55

berasal dari wilayah ini. Sementara wilayah dengan basis tradisional PAN mendapat

sampel wilayah lebih banyak----tercatat kota Yogyakata, kota Padang, Kabupaten

Padang Pariaman, Kabupaten Bantul. Dengan komposisi populasi seperti itu tidak

mengherankan jikalau survei SSS menghasilkan suara PAN relatif besar. Atau contoh

yang lain adalah survei Danareksi Research Institute (DRI). Yang menarik dari survei

DRI ini adalah meskipun populasi dari jajak pendapat hanya 5 provinsi, hasilnya

tidak jauh berbeda dengan lembaga jajak pendapat yang mengambil populasi

seluruh wilayah Indonesia. Tetapi kelemahan dari DRI adalah tidak bisa

menggambarkan dinamika partai-partai kecil yang memang kuat di sejumlah wilayah

yang tidak menjadi populasi survei.

Populasi yang heterogen ini menuntut lembaga jajak pendapat untuk menyusun

metode penarikan sampel yang tepat. Yakni metode penarikan sampel yang bisa

mencakup populasi yang beragam tersebut sehingga sampel yang didapat benar-

benar representatif. Persoalannya bukan terletak pada mampu tidaknya lembaga itu

dalam menyusun desain penarikan sampel. Persoalan itu acapkali timbul justru di

luar masalah teknis metodologis, yakni persoalan waktu, dana dan tenaga. Dengan

kata lain, lembaga jajak pendapat harus memutar otak untuk menyusun desain

penarikan sampel yang bukan saja benar secara metodologis tetapi juga efesien dan

feasibel secara ekonomis dan tenaga yang tersedia. Di bawah ini akan diuraikan

metode penarikan sampel yang dipakai oleh LSI, LP3ES dan IRI.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) memakai metode multistage random sampling.

Multistage random sampling pada dasarnya adalah gabungan antara sampel

stratifikasi (stratified random sampling) dengan sampel klaster (cluster sampling).

Stratifikasi diperlukan supaya heterogenitas dari populasi masyarakat Indonesia bisa

tercermin dalam sampel. Karakteristik dasar dari populasi yang dipakai dalam survei

ini adalah: proporsi penyebaran daerah (provinsi), proporsi perbedaan antara

wilayah (kota desa), dan proporsi perbedaan gender ( laki-laki-perempuan). 34

Meskipun mencerminkan populasi, stratifikasi menaikan budget survei karena

dengan stratifikasi tersebut, sampel yang ditarik akan sangat menyebar. Untuk

34 Dengan stratifikasi, terlebih dahulu diklasifikasikan ke dalam karakteristik dasar dari populasi---populasi seperti jenis kelamin, wilayah, dan sebagainya. Sehingga sampel yang dihasilkan proporsional dengan populasinya. Pembatasan karakteristik tersebut disesuaikan dengan informasi awal yang tersedia, dan ketiga karakteristik itu sudah lazim digunakan dalam kerangka sampel profesional selama ini di Indonesia. Tiga karakteristik tersebut (provinsi, desa/kelurahan, dan gender) dijadikan dasar untuk membuat stratifikasi.

Page 56: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

56

kasus survei ini, sampel akan menyebar dari Sabang di Timur, ke Merauke di Barat.

Karena itu ongkosnya akan menjadi mahal. Untuk menaggulangi masalah budget

yang meningkat karena stratifikasi tersebut, maka stratifikasi tersebut dikombinasi

dengan klaster. Lewat klaster sampel tidak menyebar sehingga ongkos untuk

menjangkaunya mengecil---meskipun klaster membuat sampel menjadi kurang

mencerminkan karakteristik populasi. Komponen klaster yang dipakai dalam survei

ini adalah desa-kelurahan, RT, dan Kartu Keluarga.

Dari provinsi yang ada di seluruh Indonesia, semua diambil sebagai populasi LSI.

Dalam survei LSI, desa ditempatkan sebagai unit utama pengambilam sampel (PSU/

Primary Sampling Unit). Karena jumlah penduduk masing-masing provinsi berbeda

maka jumlah desa yang disertakan disesuaikan dengan proporsi besarnya jumlah

penduduk per provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk besar, akan mendapatkan

desa terpilih lebih banyak dibandingkan dengan provinsi dengan jumlah penduduk

sedikit. Cara menentukan desa dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun

kerangka sampel daftar nama desa di seluruh Indonesia. 35Sebelum ditarik, daftar

desa tersebet diklasifikasikan lagi menurut desa dan kota dan ditentukan

proporsinya. Artinya, besarnya desa yang diambil disesuaikan dengan proporsi

antara desa dan kota tersebut di masing-masing provinsi. Secara nasional

perbandingan proporsi desa dan kota adalah 58:42. Sampel PSU desa yang diambil,

juga mencerminkan proporsi tersebut. Daftar nama desa yang telah disusun

berdasarkan provinsi dan wilayah (desa-kota) diambil secara acak sistematis.

35 Kerangka sampel yang dipakai adalah data desa Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000. Data desa itu sudah terklasifikasikan menurut provinsi.

Page 57: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

57

PROVINSI1

PROVINSIN

PROVINSI2

PSU (DESA /KELURAHAN)

1

PSU (DESA /KELURAHAN)

2

PSU (DESA /KELURAHAN)

N

RUKUNTETANGGA (RT)

1

RUKUNTETANGGA (RT)

2

RUKUNTETANGGA (RT)

N

KELUARGA (KK)N

KELUARGA (KK)2

KELUARGA (KK)1

INDONESIA

RESPONDEN

STRATIFIKASI 1:PROVINSI

STRATIFIKASI 2:DESA - KOTA

STRATIFIKASI 3:GENDER

KLASTER 1:DESA/

KELURAHAN

KLASTER 2:RT

KLASTER 3:KK

Jumlah PSU (desa/kelurahan) dalam survei LSI bulan Maret ( wawancara lapangan

18-24 Maret 2004) sejumlah 345 desa, meliputi 200 desa dan 145 kelurahan. Di

masing-masing desa/kelurahan terpilih didaftar nama-nama Rukun Tetangga (RT),

dan kemudian dipilih 4 RT secara random. Di masing-masing RT terpilih kemudian

didaftar Kartu Keluarga (KK), dan dipilih 2 KK secara random. Di masing-masing KK

terpilih, didaftar anggota KK yang memiliki hak pilih dalam pemilu, yakni yang

berumur 17 tahun atau lebih, atau yang telah menikah. Bila dalam KK pertama

ditetapkan responden perempuan, maka pada KK sisanya di RT yang sama laki-laki

yang didaftar. Setelah mendaftar anggota KK yang laki-laki atau yang perempuan,

maka dengan bantuan Kish Grid, dipilih secara random satu orang untuk

Page 58: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

58

diwawancarai secara tatap muka langsung. Sehingga, total sampel survei ini sebesar

2760 responden.36

Hampir mirip dengan metode penarikan sampel LSI adalah IFES. Pemilihan sampel

responden yang diwawancarai menggunakan metode multistage random sampling.

Pertama, ukuran sampel level provinsi ditentukan sesuai dengan proporsi masing-

masing propinsi dari populasi nasional. Teknik acak sederhana ( simple random

sampling) kemudian digunakan pada setiap tahap selanjutnya. Pemilihan

kabupaten/kotamadya dilakukan terhadap setiap provinsi, dimana jumlah sampel

disesuaikan dengan proporsi masing-masing populasi kabupaten terhadap populasi

masing-masing provinsi. Pada tahap ketiga, sejumlah kecamatan dipilih dari setiap

kabupaten/kotamadya, dimana jumlah sampel juga disesuaikan dengan proporsi

masing-masing populasi kecamatan terhadap populasi masing-masing kabupaten.

Tahap keempat, dari setiap kecamatan terpilih diambil secara acak satu kelurahan /

desa dengan mempertimbangkan status desa atau kota ( berdasarkan Peta Indeks

Kelurahan/ Desa BPS tahun 2001).

Dari setiap kelurahan/desa terpilih, diambil satu Rukun Warga (RW) secara ack, dan

dari masing-masing RW terpilih kemudian dipilih 2 Rukun Tetangga (RT) juga secara

cak. Semua tahap ini menggunakan teknik acak sederhana ( simple random

sampling). Sepuluh rumah tangga kemudian dipilih dari masing-masing RT dengan

menggunakan random walking method. Masing-masing responden dari setiap rumah

terpilih kemudian ditentukan dengan menggunakan metode kish grid. Anggota

keluarga yang yang berhak terpilih sebagai responden dalam survei ini harus sudah

menikah atau berusia 17 tahun atau lebih pada Pemilu 5 April 2004. Semua

responden diwawancarai secara tatap muka. Ukuran sampel pada survei IFES Tahun

2003 menggunakan 3.000 responden dari seluruh Indonesia.37

Sementara penarikan sampel yang dipakai LP3ES adalah modifikasi dan gabungan

antara sampel stratifikasi dengan klaster. Klaster pertama kali diterapkan oleh LP3ES

untuk memilih provinsi. Dari 32 provinsi yang ada di Indonesia, dibagi ke dalam

empat kelompok ( klaster) oleh LP3ES, yakni National Capital Region ( DKI Jakarta

36 Metode penarikan sampel LSI, dikutip dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). , Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers, 2 April 2004. 37 Metode penarikan sampel IFES ini dikutip seluruhnya dari IFES, Indonesia 2003 National Survey, Mei 2003, bagian Metodologi.

Page 59: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

59

dan Sekitarnya), wilayah Barat , tengah dan timur. Wilayah Barat meliputi provinsi

Jawa Barat Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Bangka

Belitung. Wilayah Tengah meliputi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Bali. Sementara wilayah Timur meliputi

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Karena alasan posisi yang strategis, wilayah NCR dipilih secara purposif. Sementara

provinsi dari wilayah Barat, Tengah dan Timur diambil secara random.Banyaknya

provinsi yang diambil proporsional dengan besarnya populasi dari masing-masing

wilayah. Dari proses ini didapatkan 13 provinsi yang mencerminkan suara nasional.

Dari 13 provinsi terpilih ( wilayah Barat, Tengah dan Timur) , diambil lagi kabupaten

secara random. Dari kabupaten terpilih baru diambil desa. Pewawancara datang ke

desa yang terpilih.Pewawancara mendata nama Rukun Tetangga ( RT) di masing-

masing desa, dan dilakukan proses random kembali. Dari Rukun Tetangga terpilih,

pewawancara mendata kembali nama KK yang ada di dalam RT terpilih. Setelah

daftar tersusun, diambil KK terpilih lewat proses random. Dari KK terpilih, barulah

pewawancara mendatangi mereka. Kerangka sampel untuk menyusun nama anggota

keluarga adalah Kartu Keluarga. Dari daftar nama dalam KK itu, responden diambil

dengan menggunakan kish grid. Proporsi responden yang diambil memperhatikan

sebaran merata antara laki-laki dan perempuan dimana proporsi perempuan (50%)

dan laki-laki (50%).38

Pada penarikan sampel LP3ES klaster diterapkan pertama kali pada tingkat provinsi

bukan pada tingkat desa. Teknik penarikan sampel ini mempunyai kelebihan dan

kelemahan masing-masing. Kelebihan metode penarikan sampel dengan klaster

pertama pada tingkat desa, populasi lebih menyebar dan lebih mencerminkan

derajat heterogenitas populasi. Tetapi kelemahannya, wilayah yang menyebar ini

menjadi kesulitan utama pada proses wawancara. Dengan metode itu, wilayah desa

tersebar dari ujung Timur ke ujung Barat, dari Sabang hingga Merauke. Sementara

pada survei LP3ES, karena klaster pertama diterapkan pada tingkat provinsi, wilayah

lebih menyempit. Dana bisa dihemat, proses wawancara juga bisa lebih dikontrol

38 Metode penarikan sampel LP3ES ini dikutip dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , Laporan Survei Tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2004, Juni 2003, bagian Metodologi.

Page 60: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

60

karena lembaga jajak pendapat berhadapan dengan wilayah yang tidak sangat

menyebar. Dalam hal ini sampel LP3ES terkumpul di 13 provinsi di Indonesia.

NCR( National Capital

Region)

BARAT( Meliputi : Jawa Barat Banten,JawaTengah, Yogyakarta, Jawa Timur,Sumatera Utara, Sumatera Barat,Riau, Jambi, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Lampung, dan BangkaBelitung)

TENGAH( Meliputi : Kalimantan Barat,Kalimantan Tengah, KalimantanSelatan Kalimantan Timur, SulawesiUtara, Sulawesi Tengah, SulawesiSelatan, Sulawesi Tenggara,Gorontalo, dan Bali)

TIMUR

( Meliputi: Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur)

KECAMATANSUMUT, BENGKULU,

JAMBI, JABAR, JATENG,JATIM

KALTENG,KALSEL,SULUT,SULSEL, BALI

NTT

KABUPATEN

KELURAHAN DESA

INDONESIAAceh,

Maluku,Papua

PURPOSIVE

RANDOM

RANDOM RANDOM RANDOM

RANDOM

RANDOM RANDOM RANDOM RANDOM

CLUSTERINGCLUSTERINGCLUSTERING

Bagaimana dengan metode penarikan sampel survei International Republican

Institute (IRI)? Responden merupakan pemilih yang memenuhi syarat, termasuk

mereka yang lahir sebelum Mei 1987 atau telah menikah, jika lebih muda. Dalam

survei IRI, tidak semua propinsi diikut sertakan. Ada 9 propinsi yang tidak diikut

sertakan. Aceh tidak dimasukkan karena dalam situasi darurat militer. Papua juga

tidak dimasukkan karena faktor sulitnya akses kesana. Propinsi lain tidak diikut

sertakan karena hanya mewakili sebagian kecil kursi dan karakteristiknya telah

diwakili propinsi lain. Teknik penarikan sampel memakai Probability Proportional to

Size (PPS) untuk menyeleksi sampel yang mewakili 23 propinsi. Jumlah sampel akhir

Page 61: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

61

adalah 2540. Primary sampling unit (PSU) adalah Kecamatan. 39Prosedur penarikan

sampel dapat digambarkan sebagai berikut:

L A N G K A H 1

D a fta r se lu ru h p ro p in s i, k a b u p a te n , d a nke ca m a ta n d e n g a n se n su s p o p u la s i d a n

ju m la h d e sa (B P S 2 0 0 0 )

L A N G K A H 3

lM e n g h itu n g p o p u la s i k u m u la t if d ise lu ru h k e ca m a ta n

L A N G K A H 2

M e n g h itu n g in te rv a l sa m p e l

L A N G K A H 4

lD im u la i d e n g a n n o m e r a ca k d a n p ilihk e c a m a ta n

z

L A N G K A H 5

lK e lu ra h a n (d e sa ) d ip il ih s e ca ra a ca kd a r i s e t ia p k e ca m a ta n y a n g te rp ilih

T o ta l p o pu la s i / Ju m la hke lo m p o k

K e lu a rg a d ip ilih se ca rara n d o m w a lk d a n K ish

G r id

IN D O N ES IAS e m u a p ro v in s i k e cu a li : A c e h , R ia u ,

B a n g ka B e litu n g , B e n g ku lu , G o ro n ta lo ,M a lu ku , M a lu k u U ta ra , P a p u a , I r ia n

Ja y a B a ra t

Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara langsung. Setiap

keluarga dipilih dengan menggunakan prosedur random walk. Sesudah

mewawancarai di satu keluarga, empat rumah setelahnya dilewati sebelum memulai

lagi. Kish Grid digunakan untuk memilih anggota keluarga dengan usia yang sesuai

secara acak. Jika orang tersebut tidak ada, pewawancara akan mengunjungi kembali

39 Teknik penariksan sampel Iri dikutip seluruhnya dari The International Republican Institute (IRI), Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Presentasi Hasil Polling Nasional, Desember 2003, bagian Metodologi

Page 62: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

62

(hingga 3 kali kunjungan). Di dalam melaksanakan polling ini, pewawancara

diberikan pelatihan khusus karena hal-hal sensitif mengenai masalah politik yang

dibahas disurvei. Pewawancara yang terlibat dalam partai politik tidak diperkenankan

berpartisipasi dalam jajak pendapat ini.

Semua metode penarikan sampel itu mencerminkan suara nasional. Meski metode

penarikan sampel telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan keterbatasan dana dan

tenaga, tetap saja jajak pendapat itu berbiaya besar. Sekali survei, lembaga jajak

pendapat menyertakan lebih dari 250 orang tenaga pewawancara dengan biaya di

atas Rp.300 juta. Biaya itu akan lebih besar jika wilayah-wilayah dengan geografis

sulit ( seperti Papua, Nusa Tenggara, Maluku atau Aceh) diikutsertakan sebagai

populasi. Karena itu sejumlah lembaga jajak pendapat membatasi populasi

penelitian. Lembaga jajak pendapat secara purposif memilih sejumlah wilayah yang

mencerminkan karakter populasi. Survei DRI misalnya hanya menyertakan provinsi

DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi

Selatan. Lima provinsi itu diambil secara purposif oleh DRI, karena mencerminkan

keragaman populasi. Penarikan sampel responden dari 5 wilayah itu tetap dilakukan

secara random. Survei Soegang Sarjadi Syndicated juga secara purposif memilih 19

kota dan 14 kabupaten ( tidak random). Dari wilayah itu, baru sampel responden

diambil secara random. 40Dengan populasi yang terbatas survei bisa dikerjakan

dengan biaya hemat dan waktu yang singkat. Tetapi kelamahan penarikan sampel ini

adalah kurang bisa mencerminkan keragaman populasi.

PERSOALAN TEKNIS

Populasi yang heterogen ( yang mengharuskan lembaga jajak pendapat mengambil

populasi luas) juga berhubungan dengan persoalan teknis: waktu, tenaga dan biaya.

Untuk melakukan sekali jajak pendapat nasional, paling tidak dibutuhkan 250-an

tenaga pewawancara, alokasi waktu 2 minggu dan dengan biaya sekitar Rp. 500

juta. Kesulitan teknis itu berakibat sulitnya mengukur opini publik menjelang hari

pemilihan. Pergerakan sentimen publik atas partai tidak bisa diikuti dari minggu ke

40 Wilayah yang diambil dalam survei SSS didasarkan pada arti penting dan dinamika dari kota tersebut. Kota yang dipilih adalah kota-kota yang dinamik, dan unsur kedinamikan itu diprediksi punya pengaruh politik ke lingkungannya. Sehingga kota yang dipilih merefleksikan kesadaran politik masyarakat kota. Untuk mengkontraskan dengan desa, diambil satu kabupaten. Atas dasar itu diambil 19 kota dan 14 kabupaten. Wawancara dengan Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegang Sarjadi Syndicated, 4 November 2004.

Page 63: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

63

minggu. Yang menarik dari pengalaman Pemilu 2004 ini adalah munculnya kekuatan

baru yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Fenomena

naiknya suara partai di hari menjelang pemilihan ini adalah fenomena Pemilu 2004.

Pada Pemilu 1999, tidak ada perubahan yang berarti dari pilihan publik. Orang sudah

memutuskan memilih salah satu partai meskipun Pemilihan Umum masih beberap

bulan lagi. Ini bisa menjelaskan mengapa pada tahun 1999, meskipun lembaga jajak

pendapat mengadakan survei enam bulan sebelum Pemilu bulan Juni, tetap bisa

memprediksi PDIP sebagai pemenang Pemilu. Pilihan atas partai sudah ditentukan

jauh sebelum hiruk pikuk kampanye berlangsung. Kondisi ini sangat berbeda dengan

tahun 2004. Ada banyak peristiwa yang mempengaruhi sentimen publik.

Untuk PKS memang diprediksikan suaranya akan membesar, tidak demikian dengan

PD. Jika kita mengikuti hasil jajak pendapat dari awal tahun, dukungan terhadap PD

ini semula mengecil. Lonjakan pemilih PD baru menguat dibulan Maret, ketika Susilo

Bambang Yudhoyono mundur dari kabinet Megawati karena merasa tidak dilibatkan

lagi dalam urusan kenegaraan yang penting. Mungkin publik simpati kepada Susilo

Bambang Yudhoyono yang sekaligus mengatrol perolehan suara partai ini. Lembaga

jajak pendapat yang tidak melakukan survei di bulan Maret atau April tidak akan bisa

menangkap dinamika ini. Dalam survei DRI bulan Oktober 2003 misalnya, fenomena

mencuatnya suara PD dan PKS tidak tergambar dalam hasil survei. Dalam survei

DRI, PKS masih diprediksikan mendapat suara di kisaran 1%.

Page 64: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

64

Contoh yang lain adalah survei International Republican Institute (IRI). Jajak

pendapat lembaga ini memang berhasil memotret trend kenaikan suara PKS. Tetapi

karena dilakukan di bulan Desember, fenomena PD tidak terekam dalam jajak

pendapat ini. Partai Demokrat adalah partai baru, dan secara resmi menjadi partai

peserta Pemilu 2004 sejak 7 Desember 2003. Ini agak berbeda dengan PKS. Meski

nama baru, partai ini adalh partai lama dengan nama baru ( semula Partai Keadilan).

Publik yang disurvei oleh IRI sudah tahu PKS tetapi tidak tahu soal PD.

Suara Partai Survei Danareksa Research Institute (DRI) Oktober 2002-Oktober 2003

9.6

13.9

15.8

18

21.9

18.417.8

14.7

6.67.8 8.1

5.96

10.3

8.3

5.75.76.3

4.53.6

2.1 1.9 1.711 1.3

21

0

5

10

15

20

25

Oktober 2002 Februari 2003 Juni 2003 Oktober 2003

Per

sen

Golkar PDIP PPP PKB PAN PBB PKS

Page 65: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

65

Lembaga yang bisa menangkap fenomena naiknya suara PKS dan munculnya

kekuatan PD adalah IFES dan LSI. Tidak mengherankan karena kedua lembaga ini

melakukan survei di bulan Maret saat masa kampanye. LSI melakukan survei dari

tanggal 8 hingga 18 Maret, sementara IFES dari tanggal 21-28 Maret. Kedua

lembaga ini menghasilkan temuan suara PD di atas 4%. Angka ini bisa jadi tidak

presisi, tetapi paling tidak bisa menangkap kebangkitan kedua partai. Terutama PD

yang sebelum bulan Maret diprediksikan akan menjadi partai dengan suara nol koma

( suara di bawah 1%). Perhatian orang di awal tahun ini banyak mengarah kepada

kehadiran Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Mbak Tutut sebagai kandidat

presiden dari PKPB. Lembaga yang melakukan survei di bulan Maret bisa sedikit

banyak menangkap fenomena Partai Demokrat.

Suara Partai Survei International Republican Institute (IRI) Maret 2003-Desember 2003

19

16

7

10

3

1 1

24

19

7

10

5

23

0

5

10

15

20

25

30

Golkar PDIP PPP PKB PAN PBB PKS

Per

sen Maret 2003

Desember 2003

Page 66: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

66

Pilihan Partai Survei IFES Desember 2003-Maret 2004

19.9

27.1

21.1

19.3

22.2

13 13.112.2 12 11.5

7.2

9.88.9 9.2

6.45.8 5.67.1 7.5

55.5 5.15.9 6.5 6.6

2.43.1

4.12.9

1.32.2

3.6 4.1 4.43.6

0.81.7 1.1 1.6

4.1

0

5

10

15

20

25

30

Des 2003 Jan 2004 26 Jan-6 Feb 15 Feb-10 Maret 21-28 Maret

Per

sen

Golkar PDIP PAN PPP PKB PBB PKS PD

Page 67: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

67

Suara Partai Hasil Survei LSI Agustus 2003-Maret 2004

21.3

26.5

23.2

14.4

16.817.5

6.87.6

5.7

7.5

9.2 9.5

3.5

8.17.4

1.9 2.51.5

2.3 1.9

5.5

1.2

4.9

0

5

10

15

20

25

30

Agustus 2003 November 2003 Maret 2004

Per

sen

Golkar PDIP PPP PKB PAN PBB PKS PD

Page 68: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

68

VI. EXIT POLL DAN

QUICK COUNT

Dalam konteks Pemilu, ada satu jenis jajak pendapat yang perlu mendapat perhatian

yakni, exit poll dan quick count. Jenis survei ini berbeda dibandingkan dengan survei

yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya. Jajak pendapat yang sudah dibahas

dalam bab terdahulu, proses wawancara (pengumpulan data ) dilakukukan sebelum

Pemilu. Exit poll dan quick count sebaliknya dilakukan setelah Pemilu.

Exit poll adalah metode mengetahui opini publik yang dilakukan sesaat setelah

seseorang keluar dari bilik suara. Pewawancara datang ke Tempat Pemungutan

Suara (TPS) yang telah terpilih, dan menanyakan kepada responden apa partai

pilihan mereka. Sesuai dengan namanya, exit poll ini dilakukan kepada pemilih

sesaat setelah pencoblosan. Umumnya wawancara dilakukan di tempat TPS.

Pertanyaan dalam exit poll umumnya juga sedikit ( kurang dari 10 pertanyaan).

Peneliti misalnya menanyakan partai apa yang yang baru saja dicoblos, apa partai

pilihan Pemilu 1999, kenapa memilih partai itu, dan informasi lain. Karena

wawancara dilakukan setelah pencoblosan, peneliti bisa mengetahui partai pilihan

sampai hari pencoblosan. Ini berbeda dengan jajak pendapat dimana wawancara

dilakukan sebelum seseorang pergi ke tempat pencoblosan.

Sementara quick count adalah proses perhitungan cepat yang dilakukan

berdasarkan data TPS terpilih. Peneliti mengambil secara random TPS, dan dari TPS

terpilih itu dicatat perolehan suara masing-masing TPS. Hasilnya ditabulasi dan

menggambarkan perolehan suara masing-masing partai. 41Quick count dilakukan

setelah proses perhitungan suara di masing-masing TPS selesai dilakukan.

Perbedaan mendasar antara exit poll dan quick count adalah sebagai berikut. Exit

poll seperti halnya survei pada umumnya, dimana pengumpulan data dilakukan

lewat wawancara dengan responden terpilih. Sebaliknya, pada quick count

pengumpulan data tidak dilakukan lewat wawancara tapi hasil akhir perhitungan di

TPS. Jadi dari TPS terpilih, petugas lapangan akan mengirim hasil akhir perhitungan

suara. Karena TPS diambil secara random, hasil akhir dari quick count ini secara

teoritis mirip dengan hasil Pemilu aktual. Karena sifatnya itu, informasi yang

41 Quick count sering juga disebut sebagai Parallel Vote Tabulation (PVT).

Page 69: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

69

diperoleh lewat quick count hanya perolehan suara. Sementara pada exit poll,

peneliti bisa menggali informasi lain lewat wawancara.

Quick count berguna dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Metode ini

tidak cocok dipakai di negara maju, dimana dalam satu hari pemilihan sudah bisa

diketahui hasil akhir Pemilu. Di negara berkembang, letak geografis dan teknologi

perhitungan suara yang lamban, menyebabkan hasil akhir Pemilu baru bisa diketahui

hasilnya 3 minggu sampai satu bulan. Quick count membantu mengatasi kesulitan

itu. Lewat quick count, hasil akhir perhitungan suara sudah bisa dibuat satu atau dua

hari setelah pencoblosan. Metode ini jika dilakukan secara benar, bisa menjadi data

pembanding dari perolehan suara resmi. Lewat quick count akan bisa diketahui

apakah ada kemungkinan proses kecurangan Pemilu, terutama pada tahap

perhitungan suara.

Proses penelitian juga berbeda antara exit poll dan quick count. Pada exit poll,

peneliti berada di luar TPS. Wawancara juga dilakukan di luar TPS. Sementara pada

quick count peneliti ( pemantau) berada di dalam TPS. Peneliti selain mencatat

dengan cermat perolehan suara di TPS, juga memantau aspek lain seputar

pelaksanaan Pemilu di TPS tersebut----misalnya apakah TPS di buka dan ditutup

tepat waktu, apakah ada saksi, apakah perlengkapan Pemilu tersedia lengkap dan

sebagainya. Hasil perhitungan suara di tiap TPS itu lalu dikirim ke pusat data ( lewat

telepon atau fax). Petugas di pusat data akan mentabulasi secara cepat hasil

perhitungan suara tersebut. 42 Pengalaman quick count di sejumlah negara, metode

ini sangat andal dalam menggambarkan perolehan suara partai dengan derajat

selisih yang kecil. 43

Baik exit poll maupun quick count adalah alat yang berguna untuk mengukur

pendapat publik saat Pemilu. Di Indonesia, lembaga yang berpengalaman dalam

42 Karena didasarkan pada perolehan suara partai di TPS, hasil quick count lebih presisi dalam menggambarkan perolehan suara dibandingkan dengan exit poll. Kelebihan utama dari quick count, data perolehan suara didasarkan pada data aktual. Tetapi kelemahan utama dari quick count, tidak ada informasi lain yang bisa digali untuk menjelaskan pilihan partai. Karena hasil hanya berupa perolehan suara, tidak bisa dijelaskan kenapa partai A yang menang, apa alasan orang memilih partai A, atau dari kelompok mana pemilih partai A dan sebagainya. 43 Mengenai quick count, metode dan praktek di sejumlah negara, lihat National Democratic Institute ( NDI), The Quick Count and Election Observation, 2003. Manual ini tersedia di website NDI ( http: //www.ndi.org) dalam format pdf.

Page 70: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

70

melakukan exit poll dan quick count adalah LP3ES ( Lembaga Penelitian, Pendidikan

dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Sejak tahun 1997, LP3ES melakukan exit poll.

Exit Poll Pemilu 1999 dilakukan oleh LP3ES di seluruh wilayah Jawa. LP3ES

mengambil secara acak ( random) 28 Daerah Tingkat II, 168 desa, dan 672 RT di

seluruh Jawa. Exit poll itu dilakukan beberapa jam setelah pemungutan suara

berlangsung pada 7 Juni 1999. Exit poll melibatkan 4.331 responden. Perbandingan

hasil exit poll dan hasil aktual Pemilu disajikan dalam tabel berikut. Dari tabel

terlihat, exit poll LP3ES secara tepat bisa memprediksi peringkat 1-3 pemenang

Pemilu 1999 di Jawa ( Golkar, PDIP dan PKB). Exit poll itu hanya kurang tepat dalam

meramal posisi PAN dan PPP. Secara keseluruhan, rata-rata kesalahan exit poll

dalam memprediksi suara perolehan partai di Jawa adalah 3.6%. Tetapi ketika di

bawa ke suara nasional, kesalahan rata-rata makin besar, yakni 6.34%. Yang perlu

dicatat, exit poll itu hanya dilakukan di Jawa. Karena itu exit poll itu hanya

mencerminkan suara pemilih yang ada di Jawa.

Exit Poll LP3ES ( Jawa)

Hasil Pemilu di Jawa

Hasil Pemilu Nasional

Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Posisi

Selisih Jawa

Selisih Nasional

PDIP 38 1 36.1 1 33.7 1 -1.9 -4.3 Golkar 14 3 16.5 3 22.4 2 2.5 8.4 PKB 23 2 18 2 12.6 3 -5 -10.4 PPP 6 5 11 4 10.7 4 5 4.7 PAN 11 4 7.4 5 7.1 5 -3.6 -3.9 Kesalahan Absolut Rata-Rata Prediksi dari 5 Partai 3.6 6.34

Pada Pemilu 2004, LP3ES kembali membuat exit poll, dan sekaligus mengadakan

perhitungan suara cepat ( quick count). Dalam perhitungan cepat ini, LP3ES

bekerjasama dengan NDI, lembaga internasional dari Amerika yang sudah terbiasa

dengan perhitungan model quick count. Quick count itu menghitung langsung dari

Tampat Pemungutan Suara yang diambil secara acak (random). Karena quick qount

itu dihitung dari suara aktual di TPS hasilnya secara teoritis akan mendekati

kenyataan yang sebenarnya. LP3ES-NDI melakukan penghitungan berdasarkan data

di 1.416 TPS dengan 289.052 suara sah. Tabel menyajikan hasil akhir quick count

dan perbandingan dengan hasil aktual Pemilu. Dari aspek akurasi, quick count itu

secara akurat berhasil memprediksi pemenang Pemilu dan komposisi pemenang

Pemilu dari urutan 1- 24. Tidak ada satu pun kesalahan dalam prediksi LP3ES-NDI.

Page 71: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

71

Quick count itu bisa memprediksi posisi partai Golkar di urutan atas hingga Partai

Buruh Sosial Demokrat di urutan terakhir.

Keberhasilan terbesar dari quick count ini adalah memprediksi perolehan suara

masing-masing partai. Semua partai bisa diprediksikan perolehan suaranya dengan

selisih masing-masing tidak lebih dari 1.5%. PDIP misalnya diprediksi mendapatkan

18.4%, sementara hasil aktual perolehan suara PDIP adalah 18.54%. Atau kesalahan

hanya 1%. Total dari 24 partai politik, jika diambil rata-rata kesalahan prediksi

hanya sebesar 0.18%. Quick count terbukti sebagai metode yang terpercaya yang

bisa menghitung secara cepat perolehan suara di TPS di Indonesia.

Proses perhitungan suara di KPU, meskipun memakai sistem teknologi informasi

yang canggih dan berbiaya mahal, ternyata sangat lamban. Hasil kasar perhitungan

suara baru diketahui dua minggu setelah perhitungan suara. Sementara perhitungan

resmi baru bisa dilakukan satu bulan setelah pemungutan suara. Quick count LP3ES-

NDI sudah bisa meramalkan perolehan suara partai ini satu hari setelah

pencoblosan. Hasilnya terus menerus diperbaharui. Pada hari keempat, total semua

suara sudah bisa ditabulasi. Perhitungan cepat ini sangat berguna terutama bagi

partai politik untuk mengambil ancang-ancang melakukan koalisi dalam rangka

pemilihan presiden.

Quick count LP3ES-NDI

Hasil Aktual Pemilu

Selisih

Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Golkar 22.9 1 21.58 1 -1.32 PDIP 18.4 2 18.53 2 0.13 PKB 10.6 3 10.57 3 -0.03 PAN 8.1 4 8.15 4 0.05 PD 7 7.45 5 0.45 PKS 6.9 7.34 6 0.44 PAN 6.4

5-7 6.44 7 0.04

PBB 2.6 2.62 8 0.02 PKPB 2.2 2.11 11 -0.09 PBR 2.1 2.44 9 0.34 PDS 1.8

8-11

2.13 10 0.33 PKPI 1.3 1.26 12 -0.04 PNBK 1.1 1.08 14 -0.02 PPDK 1.1 1.16 13 0.06 PNI Marhaenisme 0.9 0.81 16 -0.09 Merdeka 0.9 0.74 20 -0.16 Pelopor 0.9

0.77 18 -0.13

Page 72: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

72

PP 0.8 0.95 15 0.15 PNUI 0.8 0.79 17 -0.01 PPDI 0.8 0.75 19 -0.05 PPD 0.7 0.58 22 -0.12 PSI 0.6 0.6 21 0 PBSD 0.6 0.56 24 -0.04 PIB 0.5

12-24

0.59 23 0.09 Kesalahan Absolut Rata-Rata Predikasi dari 7 partai terbesar = 0.35

Kesalahan Absolut Rata-Rata Predikasi dari 24 Partai = 0.18

Page 73: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

73

VII. JAJAK PENDAPAT

NON ILMIAH

Jajak pendapat yang dibahas dalam bab sebelumnya (baik untuk kasus Pemilu

1999 maupun 2004) ditambah exit poll dilakukan dnegan menggunakan prinsip

ilmiah. Jajak pendapat tersebut berpretensi untuk menggambarkan suara populasi,

partai pilihan publik Indonesia. Semua jajak pendapat tersebut, menggunakan

metode yang standar. Prinsip ilmiah yang paling dasar adalah pada pengambilan

sampel. Prinsip ilmiah mengharuskan sampel diambil secara random (acak). Prinsip

ini secara sederhana dapat digambarkan, semua anggota populasi mempunyai

kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Kalau populasi pemilih

Indonesia berjumlah 147 juta orang, prinsip random mengharuskan setiap pemilih

punya kesempatan dipilih sebagai sampel (atau kesempatan per orang adalah 1/147

juta).

Dalam konteks Indonesia, prinsip ini mengandung dua konsekuensi sekaligus.

Pertama, wawancara harus dilakukan secara langsung dan menyertakan semua

wilayah Indonesia. Wawancara lewat telepon atau short message services (SMS)

tidak bisa diterapkan karena tidak bisa menyertakan semua pemilih di Indonesia.

Kepemilikan telepon atau hand phone (HP) di Indonesia masih sangat terbatas,

sekitar 5% dari total pemilih di Indonesia. Karena itu, jajak pendapat yang

mengandalkan wawancara lewat telepon atau pengiriman jawaban lewat sms

mengabaikan suara sekitar 9% pemilih yang tidak punya telepon dan HP. Pemilik

telepon dan HP hanya terbatas di lingkungan masyarakat kota, mereka utamanya

berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Kedua, proses pemilihan responden harus

benar-benar acak. Seseorang terpilih sebagai sampel bukan karena unsur

subyektifitas peneliti tetapi karena prinsip random. Hanya dengan prinsip random

ini, representasi sampel bisa diperoleh. Metode ilmiah yang standar memberi

panduan berbagai aneka teknik penarikan sampel---dari sampel sistematis, sampel

klaster, sampel bertingkat sampai sampel stratifikasi. Semua teknik tersebut

menjamin bahwa sampel yang didapatkan identik dengan karakter populasi.

Selain penarikan sampel, peneliti juga berhadapan dengan jumlah sampel. Kalau

teknik penarikan sampel berhubungan dengan bagaimana agar orang yang diambil

Page 74: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

74

representatif, jumlah sampel berkaitan dengan sejauh mana hasil sampel dekat

dengan populasi. Dalam dunia penelitian, jumlah sampel ini berkaitan dengan

kesalahan dalam penarikan sampel (sampling error atau sering juga disebut sebagai

margin of error). Demi ketepatan, peneliti membutuhkan sampling error yang kecil.

Tetapi sampling error yang kecil ini konsekuensinya adalah pada jumlah sampel yang

besar. Semakin besar jumlah sampel, semakin kecil pula sampling error. Angka

sampling error ini berkaitan dengan bagaimana peneliti memprediksi hasil jajak

pendapat dengan populasi.

Misalnya, jajak pendapat mengambil sampel sebesar 1.000 orang. Dengan jumlah

sampel sebesar ini, angka sampling error adalah 3%. Hasil sampel, karena itu harus

ditafsirkan pada batas-batas sebesar ± 3%. Jika misalnya dalam jajak pendapat itu

partai A mendapat suara dukungan 20%, maka angka sesungguhnya yang didapat

oleh partai A adalah ± 20% (atau berada di kisaran 17%-23%). Dengan interval

yang jauh itu, peneliti akan kesulitan menyimpulkan perolehan suara partai,

terutama kalau perolehan suara antar partai sangat ketat. Taruhlah, partai B dalam

jajak pendapat itu mendapat 21% suara, yang berarti angka sesungguhnya yang

didapat oleh partai B adalah ± 21% (atau berada di kisaran 18%-24%). Kalau

peneliti menghadapi situasi ini, akan kesulitan menyimpulkan apakah partai A atau B

yang lebih besar suaranya. Supaya peneliti bisa lebih yakin dengan kesimpulan

partai mana yang menang, angka sampling error harus diperkecil. Dengan sampling

error yang kecil, derajat perbedaan perolehan suara antar partai politik bisa

diprediksikan dengan lebih baik. Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan

keberhasilan lembaga jajak pendapat untuk memprediksikan peringkat partai 1-3,

karena perolehan suara partai tiga besar ini relatif jauh dengan di bawahnya. Tetapi

lembaga jajak pendapat kesulitan ketika memprediksi urutan dan perolehan suara

partai di papan tengah ( posisi 4-8 besar).

Tetapi yang perlu diingat, teknik penarikan sampel juah lebih penting. Kalau terjadi

kesalahan, umumnya bukan karena terlalu sedikit orang yang diwawancarai tetapi

karena teknik pengambilan sampel yang tidak tepat. Jika metode penarikan sampel

dilakukan dengan benar, tidak dibutuhkan jumlah sampel yang besar untuk

menghasilkan jajak pendapat yang baik. Di Amerika, rata-rata lembaga jajak

pendapat dilakukan dengan 1.500 orang responden. Filipina, negeri dengan jumlah

pemilih sebesar 25 juta orang, bisa diwakili oleh jajak pendapat dengan sampel

Page 75: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

75

sebesar 1.000 orang. Untuk Indonesia, pengalaman 1999 dan 2004 menunjukkan

lembaga jajak pendapat bisa menghasilkan temuan yang baik dengan jumlah sampel

sebesar 2.000-an orang. Asal sampel diambil secara random, jumlah sebesar itu

cukup bisa mewakili suara 147 juta pemilih.

Selain jajak pendapat ilmiah, ada jajak pendapat tidak ilmiah. Disebut jajak

pendapat tidak ilmiah karena jajak pendapat itu tidak dilakukan lewat prinsip ilmiah.

Sampel tidak diambil dengan menggunakan prinsip random (acak), sehingga

hasilnya tidak bisa dipakai untuk menggambarkan suara populasi. Meski jajak

pendapat ini umumnya memakai ratusan ribu sampel, karena tidak diambil secara

random, sampel yang dihasilkan sama sekali tidak mencerminkan populasi. Ada

banyak jajak pendapat yang tidak ilmiah, dibandingkan yang ilmiah. Jajak pendapat

yang banyak dilakukan oleh televisi, media dotcom lewat telepon atau sms yang

menjamur pada Pemilu 2004, adalah contoh jajak pendapat yang tidak ilmiah. Jika

dibandingkan jumlah jajak pendapat ilmiah dan jajak pendapat tidak ilmiah, lebih

banyak jajak pendapat yang tidak ilmiah. Masalahnya adalah, publik umumnya tidak

tahu dan tidak bisa membedakan mana jajak pendapat ilmiah dan mana jajak

pendapat yang tidak ilmiah. Kerancuan ini kerap timbul, disamping keterbatasan

pengetahuan masyarakat mengenai jajak pendapat, juga diakibatkan olehg

ketidakjujuran lembaga jajak pendapat. Lembaga itu tidak menginformasikan

kepada publik bahwa jajak pendapat yang dilakukan itu tidak ilmiah, dan karenanya

sama sekali tidak mencerminkan opini publik.

Bab ini akan menjelaskan, jajak pendapat yang tidak dilakukan dengan

menggunakan metode ilmiah yang benar, hasilnya akan sangat berbeda dengan

kenyataan. Dari banyak jajak pendapat tidak ilmiah ini, diambil tiga jajak pendapat

yang paling besar dan berpengaruh: jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-

Detik.com. Ketiga jajak pendapat itu yang paling banyak dikutip dan dibicarakan

baik oleh politisi maupun masyarakat awam. SCTV menyelenggarakan jajak

pendapat mengenai partai menjelang pemilihan 5 April. Hasil jajak pendapat SCTV

ini ditayangkan pada program berita di SCTV ( Liputan 6 Siang, Liputan 6 Pagi dan

Liputan 6 Petang). Sementara jajak pendapat Detik.com-Media Indonesia

dipublikasikan secara berkala dan real time lewat situs Detik.com.

Lembaga Metode Periode Jumlah Sampel SCTV SCTV tidak menarik sampel.

Pemirsa secara aktif Maret 2004 195.432 dengan

jumlah responden

Page 76: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

76

mengirimkan partai pilihan ke SCTV. Pemirsa SCTV mengirimkan SMS ke nomor 6666. Setiap partai mempunyai kode yang bisa dikirim sesuai dengan partai pilihan pemirsa.

global sebesar 240.799 orang.

Media Indonesia-Detik.com

Masyarakat mengirim SMS partai yang dipilih ke nomor yang disediakan Media Indonesia-Detik.com.

Maret-April 14.125

Persamaan dari ketiga jajak pendapat itu adalah, menggunakan sampel yang besar.

Tetapi seperti yang diuraikan di depan, jumlah sampel tidak bukanlah ukuran jikalau

metode pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar. Jumlah sampel ratusan

ribu atau bahkan puluhan juta orang sekalipun, bukanlah jaminan bawa hasil akan

representasi dengan populasi. Jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com

memakai metode yang hampir sama, yaitu call-in. Penyelenggara polling membuat

pengumuman, dan meminta masyarakat untuk memilih lewat SMS partai yang

dipilih. Hasil dari pilihan partai ini diajikan tiap saat oleh SCTV dan Media Indonesia-

Detik.com.44 Sementara telesurvei MARS meskipun memakai sistem acak, tetapi

karena dilakukan lewat telepon hasilnya juga tidak akan menggambarkan populasi

masyarakat Indonesia yang sebagian besar tidak mempunyai telepon.

Tabel menunjukkan perolehan suara 8 partai dalam jajak pendapat SCTV dan Media

Indonesia-Detik.com. Di sisi paling kanan disajikan data mengenai selisih antara

prediksi lembaga jajak pendapat dengan hasil aktual Pemilu.

Jajak pendapat via SMS SCTV

Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi % Golkar 5.8 5 21.58 1 15.78 PDIP 4.8 6 18.53 2 13.73 PKB 3.1 7 10.57 3 7.47 PPP 1.7 13 8.15 4 6.45 PD 9.2 3 7.45 5 -1.75

44 Metode ini disebut tidak ilmiah karena dua alasan berikut. Pertama, metode call-in dimana seseorang memilih dirinya sebagai sampel tidak dikenal dalam dunia ilmiah. Responden bersifat pasif, sementara dalam kedua jajak pendapat itu responden secara aktif menentukan dirinya sebagai sampel. Kedua, prinsip penting dari pengambilan sampel adalah seseorang terpilih sebagai sampel karena prinsip mekanisme acak. Dalam kedua jajak pendapat ini, mereka memilih dirinya sendiri sebagai sampel.

Page 77: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

77

PKS 41.2 1 7.34 6 -33.86 PAN 16.5 2 6.44 7 -10.06 Kesalahan Absolut Rata-Rata Jajak Pendapat SMS SCTV = 12.73

Keterangan: Jajak pendapat SCTV adalah hasil 30 Maret 2004, pukul 01.00 ( sumber: http://www.liputan6.com/parpol2004.php). Pada jajak pendapat ini, posisi 4 ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS). Karena jajak pendapat terus berlangsung secara real time, perolehan angka partai bisa terus berubah.

Jajak pendapat via SMS Media Indonesia-Detik.com

Hasil Aktual Pemilu Selisih

Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Golkar 4.4 6 21.58 1 17.18 PDIP 3.1 7 18.53 2 15.43 PKB 1.4 9 10.57 3 9.17 PPP 28.3 1 8.15 4 -20.15 PD 6.5 5 7.45 5 0.95 PKS 27.4 2 7.34 6 -20.06 PAN 11.4 3 6.44 7 -4.96 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Jajak Pendapat Media Indonesia-Detik.com = 12.56

Keterangan: Jajak pendapat Media Indonesia-Detik.com yang ditampilkan disini adalah hasil 19 April 2004 ( sumber: http:// mobile.detik.com / smspolling/index.php). Pada jajak pendapat ini, posisi 4 ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS). Karena jajak pendapat terus berlangsung secara real time, perolehan angka partai bisa terus berubah.

AKURASI

Kita bisa menilai kualitas dari jajak pendapat itu dari sudut akurasi, apakah hasil

jajak pendapat bisa akurat dalam meramalkan pemenang Pemilu dan komposisi

peringkat partai. Baik jajak pendapat SCTV maupun Detik.com-Media Indonesia

sama-sama tidak akurat dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Jajak

pendapat SCTV menghasilkan PKS sebagai pemenang Pemilu, sementara jajak

pendapat Detik.com-Media Indonesia menemukan PPP sebagai partai yang banyak

dipilih.

Ada satu kesamaan utama dari komposisi pemenang Pemilu ini. Yakni suara partai

kota yang besar ( PK, PD dan PAN). Sementara partai yang selama ini punya basis

massa kuat di desa ( seperti Golkar, PDIP, PKB ) mempunyai posisi rendah dalam

hasil lembaga jajak pendapat tersebut. Hasil ini tidaklah mengejutkan. Karena

pemilih telepon dan hand phone sebagian besar tinggal di kota. Selain lokasi tinggal

Page 78: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

78

responden, status ekonomi responden juga menentukan. Pada jajak pendapat Media

Indonesia-Detik.com dan SCTV, PKS dan PAN menempati posisi 1 dan 2. Ini tidak

mengherankan. Karena sistem jajak pendapat itu adalah call–in ( responden

menentukan dirinya sendiri sebagai sampel), maka yang berpeluang menjadi sampel

bukan hanya mereka yang punya telepon dan hand phone tetapi mereka yang mau

dan rela dan menyediakan waktu dan uang untuk mengirim SMS. Meraka yang mau

dan bersedia meluangkan waktu dan uang ini utamanya adalah partai dengan

tingkat mobilisasi yang tinggi. PKS dan juga PDS ( Partai Damai Sejahtera) selalu

menempati posisi atas karena kedua partai ini adalah partai kader dengan massa

yang militan.

Dari aspek akurasi, terlihat jajak pendapat sangat tidak akurat dalam

menggambarkan partai pemenang Pemilu dan komposisi pemenang Pemilu. Ini

sekaligus membuktikan, kalau jajak pendapat tidak dilakukan dengan mekanisme

dan prinsip ilmiah yang benar, hasilnya tidak akan representatif dan sama sekali

tidak menggambarkan opini publik.

KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT PARTAI

SCTV ( via SMS) Media Indonesia-Detik.com ( via SMS)

Rata-Rata Deviasi

Golkar 5 6 1 PDIP 6 7 2 PKB 7 9 3 PPP 13 1 4 PD 3 5 5 PKS 1 2 6 PAN 2 3 7 PRESISI

Selain tidak akurat, jajak pendapat itu juga sama sekali tidak presisi. Jika

dibandingkan hasil prediksi dengan hasil aktual Pemilu, terdapat perbedaan yang

sangat tajam. Tingkat kesalahan jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-

Detik.com di atas 10%. Tabel menyajikan selisih rata-rata prediksi SCTV dan Media

Indonesia-Detik.com dengan hasil aktual Pemilu. Yang menarik dari tabel ini, selisih

terbesar dialami ketika memprediksi suara PKS. Baik SCTV maupun Media Indoensia-

Detik.com menghasilkan angka untuk PKS yang sangat besar, jauh lebih besar dari

pada angka sebenarnya yang diperoleh oleh PKS dalam Pemilu. Sebaliknya, hasil

kedua jajak pendapat itu lebih kecil ketika memprediksi perolehan suara Partai

Page 79: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

79

Golkar. Selisih rata-rata kedua lembaga jajak pendapat dalam meramal suara Golkar

adalah 16.48%.

Deviasi yang besar ini juga dijelaskan dengan melihat metode yang dipakai. Sampel

dalam kedua jajak pendapat tidak dipilih secara acak ( random). Seseorang terpilih

sebagai sampel bukan karena prinsip dan hukum probabilitas. Sebaliknya, seseorang

yang (secara sukarela) menentukan dirinya sendiri sebagai sampel responden.

Karena itu hasil jajak pendapat hanya mencerminkan suara orang yang dengan

sukarela menentukan pilihan sebagai sampel. Karena tidak dipilih secara acak, jajak

pendapat SCTV atau Media Indonesia-Detik.com tidak mencerminkan populasi

pemilih Indonesia. Jajak pendapat bahkan tidak mencerminkan suara pemilik telepon

atau hand phone. Prinsip random mensyaratkan semua anggota populasi

mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Karena metode

jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com bersifat in call ( seseorang

menentukan dirinya sendiri sebagai sampel) maka jajak pendapat itu hanya

menyertakan mereka yang kebetulan mengirim SMS. Jajak pendapat mengabaikan

pemilik HP atau telepon yang kebetulan tidak tahu adanya jajak pendapat atau tidak

ingin mengirim SMS ke SCTV.

Menarik membandingkan jajak pendapat SCTV dengan MARS. Jajak pendapat MARS

dilakukan lewat telepon, tetapi metode penarikan sampel dilakukan secara acak

(random). Jajak pendapat MARS lebih mencerminkan suara pemilik telepon. Tabel

menyajikan perbandingan hasil jajak pendapat SCTV dan MARS. Dari tabel terlihat,

deviasi (selisih kesalahan) jajak pendapat MARS lebih kecil dibandingkan dengan

SCTV. Meskipun diambil secara random, jajak pendapat MARS tidak menunjukkan

representasi suara masyarakat Indonesia. Ia hanya mengakomodasi suara pemilik

telepon yang kebetulan berada di kota. Tidak terlampau mengherankan jikalau suara

untuk PKB dalam jajak pendapat itu sangat kecil.

Jajak pendapat SCTV ( via SMS)

Telesurvei MARS ( via telepon) Partai Pemilu

2004 % Posisi % Posisi Golkar 5.8 5 18.3 1 PDIP 4.8 6 16.8 3 PKB 3.1 7 4.3 6 PPP 1.7 13 3.8 7 PD 9.2 3 17.4 2 PKS 41.2 1 13.2 5

Page 80: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

80

PAN 16.5 2 16.2 4 Skor Kesalahan

12.73

5.89

Keterangan: Telesurvei MARS dilakukan di enam kota besar: Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makasar, dan Palembang. MARS menanyakan partai politik mana yang dipilih pada Pemilu 5 April lewat telepon. Jumlah sampel diwawancarai MARS sebanyak 30.228.Telesurvei MARS diambil dari hasil tanggal 30 Maret 2004, pukul 24.00 ( sumber: http://www.liputan6.com /parpol_mars2004.php). Dalam jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com, hasilnya bias karena

hanya menyertakan pemilih HP yang aktif. Tidak terlampau mengherankan jikalau

suara sangat tinggi berasal dari pemilih PKS dan PDS. Pemilih partai ini bukan hanya

berasal dari kalangan terdidik di kota, tetapi juga terbiasa dengan informasi dan

teknologi. Mereka juga kelompok yang aktif dan terorganisir---yang bisa dengan

mudah dilihat dari keaktifan mereka dalam mengorganisir demonstrasi ratrusan ribu

orang ketika memprotes sejumlah isu. Tidaklah mengherankan jikalau suara dari

PKS ini sangat tinggi dibandingkan dengan partai lain.

SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI PARTAI

SCTV ( via SMS) Media Indonesia-Detik.com ( via SMS)

Rata-Rata Selisih

Golkar 15.78 17.18 16.48 PDIP 13.73 15.43 14.58 PKB 7.47 9.17 8.32 PPP 6.45 -20.15 13.3 PD -1.75 0.95 1.35 PKS -33.86 -20.06 26.96 PAN -10.06 -4.96 7.51 Keterangan: Rata-rata deviasi dihitung dari selisih rata-rata dari 3 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+) atau negatif (-) diabaikan.

Page 81: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

81

VIII. PENUTUP

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari ramalan lembaga jajak pendapat Pemilu 1999

dan 2004? Dari Pemilu 1999 dan 2004, lembaga jajak pendapat bisa

memprediksikan dengan benar pemenang Pemilu. Hasil Pemilu telah diketahui

sebelum publik berbondong-bondong ke bilik-bilik suara. Tetapi meramalkan

pemenang Pemilu saja tidak cukup. Kita membutuhkan lembaga jajak pendapat

yang bisa meramalkan dengan presisi perolehan suara masing-masing partai. Tabel

menunjukkan perbandingan kinerja lembaga jajak pendapat Pemilu 1999 dan 2004

dalam meramalkan suara partai. Jika dilihat dalam tabel tersebut, ada kemajuan

dalam lembaga jajak pendapat. Jika ditotal semua lembaga jajak pendapat yang

membuat survei Pemilu, rata-rata skor kesalahan lembaga jajak pendapat dalam

meprediksi suara partai sebesar 6.5%. Angka ini berkurang secara signifikan pada

tahun 2004 menjadi 3.34%. Bahkan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) berhasil

memprediksi suara perolehan partai dengan selisih hanya 1.64%.

Skor kesalahan 3.34% memang bukan angka yang rendah. Di Amerika, tingkat

kesalahan rata-rata lembaga jajak pendapat dalam puluhan tahun di bawah 1.5%. Di

negara berkembang seperti Filipina, skor kesalahan rata-rata berkisar di angka 2%.

Tetapi untuk negeri dengan wilayah demografi yang luas dan baru menerapkan

metode jajak pendapat, pencapaian ini sudah lebih dari lumayan. Tantangan

terbesar lembaga jajak pendapat di masa datang adalah menghasilkan temuan yang

bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Hanya dengan itu, publik bisa percaya bahwa

jajak pendapat adalah alat yang terpercaya untuk mengukur pendapat umum.

Pengalaman Amerika dan Filipina, kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap

jajak pendapat karena lembaga jajak pendapat bisa meyakinkan masyarakat bahwa

prediksi mereka benar.

PEMILU 1999 PEMILU 2004 Lembaga Kesalahan

Absolut Rata-Rata

Lembaga Kesalahan Absolut Rata-Rata

IFES 4.23 LSI 1.64 LP3ES 4.62 IRI 1.73 Litbang Kompas 7.48 IFES 3.13 RPC 6.87 DRI 3.71 KPP-Lab Politik UI 9.31 Balitbang PDIP 3.47 SSS 3.83

Page 82: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

82

LP3ES 5.85 Rata-Rata = 6.50 Rata-Rata = 3.34 Keterangan: Kesalahan absolut rata-rata prediksi Pemilu 1999 dan 2004 didasarkan pada selisih prediksi suara atas 7 partai terbesar.

Semakin banyak survei, semakin banyak hasil jajak pendapat yang dipublikasikan

akan semakin bagus. Bukan hanya agar khalayak mendapatkan lebih banyak

informasi soal pendapat publik, tetapi juga demi kepentingan pengembangan

penelitian pendapat umum di Indonesia. Banyaknya penelitian di bidang ini akan

semakin membuka hutan rimbun yang belum dijamah itu. Dari jajak pendapat yang

telah dilakukan akan bisa diperbandingkan, pengaruh sampel terhadap hasil,

bagaimana seharusnya pertanyaan dirumuskan untuk konteks Indonesia, berapa

jumlah responden ideal agar bisa mencakup keragaman masyarakat Indonesia dan

seterusnya. Tantangan bagi lembaga jajak pendapat di masa datang adalah

mendesain survei yang cepat, efesien, murah tetapi sekaligus akurat.

Pengetahuan yang mendalam mengenai soal ini akan sangat berguna bukan hanya

bagi lembaga jajak pendapat tetapi juga kepentingan ilmu sosial di Indonesia secara

keseluruhan. Desain sampel yang baik, rumusan pertanyaan yang akurat hanya bisa

diperoleh lewat penelitian terus menerus. Jangan dilupakan, penelitian sosial selalu

berkaitan dengan situasi sosial. Pengetahuan mengenai bagaimana melakukan

wawancara, bagaimana merumuskan pertanyaan yang dianggap tabu, bagaimana

mendekati responden, adalah aspek praktis yang bisa diambil manfaatnya dari

kegiatan jajak pendapat •

Page 83: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

83

DAFTAR PUSTAKA

BUKU, MAKALAH DAN JURNAL

Dhakidae, Daniel,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada Seminar Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993

-------------------,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14

Agustus 1999. -------------------,” Medan Riset dan Jajak Pendapat di Indonesia,” Kompas,14

Agustus 1999. Field, Mervin D,”Political Opinion in The United States of America,” dalam Robert

M.Worcester (ed), Political Opinion Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983.

Gallup, George, “Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur (ed),

Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California, Wadsworth & Brooks Inc, 1985.

Guerrero, Linda Luz and Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An

Encyclopedia Article,Occasional Paper, SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

----------------------,and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the

Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

Litbang Kompas, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, Jakarta, Penerbit Buku

Kompas, 2004. Mangahas, Mahar, Linda Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and

National Elections in The Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

Moore, David S, Statistics: Concept and Controversies, Second Edition, New York,

WH Freeman, 1985. Moore, David W. The Superpollster:How They Measureand Manipulate Public Opinion

in America, Second Edition, New York, Four Walls Eight Windows,1995. National Democratic Institute ( NDI), The Quick Count and Election Observation,

2003. Manual ini tersedia di website NDI ( http: //www.ndi.org). Weisberg, Herbert F, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to

Survey Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage Publication, 1996.

Page 84: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

84

LAPORAN, MAKALAH, MATERI KONFERENSI PERS JAJAK PENDAPAT Danareksa Research Institute (DRI), Sign of Golkar Resurrection, Special Report,

Maret 2003 --------------------, Popularity of Military Figures Is On the Rise But Megawati

Remains the Leading Contender, Special Report, Juli 2003 Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ,

Laporan Survei Tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2004, Juni 2003 --------------------, Laporan Survei Kandidat Presiden Menjelang Pemilu 2004, Juli

2003 --------------------, Rakyat dan Pemilu 2004 : Laporan Survai tentang Persepsi

Masyarakat terhadap Pemilu 2004, Maret 2004 --------------------, Survei Nasional Kecenderungan Pemilih Pada Pemilu 2004,

diambil dari www.lp3es.or.id --------------------, Rakyat, Partai Politik dan Pemilu I, Materi Konferensi Pers 18

Mei 1999 --------------------, Rakyat, Partai Politik dan Pemilu II, Materi Konferensi Pers 3 Juni

1999 Lembaga Survei Indonesia (LSI), Gagalnya Partai-Partai Politik yang Membawa

Simbol Reformasi, Materi Konferensi Pers 26 September 2003 --------------------, Tiga Calon Presiden erkuat 2004, Materi Konferensi Pers 24

September 2003 --------------------, Perilaku Pemilih Islam, Materi Konferensi Pers 18 November 2003 --------------------, Kecenderungan Pemilih Yang Mengkhawatirkan Menjelang Pemilu

2004, Materi Konferensi Pers 21 Januari 2004 --------------------, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui

Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers 2 April 2004 --------------------, Akankah Pemilu 2004 Berujung Pada Presiden Baru? Materi

Konferensi Pers 13 April 2004 Litbang Kompas, “Pemilih, Siapa Mereka?” Kompas, 17 Mei 1999. -------------------, “Jajak Pendapat Litbang Kompas di Lima Kota: PDI Perjuangan

Paling Populer,” Kompas, 15 Mei 1999. -------------------,”Hasil Dua Jajak Pendapat Litbang Kompas: PDI Perjuangan Di

Urutan Pertama,” Kompas, 15 Februari 1999.

Page 85: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

85

--------------------, “Masyarakat Pemilih, Bingung Atau Makin Kritis?” Kompas, 12 April 1999.

Resource Productivity Center, “Hope for Change Lies With Students not Politicians,”

The Jakarta Post, 23 Januari 1999 --------------------,”Nation in Transition Poised for Elections,” The Jakarta Post, 23

Januari 1999 Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Indonesian Presidency in the Making, Juli 2002 --------------------, Aproaching 2004 Indoensian Presidency in the Making: Who is

The All-Round Best, September 2002. --------------------, The Ultimate Duets for the 2004 Presidential Race, Maret 2003 --------------------, General Election 2004 The Real Fight: The Incumbent VS The

Hopeful, Mei 2003 --------------------, The 2004 General Election : The Incumbent’s Contenders, Juli

2003 --------------------, Pemilu 2004: Mengukur Kekuatan Politik Nasionalis VS Islam,

November 2003 -------------------, The Puzzle Goes On : Male or Female President 2004, Maret 2004 --------------------, The Presidential Race : The People Decide, April 2004 The International Foundation for Election Systems (IFES), Summary of Public

Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia –1999. -------------------, Survey of the Indonesian Electorate Following the June 1999

Elections, September 1999 -------------------, 2000 Indonesia Nationwide Survey, Mei 2000 -------------------, National Public Opinion Survey 2002 Republic of Indonesia, Mei

2002 -------------------, Indonesia 2003 National Survey, Mei 2003 -------------------, Indonesia 2004 Tracking Survey, Januari- April 2004 The International Republican Institute (IRI), Analisa dan Penjangkauan Pemilh,

Laporan Jajak Pendapat Nasional, Desember 2003 -------------------, Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Laporan Jajak Pendapat

Nasional, Maret 2003

Page 86: JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

86