34
1 JATIDIRI MANUSIA INDONESIA: Keberadaan lahan irigasi sebagai perwujudan karakter bangsa agraris berbasis beras 1 Oleh: Sahid Susanto 2 ABSTRACT Keberadaan lahan sawah beririgasi dapat ditelusuri dari jejak-jejaknya sejak masa kolonialisme Belanda sampai sekarang. Lahan sawah beririgasi mempunyai berbagai peran, mencakup menjaga stabilitas suplai pangan khususnya beras, meningkatkan fungsi ekologis, menciptakan aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat pedesaan, dan wahana pembentuk peradaban. Jejak-jejak tersebut mencerminkan perwujudan karakter bangsa Indonesia yang agraris berbasis beras. Pembangunan ekonomi yang menekankan industrialisasi menekan alih fungsi dan menggeser keberadaan dan perannya. Lahan sawah irigasi perlu ditempatkan sebagai bagian dalam meningkatkan harkat dan martabat petani penerima air irigasi maupun masyarakat secara keseluruhan. Ciri masyarakat Indonesia dengan menu utama beras telah menjadi bagian dari peradaban. Mengembalikan jati diri manusia Indonesia melalui beras, sekaligus sebagai bagian dalam membangun harga diri bangsa sangat diperlukan saat ini. Kata kunci: lahan sawah irigasi, beras, karakter bangsa agraris, 1. Pengantar Sejarah tentang keberadaan lahan sawah irigasi memberi pelajaran bahwa air sudah menjadi bagian hidup sebagian masyarakat di Indonesia. Keberadaan lahan ini juga mecerminkan dinamika social-ekonomi-budaya masyarakat. Tulisan ini mencoba menelusuri jejak-jejak keberadaan lahan irigasi. Dari jejak-jejak mampu diungkap bahwa keberadaan lahan sawah beririgasi pada dasarnya merupakan cermin karakter bangsa agraris berbasis beras. Pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada industrialisasi menggeser peran strategis 1 Bahan tulisan ini telah diterbitkan sebagai bagian dalam buku: JatiDiri Manusia Indonesia Dalam Perspektif Pembentukan Karakter Bangsa. Penerbit Gadjah Mada University Press, 2013. ISBN 979_420-890-6 2 Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Lahan sawah beririgasi mempunyai peran utama dalam menjaga stabilitas suplai pangan.... khususnya beras.... meningkatkan fungsi ekologis lingkungan pertanian, dan menciptakan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan, wahana pembentuk peradaban masyarakat berbasis agraris dalam menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat

JATIDIRI MANUSIA INDONESIA: Keberadaan lahan irigasi ...web10.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/391/2014/02/... · setiap eranya).5 Dinamika pembentuk karakter melalui

Embed Size (px)

Citation preview

1

JATIDIRI MANUSIA INDONESIA:

Keberadaan lahan irigasi sebagai perwujudan karakter bangsa agraris berbasis beras1

Oleh: Sahid Susanto2

ABSTRACT Keberadaan lahan sawah beririgasi dapat ditelusuri dari jejak-jejaknya sejak masa kolonialisme Belanda

sampai sekarang. Lahan sawah beririgasi mempunyai berbagai peran, mencakup menjaga stabilitas suplai

pangan khususnya beras, meningkatkan fungsi ekologis, menciptakan aktivitas sosial-ekonomi-budaya

masyarakat pedesaan, dan wahana pembentuk peradaban. Jejak-jejak tersebut mencerminkan perwujudan

karakter bangsa Indonesia yang agraris berbasis beras. Pembangunan ekonomi yang menekankan

industrialisasi menekan alih fungsi dan menggeser keberadaan dan perannya. Lahan sawah irigasi perlu

ditempatkan sebagai bagian dalam meningkatkan harkat dan martabat petani penerima air irigasi maupun

masyarakat secara keseluruhan. Ciri masyarakat Indonesia dengan menu utama beras telah menjadi

bagian dari peradaban. Mengembalikan jati diri manusia Indonesia melalui beras, sekaligus sebagai

bagian dalam membangun harga diri bangsa sangat diperlukan saat ini.

Kata kunci: lahan sawah irigasi, beras, karakter bangsa agraris,

1. Pengantar

Sejarah tentang keberadaan lahan sawah irigasi memberi pelajaran bahwa air sudah

menjadi bagian hidup sebagian masyarakat di Indonesia. Keberadaan lahan ini juga

mecerminkan dinamika social-ekonomi-budaya masyarakat. Tulisan ini mencoba menelusuri

jejak-jejak keberadaan lahan irigasi. Dari jejak-jejak mampu diungkap bahwa keberadaan lahan

sawah beririgasi pada dasarnya merupakan cermin karakter bangsa agraris berbasis beras.

Pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada industrialisasi menggeser peran strategis

1 Bahan tulisan ini telah diterbitkan sebagai bagian dalam buku: JatiDiri Manusia Indonesia Dalam Perspektif

Pembentukan Karakter Bangsa. Penerbit Gadjah Mada University Press, 2013. ISBN 979_420-890-6 2 Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Lahan sawah beririgasi mempunyai peran utama dalam menjaga stabilitas suplai pangan....

khususnya beras.... meningkatkan fungsi ekologis lingkungan pertanian, dan menciptakan aktivitas

sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan, wahana pembentuk peradaban masyarakat berbasis

agraris dalam menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat

2

lahan sawah beririgasi dalam mendukung produksi beras. Tulisan diakhiri dengan mengajukan

pemikiran strategis untuk menempatkan lahan irigasi sebagai bagian dari mengembalikan jati diri

manusia Indonesia dengan menempatkan beras sebagai bagian dalam membangun harga diri

bangsa.

2. Jejak-jejak dinamika pembangunan sumberdaya air dan irigasi

Jejak-jejak keberadaan lahan irigasi dapat dilihat di pulau Jawa. Sejak jaman kerajaan ---

jauh sebelum penjajahan Belanda--- pembangunan sumberdaya air difokuskan untuk

transportasi, air kebutuhan sehari hari (air minum dan MCK), estetika dan perlindungan istana

kerajaan dengan kanal mengelilingi istana dan membendung sungai untuk mengairi lahan sawah

irigasi. Sisa artefak bangunan air ini masih ada sampai sekarang. Adanya lahan sawah beririgasi

di Kerajaan Majapahit dan Demak, misalnya menjadikan kerajaan tersebut dikenal sebagai

pengekspor beras waktu itu.

Pada masa penjajahan Belanda, sampai tahun 1930 pembangunan sumberdaya air

diarahkan untuk control banjir, sedangkan pembangunan irigasi ditekankan untuk mengairi tebu

sebagai bahan baku utama gula (Tabel 1 dan Tabel 2). Gula yang dihasilkan dari bahan mentah

tebu di ekspor ke Belanda. Dalam perjalannya, setelah kemerdekaan tahun 1945, lahan irigasi

pelan-pelan berubah fungsi untuk lahan sawah. Kondisi politik dibawah regim Presiden Sukarno

(1945-1965) tidak memfokuskan pada pembangunan kemandirian pangan, maka lahan irigasi

peninggalan Belanda menjadi terlantar.

Musim kemarau kering panjang tahun 1963 menjadikan titik balik. Kondisi sosial politik

menjadi tak menentu. Krisis pangan karena kemarau panjang memicu pergantian regim. Sejak

itu, pemerintah mencanangkan program swasembada yang didukung dengan rehabilitasi dan

3

pembangunan infrastuktur irigasi besar-2an. Luas lahan sawah irigasi, pada tahun 1970an masih

sekitar 1,8 juta ha, pada tahun 1985 berkembang menjadi sekitar 4,8 juta ha. Pembangunan ini

sukses membawa membawa Indonesia menjadi Negara swasembada pangan khususnya beras

(Tabel 3). Dengan demikian infrastuktur irigasi ini sudah menjadi aset nasional strategis.

Setelah 1985, pembangunan baru infrastuktur irigasi menurun tajam, diikuti dengan

penurunan luas lahan sawah beririgasi karena berkompetisi dengan peruntukan lahan lain yang

mempunyai nilai ekonomi jauh lebih tinggi. Dari data yang ada, selama kurun waktu 1981-1989

neraca lahan sawah positif 1,6 juta ha. Selama kurun waktu 1999-2002 neraca lahan sawah sudah

negatif 0,17% per tahun.3 Laju neraca negatif ini terus meningkat. Kecenderungan ini terjadi

hampir merata di seluruh wilayah di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Perubahan ini dipicu oleh

alih fungsi lahan sawah beririgasi semakin meningkat dari tahun ke tahun karena kompetisi

kebutuhan lahan untuk berbagai peruntukan yang lebih bernilai ekonomis.

Secara nasional, diperkirakan laju konversi lahan sawah beririgasi telah mencapai 40.000

ha per tahun, sebagian besar terjadi di Jawa. Konversi terus berlangsung sampai sekarang. Bila

produksi gabah kering giling (GKG) rata-2 6 ton/ha/sekali panen dengan satu tahun tanam padi

dua kali, produksi GKG nasional menyusut 4.840.000 ton per tahun. Suatu angka yang cukup

signifikan. Di sisi lain, laju pencetakan sawah baru sangat kecil bahkan tidak ada.

Tergusurnya lahan sawah beririgasi merupakan bagian dari phenomena menurunnya

pertanian berbasis padi yang perlu dukungan air irigasi. Dalam kata lain, pengembangan

sumberdaya air dan irigasi masih belum mampu mengakat harkat dan martabat petani pemanfaat

air, sejak kemerdekaan sampai sekarang. (Gambar 1).

3 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Kebijakan untuk menciptakan Lahan Pertanian

Pangan Abadi (2007).

4

Dilihat dari perspektif pembangunan karakter bangsa, jejak-jejak pembangunan

sumberdaya air dan irigasi tersebut membuktikan bahwa dinamika memanfaatkan keberadaan air

di wilayah iklim munson tropis telah menyatu dengan masyarakat dan terwujud dalam

pembentukan karakter jatidiri bangsa agraris berbasis beras. Pertanyaan yang layak diajukan

adalah, sudahkah terjadi penggerusan jati diri bangsa secara pelan dan pasti?

Pembangunan ekonomi sejak rejim Orde Baru yang menekankan pada industrialisasi

hingga Orde Reformasi sekarang yang mengarah pada diijinkannya liberasi pasar dirasakan

menggeser peran sektor pertanian, khususnya sektor pertanin skala kecil. Ketimpangan produk

sektor pertanian skala kecil semakin ketinggalan jauh dibanding produk sektor industri. Jati diri

bangsa yang pernah terwujud dari dinamika masyarakat agraris berbasis beras bergseser ke arah

pembentukan karakter dan jatidiri bangsa bermuatan nilai liberal. Berbagai cara telah dilakukan

pemerintah. Payung payung hukum untuk melindungi asset lahan ini juga sudah memadahi.

Bahkan sudah disiapkan Rencana Undang-Undang (RUU) lahan Pertanian Pangan Abadi.4

4 Pusat Analisis Sosial Ekonmi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Kebijakan untuk menciptakan Lahan Pertanian

Pangan Abadi (2007).

Mengangkat

harkat dan

martabat

petani

Gambar 1. Pembangunan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi sampai sekarang masih belum menunjukkan

signifikansinya dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat petani sebagai penerima air irigasi dan

sekaligus sebagai produser pangan (beras)

a. stabilitas pangan secara kuantitas dan kualitas dalam tingkat harga yang layak b. peningkatan produksi pertanian domestik sebagai tujuan utama dan secara bersama sama dengan kombinasi

yang serasi dalam meningkatkan produk pertanian untuk cadangan (stockpiles) dan ekspor c. menjaga keamanan tersedianya pangan (food security) dalam situasi yang tidak diharapkan d. ingkungan e. menjaga cagar budaya, f. dsb. g. umberdaya manusia agar mempunyai harkat, serta memberikan kontribusi dalam membangun struktur produksi

yang layak (appropriate) h. Mempertahankan dan memperbaiki mekanisme siklus alam lingkungan pertanian (natural cycle mechanism of

agriculture environment) n:

i. Memperbaiki kondisi produksi pertanian j. Memperbiki kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah terpencil

dan pedesaaan dengan diikuti perbaikan-2 kondisi lingkungan agar kondusif dalam mewujudkan terciptanya berbagai bentuk keadilan (fairness) *

77/2001 ?

5

Namun demikian, alih fungsi lahan sawah masih saja sulit dicegah. Hukum besi ekonomi berlaku

disini.

Tabel 1: Bangunan waduk yang dibangun setelah Perang Dunia I (1918)

Nama Waduk Tahun pemba-ngunan

Tipe waduk

Daya tampung, 1000 m3

Daerah Pengaliran

Sungai

Wilayah

Ngalon 1911-1914 urugan tanah 1.104 Lusi Semarang, Jateng

Tempuran 1914-1916 urugan tanah 2.143 Lusi Semarang, Jateng

Cengklik - urugan tanah 11.100 - Surakarta, Jateng

Jombor - urugan tanah 4.100 - Surakarta, Jateng

plumbon - urugan tanah 1.200 - Surakarta, Jateng

Mulur - urugan tanah 1.200 - Surakarta, Jateng

Delingan - urugan tanah 4.000 - Surakarta, Jateng

Gebyar - urugan tanah 2.100 - Surakarta, Jateng

Lalung - urugan tanah 5.000 - Surakarta, Jateng

Dawuhan - urugan tanah 5.425 - Madiun, Jatim

Notopuro - urugan tanah 2.060 - Madiun, Jatim

Saradan - urugan tanah 1.631 - Madiun, Jatim

Dungbendo - urugan tanah 2.400 - Madiun, Jatim

Gunung rowo 1918-1925 urugan tanah 5.000 - Pati, Jateng

Gembong 1930-1933 urugan tanah 9.200 - Pati, Jateng

Malahayu 1935-1940 urugan tanah 60.000 Kabuyutan Brebes, Jateng

Sumber: Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on Irrigation and Drainage (ICID) - : tidak ada data

Tabel 2: Pembangunan irigasi oleh pemerintah kolonial Belanda sampai tahun 1930

No

Daerah irigasi

Luas, ha

Nama Sungai

Karesidenan

1. Ciujung 31.200 Ciujung Banten

2. Tangerang 52.000 Cisadane Jakarta

3. Krawang 73.000 Citarum Krawang

4. Cipunegara 28.000 Cipunegara Krawang dan Indramayu

5. Cimanuk 89.000 Cimanuk Indramayu

6. Cilutung 15.800 Cilutung Indramayu dan Priyangan

7. Pemali 31.200 Pemali Tegal

8. Gung-Kumisik 26.900 Gung dan Kumisik Tegal

9. Comal-Cacaban 26.900 Rambut, Waluh, Comal Pekalongan

10. Bodri 19.100 Bodri Semarang

11. Demak 33.700 Tuntang dan Serang Kudus dan Blora

12. Pacal 14.900 Waduk Pacal Bojonegoro

13. Sidoarjo 34.000 Brantas Surabaya

14. Kraksaan Timur 14.900 Sungai-sungai kecil Probolinggo

15. Banyuwangi Selatan 35.000 Baru, Setail, Blambangan Jember

6

16. Bondoyudo-Tanggul 24.000 Bondoyudo, Tanggul Jember

17. Badadung 16.300 Badadung Jember

17. Warujayeng-Kertosono 15.200 Brantas Kediri

18. Madiun 13.400 Madiun Madiun

Sumber: Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on Irrigation and Drainage (ICID)

Tabel 3: Bangunan waduk yang dibangun setelah Perang Dunia II (1945)

Nama Waduk Tahun pemba-ngunan

Tipe waduk

Daya tampung, 1000 m3

Daerah Pengaliran Sungai

Wilayah

Cacaban 1952-1958 Urugan tanah 90.000 Cacaban Legal, Jateng

Darma 1959-1962 Timbunan batu 40.000 Cisanggarung Kuningan, Jabar

Jatiluhur 1957-1967 Urugan tanah 3.000.000 Citarum

Krangkates Urugan tanah Jatim

Lahor 1972-1975 Urugan tanah 37.000 Lahor, Karangkates Jatim

Selorejo 1970-1972 Urugan tanah 62.300 Konto Madang, jatim

Wlingi 1972-1978 24.000 Karangkates Blitar. Jatim

Sempor 1959 Timbunan batu & lapisan aspal

36 jua Sempor Gombong, Jatim

Klampis 1974-1976 Urugan tanah 10.250 Sampang, Madura

Wonogiri 1974-1976 735.000 Bengawan Solo Wonogiri, Jateng

Widas 1977-1981 Urugan pasir dan gravel

24.800 Widas Nganjuk, Jatim

Campean Baru 1979-1981 Beton, gravel, urugan tanah

1.500 Sampean Situbondo, Jatimn

Sumber: Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on Irrigation and Drainage (ICID)

3. Jejak-jejak lahan sawah irigasi sebagai cerminan bangsa agraris berbasis beras

Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa agraris. Tradisi masyarakat yang

mencerminkan budaya agraris yang diwujudkan dengan perayaan rasa syukur setelah panen ada

di berbagai wilayah di Indonesia. Tradisi Seren Tahun pada masyarakat Sunda, tradisi Sedekah

Bumi untuk masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Jawa Tengah dan tradisi berkumpul dan

makan bersama keluarga pada masyarakat Minahasa merupakan sedikit contoh cerminan

masyarakat agraris. Khusus yang berkaitan dengan produk pangan berupa beras, tradisi perayaan

rasa syukur setelah panen padi ada di hampir daerah yang mempunyai lahan sawah.

7

Beras sudah menjadi menu pangan dan sumber karbohidart utama bagi bangsa

Indonesia. Hal ini dapat dirunut dari sejarah budaya air untuk mendukung penyediaan pangan,

khususnya beras. Penelusuran jejak-jejak perjalanan masyarakat dalam kaitannya dengan

memanfaatkan sumberdaya air sebagai fungsi ruang dan waktu. Sebagai fungsi waktu dapat

ditelusuri dari era pra-kolonial, era-kolonial dan era-kemerdekaan. Sedangkan sebagai fungsi

ruang ditekankan pada fungsinya sebagai penyedia air untuk lahan sawah dalam memproduksi

beras, fungsi habitat, fungsi estetika dan rekreasi.

Dinamika pembentuk karakter budaya tersebut mempunyai kronologis dan sangat erat

kaitannya atau dikendalikan oleh pusat kekuasaan (nucleus of power) sebagai fungsi waktu (di

setiap eranya).5 Dinamika pembentuk karakter melalui jejak-jejak keberadaan lahan sawah

sebagai perwujudan karakter bangsa agraris dapat dilihat dari aspek filosofis (software), aspek

institusi (organoware) dan aspek teknologi (technology). Studi yang komprehensif tentang

budaya dan kaitannya dengan teknologi pengairan pernah dilakukan oleh DitJen Pengairan

(2004) 6 dan beberapa hal yang penting juga diungkap melalui studi khususnya yang berkaitan

dengan lahan sawah sebagai perwujudan karakter bangsa Indonesia yang agraris.7

3.1. Aspek filosofis

Gambar 2 memperlihatkan lengkung garis yang mencerminkan perubahan

kecenderungan komponen budaya air dalam mayarakat agraris dilihat dari aspek filosofis sebagai

fungsi waktu. Dalam konteks komponen budaya dari aspek filosofis diwujudkan melalui

pandangan hidup masyarakat dalam hubungan antara manusia dengan Pencipta alam dengan air

5 Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on

Irrigation and Drainage (ICID) 6 Direktorta Jendral Pengairan, Kementrian Pekerjaan Umum, 2004. Sejarah Irigasi.

7 Penulis dan beberapa peneliti dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM menjadi anggota Tim studi.

8

sebagai bagian dari alam (software). Pandangan hidup masyarakat dalam kaitannya dengan air

disederhanakan dalam hal fungsi dan keberadaan air di alam yang ditempatkan sebagai pengatur

siklus hidrologis dan habitat flora dan fauna sekaligus sebagai fungsi estetika harus tetap dijaga

harmoninya seiring dengan meningkatnya kebutuhan air untuk mencukupi kebutuhan hidup

manusia.

Nampak dari gambar bahwa selama masa pra kolonial, fungsi air dan khususnya

keberadaan air permukaan dan bawah permukaan (air tanah) sebagai pengatur dan habitat dalam

ekosistem yang harus dijaga masih kuat mendominsi dalam pandangan hidup masyarakat

(software). Pandangan yang bersumber terutama dari pusat kekuasaan Mojopahit di Jawa Timur

LEMAH

Perkembangan jejak aspek filosofis. Diskriptor secara kualitatif kuat

dan lemah mengindikasikan tingkat kekuatan pandangan filosofis

(software) masyarakat tentang air sebagai fungsi pengaturan proses

hidrologis, habitat dan estetika

Periode titik balik

Masa Kerajaan

Majapahit

Masa Kerajaan

Mataram

Masa Kmerdekaan

Orde Lama

MASA PRA KOLONIAL

MASA PRA KOLONIAL

MASA KOLONIAL

MASA PRA KOLONIAL

MASA KEMERDEKAAN

MASA PRA KOLONIAL

Masa Kmerdekaan

OrdeBaru Masa Kmerdekaan

Orde Reformasi

Masa Masuknya Islam

dan orang Barat

Masa kolonialisme

Belanda

Masa kolonialisme

Jepang

Gambar 2. Simplifikasi peta jejak budaya dan teknologi pengairan sebagai fungsi waktu

dilihat dari aspek filosofis

KUAT

Periode staknasi

9

dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah ini sangat kuat melekat di masyarakat yang saat itu.

Dalam situsi yang demikian citra masyarakat berkembang sebagai sebagai masyarakat hidraulik

menjadi sangat kuat. Bukti artefak teknologi pengairan sederhana pada masa itu membuktikan

bahwa masyarakat mampu membangun irigasi desa (technoware). Secara bersamaan

berkembang institusi tradisional petani pemakai air sebagai cara untuk mewujudkan harmoni

hubungan antara manusia dengan manusia sesama pemakai air irigasi secara harmoni

(organoware).

Masuknya Islam tidak mengubah pandangan ini karena ada kesamaan filosofis dalam

memandang alam. Fungsi dan keberadaan air lebih dominan masih ditempatkan sebagai pengatur

siklus hidrologis dan habitat flora dan fauna sekaligus sebagai fungsi estetika. Adanya artefak

peninggalam kolam air di lingkungan kerajaan memberikan justifikasi aspek filosofis tersebut.

Dengan kedatangan orang Barat yang berorientasi ekonomi, pandangan filosofis tersebut

mengalami pelemahan. Laju pelemahan pandangan filosofis ini mencapai puncaknya setelah

masa kolonialisme Belanda selama hampir 350 tahun. Sejalan dengan bergesernya pusat

kekuasaan dari kerajaan ke kekuasaan kolonialisme Belanda, fungsi air bergeser lebih kearah

sebagai fungsi produksi. Dalam kerangka untuk memberikan kontribusi perbaikan defisit

keuangan pemerintah Negeri Belanda, pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda

(kelak menjadi Indonesia) menerapkan kebijakan Sistem Tanam Paksa.Sistem pengairan

sederhana yang dibangun oleh masyarakat dirombak total dengan sistem irigasi teknis untuk

tanaman tebu dalam kerangka mendukung industri gula. Melemahnya fungsi ini berlanjut sampai

masa-masa menjelang masuknya pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda.

Kecenderungan pelemahan aspek filosofis ini menjadi agak mendatar setelah masuknya

kolonialisme Jepang yang relatif tidak lama (1935-1945), sehingga menjurus kearah stagnasi.

10

Hal ini disebabkan karena selama kolonialisme Jepang, praktis pengembangan irigasi berhenti

total. Stagnanasi pengembangan ini berlanjut sampai awal memasuki masa kemerdekaan

Indonesia.

Dominasi urusan politik pemerintah Indonesia di awal-awal pemerintahan setelah

proklamasi kemerdekaan menjadikan urusan pengembangan irigasi tetap stagnasi. Krisis pangan

yang parah terulang kembali saat terjadi musim kemarau panjang pada tahun 1963. Krisis ini

tidak terelakkan karena ketiadaan dukungan sistem irigasi. Krisis pangan yang parah pada masa

kolonialisme Belanda terjadi karena saat itu pemerintah kolonial Belanda lebih menekankan

pembangunan irigasi untuk mendukung industri gula dengan Sistem Tanam Paksa. Krisis pangan

yang parah di masa Orde Lama setelah kemerdekaan terjadi karena kemarau panjang dan sistem

irigasi yang telah dibangun pemerintah kolonialisme Belanda tidak diurus dan difungsikan

dengan baik. Krisis pangan berlanjut dan begeser menjadi krisis politik hingga tumbangnya Orde

Lama tahun 1965.

Dalam upaya mengatasi masalah krisis pangan, pemerintahan Orde Baru memfokuskan

solusi masalah pangan menjadi prioritas pembangunan. Program swasembada pangan

diluncurkan. Untuk mendukung program itu, proyek rehabilitasi dan pembangunan baru

infrastuktur irigasi menjadi fokus pembangunan. Swasembada pangan terwujud tahun 1984.

Dilihat dari kacamata aspek filosofis, penekanan pembangunan ini lebih menekankan fungsi air

dan keberadaan air untuk memenuhi fungsi produksi. Aspek fungsi air sebagai pengatur proses

hidrologis sekaligus sebagai habitat dan estitika menjadi terabaikan. Diiringi dengan tingkat

pertumbuhan penduduk yang tinggi, beban lingkungan untuk memenuhi sumberdaya air sebagai

fungsi pengatur proses hidrologis sekaligus sebagai habitat dan estitika menjadi semakin berat.

11

Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tahun 1997 terulang kembali

dengan diawali dengan krisis. Diawali dengan krisis ekonomi yang kemudian begeser menjadi

krisis politik yang multi demensi. Dalam krisis multi demensi terkandung demensi semakin

rusaknya ekosistem lingkungan hidup sehingga terjadi penurunan yang signifkan kemampuan

alam dalam fungsinya sebagai tempat atau wahana berlangsungnya kehidupan, khususnya

manusia. Sumberdaya air sebagai bagian dari sumberdaya alam mempunyai peranan yang

dominan dalam menyediakan kemampuan alam untuk kehidupan tersebut. Dengan demikian,

selama periode Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi dapat dikatakan terjadi staknasi

perkembangan filosofis masyarakat terhadap air dalam fungsinya sebagai pengatur proses

hidrologis di alam, sebagai habitat dan sebagai estetika.

3.2. Aspek institusi

Lengkung garis patah-patah seperti diperlihatkan dalam Gambar 3 mencerminkan

perubahan kecenderungan komponen budaya air dari aspek institusi sebagai fungsi waktu.

Seperti telah disinggung di bab terdahulu, komponen budaya dari aspek institusi merupakan

perwujudan perkembangan hubungan antara manusia dan manusia dalam membentuk institusi

(organoware).

Dengan kerangka pikir yang sama seperti diuraikan dalam aspek filosofis, aspek institusi

merupakan cara untuk mencapai tujuan bersama dengan mewujudkan hubungan antara manusia

dengan manusia secara harmoni. Dalam konteks budaya air dan teknologi pengairan maka

hubungan harmoni antara manusia diartikan sebagai hubungan sesama pemakai air irigasi

(organoware). Tujuanya adalah untuk mengelola air irigasi agar diperoleh pembagian yang adil.

12

Sejalan dengan jejak artefak teknologi pengairan (technoware), yang diawali pada masa

pra-kolonial dimana masyarakat pada masa itu mampu membangun irigasi desa secara

bersamaan berkembang pula institusi tradisional. Pada masa itu, aturan yang diterapkan dalam

institusi ini tidak tertulis (rule-in-use). Nampak dari gambar bahwa selama masa pra kolonial,

fungsi air dan khususnya air permukaan dan bawah permukaan (air tanah) sebagai fungsi

produksi secara perlahan meningkat. Laju peningkatan pemanfaatan air lebih dominan sebagai

fungsi produski terjadi selama masa pusat kekuasaan berada ditangan kolonialisme Belanda.

Perkembangan jejak aspek institusi. Diskriptor secara kualitatif kuat dan lemah mengindikasikan tingkat kekuatan perkembangan institusi (organoware) sebagai perwujudan hubungan manusia dangan manusia

Periode titik balik 1

Masa Kerajaan

Majapahit

Masa Kerajaan

Mataram

Masa Kmerdekaan

Orde Lama

MASA PRA KOLONIAL

MASA PRA KOLONIAL

MASA KOLONIAL

MASA PRA KOLONIAL

MASA KEMERDEKAAN

MASA PRA KOLONIAL

Masa Kmerdekaan

OrdeBaru Masa Kmerdekaan

Orde Reformasi

Masa Masuknya Islam

dan orang Barat

Masa kolonialisme

Belanda

Masa kolonialisme

Jepang

Gambar 3. Simplifikasi peta jejak budaya dan teknologi pengairan sebagai fungsi

waktu dilihat dari aspek institus (organoware)

KUAT Periode staknasi 1

Periode titik balik 2

Periode staknasi 2

LEMAH

13

Seiring dengan pergeseran pengaruh pusat kekuasaan dari kerajaan, khususnya Kerajaan

Majopahit di Jawa timur dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah berganti dengan pengaruh dari

pusat kekuasaan kolonialisme Belanda, institusi tradisional yang dibangun oleh masyarakat

pedesaan pemanfaat air irigasipun bergeser menjadi institusi yang dikelola secara sentralistik dan

birokratik. Pada masa kolonialisme Belanda ini, institusi dibangun dengan pendekatan birokratik

dan dijalankan untuk mendukung suksesnya tanam paksa. Nafas institusi yang dibangun oleh

masyarakat pedesaan sebagai perwujudan pandangan filosofis agar keberadaan air sebagai fungsi

pengatur proses hidrologis, habitat dan estetika dapat berjalan bergeser pada institusi yang

bernafaskan pemanfaatan keberadaan air (khussusnya air permukaan) untuk mendapatkan

manfaat secara maksimal dalam proses produksi. Kecenderungan yang berlawanan dengan aspek

filosofis seperti telah dikemukakan dimuka. Dibentuknya bagian Irrigatie-Afdeling dibawah

Departemen BOW di setiap daerah irigasi, yang kemudian dikembangkan badan-badan yang

mengurusi pembagian air di setiap Irrigatie-Afdeling berupa Waterstaats afdelingen sampai

mantri ulu-ulu dengan tugas-tugas seperti telah diuraikan dimuka membuktikan pergeseran

peranan institusi dari masa pra-kolonial ke masa kolonial Belanda.

Kecenderungan peranan institusi sebagai penggerak keberadaan air sebagai fungsi

produksi mengalami stagnasi setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Berakhirnya pusat

kekuasaan pemerintah kolonialisme Belanda dan diganti oleh pusat kekuasaan pemerintah

Indonesia (kelak dinamakan Orde Lama) setelah kemerdekaan diwarnai oleh susana politik yang

tidak kondusif mengurusi pembangunan irigai lebih lanjut. Kondisi ini membawa konsekuensi

terjadinya stagnasi institusi pengairan sampai berakhirnya pemerintah Orde Lama tahun 1965.

Dengan diluncurkannya program swasembada pangan selama Orde Baru, kembali

keberadaan institusi pengairan berperanan sangat signifikan. Nafas sentralistik mewarnai

14

semangat yang berkembang dalam institusi ini. Semangat sentralistik dan birokratik dalam masa

pemerintahah koloniasme Belanda dilakukan untuk mensukseskan program industrialisasi gula,

pada masa pemerintahan Orde Baru ditekankan untuk mensukseskan program swasembada

pangan. Nafas sentralistik dan birokratik mengalami pelemaha saat pemerintahan Orde

Reformasi, termasuk dalam pelemahan kendali pengelolaan institusi pengairan.

Pembelajaran yang bisa dipetik dari dinamika institusi pengairan tersebut adalah kuatnya

pengaruh pusat kekuasaan. Dalam konteks pemetaan budaya dan teknologi pengairan dapat

dipahami bahwa pergantian kekuasaan dari masa ke masa akan mewarnai dinamika institusi

pengairan, yang pada gilirannya juga mewarnai budaya yang berkembang dimasyarakat.

3.3. Aspek teknologi

Kurva yang disajikan dalam Gambar 4 berupa garis lengkung titik-titik merupakan

cerminan kecenderungan komponen budaya air dari aspek teknologi pengairan dihasilkan dari

pendiskripsian melalui jejak-jejak perkembangan sebagai fungsi waktu.

Perkembangan jejak aspek teknologi. Diskriptor secara kualitatif kuat dan lemah mengindikasikan tingkat kekuatan perkembangan teknologi pengairan (technoware) sebagai perwujudan hubungan manusi dangan alam

Periode titik balik

Masa Kerajaan

Majapahit

Masa Kerajaan

Mataram

Masa Kmerdekaan

Orde Lama

MASA PRA KOLONIAL MASA KOLONIAL MASA KEMERDEKAAN

Masa Kmerdekaan

OrdeBaru Masa Kmerdekaan

Orde Reformasi

Masa Masuknya Islam

dan orang Barat

Masa kolonialisme

Belanda

Masa kolonialisme

Jepang

KUAT Periode staknasi 1

Periode titik balik 2

Periode staknasi 2

15

Melalui pendiskripsian jejak artefak teknologi pengairan (technoware), dalam masyarakat

pada masa pra-kolonial pada dasarnya telah terbangun masyarakat hidraulik dengan bukti-bukti

adanya artefak pemanfaatan sumberdaya alam berupa air untuk membangun sistem irigasi

sederahan di pedesaan.

Nampak dari gambar bahwa walaupun selama masa pra kolonial, fungsi air dan

khususnya keberadaan air permukaan dan bawah permukaan (air tanah) didominasi dengan air

sebagai fungsi regulasi, habitat dan estetika namun perkembangan teknologi pengairan juga

berkembang. Sesuai dengan pusat kekuasaan berada di tangan kerajaan saat itu, jejak artefak

sebagai wujud pandangan hidup secara filosofis yang dituangkan dalam berbagai bentuk

teknologi kolam air di sekitar kerajaan merupakan bukti perkembangan teknologi pengairan.

Seiring dengan perkembangan teknologi pengairan kolam air di kerajaan, dalam

masyarakat sendiri juga berkembang teknologi pengairan seiring dengan meningkatnya

kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan manusia, khusunya pangan. Kebutuhan ini mendorong

manusia untuk meningkatkan pemanfaatan air melalui pengembangan teknologi pengairan. Oleh

karena itu tidakla mengherankan kalau pada masa itu telah masyarakat telah berkembang

menjadi masyarakat hiraulik. Laju peningkatan ini keberadaan air yang sedikit demi sedikit

bergeser sebagai fungsi produksi dan laju ini mencapai puncaknya pada masa purat kekuasaan

berada ditangan kolonialisme Belanda.

16

Seiring dengan pergeseran pengaruh pusat kekuasaan dari kerajaan, khususnya Kerajaan

Majopahit di Jawa timur dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah berganti dengan pengaruh dari

pusat kekuasaan kolonialisme Belanda, perkembangan teknologi pengairan --- yang untuk saat

ini dikatakan tradisional --- yang dibangun oleh masyarakat pedesaan pemanfaat air irigasipun

bergeser menjadi teknologi pengairan yang dikembangkan oleh pusat kekuasaan kolonialisme

Belanda. Nafas perkembangan teknologi bergerak untuk menciptakan teknologi pengairan teknis

dalam kerangka mendukung suksesnya sistem tanam paksa.

Dibentuknya bagian Irrigatie-Afdeling dibawah Departemen BOW di setiap daerah

irigasi, yang kemudian dikembangkan badan-badan yang mengurusi pembagian air di setiap

Irrigatie-Afdeling berupa Waterstaats afdelingen sampai mantri ulu-ulu dengan tugas-tugas yang

sangat spesifik pada masa kolonial Belanda membuktikan pergeseran peranan teknologi

pengairan tradisional di pedesan menjadi teknologi pengairan teknis yang dipisahkan antara

sistem pemberi dan pembuang.

Kecenderungan perkembangan teknologi pengairan sebagai penggerak fungsi produksi

mengalami stagnasi setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Berakhirnya pusat kekuasaan

pemerintah kolonialisme Belanda dan diganti oleh pusat kekuasaan pemerintah Indonesia (kelak

dinamakan Orde Lama) setelah kemerdekaan diwarnai dengan susana politik yang tidak kondusif

untuk pembangunan irigai lebih lanjut. Kondisi ini membawa konsekuensi terjadinya stagnasi

perkembangan teknologi pengairan sampai berakhirnya pemerintah Orde Lama tahun 1965.

Dengan diluncurkannya program swasembada pangan selama Orde Baru, dengan nafas

kebijakan yang sentralistik dan birokratik kembali perkembangan teknologi pengairan

berperanan sangat signifikan dalam menekankan kebaradaan peran air sebagai fungsi produksi.

Kalau semangat sentralistik dan birokratik dalam masa pemerintahah koloniasme Belanda,

17

perkembangan teknologi pengairan ditekankan untuk mensukseskan program industrialisasi gula,

dalam masa pemerintahan Orde Baru ditekankan untuk mensukseskan program swasembada

pangan. Pergantian pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan Orde reformasi kembali nafas

sentralistik dan birokratik melemah mengiringai perkembangan teknologi pengairan yang

cenderung melemah pula.

Perkembangan teknologi pengairan yang bisa diungkap dari jejak-jejak artefak seperti

diungkapkan di atas memberikan pembelajaran bahwa pusat kekuasaan dari masa ke masa

memberikan pengaruh yang cukup siknifikan. Dalam konteks pemetaan budaya dan teknologi

pengairan dapat dipahami bahwa pergantian kekuasaan dari masa ke masa akan mewarnai

dinamika perkembangan teknologi pengairan. Pada gilirannya mewarnai budaya yang

berkembang di masyarakat. Bila perkembangan teknologi pengairan dilihat dari tingkat

kerumitan hidraulik teknologi pengairannya, perwujutan secara phisik dicerminkan dari bentuk

sistem irigasinya dapat disarikan sejak pra-kolonial sampai kemerdekaan.

4. Multi fungsi keberadaan lahan sawah berrigasi

4.1. Sebagai bagian tata ruang wilayah dan pusat resapan air

Keberadaan lahan sawah irigasi yang mempunyai banyak fungsi harus tetap terjaga.

Dengan demikian, penyusunan zonasi abadi kawasan lahan beririgasi di suatu wilayah sangat

tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah setempat. Salah satu kebijakan

yang dapat dipakai adalah dengan melakukan penataan tata ruang wilayah. Dengan mengetahui

tata ruang wilayah tersebut maka dapat diketahui pula arah kebijakan pemerintah kabupaten yang

telah disepakati masyarakat.

18

Sebagai gambaran diambil contoh di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.8

Kabupaten ini telah mempunyai Peraturan Daerah (PERDA) no 18/2005 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW). Arah kebijakan penataan ruang untuk keperluan sudah tercantum

dalam beberapa pasal. Dalam Perda tersebut, ps. 12 disebutkan bahwa wilayah ini telah dibagi

menjadi lima sub wilayah pembangunan (SWP) dengan masing-masing mempunyai sektor

prioritas. Dari kelima SWP tersebut sektor prioritas pertanian terdapat di SWP IV dan SWP V.

Lahan sawah beririgasi juga berfungsi sebagai daerah resapan air. Dalam pasal 18 Perda

ini telah menetapkan 20 kecamatan dari 23 kecamatan yang mempunai lahan irigasi sebagai

kawasan resapan air. Daerah-daerah resapatan air tersebut juga menghasilkan padi yang cukup

signifikan bagi kabupaten Banyumas (Tabel 6). Nampak dari table tersebut bahwa kecamatan

yang menjadi wilayah resapan air juga menjadi wilayah pemasok produksi pangan (beras).

Penomena ini tidak jauh berbeda denagn wilayah lain, khususnya di pulau Jawa.

Tabel 6. Luas panen per tahun, produktivitas padi kecamatan sebagai resapan air dan

pemasok padi di Kabupaten Banyumas

Kecamatan Luas Panen (ha)

% dari total

Total produksi (ton)

% dari total

Produktivi- tas (t/ha)

% dari rerata kabupa- ten

Total luas lahan irigasi *) (ha)

Lumbir 2.222 3,5 9.904 3,0 4.46 87,2 -

Wangon 3.021 4,8 16.179 5,0 5.36 104,9 629

Jatilawang 2.812 4,4 15.436 4,7 5,49 107,4 1.113

Rawalo 3.069 4,8 16.641 5,1 5.42 106,0 960

Kebasen 1.911 3,0 9.655 2,9 5.05 100,0 932

Kemranjen 3.784 6,0 19.360 6,0 5.12 100,0 1.881

Sumpiuh 3.230 5,0 17.273 5,3 5.35 104,6 1.315

Tambak 3.422 5,4 18.334 5,6 5.36 104.9 1.662

Somagede 1.100 1,7 5.546 1,7 5.04 100,0 239

Kalibagor 1.966 3,1 9.625 3,0 4.90 95,9 584

Banyumas 1.190 1,8 6.036 1.8 5.07 100,0 1.266

Patikraja 3.050 4,8 15.184 4,7 4,98 100,0 449

Purwojati 1.742 2,7 8.295 2,6 4.76 93,1 -

Ajibarang 3.218 5,0 15.659 4,8 4.87 95,3 998

Gumelar 2.226 3,5 10.245 3,1 4.60 90,0 -

8 Bappeda Tk II Banyumas, 2005. Laporan studi alih fungsi lahan irigasi di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Penulis sebagai Ketua Tim dalam studi.

19

Pekuncen 3.696 5,8 19.183 5,9 5.19 100,0 -

Cilongok 4.956 7,8 26.251 8,0 5.30 103,7 1.938

Karanglewas 2.058 3,2 10.543 3,2 5.12 100,0 191

Kedungbanteng 2.792 4,4 14.602 4,5 5.23 102,3 529

Baturaden 2.146 3,3 10.931 3,4 5.09 100,0 969

Sumbang 865 1,4 4.531 1,4 5.24 102,5 115

Kembaran 3.843 6,0 19.006 5,8 4.95 96,9 1.788

Sokaraja 3.304 5,2 17.010 5,2 5.15 100,0 1.674

100 100 20.323

Sumber : Banyumas dalam angka diolah (BPS Banyumas, 2005) *) total luas irigasi teknis, setengah teknis dan sederhana (ha)

4.2. Lahan irigasi sebagai aset produktif mendukung ketahanan pangan

Luas lahan pertanian yang bisa diolah di Indonesia mencapai kira-kira 70 juta ha,

meliputi lahan beririgasi, termasuk lahan pasang surut dan lahan tadah hujan. Pada saat

swasembada beras tahun 1985, posisi luas lahan sawah beririgasi di Indonesia kira-kira 4.625

ribu ha. Dari luas itu lebih dari separuhnya (54%) berada di pulau Jawa, kemudian diikuti

Sumatra (1.017 ribu ha), Kalimantan (398 ribu ha), Sulawesi (412 ribu ha) dan lainnya tersebar

di Nusa Tenggara, Bali, Maluku dan Irian.

Sebaran lahan yang demikian memperlihatkan kepada kita bahwa ketergantungan pangan

pada lahan sawah beririgasi sangatlah tinggi. Fakta tersebut juga memperlihatkan adanya

ketimpangan mengenai aset produksi pangan (beras) antara pulau Jawa dan luar Jawa. Bila

dilihat dari sisi derajad irigasi, kembali terjadi ketimpangan antar pulau Jawa dan luar Jawa.

Pulau Jawa dan Bali mempunyai derajad lebih dari 60%, sedang derajad yang bernilai 40%-60%

tersebar di Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan. Sisanya dengan derajad kurang

dari 20% dimiliki Maluku dan Irian. Ditinjau dari rata-rata produksi padi, bila antara tahun 1966-

1968 hanya mencapai 2,42 ton per ha, pada tahun 1987 telah mencapai 4,48 ton per ha. Angka-

angka tersebut memperlihatkan bahwa lahan sawah beririgasi merupakan aset produktif

20

mendukung ketahanan pangan. Sebagai aset produktif, tingkat produktifitas lahan dapat dilihat

dari nilai CI (crop intensity) yang besarnya sekitar 1,8.

Dilihat dari kebutuhan air untuk irigasi cenderung naik dari 2.196 m3/det pada tahun 1990

menjadi 3102 m3/det pada tahun 2020. Dari kebutuhan tersebut, sebagian besar diperlukan untuk

pelayanan lahan sawah di pulau Jawa dengan kebutuhan sebesar 1,532 m3/det tahun 1990 atau

70% total kebutuhan turun menjadi 1,599 m3/det atau 52% dari total kebutuhan. Sedangkan

kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari, perkotaan dan industri naik cukup tajam, dari 161

m3/det pada tahun 1990 menjadi 353 m

3/det pada tahun 2020, dengan kebutuhan 260 m

3/det

untuk perkotaan. Kebutuhan air untuk industri sendiri naik dari dari 12 m3/det menjadi 44 m

3/det

untuk tahun 1990 dan 2020. Dari kebutuhan tersebut, 70-80% diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan di pulau Jawa.9

Di sisi lain, ketersediaan air sebagai fungsi ruang dan waktu juga terus berubah. Dari

perhitungan neraca ketersediaan dan kebutuhan air sampai tahun 2015, di Jawa, Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusatenggara Timur selalu akan mengalami defisit air. Defisit terbesar

dialami propinsi Jawa Timur sebesar 1030 juta m3/bulan dan 1116 juta m

3/bulan masing-masing

untuk tahun 2000 dan 2005. Kemudian diikuti Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang berkisar

anatara 750-890 juta m3/bulan. Untuk wilayah NTB dan NTT defist berkisar anatar 90-120 juta

m3/bulan.

10

4.3. Lahan irigasi sebagai aset sosial, ekonomi dan budaya

9 UNDP (United Nations Development Programme), 1992. National Water Resources Policy of Indonesia: A Summary of Water

Resources Availability and Demand Projections. FAO, Rome. 10

DRN (Dewan Riset Nasional), 1994. Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Kelompok

Sumberdaya Alam dan Energi. (Hehanussa, P.E., Machbub, B., dan Susanto, S.S., ed.)

21

Dari berbagai literatur, keberadaan lahan sawah beririgasi di Indonesia telah ada sejak

beberapa abad sebelum tarikh Masehi. Budaya Dong-Son yang dibawa sewaktu terjadi migrasi

dari daratan Asia Tenggara mempengaruhi keberadaan lahan sawah beririgasi berikut ikatan erat

sosial-ekonomi-budaya.11

Salah satu yang sekarang masih menampakkan bentuk ikatan itu

adalah keberadaan lahan sawah irigasi di Bali yang tergabung dalam institusi masyarakat subak.

Cara pandang hidup masyarakat Bali, yang sering disebut sebagai Tri Hita Karana

mempunyai peranan yang signifikan dalam menjalankan organisasi subak. Van Steeten van der

Meer (1979) mengatakan bahwa manfaat yang didapat oleh petani anggota dari institusi

tradisional subak baik sebagai individu maupun kelompok tidak hanya menyangkut materi saja

tetapi juga pengkayaan (enrichment) secara religi dan sosial. Dengan jumlah anggota institusi

subak yang pada umumnya tidak lebih dari seratus kepala keluarga, mampu meningkatkan

interaksi sosial diantara anggota tidak hanya pada saat bekerja di lahan sawah tetapi juga saat

pertemuan reguler subak.

Mengingat bahwa institusi tradisional subak selalu dekat dengan hak atas air, baik air

tanah maupun permukaan, aturan-aturan yang pasti dalam bentuk aturan yang harus ditaati (rule-

in-use), yang dikenal sebagai awig-awig (Bhs. Bali) oleh anggotanya sangat tegas diperlakukan

sejak awal. Lebih lanjut Van Steeten van der Meer (1979) (cit. Groothoff, 1918) mengatakan

bahwa subak dikembangkan dengan mempertimbangkan konsep hidup masyarakat Bali, yang

mengandung tidak hanya semangat kebersamaan dan kerjasama tetapi juga dilandasi atas hak air

11

Bappeda Banyumas, 2007. Laporan studi penyusunan konsep peraturan untuk mencegah alih fingsi lahan beririgasi.

22

tanah dan air permukaan yang ada secara alami. Dalam pelaksanaannya aturan yang berkaitan

dengan hak atas air tanah dan air permukaan diserahkan kepada pengurus subak. 12

Keberadaan sistem irigasi yang membudaya tersebut ditengarai dengan masih

dijumpainya nama-nama institusi irigasi tradisional sampai saat ini dan sistem irigasi yang

masih dioperasikan dan dipelihara dengan baik oleh para petani pemakainya. Keberadaan sistem

irigasi desa di Jawa dan subak di Bali yang dapat merujuk sejarah keberadaannya mulai sejak

awal didirikan beberapa puluh tahun bahkan ada yang sudah ratusan tahun (P3PK-UGM, 1996;

Arif et al, 1996). Di beberapa tempat juga dijumpai penggunaan istilah yang mengacu pada nama

bagian atau bangunan sistem irigasi yang dijumpai pula pada ratusan tahun yang lampau (van

Setten van der Meer, 1979).

Ditinjau dari sistem sosio-kultural masjayarakat maka sistem irigasi pada awalnya adalah

merupakan suatu sistem subsisten yang hanya ditujukan sebagai produksi bahan pangan bagi

masyarakat pemakainya. Baru pada pertengahan abad ke 19, irigasi dijadikan pemerintah

Kolonial Belanda sebagai alat pembangunan ekonomi, yaitu sebagai suatu sistem produksi

komoditi pertanian tebu dan tembakau. Sejak waktu itu sistem usaha tani masyarakat pedesaan

berubah. Sistem buruh tani dikenalkan dan masyarakat Indonesia, terutama Jawa mengalami

kemerosotan sistem ekonomi dan kemiskinan di pedesaan tumbuh dengan pesat.

Dibangunnya sistem irigasi teknis oleh pemerintah Hindia Belanda, juga menyebabkan

terjadinya perubahan sistem pengelolaan irigasi. Irigasi yang semula diangun dan dikelola oleh

masyarakat secara mandiri kemudian berubah menjadi sistem irigasi yang dikuasai oleh

pemerintah. Semua aturan pengelolaan dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk menampung

12

Anonymous, 1996-1997. A study of the subak as an indigenous cultural, social and technological system to establish a culturally based integrated water resources management. The first year an d second research report. (unpublished).

23

partisipasi masyarakat maka pemerintah kolonial pada pertengahan dekade 1920’an

mengenalkan sistem ulu-ulu vak atau ulu-ulu golongan. Sistem ini semula dikenalkan di daerah

Pasuruan Jawa Timur dan paling banyak diimplementasikan di wilayah Pemali-Comal. Sisa-sisa

keberadaan ulu-ulu golongan ini sampai saat ini masih rada.

Dalam konteks tingginya laju alih fungsi lahan sawah beririgasi sekarang ini, secara

sosio-kultural masyarakat penerima manfaat air irigasi secara lamngsung mauopun tudak

langsung mengubah karakteristik masyakarat itu sendiri. Masyarakat petani yang semula

produktif, bersifat komunal dan mempunyai modal sosial berubah menjadi masyarakat

individual. Modal sosial tergerus. Kepercayaan di antara masyarakat berkurang sehingga tumbuh

nilai-nilai baru yang pada gilirannya menjadikan kohesi social rawan dan rapuh.

Oleh sebab itu di wilayah-wilayah sentra produksi pangan dengan dukungan suplai irigasi

yang luas perlu dijaga keberadaannya. Tekakan alih fungsi yang tinggi disebabkan oleh

perkembangan sektor perdagangan yang didukung prasarana komunikasi dan transportasi yang

sangat maju.

5. Kondisi sekarang dinamika keberadaan lahan sawah irigasi

5.1. Lingkaran kemiskinan dan alih fungsi lahan sawah beririgasi

Gambar 5 menyajikan secara sederhana hubungan lingkaran kemiskinan dengan alih

fungsi lahan irigasi. Terlihat dari gambar tersebut bahwa keberadaan lahan sawah irigasi sebagai

penyangga ketahanan pangan terkait dengan politik ekonomi yang dimanifestasikan dalam

bentuk kebijakan subsidi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan ekonomi mempengaruhi

keberadaan lahan irigasi. Pengaruh tersebut secara anatomis dapat diidentifikasi sehingga

membentuk lingkaran yang ujungnya adalah terjadi tekanan ekonomi terhadap alih fungsi lahan

24

irigasi. Semakin tinggi tekanan ekonomi semakin tinggi dorongan untuk terjadinya alih fungsi

lahan. Dengan posisi yuridis lahan irigasi yang pada umumnya berstatus hak milik, dorongan

alih fungsi lahan karena tekanan ekonomi sangat ditentukan oleh mekanisme pasar.

Instrumen pengendali diperlukan untuk menekan terjadinya proses alih fungsi. Ada dua

instrumen pengendali yang dapat dipakai:

(1) Pengendalian secara ekonomi yang dapat dilakukan dengan mekanisme subsidi

berbentuk insentif dan disinsentif. Instrumen ini hanya akan efektif bila besarnya subsidi

mampu meredam tekanan ekonomi terhadap lahan irigasi

(2) Pengendalian secara yuridis melalui Peraturan Daerah (Perda). Instrumen ini hanya akan

efektif bila penegakan hulum (law enforsment) berjalan dengan baik.

5.2. Ketergantungan impor pangan

TEKANAN

EKONOMI

PENGHASILAN

RENDAHDAYA SAING

RENDAH

PENDIDIKAN &

KETRAMPILAN

RENDAH

ASKES

PEKERJAAN

SEMPIT

ALIH FUNGSI TAK

TERKENDALI

LAHAN SAWAH

IRIGASI SEBAGAI

PENYANGGA

PANGAN NASIONAL

BUDIDAYA PADI

KONVENSIONAL

BERBASIS LAHAN

SEMPIT

KEMISKINAN

AKUT

TEKANAN ALIH

FUNGSI LAHAN

IRIGASI

TERANCAMNYA TERANCAMNYA

KETAHANAN KETAHANAN

PANGANPANGANPERDA ALIH FUNGSI PERDA ALIH FUNGSI

LAHAN IRIGASILAHAN IRIGASI

ANATOMI

LINGKARAN

KEMISKINAN DAN

ALIH FUNGSI

LAHAN IRIGASI

POLITIK EKONOMI

SUBSIDI

Gambar 5. Lingkaran kemiskinan dan alih fungsi lahan irigasi

25

Keberadaan lahan sawah terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih

tinggi, sekitar 1,3%. Pada tahun 2050, populasi penduduk diprediksi mencapai sekitar 250 juta.

Dari angka tersebut, sekitar 50-60 persen masih bergantung pada pertanian subsisten, dengan

tingkat inkam per kapitanya berada di sekitar garis kemiskinan (Tabel 4 dan Tabel 5). Kondisi

ini mengakibatkan lemahnya daya tawar dalam kompetisi peruntukan sumberdaya lahan dengan

sektor lain khususnya industri dan perumahan. Ironisnya, impor beberapa komoditas pertanian

strategis, khususnya pangan meningkat terus secara signifikan seirama dengan peningkatan

kebutuhan. Peningkatan ini sudah cenderung berubah menjadi ketergantungan yang semakin

tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, pembangunan industrialisasi telah merusak kelestarian

lingkungan, seperti diperlihatkan rusaknya lingkungan karena konversi hutan menjadi lahan

perkebunan kelapa sawit.

Indonesia bersama negara berkembang lain tidaklah sendirian. Dalam skala global,

ketimpangan pangan terjadi antara negara berkembang dan negara maju. Impor pangan dalam

bentuk biji-2an di negara-negara berkembang terus meningkat. Pada tahun 1995 mengimpor

pangan 170 juta ton dan diprediksi pada tahun 2030 akan mengimpor sebesar 70 juta ton. Pada

tahun yang sama (1995) negara maju mengekspor pangan sebesar 142 juta ton, pada tahun 2005

akan meningkat menjadi 280 juta ton.13

Tabel 4. Volume dan nilai komoditas impor pangan

No Komoditas

Volume (ton)

Nilai (dolar AS)

1 Gandum 3.576.665 500.312.470

2 Jagung 1.236.764 150.012.707

3 Beras 550.514 131.132.613

4 Biji kedelai 1.277.685 275.481.226

13 Mochtar M, 2007, cit FAO dalam Bisnis Indonesia, 22 September 2006. Demensi Politik Dalam Pembangunan. Makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional Revitalisasi Kebijakan Menuju Industrialisasi Pertanian Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan,

diselenggarakan oleh Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, 8-9 Desember 2006.

Komoditas pertanian

Besarnya impor

Beras 2juta-3,7 juta ton/thn

Gula pasir 1,6 juta ton/thn

Gandum 4,5 juta-4,8 juta ton/thn

Kedelai 1,2 juta- 1,3 juta ton/thn

Bungkil kedele 1 juta ton/thn

Jagung 1,2 juta-1,5 juta ton/thn

Ternak sapi *) 450.000 ekor/thn

Tepung telur 30.000 ton/thn

Susu bubuk 170.000 ton/thn

Makanan olahan 1,5 limyar dollar AS

Garam 1,5 juta ton/thn

Singkong 0,85 juta ton/thn

Kacang tanah 100.000 ton/thn

Buah-buahan 167 ribu ton/thn

*) belum termasuk jerohan

Sumber: Gatra, 18-01-2003 dan Kompas 7 Juli 2004

Tabel 5. Impor komoditas pertanian

26

5 Bungkil kedelai 1.262.040 268.746.270

6 Kacang tanah 111.284 35.601.776

7 Gula pasir 1.680.275 290.873.225

8 Bawang Putih 174.702 44.120.000

Jumlah 9.869.929 1.696.280.287 Catatan: Dengan kurs Rp 9,800,- per dolar AS, nilai komoditas itu setara dengan Rp 16,62 triliun. Sumber: Mochtar M, 2007, cit. Siswono Yudho Husodo “Membangun Kemandirian di Bidang Pangan” dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II, No.6 (September 2003)

6. Strategi menemukan kembali karakter bangsa agraris berbasis beras

6.1. Landasan strategi

Tiga cakupan prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan strategi,

mencakup:

(1) menjaga stabilitas kemantapan suplai pangan (safeguard the stable of food), khususnya beras

(2) meningkatkan peran dan fungsi lingkungan pertanian (enhance environmental functions of

agriculture)

(3) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraaan masyarakat penerima (beneficeries) air irigasi

menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat.

Suplai air irigasi berikut lahan sawah yang menjadi sasaran pelayanaannya merupakan

salah satu sumberdaya yang penting, maka:

(1) air irigasi perlu ditempatkan sebagai bagian penting dalam memberikan peranan ketahanan pangan khususnya beras, konservasi sumberdaya lahan nasional, preservasi sumberdaya air dan ekosistem nasional, dan

(2) dengan prinsip pada butir (1) diarahkan agar mampu mengembangkan pertanian dalam menghasilkan produksi padi secara berkelanjutan, baik di wilayah pusat pertumbuhan ekonomi ataupun di wilayah terpencil dan pedesaan (remote and rural areas) untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraaan masyarakat penerima (beneficeries) air irigasi menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat.

Dengan rumusan strategi tersebut posisi instrumen legal (UU) dan instrumen legal

turunannya diarahkan agar mampu berfungsi mengamankan dan mengawal strategi yang sudah

dirumuskan dapat terimplementasikan dengan baik .

6.2. Posisi instrumen legal

27

Empat komponen dalam strategi yang harus dipertimbangkan masuk dalam instrumen legal

berupa Undang-undang:

a) Menjaga stabilitas suplai pangan:

stabilitas pangan secara kuantitas dan kualitas dalam tingkat harga yang layak

peningkatan produksi pertanian domestik sebagai tujuan utama dan secara bersama sama dengan kombinasi yang serasi dalam meningkatkan produk pertanian untuk cadangan (stockpiles) dan ekspor

menjaga keamanan tersedianya pangan (food security) dalam situasi yang tidak diharapkan

b) Pengembangan pertanian yang berkelanjutan:

Menjaga keamanan produksi sumberdaya bios (bio-resources production) seperti aset lahan pertanian beririgasi, sumberdaya air, dan sumberdaya manusia agar mempunyai harkat dan martabat, serta memberikan kontribusi dalam membangun struktur produksi pertanian yang layak (appropriate)

Mempertahankan dan memperbaiki mekanisme siklus alam lingkungan pertanian (natural cycle mechanism of agriculture environment)

c) Meningkatkan peran multi fungsi pertanian:

konservasi sumberdaya lahan nasional, preservasi sumberdaya air dan preservasi ekosistem nasional

kreatifitas pembentukan landkap yang indah dan ramah lingkungan

menjaga cagar budaya, d) Pengembangan wilayah terpencil dan pedesaaan

Dengan pendekatan masyarakat petani sebagai penerima manfaat air irigasi sebagai

subjek (people driven) maka dalam upaya menemukan kembali karakter bangsa agraris berbasis

beras pembangunan pertanian, maka perlu:

Memperbaiki kondisi produksi padi, baik secara kualitas maupun kuantitas

Memperbiki kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah

terpencil dan pedesaaan dengan diikuti perbaikan-2 kondisi lingkungan agar kondusif melalui upaya

perwujudan nyata untuk terciptanya berbagai bentuk keadilan (fairness) 14

14

Keadilan mencakup: keadilan politik pertanahan, keadilan sosial yang terekspresikan dalam kelembagaan sosial, keadilan fasilitas

infrastuktur, keadilan akses sumberdaya finansial, keadilan posisi awar tdalam mekanisme pasar, keadilan akses terhadap perkembangan teknologi

28

6.3. Strategi pengendalian alih fungsi lahan irigasi

Status lahan sawah beririgasi pada umumnya merupakan hak milik. Proses alih fungsi

untuk peruntukan yang lain perlu prosedur administrasi. Sesuai dengan prosedur baku, Badan

Pertanahan Nasional (BPN) hanya memberikan ijin alih fungsi lahan sawah beririgasi hanya bila

ada persetujuan Bupati, Kepala Daerah Kabupaten. Dengan konteks ini, Bupati menempai posisi

sangat sentral. Dengan memperhatian bahwa kawasan pusat pertumbuhan ekonomi merupakan

sumber tekanan alih fungsi lahan beririgasi maka secara konsepsual tekanan alih fungsi dapat

dikelompokkan menjadi tiga ring, dan pengendalian alih fungsi dipertimbangkan dari tingkat

urgensinya (Tabel 7).

Pengendalian alih fungsi lahan sawah harus diawali pada pemahaman lahan sawah

beririgasi yang mempunyai dua nilai, nilai penggunaan dan manfaat intrinsik (Gambar 7).

Nilai penggunaan mencakup:

(i) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya keluaran usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja), dan

(ii) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya.

Tabel 7. Keterkaitan tingkat urgensi alih fungsi lahan sawah beririgasi dengan pusat pertumbuhan

Level Keberadaan dari pusat pertumbuhan

Tingkat urgensi

Level 1 Ring 1 Lahan sawah beririgasi yang status tekanan alih fungsinya telah mencapai level sangat tinggi sehingga urgensi pengendaliannya sangat tinggi.

Level 2 Ring 2 Lahan sawah beririgasi yang status tekanan alih fungsinya telah mencapai level tinggi sehingga urgensi pengendaliannya tinggi

Level 3 Ring 3 Lahan sawah beririgasi yang status tekanan alih fungsinya telah mencapai level sedang sehingga urgensi pengendaliannya sedang

29

6.4. Penetapan zonasi ”permanen” kawasan lahan irigasi

Keberadaan lahan irigasi sebagai wahana untuk proses produksi beras terkait dengan

berbagai elemen: infrastuktur, manajemen dan budidaya padi . Infrastuktur terkait dengan supali

air dari kawasan recharge area. Keberlangsungan suplai air kawasan recharge area ditentukan

oleh kebijakan dan implementasi perlindungan kawasan ini. Lahan irigasi sendiri keberadaanya

sangat ditentukan oleh besarnya perlindungan dan penegakan hukum (Gambar 8).

NILAI LAHAN SAWAH

BERAS

LAHAN SAWAH

BERIRIGASI

NILAI MANFAAT:

-Langsung

-Tidak langsung

NILAI INTRINSIK

-Sosial

-Plasma nuftah

-lingkungan

Gambar 7. Dua nilai lahan sawah

KEBERADAAN LAHAN SAWAH IRIGASI

BERAS

LAHAN SAWAH IRIGASIPENEGAKAN

HUKUM

PERLINDUNGAN

HUKUM

INFRASTRUKTUR MANAJEMEN BUDIDAYA PADI

SUPLAI AIR DARI

KAWASAN RECHARGE

AREA

PERLINDUNGAN

KAWASAN RECHARCE

AREA

Gambar 8. Keberadaan lahan irigasi

30

Dengan memahami tiga cakupan dalam strategi dan keberadaan lahan irigasi seperti

diungkap di atas, beberapa aspek perlu dipertimbangkan dan dikelompokkan menjadi:

a. Sirkulasi air dalam Daerah Aliran Sungai dan penggunanan air irigasi b. Masyarakat lokal dan penggunaan air irigasi c. Kekeringan dan air irigasi d. Diversifikasi penggunaan air irigasi

Beras dapat dipandang tdak hanya sebagai komoditas pangan, tetapi juga dapat

ditempatkan sebagai identitas, harga diri dan martabat bangsa (Gambar 9). Implikasinya adalah

pilihan politik ekonomi. Dengan demikian, posisi instrumen perlindungan hukum menjadi sangat

sangat strategis. Pemenuhan kebutuhan beras terkait dengan stabilitas politik. Apabila pilihan

swasembada sudah sulit diwujudkan, alternatif pilihan yang rasional adalah seberapa besar

pengadaan pangan (beras) dalam negeri harus diwujudkan dan seberapa besar pengadaan

kekurangan beras yang harus diimpor tanpa harus mengorbankan identitas, harga diri dan

martabat bangsa. Dengan logika berpikir yang demikian maka kebijakan penentuan zonasi

permanen lahan irigasi menjadi sangat strategis.

BERAS: KOMODITAS STRATEGIS

BERAS

BAGIAN DARI IDENTITAS, HARGA DIRI DAN

MARTABAT BANGSA

MENU MAKANAN

UTAMA

LAHAN ABADI

SAWAH IRIGASIPERLINDUNGAN

HUKUM

Pilihan 1:

SWASEMBADA

BERAS ?

Pilihan 2:

PRODUKSI

NASIONAL, (%)

IMPOR (%)

KETAHANAN

PANGAN

KETAHANAN

NASIONAL

KEMAUAN

POLITIK

LAHAN SAWAH

IRIGASI

SEJARAH BANGSA

AGRARIS BERBASIS

HIDRAULIKPILIHAN POLITIK PILIHAN POLITIK

EKONOMIEKONOMI

31

------------

R e f e r e n s i

Anonim, 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Kebijakan untuk

menciptakan Lahan Pertanian Pangan Abad 19

Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International

Commision on Irrigation and Drainage (ICID)

Bappeda Tk II Banyumas, 2005. Laporan studi alih fungsi lahan irigasi di kabupaten Banyumas,

Jawa Tengah

Biro Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2005. Banyumas Dalam Angka 2005

Direktorta Jendral Pengairan, Kementrian Pekerjaan Umum, 2004. Sejarah Irigasi.

DRN (Dewan Riset Nasional), 1994. Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya

Air di Indonesia. Kelompok Sumberdaya Alam dan Energi.

Mochtar M, 2007, cit FAO dalam Bisnis Indonesia, 22 September 2006. Demensi Politik Dalam

Pembangunan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Revitalisasi Kebijakan

Menuju Industrialisasi Pertanian Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan, diselenggarakan

oleh Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, 8-9 Desember 2006.

Susanto, S., 1996-1997 (edt). A study of the subak as an indigenous cultural, social and

technological system to establish a culturally based integrated water resources

management. The first year an d second research report. (unpublished).

32

UNDP (United Nations Development Programme), 1992. National Water Resources Policy of

Indonesia: A Summary of Water Resources Availability and Demand Projections. FAO,

Rome.

-----------------

33

BIODATA PENULIS

Sahid Susanto. Lahir di Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 21 Desember 1953. Sarjana S-1

diselesaikan di Fakultas Teknologi Pertanian UGM (1973-1979) pada bidang ilmu Teknik

Pertanian. Setelah lulus sarjana S-1 langsung menjadi dosen di Fakultas Teknologi Petanian

UGM. Meneruskan study Master S-2 di Sekolah Pasca Sarjana UGM pada bidang yang sama

(1982-1986).

Studi doctor S-3 diselesaikan di Kyoto University, Japan dengan mengambil spesialisasi Tropical Hydrology (1986-

1991). Puncak karier akademis sebagai professor dicapai pada tahun 2000.

Selama meniti karier sebagai dosen, bidang ilmu hidrologi dan manajemen sumberdaya air menjadi fokus kegiatan

ilmiahnya. Dengan bidang ilmu yang ditekuni, mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan bidang ilmunya di

Program Sarjana S-1, Program Pascasarjana (S-2 dan S-3) baik di fakultasnya sendiri maupun di fakultas yang

membutuhkan di lingkungan UGM. Dalam melakukan riset di bidang yang ditekuninya banyak menjalin kerjasama

dengan institusi, pemerintah maupun swasta baik dalam maupun luar negeri.

Aktif menyajikan tulisan hasil penelitiaan di bidang yang ditekuni baik dalam majalah ilmiah, seminar, konferensi

maupun kegiatan ilmiah lainnya baik dalam maupun luar negeri. Pernah menjadi research fellow di Kassel

University dan Braunsweig University, Germany (1997) dan dosen tamu di Hiroshima University, Japan (2003).

34