Jawaban UAS Teori Konstitusi

Embed Size (px)

Citation preview

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH TEORI KONSTITUSIDOSEN PENGAMPU : Bpk.ARDILAFIZA, SH, M.Hum

NAMA NPM

: ZOHRI JUNEDI : B2A010049

1.

ANALISIS PENAFSIRAN APA YANG DIGUNAKAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG DALAM KOMISI PUTUSAN YUDISIAL, NOMOR 05/PUU-IV/2006 MENURUT

BAGAIMANA

PENDAPAT SAUDARA? I. RINGKASAN PUTUSAN Pada tanggal 10 Maret 2006 diajukannya permohonan pengujian materil (judicial riview) terhadap ketentuan tentang Hakim Agung (dan juga hakim konstitusi) dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pengawasan Komisi Yudisial. Undang-Undang yang

pelaksanaan

dimohonkan untuk diuji adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Para pemohonnya pengujian undang-undang tersebut terdiri dari 31 hakim agung, yaitu: (1) Prof. Dr. Pulus Effendi Lotulung, S.H. (2) Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H. M.H., (3) Drs. H. Ahmad Kamil, S.H., M.Hum., (4) H. Abdul Kadir Mopong, S.H., (5) Iskandar Kamil, S.H., (6) Harifin A. Tumpa, S.H.,M.H., (7) Prof. Dr. H. Muchsin, S.H., (8) Prof. Dr. Valerine

J. L.K., S.H., M.A (9) H. Dirwoto, S.H., (10) Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H., (11) Prof. Dr. H. Kaimuddin Salle, S.H., M.H., (12) Mansur Kartayasa, S.H., M.H., (13) Prof. Rehngena Purba, S.H.,M.S., (14) Prof. Dr. H. M. Hakim Nyak Pha, S.H., DEA., (15) Drs. H. Hamdan, S.H., M.H., (16) H. M. Imron Anwari, S.H., SpN. M.H., (17)Titi Nurmala Siahaan Siagian, S.H., M.H., (18) Widayanto Sastro Harjono, S.H., MSc., (19) Moegihardjo, S.H., (20) H. Muhammad Taufiq, S.H. (21) H.R. Imam Harjadi, S.H., (22) Abbas Said, S.H., (23) Andar Purba, S.H., (24) Djoko Sarwoko, S.H. M.H., (25) I Made Tara, S.H., (26) Atja Sondjaja, S.H. (27) H. Imam Soebechi, S.H., M.H., (28) Mariana Sidabutar, S.H., (29) H. Usman Karim, S.H (30) drs. H. Habiburrahman, M. Hum. (31) M. Bahaudin Quadry, S.H Dasar dari permohonan ini adalah dengan berlakunya UU KY, hak dan kewenangan para Hakim Agung tersebut dirugikan, yaitu dalam hal: A. Batasan hakim yang diatur dalam ketentuan: 1. Pasal 1 angka 5 bahwa definisi hakim menurut UU KY mencakup semua hakim, termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. 2. Pasal 34 ayat (3) UU KK mengenai pengawasan KY yang melingkupi Hakim Agung dan Hakim. B. Pengawasan hakim yang diatur dalam ketentuan: 1. Pasal 20 terkait tugas KY melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim guna kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

2.

Pasal 22 ayat (1) huruf e terkait rekomendasi KY terhadap hasil pemeriksaan perilaku hakim yang disampaikan kepada MA, MK dengan tembusan ke Presiden dan DPR. Sementara, ayat (5) terkait kewajiban MA dan/atau MK untuk mengeluarkan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta oleh KY dalam rangka pengawasan hakim.

C. Usul penjatuhan sanksi dan penghargaan yang diatur dalam ketentuan: 1. Pasal 21 terkait wewenang KY untuk mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/atau MK. 2. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5) terkait usul penjatuhan sanksi yang bersifat mengikat dan apabila pembelaan hakim ditolak, maka usul pemberhentiannya diajukan oleh MA dan/atau MK kepada Presiden. 3. Pasal 24 ayat (1) terkait wewenang KY untuk mengusulkan kepada MA dan/atau MK pemberian penghargaan kepada hakim yang berprestasi. 4. Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) terkait wewenang KY untuk

mengambil keputusan dengan rapat yang dihadiri sekurangkurangnya 5 (lima) orang Anggota KY. Khusus untuk pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian

Hakim Agung dan/atau Hakim MK, harus dihadiri oleh semua Anggota. Namun, setelah 3 kali penundaan, keputusan berlaku sah bila dihadiri 5 orang Anggota KY saja. II. KESIMPULAN DAN PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUUIV/2006 mengabulkan sebagian permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 hakim agung tersebut. Di dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa: Pokok pertentangan dalam perkara a quo, salah satunya adalah mengenai pengertian hakim pada Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, frasa ...mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim apakah termasuk hakim konstitusi dan hakim agung. Secara mengejutkan di dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa hakim konstitusi tidak masuk ranah pengawasan Komisi Yudisial. Argumen yang dipakai adalah karena fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Bahkan di dalam putusan tersebut dikatakan bahwa jika Komisi Yudisial berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi maka dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggung jawab Mahkamah Konstitusi, dalam menjaga konstitusionalitas

mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Mahkamah Konstitusi juga menjelaskan bahwa hakim konstitusi pada dasarnya adalah bukan hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan setelah itu akan kembali kepada status profesi semula. Penjelasan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan artian bahwa hakim ad hoc yang berada di dalam lingkungan peradilan khusus juga bukanlah ranah pengawasan Komisi Yudisial, karena bukanlah sebuah profesi tetap. Dalam putusannya, MK juga menyatakan bahwa perluasan batasan hakim dalam Pasal 1 angka 5 UU KY menjadi Hakim Konstitusi bertentangan dengan karena dapat memandulkan fungsi MK dalam memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Selain itu, KY sama sekali tidak terlibat dalam pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi dan UUD sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada KY dalam mengawasi perilaku Hakim Konstitusi. Sebagai konsekuensinya, pasal-pasal dalam UU KY yang mencakup Hakim Konstitusi dinyatakan tidak mengikat oleh MK. Berbeda dengan Hakim Agung, MK berpendapat bahwa Hakim Agung termasuk dalam batasan hakim yang tidak luput dari pengawasan KY. Hakim Agung adalah Hakim, hanya saja Hakim Agung berada pada hierarki hakim paling tinggi dalam peradilan.

Berkaitan dengan Pasal 34 ayat (3) UU KK yang berbunyi, Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang, MK berpendapat bahwa pasal tersebut tidak sesuai dengan rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Bagi MK, telah terjadi peniadaan wewenang KY sehingga Pasal 34 ayat (3) tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Berkaitan dengan fungsi pengawasan KY, MK berpendapat bahwa kewenangan tersebut bukan untuk mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu. Selain itu, hubungan MA dan KY bukanlah untuk menerapkan prinsip checks and balances karena hubungan semacam ini hanya terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of power). MA dan KY merupakan lembaga yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan kehakiman (yudikatif). Namun, KY bukanlah pelaksana dari kekuasaan kehakiman. KY berperan dalam pengusulan calon Hakim Agung, sedangkan fungsi pengawasan penuh tetap dipegang oleh MA. Namun, dalam melaksanakan fungsi

pengawasan terhadap perilaku hakim ini, KY dan MA harus bekerja sama erat karena KY merupakan organ pendukung. Selain itu, KY tidak dapat turut mengawasi kewenangan yustisial MA atau putusan hakim itu sendiri. Pasal 24 UUD 1945 Amandemen menegaskan bahwa kekuasaaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai

pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van het vonnis geld als waard). Namun demikian, KY pada prinsipnya tidak saja memiliki wewenang pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim. Salah satu pertimbangan MK dalam putusannya, menekankan bahwa pentingnya fungsi pengawasan serta pembinaan etika profesi hakim.1 Kebebasan ini harus dijamin, bahkan oleh lembaga profesi itu sendiri. Menurut MK, sejauh mengenai fungsi pengawasan Hakim dan Hakim Agung, rumusan pasal-pasal yang mengaturnya tampak berbeda dengan 24B ayat (1) UUD 1945 Amandemen. Selain itu, tidak ada kejelasan pengaturan subyek, obyek dan prosesnya sehingga dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Pasal 20 UU KY tidak semata-mata merupakan fungsi pengawasan perilaku1

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001,

hal.102.

karena Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 Amandemen memberikan kewenangan lain bagi KY. Memang, selain berwenang melakukan tindakan-tindakan preventif dan korektif, KY juga berwenang dalam peningkatkan pemahaman, kesadaran, kualitas, dan komitmen

profesional yang bermuara pada tingkat kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim yang diharapkan. Namun, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh KY tersebut tidak disertai dengan batasan penormaan tentang sejauh apa yang disebut pengawasan dan perilaku hakim. Sementara Pasal 25 ayat (3) dan (4) serta Pasal 34 ayat (3) UU KK bertentangan dengan Pasal UU 24, 24B, dan 24C UUD 1945 Amandemen karena rumusannya tidak sesuai, adanya kewenangan YK yang dikurangi dan sama sekali tidak terkait dengan MK. Demikian juga dengan Pasal 24 ayat (1), tidak mengikat sepanjang berkaitan dengan MK. III. PENDAPAT YANG CONTRA TERHADAP PUTUSAN MK Putusan Mahkamah Konstitusi ternyata tidak serta merta diterima begitu saja oleh public meskipun mau tidak mau putusan tersebut harus diterima karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (binding). Beberapa pihak menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan semangat untuk menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa. Memposisikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang hanya diawasi melalui mekanisme pengawasan internal seolah melupakan latar belakang dilakukannya

reformasi peradilan dan diadopsinya model pengawasan ekternal karena pada kenyataannya pengawasan internal saja tidak cukup. Padahal jauhjauh hari, Alexander Hamilton telah mengingatkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah dan rentan masuknya intervensi dan penyelewengan.2 Oleh karena itu membutuhkan pengawasan ekternal untuk menghindari kesewenang-wenangan. Mahfud MD sendiri melihat ada beberapa putusan MK yang kontroversial dan kurang berpihak terhadap upaya demokratisasi dan penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi dan mafia peradilan.3 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim konsitusi bukan termasuk hakim karena masa jabatannya yang sementara. Walaupun masa jabatannya terbatas pada waktu tertentu, namun sebenarnya hakim konstitusi tersebut tetap menjalankan fungsinya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Baik dan buruk perilakunya selama menjabat tetap memberikan pengaruh kepada putusan dan kewibawaan peradilan. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak melihat hakim dengan pendekatan fungsional, melainkan dari sisi sifat jabatan hakim konstitusi yang sementara. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir ketentuanketentuan terkait pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi menyiratkan adanya kepentingan terselubung dari hakim konstitusi

Komisi Yudisial Republik Indonesia. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara. (Jakarta Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010). Hal.xx.3

2

Kekuasaan Kehakiman, dalam Kompas, 12 Oktober 2006, hlm. 3, kol. 5.

sehingga dianggap bertentangan dengan asas bahwa hakim tidak boleh memutuskan perkara yang di dalamnya ada kepentingan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propia causa). Hal ini pula yang menimbulkan pertentangan diberapa kalangan setelah putusan ini dibacakan. Putusan Mahkmah Konstitusi tersebut dinilai ultra petita atau melebihi dari apa yang dimohonkan. Gayus Lumbuun menyatakan bahwa putusan Mahkmah

Konstitusi tersebut bersifat ultra petita dan diskrimaninatif. Sebab, 31 hakim agung mengajukan permohonan agar mereka tidak masuk dalam objek pengawasan Komisi Yudisial. Tapi Mahkamah Konstitusi justru menempatkan diri diluar objek pengawasan Komisi Yudisial.4 Saldi Isra dalam makalah yang berjudul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 (Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial),5 mengemukakan bahwa asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propia causa), sebagai salah satu asas dalam hukum acara, dan Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengenyampingkannya. Beliau menilai bahwa Mahkamah Agung berupaya menarik Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang dirugikan kepentingannya konstitusionalnya dengan

pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi telah terjebak membangun

4 5

Suara Karya, Jumat 25 Agustus 2006.

Saldi Isra, Makalah: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 (isi, implikasi dan masa depan Komisi Yudisial), op.cit., hal.6

argumentasi untuk tidak masuk dalam ranah pengawasan Komisi Yudisial.6 Berbeda dengan menafsirkan hakim konstitusi, hakim agung di dalam putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan termasuk dalam ranah pengawasan Komisi Yudisial. Menempatkan hakim agung masuk kedalam pengawasan juga sesuai dengan prinsip akuntabilitas.

Pengawasan hakim agung dilakukan salah satunya berpedoman pada kode etik dan perilaku hakim. Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral.7 Oleh karena itu, hakim dituntut untuk berintegritas dan professional, serta menjunjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya bebas sayap (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya lumpuh sayap (vluegel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak. Pelanggaran atas suatu pedoman etika dan perilaku hakim itu tidaklah terbatas sebagai masalah internal badan peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat dan pencari keadilan.Risfa Neltasia, Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial Papsca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, 2007 Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996, hal.187 6

Meskipun kewenangan pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial telah diamputasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi, dalam praktiknya harapan masyarakat terhadap Komisi Yudisial untuk dapat melakukan pengawasan hakim semakin tinggi. Dalam laporan akhir periode Komisi Yudisial (2005-2010) ternyata ditemukan bahwa laporan masyarakat terhadap hakim-hakim nakal semakin meningkat, berkas pengaduan yang masuk tercatat dari tahun 2005 berjumlah 388 meningkat menjadi 9.876 pada tahun 2010.8 Dari data tersebut sebenarnya mengindikasikan bahwa harapan publik terhadap keberadaan Komisi Yudisial cukup tinggi. Namun Komisi Yudisial tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat untuk dapat mengoreksi hakim-hakim nakal yang selama ini masih menjadi penyebab bobroknya lembaga peradilan di Indonesia. Sebagai harapan sebaiknya MK, MA dan KY harus bertemu membicarakan kembali wewenang yang memang sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam rangka menjaga harkat dan martabat bangsa menjadi lebih baik dalam bentuk nota kesepahaman.9

8 9

Sumber Laporan Akhir periode Komisi Yudisial (2005-2010)

Solusi Kewenangan Pengawasan Hakim oleh MA dan KY, dalam Pledoi, No.05, Volume 01 Tahun 2006, hal.8.

Daftar Pustaka

A. Buku Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal.102. Saldi Isra, Makalah: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUUIV/2006 (isi, implikasi dan masa depan Komisi Yudisial), op.cit., hal.6 Risfa Neltasia, Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial Papsca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, 2007 Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996, hal.18 Komisi Yudisial Republik Indonesia. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara. (Jakarta Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010). Hal.xx. B. Makalah, Jurnal dan Sumber Lain Kekuasaan Kehakiman, dalam Kompas, 12 Oktober 2006, hlm. 3, kol. 5. Suara Karya, Jumat 25 Agustus 2006. Sumber Laporan Akhir periode Komisi Yudisial (2005-2010) Solusi Kewenangan Pengawasan Hakim oleh MA dan KY, dalam Pledoi, No.05, Volume 01 Tahun 2006, hal.8. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

2.

COBA SAUDARA ANALISIS PASAL 18 (5) UUD 1945, DAN PELAKSANAANYA DALAM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN SAAT INI? Pada prinsipnya amanat dari perubahan kedua UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (5) yang menyatakan: Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, adalah kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke Pemerintahan Daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat kedaerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. Semangat pemerintah dalam pemberian otonomi dari waktu ke waktu terus berubah, dari otonomi dengan nuansa demokratis ke otonomi yang bercirikan liberal, dilanjutkan ke Otonomi seluas-luasnya, selanjutnya kepada Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dan terakhir dalam UndangUndang Pemerintah Daerah yang baru, digunakan konsep Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab sampai munculnya undang-undang

Pemerintahan Daerah yang baru Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah serta perubahannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang diharapkan dapat menjanjikan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Namun dari sekian banyak peraturan tentang pemerintah daerah yang ada sudah lebih setengah abad dalam praktiknya tetap merupakan kata-kata yang indah belaka tanpa wujud yang nyata. Lama kelamaan hal ini menimbulkan rasa tidak puas di daerah terutama daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun tetap miskin. Adapun pelaksanaan Pasal 18 ayat (5) dalam peraturan perundangundangan, Bhenyamin Hoessien menyatakan, bahwa label seluas-luasnya di belakang kata otonomi pada ayat (5) Pasal 18 menambah kemajemukan jargon yang sudah ada. Dalam ayat (1) Pasal 131 UUD Sementara 1950 muncul otonomi seluas-luasnya Otonomi yang riil muncul dalam UU No. 18 Tahun 1965, Otonomi yang seluas-luasnya muncul dalam Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966 yang kemudian diganti dengan Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 dan UU No. 5 Tahun 1974. Label otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab muncul dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978. UU No. 22 Tahun 1999 menyebut otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Jargon-jargon tersebut tidak pernah didefinisikan dalam produk hukum, sehingga menyesatkan implementasinya. Seribu jargon mungkin akan bermunculan. Namun, secara konseptual, otonomi daerah

merupakan pengejawantahan dari desentralisasi dan desentralisasi tidak melahirkan otonomi daerah dengan label tertentu. Berbagai jargon tersebut mengidentifikasikan perilaku yang emosional dari bangsa Indonesia dalam pemerintahan. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang menganut pemakaian istilah wewenang pemerintahan, dalam amandemen digunakan istilah urusan pemerintahan. Namun pengaturan materi Pasal 18 ayat (5) hampir dapat dikatakan tergolong langka dalam konstruksi negara kesatuan. Dalam konstitusi negara kesatuan hampir tidak pernah membatasi terhadap wewenang (kekuasaan) pemerintah pusat. Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang dijadikan acuan oleh UU No. 32 Tahun 2004, dalam Pasal 2 ayat (3) menyatakan Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, memiliki kesamaan pengaturan dengan Pasal 131 ayat (2) UUDS 1950, yang menyatakan kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut R. Tresna, jikalau istilah seluas-luasnya dipahami secara letterlijk maka berarti hampir tidak ada batasnya. Ini tidak mungkin dalam rangka negara kesatuan. Bukan saja staatsrechttelijk, tetapi juga

bestuurstechnisch pun sukar diwujudkan. Jikalau semua daerah hendak melaksanakan pengertian seluas-luasnya itu dalam arti kata gramatikal, maka akan terjadi kekalutan dan persimpangsiuran yang bukan main dalam pemerintahan pada umumnya. Oleh karena itu, manakala istilah seluas-

luasnya tidak hendak dipandang sebagai penambah kata untuk memberikan ulasan yang lebih semarak saja kepada paham otonomi, hendaknya diartikan secara nisbi. Muh. Sjafei mengemukakan bahwa agar dikemudian hari tidak terdapat pelbagai penafsiran yang tidak pada tempatnya tentang pengertian otonomi seluas-luasnya sebagai sistem ketatanegaraan kita, sudah selayaknya dalam undang-undang pemerintahan daerah dirumuskan ketentuan hukum yang memberikan definisi yang sah, bahwa mengurus dan mengatur rumah tangga otonomi seluas-luasnya meliputi segala sesuatu yang berpaut dengan kepentingan umum (openbare belangen) masyarakat dan daerah, sepanjang tidak termasuk atau ditarik ke dalam pengurusan pemerintahan pusat atau daerah yang lebih di atas. Menurut Nasroen, otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi daerah tidak boleh memecah belah negara kesatuan. Pemberian hak otonomi seluas-luasnya harus ada batasnya. Lebih jauh Nasroen

mengemukakan: Janganlah dibatasi dengan secara limitatieve opsomming, tetapi batasnya akan ditentukan oleh keadaan yang nyata dari daerah otonom yang bersangkutan, dalam soal kesanggupan menerima hak dan kewajiban urusan-urusan yang akan diserahkan. Otonomi seluas-luasnya, dan

pembatasan adalah urusan praktis dan urusan beleid Pemerintah Pusat, tetapi yang harus dinyatakan dalam undang-undang. Kenyataan dari provinsi yang satu adalah berlainan dari provinsi yang lain, begitu juga terhadap kabupaten dan daerah otonom lainnya.

Jelaskah konsep otonomi daerah yang saat ini diterapkan di Indonesia harus di pahami kembali baik implementasinya dalam kehidupan yang nyata maupun implementasinya dalam peraturan perundang-undangan. Konsep otonomi harus diberi penegasan agar tidak menimbulkan multitafsir yang mengakibatkan fondasi otonomi itu sendiri menjadi rancu sehingga mengakibatkan otonomi tidak bisa berjalan secara baik.

3.

DITINJAU

DARI

HAKEKAT

DEMOKRASI,

APAKAH

PEMILUKADA SUDAH SAMPAI PADA SUBSTANSINYA? Isitilah Demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem Demokrasi di banyak negara. Kata Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Menurut Abraham Lincoln Hakikatnya Demokrasi (Presiden AS ke-16), demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Democracy is government of the people, by the people and for the people). Azas-azas pokok demokrasi dalam suatu pemerintahan demokratis adalah: a. pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat untuk parlemen secara bebas dan rahasia; b. pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia. Di Indonesia, Demokrasi dilaksanakan secara langsung berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E, yang menyatakan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Berangkat dari konstitusi dasar tersebut maka yang menjadi tolak ukur atau parameter suatu Pilkada demokratis atau tidak adalah asas-asas Pemilu. asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk sesuatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki. Selama asas-asas Pemilu tidak dijunjung tinggi dalam pelaksanaan Pemilu atau Pilkada, meskipun Pilkada dilaksanakan secara langsung sebaik apapun itu maka Pilkada tersebut belum dapat dikatakan Pilkada yang demokratis. Sebaliknya, sekalipun Pilkada dilakukan secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan, asalkan asas-asas tersebut ditaati dan diterapkan secara

konsisten oleh para stake holder Pilkada, maka Pilkada tersebut dapatlah dikatakan Pilkada yang demokratis. Apabila berkaca dengan pemilukada yang dilakukan di Indonesia maka sesungguhnya sangat sulit dikatakan bahwa pemilukada telah sampai kepada hakikat demokrasi yang sesungguhnya. Menurut fakta yang telah dihimpun bahwa permasalahan dalam Pemilu sangat beraneka ragam yang akhirnya banyak pihak yang membawa ke ranah hukum dan menjadi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Seperti contohnya pada Pemilukada Gubernur Bengkulu 3 Juli 2010 lalu, dari hasil pengamatan banyak menuai persoalan, mulai dari persoalan DPT, banyaknya warga negara yang mempunyai hak suara tetapi tidak dapat menggunakan haknya karena tidak terdaftar bahkan yang tidak ada orangnya justru masuk DPT, kemudian banyaknya suara yang tidak sah akibat tidak tersosialisasi cara mencoblos dan melipat kertas suara. Banyaknya perselisihan dalam Pemilu di antaranya disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi : (1) Banyak terjadi kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih. Permasalahan ini sangat mengemuka pada Pemilu tahun 2009 terutama pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Banyak terjadi kasus penduduk yang sudah meninggal dunia masih tercatat dalam daftar pemilih, dan sebaliknya penduduk asli yang telah berdomisili lama di suatu desa ternyata tidak tercatat dalam daftar pemilih, atau sangat mungkin seorang pemilih tercatat sebagai daftar pemilih pada lebih dari suatu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Permasalahan ini muncul karena karena sistem informasi kependudukan yang

masih belum berjalan dengan baik. Fenomena penggunaan kartu identitas ganda juga menyebabkan banyaknya pemilih yang memiliki kartu suara lebih dari satu buah. Keadaan ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan jumlah suara sehingga dapat menjadi sarana untuk menang dalam pemilu. (2) Ketika pemungutan suara banyak pemilih yang melakukan kesalahan dalam memberi tanda pada kertas suara akhirnya banyak kartu suara yang dinyatakan tidak sah. (3) Proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, karena perbedaan kecepatan pelaksanaan pemungutan suara di masing-masing daerah. Hal ini ditambah dengan kondisi geografis negara kita yang heterogen sehingga dapat menghambat distribusi kartu suara. (4) Proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara. (5) Keterlambatan proses pengiriman hasil perhitungan suara. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya infrastruktur teknologi komunikasi di daerah. Oleh karena itu, seringkali pusat tabulasi harus menunggu data penghitungan yang dikirimkan dari daerah dalam jangka waktu yang lama. Akibat dari hal tersebut, maka pengumuman hasil pemilu akan memakan waktu yang lama. (6) Sangat mungkin terjadi jual beli kertas suara demi untuk kepentingan partai tertentu yang dilakukan secara sistematis dan terselubung. Kalaulah memang Pemilukada langsung justru memperuncing perselisihan dan menambah cost yang sangat besar bagi kas negara, sebaiknya

pemilukada mesti ditinjau ulang kembali. Demokrasi langsung sesungguhnya bukan diukur dari kuantitas pemilih tapi adalah kualitas pemilih, dan bangsa Indonesia butuh pemilih yang berkualitas. Ada wacana untuk mengembalikan lagi sistem demokrasi perwakilan melalui DPRD seperti dulu lagi.

4.

MENURUT SAUDARA, APAKAH DENGAN SISTEM REKRUITMEN HAKIM SAAT INI AKAN MELAHIRKAN PENGADILAN YANG

DAPAT MENDATANGKAN KEADILAN? Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dapat diwujudkan salah satunya apabila sumberdaya manusia hakim agung mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dapat direkrut. Artinya sitem perekrutan yang tersedia harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan

berpengalaman dibidang hukum. Oleh karena itu, sistem perekrutan yang baik harus dibuat, yaitu sistem perekrutan yang dilakukan oleh pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam proses perekrutan dan adanya setandar yang tepat. Berbagai ketentuan hukum internsional memberikan persyaratan-persyaratan umum tentang perekrutan hakim, Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menciptakan standar umum dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang independen dan mana dalam satu negara yang telah memenuhi syarat dalam

menegakkan gagasan Kekuasan Kehakiman yang independen dan dimana negara belum memenuhi syarat tersebut. Dengan demikian, gagasan kekuasaan kehakiman yang independen tidak dengan mudah direduksi dan didistorsi oleh negara-negara tertentu dengan menggunakan paradigmanya sendiri didalam mengimplementasikan gagasan tersebut. Dalam konteks Indonesia khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998) gagasan Kekuasaan Kehakiman yang independen pernah direduksi sedemikian rupa, sehingga secara substantif dan dalam batas tertentu apa yang disebut dengan Independensi Kekuasaan Kehakiman sesungguhnya tidak ada. Salah satu ketentuan hukum internasional yang menentukan pesyaratan perekrutan hakim adalah Pasal 10 Prnsip-Prinsip Dasar tentang Independensi Kehakiman (Basic Prinsiples on the Independence of the Judiciary) yang oleh A.Hasin Tohari diterjemahkan dalam beberapa ketentuan yaitu : 1. Adanya integritas, kecakapan dan kualifikasi calon hakim; 2. Metode seleksi hakim harus memberikan perlindungan bagi pengangkatan hakim dari motivasi-motivasi yang tidak layak 3. Tidak ada diskriminasi bagi calon hakim Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dilingkungan Kekuasaan Kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki tanggug jawab yang besar karena ditangan Mahkamah Aguglah para pencari keadilan mengajukan upaya hukum ditingkatan tertinggi (kasasi).

Diberbagai negara perekrutan hakim, khususnya hakim angung akan selalu mengandung kekuasaan politik untuk ikut serta didalammnya, pernyataan tersebut tidak terepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapi. Oleh karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya memiliki kemampuan dibidang hukum, pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik dan seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam satu perekrutan yang buruk. Tidak salah apabila dikatakan good judges are not born but made. Kondisi diatas tersebut bisa dicapai salah satunya apabila proses perekrutan hakim khususnya hakim agung harus sedapat mungkin menjauhkan dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilaian terhadapnya relatif lebih objektif. Salah satu gagasan yang kemudian muncul dan akhirnya diterapkan di beberapa negara adalah didirikanya sebuah lembaga yang mempunyai peran signifikan dalam perekrutan hakim agung. Lembaga ini sifatnya tidak politis sehingga kepentingan-kepentingan politik diharapkan tidak ikut melakukan determinasi dalam perekrutan hakim agung. Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Yudisial. Di Indonesia sendiri gagasan pembentukan Komisi Yudisial tersebut sudah diakomodir karena mencermati kelemahan perekrutan hakim agung pada masa Orde Baru dan Reformasi, tetapi kembali menjadi blunder ketika

Calon Hakim Agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial kemudian disetujui lagi oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Artinya adalah sistem perekrutan Hakim Agung sebaiknya cukup sebatas Komisi Yudisial saja yang telah berdiri secara independen tanpa adanya campur tangan kepentingan politik, tidak perlu lagi persetujuan dengan DPR yang notabene adalah perwakilan dari partai politik, sehingga sangat memungkinkan sekali adanya campur tangan kepentingan politik bagi hakim-hakim agung yang ingin lolos menjadi hakim agung, karena peran DPR sebagai lembaga politik sangat strategis sekali yaitu menyetujui calon Hakim Agung yang diajukan oleh KY.