258

Click here to load reader

Jamur Tiram

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jamur Tiram

POTENSI LIGNINOLITIK JAMUR PELAPUK KAYU KELOMPOK Pleurotus

ELIS NINA HERLIYANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 2: Jamur Tiram

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Potensi

Ligninolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus” adalah gagasan atau

hasil penelitian disertasi karya saya sendiri dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi

manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas

dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Oktober 2007

ELIS NINA HERLIYANA

NRP. E061020031/IPK

Page 3: Jamur Tiram

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar untuk IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 4: Jamur Tiram

RINGKASAN

ELIS NINA HERLIYANA. Potensi Ligninolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus. Dibimbing oleh DODI NANDIKA, ACHMAD, LISDAR I. SUDIRMAN dan ARIEF BUDI WITARTO.

Jamur diketahui mampu menguraikan substrat menjadi bahan-bahan organik sederhana melalui proses hidrolisis enzimatik, sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme lain termasuk tumbuhan. Beberapa jamur pelapuk kayu seperti jamur kelompok Pleurotus berpotensi dalam proses biodelignifikasi, yang dapat dimanfaatkan oleh industri pulp dan kertas. Meskipun demikian kajian lebih mendalam belum banyak dilakukan terhadap jamur kelompok Pleurotus khususnya yang berasal dari Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang menyeluruh tentang jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus asal Bogor.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ligninolitik jamur pelapuk putih dari kelompok Pleurotus asal Bogor. Penelitian ini dimulai dengan eksplorasi jamur kelompok Pleurotus di lapangan, isolasi, karakterisasi fisiologi dan ligninolitik pada beberapa chip kayu bahan baku pulp yaitu kayu akasia, pinus dan sengon dan media serbuk gergajian kayu sengon, pengukuran aktivitas enzim ligninase (manganese peroksidase/MnP, lignin peroksidase/LiP dan lakase) dan purifikasi MnP serta terakhir adalah identifikasi secara morfologi yang ditunjang dengan karakter kultur dan fisiologi.

Hasil eksplorasi jamur di berbagai wilayah di Bogor menunjukkan bahwa jenis jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus hanya ditemukan di areal kebun dan tempat penggergajian kayu di kecamatan Ciherang, Bogor (+ 501 m dpl). Sebanyak 24 isolat kelompok Pleurotus yang berhasil diisolasi dari lapangan dan 17 isolat diantaranya kemudian dikultivasi pada media serbuk gergajian kayu sengon. Sebanyak 6 isolat diantaranya dapat membentuk tubuh buah yaitu Pleurotus EB9 (pink), Pleurotus EB14-2 (cokelat-muda), Pleurotus EB24 (cokelat keabu-abuan), Pleurotus EA4 (cokelat muda), Pleurotus EAB7 (cokelat keabu-abuan), dan Pleurotus EB6 (cokelat keabu-abuan).

Hasil penelitian terhadap penampakan koloni jamur kelompok Pleurotus pada berbagai media kultur, suhu dan pH media optimum menunjukkan adanya perbedaan dalam laju pertumbuhan koloni. Semua isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA dan PDA, serta tumbuh optimal pada suhu media sekitar 19-30oC dengan pH media antara pH 6-7. Reaksi oksidasi yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan jamur pelapuk putih. Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 merupakan jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi oksidasi pada media AAG dan AAT yang cukup kuat. Isolat kelompok Pleurotus menunjukkan variasi yang besar terhadap rata-rata bobot basah total (34,8-142,4 gram), efisiensi biologis (EB) (29,1-119,0%), lama fase vegetatif (14,0-83,0 hari), lama fase reproduktif (112,5-199,0 hari) dan jumlah panen (4,0-6,0 kali). Pleurotus EB9 mempunyai lama fase vegetatif yang paling singkat. Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lainnya, dan lebih dekat dengan P. ostreatus HO.

Page 5: Jamur Tiram

Hasil penelitian terhadap tingkat degradasi dan laju dekomposisi menunjukkan bahwa isolat yang paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO. Hasil penelitian terhadap laju dekomposisi menunjukkan bahwa P. ostreatus HO merupakan isolat yang paling tinggi laju dekomposisinya kemudian diikuti Pleurotus EB9.

Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pada tahap awal kolonisasi oleh jamur pada chip, diketahui miselium mendiami saluran resin dan jari-jari kayu pinus. Hasil pengamatan terhadap kayu akasia terlihat bahwa miselium mendiami pembuluh dan jari-jari. Umumnya miselium melakukan penetrasi melalui noktah-noktah sebagai salah satu cara penyebaran ke sel-sel kayu yang lain. Proses pelapukan selanjutnya terlihat pada kerusakan dan perubahan bentuk pada lamela tengah dan dinding sel sekunder.

Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Setiap isolat kelompok Pleurotus yang diuji menunjukkan variasi rata-rata penurunan kadar lignin (10,7-89,7%) dan selulosa (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin substrat terbesar (89,7%) dan kadar selulosa terbesar (87,4%). Antar satu isolat dengan isolat lainnya mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda. Diantara isolat yang diuji, Pleurotus EB9 merupakan satu isolat kandidat yang baik untuk agens biopulping dan biobleaching.

Selanjutnya ekspresi MnP setelah 6 hari menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 memproduksi MnP paling tinggi pada substrat kayu sengon. Pleurotus EB9 juga memproduksi lakase, sementara produksi LiP tidak terdeteksi. SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose) terhadap isolat Pleurotus EA4 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, ternyata tidak diperoleh pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus EA4 tidak memproduksi MnP.

SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion pada contoh Pleurotus EB9 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, diperoleh pita dengan bobot molekul 43 kDa. Hasil pemurnian dengan kolom kromatografi gel diperoleh puncak pada fraksi ke 96. SDS PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 dipastikan bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP yang telah berhasil dimurnikan. Hasil rangkuman data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan pemurnian masih sangat rendah dengan tingkat kemurnian 3,8. Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh adalah sebesar 4,133 U/mg protein.

Hasil identifikasi terhadap enam isolat yang dapat membentuk tubuh buah diketahui lima isolat (Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan EB6) adalah Hohenbuehelia petaloides dan satu isolat (Pleurotus EB9) adalah Pleurotus djamor EB9. Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi dan morfologi menunjukkan bahwa P. djamor EB9 berbeda dengan kelima isolat H. petaloides tersebut. Produksi enzim ligninase khususnya MnP P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 juga berbeda.

Kata-kata Kunci: Jamur pelapuk kayu, kelompok Pleurotus, biodegradasi, kayu

akasia, pinus dan sengon, P. djamor EB9, H. petaloides, morfologi, ligninolitik, manganese peroksidase, lignin peroksidase dan lakase

Page 6: Jamur Tiram

SUMMARY

ELIS NINA HERLIYANA. Ligninolytic Potency of Wood Rot Fungi of Pleurotus Groups. Under Supervision of DODI NANDIKA, ACHMAD, LISDAR I. SUDIRMAN and ARIEF BUDI WITARTO.

Pleurotus groups of white rot fungi are wood decaying fungi, which able to decompose wood substrate into simple organic materials through enzymatic hydrolytic. This can be used by other microorganisms including plants. They are also potential used in biodelignification process, especially for pulp and paper industry. So far, study on Pleurotus groups especially from Indonesia in detail has not been done. The present study is a comprehensive basic research for white-rot fungi Pleurotus groups especially from Bogor.

The purpose of this research is to examine the ligninolytic potency of Pleurotus groups from District and City of Bogor. The research activities were started with exploration of Pleurotus in the field, isolation, physiological characterization test, ligninolytic activity, measurement and purification of enzyme produced by Pleurotus groups and finally, identification of isolated Pleurotus groups morphologically and physiologically. The physiological characterization was done based on the growth rate, oxidation reaction, vegetative and reproductive phases, total biomass and biological efficiency. The ligninolytic character of these six fungi isolates was measured based on biodegradation of sengon sawdust substrate by the fungi and degradation value on acacia, pine and sengon wood. The ligninolytic characterization also was identified through enzyme activity of manganese peroxidase (MnP), laccase and lignin peroxidase (LiP). Furthermore, MnP enzyme from isolate represented Bogor was isolated and purified.

The results of field observation showed that Pleurotus groups were found only in garden and sawmill of sub-district Ciherang (+ 501 m asl). Twenty four isolates of Pleurotus groups were isolated, and 17 of those isolates were cultivated on sengon sawdust media. Among them, six isolates are able to form fruit bodies, namely: Pleurotus EB14-2 (light brown), Pleurotus EB24 (gray brown), Pleurotus EA4 (light brown), Pleurotus EAB7 (gray brown), Pleurotus EB6 (gray brown) and Pleurotus EB9 (pink).

The results showed that performance of colony of Pleurotus groups on various culture media, temperatures and pH as variables were varies. Positive oxidation reaction on AAG and AAT media showing that all isolates including white-rot fungi. Pleurotus EB9 and Pleurotus EA4 were potentially white-rot fungi with moderately strong reaction on media AAG and AAT. Wild Pleurotus group also showed wide variation in terms of total biomass (34,8-142,4 gram), biological efficiency (29,1-119,0%), average time of vegetative phase (14,0-83,0 days), reproductive phase (112,5-199,0 days) and harvest frequency (4,0-6,0 times). Vegetative phase period of Pleurotus EB9 is the shortest. Analysis cluster of the isolates based on physiological characterization showed that Pleurotus EB9 was different with five other isolates, but closer to P. ostreatus HO.

Page 7: Jamur Tiram

Degradation level of the isolates showed that the highest level of degradation was Pleurotus EB9 and P. ostreatus HO. The highest decomposition rate was P. ostreatus HO and followed by Pleurotus EB9. Microscopic analysis showed that in the early stage of fungi invasion on pine, mycelium lived in resin tunnel and xyllary rays, while on acacia they lived in vessels and xyllary rays. In general, penetration of mycelium through nocti was as a way to spread further in another of wood cells. On the advanced decay process, there were changes in form and cells damage of middle lamella and secondary cell wall.

Having applied of each wild Pleurotus group isolates resulted in increasing of extractives total compounds both in vegetative and reproductive phases. Each wild Pleurotus group isolates shows variation in decreasing average of lignin content (10,7-89,7%) and cellulose content (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 are able to decrease the highest lignin (89,7%) and cellulose (87,4%) content of substrate. Classification based on ligninolytic character is different with classification based on morphological and physiological characters. Pleurotus EB9 seems to be separated from other isolates. This shows that there was different ligninolytic character among the isolates. The best isolate for biopulping and biobleaching agent is Pleurotus EB9 on vegetative phase.

The expression of MnP (U/ml) after six days showed that, extracellularly, Pleurotus EB9 was the highest in producing MnP on sengon-wood substrate in swing medium condition. Pleurotus EB9 was also produced laccase, while LiP was not detected. The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column (DEAE-Sepharose) of Pleurotus EA4 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate did not produce ribbons that indicate the presence of MnP. Its activity did not produce good result too. This fact proves that Pleurotus EA4 did not produce MnP.

The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate produced a ribbon with 43 kDa molecule weight. Furthermore, the purification result using high resolution HiPrep 16/60 Sephacryl s-200 gel chromatography column (GE Biosciences) with flow rate of 0.3 ml/min and fractionation rate of 1.5, and using buffer solution of 10mM potassium phosphate pH 7.0 and HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), reached a peak at 96th fraction. The SDS PAGE gel column chromatography result of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate proved that Pleurotus EB9 produced MnP which has been purified with a molecule weight of 43 kDa. The summary result of MnP purification data of Pleurotus EB9 showed that the success level of purification is still low with purification rate of 3.8. The specific activity of MnP obtained is 4.133 U/mg of protein.

The identification result of six isolates that were able to form fruit body are five isolates of Hohenbuehelia petaloides, which are EB14-2, EB24, EA4, EAB7 and EB6, and also Pleurotus djamor EB9. The analysis result of isolate group based on physiological and morphological characters showed that P. djamor EB9 is different with H. petaloides. The production of ligninase enzyme, especially MnP, of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4 are also different.

Keywords: Wood rot fungi, Pleurotus groups, biodegradation, acacia, pine and sengon

wood, P. djamor EB9, H. petaloides, morphology, ligninolytic, manganese peroxidase, lignin peroxidase and laccase

Page 8: Jamur Tiram

POTENSI LIGNINOLITIK JAMUR PELAPUK KAYU KELOMPOK Pleurotus

ELIS NINA HERLIYANA

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 9: Jamur Tiram
Page 10: Jamur Tiram

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi

2. Dr. Siswanto, D.E.A

Page 11: Jamur Tiram

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, berkah dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi hingga tahap penyusunan disertasi ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, M.S., Dr. Ir. Achmad, M.S., Dr. Ir. Lisdar Manaf I. Sudirman dan Dr. Ir. Arief Budi Witarto, M.Eng. atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Atjeng Kamaludin dan ibunda Imas Maryani, juga kepada ayahanda mertua H. Kusno dan ibunda H. Hindun dan keluarga ayahanda Mu’zi (Alm.), yang telah memberi dukungan do’a dan kasih sayangnya. Terima kasih yang mendalam penulis haturkan kepada suami tercinta Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc.Agr. serta ananda tersayang Muhammad Hidayatul Mustofa, Abdullah Fathan Taufik dan Ziyad Muhammad Imani, atas do’a, kasih sayang, pengertian, kesabaran dan pengorbanan serta semua dukungan yang sangat berarti hingga terselesaikannya studi doktor ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan untuk adik-adik, Kompol Asep Hendradiana, dr, Sp.An., M.Kes., Dewi Pudjiati, S.I.P., Ir. Deden Hidayatullah, Rita Yustika, Amd, Nizar Budiaji, Amd dan Nando Sugawa, S.T., Ir. Rohmad Mu’zi, Masruroh Mu’zi, Umdzatull Millah Mu’zi, Imron Mudzakir Mu’zi, SE, Sri Rahayu dan Khoiron, SE atas dorongan semangat, pengertian dan do’anya.

Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudohadi dan Dr. Siswanto, D.E.A., yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka dan Pimpinan Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB, Departemen Manajemen Hutan, Departemen Silvikultur, yang telah memberi kesempatan studi. Disampaikan juga ucapan terimakasih kepada tim manajemen BPPS Dikti yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan dan penelitian.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, Dr. Yudiwanti, Dr. Irdika Mansur, Dr. Fauzi Febriyanto, Dr. Lailan Syaufina, Dr. Iskandar Zulkarnaen, Dr. Lina Zulkarnaen, Prof. Dr. Mien A. Rifai, Prof.

Page 12: Jamur Tiram

x

Finkeldey, Ir. Deded Nawawi, M.Si., dan Prof. Dr. Sipon Mulyadi yang telah bersedia memberikan saran. Ucapan terimakasih juga kepada Dr. Lee Su She dan Dr. Sri Rahayu di UPM Malaysia, serta Dr. Dewi Siti Latifah dan Sarah Reinecke selama di Jerman atas saran dan pustaka-pustaka yang sangat berharga.

Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Iwa dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Bapak Engkus dari Rumah Jamur Laboratorium Mikologi di Tajur, Departemen Biologi, Bapak Atien dari Laboratorium Kimia Kayu dan Esti, Amd., S.Si. dari Laboratorium Kayu Solid, Fakultas Kehutanan, IPB; Atie Sunarti, S.T.P., M.S. dan Ir. Desriyani, M.Si. dari Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Dra. Endang dari Laboratorium Anatomi dan SEM, Pusat Penelitian Zoologi, serta Dra. Atik Retnowati, M.Sc. dari Herbarium Bogoriense, LIPI; Ir. Alina, M.Si. dari Laboratorium Protein dan Enzim, Balitbiogen, Bogor; Taufan, Amd. dan Riana dari Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor; Ir. Farid, M.Si. dari Dept. Statistik, FMIPA; Bapak Dr. Widodo beserta staf di Laboratorium Mikologi dan Damayanti, S.P. di Laboratorium Nematologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian; Ibu Pepi, Ibu Emi dan Ibu Ika di PAU Bioteknologi; Tutin Suryatin, B.Sc.F., M. Alam F., S.Hut., M.Si dan alumni serta anggota Mushroom Studies, Luci Andini, S.Hut., Anang P.H., S.Hut., Osica Ayu, S.Hut., Jenal Mutaqin, S.Hut., Wartaka, S.Hut., Lendi F., S.Hut., Fiki R, S.Hut., Deka F., S.Hut., Alwiah, Ope P., S.Hut., Reni M., S.Hut., Resa, Indah D.P. dan Desti di Laboratorium Penyakit Hutan; Ir. Dorli, M.Si. di Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, dan Ir. Noverita, M.Si., Ir. Trisna Priyadi, M.Sc., serta Oemi Fadhillah, S.P., selama pengumpulan data, serta kepada Bapak Sapri, Sukaesih dan keluarga Yuli atas bantuan dan kerjasamanya kepada penulis dan keluarga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan sehingga penelitian dan penyusunan disertasi ini terwujud. Semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan dan maghfirah-Nya kepada kita semua, amien.

Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan pembaca yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2007

Elis Nina Herliyana

Page 13: Jamur Tiram

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 21 April 1967, sebagai anak

pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Atjeng Kamaludin dan Imas

Maryani. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Abdul Munif, MSc.Agr. pada tahun

1990, dan telah dikaruniai tiga orang putra bernama Muhammad Hidayatul

Mustofa (tahun 1991), Abdullah Fathan Taufik (tahun 1996) dan Ziyad

Muhammad Imani (tahun 2002).

Pada tahun 1986, penulis menempuh pendidikan sarjana di Institut Pertanian

Bogor pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, lulus

pada tahun 1990. Pada tahun 1993, penulis melanjutkan pendidikan Magister di

Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Entomologi/Fitopatologi Program

Pascasarjana dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 1998, penulis

menjadi peneliti tamu di Institut Planzenkrankheiten, Faculty of Agriculture,

University of Bonn, Germany. Pada tahun 2000-2001, penulis mengambil

program khusus pada the Faculty of Agriculture, University of Bonn, Germany.

Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu

Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana program Doktor di Sekolah

Pascasarjana IPB. Penulis memperoleh beasiswa BPPS dari Ditjen Pendidikan

Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar dengan spesialisasi bidang Penyakit

Hutan dan Jasad Renik Hutan di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1991. Penulis pada 2004 sampai sekarang

dipercaya sebagai kepala Laboratorium Patologi Hutan. Pada tahun 1992 - 1997

penulis pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Kehutanan Universitas

Winayamukti Jatinangor. Selama menyelesaikan kegiatan akademik, penulis tetap

melaksanakan tugas sebagai pengajar di Departemen Manajemen Hutan Fakultas

Kehutanan IPB, yang kemudian pada tahun 2006 Departemen ini dipecah menjadi

Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Silvikultur, dan selanjutnya

penulis menjadi pengajar di Departemen Silvikultur. Penulis menjadi anggota

Masyarakat Bioteknologi Indonesia sejak 2003, Himpunan Protein Indonesia

sejak tahun 2006 dan Masyarakat Peneliti Kayu sejak 2007.

Page 14: Jamur Tiram

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……………………………………………………....

DAFTAR GAMBAR …………………………………………….……..

PENDAHULUAN

Latar Belakang …..…………………………………….…............. Perumusan Masalah ……………………………………….…...… Tujuan Penelitian ………………………………………………… Manfaat Penelitian ………………………………………..…..….. Hipotesis Penelitian ………………………………………..….…. Kebaruan Penelitian ………………………………………………

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Lignoselulolitik dan Gambaran Umum Tiga Jenis Kayu … Penguraian Komponen Kayu Secara Enzimatik oleh Jamur Pelapuk Putih ………………………………………………….…. Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus ………………………

1. EKSPLORASI JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus DARI DAERAH BOGOR

Abstrak ………………………………………………………….... Abstract ………………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………………... Bahan dan Metode ……………………………………………..… Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian …………………………………………..… Pembahasan ………………………………………………...

Simpulan ……………………………………………………….....

2. KARAKTER FISIOLOGIS JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus ASAL BOGOR

Abstrak …………………………………………………………... Abstract …………………………………………………………... Pendahuluan …………………………………………………….... Bahan dan Metode …………………………………………..…… Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian ………………………………………..…… Pembahasan ……………………………………………..….

Simpulan ……………………………………………………….…

xvxvii

135556

7

916

18181919

213740

41424343

485669

Page 15: Jamur Tiram

xiii

3. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI PADA TIGA JENIS KAYU BAHAN PULP

Abstrak ……………………………………………………..…….. Abstract ………………………………………………………....... Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode …………………………………………....….. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian …………………………………………...... Pembahasan …………………………………………..….…

Simpulan ……………………………………………………...…..

4. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI SUBSTRAT GERGAJIAN KAYU SENGON

Abstrak …………………………………………………….……. Abstract ………………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode ……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian …………………………………………….. Pembahasan ………………………………………………...

Simpulan …………………………...……………………………..

5. EKSPRESI ENZIM LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus PADA SUBSTRAT CAIR KAYU SENGON SERTA PEMURNIAN PARSIAL MANGANESE PEROKSIDASE

Abstrak ………………………………………………………….... Abstract ……………………………………………………….….. Pendahuluan ……………………………………………………… Bahan dan Metode ……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian ………………………………..…………... Pembahasan …………………………………………..….…

Simpulan …………………………………………………..……..

6. IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER FISIOLOGIS, LIGNINOLITIK DAN MORFOLOGIS ENAM ISOLAT KELOMPOK Pleurotus ASAL BOGOR

Abstrak ……………………………………………………….…. Abstract ………………………………………………….………. Pendahuluan ………………………………………………….….. Bahan dan Metode ……………………………………………….. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian ……………………………………….….... Pembahasan …………………………………………..……

Simpulan ………………………………………………….…..….

70717273

759195

979899

100

107114118

119120121122

127141147

149150151152

157195200

Page 16: Jamur Tiram

xiv

PEMBAHASAN UMUM …………………………………………......

SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..…..

LAMPIRAN ……………………………………………………….…..

202

214

219

231

Page 17: Jamur Tiram

DAFTAR TABEL

Halaman

1

1.1 1.2

2.1 2.2 2.3 2.4

2.5

3.1

3.2 3.3 3.4

3.5

3.6

4.1

Tinjauan Pustaka Persentase kadar selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin serta pati kayu berdasarkan bobot kering ................................................

Penelitian 1 Beberapa genus jamur pleurotoid pada beberapa lokasi di Kabupaten dan Kota Bogor pada bulan Mei 2004 .......................... Isolat kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang Bogor ..............................................................................................

Penelitian 2

Media, suhu dan pH optimum, serta reaksi pada AAG dan AAT ketujuh isolat kelompok Pleurotus ................................................. Bobot basah tubuh buah hasil panen jamur ketujuh isolat kelompok Pleurotus ........................................................................ Nilai rata-rata total panen tubuh buah pada ketujuh isolat jamur isolat jamur Pleurotus ..................................................................... Perbandingan nilai EB jamur pada ketujuh isolat kelompok Pleurotus ......................................................................................... Fase vegetatif, fase reproduktif dan jumlah panen jamur isolat kelompok Pleurotus .......................................................................

Penelitian 3

Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus ....................... Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan lama inkubasi ................. Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan isolat .............................. Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan jenis kayu dan lama inkubasi .......................................................................................... Laju dekomposisi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus ....................... Tanda-tanda kerusakan kayu secara mikroskopis pada kayu pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus ........................................................................................

Penelitian 4 Kadar air dan kadar zat-zat ekstraktif substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus .....

7

23

28

49

52

53

53

54

767778

78

81

82

108

Page 18: Jamur Tiram

xvi

4.2

4.3

5.1

5.2 5.3

5.4

5.5

5.6 5.7

5.8

6.1 6.2 6.3

6.4

6.5

6.6

Kadar lignin, holoselulosa, selulosa dan hemiselulosa substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ........................................................................................ Peningkatan zat ekstraktif, penurunan bobot kering, kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa pada fase vegetatif dan reproduktif setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ........................................................................................

Penelitian 5

Ekspresi enzim MnP (U/ml) isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus secara ekstraseluler …………………………………… Ekspresi MnP (U/ml) setelah 6 hari inkubasi secara ekstraseluler Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler pada substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor ……………………………….. Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As) ………………………… Lama penyimpanan enzim dari mulai panen sampai analisis ekspresi enzim Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO ……………………….. Lama penyimpanan enzim kasar dari mulai panen sampai analisis ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 ……………… Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) Pleurotus EB9 dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor dengan Pleurotus EB9-AS, Pleurotus EB9-F dan isolat Pleurotus EA4-AS ……………………………………………… Aktivitas enzim MnP dari Pleurotus EB9 pada tahapan pemurnian parsial ……………………………………………….

Penelitian 6

Komposisi masing-masing larutan Johansen dan lama perendaman pada metode parafin tahap dehidrasi dan penjernihan Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang, Bogor ............................................................................. Tipe koloni kultur ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada beberapa jenis media ..................................................................... Pola kunci H. petaloides (H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6), P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA ...... Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As) ……………………….. Rata-rata jumlah tangkai jamur kelompok Pleurotus pada panen pertama, kedua, ketiga dan keempat …………………………….

110

112

127128

129

130

131

134

137

140

157

158

159

163

164

181

Page 19: Jamur Tiram

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 2

1.1

1.2 1.3 1.4 1.5 1.6

1.7

1.8

1.9

1.10

1.11

1.12 1.13

2.1

2.2

2.3

2.4

Tinjauan Pustaka

A. Pelapukan kayu spruce (Picea abies) oleh jamur pelapuk putih.. B. Bagan kemungkinan jalur pertumbuhan hifa................ Mekanisme degradasi selulosa ....................................................

Penelitian 1 Denah lokasi eksplorasi jamur pleurotoid (huruf hitam) dan jenis jamur yang ditemukan (huruf merah)................................. Kondisi tempat ditemukannya jamur kelompok Pleurotus......... Penampakan tubuh buah Schizophillum spp. di lapangan .......... Penampakan tubuh buah Lentinus spp. di lapangan ................... Penampakan tubuh buah Panellus spp. di lapangan .................. Penampakan tubuh buah Crepidotus spp. di lapangan asal hutan Gunung Luhur Cisarua, Bogor ................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA1 sampai EA6 di lapangan ....................................................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB6 sampai EA10 di lapangan ....................................................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA11 sampai EB16 di lapangan ...................................................................................... Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB17 sampai EBB28 di lapangan ................................................................................... Kultur murni kelompok Pleurotus setelah inkubasi 10 hari pada media MEA ................................................................................ Tubuh buah kelompok Pleurotus di lapangan ........................... Isolat kelompok Pleurotus yang berhasil membentuk tubuh buah seperti Pleurotus ...............................................................

Penelitian 2 Penampakan kultur keenam isolat kelompok Pleurotus dan P. ostreatus HO .............................................................................. Laju pertumbuhan koloni rata-rata isolat kelompok Pleurotus pada media, suhu dan pH optimum ............................................ Penampakan visual uji reaksi oksidasi isolat kelompok Pleurotus setelah tujuh hari inkubasi pada media AAG (atas) dan AAT (bawah) ........................................................................ Pleurotus EB24, Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO pada media serbuk gergajian kayu sengon ...........................................

910

22

22242526

27

30

32

33

34

3536

36

44

48

49

50

Page 20: Jamur Tiram

xviii

2.5 2.6 2.7

3.1

3.2

3.3

3.4

3.5

3.6

3.7

3.8 3.9 3.10

3.11

3.12

4.1

4.2

4.3

4.4

4.5

Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB6 ................................ Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB9 .............................. Dendogram berdasarkan karakter fisiologis dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor..................................................

Penelitian 3

A.Kayu yang digunakan. a. Pinus. b. Akasia. c. Sengon. B. Pengujian biodegradasi kayu pinus ............................................ Pengaruh jenis isolat yang berbeda terhadap rata-rata tingkat degradasi kayu pinus dan akasia ................................................. Bobot kering sisa kayu pinus setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus .................................................................... Bobot kering sisa kayu akasia setelah inokulasi oleh tujuh isolat kelompok Pleurotus .................................................................... Bobot kering sisa kayu sengon setelah inokulasi oleh Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO ............................................................ A. Bidang transversal kayu pinus kontrol ... B. Bidang radial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO. Mikrograf cahaya dan SEM ....................................................... Bidang transversal dan tangensial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO. Mikrograf SEM ............... Bidang transversal kayu akasia.... Mikrograf cahaya ................. Bidang tangensial kayu akasia.. Mikrograf cahaya dan SEM .... Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO .... Mikrograf SEM ............................................... Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO. Mikrograf SEM ................................................... Bidang transversal dan tangensial kayu sengon ... Mikrograf cahaya .........................................................................................

Penelitian 4

Bobot kering substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ............................................ Kadar zat-zat ekstraktif total substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus ................................ Penurunan kadar lignin substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus …………………… Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB6, P. ostreatus HO, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB9 …………………………………….. Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB14-2, P. ostreatus HO, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EA4, Pleurotus EB9 dan Pleurotus EB24 ………………………………………

5151

56

73

77

79

79

80

85

868788

89

90

91

109

111

111

113

114

Page 21: Jamur Tiram

xix

5.1

5.2 5.3

5.4

5.5

5.6 5.7

5.8

5.9

6.1

6.2

6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 6.10 6.11 6.12

6.13

Penelitian 5 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor…………………..... Reaksi secara visual pada uji aktivitas MnP (A), LiP (B) dan lakase (C) pada Pleurotus EB9 setelah inkubasi satu sampai 6 hari (H0 sampai H6) dibandingkan dengan kontrol (K)……….. Ekspresi MnP, LiP dan lakase isolat Pleurotus EB9 (A) dan Pleurotus EA4 (B)…………………………………………….. Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C) Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO ……………… Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C), serta bobot kering miselium (D) Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 ……… SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel hidrofobik (Phenyl-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EA4 ………………………………………….. SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar anion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EB9 ………………………………………….. Kromatogram pemurnian protein sampel Pleurotus EB9-amonium sulfat 40% dengan gel kromatografi……………….. SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 ………….

Penelitian 6 Penampakan dan tipe koloni kultur. A. H. petaloides EB14-2, B. H. petaloides EB24, C. H. petaloides EA4, D. H. petaloides EAB7, E. H. petaloides EB6, F. P.djamor EB9, G. P. ostreatus HO................................................................................................. Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh isolat P. djamor EB9 dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor................................... H. petaloides EB14-2. Line drawing .......................................... H. petaloides EB24. Line drawing ............................................. H. petaloides EA4. Line drawing ............................................. H. petaloides EAB7. Line drawing ............................................. H. petaloides EB6. Line drawing ............................................. P. djamor EB9. Line drawing .................................................. P. ostreatus HO. Line drawing .................................................. Berbagai penampakan tubuh buah kelompok Pleurotus ........... Jumlah tangkai rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus ........ Tangkai terpendek dan terpanjang rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus ................................................................... Diameter pileus terbesar dan terkecil rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus ...................................................................

129

130

132

133

135

138

138

139

140

161

164166168170172174176178180182

182

183

Page 22: Jamur Tiram

xx

6.14

6.15 6.16 6.17

6.18 6.19

6.20 6.21

6.22

6.23 6.24

Penampakan mikroskopik. A. H. petaloides EB14-2. B. H. petaloides EB24. C. H. petaloides EA4. D. H. petaloides EAB7. E. H. petaloides EB6. F. P. djamor EB9. G. P. ostreatus HO .... Sistidia berdinding tipis pada P. djamor EB9 (A) dan Sistidia berdinding tebal (metuloid) pada H. petaloides (B) ................... Karakter morfologi pada irisan melintang tudung ..................... Sistidia pada lapisan gelatin (A dan B) dan Sistidia pada pileipelis H. petaloides EB6 (C dan D) ..................................... Plot antara panjang dengan lebar basidiospora ketujuh isolat .... Panjang dan lebar basidiospora rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus .................................................................... Plot antara panjang dengan lebar basidia ketujuh isolat ............ Lebar dan panjang basidia rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus ................................................................... Panjang sistidia rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus .................................................................................... Plot antara panjang dengan lebar sistidia ketujuh isolat ............ Dendogram berdasarkan karakter morfologis dari tujuh isolat jamur ...........................................................................................

186

187188

189190

191192

192

193193

194

Page 23: Jamur Tiram

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri pulp dan kertas Indonesia memiliki prospek yang cerah dan

Indonesia dinilai potensial menjadi salah satu negara produsen terbesar pulp dan

kertas dunia. Permintaan pulp dan kertas di tingkat Nasional maupun dunia terus

meningkat baik dari segi kualitas produk maupun kuantitasnya. Data Asosiasi

Pulp dan Kertas Indonesia (APKI 2006 dalam Tambunan 2006) menunjukkan

kapasitas produksi pulp Indonesia tercatat 6,4 1 juta ton per tahun, 45% di

antaranya diekspor, sedangkan kapasitas produksi kertas Indonesia

tercatat 10,3 juta ton, 30% di antaranya diekspor ke luar negeri.

Produksi pulp di sebagian besar negara di dunia saat ini masih merupakan

pulp kimia yang dihasilkan melalui proses sulfatisasi. Cara kimia tersebut

dianggap memberikan banyak keuntungan, diantaranya waktu pemasakan yang

relatif singkat dan kualitas pulp yang dihasilkan relatif tinggi. Namun pada saat ini

pulp dengan proses sulfat kurang diminati oleh masyarakat, selain karena besar

investasi awal dan warna gelap pulp yang dihasilkan, juga karena bahaya

pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkan terutama polusi udara. Gas

berbau belerang berupa hidrogen sulfida (H2S), metil merkaptan (CH3SH), dimetil

sulfida (CH3SCH3) dan dimetil disulfida (CH3SSCH3) mendominasi bagian dari

limbah yang dihasilkan dan dapat menyebabkan terjadinya hujan asam (Casey

1980). Proses pulping konvensional baik dengan cara mekanik maupun cara kimia

juga membutuhkan energi yang sangat tinggi (Higley dan Dashek 1998).

Industri kertas menghasilkan limbah cair utama berupa black liquor dan

senyawa klorin sisa pemutihan yang mengandung senyawa yang bersifat toksik,

mutagenik, persisten dan bioakumulasi, yang dapat mengganggu lingkungan

khususnya lingkungan perairan, dan resiko terpaparnya masyarakat oleh buangan

zat kimia berbahaya. Diantara zat kimia berbahaya tersebut adalah hasil reaksi

klorin dengan senyawa organik dalam kayu yang disebut dioksin, furan,

1 Bilangan dengan angka desimal diantarai tanda koma. Misalnya 2,3 untuk dua koma tiga

Page 24: Jamur Tiram

2

polychlorinated biphenyls (PCBs) dan yang paling toksik 2,3,7,8-

tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD). Organoklorin dapat menimbulkan berbagai

gangguan kesehatan seperti kanker, cacat lahir, endometriosis, penurunan jumlah

spermatozoa dan gangguan perkembangan janin, juga dapat menyebabkan

kerusakan genetis dan penurunan daya tahan ikan (Muladi 2000; Rini 2002).

Kini sejumlah besar perusahaan di dunia sedang mengupayakan

keuntungan melalui suatu pendekatan pencegahan lingkungan yang dikenal

sebagai produksi bersih. Sebagai salah satu pendekatan dalam pengelolaan

lingkungan, penerapan produksi bersih masih baru di Indonesia. Dari sisi proses

produksi, ternyata pelaksanaan produksi bersih pada industri pulp dan kertas

banyak terkait dengan upaya recovery bahan kimia pemasak serta penggunaan

bahan pemutih yang aman bagi lingkungan, disamping upaya konservasi bahan

baku, air, dan energi (Hasibuan 2007). Oleh karena itu berbagai upaya untuk

mengurangi dampak negatif proses-proses tersebut perlu terus diusahakan.

Penerapan bioteknologi yaitu dengan memanfaatkan proses biologi menggunakan

jamur pendegradasi lignin dalam proses teknologi biobleaching dan biopulping,

merupakan salah satu alternatif dan terobosan besar yang perlu dikaji (Oriaran et

al. 1990; Higley dan Dashek 1998).

Penelitian pembuatan pulp dengan agen biologi (biopulping) saat ini

mengikuti dua langkah. Pertama, menggunakan organisme pelapuk putih sebagai

agen perlakuan pendahuluan pada bagian pembuatan pulp mekanik. Kedua,

menggunakan ligninase yang telah diisolasi untuk digunakan langsung sebagai

bahan pembuat pulp. Untuk kasus pertama, pencarian masih pada organisme yang

optimal pada perlakuan kayu dan juga mengurangi waktu perlakuan. Untuk kasus

kedua, penelitian mengarah pada produksi enzim melalui teknik rekombinan DNA

dan menyusun kembali sistem enzim yang akan menjadi duplikat in vivo pada

degradasi lignin (Trotter 1990). Jamur pendegradasi lignin umumnya merupakan

kelompok saprofit kayu (Dix dan Webster 1995). Oriaran et al. (1990)

mengemukakan bahwa Phanerochaete chrysosporium yang ditumbuhkan pada

serpih kayu aspen yang ditambah glukosa selama 0, 10, 20 dan 30 hari, telah

meningkatkan hasil pulp sekitar 3 sampai 6%, menurunkan bilangan kappa, dan

meningkatkan respon terhadap pukulan (beating). Nilai retensi air dan volume

Page 25: Jamur Tiram

3

endapan meningkat, kekuatan regang, pecah dan lipat lembaran meningkat dan

nilai sobek menurun dengan peningkatan lama inkubasi. Keadaan di atas, menurut

Oriaran et al. (1990) disebabkan proses biodegradasi oleh jamur yang

menghasilkan penurunan biomassa kayu dan struktur pori tambahan pada dinding

sel yang mempertinggi penetrasi cairan pemasak dan meningkatkan nisbah

holoselulosa terhadap lignin (H/L). Oriaran (1989 dalam Oriaran et al. 1990)

mengemukakan bahwa produksi ligninase jamur dapat meningkatkan nisbah H/L

pada kayu. Hal ini disebabkan penurunan kandungan lignin serpih kayu yang

didegradasi jamur. Namun Oriaran et al. (1990) mengemukakan adanya

penurunan derajat putih pulp dengan meningkatnya lama inkubasi jamur.

Yuliansyah et al. (2007) juga mengemukakan hasil pemutihan dengan jamur yaitu

bilangan kappa menurun namun rendemen dan kekuatan kertas juga menurun

drastis. Ho et al. (1990) mengemukakan bahwa penambahan 0,25% pulp pada

media mendorong kecepatan pertumbuhan Coriolus versicolor dengan

memperpendek periode lag bleaching dari 2 hari menjadi 1 hari dan mempertinggi

proses rangkaian pemutihan pulp.

Pleurotus ostreatus diduga berpotensi untuk industri pulp karena diketahui

mendegradasi lignin lebih efisien dibanding P. chrysosporium (Kerem et al. 1992;

Hadar et al. 1993). Beberapa aktivitas enzim ekstraseluler Pleurotus spp. telah

dipelajari, diantaranya MnP (Kerem et al. 1992). Mekanisme degradasi lignin oleh

Pleurotus belum banyak dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Namun dari

beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk

degradasi lignin dalam Pleurotus cukup bervariasi.

Perumusan Masalah

Sampai saat ini penelitian mengenai jamur pelapuk kayu kelompok

Pleurotus asal Indonesia masih sangat terbatas meskipun jamur ini sudah dikenal

dan dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan (Gunawan 1997).

Demikian juga penelitian tentang jamur genus Hohenbuehelia, yang sering juga

dimasukkan ke dalam kelompok Pleurotus, di Indonesia belum pernah dilakukan,

baik tentang morfologi maupun tentang potensinya.

Page 26: Jamur Tiram

4

Sebagai langkah awal diperlukan suatu penelitian untuk mencari isolat

jamur dari kelompok Pleurotus lokal yang unggul sebagai pendegradasi lignin.

Isolat lokal merupakan plasma nutfah kekayaan alam Indonesia yang harus digali

potensi ligninolitiknya. Preservasi plasma nutfah dan pendekatan genetik serta

pemanfaatan isolat-isolat lokal ini adalah dasar untuk pengembangan industri

jamur di sejumlah negara dan juga di Indonesia sehingga layak menjadi prioritas

dalam menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi saat ini

Dalam penelitian ini dilakukan eksplorasi dan isolasi jamur kelompok

Pleurotus di lapangan di sekitar Bogor. Isolasi dilakukan dengan teknik kultur

jaringan dari daging tubuh buah jamur dengan media MEA. Kultivasi dengan

media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong dilakukan untuk mengetahui

pembentukkan tubuh buah. Isolat-isolat kelompok Pleurotus yang dapat

membentuk tubuh buah pada media serbuk gergajian kayu sengon, kemudian

dipelajari karakter fisiologisnya, karakter ligninolitiknya pada jenis kayu yang

berbeda, aktivitas ligninolitiknya pada media serbuk gergajian kayu sengon,

aktivitas enzim ligninasenya yaitu manganese peroksidase (MnP), lignin

peroksidase (LiP) dan lakase. Selanjutnya enzim MnP dari dua isolat yang

mewakili asal Bogor dipurifikasi. Terakhir, jamur pelapuk putih kelompok

Pleurotus tersebut diidentifikasi. Sebagai pembanding standar digunakan

P. ostreatus HO yang telah banyak digunakan. Identifikasi dilakukan berdasarkan

karakter fisiologi, ligninolitik dan morfologi. Karakter fisiologi meliputi tipe

koloni kultur dan laju pertumbuhan koloni pada media PDA, MEA dan MPA,

serta reaksi oksidasi dengan menggunakan media malt yang mengandung asam

galat (AAG) dan asam tanat (AAT). Karakter ligninolitik mencakup produksi

enzim ligninase khususnya MnP. Karakter morfologis secara makroskopis dan

mikrokopis meliputi penampakan tubuh buah secara visual, jumlah tangkai,

ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia,

dengan menggunakan SEM dan teknik mikrotom.

Page 27: Jamur Tiram

5

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan jamur

kelompok Pleurotus di lapangan di sekitar Bogor dan mempelajari potensi

ligninolitiknya dengan melakukan eksplorasi dan isolasi, karakterisasi fisiologis,

ligninolitik dan morfologis serta identifikasi. Aktivitas ligninolitik jamur diukur

berdasarkan pada daya degradasinya pada beberapa jenis kayu bahan baku pulp

yaitu kayu akasia, pinus dan sengon dan biodegradasi media serbuk gergajian

kayu sengon. Potensi ligninolitik juga diamati dengan melihat aktivitas MnP, LiP

dan lakase kemudian memurnikan enzim MnP dari isolat yang mewakili asal

Bogor.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah yang

menyeluruh mengenai karakter fisiologi dan morfologi jamur kelompok Pleurotus

asal Bogor dan potensinya dalam mendegradasi lignin, yang diharapkan dapat

menjadi landasan pengetahuan untuk memanfaatkan potensi jamur tersebut

sebagai agen biobleaching dan biopulping, khususnya potensinya sebagai

penghasil enzim ligninase seperti MnP, LiP dan lakase.

Hipotesis Penelitian

1. Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki karakter fisiologi yang berbeda

2. Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam

mendegradasi satu jenis media

3. Isolat spesies jamur yang sama memiliki kemampuan yang berbeda dalam

mendegradasi jenis kayu yang berbeda

4. Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas enzim ligninase yang

berbeda

5. Morfologi isolat jamur yang berbeda menunjukkan spesies yang berbeda

Page 28: Jamur Tiram

6

Kebaruan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dasar yang menyeluruh

tentang jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus asal Bogor dari mulai eksplorasi,

isolasi, karakterisasi fisiologi, karakterisasi potensi ligninolitiknya pada chip kayu

bahan baku pulp dan media serbuk gergajian kayu sengon, sampai pengukuran

aktivitas enzim ligninase (MnP, LiP dan lakase) serta purifikasi MnP dari isolat

yang mewakili asal Bogor. Terakhir adalah identifikasi secara morfologi baik

makroskopik maupun mikroskopik yang ditunjang dengan karakter kultur dan

fisiologi. Kajian mendalam ini belum pernah dilakukan terhadap jamur kelompok

Pleurotus khususnya yang berasal dari Indonesia.

Page 29: Jamur Tiram

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Lignoselulolitik dan Gambaran Umum Tiga Jenis Kayu

Bahan lignoselulolitik merupakan selulosa yang berasosiasi secara erat

dengan lignin dan hemiselulosa (Enari 1983). Perbandingan komponen selulosa,

hemiselulosa dan lignin pada kebanyakan padatan selulosa secara kasar adalah

4:3:3 (Kollmann dan Cote 1968 dalam Haygreen dan Bowyer 1993) (Tabel 1).

Tabel 1 Persentase kadar selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin serta pati kayu

berdasarkan bobot kering

Tipe kayu Selulosa Hemiselulosa Lignin Pektin dan pati

Kayu daun jarum

Kayu daun lebar

40-44

40-44

20-32

15-35

25-35

18-25

6

6

Sumber: Kollman dan Cote (1968) dalam Haygreen dan Bowyer (1993)

Wenzl (1970) menyatakan kandungan zat ekstraktif kayu daun lebar

(hardwood) lebih tinggi dibanding kayu daun jarum (softwood). Komponen zat

ekstraktif terdiri atas resin, terpen, asam lemak, fenol dan tannin, yang tersusun

dari senyawa asam-asam resin, asam-asam lemak, ester-ester lemak dan bahan

yang tidak tersabunkan. Scheffer (1973 dalam Tambunan dan Nandika 1989)

menyatakan zat ekstraktif berfungsi sebagai bahan pengawet alami kayu dan

keberadaannya mempengaruhi ketahanan kayu terhadap deteriorasi oleh jamur.

Kayu Pinus. Pinus merkusii Jungh. et de Vriese (pinus/damar/tusam)

termasuk jenis kayu daun jarum. Kayu pinus ini mempunyai kayu teras berwarna

coklat kuning muda dengan pita dan gambar yang berwarna putih/kekuning-

kuningan dan tekstur kayu yang halus, permukaan kayunya licin serta

mengandung damar dan berbau terpentin. Rata-rata bobot jenisnya adalah 0,55

(0,40-0,75) dan termasuk kelas awet IV dan kelas kuat III (Pandit dan Ramdan

2002), bobot jenisnya adalah 0,44-0,59 dan termasuk kelas awet IV dan kelas kuat

II-III (Abdurahim et al. 1989). Berdasarkan sifat kimianya, kayu pinus

Page 30: Jamur Tiram

8

mengandung selulosa 54,9%, lignin 24,3%, pentosa 14,0%, abu 1,1% dan silika

0,2% (Abdurahim et al. 1989).

Kayu Akasia. Acacia mangium Willd (mangium/akasia) termasuk jenis

kayu daun lebar yang cepat tumbuh (fast growing species). Kayu dengan pori tata

lingkar ini mempunyai warna kayu teras dan gubal yang dapat dilihat jelas; bagian

teras berwarna lebih gelap, sedangkan gubalnya berwarna putih dan lebih tipis.

Kayu teras berwarna agak kecoklatan, hampir mendekati kayu jati, kadang-kadang

mendekati warna jati gembol. Arah seratnya terlihat lurus sampai berpadu

(Ginoga et al. 1999 dan Ginoga 1997 dalam Malik et al. 2007).

Kayu ini mempunyai bobot jenis antara 0,46 sampai 0,54 (Ginoga 1997

dalam Malik et al. 2007). Kayu akasia dari hutan tanaman (asal Jawa Barat) relatif

memiliki sifat keawetan lebih buruk (kelas awet II – III) dibanding kayu akasia

dari hutan alam (asal Maluku). Berdasarkan bobot jenis, keteguhan lentur statis

dan tekan sejajar arah serat, maka kayu akasia ini termasuk kelas kuat II – III.

Menurut klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia (Deptan 1976 dalam

Malik et al. 2007), kayu akasia ini termasuk kelompok sedang (40–44 %) dalam

hal kandungan selolusa, kadar lignin sedang (18–32 %), kadar pentosan, silika dan

abu termasuk rendah dan zat ekstraktif termasuk tinggi. Menurut Siagian et al.

(1999 dalam Malik et al. 2007) menyatakan bahwa kayu akasia ini baik dijadikan

sebagai bahan baku pulp karena memiliki kadar selulosa tinggi, lignin sedang,

pentosan rendah, ekstraktif tinggi dan abu sedang. Akan tetapi pembuatan pulp

dari kayu akasia ini perlu diperhatikan karena kadar ekstraktifnya tinggi.

Perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap

komposisi kimia kayu. Kadar selulosa, lignin, kelarutan dalam alkohol-benzena

dan air dingin, secara umum menunjukkan kecenderungan menurun dengan

bertambahnya umur pohon sedangkan kadar pentosan cenderung meningkat.

Untuk kadar abu, silika, kelarutan dalam NaOH 1% dan air panas, memberikan

respon yang berfluktuatif dengan bertambahnya umur tanaman (Malik et al. 2007).

Kayu Sengon. Kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

merupakan kayu daun lebar tropis yang mempunyai warna kayu teras hampir

putih sampai coklat muda dan warna kayu gubalnya tidak berbeda dengan warna

Page 31: Jamur Tiram

9

kayu terasnya, mempunyai tekstur kayu yang agak kasar dan merata, arah serat

yang lurus, bergelombang lebar atau terpadu. Kayu sengon memiliki bobot jenis

yang rendah yaitu berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33. Kekuatannya

digolongkan sebagai kayu kelas kuat IV-V dan keawetannya digolongkan sebagai

kayu kelas IV-V (Widarmana 1984). Kayu sengon mempunyai kadar selulosa

48,33%, lignin 27,28% dan pentosan 16,34%, dengan nisbah C/N 53,17/0,25

(Nurhayati 1988).

Penguraian Komponen Kayu Secara Enzimatik oleh Jamur Pelapuk Putih

Jamur pelapuk putih (white-rot fungi) merombak lignin dan polisakarida.

Kayu yang terdegradasi menjadi putih, kuning atau coklat terang dan lunak.

Umum menyerang kayu daun lebar. Kerugian lain adalah keuletan kayu dan

derajat polimerasi menurun, namun pengerutan, pulp yang dihasilkan, kualitas

serat serta kelarutan dalam alkali hampir sama dengan kayu yang normal (Fengel

dan Wegener 1989; Tambunan dan Nandika 1989). Contoh penampakan sel kayu

yang lapuk oleh jamur pelapuk putih ditunjukkan pada Gambar 1A. Miselium

tumbuh dan menyebar di dalam kayu dengan bantuan enzim-enzimnya

kemungkinan melalui beberapa jalur seperti lumina, noktah atau langsung

menembus dinding sel (Gambar 1B) (Fengel dan Wegener 1989).

Sumber: Foto 1A (von Aufsess dalam Fengel dan Wegener 1989) dan Foto 1B (Fengel dan Wegener 1989)

Gambar 1 A. Pelapukan kayu spruce (Picea abies) oleh jamur pelapuk putih. a,b.

Degradasi oleh Heterobasidium annosum, mikrograf cahaya. c. Degradasi oleh Peniophora gigantea, mikrograf SEM. B. Bagan kemungkinan jalur pertumbuhan hifa. 1. lumina sel parenkim. 2. lumina sel pembuluh. 3. Jalur sederhana, noktah setengah berbatas dan noktah berbatas. 4. Melalui dinding-dinding sel. 5. lamela tengah majemuk dan dinding-dinding sel.

A B

Page 32: Jamur Tiram

10

Enzim-enzim perombak selulosa dan lignin pada umumnya merupakan

enzim adaptif yaitu enzim-enzim yang dihasilkan hanya pada suatu substrat

tempat dia aktif.

Mekanisme Degradasi Selulosa. Degradasi pada selulosa kristal oleh

jamur pelapuk putih P. chrysosporium, mirip pada selulase-selulase jamur lainnya,

yaitu dilakukan oleh sebuah kompleks enzim multikomponen dimana tiap-tiap

komponen berinteraksi secara sinergi untuk mendegradasi selulosa menjadi

glukosa. Endoglukanase (EGs) bekerja secara acak pada permukaan luar

mikrofibril selulosa, yaitu dengan membuka ujung non-reduksi yang kemudian

oleh cellobiohidrolase (CBHs) dihidrolisis dan menghasilkan selobiose. Selobiose

dipotong oleh β-glukosidase, menghasilkan glukosa. Selobiose, suatu produk dari

kerja selulase, dapat menginduksi dan juga menginhibisi selulase pada P.

chrysosporium (Eriksson dan Hamp 1978 dalam Highley dan Dashek 1998)

(Gambar 2).

Sumber: Eriksson dan Hamp 1978 dalam Highley dan Dashek 1998

Gambar 2 Mekanisme degradasi selulosa.

Degradasi Hemiselulosa. Hemiselulosa secara struktur lebih kompleks

dibanding selulosa, yang mengandung hanya ikatan 1,4-β-glikosidik.

Page 33: Jamur Tiram

11

Hemiselulosa adalah sebuah grup homopolimer dan heteropolimer yang

mengandung sebagian besar ikatan-ikatan utama anhidro–β-(1→4)D-

xylopyranosa, mamnopiranosa, glukopiranosa dan galaktopiranosa. Enzim-enzim

yang mendegradasi hemiselulosa juga kompleks yang umum disebut hemiselulase.

Hemiselulase menunjukkan sebagai agen bleaching yang menjanjikan dalam

produksi pulp dan kertas. Degradasi hemiselulosa oleh jamur pelapuk putih

kemudian dianalogikan secara kasar dengan selulosa, tetapi mekanisme

serangannya telah dipelajari secara lebih detail oleh Kirk dan Cowling (1984).

Ikatan hemiselulosa diserang pertamakali oleh endoenzim-endoenzim (mannanase

dan xilanase) yang menghasilkan secara intensif ikatan-ikatan pendek yang

dihidrolisis menjadi gula sederhana oleh glukosidase (mannosidase, xilosidase dan

glukosidase). Sejauh ini belum diketahui jenis eksoenzim yaitu enzim-enzim yang

dapat mengendalikan sisi-ikatan substitusi (arabinosa, asam uronik dan asetil)

yang terlibat (Kirk dan Cowling 1984). Seperti dengan selulase, gula-gula

sederhana membatasi produksi sebagian besar enzim-enzim pendegradasi

hemiselulosa oleh jamur pelapuk putih. Selulosa diduga menjadi sumber karbon

penting untuk mendorong terbentuknya enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa

oleh jamur.

Degradasi Lignin. Tidak seperti selulosa dan hemiselulosa, lignin

prinsipnya tidak berikatan linear tetapi merupakan senyawa kompleks. Polimer

heterogen, dengan senyawa aromatik non-stereoregular yang disusun oleh unit

fenilpropanoid. Jamur pelapuk putih adalah satu-satunya organisme yang dikenal

mampu mendegradasi lignin secara sempurna menjadi karbondioksida dan air.

Perkembangan terbaru saat ini telah menunjukkan kaitannya dengan biokimia dan

genetik molekuler biodegradasi lignin yang umumnya menggunakan penelitian

jamur pelapuk putih P. chrysosporium (Buswell dan Odier 1987, Alic dan Gold

1991, Kuan et al. 1991 dalam Highley dan Dashek 1998; Cullen dan Kersten 1992

dan 1996).

Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler

pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua enzim yang

berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan peroksidase

Page 34: Jamur Tiram

12

(lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP)) (Howard et al.

2003; Kirk et al. 1980).

Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi

oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen penol, diamin dan

beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Enzim ini pertama kali ditemukan

dalam getah pohon pernis Jepang Rhus vernicifera pada tahun 1988 dan pada

umumnya banyak ditemukan pada jamur dan tanaman tingkat tinggi (Anonim

2006; Thurston 1994; Palonen 2004).

Lakase (E.C.1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian

besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga

dengan bobot molekul antara 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup

terkecil enzim yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Lakase

mengandung empat atom protein pada tiap molekulnya (Palonen 2004).

Mekanisme reaksi enzimatik yang terjadi oleh lakase adalah reaksi

oksidasi satu elektron. Dibutuhkan peranan molekul oksigen sebagai penerima

elektron dan kemudian membentuk molekul air. Ketika reaksi oksidasi

berlangsung, substrat kehilangan satu elektronnya dan biasanya terbentuk radikal

fenoksi bebas (Thurston 1994) yang berperan sebagai intermediet. Radikal bebas

yang tidak stabil tersebut dapat melangsungkan reaksi oksidatif enzimatik

selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi, disproporsionasi dan

polimerisasi (Thurston 1994).

Lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan secara

luas oleh karena lakase sifat spesifiknya yang rendah terhadap substrat-

substratnya (Cavallazzi et al. 2004; Thurston 1994). Hidrokuinin, katekol,

guaiakol, 2,6-dimetoksifenol, p-fenildiamin dan siringaldazin merupakan substrat-

substrat yang cukup bagus bagi lakase. Substrat tiruan lakase seperti ABTS (2,2-

azinobis-3-etilbenzthiazolin-6-sulfonat) dapat berperan sebagai mediator yang

memungkinkan oksidasi komponen non fenolik pada lignin yang tidak dapat

dioksidasi oleh lakase sendiri (Bourbonnais dan Paice 1990).

Pada jamur, lakase berperan dalam proses degradasi lignin (Hatakka 1994)

dan beberapa fungsi lain diantaranya pigmentasi, pembentukan badan buah,

sporulasi dan patogen (Thurston 1994). Lakase yang dihasilkan organisme yang

Page 35: Jamur Tiram

13

berbeda memiliki perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, bobot

molekul, pH optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa jamur yakni

Panaeolus sphinctrinus, Panaeolus papilionaceus, Coprinus friesii (Heinzkill et

al. 1998), Lepista sordida (Cavallazzi et al. 2004), Trametes versicolor (Han et al.

2004), Pycroporus cinnabarinus (Eggert et al. 1996), Pleurotus eringii (Muñoz et

al. 1997) dan Coriolopsis gallica (Pickard et al. 1999).

Pemanfaatan lakase sangat luas diterapkan dalam berbagai bidang antara

lain dalam proses bioremediasi dan biodegradasi polutan organik pada tanah

seperti klorofenol (Ahn et al. 2002), dan polisiklik aromatik hidrokarbon (Han et

al. 2004), pada proses dekolorisasi dan detoksifikasi pada pewarna tekstil

(Abadulla et al. 2000) serta digunakan sebagai bleaching pada proses

biodelignifikasi pada pulp industri kertas (Bourbonnais dan Paice 1990).

Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen

peroksida oksidoreduktase; bobot molekul antara 38 dan 43 kDa) dan MnP

(EC.1.11.1.13; Mn(II): H2O2 oksidoreduktase; bobot molekul antara 43 dan 49

kDa) merupakan glikoprotein yang memiliki sebuah protoporfirin IX sebagai

gugus prostetik dan membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka

1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993).

Enzim ekstraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting

dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa

reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non

fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol,

hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen

non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Sedangkan MnP diketahui

memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik

senyawa lignin.

Seperti enzim peroksidase lainnya, LiP memiliki siklus katalitik yang

dinamakan mekanisme ping-pong. Reaksi yang terjadi yakni H2O2 mengoksidasi

enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron membentuk

senyawa intermediet I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi substrat

aromatik dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa intermediet II

dan produk radikal bebas. Senyawa intermediet II yang dihasilkan dapat kembali

Page 36: Jamur Tiram

14

mengoksidasi substrat lainnya sehingga terbentuk enzim awal dan produk radikal

bebas (Cullen dan Kersten 1992). Terbentuknya radikal bebas secara spontan atau

bertahap inilah yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa

inti pada cincin aromatik.

Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+

membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang

oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan

Mn3+. Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksidasi oleh H2O2

membentuk MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+ dan senyawa fenol

membentuk MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi kembali oleh

Mn2+ tetapi tidak oleh fenol membentuk enzim keadaan awal dan produk

(Wariishi et al. 1989). Adanya Mn2+ bebas sangat penting untuk menghasilkan

siklus katalitik yang sempurna.

MnP + H2O2 MnP-senyawa I + H2O

MnP-senyawa I + Mn2+ MnP-senyawa II + Mn3+

MnP-senyawa I + AH MnP-senyawa II + A- + H+

MnP-senyawa II + Mn2+ MnP + Mn3+

Manganese peroksidase dihasilkan oleh P. ostreatus (Sarkar et al. 1997)

dan juga oleh P. crysosporium (Brown et al. 1990) dan oleh Phlebia radiata

(Vares et al. 1995). Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim yang

berbeda-beda, misalnya ada yang hanya menghasilkan LiP dan MnP, MnP dan

lakase, atau jamur yang menghasilkan LiP dan lakase (Kerem dan Hadar 1998).

Aktivitas ligninolitik jamur pelapuk putih seperti pada T. versicolor dan P.

chrysosporium meningkat pada media tumbuh yang kandungan karbon sederhana

dan nitrogennya rendah (Eaton dan Hale 1993; Katagiri et al. 1995). Menurut

Leatham et al. (1983) dan Griffin (1994), penambahan asam glutamat, glutamin,

histidin dan sikloheksimida akan menekan aktivitas ligninolitiknya. Menurut

Heinzkill dan Messner (1997), jamur pelapuk putih yang mendegradasi lignin

tidak dapat menggunakan lignin sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi.

Namun berdasarkan hasil penelitian Sugipriatini (1998) diketahui bahwa

penambahan glukosa dapat menekan pertumbuhan maupun aktivitas ligninolitik

salah satu jamur pelapuk putih Ganoderma spp.. Beberapa jamur liar diketahui

Page 37: Jamur Tiram

15

memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang tinggi dan dalam

pertumbuhannya menggunakan lignin sebagai sumber karbon (Artiningsih et al.

2000).

Sampai saat ini isolat jamur pelapuk putih P. chrysosporium banyak

menjadi obyek para peneliti dikarenakan menghasilkan aktivitas LiP dan MnP

yang tinggi. Seperti halnya pada lakase selain potensi dalam proses

biodelignifikasi, lignin peroksidase dan mangan peroksidase berpotensi dalam

proses biobleaching dan biopulping pulp serta proses degradasi senyawa-senyawa

berbahaya.

Aktivitas suatu enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, suhu dan beberapa faktor lain.

Karakteristik dari reaksi yang dikatalisis enzim yakni pada konsentrasi enzim

yang digunakan, laju awal reaksi akan meningkat sebanding dengan peningkatan

konsentrasi substrat sampai mencapai harga tertentu. Mula-mula laju naik dengan

pesat, namun pada konsentrasi substrat yang tinggi laju reaksi menjadi tidak

berpengaruh dan relatif konstan. Hal ini disebabkan adanya interaksi sistem yang

dideteksi oleh substrat yakni pada konsentrasi substrat yang besar, substrat dapat

mengihibisi reaksinya sendiri.

Enzim-enzim dengan derajat kemurnian yang tinggi dalam batas-batas

tertentu, memiliki suatu hubungan linier antara konsentrasi enzim dan taraf

aktivitasnya. Hubungan tersebut menjelaskan bahwa aktivitas enzim merupakan

ukuran hilangnya reaktan atau terbentuknya produk dari reaksi yang dikatalisis.

Aktivitas enzim bertambah dengan naiknya suhu sampai aktivitas optimumnya

tercapai. Kenaikan suhu lebih lanjut berakibat dengan berkurangnya aktivitas dan

pada akhirnya terjadi kerusakan enzim (terdenaturasi). Demikian juga halnya

untuk pH, ada pH tertentu yang memberikan aktivitas optimum, di atas atau di

bawah pH tersebut aktivitas enzim akan menjadi berkurang.

Aktivitas enzim yang dihasilkan P. chrysosporium pada kultur awal

lambat (Kirk 1988 dalam Trotter 1990), tetapi setelah diperoleh strain yang cukup

baik dan optimalisasi parameter kultur, aktivitas enzim telah diperbaiki sampai

200 kalinya (Asther 1987 dalam Trotter 1990).

Page 38: Jamur Tiram

16

Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus

Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu yang diketahui

mempunyai kemampuan sebagai pendegradasi lignin. Jamur pleurotoid

merupakan salah satu dari spesies yang dibedakan berdasarkan stature types yang

memudahkan dalam identifikasi jamur di lapangan, yang ciri-ciri pentingnya

adalah: a) keberadaan cincin, b) keberadaan volva, c) konsistensi tangkai,

d) attachment tangkai, e) attachment lamela, f) bentuk (shape) dari pileus

(tudung) dan g) tipe pinggiran pileus. Spesies berdasarkan tipe stature lainnya

diantaranya adalah Amanitoid, Vaginatoid, Lepiotoid, Pluteotoid, Tricholomatoid,

Naucoroid, Clitocyboid, Almillarioid, Mycenoid dan Collibioid (Largent 1973).

Jamur pleurotoid umumnya mempunyai ciri-ciri di lapangan: bentuk

tudung agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram, jamur

berlamella melanjut (deccurent), berukuran kecil sampai besar, berwarna

bervariasi (putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam), lunak, licin, daging

basidiokarp tebal, berbau sedap; tangkai pendek atau absen (pinggir, kurang dari

2 cm), eksentrik atau lateral; spora bulat-elips, mempunyai dinding tipis dan halus,

spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang jamur ini dapat

tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu kali

pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya

umumnya pada kayu konifer dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa

spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus

(Brown 1981; Largent 1973). Hohenbuehelia termasuk kelompok Pleurotus,

karena ada yang mempunyai nama sinonim Pleurotus, juga belum banyak

dilaporkan dan diduga mempunyai potensi mendegradasi lignin karena di alam

banyak tumbuh pada substrat kayu. Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok

Pleurotus yang berhasil dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh

dunia, sejak Roussel (1805) pertama kali memberi nama Pleurotus (LR 2004).

Jamur Pleurotus diklasifikasikan oleh beberapa peneliti dalam

Alexopoulos et al. (1996) dan Chang dan Miles (1989) adalah sebagai berikut:

Super Kingdom: Eukariota; Kingdom: Mycetes (Fungi); Divisi: Mycota;

Sub Divisi: Eumycotina; Phylum: Basidiomycota; Kelas: Hymenomycetes

Page 39: Jamur Tiram

17

(Basidiomycetes); Sub Klas: Holobasidiomycetidae; Ordo: Agaricales; Famili:

Tricholomataceae; Genus : Pleurotus; Species: Pleurotus spp..

Menurut Segedin et al. (1995), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili

tersendiri yaitu Pleurotaceae. Menurut Moncalvo et al. (2002), Hohenbuehelia

juga mempunyai famili yang sama dengan Pleurotus yaitu Pleurotaceae. Dalam

famili ini hanya ada dua genus yaitu Pleurotus dan Hohenbuehelia, hal ini

berdasarkan penelitian terbaru dengan menggunakan uji genetik molekuler RNA.

Di lapangan, keduanya sulit dibedakan dan dapat dikelompokkan menjadi

kelompok Pleurotus.

Page 40: Jamur Tiram

1. EKSPLORASI JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus DARI DAERAH BOGOR

(Exploration of White-rot Fungi Pleurotus Group from Bogor)

Abstrak

Eksplorasi jamur pelapuk putih lokal kelompok Pleurotus telah dilakukan pada bulan Mei 2004 dari berbagai wilayah di Kabupaten dan Kota Bogor. Kondisi iklim saat ekplorasi adalah akhir musim hujan dengan suhu rata-rata minimum dan maksimum berturut-turut 18,3 dan 26,3oC, kelembaban nisbi rata-rata 85%, hari hujan 17 hari dan curah hujan 245 mm/bulan. Isolasi jamur dilakukan dengan teknik kultur jaringan dari daging tubuh buah jamur dengan media MEA. Kultivasi dilakukan pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam kantong untuk mengetahui pembentukkan tubuh buah.

Jenis jamur pleurotoid yang umum ditemukan di lapangan yaitu Schizophillum spp., Lentinus spp. dan Crepidotus spp., sedangkan kelompok Pleurotus dan Panellus spp. hanya ditemukan dari satu daerah yaitu di areal kebun dan tempat penggergajian kayu di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sebanyak 24 isolat jamur kelompok Pleurotus telah diisolasi dan 17 isolat diantaranya dikultivasi pada media serbuk gergajian kayu sengon. Enam isolat diantaranya dapat membentuk tubuh buah.

Kata-kata Kunci : Jamur kelompok Pleurotus, Bogor

Abstract

Exploration of white-rot fungi of wild Pleurotus group was conducted in May 2004 from 13 places in District and City of Bogor. The climatic condition at that time of exploration was the end of rainy season with minimum and maximum temperatures of 18.3 and of 26.3oC respectively, relative humidity of 85%, 17 rainy days and rainfall of 245 mm/month. Isolation was carried out using tissue culture method of fruiting bodies of the fungi on MEA medium. Cultivation treatments using sengon (P. falcataria) sawdust media was conducted to know formation of fruiting bodies .

Results showed pleurotoid fungi that commonly found were Schizophillum spp., Lentinus spp. and Crepidotus spp., whereas Pleurotus group and Panellus spp. were found only in garden and sawmill of sub-district Ciherang (+ 501 m asl). Twenty four isolates of Pleurotus group were isolated, and 17 of those isolates were cultivated on sengon wood sawdust media. Among them, six isolates are able to form fruit bodies.

Keywords : Pleurotus group, Pleurotoid fungi, Bogor

Page 41: Jamur Tiram

19

Pendahuluan

Penerapan bioteknologi melalui pemanfaatan jamur pendegradasi lignin

dalam proses biobleaching dan biopulping, merupakan salah satu alternatif dan

terobosan besar yang perlu dikaji (Higley dan Dashek 1998). Penelitian dimulai

dengan proses eksplorasi pada organisme yang potensial sehingga diperoleh agen

yang maksimal. Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu yang

diketahui mempunyai kemampuan sebagai pendegradasi lignin. Jamur yang

termasuk pleurotoid diantaranya adalah Schizophyllum, Pleurotus, Panus,

Lentinus, Plicatura, Hohenbuehelia, Claudotus, Paxillus dan Crepidotus (Largent

1973). Lebih kurang 67 spesies Pleurotus yang berhasil dikumpulkan dan

dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel (1805) pertama kali

memberi nama Pleurotus (LR 2004). Penelitian ini lebih difokuskan pada

kelompok Pleurotus dan Hohenbuehelia yang sebelumnya mempunyai nama

sinonim Pleurotus yang diduga mempunyai potensi mendegradasi lignin.

Sampai saat ini penelitian mengenai jamur pleurotoid kelompok Pleurotus

asal Indonesia masih sangat terbatas meskipun jamur ini sudah dikenal oleh

masyarakat untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu penelitian mengenai

keberadaan jamur pleurotoid kelompok Pleurotus merupakan data dasar yang

sangat berharga untuk potensi dan pemamfaatannya. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui keberadaan jamur pleurotoid kelompok Pleurotus dari

lapangan di sekitar Bogor.

Bahan dan Metode

Eksplorasi jamur pleurotoid kelompok Pleurotus dimulai dengan

melakukan survei di beberapa wilayah di Kabupaten dan Kota Bogor yang diduga

terdapat populasi jamur. Wilayah yang dikunjungi meliputi daerah pegunungan,

hutan, perkebunan dan bekas tegakan kayu dan sampai ke daerah sentra

penggergajian kayu dan perkampungan. Kegiatan survei dan eksplorasi jamur

dilaksanakan sejak bulan Maret hingga Juni 2004. Jamur kelompok Pleurotus

yang ditemukan kemudian dicatat morfologinya secara makroskopik dan diambil

Page 42: Jamur Tiram

20

gambarnya. Deskripsi dan kondisi iklim pada saat jamur ditemukan juga dicatat.

Selanjutnya jamur dikoleksi dan diambil dengan menggunakan plastik untuk

dibawa ke Laboratorium untuk keperluan isolasi. Selanjutnya jamur diidentifikasi

mengacu pada Brown (1981).

Isolasi Basidiokarp Jamur Dari Lapang

Basidiokarp atau tubuh buah jamur yang diperoleh diambil gambarnya dan

dibersihkan dari kotoran. Jamur selanjutnya ditelungkupkan di atas kertas

berwarna gelap dan kertas berwarna putih dan dimasukkan ke dalam wadah

plastik berbentuk nampan tertutup untuk mendapatkan jejak sporanya. Tubuh

buah dalam wadah tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium dengan hati-hati

untuk keperluan isolasi.

Tubuh buah jamur diisolasi dengan metode kultur jaringan dengan

menanam jaringan daging (contex) basidiokarp pada medium agar. Permukaan

basidiokarp yang baru diambil dari lapangan disemprot dengan alkohol 70%

kemudian dipotong melintang menjadi dua bagian. Selanjutnya bagian daging

basidiokarp tanpa lamela dan jaringan epidermis luar tudung tersebut diambil

secara aseptik dengan bantuan pinset. Potongan tersebut kemudian diinokulasikan

pada medium MEA (Malt Extract Agar) yang telah diberi antibiotik

kloramfenicol/ kemisitin 250 mg/l dalam cawan Petri berdiameter 9 cm dan agar

miring pada botol vilial 20 ml dan diinkubasikan pada 29(±1)oC selama 10 hari.

Miselium yang telah tumbuh dimurnikan dan diberi kode isolatnya sesuai dengan

kelompok basidiokarp yang diisolasi. Untuk melihat apakah isolat benar-benar

dari kelompok Basidiomiset maka diamati adanya sambungan apit pada miselium.

Kultivasi Pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Untuk memastikan bahwa yang diisolasi tersebut adalah pleurotoid

kelompok Pleurotus, selanjutnya biakan jamur tersebut dibuat bibit dengan cara

menumbuhkan miselium ukuran 100 mm2 pada media bibit dalam botol yang

berisi jewawut 23%, dedak 3%, kapur 0,4% dan serbuk gergajian 73,6% serta air.

Selanjutnya biakan tersebut diinkubasi di tempat gelap pada suhu kamar sampai

miselium telah tumbuh memenuhi media bibit dalam botol. Kemudian diambil

Page 43: Jamur Tiram

21

sebanyak satu sendok teh dari bibit (+ 10 gram) tersebut untuk diinokulasikan

pada media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong. Serbuk gergajian kayu

sengon diperoleh dari tempat penggergajian kayu di daerah Ciherang Bogor, tanpa

diketahui asal usul kayu, dan disimpan lebih kurang satu minggu sebelum dipakai

dalam penelitian.

Media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong terdiri atas 82,5%

serbuk gergajian yang ditambah 15% dedak, 1,5% gips, dan 1,0% kapur serta air

secukupnya. Tiap kantong plastik diisi sekitar 400 gram media dan disterilisasi

dalam drum kukus selama 7 jam. Media serbuk gergajian kayu sengon yang sudah

diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi. Kantong yang sudah

dipenuhi dengan miselium selanjutnya disimpan di ruang pemeliharaan/ruang

produksi sampai keluar tubuh buah. Percobaan ini dilakukan dengan 4-10

ulangan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Eksplorasi Jamur Pleurotoid Kelompok Pleurotus

Hasil eksplorasi dan survei jamur selama bulan Mei 2004 di 14

wilayah/lokasi di Bogor disajikan dalam Tabel 1.1. Lokasi eksplorasi jamur dan

denahnya disajikan di Gambar 1.1. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan

jenis jamur pleurotoid yang umum ditemukan adalah genus Schizophillum,

Lentinus dan Crepidotus, kelompok Pleurotus dan genus Panellus hanya

ditemukan di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sebanyak 24 isolat jamur

kelompok Pleurotus telah diisolasi (Tabel 1.2).

Kondisi umum areal di kecamatan Ciherang, dimana jamur kelompok

Pleurotus ditemukan merupakan areal kebun bekas areal penggergajian kayu yang

sudah ditinggalkan sekitar dua tahun sebelumnya. Tumpukan serbuk gergajian

sudah melapuk tersebut banyak ditanami dengan vegetasi pertanian, seperti pisang

dan ketela pohon (Ciherang A) dan areal penggergajian kayu campuran yang

masih aktif (Ciherang B) (Gambar 1.2).

Page 44: Jamur Tiram

22

Sumber:Bakosurtanal 2007 Keterangan: huruf merah: S=Schizophyllum; Pl=Pleurotus; Pa=Panellus; L=Lentinus; dan C=Crepidotus; huruf hitam: A. Kampus Darmaga IPB. B. Hutan CIFOR. C. lokasi penggergajian kayu di Ciampea. D. Areal perkampungan di Gunung Batu. E. Areal sekitar Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. F. Kebun Raya Bogor. G. Areal sekitar Biotrop. H. Kampung Muara. I. Gang Gudang Garam, Ciawi. J. Areal pedesaan dan tempat penggergajian kayu di Ciherang A. K. Ciherang B. L. Batu Kasur Taman Safari. M. Areal hutan di Gunung Luhur Cisarua. Gambar 1.1 Denah lokasi eksplorasi jamur pleurotoid (huruf hitam) dan jenis jamur

yang ditemukan (huruf merah).

Gambar 1.2 Kondisi tempat ditemukannya jamur kelompok Pleurotus. A. Ciherang A, areal bekas gergajian kayu yang sudah melapuk yang ditumbuhi dengan vegetasi tanaman pertanian. B. Ciherang B, tempat penggergajian yang masih aktif.

A B

SKALA 1:25 000

SKALA 1:25.000

SKALA 1:25.000

A

B

C

D

E F

S, L, C

S, C

S, C

S,

S, L, S, L,

SKALA 1:25.000

SKALA 1:25.000

SKALA 1:25.000

G H

I

J K

L

M

S, S, L

L

S, Pl, Pa, C

S, Pl, Pa

S, L, C

S, L

Page 45: Jamur Tiram

23

Tabel 1.1 Beberapa genus jamur pleurotoid pada beberapa lokasi di Kabupaten dan Kota Bogor pada bulan Mei 2004

Jamur pleurotoid yang ditemukan

No. Nama tempat Ketinggian

dpl Schizophyllum Pleurotus Panellus Lentinus Crepidotus

1. Kebun Raya Bogor 250 m dpl √ - - √ √

2. Hutan CIFOR 176 m dpl √ - - - √

3. Wilayah Ciomas 252 m dpl √ - - √ √

4. Haur Bentes, Jasinga 242 m dpl √ - - √ √

5. Gunung Batu 226 m dpl √ - - √ -

6. BIOTROP-Ciawi 392 m dpl √ - - √ -

7. Muara -Tajur 398 m dpl √ - - √ -

8. Ciawi 430 m dpl - - - √ -

9. Gunung Luhur Cisarua

1702 mdpl √ - - √ √

10. Taman-Safari, Cisarua 920 m dpl √ - - √ -

11. Ciampea 226 m dpl √ - - - √

12. Ciherang A 501 m dpl √ √ √ - √

13. Ciherang B 500 m dpl √ √ √ - -

14. Kampus IPB,

Darmaga

177 m dpl √ - - √ √

Deskripsi Umum Jamur Pleurotoid Selain Kelompok Pleurotus Yang Ditemukan di Daerah Bogor

Jamur pleurotoid selain kelompok Pleurotus di lapangan yang umum

ditemukan di daerah Bogor adalah Schizophillum spp., Lentinus spp., Panellus

spp., dan Crepidotus spp., deskripsi umum disertai gambar di lapangan dapat

dilihat pada Gambar 1.3, 1.4, 1.5 dan 1.6.

Schizophillum spp. Pileus seperti kipas. -Permukaan bagian tengah

berlekuk (depressed), di tengah sedikit berbulu (canescent). -Warna: abu-abu

(grey)-putih keruh (off white). –Diameter 1-4 cm. -Konsistensi lunak (muda)

dan kenyal (tua) berdaging. -Pinggiran (margin) menggulung ke arah himenium

(inrolled), dinding ruang antar lamela menonjol keluar, lamela yang lebih tua

tumbuh memanjang yang diikuti oleh lamela yang baru, bila pileus meluas oleh

pertumbuhan marjinal, ruang antar lamelanya secara berangsur-angsur melebar,

Page 46: Jamur Tiram

24

dan bila ruang telah mencapai luas tertentu pileus akan terbagi dua di tengah,

disebabkan oleh pembentukan lamela yang baru di dalamnya. Lamela (gills)

melanjut (decurrent) turun ke arah dasar tangkai, tidak seragam (Buller 1909;

Alexopoulos et al. 1996). -Spasi antar lamela dekat (close) + 20-40

lamela/tudung. -Warna lamela putih (whitish)–krem (creamy). –Anak lamela

(Serie of lamellulae) 3-5. -Tangkai (stipe) di sisi (lateral), pendek, berbulu. -

Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh (off white). -Panjang +0,3 cm,

diameter +0,5 cm. -Menempel pada substrat dengan rizomorf (rhizomorph). -Bau

(odor) tepung (meal). -Rasa (taste) hambar (mild). -Edibilitas, diketahui

edibel ketika masih muda. Jejak spora putih.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.3 Penampakan tubuh buah Schizophillum spp. di lapangan. A. Asal Gunung Batu. B. Asal Kampus IPB Darmaga. Skala ( : 1 cm).

Lentinus spp. Pileus seperti kipas, sepert payung. -Permukaan bagian

tengah berlekuk, di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat-krem, dengan bintik-

bintik teratur berwarna abu-abu atau hitam. –Diameter 3-8 cm. -Konsistensi

lunak (muda) dan kenyal (tua), berdaging putih, kenyal dan elastis. -Pinggiran

menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), rata. Lamela melanjut turun

ke arah dasar tangkai, sempit (tidak lebar). -Spasi antar lamela dekat-sangat

rapat (very crowded) + 50-200 lamela/tudung. -Warna lamela putih –krem. -

Anak lamela 3-5. -Tangkai di sisi, tidak di tengah (eksentrik), padat,

panjang, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung cokelat-putih keruh. -

Panjang 1-4 cm, diameter +0,5-1,2 cm.

A B

Page 47: Jamur Tiram

25

-Menempel pada substrat dengan rhizomorph. -Bau tepung. -Rasa

hambar. -Edibilitas, diketahui edibel ketika muda. Jejak spora putih.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.4 Penampakan tubuh buah Lentinus spp. di lapangan. A. Asal Ciawi. B. Asal Hutan Gunung Luhur. C. Asal Kebun Raya Bogor. D. Asal Gunung Batu. Skala ( : 1 cm).

Panellus spp. Pileus seperti kipas, seperti tiram. -Permukaan bagian

tengah berlekuk, di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat warna kulit (ocker)-

abu-abu muda. –Diameter 1-4 cm. -Konsistensi lunak (muda) dan kenyal

(tua) berdaging putih-kuning pucat, kenyal dan elastis. -Pinggiran menggulung

ke arah himenium, rata. Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai,. -Spasi

antar lamela dekat-sangat rapat + 40-150 lamela/tudung. -Warna lamela

merah. - Anak lamela 3-5. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat, pendek,

berbulu, berbatas jelas. -Warna tangkai pangkal-ujung lebih muda dari pileus

krem-putih keruh. -Panjang +0,3-2 cm, diameter +0,5 cm.

A B

DC

Page 48: Jamur Tiram

26

-Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa sangat

pahit. -Edibilitas, tidak diketahui edibel. Jejak spora putih.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.5 Penampakan tubuh buah Panellus spp. di lapangan. A. Asal CiherangA. B. Asal CiherangB. Skala ( : 1 cm).

Crepidotus spp. Pileus seperti kipas, lonceng, ginjal dan tiram. -

Permukaan bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous, di tengah sedikit berbulu. -

Warna: beige-putih keruh, ocker-abu cokelat. –Diameter 1-4 cm. -

Konsistensi lunak (muda) dan berdaging kenyal, tipis . -Pinggiran

menggulung ke arah himenium, rata. Lamela melanjut turun ke arah dasar

tangkai,. -Spasi antar lamela dekat + 20-40 lamela/tudung. -Warna

lamela putih–krem. Anak lamela 3-5. -Tangkai di sisi, sangat pendek, tidak

nampak. -Warna tangkai krem-putih keruh. -Panjang +0,3 cm, diameter +0,3

cm. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa tidak

diketahui. -Edibilitas, tidak diketahui edibel. Jejak spora cokelat.

A B

Page 49: Jamur Tiram

27

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.6 Penampakan tubuh buah Crepidotus spp. di lapangan asal hutan

Gunung Luhur Cisarua, Bogor. Skala ( : 1 cm).

Deskripsi Umum Jamur Kelompok Pleurotus Yang Ditemukan di Daerah Bogor

Sebanyak 24 isolat Jamur kelompok Pleurotus telah berhasil ditemukan di

daerah Bogor. Ciri-ciri makroskopis dari kelompok Pleurotus yang ditemukan

secara ringkas dijelaskan pada Tabel 1.2 dan pemberian nama isolat menggunakan

kode, Pleurotus EA1, Pleurotus EA2 dan seterusnya.

Gambar 1.7 memperlihatkan penampakan isolat-isolat Pleurotus EA1,

Pleurotus EA2, Pleurotus EA3, Pleurotus EA4, Pleurotus EA5. Penampakan

tubuh buah Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EA8, Pleurotus EA9, dan

Pleurotus EA10 disajikan pada Gambar 1.8. Penampakan tubuh buah Pleurotus

EA11, Pleurotus EA12, Pleurotus EAB13, Pleurotus EB14-2 dan Pleurotus EB15

disajikan pada Gambar 1.9. Penampakan tubuh buah Pleurotus EB21, Pleurotus

EB24, Pleurotus EB27 dan Pleurotus EB28 disajikan pada Gambar 1.10. Isolat-

isolat kelompok Pleurotus mempunyai ciri-ciri makroskopis hampir sama kecuali

pada ukuran diameter tudung dan warna pileus segar ketika masih kecil/muda.

Namun, Pleurotus EB9 mempunyai banyak perbedaan terutama warnanya yang

merah muda, Pleurotus EB16, Pleurotus EB17 dan Pleurotus EB18 mempunyai

warna pileus merah muda dan jejak spora cokelat. Deskripsi isolat kelompok

Pleurotus secara makroskopis pada Pleurotus EA1, Pleurotus EB9 dan Pleurotus

EB16 diuraikan lebih rinci.

Page 50: Jamur Tiram

28

Tabel 1.2 Isolat kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang Bogor

No. Kode Keterangan Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter terkecil-terbesar (cm). Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai (cm). Jejak spora

1. Pleurotus EA1 Lokasi A 1) Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,2)-(2-3,5). Lunak, tipis. Bergelombang. Daging tudung rapuh. (0,6-1), (0,9-1,0). Putih.

2. Pleurotus EA2 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,7)-(2-2,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,3). Putih.

3. Pleurotus EA3 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-4,8). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,6). Putih.

4. Pleurotus EA4* Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,4)-(2,5-3,2). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2), (0,6-1,6). Putih.

5. Pleurotus EA5 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal, seperti sendok sepatu. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-4,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1),(0,9-1,3). Putih.

6. Pleurotus EA6 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat-putih keruh, (1-1,7)-(2,3-5,2). Keras, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,9). Putih

7. Pleurotus EB6* Lokasi B 2) Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (0,5-2,0)-(3-4,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2),(1,1-1,4). Putih.

8. Pleurotus EAB7* Lokasi A Seperti tiram, sendok, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan -putih keruh, (0,7-1,2)-(1,6-2,8). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-0,9), (0,6-1,3). Putih.

9. Pleurotus EA8 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,3)-(3-4,5). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,7). Putih.

10. Pleurotus EA9 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,7)-(2,7-3,0). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,8-1,3). Putih.

11. Pleurotus EB9* Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Merah muda (pink)-putih keruh, (1,4-2,8)-(3-4). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (1,45-2), (0,38-1,2). Merah muda.

12. Pleurotus EA10 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat-putih keruh, (1-1,7)-(2,7-4,0). Keras, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-0,8),(0,8-1,6). Putih.

13. Pleurotus EA11 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat-putih keruh, (1-1,7)-(2-2,8). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-0,8), (0,8-1). Putih.

14. Pleurotus EA12 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,1)-(1,2-1,5). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (0,6-0,7), (0,9-1,0). Putih.

Page 51: Jamur Tiram

29

Tabel 1.2 (lanjutan)

No. Kode Keterangan Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter terkecil-terbesar (cm). Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai (cm). Jejak spora

15. Pleurotus EAB13 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,5)-(2-3,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,3). Putih.

16. Pleurotus EB14-2* Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-6). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,5). Putih.

17. Pleurotus EB15 Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,2)-(2-4,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,3). Putih.

18. Pleurotus EB16 Lokasi B Seperti payung. Merah muda-putih keruh, (1-1,5)-(2,2-2,3). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (1,45-2), (0,4-0,6). Cokelat.

19. Pleurotus EB17 Lokasi B Seperti payung. Merah muda-putih keruh, (1-1,5)-(2,2-2,7). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (1,5-1,7), (0,3-0,6). Cokelat.

20. Pleurotus EB18 Lokasi B Seperti payung. Putih keruh, (1-1,1)-(1,2-1,4). Lunak, tipis. Rata. Daging tudung rapuh. (1,5-2), (0,3-0,6). Cokelat.

21. Pleurotus EB21 Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1,5-1,7)-(2-4,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2), (0,8-1,4). Putih.

22. Pleurotus EB24* Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (1,4-2,4)-(2,5-3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-2,5), (1-1,8). Putih.

23. Pleurotus EAD27 Lokasi A Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (0,5)-(3,3). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,3-0,5), (1). Putih.

24. Pleurotus EBB28 Lokasi B Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (1,4-1,5)-(3-5,5). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,5). Putih.

1) Areal pedesaan dan tempat penggergajian kayu di Ciherang A 2) Areal pedesaan dan tempat penggergajian kayu di Ciherang B * Yang berhasil membentuk tubuh buah seperti Pleurotus

Pleurotus EA1. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal. -Permukaan

bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika basah), di

tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat muda (pale brown)-putih keruh. –

Diameter terkecil 1-1,2 cm dan terbesar 2-3,5 cm. -Konsistensi lunak. -

Pinggiran menggulung ke arah himenium (inrolled) (muda) lurus (tua),

bergelombang (wavy)–bergaris (strite-slighly) (tua). -Daging tudung putih,

tipis, rapuh (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit

Page 52: Jamur Tiram

30

(narrow). -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat + 20-140 lamela/tudung. -

Warna lamela putih–krem (creamy). - Anak lamela 2-6. -Tangkai di sisi,

tidak di tengah, padat, pendek, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung

krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1 cm, diameter 0,9-1,0 cm. -Menempel pada

substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. -Edibilitas, tidak

diketahui. Jejak spora putih.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.7 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA1 sampai EA6 di

lapangan. A. Pleurotus EA1. B. Pleurotus EA2. C. Pleurotus EA3. D. Pleurotus EA4. E. Pleurotus EA5. F. Pleurotus EA6. Skala ( : 1 cm).

A B

C D

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

E

1 cm

F

1 cm

Page 53: Jamur Tiram

31

Pleurotus EB9. Pileus seperti tiram, seperti kipas -ginjal. -Permukaan

bagian tengah berlekuk, tidak ada ornamentasi (glabrus). –Warna merah muda

(pink)-putih keruh, kuning (tua). -Diameter terkecil 1,4-2,8 cm dan terbesar 3-4

cm. -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah

himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung

putih, tebal, kenyal (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai. -Spasi

antar lamela dekat–sangat rapat, +40-150 lamela/tudung. –Warna lamela

putih–krem. - Anak lamela 2-7. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, melancip ke

bawah, padat, pendek-panjang, halus, tak ada ornamentasi. -Warna pangkal-

ujung, krem-putih keruh. -Panjang 1,45-2 cm. -Diameter 0,38-1,2 cm.

Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. –

Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.

Jejak spora putih-merah muda.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun

(caespitose) pada serbuk gergajian kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu

merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa

Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.

Pleurotus EB16. Pileus seperti payung. -Permukaan bagian tengah

berlekuk, tidak ada ornamentasi (glubrus). –Warna merah muda (pink)-putih

keruh. -Diameter terkecil 1,0-1,5 cm dan terbesar 2,2-2,3 cm. -

Konsistensilunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah himenium

(muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung putih, tipis,

rapuh (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai. -Spasi antar

lamela dekat–sangat rapat, +40-70 lamela/tudung. –Warna lamela putih–

krem. - Anak lamela 2-4. -Tangkai di tengah, silinder, padat, panjang, halus,

tak ada ornamentasi. -Warna pangkal-ujung, krem-putih keruh. -Panjang 1,45-2

cm. -Diameter 0,38-0,6 cm. Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau

tepung. -Rasa hambar. –Edibilitas, tidak dketahui. Jejak spora cokelat.

Page 54: Jamur Tiram

32

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.8 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB6 sampai EA10 di

lapangan. A. Pleurotus EB6. B. Pleurotus EAB7. C. Pleurotus EA8. D. Pleurotus EA9. E. Pleurotus EB9. F. Pleurotus EA10. Skala ( : 1 cm).

A B

C D

E F

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

Page 55: Jamur Tiram

33

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.9 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EA11 sampai EB16 di

lapangan. A. Pleurotus EA11. B. Pleurotus EA12. C. Pleurotus EAB13. D. Pleurotus EB14-2. E. Pleurotus EB15. F. Pleurotus EB16. Skala ( : 1 cm).

C

A B

D

E F

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

Page 56: Jamur Tiram

34

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.10 Penampakan tubuh buah isolat Pleurotus EB17 sampai EBB28 di

lapangan. A. Pleurotus EB17. B. Pleurotus EB18. C. Pleurotus EB21. D. Pleurotus EB24. E. Pleurotus EAD27. F. Pleurotus EBB28. Skala ( : 1 cm).

Hasil Isolasi Kelompok Pleurotus Dari Basidiokarp

Hasil isolasi pada media menunjukkan jamur seperti kelompok Polypore

yang berwarna kuning dan juga Schyzophyllum spp., sering menjadi penyebab

tidak berkembangnya jamur liar di dalam media buatan. Hal tersebut diduga

karena miselium jamur seperti kelompok Polypore dan Schyzophyllum spp.

mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat (+1,0 cm/hari) dibanding jamur

liar kelompok Pleurotus (+0,1 cm/hari) (Gambar 1.11).

A B

C

D

E F

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

1 cm 1 cm

Page 57: Jamur Tiram

35

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.11 Kultur murni kelompok Pleurotus setelah inkubasi 10 hari pada

media MEA. A. Isolat yang membentuk tubuh buah seperti Pleurotus: 1. Pleurotus EB14-2. 2. Pleurotus EB24. 3. Pleurotus EA4. 4. Pleurotus EB9. 5. Pleurotus EB6. 6. Pleurotus EAB7; B. Isolat yang membentuk tubuh buah seperti kelompok Polypore: 1. Pleurotus EB15. 2. Pleurotus EA2. 3. Pleurotus EA3. 4. Pleurotus EA5. 5. Pleurotus EA9. 6. Pleurotus EA8.

Kemungkinan terjadinya mating di lapang antara kelompok Pleurotus

dengan kelompok Polypore cukup besar. Hal ini karena miselium yang mampu

melakukan plasmogami dan pertukaran inti dengan jenis miselium lainnya yang

berbeda secara genetik namun bersifat kompatibel. Jamur yang telah melakukan

mating (kawin) di lapang mepunyai sifat dominan atau resesif, sehingga pada

kondisi tertentu yang muncul adalah salah satu jenis induknya. Sebanyak 11 isolat

yaitu: Pleurotus EA2, Pleurotus EA3, Pleurotus EA5, Pleurotus EA8, Pleurotus

EA9, Pleurotus EA11, Pleurotus EAB13, Pleurotus EB15, Pleurotus EB21,

Pleurotus EAD27 dan Pleurotus EBB28 menghasilkan tubuh buah seperti

kelompok Polypore. Karakter miseliumnya dalam kultur berbeda-beda dan dapat

menjadi indikasi bahwa isolat berbeda secara genetik (Gambar 1.11 bagian B).

Kesulitan dalam mengisolasi jamur liar di lapangan selain jamur yang

memerlukan adaptasi dan belum diketahui media optimumnya, juga kemungkinan

disebabkan kontaminasi oleh jamur lain (Gambar 1.12).

Sebanyak 17 isolat dikulturkan dan ditumbuhkan pada media serbuk

gergajian kayu sengon untuk diamati pembentukan tubuh buahnya. Pemilihan

ketujuh-belas isolat berdasarkan pada ukuran tubuh buah sedang – besar,

penampilan menarik untuk edible. Ketujuh-belas isolat tersebut adalah Pleurotus

EA2, Pleurotus EA3, Pleurotus EA4, Pleurotus EA5, Pleurotus EB6, Pleurotus

EAB7, Pleurotus EA8, Pleurotus EA9, Pleurotus EB9, Pleurotus EA11,

B

A 1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6

Page 58: Jamur Tiram

36

Pleurotus EAB13, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB15, Pleurotus EB21,

Pleurotus EB24, Pleurotus EAD27 dan Pleurotus EBB28.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.12 A. Tubuh buah kelompok Pleurotus di lapangan bersamaan

tumbuh dengan jamur kelompok polypore berwarna kuning (tanda panah putih). B. Pleurotus EA5 yang membentuk tubuh buah seperti kelompok polypore. Skala ( : 1 cm).

Sebanyak enam isolat dari 17 isolat tersebut berhasil membentuk tubuh

buah yaitu Pleurotus EB9, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4,

Pleurotus EAB7, dan Pleurotus EB6 (Tabel 1.2 dan Gambar 1.13).

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 1.13 Isolat kelompok Pleurotus yang berhasil membentuk tubuh buah

seperti Pleurotus. A. Pleurotus EB14-2. B. Pleurotus EB24. C. Pleurotus EA4. D. Pleurotus EAB7. E. Pleurotus EB6. F. Pleurotus EB9.

A B C

D E F

A B

1 cm

Page 59: Jamur Tiram

37

Pembahasan

Jamur pleurotoid umumnya dibedakan berdasarkan stature types yang

memudahkan dalam identifikasi jamur di lapangan. Kedua puluh empat isolat

kelompok Pleurotus yang ditemukan di lapang di areal Bogor mempunyai ciri-ciri

penting jamur pleurotoid yaitu : a) tidak mempunyai cincin, b) tidak mempunyai

volva, c) konsistensi tangkai padat, d) attachment tangkai, pendek atau absen

(pinggir, kurang dari 2 cm), eksentrik atau lateral, e) attachment lamela, melanjut

(deccurent), f) bentuk (shape) pileus (tudung) agak membulat, lonjong dan

melengkung seperti cangkang tiram dan g) tipe pinggiran pileus inrolled (muda)

dan lurus (straight) (tua) dan bergelombang (wavy)–bergaris (strite-slighly) (tua)

(Largent 1973).

Bentuk pileus agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang

tiram merupakan karakter penting untuk membedakan kelompok Pleurotus ini.

Warna pileus umumnya adalah putih keruh- coklat, ada juga yang berwarna abu-

abu, dan merah muda (pink). Warna pileus merupakan penciri yang penting pada

tingkat spesifik dan intraspesifik, seperti dalam Methuen handbook of Color

(1984) (Kornerup dan Wanscher 1967 dalam Alexopoulos et al. 1996).

Lamela jamur kelompok Pleurotus berkembang dengan baik. Lamela

menempel pada tangkai dengan cara melanjut. Spasi lamela dibedakan

berdasarkan jumlah lamela lengkap dan anak lamela. Jumlah lamela berkisar

antara + 20-200 lamela per tudung, dengan spasi antar lamela dekat–sangat rapat

dan mempunyai anak lamela 2-7 seri. Pada umumnya, anak lamela terdapat pada

Agaricales, walaupun seringkali tidak berkembang dengan sempurna

(Alexopoulos et al. 1996). Lamela berwarna putih–krem sama dengan warna tepi

lamela (non-marginate). Lebar lamela kelompok Pleurotus antara agak lebar

sampai lebar (0,5-1,5 mm).

Bentuk tangkai isolat-isolat yang ditemukan ada yang berbentuk silinder

atau mengecil ke bawah (Pleurotus EA9). Letak (attachment) tangkai di pinggir,

eksentrik atau lateral, dengan ukuran pendek atau absen (kurang dari 2 cm). Besar

kecilnya ukuran tangkai tergantung pada setiap marga. Letak tangkai ini

merupakan tipe stature terpenting bagi jamur pleurotoid (Largent 1973). Sifat

permukaan tangkai, merupakan karakter penting untuk membedakan taksa. Hiasan

Page 60: Jamur Tiram

38

pada tangkai berhubungan erat dengan ada tidaknya karakter mikroskopik. Variasi

hiasan yang pada umumnya berada di bagian bawah, tengah atau atas pada

tangkai seperti gundul (glubrus), menyerbuk es, membeledu, berbulu sikat atau

fibrilose (Largent 1973). Pada isolat-isolat yang ditemukan, permukaan

tangkainya tidak mempunyai variasi pada tangkai, halus (smooth) dan juga ada

yang berbulu. Warna tangkai dari pangkal sampai ke ujung adalah krem-off white.

Cara menempel pada substrat atau media tumbuh secara insititious, yaitu dengan

rhizomorph atau modifikasi miselium. Rizomorf biasanya tumbuh dekat tangkai,

umumnya rizomorf tebal, berwarna gelap. Marasmius crinis-equi,

M. nigrobrunneus (Pat.) Sacc., Micromphale brevipes (Berk. & Rav.) Sing., dan

Crinipellis spp. membentuk hubungan rhizomorphs di bawah tajuk yang

merangkap dan mendekomposisi bagian serasah yang jatuh secara nyata (Pegler

1983).

Menurut Brown (1981), spesies Crepidotus, yang mirip pleurotoid, tidak

termasuk jamur pleurotoid, karena mempunyai jejak spora berwarna coklat.

Dalam penelitian ini pada beberapa tempat ditemukan Crepidotus, seperti di

Kebun Raya Bogor, Kampus IPB Darmaga dan juga di sekitar Gunung Luhur

Cisarua. Jejak spora jamur kelompok Pleurotus dalam penelitian ini umumnya

berwarna putih, namun setelah diamati lebih teliti ternyata jejak spora Pleurotus

EB9 berwarna putih-pink muda. Menurut Brown (1981), spesies pleurotoid

mempunyai jejak spora yang umumnya putih tetapi Phyllotopsis nidulans

mempunyai jejak spora dengan warna light cinnamon reddish atau pinkish,

P. longinquus mempunyai spora berwarna dingy yellow-cream, H. tessellatus

mempunyai jejak spora berwarna buff, Panellus serotinus mempunyai jejak spora

kuning dan spesies kompleks P. ostreatus mungkin mempunyai jejak spora yang

berwarna lilac-tinged. Basidiospora dari Hohenbuehelia, Ossicaulis,

Pleurocybella, Pleurotus, Panus, Phyllotopsis, dan Resupinatus adalah non-

amyloid, sedangkan basidiospora dari Cheimonophyllum dan Panellus adalah

amyloid.

Beberapa isolat Pleurotus juga biasa dimakan oleh masyarakat sekitar

areal tersebut terutama yang tumbuh pada serbuk gergajian kayu campuran seperti

akasia, sengon, kayu merah dan karet. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa

Page 61: Jamur Tiram

39

jamur kelompok Pleurotus banyak tumbuh di areal konifer dan kayu daun lebar

dan diketahui beberapa spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal

adalah Pleurotus spp. (Brown 1981; Largent 1973). Selain kelompok Pleurotus,

jenis lain seperti Schizophyllum spp., Lentinus spp. juga biasa dimakan khususnya

yang masih muda, karena setelah tua akan menjadi kenyal atau liat.

Media tumbuh jamur merupakan karakter penting untuk membedakan

beberapa marga. Jamur dapat tumbuh pada habitat spesifik, beberapa jenis dapat

tumbuh pada beberapa macam media tumbuh, seperti daun, kayu atau tanah.

Jamur dapat tumbuh dimana-mana. Pada umumnya jamur tumbuh di tanah, kayu

yang lapuk ataupun masih hidup, daun yang lapuk atau ranting secara

bergerombol (gregarious), tersebar atau hidup sendiri (solitary). Sebagai

organisme heterotrof, jamur dapat mengambil bahan organik yang diperlukan

untuk pertumbuhannya dari organisme lain. Selama bahan-bahan organik tersedia

di suatu tempat, jamur akan tumbuh dengan baik (Alexopoulos et al. 1996).

Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di lapang

umumnya ditemukan tubuh buah yang berkelompok, berkerumun, bersusun

seperti rak, jarang ditemukan secara tunggal. Habitatnya umumnya pada serbuk

gergajian kayu campuran yang sudah lapuk di tempat penggergajian kayu, Bogor.

Kelompok Pleurotus bersama spesies-spesies lainnya Trechispora dan

Leptosporomyces, Caripi, Deflexula, Fistulina, Polyporus, dan Porodisculus

merupakan jamur pendegradasi kayu dengan tubuh buah yang mudah rusak atau

busuk dalam beberapa jam dan mudah ditumbuhi oleh jamur lainnya (ephemeral)

(Watling dan Gregory 1989).

Jamur ephemeral memerlukan penanganan segera baik untuk koleksi

kering maupun untuk diisolasi pada media buatan. Oleh karena itu, ketika

eksploitasi, pemotretan di lapangan (habitat asli), kemudian pengukuran dan

pencatatan karakter makroskopik dilakukan pada saat jamur dalam kondisi masih

segar. Jejak spora dilakukan sejak di lapangan segera setelah dicabut. Selama di

perjalanan menuju Laboratorium di IPB, tubuh buah jamur tersebut disimpan

dalam kotak bertutup rapat, agar kelembaban tubuh buah tetap terjaga dan spora

akan jatuh pada kertas berwarna tersebut. Biasanya dalam beberapa jam sampai

Page 62: Jamur Tiram

40

satu hari (+ 5 -24 jam) jejak spora akan terlihat pada kertas berwarna gelap

tersebut.

Isolat-isolat kelompok Pleurotus liar tersebut lebih sulit diisolasi dan

mempunyai laju pertumbuhan miselium pada media agar yang lambat. Namun

pada kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu, isolat-isolat tersebut dapat

tumbuh relatif baik dan cepat. Pengambilan bahan untuk kultur berupa daging

buah, untuk memperoleh isolat yang sama dengan induk. Kesulitan lainnya dalam

mengisolasi jamur kelompok Pleurotus liar di lapangan selain jamur yang

memerlukan adaptasi dan belum diketahui media optimumnya, juga kemungkinan

disebabkan persaingan oleh jamur lain seperti jenis Polypore yang juga tumbuh di

lapangan. Di lapangan, jamur kelompok polypore hidup bersama-sama dengan

jamur kelompok Pleurotus.

Simpulan

Beberapa jenis jamur pleurotoid yang ditemukan adalah Schizophillum

spp., Lentinus spp., Panellus spp., Crepidotus spp.. Kelompok Pleurotus hanya

ditemukan dari satu daerah yaitu di areal kebun dan tempat penggergajian kayu di

kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sekitar 24 isolat jamur pelapuk putih

pleurotoid kelompok Pleurotus telah diisolasi dan 17 isolat diantaranya dikultivasi

pada media serbuk gergajian kayu sengon. Enam isolat kelompok Pleurotus

diantaranya dapat membentuk tubuh buah seperti Pleurotus pada media serbuk

gergajian kayu sengon, yaitu Pleurotus EB9, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24,

Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB6. Isolat jamur kelompok

Pleurotus dari lapangan relatif sulit diisolasi dan mempunyai laju pertumbuhan

miselium pada media agar yang lambat.

Page 63: Jamur Tiram

2. KARAKTER FISIOLOGIS JAMUR PELAPUK PUTIH KELOMPOK Pleurotus ASAL BOGOR

(Physiological Characters of White-rot Fungi of Pleurotus Group from Bogor)

Abstrak

Beberapa isolat kelompok Pleurotus liar telah diisolasi dari beberapa lokasi di Bogor. Enam isolat diantaranya yaitu Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9 diteliti lebih jauh untuk mengetahui karakter fisiologisnya. Pleurotus ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar. Karakterisasi fisiologi mencakup laju pertumbuhan koloni, reaksi oksidasi, bobot basah total, efisiensi biologi, lama fase vegetatif dan reproduktif. Laju pertumbuhan koloni diamati pada media PDA, MEA, MPA, pada suhu media 10(+1)oC, 20(+1)oC, 29(+1)oC dan 35(+1)oC, dan dengan pH media 5, 6 dan 7. Reaksi oksidasi diuji dengan menggunakan media malt yang mengandung asam galat (AAG) dan asam tanat (AAT). Bobot basah hasil panen total, efisiensi biologi, lama fase vegetatif dan reproduktif diamati pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam kantong dengan bobot sekitar 400 gram.

Penampakan koloni pada media kultur, suhu media dan pH media optimum sebagai variabel menunjukkan perbedaan dalam laju pertumbuhan koloni ketujuh isolat. Laju pertumbuhan koloni kelima isolat yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6 termasuk lambat (kurang dari 2,0 mm/hari). Laju pertumbuhan koloni Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3-3,4 mm/hari) dan laju pertumbuhan koloni P. ostreatus HO termasuk cepat (6,1-7,9 mm/hari). Seluruh isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA dan PDA, serta tumbuh optimal pada temperatur sekitar 20-29(+1)oC dengan pH media antara pH 6-7. Reaksi oksidasi yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan jamur pelapuk putih. Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 merupakan jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi oksidasi pada media AAG dan AAT yang cukup kuat.

Isolat kelompok Pleurotus liar juga menunjukkan variasi yang lebar dalam rata-rata bobot basah hasil panen total (34,8-142,4 gram), efisiensi biologis (EB) (29,1-119,0%), lama fase vegetatif (14,0-83,0 hari), lama fase reproduktif atau lama panen (112,5-199,0 hari), dan jumlah panen (4,0-6,0 kali). Pleurotus EB9 mempunyai lama fase vegetatif yang paling singkat.

Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lainnya, dan lebih dekat dengan P. ostreatus HO.

Kata-kata Kunci: Bogor, kelompok Pleurotus, karakter fisiologi.

Page 64: Jamur Tiram

42

Abstract

In Bogor, isolates of wild Pleurotus group were isolated from various regions. Six isolates among them, namely: Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 and Pleurotus EB9, were characterized physiologically including the growth rate colony, oxidation reaction, total biomass, biological efficiency, vegetative and reproductive phases by using isolate of P. ostreatus HO as a standard comparison. The growth rate of the fungi was observed on media PDA, MEA, MPA with temperatures of 10(+1)oC, 20(+1)oC, 29(+1)oC and 35(+1)oC, and media pH of 5, 6 and 7. The oxidation reaction was conducted using malt media with galat acids (AAG) and tannic acid (AAT). Total fresh weight, biological efficiency, vegetative and reproductive phases were observed on sengon (P. falcataria) wood sawdust media with weight about 400 gramm.

Performance of colony on optimum culture media, temperatures and pH as variables varies, showing differences in growth rate colony of the seven isolates. Growth rate colony of five isolates of Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 and EB6 were slow (less of 2,0 mm/days). Those of Pleurotus EB9 was moderate (2,3-3,4 mm/days) and those of P. ostreatus HO was fast (6,1-7,9 mm/days). Positive oxidation reaction on AAG and AAT media showing that all isolates including white-rot fungi. Pleurotus EB9 and Pleurotus EA4 were potentially white-rot fungi with moderatelly strong reaction on media AAG and AAT.

Wild Pleurotus group also showed wide variation in terms of total biomass (34,8-142,4 gram), biological efficiency (29,1-119,0%), average time of vegetative phase (14,0-83,0 days), reproductive phase (112,5-199,0 days) and harvest frequency (4,0-6,0 times). Vegetative phase period of Pleurotus EB9 is the shortest.

Analysis cluster of the isolates based on physiological characterization showed that Pleurotus EB9 was different with five other isolates, but closer to P. ostreatus HO.

Keywords: Bogor, Pleurotus group, physiology character.

Page 65: Jamur Tiram

43

Pendahuluan

Saat ini penelitian untuk menemukan isolat unggul jamur baru yang dapat

dikembangkan untuk berbagai keperluan terus dilakukan oleh para peneliti.

Pengetahuan dasar mengenai fisiologi tiap jenis jamur merupakan langkah yang

penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan isolat yang paling efisien.

Salah satu jamur pelapuk kayu yang berpotensi mendegradasi lignin adalah

kelompok Pleurotus. P. ostreatus diketahui mendegradasi lignin lebih efisien

dibanding Phanerochaete chrysosporium dan berpotensi besar untuk industri pulp

(Kerem et al. 1992; Hadar et al. 1993).

Jamur pelapuk kayu untuk perkembangannya selain dipengaruhi oleh

struktur dan komposisi kimia kayu, juga dipengaruhi oleh faktor nutrisi dan

faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu, pH dan kelembaban serta karbon

(C) dalam bentuk senyawa organik. Karbon dibutuhkan oleh jamur sebagai

penyusun senyawa-senyawa yang ada di dalam sel. Proses degradasi lignin oleh

jamur pelapuk kayu tidak akan terjadi tanpa ketersediaan karbon dalam jumlah

yang cukup dan lignin merupakan salah satu sumber karbon (Highley dan Kirk

1979). Degradasi lignin oleh jamur pelapuk putih terjadi secara oksidatif, dengan

O2 sebagai sumber energi oksidasi (Kirk dan Farre 1987 dalam Reid et al. 1990).

Pada penelitian sebelumnya, enam isolat yang ditemukan dapat

membentuk tubuh buah pada media serbuk gergajian kayu sengon. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat-sifat fisiologi enam isolat kelompok

Pleurotus tersebut.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2006 di

Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan,

Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium

Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah

Jamur Departemen Biologi FMIPA, IPB.

Page 66: Jamur Tiram

44

Uji Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar

Jenis Media. Keenam isolat kelompok Pleurotus diperbanyak pada media

MEA untuk selanjutnya digunakan dalam pengujian sifat-sifat fisiologi ini.

P. ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar (Gambar 2.1). Koloni

miselium isolat uji dipotong dengan cork borer (diameter 7 mm) dan dikulturkan

pada media Potato Dextrose Agar (PDA), Malt Extract Agar (MEA) 1,5% dan

Malt Peptone Agar (MPA) 1,5%. Formula media PDA: 30 gram Potato Dektrose

Agar dan 1 liter air destilata. Formula MEA: 15 gram malt ekstrak, 16 gram agar

batang dan 1 liter air destilata. Formula MPA: 15 gram malt ekstrak, 20 gram D

(+) Glucose (Monohydrat), 5 gram Bacteriological Pepton, 16 gram agar batang

dan 1 liter air destilata. Medium PDA, MEA dan MPA dibuat dengan melarutkan

semua bahan ke dalam 1 liter air destilata, kemudian diaduk rata dan dipanaskan

sampai mendidih. Larutan media kemudian diautoklaf pada tekanan 15 psi, suhu

121oC selama 15 menit. Setelah larutan media agak dingin, sebanyak 16 ml

ditempatkan dalam cawan Petri steril berdiameter 90 mm.

Selanjutnya isolat jamur tersebut diinkubasi pada suhu kamar 29(+1)oC.

Laju pertumbuhannya diukur berdasarkan diameter koloni miseliumnya setiap

hari selama sepuluh hari inkubasi.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.1 Penampakan kultur isolat-isolat kelompok Pleurotus. a. Pleurotus

EB14-2. b. Pleurotus EB24. c. Pleurotus EA4. d. Pleurotus EAB7. e. Pleurotus EB6. f. Pleurotus EB9. g. P. ostreatus HO pada media MEA umur 10 hari.

a b c

d e f g

Page 67: Jamur Tiram

45

Suhu Media. Masing-masing isolat kelompok Pleurotus ditumbuhkan

pada media optimum dengan perlakuan suhu, yaitu: 10(+1)oC, 20(+1)oC,

29(+1)oC dan 35(+1)oC.

Nilai pH Media. Potongan koloni isolat Pleurotus dari masing-masing

isolat diinokulasikan pada media optimum, yang diberi perlakuan pH yang

berbeda, yaitu pH 5, 6 dan 7. Nilai pH ditentukan dengan menambahkan NaOH

0,1 M dan HCL 0,1 M. Nilai pH media sebelum disterilisasi telah ditetapkan yaitu

pH 5, 6 dan 7, namun setelah sterilisasi terjadi penurunan masing-masing secara

berurutan menjadi pH 5,0, pH 5,9 dan pH 6,8. Selanjutnya masing-masing isolat

jamur tersebut diinkubasi pada suhu optimal dan diukur laju pertumbuhannya

berdasarkan diameter koloni miselium setiap hari selama sepuluh hari inkubasi.

Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan.

Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT. Penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui adanya produksi enzim ekstraseluler oksidase oleh isolat

kelompok Pleurotus. Reaksi oksidasi dilakukan dengan menumbuhkan setiap

isolat pada medium agar 0,5% asam galat (AAG) dan medium agar 0,5% asam

tanat (AAT). Reaksi yang terbentuk diamati secara visual dengan menggunakan

deskripsi Davidson et al. (1938 dalam Nobles 1948).

Formula media AAG atau AAT: 15 gram ekstrak malt, 20 gram agar, 1000

ml air destilata dan 5 gram asam galat atau asam tanat (Nobles, 1948). Medium

AAG dan AAT dibuat dengan melarutkan semua bahan ke dalam 850 ml air

destilata kecuali asam galat dan asam tanat, kemudian diaduk rata dan dipanaskan

sampai mendidih. Larutan MEA 1,5 % ini kemudian diautoklaf pada tekanan 15

psi, suhu 121oC selama 15 menit. Lima gram asam galat atau asam tanat

dilarutkan secara terpisah ke dalam 150 ml air destilata steril yang masih dalam

keadaan panas. Setelah larutan MEA agak dingin, larutan asam galat/asam tanat

dicampurkan dan dikocok sebanyak 16 ml ditempatkan dalam cawan Petri steril

berdiameter 90 mm, selanjutnya potongan koloni miselium masing-masing isolat

kelompok Pleurotus yang berumur 8 hari dikulturkan pada medium AAG dan

AAT, kemudian diinkubasi pada suhu kamar 29(+1)oC. Setiap perlakuan

dilakukan dengan 3 ulangan.

Page 68: Jamur Tiram

46

Pengamatan untuk perlakuan oksidasi pada medium AAG dan AAT

meliputi pertumbuhan diameter koloni dengan mengukur diameter koloni (mm)

pada hari ke-7 dan reaksi oksidasi yang dicirikan dengan terbentuknya zona

cokelat di sekitar koloni. Metode ini disebut juga uji Bavendamm. Warna cokelat

yang tampak pada medium di sekitar tempat tumbuh jamur menunjukkan adanya

enzim ekstraseluler oksidase yang dikeluarkan oleh jamur tersebut. Uji

Bavendamm merupakan salah satu uji biokimia yang disebut juga uji

fenoloksidase atau reaksi oksidasi. Terjadinya reaksi biasanya menunjukkan sifat

jamur dari golongan jamur pelapuk putih.

Uji Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Percobaan ini bertujuan untuk melihat bobot basah hasil panen total,

efisiensi biologi, lama fase vegetatif dan reproduktif diamati pada media serbuk

gergajian kayu sengon. Kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu ini

dilakukan seperti pada Chapter 1. Media serbuk gergajian kayu sengon yang

sudah diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi, kemudian yang sudah

penuh dengan miselium disimpan di ruang pemeliharaan atau ruang produksi

sampai keluar tubuh buah. Setiap perlakuan dilakukan dengan 4-10 ulangan.

Tubuh buah yang sudah matang petik kemudian dipanen dan ditimbang bobot

basah tubuh buahnya. Media serbuk gergajian kayu sengon yang telah dipanen

tubuh buahnya disimpan kembali di ruang pemeliharaan, dan disiram secara rutin

sampai tubuh buahnya muncul dan siap dipanen kembali. Tahapan selanjutnya

seperti pada panen pertama dan pemanenan dilakukan sampai panen terakhir. Saat

kultivasi kondisi iklim menunjukkan musim kemarau yaitu bulan Agustus sampai

Oktober 2004 dengan suhu rata-rata minimum dan maksimum berturut-turut 15,0-

15,8oC, dan 27,8-29,4oC, kelembaban nisbi rata-rata 77-85%, lama penyinaran

5,5-6,7 jam, 4-14 hari hujan dan curah hujan 8-155 mm/ bulan.

Lama fase vegetatif adalah lama waktu inkubasi dari awal inokulasi

sampai kantong penuh dengan miselium sampai bawah (kolonisasi penuh). Dalam

jangka waktu tersebut akan terlihat miselia yang berwarna putih menutupi seluruh

permukaan media. Lama fase reproduktif adalah lama waktu inkubasi terhitung

Page 69: Jamur Tiram

47

setelah fase vegetatif selesai sampai beberapa kali panen tubuh buah sampai bahan

substrat habis dan tidak terbentuk lagi tubuh buah, umumnya sampai 8 kali panen

bahkan lebih. Jumlah panen adalah berapa kali suatu isolat jamur menghasilkan

tubuh buah selama fase reproduktif. Panen pertama dimulai setelah fase vegetatif

selesai sampai panen ke-1. Panen kedua dimulai setelah panen ke-1 selesai.

Bobot basah tubuh buah total adalah bobot yang diperoleh merupakan

hasil penimbangan semua bagian tubuh buah yang ada dalam media produksi

berupa tudung (pileus), batang (stipe) beserta akar-akarnya (rhizomorf) yang telah

dibersihkan. Efisiensi Konversi Biologis (BCE/EB=efisiensi biologi) adalah bobot

basah tubuh buah jamur segar total dibagi bobot kering substrat dikali 100 persen

(Madan et al. 1987). Efisiensi biologi 100 % berarti 1 kg massa tubuh buah jamur

setara dengan 1 kg massa kering substrat (Quimio 1985). Kadar air substrat rata-

rata pada penelitian ini sekitar 70,1%. Bobot basah substrat rata-rata adalah 400

gram, dengan bobot kering rata-rata 119,6 gram. Menurut Wuest (1983) dalam

Quimio (1985) yang dimaksud dengan EB yang dinyatakan dalam persen adalah :

EB = Bobot basah tubuh buah jamur segar

Bobot kering substrat x 100 %

Analisis Data

Analisis statistik bertujuan untuk menguji pertumbuhan isolat jamur pada

berbagai medium, suhu maupun pH terhadap laju pertumbuhan koloni pada cawan

Petri. Di samping itu untuk menguji pengaruh jenis isolat terhadap peubah-

peubah: lama fase vegetatif, lama fase reproduktif, jumlah panen, bobot basah

total serta Efisiensi Biologi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap (RAL). Pada beberapa perlakuan dengan rancangan

faktorial dengan rancangan lingkungan RAL untuk analisis diameter koloni isolat

Pleurotus spp. Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS9 dan analisis

kelompok menggunakan aplikasi SPSS13.

Page 70: Jamur Tiram

48

10,9a

5,7b

3,3d1,1g 1,1g 1,0g 0,7gh

0.02.04.06.08.0

10.012.0

Jenis Isolat

Laju

Per

tum

buha

n K

olon

i (m

m/h

ari)

1. P. ostreatus HO 2. Pleurotus EB9 3. Pleurotus EAB74. Pleurotus EB6 5. Pleurotus EB14-2 6. Pleurotus EB247. Pleurotus EA4

1 75432 6

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar Secara fisiologis, laju pertumbuhan koloni kelima isolat asal Bogor yaitu

Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan EB6 termasuk lambat (0,3-3,3

mm/hari) atau baru dapat menutupi cawan Petri dengan diameter 90 mm setelah

5-6 minggu. Laju pertumbuhan koloni Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3-

5,7mm/hari) atau dapat menutupi cawan setelah 2-4 minggu. Laju pertumbuhan

koloni P. ostreatus HO termasuk cepat (6,1-10,9 mm/hari) atau dapat menutupi

cawan setelah 1-2 minggu. Seluruh isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA

dan PDA, serta tumbuh optimal pada temperatur sekitar 20-29(+1)oC dengan pH

media antara pH 6-7 (Gambar 2.2).

Ket: Media optimum: PDA untuk Pleurotus EB6 dan EB14-2; MEA untuk, Pleurotus EA4, EAB7 dan EB24; MPA untuk P. ostreatus HO dan Pleurotus EB9. Suhu optimum: 20(+1)oC untuk Pleurotus EB14-2, EA4 dan EB6; 29(+1)oC untuk Pleurotus EAB7, EB24, EB9 dan P. ostreatus HO. Nilai pH optimum: pH 6 untuk Pleurotus EB9, EB14-2 dan EB6; pH 7 untuk P. ostreatus HO, Pleurotus EA4, EAB7 dan EB24

Gambar 2.2 Laju pertumbuhan koloni rata-rata isolat kelompok Pleurotus pada

media, suhu dan pH optimum.

Pada Tabel 2.1 terlihat isolat dengan pertumbuhan optimal pada PDA

adalah Pleurotus EB6 dan EB14-2; pada MEA adalah Pleurotus EA4, EAB7 dan

EB24; dan pada MPA adalah P. ostreatus HO dan Pleurotus EB9. Isolat dengan

laju pertumbuhan rata-rata optimal pada suhu 20(+1)oC adalah Pleurotus EB14-2,

Page 71: Jamur Tiram

49

EA4 dan EB6; pada 29(+1)oC adalah Pleurotus EAB7, EB24, EB9 dan P.

ostreatus HO. Isolat dengan pertumbuhan optimal pada media dengan pH 6

adalah Pleurotus EB9, EB14-2 dan EB6; pada media dengan pH 7 adalah P.

ostreatus HO, Pleurotus EA4, EAB7 dan EB24.

Semua isolat jamur menunjukkan reaksi positif pada medium asam tanat

(AAT) dan asam galat (AAG). Hal ini ditandai dengan terbentuknya zona cokelat

terang sampai cokelat gelap pada medium AAT dan AAG di sekitar miselium

koloni isolat (Gambar 2.3). Intensitas reaksi oksidasi dari isolat kelompok

Pleurotus pada media AAG dan AAT menunjukkan adanya perbedaan dari mulai

sangat lemah sampai sangat kuat. Isolat P. ostreatus HO menunjukkan intensitas

reaksi oksidasi yang paling kuat kemudian diikuti oleh isolat Pleurotus EA4 dan

Pleurotus EB9 (Tabel 2.1 dan Gambar 2.3). Tabel 2.1 Media, suhu dan pH optimum, serta reaksi pada AAG dan AAT ketujuh

isolat kelompok Pleurotus

Isolat

Media optimum

Suhu optimum (+1)oC

pH optimum

AAG AAT

Pleurotus EB14-2 Pleurotus EB24 Pleurotus EA4 Pleurotus EAB7 Pleurotus EB6 Pleurotus EB9 P. ostreatus HO

PDA MEA MEA MEA PDA MPA MPA

20 29 20 29 20 29 29

6 7 7 7 6 6 7

++ +++ +++ +++ +++ +++

++++

+ +

+++ + +

++ +++

Ket: +: sangat lemah; ++: lemah; +++: cukup kuat; ++++: kuat

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.3 Penampakan visual uji reaksi oksidasi isolat kelompok Pleurotus

setelah tujuh hari inkubasi pada media AAG (atas) dan AAT (bawah). (a) Pleurotus EB14-2, (b) Pleurotus EB24, (c) Pleurotus EA4, (d) Pleurotus EAB7, (e) Pleurotus EB6, (f) Pleurotus EB9, (g) P. ostreatus HO, dan (h) Zona reaksi.

h

a b c d e f g

h

Page 72: Jamur Tiram

50

Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Beberapa isolat dalam kondisi kolonisasi penuh pada media serbuk

gergajian kayu sengon disajikan pada Gambar 2.4. Pada penelitian ini, pemanenan

jamur dilakukan setelah pertumbuhan tubuh buah jamur mencapai tingkat yang

optimal, yaitu cukup besar tetapi belum mekar penuh. Pemanenan tubuh buah

dilakukan pada semua jamur yang tumbuh pada permukaan substrat sekaligus,

sehingga ada sebagian tubuh buah yang masih kecil juga ikut dipanen. Hal

tersebut menyebabkan bobot basah hasil panen per kantong substrat yang didapat

tidak semua tubuh buahnya mekar secara sempurna. Tahap-tahap perkembangan

tubuh buah dua isolat kelompok Pleurotus dari mulai primordial sampai yang

sudah matang untuk dipanen terlihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 2.4 Pleurotus EB24, Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO pada media serbuk gergajian kayu sengon pada kondisi kolonisasi penuh dibandingkan dengan kontrol (tidak diinokulasi).

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bobot basah hasil panen semua

isolat kelompok Pleurotus per kantong substrat berfluktuasi (Tabel 2.2). Sebagai

contoh pada Pleurotus EB24 dari 4 ulangan, bobot basah hasil panen per kantong

substrat pada panen pertama berkisar antara 5,0 gram sampai 24,9 gram, sehingga

rata-rata bobot basah hasil panen per kantong substrat sebesar 14,7 gram. Kondisi

tersebut juga terlihat di antara ulangan untuk bobot basah hasil panen per kantong

substrat pada panen kedua sampai panen terakhir pada semua isolat kelompok

Pleurotus yang berfluktuasi kecuali Pleurotus EB9, yang relatif stabil. Tidak

semua kantong substrat mencapai panen ketujuh. Pada Tabel 2.2, terlihat

kecenderungan menurunnya rata-rata bobot basah hasil panen per kantong substrat

ketujuh isolat kelompok Pleurotus dari panen pertama ke panen-panen

Pleurotus EB24 Kontrol Pleurotus EB9 P. ostreatus HO

Page 73: Jamur Tiram

51

selanjutnya. Hal ini mungkin karena substrat sudah banyak termanfaatkan oleh

jamur di panen-panen awal sehingga pada panen-panen terakhir tubuh buah yang

terbentuk berukuran kecil.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.5 Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB6. A. Primordial (tanda panah). B.Tubuh

buah yang masih kecil. C. Tubuh buah yang sudah matang dan siap panen.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 2.6 Tahap-tahap perkembangan Pleurotus EB9. a. Primordial (tanda panah). b,c,d. Tubuh

buah yang masih muda. e. Tubuh buah matang dan siap panen. d. Tubuh buah yang mulai menguning dan mengering serta sudah terlambat panen.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh nyata

terhadap rata-rata bobot basah hasil panen per kantong substrat. Isolat P. ostreatus

HO memberikan respon yang paling tinggi dan berbeda nyata dibanding

perlakuan lainnya dan yang paling rendah ditunjukkan oleh isolat Pleurotus

EB14-2 (Tabel 2.2).

Pada Tabel 2.3, fluktuasi juga terlihat di antara ulangan untuk total bobot

basah hasil panen per kantong substrat pada semua isolat kelompok Pleurotus.

Efisiensi biologi (EB) adalah prosentase efiensi jamur dalam

menggunakan substrat untuk membentuk tubuh buah. Nilai EB yang tinggi

menunjukkan kemampuan jamur yang baik dalam menggunakan media

produksinya (Madan et al. 1987). Nilai EB ketujuh isolat kelompok Pleurotus

sangat berfluktuasi. Isolat P. ostreatus HO menunjukkan efisiensi biologi yang

paling tinggi dan yang paling rendah adalah Pleurotus EB14-2 (Tabel 2.4).

a b c d e f

B C A

Page 74: Jamur Tiram

52

Tabel 2.2 Bobot basah tubuh buah hasil panen jamur ketujuh isolat kelompok Pleurotus

Panen ke- (gram) Isolat Ulangan

I II III IV V VI VII

Total panen

per kantong EB (%)

Pleurotus EB14-2 1 4,3 6,9 7,7 6,9 2,3 - - 28,1 23,5 2 9,2 1,5 3,0 9,0 2,5 6,3 1,3 32,7 27,4 3 12,9 7,0 6,0 10,0 1,0 - - 37,0 30,9 4 4,7 9,8 10,2 3,0 1,4 8,9 3,4 41,4 34,6

X Rata- rata 7,8 6,3 6,7 7,2 1,8 7,6 2,3 34,8 29,1

Pleurotus EB24 1 21,0 6,2 6,6 16,0 2,2 2,6 0,2 54,7 45,7 2 24,9 15,7 0,7 8,9 10,6 4,9 - 65,7 55,0 3 5,0 3,6 12,8 13,4 7,5 2,3 - 44,6 37,3 4 7,8 14,1 3,8 6,0 - - - 31,6 26,4

X Rata- rata 14,7 9,9 6,0 11,1 6,7 3,3 0,2 49,1 41,1

Pleurotus EA4 1 18,6 10,3 12,3 1,3 - - - 42,4 35,5 2 27,0 4,4 5,5 1,6 0,3 - - 38,8 32,4 3 4,2 8,2 3,5 15,2 4,2 - - 35,3 29,5 4 14,5 19,3 7,6 18,3 1,2 - - 60,9 50,9

X Rata- rata 16,1 10,6 7,2 9,1 1,9 - - 44,3 37,1

Pleurotus EAB7 1 30,3 19,8 5,0 4,4 2,0 10,3 - 71,8 60,1 2 6,2 6,9 9,6 7,2 1,3 - - 31,3 26,2

3 11,1 10,2 3,1 2,0 - - - 26,4 22,1 4 25,0 4,8 4,0 4,4 - - - 38,1 31,9

X Rata- rata 18,2 10,4 5,4 4,5 1,6 10,3 - 41,9 35,0

Pleurotus EB6 1 13,3 10,5 5,6 7,7 2,7 - - 39,8 33,2 2 22,6 4,0 3,1 7,5 - - - 37,3 31,1 3 7,3 4,5 19,0 5,2 - - - 36,0 30,1

X Rata- rata 14,4 6,4 9,3 6,8 2,7 - - 37,7 31,5

Pleurotus EB9 1 40,0 30,0 30,0 5,3 - - - 105,3 88,1 2 30,0 30,0 12,3 10,0 - - - 82,3 68,8 3 40,0 30,0 20,0 8,8 - - - 98,8 82,6 4 46,5 27,2 23,8 5,3 - - - 102,8 85,9

X Rata- rata 39,1 29,3 21,5 7,4 - - - 97,3 81,4

P.ostreatus HO 1 50,0 55,0 15,0 3,9 - - - 123,9 103,6 2 72,0 30,0 5,3 1,4 - - - 108,7 90,9 3 72,9 59,0 25,0 11,3 - - - 168,2 140,6 4 120,0 30,0 13,7 5,0 - - - 168,7 141,1

X Rata- rata 78,7 43,5 14,7 5,4 - - - 142,4 119,0

Keterangan: X= rata-rata; Kadar air substrat rata-rata 70,1%; 400 g bobot basah substrat rata-rata = 119,6 g bobot kering; cara menghitung EB: bobot basah total dibagi bobot kering substrat dikali 100%

Page 75: Jamur Tiram

53

Tabel 2.3 Nilai rata-rata total panen tubuh buah pada ketujuh isolat jamur isolat jamur Pleurotus

Total panen per kantong substrat

(gram) Isolat 1 2 3 4

Bobot jamur dari 4 ulangan

(gram)

Rata-rata total Panen per

kantong substrat Pleurotus EB14-2 28,1 32,7 37,0 41,4 139,2 34,8 c Pleurotus EB24 54,7 65,7 44,6 31,6 196,6 49,1 c Pleurotus EA4 42,4 38,8 35,3 60,9 177,4 44,3 c Pleurotus EAB7 71,8 31,3 26,4 38,1 167,6 41,9 c Pleurotus EB6 39,8 37,3 36,0 37,7 150,8 37,7 c Pleurotus EB9 105,3 82,3 98,8 102,8 389,2 97,3 b P.ostreatus HO 123,9 108,7 168,2 168,7 569,5 142,4 a

Keterangan: Nilai EB: merupakan rata-rata dari 3-4 kali ulangan; Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 2.4 Perbandingan nilai EB jamur pada ketujuh isolat kelompok Pleurotus

Efisiensi Biologi per kantong substrat (%) Isolat

1 2 3 4

EB dari 4 ulangan

(%)

Rata-rata EB per kantong

substrat Pleurotus EB14-2 23,5 27,4 30,9 34,6 116,4 29,1 c Pleurotus EB24 45,7 55,0 37,3 26,4 164,4 41,1 c Pleurotus EA4 35,5 32,4 29,5 50,9 148,3 37,1 c Pleurotus EAB7 60,1 26,2 22,1 31,9 140,3 35,0 c Pleurotus EB6 33,2 31,1 30,1 - 94,4 31,5 c Pleurotus EB9 88,1 68,8 82,6 85,9 325.4 81,4 b P.ostreatus HO 103,6 90,9 140,6 141,1 476,2 119,0 a

Keterangan: 1, 2, …4 = ulangan; Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

Fase vegetatif per kantong substrat atau per ulangan dari isolat kelompok

Pleurotus yang diuji berfluktuasi. Sebagai contoh pada Pleurotus EB14-2 dari 4

ulangan, fase vegetatif per kantong substrat berkisar antara 70,0 hari sampai 91,0

hari, sehingga rata-rata fase vegetatif per kantong substrat sebesar 80 hari. Hasil

yang berfluktuasi juga terlihat pada fase reproduksi per kantong substrat pada

panen pertama sampai panen terakhir (Tabel 2.5). Fluktuasi ini kemungkinan

disebabkan oleh penyiraman yang kurang teratur.

Pada Tabel 2.5 juga terlihat kecenderungan semakin cepatnya fase

reproduksi per kantong substrat. Sebagai contoh, rata-rata lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk panen ke-6 dari panen ke-5 pada Pleurotus EB14-2 adalah 15,0

hari, sedangkan rata-rata lamanya waktu yang dibutuhkan untuk panen ke-7 dari

panen ke-6 adalah 14,0 hari.

Page 76: Jamur Tiram

54

Tabel 2.5 Fase vegetatif, fase reproduktif dan jumlah panen jamur isolat kelompok Pleurotus

Lama panen ke... (hari) Isolat

Ulangan

Fase

Vegetatif (hari) I II III IV V VI VII

Fase reproduktif

(hari)

Jumlah panen

Pleurotus EB14-2 1 70.0 22.0 12.0 17.0 86.0 9.0 - - 146.0 5.0

2 91.0 33.0 53.0 13.0 11.0 28.0 17.0 24.0 179.0 7.0

3 83.0 29.0 12.0 10.0 11.0 24.0 - - 86.0 5.0

4 76.0 37.0 13.0 79.0 5.0 8.0 13.0 4.0 159.0 7.0 X Rata-rata 80.0a 30.3 22.5 29.8 28.3 17.3 15.0 14.0 142.5ab 6.0a

Pleurotus EB24 1 70.0 72.0 88.0 3.0 8.0 13.0 18.0 9.0 211.0 7.0

2 70.0 31.0 15.0 85.0 4.0 17.0 25.0 - 177.0 6.0

3 91.0 100.0 3.0 13.0 8.0 15.0 10.0 - 149.0 6.0

4 80.0 110.0 28.0 12.0 10.0 - - - 160.0 4.0 X Rata-rata 77.8a 78.3 33.5 28.3 7.5 15.0 17.7 9.0 174.3ab 5.8a

Pleurotus EA4 1 82.2 39.6 80.0 26.0 19.0 - - - 164.6 4.0

2 95.5 119.6 5.0 8.0 32.0 9.0 - - 173.6 5.0

3 66.6 132.6 22.0 5.0 8.0 4.0 - - 171.6 5.0

4 70.0 130.0 30.0 19.0 19.0 88.0 - - 286.0 5.0 X Rata-rata 78.6a 105.5 34.3 14.5 19.5 33.7 - - 199.0a 4.8ab

Pleurotus EAB7 1 64.8 64.8 49.5 7.0 38.0 14.0 25.0 53.0 186.5 6.0

2 70.0 70.0 31.5 36.0 24.0 33.0 44.0 - 168.5 5.0

3 86.9 86.9 169.5 7.0 3.0 5.0 - - 184.5 4.0

4 73.0 73.0 29.0 42.0 29.0 44.0 - - 144.0 4.0 X Rata-rata 73.7a 73.7 69.9 23.0 23.5 24.0 34.5 53.0 170.9ab 4.8ab

Pleurotus EB6 1 83.0 87.0 8,0 6.0 77.0 8.0 - - 186.0 5.0

2 83.0 47.0 13.0 46.0 63.0 - - - 169.0 4.0

3 83.0 58.0 3.0 47.0 15.0 - - - 123.0 4.0 X Rata-rata 83.0a 64.0 8.0 33.0 51.7 8.0 - - 159.3ab 4.3b

Pleurotus EB9 1 14.0 3.0 120.0 23.0 23.0 - - - 169.0 4.0

2 14.0 4.0 120.0 21.0 2.0 - - - 147.0 4.0

3 14.0 10.0 20.0 4.0 3.0 - - - 37.0 4.0

4 14.0 10.0 39.0 7.0 41.0 - - - 97.0 4.0 X Rata-rata 14.0b 6.8 74.8 13.8 17.3 - - - 112.5b 4.0b

P.ostreatus HO 1 19.0 27.0 137.0 21.0 38.0 - - - 223.0 4.0

2 17.0 32.0 25.0 20.0 61.0 - - - 138.0 4.0

3 21.0 71.0 19.0 18.0 55.0 - - - 163.0 4.0

4 21.0 35.0 24.0 31.0 10.0 - - - 100.0 4.0 X Rata-rata 19.5a 41.3 51.3 22.5 41.0 - - - 156.0ab 4.0b

Keterangan: Fase vegetatif: terhitung mulai inokulasi bibit sampai kolonisasi penuh; Panen I: terhitung setelah fase vegetatif selesai sampai panen ke-1; Panen II: terhitung setelah panen I selesai; Panen III: terhitung setelah panen II selesai; Panen IV: terhitung setelah panen III selesai; Panen V: terhitung setelah panen IV selesai; Panen VI: terhitung setelah panen V selesai; Panen VII: terhitung setelah panen VI selesai; Huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

Page 77: Jamur Tiram

55

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh nyata

terhadap lama fase vegetatif dan jumlah panen, tapi tidak berbeda nyata terhadap

lama fase reproduktif. Rata-rata lama panen paling lama adalah pada jamur isolat

Pleurotus EA4 yaitu 199,0 hari (Tabel 2.8). Rata-rata jumlah panen paling banyak

adalah pada jamur isolat Pleurotus EB14-2 yaitu 6,0 kali. Sedangkan rata-rata

jumlah panen paling sedikit adalah pada Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO yaitu

4,0 kali. Rata-rata lama fase vegetatif jamur isolat Pleurotus EB14-2 paling lama

yaitu 80,0 hari. Pleurotus EB9 mempunyai lama fase vegetatif paling singkat

yaitu 14,0 hari.

Analisis Kelompok Isolat Kelompok Pleurotus Berdasarkan Karakter Fisiologis

Hasil analisis kelompok berdasarkan karakter morfologis memperlihatkan

Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB24 sangat dekat (kelompok

pertama) dengan persamaan 98%, dan bergabung dengan Pleurotus EA4 menjadi

kelompok kedua dengan persamaan 97%. Selanjutnya kelompok kedua ini

bergabung dengan Pleurotus EB14-2 membentuk kelompok ketiga dengan

persamaan 96%. Kelompok keempat yaitu antara Pleurotus EB9 dengan

P. ostreatus HO dengan persamaan 95%. Kelompok ketiga ini mempunyai

hubungan dengan kelompok keempat walaupun dengan jarak yang cukup besar

yaitu persamaan 75%, oleh karena itu kedua kelompok ini dapat dipisah menjadi

kelompok yang berbeda, pada Gambar 2.7 diberi pemisah garis patah-patah,

menunjukkan dugaan dua spesies yang berbeda dengan adanya dua kelompok

besar dari enam isolat jamur asal Bogor. Hal ini sesuai dengan Hipotesis pertama

yaitu karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda,

yaitu Pleurotus EB9 dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus EB14-2, EB24,

EA4, EAB7 dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan lebih dekat dengan

P. ostreatus HO dibanding dengan isolat kelompok Pleurotus lainnya.

Page 78: Jamur Tiram

56

Gambar 2.7 Dendogram berdasarkan karakter fisiologis dari tujuh isolat kelompok

Pleurotus asal Bogor dengan pembanding P. ostreatus HO.

Pembahasan

Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar 1. Pengaruh Jenis Media

Laju pertumbuhan koloni isolat-isolat jamur dipengaruhi jenis media dan

lingkungan pertumbuhannya. Laju pertumbuhan koloni isolat-isolat jamur yaitu

Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus

EB6 dan Pleurotus EB9 dengan P. ostreatus memperlihatkan kecepatan yang

berbeda. Hasil pengamatan menunjukkan media optimal untuk pertumbuhan isolat

Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 adalah PDA; untuk Pleurotus EA4,

Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB24 adalah MEA; dan untuk Pleurotus EB9 dan

P. ostreatus HO adalah MPA. Jenis isolat dan faktor media serta interaksi antara

jenis isolat dengan faktor media berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan

koloni tiap isolat. Tiap isolat kelompok Pleurotus yang diuji berbeda dalam

menyerap nutrisi yang dikandung oleh media yang berbeda pula. Beberapa elemen

nutrisi dibutuhkan oleh semua jamur, beberapa elemen hanya dibutuhkan oleh

spesies tertentu. Menurut Chang dan Miles (1989), beberapa elemen dibutuhkan

oleh spesies tertentu yang akan tumbuh pada medium yang memiliki kandungan

nutrisi dalam jumlah yang spesifik.

Jamur tiram putih setelah terbentuk tubuh buah mendegradasi fraksi

holoselulosa, α-selulosa dan lignin sampai kira-kira 80% (Chang dan Hayes

Jarak antar kelompok

Page 79: Jamur Tiram

57

1978). Hasil dekomposisi komplek lignoselulosa oleh P. osteratus adalah 50%

substrat dibebaskan sebagai gas CO2 dan 20% sebagai air, residu kompos 20%,

dan tubuh buah 10%. Hasil akhir menunjukkan kandungan nitrogen dan mineral

meningkat selama pertumbuhan (Zadrazil 1975 dalam Chang dan Hayes 1978).

Ketiga media yang diuji semuanya merupakan media yang kaya akan

nutrisi esensial yang dibutuhkan jamur untuk hidupnya. Media PDA memiliki

kandungan nutrisi karbohidrat, air, protein yang berasal dari substrat kentang,

glukosa dan agar. Media MEA memiliki komposisi nitrogen, karbohidrat, sodium

klorida yang berasal dari malt ekstrak dan agar, dan MPA memiliki kandungan

nutrisi nitrogen, karbohidrat, sodium klorida, yang berasal dari malt ekstrak, agar,

pepton dan glukosa. Sumber nutrisi karbon berasal dari ekstrak kentang, glukosa,

ekstrak malt mempengaruhi pertumbuhan koloni jamur, pembentukan struktur dan

keperluan energi bagi sel jamur. Sumber nutrisi nitrogen diperoleh dari ekstrak

malt, ekstrak kentang dan pepton yang mempengaruhi sintesis protein, purine,

pirimidin dan komponen kitin pada dinding sel jamur (Chang dan Miles 1989).

Selain itu, malt ekstrak dan ekstrak kentang juga dapat menjadi sumber mineral

dan vitamin. Mineral berfungsi sebagai aktivator enzim dan vitamin berfungsi

sebagai katalisator di dalam sel yaitu sebagai koenzim atau merupakan bagian

yang menyusun ko-enzim (Chang dan Miles 1989; Hadi 1999).

Untuk kelima isolat kelompok Pleurotus liar seperti Pleurotus EB14-2,

Pleurotus EB24, Pleurotus EB6, Pleurotus EA4 dan Pleurotus EAB7 optimum

pada PDA atau MEA, tetapi tidak menunjukkan belum mempunyai laju

pertumbuhan koloni pada tahap awal perlakuan uji media seperti yang diharapkan.

Hal ini diduga karena kelima isolat merupakan spesies jamur yang membutuhkan

elemen nutrisi tertentu untuk pertumbuhannya, yang tidak tercukupi oleh media-

media yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, diduga kelima isolat

tersebut masih melakukan penyesuaian terhadap media kaya yang digunakan

tersebut, karena isolat-isolat tersebut baru diisolasi dari alam. Sedangkan

P. ostreatus HO yang sudah dibudidayakan cukup lama sudah menunjukkan

pertumbuhan koloni pada awal pengamatan. Namun demikian, isolat Pleurotus

EB9 yang juga baru diisolasi dari alam menunjukkan tingkat penyesuaian yang

cepat dan mempunyai laju pertumbuhan koloni yang lebih cepat dibanding kelima

Page 80: Jamur Tiram

58

isolat pertama, walaupun belum secepat pertumbuhan P. ostreatus HO. Ketujuh

isolat jamur yang diujikan pada ketiga media tersebut mempunyai kecepatan laju

pertumbuhan koloni yang berbeda yaitu lambat, sedang dan cepat. Namun sangat

dimungkinkan untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan koloni-nya dengan

memberi perlakuan tertentu seperti penambahan bahan-bahan nutrisi tertentu dan

komposisi tertentu, atau dengan manipulasi faktor-faktor lingkungan.

Pertumbuhan jamur dapat dilihat antara lain dari peningkatan jumlah dan ukuran

sel. Griffin (1994) dan Moore dan Landecker (1996) melaporkan bahwa kurva

pertumbuhan mikrob terdiri atas lima fase, yaitu (1) fase pertumbuhan awal yang

merupakan fase adaptasi jamur terhadap lingkungannya dan umumnya belum

memperlihatkan adanya pertumbuhan, (2) fase eksponensial memperlihatkan

pertumbuhan cepat dan pembelahan selnya terjadi dengan laju yang konstan, (3)

fase perlambatan yang menunjukkan terjadinya penurunan pembelahan sel

disebabkan mulai terbatasnya nutrien yang dibutuhkan, (4) fase stasioner, dimana

fase ini jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati sehingga

jumlah sel yang hidup relatif tetap, dan (5) fase kematian yang menunjukkan

penurunan secara tajam jumlah sel yang hidup karena autolisis.

2. Pengaruh Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan jamur pelapuk. Hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan

diameter koloni isolat jamur pada beberapa jenis suhu menunjukkan bahwa suhu

optimal untuk beberapa isolat yang diuji berbeda, walaupun masih dalam kisaran

sekitar 20-29(+1)oC. Suhu optimal untuk laju pertumbuhan diameter koloni pada

Pleurotus EA4, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 adalah 20(+1)oC; pada

Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24, Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO adalah

29(+1)oC.

Suhu optimal untuk pertumbuhan Pleurotus spp. berkisar antara 25(+1)oC

dan 28(+1)oC (Chang dan Miles 1982), namun P. flabellatus membutuhkan suhu

optimal untuk pertumbuhan lebih rendah yaitu antara 20(+1)oC dan 29(+1)oC

yaitu (Chang dan Quimio 1989). Suhu 30oC merupakan suhu optimum bagi jamur

pelapuk kayu pada umumnya dan suhu optimum bagi jamur pelapuk di daerah

Page 81: Jamur Tiram

59

tropis pada khususnya (Highley dan Kirk 1979; Rayner dan Boddy 1988). Suhu

yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan jamur,

karenanya pada suhu 10(+1)oC dan 35(+1)oC isolat-isolat kelompok Pleurotus

yang diuji menyebabkan pertumbuhan koloninya terhambat. Hal ini diduga karena

kerja enzim pada suhu tersebut ikut terhambat. Setelah dipindahkan ke suhu

ruang, pertumbuhan koloni isolat dapat tumbuh kembali dengan baik karena kerja

enzim kembali maksimal.

Koloni pada media kultur sebagai variabel menunjukkan perbedaan dalam

laju pertumbuhan koloni (cepat, sedang, lambat). Pada suhu optimum, laju

pertumbuhan koloni kelima isolat Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus

EA4, Pleurotus EAB7, dan Pleurotus EB6 termasuk lambat (0,3-0,8 mm/hari).

Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3 cm/hari) dan P. ostreatus HO tergolong

cepat (8,3 mm/hari). Hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing isolat

diduga mempunyai sifat genetik tertentu sehingga pada suhu berapapun

pertumbuhannya mempunyai laju pertumbuhan koloni yang khas.

Ketujuh isolat jamur yang diuji dapat digolongkan sebagai jamur mesofil

yang dapat hidup pada rentang suhu 15-40(+1)oC, dengan suhu minimal 0(+1)oC

dan maksimal 50(+1)oC (Chang dan Miles 1989; Alexopoulos et al. 1996). Hasil

analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor suhu maupun interaksi

antara faktor isolat dan faktor suhu berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan

diameter koloni isolat jamur. Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies yang

berbeda membutuhkan kondisi yang berbeda untuk pertumbuhannya termasuk

kondisi lingkungan, diantaranya adalah suhu.

Fungsi suhu bagi jamur adalah mempengaruhi aktivitas enzim, organisasi

dan komposisi organel-organel sel fungi, komposisi plasmalema dan jumlah lipid

(Griffin 1994). Aktivitas enzim dapat meningkat dua kali lipat setiap kenaikan

10(+1)oC. Enzim yang teraktivasi pada suhu tinggi mempengaruhi kemampuan

mensintesis komponen-komponen yang dibentuk seperti vitamin, asam amino atau

metabolik lainnya (Imam 2000). Suhu optimal untuk pertumbuhan dapat

menentukan pertumbuhan miselia atau bibit jamur (spawn), dan juga untuk

produksi optimal produk metabolik jamur yang berfungsi sebagai obat seperti

lentinan oleh jamur Lentinus edodes (Chang dan Miles 1989).

Page 82: Jamur Tiram

60

3. Pengaruh pH Media

Laju pertumbuhan diameter koloni isolat-isolat jamur yaitu Pleurotus

EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan

Pleurotus EB9 serta P. ostreatus memperlihatkan kecepatan yang berbeda pada

pH yang berbeda. Nilai pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan jamur. Hampir semua isolat terlihat dapat tumbuh pada kisaran pH

5-6, kecuali Pleurotus EB14-2 dan Pleurotus EB6, yang pertumbuhannya

terhambat pada pH 5. Hal ini sesuai dengan pendapat Kollman (1968) yang

melaporkan bahwa suasana asam (pH 4,5 – 5,5) baik untuk pertumbuhan jamur.

Kirk et al. (1978) juga mengemukakan bahwa laju pertumbuhan jamur pelapuk

putih berlangsung cepat pada pH sekitar 5. Pertumbuhan diameter koloni jamur

pelapuk kayu Schizophyllum commune dan P. chrysosporium optimal pada media

PDA juga terjadi pada suasana asam (pH 4,7 – 5,9) (Herliyana 1997).

Setiap jenis jamur mempunyai toleransi tertentu terhadap kemasaman

substrat tanah maupun kompos. Beberapa strain jamur mempunyai pH optimum

yang berbeda, juga antar galur dan spesies (Gerraway dan Evans 1984). Nilai pH

optimum pada saat pertumbuhan miselium berbeda dengan nilai pH optimum

pada saat pembentukan tubuh buah. Miselium Pleurotus spp. tumbuh optimal

pada pH 5,5-6,5 (Chang dan Miles 1989).

Nilai pH dapat mempengaruhi sistem kerja enzim. Nilai pH optimum

untuk sebagian besar enzim adalah 6-8 dengan beberapa pengecualian, seperti

pepsin, enzim pencernaan dalam lambung yang bekerja optimal pada pH 2

(Campbell et al. 2002). Nilai pH juga mempengaruhi ketersediaan ion dalam suatu

media. Pada kisaran pH tertentu, ion-ion logam dapat membentuk kompleks yang

tidak larut air. Ion Mg dan P dapat tetap berada dalam bentuk bebasnya pada pH

rendah, tetapi pada pH tinggi membentuk kompleks tidak larut air sehingga dapat

menyebabkan ketersedian ion-ion tersebut berkurang bagi jamur (Chang dan

Miles 1989). Selain itu pH juga mempengaruhi permeabilitas sel yang berubah

pada pH yang berbeda. Pada pH yang rendah, membran protoplasmik menjadi

jenuh dengan ion H+ sehingga lalu lintas kation esensial terbatas. Sebaliknya, pada

pH tinggi membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH- yang

menyebabkan anion terbatas (Moore dan Landecker 1996; Carlile et al. 2001).

Page 83: Jamur Tiram

61

4. Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT

Hasil penelitian menunjukkan semua isolat jamur mempunyai reaksi

positif pada medium asam tanat (AAT) dan asam galat (AAG). Reaksi oksidasi

yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan

jamur pelapuk putih. Isolat kelompok Pleurotus yang diujikan pada media AAG

dan AAT diduga mengeluarkan enzim ektraseluler oksidase dengan terjadinya

reaksi oksidasi dengan asam galat ataupun asam tanat. Untuk mengetahui suatu

jenis jamur termasuk ke dalam jenis pelapuk putih atau bukan dapat dilihat dari

reaksi yang terjadi pada media AAG. Suatu isolat yang bereaksi positif terhadap

AAG maka isolat tersebut termasuk ke dalam jenis pelapuk putih walaupun isolat

tersebut bereaksi negatif terhadap AAT (Noubles 1948).

Uji reaksi oksidasi dengan menggunakan media AAG dan AAT dilakukan

pertama kali oleh Bavendamm pada tahun 1928 terhadap jamur penyebab busuk

pangkal batang pada tanaman berkayu (Davidson 1938 dalam Noubles 1948).

Jamur kelompok pelapuk putih hampir semuanya mengeluarkan enzim

ekstraseluler oksidase. Enzim ini diduga dapat mendegradasi asam galat sehingga

sifat racun dari asam ini berkurang atau hilang sama sekali (Dharmaputra et al.

1989). Pertumbuhan koloni ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada media AAG

dan AAT lebih lambat dibandingkan tanpa perlakuan AAG dan AAT, diduga hal

tersebut disebabkan AAG dan AAT mempunyai daya racun bagi isolat-isolat

jamur tersebut. Dihidroksifenol sebagai penyusun asam galat atau tanin yang tidak

berwarna akan membentuk kuinon yang berwarna cokelat gelap apabila

teroksidasi secara enzimatis (Bell dalam Abadi 1987).

Sudiasto (2001) mengungkapkan bahwa tanin biasanya mengingatkan

orang kepada asam tanat (tannic acid). Tanin banyak terkumpul pada bagian

tanaman yang sedang aktif tumbuh, misalnya buah muda, bunga, tunas dan paru.

Tanin yang dapat dihidrolisis atau pyrogallol tannin dikenal juga sebagai asam

galat (gallic acid). Asam tanat merupakan bubuk putih kekuningan sampai coklat

muda. Bahan ini tidak berbau, rasanya ”sepet” dan sangat larut dalam air, alkohol

dan gliserin. Menurut Fengel dan Wegener (1984) tanin merupakan salah satu

jenis senyawa fenolik pada zat ekstraktif di sel-sel kayu. Tanin mudah

terhidrolisis dengan air menjadi glukosa dan asam fenolat (asam galat dan asam

Page 84: Jamur Tiram

62

elagat). Hara (1993) dalam Harismah (2002) menyatakan bahwa senyawa tanin

dapat dipakai sebagai antimikroba (bakteri dan virus). Menurut Ikigai et al. serta

Shimamura dalam Harismah (2002) antimikroba disebabkan oleh terdapatnya

gugus pirogalol dan gugus galoil. Menurut teori warna, struktur tanin dengan

ikatan rangkap dua yang terkonjugasi pada polifenol sebagai kromofor

(pengemban warna) dan adanya gugus (OH) sebagai auksokrom (pengikat warna)

dapat menyebabkan warna coklat. Tanin juga mampu menggumpalkan protein.

Tanin dapat berikatan dengan protein, sehingga menjadi kompleks yang

tidak larut. Tanin juga dapat menghambat penyerapan zat besi, salah satu

komponen mikro bagi jamur (Wibisana 2000). Menurut Davidson (1993) dalam

Wibisana (2000) komponen fenolik telah lama dikenal sebagai komponen

antimikroba. Tanin sebagai komponen polifenol alami yang banyak terdapat pada

tumbuhan, memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba dengan

mekanisme: 1) bereaksi dengan membran sel; 2) menginaktivasi enzim-enzim

esensial dan 3) destruksi/inaktivasi fungsional terhadap material genetik.

Pertumbuhan dan Perkembangan Isolat-isolat Kelompok Pleurotus pada Substrat Serbuk Gergajian Kayu Sengon

1. Total Bobot Basah Hasil Panen dan Nilai Efisiensi Biologi

Dewasa ini proses perkembangan teknologi budidaya jamur (kultivasi)

seperti jamur tiram semakin meningkat. Keberhasilan budidaya jamur ditentukan

oleh kualitas media tanam, proses budidaya, faktor lingkungan dan kualitas bibit

yang digunakan (Chang dan Miles 1989; Royse 2000). Selain itu, keberhasilan

budidaya jamur khususnya jamur tiram ditentukan oleh persiapan bahan baku

media termasuk kualitas serbuk gergajian kayu yang digunakan, pencampuran

bahan-bahan tambahan, pemasukan ke dalam kantong plastik, teknik penanaman,

pemeliharaan hingga penanganan pada saat masa panen dan pascapanen

(Kushendrarini 2003; Suprapti, 2000).

Substrat pertumbuhan kelompok Pleurotus yang digunakan dalam

penelitian ini adalah serbuk gergajian kayu sengon. Kayu ini banyak digunakan

oleh masyarakat untuk bahan perumahan berupa balok, tiang, papa, dan kaso.

Namun limbah penggergajian kayu sengon ini sampai sekarang belum banyak

Page 85: Jamur Tiram

63

dimanfaatkan secara optimal. Kayu tropis ini mempunyai kadar selulosa 48,33

persen, lignin 27,28 persen dan pentosan 16,34 persen, dengan nisbah C/N

53,17/0,25 (Nurhayati 1988). Kayu sengon memiliki bobot jenis yang rendah

yaitu berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33 (Widarmana 1984).

Substrat serbuk gergajian ini kemudian diperkaya dengan gips dan kapur

serta dedak/bekatul padi yang merupakan hasil samping penggilingan padi.

Mineral kalsium yang ditambahkan ke dalam substrat adalah gips (CaSO4) dan

kalsium karbonat (CaCO3). Tujuannya adalah untuk memperbaiki pH, struktur

atau permeabilitas media produksi. Total mineral kalsium yang ditambahkan

berkisar 0,5-1% dari total media tanam, dapat berasal dari satu jenis mineral

kalsium atau bersama-sama (Priyadi dan Akhmadi 2000).

Bekatul (polish) bagian luar dari butiran beras setelah kulit padi (sekam)

dan kulit ari (Soemardi 1975), terdiri atas perikarp, lapisan aleuron, embrio dan

sebagian endosperm serta mengandung sebagian besar vitamin dari biji. Dari

gabah kering giling setelah mengalami pengupasan kulit dan penyosohan

dihasilkan bekatul 8%, sekam 20%, beras 65% dan hilang 7% (Grist 1965).

Komposisi kimia bekatul adalah kadar air 9,7%, kadar protein 13,3%, kadar lemak

15,8%, kadar abu 10,4%, karbohidrat 39%, serat kasar 11,8% (Houston dan

Kohler 1970).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor panen

maupun interaksi antara faktor isolat dan faktor panen berpengaruh nyata terhadap

total bobot basah hasil panen isolat jamur. Hasil analisis ragam menunjukkan

bahwa faktor isolat berpengaruh nyata terhadap nilai EB isolat jamur. Isolat P.

ostreatus HO memberikan respon yang paling tinggi dan berbeda nyata dibanding

perlakuan lainnya pada nilai rata-rata total bobot basah hasil panen per kantong

substrat 142,4 gram. Nilai rata-rata total bobot basah hasil panen per kantong

substrat terendah pada Pleurotus EB14-2 sebesar 34,8 gram

Isolat P. ostreatus HO juga memberikan respon yang paling tinggi dan

berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya yaitu dengan nilai EB 119,0%. Nilai

EB terendah pada Pleurotus EB14-2 sebesar 29,1%. Nilai EB Pleurotus spp. pada

media serbuk gergajian kayu sengon dapat mencapai 52,6% (Gunawan 1997),

pada media campuran serbuk gergajian kayu sengon dengan limbah kertas

Page 86: Jamur Tiram

64

mencapai 126% (Widiastuti dan Gunawan 1991), pada media jerami padi dengan

waktu 30-45 hari dapat mencapai 100% (Chang dan Miles 1989). Pada industri

jamur nilai EB ini berkisar antara 40-90% dan merupakan parameter keberhasilan

budidaya jamur.

Dari data di atas berarti P. ostreatus HO sebagai standar pembanding

dapat menghasilkan nilai EB yang tertinggi yaitu di atas 90%. Sedangkan dari

isolat uji, Pleurotus EB9 menghasilkan nilai EB yang cukup tinggi yaitu di atas

40%. Namun untuk kelima isolat lainnya yaitu Pleurotus EB24, Pleurotus EA4,

Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 menghasilkan nilai EB

yang masih rendah yaitu masih di bawah 40%.

Dari penelitian ini, terlihat kecenderungan menurunnya rata-rata bobot

basah hasil panen per kantong substrat dari panen pertama ke panen-panen

selanjutnya. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa pada panen pertama nutrisi

yang tersedia pada media produksi masih cukup banyak sehingga jamur dapat

tumbuh dengan optimal dan menghasilkan bobot basah hasil panen per kantong

substrat yang besar. Sedangkan pada panen berikutnya terjadi penurunan bobot

basah hasil panen per kantong substrat, yang disebabkan nutrisi yang terkandung

dalam substrat semakin berkurang dan adanya metabolit-metabolit sekunder yang

dihasilkan jamur yang mungkin bersifat racun bagi miselium jamur sendiri.

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada media yang sama

kelompok Pleurotus mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan

nutrisi yang tersedia. Pleurotus EB9 mampu memanfaatkan nutrisi yang tersedia

secara optimal, walaupun masih lebih rendah dibanding P. ostreatus HO.

Sedangkan isolat-isolat Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7,

Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 belum optimal dalam memanfaatkan nutrisi

yang tersedia. Hal ini diduga karena isolat tersebut merupakan isolat liar yang

memerlukan adaptasi dengan lingkungan baru. Berdasarkan nilai EB isolat liar

tersebut belum cukup memuaskan jika akan dibudidayakan. Kelima isolat tersebut

diduga juga memerlukan pengujian berupa penambahan faktor nutrisi dengan

komposisi tertentu seperti suplemen untuk dapat memicu pertumbuhannya. Selain

itu, faktor lingkungan seperti RH dan suhu juga mempengaruhi pertumbuhan

jamur, sehingga dapat menjadi faktor untuk meningkatkan petumbuhannya.

Page 87: Jamur Tiram

65

Pada pengukuran kelembaban (RH) dan suhu ruangan yang dilakukan di

rumah tanam cukup bervariasi. Bulan Agustus tahun 2004 merupakan waktu hari

hujan paling sedikit pada tahun tersebut di Bogor. Pada saat substrat produksi

mulai dipindahkan ke ruang pemeliharaan sampai akhir pengamatan, terlihat

kisaran suhu dan kelembaban adalah 26-28oC (suhu pagi), 50-68% (pagi), 26-

28oC (suhu sore) dan 50-78% (sore). Menurut Oei (2003) kelembaban yang

dibutuhkan untuk pemunculan primordia adalah 90%, sedangkan pada saat tubuh

buah mulai berkembang kelembaban yang dibutuhkan lebih rendah yaitu berkisar

antara 80-85% dengan suhu sekitar 25-28oC. Dari data di atas dapat kita lihat

bahwa kisaran kelembaban pada ruang pemeliharaan belum sesuai dengan kondisi

untuk pertumbuhan jamur yang optimum. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

ruang pemeliharaan yang digunakan masih menggunakan cara konvensional atau

manual sehingga sulit untuk mengatur dan mempertahankan kelembaban dan suhu

yang diinginkan. Selama ini untuk mengatur dan mempertahankan kelembaban

dilakukan dengan cara menyirami lantai ruang pemeliharaan yang juga diberi

karung basah, dan penyiraman air dengan menggunakan sprayer tiga kali sehari

terhadap kantung substrat produksi.

2. Fase Vegetatif, Fase Reproduktif dan Jumlah Panen

Lama fase vegetatif sampai reproduktif waktunya sangat beragam dan

relatif lama. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh

nyata terhadap lama fase vegetatif jamur. Sedangkan faktor isolat tidak

berpengaruh nyata terhadap lama fase reproduktif jamur. Demikian juga dengan

faktor isolat tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah panen.

Lama Fase Vegetatif. Pertumbuhan miselium jamur dimulai dari bibit

(spawn) yang berkembang menjadi hifa yang berwarna putih, yang akan

menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa kompleks seperti selulosa,

lignin dan hemiselulosa menjadi fraksi-fraksi yang lebih sederhana (Oei 2003).

Pada umumnya pertumbuhan miselia menyebar menutupi permukaan atas media

terlebih dahulu, kemudian baru bergerak ke bawah dan akhirnya menutupi seluruh

permukaan. Pengamatan lama fase vegetatif atau pertumbuhan miselium masing-

Page 88: Jamur Tiram

66

masing isolat dilakukan saat media diinokulasikan dengan bibit yang dihitung

sebagai hari ke-nol. Pada semua isolat, ternyata membutuhkan lama inkubasi

(lama fase vegetatif) yang berbeda pada isolat yang berbeda untuk mencapai

kondisi kolonisasi penuh sampai bawah dengan miselia yang berwarna putih.

Rata-rata lama fase vegetatif jamur isolat Pleurotus EB14-2 paling lama

yaitu 80,0 hari, dan Pleurotus EB9 mempunyai rata-rata lama fase vegetatif paling

singkat yaitu 14,0 hari. Lamanya fase vegetatif pada kelima isolat yaitu Pleurotus

EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 diduga

karena jenis-jenis ini belum dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru,

karena merupakan jenis liar yang belum pernah dibudidayakan sebelumnya. Hal

ini berbeda dengan P. ostreatus HO, yang sudah lazim dibudidayakan. Dalam

penelitian ini, P. ostreatus HO mengalami lama fase vegetatif yang relatif pendek

yaitu 19,5 hari.

Jamur P. ostreatus biasanya memerlukan lama fase vegetatif antara 39-45

hari (Kartika 1992; Herliyana 2004). Menurut Wulansari (2001), dengan

perlakuan serbuk gergajian sengon yang diberi suplemen bekatul padi (dedak),

pollard gandum dan kapur-gips dengan masing-masing bobot media produksi

1100 gram, jamur P. ostreatus memerlukan lama fase vegetatif berkisar antara 42

sampai 49 hari.

Isolat Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase vegetatif yang sangat

pendek. Diduga isolat ini mempunyai kelebihan dalam mendegradasi bahan

lignoselulosa dengan cepat. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan isolat ini

pada media agar, ternyata Pleurotus EB9 dapat tumbuh pula pada media produksi

dengan lama fase vegetatif yang sangat pendek dan bahkan lebih cepat dibanding

P. ostreatus HO. Perbedaan waktu dan kecepatan untuk mencapai pertumbuhan

maksimum dari ketujuh isolat selain dipengaruhi oleh jenis sumber karbon dan

nitrogen yang dimiliki oleh substrat, juga dipengaruhi oleh kemampuan genetik

masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim untuk memecah

struktur suatu senyawa karbon dan nitrogen, sehingga pada satu isolat

memerlukan waktu yang lebih lama untuk memecah senyawa tersebut. Sesuai

dengan pendapat Higley dan Dashek (1998) bahwa sebagian besar jamur pelapuk

putih menggunakan selulosa dan hemiselulosa mendekati kecepatan yang relatif

Page 89: Jamur Tiram

67

sama, dimana lignin biasanya digunakan pada beberapa jenis jamur dengan

kecepatan yang relatif lebih tinggi. Beberapa jamur pelapuk putih mengubah

lignin dan hemiselulosa secara memilih, tetapi pada prinsipnya mereka

mendegradasi seluruh komponen dinding sel kayu.

Perbedaan waktu dan kecepatan laju pertumbuhan pada media agar dan

media produksi selain dipengaruhi oleh kemampuan menghasilkan enzim-enzim

masing-masing isolat, juga diduga diakibatkan oleh perbedaan sumber-sumber

karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh kedua jenis media tersebut. Media yang

memiliki kadar karbon dan kadar nitrogen yang lebih besar memerlukan waktu

yang lebih lama oleh enzim untuk memecah senyawa yang lebih kompleks

tersebut.

Lama Fase Reproduktif. Lama fase reproduktif diawali dengan

berakhirnya fase vegetatif dan mulai dibukanya kantong substrat dilanjutkan

munculnya pertama kali primordial, kemudian sampai panen pertama, kedua dan

seterusnya sampai panen terakhir. Primordial merupakan miselium yang

membentuk gumpalan-gumpalan kecil seperti simpul benang yang bertambah

besar dan membentuk struktur bulat. Gumpalan miselium yang dibentuk ini

memberikan tanda awal pembentukan tubuh buah (Gunawan 2000). Menurut

Wulansari (2001), P. ostreatus dengan perlakuan serbuk gergajian sengon yang

diberi suplemen 15% bekatul padi (dedak) dan 1,5% gips-kapur waktu panen

pertama paling cepat dibanding perlakuan lainnya yaitu 61,4 hari. Komposisi

media produksi dalam penelitian ini mendekati perlakuan terbaik tersebut,

sehingga diharapkan masing-masing isolat dapat tumbuh dengan baik.

Rata-rata lama fase reproduktif atau lama panen dari mulai panen pertama

sampai panen terakhir paling lama adalah pada jamur isolat Pleurotus EA4 yaitu

199,0 hari dan paling singkat yaitu 112,5 hari untuk isolat Pleurotus EB9.

Perbedaan yang cukup besar pada lama fase vegetatif dan reproduktif pada isolat-

isolat jamur yang diuji menunjukkan tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang

berbeda-beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhannya. Perbedaan

kecepatan untuk lama fase reproduktif dari ketujuh isolat dipengaruhi juga

kemampuan genetik masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim

untuk memecah struktur suatu senyawa karbon dan nitrogen.

Page 90: Jamur Tiram

68

Dari penelitian ini, terlihat kecenderungan semakin cepatnya lama panen

per kantong substrat dari panen-panen sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan

proses degradasi substrat oleh jamur yang semakin sempurna menjelang panen

terakhir, sehingga pada panen-panen terakhir jamur tidak membutuhkan waktu

lama untuk membentuk tubuh buah, oleh karena itu pula pada panen-panen

terakhir produksi tubuh buah semakin menurun.

Jumlah Panen. Rata-rata jumlah panen paling banyak adalah pada isolat

jamur Pleurotus EB14-2 yaitu 6,0 kali. Sedangkan rata-rata jumlah panen paling

sedikit adalah pada Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO yaitu 4,0 kali.

Pleurotus spp. dapat dipanen sebanyak 10-12 kali dari setiap media

produksi pada satu periode penanaman selama 6-7 bulan. Dalam kondisi yang

baik, Pleurotus spp. dapat dipanen sampai 16 kali. Setelah media produksi hanya

menghasilkan tubuh buah yang berukuran kecil sebaiknya diganti dengan bibit

yang baru dari hasil pembiakan yang baik dan mutunya terjamin (Djarijah dan

Djarijah 2001). P. ostreatus yang dibudidayakan dalam substrat serbuk gergajian

dengan suplement bekatul, kapur, gips dan biji jagung dapat dipanen sebanyak

empat hingga lima kali dalam jangka waktu 3-5 bulan (Priyadi dan Akhmadi

2000).

Pleurotus spp. membutuhkan suhu optimal untuk pertumbuhan miselium

dan tubuh buahnya berkisar antara 26(+1)oC dan 28(+1)oC (Chang dan Miles

1989), temperatur optimum untuk pertumbuhan miselium ialah 25-30 0C dan

temperatur optimum untuk pembentukan tubuh buah adalah 20-25 0C dengan

kelembaban 80-85% agar pertumbuhan miselium dan tubuh buah optimal

(Suprapti 1987). Pertumbuhan jamur tiram dalam media produksi dipengaruhi

oleh suhu, kelembaban, kandungan O2 dan CO2, imbangan C/N, mineral, jumlah

substrat dan populasi awal inokulum (Royse 2000) terutama jumlah substrat dan

populasi awal inokulum (Daru 1999).

Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Fisiologis

Dari analisis kelompok berdasarkan karakter fisiologis ini dapat diduga

terdapat dua spesies yang berbeda yang digambarkan dengan adanya dua

Page 91: Jamur Tiram

69

kelompok besar dari enam isolat jamur asal Bogor di atas. Hal ini sesuai dengan

hipotesis kedua yaitu karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies

yang berbeda, yaitu isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu

Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai

kekerabatan lebih dekat dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat

kelompok Pleurotus lainnya.

Simpulan

Dari hasil penelitian ini diharapkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4

sebagai jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi pada AAG dan

AAT yang cukup kuat, terutama Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase

vegetatif yang lebih singkat dibanding isolat yang lain termasuk P. ostreatus HO.

Karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda,

yaitu isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus

EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan

lebih dekat dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat kelompok

Pleurotus lainnya.

Page 92: Jamur Tiram

3. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI PADA TIGA JENIS KAYU

BAHAN PULP

(Ligninolytic Characters of Pleurotus Group Based on The Biodegradation of Three Wood of Pulp)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakter ligninolitik berdasarkan tingkat degradasi isolat-isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO sebagai pembanding standar pada kayu Acacia mangium (akasia), Pinus merkusii (pinus) dan P. falcataria (sengon). Tingkat degradasi diperoleh dari penurunan bobot kering kayu. Pengamatan mikroskopik dilakukan pada kayu yang telah didegradasi tersebut. Bahan yang digunakan adalah kayu berbentuk serpih (chip) berukuran (2,5x2,0x0,5)-(3,0x2,5x0,5) cm, dengan bobot kering 1,05-2,34 gram. Delapan potong chip masing-masing kayu diberi 10 ml media Malt Ekstrak cair dan dikocok sampai menyerap di dalam kantong plastik, kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas berukuran 214 ml (diameter 5,5 cm dan tinggi 9 cm) dan selanjutnya disterilisasi. Setelah steril, kedelapan potong chip kayu dalam botol tersebut diinokulasi dengan cara ditaburi satu gram bibit jamur yang ditumbuhkan pada media jagung pecah. Satu chip kayu per botol diambil untuk pengamatan bobot kering dan satu chip kayu dari botol yang berbeda untuk pengamatan secara mikroskopik. Untuk pengamatan secara mikroskopik, dari contoh chip kayu tersebut, kemudian dibuat preparat mikrotom menggunakan metode Sarajar (1975). Pelunakan contoh kecil kayu dilakukan dengan alkohol dan gliserin. Pembuatan sayatan tipis setebal 15-20 mikron secara radial, tangensial maupun longitudinal dilakukan dengan bantuan alat Sliding Microtome. Pewarnaan dilakukan dengan pemberian lactophenol blue. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Fluorescens Microscope Olympus type Bx 51. Untuk sifat mikroskopik beberapa contoh uji dibuat preparat SEM dengan metode Slayter dan Slayter (1992). Pengamatan terhadap bobot kering chip kayu dan pengamatan secara mikroskopik dilakukan tiap dua minggu selama 8 minggu.

Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp tersebut antara 0,4 sd 40,1%. Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus tersebut antara 1,8 sd 92,3 mg/minggu. Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu pinus (40,1%) pada minggu ke-6, dan tetap tinggi pada kayu akasia (38,1%) pada minggu ke-6. Isolat paling tinggi ke-2 adalah P. ostreatus HO pada akasia (31,8%) pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian kayu akasia dan kayu pinus. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya adalah P.ostreatus HO pada kayu sengon (92,3 mg/minggu) pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-2 adalah Pleurotus EB9 pada kayu sengon (90,7 mg/minggu) pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-3 adalah Pleurotus EB9 pada pinus (86,3 mg/minggu) pada minggu ke-6.

Page 93: Jamur Tiram

71

Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pada tahap awal kolonisasi oleh jamur, miselium mendiami saluran resin dan jari-jari pada kayu pinus. Pada kayu akasia terlihat bahwa miselium mendiami pembuluh dan jari-jari. Pada umumnya miselium melakukan penetrasi melalui noktah-noktah sebagai salah satu cara penyebaran ke sel-sel kayu yang lain. Pada proses pelapukan selanjutnya terlihat kerusakan dan perubahan bentuk pada lamela tengah dan dinding sel sekunder.

Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, biodegradasi, kayu pinus, akasia dan

sengon

Abstract

The purpose of this research was to examine ligninolytic characterization of Pleurotus group from Bogor district based on degradation value of A. mangium, P. merkusii and P. falcataria by means of wood dry weight and microscopic analysis on wood destruction. The isolates were Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 and EB9 in which P. ostreatus HO was used as standard comparison. Materials used are chips of acasia, pine and sengon (2,5x2,0x0,5)-(3,0x2,5x0,5) cm, with dry weight of 1,05-2,34 gram. Eight chips of each wood species were mixed with 10 ml medium Malt Extract liquid and shacked until penetrated. They were then rained into glass bottle with size 213 ml to be sterilized. After sterilized, the chips were inoculated with 1 gram spawn which are grown on corn medium. One chip per bottle was taken for dry weight observation, and other chip per bottle from different bottle was taken for microscopic analysis. For microscopic analysis, microtome slide of chips were prepared using Sarajar method (1975). Chips were maserated with alcohol and gliserine, and then collorated with lactophenol blue. Observation on microscopic character was conducted by using Fluorescens Microscope Olympus type Bx 51 and SEM preparate with Slayter dan Slayter method (1992). Examination of dry weight and microscopic observation were conducted in every 2 weeks for 2 months period.

Wild Pleurotus group showed wide variation in terms of degradation level (0,4-40,1%). Wood decomposition rate of the group ranged from 1,8-92,3 mg/week. Degradation level of Pleurotus EB9 on pine wood was the highest (40,1%) on the 6th weeks. Second’s isolat was Pleurotus EB9 on acacia wood (38,1%) on the 6th weeks. Wood decomposition rate of P.ostreatus HO on sengon wood was highest (92,3 mg/week) on the 2nd weeks. The second highest wood decomposition rate was isolat of Pleurotus EB9 on sengon wood (90,7 mg/week) on the 2nd weeks. Rate of degradation level of Pleurotus EB9 and P.ostreatus HO on sengon wood was the highest, followed by on acacia and pine wood.

Microscopic analysis showed that in the early stage of fungi invasion on pine, mycelium lived in resin tunnel and xyllary rays, while on acasia they lived in vessels and xyllary rays. In general, mycelium was penetrated through nocti as a means to spread further in another of wood cells. On the advanced decay process, there were changes in form and cells damage of middle lamella and secondary cell wall. Keywords: Pleurotus group, biodegradation, pine, acacia and sengon wood

Page 94: Jamur Tiram

72

Pendahuluan

Jamur adalah organisme eukariotik, uniseluler atau multiseluler yang

mempunyai dinding sel berupa khitin atau selulosa sebagai komponen utamanya.

Jamur pelapuk putih lebih menyerang lignin dan meninggalkan warna putih pada

kayu (Fengel dan wegener 1984). Berdasarkan kemampuannya dalam

mendegradasi lignin, jamur pelapuk putih dapat dibedakan atas dua tipe yaitu

simultan dan preferensi. Tipe simultan mendegradasi semua komponen dinding

sel (lignin, hemiselulosa dan selulosa) secara simultan sedangkan tipe preferensi

umumnya mendegradasi lignin (Eriksson et al. 1990). Jamur Phanerochaete

chrysosporium yang banyak diuji potensinya untuk proses biopulping adalah salah

satu contoh jamur pelapuk putih tipe preferensi karena lebih menyerang lignin

(Eaton dan Hale 1993). P. ostreatus diduga berpotensi untuk industri pulp karena

diketahui mendegradasi lignin lebih efisien dibanding P. chrysosporium (Kerem

et al. 1992; Hadar et al. 1993).

Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum banyak

dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Beberapa aktivitas enzim ekstraseluler

kelompok Pleurotus telah dipelajari, diantaranya manganese peroksidase (MnP)

(Kerem et al. 1992). Namun dari beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim

yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam kelompok Pleurotus cukup

bervariasi.

Hasil karakterisasi fisiologis terhadap isolat kelompok Pleurotus asal

Bogor yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 menunjukkan reaksi oksidasi yang

positif pada media AAG dan AAT. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka

perlu dilakukan penelitian karakterisasi secara ligninolitis isolat kelompok

Pleurotus tersebut berdasarkan tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada kayu

bahan pulp.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi ligninolitik enam isolat

kelompok Pleurotus yang ditemukan berdasarkan tingkat degradasi dan laju

dekomposisi pada jenis kayu bahan pulp yaitu A. mangium (akasia) dan

P. merkusii (pinus). Isolat Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO diujikan juga pada

kayu P. falcataria (sengon).

Page 95: Jamur Tiram

73

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2004 sampai Januari 2006 di

Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia

Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi

dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi

FMIPA, IPB, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.

Uji Tingkat Degradasi Oleh Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp

Isolat yang digunakan adalah jamur pelapuk putih Pleurotus EB14-2,

EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO sebagai pembanding

standar. Bahan yang digunakan adalah kayu akasia, pinus dan sengon yang

berbentuk serpih (chip) berukuran (2,5x2,0x0,5)-(3,0x2,5x0,5) cm, dengan bobot

kering 1,05-2,34 gram.

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 3.1 A. Kayu yang digunakan. a. Pinus. b. Akasia. c. Sengon. B.

Pengujian biodegradasi kayu pinus oleh Pleurotus EA4. a Kayu dalam botol yang telah dikolonisasi miselium. b dan c. Kolonisasi miselium pada kayu contoh.

a b c

A

a b c

B

Page 96: Jamur Tiram

74

Chip kayu yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lingkungan

Cangkurawok, IPB, yaitu pinus (umur 30 tahun dengan diameter 40 cm), akasia

(umur 14 tahun dengan diameter 35 cm) dan sengon (umur 8 tahun dengan

diameter 35 cm). Chip kayu diambil dari bagian kayu gubal dan teras, 1 meter dari

pangkal dan disimpan lebih kurang dua minggu sebelum diperlakukan.

Delapan potong chip masing-masing kayu diberi 10 ml media Malt Ekstrak

cair dan dikocok sampai menyerap di dalam kantong plastik, kemudian

dimasukkan ke dalam botol gelas berukuran 214 ml (diameter 5,5 cm dan tinggi 9

cm) secara tidak beraturan dan selanjutnya disterilisasi. Setelah disterilisasi,

kedelapan potong chip kayu dalam botol tersebut diinokulasi dengan cara ditaburi

satu gram bibit jamur yang ditumbuhkan pada media jagung pecah. Satu chip

kayu per botol diambil untuk pengamatan bobot kering dan satu chip kayu dari

botol yang berbeda untuk pengamatan secara mikroskopik. Pengamatan terhadap

bobot kering chip kayu dilakukan tiap dua minggu selama 8 minggu pada suhu

ruang. Tiap perlakuan dilakukan dua ulangan.

Perhitungan Tingkat Degradasi Berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot dan Pendugaan Laju Dekomposisi Kayu

Persentase kehilangan bobot adalah salah satu ukuran adanya biodegradasi

oleh isolat kelompok Pleurotus yang disebut juga tingkat degradasi. Bobot kering

oven (BKO) kayu pada awal dan akhir pengujian diukur, kemudian dihitung

persentase kehilangan bobot kering kayu yang diinokulasikan tersebut setiap 2

minggu sekali menggunakan rumus berikut: Persentase kehilangan bobot kayu minggu ke-t = BKO minggu ke-0 – BKO minggu ke-t x 100% BKO minggu ke-0

Laju dekomposisi kayu diperoleh dengan menggunakan rumus Olson (1963)

berikut: Xt = X0. e –kt

ln (Xt/X0) = -k.t dengan pengertian: Xt = bobot kering kayu setelah waktu pengamatan ke- t (g)

X0 = bobot kering kayu awal (g) k = laju dekomposisi kayu e = bilangan logaritma natural (2,72) t = waktu pengamatan (minggu)

Page 97: Jamur Tiram

75

Analisis Data

Rancangan perlakuan yang diterapkan adalah Rancangan Faktorial dengan

RAL dengan faktor-faktornya adalah jenis kayu, jenis isolat dan waktu

pengamatan. Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS.

Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Yang Terserang

Untuk pengamatan secara mikroskopik, dari contoh chip kayu tersebut,

kemudian dibuat preparat mikrotom menggunakan metode yang umum dipakai di

Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan IPB (Sarajar 1975). Sebelum

pengirisan dengan mikrotom, kayu dibuat lunak dengan perendaman contoh kayu

dalam campuran alkohol 96% dan gliserin (perbandingan 1:1 v/v).

Pembuatan sayatan tipis setebal 15-20 mikron menurut bidang transversal

(melintang/cross), radial maupun tangensial dilakukan dengan bantuan alat

Sliding Microtome. Hasil pengirisan ditetesi dengan zat pewarna lactofenol blue

dan diamati dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100 sampai

1000 kali. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Fluorescens

Microscope Olympus type Bx 51. Untuk sifat mikroskopik beberapa contoh uji

dibuat preparat SEM dengan metode Slayter dan Slayter (1992), pemotretan tipe

JSM-5000 dan ACCV 20kV, pembesaran 100 sampai dengan 2000 kali dan width

yang berbeda-beda. Pengamatan secara mikroskopik dilakukan tiap dua minggu

selama 8 minggu pada suhu ruang. Tiap perlakuan dilakukan dua ulangan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Tingkat Degradasi Oleh Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp

Degradasi kayu diukur dari persen tingkat degradasi berdasarkan

pengurangan bobot kering awal kayu oleh bobot kering akhir kayu dibagi bobot

kering awal kayu dikali 100%. Degradasi kayu juga dapat dilihat dari laju

dekomposisi kayu dengan menggunakan persamaan Olson (1963).

Page 98: Jamur Tiram

76

Tingkat Degradasi Kayu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat degradasi isolat-isolat

kelompok Pleurotus pada kayu bahan pulp berkisar antara 0,4 sampai dengan

40,1%. Isolat Pleurotus EB9 yang memiliki tingkat degradasi yang paling tinggi.

Pada kayu pinus yaitu 40,1% dan Pleurotus EB9 pada kayu akasia (38,1%). Isolat

paling tinggi ke-2 adalah P. ostreatus HO pada akasia (31,8%) (Tabel 3.1).

Tingkat degradasi paling rendah adalah Pleurotus EB9 pada kayu akasia

(0,4%). Rata-rata tingkat degradasi Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO yang

paling tinggi pada kayu sengon, kemudian kayu akasia dan diikuti kayu pinus.

Tabel 3.1 Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon

setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus

Jenis isolat Lama inkubasi (minggu) Tingkat degradasi (%) pinus akasia sengon

Pleurotus EB14-2 2 0.9 2.3 -1) 4 3.2 5.2 - 6 3.6 4.0 - Rata-rata 2.6 3.8 - Pleurotus EB24 2 0.9 2.1 - 4 1.5 5.5 - 6 4.9 3.0 - Rata-rata 2.4 3.5 - Pleurotus EA4 2 1.1 2.3 - 4 3.2 7.5 - 6 5.9 2.3 - Rata-rata 3.4 4.0 - Pleurotus EAB7 2 1.0 1.3 - 4 2.3 6.6 - 6 4.2 3.2 - Rata-rata 2.5 3.7 - Pleurotus EB6 2 0.7 2.4 - 4 1.3 4.0 - 6 3.3 3.0 - Rata-rata 1.8 3.1 - Pleurotus EB9 2 1.3 0.4 16.6 4 12.7 12.2 19.7 6 40.1 38.1 24.7 Rata-rata 18.1 16.9 20.3 P. ostreatus HO 2 1.6 0.6 16.8 4 2.9 3.9 23.5 6 24.3 31.8 19.0 Rata-rata 9.6 12.1 19.8

Keterangan: bobot kering kayu awal pada ketiga jenis kayu dikonversi menjadi 1,5 gram yang dihitung berdasarkan rata-rata bobot kering awal ketiga jenis kayu; 1) Tidak dianalisis

Page 99: Jamur Tiram

77

17.5 a

10.8 b

3.7 c 3.2 c 3.1 c 3.0 c 2.4 c

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

20.0

Jenis Isolat

Ting

kat D

egra

dasi

(%)

1. Pleurotus EB9 2. P. ostreatus HO 3. Pleurotus EA4 4. Pleurotus EB14-25. Pleurotus EAB7 6. Pleurotus EB24 7. Pleurotus EB6

1 765432

Rata-rata tingkat degradasi ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu

pinus dan akasia pada penelitian ini dirangkum pada Gambar 3.2. Pleurotus EB9

mempunyai kemampuan mendegradasi kayu terbesar dan berbeda nyata dibanding

kemampuan mendegradasi kayu oleh isolat standar pembanding P. ostreatus HO

dan kelima isolat liar lainnya.

Gambar 3.2 Pengaruh jenis isolat yang berbeda terhadap rata-rata tingkat

degradasi kayu pinus dan akasia.

Hasil analisis ragam tingkat degradasi oleh kedua isolat Pleurotus EB9

dan P. ostreatus HO pada kayu pinus, akasia dan sengon menunjukkan bahwa

lama inkubasi, jenis kayu, jenis isolat, dan interaksi antara jenis kayu dan lama

inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu.

Tabel 3.2 Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan lama inkubasi

Lama Inkubasi (Minggu) Rata-rata tingkat degradasi

(%)1) 2 4 6

4,1 c 2) 11,1 b 30,7 a

1)Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi pada ketiga jenis kayu (pinus, akasia dan sengon) oleh masing jenis jamur (Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO) 2)Nilai yang diikuti huruf yang sama tiap lajur tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Tingkat degradasi setelah masa inkubasi 8 minggu kembali menurun.

Penurunan ini diduga karena penempatan contoh uji yang tidak teratur sehingga

contoh uji yang diambil paling akhir adalah yang berada paling bawah. Contoh uji

yang di bawah diduga terdegradasi tidak secepat yang bagian di atasnya,

dikarenakan faktor lingkungan yaitu aerasi yang kurang.

Page 100: Jamur Tiram

78

Dilihat dari jenis isolatnya, Pleurotus EB9 mampu mendegradasi ketiga

jenis kayu paling besar bahkan dibanding dengan P. ostreatus HO (Tabel 3.3).

Tabel 3.3 Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan isolat

Jenis Isolat Rata-rata tingkat degradasi (%)1)

Pleurotus EB9 P. ostreatus HO

17,5 a2) 13,8 b

1)Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi pada ketiga jenis kayu (pinus, akasia dan sengon) untuk masing-masing lama inkubasi 2)Nilai yang diikuti huruf yang sama tiap lajur tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan jenis kayunya, secara statistik kedua isolat Pleurotus EB9 dan

P. ostreatus HO dengan masa inkubasi 2, 4 dan 6 minggu menunjukkan rata-rata

tingkat degradasi paling tinggi pada kayu sengon dibanding pada kayu akasia dan

pinus (Tabel 4.4). Interaksi antara jenis kayu dan lama inkubasi menunjukkan

rata-rata tingkat degradasi Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO pada kayu pinus,

akasia dan sengon pada 2, 4 dan 6 minggu inkubasi bervariasi. Pada kayu pinus

dan akasia, terlihat tingkat degradasi dengan masa inkubasi 6 minggu

menunjukkan angka yang paling besar dan berbeda nyata dibanding masa

inkubasi 2 dan 4 minggu. Namun pada kayu sengon, tingkat degradasi oleh kedua

isolat tersebut tidak berbeda nyata (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 Rata-rata tingkat degradasi berdasarkan jenis kayu dan lama inkubasi

Tingkat Degradasi Rata-rata (%)1) Minggu ke- Jenis Kayu

2 4 6

Rata-rata tingkat degradasi (%)3)

Pinus Akasia Sengon

1,5 c2) 0,5 c

16,8 b

7,8 c 8,1 c

23,5 b

32,2 a 34,9 a 19,0 b

13,8 b 14,5 b 19,8 a

1) Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi oleh masing-masing jenis jamur (Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO)

2)Nilai yang diikuti huruf yang sama tiap lajur tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

3)Diperoleh dari rata-rata tingkat degradasi oleh masing-masing jenis jamur (Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO) untuk masing-masing lama inkubasi

Bobot Kering Sisa Kayu

Bobot kering sisa kayu pinus yang diperoleh dari nilai tingkat degradasi,

setelah diinokulasikan dengan isolat Pleurotus cenderung menurun seiring dengan

lamanya masa inkubasi. Sebagai contoh pada bobot kering sisa kayu oleh

Page 101: Jamur Tiram

79

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

Bob

ot K

erin

g Si

sa K

ayu

(Gra

m)

1) 0 minggu 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500

2) 2 minggu 1.486 1.486 1.483 1.485 1.489 1.480 1.477

3) 4 minggu 1.452 1.478 1.451 1.465 1.480 1.309 1.456

4) 6 minggu 1.445 1.427 1.412 1.436 1.451 0.898 1.135

Pleurotus EB14-2

Pleurotus EB24

Pleurotus EA4

Pleurotus EAB7

Pleurotus EB6

Pleurotus EB9

P. ostreatus HO

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

Bob

ot K

erin

g Si

sa K

ayu

(Gra

m)

1) 0 minggu 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500

2) 2 minggu 1.465 1.469 1.466 1.481 1.465 1.495 1.492

3) 4 minggu 1.422 1.417 1.387 1.402 1.440 1.317 1.441

4) 6 minggu 1.440 1.455 1.466 1.452 1.456 0.929 1.023

Pleurotus EB14-2

Pleurotus EB24

Pleurotus EA4

Pleurotus EAB7

Pleurotus EB6

Pleurotus EB9

P. ostreatus HO

Pleurotus EB9 yang semakin menurun setelah masa inkubasi minggu ke-6

(Gambar 3.3).

Gambar 3.3 Bobot kering sisa kayu pinus setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus.

Demikian juga bobot kering sisa kayu akasia setelah diinokulasi dengan

Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO. Terlihat kecenderungan menurun seiring

lamanya waktu inkubasi. Pada Gambar 3.4, terlihat kecenderungan menurunnya

bobot kering sisa kayu akasia setelah inokulasi oleh kelima isolat lainnya, namun

pada minggu ke-6 terlihat bobot kering sisa kayu kembali meningkat. Sebagai

contoh pada bobot kering sisa kayu setelah diinokulasi dengan Pleurotus EA4

semakin menurun sampai minggu ke-4, namun pada minggu ke-6 terlihat bobot

kering sisa kayu yang kembali meningkat.

Gambar 3.4 Bobot kering sisa kayu akasia setelah inokulasi oleh tujuh isolat

kelompok Pleurotus.

Page 102: Jamur Tiram

80

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

Bob

ot K

erin

g Si

sa K

ayu

(Gra

m)

1) 0 minggu 1.500 1.500

2) 2 minggu 1.251 1.247

3) 4 minggu 1.205 1.148

4) 6 minggu 1.130 1.216

Pleurotus EB9 P. ostreatus HO

Pada kayu sengon, bobot kering sisa kayu diperoleh dari nilai tingkat

degradasi, terlihat kecenderungan menurun setelah diinokulasi oleh Pleurotus

EB9 sampai minggu ke-4, dan kembali meningkat pada minggu ke-6 (Gambar

3.5). Pada Gambar 4.5 juga terlihat kecenderungan menurunnya bobot kering sisa

kayu sengon setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO sampai minggu ke-6.

Gambar 3.5 Bobot kering sisa kayu sengon setelah inokulasi oleh Pleurotus EB9

dan P. ostreatus HO.

Laju Dekomposisi Kayu

Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus bervariasi antara 1,8

sampai dengan 92,3 mg/minggu. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya adalah

P.ostreatus HO pada kayu sengon (92,3 mg/minggu) pada minggu ke-2, kemudian

paling tinggi ke-2 diikuti oleh Pleurotus EB9 pada kayu sengon (90,7 mg/minggu)

pada minggu ke-2, kemudian Pleurotus EB9 pada pinus (86,3 mg/minggu) pada

minggu ke-6. Isolat paling rendah laju dekomposisinya adalah Pleurotus EB9

pada kayu akasia yaitu sebesar 1,2 mg/minggu pada masa inkubasi 8 minggu

(Tabel 3.5).

Page 103: Jamur Tiram

81

Tabel 3.5 Laju dekomposisi pada kayu bahan pulp pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi oleh isolat kelompok Pleurotus

Jenis isolat Lama inkubasi (minggu) k (laju dekomposisi)

(mg/minggu) pinus akasia sengon

Pleurotus EB14-2 2 4.6 11.7 -1) 4 8.1 13.4 - 6 6.2 6.8 - Rata-rata 6.3 10.6 - Pleurotus EB24 2 4.7 10.5 - 4 3.7 14.2 - 6 8.4 5.1 - Rata-rata 5.6 9.9 - Pleurotus EA4 2 5.7 11.6 - 4 8.2 19.6 - 6 10.1 3.8 - Rata-rata 8.0 11.7 - Pleurotus EAB7 2 5.0 6.3 - 4 5.9 17.0 - 6 7.2 5.5 - Rata-rata 6.0 9.6 - Pleurotus EB6 2 3.7 11.9 - 4 3.3 10.1 - 6 5.6 5.0 - Rata-rata 4.2 9.0 - Pleurotus EB9 2 6.7 1.8 90.7 4 34.1 32.9 54.8 6 86.3 80.4 47.2 Rata-rata 42.4 38.4 64.2 P. ostreatus HO 2 7.9 2.8 92.3 4 7.4 10.0 67.0 6 46.5 64.3 35.0 Rata-rata 20.6 25.7 64.8

Keterangan: bobot kering kayu awal pada ketiga jenis kayu dikonversi menjadi 1,5 gram yang dihitung berdasarkan rata-rata bobot kering awal ketiga jenis kayu; 1) Tidak dianalisis

Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Pada Tabel 3.6 terlihat secara ringkas hasil pengamatan mikroskopis

jaringan kayu setelah diinokulasi oleh kelompok Pleurotus. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ketujuh isolat kelompok Pleurotus dapat mengkolonisasi dan

mendegradasi kedua jenis kayu tersebut yaitu pinus (Gambar 3.6 dan 3.7) dan

akasia (Gambar 3.8, 3.9 dan 3.11). Hanya Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO,

yang juga diinokulasikan pada kayu sengon dan kedua isolat tersebut juga dapat

mengkolonisasi dan mendegradasi kayu sengon (Gambar 3.12).

Page 104: Jamur Tiram

82

Tabel 3.6 Tanda-tanda kerusakan kayu secara mikroskopis pada kayu pinus, akasia dan sengon setelah diinokulasi dengan isolat kelompok Pleurotus

Jenis isolat Kerusakan kayu secara mikroskopis

Lama inkubasi (minggu) pinus akasia sengon

Pleurotus EB14-2 2 Kolonisasi miselium

pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium pada

pembuluh, jari-jari -1)

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela

tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi -

Pleurotus EB24 2 Kolonisasi miselium

pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh, jari-jari -

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela

tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi -

Pleurotus EA4 2 Kolonisasi miselium

pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh, jari-jari -

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela

tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi -

Pleurotus EAB7 2 Kolonisasi miselium

pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh, jari-jari -

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela

tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi -

Pleurotus EB6 2 Kolonisasi miselium pada

saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh, jari-jari -

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim) -

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela

tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi -

Pleurotus EB9 2 Kolonisasi miselium

pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh,jari-jari

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim)

Miselium menyebar melalui noktah sel ke

sel lainnya (serat, parenkim)

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan lamela

tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi

P. ostreatus HO 2 Kolonisasi miselium

pada saluran resin, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh, jari-jari Kolonisasi miselium

pada pembuluh,jari-jari

4

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (parenkim, trakeid dsb).

Miselium menyebar melalui noktah sel ke sel lainnya (serat, parenkim)

Miselium menyebar ke sel lainnya (serat, parenkim) melalui

noktah

6

Dinding sel sekunder berlubang-lubang

dan lamela tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi

Dinding sel sekunder berlubang-lubang dan

lamela tengah terdegradasi

2) Tidak dianalisis

Page 105: Jamur Tiram

83

Hasil pengamatan pada kayu pinus dengan bantuan mikroskop cahaya

maupun SEM, pada minggu ke-2, terlihat miselium jamur Pleurotus mengkoloni

sel jari-jari dan saluran resin, menyebar melalui noktah dan masuk ke dalam

lumen trakeid. Pada minggu ke-4, miselium terlihat menyebar ke sel-sel lain di

sekitarnya seperti lumen trakeid dan parenkim melalui noktah sel. Pada minggu

ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari, lumen sel-sel parenkim dan trakeid

serta saluran resin dengan lebih merata, dan dinding sel dan jari-jari telah

terdegradasi dan ada yang sudah terlepas (Gambar 3.7). Miselium sudah

mengkoloni noktah, lumen trakeid, sel jari-jari dan sel trakeid dan sudah nampak

dinding sel sekunder dan lamela tengah terdegradasi. Pada minggu ke-8, dinding

sel sekunder dan lamela tengah sudah terdegradasi (Gambar 3.7). Isolat-isolat

kelompok Pleurotus mendegradasi kayu secara enzimatik yang menyebabkan

kayu terlihat semakin rapuh dan terjadi perubahan warna seiring dengan

bertambahnya waktu inkubasi.

Pengamatan pada bidang transversal kayu, sudah terlihat terjadinya

degradasi secara enzimatik pada minggu ke-2, terutama pada dinding sel dan

lamela tengah sel-sel kayu. Dinding sel dan lamela tengah sel-sel jari-jari, sel-sel

parenkim dan trakeid serta saluran resin tampak mengembang, berlubang-lubang

bahkan ada yang robek dan selnya terlepas. Hal ini berbeda dibanding sel-sel kayu

tanpa perlakuan (kontrol), tampak utuh dan teratur. Secara umum dapat dilihat

bahwa pada minggu ke-6 dan ke-8, sel-sel kayu yang terdegradasi lebih banyak

dibandingkan minggu-minggu sebelumnya.

Hasil pengamatan pada kayu akasia, pada minggu ke-2, terlihat miselium

jamur Pleurotus mengkoloni sel jari-jari dan pembuluh, menyebar melalui noktah

dan masuk ke dalam lumen serat. Pada minggu ke-4, miselium terlihat menyebar

ke sel-sel lain di sekitarnya seperti serat dan parenkim melalui noktah sel. Pada

minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari, lumen sel-sel serat dan

parenkim serta saluran pembuluh dengan lebih merata dan dinding sel dan jari-jari

sudah terdegradasi dan ada yang terlepas. Pada minggu ke-8, dinding sel sekunder

dan lamela tengah sudah terdegradasi. Isolat-isolat Pleurotus mendegradasi kayu

secara enzimatik yang menyebabkan kayu terlihat semakin rapuh seiring dengan

bertambahnya waktu inkubasi.

Page 106: Jamur Tiram

84

Pengamatan pada bidang transversal kayu, sudah terlihat terjadinya

degradasi secara enzimatik pada minggu ke-2, terutama pada dinding sel dan

lamela tengah sel-sel kayu. Dinding sel dan lamela tengah sel-sel jari-jari, sel-sel

serat dan parenkim serta saluran pembuluh tampak mengembang, berlubang-

lubang bahkan ada yang robek dan selnya terlepas. Hal ini berbeda dibanding sel-

sel kayu tanpa perlakuan (kontrol), tampak utuh dan teratur. Warna dinding

sekunder sel-sel yang terdegradasi nampak terang. Perubahan warna tersebut

diduga karena degradasi bahan-bahan polimer penyusun kayu terutama pada

ligninnya sehingga warnanya menjadi lebih terang. Secara umum dapat dilihat

bahwa pada minggu ke-6 dan ke-8, sel-sel kayu yang terdegradasi lebih banyak

dibandingkan minggu-minggu sebelumnya.

Dalam penelitian ini, kayu sengon diujikan terhadap dua isolat Pleurotus

EB9 dan P. ostreatus HO. hasil pengamatan menunjukkan bahwa isolat tersebut

dapat mengkoloni dan mendegradasi kayu sengon. Hasil pengamatan pada kayu

sengon dengan bidang radial dan tangensial baik dengan bantuan mikroskop

cahaya, menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 mengkoloni sel jari-jari dan pori,

menyebar melalui noktah dan masuk ke dalam lumen serat. Pada minggu ke-4,

miselium menyebar ke sel-sel lain di sekitarnya seperti lumen serat dan parenkim

melalui noktah sel. Pada minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari,

lumen sel-sel parenkim dan serat serta pori dengan merata serta dinding sel sudah

terdegradasi. Isolat jamur Pleurotus mendegradasi kayu secara enzimatik yang

menyebabkan kayu terlihat semakin rapuh dan terjadi perubahan warna seiring

dengan bertambahnya waktu inkubasi.

Page 107: Jamur Tiram

85

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 3.6 A. Bidang transversal kayu pinus kontrol (1 dan 2). a. Saluran resin, b. Jari-jari, c. Sel

parenkim yang nampak lebih persegi dan berdinding tipis dan d. Trakeid yang nampak bulat dan berdinding tebal. (3) kayu pinus setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah inkubasi 6 minggu, dinding sel sekunder mengembang dan berlubang-lubang dan lamela tengah rusak (tanda panah). B. Bidang radial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 2 minggu (1), Pleurotus EB9 setelah inkubasi 4 minggu (2) dan 6 minggu (3). Mikrograf cahaya. 1(a) dan 2(a). Miselium menyebar melalui noktah. 1(b). Miselium di dalam sel jari-jari. 3(a). Miselium di dalam lumen sel trakeid. C. Bidang transversal kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 8 minggu (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Lumen sel trakeid. 1(b). Lamela tengah yang berwarna gelap. 1(c). dinding sel yang terdegradasi dan terlepas. 2(a). Miselium dalam lumen trakeid. 2(b). Sel trakeid yang dinding sekundernya terdegradasi.

2 10 µm 3 10 µm

a

b c d

50 µm 1

A

2

a

10 µm 3

a

10 µm 1

a

b

10 µm

B

2

a

b

10 µm 1

a

b c

10 µm

C

Page 108: Jamur Tiram

86

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 3.7 A. Bidang transversal kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah

inkubasi 6 minggu (1 dan 2). 1(a). Lumen saluran resin. 1(b) dan 2(b). Sel parenkim. 1(c) dan 2(a). Miselium dalam saluran resin. 1(d) dan 2(d). Sel trakeid. 2(c). Jari-jari yang terdegradasi dan terlepas. B. Bidang tangensial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 6 minggu (1 dan 2). 1(a). Saluran resin. 1(b). Sel trakeid yang terlepas. 1(c). Jari-jari. 2(a). Miselium yang mengkolonisasi sel jari-jari. 2(b). Koloni miselium. 2(c). Sel jari-jari. C. Bidang tangensial kayu pinus setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah inkubasi 6 minggu (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Miselium yang menyebar melalui noktah sel. 1(b). Miselium dalam lumen trakeid. 1(c) Miselium yang mengkolonisasi sel jari-jari. 2(a). Koloni miselium yang menebal dan mengkoloni sel trakeid dan jari-jari. 2(b). Miselium dalam lumen sel trakeid.

A

a

b c

d

10 µm

e

2

a

b

d

c

10 µm

1

1

a

b

c

50 µm 2

a b

10 µm

c

B

1

a

b c

10 µm

2

a b

10 µm

C

Page 109: Jamur Tiram

87

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.8 A. Bidang transversal kayu akasia kontrol (1) dan (2). 1(a). Pembuluh (pori), (b). Jari-

jari, (c). Sel parenkim nampak lebih persegi dan berdinding tipis dan (d). Serat nampak bulat dan berdinding tebal. 3. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EA4 setelah 4 dan (4) 8 minggu inkubasi, dinding sel sekunder nampak mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). B. Bidang transversal kayu akasia kontrol (1) dan bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EAB7 setelah 8 minggu inkubasi (2), dinding sel sekunder nampak mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah 2 (1), 4 (2), 6 (3) dan 8 minggu inkubasi (4), dinding sel sekunder terlihat mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). D. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 (1, 2, 3 dan 4), dan 8 minggu inkubasi (5), dinding sel sekunder nampak mengembang dan berlubang-lubang serta lamela tengah terdegradasi (tanda panah). Mikrograf cahaya.

1 10 µm 2 10 µm

3 10 µm 4 10 µm

3 2 10 µm 10 µm 4 10 µm

B

a

b

c d

50

A

1

1 2 10 µm 10 µm

B

C

1 10 µm 2 10 µm 3 10 4 10 µm 5 10

D

Page 110: Jamur Tiram

88

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.9 A. Bidang tangensial kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB14-2

setelah 2 (1), 4 (2) dan 8 minggu inkubasi (3). 1(a). Miselium menyebar melalui noktah. 1(b). 3(b). Miselium di dalam jari-jari. 2(c). Miselium di dalam lumen serat. B. Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 (1) dan 8 minggu inkubasi (2). Mikrograf cahaya. (a). Miselium menyebar melalui noktah. (b). Miselium di dalam jari-jari. (c). Miselium di dalam lumen serat. C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Terlihat serat yang dinding sekundernya terdegradasi. 1(b), 2(b). Lamela tengah yang juga terdegradasi. 2(c). Jari-jari berlubang dan lepas.

1 2 3

a

b b

c

10 µm 10 µm 10 µm

ab

b

c

1 2

10 µm

10 µm

a

a b

b

1

c

10 µm

b

b

2c

10

A

B

C

Page 111: Jamur Tiram

89

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 3.10 A. Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6

minggu inkubasi (1 dan 2). 1(a). Jari-jari, dan sel jari-jari yang lepas 1(a1) dan miselium dalam jari-jari 2(a). 2(b). Miselium dalam lamela tengah sel serat. 2(c). Noktah sel. B. Bidang tangensial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (1 dan 2). 1(a) dan 2(a). Jari-jari, dan miselium dalam sel jari-jari 2(a). 2(b). Lumen sel serat (tanda panah). C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (1 dan 2). Mikrograf SEM. 1(a). Pori (saluran pembuluh) yang dikolonisasi oleh miselium. 1(b). Sel parenkim. 2(a1). Miselium yang mengkolonisasi pori. 2(b). Noktah sel. 2(c). Dinding sel sekunder yang telah terdegradasi. 2(d). Lamela tengah yang telah terdegradasi.

b c

a

2

10 µm

a

a

1 50 µm

A

1

a 10 µm

2

b

a

10 µm

B

2

a1

b

c

d

10 µm

a

1 10 µm b

C

Page 112: Jamur Tiram

90

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 3.11 Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (A, B, C dan D). Mikrograf SEM. A(1a). Sel jari-jari, A(1b). Pori (saluran pembuluh) yang dikolonisasi oleh miselium. A(2a). Sel Serat yang terlepas. B(1a). Miselium yang mengkolonisasi pori dan menyebar masuk melalui noktah, dinding sel sekitar noktah terlihat berwarna putih karena terdegradasi. B(1b). Koloni miselium. B(2a). B(2b). Miselium yang mengkolonisasi lubang pori. B(2c). B(2d). Dinding sel pori yang terdegradasi dan robek. C(1a). Noktah sel serat. C(1b). Lubang sel parenkim. C(2a). Sel serat yang terlepas. C(2b). Diduga struktur dari bakal tubuh buah jamur. D(1a) dan D(2a). Miselium yang masuk melalui noktah, dinding sel sekitar noktah nampak berwarna putih karena terdegradasi. D(2b). Sambungan apit miselium.

a

1 b 50 µm

a

2

10 um

1

a

b

10 µm

2

a

b10 µm

1

a

b

10 µm

a

b

c

2 d10 µm

1

a

10 µm 2

a

b

10 µm

A

B

C

D

Page 113: Jamur Tiram

91

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 3.12. A. Bidang transversal kayu sengon kontrol terlihat sel-selnya utuh (1) dan bidang transversal kayu sengon setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi (2 dan 3). A(1a). Pembuluh (pori), A(1b). Jari-jari. A(1c). Sel parenkim nampak lebih persegi dan berdinding tipis. A(1d). Serat nampak bulat dan berdinding tebal. A(2a) dan A(3a). Miselium mengkoloni pembuluh. A(2b). Jari-jari terdegradasi jamur dan menipis dinding sel sekundernya. A(2c) dan A(3c). Dinding sel sekunder dan lamela tengah terdegradasi. A(3b). Dinding sel sekunder mengembang dan nampak lamela tengah berwarna gelap. B. Penampakan irisan tangensial kayu sengon setelah inokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah 2 minggu inkubasi (1 dan 2). B(1a). Miselium mengkolonisasi jari-jari. B(2a). Miselium di dalam lumen serat. B(2b) dan B(2c). Miselium menyebar melalui noktah. B(2d). Miselium menembus dinding sel serat (tanda panah). Mikrograf cahaya.

Pembahasan

Tingkat Degradasi dan Laju Dekomposisi Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp, Serta Bobot Kering Sisa Kayu

Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa ke tujuh isolat

kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9,

dengan P. ostreatus HO sebagai isolat pembanding dapat mengkolonisasi dan

mendegradasi kayu pinus dan akasia. Sedang untuk kayu sengon, hanya isolat

Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO, yang dapat mengkolonisasi dan

1

ab c

d

10 µm 3

a

b c

10 µm 2

c

a

b

10 µm

1 a

a

b

c

2

d

10 µm

50 µm

A

B

Page 114: Jamur Tiram

92

mendegradasinya, untuk lima isolat kelompok Pleurotus lainnya terhadap kayu

sengon tidak tercatat. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan

P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian diikuti kayu

akasia dan kayu pinus.

Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus tersebut adalah antara

1,8 sampai dengan 92,3 mg/minggu. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya

adalah P.ostreatus HO pada kayu sengon (92,3 mg/minggu) pada minggu ke-2.

Isolat paling tinggi ke-2 adalah Pleurotus EB9 pada kayu sengon (90,7

mg/minggu) pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-3 adalah Pleurotus EB9

pada pinus (86,3 mg/minggu) pada minggu ke-6.

Isolat paling rendah laju dekomposisinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu

akasia sebesar 1,2 mg/minggu pada lama inkubasi 8 minggu. Penurunan bobot

kering kayu berbanding lurus dengan tingkat degradasi maupun dengan laju

dekomposisi. Tingkat degradasi dan laju dekomposisi kayu pinus dan akasia

cenderung meningkat seiring dengan lamanya masa inkubasi. Namun tingkat

degradasi dan laju dekomposisi pada minggu ke-8 tampak menurun. Hal ini

diduga disebabkan oleh bobot kering awal kayu yang berbeda, tidak meratanya

penempatan sampel di dalam botol dan dimulainya inokulasi oleh isolat jamur

yang tidak seragam.

Bobot kering awal kayu yang berbeda diduga menyebabkan tidak

meratanya degradasi pada contoh uji. Namun, dilihat dari tingkat degradasi,

perbedaan tersebut pengaruhnya sedikit, oleh karena itu bobot kering awal dalam

perhitungan selanjutnya dikonversi menjadi 1,5 gram, yang merupakan rata-rata

bobot kering awal ketiga jenis kayu. Tingkat degradasi tidak berubah, namun laju

dekomposisi ada yang berubah. Pada Pleurotus EA4, terlihat laju dekomposisi

pada bobot kering kayu awal yang dikonversi sama dengan laju dekomposisi pada

bobot kering kayu awal yang tidak dikonversi.

Satu isolat jamur pada satu jenis kayu, yang mempunyai tingkat degradasi

yang rendah belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang rendah ataupun

sebaliknya, Satu isolat jamur pada satu jenis kayu yang mempunyai tingkat

degradasi yang tinggi juga belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang tinggi.

Page 115: Jamur Tiram

93

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kayu pinus secara keseluruhan

lebih sukar mengalami biodegradasi dibanding kayu sengon dan akasia. Hal ini

diduga disebabkan adanya suatu zat ekstraktif yang sangat penting pada pinus,

yaitu resin yang dihasilkan pada saluran resin. Saluran resin adalah suatu ruang

antar sel yang dikelilingi oleh sel-sel parenkim khusus yang mengeluarkan resin

ke dalam saluran tersebut. Resin ini diduga mempunyai peranan penting dalam

menolak serangan serangga ataupun penyerang-penyerang lain (Haygreen dan

Bowyer 1986). Zat ekstraktif mempunyai nilai yang penting, antara lain: kayu

menjadi tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan

warna pada kayu. Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel

parenkim jari-jari. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat

diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Tiap jenis

kayu memiliki ekstraktif yang berbeda-beda, baik dalam hal sifat maupun daya

racunnya (Fengel dan Wegener 1984).

Struktur dan komposisi lignin juga mempengaruhi tingkat degradasi suatu

isolat jamur. Lignin pada kayu daun jarum berbeda dibandingkan lignin pada kayu

daun lebar, struktur maupun komposisinya. Hal ini berpengaruh terhadap sifat-

sifat seperti ketahanan terhadap serangan mikroorganisme, degradasi dan juga

dalam teknologi pengolahannya dan sebagainya. Lignin kayu daun lebar disusun

oleh koniferil alkohol dan sinafil alkohol dengan suatu perbandingan tertentu

tergantung pada faktor tempat tumbuh dan spesies yang secara umum lebih

mudah diuraikan oleh jamur pelapuk putih dibanding lignin pada kayu daun jarum

yang hanya disusun oleh koniferil alkohol dan sangat sedikit sinafil alkohol (Faix

et al. 1985 dalam Reid et al. 1990). Selain itu, selulosa pada kayu akasia dan

sengon (kayu daun lebar) mempunyai derajat polimerisasi (DP) yang lebih kecil

(serat pendek), sedangkan pada pinus (kayu daun jarum) mempunyai DP yang

lebih besar (serat panjang). Serat yang pendek akan lebih mudah terurai dibanding

serat panjang. Namun demikian, suatu jenis jamur pelapuk putih relatif berbeda

dalam kecepatan meniadakan komponen utama kayu dengan jenis jamur pelapuk

putih yang lain. Perbedaan tersebut dengan jelas mencerminkan perbedaan dalam

kegiatan enzim-enzimnya (Nicholas 1987).

Page 116: Jamur Tiram

94

Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Pengamatan kayu pada bidang radial dan tangensial dengan menggunakan

mikroskop cahaya maupun SEM, miselium isolat Pleurotus terlihat mengkoloni

sel jari-jari kemudian pada minggu ke-4 menyebar ke sel-sel lain di sekitarnya

melalui noktah sel dan pada minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari,

lumen sel-sel parenkim dan trakeid serta saluran resin.

Struktur kayu akasia dan sengon (kayu daun lebar) berbeda dengan kayu

pinus (kayu daun jarum). Kayu daun lebar tersusun atas jenis-jenis sel yang

berbeda dengan variasi proporsi yang luas dan terlihat lebih kompleks. Namun

cara serangan isolat-isolat jamur yang diinokulasikan pada kayu akasia dan

sengon hampir mirip dengan pada pinus. Pada tahap awal pelapukan yaitu minggu

ke-2, miselium isolat kelompok Pleurotus terlihat mengkoloni sel jari-jari, dan

pada minggu ke-4, melalui noktah-noktah, miselium masuk dan menyebar ke

struktur kayu. Pada minggu ke-6 dan ke-8 noktah-noktah dan sel-sel terlihat rapuh

akibat pengikisan oleh enzim-enzim yang dihasilkan miselium jamur, sebagian

susunannya sudah tidak teratur dan beberapa ikatan penyusunnya sudah terlepas.

Pada kayu sengon, pada minggu ke-2 miselium Pleurotus EB9 menembus dinding

sel secara langsung tanpa melalui noktah.

Hasil pengamatan mikroskopik pada kayu pinus oleh P. ostreatus HO,

memperlihatkan adanya dua tipe pelapukan yang berbeda, yaitu dinding sel

sekunder terdegradasi lebih dulu dibanding lamela tengahnya, serta yang kedua,

lamela tengah dan dinding sel sekunder terdegradasi secara bersamaan.

Berbagai spesies kayu mempunyai ciri-ciri khas yang unik yang

memungkinkan satu spesies berbeda dari lainnya, demikian pula halnya dengan

mikroorganisme yang mengkoloni dan mendegradasi kayu. Bentuk degradasi ini

merupakan sesuatu yang dihasilkan dari kombinasi struktur dan komposisi kayu

serta sifat-sifat mikroorganisme penyerang, dalam hal ini jamur pelapuk putih

kelompok Pleurotus.

Kayu tersusun atas beberapa tipe sel yang berbeda. Struktur kayu akasia

dan sengon (kayu keras) lebih kompleks dibandingkan dengan struktur kayu pinus

(kayu lunak). Menurut Wilcox (1987), satu ciri struktural dinding-dinding semua

sel kayu yang mempunyai arti sangat penting dalam degradasi adalah noktah.

Page 117: Jamur Tiram

95

Pada umumnya noktah itu terdiri atas sebuah lubang lewat dinding sel yang

sebagian tersumbat oleh suatu selaput. Noktah-noktah itu menyediakan jalan

untuk penyebaran antar sel bagi organisme yang mempunyai kemampuan terbatas

untuk melakukan penetrasi langsung di dinding sel. Karena kayu pada dasarnya

adalah sistem tertutup, miselium jamur harus masuk lewat dinding sel atau

selaput-selaput noktah agar dapat secara sempurna merembes ke struktur kayu.

Sifat dinding miselium yang kaku di bagian belakang ujung miselium dan

sistem percabangan miselium yang kompleks memungkinkan miselium yang lebih

tua umurnya akan melekat erat pada substrat. Dengan demikian secara desakan

mekanis ujung miselium dapat memanjang ke depan. Kemampuan tersebut

ditambah dengan dihasilkannya enzim ekstraselular yang menguraikan substrat

kayu mengakibatkan miselium mampu membuat lubang kecil menembus dinding

sel kayu. Sistem percabangan miselium yang menyebar memungkinkan miselium

menguasai substrat jaringan kayu secara menyeluruh.

Pengaruh-pengaruh anatomik yang dihasilkan oleh isolat-isolat jamur yang

diujikan tampak seragam. Pada tahap awal penyerangan oleh jamur, terlihat

bahwa miselium jamur pelapuk putih mendiami saluran resin dan jari-jari pada

kayu pinus. Pada kayu akasia terlihat bahwa miselium jamur mendiami pembuluh-

pembuluh dan jari-jari. Penelitian ini memperkuat simpulan Wilcox (1987),

bahwa jari-jari dalam struktur kayu daun jarum penting dalam degradasi kayu. Sel

jari-jari menjadi jalan bagi distribusi transversal bahan-bahan simpanan, dan juga

dapat menjadi jalan menyebarnya miselium ke sel-sel lain disekitarnya. Jamur

pelapuk putih sering mendegradasi lignin dan selulosa secara progresif terhadap

serat kayu daun lebar dan trakeid kayu daun jarum yaitu dari lumen dan maju ke

luar ke arah lamela tengah yang mengakibatkan penipisan dinding, walaupun

kecepatan dekomposisi kedua komponen itu mungkin berbeda.

Simpulan

Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu

pinus (40,1%) dan pada kayu akasia (38,1%). Isolat paling tinggi ke-2 adalah P.

ostreatus HO pada akasia (31,8%) pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi

Page 118: Jamur Tiram

96

oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi,

kemudian diikuti kayu akasia dan pinus.

Hasil analisis ragam ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu pinus

dan akasia menunjukkan bahwa lama inkubasi, jenis isolat, dan interaksi antara

jenis isolat dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu.

Besar penurunan bobot kering kayu berbanding lurus dengan tingkat

degradasi maupun dengan laju dekomposisi. Cara serangan isolat-isolat jamur

yang diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip dengan cara

serangannya pada pinus.

Page 119: Jamur Tiram

4. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI SUBSTRAT GERGAJIAN

KAYU SENGON

(Ligninolytic Characters of Pleurotus Group Based on the Biodegradation of Sengon-wood Sawdust Substrate)

Abstrak

Jamur pelapuk putih mulai dikembangkan untuk mengembangkan industri

berbasis jamur di banyak negara diantaranya dalam proses teknologi biobleaching dan biopulping yang berwawasan lingkungan. Di Bogor, enam isolat kelompok Pleurotus liar sudah diisolasi dari beberapa lokasi yaitu Pleurotus EAB7, EB24, EB14-2, EB6, EA4 dan EB9, dan dipelajari karakter ligninolitiknya. Pleurotus ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar.

Aktivitas ligninolitik keenam isolat jamur ini diukur setelah ditumbuhkan pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dalam kantong dengan bobot sekitar 400 gram, bahan tambahan lain adalah dedak, gips dan kapur serta rata-rata kadar air 70,1%. Pengamatan dilakukan pada fase vegetatif, tepatnya saat miselium memenuhi media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong dan pada fase reproduktif (pada saat panen 1, 2, 3 dan 4). Contoh uji, yaitu media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong tersebut, dibuka dan dihancurkan dengan menggunakan blender khusus (Hammer Mill), kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC selama 4-6 hari sampai kadar air sekitar 15% dan ditimbang sekitar 30 gram untuk bahan analisis. Analisis dilakukan dengan mengukur kadar zat ekstraktif larut dalam air (Standar TAPPI T 207 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam NaOH 1% (Standar TAPPI T 212 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-Benzena (Standar TAPPI T 204 om-88), analisis kadar lignin (Standar TAPPI T 13 os-54), dan analisis kadar holoselulosa dengan metoda browning (Standar TAPPI T 211 m) dan analisis kadar selulosa Cross dan Bevan (Meulenhoff et al. 1977; TAPPI 1996).

Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Masing-masing isolat kelompok Pleurotus liar menunjukkan variasi dalam rata-rata penurunan kadar lignin (10,7-89,7%) dan selulosa (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin substrat terbesar (89,7%) dan kadar selulosa terbesar (87,4%). Antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda. Isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif.

Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, karakter ligninolitik, substrat serbuk

gergajian kayu sengon

Page 120: Jamur Tiram

98

Abstract

White-rot fungi has been started to be developed for enhancing the mushroom based industry in many countries including in environmentally sound of biobleaching and biopulping technological process. Six isolates of wild Pleurotus group were isolated from various location in Bogor, namely Pleurotus EAB7, EB24, EB14-2, EB6, EA4 and EB9 of which were studied of their ligninolytic character. P. ostreatus HO was used as standard comparison.

The ligninolytic character of these six fungi isolates was measured after inoculation into sengon (P. falcataria) wood sawdust substrate inside plastic bag with substrate weight of about 400 gramm, other additional substances were paddy scalp, gypsum, calcium and water. Observation was done on sengon wood sawdust substrate since vegetative phase until reproductive phase. Samples were opened, destructed with Hammer Mill, and then dried with oven on temperature of 40oC in 4-6 days until water content reach 15%, and weigh about 30 gram for analyses. Analyses were done by measuring water soluble extractive substance (TAPPI T 207 om-88 Standar), NaOH 1% soluble extractive substance (TAPPI T 212 om-88 Standar), alkohol-Benzena soluble extractive substance (TAPPI T 204 om-88 Standar), lignin content (TAPPI T 13 os-54 Standar), holocellulose content with methode browning (TAPPI T 211 m Standar), and cellulose content with methode Cross and Bevan (Meulenhoff et al. 1977; TAPPI 1996).

Having applied of each wild Pleurotus group isolates resulted in increasing of extractives total compounds both in vegetative and reproductive phases. Each wild Pleurotus group isolates shows variation in decreasing average of lignin content (10,7-89,7%) and cellulose (18,9-87,4%). Pleurotus EB9 are able to decrease the highest lignin (89,7%) and cellulose (87,4%) content of substrate. Classification based on ligninolytic character is different with classification based on morphological and physiological characters. Pleurotus EB9 seems to be separated from other isolates. This shows that there was different ligninolytic character among the isolates. The best isolate for biopulping and biobleaching agent is Pleurotus EB9 on vegetative phase.

Keyword: Pleurotus group, ligninolytic characters, sengon sawdust substrate

Page 121: Jamur Tiram

99

Pendahuluan

Penerapan bioteknologi yaitu dengan memanfaatkan proses biologi

menggunakan jamur pendegradasi lignin dalam proses teknologi biobleaching dan

biopulping, merupakan salah satu alternatif dan terobosan besar yang perlu dikaji.

Beberapa spesies pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu yang dapat mendegradasi

substrat kayu menjadi bahan-bahan organik sederhana melalui proses hidrolisis

enzimatis, sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme lain termasuk

tumbuh-tumbuhan dan tanaman kehutanan. Diketahui beberapa spesiesnya

bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus yang telah

diketahui berpotensi mendegradasi lignin.

Enzim yang berperan dalam proses degradasi adalah enzim ekstraseluler.

Jamur yang hidup pada bahan lignoselulosa, mengeluarkan enzim yang dapat

mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya. Bahan lignoselulosa yang terdiri

atas selulosa, hemiselulosa dan lignin merupakan bahan polimer sehingga enzim

yang disekresikan jamur akan mengubah bahan lignoselulosa menjadi

monomernya agar mudah masuk ke dalam sel. Ligninolitik berhubungan dengan

produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur

pelapuk putih. Dua enzim yang berperan dalam proses tersebut adalah fenol

oksidase (lakase) dan peroksidase (lignin peroksidase/LiP dan manganese

peroksidase/MnP).

Mekanisme degradasi lignin oleh Pleurotus belum banyak dipelajari

seperti pada P. chrysosporium. Namun dari beberapa studi yang dilakukan,

terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam Pleurotus

cukup bervariasi.

Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus yang berhasil

dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel

(1805) pertama kali memberi nama Pleurotus (LR 2004). Sampai saat ini

penelitian mengenai jamur pleurotoid kelompok Pleurotus asal Indonesia masih

sangat terbatas meskipun jamur ini sudah dikenal dan dikumpulkan serta

dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan (Gunawan 1997).

Hasil karakterisasi fisiologis terhadap isolat kelompok Pleurotus asal

Bogor yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 menunjukkan reaksi oksidasi yang

Page 122: Jamur Tiram

100

positif pada media AAG dan AAT. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka

perlu dilakukan penelitian karakterisasi secara ligninolitis isolat kelompok

Pleurotus tersebut berdasarkan tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada kayu

bahan pulp.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat/kemampuan

biodegradasi melalui kadar zat ekstraktif larut dalam air, kadar zat ekstraktif larut

dalam NaOH 1%, kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-benzena, kadar lignin,

kadar holoselulosa dan kadar selulosa pada fase vegetatif dan reproduktif.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2006 di

Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia

Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi

dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi

FMIPA, IPB, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), Bogor.

Degradasi Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Karakter ligninolitik keenam isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu

Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO

sebagai pembanding standar pada media serbuk gergajian kayu sengon dalam

kantong dengan bobot sekitar 400 gram (kultivasi dengan media serbuk gergajian

kayu sengon). Kultur agar ketujuh isolat kelompok Pleurotus selanjutnya dibuat

bibit dengan cara menumbuhkan miselium ukuran 100 mm2 pada media bibit

dalam botol (jewawut 23%, dedak 3%, kapur 0,4% dan serbuk gergajian 73,6%

serta air secukupnya), kemudian diinkubasi di tempat gelap pada suhu kamar. Jika

miselium telah tumbuh memenuhi media bibit dalam botol dengan baik, baru

kemudian sebanyak satu sendok teh bibit (+ 10 gram) tersebut diinokulasikan

pada media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong.

Page 123: Jamur Tiram

101

Media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong terdiri atas 82,5%

serbuk gergajian yang ditambah 15% dedak (bekatul padi), 1,5% gips, dan 1,0%

kapur serta air secukupnya, tiap kantong plastik diisi sekitar 400 gram media dan

kemudian disterilisasi dalam drum kukus selama 7 jam. Media serbuk gergajian

kayu sengon yang sudah diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi,

kemudian yang sudah penuh dengan miselium disimpan di ruang pemeliharaan

atau ruang produksi sampai keluar tubuh buah. Uji ini dilakukan dengan 4-10

ulangan. Pengamatan dilakukan pada fase vegetatif dan pada fase reproduktif.

Fase vegetatif adalah waktu inkubasi dari awal inokulasi sampai kantong penuh

dengan miselium. Fase reproduktif adalah dimulai setelah fase vegetatif sampai

membentuk tubuh buah dan berlanjut sampai beberapa kali panen tubuh buah

sampai bahan substrat habis dan tidak terbentuk lagi tubuh buah, hal tersebut bisa

sampai 8 kali panen bahkan lebih. Dalam penelitian ini yang diamati

biodegradasinya dibatasi hanya sampai 4 kali panen tubuh buah.

Prosedur Penetapan Contoh Uji

Contoh uji, yaitu media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong

tersebut, dibuka dan dihancurkan dengan menggunakan blender khusus (Hammer

Mill), kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40oC selama 4-6 hari

sampai kadar air sekitar 15%. Contoh uji tersebut kemudian ditimbang sekitar 30

gram untuk bahan analisis.

Analisis dilakukan dengan mengukur kadar zat ekstraktif larut dalam air

(Standar TAPPI T 207 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam NaOH 1%

(Standar TAPPI T 212 om-88), kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-Benzena

(Standar TAPPI T 204 om-88), analisis kadar lignin (Standar TAPPI T 13 os-54),

dan analisis kadar Holoselulosa dengan metoda browning (Standar TAPPI T 211

m) dan analisis kadar selulosa Cross dan Bevan. Analisis dengan menggunakan

metode yang diacu dari Meulenhoff et al. (1977) dan TAPPI (1996).

1. Kadar Air (Moisture Content)

Untuk penentuan kadar air, substrat disimpan paling sedikit selama 24 jam

dalam botol-botol yang tertutup rapat, agar tercapai distribusi kelembaban yang

seragam. Satu gram substrat di dalam botol ditimbang dan dikeringkan dalam

Page 124: Jamur Tiram

102

oven (tanur) pada suhu 105 +30C, selama dua jam, kemudian didinginkan dalam

desikator selama 20 menit. Pengeringan dilanjutkan selama satu jam, didinginkan

kembali dan kemudian ditimbang kembali, pekerjaan ini diulang-ulang sampai

tercapai bobot tetap (standar Tappi T12 os-75). Kadar air dinyatakan dalam persen

terhadap substrat kering udara dan kering tanur, dengan rumus berikut: Kadar air (%) = Bobot awal-bobot kering oven x 100%

bobot kering oven

2. Kadar Larut Dalam Air Dingin (KDAD)

Substrat kering udara sebanyak 2 gram yang telah ditentukan kadar airnya,

dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml dan ditambahkan air destilata sebanyak

300 ml. Campuran tersebut dibiarkan mencernak (digest) selama 48 jam pada

suhu kamar dengan seringkali diaduk. Campuran ini selanjutnya dipindahkan ke

dalam sebuah cawan berpori, sambil dicuci dengan air destilata dingin, dan

kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C kira-kira selama 4 jam, lalu

didinginkan di dalam sebuah eksikator dan ditimbang sampai bobot tetap.

Perhitungan KDAD yaitu jumlah zat yang larut, dihitung sebagai persentase dari

bobot substrat kering udara awal dan bobot kering oven akhir, dengan rumus

berikut: Kelarutan (KDAD)*= Bobot awal _ Bobot akhir oven X 100% Konversi dengan KA Bobot awal Konversi dengan KA

* rumus ini sama untuk perhitungan KDAP, KDNaOH1% dan KDEB

3. Kadar Larut Dalam Air Panas (KDAP)

Sebanyak 2 gram substrat uji kering udara yang telah ditentukan kadar

airnya, dicernakan dengan 100 ml air destilata dalam sebuah gelas piala 400 ml,

labu merunjung 250 ml, yang diperlengkapi dengan pendingin tegak, dan

dipanaskan dalam penangas air, yang permukaannya diatur tetap di atas larutan

dalam labu merunjung. Setelah pemanasan selama tiga jam, isi labu dipindahkan

ke dalam cawan berpori, dan dicuci dengan air panas, lalu dikeringkan dalam

oven pada suhu 105°C, didinginkan dalam sebuah eksikator dan ditimbang.

Page 125: Jamur Tiram

103

Perhitungan KDAP yaitu jumlah zat yang larut dihitung sebagai persentase dari

bobot substrat kering udara awal dan bobot kering oven akhir.

4. Kadar Larut Dalam NaOH 1% (KDNaOH1)

Cara ini dipergunakan untuk mengetahui daya tahan larut substrat terhadap

alkali encer yang panas. Untuk menentukan kadar persen NaOH, larutan tersebut

dititer dengan asam baku. Sebagai indikator, pertama-tama dipergunakan

fenolftalein, kemudian titrasi dilanjutkan dengan indikator metil jingga. Perbedaan

volumina asam, yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi dengan

indikator fenolftalein dan metil jingga, adalah banyaknya asam yang dibutuhkan

untuk setengahnya jumlah Na2CO3 yang terdapat dalam larutan tersebut. Dengan

mengurangi perbedaan volumina asam ini, dari volumina asam yang dibutuhkan

untuk mencapai titik akhir titrasi dengan indikator fenoftalein, maka diperoleh

voluminan asam yang dibutuhkan untuk menetralisir NaOH. Selanjutnya dari

volumina ini, dapat diketahui kadar/konsentrasi NaOH yang harus berada antara

0,9 dan 1,1%.

Dua contoh serbuk substrat yang telah diayak dengan ayakan dari 40 dan

60 mesh ditimbang, masing-masing banyaknya sama dengan 2 gram serbuk

substrat kering oven. Tiap contoh dimasukkan ke dalam sebuah gelas piala 250 ml

dan ditambahkan 100 ml NaOH 1%. Setelah diaduk dengan baik, kedua contoh

tersebut diletakkan dalam sebuah penangas air, dipanaskan perlahan-lahan setelah

ditutup dengan gelas arloji selama 1 jam, selama pemanasan diaduk 3 kali, yaitu

setelah 10, 15, dan 25 menit. Setelah pemanasan tersebut, isi gelas piala disaring

secara pengisapan dengan cawan berpori, kemudian dicuci dengan air panas dan

selanjutnya dengan 50 ml asam asetat 10% dan akhirnya dengan air panas

secukupnya.

Cawan dengan isi dikeringkan hingga bobotnya tetap dalam oven pada

suhu 105±3°C, kemudian didinginkan dalam sebuah desikator dan ditimbang

dalam sebuah botol timbang tertutup. Perhitungan KDNaOH1 adalah hasil-hasil

dinyatakan dalam persen bobot substrat kering oven yang larut, dihitung dari

kehilangan bobot substrat contoh kering oven.

Page 126: Jamur Tiram

104

5. Kadar Larut Dalam Etanol-Benzena (KDEB)

Kadar larut substrat (bahan-bahan kayu atau material-material

lignoselulosa) yang larut dalam alkohol-benzena (1:2) adalah suatu ukuran

mengenai kadar zat-zat seperti malam, lemak, resin dan komponen-komponen lain

yang tidak larut dalam eter termasuk juga apa yang dinamakan gom-gom kayu

(wood-gums).

Serbuk substrat 60-80 mesh dalam sebuah cawan penyaring ditimbang

sebanyak 2 gram yang kadar airnya telah ditetapkan. Cawan penyaring dengan isi

kemudian dimasukkan dalam tabung ekstraksi yang diatur sedemikian rupa hingga

tabung reaksi telah berisi penuh dengan pelarut, cawan penyaring terendam dalam

pelarut tersebut. Ekstraksi dilakukan selama 6-8 jam. Pemanasan diatur agar

kecepatan keluar dan masuknya pelarut dari dan ke dalam cawan penyaring adalah

sama. Setelah ekstraksi selesai, cawan dikeluarkan, dan pelarut dikeluarkan

dengan pengisapan, dicuci perlahan-lahan dengan 50 ml, dan diisap selama 5

menit untuk menguapkan alkohol. Substrat dalam cawan penyaring dikeringkan

dalam oven pada suhu 105±2°C, hingga bobot tetap. Kadar ekstraksi dihitung

dalam persen terhadap bobot substrat kering oven. Ini dilakukan dengan

menguapkan pelarut di atas pengangas air panas, lalu mengeringkan labu selama 1

jam pada suhu 105°C. Serbuk substrat yang telah diekstraksi dapat dipergunakan

untuk analisa selanjutnya.

6. Penentuan Kadar Lignin

Lignin adalah bagian dari kayu (bebas zat-zat ekstraksi) yang bukan

karbohidrat. Lignin dapat diisolasi dari kayu dengan cara melarutkan atau

menghidrolisis bagian karbohidratnya dengan asam-asam tertentu atau sebaliknya

lignin yang dilarutkan dan kemudian diendapkan. Isolasi kuantitatif lignin untuk

tujuan analisis pada umumnya dilakukan dengan cara melarutkan dan

menghidrolisis karbohidrat-karbohidrat dengan H2SO4 (asam sulfat) menurut cara-

cara tertentu. Pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ekstraksi dengan

alkohol untuk memisahkan tanin katechol terutama dari jenis-jenis kayu yang

tinggi kadar taninnya; 2) Ekstraksi dengan alkohol benzene guna memisahkan

Page 127: Jamur Tiram

105

lemak-lemak, malam-malam, resin-resin dan minyak-minyak; 3) Ekstraksi dengan

air panas, guna memisahkan gula-gula yang larut, gum-gumn dan garam-garam.

Contoh uji substrat dikeringkan dan dicerna dengan asam sulfat 72%, dan

setelah beberapa waktu, hidrolisis disempurnakan dengan pemasakan larutannya

yang telah diencerkan hingga konsentrasi asam sulfat 3%. Hasil residu ditetapkan

sebagai lignin. Ekstraksi dengan alkohol diperlukan untuk analisis jenis-jenis kayu

yang tinggi kadar taninnya. Bila kadar tanin tidak diketahui, ekstraksi sebaiknya

dilakukan.

Contoh uji substrat 40 mesh kering udara yang telah ditentukan kadar

airnya dalam cawan penyaring ditimbang dalam duplo sekitar 1 gram. Kemudian

cawan penyaring yang berisi substrat dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi

Soxhlet, cawan ditutup dengan kawat kasa/kertas saring.

Ekstraksi dilakukan dengan etanol 95% selama empat jam, kecuali bila

diketahui bahwa substrat tidak seberapa banyak kadar taninnya (katechol).

Kemudian substrat diekstraksi dengan alkohol-benzena. Setelah ekstraksi, pelarut

dikeluarkan sebanyak mungkin dengan pengisapan, dan dicuci dengan 50 ml

ethanol guna mengeluarkan benzena, dan akhirnya kelebihan alkohol dikeluarkan

dengan pengisapan. Contoh uji substrat setelah ekstraksi dengan alkohol-benzena

dipindahkan dengan teliti dalam sebuah piala (1000 ml) dan dicernakan dengan

400 ml air panas di atas penangas air suhu 100°C selama 8 jam. Kemudian

substrat disaring dengan cawan penyaring, dicuci dengan 100 ml air panas dan

akhirnya dicuci dengan 50 ml alkohol guna memudahkan pengeluaran substrat

dari cawan penyaring. Substrat dikeringkan dalam udara, kemudian dipindahkan

dengan teliti ke dalam gelas piala kecil dan ditutup dengan gelas arloji. Substrat

ditambahkan 15 ml 72% H2SO4 dingin (12-15°C) dengan perlahan-lahan dan

sambil diaduk.

Substrat supaya tercampur dengan sempurna diaduk sekurang-kurangnya

selama 1 menit, kemudian didiamkan selama 2 jam dengan seringkali diaduk dan

suhu tetap dijaga antara 18-20°C (bagian luar gelas piala didinginkan guna

mencapai suhu ini). Substrat dicuci dalam sebuah piala erlenmeyer dari 1 liter dan

diencerkan hingga mencapai konsentrasi asam 3% dengan 560 ml air destilata dan

dididihkan di bawah pendingin tegak selama 4 jam, diusahakan agar volume tetap

Page 128: Jamur Tiram

106

dengan cara menambahkan air panas sewaktu-waktu. Setelah bahan-bahan yang

tidak larut mengendap, substrat disaring dengan kertas saring, kemudian dicuci

dengan air panas hingga bebas dari asam, dan dikeringkan dalam oven suhu

105°C, selanjutnya didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar lignin

dihitung dalam persen, dari kayu kering oven -yang tidak diekstraksi. Bila

diperlukan koreksi abu, maka lignin dipindahkan dalam cawan porselen dan abu

ditetapkan menurut TAPPI standard T 211 m. Rumus perhitungan kadar lignin

sebagai berikut: Kadar Lignin*= Bobot akhir oven X 100% Bobot awal Konversi dengan KA

* rumus ini sama untuk perhitungan kadar selulosa dan holoselulosa

7. Penentuan Kadar Holoselulosa

Holoselulosa merupakan fraksi polisakarida total dari jaringan dinding sel.

Warnanya putih (hampir putih) dan merupakan zat yang tertinggal setelah kayu

bebas dari zat ekstraksi dan telah didelignifikasi. Bagian yang berwarna putih

tersebut semua (atau hampir semuanya) terdiri atas fraksi selulosa dan

hemiselulosa. Metode yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah menurut

van Beekman dan Ritter (TAPPI – Standard T 9 m3).

Mula-mula 2 gram substrat yang kadar airnya telah ditentukan sebelumnya

dalam cawan penyaring (dalam duplo) ditimbang dengan teliti. Substrat

diekstraksi dalam Soxhlet selama 4 jam dengan larutan alkohol 95%, kemudian

dengan alkohol-benzena (33:67). Residu substrat dicuci dengan alkohol untuk

mengeluarkan benzena dan kemudian diekstraksi dengan 400 cc air panas dalam

sebuah labu erlenmeyer selama tiga jam, di atas sebuah penangas air, kemudian

disaring dan dicuci dengan air panas dan selanjutnya dengan air dingin dan

kelebihan air dibuang dengan cara pengisapan. Klorinasi dilakukan dengan cara

menghisap Cl2 melalui sebuah corong dan cawan yang berisi substrat, sambil

didinginkan dalam es. Klorinasi dilakukan selama tiga menit, substrat diaduk

kemudian klorinasi dilanjutkan selama dua menit (3 + 2 = 5 menit).

Page 129: Jamur Tiram

107

Alkohol ditambahkan untuk melarutkan kelebihan Cl dan HCl, kemudian

setelah 1 menit dikeluarkan dengan pengisapan. Setelah vakum dihentikan dan air

pendingin dikeluarkan, alkohol monoethanol aminu panas ditambahkan sampai

serbuk tergenang sambil diaduk dan setelah 2 menit dikeluarkan dengan

pengisapan. Pelarutan diulangi sekali lagi. Pelarutan yang masih tertinggal dicuci

2 kali dengan alkohol 95% dan 2 kali dengan air dingin dan yang terakhir ini

dikeluarkan dengan pengisapan.

Klorinasi (selama tiga menit) dan pencucian diulangi berkali-kali hingga

residu substrat menjadi putih, dan air pencuci tidak lagi berwarna. Pelarut alkohol

monoethanol amine yang terakhir dicuci dua kali dengan alkohol dan dua kali

dengan air dingin, dan sekali dengan alkohol hingga residu memberi reaksi netral

dengan lakmus. Akhirnya substrat dicuci dengan eter untuk memudahkan

pengeringan. Holoselulosa dikeringkan di udara agar sisa eter dapat menguap dan

akhirnya dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 2,5 jam. Kadar

holoselulosa dihitung berdasarkan substrat kering oven, yang bebas dari ekstraksi.

Waktu yang diperlukan untuk melakukan percobaan ini adalah sekitar tiga jam.

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL). Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS9 dan analisis

kelompok menggunakan aplikasi SPSS13.

Hasil dan Pembahasan

Degradasi Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Hasil penelitian menunjukkan kelarutan ekstraktif substrat baik KDAD,

KDAP, KDNaOH1 dan KDEB cenderungan meningkat setelah diinokulasi oleh

masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun

reproduktif. KDNaOH1 yang meningkat mengindikasikan adanya sejumlah

polisakarida yang juga degradasi oleh jamur (Standar TAPPI T 212 om-88).

Kelarutan zat ekstraktif tampak menurun seiring masa inkubasi (Tabel 4.1).

Page 130: Jamur Tiram

108

Tabel 4.1 Kadar air dan kadar zat-zat ekstraktif substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus

Isolat Waktu pengamatan

bobot kering KA KDAD KDAP KDNaOH1 KDEB

Kontrol1) 119.6 9.0 5.4 10.0 24.1 3.8 Pleurotus EAB7 Fase Vegetatif 109.1 8.9 12.1 12.5 31.5 6.0 Panen 1 85.9 8.1 8.1 10.5 24.6 3.2 Panen2 85.4 7.3 10.0 12.4 26.4 3.9 Panen 3 83.1 7.6 12.0 13.3 29.9 3.3 Panen 4 87.9 7.9 11.5 12.7 30.9 2.2 Pleurotus EB24 Fase Vegetatif 77.3 7.2 7.9 10.8 27.0 4.4 Panen 1 76.8 6.2 8.7 11.6 30.7 4.7 Panen2 68.6 5.9 9.3 12.0 23.7 3.0 Panen 3 -2) - - - - - Panen 4 64.7 5.5 9.1 11.1 22.0 3.8 Pleurotus EB14-2 Fase Vegetatif 74.3 7.2 11.4 12.1 28.7 2.2 Panen 1 85.9 6.0 10.3 13.6 29.1 4.3 Panen2 94.6 8.7 9.8 12.4 29.8 4.1 Panen 3 64.2 7.0 8.1 8.7 21.2 3.0 Panen 4 60.5 5.7 6.9 8.7 18.2 2.0 Pleurotus EB6 Fase Vegetatif 91.6 7.9 7.0 8.6 23.0 3.4 Panen 1 87.5 7.4 9.4 11.6 23.2 4.7 Panen2 86.7 6.6 8.8 12.5 23.7 4.7 Panen 3 78.4 7.3 5.6 8.6 20.6 2.9 Panen 4 60.4 4.0 6.7 7.3 16.1 2.4 Pleurotus EA4 Fase Vegetatif 97.3 8.4 9.4 11.8 27.8 3.3 Panen 1 78.3 5.5 7.6 10.1 24.3 3.7 Panen2 53.9 4.5 5.3 6.8 17.8 1.9 Panen 3 69.2 6.0 9.3 11.5 23.4 2.8 Panen 4 77.1 7.2 9.3 10.0 23.4 2.6 P.ostreatus HO Fase Vegetatif 81.3 6.6 9.8 12.9 27.1 3.6 Panen 1 97.1 8.4 11.6 13.5 34.3 4.0 Panen2 78.8 5.8 11.2 13.3 28.3 4.3 Panen 3 69.1 5.0 10.1 11.9 23.6 2.6 Panen 4 80.3 6.1 10.7 12.7 20.0 3.1 Pleurotus EB9 Fase Vegetatif 118.4 9.0 11.0 13.6 30.0 4.1 Panen 1 70.7 5.1 5.6 7.3 19.0 3.1 Panen2 114.5 9.4 9.6 11.9 32.2 3.6 Panen 3 68.1 6.5 6.5 7.3 15.5 1.6 Panen 4 18.4 1.8 2.0 2.2 5.3 0.5

Keterangan: KA: Kadar air; KDAD: Kelarutan dalam air dingin; KDAP: Kelarutan dalam air panas; KDNaOH1: Kelarutan dalam NaOH 1%; KDEB: Kelarutan dalam etanol benzena; 1) Kontrol: Substrat yang belum diinokulasi isolat jamur; 2) tidak teramati.

KDAD terbesar diperoleh setelah diinokulasi oleh Pleurotus EB7 pada

saat fase vegetatif. KDAP terbesar diperoleh setelah diinokulasi oleh Pleurotus

EB9 pada saat fase vegetatif. KDNaOH1 terbesar diperoleh setelah diinokulasi

oleh P. ostreatus HO pada saat panen ke-1. KDEB terbesar diperoleh setelah

Page 131: Jamur Tiram

109

diinokulasi Pleurotus EB7 pada saat fase vegetatif. Jenis isolat, fase pertumbuhan

dan interaksi antara jenis isolat dan fase pertumbuhan tidak berpengaruh nyata

terhadap kadar zat-zat ekstraktif substrat.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan polimer kayu baik lignin,

selulosa dan hemiselulosa substrat cenderungan menurun setelah diinokulasi oleh

masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun

reproduktif. Hemiselulosa yang meningkat mengindikasikan adanya sejumlah

bahan penyusun kayu yang tidak terukur terdegradasi oleh jamur (Tabel 4.2).

Kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa terkecil diperoleh setelah diinokulasi oleh

Pleurotus EB9 pada saat panen ke-4. Jenis isolat, fase pertumbuhan dan interaksi

antara jenis isolat dan fase pertumbuhan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar

lignin substrat. Fase pertumbuhan berpengaruh nyata terhadap kadar selulosa dan

hemiselulosa substrat, namun jenis isolat dan interaksi antara jenis isolat dan fase

pertumbuhan tidak berpengaruh secara nyata.

Penurunan kandungan polimer kayu yang cukup besar juga ditunjukkan

oleh adanya penurunan bobot kering substrat setelah diinokulasi isolat kelompok

Pleurotus. Bobot kering substrat terkecil juga diperoleh setelah diinokulasi oleh

Pleurotus EB9 pada saat panen ke-4 (Gambar 4.1).

1) tidak teramati. Gambar 4.1 Bobot kering substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing

isolat kelompok Pleurotus

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

140.0

Bob

ot K

erin

g (G

ram

)

Kontrol 119.6 119.6 119.6 119.6 119.6 119.6 119.6

fase vegetatif 109.1 77.3 74.3 91.6 97.3 81.3 118.4

panen 1 85.9 76.8 85.9 87.5 78.3 97.1 70.7

panen2 85.4 68.6 94.6 86.7 53.9 78.8 114.5

panen 3 83.1 64.2 78.4 69.2 69.1 68.1

panen 4 87.9 64.7 60.5 60.4 77.1 80.3 18.4

Pleurotus EAB7

Pleurotus EB24

Pleurotus EB14-2

Pleurotus EB6

Pleurotus EA4

P.ostreatus HO

Pleurotus EB9

- 1)

Page 132: Jamur Tiram

110

Tabel 4.2 Kadar lignin, holoselulosa, selulosa dan hemiselulosa substrat (%) setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus

Isolat Waktu pengamatan Lignin Holoselulosa Selulosa Hemiselulosa

Kontrol1) 23.0 64.6 47.4 17.2 Pleurotus EAB7 Fase Vegetatif 20.5 62.1 38.5 23.6 Panen 1 17.8 47.8 29.4 18.3 Panen2 18.9 45.9 28.1 17.8 Panen 3 13.4 45.1 27.0 18.1 Panen 4 14.9 44.9 27.5 17.5 Pleurotus EB24 Fase Vegetatif 11.9 37.9 19.5 18.4 Panen 1 13.4 37.5 20.5 17.0 Panen2 13.2 36.1 24.6 11.5 Panen 3 -2) - - - Panen 4 12.6 34.3 23.5 10.8 Pleurotus EB14-2 Fase Vegetatif 14.6 35.7 24.8 10.9 Panen 1 12.3 42.4 23.9 18.5 Panen2 20.5 54.0 31.4 22.6 Panen 3 9.7 32.5 20.8 11.7 Panen 4 12.0 33.1 20.1 13.0 Pleurotus EB6 Fase Vegetatif 12.7 46.0 27.4 18.6 Panen 1 13.3 44.1 27.6 16.5 Panen2 13.8 44.1 26.1 18.0 Panen 3 17.0 45.1 26.7 18.5 Panen 4 10.4 31.3 20.7 10.7 Pleurotus EA4 Fase Vegetatif 14.6 51.3 28.7 22.6 Panen 1 12.6 42.4 23.7 18.7 Panen2 9.2 28.1 16.7 11.4 Panen 3 14.2 37.9 23.8 14.1 Panen 4 10.4 38.7 22.7 16.0 P.ostreatus HO Fase Vegetatif 13.2 40.3 23.8 16.5 Panen 1 17.2 48.1 28.8 19.3 Panen2 13.5 39.1 22.2 16.9 Panen 3 10.5 34.6 20.0 14.5 Panen 4 13.1 42.1 25.7 16.3 Pleurotus EB9 Fase Vegetatif 18.2 67.2 37.9 29.3 Panen 1 10.3 36.0 21.7 14.3 Panen2 19.1 57.9 33.6 24.3 Panen 3 9.3 37.4 23.9 13.5 Panen 4 2.4 8.8 6.0 2.8

1) Kontrol: Substrat yang belum diinokulasi isolat jamur; 2) tidak teramati.

Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi

oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun

reproduktif (Gambar 4.2).

Page 133: Jamur Tiram

111

1) tidak teramati;

Gambar 4.2 Kadar zat-zat ekstraktif total substrat setelah diinokulasi dengan

masing-masing isolat kelompok Pleurotus Kadar lignin substrat yang rendah setelah diinokulasi isolat-isolat jamur

tersebut, menunjukkan isolat-isolat mempunyai potensi ligninolitik yang cukup

besar. Penurunan kadar lignin substrat terbesar juga diperoleh setelah diinokulasi

oleh Pleurotus EB9 pada saat panen ke-4 (Gambar 4.3).

1) tidak teramati;

Gambar 4.3 Penurunan kadar lignin substrat setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus.

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

Kad

ar z

at e

kstr

aktif

(%)

Kontrol 43.3 43.3 43.3 43.3 43.3 43.3 43.3

fase vegetatif 62.0 50.1 54.3 42.0 52.3 53.4 58.7

panen 1 46.5 55.7 57.3 48.9 45.7 63.4 35.1

panen2 52.8 47.9 56.2 49.8 31.9 57.1 57.3

panen 3 58.5 41.0 37.6 47.0 48.2 30.8

panen 4 57.4 46.0 35.9 32.5 45.4 46.6 10.0

Pleurotus EAB7

Pleurotus EB24

Pleurotus EB14-2

Pleurotus EB6

Pleurotus EA4

P.ostreatus HO

Pleurotus EB9

- 1)

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

Penu

runa

n K

adar

Lig

nin

(%)

fase vegetatif 10.7 48.5 36.4 44.6 36.7 42.7 20.8

panen 1 22.8 41.5 46.3 42.1 45.4 25.3 55.4

panen2 17.7 42.5 11.1 40.2 59.9 41.2 17.1

panen 3 41.6 57.7 26.0 38.3 54.6 59.7

panen 4 35.4 45.1 47.7 54.9 55.0 43.0 89.7

Pleurotus EAB7

Pleurotus EB24

Pleurotus EB14-2

Pleurotus EB6

Pleurotus EA4

P.ostreatus HO

Pleurotus EB9

- 1)

Page 134: Jamur Tiram

112

Tabel 4.3 Peningkatan zat ekstraktif, penurunan bobot kering, kadar lignin, selulosa dan hemiselulosa pada fase vegetatif dan reproduktif setelah diinokulasi dengan masing-masing isolat kelompok Pleurotus

Peningkatan Penurunan (%)

Isolat Waktu

pengamatan zat

ekstraktif Bobot kering

Kadar lignin

Kadar selulosa

Kadar hemiselulosa

Pleurotus EB7 Fase Vegetatif 30.2 8.8 10.7 18.9 -37.5 3) Panen 1 6.8 28.2 22.8 37.9 -6.6 Panen2 18.0 28.6 17.7 40.7 -3.4 Panen 3 26.0 30.5 41.6 43.0 -5.4 Panen 4 24.6 26.5 35.4 42.1 -1.5 Pleurotus EB24 Fase Vegetatif 13.7 35.4 48.5 58.9 -7.1 Panen 1 22.3 35.8 41.5 56.7 1.1 Panen2 9.7 42.6 42.5 48.1 32.9 Panen 3 -1) - - - - Panen 4 5.8 45.9 45.1 50.4 37.1 Pleurotus EB14-2 Fase Vegetatif 20.3 37.9 36.4 47.8 36.3 Panen 1 24.4 28.2 46.3 49.6 -7.8 Panen2 23.0 20.9 11.1 33.7 -31.2 Panen 3 -5.62) 46.3 57.7 56.2 31.9 Panen 4 -20.5 49.4 47.7 57.6 24.5 Pleurotus EB6 Fase Vegetatif -3.0 23.4 44.6 42.3 -8.4 Panen 1 11.5 26.8 42.1 41.8 4.0 Panen2 13.0 27.5 40.2 44.9 -4.5 Panen 3 -15.0 34.5 26.0 43.8 -7.4 Panen 4 -33.4 49.5 54.9 56.4 38.1 Pleurotus EA4 Fase Vegetatif 17.2 18.7 36.7 39.4 -31.2 Panen 1 5.2 34.5 45.4 50.0 -8.9 Panen2 -35.6 54.9 59.9 64.7 33.8 Panen 3 7.8 42.1 38.3 49.9 18.0 Panen 4 4.6 35.5 55.0 52.1 6.8 P.ostreatus HO Fase Vegetatif 18.9 32.0 42.7 49.7 4.3 Panen 1 31.8 18.9 25.3 39.1 -12.0 Panen2 24.2 34.1 41.2 53.2 1.5 Panen 3 10.2 42.2 54.6 57.7 15.4 Panen 4 7.0 32.8 43.0 45.7 5.1 Pleurotus EB9 Fase Vegetatif 26.2 1.0 20.8 20.1 -70.6 Panen 1 -23.2 40.9 55.4 54.2 17.0 Panen2 24.4 4.3 17.1 29.1 -41.1 Panen 3 -40.4 43.1 59.7 49.7 21.4 Panen 4 -334.3 84.7 89.7 87.4 83.5

Keterangan: Nilai peningkatan zat ekstraktif substrat dibandingkan zat ekstraktif substrat kontrol (43,3%); Nilai penurunan bobot kering substrat dibandingkan bobot kering substrat kontrol (119,6 g); Nilai penurunan kadar lignin substrat dibandingkan kadar lignin substrat kontrol (23,0%); Nilai penurunan kadar selulosa substrat dibandingkan kadar selulosa substrat kontrol (47,4%); Peningkatan kadar hemiselulosa substrat dibandingkan kadar hemiselulosa substrat kontrol (17,2%); 1) Tidak teramati; 2) Nilai negatif pada lajur ini berarti ada penurunan; 3) Nilai negatif pada lajur ini berarti ada peningkatan.

Page 135: Jamur Tiram

113

Penurunan kadar lignin oleh isolat-isolat jamur tersebut berkisar antara

10,7 sampai dengan 89.7%. Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan

kadar lignin sampai 89,7%. Penurunan kadar selulosa oleh isolat-isolat jamur

tersebut berkisar antara 18,9 sampai dengan 87,4%. Pleurotus EB9 juga dapat

menurunkan kadar selulosa tertinggi yaitu 87,4%. Kadar hemiselulosa tampak

menunjukkan fluktuatif, ada yang meningkat ada yang menurun. Hal ini diduga

disebabkan adanya sejumlah bahan penyusun kayu yang tidak terukur terdegradasi

oleh jamur seperti kadar zat ekstraktif (Tabel 4.3).

Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Ligninolitis Biodegradasi Substrat oleh Kelompok Pleurotus

Hasil analisis kelompok berdasarkan penurunan kadar lignin, selulosa dan

hemiselulosa pada fase vegetatif memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus

EAB7 (EB7) sangat dekat dengan persamaan 94% dan membentuk kelompok

sendiri. Sedangkan P. ostreatus HO berada dengan isolat lainnya dalam kelompok

yang berbeda (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok

Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB6, P. ostreatus HO, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB9.

Hasil analisis kelompok berdasarkan penurunan kadar lignin, selulosa dan

hemiselulosa pada fase reproduktif memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus

EA4 sangat dekat dengan persamaan 95% dan dengan Pleurotus EB24

EAB7

Jarak Antar Kelompok

Page 136: Jamur Tiram

114

membentuk kelompok besar kedua. Sedangkan P. ostreatus HO berada dengan

isolat lainnya dalam kelompok yang berbeda (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Dendogram karakter ligninolitik dari tujuh isolat kelompok Pleurotus asal Bogor yaitu Pleurotus EB14-2, P. ostreatus HO, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EA4, Pleurotus EB9 dan Pleurotus EB24.

Hasil analisis klaster berdasarkan kadar komponen kayu ini, baik pada fase

vegetatif maupun fase reproduktif ketujuh isolat kelompok Pleurotus

menunjukkan bahwa antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda.

Pembahasan

Dari sisi pandangan untuk proses biopulping dan biobleaching, isolat

jamur yang diharapkan adalah yang dapat meningkatkan kelarutan zat ekstraktif

dan menurunkan kadar lignin, namun sedikit menurunkan kadar selulosa dan

hemiselulosa (rendemen). Rendemen dapat ditunjukkan secara praktis dengan

melihat bobot kering sisa degradasi. Lama fase vegetatif dan reproduktif dapat

dilihat pada penelitian 2 tentang karakter fisiologi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9

merupakan isolat yang mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat

ekstraktif cukup tinggi (26,2%) dan menurunkan kadar lignin cukup besar

(20,8%), dan menurunkan kadar selulosa (20,1%) serta tampak ada peningkatan

kadar hemiselulosa (70,6%). Isolat Pleurotus EB9 tersebut mempunyai fase

Jarak Antar Kelompok

Page 137: Jamur Tiram

115

vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan menyebabkan penurunan bobot

kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%.

Isolat Pleurotus EAB7, pada fase vegetatif meningkatkan kelarutan zat

ekstraktif cukup tinggi (30,2%) dan menurunkan kadar lignin (10,7%), dan

menurunkan kadar selulosa (18,9%) dan tampak ada peningkatan kadar

hemiselulosa (37,55). Namun isolat tersebut mempunyai fase vegetatif yang

cukup panjang (73,7 hari) dengan menyebabkan penurunan bobot kering sisa

degradasi sebesar 8,8%.

Isolat Pleurotus EA4, pada fase vegetatif mempunyai kemampuan

meningkatkan kelarutan zat ekstraktif (17,2%) dan menurunkan kadar lignin

cukup tinggi (36,7%), dan menurunkan kadar selulosa cukup besar (39,4%) dan

tampak ada peningkatan kadar hemiselulosa (31,2%). Namun isolat tersebut

mempunyai fase vegetatif yang cukup panjang (78,6 hari) dengan menyebabkan

penurunan bobot kering sisa degradasi sebesar 18,7%.

Isolat P. ostreatus HO mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan

zat ekstraktif (18,9%) dan menurunkan kadar lignin cukup tinggi (42,7%), dan

menurunkan kadar selulosa cukup besar (49,7%) dan tampak ada peningkatan

kadar hemiselulosa (4,3%). Isolat tersebut mempunyai fase vegetatif yang cukup

pendek (19,5 hari) dengan menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi

sebesar 32,0%. Padahal P. ostreatus diketahui merupakan jamur pelapuk putih

yang lebih selektif terhadap lignin dibanding P. chrysosporium (Kerem et al.

1992).

Isolat Pleurotus EB24, EB14-2 dan EB6, pada fase vegetatif mempunyai

kemampuan menurunkan kadar lignin yang cukup tinggi, namun pada aspek-

aspek lain dalam kriteria sebagai agens biopulping dan biobleaching mempunyai

kelemahan seperti sedikit menurunkan kelarutan zat ekstraktif, menurunkan juga

rendemen bahan pulp serta mempunyai fase vegetatif yang cukup lama. Hal ini

menunjukkan bahwa isolat spesies jamur yang berbeda memiliki kemampuan

yang berbeda dalam mendegradasi satu jenis media (substrat gergajian kayu

sengon).

Page 138: Jamur Tiram

116

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat yang paling baik untuk agens

biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Walaupun

isolat tersebut pada fase reproduktif, mempunyai kemampuan menurunkan kadar

lignin sampai 89,7%, namun mempunyai kelemahan terutama masa inkubasi yang

cukup lama dan juga rendemen berupa selulosa dan hemiselulosa yang rendah

karena semakin besar terdegradasi. Menurut Chang dan Hayes (1978), setelah

terbentuk tubuh buah (basidiokarp) fraksi holoselulosa, α-selulosa dan lignin

direduksi kira-kira mencapai 80%. Zadrazil (1975 dalam Chang dan Hayes 1978)

mengatakan bahwa hasil dekomposisi kompleks lignoselulosa oleh P. osteratus

adalah 50% menjadi substrat yang dibebaskan sebagai gas CO2, 20% sebagai air,

20% sebagai residu kompos, dan 10% menjadi tubuh buah. Hasil akhir

menunjukkan kandungan nitrogen dan mineral meningkat selama pertumbuhan.

Menurut Herliyana (1997), setelah 6 minggu inkubasi pada kultivasi media padat

dengan kondisi diberi aerasi, pemberian Schizophillum commune dapat

menurunkan kadar lignin pada pulp kayu Acacia mangium (69,3%) dan pada pulp

kayu Pinus merkusii (10%), dan pemberian P. chrysosporium dapat menurunkan

kadar lignin pada pulp kayu A. mangium (41,8%) dan pada pulp kayu P. merkusii

(75,9%).

Kelompok ekstraktif pada substrat kayu mempunyai kadar yang sedikit,

namun terdiri atas pelbagai senyawa kimia. Komponen utama yang larut air

adalah terdiri atas karbohidrat, protein, dan garam-garam anorganik. Ekstraksi

pelarut dapat dilakukan dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton,

benzena, etanol, diklorometana atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak,

asam resin, lilin, tanin dan zat warna adalah bahan penting yang dapat diekstrak

dengan pelarut organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan yang tegas

antara komponen ekstraktif yang dipisahkan dengan pelarut yang berbeda,

misalnya, tanin larut dalam air panas, tetapi juga ditemukan dalam ekstrak alkohol

(Achmadi 1988).

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kelarutan dalam NaOH

1% (KDNaOH1) yang mengindikasikan adanya polisakarida yang terdegradasi.

Isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif mempunyai peningkatan KDNaOH1

yang cukup rendah (19,7%), hal tersebut menunjukkan rendahnya degradasi pada

Page 139: Jamur Tiram

117

selulosa maupun hemiselulosa. Peningkatan KDNaOH1 tertinggi diperoleh pada

masa panen ke-4 oleh Pleurotus EB9. Pada kondisi ini ternyata menunjukkan

adanya penurunan kadar selulosa dan juga hemiselulosa yang tertinggi. Untuk

kepentingan biopulping dan biobleaching, maka dapat direkomendasikan untuk

memanfaatkan isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif yang mempunyai

peningkatan KDNaOH1 yang cukup rendah (19,7%), hal tersebut menunjukkan

rendahnya degradasi pada selulosa maupun hemiselulosa.

Kelompok Pleurotus merupakan dekomposer bahan organik utama yang

dapat secara efisien dan selektif menguraikan lignoselulosa tanpa perlakuan

pendahuluan secara kimia atau biologi, dan dapat menggunakan variasi besar

dalam bahan lignoselulosa. Beberapa contoh bahan lignoselulosa adalah jerami

padi, ampas tebu, sisa gergajian, kulit coklat, pulp kopi dan batang-batang kapas.

Hadar et al. (1993) menemukan bahwa selama 4 minggu proses kultivasi padat,

kadar lignin menurun secara nyata. Pleurotus spp., diketahui mempunyai daya

delignifikasi yang selektif dibanding P. chrysosporium (Kerem et al. 1992).

Analisis kelompok karakter ligninolitis menunjukkan pengelompokkan

berdasarkan karakter ligninolitis berbeda dengan pengelompokkan berdasarkan

karakter fisiologis. Hal tersebut menunjukkan, antar isolat mempunyai karakter

ligninolitis yang berbeda.

Penurunan kadar zat ekstraktif, lignin, selulosa dan peningkatan

hemiselulosa substrat oleh isolat jamur kelompok Pleurotus secara statistik tidak

berbeda nyata. Padahal P. ostreatus diketahui merupakan jamur pelapuk putih

yang lebih selektif terhadap lignin dibanding P. chrysosporium (Kerem et al.

1992). Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing isolat mempunyai

kemampuan mendegradasi substrat berbeda.

Peningkatan kadar hemiselulosa pada substrat diduga disebabkan oleh

terjadinya degradasi lignin dan selulosa atau bahan penyusun kayu yang lain oleh

satu isolat jamur pada satu masa inkubasi yang lebih cepat sehingga kadar

hemiselulosa relatif meningkat dan rasio holoselulosa/lignin (H/L) substrat serbuk

gergajian kayu meningkat. Selain mendegradasi lignin, jamur kelompok Pleurotus

juga menghasilkan enzim lain, diantaranya selulase dan protease (Hong dan

Namgung 1975 dalam Chang dan Quimio 1982), hemiselulase (Hong dalam

Page 140: Jamur Tiram

118

Chang dan Quimio 1982), aminopeptidase (Blaich 1973 dalam Chang dan Quimio

1982).

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9

merupakan isolat yang mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat

ekstraktif cukup tinggi (26,2%) dan menurunkan kadar lignin cukup besar

(20,8%), dan menurunkan kadar selulosa (20,1%) serta tampak ada peningkatan

kadar hemiselulosa (70,6%). Isolat Pleurotus EB9 tersebut mempunyai fase

vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan menyebabkan penurunan bobot

kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan biobleaching adalah

Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif juga

yang mempunyai peningkatan KDNaOH1 yang cukup rendah (19,7%), hal

tersebut menunjukkan rendahnya degradasi pada selulosa maupun hemiselulosa.

Analisis kelompok menunjukkan pengelompokkan berdasarkan karakter

ligninolitis yang berbeda dengan pengelompokkan berdasarkan karakter fisiologis.

Hal tersebut menunjukkan isolat spesies jamur yang berbeda memiliki

kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi satu jenis media.

Isolat Pleurotus EB24, EB14-2 dan EB6, pada fase vegetatif mempunyai

kemampuan menurunkan kadar lignin yang cukup tinggi, namun pada aspek-aspek

lain dalam kriteria sebagai agens biopulping dan biobleaching mempunyai

kelemahan seperti sedikit menurunkan kelarutan zat ekstraktif, menurunkan juga

rendemen bahan pulp serta mempunyai fase vegetatif yang cukup lama.

Page 141: Jamur Tiram

5. EKSPRESI ENZIM LIGNINOLITIK JAMUR KELOMPOK Pleurotus PADA SUBSTRAT CAIR KAYU SENGON SERTA PEMURNIAN

PARSIAL MANGANESE PEROKSIDASE

(The Expression of Ligninolytic Enzyme of Pleurotus Group Fungi on Sengon-Wood Liquid Substrate and Partial Purification of Manganese peroxidase)

Abstrak

Jamur kelompok Pleurotus adalah jamur pelapuk kayu yang potensial digunakan dalam proses biodelignifikasi, khususnya untuk industri pulp dan kertas. Karakterisasi ligninolitik jamur kelompok Pleurotus asal Bogor telah dikaji. Untuk melihat kemampuan biodegradasinya, maka dipelajari aktivitas enzim ligninasenya yaitu manganese peroksidase (MnP), lignin peroksidase (LiP) dan lakase. Selanjutnya MnP dari dua isolat yang mewakili asal Bogor diisolasi dan dipurifikasi. Isolasi enzim menggunakan kolom kromatografi cair dan kromatografi gel.

Ekspresi MnP (U/ml) setelah 6 hari secara ekstraseluler menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 paling tinggi menghasilkan MnP dalam substrat kayu sengon dengan kondisi media yang digoyang. Pleurotus EB9 juga memproduksi lakase, sementara LiP tidak terdeteksi.

SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose) sampel Pleurotus EA4 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, tidak diperoleh pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Aktivitasnya juga tidak diperoleh hasil yang bagus. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus EA4 tidak menghasilkan MnP.

SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion pada sampel Pleurotus EB9 dengan pemekatan 40% amonium sulfat, diperoleh pita dengan bobot molekul 43 kDa. Selanjutnya, hasil pemurnian dengan kolom kromatografi gel HiPrep 16/60 Sephacryl S-200 resolusi tinggi (GE Biosciences) dengan flow rate 0,3 ml/min dan volume fraksinasi 1,5 ml/fraksi, dengan larutan penyangga 10 mM potasium fosfat pH 7,0 dan HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), diperoleh puncak pada fraksi ke 96. SDS PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 diyakini bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP yang telah berhasil dimurnikan dan menunjukkan bobot molekul 43 kDa.

Hasil rangkuman data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9, menunjukkan tingkat keberhasilan pemurnian masih sangat rendah dengan tingkat kemurnian 3,8. Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh sebesar 4,133 U/mg protein.

Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, MnP, LiP

dan lakase

Page 142: Jamur Tiram

120

Abstract

Pleurotus is a wood-decaying fungi group that has great potention to be used in bio-delignification process, especially in pulp and paper industry. The ligninolytic characterization of Pleurotus, which mainly grows in Bogor, has been carefully studied. In order to discover its biodegradation capability, it is necessary to study its ligninase enzymes, i.e. manganese peroxidase (MnP), lignin peroxidase (LiP) and laccase. Furthermore, the MnP enzyme of two isolates which represented Bogor type were isolated and purified. The enzyme isolation was done by using liquid and gel chromatography columns.

The expression of MnP (U/ml) after six days showed that, extracellularly, Pleurotus EB9 was the highest in producing MnP on sengon-wood substrate in swing medium condition. Pleurotus EB9 was also produced laccase, while LiP was not detected.

The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column (DEAE-Sepharose) of Pleurotus EA4 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate did not produce ribbons that indicate the presence of MnP. Its activity did not produce good result too. This fact proves that Pleurotus EA4 did not produce MnP.

The SDS-PAGE chromatography result of ionic exchange column of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate produced a ribbon with 43 kDa molecule weight. Furthermore, the purification result using high resolution HiPrep 16/60 Sephacryl s-200 gel chromatography column (GE Biosciences) with flow rate of 0.3 ml/min and fractionation rate of 1.5, and using buffer solution of 10mM potassium phosphate pH 7.0 and HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), reached a peak at 96th fraction. The SDS PAGE gel column chromatography result of Pleurotus EB9 sample with 40% solid concentration of ammonium sulphate proved that Pleurotus EB9 produced MnP which has been purified with a molecule weight of 43 kDa.

The summary result of MnP purification data of Pleurotus EB9 showed that the success level of purification is still low with purification rate of 3.8. The specific activity of MnP obtained is 4.133 U/mg of protein.

Keywords: Pleurotus group, Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, MnP, LiP, and

laccase.

Page 143: Jamur Tiram

121

Pendahuluan

Beberapa jamur kelompok Pleurotus adalah jamur pelapuk putih, yang

memiliki kemampuan dalam mendegradasi lignin. Kemampuan tersebut

disebabkan jamur pelapuk putih menghasilkan multi enzim ekstraseluler (Kirk

dan Chang 1990; Basuki 1994). Penetrasi hifa jamur pelapuk putih akan

menghancurkan lignin dan membentuk rongga dengan meninggalkan warna putih.

Salah satu multi enzim ekstraseluler yang sangat bertanggungjawab dalam

permulaan proses depolimerisasi lignin yaitu enzim ligninolitik yang terdiri atas

lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase (Lac) (Kirk et al.

1978).

Selain mampu mendegradasi lignin, jamur pelapuk putih diketahui

memiliki kemampuan mendegradasi beberapa polutan-polutan yang bersifat

persisten terhadap lingkungan seperti senyawa-senyawa aromatik golongan

klorida, hidrokarbon heterosiklik aromatik, zat warna dan polimer sintetik

(Bumpus et al. 1985). Kemampuan jamur pelapuk putih dalam pendegradasian

tersebut diperkirakan berhubungan dengan tingginya aktivitas oksidatif enzim

ligninolitik dan sifat kurang spesifiknya terhadap suatu substrat (Moriya et al.

2001). Oleh karena itu, jamur pelapuk putih dan enzim yang dihasilkannya

tersebut sangat bermanfaat tidak hanya bagi proses industri seperti biopulping dan

biobleaching tetapi juga bagi proses bioremediasi.

Enzim yang berperan dalam proses degradasi adalah enzim ekstraseluler.

Jamur yang hidup pada bahan lignoselulosa, mengeluarkan enzim yang dapat

mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya. Bahan lignoselulosa yang terdiri

atas selulosa, hemiselulosa dan lignin merupakan bahan polimer sehingga enzim

yang disekresikan jamur akan mengubah bahan lignoselulosa menjadi

monomernya agar mudah masuk ke dalam sel.

Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler

pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua enzim yang

berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan peroksidase

(lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP)) (Howard et al.

2003; Kirk et al. 1978). P. ostreatus diduga berpotensi untuk industri pulp karena

Page 144: Jamur Tiram

122

diketahui mendegradasi lignin lebih efisien dibanding P. chrysosporium (Kerem

et al. 1992; Hadar et al. 1993).

Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum banyak

dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Beberapa aktivitas enzim ekstraseluler

kelompok Pleurotus telah dipelajari, diantaranya manganese peroksidase (MnP)

(Kerem et al. 1992). Namun dari beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim

yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin dalam kelompok Pleurotus cukup

bervariasi.

Hasil karakterisasi fisiologis terhadap isolat kelompok Pleurotus asal

Bogor yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 menunjukkan reaksi oksidasi yang

positif pada media AAG dan AAT. Hasil karakterisasi secara ligninolitis isolat

kelompok Pleurotus tersebut juga menunjukkan kemampuan degradasi pada kayu

bahan pulp yang cukup tinggi, serta mempunyai kemampuan dalam proses

delignifikasi material lignoselulosa yaitu substrat gergajian kayu sengon.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang

kelompok Pleurotus lokal yang unggul sebagai pendegradasi lignin dengan cara

karakterisasi enzim ligninolitiknya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mempelajari karakteristik ligninolitik atau kemampuan biodegradasi berdasarkan

potensi enzim ligninolitik kelompok Pleurotus asal Bogor,

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2007 di

Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia

Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi

dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi

FMIPA di Tajur, IPB, Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat

Penelitian Bioteknologi,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong

dan Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset

Perkebunan Indonesia (LRPI), Bogor.

Page 145: Jamur Tiram

123

Isolat Uji

Pada penelitian ini dilakukan uji pendahuluan untuk melihat adanya

aktivitas ligninolitik dari filtrat enam isolat kelompok Pleurotus, yaitu Pleurotus

EB9, Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7 dan

Pleurotus EB6. Isolat P. ostreatus HO dan P. chrysosporium PC digunakan

sebagai pembanding standar. Isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4, diketahui

memiliki karakter reaksi oksidasi yang cukup kuat dan juga mempunyai

kemampuan dalam proses degradasi dan delignifikasi material lignoselulosa.

Kultur Jamur Untuk Induksi Enzim

Untuk penelitian induksi enzim, dipilih dua isolat yaitu Pleurotus EB9 dan

Pleurotus EA4 dan kemudian satu isolat saja untuk dipurifikasi MnP-nya. Kedua

jamur tersebut dipelihara dan diperbanyak pada agar cawan berisi MEA yang

diberi serbuk sengon 8 gram per liter. Kedua isolat tersebut kemudian dikulturkan

pada media jagung sebagai bahan starter.

Sebanyak 10 gram isolat jamur berupa starter diinokulasikan pada satu

liter medium mengandung mangan. Medium mengandung mangan yang

digunakan mengandung komposisi sebagai berikut: Malt Ekstrak 15 g, asam

tartrat 0.11 g/l, MnSO4.H2O 180µl/l (2 mM), aquades 1 liter, Kloramfenikol 250

mg/l dan serbuk gergajian kayu sengon 8 g/l. Stok MnSO4.H2O dibuat dengan

melarutkan 0,59 g dalam 10 ml akuades (modifikasi Brown et al. 1990). Kultur

skala kecil dilakukan di dalam botol gelas berukuran 214 ml (diameter 5,5 cm dan

tinggi 9 cm) dengan media cair sebanyak 100 ml, dengan substrat lignin alami

berupa serbuk jerami, serbuk gergajian kayu pinus atau sengon pada suhu 28oC

dalam inkubator, dengan cara digoyang dengan kecepatan 120 rpm atau tidak

digoyang. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari, yaitu sebanyak 2-10 ml

untuk pengukuran aktivitas enzim. Pengambilan dilakukan dari hari ke-1 sampai

ke-11. Selain itu, untuk mengetahui bobot kering miselium, pengamatan

dilakukan tiap 3 hari sekali selama 30 hari. Miselium jamur disaring

menggunakan kertas saring yang sudah diketahui bobot keringnya, kemudian

dikeringkan dan selanjutnya ditimbang. Filtrat biakan jamur tersebut kemudian

dianalisis lakase, MnP dan LiP-nya.

Page 146: Jamur Tiram

124

Kultur skala besar dilakukan di dalam bioreaktor dengan substrat lignin

alami berupa serbuk gergajian kayu sengon. Bioreaktor tersebut berupa fermentor

dengan suhu 30oC, agitasi 150 rpm dan aerasi 0,5 ppm. Filtrat biakan jamur

tersebut kemudian dianalisis MnP-nya. Setiap hari filtrat kultur diambil sebanyak

2 ml dan dimasukkan ke dalam botol secara aseptik. Pemeliharaan dan

pengambilan filtrat kultur ini dilakukan mulai hari pertama sampai hari ke enam

untuk uji aktivitas dan juga untuk pengukuran pH filtrat. Setelah inkubasi selama

6 hari, semua filtrat sisa dipanen sebagai enzim kasar. Enzim kasar tersebut

kemudian diendapkan dengan (NH4)2SO4 atau amonium sulfat 40% (1,8 M),

kemudian sampel tersebut disentrifus dengan kecepatan 7 000 rpm selama 15

menit pada suhu 8-16oC untuk kemudian diambil peletnya. MnP yang terdapat

pada pelet tersebut kemudian disuspensi dengan buffer potassium fosfat 10 mM

pH 7,0 dan disimpan di dalam botol pada suhu -20oC sebelum dipurifikasi.

Uji Aktivitas MnP, LiP dan Lakase Serta Kadar Protein

Aktivitas MnP diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang 465 nm (Kofujita et. al. 1991 dalam Hammel et al. 1993). Sebanyak

0,1 mL buffer Na-laktat 50 mM; 0,1 mL guaiakol 4mM; 0,2 mL MnSO4 1mM; 0,1

mL H2O2 1 mL dan akuades 0,3 mL dimasukkan ke dalam kuvet kemudian

dikocok. Sebanyak 0,2 mL filtrat enzim yang akan diuji ditambahkan ke dalam

campuran tersebut (A), kemudian dikocok dan absorbansinya dibaca pada

spektrofotometer selama satu menit. Aktivitas MnP didapat dengan mengulang

reaksi tanpa MnSO4 dengan penambahan akuades menjadi 0,3 mL (B). Masing-

masing volume total campuran adalah 1 mL.

(At-A0)x Vtot (mL)x 109 Aktivitas enzim (U/mL) = εmax x d x volume enzim (mL) x t εmax = absorpsivitas molar guaiakol (12100 M-1 cm-1) d = tebal kuvet (cm) Aktivitas enzim MnP setiap unit = A(U) – B(U) Satu unit MnP didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang mengoksidasi 1 nmol substrat per menit.

Page 147: Jamur Tiram

125

Aktivitas lakase diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang 420 nm mengikuti metode Buswell et al. (1996). Sebanyak 0,5 mL

buffer asetat pH 5 dengan konsentrasi 0,5 M dan 0,1 mL 1 mM ABTS dimasukan

ke dalam kuvet, kemudian sebanyak 0,4 mL filtrat enzim yang diuji ditambahkan

sehingga volume total campuran adalah 1 mL. Selanjutnya campuran dikocok dan

absorbansinya dibaca pada spektro fotometer selama 0-30 menit.

(At-A0)x Vtot (mL)x 109 Aktivitas enzim (U/mL) = εmax x d x volume enzim (mL) x t εmax = absorpsivitas molar ABTS (36000 M-1 cm-1) d = tebal kuvet (cm) Satu unit aktivitas lakase didefinisikan sebagai terbentuknya 1 nmol produk per menit.

Aktivitas LiP diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang 310 nm (Tien dan Kirk 1984). Sebanyak 0,1 mL veratril alkohol 8

mM; 0,05 M buffer asetat pH 3 0,2 mL; akuades 0,45 mL; dan 0,005 mL H2O2 5

mM dimasukkan ke dalam kuvet kemudian ditambahkan 0,2 mL filtrat enzim

yang diuji dan absorbansinya dibaca pada spektrofotometer selama satu menit.

(At-A0)x Vtot (mL)x 109 Aktivitas enzim (U/mL) = εmax x d x volume enzim (mL) x t εmax = absorpsivitas molar veratril alkohol (9300 M-1 cm-1) d = tebal kuvet (cm) Satu unit aktivitas LiP didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang mengoksidasi 1 nmol substrat per menit.

Analisis kadar protein dengan menggunakan metode Lowry et al. (1951).

Pereaksi yang digunakan adalah Lowry A, B, C dan D. Lowry A dibuat dengan

melarutkan 6% (b/v) Na2CO3 dalam NaOH 0,2M. Lowry B dibuat dengan

melarutkan 1,5% (b/v) CuSO4.5H2O dalam 3% (b/v) Natrium sitrat. Komposisi

Lowry C terdiri dari Lowry A dan Lowry B (50:1) dan komposisi Lowry D adalah

pereaksi Folin Ciocalteau dan akuades (3:1). Pembuatan larutan Lowry C dan D

dilakukan in situ.

Page 148: Jamur Tiram

126

Sebanyak 10-50 µL enzim ditambah dH2O hingga volume 1,6 mL dan

ditambahkan ke dalam 600 µL Lowry C, dikocok dengan vorteks dan didiamkan

selama 10 menit. Selanjutnya sebanyak 200 µL larutan Lowry D ditambahkan dan

dikocok dengan vorteks dan didiamkan selama 30 menit. Serapannya diukur pada

panjang gelombang 750 nm. Pada kurva standar protein, enzim digantikan dengan

stok Bovine serum Albumin (BSA) 200 µg/mL. Standar BSA dibuat dengan

berbagai konsentrasi 0; 12,5; 25; 50; 100 dan 2000 µg/mL, dan diencerkan dengan

akuades sampai volume total 1,6 mL. Perlakuan selanjutnya sama seperti prosedur

pada enzim.

Isolasi dan Purifikasi MnP Dari Filtrat Kultur Jamur Dengan Kolom Kromatografi Cair dan Kromatografi Gel

Proses purifikasi dilakukan dua tahap. Tahap pertama dengan

menggunakan kromatografi kolom cair dengan matriks penukar anion DEAE-

Sepharose dan matriks hidrofobik Phenyl-Sepharose dengan bed-volume masing-

masing 2 ml dan 1 ml mengikuti metode Witarto (2000). Tahap kedua dengan

menggunakan gel kromatografi HiPrep 16/60 Sephacryl S-200 High Resolution

(GE Bioscences) dan HPLC AKTA Purifier (GE Bioscences).

Aplikasi sampel enzim kasar MnP dilakukan dengan cara memasukkan

sebanyak 15-30ml dalam kolom DEAE-Sepharose. MnP merupakan enzim

bermuatan negatif pada pH 7 sehingga enzim tersebut terikat dalam matriks

penukar anion ini. Sebelum aplikasi, kolom yang terisi matrik diekuilibrasi

dengan buffer potassium fosfat 10 mM pH 7,0. Setelah aplikasi sampel, kolom

dicuci (washing) dengan 30 ml buffer yang sama. Elusi dilakukan dengan

menambahkan sebanyak 1 mL buffer potassium fosfat 10 mM pH 7 yang

mengandung 0,1 M, 0,2 M, 0,3 M, 0,4 M, 0,5 M, 0,6 M, 0,7 M, 0,8 M, 0,9 M dan

1,0 M NaCl secara berturut-turut dan bertahap dan hasilnya ditampung dalam tube

masing-masing 1 sampai 3 ml.

Dalam penelitian ini juga dilakukan aplikasi sampel ke dalam kolom

hidrofobik Phenyl-Sepharose. Ekuilibrasi kolom menggunakan buffer potassium

fosfat 10 mM pH 7 yang mengandung 40% ammonium sulfat. Untuk elusi, ke

dalam kolom ditambahkan potassium fosfat 10 mM pH 7 yang mengandung

Page 149: Jamur Tiram

127

ammonium sulfat dengan konsentrasi berturut-turut 40%, 36%, 32%, 28%, 24%,

20%, 16%, 12%, 8%, 4% dan 0% secara bertahap masing-masing sebanyak 1 ml.

Purifikasi MnP dilakukan dengan flow rate 0,3 ml/min dan fraksinasi 1,5

ml/fraksi, buffer 10 mM potasium fosfat pH 7,0 dan HPLC AKTA Purifier (GE

Bioscences). Setelah dilakukan purifikasi, hasil fraksi purifikasi dan enzim kasar

dianalisis menggunakan SDS PAGE.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Uji Pendahuluan dan Produksi Skala Kecil untuk Melihat Ekspresi MnP

Hasil dari uji pendahuluan menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EA4,

Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24 dan P. ostreatus HO tidak

menghasilkan MnP secara signifikan. Sementara Pleurotus EB9 menghasilkan

MnP paling tinggi dalam substrat serbuk gergajian kayu sengon (Tabel 5.1).

Tabel 5.1 Ekspresi enzim MnP (U/ml) isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus secara ekstraseluler

JENIS ISOLAT Lama

Inkubasi (hari)

Pleurotus EA4-S1

Pleurotus EA4-P1

Pleurotus EB6-S1

Pleurotus EB6-P1

Pleurotus EB9-S1*1)

Pleurotus HO-S11

Pleurotus EAB7-P11

Pleurotus EB24-J1

Pleurotus EB24-P1

H-0 -2) - - - 0.041 - - - -

H-1 - - - - 0.050 0.000 0.000 - 0.000

H-2 0.138 0.000 0.007 0.000 0.048 0.000 - 0.034 0.000

H-3 0.000 0.000 0.007 0.034 0.083 0.083 0.048 0.000 0.000

H-4 0.000 0.000 0.021 0.000 0.117 0.000 0.055 0.000 0.000

H-5 0.103 0.000 0.000 0.000 0.124 0.028 0.000 0.000 0.000

H-6 0.000 0.048 0.000 0.000 0.213 0.000 0.041 0.103 0.090

H-7 0.062 0.000 0.000 0.000 - - 0.103 0.000 -

H-8 - - - - - - - - -

H-9 - - - - - - - - -

H-10 - - 0.000 0.062 - - - 0.083 -

H-11 - - 0.000 0.014 - - - 0.055 - Keterangan: 1) Kultur pada bioreaktor skala besar; 2) tidak teramati; Substrat kayu pinus (P), kayu

sengon (S) atau jerami (J) pada perlakuan penggoyangan (1) dan tanpa penggoyangan (11)

Page 150: Jamur Tiram

128

Penelitian yang sama dilakukan dengan tujuh isolat lainnya dengan

penentuan aktivitas ligninolitik MnP ekstrak pada saat 6 hari inkubasi. Isolat

Pleurotus EB9 menghasilkan MnP paling tinggi dalam substrat kayu sengon.

Kondisi media yang digoyang dengan shaker dapat lebih meningkatkan produksi

MnP (0,241 U/ml) (Tabel 5.2). Ekspresi MnP pada substrat kayu sengon yang

tidak digoyang untuk Pleurotus EB9 adalah 0,135 U/ml dan untuk P. ostreatus

HO, MnP tidak terdeteksi (Tabel 5.2).

Tabel 5.2 Ekspresi MnP (U/ml) setelah 6 hari inkubasi secara ekstraseluler

Substrat dan Perlakuan Jenis Isolat P (sh) P (n-sh) S (sh) S (n-sh) J (sh) J (n-sh)

Pleurotus EB14-2 - - - 0.000 0.000 0.000 Pleurotus EB24 0.090 - - 0.000 0.103 0.000 Pleurotus EA4 0.048 - 0.000 0.117 - - Pleurotus EAB7 - 0.041 0.000 0.000 0.000 0.131 Pleurotus EB6 0.000 0.000 0.000 - 0.000 0.000 Pleurotus EB9 0.034 0.165 0.241 0.135 0.000 0.041 P. ostreatus HO - - 0.014 0.000 0.069 0.000 P. chrysosporium PC - - - 0.152 - 0.048 kontrol 0.028 - 0.021 - 0.000 -

Keterangan: Substrat pinus (P), sengon (S) atau jerami (J): Kondisi media digoyang dengan shaker (sh) atau tanpa digoyang (n-sh); Ekspresi MnP oleh Pleurotus EB9 pada skala besar adalah 0, 213 U/ml

Penambahan sumber lignin alami diharapkan dapat meningkatkan aktivitas

enzim, karena sumber lignin alami serbuk gergajian kayu sengon ini juga dapat

memperbaiki pertumbuhan jamur liar yang diuji.

Produksi Enzim Skala Besar Pada Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EB9 menghasilkan

MnP dan lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.

Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat

seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang

mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada

hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam

bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6

diperoleh pH optimum sebesar 4,8 (Tabel 5.3 dan Gambar 5.1).

Page 151: Jamur Tiram

129

-0.200

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

0 1 2 3 4 5 6 7

Lama Inkubasi (Hari)

Akt

ivita

s Enz

im (U

/m

MnP LiPLakase

Tabel 5.3 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler pada substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor

Inkubasi hari ke- MnP LiP Lakase MnP pekat

LiP dengan blanko air pH

H0 0.041 0.197 0.000 0.000 0.251 5.6

H1 0.000 0.143 0.623 0.103 0.000 5.6

H2 0.048 0.000 0.891 0.000 0.000 5.5

H3 0.083 0.000 0.694 0.200 0.000 5.4

H4 0.117 0.000 0.926 0.000 0.000 5.1

H5 0.124 0.000 0.836 0.028 0.179 4.9

H6 0.213 0.000 0.970 0.200 0.000 4.8

Gambar 5.1 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor.

Perbandingan antara Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 hasil produksi

yang sudah diberi amonium sulfat untuk memekatkan kadar enzimnya, diketahui

bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP sebesar 0,138 U/ml dan aktivitas LiP

tidak terdeteksi dan lakase sebesar 0,914 U/ml sedangkan pada isolat Pleurotus

EA4 aktivitas MnP tidak terdeteksi dan produksi LiP dan lakase, berturut-turut

adalah 0,179 dan 0,086 U/mL (Tabel 5.4).

Dari penelitian pendahuluan dan produksi enzim skala kecil dan skala

besar di atas, dilanjutkan untuk melihat ekspresi lakase, MnP dan LiP pada isolat

Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dengan substrat kayu sengon pada skala kecil

menggunakan bioreaktor dengan penggoyangan. Untuk mengetahui potensinya

Page 152: Jamur Tiram

130

dalam menghasilkan MnP, pada kedua isolat dilakukan juga uji HPLC terhadap

isolasi enzim.

Tabel 5.4 Perbandingan Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara

ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As)

Enzim Metode Aktivitas (U/ml)_____________ Pleurotus EB9-As Pleurotus EA4-As

MnP Oksidasi guaiakol MnSO4 Pada λ 465 nm 0,138 TTd LiP Oksidasi veratryl alkohol menjadi Veratraldehid pada λ 310 nm TTd 0,179 Lakase Oksidasi ABTS pada λ 420 nm 0,914 0,086

TTd = Tidak terdeteksi

Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 Dalam Produksi Skala Kecil

Secara visual, reaksi yang menunjukkan adanya aktivitas enzim adalah

perubahan warna menjadi kuning sampai oranye pada campuran reaksi pada MnP,

perubahan warna menjadi merah pada campuran reaksi LiP dan pada aktivitas

lakase, adanya perubahan warna menjadi hijau sampai kebiruan pada campuran

(Gambar 5.2).

Gambar 5.2 Reaksi secara visual pada uji aktivitas MnP (A), LiP (B) dan lakase

(C) pada Pleurotus EB9 setelah inkubasi satu sampai 6 hari (H0 sampai H6) dibandingkan dengan kontrol (K).

K H1 H2 H3 H4 H5 H6

K H1 H2 H3 H4 H5 H6

K H1 H2 H3 H4 H5 H6

A

B

C

Page 153: Jamur Tiram

131

Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 pada pengujian ekspresi enzim juga

dibandingkan dengan ekspresi enzim dari isolat Pleurotus EB6, P. chrysosporium

PC dan P. ostreatus HO. Dalam pelaksanaan pengujian terdapat catatan yang

diduga dapat mempengaruhi ekspresi enzim yaitu lama penyimpanan enzim kasar

yang belum murni serta suhu tempat penyimpanan (Tabel 5.5). Berdasarkan lama

penyimpanan enzim kasarnya, perbandingan aktivitas enzim yang dapat dilakukan

adalah antara lain: 1) Ekspresi MnP, LiP dan lakase pada Pleurotus EB9

dibandingkan dengan Pleurotus EA4; 2) Ekspresi MnP Pleurotus EB6, P.

chrysosporium PC dan P. ostreatus HO dan; 3) Ekspresi LiP Pleurotus EB6, P.

chrysosporium PC dan P. ostreatus HO; 4) Ekspresi lakase Pleurotus EB6, P.

chrysosporium PC dan P. ostreatus HO.

Tabel 5.5 Lama penyimpanan enzim dari mulai panen sampai analisis ekspresi

enzim Pleurotus EB9, Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO

Lama penyimpanan dari panen sampai uji ekspresi enzim (hari)

Pleurotus EB9 Pleurotus EA4 Pleurotus EB6 P. chrysosporium

PC P. ostreatus

HO Hari ke- 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 36 36 36 28 36 36 61 31 72 61 31 72 61 31 72 2 35 35 35 27 35 35 60 30 71 60 30 71 60 30 71 3 34 34 34 26 34 34 59 29 70 59 29 70 59 29 70 4 33 33 33 25 33 33 58 28 69 58 28 69 58 28 69 5 32 32 32 24 32 32 57 27 68 57 27 68 57 27 68 6 31 31 31 23 31 31 56 26 67 56 26 67 56 26 67 7 30 30 30 22 30 30 55 25 66 55 25 66 55 25 66 8 29 29 29 21 29 29 54 24 65 54 24 65 54 24 65 9 28 28 28 20 28 28 53 23 64 53 23 64 53 23 64 10 27 27 27 19 27 27 52 22 63 52 22 63 52 22 63 11 26 26 26 18 26 26 51 21 62 51 21 62 51 21 62

Keterangan: 1 = lakase; 2 = MnP; 3 = LiP Suhu tempat penyimpanan -20oC

1. Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Pada Pleurotus EB9 Dan Pleurotus EA4

Ekspresi MnP dan LiP pada Pleurotus EB9 tidak terdeteksi, hanya

aktivitas lakase yang dihasilkan oleh Pleurotus EB9 yang mulai muncul pada hari

ke-6 dan meningkat pesat pada hari ke-10 (1,384 U/ml) (Gambar 5.3). Lama

penyimpanan enzim kasar selama 26 sampai 36 hari pada suhu sekitar -20oC

berpengaruh terhadap aktivitas MnP dan LiP, namun tidak terhadap lakase.

Page 154: Jamur Tiram

132

Aktivitas MnP dan LiP oleh Pleurotus EA4 tampak berfluktuasi, hasil ini

diduga disebabkan ketidakstabilan enzim ekstraseluler atau adanya kebocoran

pada sel jamur, sesuai dengan pendapat Kerem et al. (1992) dalam penelitiannya.

Hasil penelitian ini diduga disebabkan kurangnya ulangan (hanya 2 ulangan) dan

dilakukan dalam botol, yang harus dibuka ketika tiap kali dilakukan pengambilan

ekstrak kasar dengan cara mengambil langsung menggunakan mikropipet.

Ekspresi lakase pada Pleurotus EA4 tidak terdeteksi. Isolat Pleurotus EA4

mencapai aktivitas MnP tertinggi pada hari ke-9 (0,124 U/ml). Isolat Pleurotus

EA4 mencapai aktivitas LiP tertinggi pada hari ke-6 (0,430 U/ml) (Gambar 5.3).

Lama penyimpanan enzim kasar pada suhu -20oC selama 18 sampai 28 hari, dan

dipindahkan pada suhu -80oC dengan total penyimpanan 26 sampai 36 hari

sebelum pengujian berpengaruh terhadap aktivitas lakase, MnP dan LiP.

Gambar 5.3 Ekspresi MnP, LiP dan lakase isolat Pleurotus EB9 (A) dan Pleurotus EA4 (B).

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

1.400

1.600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Lama Inkubasi (Hari)

Aktivita

s Enz

im (U

/ml)

Lakase

MnP

LiP

A

-0.100

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Lama Inkubasi (Hari)

Akt

ivita

s Enz

im (U

/ml)

Lakase

MnP

LiP

B

Page 155: Jamur Tiram

133

2. Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO

Demikian juga pengujian ekspresi MnP pada Pleurotus EB6, P.

chrysosporium PC dan P. ostreatus HO kemungkinan dipengaruhi lama

penyimpanan enzim kasar dan suhu tempat penyimpanan, oleh karena itu

pembandingan tiap enzim ligninolitik hanya antar isolat, dan bukan dalam satu

isolat. Ekspresi MnP, LiP dan lakase pada hasil penelitian ini tampak berfluktuasi.

P. chrysosporium PC mempunyai ekspresi MnP tidak signifikan dengan puncak

pada hari ke-9 dan ekspresi MnP oleh P. ostreatus HO tidak terdeteksi. Pada

kondisi tersebut, Pleurotus EB6 mencapai aktivitas MnP tertinggi pada hari ke-3

(0,145 U/ml) (Gambar 5.4).

Gambar 5.4 Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C) Pleurotus EB6, P. chrysosporium PC dan P. ostreatus HO.

P. chrysosporium PC mempunyai ekspresi LiP tertinggi pada hari ke-2

(0,699 U/ml). P. ostreatus HO mempunyai ekspresi LiP tertinggi pada hari ke-2

-0.020

0.000

0.020

0.040

0.060

0.080

0.100

0.120

0.140

0.160

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Lama Inkubasi (Hari)

Aktivita

s MnP

(U/m

l)

Pleurotus EB6

P. chrysosporium PC

P. ostreatus HO

A

-0.1000.000

0.1000.200

0.3000.400

0.5000.600

0.7000.800

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Lama Inkubasi (Hari)

Aktivitas LiP (U

/ml)

Pleurotus EB6

P. chrysosporium PC

P. ostreatus HO

B

-0.100

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

0.700

0.800

0.900

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Lama Inkubasi (Hari)

Aktivitas Lakase (U

/ml)

Pleurotus E6

P. chrysosporium PC

P. ostreatus HO

C

Pleurotus EB6

Page 156: Jamur Tiram

134

(0,466 U/ml). Pada kondisi tersebut, Pleurotus EB6 mencapai aktivitas LiP

tertinggi pada hari ke- ke-2 (0,394 U/ml) (Gambar 5.4).

Ekspresi lakase pada P. chrysosporium PC tidak terdeteksi. P. ostreatus

HO mempunyai ekspresi lakase tertinggi pada hari ke-9 (0,817 U/ml). Pada

kondisi tersebut, Pleurotus EB6 mencapai aktivitas lakase tertinggi pada hari ke-

ke-7 (0,273 U/ml) (Gambar 5.4).

Ekspresi MnP, LiP dan Lakase Serta Bobot Kering Miselium P. djamor EB9 dan Pleurotus EA4 Dalam Produksi Skala Kecil

Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dilihat tingkat ekspresi enzim dan

hubungannya dengan bobot kering miselium. Dalam pelaksanaan pengujian

terdapat catatan yang diduga dapat mempengaruhi ekspresi enzim yaitu lama

penyimpanan enzim kasar serta suhu tempat penyimpanan (Tabel 5.6). Oleh

karena itu, maka perbandingan aktivitas enzim dan bobot kering miseliumnya

yang dapat dilakukan adalah: 1) Ekspresi MnP Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4

pada hari ke-3-30; 2) Ekspresi LiP Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 pada hari

ke-3-30; 3) Ekspresi lakase Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 pada hari ke-3-30

dan; 4) Ekspresi lakase, MnP dan LiP Pleurotus EB9 pada Pleurotus EA4 pada

hari ke-18-30.

Tabel 5.6. Lama penyimpanan enzim kasar dari mulai panen sampai analisis

ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4

Lama penyimpanan untuk lakase (hari)

Lama penyimpanan untuk MnP (hari)

Lama penyimpanan untuk LiP (hari)

Hari ke-

Pleurotus EB9 (-60oC)

Pleurotus EA4 (-60oC)

Pleurotus EB9 (-60oC)

Pleurotus EA4 (-60oC)

Pleurotus EB9

(-60oC)

Pleurotus EA4

(-60oC) 3 26 26 47 47 34 34 6 23 23 43 43 31 31 9 20 20 41 41 28 28

12 17 17 40 40 25 25 15 14 14 37 37 22 22 18 49 49 49 49 49 49 21 46 46 46 46 46 46 24 43 43 43 43 43 43 27 40 40 40 40 40 40 30 37 37 37 37 37 37

Page 157: Jamur Tiram

135

Produksi enzim isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 diamati setiap 3

hari sekali selama 30 hari. Ekspresi MnP, LiP dan lakase pada hasil penelitian ini

tampak berfluktuasi. Isolat Pleurotus EB9 menghasilkan ekspresi MnP tertinggi

pada hari ke-9 (0,145 U/ml). Isolat Pleurotus EA4 menghasilkan ekspresi MnP

tertinggi pada hari ke-18 (0,310 U/ml).

Gambar 5.5 Tingkat ekspresi MnP (A), LiP (B) dan lakase (C), serta bobot kering

miselium (D) Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 .

-0.200

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33

Lama Inkubasi (Hari)

Akt

ivita

s La

kase

(U/m

l)

Pleurotus EB9

Pleurotus EA4

C

-0.050

0.000

0.050

0.100

0.150

0.200

0.250

0.300

0.350

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33

Lama Inkubasi (Hari)

Akt

ivita

s M

nP (U

/ml)

Pleurotus EB9

Pleurotus EA4

A

-0.1000.0000.1000.2000.3000.4000.5000.6000.700

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33

Lama Inkubasi (Hari)

Akt

ivita

s Li

P (U

/ml)

Pleurotus EB9Pleurotus EA4

B

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

0 5 10 15 20 25 30 35

Lama Inkubasi (Hari)

Bob

ot K

erin

g (g

ram

)

Pleurotus EB9Pleurotus EA4

D

Page 158: Jamur Tiram

136

Isolat Pleurotus EB9 menghasilkan ekspresi LiP tertinggi pada hari ke-24

(0,430 U/ml). Isolat Pleurotus EA4 menghasilkan ekspresi LiP tertinggi pada hari

ke-15 (0,609 U/ml). Isolat Pleurotus EB9 menghasilkan ekspresi lakase tertinggi

pada hari ke-6 (0,970 U/ml). Isolat Pleurotus EA4 menghasilkan ekspresi lakase

tertinggi pada hari ke-27 (0,616 U/ml) (Gambar 5.5).

Data pengukuran bobot kering miseliumnya menunjukkan bahwa bobot

kering Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 cenderung semakin menurun seiring

lamanya masa inkubasi. Bobot kering Pleurotus EB9 paling tinggi terlihat pada

hari ke-3 dan Pleurotus EA4 pada hari ke-9 (Gambar 5.5). Tingkat ekspresi MnP,

LiP dan lakase isolat yang tinggi ternyata tidak terjadi pada bobot kering miselium

yang tinggi, tapi sebaliknya, terjadi pada bobot kering yang lebih rendah. Namun

pada Pleurotus EB9 ekspresi enzim MnP dan LiP puncak terjadi pada bobot

kering miselium yang tinggi, yaitu pada hari ke 15 dan Pleurotus EA4 pada panen

hari ke 24 (Gambar 5.5).

Isolasi MnP Dengan Kolom Kromatografi Cair

1. Tahap Pemurnian Dengan Presipitasi 40% Ammonium Sulfat

Purifikasi parsial hanya dilakukan pada Pleurotus EB9 penghasil MnP

tertinggi dengan menggunakan media cair (1000 ml) dan substrat lignin alami

berupa serbuk kayu sengon. Aktivitas enzim ekstraseluler diukur dari filtrat

menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 mempunyai ekspresi MnP yang semakin

meningkat dengan semakin bertambahnya masa inkubasi. Produksi skala besar

Pleurotus EB9 yang sudah diberi amonium sulfat 40% menghasilkan aktivitas

MnP dan lakase yang signifikan, tapi produksi LiP tidak terdeteksi. Produksi

enzim pada Pleurotus EB9 yang telah dipekatkan dengan 40% amonium sulfat

(Pleurotus EA4-AS) diperoleh peak pada fraksi ke 96 (Tabel 5.7).

Produksi enzim skala besar dengan bioreaktor juga dilakukan terhadap

Pleurotus EA4, tujuannya selain untuk pembanding juga untuk melihat adanya

potensi produksi MnP. Produksi skala besar isolat Pleurotus EA4 yang sudah

diberi amonium sulfat 40% menghasilkan aktivitas LiP dan lakase, namun MnP

tidak terdeteksi (Tabel 5.7).

Page 159: Jamur Tiram

137

Tabel 5.7 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) Pleurotus EB9 dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor dengan Pleurotus EB9-AS, Pleurotus EB9-F dan isolat Pleurotus EA4-AS

Lama Inkubasi Mn-P Li-p Lakase H0 0,041 0,224 0 H1 0,05 0,0701 0,623 H2 0,048 0 0,891 H3 0,083 0 0,694 H4 0,117 0 0,926 H5 0,124 0,06 0,836 H6 0,213 0 0,97 EB9-AS 0,138 0 0,914 EB9-F 0,062 0 0 EA4-AS 0 0,179 0,086

Keterangan: EB9-AS: Produksi enzim Pleurotus EB9 yang sudah diberi 40% amonium sulfat; EB9-F: Produksi enzim pada Pleurotus EB9-AS diperoleh peak pada fraksi ke 96 yang kemudian diambil; EA4-AS: Produksi skala besar isolat Pleurotus EA4 yang sudah diberi amonium sulfat 40%

2. Tahap Pemurnian Dengan Kolom Kromatografi Cair Penelitian isolasi MnP isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dimulai

dengan kromatografi kolom dan SDS-PAGE fraksi hasil kromatografi kolom

tersebut. Untuk isolat Pleurotus EA4 menggunakan kromatografi kolom terbuka

penukar ion dengan matriks DEAE dan matriks Phenyl, sedang untuk Pleurotus

EB9 menggunakan kromatografi kolom terbuka penukar ion dengan matriks

DEAE.

Hasil ekstraksi dan purifikasi enzim kasar Pleurotus EA4, pada perlakuan

inkubasi 4 hari maupun 12 hari tidak diperoleh pita-pita yang menunjukkan

keberadaan MnP atau enzim, walaupun sudah ditambahkan amonium sulfat 40%.

Hal ini menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EA4 tidak menghasilkan MnP,

sehingga tidak dilakukan eksperimen lebih lanjut (Gambar 5.6).

Isolasi enzim MnP Pleurotus EB9 yang difermentasi 6 hari tanpa diberi

amonium sulfat tidak menghasilkan enzim karena diduga konsentrasinya kurang

pekat. Setelah diberi amonium sulfat 40%, diperoleh beberapa fraksi enzim dari

mulai enzim kasar sampai hasil elusi 0,1, 0,2, 0,3 dan 0,4% NaCl dan pita dengan

bobot molekul kira-kira 43 kDa yang merupakan bobot molekul rata-rata MnP

(Gambar 5.7).

Page 160: Jamur Tiram

138

Keterangan: Pada sampel pemekatan 40% amonium sulfat sebelum kromatografi, diperoleh

aktivitas (U/mL): MnP, 0; LiP, 0,179; lakase, 0,086. Buffer pp+AS: buffer pirofosfat dan ammonium sulfat; M: marker LMW

Gambar 5.6 SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel hidrofobik (Phenyl-

Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EA4.

Keterangan: Pada sampel pemekatan 40% AS sebelum kromatografi, diperoleh aktivitas (U/mL):

MnP, 0, 138; LiP, 0; lakase, 0,914; Crude E4 12 h ink: ekstrak kasar Pleurotus EA4 umur kultur 12 hari inkubasi.

Gambar 5.7 SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar anion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat isolat Pleurotus EB9.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lane : M = LMW 1 = ekstrak AS 60 % 2 = elusi 0.04% buffer pp+AS 3 = elusi 0.08 % buffer pp+AS 4 = elusi 0.12% buffer pp+AS 5 = elusi 0.16% buffer pp+AS 6 = elusi 0.20% buffer pp+AS 7 = elusi 0.24% buffer pp+AS 8 = elusi 0.28% buffer pp+AS 9 = elusi 0.32% buffer pp+AS 10= elusi 0.36% buffer pp+AS 11= elusi 0.40% buffer pp+AS 12= ekstrak kasar

14,420,1

30,0

45,0

66,097,0kDa

Page 161: Jamur Tiram

139

Gambar 5.8 Kromatogram pemurnian protein sampel Pleurotus EB9-amonium

sulfat 40% dengan gel kromatografi.

Ekstrak kasar Pleurotus EB9 yang sudah diberi amonum sulfat kemudian

disentrifugasi. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan buffer pirofosfat pH 7

sebanyak 10 ml dan didialisis dengan buffer yang sama sebanyak 2 liter selama 17

jam. Hasil pemurnian protein menunjukkan bahwa aktivitas MnP muncul pada

fraksi ke 96 (Gambar 5.8). Purifikasi parsial MnP dilakukan dengan mengelusi

endapan yang telah dilarutkan ke dalam kolom kromatografi gel HiPrep 16/60

Sephacryl S-200 resolusi tinggi (GE Biosciences) menggunakan buffer 10 mM

potassium fosfat pH 7,0, dengan kecepatan alir 0,3 mL/menit dan fraksinasi 1,5

mL/fraksi pada HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences).

Pada Gambar 5.9 disajikan fraksi 96 kromatografi gel isolat Pleurotus EB9

yang kemudian dilakukan SDS-PAGE dan hasilnya terdapat pita yang sangat jelas

dengan bobot molekul sekitar 41,7 sampai dengan 43 kDa yang diperkirakan

bobot molekul MnP.

Aktivitas spesifik MnP untuk Pleurotus EB9 filtrat enzim kasar sebesar

1,092 U/mg, sedangkan aktivitas spesifik enzim MnP untuk Pleurotus EB9 40%

amonium sulfat (presipitas 40% AS) sebesar 1,605 U/mg. Aktivitas spesifik MnP

untuk Pleurotus EB9-Fraksi 96 kromatografi gel diperoleh sebesar 4,133 U/mg

protein. Kemungkinan tingkat kemurnian total akan jauh lebih besar, karena

hanya 1 ml yang diambil untuk HPLC dari 40 ml contoh (Tabel 5.8).

Page 162: Jamur Tiram

140

Keterangan: M: marker; 1: lajur 1, yaitu sampel awal sebelum kromatografi gel; 2: lajur 2, fraksi

96 Gambar 5.9 SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan

40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9.

Hasil tahapan purifikasi disajikan pada Tabel 5.8, terlihat bahwa persen

perolehan kembali (recovery) MnP yang didapat sebesar 4,133 U/mg protein

dengan kemurnian 3,8 kali. Tingkat keberhasilan pemurnian (yield) ini masih

sangat rendah, sehingga di kemudian hari masih perlu diperbaiki tahap pemurnian

yang lebih efektif.

Tabel 5.8 Aktivitas enzim MnP dari Pleurotus EB9 pada tahapan pemurnian parsial

Konsentrasi Protein Aktivitas MnP No.

Sampel Volume Sampel

(ml) mg/ml Mg per volume

total

U/ml Unit per volume

total

U/mg

Tingkat Kemurnian

(x)

Yield (%)

1 Filtrat kasar

550 0,195 107,25 0,213 117,15 1,092 1,0 100

2 Presipitas 40% AS

40 0,086 3,44 0,138 5,52 1,605 1,5 4,7

3 Fraksi 96 kromatografi

gel

1 0,015 0,015 0,062 0,06 4,133 3,8 0,05

Page 163: Jamur Tiram

141

Pembahasan

Hasil uji pendahuluan dalam percobaan untuk melihat ekspresi enzim

ligninolitik jamur kelompok Pleurotus tersebut, menunjukkan bahwa isolat

Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24 dan P.

ostreatus HO tidak menghasilkan MnP dengan jumlah signifikan. Sementara

Pleurotus EB9 paling tinggi menghasilkan MnP dalam substrat serbuk gergajian

kayu sengon.

Penelitian yang sama dilakukan pada ketujuh isolat dengan penentuan

aktivitas ligninolitik MnP ekstrak. Isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4,

diketahui memiliki kemampuan dalam proses delignifikasi material lignoselulosa

yaitu substrat kayu sengon. Produksi skala besar untuk isolasi MnP dengan

memakai isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dilakukan dengan

menggunakan substrat kayu sengon dan menggunakan bioreaktor. Sesuai dengan

hipotesis yang disampaikan, bahwa isolat spesies jamur yang berbeda memiliki

aktivitas ligninase yang berbeda. Ternyata bahwa jenis isolat dan juga media

berpengaruh dalam produktivitas enzim ligninolitik. Dalam penelitian ini media

yang digunakan adalah media yang mengandung mangan yang dimodifikasi dari

Brown et al. (1990), yaitu dengan penambahan serbuk kayu sengon sebanyak 8

gram/l. Penambahan sumber lignin alami diharapkan dapat meningkatkan

aktivitas enzim. Karena sumber lignin alami serbuk kayu sengon ini juga dapat

memperbaiki pertumbuhan jamur liar yang diuji.

Aktivitas MnP, LiP dan lakase pada produksi skala kecil oleh jamur

kelompok Pleurotus dalam penelitian tampak berfluktuasi, hasil ini diduga

disebabkan ketidakstabilan enzim ekstraseluler atau adanya kebocoran pada sel

jamur, sesuai dengan pendapat Kerem et al. (1992). Hasil penelitian ini diduga

juga disebabkan kurangnya ulangan (hanya 2 ulangan) dan dilakukan dalam botol,

yang harus dibuka ketika tiap kali dilakukan pengambilan ekstrak kasar dengan

cara mengambil langsung menggunakan mikropipet. Disarankan pada penelitian

yang akan datang, kultur dilakukan di dalam bioreaktor yang memudahkan dalam

pengambilan ekstrak kasar tanpa harus mengganggu pertumbuhan jamur.

Page 164: Jamur Tiram

142

Produksi enzim skala besar pada isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP

dan lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.

Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat

seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang

mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada

hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam

bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6

diperoleh pH optimum sebesar 4,8. Penurunan pH secara perlahan sebesar lebih

kurang 0,8 selama 6 hari inkubasi menunjukkan pertumbuhan miselium yang

optimum, yang menunjukkan respirasi berjalan normal. Gangguan seperti

kurangnya aerasi pada kultivasi ini dapat mengakibatkan penurunan pH secara

drastis menjadi 2,8 pada hari ke 6.

Perbandingan antara Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 hasil produksi

yang sudah diberi amonium sulfat untuk memekatkan kadar enzimnya, diketahui

bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP sebesar 0,138 U/ml dan aktivitas LiP

tidak terdeteksi dan lakase sebesar 0,914 U/ml sedangkan pada isolat Pleurotus

EA4 aktivitas MnP tidak terdeteksi dan produksi LiP dan lakase, berturut-turut

adalah 0,179 dan 0,086 U/mL. Menurut Sarkar et al. (1997), manganese

peroksidase pada media glucose-amonium tartrate atau glukose-peptone, muncul

pada hari ke 3 dan maksimal pada hari ke 6, kemudian akan menurun. Deteksi

dilakukan dengan heme absorban pada λ 410 nm, sedang pada P. chrysosporium

maksimal pada hari ke 5 dengan λ 415 nm, dan pada P. radiata dapat dideteksi

pada λ 610 nm. Jenis isolat dan media berpengaruh pada produktivitas enzim

ligninolitik.

Aktivitas spesifik MnP untuk Pleurotus EB9 filtrat enzim kasar sebesar

1,092 U/mg, sedangkan aktivitas spesifik enzim MnP untuk Pleurotus EB9

dengan presipitas 40% amonium sulfat sebesar 1,605 U/mg. Aktivitas spesifik

MnP untuk Pleurotus EB9-Fraksi 96 kromatografi gel yang diperoleh sebesar

4,133 U/mg protein dengan kemurnian 3,8 kali. Hasil rangkuman data pemurnian

MnP dari Pleurotus EB9, menunjukkan tingkat keberhasilan pemurnian (yield)

yang masih sangat rendah, sehingga dikemudian hari masih perlu diperbaiki tahap

pemurnian yang lebih efektif. Dalam percobaannya, Sarkar et al. (1997)

Page 165: Jamur Tiram

143

melaporkan bahwa medium pepton meningkatkan hasil MnP pada P. ostreatus

sampai 65% dan faktor purifikasi 25. Pada P. eryngii, P. ostreatus, P.

pulmonarius dan P. sajor-caju, MnP tidak terdeteksi bila ditumbuhkan dalam

media cair dengan ammonium tartrate sebagai sumber N, aktivitas tinggi MnP

diperoleh pada medium pepton mendekati 3 U/ml pada kultur P. eryngii.

Fraksi 96 kromatografi gel isolat Pleurotus EB9 yang kemudian dilakukan

SDS-PAGE dan hasilnya terdapat pita yang sangat jelas dengan bobot molekul

sekitar 41,7 sampai dengan 43 kDa yang diperkirakan bobot molekul MnP. Hasil

ini diyakini bahwa isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP yang telah berhasil

dimurnikan dan menunjukkan bobot molekul 43 kDa.

Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler

pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua enzim yang

berperan dalam proses tersebut adalah lakase, LiP dan MnP (Howard et al. 2003;

Kirk et al. 1978).

Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi

oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen penol, diamin dan

beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Mekanisme reaksi enzimatik yang

terjadi oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu elektron. Dibutuhkan peranan

molekul oksigen sebagai penerima elektron dan kemudian membentuk molekul

air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu elektronnya dan

biasanya terbentuk radikal fenoksi bebas (Thurston 1994) yang berperan sebagai

intermediet. Radikal bebas yang tidak stabil tersebut dapat melangsungkan reaksi

oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi,

disproporsionasi dan polimerisasi (Thurston 1994).

Lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan secara

luas oleh karena lakase sifat spesifiknya yang rendah terhadap substrat-

substratnya (Cavallazzi et al. 2004; Thurston 1994). Pemanfaatan lakase sangat

luas diterapkan dalam berbagai bidang antara lain dalam proses bioremediasi dan

biodegradasi polutan organik pada tanah seperti klorofenol (Ahn et al. 2002), dan

polisiklik aromatik hidrokarbon (Han et al. 2004), pada proses dekolorisasi dan

detoksifikasi pada pewarna tekstil (Abadulla et al. 2000) serta digunakan sebagai

Page 166: Jamur Tiram

144

bleaching pada proses biodelignifikasi pada pulp industri kertas (Bourbonnais dan

Paice 1992).

Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen

peroksida oksidoreduktase; bobot molekul antara 38 dan 43 kDa) dan MnP

(EC.1.11.1.13; Mn(II): H2O2 oksidoreduktase; bobot molekul antara 43 dan 49

kDa) merupakan glikoprotein yang memiliki sebuah protoporfirin IX sebagai

gugus prostetik dan membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka

1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993).

Enzim ekstraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting

dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa

reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non

fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol,

hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen

non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Sedangkan MnP diketahui

memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik

senyawa lignin.

Seperti enzim peroksidase lainnya, LiP memiliki siklus katalitik yang

dinamakan mekanisme ping-pong. Reaksi yang terjadi yakni H2O2 mengoksidasi

enzim pada keadaan awal (resting enzyme) dengan dua elektron membentuk

senyawa intermediet I, senyawa tersebut kemudian mengoksidasi substrat

aromatik dengan menggunakan satu elektron membentuk senyawa intermediet II

dan produk radikal bebas. Senyawa intermediet II yang dihasilkan dapat kembali

mengoksidasi substrat lainnya sehingga terbentuk enzim awal dan produk radikal

bebas (Cullen dan Kersten 1992). Terbentuknya radikal bebas secara spontan atau

bertahap inilah yang mengakibatkan lepasnya ikatan antar molekul dan beberapa

inti pada cincin aromatik.

Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+

membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang

oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau penstabilkan

Mn3+. Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksidasi oleh H2O2

membentuk MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+ dan senyawa fenol

membentuk MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi kembali oleh

Page 167: Jamur Tiram

145

Mn2+ tetapi tidak oleh fenol membentuk enzim keadaan awal dan produk

(Wariishi et al. 1989). Adanya Mn2+ bebas sangat penting untuk menghasilkan

siklus katalitik yang sempurna.

Manganese peroksidase dihasilkan oleh P. ostreatus (Sarkar et al. 1997)

dan juga oleh P. crysosporium (Brown et al. 1990) dan oleh Phlebia radiata

(Vares et al. 1995). Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim yang

berbeda-beda, misalnya ada yang hanya menghasilkan LiP dan MnP, MnP dan

lakase, atau jamur yang menghasilkan LiP dan lakase (Kerem dan Hadar 1998).

Sampai saat ini isolat jamur pelapuk putih P. chrysosporium banyak menjadi

obyek para peneliti dikarenakan menghasilkan aktivitas LiP dan MnP yang tinggi.

Seperti halnya pada lakase selain potensi dalam proses biodelignifikasi, lignin

peroksidase dan mangan peroksidase berpotensi dalam proses biobleaching dan

biopulping pulp serta proses degradasi senyawa-senyawa berbahaya.

Terdapat dua tipe jamur pelapuk putih yaitu : a) yang menghasilkan LiP,

MnP dan lakase dan 2) tanpa LiP (Hatakka 1994). LiP dan MnP secara umum

telah dikarakterisasi pada P. chrysosporium, dan produksi lakase telah dilaporkan

pada jamur ini dengan media dengan selulosa sebagai sumber karbon (Srinivasan

et. al. 1995). Umumnya jamur pelapuk putih, termasuk P. eryngii dan P.

ostreatus, termasuk grup kedua. Ketidakadaan LiP pada tipe kedua ini

menyebabkan degradasi lignin lebih condong dalam jerami gandum (Martinez et

al. 1994 dalam Sarkar et al. 1997). Menurut Peláez et al. (1995) tipe ini

menghasilkan juga aril alkohol oksidase (AAO). Meskipun tanpa LiP, spesies

tersebut mampu mendegradasi lignin jerami gandum (Martinez et. al. 1996), yang

merupakan sifat penting untuk aplikasi bioteknologi yang berhubungan dengan

industri pulp dan kertas dan makanan hewan. Spesies ini juga menghasilkan aryl-

alcohol oxidase (AAO) (Peláez et. al. 1995) sebuah enzim yg berpartisifasi dalam

produksi hidrogen peroksida yang penting untuk aksi MnP (Guillén et.al. 1996).

Studi-studi saat ini menunjukkan pengaruh positif Mn2+ pada degradasi lignin

oleh Pleurotus (Camarero et. al. 1996).

Pleurotus spp. diketahui mempunyai daya delignifikasi yang selektif

dibanding P. chrysosporium yang delignifikasinya tidak selektif (Kerem et al.

Page 168: Jamur Tiram

146

1992). Hal ini merupakan potensi yang besar untuk industri pulp, khususnya

dalam proses biobleaching dan biopulping (Jurasek dan Paice 1990).

Aktivitas ligninolitik jamur pelapuk putih seperti pada Trametes versicolor

dan P. chrysosporium meningkat pada media tumbuh yang kandungan karbon

sederhana dan nitrogennya rendah (Eaton dan Hale 1993; Katagiri et al. 1995).

Namun berdasarkan hasil penelitian Sugipriatini (1998) diketahui bahwa

penambahan glukosa dapat menekan pertumbuhan maupun aktivitas ligninolitik

salah satu jamur pelapuk putih Ganoderma spp.. Beberapa jamur liar diketahui

memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang tinggi dan dalam

pertumbuhannya menggunakan lignin sebagai sumber karbon (Artiningsih et al.

2000). Ho et al. (1990) juga mengemukakan bahwa penambahan 0,25% pulp pada

media inokulum mendorong kecepatan pertumbuhan C. versicolor dengan

memperpendek periode lag bleaching dari 2 hari menjadi 1 hari dan mempertinggi

proses rangkaian pemutihan pulp.

Karakterisasi ligninolitik isolat-isolat jamur uji pada substrat gergajian

kayu sengon menunjukkan bahwa Pleurotus EB9, Pleurotus EA4 dan Pleurotus

EAB7 mempunyai potensi ligninolitik. Namun dalam aktivitas enzim Pleurotus

EB9 lebih menonjol dibanding isolat lainnya. Perbedaan potensi isolat Pleurotus

dalam biodegradasi diduga karena kondisi kultur yang berbeda yaitu antara media

padat dan cair juga diduga dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Pada media

padat, enzim yang disekresikan lebih terkonsentrasi atau mengumpul karena

mempunyai kerapatan atau densitas molekulnya yang tinggi. Pada media cair,

enzim yang terinduksi akan mudah menyebar dan molekul enzimnya akan

bereaksi dengan substrat yang berada cukup jauh karena disebarkan oleh air.

Selain itu dengan menggunakan media cair, maka dapat dilakukan pengadukan,

sehingga proses degradasi substrat lebih merata dan sempurna. Kultivasi media

yang padat akan mempersulit pengadukan. Menurut laporan Ho et al. (1990) dan

Reid et al. (1990) pengadukan secara mekanik dengan kecepatan 110-220 putaran

per menit telah dapat mencegah penggumpalan dan proses pemutihan biologis

berjalan sempurna. Menurut Herliyana (1997) proses pemutihan pulp kayu akasia

dan pulp kayu pinus dengan menggunakan P. chrysosporium pada kondisi aerasi

maupun non-aerasi menghasillkan perubahan warna pulp yang masih belum

Page 169: Jamur Tiram

147

merata, yaitu terlihat masih adanya warna gelap pada sebagian pulp pinus. Selain

faktor aerasi dan tidak adanya pengadukan, ukuran gumpalan pulp juga diduga

menjadi salah satu faktor penyebab belum meratanya degradasi lignin pada pulp.

Degradasi lignin, prinsipnya merupakan proses oksidatif dan tidak-spesifik

oleh jamur pelapuk putih. Proses tersebut berhubungan dengan lignin peroxidase

dan sistem kompleks dengan beberapa enzim (ligninolytic, H2O2-producing and

reductases) dan reduced oxygen species (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 1994;

Guillén et. al. 1996). Enzim-enzim ligninolitik, LiP, MnP dan lakase,

mengkatalisis oksidasi satu elektron unit lignin aromatic radicals yang memulai

depolimerisasi non-enzymatic. Jamur yang menghasilkan MnP ini adalah P.

ostreatus (Sarkar et al. 1997), P. chrysosporium (Brown et al. 1990) dan Phlebia

radiata (Vares et al. 1995). Enzim ini akan menghasilkan produk berupa Mn 3+

dan air, reaksinya adalah MnSO4 + H2O2 ↔ Mn 3+ + H2O.

Terdapat tiga MnP yang berbeda telah dipurifikasi dari P. ostreatus dan

satu MnP isoenzyme telah dipetakan (Becker dan Sinitsyn 1993; Asada et. al.

1995). MnP isoenzymes pada P. eryngii menunjukkan sifat katalitik yang telah

dikarakterisasi dari media glukosa pepton (Martinez et. al. 1996).

Sifat biokimia dan molekuler MnP isoenzymes yang dihasilkan P. eryngii

dan P. ostreatus dalam media glucose-peptone telah dianalisis. Dua DNA probes

untuk P. eryngii dan P. ostreatus diperoleh dengan PCR untuk mendeteksi

homologi diantara gen-gen MnP pada kedua jamur tersebut (Sarkar et. al. 1997).

Simpulan

Isolat dengan MnP yang signifikan yaitu Pleurotus EB9 dan Pleurotus

EA4 kemudian dipurifikasi MnP-nya. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan,

bahwa produk enzim ligninolitik dipengaruhi oleh kondisi media, jenis isolat, dan

suhu serta lama penyimpanan. Isolat Pleurotus EB9 menunjukkan ekspresi lakase

dan MnP yang signifikan pada media cair, namun untuk LiP tidak terdeteksi.

Sebaliknya isolat Pleurotus EA4 menunjukkan ekspresi lakase dan LiP yang

signifikan, namun untuk MnP tidak terdeteksi.

Page 170: Jamur Tiram

148

Isolasi enzim dengan kolom kromatografi cair dari Pleurotus EA4 tidak

didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan

bahwa Pleurotus EA4 tidak menghasilkan enzim MnP.

SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose)

terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 diperoleh

pita dengan bobot molekul kira-kira 43 kDa, yang merupakan BM rata-rata MnP.

Selanjutnya hasil pemurnian dengan kolom gel kromatografi HiPrep 16/60

Sephacryl S-200 resolusi tinggi diperoleh peak pada fraksi ke 96. SDS PAGE

hasil kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat

dari Pleurotus EB9 diyakini bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP.

Data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9 menunjukkan bahwa tingkat

pemurnian masih sangat rendah (3,8). Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh

sekitar 4,133 U/mg protein.

Page 171: Jamur Tiram

6. IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER FISIOLOGIS, LIGNINOLITIK DAN MORFOLOGIS ENAM ISOLAT KELOMPOK

Pleurotus ASAL BOGOR

(Identification Based Physiological, Ligninolytical and Morphological Characters of Six Isolates of Pleurotus Group of Bogor)

Abstrak

Lebih dari 24 isolat jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus diisolasi dari beberapa tempat di Bogor. Enam isolat diantaranya dapat membentuk tubuh buah pada media serbuk gergajian kayu sengon (Paraserianthes falcataria). Enam isolat tersebut adalah Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9. Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter fisiologi, ligninolitik dan morfologi. Karakter fisiologi mencakup tipe koloni kultur dan laju pertumbuhan koloni pada media PDA, MEA dan MPA, serta reaksi oksidasi dengan menggunakan media malt yang mengandung asam galat (AAG) dan asam tanat (AAT). Karakter ligninolitik meliputi produksi enzim ligninase khususnya manganese peroksidase (MnP). Karakter morfologis secara makroskopis dan mikrokopis meliputi penampakan tubuh buah secara visual, jumlah tangkai, ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia. Teknik parafin untuk membuat preparat mengacu pada modifikasi SPM (2002). Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop cahaya, mikroskop lusida, teknik mikroskop elektron payaran (SEM). Selain foto mikroskopik dan makroskopik, dilakukan pula line-drawing oleh pelukis berlisensi. Terminologi untuk deskripsi karakteristik morfologi makroskopis mengacu pada Corner (1981 dan 1994) dan Brown (1981). Terminologi untuk deskripsi karakteristik tekstur koloni jamur mengacu pada Stalpers (Rayner dan Boddy 1988). Terminologi karakteristik mikroskopik mengacu pada Rayner dan Boddy (1988), Corner (1981 dan 1994) dan Brown (1981).

Hasil identifikasi enam isolat yang dapat membentuk tubuh buah adalah lima isolat Hohenbuehelia petaloides yang terdiri atas EB14-2 (cokelat-muda), EB24 (cokelat keabu-abuan), EA4 (cokelat muda), EAB7 (cokelat keabu-abuan), dan EB6 (cokelat keabu-abuan) serta Pleurotus djamor EB9 (pink). Analisis kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi dan morfologi menunjukkan bahwa P. djamor EB9 berbeda dengan H. petaloides. Produksi enzim ligninase khususnya MnP P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 juga berbeda.

Kata-kata Kunci: Jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus, P. djamor EB9, H.

petaloides, morfologi, identifikasi

Page 172: Jamur Tiram

150

Abstract

More than 24 isolates of white-rot fungi of Pleurotus group were isolated from various places in Bogor. Six among them were able to form fruit body on sengon (Paraserianthes falcataria) wood sawdust medium. Those six isolates are Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9. The identification was based on its physiological, ligninolytical, and morphological characters. The physiological character includes colony type culture and colony growth rate on PDA, MEA, and MPA mediums, and the oxidation reaction using malt medium that contain galat (AAG) and tannic (AAT) acids. The ligninolytical character includes the production of ligninase enzyme, especially manganese peroksidase (MnP) of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4. The morphological character, macroscopically and microscophically, includes the visual appearance of fruit body, the number of stalks, the sizes of pileus and stalk, the lengths and widths of basidospora, sistidia, and basidia. The paraphine technique in making preparats was referred to microtom methode/SPM modification (2002). The morphological observation was done by using light microscope, lucida microscope, and scanning electron microscope (SEM). Beside microscopic and macroscopic photos, line-drawing was also conducted by licensed painter. The terminology of macroscopic morphological characteristic description was referred to Corner (1981 and 1994) and Brown (1981). The terminology of fungi colony texture characteristic description was referred to Stalpers (Rayner and Boddy 1988). The terminology of microscopic characteristic was referred to Rayner and Boddy (1988), Corner (1981 and 1994) and Brown (1981). The identification result of six isolates that were able to form fruit body are five isolates of Hohenbuehelia petaloides, which are EB14-2 (light brown), EB24 (gray brown), EA4 (light brown), EAB7 (gray brown), and Eb6 (gray brown), and also Pleurotus djamor EB9 (pink). The analysis result of isolate group based on physiological and morphological characters showed that P. djamor EB9 is different with H. petaloides. The production of ligninase enzyme, especially MnP, of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4 are also different. Keywords: White-rot fungi of Pleurotus group, P. djamor EB9, H. petaloides,

morphology, identification

Page 173: Jamur Tiram

151

Pendahuluan

Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu (Alexopoulos et al.

1996; Dix dan Webster 1995) dan lignicolous (hidup di dalam, pada atau di luar

kayu) (Brown 1981). Jamur pleurotoid adalah jenis jamur yang mempunyai ciri-

ciri penting di lapangan sebagai berikut: a). tidak mempunyai cincin, b). tidak

mempunyai volva, c). konsistensi tangkai padat, d). attachment tangkai: tangkai

pendek atau absen (pinggir, kurang dari 2 cm), eksentrik atau lateral; e).

attachment lamela, fungi berlamela melanjut (deccurent), f). bentuk (shape) dari

pileus (tudung): bentuk tudung agak membulat, lonjong dan melengkung seperti

cangkang tiram, dan g). tipe pinggiran pileus: pinggiran (margin) inrolled (muda)

lurus (straight) (tua), bergelombang (wavy)–bergaris (strite-slighly) (tua) (Largent

1973). Ciri-ciri lainnya juga adalah berukuran kecil sampai besar, berwarna

bervariasi (putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam), lunak, licin, daging

basidiokarp tebal, berbau sedap; spora bulat-elips, mempunyai dinding tipis dan

halus, spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang jamur ini

dapat tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu kali

pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya

umumnya pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa

spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus

(Brown 1981; Largent 1973).

Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim ligninase yang

berbeda-beda. Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum

banyak dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Namun dari beberapa studi yang

dilakukan, terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin pada

jamur Pleurotus bervariasi.

Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus, termasuk

diantaranya mempunyai sinonim Hohenbuehelia, yang berhasil dikumpulkan dan

dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel (1805) pertama kali

memberi nama Pleurotus (LR 2004). Hohenbuehelia, masih dimasukkan ke dalam

Pleurotus (Dennis 1953; Largent 1973; Desjardin 1999), namun beberapa peneliti

memisahkannya dari Pleurotus (Watling dan Gregory 1989; Albertó et al. 1998;

Page 174: Jamur Tiram

152

Corner 1981). Hohenbuehelia memiliki banyak kemiripan ketika di lapangan

dengan Pleurotus spp. dan di alam banyak tumbuh pada substrat kayu. Namun

demikian, Hohenbuehelia belum banyak dilaporkan potensinya dalam

mendegradasi lignin, termasuk Hohenbuehelia asal Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang

jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus lokal dengan cara karakterisasi

berdasarkan aspek morfologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati

karakteristik secara morfologi yaitu dengan pengamatan langsung terhadap

fenotip organisme tersebut. Peubah yang diamati dalam karakter morfologis

diantaranya adalah karakter morfologis secara makroskopis maupun mikroskopis

seperti contohnya jumlah tangkai, ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar

basidiospora, sistidia dan basidia, serta karakter kultur isolat jamur.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan, Departemen

Silvikultur dan Laboratorium Kimia Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas

Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat,

Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan

di Rumah Jamur Departemen Biologi FMIPA di Tajur, Laboratorium Anatomi

dan Morfologi Tumbuhan dan Rumah Jamur, Departemen Biologi FMIPA, IPB

dan di Laboratorium Mikologi, Bogoriense Herbarium LIPI dan Laboratorium

SEM LIPI Zoologi IPB, Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein

Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Cibinong dan Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset

Perkebunan Indonesia (LRPI), Bogor, pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2007.

Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar

Koloni miselium keenam isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus

EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan

Pleurotus EB9 ditumbuhkan pada media MEA. Mula-mula koloni masing-masing

Page 175: Jamur Tiram

153

isolat dipotong dengan cork bor dengan diameter 7 mm, dan setiap potong koloni

miselium dikulturkan pada media dalam cawan Petri berdiameter 90 mm. Media

yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA), Malt Extract Agar (MEA)

1,5% dan Malt Peptone Agar (MPA) 1,5%. Media MEA ada yang dimodifikasi

dengan penambahan serbuk gergajian kayu sengon (Malt Extract Agar Sengon)

(MEAS) atau serbuk jerami padi (Malt Extract Agar Jerami) (MEAJ). Masing-

masing isolat jamur tersebut diinkubasi pada suhu kamar 29(+1)oC dan diukur laju

pertumbuhannya berdasarkan diameter koloni miseliumnya setiap hari selama

sepuluh hari inkubasi.

Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Percobaan ini bertujuan untuk melihat karakter morfologis secara

makroskopis maupun mikroskopis. Kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu

ini dilakukan seperti pada Chapter 1.

Media serbuk gergajian kayu sengon yang sudah diinokulasi dengan bibit

disimpan di ruang inkubasi, kemudian yang sudah penuh dengan miselium

disimpan di ruang pemeliharaan atau ruang produksi sampai keluar tubuh buah.

Uji ini dilakukan dengan 4-10 ulangan. Tubuh buah yang sudah matang petik

tersebut kemudian dipanen. Tubuh buah tersebut kemudian diamati sifat-sifat

morfologi tubuh buahnya. Tubuh buah yang muncul kemudian diinokulasikan

potongan daging basidiokarpnya pada medium agar (MEA atau media yang paling

optimum). Isolat murni ini kemudian digunakan untuk karakterisasi morfologi dan

identifikasi.

Karakterisasi Morfologi Jamur Pleurotoid Kelompok Pleurotus Secara Makroskopis dan Mikroskopis

Selanjutnya dilakukan karakterisasi jamur, yang meliputi karakter

morfologis tubuh buah secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi

genus/spesies dilakukan berdasarkan morfologi basidiokarp dengan mengacu pada

Corner (1981 dan 1994) dan Brown (1981). Hasil yang diperoleh kemudian

dicocokkan dengan hasil yang ditulis oleh peneliti-peneliti tersebut dan

Page 176: Jamur Tiram

154

berdasarkan pustaka lainnya. Terminologi untuk deskripsi karakteristik tekstur

koloni jamur mengacu pada Stalpers (Rayner dan Boddy 1988). Terminologi

karakteristik mikroskopik mengacu pada Rayner dan Boddy (1988), Corner (1981

dan 1994) dan Brown (1981).

Ciri-ciri morfologi yang dijadikan dasar dalam identifikasi jamur adalah

pertama, pengamatan pada bentuk dan warna permukaan atas basidiokarp.

Basidiokarp dipotong melintang menjadi dua bagian mulai dari pangkalnya untuk

mengukur ketebalan basidiokarp keseluruhan, jaringan daging atau konteks, dan

jaringan lamela.

Kedua, selanjutnya dibuat sediaan pileipelis dan pileosistidia, cap trama,

gill trama, dan himenium untuk melihat basidia dan pleurosistidia dan

seilosistidia. Ketiga, dibuat sediaan radial stipitipelis dan stem trama kalau ada,

basidiospora, lapisan kutis dan jaringan lamela. Basidiospora dikeluarkan dari

jaringan lamela dengan cara membuat jejak spora di atas kertas berwarna gelap.

Keempat, dibuat irisan lapisan kutis dan jaringan lamela dibuat dengan

pisau silet atau mikrotom yang tajam sehingga diperoleh irisan dengan ketebalan

sekitar 10 µm. Sediaan ini dibuat semipermanen dengan menambahkan laktofenol

sebelum ditutup dengan kaca penutup. Sediaan digunakan untuk mengukur

panjang dan lebar basidiospora, bentuk dan ukuran elemen kutis, mengukur

jaringan lamela serta lebar spesimen. Setiap spesimen diukur 20-25 basidiospora,

3 jaringan lamela dan 3 spesimen.

Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop cahaya, mikroskop

lusida, teknik mikroskop elektron payaran (SEM) dan juga teknik mikrotom

dengan metode parafin. Selain foto mikroskopik dan makroskopik, dilakukan pula

line-drawing oleh pelukis berlisensi yaitu Ahmad Satari (Biotrop).

Preparasi Isolat Untuk Pengamatan Dengan Mikroskop Elektron Payaran

Mikroskop elektron payaran (SEM) ini berguna untuk melihat struktur

eksternal suatu obyek dalam bentuk stereo (3 dimensi). Preparasi sampai

pemotretan dilakukan pada himenium tubuh buah hasil kultivasi pada isolat

Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB9 dan P ostreatus

HO. Tahap-tahap pekerjaan dengan menggunakan SEM mengacu pada Slayter

Page 177: Jamur Tiram

155

dan Slayter (1992) yang telah dimodifikasi, yang terbagi menjadi 4 tahap yakni: a)

Preparasi (persiapan), b) Penempelan, c) Coating dan d) Pemotretan.

Preparasi terdiri atas 5 tahap yaitu : 1) Cleaning, spesimen dicuci dengan

garam fisiologis atau buffer coccodylate + 2 jam 4oC dan diagitasi dalam

ultrasonik (sonycation) selama 5 menit; 2) Pre-fixation, spesimen difiksasi

dengan larutan 2.5% glutaraldehyde selama 12 jam, 4oC; 3) Post-fixation, spesimen difiksasi dengan 2% tannic acid selama 6 jam pada suhu 4oC,

selanjutnya dicuci dengan buffer coccodylate 4oC selama 15 menit sebanyak 4

kali, kemudian dicuci dengan larutan O5O4 1% selama 2-4 jam pada suhu 4oC,

setelah itu kemudian dicuci dengan aquades selama 15 menit pada suhu 4oC; 4)

dehidrasi dan direndam dengan alkohol 50% selama 5 menit sebanyak 4 kali pada

suhu 4oC, kemudian direndam alkohol 75% selama 25 menit pada suhu 4oC,

selanjutnya direndam alkohol 80-85% selama 20 menit pada suhu 4oC, dan

kemudian direndam dengan alkohol 94% selama 20 menit pada suhu ruang 29oC

+ 1oC, dan terakhir direndam dengan ADS (alkohol absolut) selama 10 menit pada

suhu ruang; dan 5) T-Butanol freeze drying dilakukan selama 10 menit sebanyak 2

kali, kemudian dikering bekukan di dalam vacuum chamber pada suhu -3oC atau

-20oC selama 2 jam sampai kandungan t-butanol hilang.

Spesimen yang telah kering direkatkan pada speciment stub dengan

menggunakan selotipe karbon 2 sisi. Selotipe dipotong sepanjang diameter

spesiment stub dan kemudian direkatkan pada spesiment stub. Selanjutnya kertas

pemisah kedua dilepas dan potongan himenium yang diinginkan diletakkan

dengan hati-hati di atasnya.

Coating atau pelapisan permukaan spesimen dengan emas dilakukan

dengan cara logam emas diuapkan secara vakum sehingga melapisi permukaan

spesimen, proses ini dilakukan dengan bantuan vacuum evaporation device.

Terakhir, pemotretan untuk pengamatan dan pengambilan foto struktur eksternal

spesimen menggunakan mikroskop elektron payaran.

Teknik Mikrotom Dengan Metode Parafin

Teknik mikrotom dengan metode parafin digunakan untuk mendapatkan

sayatan spesimen yang tipis. Metode parafin menggunakan seri larutan Johansen

Page 178: Jamur Tiram

156

dengan Tertier Butil Alkohol (TBA) sebagai dehidran (modifikasi SPM 2002).

Metode ini terdiri atas 10 tahap yaitu a) Fiksasi, b) Pencucian, c) Dehidrasi dan

penjernihan, d) Infiltrasi, e) Penanaman (blok), f) Penyayatan, g) Perekatan, h)

Pewarnaan, i) Penutupan, dan j) Pemberian label.

Uraian dari tahap-tahap di atas adalah sebagai berikut: a) Fiksasi, bahan

difiksasi dalam larutan FAA (formaldehid 5 bagian: asam asetat glasial 5 bagian :

etanol 70% 90 bagian) selama 24 jam; b) Pencucian, larutan fiksatif dibuang dan

dicuci dengan etanol 50% sebanyak 3 kali dengan waktu penggantian masing-

masing selama 0,5 jam; c) Dehidrasi dan penjernihan, dilakukan secara bertahap

dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VI dengan komposisi

dalam Tabel 6.1, waktu perendaman untuk Johansen VII dilakukan dalam botol

yang berisi 1/3 bagian parafin beku; d) Infiltrasi, wadah berisi material dan

campuran TBA, minyak parafin disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam (tutup

dibuka), kemudian disimpan dalam oven (58oC) selama 12 jam (tutup dibuka) dan

selanjutnya seluruh parafin dituang, diganti dengan parafin cair baru (dilakukan 3

kali penggantian setiap 6 jam) dan disimpan pada suhu 58oC; e) Penanaman

(blok), semua cairan parafin dituang dan diganti dengan parafin cair murni dan

disimpan di dalam oven dengan suhu 58oC selama 1 jam, selanjutnya material

tersebut siap diblok; f) Penyayatan, blok yang sudah dirapikan ditempel pada

holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10µm; g) Perekatan, sayatan

direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan ditetesi air,

selanjutnya gelas obyek tersebut dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 45 oC

selama 3-5 jam; h) Pewarnaan, dilakukan pewarnaan ganda safranin 2% dalam air

dan fastgreen 0,5% dalam etanol 95%. Berturut-turut gelas obyek direndam ke

dalam larutan berikut secara berturut-turut xilol 1 (5 menit), xilol 2 (5 menit),

etanol absolut 2 kali (masing-masing 5 menit), etanol 95% (5 menit), etanol 70%

(5 menit), etanol 50% (5 menit), etanol 30% (5 menit), akuades (2 menit), safranin

2% (12 jam/semalam), akuades (2 menit), etanol 30% (3 menit), etanol 50% (3

menit) etanol 70% (3 menit), etanol 95% (3 menit), fast-green 0,5% (5 menit),

etanol absolut 2 kali (masing-masing 5 menit), xilol 1 dan xilol 2 (masing-masing

5 menit); i) Penutupan, bahan diberi media entellan atau canada balsam dan

Page 179: Jamur Tiram

157

ditutup dengan penutup; dan j) Pemberian label dengan cara ditempel pada sisi

kiri gelas obyek.

Tabel 6.1 Komposisi masing-masing larutan Johansen dan lama perendaman

pada metode parafin tahap dehidrasi dan penjernihan

Larutan Johansen Komposisi larutan

I II III IV V VI VII Air 50% 30% 15% - - - -

Etanol 95% 40% 50% 50% 45% - - -

Etanol 100% - - - - 25% - -

Tertier butil alkohol 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50%

Minyak parafin - - - - - - 50%

Waktu perendaman 2 jam 24 jam 2 jam 2 jam 2 jam 24 jam

Sumber: SPM 2002

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam karakterisasi morfologi

adalah rancangan acak lengkap (RAL). Pengolahan data analisis ragam

menggunakan SAS9 dan analisis kelompok berdasarkan karakter morfologi

menggunakan aplikasi SPSS13.

Hasil dan Pembahasan

Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi, Ligninolitik dan Morfologi

Lebih dari 24 isolat jamur pelapuk putih pleurotoid kelompok Pleurotus

telah ditemukan dari beberapa tempat di Bogor dan diisolasi basidiokarp-nya.

Selanjutnya 17 isolat diantaranya dikultivasi untuk memperoleh tubuh buah.

Diantara 17 isolat tersebut, ada enam isolat yang berhasil membentuk tubuh buah.

Keenam isolat dengan kode awal dan kode setelah identifikasi berdasarkan hasil

karakterisasi morfologi dan fisiologi disajikan pada Tabel 6.2. Setelah dilakukan

identifikasi secara morfologi dan fisiologi, keenam isolat tersebut adalah

Pleurotus djamor EB9 yang berwarna pink dan Hohenbuehelia petaloides EB14-2

(cokelat muda), H. petaloides EB24 (cokelat keabu-abuan), H. petaloides EA4

Page 180: Jamur Tiram

158

(cokelat muda), H. petaloides EAB7 (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides

EB6 (cokelat keabu-abuan).

Tabel 6.2 Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang, Bogor

No. Kode awal Setelah identifikasi Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter

terkecil-terbesar (cm). Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai (cm). Jejak spora

1. Pleurotus EB14-2 H. petaloides EB14-2 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,6)-(3-6). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1), (0,9-1,5). Putih.

2. Pleurotus EB24 H. petaloides EB24 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (1,4-2,4)-(2,5-3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-2,5), (1-1,8). Putih.

3. Pleurotus EA4 H. petaloides EA4 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda-putih keruh, (1-1,4)-(2,5-3,2). Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2), (0,6-1,6). Putih.

4. Pleurotus EAB7 H. petaloides EAB7

Seperti tiram, sendok, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan -putih keruh, (0,7-1,2)-(1,6-2,8). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-0,9), (0,6-1,3). Putih.

5. Pleurotus EB6 H. petaloides EB6 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan-putih keruh, (0,5-2,0)-(3-4,3). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (0,6-1,2),(1,1-1,4). Putih.

6. Pleurotus EB9 P. djamor EB9 Seperti tiram, kipas, ginjal. Merah muda (pink)-putih keruh, (1,4-2,8)-(3-4). Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. (1,45-2), (0,38-1,2). Merah muda.

Deskripsi Karakter Koloni Kultur dan Fisiologis Isolat Jamur Pada Media Agar

Karakter Koloni Kultur. Penampakan koloni kultur H. petaloides EB14-

2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides

EB6, P.djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada beberapa jenis medium seperti

PDA, MEA, MEAS, MEAJ dan MPA disajikan pada Gambar 6.1. Penampakan

kultur dari genus Hohenbuehelia yaitu H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24,

H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7 dan H. petaloides EB6 pada beberapa

jenis media secara umum mempunyai tipe appresed dan downy, serta beberapa

Page 181: Jamur Tiram

159

silky. Penampakan koloni P.djamor EB9 pada beberapa jenis media secara umum

mempunyai tipe velvety dan cottony, atau downy, sedang P. ostreatus HO secara

umum mempunyai tipe cottony dan plumose, beberapa velvety (Tabel 6.3 dan

Gambar 6.1).

Tabel 6.3 Tipe koloni kultur ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada beberapa jenis media

Tipe koloni kultur pada media

MEA No. Isolat

PDA MEA MEAS MEAJ

MPA

1. H. petaloides EB14-2 appresed appresed, downy

appresed, downy

appresed, downy

appresed

2. H. petaloides EB24 appresed, downy

appresed, downy

appresed, downy

appresed, downy

appresed

3. H. petaloides EA4 appresed appresed, downy

appresed, downy, silky

appresed, downy silky

appresed

4. H. petaloides EAB7 appresed ,

appresed, downy

appresed, downy, silky

appresed, downy

appresed, downy

5. H. petaloides EB6 appresed appresed, downy

appresed, downy, silky

appresed, downy, silky

appresed

6. P. djamor EB9 velvety cottony

downy, velvety cottony

downy, velvety

velvety, cottony

velvety, cottony

7. P. ostreatus HO velvety, cottony, plumose

velvety, cottony, plumose

cottony, plumose

cottony, plumose

cottony

Berdasarkan pengamatan di atas diketahui bahwa penampakan koloni

kultur satu isolat pada media yang sama dapat berbeda. Di sisi lain, penampakan

kultur pada media yang berbeda dapat sama. Hal ini menunjukkan adanya faktor

lain yang mempengaruhi penampakan kultur suatu isolat selain faktor genetik dan

media. Walaupun demikian, tipe kultur suatu spesies isolat menunjukkan ciri khas

yang unik yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Jamur yang tumbuh pada medium padat dapat membentuk koloni yang

mempunyai miselium udara (aerial mycelium) yang tumbuh pada atau di atas

permukaan agar dan miselium yang menembus permukaan agar (submerged

mycelium) (Rayner dan Boddy 1988). Kedua jenis miselium tersebut mempunyai

beberapa istilah yang berbeda yang dibedakan atas tipe atau karakterisasi tertentu.

Pada isolat-isolat yang diujikan pada penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan

tipe, yang kemudian diberi nama dalam bahasa Inggris serta definisinya.

Page 182: Jamur Tiram

160

Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H.

petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 memiliki koloni kultur tipe appresed dan

downy. Tipe appresed yaitu koloni miselium dengan posisi rendah pada

permukaan agar, keadaan ini pada beberapa cendawan merupakan taraf pertama

dalam pertumbuhan miselium udara, kemudian miselium ini dapat berubah

menjadi bentuk lain. Contoh tipe appresed adalah terlihat pada gambar Aa dan Ba

(Gambar 6.1). Tipe downy yaitu koloni miselium berwarna putih, halus, tidak

terlalu tebal, mempunyai hifa pendek, tersebar di atas permukaan miselium yang

tampaknya seperti tertutup dengan bulu halus, seperti terlihat pada gambar Ab, Dc

dan Bd. Namun pada H. petaloides EB4 dan H. petaloides EAB7, miseliumnya

kadang-kadang menunjukkan tipe silky. Tipe silky yaitu koloni tertutupi dengan

berkas miselium yang paralel, panjang, kurang lebih rebah dan sering mengkilat

seperti sutera yang disisir, contohnya adalah terlihat pada gambar Cb, Cc, Db dan

Dd (Gambar 6.1).

Isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy (gambar Fa), velvety dan

cottony. Tipe velvety adalah lapisan miselium berbentuk tenunan padat dengan

helaian rambut yang jelas, tebal, lurus dan pendek seperti beludru, misalnya

seperti pada gambar Fb. Tipe cottony adalah bermiselium tegak, agak panjang (3-

5 mm) dan tunggal memencar ke semua arah, misalnya seperti pada gambar Fc,

tipe ini dapat menjadi tipe velvety apabila rambut-rambut panjang menjadi kusut

dan rebah (Gambar 6.1).

P. ostreatus (HO) memiliki tipe koloni velvety (gambar Gc), cottony

(gambar Ga) dan plumose. Tipe plumose adalah miselium berwarna putih atau

putih kekuning-kuningan. Ukuran hifa pendek dan berkelompok, menyebar ke

segala arah, tetapi memiliki titik pusat penyebaran yang susunannya mirip kipas

angin, misalnya seperti pada gambar Gd (Gambar 6.1).

Page 183: Jamur Tiram

161

Gambar 6.1 Penampakan dan tipe koloni kultur. A. H. petaloides EB14-2, tipe appresed pada (a) MEAS, (c) MPA, dan (d) MPA, tipe downy pada (b) MEAS dan (e) MEAJ; B. H. petaloides EB24, tipe appresed pada (a) MEAS, (b) MEAS, (c) MPA dan (e) MPA, dan tipe downy pada (d) PDA; C. H. petaloides EA4, tipe appresed pada (a) MEAS dan (d) PDA, tipe silky pada (b) MEAS dan (c) MEAJ; D. H. petaloides EAB7, tipe silky pada (a, b dan d) MEAS dan tipe downy pada (c) MEAS; E. H. petaloides EB6, tipe appresed pada (a) MEAS, tipe downy pada (b dan d) MEAS, dan tipe silky pada (c) MEAJ; F. P.djamor EB9, tipe downy pada (a) MEAS, tipe velvety pada (b) MEAS, tipe cottony pada (c) MPA dan (d) MEAJ; G. P. ostreatus HO, tipe cottony pada (a) MPA, tipe plumose pada (b) MEA dan (d) MEAS dan tipe velvety pada (c) PDA

a b c d

a b c d e

A

a b c d e

B

a b c d

C

D

E a b c d

b

F

a c d

G

a b c d

b

Page 184: Jamur Tiram

162

Karakter Fisiologis Laju Pertumbuhan. Berdasarkan karakter koloni

kultur dan karakter fisiologis pada media MEA, maka untuk identifikasi dengan

melihat pola kunci H. petaloides adalah A-P-S-1.1.1.1.9.2.1.1.3.1.2, pola kunci P.

djamor adalah A-P-I-1.1.1.1.9.2.1.1.2.1.2 dan pola kunci P. ostreatus adalah A-P-

I-1.1.1.1.9.2.1.1.1.1.2 (Tabel 6.4).

Perbedaan yang paling menonjol pada pola kunci H. petaloides, P. djamor

EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA tersebut, adalah laju pertumbuhan. H.

petaloides mempunyai laju perumbuhan lambat (S) yaitu menghasilkan diameter

koloni berkisar antara 2 sampai 5 cm dalam 14 hari inkubasi. P. djamor EB9 dan

P. ostreatus HO mempunyai laju perumbuhan sedang (I) yaitu menghasilkan

diameter koloni lebih dari 9 cm dalam 14 hari inkubasi (Tabel 6.4). Dapat juga

dikatakan H. petaloides mempunyai laju pertumbuhan “3”, atau laju

pertumbuhannya lambat dan koloninya baru menutup cawan Petri setelah 5-6

minggu inkubasi. P. djamor EB9 mempunyai laju pertumbuhan “2”, atau laju

pertumbuhannya sedang dan koloninya baru menutup cawan Petri setelah 2-4

minggu inkubasi. Sedangkan P. ostreatus HO mempunyai laju pertumbuhan “1”,

atau laju pertumbuhannya cepat dan koloninya sudah menutup cawan Petri setelah

1-2 minggu inkubasi (Tabel 6.4) (Nobles 1948).

Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT. Hasil penelitian

menunjukkan semua isolat kelompok Pleurotus mempunyai reaksi positif pada

medium asam tanat (AAT) dan asam galat (AAG). Hal ini ditandai secara visual

dengan terbentuknya zona coklat terang sampai coklat gelap pada medium AAT

dan AAG di sekitar miselium koloni isolat. Reaksi oksidasi pada media AAT dan

AAG yang cukup kuat dimiliki oleh P. ostreatus HO, P. djamor EB9 dan H.

petaloides EA4. Reaksi oksidasi yang positif pada AAG dan AAT menunjukkan

semua isolat kelompok Pleurotus merupakan jamur pelapuk putih. Diduga bahwa

isolat kelompok Pleurotus yang diujikan pada media AAG dan AAT

mengeluarkan enzim ektraseluler oksidase dengan terjadinya reaksi oksidasi

dengan asam galat ataupun asam tanat.

Page 185: Jamur Tiram

163

Tabel 6.4 Pola kunci H. petaloides (H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6), P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA

No. Kode Nama Karakter H. petaloides P. djamor P. ostreatus 1. A Warna koloni putih √ √ √ 2. P Test oksidasi pada asam galat

positif √ √ √

3. S/I S. Lambat, 2-5 cm dalam 14 hari; I. Kecepatan sedang, lebih dari 9 cm dalam 14 hari

S.√ I.√ I.√

4. 1 substrat pada pohon/kayu daun lebar

√ √ √

5. 1 warna koloni putih setelah enam minggu ditumbuhkan

√ √ √

6. 1 muncul zona difusi karena reaksi dengan media aag dan aat

√ √ √

7. 1 mempunyai clamp connection √ √ √ 8. 9 tidak ditemukan struktur spesial

pada miselium √ √ √

9. 2 tidak ada clamidospora √ √ √ 10. 1 terdapat konidia √ √ √ 11. 1 terdapat oidia √ √ √ 12. 3/2/1 3. laju pertumbuhan slow, cawan

tertutup setelah 5-6 minggu; 2. laju pertumbuhan dengan kecepatan moderat, cawan tertutup setelah 2-4 minggu; 1. laju pertumbuhan dengan kecepatan rapid, cawan tertutup setelah 1-2 minggu

3.√ 2. √ 1.√

13. 1 muncul tubuh buah sebelum 6 minggu inkubasi

√ √ √

14. 2 tidak ada efek pada media, atau bila ada, warnanya tidak lebih dari kuning madu

√ √ √

Ciri-ciri lainnya pada MEA: 15. Ada aerial miselium √ √ √ 16. Sambungan apit banyak √ √ √ 17. Ada hifa skeletal √ √ √ 18. Konidia/oidia banyak √ √ 19. Hifa binding/spiral √ √ 20. Structur spesial (seperti kristal

besar) √

21. Suhu optimum pada MEA 20/29 29 29 (Nobles 1948)

Deskripsi Karakter Ligninolitik Kelompok Pleurotus Berdasarkan Produksi Enzim Ligninase Khususnya MnP

Dari hasil penelitian ini nampak isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP

dan juga lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.

Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat

Page 186: Jamur Tiram

164

-0.200

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

0 1 2 3 4 5 6 7

Lama Inkubasi (Hari)

Akt

ivita

s Enz

im (U

/m

MnP LiPLakase

seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang

mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada

hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam

bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6

diperoleh pH optimum sebesar 4,8 (Gambar 6.2).

Gambar 6.2 Ekspresi MnP, LiP dan lakase (U/ml) oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor.

Produksi enzim skala besar dengan bioreaktor juga dilakukan pada H.

petaloides EA4. Hasil produksi enzim P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 hasil

produksi diketahui bahwa P. djamor EB9 menghasilkan lakase dan MnP, namun

aktivitas LiP tidak terdeteksi, sedangkan isolat H. petaloides EA4 menghasilkan

lakase dan LiP namun aktivitas MnP tidak terdeteksi (Tabel 6.5).

Tabel 6.5 Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase (U/ml) secara ekstraseluler oleh

isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat (As)

Enzim Metode Aktivitas (U/ml)_____________ Pleurotus EB9-As Pleurotus EA4-As

MnP Oksidasi guaiakol MnSO4 Pada λ 465 nm 0,138 TTd LiP Oksidasi veratryl alkohol menjadi Veratraldehid pada λ 310 nm TTd 0,179 Lakase Oksidasi ABTS pada λ 420 nm 0,914 0,086

TTd = Tidak terdeteksi

Pada SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion (DEAE-

Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% AS dari H. petaloides EA4, tidak

Page 187: Jamur Tiram

165

didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan enzim MnP. Aktifitasnya juga

tidak diperoleh hasil yang bagus. Hal di atas menunjukkan bahwa H. petaloides

EA4 tidak menghasilkan enzim MnP.

Deskripsi Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor

Deskripsi karakter morfologi baik makroskopis maupun mikroskopis tiap

isolat diuraikan di bawah ini dan gambarnya terlihat pada Gambar 6.3 untuk H.

petaloides EB14-2, Gambar 6.4 untuk H. petaloides EB24, Gambar 6.5 untuk H.

petaloides EA4, Gambar 6.6 untuk H. petaloides EAB7, Gambar 6.7 untuk H.

petaloides EB6, Gambar 6.8 untuk P. djamor EB9, dan Gambar 6.9 untuk P.

ostreatus HO sebagai pembanding standar.

1. H. petaloides EB14-2

H. petaloides EB14-2. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (rounded

fabelliform) (di lapangan dan hasil kultivasi), seperti sendok sepatu (shoehorn-

like), seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -Permukaan

bagian tengah berlekuk (depressed), basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika

basah), di tengah sedikit berbulu (canescent). -Warna: cokelat muda (pale

brown)-putih keruh (off white). –Diameter terkecil 1-1,6 cm dan terbesar 3-6 cm

(di lapangan), terkecil 1-1,6 cm dan terbesar 3-7,3 cm (hasil kultivasi). -

Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran (margin) melengkung ke arah

himenium (inrolled) (muda) lurus (straight) (tua), bergelombang (wavy)–bergaris

(strite-slighly) (tua). -Daging tudung (context) putih, tebal, kenyal (tua), ada

lapisan gelatin (gelatinous layer) di atas lapisan daging (flesh). -Lamela (gills)

melanjut (decurrent) turun ke arah dasar tangkai, menyempit (narrow). -Spasi

antar lamela dekat (close)–sangat rapat (very crowded) + 20-160

lamela/tudung. -Warna lamela putih (whitish)–krem (creamy). –Anak lamela

(Serie of lamellulae) 2-7 seri. -Tangkai (stipe) di sisi (lateral), tidak di tengah

(eksentrik), padat (solid), pendek, halus (smooth), berbulu. -Warna tangkai

pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1 cm, diameter 0,9-1,5 cm (di

lapangan dan hasil kultivasi). –Sambungan apit (clamp connection) ada.

Page 188: Jamur Tiram

166

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.3 H. petaloides EB14-2. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah hasil kultivasi. c. Potongan melintang tubuh buah. d. Basidioles. e. Cheilocystidia dan pleurocystidia. f. Spora. g. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (tanda panah) dan sambungan apit.

a

b

c

d

e

f

g

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

1 cm

Page 189: Jamur Tiram

167

-Menempel pada substrat dengan rizomorf (rhizomorph). -Bau (odor) tepung

(meal). -Rasa (taste) hambar (mild). -Edibilitas, dimakan oleh masyarakat

sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.

Jejak spora (spore print) putih. -Basidiospora 5,2-7,1 x 3,2-4,5 µm.

-Basidia 16,9-26,0 x 3,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (thick-

walled) (metuloid), sering dijumpai (common), 18,2-62,3 x 12,9-19,5 µm.

Habitat dan substrat, beberapa (scattered)–mengelompok

(gregarious) pada serbuk gergajian kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu

merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa Ciherang,

Kabupaten Bogor, Mei 2004.

2. H. petaloides EB24

H. petaloides EB24. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di

lapangan dan hasil kultivasi), seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil

kultivasi). -Permukaan bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak

lengket (ketika basah), di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat keabu-abuan

(grayish brown)-putih keruh. – Diameter terkecil 1,4-2,4 cm dan terbesar 2,5-3

cm (di lapangan), terkecil 1,4-2,4 cm dan terbesar 4-9,5 cm (hasil kultivasi). -

Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran melengkung ke arah

himenium (muda) lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung

putih, tebal, kenyal (tua), ada lapisan gelatin di atas lapisan daging. -Lamela

melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit. -Spasi antar lamela

dekat–sangat rapat +16-100 lamela/tudung. -Warna lamela putih–krem. -–Anak

lamela 2-7 seri. -Tangkai di sisi, tidak di tengah (eksentrik), padat (solid),

pendek, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -

Panjang 0,6-2,5 cm, diameter 1-1,8 cm (di lapangan dan hasil kultivasi). –

Sambungan apit ada. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -

Rasa hambar. -Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang

Kabupaten Bogor.

Page 190: Jamur Tiram

168

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.4 H. petaloides EB24. a. Tubuh buah hasil kultivasi. b. Tubuh buah di lapangan. c. Cheilocystidia dan pleurocystidia. d. Basidioles dan basidia. e. Spora. f. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual dan sambungan apit.

a

b

c

d

e

f

5 µm 5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

1 cm

Page 191: Jamur Tiram

169

Jejak spora putih. -Basidiospora : 3,9-5,2 x 2,6-4,6 µm. -Basidia

15-18 x 3,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid), sering

dijumpai, 48-66 x 12-16 µm.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian

kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu merah, karet dan sebagainya yang

sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa

Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.

3. H. petaloides EA4

H. petaloides EA4. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di lapangan

dan hasil kultivasi), seperti terompet dengan satu sisi terbuka ke arah tangkai,

seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -Permukaan bagian

tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika basah), di tengah

sedikit berbulu. -Warna: cokelat muda-putih keruh. –Diameter terkecil 1-1,4 cm

dan terbesar 2,5-3,2 cm (di lapangan), terkecil 1-2,4 cm dan terbesar 3-7 cm (hasil

kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke

arah himenium (muda) lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging

tudung putih, tebal, kenyal (tua), ada lapisan gelatin di atas lapisan daging. -

Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit. -Spasi antar

lamela dekat–sangat rapat +18-120 lamela/tudung. -Warna lamela putih–

krem. - Anak lamela 2-7 seri. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat,

pendek, halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -

Panjang 0,6-1,2 cm, diameter 0,6-1,6 cm (di lapangan), panjang 0,6-2 cm,

diameter 0,6-1,7 cm (hasil kultivasi). –Sambungan apit ada. -Menempel pada

substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. -Edibilitas, dimakan

oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.

Jejak spora putih. -Basidiospora 3,9-7,8 x 2,0-6,5 µm. -Basidia

15,6-29,6 x 2,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid), sering

dijumpai, (39,1)41,5-90,9 x (5,2)10,3-(19,5)16,9 µm.

Page 192: Jamur Tiram

170

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian

kayu campuran yang sudah lapuk, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa

Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.5 H. petaloides EA4. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah hasil kultivasi, dan pada kondisi tertentu (c). d. Potongan melintang tubuh buah. e. Cheilocystidia dan pleurocystidia. f. Spora. g. Basidioles dan basidia. h. Trichoderm pada permukaan pileus (pileipelis) dengan pileosistidia. i. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit.

a

b

c

d

e

f g

h i

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

1 cm

Page 193: Jamur Tiram

171

4. H. petaloides EAB7

H. petaloides EAB7. Pileus seperti tiram, seperti sendok (petaloid-

flabelliform) (muda), seperti kipas-ginjal (di lapang dan hasil kultivasi), seperti

rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -Permukaan bagian tengah

berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika basah), di tengah sedikit

berbulu. -Warna: cokelat keabu-abuan-putih keruh. –Diameter terkecil 0,7-1,2

cm dan terbesar 1,6-2,8 cm (di lapang), terkecil 1,2-2,2 cm dan terbesar 4,6-8 cm

(hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung

ke arah himenium (muda) lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging

tudung putih, tebal, kenyal (tua), ada lapisan gelatin di atas lapisan daging. -

Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkai, menyempit. -Spasi antar

lamela dekat–sangat rapat +13-180 lamela/tudung. -Warna lamela putih–

krem. –Anak lamela 2-7 seri. -Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat, pendek,

halus, berbulu. -Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-

0,9 cm, diameter 0,6-1,3 cm (di lapangan dan hasil kultivasi). –Sambungan apit

ada. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. -

Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.

Jejak spora putih. -Basidiospora 2,6-6,5 x 1,3-3,9 µm. -Basidia

15,6-29,9 x 2,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid), sering

dijumpai, 44,2-64,9 x 10,3-19,5 µm.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian

kayu campuran yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa

Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.

Page 194: Jamur Tiram

172

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.6 H. petaloides EAB7. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah

hasil kultivasi. c. Potongan melintang tubuh buah. d. Cheilocystidia dan pleurocystidia. e. Basidioles dan basidia. f. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit. g. Spora.

a

b

c

d

5 µm

5 µm

e

f 5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

1 cm

1 cm

Page 195: Jamur Tiram

173

5. H. petaloides EB6

H. petaloides EB6. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di lapangan

dan hasil kultivasi), seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). -

Permukaan bagian tengah berlekuk, basah-gelatinous tapi tidak lengket (ketika

basah), di tengah sedikit berbulu. -Warna: cokelat keabu-abuan-putih keruh. –

Diameter terkecil 0,5-2,0 cm dan terbesar 3-4,3 cm (di lapangan), terkecil 0,5-

2,7 cm dan terbesar 3-7,3 cm (hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan

berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah himenium (muda) lurus (tua),

bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung putih, tebal, kenyal (tua), ada

lapisan gelatin di atas lapisan daging. -Lamela melanjut turun ke arah dasar

tangkai, menyempit. -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat +12-100

lamela/tudung. -Warna lamela putih–krem. - Anak lamela 2-7 seri. -

Tangkai di sisi, tidak di tengah, padat, pendek, halus, berbulu. -Warna

tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1,2 cm, diameter 1,1-1,4

cm (di lapangan), panjang 0,6-1,4 cm, diameter 1,1-1,9 cm (hasil kulivasi). –

Sambungan apit ada. -Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -

Rasa hambar. -Edibilitas, dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang

Kabupaten Bogor.

Jejak spora putih. -Basidiospora 3,9-6,5 x 2,6-3,9 µm. -Basidia

(12)17,1-23,4 x 3,5-5 µm. -Pleurosistidia berdinding tebal (metuloid),

sering dijumpai, (23,4)25,4-(90,9)64,9 x 5,2-16,9 µm.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok pada serbuk gergajian

kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu merah, karet dan sebagainya yang

sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa

Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.

Page 196: Jamur Tiram

174

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.7 H. petaloides EB6. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah

hasil kultivasi. c. Basidioles. d. Cheilocystidia dan pleurocystidia. e. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit. dan f. Spora.

a b

c

d

e

f

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

Page 197: Jamur Tiram

175

6. P. djamor EB9

P. djamor EB9. Pileus seperti tiram, seperti kipas –ginjal (di lapangan

dan hasil kultivasi), seperti bunga dengan lekukan-lekukan yang tidak beraturan,

seperti payung (convex) (hasil kultivasi). -Permukaan bagian tengah berlekuk,

tidak ada ornamentasi. –Warna merah muda (pink)-putih keruh. -Diameter

terkecil 1,4-2,8 cm dan terbesar 3-4 cm (di lapangan), terkecil 1,4-2,8 cm dan

terbesar 7-14 cm (hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -

Pinggiran menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–

bergaris (tua). -Daging tudung putih, tebal, kenyal (tua). -Lamela melanjut

turun ke arah dasar tangkai. -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat, +40-

200 lamela/tudung. –Warna lamela putih–krem. - Anak lamela 2-7 seri. -

Tangkai di sisi, eksentrik, di tengah, melancip ke bawah, padat (solid), pendek-

panjang, halus, tak ada ornamentasi (glabrus). -Warna pangkal-ujung, krem-putih

keruh. -Panjang 1,45-2 cm. -Diameter 0,38-1,2 cm (di lapangan),

Panjang 1,45-7(11,5) cm. -Diameter 0,38-1,25 cm (hasil kultivasi). Menempel

pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. –Edibilitas,

dimakan oleh masyarakat sekitar Ciherang Kabupaten Bogor.

Jejak spora putih-merah muda. -Basidiospora 5,19-9,09 x 3,89-5,19

µm. -Basidia 15-17,5 x 3,5-5,5 µm. -Cheilosistidia jarang dijumpai

(uncommon), 13-41,6 x 3,9-8,5 µm.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun

(caespitose) pada serbuk gergajian kayu campuran seperti akasia, jeunjing, kayu

merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian, Bogor.

Pada dahan Ketapang lapuk, Bogor.

Koleksi –oleh Elis Nina Herliyana: -Indonesia, Jawa-Barat, desa

Ciherang, Kabupaten Bogor, Mei 2004.

Page 198: Jamur Tiram

176

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.8 P. djamor EB9. a. Tubuh buah. b. Potongan melintang tubuh buah. c. Cheilocystidia. d. Basidioles. e. Spora. f. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual (konidia) dan sambungan apit.

a

b c

c

d e

5 µm

f

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

Page 199: Jamur Tiram

177

7. P. ostreatus HO

P. ostreatus HO. Pileus seperti tiram, seperti payung (hasil kultivasi). -

Permukaan bagian tengah berlekuk, mamilate (umbo), tidak ada ornamentasi. –

Warna abu-abu-putih keruh. -Diameter terkecil 0,5-2,6 cm dan terbesar 4,6-15

cm (hasil kultivasi). -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran

menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua).

-Daging tudung putih, tebal, setelah tua tidak kenyal. -Lamela melanjut turun

ke arah dasar tangkai. -Spasi antar lamela dekat–sangat rapat, +45-300

lamela/tudung. –Warna lamela putih–krem. - Anak lamela 2-7 seri. -

Tangkai di sisi, eksentrik, di tengah, silinder, sedikit menyempit pada dasar

(equal), padat (solid), pendek-panjang, halus, tak ada ornamentasi. -Warna

pangkal-ujung, krem-putih keruh. -Panjang 2,5-3,7 cm. -Diameter 0,85-1,85

cm (hasil kultivasi). Menempel pada substrat dengan rizomorf. -Bau tepung. -

Rasa hambar. –Edibilitas, dimakan dan dibudidayakan di Cibodas dan

Bogor.

Jejak spora putih. -Basidiospora 6,5-10,4 x 3,9-5,2 µm. -Basidia

(13)19,5-(27)24,7 x 4,6-6,5 µm. -Pleurosistidia jarang dijumpai

(uncommon), 19,5-32,5 x 3,9-6,5 µm.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun

(caespitose) pada serbuk gergaji campuran yang sudah lapuk, di Bogor. Pada

pohon atau dahan lapuk.

Bahan yang diuji- Eksotik asal Hongkong dibudidayakan di dataran

tinggi Cibodas, Kabupaten Cianjur, Mei 2004,

Page 200: Jamur Tiram

178

Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari

Gambar 6.9 P. ostreatus HO. a. Tubuh buah. b. Cheilocystidia dan pleurocystidia. c. Basidioles dan basidia. d. Spora, beberapa berkecambah (tanda panah). e. Miselium pada kultur, nampak sambungan apit pada miselium generatif dan miselium sceletal serta miselium binding.

a

5 µm

5 um

b c

d

e

5 µm

5 µm

5 µm

5 µm

1 cm

1 cm

Page 201: Jamur Tiram

179

Karakter Morfologi Tubuh Buah Jamur Secara Makroskopis

Secara umum kelima isolat H. petaloides (EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan

EB6) mempunyai ciri-ciri makroskopis hampir sama satu sama lain kecuali pada

ukuran diameter pileus dan warna pileus segar ketika masih kecil atau muda

(Gambar 6.10). Sebaliknya P. djamor EB9 mempunyai karakter morfologi yang

berbeda dibanding isolat liar lainnya. Perbandingan karakter morfologi secara

makroskopis yang paling menonjol antara genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P.

ostreatus HO) dengan isolat H. petaloides adalah: pada bentuk, permukaan, warna

dan ukuran pileus, ukuran tangkai dan daging tudung dengan lapisan gelatin:

1 Isolat H. petaloides mempunyai bentuk pileus unik seperti rangkaian bunga

dengan 3-4 tudung pada hasil kultivasi (Gambar 6.10 Ae, Bb, Ce, Dd, Ed,

dan Ee), sedangkan P. djamor EB9 mempunyai bentuk pileus unik seperti

payung namun tidak simetris (Gambar 6.10 Fc dan Ff).

2 Isolat H. petaloides mempunyai permukaan pileus yang basah-gelatinous

tapi tidak lengket (ketika basah), dan di tengahnya sedikit berbulu,

sedangkan P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO mempunyai permukaan

pileus yang tidak basah-gelatinous ketika basah.

3 Isolat H. petaloides mempunyai pileus dengan warna dominan cokelat

muda atau cokelat keabu-abuan-putih keruh (Gambar 6.10 A, B, C, D dan

E), sedangkan Pleurotus mempunyai pileus dengan warna yang lebih

bervariasi seperti pink pada P. djamor EB9 (Gambar 6.10 F) dan putih

keabu-abuan pada P. ostreatus HO(Gambar 6.10 G).

4 Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata diameter pileus terbesar lebih

kecil (antara 4,1-5,4 cm) dibanding rata-rata diameter pileus P. djamor EB9

terbesar (7,5 cm) dan rata-rata diameter pileus P. ostreatus HO terbesar (6,6

cm) (Gambar 6.13).

Page 202: Jamur Tiram

180

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 6.10 Berbagai penampakan tubuh buah kelompok Pleurotus. a. Penampakan di lapang. b, c, d, e dan f. Penampakan hasil kultivasi. A. H. petaloides EB14-2. B. H. petaloides EB24. C. H. petaloides EA4. D. H. petaloides EAB7. E. H. petaloides EB6. F. P. djamor EB9. G. P. ostreatus HO. Skala ( : +1 cm).

G

b c d e

F a b

c d f

e

E

a b c d e

D

C

a b c d e

B a

b b c

A

a b c d e

b c d e a b c d e

Page 203: Jamur Tiram

181

5. Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata jumlah tangkai yang secara nyata

lebih kecil (antara 1,8-4,1 buah) dibanding rata-rata jumlah tangkai P.

djamor EB9 (9 buah) dan rata-rata jumlah tangkai P. ostreatus HO (8,2

buah) (Gambar 6.11).

6. Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata ukuran tangkai terpendek secara

nyata lebih kecil (antara 0,3-0,5 cm) dibanding rata-rata ukuran tangkai

terpendek P. djamor EB9 (1,0 cm) dan rata-rata ukuran tangkai terpendek

P. ostreatus HO (1,0 cm) (Gambar 6.12).

7. Isolat H. petaloides mempunyai rata-rata ukuran tangkai terpanjang secara

nyata lebih kecil (antara 0,7-1,0 cm) dibanding rata-rata ukuran tangkai

terpanjang P. djamor EB9 (3,0 cm) dan rata-rata ukuran tangkai terpanjang

P. ostreatus HO (1,9 cm) (Gambar 6.12).

8. Isolat H. petaloides mempunyai daging tudung yang kenyal ketika tua,

sedangkan genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO)

mempunyai daging tudung yang tetap lunak ketika tua.

1. Tangkai

Jumlah tangkai P. djamor EB9 rata-rata lebih besar dibanding jumlah

tangkai lima isolat dari genus Hohenbuehelia. Jumlah tangkai dikelompokkan

menjadi dua kelompok yang secara nyata berbeda, pertama kelompok dari genus

Pleurotus (P. djamor EB9 (9,0) dan P. ostreatus HO (8,9)) dan kedua kelompok

dari genus Hohenbuehelia (H. petaloides EA4 (4,1), EB24 (3,6), EAB7 (3,3),

EB14-2 (3,3) dan EB6 (1,8)) (Gambar 6.11).

Tabel 6.6 Rata-rata jumlah tangkai jamur kelompok Pleurotus pada panen pertama, kedua, ketiga dan keempat

Jumlah Tudung

Panen ke-

H.. petaloides

EB14-2

H. petaloides

EB24

H. petaloides

EA4

H. petaloides

EA7

H. petaloides

EB6

P. djamor

EB9

P. ostreatus

HO 1 3,67 3,50 4,75 4,67 1,67 18,00 15,60 2 2,50 3,50 4,25 4,00 1,33 7,25 12,00 3 3,67 2,25 3,75 2,00 2,33 8,00 4,80 4 3,17 5,25 3,75 2,67 1,67 2,75 3,00

Total 13,01 14,50 16,50 13,34 7,00 36,00 35,40

Page 204: Jamur Tiram

182

a a

b b b b

b

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

Jenis Isolat

Jum

lah

Tang

kai

1. P. djamor EB9 2. P. ostreatus HO 3. H. petaloides EA4

4. H. petaloides EB24 5. H. petaloides EAB7 6. H.petaloides EB14-2

7. H. petaloides EB6

1 72 3 654

1,9b

1,0a

3,0a

1,0a 0,9c0,5b

0,8c

0,4b

1,0c

0,3b0,7c

0,3b

0,8c

0,3b

0,00,51,01,52,02,53,03,5

Ukuran tangkai terpendek Ukuran tangkai terpanjang

Jenis Isolat

Uku

ran

Tang

kai (

cm)

1. P. djamor EB9 2. P. ostreatus HO 3. H. petaloides EB64. H. petaloides EA4 5. H. petaloides EAB7 6. H.petaloides EB14-27. H. petaloides EB24

1 321765432 7654

Faktor jenis isolat tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tangkai

tubuh buah isolat jamur. Namun faktor waktu panen berpengaruh nyata terhadap

diameter tangkai tubuh buah isolat jamur.

Faktor jenis isolat berpengaruh nyata terhadap ukuran tangkai terpendek

isolat jamur, sedang faktor waktu panen dan interaksi antara isolat dan waktu

panen tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran tangkai terpendek isolat jamur.

Ukuran tangkai terpendek isolat dikelompokkan menjadi dua kelompok yang

secara nyata berbeda yaitu pertama, kelompok dari genus Pleurotus (P. djamor

EB9 dan P. ostreatus HO) dan kedua, kelompok dari genus Hohenbuehelia

(Gambar 6.12).

Gambar 6.11 Jumlah tangkai rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus.

Gambar 6.12 Tangkai terpendek dan terpanjang rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus.

Page 205: Jamur Tiram

183

1,9a

7,5a

1,6a

6,6a

1,7a

5,4b

1,9a

4,7b

1,6a

4,5b

1,5a

4,4b

1,4a

4,1b

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

Diameter pileus terbesar Diameter pileus terkecil

Jenis Isolat

Dia

met

er P

ileus

(cm

)

1. P. djamor EB9 2. P. ostreatus HO 3. H. petaloides EAB74. H. petaloides EB24 5. H. petaloides EB6 6. H. petaloides EA47. H.petaloides EB14-2

1 1765432 65432 7

Faktor jenis isolat berpengaruh nyata terhadap ukuran tangkai terpanjang

isolat jamur. Ukuran tangkai terpanjang dari ketujuh isolat dapat dikelompokkan

menjadi tiga kelompok yang berbeda nyata (Gambar 6.12). P. djamor EB9 (3,0

cm) dipisahkan dengan P. ostreatus HO (1,9 cm), dan genus Hohenbuehelia (H.

petaloides EA7 (1,0 cm), EB6 (0,9 cm), EB24 (0,8 cm), EA4 (0,8 cm) dan EB14-

2 (0,7 cm)) berada dalam satu kelompok tersendiri.

2. Pileus

Faktor jenis isolat, faktor waktu panen dan faktor interaksi antara isolat

dan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap diameter pileus terkecil isolat

jamur. Diameter pileus terkecil pada ketujuh isolat tidak berbeda nyata, sehingga

tidak dapat menjadi alat untuk mengelompokkan (Gambar 6.13).

Gambar 6.13 Diameter pileus terbesar dan terkecil rata-rata tujuh isolat kelompok Pleurotus.

Faktor jenis isolat dan faktor waktu panen berpengaruh nyata terhadap

diameter pileus terbesar isolat jamur. Diameter pileus terbesar dari ketujuh isolat

dikelompokkan menjadi dua kelompok yang secara nyata berbeda yaitu pertama,

kelompok dari genus Pleurotus dan kedua, kelompok dari genus Hohenbuehelia

(Gambar 6.13).

Page 206: Jamur Tiram

184

Karakter Morfologi Tubuh Buah Jamur Secara Mikroskopis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima isolat EB14-2, EB24, EA4,

EAB7, dan EB6 mempunyai sistidia berdinding tebal yang disebut metuloid dan

lapisan gelatin pada tudungnya, sehingga dimasukkan ke dalam genus

Hohenbuehelia, sedangkan, P. djamor EB9 tidak mempunyai lapisan gelatin dan

sistidianya tidak berdinding tebal (Gambar 6.15 dan 6.16).

Secara umum bentuk dan ukuran basidiospora, basidia dan sistidia kelima

isolat H. petaloides dibandingkan dengan P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO

cukup berbeda (Gambar 6.18, 6.20, 6.23).

P. djamor EB9 mempunyai persamaan karakter morfologi dengan

dibanding isolat liar lainnya. Persamaan karakter morfologi secara mikroskopis

yang paling menonjol antara genus Pleurotus dengan kelima isolat H. petaloides

adalah pada warna jejak spora, bentuk basidiospora, basidia dan adanya

sambungan apit pada miselium:

1. Jejak spora umumnya berwarna putih, namun pada Pleurotus ada jejak

spora yang berwarna pink muda,

2. Bentuk basidiospora Pleurotus dan H. petaloides yang bulat sampai elips,

3. Basidiospora Pleurotus dan H. petaloides mempunyai dinding tipis dan

halus,

4. Basidiospora Pleurotus dan H. petaloides bersifat non-amiloid, artinya

kalau diberi larutan Melzer’s iodine warnanya tidak berubah menjadi biru,

berarti tidak mengandung amilum/pati,

5. Umumnya mempunyai sambungan apit,

6. Bentuk basidia Pleurotus dan H. petaloides dengan 4 sterigmata.

P. djamor EB9 mempunyai karakter morfologi yang berbeda dibanding

isolat liar lainnya. Perbandingan karakter morfologi secara mikroskopis yang

paling menonjol antara genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO)

dengan kelima isolat H. petaloides yaitu pada bentuk dan ukuran basidiospora,

basidia dan sistidia:

1 Bentuk basidiospora H. petaloides lebih bulat dibanding bentuk

basidiospora genus Pleurotus yang lebih elips, terlihat dari perbandingan

panjang dan lebar basidiosporanya (Gambar 6.14),

Page 207: Jamur Tiram

185

2 Ukuran panjang basidiospora H. petaloides lebih pendek secara nyata

dibanding ukuran panjang basidiospora P. djamor EB9 dan P. ostreatus

HO (Gambar 6.19),

3 Lebar basidiospora H. petaloides juga lebih pendek dibanding lebar

basidiospora P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO walaupun tidak secara

nyata (Gambar 6.19),

4 Ukuran basidia H. petaloides yang lebih panjang dibanding ukuran basidia

P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.20 dan 6.21),

5 Lebar basidia H. petaloides lebih pendek dibanding lebar basidia P.

djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.21),

6 Bentuk sistidia H. petaloides yang berdinding tebal (metuloid) (Gambar

6.14 dan 6.15),

7 Ukuran sistidia H. petaloides yang lebih panjang dibanding ukuran sistidia

P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.22 dan 6.23),

8 Lebar sistidia H. petaloides yang lebih panjang dibanding lebar sistidia P.

djamor EB9 dan P. ostreatus HO (Gambar 6.22).

9 H. petaloides mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging pileus,

sedangkan genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO) terlihat

tidak mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging pileus (Gambar

6.16).

Page 208: Jamur Tiram

186

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 6.14 Penampakan mikroskopik. A. H. petaloides EB14-2. B. H. petaloides EB24. C. H. petaloides EA4. D. H. petaloides EAB7. E. H. petaloides EB6. F. P. djamor EB9. G. P. ostreatus HO. Aa, Ba, Ca, Da, Ea, Fa, dan Ga. Basidiospora. Ab, Bb, Cb, Cc, Db, Eb, Ec, Fb, Fd, Fe, Ff dan Gc. Sistidia. Miselium pada (Ac) lapisan gelatin, (Bc1) lapisan pileipelid, (Bc2) lapisan gelatin, (Bc3) lapisan daging, (Cd) pileipelid. Dc1 dan Gb. Clamp connection. Dc2. Oidia. Fc. Struktur khusus. Gd. Basidia. Skala ( : 5 µm).

a b c d G

b c

a E

b a c D

1 2

a b c d C

a b

a b c A

B

c

1 2

3

f

a

d e b c

F

f

Page 209: Jamur Tiram

187

Hasil penelitian menunjukkan kelima isolat yang terdiri atas EB14-2,

EB24, EA4, EAB7, dan EB6 mempunyai sistidia berdinding tebal yang disebut

metuloid, sehingga kelima isolat tersebut dimasukkan ke dalam genus

Hohenbuehelia, sedangkan, P. djamor EB9 mempunyai sistidia yang tidak

berdinding tebal (Gambar 6.15).

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 6.15 Sistidia berdinding tipis pada P. djamor EB9 (A) dan Sistidia berdinding tebal (metuloid) pada H. petaloides (B) (tanda panah). Skala ( : +1,3µm).

Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa isolat H. petaloides EB14-2,

EB24, EA4, EAB7, dan EB6 mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging

pileus, sedangkan genus Pleurotus (P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO) terlihat

tidak mempunyai lapisan gelatin di atas lapisan daging pileus (Gambar 6.16).

B

A

Page 210: Jamur Tiram

188

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 6.16 Karakter morfologi pada irisan melintang tudung. A. P. ostreatus

HO dan B. P. djamor EA9, yang tidak memiliki lapisan gelatin. C. H. petaloides EB14-2, D. H. petaloides EB24, E. H. petaloides EA4, F. H. petaloides EAB7, dan G. H. petaloides EB6, yang mempunyai lapisan gelatin yang hialin (LG). Skala ( : +5 µm).

Untuk memperoleh nama spesies maka dilakukan pengamatan pada

sistidia di tempat-tempat yang spesifik seperti pada lapisan gelatin. H. petaloides

mempunyai ciri khas berupa adanya sistidia pada pileipelis dan lapisan gelatin

A B

C

L

D

L

F

L

G

L

E

L

Page 211: Jamur Tiram

189

(Corner 1994). Isolat EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6 diketahui mempunyai

sistidia pada pileipelis dan lapisan gelatin (Gambar 6.17).

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana

Gambar 6.17 Sistidia pada lapisan gelatin (A dan B) dan Sistidia pada pileipelis

H. petaloides EB6 (C dan D) (tanda panah). Skala ( : +1,3 µm).

1. Basidiospora

Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis isolat yang diuji,

maka diperoleh panjang basidiospora berkisar antara 4,7 sampai 8,1 µm dan lebar

basidiospora berkisar antara 2,7 sampai 4,2 µm. Ukuran panjang dan lebar

basidiospora tiap isolat dibandingkan dan dirangkum pada Gambar 6.18 untuk

melihat sebaran tiap kelompok isolat.

A B

C D

Page 212: Jamur Tiram

190

7.006.005.004.003.002.001.00

Lebar

12.00

10.00

8.00

6.00

4.00

2.00

Pa

nja

ng

P. ostreatus HOP. djamor EB9H. petaloides EAB7

H. petaloides EB6H. petaloides EA4

H. petaloides EB24H. petaloides EB14-2

Gambar 6.18 Plot antara panjang dengan lebar basidiospora ketujuh isolat yaitu

H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO.

Ukuran panjang basidiospora rata-rata ketujuh isolat dapat dikelompokkan

menjadi empat kelompok yang secara nyata berbeda. P. ostreatus HO mempunyai

panjang basidiospora rata-rata terbesar (8,1 µm), secara kelompok terpisah dari P.

djamor EB9 (7,4µm). H. petaloides EB14-2 (6,4 µm) dan H. petaloides EA4 (5,9

µm) berada dalam satu kelompok. Ketiga isolat H. petaloides lainnya (H.

petaloides EAB7 (4,7 µm), EB24 (4,7 µm) dan EB6 (4,7 µm)) berada dalam

kelompok dengan panjang basidiospora paling pendek (Gambar 6.19). Lebar

basidiospora pada ketujuh isolat tidak berbeda nyata, sehingga tidak dapat

menjadi alat untuk mengelompokkan (Gambar 6.19).

Page 213: Jamur Tiram

191

4,2a

8,1a

4,2a

7,4b

3,9ab

6,4c

4,0ab

5,9c

2,7d

4,7d3,7bc

4,7d3,3c

4,7d

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

Panjang basidiospora lebar basidiospora

Jenis Isolat

Uku

ran

basi

dios

pora

(u

m)

1. P. ostreatus HO 2. P. djamor EB9 3. H.petaloides EB14-24. H. petaloides EA4 5. H. petaloides EAB7 6. H. petaloides EB247. H. petaloides EB6

1 21765432 76543

Gambar 6.19 Panjang dan lebar basidiospora rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus.

2. Basidia

Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis panjang basidia

kelompok isolat yang diuji berkisar antara 16,4 sampai 23,9 µm dan lebar

basidiospora berkisar antara 3,7 sampai 5,4 µm. Ukuran panjang basidia dari yang

terbesar sampai yang terkecil berturut-turut pada ketujuh isolat tidak signifikan

sehingga tidak dapat menjadi alat untuk mengelompokkan sesuai genus (Gambar

6.21). Ukuran lebar basidia ketujuh isolat dapat dikelompokkan sesuai dengan

spesiesnya, yang secara nyata berbeda yaitu pertama, P. ostreatus HO (5,4 µm),

kedua, P. djamor EB9 (4,4 µm) dan ketiga, kelompok dari genus Hohenbuehelia

(H. petaloides EB24 (4,0 µm), EB14-2 (4,0 µm), EA4 (3,8 µm) dan EAB7 (3,7

µm)) kecuali H. petaloides EB6 (4,1 µm), yang tidak berbeda nyata dengan P.

djamor EB9 dan H. petaloides EB24 (Gambar 6.21).

Page 214: Jamur Tiram

192

765432

lebar

30.00

25.00

20.00

15.00

10.00

Pan

jan

g

P. ostreatus HOP. djamor EB9H. petaloides EB6

H. petaloides EB24H. petaloides EB14-2

H. petaloides EAB7H. petaloides EA4

21,2b

5,4a

16,4d

4,4b

18,8c

4,1bc

16,7d

4,0c

22,1b

4,0c

22,8ab

3,8c

23,9a

3,7c

0,05,0

10,015,020,025,030,0

Lebar basidia Panjang basidia

Jenis Isolat

Uku

ran

basi

dia

(um

)

1. P. ostreatus HO 2. P. djamor EB9 3. H. petaloides EB64. H. petaloides EB24 5. H.petaloides EB14-2 6. H. petaloides EA47. H. petaloides EAB7

1 321765432 7654

Gambar 6.20 Plot antara panjang dengan lebar basidia ketujuh isolat yaitu H.

petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO

Gambar 6.21 Lebar dan panjang basidia rata-rata dari tujuh isolat jamur

kelompok Pleurotus.

Page 215: Jamur Tiram

193

45,9c

17,5a

50,6bc

14,8b

59,8ab

14,2b

68,4a

13,7b

52,2bc

13,1b

25,5d

6,3c

26,0d

5,2c

0,010,020,030,040,050,060,070,080,0

Lebar sistidia Panjang sistidia

Jenis Isolat

Uku

ran

Sist

idia

(um

)

1. H.petaloides EB14-2 2. H. petaloides EAB7 3. H. petaloides EB244. H. petaloides EA4 5. H. petaloides EB6 6. P. djamor EB97. P. ostreatus HO

1 1765432 65432 7

20.0015.0010.005.00

Lebar

100.00

80.00

60.00

40.00

20.00

Panj

ang

P. ostreatus HOP. djamor EB9H. petaloides EB6

H. petaloides EB24H. petaloides EB14-2

H. petaloides EAB7H. petaloides EA4

3. Sistidia

Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis isolat-isolat

tersebut, maka diperoleh panjang sistidia berkisar antara 25,5 sampai 67,3 µm dan

lebar sistidia berkisar antara 5,2 sampai 17,5 µm (Gambar 6.22).

Gambar 6.22 Panjang sistidia rata-rata dari tujuh isolat jamur kelompok Pleurotus.

Gambar 6.23 Plot antara panjang dengan lebar sistidia ketujuh isolat yaitu H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO.

Page 216: Jamur Tiram

194

Ukuran panjang sistidia rata-rata dari ketujuh isolat dapat dibagi menjadi

lima kelompok. Secara umum, genus Hohenbuehelia (H. petaloides EA4 (68,4

µm) , EB24 (59,8 µm), EB6 (52,2 µm), EAB7 (50,6 µm) dan EB14-2 (45,9 µm))

ada pada empat kelompok pertama dengan panjang sistidia di atas 40 µm,

sedangkan genus Pleurotus (P. ostreatus HO (26,0 µm) dan P. djamor EB9 (25,5

µm)) berada di kelompok kelima dengan panjang sistidia di bawah 40 µm

(Gambar 6.22). Perbandingan panjang dengan lebar sistidia dari tiap isolat dibuat

dalam bentuk plot untuk melihat sebarannya (Gambar 6.23)

Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Morfologis Jamur Kelompok Pleurotus

Analisis kelompok berdasarkan karakter morfologis dilakukan terhadap

peubah karakter morfologis, yang terdiri atas jumlah tangkai, ukuran pileus dan

tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia.

Gambar 6.24 Dendogram berdasarkan karakter morfologis dari tujuh isolat jamur

yaitu P. djamor EB9, P. ostreatus HO, H. petaloides EB6, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4.

Hasil analisis kelompok berdasarkan karakter morfologis menunjukkan P.

djamor EB9 dan P. ostreatus HO sangat dekat dengan persamaan 98%

membentuk kelompok pertama. H. petaloides EB6, H. petaloides EAB7 dan H.

petaloides EB14-2 juga sangat dekat dengan persamaan 98% membentuk

Jarak Antar Kelompok

Page 217: Jamur Tiram

195

kelompok kedua. H. petaloides EB24 dan H. petaloides EA4 juga cukup dekat

dengan persamaan 96%, dengan membentuk kelompok kecil ketiga. Kelompok

kedua dan ketiga dengan persamaan 94% membentuk kelompok besar. Kelompok

pertama bergabung dalam kelompok besar dengan persamaan 75%. Berdasarkan

karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat kekerabatannya dengan P.

ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides (Gambar 6.24).

Pembahasan

Nama Spesies Setelah Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi, Ligninolitik dan Morfologi

Enam isolat asal Bogor telah diidentifikasi berdasarkan hasil karakterisasi

fisiologi, ligninolitik dan morfologi. Keenam isolat tersebut adalah P. djamor EB9

(Pleurotus EB9) yang berwarna pink dan kelima isolat lainnya adalah H.

petaloides yang terdiri atas H. petaloides EB14-2 (Pleurotus EB14-2) (cokelat-

muda), H. petaloides EB24 (Pleurotus EB24) (cokelat keabu-abuan), H.

petaloides EA4 (Pleurotus EA4) (cokelat muda), H. petaloides EAB7 (Pleurotus

EAB7) (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides EB6 (Pleurotus EB6) (cokelat

keabu-abuan).

Deskripsi Berdasarkan Karakter Fisiologis dan Karakter Koloni Kultur Isolat Jamur Pada Media Agar

Pada penelitian ini diketahui bahwa penampakan tipe koloni kultur satu

isolat pada media yang sama dapat berbeda. Demikian juga pada media yang

berbeda dapat menampakkan koloninya sama. Hal ini menunjukkan adanya faktor

lain yang mempengaruhi penampakan koloni kultur suatu isolat selain faktor

genetik dan media. Walaupun demikian, tipe kultur suatu spesies isolat

menunjukkan ciri khas yang unik yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Jamur yang tumbuh pada medium padat dapat membentuk koloni yang

mempunyai miselium udara (aerial mycelium) yang tumbuh pada atau di atas

permukaan agar dan miselium yang menembus permukaan agar (submerged

Page 218: Jamur Tiram

196

mycelium) (Rayner dan Boddy 1988). Kedua jenis miselium tersebut mempunyai

beberapa istilah yang berbeda yang dibedakan atas tipe atau karakterisasi tertentu.

Terdapat dua tipe jamur pelapuk putih yaitu : a) yang menghasilkan LiP,

MnP dan lakase dan 2) tanpa LiP (Hatakka 1994). LiP dan MnP secara umum

telah dikarakterisasi pada P. chrysosporium, dan produksi lakase telah dilaporkan

pada jamur ini dengan media dengan selulosa sebagai sumber karbon (Srinivasan

et. al. 1995). Hasil penelitian pada isolat Pleurotus EB9 menunjukkan ekspresi

lakase dan MnP yang signifikan pada media cair, namun untuk LiP tidak

terdeteksi. Sebaliknya isolat Pleurotus EA4 menunjukkan adanya ekspresi lakase

dan LiP yang signifikan, namun untuk MnP tidak terdeteksi.

Umumnya jamur pelapuk putih, termasuk P. eryngii dan P. ostreatus,

termasuk grup kedua. Ketidakadaan LiP pada tipe kedua ini menyebabkan

degradasi lignin lebih preferen dalam jerami gandum (Martinez et al. 1994 dalam

Sarkar et al. 1997). Menurut Peláez et al. (1995) tipe ini menghasilkan juga aril

alkohol oksidase (AAO). Meskipun tanpa LiP, spesies tersebut mampu

mendegradasi lignin jerami gandum secara preferensi (Martinez et. al. 1996),

merupakan sifat penting untuk aplikasi bioteknologi yang berhubungan dengan

industri pulp dan kertas dan makanan hewan. Spesies ini juga menghasilkan aryl-

alcohol oxidase (AAO) (Peláez et. al. 1995), sebuah enzim yg berpartisifasi dalam

produksi hidrogen peroksida (Guillén et.al. 1996), yang penting untuk aksi MnP.

Studi-studi saat ini menunjukkan pengaruh positif Mn2+ pada degradasi lignin

oleh Pleurotus, menyarankan pentingnya MnP dalam proses (Camarero et. al.

1996).

Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor Secara Makroskopis Secara makroskopis, pada kondisi tertentu terutama di lapangan antara

genus Pleurotus dan genus Hohenbuehelia sulit dibedakan sehingga dapat

dikatakan keduanya menyerupai Pleurotus atau disebut juga kelompok Pleurotus.

Genus Hohenbuehelia dikenal beberapa spesiesnya mempunyai nama sinonim

Pleurotus, contohnya adalah H. petaloides yang dikenal juga dengan nama

Pleurotus petaloides (Brown 1981). Namun demikian, dari penelitian ini diketahui

Page 219: Jamur Tiram

197

penampakan makroskopis kedua jenis jamur ini mempunyai persamaan dan

perbedaan.

Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor Secara Mikroskopis

Pada penelitian ini diperoleh pada kelima isolat yang terdiri atas EB14-2,

EB24, EA4, EAB7, dan EB6 mempunyai sistidia berdinding tebal yang disebut

metuloid dan adanya lapisan gelatin pada tudungnya, sehingga kelima isolat

tersebut dimasukkan ke dalam genus Hohenbuehelia. Sedangkan, P. djamor EB9

tidak mempunyai lapisan gelatin dan sistidianya tidak berdinding tebal.

Ciri-ciri kelompok Pleurotus adalah berukuran kecil sampai besar,

berwarna bervariasi (putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam), lunak, licin,

daging basidiokarp tebal, berbau sedap; spora bulat-elips, mempunyai dinding

tipis dan halus, spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang

jamur ini dapat tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu

kali pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya

umumnya pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa

spesiesnya bersifat edible (Brown 1981; Largent 1973).

Genus Hohenbuehelia dikenal beberapa spesiesnya mempunyai nama

sinonim Pleurotus spp., seperti H. petaloides yang juga bernama Pleurotus

petaloides (Brown 1981). Secara mikroskopis, genus Hohenbuehelia mempunyai

perbedaan dengan genus Pleurotus yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai

sistidia berdinding tebal yang disebut metuloid serta adanya lapisan gelatin pada

tudungnya (Largent dan Baroni 1988; Pegler 1987). Pada penelitian ini, kelima

isolat yang terdiri atas EB14-2, EB24, EA4 EAB7, dan EB6 mempunyai metuloid

dan lapisan gelatin pada tudungnya, sehingga kelima isolat tersebut dimasukkan

ke dalam genus Hohenbuehelia. Sedangkan, P. djamor EB9 tidak mempunyai

lapisan gelatin dan sistidianya tidak berdinding tebal.

Untuk memperoleh nama spesies maka dilakukan pengamatan pada

adanya sistidia di tempat-tempat yang spesifik seperti pada lapisan gelatin dan H.

petaloides mempunyai ciri khas berupa adanya sistidia pada pileipelis dan lapisan

gelatin (Corner 1994). Sifat permukaan pileus tergantung dari bentuk sel yang

Page 220: Jamur Tiram

198

melapisi bagian tersebut, seperti adanya lapisan gelatin di atas lapisan daging.

Spesies yang mempunyai lapisan gelatin pada basidiokarpnya biasanya termasuk

ke dalam jamur ephemeral di bawah tajuk, termasuk diantaranya Auricularia,

Campanella, Filoboletus, Hohenbuhelia, Favolaschia, Marasmiellus, Mycena,

Micromphale, Resupinatus, dan Tremella. Diduga bahwa daerah dengan gelatin

tersebut memberi perlindungan dari kekeringan. Kemampuan basidiokarp jamur

marasmioid untuk menyegarkan dengan kelembaban setelah kekeringan berguna

dalam sebuah lingkungan aerial, dimana kelembaban relatif berfluktuasi lebih

tajam dibanding pada lantai hutan (Hedger 1985).

Isolat Pleurotus EB9 berdasarkan karakter-karakter morfologi dinamai P.

djamor EB9. Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat

kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides.

Karakteristik morfologi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun

setiap organisme tetap mempunyai sifat dasar yang memudahkan dalam

mengenalinya.

Menurut Corner (1981), P. djamor (Fr.) Boedijn mempunyai sinonim

Lentinus djamor Fr. (Epicr 1838), juga sinonim Pleurotus flabellatus Berk. et Br.

(1871), juga sinonim Crepidotus djamor (Fr.) (1972) karakteristiknya diantaranya

: P. djamor . Pileus seperti sendok sepatu, seperti tiram, seperti kipas –ginjal,

seperti payung. -Permukaan bagian tengah berlekuk, tidak ada ornamentasi. –

Warna putih-putih keruh (muda), menjadi kuning, oker pucat, oker kecokelat-

cokelatan pucat mulai dari dasar pileus (tua). –Ukuran panjang 2-7 cm, lebar 2,5-

11 cm. -Konsistensi lunak dan berdaging. -Pinggiran menggulung ke arah

himenium (muda), lurus (tua), bergelombang–bergaris (tua). -Daging tudung

putih, tebal 0,5-4(-6) mm, kenyal (tua). -Lamela melanjut turun ke arah dasar

tangkai. -Spasi antar lamela primer dekat–sangat rapat, +12-20

lamela/tudung, lebar 2-4 mm. –Warna lamela putih–krem. -Anak lamela 3-5

(-7) seri. -Tangkai di sisi, eksentrik, di tengah, melancip ke bawah, padat (solid),

pendek-panjang, halus, tak ada ornamentasi (glabrus). -Warna pangkal-ujung,

krem-putih keruh. -Panjang 2-12 x 2-5 cm. Menempel pada substrat dengan

rizomorf. -Bau tepung. -Rasa hambar. –Edibilitas, edibel.

Page 221: Jamur Tiram

199

Jejak spora putih keruh-krem. -Basidiospora (5,5-)6-8,7 x 3,0-

4,0µm, 6-10 x 3,0-4,0 (Petch) µm, halus, silindrik, berdinding tipis, aguttate,

inamiloid. -Basidia 20-25 x 5-6 µm, sterigmata 4, tidak ada acerose basidioles,

tebal subhimenium 12-20 µm, dengan 2-3 µm hifa interwoven. –Cheilocystidia

jarang dijumpai (uncommon), 20-40 x 6-11 (-13) µm, umumnya sebagai basidia

clavate steril, beberapa subventricose, mucronate atau capitate, berdinding tipis,

steril, tidak ada Pleurosistidia. Hifa dimitic dengan sel skeletal terminal yang

meruncing; -hifa generatif, lebar 2-14(-20) µm, mempunyai sambungan apit,

inflating, dengan dinding yang tipis, panjang sel 20-220 µm, cabang pada sebuah

sudut lebar, membentuk tubuh buah; -sel skeletal, lebar 3-7 µm pada dasar,

meruncing sampai ujung berdinding tipis, lebar 1,5-2,5 µm, dinding menebal

dengan lumen sempit, panjang sampai 1200µm (?lebih), jarang bercabang.

Habitat dan substrat, beberapa–mengelompok atau serumpun

(caespitose) pada batang, cabang atau tunggul pohon mati di hutan primer atau

sekunder, kadang-kadang pada ruangan terbuka, pada petiol tanaman palem-

paleman, pada buluh bambu. Pantropik : spesies yang paling umum ditemukan di

daerah tropik Asia.

Berdasarkan kunci varitas dari P. djamor (Corner 1981), menurut penulis

P. djamor EB9 dapat dimasukkan ke dalam P. djamor var. roseus karena

mempunyai lamela yang berwarna pink. Karakter lainnya menurut Corner (1981)

adalah ukuran spora dalam kisaran 7-10 x 3-4 µm, yaitu 5,19-9,09 x 3,89-5,19

µm. P. djamor var. roseus mempunyai karakteristik tambahan yaitu warna pink

atau salem-pink, warna berubah menjadi putih-kekuningan (tua), pleuropodal,

secara umum mendekati imbricate. Basidia 18-27 x 6-7µm. Cheilosistidia 30-45 x

8-14µm. –generatif hifa, lebar 3-18µm, panjang sel 30-220 µm, kadang-kadang

dengan beberapa sambungan apit yang gagal terbentuk pada septum. Pada

permukaan pileus pada beberapa kasus terdapat pileosistidia berdinding tipis -75 x

12µm, clavate sampai ventricos, obtuse, halus, tidak bersatu ke dalam palisade.

Warna pink di dalam sitoplasma hifa generatif dan sebagian basidia, tetapi jejak

spora putih. Dilaporkan terdapat di Srilanka, Malaysia Peninsula, Borneo, New

Guinea, Pulausolomon, Brasil. Menurut Corner (1981) P. djamor var. roseus

Page 222: Jamur Tiram

200

dengan jejak spora berwarna putih ini adalah sinonim dari Pl. roseus (Pegler 1972

dalam Corner 1981).

Menurut Corner (1981), jamur dengan warna pink, sering dianggap P.

djamor, padahal ada kemungkinan merupakan varietas yang berbeda, yang

mungkin jarang ditemukan, tapi mempunyai penyebaran luas. Seperti Pl.

leptogramme Berk.et Br. (Petch 1924 dalam Corner 1981), atau Pl. incarnatus

dengan ukuran panjang spora berkisar 6-10µm. Atau seperti Pl. incarnatus Hongo

(1973) dari Jepang yang mempunyai perbedaan hanya karena jejak sporanya

berwarna pink.

Pendapat penulis bahwa P. djamor EB9 dapat dimasukkan ke dalam P.

djamor var. roseus, namun ada perbedaan yaitu warna jejak spora yang berwarna

merah muda pupus, tidak berwarna putih. Sehingga melihat karakter yang

beragam pada P. djamor yang berwarna pink ini, ada kemungkinan P. djamor

EB9 ini dapat saja merupakan varietas yang berbeda dengan yang lainnya.

Pleurotus diklasifikasikan oleh beberapa peneliti dalam Alexopoulos et al.

(1996) dan Chang dan Miles (1989) adalah sebagai berikut : Super Kingdom:

Eukariota; Kingdom: Mycetes (Fungi); Divisi: Mycota; Sub Divisi: Eumycotina;

Phylum: Basidiomycota; Kelas: Hymenomycetes (Basidiomycetes); Sub Klas:

Holobasidiomycetidae; Ordo: Agaricales; Famili: Tricholomataceae; Genus:

Pleurotus; Species: Pleurotus spp..

Menurut Segedin et al. (1995), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili

tersendiri yaitu Pleurotaceae. Menurut Moncalvo et al. (2002), Hohenbuehelia

juga mempunyai famili yang sama dengan Pleurotus yaitu Pleurotaceae. Dalam

famili ini hanya ada dua genus yaitu Pleurotus dan Hohenbuehelia, hal ini

berdasarkan penelitian terbaru dengan menggunakan uji genetik molekuler RNA.

Simpulan

Berdasarkan hasil identifikasi enam isolat asal Bogor yang diuji adalah P.

djamor EB9 (Pleurotus EB9) yang berwarna pink dan H. petaloides bagi kelima

isolat lainnya yang terdiri atas H. petaloides EB14-2 (Pleurotus EB14-2) (cokelat-

muda), H. petaloides EB24 (Pleurotus EB24) (cokelat keabu-abuan), H.

Page 223: Jamur Tiram

201

petaloides EA4 (Pleurotus EA4) (cokelat muda), H. petaloides EAB7 (Pleurotus

EAB7) (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides EB6 (Pleurotus EB6) (cokelat

keabu-abuan).

Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H.

petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 umumnya memiliki koloni kultur tipe

appresed dan downy, sedang isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy, tipe

velvety dan cottony dan P. ostreatus (HO) memiliki tipe koloni velvety, cottony

dan plumose.

Genus Pleurotus sp. dan genus Hohenbuehelia sp. mempunyai perbedaan

yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai sistidia berdinding tebal (metuloid),

serta adanya lapisan gelatin pada tudungnya.

Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat

kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides.

Karakteristik morfologi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun

setiap organisme tetap mempunyai sifat dasar yang memudahkan dalam

mengenalinya.

Page 224: Jamur Tiram

PEMBAHASAN UMUM

Eksplorasi jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus telah dilakukan pada

bulan Mei 2004 dari 14 tempat di Bogor. Jamur umumnya tumbuh pada tempat-

tempat yang lembab dan cukup air dan membentuk tubuh buah pada musim hujan

dan pada saat itulah waktu yang tepat untuk mengoleksinya. Hasil pengamatan di

lapangan menunjukkan jenis jamur kelompok Pleurotus hanya ditemukan di areal

kebun dan tempat penggergajian kayu di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Di

tempat tersebut terdapat tumpukan serbuk gergajian yang sudah melapuk dan di

sekelilingnya terdapat banyak tanaman tahunan yang cukup rapat, serta dekat

dengan areal pemukiman masyarakat. Menurut informasi, isolat jamur tersebut

biasa dikonsumsi oleh masyarakat di sekitarnya.

Isolat jamur kelompok Pleurotus tersebut relatif sulit diisolasi dan

mempunyai laju pertumbuhan miselium pada media agar yang lambat. Minimnya

isolat yang mampu menghasilkan tubuh buah pada media buatan diduga karena

isolat-isolat liar tersebut masih beradaptasi terhadap lingkungan yang berbeda

dengan habitat aslinya. Selain itu kemungkinan adanya kompetisi dengan jamur

kayu lain yang juga sama-sama tumbuh di lapangan, atau karena terjadinya

mating dengan jenis Pleurotus dan membentuk tubuh buah yang berbeda.

Sebanyak 24 isolat kelompok Pleurotus berhasil diisolasi, dan enam isolat

diantaranya dapat membentuk tubuh buah pada substrat serbuk gergajian kayu

sengon yaitu Pleurotus EB9 (pink), Pleurotus EB14-2 (coklat-muda), Pleurotus

EB24 (coklat keabu-abuan), Pleurotus EA4 (coklat muda), Pleurotus EAB7

(coklat keabu-abuan), dan Pleurotus EB6 (coklat keabu-abuan). Jamur pleurotoid

selain kelompok Pleurotus yang umum ditemukan di daerah Bogor adalah

Schizophillum spp., Lentinus spp., Panellus spp., dan Crepidotus spp.

Secara fisiologis, laju pertumbuhan koloni lima isolat asal Bogor yaitu

Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7 dan EB6 termasuk lambat (0,3-3,3

mm/hari) atau baru dapat menutupi cawan Petri dengan diameter 90 mm setelah

5-6 minggu. Laju pertumbuhan koloni Pleurotus EB9 termasuk sedang (2,3-

5,7mm/hari) atau dapat menutupi cawan setelah 2-4 minggu. Laju pertumbuhan

koloni P. ostreatus HO termasuk cepat (6,1-10,9 mm/hari) atau dapat menutupi

Page 225: Jamur Tiram

203

cawan setelah 1-2 minggu. Seluruh isolat dapat tumbuh pada media MPA, MEA

dan PDA, serta tumbuh optimal pada temperatur sekitar 20-29(+1)oC dengan pH

media antara pH 6-7.

Hasil penelitian terhadap karakter fisiologi pada media AAG dan AAT

menunjukkan bahwa semua isolat jamur kelompok Pleurotus asal Bogor tersebut

merupakan jamur pelapuk putih. Diantara isolat yang berpotensi sebagai agens

biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EA4, Pleurotus EB9 dan

pembandingnya yaitu P. ostreatus HO. Ketiga jamur tersebut menunjukkan reaksi

oksidasi pada kedua media tersebut cukup kuat.

Isolat P. ostreatus HO memberikan respon terhadap hasil panen dan nilai

efisiensinya kemudian diikuti isolat Pleurotus EB9. Hasil analisis kelompok

karakter fisiologis menujukkan bahwa terdapat dua spesies yang berbeda yang

digambarkan dengan adanya dua kelompok besar dari enam isolat jamur asal

Bogor di atas. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua yaitu karakter fisiologi yang

berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda.

Faktor isolat, waktu panen maupun interaksi antara faktor isolat dan faktor

panen berpengaruh nyata terhadap total bobot basah jamur, serta faktor isolat

berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi biologi (EB). Dengan waktu 156 hari P.

ostreatus HO dapat menghasilkan nilai EB tertinggi yaitu 119% dan pada

Pleurotus EB9 dengan waktu 112,5 hari juga cukup tinggi (81,4%). Menurut

Gunawan (1997), nilai EB Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu

sengon dapat mencapai 52,6%. Pada media jerami padi dengan waktu 30-45 hari

dapat mencapai 100% (Chang dan Miles 1989). Kisaran kelembaban pada saat

kultivasi belum sesuai dengan kondisi untuk pertumbuhan jamur yang optimum

yaitu 50-68% (pagi) dan 50-78% (sore). Menurut Oei (2003) kelembaban yang

dibutuhkan untuk pemunculan primordia adalah 90%, sedangkan pada saat tubuh

buah mulai berkembang dibutuhkan kelembaban yang lebih rendah yaitu 80-85%.

Pleurotus EB9 mempunyai fase vegetatif pada substrat serbuk gergajian

kayu sengon paling singkat (14 hari). Isolat tersebut diduga mempunyai

kemampuan menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler yang tinggi untuk

memecahkan struktur senyawa karbon dan nitrogen. Walaupun pada media agar,

isolat tersebut secara nyata mempunyai laju pertumbuhan lebih lambat dibanding

Page 226: Jamur Tiram

204

P. ostreatus HO. Oleh karena itu, laju pertumbuhan koloni pada media agar tidak

mencerminkan laju pertumbuhan miselium pada media produksi. Perbedaan yang

cukup besar antara lama fase vegetatif dan reproduktif isolat-isolat jamur yang

diuji menunjukkan bahwa tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang berbeda-

beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhannya.

Pertumbuhan jamur pelapuk kayu dapat dihambat oleh kelembaban yang

terlalu tinggi, karena terbatasnya pemasukan oksigen (Tambunan dan Nandika

1989). Lingkungan fisik lainnya seperti gas, cahaya, konsentrasi ion hidrogen,

aerasi, serta lingkungan biologis seperti interaksi dengan mikroorganisme lain

juga mempengaruhi laju dekomposisi bahan lignoselulosa oleh jamur (Bels-

Koning 1962; Allison dan Kneebone 1962; Flegg 1953; Chang dan Hayes 1978).

Menurut Bailey dan Ollis (1988), faktor fisik terutama pH dan suhu juga

mempengaruhi aktifitas enzim selulolitik selain dipengaruhi oleh sumber karbon

dan nitrogen.

Hasil penelitian karakter ligninolitik pada beberapa chips kayu bahan pulp,

menunjukkan bahwa Pleurotus EB9 mempunyai potensi mendegradasi kayu pinus,

akasia dan sengon yang paling besar dan secara nyata berbeda dibanding P.

ostreatus HO. Isolat yang lain seperti Pleurotus EA4 dan Pleurotus EAB7

mempunyai tingkat degradasi dan laju dekomposisi yang cukup rendah terhadap

kayu pinus maupun akasia.

Untuk kepentingan proses biopulping dan biobleaching, bahan polimer

kayu yang harus dikurangi adalah kadar ligninnya, sedangkan kadar selulosa dan

hemiselulosa diharapkan masih utuh, sehingga tingkat degradasi dan laju

dekomposisi yang tinggi pada bahan chips kayu tersebut belum tentu

menguntungkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat degradasi pada

kayu sengon oleh jamur secara nyata lebih besar dibanding pada kayu pinus dan

akasia.

Kandungan zat ekstraktif juga mempengaruhi tingkat keawetan kayu

terhadap gangguan-gangguan mikroba atau hewan pendegradasi kayu. Namun

hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu daun lebar lebih mudah didegradasi

dibanding kayu daun jarum. Kayu pinus lebih sukar didegradasi oleh jamur

dibanding kayu sengon dan akasia. Hal ini diduga disebabkan zat ekstraktif yang

Page 227: Jamur Tiram

205

sangat penting pada pinus, yaitu resin yang diduga mempunyai peranan penting

dalam menolak serangan serangga ataupun penyerang-penyerang lain seperti

jamur (Haygreen dan Bowyer 1993).

Struktur dan komposisi lignin juga mempengaruhi tingkat degradasi suatu

isolat jamur. Lignin kayu daun lebar disusun oleh koniferil alkohol dan sinafil

alkohol dengan suatu perbandingan tertentu tergantung pada faktor tempat tumbuh

dan spesies yang secara umum lebih mudah diuraikan oleh jamur pelapuk putih

dibanding lignin pada kayu daun jarum yang hanya disusun oleh koniferil alkohol

dan sangat sedikit sinafil alkohol (Faix et al. 1985 dalam Reid et al. 1990).

Hasil penelitian menunjukkan penampakan bidang transversal kayu pinus

dan akasia setelah diuji dengan P. ostreatus HO menunjukkan miselium menyebar

di dalam sel-sel kayu melalui noktah-noktah. Dinding sel di sekitarnya yang

dilewati miselium terlihat terdegradasi dan warnanya lebih terang. Perubahan

warna tersebut diduga karena degradasi terutama pada kandungan ligninnya

sehingga warnanya menjadi lebih terang. Struktur kayu akasia dan sengon berbeda

dengan kayu pinus. Kayu daun lebar tersusun atas jenis-jenis sel yang berbeda

dengan variasi proporsi yang luas dan terlihat lebih kompleks. Mekanisme infeksi

isolat-isolat jamur yang diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip

dengan mekanisme infeksi pada pinus, dimana kayu pada dasarnya adalah sistem

tertutup, sehingga miselium jamur umumnya masuk lewat dinding sel atau

selaput-selaput noktah agar dapat secara sempurna menginfeksi ke struktur kayu.

Pengaruh infeksi jamur terhadap sifat-sifat kayu adalah menurunnya bobot,

kekuatan dan kalori, perubahan warna, bau dan struktur mikroskopis (Tambunan

dan Nandika 1989).

Sifat dinding miselium jamur yang kaku memungkinkan miselium yang

lebih tua umurnya melekat erat pada substrat, dan ditambah dengan dihasilkannya

enzim ekstraselular mengakibatkan miselium mampu membuat lubang kecil

menembus dinding sel kayu. Sistem percabangan miselium yang menyebar

memungkinkan miselium menguasai substrat/jaringan kayu secara menyeluruh.

Sel jari-jari kayu daun lebar dan daun jarum berperan dalam proses degradasi

kayu, karena menyediakan jalan bagi distribusi transversal bahan-bahan simpanan,

dan juga dapat menjadi jalan menyebarnya miselium ke sel-sel lain disekitarnya.

Page 228: Jamur Tiram

206

Jamur pelapuk putih sering mendegradasi lignin dan selulosa secara progresif

terhadap serat kayu keras dan trakeid kayu lunak yaitu dari lumen ke arah lamela

tengah yang mengakibatkan penipisan dinding (Nicholas 1987).

Hasil penelitian menunjukkan kadar lignin substrat yang rendah setelah

diinokulasi isolat-isolat jamur tersebut, menunjukkan isolat-isolat mempunyai

potensi ligninolitik yang cukup besar. Penurunan kadar lignin substrat terbesar

juga diperoleh setelah diinokulasi oleh Pleurotus EB9. Penurunan kadar lignin

oleh isolat-isolat jamur tersebut berkisar antara 10,7 sampai dengan 89.7%.

Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin sampai 89,7%.

Penurunan kadar selulosa oleh isolat-isolat jamur tersebut berkisar antara 18,9

sampai dengan 87,4%, sedangkan Pleurotus EB9 juga dapat menurunkan kadar

selulosa tertinggi yaitu 87,4%. Kadar hemiselulosa menunjukkan berfluktuasi. Hal

ini diduga karena adanya sejumlah bahan penyusun kayu yang tidak terukur

terdegradasi oleh jamur seperti kadar zat ekstraktif .

Hasil analisis kelompok berdasarkan kadar komponen kayu ini

menunjukkan bahwa antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9

mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif sebesar 26,2% dan

menurunkan kadar lignin dan kadar selulosa sebesar berturut-turut 20,8%, dan

20,1%, serta kadar hemiselulosa meningkat sebesar 70,6%. Isolat Pleurotus EB9

mempunyai fase vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan menyebabkan

penurunan bobot kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%.

Pada fase vegetatif, isolat Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EA4 masing-

masing mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif masing-

masing sebesar 30,2% dan 17,2% dan menurunkan kadar lignin dan kadar selulosa

dan peningkatan kadar hemiselulosa (37,55%). Namun kedua isolat tersebut

mempunyai fase vegetatif yang cukup panjang (73,7 dan 78,6 hari) dan

menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi sebesar 8,8% dan 18,7%.

Isolat P. ostreatus HO pada fase vegetatif, mempunyai kemampuan

meningkatkan kelarutan zat ekstraktif (18,9%) dan menurunkan kadar lignin dan

kadar selulosa sebesar berturut-turut sebesar 42,7% dan 49,7%, dan tampak ada

peningkatan kadar hemiselulosa (4,3%). Isolat tersebut mempunyai fase vegetatif

Page 229: Jamur Tiram

207

19,5 hari dan menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi sebesar 32,0%.

P. ostreatus diketahui merupakan jamur pelapuk putih yang lebih selektif terhadap

lignin dibanding P. chrysosporium (Kerem et al. 1992).

Hasil analisis kelompok berdasarkan penurunan kadar lignin, selulosa dan

hemiselulosa pada fase vegetatif memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus

EAB7 (EB7) sangat dekat dengan persamaan 94% dan membentuk kelompok

sendiri. P. ostreatus HO berada dengan isolat lainnya dalam kelompok yang

berbeda. Hasil analisis kelompok berdasarkan pada fase reproduktif

memperlihatkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 sangat dekat dengan

persamaan 95% dan dengan Pleurotus EB24 membentuk kelompok besar kedua,

sedangkan P. ostreatus HO berada dengan isolat lainnya dalam kelompok yang

berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat yang paling baik untuk agens

biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9, walaupun masih terdapat

peningkatan kelarutan dalam NaOH 1% (KDNaOH1) sebesar 19,7%, yang

mengindikasikan adanya polisakarida yang terdegradasi yang relatif rendah.

Pleurotus EB9 pada masa panen ke-4, pada fase reproduktif, mampu menurunkan

kadar lignin sampai 89,7%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kadar

selulosa dan juga hemiselulosa yang tertinggi dengan masa inkubasi yang cukup

lama. Menurut Chang dan Hayes (1978), setelah terbentuk tubuh buah

(basidiokarp) fraksi holoselulosa, α-selulosa dan lignin direduksi kira-kira

mencapai 80%. Zadrazil (1975 dalam Chang dan Hayes 1978) mengatakan bahwa

hasil dekomposisi kompleks lignoselulosa oleh P. osteratus adalah 50% menjadi

substrat yang dibebaskan sebagai gas CO2, 20% sebagai air, 20% sebagai residu

kompos, dan 10% menjadi tubuh buah. Hasil akhir menunjukkan kandungan

nitrogen dan mineral meningkat selama pertumbuhan.

Peningkatan kadar hemiselulosa pada substrat diduga disebabkan oleh

terjadinya degradasi lignin dan selulosa atau bahan penusun kayu yang lain oleh

satu isolat jamur pada satu masa inkubasi yang lebih cepat sehingga kadar

hemiselulosa relatif meningkat dan rasio holoselulosa/lignin (H/L) substrat serbuk

gergajian kayu menurun. Selain mendegradasi lignin, jamur kelompok Pleurotus

Page 230: Jamur Tiram

208

juga menghasilkan enzim lain, diantaranya selulase dan protease, hemiselulosa

dan aminopeptidase (Chang dan Quimio 1982).

Kelompok Pleurotus merupakan dekomposer bahan organik utama yang

dapat secara efisien dan selektif menguraikan lignoselulosa tanpa perlakuan

pendahuluan secara kimia atau biologi. Beberapa contoh bahan lignoselulosa

adalah jerami padi, ampas tebu, sisa gergajian, kulit coklat, pulp kopi dan batang-

batang kapas. Hadar et al. (1993) menemukan bahwa selama 4 minggu proses

kultivasi padat, kadar lignin menurun secara nyata. Pleurotus spp., diketahui

mempunyai daya delignifikasi yang selektif dibanding P. chrysosporium (Kerem

et al. 1992).

Analisis kelompok karakter ligninolitis menunjukkan pengelompokkan

berdasarkan karakter ligninolitis ternyata berbeda dengan pengelompokkan

berdasarkan karakter fisiologis. Hal tersebut menunjukkan, antar isolat

mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda.

Hasil percobaan untuk melihat ekspresi enzim lligninolitik jamur

kelompok Pleurotus, menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EA4, Pleurotus EB6,

Pleurotus EAB7, Pleurotus EB24 dan P. ostreatus HO tidak menghasilkan MnP

secara signifikan, namun Pleurotus EB9 menghasilkan MnP paling tinggi dalam

substrat serbuk gergajian kayu sengon.

Penelitian yang sama dilakukan pada ketujuh isolat dengan penentuan

aktivitas ligninolitik MnP ekstrak. Isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4,

diketahui memiliki kemampuan dalam proses delignifikasi bahan lignoselulosa

substrat kayu sengon. Produksi skala besar untuk isolasi MnP dengan memakai

isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 dilakukan dengan menggunakan substrat

kayu sengon dan menggunakan bioreaktor. Sesuai dengan hipotesis yang

disampaikan, bahwa isolat spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas

ligninase yang berbeda. Ternyata jenis isolat dan juga media berpengaruh dalam

produktivitas enzim ligninolitik. Dalam penelitian ini media yang digunakan

adalah media yang mengandung mangan yang dimodifikasi dari Brown et al.

(1990), yaitu dengan penambahan serbuk kayu sengon sebanyak 8 gram/l.

Penambahan sumber lignin alami diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim.

Page 231: Jamur Tiram

209

Karena sumber lignin alami serbuk kayu sengon ini juga dapat memperbaiki

pertumbuhan jamur liar yang diuji.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Pleurotus EB9 menghasilkan

MnP dan lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan.

Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat

seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang

mulai muncul sejak hari pertama inkubasi, walaupun berfluktuasi.

Perbandingan antara Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 hasil produksi

yang sudah diberi amonium sulfat, diketahui bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan

MnP sebesar 0,138 U/ml dan lakase sebesar 0,914 U/ml, aktivitas LiP tidak

terdeteksi, sedangkan pada isolat Pleurotus EA4 aktivitas MnP tidak terdeteksi

dan produksi LiP dan lakase, berturut-turut adalah 0,179 dan 0,086 U/mL.

Menurut Sarkar et al. (1997), manganese peroksidase pada media glucose-

amonium tartrate atau glukose-peptone, muncul pada hari ke 3 dan maksimal pada

hari ke 6, kemudian akan menurun. Deteksi dilakukan dengan heme absorban

pada λ 410 nm, sedang pada P. chrysosporium maksimal pada hari ke 5 dengan λ

415 nm, dan pada P. radiata dapat dideteksi pada λ 610 nm.

Hasil penelitian ekspresi enzim, diketahui isolat Pleurotus EB9 lebih

selektif terhadap lignin pada fase vegetatif. Hal ini diduga karena enzim

ligninasenya yaitu lakase yang cukup signifikan dan MnP, sedangkan LiP tidak

terdeteksi. Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi

oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen penol, diamin dan

beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Mekanisme reaksi enzimatik yang

terjadi oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu elektron, sehingga dibutuhkan

peranan molekul oksigen sebagai penerima elektron dan kemudian membentuk

molekul air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu

elektronnya dan biasanya terbentuk radikal fenoksi bebas yang berperan sebagai

intermediet. Radikal bebas yang tidak stabil tersebut dapat melangsungkan reaksi

oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi,

disproporsionasi dan polimerisasi (Thurston 1994).

Enzim lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan

secara luas karena sifat spesifiknya yang rendah terhadap substrat-substratnya

Page 232: Jamur Tiram

210

(Cavallazzi et al. 2004; Thurston 1994). Pemanfaatan lakase sangat luas

diterapkan dalam berbagai bidang antara lain dalam proses bioremediasi dan

biodegradasi polutan organik pada tanah seperti klorofenol (Ahn et al. 2002) dan

polisiklik aromatik hidrokarbon (Han et al. 2004), atau pada proses dekolorisasi

dan detoksifikasi pada pewarna tekstil (Abadulla et al. 2000) serta digunakan

sebagai bleaching pada proses biodelignifikasi pada pulp industri kertas

(Bourbonnais dan Paice 1992).

Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim yang berbeda-beda,

misalnya ada yang hanya menghasilkan LiP dan MnP, MnP dan lakase, atau

jamur yang menghasilkan LiP dan lakase (Kerem dan Hadar 1998). Terdapat dua

tipe jamur pelapuk putih yaitu : a) yang menghasilkan LiP, MnP dan lakase dan 2)

tanpa LiP (Hatakka 1994). LiP dan MnP secara umum telah dikarakterisasi pada

P. chrysosporium, dan produksi lakase telah dilaporkan pada jamur ini dengan

media dengan selulosa sebagai sumber karbon (Srinivasan et. al. 1995).

Umumnya jamur pelapuk putih, termasuk P. eryngii dan P. ostreatus, termasuk

grup kedua. Meskipun tanpa LiP, spesies tersebut mampu mendegradasi lignin

jerami gandum (Martinez et. al. 1996), yang merupakan sifat penting untuk

aplikasi bioteknologi yang berhubungan dengan industri pulp dan kertas serta

makanan hewan. Spesies ini juga menghasilkan aryl-alcohol oxidase (AAO)

(Peláez et. al. 1995) sebuah enzim yg berpartisifasi dalam produksi hidrogen

peroksida yang penting untuk aksi MnP (Guillén et.al. 1996). Studi-studi saat ini

menunjukkan pengaruh positif Mn2+ pada degradasi lignin oleh Pleurotus yang

cukup kuat (Camarero et. al. 1996).

SDS-PAGE hasil kromatografi kolom gel hidrofobik (Phenyl-Sepharose)

dan penukar ion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan 40% amonium

sulfat dari Pleurotus EA4, tidak didapatkan pita-pita yang menunjukkan

keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus EA4 tidak memproduksi

MnP.

SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion terhadap sampel

pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9, diperoleh pita dengan bobot

molekul kira-kira 43 kDa yang merupakan bobot molekul rata-rata MnP yang

telah diketahui.

Page 233: Jamur Tiram

211

Selanjutnya supaya lebih baik pemisahannya maka dilakukan pemurnian

dengan kolom kromatografi gel HiPrep 16/60 Sephacryl S-200 High Resolution

(GE Biosciences) flow rate 0,3 ml/min dan fraksinasi 1,5 ml/fraksi, buffer 10 mM

potasium fosfat pH 7,0 dan HPLC AKTA Purifier (GE Biosciences), dan

diperoleh peak aktivitas MnP pada fraksi ke 96. Selanjutnya SDS PAGE hasil

kromatografi kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari

Pleurotus EB9 diperoleh MnP yang telah berhasil dimurnikan dan menunjukkan

bobot molekul 43 kDa.

Hasil tahapan purifikasi menunjukkan aktivitas enzim MnP spesifik untuk

Pleurotus EB9 filtrat enzim kasar sebesar 1,092 U/mg. Aktivitas enzim MnP

spesifik untuk Pleurotus EB9 40% amonium sulfat sebesar 1,605 U/mg. Aktivitas

enzim MnP spesifik untuk Pleurotus EB9-Fraksi 96 kromatografi gel sebesar

4,133 U/mg (dengan catatan hanya 1 ml yang diambil untuk HPLC, kemungkinan

tingkat kemurnian total akan jauh lebih besar). Dari data tersebut dapat dilihat

bahwa persen recovery (perolehan kembali) MnP yang didapat sebesar 4,133

dengan kemurnian 3,8 kalinya.

Dalam percobaannya, Sarkar et al. (1997) melaporkan bahwa medium

pepton meningkatkan hasil MnP pada P. ostreatus sampai 59% dan faktor

purifikasi 36. Pada P. eryngii, P. ostreatus, P. pulmonarius dan P. sajor-caju,

MnP tidak terdeteksi bila ditumbuhkan dalam media cair dengan ammonium

tartrate sebagai sumber N, aktivitas tinggi MnP diperoleh pada medium pepton

mendekati 3 U/ml pada kultur P. eryngii.

Dalam hipotesis, isolat spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas

ligninase yang berbeda. Ternyata bahwa jenis isolat dan media berpengaruh pada

produktivitas enzim ligninolitik. Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim

ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Dua

enzim yang berperan dalam proses tersebut adalah fenol oksidase (lakase) dan

peroksidase (lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP))

(Howard et al. 2003; Kirk et al. 1978).

Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen

peroksida oksidoreduktase; bobot molekul antara 38 dan 43 kDa) dan MnP

(EC.1.11.1.13; Mn(II): H2O2 oksidoreduktase; bobot molekul antara 43 dan 49

Page 234: Jamur Tiram

212

kDa) merupakan glikoprotein yang memiliki sebuah protoporfirin IX sebagai

gugus prostetik dan membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka

1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993).

Enzim ekstraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting

dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa

reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non

fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol,

hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen

non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Sedangkan MnP diketahui

memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik

senyawa lignin.

Manganese peroksidase umumnya dihasilkan oleh P. ostreatus (Sarkar et

al. 1997), oleh P. crysosporium (Brown et al. 1990) dan Phlebia radiata (Vares et

al. 1995). Sampai saat ini isolat jamur pelapuk putih P. chrysosporium banyak

menjadi obyek para peneliti dikarenakan menghasilkan aktivitas LiP dan MnP

yang tinggi. Seperti halnya pada lakase selain potensi dalam proses

biodelignifikasi, lignin peroksidase dan mangan peroksidase berpotensi dalam

proses biobleaching dan biopulping pulp serta proses degradasi senyawa-senyawa

berbahaya.

Morfologi isolat jamur yang berbeda menunjukkan spesies yang berbeda.

Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki karakter fisiologi yang berbeda. Isolat

spesies jamur yang berbeda memiliki aktivitas ligninase yang berbeda. Analisis

kelompok isolat berdasarkan karakterisasi fisiologi dan morfologi menunjukkan

bahwa P. djamor EB9 berbeda dengan kelima isolat H. petaloides. Produksi

enzim ligninase khususnya MnP P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 juga

berbeda.

Secara makroskopis, pada kondisi tertentu terutama di lapangan antara

genus Pleurotus dan genus Hohenbuehelia sulit dibedakan sehingga dapat

dikatakan keduanya menyerupai Pleurotus atau disebut juga kelompok Pleurotus.

Genus Hohenbuehelia dikenal beberapa spesiesnya mempunyai nama sinonim

Pleurotus, contohnya adalah H. petaloides yang dikenal juga dengan nama

Pleurotus petaloides (Brown 1981). Namun demikian, dari penelitian ini diketahui

Page 235: Jamur Tiram

213

penampakan makroskopis kedua jenis jamur ini mempunyai persamaan dan

perbedaan. Setelah identifikasi, keenam isolat tersebut adalah Pleurotus djamor

EB9 yang berwarna pink dan Hohenbuehelia petaloides bagi kelima isolat lainnya

yang terdiri atas H. petaloides EB14-2 (cokelat muda), H. petaloides EB24

(cokelat keabu-abuan), H. petaloides EA4 (cokelat muda), H. petaloides EAB7

(cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides EB6 (cokelat keabu-abuan).

Secara umum diantara kelima isolat H. petaloides (EB14-2, EB24, EA4,

EAB7 dan EB6) mempunyai ciri-ciri makroskopis hampir sama kecuali beberapa

perbedaan pada ukuran diameter pileus dan warna pileus segar ketika masih kecil

atau muda, namun pada kondisi tertentu, menampakkan warna dan fenotipe yang

serupa yaitu berbentuk seperti tiram, seperti kipas-ginjal (di lapangan dan hasil

kultivasi) dan seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung (hasil kultivasi). Secara

mikroskopis antara genus Pleurotus sp. dan genus Hohenbuehelia sp. mempunyai

perbedaan yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai sistidia berdinding tebal

(metuloid), serta adanya lapisan gelatin pada tudungnya.

Pendapat penulis bahwa P. djamor EB9 dapat dimasukkan ke dalam P.

djamor var. roseus, namun ada perbedaan yaitu warna jejak spora yang berwarna

merah muda pupus, tidak berwarna putih. Sehingga melihat karakter yang

beragam pada P. djamor yang berwarna pink ini, ada kemungkinan P. djamor

EB9 ini dapat saja merupakan varietas yang berbeda dengan yang lainnya.

Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat

kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides. Menurut

Segedin et al. (1995), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili tersendiri yaitu

Pleurotaceae. Menurut Moncalvo et al. (2002), Hohenbuehelia juga mempunyai

famili yang sama dengan Pleurotus yaitu Pleurotaceae. Dalam famili ini hanya

ada dua genus yaitu Pleurotus dan Hohenbuehelia, hal ini berdasarkan penelitian

terbaru dengan menggunakan uji genetik molekuler RNA.

Page 236: Jamur Tiram

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Beberapa jenis jamur pleurotoid yang ditemukan di daerah Bogor adalah

Schizophillum spp., Lentinus spp., Panellus spp., Crepidotus spp.. Kelompok

Pleurotus hanya ditemukan dari satu daerah yaitu di areal kebun dan tempat

penggergajian kayu di kecamatan Ciherang (+ 501 m dpl). Sekitar 24 isolat jamur

pelapuk putih pleurotoid kelompok Pleurotus telah diisolasi dan 17 isolat

diantaranya dikultivasi pada media serbuk gergajian kayu sengon. Enam isolat

kelompok Pleurotus diantaranya dapat membentuk tubuh buah seperti Pleurotus

pada media serbuk gergajian kayu sengon, yaitu Pleurotus EB9, Pleurotus EB14-

2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7 dan Pleurotus EB6.

Dari hasil penelitian ini diharapkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4

sebagai jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi pada AAG dan

AAT yang cukup kuat, terutama Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase

vegetatif yang lebih singkat dibanding isolat yang lain termasuk P. ostreatus HO.

Karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda.

Isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus EB14-2,

EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan lebih dekat

dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat kelompok Pleurotus

lainnya.

Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu

pinus (40,1%) dan pada kayu akasia (38,1%). Isolat paling tinggi ke-2 adalah P.

ostreatus HO pada akasia (31,8%) pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi

oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi,

kemudian diikuti kayu akasia dan pinus.

Hasil analisis ragam ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu pinus

dan akasia menunjukkan bahwa lama inkubasi, jenis isolat, dan interaksi antara

jenis isolat dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu.

Besar penurunan bobot kering kayu berbanding lurus dengan tingkat degradasi

maupun dengan laju dekomposisi. Cara serangan isolat-isolat jamur yang

Page 237: Jamur Tiram

215

diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip dengan cara

serangannya pada pinus.

Isolat spesies jamur yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda

dalam mendegradasi satu jenis media (media serbuk gergajian kayu sengon). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pada fase vegetatif, Pleurotus EB9 merupakan

isolat yang mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif sebesar

26,2% dan menurunkan kadar lignin dan kadar selulosa berturut-turut sebesar

20,8% dan 20,1%, dan tampak peningkatan kadar hemiselulosa sebesar 70,6%,

serta mempunyai peningkatan KDNaOH1 sebesar 19,7%, yang menunjukkan

rendahnya degradasi pada selulosa maupun hemiselulosa. Isolat Pleurotus EB9

tersebut mempunyai fase vegetatif yang sangat singkat yaitu 14 hari dan

menyebabkan penurunan bobot kering sisa degradasi yang paling kecil yaitu 1,0%.

Oleh karena itu, maka isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan

biobleaching adalah Pleurotus EB9.

Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, bahwa produk enzim ligninolitik

dipengaruhi oleh kondisi media, jenis isolat, dan suhu serta lamanya penyimpanan.

Isolat Pleurotus EB9 menunjukkan ekspresi lakase dan MnP yang signifikan pada

media cair, namun untuk LiP tidak terdeteksi. Sebaliknya isolat Pleurotus EA4

menunjukkan ekspresi lakase dan LiP yang signifikan, namun untuk MnP tidak

terdeteksi.

Hasil penelitian ekspresi enzim menunjukkan isolat Pleurotus EB9 lebih

selektif terhadap lignin pada fase vegetatif. Hal ini diduga karena enzim-enzim

ligninasenya yaitu lakase yang lebih banyak dibanding MnP, sedangkan LiP tidak

terdeteksi. Lakase mempunyai sifat spesifik yang rendah terhadap substrat-

substratnya. Ketiadaan LiP tidak mengurangi potensi jamur dalam mendegradasi

lignin bahkan menyebabkan degradasi lebih spesifik terhadap lignin. MnP

diketahui memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun

non fenolik senyawa lignin.

Isolasi enzim dengan kolom kromatografi cair dari Pleurotus EA4 tidak

didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan MnP. Hal ini menunjukkan

bahwa Pleurotus EA4 tidak menghasilkan enzim MnP. SDS-PAGE hasil

kromatografi kolom penukar ion (DEAE-Sepharose) terhadap sampel pemekatan

Page 238: Jamur Tiram

216

40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9 diperoleh pita dengan bobot molekul

kira-kira 43 kDa, yang merupakan BM rata-rata MnP. Selanjutnya hasil

pemurnian dengan kolom gel kromatografi HiPrep 16/60 Sephacryl S-200

resolusi tinggi diperoleh peak pada fraksi ke 96. SDS PAGE hasil kromatografi

kolom gel terhadap sampel pemekatan 40% amonium sulfat dari Pleurotus EB9

diyakini bahwa Pleurotus EB9 menghasilkan MnP.

Data pemurnian MnP dari Pleurotus EB9 menunjukkan bahwa tingkat

pemurnian masih sangat rendah (3,8), sehingga perlu tahap pemurnian yang lebih

efektif. Aktivitas spesifik MnP yang diperoleh sekitar 4,133 U/mg protein.

Hasil identifikasi terhadap enam isolat asal Bogor yang diuji, satu isolat

diketahui adalah P. djamor EB9 (Pleurotus EB9) yang berwarna pink dan lima

isolat lainnya adalah H. petaloides yang terdiri atas H. petaloides EB14-2

(Pleurotus EB14-2) (cokelat-muda), H. petaloides EB24 (Pleurotus EB24)

(cokelat keabu-abuan), H. petaloides EA4 (Pleurotus EA4) (cokelat muda), H.

petaloides EAB7 (Pleurotus EAB7) (cokelat keabu-abuan), dan H. petaloides

EB6 (Pleurotus EB6) (cokelat keabu-abuan).

Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H.

petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 umumnya memiliki koloni kultur tipe

appresed dan downy, sedang isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy, tipe

velvety dan cottony dan P. ostreatus (HO) memiliki tipe koloni velvety, cottony

dan plumose.

Genus Pleurotus sp. dan genus Hohenbuehelia sp. mempunyai perbedaan

yaitu pada genus Hohenbuehelia mempunyai sistidia berdinding tebal (metuloid),

serta adanya lapisan gelatin pada tudungnya.

Berdasarkan karakter morfologis, P. djamor EB9 lebih dekat

kekerabatannya dengan P. ostreatus HO dibanding dengan H. petaloides.

Karakteristik morfologi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun

setiap organisme tetap mempunyai sifat dasar yang memudahkan dalam

mengenalinya.

Page 239: Jamur Tiram

217

Saran

Dari hasil penelitian ini beberapa hal yang dapat disarankan untuk

penelitian lanjutan adalah meningkatkan kelembaban relatif (RH) dan mengurangi

kadar air substrat serta memperhatikan lingkungan fisik lainnya seperti gas,

cahaya, konsentrasi ion hidrogen, aerasi, serta lingkungan biologis seperti

interaksi dengan mikroorganisme lain karena mempengaruhi laju dekomposisi

bahan lignoselulosa oleh jamur.

Keseragaman bobot kering awal dan ukuran kayu, serta waktu inokulasi

oleh isolat jamur dan meratanya penempatan sampel di dalam botol disarankan

menjadi perhatian pada penelitian tingkat bidegradasi dan laju dekomposisi pada

bahan kayu. Isolat jamur sebaiknya ditumbuhkan pada media agar terlebih dahulu

baru kemudian dimasukkan bahan kayunya yang sudah diberi malt ekstrak.

Penelitian biodegradasi substrat pada jenis kayu lainnya disarankan dapat

menjadi topik penelitian dengan menganalisa polisakarida hasil kelarutan dalam

NaOH 1% dianjurkan untuk melihat jenis polisakarida apa yang terdegradasi

sehingga dapat diketahui enzim-enzim yang dihasilkannya.

Untuk melihat ekspresi enzim, sebaiknya kultur untuk induksi enzim

dilakukan di dalam bioreaktor yang memudahkan dalam pengambilan ekstrak

kasar, yang sebaiknya juga segera diuji aktivitasnya setelah dipanen atau disimpan

pada suhu -70 sampai -80(+1)oC.

Tingkat keberhasilan pemurnian (yield) MnP pada Pleurotus EB9 pada

penelitian ini masih sangat rendah, sehingga diharapkan pada masa yang akan

datang diperbaiki dengan tahap pemurnian yang lebih efektif, dengan optimasi

lingkungan seperti perlakuan media, aerasi atau suhu dan lama inkubasi. Aktivitas

lakase pada Pleurotus EB9 pada produksi skala besar cukup tinggi, sehingga

disarankan untuk diteliti lebih lanjut sampai pemurnian serta karakterisasinya.

Isolat yang berpotensi dalam penelitian ini dapat ditingkatkan potensinya dengan

cara-cara induksi ataupun mutasi atau dengan teknik biologi molekuler.

Identifikasi isolat kelompok Pleurotus tersebut disarankan juga dapat

dilakukan secara genetik seperti dengan cara RAPD dan untuk melihat regulasi

enzimatiknya.

Page 240: Jamur Tiram

218

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat yang paling baik untuk agens

biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Oleh

karena itu isolat ini dapat diteliti kemungkinan penerapannya dalam proses

biopulping dan biobleaching pada bahan-bahan lignoselulosa dan untuk produksi

enzim MnP dan lakase.

Page 241: Jamur Tiram

DAFTAR PUSTAKA

Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat. Pada Kelapa Sawit (Elaesis guinensis Jacq.) dan Pengaruh Beberapa Mikroba Tanah Antagonistik terhadap Pertumbuhan [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Abadulla E, Tzanov T, Costa S, Robra KH, Cavoca-Paulo A, Gubitz GM. 2000.

Decoloration and Detoxification of Textile Dyes with a Laccase from Trametes hirsute. J App Environ Microbiol 66: 3357-3362.

Abdurahim M et al. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Bogor: Badan

penelitian dan Pengembangan Hutan. Achmadi SS. 1988. Diktat Kimia Kayu. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut

Pertanian Bogor. Ahn MY, Dec J, Kim JE, Bollog JM. 2002. Treatment of 2,4-diclhorophenol

Polluted Soil With Free and Immobilized Laccase. J Environ Qual 31:1509-1515.

Albertó E, Fazio A, Wright JE. 1998. Reevaluation of Hohenbuehelia nigra and

species with close affinities. Mycologia 90 (1):142–150. Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology, Ed ke-4.

New York: John Wiley and Sons, Inc. Allison WH, Kneebone LR. 1962. Influence of compost pH and casing soil pH

on mushroom production. Mush Sci 5:81-89 Anonim. 2006. Laccase. http://www.chem.ox.ac.uk/icl/faagroup/laccase.html

[April 2006]. Artiningsih T, Simbolon H, Suhirman, Osaki M. 2000. Diversity of

Aphyllophorales fungi isolated from Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan and its Potentiality for Lignin Decompotion. Berita Biologi 5:313-322.

Asada Y, Watanabe A, Ohtsu Y, Kuwahara M. 1995. Purification and

Characterization of an Aryl-alcohol Oxidase from The Lignin-degrading Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Biosci Biotechnol Biochem 59:1339-1341.

Bailey JE, Ollis DF. 1988. Dasar-dasar Rekayasa Biokimia (Terjemahan).

Bogor: Pusat Antar Universitas, IPB.

Page 242: Jamur Tiram

220

Basuki T. 1994. Biopulping, Biobleaching dan Biodegradasi Limbah Industri Pulp dan Kertas oleh Jamur Basidiomycetes Phanerochaete chrysosporium [Laporan Penelitian]. Bandung: Pusat Antar Universitas, ITB.

Becker HG, Sinitsyn AP. 1993. Mn-peroxidase from Pleurotus ostreatus: the

action on lignin. Biotechnol Lett 15:289-294. Bels-Koning HD. 1962. Preliminary note on the analysis of the composting

process. Mush Sci 5: 30-37. Bourbonnais R, Paice MG. 1990. Oxidation of Non-phenolic Substrates. An

Expanded Role for Laccase in Lignin Biodegradation. FEBS Lett 267: 99-102.

Bourbonnais R, Paice MG. 1992. Demethylation and Delignification of Kraft

Pulp by Trametes versicolor Laccase in the Presence of 2,2’-azinobis (3-ethylbenzthiazoline-6-sulphonate). J Appl Microbiol Biotechnol 36: 823-827.

Brown DEG. 1981. Trial Field Key to the Pleurotoid Species. Di dalam: Gibson

I, editor. The Northwest Prepared for the Pacific Northwest Key. Spokane Mushroom Club. Pasific Northwest Key Council.

Brown JA, Glenn JK, Gold MH. 1990. Manganese Regulates Expression of

Manganese Peroxidase by Phanerochaete chrysosporium. J Bacteriol 6: 3125-3130.

Bumpus JA, Tien M, Wright D, Aust SD. 1985. Oxidation of Persistent

Environmental Pollutans by a White-rot Fungus. Science 228:1434-1436. Buswell JA et al. 1996. Lignocellulolytic enzyme profiles of edible mushroom

fungi. World J of Mycrobiol and Biotechnol 12:537-542. Camarero S, Böckle B, Martínez MJ, Martínez AT. 1996. Manganese-mediated

lignin degradation by Pleurotus pulmonarius. Appl Environ Microbiol 62:1070-1072

Campbell NA, Jane BR, Lawrence GM. 2002. Biologi. Ed ke-5. Lestari R,

penerjemah: Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Carlile MJ, Watkinson SC, Goodway GW. 2001. The Fungi. London: Academic

Press. Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol ke-1

Ed ke-3. New York: Wiley Interscience Publisher Inc.

Page 243: Jamur Tiram

221

Cavallazzi JRP, Oliveira MGA, Kasuya MC.M. 2004. Laccase Production by Lepista sordida. Brazilian J Microbiol 35: 261-263.

Chang ST, Hayes WA, editor. 1978. The Biology and Cultivation of Edible

Mushrooms. New York: Academic Press. Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Boca

Raton: CRC Press, Inc. Chang ST, Quimio TH, editor. 1982. Tropical Mushrooms Biological Nature

and Cultivation Methods. Hong Kong: The Chinese University Press of Hong Kong.

Corner EJH. 1981. The Agaric Genera Lentinus, Panus and Pleurotus with

Particular Reference to Malaysian Species. Beihefte zur Nova Hedwigia Heft 69.

Corner EJH. 1994. On the Agaric Genera Hohenbuehelia and Oudemansiella

part I. Hohenbuehelia. Gardens’ Bul Singapura 46 (1):1-47/50-75. Cullen D, Kersten P. 1992. Fungal enzymes for lignocellulose degradation. Di

dalam: Kinghorn JR, Turner G, editor. Applied Molecular Genetics of Filamentous Fungi. London: Chapman and Hall. hlm 100-103.

Cullen D, Kersten P. 1996. Enzymology and Molecular Biology of Lignin

Degradation. The Mycota III Biochemistry and Molecular Biology BrambI/Marzluf, editor. Springer-Verlug Berlin Heidelberg. hlm 295-306.

Daneault C, Leduc C, Valade JL. 1994. The Use of Xylanases in Kraft Pulp

Bleaching [ulasan]. TAPPI J 77: 125-131 Daru TP. 1999. Kandungan Komponen Serat Ampas Tebu Hasil Fermentasi

Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus L.). Buletin Budidaya Pertanian 5 (1-2): 52 – 58.

Dennis RWG. 1953. Some Pleurotoid Fungi From The West Indies. Kew Bull ( )

31-45. Desjardin DE. 1999. Spring Fungi of The Sierra Nevada. San Fransisco State

University. Dharmaputra, O.S., Gunawan, A.W., Nampiah. 1989. Mikologi Dasar, Penuntun

Praktikum. Bogor: Depdikbud, Ditjen Dikti, PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Dix NJ, Webster J. 1995. Fungal Ecology. Chambridge: Chapman and Hall.

Page 244: Jamur Tiram

222

Djarijah NM, Djarijah AS. 2001. Jamur Tiram Pembibitan, Pemeliharaan dan Pengendalian Hama-Penyakit. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood Decay, Pests and Protection. London:

Chapman and Hall. Eggert C, Temp U, Eriksson KE. 1996. The Ligninolytic System of the White-

rot Fungus Pycroporus cinnabarinus: Purification and Characterization of the Laccase. J Appl Environ Microbiol 62: 1151-1158.

Enari TM. 1983. Microbial cellulases. Di dalam: Forgaty WM, editor. Microbial

Enzymes and Biotechnology. New York: Applied Science Publisher. Eriksson KE, Blanchette RA, Ander P. 1990. Microbial and Enzymatic

Degradation of Wood and Wood Components. Heidelberg: Springer-Verlag.

Fengel D, Wegener G. 1984. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.

Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions.

Flegg PB. 1953. Pore space and related properties of casing materials. Mush Sci

2: 149-161. Gardner DE. 1996. Acacia koa: A Review of its Disease and Associated Fungi.

Honolulu. Hawai. http://www.botany.hawaii.edu/.../koa Gerraway MO, Evant RC. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. New York:

John Wiley and sons. Gold MH, Alic M. 1993. Moleculer Biology of the Lignin-degrading

Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Mycrobiol Rev 57: 605-622.

Griffin D. 1994. Fungal Physiology. New York: John Wiley and Sons. Grist DH. 1965. Rice. Ed ke-3. London: Lowe and Boydine LTD. Guillén F, Martínez MJ, Martínez AT. 1996. Di dalam: Messner K, Srebotnik E,

editor. Biotechnology in the Pulp and Paper Industry: Recent Advances in Applied and Fundamental Research. Facultas-Universitätsverlag. Vienna. hlm. 389-392.

Gunawan AW. 1997. Status Penelitian Biologi dan Budi Daya Jamur di Indonesia.

J Hayati 12:80-84.

Gunawan AW. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Page 245: Jamur Tiram

223

Hadar Y, Kerem Z, Gorodecki B. 1993. Biodegradation of Lignocellulotic Agricultural Wastes by Pleurotus ostreatus. J Biotechnol 30:133-139.

Hadi S. 1999. Ekofiologi Fungi. Patologi Hutan dan Perkembangannya di

Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hammel KE et al. 1993. Ligninolysis by a Purified Lignin Peroxidase. J of Biol

Chem 268(17): 12274-12281. Han MJ, Choi HT, Song HG. 2004. Degradation of Phenanthrene by Trametes

versicolor and Its Laccase. J Microbiol 42: 94-98. Harismah K. 2002. Daun Jambu Biji Untuk Sariawan.

Http://www.suaramerdeka.com/harian/0206/15/ragam [20 Agustus 2004]. Hasibuan S. 2007. Identifikasi Karakteristik Organisasi Yang Mempengaruhi

Upaya Implementasi Produksi Bersih :Studi Kasus Pada Industri Pulp Dan Kertas [Thesis Magister]. Bandung: Teknik Dan Manajemen Industri Bidang Khusus Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung.

Hatakka A. 1994. Lignin Modifying Enzyme from Selected White-rot Fungi:

Production and Role in Lignin Degradation. FEMS Microbiol Rev 13: 125-135.

Haygreen JG, Bowyer JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.

Hadikusumo SA, penerjemah: Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Products And Wood Science, An Introduction.

Hedger J. 1985. Tropical agarics, resource relations and fruiting peridicity. Di

dalam: Moore D, Cassetton LA, Wood DA, Frankland JC, editor. Developmental biology of higher plants. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 41-86.

Heinzkill M, Messner K. 1997. The Ligninolytic System of Fungi. Di dalam:

Anke T, editor. Fungal Biotechnology. Weinheim: Chapman and Hall. hlm 213-223.

Heinzkill M, Bech L, Halkier T, Schneider P, Anke T. 1998. Characterization of

Laccase and Peroxidase from Wood-Rotting Fungi (Family Coprinaceae). J Appl Environ Microbiol 64: 1601-1606.

Herliyana EN. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete

chrysosporium umtuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan Pinus merkusii [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 246: Jamur Tiram

224

Herliyana EN. 2004. Studi Fisiologis Fungi Tiram Pleurotus spp. Yang Berbeda Secara Genetik. Bogor: Proyek Pengembangan Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Higley TI, Kirk TK. 1979. Mechanisms of Wood Decay and The Unique

Features of Heart-rots. Symposium on Wood Decay J 69: 1151-1157. Higley TL, Dashek WV. 1998. Biotechnology in the Study of Brown- and

White-rot Decay. Di dalam: Bruce A, Palfreyman JW, editor. Forest Products Biotechnology. London: Taylor and Francis Ltd. hlm 15-36.

Ho C, Jurasec L, Paice MG. 1990. The Effect of Inoculum on Hardwood Kraft

Pulp with Coriolus versicolor. J Pulp and Paper Sci 16:J78-J82. Houston DF, Kohler GO. 1970. Nutritional Properties of Rice. Washington DC:

National Academy of Science. Howard L, Abotsi L, Jansen van Rensburg E, Howard S. 2003. Lignocellulose

Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme Production. African J Biotechnol 2(12): 602-619

Jurasek LC, Paice MG. 1990. The Effect of Inoculum on Bleaching of

Hardwood Kraft Pulp with Coriolus versicolor. J Pulp and Paper Sci 16:78-82.

Kartika L, Yustina MPD, Gunawan AW. 1995. Campuran serbuk gergaji kayu

sengon dan tongkol jagung sebagai media budidaya jamur tiram putih. Hayati Jurnal Biosains 2(1): 23-27.

Katagiri N, Tsutsumi Y, Nishida T. 1995. Correlation of Brightening with

Cumulative Enzyme Activity Related to Lignin Biodegradation During Biobleaching of Kraft Pulp by White-rot Fungi in the Solid-state Fermentation System. J App Environ Microbiol 61:617-622.

Kerem Z, Friesem D, Hadar Y. 1992. Lignocellulose Degradation During Solid

State Fermentation Pleurotus ostreatus versus Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbiol 4:1121-1127.

Kerem Z, Hadar Y. 1998. Lignin-degrading Fungi. Mechanisms and Utilization.

Di dalam: Altman A, editor. Agricultural Biotechnology. New York: Marcel Dekker. hlm 351-365.

Kirk TK, Schultz E, Connors WJ, Lorenz LF, Zeikus JG. 1978. Influence of

Culture Parameters on Lignin Metabolism by Phanerochaete chrysosporium. Arch Microbiol 32:131.

Page 247: Jamur Tiram

225

Kirk TK, Higuchi T, Chang H. 1980. Lignin Biodegradation: Microbiology, Chemistry and Potential Applications (1). Florida: CRC Press, Inc. hlm 61-72.

Kirk TK, Cowling EB. 1984. Biological decomposition of solid wood. Di

dalam: Rowell RM, editor. The Chemistry of Solid Wood. Washington DC: American Chemical Society. hlm 455-487.

Kirk TK, Farrel RL. 1987. Enzymatic “Combustion”: The Microbial

Degradation of Lignin. Ann. Rev Microbiol 41: 465-565. Kirk TK, Chang HM. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper Manufacture.

New York: Butterworth-Heinemann. Kollman FFP. 1968. Principle of Wood Science and Technology. Berlin: Solid

Wood vol 1. Kushendrarini P. 2003. Analisis Budidaya untuk Peningkatan Produksi Jamur

Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

[LR] Landcare Research. 2004. Pleurotus spp. in Research.

http://nzfungi.landcareresearch.co.nz. [2 Oktober 2006] Largent DL. 1973. How to Identify Mushrooms to Genus I: Macroscopic

Features. California: Mad River Press, Inc. Largent DL, Baroni TJ. 1988. How to Identify Mushrooms to Genus VI: Modern

Genera. California: Mad River Press, Inc. Leatham GF, Crawford RL, Kirk TK. 1983. Degradation of Phenolic

Compounds and Ring Cleavage of Catechol by Phanerochaete chrysosporium. J Appl Environ Microbiol 46:191-197.

Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randal RJ. 1951. Protein measurement

with the folin phenol reagent. J Biol Chem 193: 265-275. Madan M, Vasudevan P, Sarma S. 1987. Cultivation of Pleurotus sajor-saju on

Different Wastes. J Biological Wastes 22: 241-250. Malik J, Santoso A, Rachman O. 2007. Sari hasil Penelitian Mangium (Acasia

mangium Wild). Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Martínez MJ, Ruiz-Dueñas FJ, Guillén F, Martínez AT. 1996. Purification and

Catalytic Properties of Two Manganese-peroxidase Isoenzymes from Pleurotus eringii. Eur J Biochem 237: 424-432.

Page 248: Jamur Tiram

226

Meulenhoff IWM, Sofyan K, Achmadi SS. 1977. Penuntun Praktikum Kimia Kayu. Bogor; Fakultas Kehutanan, IPB.

Moncalvo J et al. 2002. One hundred and seventeen clades of euagarics. Moll

Phylogen and Evol 23: 357-400. Moore E, Landecker E. 1996. Fundamentals of The Fungi. New Jersey:

Prentice-Hall, Inc. Moriya H et al. 2001. Yak1p,aDYRK family kinase, translocates to the nucleus

and phosphorylates yeast Pop2p in response to a glucose signal. Genes Dev 15:1217-1228.

Muladi S, Kusuma IW, Korsadchia O, Patt R. 2000. The Elementary Chlorine

Free Bleaching (ECF) of Some Indonesian Timber Estate Wood Species. Di dalam: Shimada M et al., editor. Sustainable Utilization of Forest Products: Socio-Economical and Ecological Management of Tropical Forests. Proceedings of the Third International Wood Science Symposium. Kyoto. hlm 335-340.

Muñoz C, Guillén F, Martínez AT, Martínez MJ. 1997. Laccase isoenzymes of

Pleurotus eringii: Characterization, Catalityc Properties, and Participation in Activation of Molecular Oxygen and Mn2+ Oxidation. J Appl Environ Microbiol 63(6): 2166-2174.

Nicholas DD. 1987. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan

Perlakukan-perlakuan Pengawetan. Yoedodibroto H, penerjemah. Surabaya: Airlangga Univ Press.

Nobles MK. 1948. Studies in Forest Pathology VI. Identification of Cultures of

Wood Rotting Fungi. Can J of Res 26:281-414. Nurhayati T. 1988. Analisis Kimia 75 Jenis Kayu dari Beberapa Lokasi di

Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(10):6-11. Oei P. 2003. Mushroom Cultivation, Appropriate Technology for Mushroom

Growers. Leiden, Netherlands: Backhuys Publishers. Olson JS. 1963. Energy Storage and the Balance of Producer and Decomposers

in Ecological Systems. Ecology 44: 322-331. Oriaran TP, Labosky PJr, Blankenhorn PR. 1990. Kraft Pulp and Papermaking

Properties of Phanerochaete chrysosporium Degraded Aspen. TAPPI J 7:147-152.

Paice MG, Jurasek L, Ho C, Bourbannais R, Archibald F. 1989. Direct

Biological Bleaching of Hardwood Kraft Pulp with The Fungus Coriolus versicolor. TAPPI J 72: 217-221.

Page 249: Jamur Tiram

227

Palonen H. 2004. Role of Lignin in the Enzymatic Hydrolysis of Lignocellulose. VTT Biotechnology. hlm11-16.

Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai

Bahan Baku. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pegler DN. 1983. The genus Lentinus. Kew Bull Addit Ser 10: 281 hlm. Pegler DN. 1987. A revision of the Agaricales of Cuba 2. Spesies described by

Earle and Murrill. Kew Bull 42:585 hlm. Peláez F, Martínez MJ, Martínez AT. 1995. Screening of 68 Spesies of

Basidiomycetes for Enzymes Involved in Lignin Degradation. Mycol Res 99: 37-42.

Perez J, Jeffries TW. 1992. Role of Manganese and Organic Acid Chelators in

Regulating Lignin Degradation and Biosynthesis of Peroxidases by P. chrysosporium. J Appl Environ Microbiol 58:2402-2409.

Pickard MA, Vandetrol H, Ramon R, vazquez-Duhalt R. 1999. High Production

of Ligninolitic Enzymes from White-rot Fungi in Cereal Bran Liquid Medium. Can J Microbiol 45:627-631.

Priyadi TU, Akhmadi. 2000. Teknik Budidaya Jamur Kayu. Disampaikan pada

Pelatihan Budidaya Jamur Kayu, Mbrio Food Laboratory dan Pusbangtepa LPM IPB, 3-4 November.

Quimio TH. 1985. Physiological consideration of Auricularia spp.. Di dalam:

Chang ST, Quimio TH, editor. Tropical Mushrooms Biological Nature and Cultivation Methods. Hong Kong: The Chinese University Press of Hong Kong.

Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood: Its Biology and

Ecology. Chichester: John Wiley and Sons. Reid ID, Paice MG, Ho C, Jurasek L. 1990. Biological Bleaching of Softwood

Kraft Pulp with the Fungus Trametes (Coriolus) versicolor. TAPPI J 8:149-153.

Rini DS. 2002. Minimasi Limbah dalam Industri Pulp dan Paper. Jakarta:

Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. Royse DJ. 2000. Cultivation of Oyster Mushroom. Penn State College of

Agricultural Sciences. The Pennsylvania State University. www.cas.psu.edu

Page 250: Jamur Tiram

228

Sarajar CG. 1975. Penuntun Praktikum Anatomi Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB. 49 hlm.

Sarkar S, Martínez AT, Martínez MJ. 1997. Biochemical and Moleculler

Characterization of a Manganese Peroxidase Isoenzyme from Pleurotus ostreatus. Biochimica et Biophysica Acta 1339:23-30.

Segedin BP, Buchanan PK, Wilkie JP. 1995. Studies in the Agaricales of New

Zealand 4 new species, new records and renamed species of Pleurotus (Pleurotaceae). Austral Syst Bot 8:453-482.

Slayter EM, Slayter HS. 1992. Light and Electron Microscopy. Cambridge

University Press. Srinivasan C, D’Souza T, Boominathan K, Reddy CA. 1995. Demonstration of

Laccase in the White-rot Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium BKM-F1767. J App Environ Microbiol 61:4274-4277.

[SPM] Staf Pengajar Mikroteknik. 2002. Penuntun Praktikum Mikroteknik.

Bogor: Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Sudiasto S. 2001. Diktat Pharmacognosy. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sugipriatini D. 1998. Pengaruh Sumber Karbon terhadap Aktivitas Lignolitik

Ganoderma spp. [Skripsi]. Bogor: Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Suprapti S. 1987. Pembudidayaan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Dengan Media Limbah Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 4(3):50-53. Suprapti S. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Jamur Tiram pada Media Serbuk

Gergaji. Bogor: Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.

Tambunan E. 2006. RI Berpeluang Tingkatkan Ekspor Pulp dan Paper. Di

dalam Berita Indonesia, Selasa 31 Oktober 2006. Jakarta: Dinas perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat. http://www.disperindag-jabar.go.id/?pilih=lihat&id=1679 [2 Agustus 2007]

Tambunan B, Nandika D. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. [Bahan

pengajaran]. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Pendidikan Tinggi dan PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

[TAPPI] Technical Association of The Pulp and Paper Industry. 1996. Metered

Size Press Forum, Proceeding of The Tappi 1996 Metered Size Press Forum. Atlanta: Tappi Press.

Page 251: Jamur Tiram

229

Thurston CF. 1994. The Structure and Function of Fungal Laccase. J Microbiol 140:19-26.

Tien M, Kirk TK. 1984. Lignin-degrading Enzyme from Phanerochaete

chrysosporium: Purification, Characterization, and Catalytic Properties of a Unique H2O2-requiring Oxygenase. Proc Natl Acad Sci USA 81:2280-2284.

Trotter DC. 1990. Biotechnology in The Pulp and Paper Industry: A Review.

Part 1. J TAPPI 4:198-204. Vares T, Kalsi M, Hatakka A. 1995. Lignin Peroksidases, Manganes

Peroksidases and Other Ligninolytic Enzymes Produced by Phlebia radiata during Solid-State Fermentation of Wheat Straw. J App Environ Microbiol 61(10): 3515-3520.

Wariishi H, Dunford HB, MacDonald ID, Gold MH. 1989. Manganese

Peroxidase from the Lignin-degrading Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium: Transient-state Kinetics and Reaction Mechanism. J. Biol Chem 264: 3335-3340.

Watling R, Gregory NM. 1989. British Fungus Flora Agarics and Boleti 6

Crepidotaceae, Pleurotaceae and other pleurotoid agarics. Edinburgh: Royal Botanic Garden.

Wenzl HFJ. 1970. The Chemical Technology of Wood. New York: Academic

Press. Wibisana A. 2000. Mempelajari Penggunaan Ekstrak Tauge, Sorghum dan Kayu

Karet Sebagai Media Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus (Jacq. Ex Fr.) Kummer [Skripsi]. Bogor: Fateta IPB.

Widarmana S, Tambunan B, Padlinurjaji IM, Sarajar CG. 1984. Kini Menanam

Esok Memanen. Proceeding Lokakarya Pembangunan timber Estate. Bogor: Fahutan IPB.

Widiastuti H, Gunawan AW. 1991. Pemanfaatan limbah pabrik kertas sebagai

campuran medium dalam budi daya jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Di dalam: Darnaedi D et al., editor, Biologi Menunjang Ketahanan Bangsa Melalui Perbaikan Mutu Pangan, Kesehatan dan Lingkungan. Volume 1 Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X 24-26 September 1991. Bogor: Perhimpunan Biologi Indonesia dan PAU Ilmu Hayat IPB.

Page 252: Jamur Tiram

230

Wilcox WW. 1987. Degradasi dalam Hubungannya dengan Struktur Kayu. Yoedodibroto H, penerjemah. Di dalam: Nicholas DD, editor. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid I. New York: Syracuse University Press. hlm 131-173. Terjemahan dari: Wood Deterioration and Its Prevention by Presrvative Treatments. Volume I.

Witarto AB. 2000. Study on the Conformational Stability of Beta-propeller

Proteins [Ph.D. thesis]. Tokyo: Department of Biotechnology, Tokyo University of Agriculture and Technology.

Wulansari F. 2001. Pengaruh bekatul padi dan pollard Gandum pada Media

Tanam Terhadap hasil Panen tubuh Buah jamur Tiram putih (Pleurotus ostreatus) [Skripsi]. Bogor: Fateta IPB.

Yuliansyah et al. 2007. Pemutihan Pulp Secara Biologi dan Bebas Klor pada

Pulp Kayu HTI. Di dalam: Kumpulan Abstrak Makalah Seminar Nasional Mapeki (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) X, “Peningkatan Ekonomi Rakyat Melalui Pengembangan Teknologi Pengolahan Hasil Hutan”. Pontianak Kalbar 9-11 Agustus 2007. Pontianak. hlm C18.

Page 253: Jamur Tiram

LAMPIRAN

Page 254: Jamur Tiram

232

Lampiran 1. Bagan alir kerja dan lingkup penelitian

• Uji Degradasi Kayu 3 • Analisis Kimia Substrat

4 • Ekspresi dan Isolasi Enzim 5

Eksplorasi Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus Asal Bogor 1

Morfologi dan Identifikasi

Karakter Fisiologi 2

Potensi Ligninolitik

• Fisiologi dan ligninolitik

• Tubuh Buah

Makroskopis 6 Mikroskopis

• Kultur Miselium Makroskopis 6 Mikroskopis

Media Suhu pH AAG AAT Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon 2

Karakteristik Kelompok Pleurotus Lokal (Asal Bogor)

Informasi Ilmiah yang Menjadi Landasan Pengetahuan untuk Pemanfaatan Jamur Kelompok Pleurotus Sebagai Agens Biobleacing dan Biopulping

Page 255: Jamur Tiram

233

LINGKUP PENELITIAN

III. MORFOLOGI I. FISIOLOGI II. LIGNINOLITIK

A. KULTIVASI Media

suhu

pH

AAG, AAT

4

Fase Vegetatif

Fase Reproduktif

C. ANALISIS KIMIA

SUBSTRAT

B. UJI DEGRADASI

KAYU

Makros-kopis

Mikros-kopis

Tubuh buah

Kultur Miselium

Makros-kopis

Mikros-kopis

D. ISOLASI ENZIM

Produksi Enzim

Purifikasi Enzim Mnp

Efisiensi Biologi

Tingkat Degradasi

Pengamatan Mikroskopis

Selulosa

Hemiselulosa

Lignin

Zat Ekstraktif

KETERANGAN 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 adalah nomor Chapter Garis a = Tubuh buah hasil kultivasi diambil juga untuk data morfologi Garis b = Substrat dari hasil kultivasi kemudian dianalisis kimianya Garis c = Data hasil chapter 7 menjadi salah satu pertimbangan utama selain dari chapter lain dan terutama

dari produksi enzim dan uji aktivitas pada chapter 8

1 2

3

5 6

7

8

a b c

Page 256: Jamur Tiram

234

Lampiran 2 Rata-rata tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada kayu bahan pulp oleh isolat kelompok Pleurotus

Jenis kayu

Jenis isolat

Lama Inkubasi (minggu)

Bobot kering awal (gram)

Bobot kering awal

konversi (gram)

Bobot kering akhir

(gram)

Bobot kering akhir

konversi (gram)

Tingkat Degradasi

(%) Laju dekomposisi

(mg/minggu)

k (laju dekomposisi) konversi

(mg/minggu)

Pinus Pleurotus EB14-2 2 1.77 1.50 1.75 1.49 0.92 4.61 4.61 4 1.62 1.50 1.57 1.45 3.19 8.10 8.10 6 1.31 1.50 1.26 1.45 3.64 6.19 6.19 8 1.45 1.50 1.43 1.48 1.38 1.73 1.73 Rata-rata 1.54 1.50 1.50 1.47 2.28 5.16 5.16 Pinus Pleurotus EB24 2 1.77 1.50 1.75 1.49 0.93 4.67 4.67 4 1.59 1.50 1.57 1.48 1.49 3.74 3.74 6 1.30 1.50 1.26 1.43 4.87 8.29 8.36 8 1.48 1.50 1.44 1.46 2.37 3.00 3.00 Rata-rata 1.53 1.50 1.51 1.46 2.41 4.93 4.94 Pinus Pleurotus EA4 2 1.30 1.50 1.28 1.48 1.13 5.71 5.71 4 1.06 1.50 1.03 1.45 3.24 8.25 8.25 6 1.27 1.50 1.20 1.41 5.86 10.07 10.07 8 1.39 1.50 1.35 1.46 2.52 3.19 3.19 Rata-rata 1.25 1.50 1.21 1.45 3.19 6.80 6.80 Pinus Pleurotus EAB7 2 1.30 1.50 1.28 1.49 1.00 5.01 5.01 4 1.06 1.50 1.03 1.47 2.32 5.87 5.87 6 1.45 1.50 1.39 1.44 4.24 7.23 7.23 8 1.25 1.50 1.22 1.47 1.91 2.42 2.42 Rata-rata 1.26 1.50 1.23 1.46 2.37 5.13 5.13 Pinus Pleurotus EB6 2 1.40 1.50 1.39 1.49 0.73 3.67 3.67 4 1.15 1.50 1.14 1.48 1.32 3.31 3.31 6 1.39 1.50 1.34 1.45 3.29 5.59 5.59 8 1.36 1.50 1.34 1.48 1.49 1.88 1.88 Rata-rata 1.32 1.50 1.30 1.47 1.71 3.61 3.61

Page 257: Jamur Tiram

235

Lampiran 29 (Lanjutan)

Jenis kayu

Jenis isolat

Lama Inkubasi (minggu)

Bobot kering awal (gram)

Bobot kering awal

konversi (gram)

Bobot kering akhir

(gram)

Bobot kering akhir

konversi (gram)

Tingkat Degradasi

(%)

Laju dekomposisi (mg/minggu)

k (laju dekomposisi) konversi

(mg/minggu)

Pinus Pleurotus EB9 2 1.09 1.50 1.08 1.48 1.33 6.71 6.72 4 1.16 1.50 1.01 1.31 12.75 29.98 34.13 6 1.12 1.50 0.67 0.90 40.12 56.07 86.25 8 1.25 1.50 1.23 1.48 1.59 2.01 2.01 Rata-rata 1.15 1.50 1.00 1.29 13.95 23.69 32.28 Pinus P. ostreatus HO 2 1.23 1.50 1.21 1.48 1.56 7.86 7.86 4 1.16 1.50 1.15 1.46 2.90 7.30 7.37 6 1.19 1.50 0.89 1.14 24.33 36.29 46.46 8 1.15 1.50 1.13 1.48 1.15 1.45 1.45 Rata-rata 1.18 1.50 1.10 1.39 7.48 13.23 15.79 Akasia Pleurotus EB14-2 2 1.80 1.50 1.76 1.47 2.32 11.74 11.74 4 1.47 1.50 1.39 1.42 5.22 13.41 13.41 6 1.61 1.50 1.55 1.44 3.97 6.76 6.76 8 1.78 1.50 1.75 1.47 2.02 2.55 2.55 Rata-rata 1.67 1.50 1.61 1.45 3.38 8.61 8.61 Akasia Pleurotus EB24 2 1.76 1.50 1.72 1.47 2.06 10.49 10.49 4 1.51 1.50 1.43 1.42 5.51 14.19 14.19 6 1.59 1.50 1.54 1.45 3.03 5.13 5.13 8 1.76 1.50 1.71 1.46 2.35 2.97 2.97 Rata-rata 1.65 1.50 1.60 1.45 3.24 8.20 8.20 Akasia Pleurotus EA4 2 1.74 1.50 1.70 1.47 2.30 11.63 11.63 4 1.57 1.50 1.46 1.39 7.51 19.55 19.55 6 1.36 1.50 1.33 1.47 2.27 3.83 3.83 8 1.43 1.50 1.38 1.45 3.35 4.26 4.26 Rata-rata 1.52 1.50 1.46 1.44 3.86 9.82 9.82

Page 258: Jamur Tiram

236

Lampiran 29 (Lanjutan)

Jenis kayu

Jenis isolat

Lama Inkubasi (minggu)

Bobot kering awal

(gram)

Bobot kering Awal konversi

(gram)

Bobot kering

Akhir (gram)

Bobot kering Akhir konversi

(gram)

Tingkat Degradasi

(%)

Laju dekomposisi (mg/minggu)

k (laju dekomposisi) konversi

(mg/minggu)

Akasia Pleurotus EAB7 2 1.74 1.50 1.72 1.48 1.26 6.32 6.32 4 1.47 1.50 1.37 1.40 6.55 16.96 16.96 6 1.23 1.50 1.19 1.45 3.22 5.47 5.47 8 1.21 1.50 1.19 1.47 1.95 2.47 2.47 Rata-rata 1.41 1.50 1.37 1.45 3.25 7.80 7.80 Akasia Pleurotus EB6 2 1.71 1.50 1.67 1.46 2.35 11.91 11.91 4 1.47 1.50 1.41 1.44 3.97 10.14 10.14 6 1.21 1.50 1.18 1.46 2.96 5.02 5.02 8 1.22 1.50 1.19 1.46 2.34 2.97 2.97 Rata-rata 1.40 1.50 1.36 1.46 2.91 7.51 7.51 Akasia Pleurotus EB9 2 1.99 1.50 1.98 1.49 0.35 1.76 1.76 4 1.72 1.50 1.51 1.32 12.20 32.93 32.93 6 1.96 1.50 1.20 0.93 38.07 53.66 80.41 8 1.94 1.50 1.92 1.49 0.93 1.17 1.17 Rata-rata 1.90 1.50 2.03 1.31 12.89 22.38 29.07 Akasia P. ostreatus HO 2 1.99 1.50 1.98 1.49 0.56 2.78 2.78 4 2.01 1.50 1.93 1.44 3.93 10.02 10.02 6 1.74 1.50 1.20 1.02 31.78 45.85 64.26 8 1.85 1.50 1.82 1.48 1.42 1.80 1.80 Rata-rata 1.90 1.50 2.00 1.36 9.42 15.11 19.71 Sengon Pleurotus EB9 2 2.00 1.50 1.67 1.25 16.57 90.66 90.66 4 1.39 1.50 1.12 1.20 19.67 54.78 54.78 6 2.00 1.50 1.51 1.13 24.67 47.23 47.23 8 1.79 1.50 1.39 1.18 21.62 30.68 30.68 Rata-rata 1.79 1.50 1.42 1.19 20.63 55.84 55.84 Sengon P. ostreatus HO 2 2.06 1.50 1.71 1.25 16.84 92.31 92.31 4 2.07 1.50 1.58 1.15 23.50 66.97 66.97 6 1.61 1.50 1.31 1.22 18.95 35.02 35.02 8 2.08 1.50 1.61 1.16 22.98 32.67 32.67 Rata-rata 1.96 1.50 1.55 1.19 20.57 56.74 56.74