46
REKAM JEJAK YANG DIGELAPKAN, DENGAN STIGMA KEBOHONGAN · Perang-perang kolonial yang dilancarkan Belanda pada akhir abad ke-XIX telah berhasil menundukkan raja-raja feodal dan rakyat diberbagai daerah kepulauan Indonesia. Terciptalah kesatuan wilayahdibawah satu kekuasaan sentral – pemerintah kolonial Hindia Belanda. Batas-batas yang diciptakan oleh negara-negara feodal bagi masing-masing kerajaannya dan yang semula memecah wilayah kepulauan Indonesia itu menjadi hapus. Sekalipun tingkat perkembangan ekonomi ditiap daerah berbeda satu dengan yang lainnya, namun penyatuan itu memberikan syarat untuk akhirnya akan terciptanya sistem ekonomi yang sama – ekonomi colonial. Kesamaan wilayah dan kesamaan ekonomi itu merupakan prasyarat bagi lahirnya bangsa modern Indonesia – nasion Indonesia. · Nasion, adalah persekutuan orang-orang yang stabil, yang tersusun menurut sejarah, terbentuk berdasarkan satu bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi bersama dan susunan kejiwaan yang terjelma dalam satu kebudayaan bersama. · Nasion adalah satu katagori sejarah, ia lahir pada zaman kemenangan kapitalisme atas feodalisme, seperti yang terjadi di Eropa Barat: Inggeris, Prancis, Jerman dan Italia. Proses pelenyapan feodalisme dan kemenangan kapitalisme, bersamaan itu pula adalah proses penyusunan orang-orang menjadi nasion- nasion. · Sementara itu, kapitalisme Belanda yang berada pada taraf kapitalisme persaingan bebas, setelah terjadinya krisis ekonomi di tahun 1895 telah memberi peluang pada kapital bank (finans) mengambil alih kapital industri (pabrik-pabrik), membuat terjadinya perpaduan antara keduanya menjadi kapitalisme monopoli, inilah yang disebut tingkat tertinggi perkembangan kapitalisme, menjadi imperialisme. Salah satu watak dari imperialisme adalah melakukan ekspor capital dari negeri induknya terutama kenegeri-negeri koloninya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan penghisapan dan penindasan terhadap negeri dan rakyat negeri itu. · Kapitalisme monopoli (imperialis) Belanda ini secara besar-besaran menanam modalnya di Indonesia. Membuka jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, berdirinya industri untuk

Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penemuan fakta baru tentang misteri yang di alami pada masa penjajahan.

Citation preview

Page 1: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

REKAM JEJAK YANG DIGELAPKAN, DENGAN STIGMA KEBOHONGAN

·                 Perang-perang kolonial yang dilancarkan Belanda pada akhir abad ke-XIX telah berhasil menundukkan raja-raja feodal dan rakyat diberbagai daerah kepulauan Indonesia. Terciptalah kesatuan wilayahdibawah satu kekuasaan sentral – pemerintah kolonial Hindia Belanda. Batas-batas yang diciptakan oleh negara-negara feodal bagi masing-masing kerajaannya dan yang semula memecah wilayah kepulauan Indonesia itu menjadi hapus. Sekalipun tingkat perkembangan ekonomi ditiap daerah berbeda satu dengan yang lainnya, namun penyatuan itu memberikan syarat untuk akhirnya akan terciptanya sistem ekonomi yang sama – ekonomi colonial. Kesamaan wilayah dan kesamaan ekonomi itu merupakan prasyarat bagi lahirnya bangsa modern Indonesia – nasion Indonesia.·         Nasion, adalah persekutuan orang-orang yang stabil, yang tersusun menurut sejarah, terbentuk berdasarkan satu bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi bersama dan susunan kejiwaan yang terjelma dalam satu kebudayaan bersama.·         Nasion adalah satu katagori sejarah, ia lahir pada zaman kemenangan kapitalisme atas feodalisme, seperti yang terjadi di Eropa Barat: Inggeris, Prancis, Jerman dan Italia. Proses pelenyapan feodalisme dan kemenangan kapitalisme, bersamaan itu pula adalah proses penyusunan orang-orang menjadi nasion-nasion.·         Sementara itu, kapitalisme Belanda yang berada pada taraf kapitalisme persaingan bebas, setelah terjadinya krisis ekonomi di tahun 1895 telah memberi peluang pada kapital bank (finans) mengambil alih kapital industri (pabrik-pabrik), membuat terjadinya perpaduan antara keduanya menjadi kapitalisme monopoli, inilah yang disebut tingkat tertinggi perkembangan kapitalisme, menjadi imperialisme. Salah satu watak dari imperialisme adalah melakukan ekspor capital dari negeri induknya terutama kenegeri-negeri koloninya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan penghisapan dan penindasan terhadap negeri dan rakyat negeri itu.·         Kapitalisme monopoli (imperialis) Belanda ini secara besar-besaran menanam modalnya di Indonesia. Membuka jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, berdirinya industri untuk mengolah bahan mentah, seperti perkebunan dan pabrik gula, perkebunan dan pabrik karet, the, tembakau dan pertambangan. Secara tidak terelakkan lahirlah klas-baru dalam masyarakat di Indonesia, klas proletar dari kandungan kapitalisme Belanda yang sudah sampai kepuncak tertingginya itu, ialah imperialisme.·         Sekalipun imperialis Belanda berusaha mempertahankan hubungannya dengan feodal dalam hubungannya untuk melanjutkan penghisapannya, namun tidak urung kapitalisme merasuk dan masuk juga ketengah-tengah masyarakat Indonesia, penyebab lahirnya klas borjuis Indonesia. Setidaknya untuk memenuhi tenaga administratif, dan tekhnik di industri perkebunan dan infrastruktur, pemerintah Belanda terpaksa mendirikan sekolah-sekolah, meski dibatasi dengan hanya membolehkan anak-anak kaum bangsawan dan pegawai tinggi. Sekolah-sekolah inilah yang melahirkan lapisan kecil kaum intelektual Indonesiayang dapat menguasai pemikiran-pemikiran barat, dan yang kemudian memelopori gerakan nasionalisme di Indonesia.

Page 2: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

·         Dengan demikian lahirlah zaman baru ditanah air, yang ditandai dengan lahirnya kekuatan-kekuatan baru di masyarakat Indonesia – klas buruh dan klas burjuis. Zaman baru itu menuntut bentuk perjuangan baru pula. Bentuk lama perjuangan perlawanan daerah yang sporadic yang dipimpin oleh raja-raja feudal, berubah kebentuk perjuangan yang terorganisasisecara nasinal yang dipimpin oleh kekuatan-kekuatan yang memiliki hari depan perkembangan masyarakat Indonesia.·         Pada 20 Mei 1908 lahirlah Budi Utomo, orgaqnisasi borjuis pertama di Indonesia. Sekalipun dikalangan pimpinannya banyak yang berasal dari klas feodaltetapi pemikirannya dan cita-cita yang dikemukakannya adalah bersifat borjuis; misalnya menjungjung cita-cita kemanusiaan, menghidupkan kebudayaan dan ilmu bagi kaum bumi-putera, peternakan dan perdagangan dan sebagainya.Tidak ada cita-cita untuk mendirikan negara feudal.·         Sebelumnya, pada tahun 1905 sudah berdiri organisasi buruh pertama di Indonesia, yaitu SS Bond, organisasi buruh Kereta Api. Kelahiran kedua organisasi ini yang berbeda waktunya juga tercermin perbedaan klasnya. Klas buruh Indonesia lahir terlebih dahulu, mendahului klas burjuis nasional, dan organisasinyapun lahir lebih dulu dari organisasi borjuis. Juga sekaligus menunjukkan bahwa dalam zaman imperialism, klas buruh Indonesia memegang peranan bukan hanya pada perjuangan membebaskan Nasionnya dari penindasan nasion lain, tetapi membawanya sesuai dengan cita-cita klas buruh·         Tahun 1911, lahir gerakan borjuis demokratis yang didirikan kaum borjuis dagang, “Serikat Dagang Islam”, kemudian pada tahun 1912 berganti nama menjadi “Serikat Islam”. Meskipun ia didirikan atas inisitif kaum dagang yang dipimpin oleh orang-orang liberal demokrat, tetapi cabang-cabangnya didaerah digunakan kaum pekerja yang luas untuk mempersatukan diri didalannya. Serikat Islam ini telah menenmbus sukubangsa-sukubangsa dalam menggalang kesatuan nasion. Akan tetapi, karena menggunakan Islam Sebagaidasar perjuangannya, ia tak mampu menmbus sukubangsa yang bukan Islam.·         Tahun 1912, kaum intelektual revolusionerdemokratis membentuk “Indische Party” di Bandung yang di pimpin oleh tokoh Indo Belanda Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Partai ini bertujuan, untuk membentuk Negara nasional yang merdeka atas kerja sama yang berhak sama dikalangan semua rakyat Indonesia. Propagandanya tentang “Indische Nasionalisme”, memberikan sumbangan yang besar dalam membangkitkan kesadaran nasional rakyat Indonesia.·         ISDV (IndischeSocial Democratische Vereneging), lahir tahun1914 di Surabaya yang merupakan organisasi politik yang pertama dari kaum Marxis Indonesia dan yang menjadikan penyebaran Marxisme ditengah-tengah klas buruh dan rakyat pekerja Indonesia sebagai tugas utamanya. ISDVini kemudian melebur dirinya menjadi Partai Komunis Indonesiapada tanggal 23 Mei 1920.·         Organisasi front Persatuan Nasional “Konsentrasi Radikal” didirikan pada Nopember 1918 yang beranggotakan Serikat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan ISDV (PSHD). Tuntutannya: adanya UUD, Parlemen, dan pemerintah yang demokratis, lebih mengokohkan kesatuan Nasion Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang lahir 23 Mei 1920, sebagai peleburan diri ISDV, dalam waktu yang singkat mempunyai pengaruh bukan hanya dikalangan kaum buruh, tetapi juga dikalangan kaum tani dan lapisan lain dari rakyat Indonesia dan ini menunjukkan bahwa PKI telah tampil sebagai pelopor gerakan kemerdekaan nasional. Ini adalah sesuai dengan tuntutan obyektif perkembangan,bahwa

Page 3: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

gerakan kemerdekaan nasional Indonesia merupakan bagian dari perjuangan proletariat dunia.Karena itu PKIbukan hanya mengambil bagian yang menentukan, tetapi harus memegang peranan memimpin agar kemerdekaan nasional merupakan syarat untuk mencapai pembebasan klas buruh dari penindasan imperialisme.·         Pesatnya perkembangan PKI, bersamaan pesatnya gerakan revolusioner, membuat kolonial Belanda, menjadi berang. Provokasi pun dilancarkan dalam berbagai bentuk, seperti pemecatan-pemecatan terhadap kaum buruh, penangkapan-penangkapan terhadap kaum tani, pelarangan terhadap suratkabar-suratkabar dan pembubaran sekolah-sekolah yang didirikan PKI.·         25 Desember tahun 1925 berketepatan Natal diakhir tahun itu, para pimpinan Partai Komunis Indonesia melaksanakan Konferensi Comite Central di Prambanan, Yokyakarta. Sardjono yang sebelumnya adalah pimpinan Sarikat Islam Sukabumi memimpin pertemuan, berhasil menyepakati keputusan yang menentukan. Padahal pada saat itu para pimpinan-pimpinan partai yang lain; Semaoen, Darsono, Tan Malaka, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada dipembuangan, dipenjarakan atau dalam keadaan sedang dijadikan kearah operasi penangkapan oleh pemerintah kolonial Belanda. Konferensi menghasilkan keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Keputusan Prambananmenyebutkan: ”Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini”. Pemberontakan diputuskan oleh Pertemuan Prambanan, dijadwalkan dimulai 18 Juni 1926. Tapi dengan berbagai alasan pemberontakan itu baru meletus 12 November 1926.·         Mei 1923 Semaun ditangkap, kemudian diasingkan ke pulau Timor oleh pemerintah kolonial Belanda atas dakwaan memimpin pemogokan kaum buruh, tapi pemerintah kolonial akhirnya memutuskan dia diasingkan ke luar negeri, tepatnya ke Uni Sovyet. Haji Misbah pada Januari 1924 ditangkap dengan tuduhan pemicu pemboman pada arak-arakan Susuhunan Raja Surakarta, di upacara Sekatenan pada 20 Oktober 1923 pukul 21.30. Dia bersama keluarganya dibuang ke Manokwari, Papua, pada tahun 1926 Haji Misbah meninggal dipembuangan. Ali Archam dibuang ke Digul juga meninggal dipembuangan.·         Pemberontakan meletus dibeberapa kota, Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan dan Banten.       ·         Di Batavia sebutan kolonial pada waktu itu untuk Jakarta, pemberontakan dimulai pada 12 November 1926, tengah malam. Sasaran penyerbuan di Jakarta diarahkan pada kantor telepon yang berhasil diduduki, merusak kantor dan memutuskan hubungan komunikasi. Penjara Glodok diserbu dan dibuka paksa, para tahanan politik dibebaskan. Pos polisi di Pejagalan dan rumah kepala pemerintahan di Pejaringan dibakar. Hampir semua kantor-kantor milik pemerintah kolonial dirusak, jalan-jalan dihadang dengan barikade-barikade. Di Jatinegara, di rumah Asisten Residen, Mr. Cornelis terjadi bentrok bersenjata. Di Tangerang markas Velt Politie berhasil diduduki.·         Pemberontakan di Banten, rumah-rumah pamong praja diserbu, di Petri, Cening dan Pagelaran. Peledakan jembatan dan pemutusan komunikasi telepon. Karena Pusat Komite pemberontakan di Bandung, maka pemberontakan di seluruh Jawa Barat dan Jakarta serentak dimulai pada tengah malam 12 November, sesuai dengan hasil keputusan Comite Central.

Page 4: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Konvoi militer yang sedang melintas dijalan antara Kadujawen dan Kadugedong pada tanggal 14 November 1926  dihadang. Pertempuran terjadi dimana-mana, meski tak seimbang terutama persenjataannya, pemberontakan di Banten bertahan hingga satu bulan.·         PKI Comite Banten merupakan Cabang ke-37 sebagai Comite terakhir waktu itu dibentuk Comite Central PKI. Dimula pembentukannya hanya beranggota sekitar 1.200 orang pada November 1925. Pada Februari 1926 meningkat menjadi 12.000 orang, termasuk 500 orang perempuan. Peningkatan jumlah anggota yang demikian pesat, penyebabnya adalah, tingginya pajak yang dipatok pemerintah kolonial terhadap rakyat, terutama kaum tani. Itu pulalah yang membuat Keputusan Perambanan disambut antusias. Pemberontakan pada 12 November di Banten, menewaskan seorang Belanda bernama Benyamin, seorang pegawai Kereta Api di Menes, Banten, juga para Wedana, asisten Wedana (Camat) dan Polisi.    ·         Di Priangan pemberontakan di bulan November itu, dilakukan dengan  menyerbu pos Polisi Nagrek, memutus jembatan jalan raya di Cirankas, memutus rel kereta api  diatas sungai Citiis. Pemberontakan juga melakukan penyerbuan ke rumah-rumah pamong praja dan kantor telepon, aksi pembakaran di Cimahi dan Batu Jajar. Penghancuran gedung-gedung pemerintah dengan bom di Tasik Malaya. Pertempuran menghadang konvoi tentara Belanda di Cisarua pada 13 November, dan pertempuran terbuka antara Padeglang dan Cisarua, juga dekat Padalarang. Pemutusan hubungan komunikasi di enam tempat dengan memutuskan kawat telepon.·         Di Solo pemberontakan meletus pada 17 November 1926 malam. Pada malam itu ratusan orang  menyerbu kantor dan rumah Panewu Sawahan di Boyolali, yang dijaga kuat oleh polisi. Bentrokan senjata berlangsung sampai 24 November, menyerbu pos-pos polisi, melakukan pengerusakan gardu dan pemutusan kawat listrik, membakar gedung-gedung milik Onderneming. 17 November 1926 malam, rakyat menyerbu rumah Camat Ulu Jati, dan berbagai sasaran lainnya didaerah Pemalang. Didaerah Banyumas dan Kedu sekitarnya pemberontakan tak terjadi, disebabkan bocornya rencana pemberontakan. Pemerintahan kolonial didaerah itu terlebih dulu melakukan penangkapan terhadap pimpinan-pimpinan pemberontakan.·         Di Sumetera Barat pemberontakan, baru dimulai pada Januari 1927, setelah pemerintah kolonial dapat menguasai situasi di Jawa diakhir tahun 1926, tepatnya bulan Desember. Benar bahwa pimpinan pemberontakan Sumatera Barat telah mengetahui bahwa keputusan Konferensi Prambanan, pemberontakan dilakukan pada November 1926. Namun keputusan hari pelaksanaannya belum didapat kabar sampai Desember 1926. Pada Desember 1926 itu akhirnya pimpinan pemberontakan mengadakan pertemuan, dengan keputusan pemberontakan akan dilakukan pada Januari 1927.             ·         1 Januari 1927 malam, pemberontakan dimulai. Pertempuran terjadi di Sawahlunto, Silungkang dan Padang Sibusuk. Seorang Letnan Belanda  dan Kepala Nagari Padang Sibusuk tewas terbunuh. Di Muara Klaban terjadi pertempuran dengan pasukan polisi lapangan. Penyerangan juga terjadi terhadap polisi yang menjaga jalan kereta api antara Muara Kelantan dan Sawahlunto. Pada waktu yang bersamaan penyerangan juga terjadi di Padang Sibusuk dan Tanjung Ampulu, pemberontakan merambat sampai ke Sungai Lasi, Air Angat Keruh di Koto Gadang, Pasar Ambacang. Benterokan bersenjata masih berlangsung sampai Maret 1927.     

Page 5: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

·         Pasca pemberontakan di tahun !926-1927 yang terjadi diberbagai kota itu, pemerintah kolonial menangkap 13.000 orang, sebagian ditembak mati, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim kepembuangan ke Boven Digul, Papua. Dari 13.000 orang yang ditangkap di pasca pemberontakan itu 1.300 orang, diantaranya 4 orang yang divonnis mati, 9 orang yang divonnis seumur hidup dan 99 orang di buang ke Boven Digul, adalah orang-orang yang berasal dari Banten.·         Mereka yang dieksekusi mati ditiang gantungan: Egom, Hasan Bakri dan Dirdja, dari penjara Ciamis, Haji Sukri dengan 5 orang temannya dari penjara Pandeglang, H. Hasan dari Cimaremeh dari penjara Garut, Karta Wirya dan Amen dari penjara Padalarang, Oyod dari Nagrek, Manggulung, Muhammad Yusuf, Sampono Kayo dan Baharuddin gelar Bain dari penjara Sawahlunto. Pemberontakan dikalahkan, Partai Komunis Indonesia dilarang kolonial Belanda.·         Pada tahun 1933, suatu pemberontakan terjadi dikapal perang Belanda, Zeven Provincien. Kapal perang itu diambil alih oleh pelaut-pelaut Indonesia dan Belanda yang bersatu padu di dalamnya. Kapal yang di bombardier terus menerus oleh pemerintah kolonial Belanda tidak memadamkan solidaritas pelaut-pelaut Indonesia dan Belan25 Desember tahun 1925 berketepatan Natal diakhir tahun itu, para pimpinan Partai Komunis Indonesia melaksanakan Konferensi Comite Central di Prambanan, Yokyakarta. Sardjono yang  sebelumnya adalah pimpinan Sarikat Islam Sukabumi memimpin pertemuan, berhasil menyepakati keputusan yang menentukan. Padahal pada saat itu para pimpinan-pimpinan partai yang lain; Semaoen, Darsono, Tan Malaka, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada dipembuangan, dipenjarakan atau dalam keadaan sedang dijadikan kearah operasi penangkapan oleh pemerintah kolonial Belanda. Konferensi menghasilkan keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Keputusan Prambanan menyebutkan: ”Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini”. Pemberontakan diputuskan oleh Pertemuan Prambanan, dijadwalkan dimulai 18 Juni 1926. Tapi dengan berbagai alasan pemberontakan itu baru meletus 12 November 1926.·         Mei 1923 Semaun ditangkap, kemudian diasingkan ke pulau Timor oleh pemerintah kolonial Belanda atas dakwaan memimpin pemogokan kaum buruh, tapi pemerintah kolonial akhirnya memutuskan dia diasingkan ke luar negeri, tepatnya ke Uni Sovyet. Haji Misbah pada Januari 1924 ditangkap dengan tuduhan pemicu pemboman pada arak-arakan Susuhunan Raja Surakarta, di upacara Sekatenan pada 20 Oktober 1923 pukul 21.30. Dia bersama keluarganya dibuang ke Manokwari, Papua, pada tahun 1926 Haji Misbah meninggal dipembuangan. Ali Archam dibuang ke Digul juga meninggal dipembuangan.·         Pemberontakan meletus dibeberapa kota, Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan dan Banten.       ·         Di Batavia sebutan kolonial pada waktu itu untuk Jakarta, pemberontakan dimulai pada 12 November 1926, tengah malam. Sasaran penyerbuan di Jakarta diarahkan pada kantor telepon yang berhasil diduduki, merusak kantor dan memutuskan hubungan komunikasi. Penjara Glodok diserbu dan dibuka paksa, para tahanan politik dibebaskan. Pos polisi di Pejagalan dan rumah kepala pemerintahan di Pejaringan dibakar. Hampir semua kantor-

Page 6: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

kantor milik pemerintah kolonial dirusak, jalan-jalan dihadang dengan barikade-barikade. Di Jatinegara, di rumah Asisten Residen, Mr. Cornelis terjadi bentrok bersenjata. Di Tangerang markas Velt Politie berhasil diduduki.

·         Pemberontakan di Banten, rumah-rumah pamong praja diserbu, di Petri, Cening dan Pagelaran. Peledakan jembatan dan pemutusan komunikasi telepon. Karena Pusat Komite pemberontakan di Bandung, maka pemberontakan di seluruh Jawa Barat dan Jakarta serentak dimulai pada tengah malam 12 November, sesuai dengan hasil keputusan Comite Central. Konvoi militer yang sedang melintas dijalan antara Kadujawen dan Kadugedong pada tanggal 14 November 1926  dihadang. Pertempuran terjadi dimana-mana, meski tak seimbang terutama persenjataannya, pemberontakan di Banten bertahan hingga satu bulan.·         PKI Comite Banten merupakan Cabang ke-37 sebagai Comite terakhir waktu itu dibentuk Comite Central PKI. Dimula pembentukannya hanya beranggota sekitar 1.200 orang pada November 1925. Pada Februari 1926 meningkat menjadi 12.000 orang, termasuk 500 orang perempuan. Peningkatan jumlah anggota yang demikian pesat, penyebabnya adalah, tingginya pajak yang dipatok pemerintah kolonial terhadap rakyat, terutama kaum tani. Itu pulalah yang membuat Keputusan Perambanan disambut antusias. Pemberontakan pada 12 November di Banten, menewaskan seorang Belanda bernama Benyamin, seorang pegawai Kereta Api di Menes, Banten, juga para Wedana, asisten Wedana (Camat) dan Polisi.    ·         Di Priangan pemberontakan di bulan November itu, dilakukan dengan  menyerbu pos Polisi Nagrek, memutus jembatan jalan raya di Cirankas, memutus rel kereta api  diatas sungai Citiis. Pemberontakan juga melakukan penyerbuan ke rumah-rumah pamong praja dan kantor telepon, aksi pembakaran di Cimahi dan Batu Jajar. Penghancuran gedung-gedung pemerintah dengan bom di Tasik Malaya. Pertempuran menghadang konvoi tentara Belanda di Cisarua pada 13 November, dan pertempuran terbuka antara Padeglang dan Cisarua, juga dekat Padalarang. Pemutusan hubungan komunikasi di enam tempat dengan memutuskan kawat telepon.·         Di Solo pemberontakan meletus pada 17 November 1926 malam. Pada malam itu ratusan orang  menyerbu kantor dan rumah Panewu Sawahan di Boyolali, yang dijaga kuat oleh polisi. Bentrokan senjata berlangsung sampai 24 November, menyerbu pos-pos polisi, melakukan pengerusakan gardu dan pemutusan kawat listrik, membakar gedung-gedung milik Onderneming. 17 November 1926 malam, rakyat menyerbu rumah Camat Ulu Jati, dan berbagai sasaran lainnya didaerah Pemalang. Didaerah Banyumas dan Kedu sekitarnya pemberontakan tak terjadi, disebabkan bocornya rencana pemberontakan. Pemerintahan kolonial didaerah itu terlebih dulu melakukan penangkapan terhadap pimpinan-pimpinan pemberontakan.·         Di Sumetera Barat pemberontakan, baru dimulai pada Januari 1927, setelah pemerintah kolonial dapat menguasai situasi di Jawa diakhir tahun 1926, tepatnya bulan Desember. Benar bahwa pimpinan pemberontakan Sumatera Barat telah mengetahui bahwa keputusan Konferensi Prambanan, pemberontakan dilakukan pada November 1926. Namun keputusan hari pelaksanaannya belum didapat kabar sampai Desember 1926. Pada Desember 1926 itu akhirnya pimpinan pemberontakan mengadakan pertemuan, dengan keputusan pemberontakan akan dilakukan pada Januari 1927.             

Page 7: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

·         1 Januari 1927 malam, pemberontakan dimulai. Pertempuran terjadi di Sawahlunto, Silungkang dan Padang Sibusuk. Seorang Letnan Belanda  dan Kepala Nagari Padang Sibusuk tewas terbunuh. Di Muara Klaban terjadi pertempuran dengan pasukan polisi lapangan. Penyerangan juga terjadi terhadap polisi yang menjaga jalan kereta api antara Muara Kelantan dan Sawahlunto. Pada waktu yang bersamaan penyerangan juga terjadi di Padang Sibusuk dan Tanjung Ampulu, pemberontakan merambat sampai ke Sungai Lasi, Air Angat Keruh di Koto Gadang, Pasar Ambacang. Benterokan bersenjata masih berlangsung sampai Maret 1927.     ·         Pasca pemberontakan di tahun !926-1927 yang terjadi diberbagai kota itu, pemerintah kolonial menangkap 13.000 orang, sebagian ditembak mati, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim kepembuangan ke Boven Digul, Papua. Dari 13.000 orang yang ditangkap di pasca pemberontakan itu 1.300 orang, diantaranya 4 orang yang divonnis mati, 9 orang yang divonnis seumur hidup dan 99 orang di buang ke Boven Digul, adalah orang-orang yang berasal dari Banten.·         Mereka yang dieksekusi mati ditiang gantungan: Egom, Hasan Bakri dan Dirdja, dari penjara Ciamis, Haji Sukri dengan 5 orang temannya dari penjara Pandeglang, H. Hasan dari Cimaremeh dari penjara Garut, Karta Wirya dan Amen dari penjara Padalarang, Oyod dari Nagrek, Manggulung, Muhammad Yusuf, Sampono Kayo dan Baharuddin gelar Bain dari penjara Sawahlunto. Pemberontakan dikalahkan, Partai Komunis Indonesia dilarang kolonial Belanda.·         Pada tahun 1933, suatu pemberontakan terjadi dikapal perang Belanda, Zeven Provincien. Kapal perang itu diambil alih oleh pelaut-pelaut Indonesia dan Belanda yang bersatu padu di dalamnya. Kapal yang di bombardier terus menerus oleh pemerintah kolonial Belanda tidak memadamkan solidaritas pelaut-pelaut Indonesia dan Belanda. Sekalipun pemberontakan itu bisa dipadamkan, namun ia telah menimbulkan kepercayaan diri yang lebih besar terhadap puluhan juta rakyat Indonesia. Kepercayaan akan memenangkan perjuangannya dalam melawan imperialisme Belanda.  ·         Pada tahun 1938, Muso, kembali ke Indonesia, dan berhasil membangun kembali Partai Komunis Indonesia, bergerak secara illegal. Mr. Amir Syarifudin, Wikana, Widarta, membentuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Menggalang perlawanan melawan fasisme Jepang. Gerakan anti fasis sebelum perang dunia II ini, memberikan bentuk yang lebih konkrit dalam gerakan nasional Indonesia. Gerindo dibawah pimpinan tokoh-tokoh komunis ini berusaha membangun front persatuan nasional pada 1939 yang menyatukan  Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, Partai Islam Indonesia, Persatuan Politik Katolik Indonesia, dengan nama GAPI (Gabungan Politik Indonesia}, melakukan Indonesia berparlemen. Gerakan ini semakin mengukuhkan Indonesia sebagai satu nasion. Sekalipun pemberontakan itu bisa dipadamkan, namun ia telah menimbulkan kepercayaan diri yang lebih besar terhadap puluhan juta rakyat Indonesia. Kepercayaan akan memenangkan perjuangannya dalam melawan imperialisme Belanda.  ·         Pada tahun 1938, Muso, kembali ke Indonesia, dan berhasil membangun kembali Partai Komunis Indonesia, bergerak secara illegal. Mr. Amir Syarifudin, Wikana, Widarta, membentuk Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Menggalang perlawanan melawan fasisme Jepang. Gerakan anti fasis sebelum perang dunia II ini, memberikan bentuk yang lebih konkrit dalam gerakan nasional Indonesia. Gerindo dibawah pimpinan tokoh-tokoh komunis

Page 8: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

ini berusaha membangun front persatuan nasional pada 1939 yang menyatukan  Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia), Persatuan Politik Katolik Indonesia, dengan nama GAPI (Gabungan Politik Indonesia}, melakukan Indonesia berparlemen. Gerakan ini semakin mengukuhkan Indonesia sebagai satu nasion.                   ·         Pada bulan Maret 1941, akibat serangan imperialisme Jepang, Belanda terpaksa melepaskan Hindia Belanda, dari tanah jajahannya.    ·         Gerakan anti Fasis yang diorganisir ini akhirnya tercium oleh penguasa Jepang. Amir Syarifudin ditangkap diadili  diputuskan hukuman mati namun kedekatan Bung Karno dengan penguasa Jepang akhirnya  dirubah menjadi hukuman seumur hidup. Empat tokoh PKI yang bersama Amir Syarifudin ditangkap, disiksa secara biadab hingga tewas. Perjuangan melawan kekuasaan pendudukan militer Jepang berlanjut terus. Rakyat Indonesia melanjutkan perjuangan revolusionernya dalam bentuk-bentuk sabotase di pabrik-pabrik, merusak rel-rel kereta api yang digunakan tentara pendudukan, mengorganisir pemberontakan tani (di Singaparna, Indramayu, Tanah Karo Sumatera Utara dan Blitar), mendorong pengorganisasian pemberontakan didalam pasukan-pasukan tentara pendudukan Jepang antara lain di Blitar. Juga mendorong perlawanan kaum intelektual, mahasiswa, pelajar dan pemuda.

·         17 Agustus 1945, rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya setelah diumumkannya Jepang menyerah kepada Sekutu dalam perang dunia II. Tapi, seketika itu juga Republik Indonesia yang masih muda ini harus menghadapi musuh-musuhnya yang kuat, yang menjadi pemenang-pemenang Perang Dunia II, khususnya Inggeris dan Belanda yang didukung imperialisme Amerika Serikat. Disamping menggunakan angkatan bersenjata yang didukung persenjataan modern dibanding dengan yang digunakan oleh kekuatan bersenjata Republik Indonesia, kaum imperialis juga menggunakan senjata politik dan diplomasi. Kaum imperialis mendirikan negara-negara boneka, mengepung Republik dan berusaha memecah belah kekuatan revolusi dari dalam dengan mempergunakan orang-orang reaksioner yang mempunyai kedudukan penting di Republik.·         Pada Januari 1948, dengan menggunakan intrik-intrik politik, intimidasi-intimidasi dan dengan bantuan klik reaksioner dan komprador didalam pemerintahan Republik, berhasil menggulingkan pemerintahan revolusioner Amir Syarifudin. Amerika Serikat mendesak Belanda dan Indonesia agar melangkah pada perundingan melakukan kompromi-kompromi, mulai dari Perundingan Linggar Jati dan Renvile. Kabinet Amir Syarifudin yang didukung banyak partai-partai termasuk partai besar PNI dan Masyumi, maju ke Perundingan  Linggar Jati dan Renvile. Perundingan mencapai persetujuan yang membuahkan wilayah kekuasaan militer Belanda menjadi semakin luas, berarti wilayah kekuasaan Republik semakin menyusut. Partai besar yang mendukung Kabinet Amir, PNI dan Masyumi keluar dari kabinet. Amir Syarifudin lalu mengembalikan mandat kepada Presiden.·         Segera setelah itu Presiden menyerahkan pembentukan kabinet kepada Wakil Presiden Moh. Hatta. Kabinet yang dipimpin Moh. Hatta sama sekali tidak mengikutkan wakil-wakil dari kaum komunis dan yang dianggap kiri. Dengan memaklumatkan “reorganisasi dan rasionalisasi” kekuatan bersenjata, Moh. Hatta secara terbuka telah menyatakan anti komunis dan anti golongan progressif lainnya. Pada 8 Mei 1948 Hatta bersama pimpinan tentara,

Page 9: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Sudirman, Nasution, Latief, Subiyakto dan Suryadarma mengadakan sidang Dewan Siasat Militer yang memutuskan 1. TNI Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. 2. Hatta bersedia memberi basis militer kepada Amerika Serikat yang ditukar dengan senjata.·         Pada Het Corps Algemene Politie the Batavia, terdapat laporan yang sangat rahasia 1 April 1948, antara lain berbunyi: Sementara itu telah diadakan pertemuan rahasia antara Graham, Soekarno dan Soekiman. Graham mengatakan Indonesia dianggap layak untuk dimasukkan dalam pelaksanaan bantuan Marshall Plan untuk Asia Tenggara, agar pemerintah membendung semua kegiatan sayap kiri sebagai syarat utama.                ·         Pada pemerintahan Hatta pasukan divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat dan tersebar diwilayah eks keresidenan Surakarta. 21 Juli 1948 ada pertemuan di Hotel Heisje Hansje Sarangan Madiun. Pertemuan itu dihadiri Grald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (wakil baru Amerika Serikat, pengganti Graham dalam Komisi Jasa-jasa Baik), Soekarno, Hatta, Sukiman (ketua Masyumi dan Menteri Dalam Negeri), Mohammad Roem (Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto (Roger Vaillan, Borobudur). Pertemuan itu tidak dihadiri wakil dari PNI meskipun PNI masuk dalam Kabinet Hatta. Setelah pertemuan Sarangan atas laporan Cochran, State Departmen (Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat), sudah sepantasnya posisi Hatta harus diperkuat secepatnya. Lalu Kepala Polisi Soekanto diutus ke Amerika Serikat untuk  menerima bantuan. Bantuan yang diterima Hatta sebanyak 56 (Lima Puluh Enam) juta dollar AS. Bantuan ini digunakan Hatta antara lain untuk Divisi Siliwangi. Dimulailah babak baru pembasmian kembali Partai Komunis Indonesia yang semula dilakukan oleh kolonial Belanda dan tentara pendudukan Jepang.   ·         Pada Agustus 1948 tanpa kehadiran Panglima Soedirman, pimpinan Angkatan Darat mengadakan pertemuan, pertemuan itu mensinyalir adanya ancaman PKI terhadap jalannya perundingan dengan Belanda, keamanan dalam negeri dan reorganisasi-rasionalisasi TNI. Nasution mengatakan kesediaannya menggunakan Divisi Siliwangi sebagai kekuatan penghancur PKI.·         Bermula ada tindakan penculikan terhadap Slamet Widjaja dan Pardijo, keduanya anggota PKI Solo, Slamet Widjojo adalah juga sekretaris FDR (Front Demokrasi Rakyat). Keduanya dinyatakan diculik oleh gerombolan liar, ternyata keduanya ditahan  dipabrik gula Tasik Madu yang dijadikan markas satu kesatuan dari  Pasukan Siliwangi. Lalu disekap di kamp pemerintah di Yokja. Letkol Suadi, Komandan Divisi IV/Panembahan Senopati, pada 7 September 1948, menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suprapto, Kapten Supardi dan Kapten Suradi mengusut penculikan. Namun kelimanya tidak kembali, hanya sepeda mereka yang dijumpai didepan Markas Kompi Lucas, kesatuan Kompi Divisi Siliwangi. Pada 8 September 1948, diutus Letkol Suarman untuk menyelesaikan hal yang sama, perwira inipun tidak kembali. Sehari sebelumnya tanggal 7 September 1948 terjadi penculikan terhadap hampir semua perwira dan beberapa perajurit anak buah Letkol Yadau dari Brigade TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia), bersama dengan empat orang perwira staf Satuan Laut Overste Sujoto. Mereka yang diculik ini ditahan di Markas Batalyon Rukman ( kesatuan Divisi Siliwangi) di Srambatan. Diantara mereka yang diculik ada yang dibunuh.·         Malam hari tanggal 8 September Barisan Banteng yang berkoordinasi dengan pasukan pemerintah menyerang Markas Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) di Solo, lalu membawa arsip-arsip Pesindo dan menculik perwira-perwira yang sedang berada di markas tersebut. 9

Page 10: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

September 1948 Suadi Komandan Panembahan Senopati mendapat izin dari Panglima Soedirman utuk mengadakan penyelidikan terhadap peristiwa-peristiwa penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota Solo. Suardi menugaskan Letkol Sunarto. Akan tetapi Letkol Sunarto, yang bertugas tak kembali, ditahan di Markas Siliwangi Srambatan. Suadi minta agar Letkol Sunarto dikembalikan dan mengultimatum Kesatuan Siliwangi Srambatan. Sebelum ultimatum itu berakhir Suadi menugaskan Mayor Sutarno dari kesatuan ALRI ke Srambatan. Ketika Mayor Sutarno tiba di Markas Siliwangi Srambatan langsung ditembak. Akibatnya Markas Siliwangi Srambatan langsung diserbu Satuan Panembahan Senopati dan Satuan Brigade Suyoto. Panglima Soedirman memerintahkan genjatan senjata.·         13 September 1948 Dr. Muwardi pimpinan Barisan Banteng, hilang dan tidak kembali. Barisan Banteng mengultimatum Pesindo, agar Pesindo mengembalikan Dr. Muwardi. Tapi sebelum ultimatum itu berakhir waktunya, Barisan Banteng telah menyerbu markas Pesindo. Ultimatum Barisan Banteng membuat Satuan Laut Yadau bergerak dari daerah demarkasi menuju Solo, dengan maksud membantu Pesindo. Satuan Laut Yadau yang masuk lewat Utara dan Barat dihadang pasukan Siliwangi, sedang pasukan Panembahan Senopati yang memungkinkan dapat membantu berada jauh dibagian Selatan kota Solo.·         Musso bersama Amir pada waktu itu sedang berada di Cepu dalam rangka kampanye tentang Kongres V PKI (atau yang disebut juga Kongres Fusi tiga partai Marxis: PKI, Partai Sosialis, dan Partai Buruh), yang direncanakan pada Oktober 1948. Mendengar peristiwa penembakan Mayor Sutarno, Amir Syarifudin sebagai Ketua Komisi Militer Comite Central, mengintruksikan Sakirman sebagai Wakil Ketua Komisi) dan perwira-perwira lain yang setuju dengan garis perjuangan PKI datang ke Solo agar melokalisir peristiwa Solo tidak menjalar ke daerah lain. Panglima Soedirman memerintahkan genjatan senjata. Namun Divisi Siliwangi dengan terang-terangan melanggarnya masuk ke kota Solo. 15 September 1948. Pasukan Panembahan Senopati dan TLRI menyerang Pasukan Siliwangi. 16 September 1948 gedung Dewan Pusat Pesindo di jalan Singosaren diserbu Pasukan Siliwangi dan Barisan Banteng. Maka kota Solo pun menjadi medan pertempuran.·         Selang waktu itu pula ada pertemuan Soedirman, AH Nasution dan Gatot Subroto, Panglima Soedirman menunjuk Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer daerah Surakarta dan Semarang. Segera setelah ditunjuk menjadi Gubernur Militer, Gatot Soebroto langsung memerintahkan pada Divisi Siliwangi menggempur semua pasukan yang disebutnya pasukan pengacau. Pasukan Panembahan Senopati, TLRI dan Pesindo akhirnya menyingkir dari daerah Surakarta.·         Di Madiun mulai terjadi berbagai provokasi lewat perampokan-perampokan yang dilakukan SR (Serikat Rakyat), akan tetapi yang menjadi sasaran penangkapan adalah orang-orang PKI meski dilepas karena tak terbukti. Terjadi pertempuran kecil antara Pasukan Siliwangi dan Mobrig dengan Brigade 29.·         Dalam keadaan yang demikian Residen Madiun Samadikun tak ada ditempat. Mengatasi kekosongan itu Wakil Walikota Soepardi diangkat sebagai Residen Sementara, usulan ini datang dari Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan disetujui Wakil Residen Sidharto, karena dia merasa tidak mampu mengatasi keadaan yang kacau dan juga Walikota Madiun Probosisworo yang sakit-sakitan.

Page 11: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

·         Setelah pelantikan Soepardi sebagai Residen di Madiun Overste Soemantri Komandan Sub Teritorial mengirim telegram kepada Presiden Soekarno di Jokja, juga kepada Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri. Telegram tersebut meminta intruksi lebih lanjut. Juga menyebutkan keputusan pengangkatan Soepardi bersifat sementara sampai Residen Madiun Samadikun kembali bertugas. Atas dasar telegram itu Soedirman mengutus overste Soeharto melakukan peninjauan ke Madiun. Di Madiun Soeharto disambut Gubernur Militer Sumarsono, diajak meninjau seluruh kota dan penjara-penjara di Madiun. Keadaan kota aman dan tak terdapat tahanan politik.·         Anehnya oleh Hatta didepan Rapat BPKNIP mengatakan: “Entah benar entah tidak, di Madiun ada pemberontakan PKI Musso”. Pernyataan ini pulalah menjadi dasar, melancarkan penumpasan terhadap orang-orang komunis dan oganisasinya. 18 September 1948 pada pagi buta, para peserta Konferensi SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Jokja digrebeg Mobrig (Mobil Brigade), para peserta ditangkapi dan dipenjarakan. Bukan hanya ke 100-an peserta Konferensi yang dipenjarakan, 2000 orang komunis dan yang dianggap berfikiran sama dengannya di sekitar Jokja turut dipenjarakan. Mereka dituduh terkait pemberontakan di Madiun. Kebohongan yang terjadi adalah pemberontakan Madiun itu sendiri mereka katakan terjadi pada 18 September 1948. ·         Bermula, “entah benar entah tidak, di Madiun ada pemberontakan PKI Musso”pernyataan Hatta itu, 8000 anggota PKI dibunuh (menurut Reid) dan tokoh-tokoh PKI dibantai dan dikubur satu liang di desa Ngalihan, Solo. Sardjono, anggota Polit Biro CC PKI, Maruto Darusman, anggota Polit Biro CC PKI dan Ketua Umum Sarbupri, Suripno, anggota Polit Biro CC PKI, ex anggota Pekerja Federasi Pemuda Demokratik Sedunia dan ex Duta Istimewa RI di Eropah Timur, Harjono anggota Polit Biro CC PKI dan Ketua Umum SOBSI, Mr. Amir Syarifudin anggota Polit Biro CC PKI, ex Perdana Menteri RI dan ex Menteri Pertahanan RI, Oei Gee Hwat, anggota PKI dan anggota Central Biro SOBSI, Soekarno, anggota PKI dan anggota Dewan Pusat Pesindo, Rono Marsono, anggota PKI, D. Mangku, anggota PKI, Pemimpin Majalah Bangun, Katam Hadi anggota PKI, ex Jenderal Mayor ALRI, Djoko Soejono, anggota PKI, Jenderal Mayor TNI. 41 orang di Magelang diberondong mati, salah seorang diantaranyanya meloloskan diri kemudian bergabung bergerilya di Merbabu dan Merapi. Di Kediri berpuluh-puluh orang, termasuk Dr. Roestam anggota fraksi PKI di BPKNIP di bunuh. Di Pati antara lain Dr. Wiroreno, Sekretaris Comite PKI Pati dan Ketua Pemerintahan Front Nasional Pati, ditembak mati oleh Pasukan Siliwangi dialun-alun Pati.·         Disamping ribuan yang dibunuh, 35 ribu orang lagi yang dipenjarakan. Setelah penumpasan orang-orang komunis, pasukan hijrah Divisi Siliwangi yang semula tersebar diseluruh Keresidena Surakarta, menghilang. Sedangkan Pasukan Panembahan Senopati yang menjadi andalan daerah Surakarta telah ditumpas. Yang selamat menghindar menyatu dengan rakyat atau membentuk kesatuan-kesatuan kecil bergerilya bersama rakyat. Selang tak lama sesudah itu Pasukan Belanda, melenggang memasuki kota Solo dan Jogja tanpa perlawanan. Dan Bung Karno dan Hatta ditawan Belanda.·         Dibulan Desember 1948, setelah mematahkan kekuartan kaum komunis dan kekuatan kaum progresif selama dan dalam “Peristiwa Madiun” terbukalah jalan bagi pemerintahan Hatta melakukan kompromi-kompromi dengan pemerintah Belanda. Dibawah acuan wakil-wakil imperialis Amerika Serikat, pemerintahan Moh. Hatta dan Pemerintah Belanda

Page 12: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

menanda tangani persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), persetujuan yang tidak bisa lain kecuali menempatkan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan. Konferensi ini pulalah yang menghasilkan, persetujuan pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat. Semua negera-negara bentukan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia menjadi negara bagian. Irian Barat tetap dikuasai Belanda. Dan hutang-hutang Hindia Belanda dibebankan kepada Indonesia, termasuk biaya perang agresinya setelah rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.·         Awal 1950-an terjadi kebangkitan baru gerakan rakyat Indonesia setelah mendapat pukulan berat dalam peristiwa Madiun. Aksi-aksi anti KMB dalam bentuk-bentuk demonstrasi-demonstrasi massa rakyat dihampir seluruh kota-kota besar di Indonesia menuntut pembatalan KMB dan pembubaran Negara-negara boneka buatan Van Mook. Satu persatu negara-negara bagian itu (Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Maluku Selatan dan lain-lainnya) pada akhirnya dibubarkan, kemudian RIS pun yang merupakan hasil perundingan KMB dibubarkan dan kembali ke Negara Kesatuan RI dengan Undang Undang Dasar Sementara yang disusun pada tahun 1950.·         Sekalipun sejak awal 1950-an PKI telah melancarkan bentuk perjuangan demokratis parlementer – Jalan Damai – namun kaum anti komunis dalam negeri tidak henti-hentinya mencari, bahkan menciptakan kesempatan untuk menyerang PKI. Kaum anti Komunis tidak pernah rela melihat muncul dan berkembangnya PKI keseluruh negeri. Pada bulan Agustus 1952, Pemerintah Soekiman (Masyumi) melakukan razia serentak diseluruh Indonesia, menangkapi ribuan kaum komunis dan kaum progresif lainnya, yang kemudian dikenal sebagai “Razia Agustus Soekiman”. Perlawanan dilakukan massa rakyat dengan demonstrasi-demonstrasi protes dikota-kota besar dan perlawanan partai-partai oposisi di parlemen RI, bahkan dari fraksi partainya sendiri menyebabkan pemerintah melepaskan para tahanan, bahkan menjadi bumerang bagi pemerintah dan menjadi salah satu penyebab pemerintahan Soekiman terguling.·         Pada 17 Oktober 1952, demonstrasi bersenjata diorganisir petinggi-petinggi Angkatan Darat mengobrak-abrik DPRS-RI di Jalan Dr. Wahidin seraya mengarahkan mulut-mulut meriam ke Istana Merdeka. Lalu delegasi yang dipimpin oleh Kolonel AH Nasution waktu itu menjabat KSAD mendatangi Presiden Soekarno, menuntut ditandatanganinya sebuah Dekrit yang telah disiapkan sebelumnya. Dekrit itu menuntut agar Presiden membubarkan parlemen RI dan termasuk juga pembubaran PKI, yang mereka anggap telah mencampuri masalah internal Angkatan Darat. Dengan dibubarkannya Parlemen, diharapkan akan dapat ditegakkan sebuah “Junta Militer” yang dipayungi kewibawaan Presiden Soekarno. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Peristiwa 17 Oktober” itu pada hakekatnya adalah juga usaha hendak mematahkan perkembangan PKI yang mulai bangkit kembali sesudah mendapatkan pukulan pada Peristiwa Madiun. “Peristiwa 17 Oktober” ini juga merupakan titik awal golongan militer yang anti komunis didalam Angkatan Darat turut campur secara langsung dalam kehidupan politik di Indonesia.     ·         UUD Sementara, adalah UUD yang bersifat sementara, Presiden harus segera menyiapkan penyelenggaraan pemilihan Umum agar terbentuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Konstituante dan sekali gus membuat Undang-Undang Dasar menggantikan UUDS. Pada tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum demokratis pertama di Indonesia

Page 13: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

untuk memilih anggota DPR dan anggota Konstituante. Hasil dari pemilihan umum itu membuat PKI menjadi partai empat besar, dibawah PNI,Masyumi dan NU. Sejak itu perjuangan parlementer menjadi program perjuangan PKI yang dikombinasikan dengan aksi-aksi massa.·         Di Tahun 1956 lahir suatu gerakan dibeberapa daerah, yang semula hanya merupakan bentuk pernyataan ketidak-puasan terhadap pengelolaan ekonomi didaerah-daerah, tetapi kemudian berkembang menjadi pemberontakan sparatis PRRI/Permesta pada tahun 1957 yang pada hakekatnya juga adalah gerakan anti komunis, seperti yang diakui Jenderal Soeharto dalam biografinya: “Panglima-panglima Daerah dan kaum politisi yang kecewa membentuk “dewan-dewan” dan bahkan memproklamirkan pemerintahan saingan. Gerakan ini berakar pada perlawanan terhadap kerja sama Soekarno yang semakin dekat dengan komunis didalam dan diluar negeri”.(VG Roeder: Soeharto dari Prajurit sampai Presiden). Gerakan sparatis ini juga melakukan pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI didaerah-daerah dimana mereka berkuasa seperti pembunuhan yang mereka lakukan di Situjuh, Sumatera Barat. Pemberontakan PRRI (Pemeritah Revolusioner Republik Indonesia)/Permesta (Perjuangan Semesta) merupakan pemberontakan daerah paling luas sepanjang sejarah RI. Dewan Banteng di Sumatera Barat dipimpin Letkol Achmad Husein, Dewan Garuda di Sumatera Selatan dipimpin Letkol Berlian, Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin Kolonel Simbolon. Di Sulawesi, Permesta yang dipimpin Letkol Samuel.·         Pada tahun itu juga diberlakukan Keadaan Darurat Perang (SOB) diseluruh Indonesia. Keadaan Darurat Perang yang memberi peluang kepada militer untuk menguasai perusahaan Negara, hasil pengambilalihan kaum buruh atas perusahaan-perusahaan Belanda dalam rangka aksi pengembalian Irian Barat ke kedaulatan Republik Indonesia.·         Sementara itu Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955, setelah empat tahun menyelenggarakan sidang-sidangnya untuk menyusun UUD RI mengalami jalan buntu. Tak ada satupun UUD yang disusun mendapat dua pertiga suara yang merupakan syarat untuk diterimanya sebuah rancangan UUD menjadi UUD yang syah. Bahkan untuk kembali ke UUD 45 juga tidak mendapat persetujuan dua pertiga suara sekalipun didukung mayoritas suara, PNI dan PKI. Untuk mengatasi ketidak adanya keputusan sidang-sidang Konstituante dan menemui jalan buntu itu yang dipandang sebagai kegagalan demokrasi liberal di Indonesia serta untuk mencegah perpecahan nasional lebih lanjut akibat terjadi pemberontakan-pemberontakan diberbagai daerah, Presiden Soekarno, memaklumatkan Dekrit 5 Juli 1959, diberlakukakannya UUD 1945 dan membubabrkan Konstituante dan DPR hasil Pemilu 1955 serta dibentuklah Badan Legislatif dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Lainnya, disesuaikan dengan Dekrit tersebut, seperti DPR-GR, Depernas dan lain-lain.·         PKI mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan sekaligus mendukung Demokrasi Terpimpin yang menyusulnya. Pertimbangannya, bahwa Demokrasi Terpimpin dibawah Presiden Soekarno adalah anti diktator militer dan menentang diktator perorangan. Sekalipun kekuatan progresif sudah semakin membesar, ancaman Diktatur Militer pada waktu itu bukan lagi ancaman yang laten melainkan telah merupakan ancaman riil dan aktual. Kecuali itu PKI mempercayai kepemimpinan Soekarno yang menjalankan politik anti imperialis dan berupaya melikwidasi feodalisme dengan diundangkannya UUPA dan UUPBH.

Page 14: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

·         Priode diberlakukannya Keadaan Darurat Perang (SOB) dan Demokrasi Terpimpin, provokasi-provokasi masih terus dilancarkan terhadap PKI. Dimulai ketika Polit Biro CC PKI mengeluarkan “Statemen Juli, ditahun 1960, merupakan pernyataan PKI memberikan penilaian setahun usia Kabinet Djuanda yang bukan saja tidak berhasil melaksanakan program-programnya, melainkan juga telah melakukan penyelewengan terhadap Manipol dan Dekon yang menjadi haluan politik dan ekonomi Negara pada waktu itu. Anggota-anggota Pimpinan PKI (Polit Biro CC PKI) diintrogasi oleh Penguasa Perang Pusat, bahkan seorang diantaranya ditahan. Sebulan kemudian terjadi apa yang juga dikenal kemudian sebagai peristiwa “Tiga Selatan”, yaitu tindakan Penguasa Perang Daerah di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan melarang kegiatan PKI didaerahnya dan menangkapi kader-kader PKI didaerah-daerah tersebut.·         Tindakan anti demokrasi dan anti komunis itu justru dilakukan ketika PKI dengan segenap anggotanya baru saja mengambil bagian aktif dan memberikan korban paling besar kader-kadernya dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta bersama dengan TNI. Hanya dengan kewaspadaan politik PKI dan campur tangan langsung Presiden Soekarno, povokasi-provokasi itu tidak berkembang menjadi perburuan terhadap kaum komunis seperti apa yang dilakukan pemerintah Hatta sepuluh tahun sebelumnya dalan Peristiwa Provokasi Madiun.·         Mengapa penuturan ini dimulai dari mula perkembangan PKI, dan pukulan-pukulan serta provokasi-provokasi yang dialaminya. Mengapa tidak langsung pada masalahnya. Jawabnya adalah, bahwa suatu peristiwa itu tidaklah terjadi, berdiri sendiri. Apapun peristiwannya, pasti peristiwa itu memiliki saling hubungan dengan adanya peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ada benang merah antara sebab dan akibatnya. Sejak semula berkembang dan mendapatkan simpati dan dukungan rakyat Indonesia terhadap PKI membuat dan menimbulkan penindasan dari kolonial Belanda dan fasis Jepang. Kemudian setelah  proklamasi kaum anti komunis Indonesia yang didukung secara dana yang besar dari imperialis Amerika Serikat baik dikalangan pemerintahan dan TNI, juga dikalangan TNI sendiri terjadi belahan yang menjadi pemicu perpecahan terutama dikalangan Angkatan Darat. Mari telusuri benang merah itu dari penuturan ini.·         Ketika terjadi peristiwa 30 September 1965, peristiwa penculikan yang dilakukan “Gerakan 30 September” oleh perwira-perwira AD sendiri terhadap enam Jenderal, dan seorang perwira AD, untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal. Ada petunjuk bahwa, ada beberapa pimpinan sentral PKI melibatkan diri didalamnya, maka terulanglah kembali provokasi dan teror terhadap PKI. Kekuatan AD yang anti komunis mengambil kesempatan ini, menyerang PKI diseluruh negeri. Perburuan dan pembunuhan baik setelah dilakukan penangkapan, maupun sebelumnya, terhadap kaum komunis dilancarkan diseluruh negeri secara amat terarah. PKI sendiri tidak melakukan perlawanan, karena tidak siap sama sekali, baik ideologis, organisasi dan politik dalam menghadapi serangan kekerasan yang dahsyat itu. Organisasinya lumpuh, terkeping-keping tidak berdaya, kader dan anggotanya tercerai berai, terbunuh dalam keadaan passif.

Di Sumatera Uatara:

Penghilangan Paksa dan Kehancuran Organisasi Buruh

Page 15: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Perkebunan Sumatera Utara, 1965-1967Pengantar

Perkebunan di Sumatera Utara merupakan sumbangan utama bagi devisa pemerintah Indonesia. Produksi tanaman dari perkebunan besar itu memberikan kontribusi 4 miliar dolar AS. Jumlah itu berasal dari hasil 4,41 juta ton per tahun. Sekitar 27 persen dari bentangan alam Sumatera Utara merupakan lahan perkebunan atau seluas 1,92 juta hektare yang terdiri dari 15 kabupaten (kontan, 27 Mei 2012). Perkebunan ini pada masa kolonial Belanda dikenal sebagai cultuurgebied atau perkebunan Deli. Pada waktu itu areal perkebunan terletak dipesisir bagian timur Sumatera. Namun sejak 1970-an telah meluas jauh hingga bentangan alam bagian barat Sumatera. Awalnya yang menggerakkan perkebunan Sumatera Utara ini seluruh komponennya diimpor dari luar mulai dari modal, teknologi,staf ahli hingga tenaga kerja. Tenaga kerja didatangkan dari wilayah Cina bagian selatan dan kemudian buruh didatangkan dari Jawa dengan status kerja kontrak. Pada masa kolonial buruh perkebunan tak diizinkan beraktivitas politik termasuk berkumpul dalam organisasi massa. Kaum buruh perkebunan dikenakan poenale sanctie. Buruh kontrak yang tidak patuh mendapatkan hukuman pemotongan upah dan penambahan jam kerja. Sedangkan, buruh yang melarikan diri diwajibkan membayar biaya yang digunakan perkebunan untuk melacak dan membawa kembali buruh kontrak. Hukumman itu berlaku hingga memasuki priode pendudukan Jepang.

Pada 1957-1958 Presiden Soekarno mengumumkan pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kondisi ini mengakibatkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan asing diseluruh perkebunan Sumatera Utara. Pimpinan militer mengambil banyak wewenang pada perusahaan milik Belanda itu di Sumatera Utara. Penguasaan perkebunan oleh pihak militer adalah untuk mengontrol kaum buruh perkebunan yang bergejolak sejak 1950-an hingga 1960-an. Selain itu, pada 1957 Soekarno menyelenggarakan demokrasi terpimpin dan partai serta organisasi massa bertumpu pada dirinya. Sementara itu, Angkatan Darat menguasai direksi perkebunan dan mengontrol konflik bersenjata. Kondisi itu membuat Dewan Banteng pimpinan Letkol Simbolon bergerak mundur hingga kepedalaman Tapanuli.

Pemogokan yang dilancarkan oleh kaum buruh perkebunan di Sumatera Utara bertujuan mendapatkan hak mereka seperti catu makan, upah, dan perumahan. Hampir seluruh tuntutan kaum buruh disana dipenuhioleh pihak perusahaan. Sementara itu, pimpinan kaum buruh dalam dewan perusahaan untuk mengontrol produksi. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya menonjol dalam aksi tuntutan kaum buruh di provinsi tersebut. Demikian pula Barisan Tani Indonesia (BTI) mendukung kaum petani di Suamtera Utara untuk menguasai tanah-tanah bekas perkebunan. Situasi ini meresahkan para pemilik kapital, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, seperti Belanda, Belgia, dan Inggris. Produksi perkebunan tetap berjalan dengan pengorganisasian kaum buruh dan tidak ada anggota Sarbupri yang tidak mendapatkan upah dan hak-hak lainnya.

Meletusnya peristiwa Gerakan 30 Sepetember (G 30 S) 1965 di Jakarta membuat kondisi kehidupan kaum buruh dan petani di Sumatera Utara terbalik 180 derajat. Mereka diusir dari pekerjaannya di perkebunan. Mereka pun diperiksa dan digagahi di sebagian kamp tahanan yang dibentuk di kota dan desa. Pimpinan yang aktif dalam Sarbupri, terutama dalam Dewan Perusahaan, pimpinan BTI dan orang-orang yang mengorganisir lingkungan desa seperti Pemuda Rakyat (PR) dibawa ke kamp dan diambil untuk dihilangkan paksa di aliran sungai

Page 16: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

seluruh Sumatera Utara. Setidaknya tercatat ada tiga wilayah korban penghilangan paksa ataupun dibunuh yakni Labuhan Batu, Simalungun dan Langkat. Selain itu, ada tempat tahanan disebut Tempat Penampungan Umum (TPU), dan tempat Penitipan Sementara (TPS). Pada umumnya TPU berada di Kota Medan, sedangkan TPS berda di kecamatan. Di kedua tempat tersebut terjadi banyak penghilangan paksa dan pembunuhan. Pengambilan paksa para tahanan terjadi sejak Nopember 1965 dan terus berlangsung hingga Maret 1967. Beberapa bekas tahanan politik (tapol) menyatakan bahwa penyusutan pengambilan paksa terjadi setelah pasukan Brawijaya masuk dan menertibkan Komando Aksi dan Tentara Bukit Barisan dari pembantaian massal.  

Meskipun penghilangan paksa dimulai pada November 1965, penyerangan dan pembakaran terhadap organisasi serikat buruh dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah berlangsung pada Oktober. Situasi ini berbeda dengan wilayah lain seperti Jawa dan Bali akibat dari peristiwa G 30 S 1965. Di Sumatera Utara, terutama di Medan. Tindakan untuk menghancurkan PKI dan terutama organisasi buruh sangat cepat. Pada 12 Oktober 1965 kantor Sarbubri yang juga kantor Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Medan, dibakar dan dihancurkan oleh Komando Aksi yang dikawal oleh tentara. Demikian pula, pada 16 Oktober kantor Comite Daerah Besar (CDB) PKI Sumatera Utara  yang terletak di Jalan Sisingamangaraja di depan Makam Pahlawan, Medan dibakar oleh organisasi yang sama dengan dukungan tentara. Apa yang menyebabkan penghancuran organisasi massa dan PKI ini sangat cepat dilakukan oleh Komando Aksi dengan bantuan tentara? Apakah tindakan penghancuran Sarbubri berkaitan dengan kepentingan kapital perkebunan asing? Proses penghilangan paksa para pimpinan organisasi massa di perkebunan banyak difasilitasi oleh perusahaan perkebunan. Para korban yang selamat dan kami wawancarai mengatakan bahwa, “Pengambilan korban dengan menggunakan truk dan hansip perkebunan”. Juga, penting diuraikan tentang bagaimana pola penghilangan paksa para pimpinan organisasi massa itu? Apa polanya mirip dengan yang berlangsung di pedesaan Jawa, bahwa pimpinanlah yang pertama kali dilenyapkan agar mudah menganiaya anggota dan menghancurkan serikat buruh serta organisasi massa?

Agar dapat memahami pola penghilangan paksa terhadap pimpinan Sarbupri dan organisasi massa serta kaum kaum tani perlu diberikan gambaran latar belakang perkebunan Sumatera Utara. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh pimpinan serikat buruh dan organisasi massa di perkebunan dan pedesaan. Pada akhirnya aktivitas mereka pun dibungkam untuk selamanya oleh militer demi kepentingan kapital. Kelas pekerja perkebunan dan petani liar yang menduduki tanah perkebunan mempunyai basis dan dukungan yang berbeda. Meskipun kedua kelas tersebut tidak terlepaskan dalam menghadapi perusahaan perkebunan.

Kaum Buruh dan Petani “Liar” di Perkebunan Sumatera Utara

Generasi pertama buruh perkebunan Sumatera Utara dikenal dengan panggilan “Jakon” atau “Jawa Kontrak”. Mereka datang dari Jawa mulai awal abad ke-20 dan bekerja di perkebunan dengan dikenakan sistem kerja kontrak. Perusahaan perkebunan memberlakukan sistem kerja kontrak hanya untuk buruh yang berasal dari luar Sumatera Utara. Hingga 1930 perusahaan perkebunan telah telah mendatangkan hingga mencapai satu juta lebih buruh

Page 17: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

kontrak yang terdiri dari pria, perempuan dan anak-anak. Mereka bekerja di perkebunan tembakau dan karet. Pihak perkebunan akan menghukum buruh perkebunan yang tidak patuh terhadap aturan perusahaan, pindah ke perkebunan lain, atau kabur dari perkebunan.  Akibat sistem kontrak itu banyak buruh yang dikenakan hukuman gantung, penjara dan bentuk penyiksaan lain. Kaum buruh perkebunan pun dilarang untuk mendirikan atau menjadi anggota organisasi serikat buruh. Sebaliknya, organisasi massa juga tidak diperbolehkan praktik atau melakukan aktivitasnya di perkebunan (Bremen 1997:56).

Selain itu rasialisme dan diskriminasi dijalankan oleh perusahaan perkebunan. Misalnya, orang Batak dari Tapanuli banyak yang bekerja di perkebunan sebagai kerani atau juru bayar pengupahan kaum buruh. Suku Batak Tapanuli memandang buruh kontrak sebagai pekerja yang buruk dan menjadi musuh alamiah mereka. Demikian pula, perusahaan perkebunan tidak menyelenggarakan sekolah bagi anak-anak “Jakon”. Pihak perusahaan sangat minim menyelenggarakan kesehatan bagi kaum buruh. Buruh perkebunan disediakan pondok sederhana dipinggir perkebunan. Pihak perusahaan juga memberikan sebidang tanah dipinggir perkebunan agar buruh dapat bercocok tanam. Cara perkebunan seperti itu dilakukan agar ongkos reproduksi menjadi lebih murah. Cara perusahaan itu juga untuk tidak memiskinkan sama sekali kaum buruhnya. Dalam kondisi seperti itu kaum buruh dapat bekerja di perkebunan dan bercocok tanam ditanah-tanah yang disediakan. Sepanjang masa kolonial buruh perkebunan melakukan perlawanan tanpa henti terhadap perusahaan. Mereka secara individu dan spontan melawan tuan dan asisten perkebunan. Banyak tuan dan asisten perkebunan yang terbunuh oleh pisau “penderes” pohon karet.

Pada pendudukan militer Jepang perkebunan digunakan untuk penanaman tanaman makanan. Buruh perkebunan oleh militer Jepang diizinkan untuk menduduki dan mengolah tanah perkebunan. Hampir sekitar 250 ribu hektare dari 700 ribu hektare lahan perkebunan diduki kaum buruh. Namun demikian kelas pekerja perkebunan tidak lepas dari kekejaman militer Jepang dan hampir separo dari jumlah buruh perkebunan dipekerjakan sebagai romusha di pedalaman Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Birma. Diperkirakan hampir lima puluh persen dari jumlah keseluruhan kuli kontrak tidak kembali dari kerja paksa sebagai romusha (Stoler 1996:76).

Setelah Perang Dunia II hampir separo perkebunan rusak total dan yang sangat penting adalah pihak perusahaan mengalami kekuarangan buruh. Banyak pemilik perusahaan perkebunan yang balik ke Sumatera Utara lagi berkeinginan untuk kembali ke masa perkebunan kolonial. Sementara itu sekitar 130 ribu perkebunan telah diduduki oleh bekas kuli kontrak. Perusahaan perkebunan tidak dapat lagi menjalankan praktik kerja kontrak tertutup dan mereka mesti mengizinkan serikat-serikat buruh untuk membela kepentingan kaum buruh perkebunan. Sarbupri yang berdiri pada 1946 sangat aktif membela hak-hak kaum buruh perkebunan. Tahun setelah pergolakan daerah, perkebunan lama seperti Labuhan Batu, Simalungun dan Langkat mulai didatangi lagi para migran Jawa meski belum banyak. Pada 1951 sistem kerja kontrak ditegakkan lagi dengan pengawasan dari Departemen Perburuhan Republik Indonesia. Terdapat persyaratan bahwa buruh hanya dikontrak oleh perusahaan selama 3 tahun dan setelah itu dapat melakukan hubungan kerja dengan perusahaan melalui serikat buruh. Mulai 1951 hingga 1958 mengalir buruh migran dari Jawa menuju perkebunan sebanyak 29 ribu orang.  Kemudian 1960-an, jumlah buruh kontrak meningkat hingga mencapai 38 ribu orang.

Page 18: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Selama priode 1950-an, Sarbupri mempunyai anggota buruh perkebunan sekitar 100 ribu orang dan ini menjadi anggota SOBSI terbesar di Sumatera Utara (Stoler 1996:77). Buruh perkebunan melancarkan pemogokan bila jatah makan, upah dan perumahan diabaikan oleh pihak perusahaan. Perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang karet seperti Wingfoot dan Goodyear di Labuhan Batu sering dilanda pemogokan. Pada dekade 1950-an misalnya terjadi 700 pemogokan kaum buruh Sumatera Utara itu menyumbangkan separo dari “hilangnya” 700 ribu jam kerja aksi pemogokan kaum buruh Indonesia (Stoler 1997: 189). Buruh perkebunan yang berserikat dalam Sarbupri setiap menjelang hari raya Lebaran melancarkan pemogokan untuk mendapatkan perbaikan upah dan catu makan serta pakaian. Pada umumnya untuk catu makan dituntut jatah beras yang tidak bercampur krikil, juga jatah ikan asin yang masih baik dan tidak pahit.

Sementara itu pengambil-alihan perkebunan modal asing di perkebunan besar Sumatera utara terjadi sebanyak dua kali. Pertama, ketika terjadi nasionalisasi perusahaan sebagai dampak dari kegagalan negosiasi soal Irian Barat. Itu berlangsung pada 1957 terhadap perkebunan milik Belanda. Kedua pada 1961 terhadap perkebunan milik Belgia. Perusahaan perkebunan Belgia paling besar di Sumatera Utara terdiri dari perkebunan karet dan kelapa sawit. Pengambil-alihan itu merupakan solidaritas internasional terhadap pembunuhan Perdana Menteri Kongo Patrice Lumumba pada awal Maret 1961. Kongo adalah wilayah kekuasaan imperialisme Belgia. Pengambil-alihan itu terjadi selama berlangsung pemogokan hingga dua pekan. Pemogokan buruh perkebunan dipusatkan di Labuhan Batu karena sentra dari perusahaan Belgia berada disana. Kemudian, bertepatan pada pertengahan Maret 1961 dirayakan pula sewindu Peristiwa Tanjung Morawa. Acara peringatan peritiwa tersebut dihadiri pula oleh Djalaludin Jusuf Nasution dari CDB PKI Sumatera Utara. Dalam kesempatan itu, Djalaludin menegaskan untuk memberikan pelajaran terhadap kolonialisme Belgia melalui pengambil-alihan perkebunan mereka di wilayah Sumatera Utara itu berlangsung selama beberapa pekan dan hanya jeda sejenak karena kedatangan Presiden Soekarno di Medan. Pemogokan solidaritas itu juga sangat cerdas di tengah-tengah kontrol militer dan negara terhadap pergerakan buruh. Pergerakan buruh di Sumatera Utara pada dekade 1960 mengalami kemerosotan karena hampir seluruh manajer perusahaan dikuasai militer dan mereka membuat larangan pemogokan.

Sementara itu, perkebunan terbesar milik Belgia di Sumatera Utara yang berlokasi di Labuhan Batu dengan penduduk terbanyak adalah orang Jawa. Terdapat satu daerah perkebunan bernama Padang Halaban yang melingkupi tujuh desa. Pada 1950-an penduduk diwilayah itu hidup berdikari dengan menanam ubi, jagung, tebu dan kelapa untuk produksi gula merah. Wardik keturunan Jawa Kontrak (Jakon), yang tinggal disalah satu desa Padang Halaban ini bercerita tentang lingkungan desa disana.

Ketika ada perintah berdikari dari Presiden Soekarno, mereka menanam ubi seluas hektaran. Padang Halaban dimana saya dibesarkan itu kreatif masyarakatnya. Pada 1950-an kesulitan gula merah dengan menanam banyak tebu dan kelapa di Padang Halaban. Jadi kampung itu, ada kampung Sidomulyo, ada Karang Anyar, ada Purwodadi, Purworejo, ada Sukadane, ada juga blok M, ada juga Kertosentono, ada 7 desa itu semua adalah orang Jawa. Ada sedikit orang kita Batak. Perlu dicatat di desa-desa itu tidak ada masalah suku, ras dan agama, tidak pernah kita dengar. Bahkan saat itu gotong royong itu begitu kuat.

Page 19: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Warga desa di Padang Halaban pada 1960-an malah telah membangun gedung sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Pembangunan sekolah itu atas inisiatif masyarakat dan Sarbupri agar anak-anak dapat bersekolah di kampungnya sendiri. Selain itu, kehidupan kebudayaan dikampung itu hidup dinamis seperti wayang orang, ketoprak dan seni pentas lainnya. Lakon yang dibawakan adalah kisah pemuda yang memprotes tuan kebun Belanda. Seni pertunjukan ini dibawakan oleh buruh perkebunan keturunan Jawa atau generasi kedua dari Jakon. Perkembangan seni drama atau pertunjukan di Sumatera Utara itu juga tidak terlepas dari pertumbuhan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dipenghujung 1950-an terjadi reorganisasi lembaga seni pertunjukan yaitu setiap lembaga menitik beratkan pada pementasan seni drama seperti ludruk ketoprak, wayang orang dan lain-lain. Sebagai contoh di Langkat dekat Medan terdapat satu perkebunan bernama Tanjung Keliling. Di perkebunan tersebut buruh perkebunan mendirikan kelompok kesenian ketoprak keliling dari satu perkebunan ke perkebunan lain di wilayah Langkat. Salah seorang bekas anggota kesenian ketoprak keliling itu bercerita:

“Buruh perkebunan Tanjung Keliling mempunyai kelompok ketoprak bernama Langen Setyomudo, artinya kesenian orang-orang muda. Kami mendapatkan honor. Honornya dibagi nanti dimasukkan ke kas untuk perbaikan alat-alatnya. Penduduk banyak menonton kesenian itu. Ya banyak. Setiap ada pesta biasa itu. Di tingkat kecamatan sudah dikenallah. Pada hari-hari besar, itu perkebunan bertindak atau umpanya ada beberapa kongsinya dibagi itu. Hari ini main disini, besok main disana. Itu dibayar itu. Dikasih itu waktu perusahaan dibayar itu. Biasanya kalau main ketoprak di perkebunan di pajak. Pajak itu ya macam kayak gubuk itu saja gitu. Tapi disekat gitu dikit, ha itu untuk tempat apa namanya pakaian gitu saja, panggung gitu. Pajak didirikan kalau masyarakatnya umpamanya di situ memungkinkan Sarbupri mendirikan di situ berdiri. Jadi orang Sarbupri itu dulu disediakan untuk itu”.

Hampir setiap perkebunan terdapat organisasi Sarbupri dan mempunyai kelompok kesenian seperti ketoprak. Kelompok ketoprak seperti Langen Setyomudo ketika berkeliling dari perkebunan ke perkebunan senantiasa aktivitasnya diliput oleh surat kabar setempat. Liputan koran lokal itu membuat kelompok kesenian ini terkenal dan dikenal dilingkungan perkebunan lain. Kondisi seperti itu pula ketika pecah peristiwa 30 September 1965 membuat anggota kelompok ketoprak ikut ditangkap dan mendekam dipenjara selama puluhan tahun.

Kekerasan dan Penghilangan Paksa

Ketika pecah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta, di Medan belum terjadi penyerangan dan penangkapan. Penangkapan dan penyerangan baru berlangsung pada 12 Oktober terhadap pimpinan PKI dan organisasi massa kiri. Peristiwa penyerangan ini paling cepat terjadi di seluruh Indonesia. Tampaknya ini dimungkinkan dengan kesiapan militer  terutama Kodam II Bukit Barisan yang dipimpin oleh Brigjen Darjatmo . Pada 12 Oktober 1965 terjadi pawai dan arak-arakan massa anti PKI di sekitar kota Medan. Kemudian pawai itu berakhir dengan penyerbuan kantor Sarbupri di Jalan Binjai. Kantor Sarbupri yang juga menjadi kantor SOBSI  Sumatera Utara, pawai dan arak-arakan anti PKI itu berusaha membakarnya. Pada peristiwa penyerbuan kantor Sarbupri itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang SOBSI Medan, Zakir Sobo mati terbunuh oleh massa. Penyerbuan kantor Sarbupri itu mendapat pengawalan dari pasukan Kodam II Bukit Barisan.

Page 20: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Empat hari kemudian, pada 16 Oktober menyusul penyerangan dan pengerusakan kantor CDB PKI Sumattera Utara di Jalan Sisingamangaraja, depan Taman Makam Pahlawan. Penyerbuan kantor CDB PKI ini penanda penangkapan besar-besaran bagi anggota PKI dan ormas yang bersekutu dengan partai ini. Dengan berlangsungnya penyerangan berutal dari kelompok yang menyebutkan diri Komando Aksi Pengganyangan G 30 S PKI itu membuat para pimpinan PKI dan organisasi serikat buruh menghindar dan bersembunyi. Mereka bersembunyi hampir selama sebulan. Ada yang bersembunyi di kampung dan perkebunan. Kemudian karena mereka kekurangan makanan untuk bertahan hidup, mereka pun keluar dari tempat persembunyian. Misalnya Tandek Ginting, salah seorang anggota PKI Kabanjahe yang berusaha bersembunyi tetapi karena kekurangan makanan dia keluar dari persembunyiannya dan tertangkap. Hampir seluruh pimpinan PKI dan organisasi massa seperti Sarbupri dan Lekra keluar dari persembunyian dan ditangkap oleh gerakan massa dan militer. Djalaludin Jusuf Nasution, Sekretaris I CDB PKI Sumatera Utara bersama Peris Pardede anggota Comite Central ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Jalan Listrik Negara, Medan. Pada Desember 1965, Djalaludin dan Peris Pardede diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) di Medan.

Sepanjang pertengahan Oktober hingga akhir November, banyak pimpinan partai, organisasi massa, dan serikat buruh bersembunyi. Mereka bersembunyi di pondok-pondok perkebunan atau dirumah kerabat. Misalnya Dahlia, dia sekarang berumur 60-an tahun, bekas anggota Dewan Nasional Pemuda Rakyat (PR), asal Gambir, Berastagi. Pada 12 Oktober dia baru kembali dari Jakarta untuk mengikuti Sidang Dewan Nasional (Denas) Pemuda Rakyat. Ketika tiba di Medan suasana telah berubah mencekam, Kantor SOBSI dan CDB PKI Sumatera Utara telah diporak-porandakan. Dahlia tidak berani mendekati lokasi kedua gedung tersebut. Dia memutuskan untuk kembali ke kampung. Tiba di kampung Gambir, dia tidak langsung kembali kerumah, tetapi menginap dirumah kerabatnya. Di kampung itu dia telah mendengar “ganyang-ganyang PKI”. Setelah hampir sebulan, lurah Gambir bicara kepada ibu Dahlia dan mengatakan “syukurlah anak bibi selamat dirumah ini”. Dahlia tidak tahu dari siapa lurah itu mendapat khabar tentang keberadaan dia. Ketika lurah itu bicara dengan ibu Dahlia, sebetulnya dia telah dua hari tinggal dirumah ibunya. Dahlia berbicara mengenai proses penangkapan dirinya sebagai berikut.

“Jadi bagaimana ya, ya sudah enggak apa-apa, sudah tahu pun enggak apa-apa. Di penjara juga enggak apa-apa bukan aku sendiri kok yang..... tapi orang banyak. Kalau masuk jangan dibunuhlah anakku, enggaklah masa dibunuh. Nggak ada yang dibunuh. Sudah diantar mamahku sampe masuk kepenjara, sampe ke sel. Aku ditelanjangi, semua sampai ke kantor polisi, mamahku diluar enggak apa-apa mak. Mereka menelanjangi aku mau melihat tanda PKI, cap PKI ada disana”.

Sementara itu, penyerangan terhadap kantor SOBSI dan CDB PKI Sumatera Utara di Medan 12 dan 16 Oktober, di pedesaan Sumatera Utara penangkapan justru baru dimulai dan orang yang masih dalam tahap dicurigai dikembalikan kerumah masing-masing. Setelah itu orang yang merasa pimpinan serikat buruh, partai dan organisasi massa menyingkir dan bersembunyi di pedesaan. Pada 17 Oktober, pimpinan partai, organisasi, dan serikat buruh berkumpul di kantor Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Mereka berkumpul setelah penguburan Zakir Sobo, pimpinan SOBSI Medan yang tewas karena penyerbuan massa Komando Aksi. Mereka lalu menyebar ke arah Padang Bulan, Sunggal, Mabar, dan Labuhan

Page 21: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Deli. Tujuan mereka menyebar adalah untuk bersembunyi. Penangkapan dan pengejaran terhadap pimpinan partai dan ormas dimulai pada akhir Oktober dan awal Nopember setelah pimpinan partai, ormas dan serikat buruh muncul kembali. Mereka kembali kerumah karena kesulitan logistik. Dahlia bercerita mengenai awal penangkapan dirinya di kampung.

“Penangkapan di kampung terhadap pengurus-pengurus partai, BTI, Pemuda Rakyat. Itu semua ditangkap. Yang menangkap mereka adalah, Komando Aksi, polisi ada militer, dan Komando Aksi entah pemuda-pemuda dari mana, dari luar daerah kampung. Di kampung (Gambir, Berastagi) kami itu enggak begitu banyak yang ditangkapnya pun, pagi-pagi kita dipanggil ke rumah lurah, dari situ terus dibaw ke Berastagi, nanti kalau sudah diperiksa di Berastagi ada yang langsung dipulangkan, ada yang ditahan di Kaban Jahe. Di Berastagi ada kantor polisi, waktu itu kampung kami polisinya di distrik Berastagi”.

Penghilangan paksa berlangsung pada November, Desember, Maret 1966, hingga Nopember 1967 dan sedikit berbeda dengan daerah bukan perkebunan. Di wilayah perkebunan penghilangan paksa dimulai Nopember hingga Maret 1966. Sementara itu di Kaban Jahe dan Berastagi sebagai daerah pertanian penghilangan paksa berlangsung pada Maret 1966, dan penangkapan di dua wilayah itu telah berlangsung pada Oktober. Umpamanya penangkapan Tande Ginting pada akhir Nopember dan kemudian dibawa ke penjara Kaban Jahe, sebagai titipan Kodim di Kaban Jahe. Pada 3 Maret 1966, dia dibawabersama 12 orang lainnya dan mereka tidak pernah terlihat kembali. Dahlia bercerita tentang hilangnya Tande Ginting, orang yang mengajak dia untuk aktif dalam Pemuda Rakyat.                   

“Saya bertemu Tande Ginting terakhir di penjara Kaban Jahe. Pada waktu itu kondisi dia sehat. Bung Tande di tangkap, dia lari-lari di luar kampung. Dia ada beberapa orang, ya, bungTarigan, bung Tande, dan bung Saut. Jadi kehabisan bahan makanan dia, pulang dia ambil bahan makanan. Ada famili yang menyampaikan ke kepala kampung, pada lurah itu dia sudah pulang teruslah dikejar orang itu bersama polisi. Terus diambil dia dan dibawa ke penjara Kaban Jahe. Dia dibawa bersama 12 orang lainnya tidak kembali lagi”.

Tande Ginting berasal satu kampung dengan Dahlia. Sebenarnya Tande Ginting yang mengajak Dahlia untuk mulai aktif di PR agar dapat mengubah desa menjadi tertata dan bersih. Pada 1958 Tande Ginting mendorong pemuda-pemudi untuk membersihkan desa. Setiap hari Minggu pemuda-pemudi bergotong royong membersihkan kampung. Ini memperlihatkan peranan Tande Ginting yang menonjol di kecamatan Kaban Jahe. Dia menjadi orang penting di kampung Gambir yang menyediakan alat-alat pertanian dan membeli alat itu secara kolektif ke kota. Tande Ginting diambil dari penjara Kaban Jahe pada malam hari dan tidak pernah kembali.

Pimpinan kampung dan desa hilang di pedesaan Sumatera Utara pasca 30 September1965. Penghilangan paksa dan pembunuhan terhadap orang yang dituduh komunis terjadi sejak Oktober, Maret 1966 hingga Nopember 1967. Cerita yang beredar dikota Medan dan perkebunan Sumatera Utara bahwa pengambilan dan penculikan orang dilakukan pada malam hari. Pimpinan dan tokoh organisasi massa itu diambil oleh tentara, yakni tentara batalion dan Kodim. Tentara yang melakukan pengambilan pimpinan desa diceritakan oleh Wardik:

“Menurut cerita yang beredar, tentara dari Kodim. Tentara Kodim itu kan punya tentara batalyon, iya Bukit Barisan. Itu enggak rahasia umum lagi kalau yang nyulik tentara. Pada umumnya malam hari mereka dibawa. Menurut cerita orang yang tahu bapak saya yang

Page 22: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

diberangkatkan itu malam, selang satu hari kakak saya datang bapak sudah enggak ada. Kami cariin terus di tiap-tiap kamp yang ada orang ditahan itu enggak ada sudah. Pak Langkir itu kepala desa di Padang Halaban. Desa Sidomulyo. Dia kepala desa”.

Langkir sebelum menjadi kepala desa aktif di perkebunan. Dia memperjuangkan gagasan kemerdekaan di perkebunan. Langkir aktif juga di PKI Labuhan Batu. Pimpinan serikat buruh seperti Sarbupri dan SBKA menghormati dia, karena senantiasa membela kehidupan kaum buruh. Dia aktif pula dalam pembagian tanah dikalangan buruh perkebunan. “Satu blok terdiri dari 4 hektare harus dibagi tiga tidak boleh lebih, pimpinan dan anggota harus sama”. Langkir ditangkap pada Oktober dan menjadi orang pertama yang diambil dari kampung Sidomulyo. Tentara yang menjemput mengatakan “Bapak saya bawa ke Kodim”. Setelah dari Kodim , Langkir dipindahkan ke bekas kantor PKI di Rantau Prapat. Selang beberapa hari dia dipindahkan ke SMP Fadjar  agak lama sekitar beberapa bulan. Kemudian dia dipindahkan ke kamp Aek Tapa dan hilang entah kemana. Langkir hilang pada Februari 1966 dari kampAek Tapa, Labuhan Batu. Narasi yang beredar dari mulut ke mulut di Padang Halaban , Langkir ditembak bersama 7 orang lainnya dan dikuburkan dalam satu lubang. Lokasi kuburan berada di Aek Nabara, kecamatan Silangkitang, Labuhan Batu.

Selain itu Wardik mempunyai kakak yang aktif di Pemuda Rakyat dan juga guru SMP Cinta Karya Desa Sidomulyo. Kakak Wardik bernama Salam Kemerdekaan, lahir pada 1945 di Sidomulyo, Padang Halaban. Pada November Salam dibawa dan ditahan Komando Aksi dengan tangan terikat diatas motor gerobak. Ada beberapa orang menyaksikan dia dibawa ke Panigoran. Lokasi desa Panigoran ini dekat dengan stasiun kereta api karena Panigoran adalah perkebunan besar. Daerah perkebunan besar Panigoran pasca 30 September 1965 disulap menjadi markas dan pos-pos perkebunan Komando Aksi. Salam dari Panigoran dibawa ke Parang Bengkok yang merupakan lembah tikungan, “disitulah kawan-kawan dihabisi, ribuan disitu bukan ratusan”. Jarak Panigoran dengan Rantau Prapat hanya hanya beberapa kilometer.

Tahun 1968 di penjara Siantar masih terjadi penghilangan paksa. Pada pertengahan 1967  di penjara Siantar si Polan diambil bersama enam orang lainnya dan tidak pernah kembali. Saat itu pengambilan tahanan politik di penjara Siantar dilakukan setiap dua malam sekali. Menurut kabar dari mulut ke mulut bahwa banyak dari mereka di buang ke Sungai Ular. Sungai ini berkelok-kelok dan panjang. Kemudian pada 1968, Sanusi dari Bandar Betsi menjelang magrib diambil dari penjara Siantar dan tidak pernah kembali. Menurut catatan kami diseluruh Sumatera Utara tedapat 427 orang yang dihilangkan paksa. Jumlah itu terjadi baik di kamp tahanan atau penjara yang diambil oleh tentara maupu penghilangan paksa orang-orang desa oleh Komando Aksi.

Pada awal 1966 masuk pasukan Brawijaya ke Labuhan Batu dan perkebunan pesisir bagian timur lain Sumatera Utara. Di Labuhan Batu situasi yang begitu panas dan mencekam dan berubah mencair dengan penembakan tiga pimpinan Komando Aksi yakni Marga Sani, Siringringo dan Pasaribu. Peristiwa itu sekaligus mengubah situasi tidak lagi ada penculikan dan pembunuhan dipedasaan Sumatera Utara. Pada waktu itu masuknya Brawijaya ke Labuhan Batu oleh masyarakat dianggap sebagai malaikat. Siatuasinya melegakan masyarakat. Dengan masuknya pasukan Brawijaya penculikan di kampung mereka, tetapi penculikan di kamp tahanan tetap berlangsung. Sebagaimana ditegaskan oleh Wardik. “Dikampung Sudah aman, tetapi didalam kurungan itu seperti ayam yang mau dijual”.

Page 23: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Wardik juga menceritakan kondisi tahanan Kodim Rantau Prapat dan Aek Tapa pada waktu itu, tempat tahanan bapaknya sebelum dihilangkan paksa.

“Umpamanya di Kodim, Kodim Rantau Prapat itu kan nggak muat. Ada bangunan SMP ditarok disitu. Ada gudang ditarok disitu. Kalau yang sudah pasrah itu di Aek Tapa termasuk bapak saya dibilang golongan A dan siap dibunuh gitu, dan memang kenyataannya begitu, habis orangnya, tiap malam dibawa-tiap malam dibawa tentara, yang culik itu tentara katanya, katanya tentara”.

Kondisi kamp tahanan begitu buruk, terutama keadaan toilet. Setiap kamp tahanan hanya mempunyai satu dan paling banyak dua kamar mandi dan WC. Tetapi kamp sering kali ditempati oleh puluhan atau ratusan tahanan politik. Lagi pula kamp tahanan di Sumatera utara adalah ruang publik, misalnya di Langkat TPS-nya adalah bekas pertunjukan bioskop. Gedung bioskop itu menampung ribuan buruh perkebunan dan hanya mempunya dua kamar mandi dan WC. Di gedung bioskop Langkat itu banyak buruh perkebunan yang dihilangkan paksa. Penghilangan paksa dikamp tahanan mulai mereda setelah tahanan dikerja-paksakan diperkebunan dan pekerjaan publik lain yang tidak dibayar. Kerja paksa untuk tahanan politik Sumatera Utara di pusatkan di Tanjung Kasau. Dari kamp Tanjung Kasau  para disebarkan ke beberapa lokasi proyek kerja paksa dan kembali lagi ke Tanjung Kasau. Mereka melakukan kerja paksa hingga 1978 dan kemudian dipulangkan ke desa masing-masing untuk kembali hidup “normal”.

Kamp-kamp Tahanan.  

Gedung kamp tahanan di kota Medan yang berjumlah delapan sebelumnya adalah tempat dan ruang publik yang disulap menjadi kamp tahanan. Umpamanya beberapa kamp tahanan adalah bangunan sekolah, misalnya gedung sekolah Andalas merupakan sekolah swasta milik Baperki (Badan Permusyawatan Kewarganegaraan Indonesia). Gedung sekolah itu terdiri dari dua lantai dengan kamar dan ruang-ruang kelas. Gedung tersebut hingga sekarang tetap dipertahankan dengan arsitektur Minangkabau. Sementara itu, kamp tahanan di Jalan Merbabu merupakan gedung sekolah tiga lantai yang juga milik Baperki. Gedung itu tempat penahanan etnis Tionghoa kaya.  Mereka menjadi ajang transaksi sogok menyogok antara tahanan etnis Tionghoa kaya dan tentara. Kemudian kamp di Jalan Sena, pasca peristiwa 30 September adalah rumah kopel yang baru dibangun dan diperuntukkan bagi perwira Angkatan Darat,Corp Polisi Militer (CPM).

Hingga sekarang beberapa gedung kamp tahanan tetap bertahan seperti gedung sebelumnya. Misalkan Sekolah Andalas di Jalan Cik Di Tiro masih tetap dan digunakan sebagai Gedung PKK Medan. Namun beberapa gedung telah menjelma menjadi gedung raksasa menjulang tinggi seperti, kamp tahanan Jalan Gandhi. Penjara Sukamulia yang terletak di Jalan Palang Merah Indonesia juga telah menjadi rumah dan toko (ruko). Kamp-kamp tahanan itu terbagi dalam kelompok TPU A,B,C, dan D. Maksud pengkelompokan itu untuk menempatkan tahanan politik tinggi dan rendah. Contohnya kamp tahanan Jalan Sena masuk kelompok TPU A, dan Jalan Merbabu ke TPU A. Sementara itu, kamp tahanan Jalan Binjai masuk ke kelompok TPU C . Sedangkan TPU penjara Sukamulia TPU A dan B.Namun dikemudian hari pengelompokan itu tidak ketat karena anggota buruh Sarbupri bisa

Page 24: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

masuk ke kelompok TPU A . Dibawah ini diuraikan kamp tahanan kamp tahanan di kota Medan yang menjadi tempat penghilangan paksa sejumlah tahanan politik.

Kamp tahanan di Jalan Sena berbentuk rumah-rumah kopel untuk perwira Corp Polisi Militer (CPM), rumah-rumah itu bergandengan dari blok A hingga F. Tatkala dipergunakan sebagai kamp tahanan, rumah paling depan dipergunakan sebagai tempat interograsi dan penyiksaan. Rumah kopel itu dikelilingi pagar berduri dan dijaga oleh tentara bersenjata. Kamp tahanan Jalan Sena masuk ke satu kompleks Markas POMDAM II Bukit Barisan. Sebelum priode 1965, kamp tahanan Jalan Sena masuk ke kompleks gedung milik Deli Spoorweg Maatschappij (DSM). Pada 1957 area kompleks gedung DSM di nasionalisasi oleh Republik Indonesia, dan sebagian besar dari kompleks itu di ambil alih oleh KODAM II Bukit Barisan.

Kamp tahanan di Jalan Sena termasuk katagori rumah tahanan TPU A, dalam pengertian tempat tahanan kelas A di Sumatera Utara. Mereka yang ditahan disana berpotensi dapat diadili di pengadilan militer. Rumah tahanan ini dibagi dalam blok A-F dan juga terdapat blok tahanan untuk perempuan. Di kamp tahanan Jalan Sena ini terjadi penghilangan paksa dalam jumlah besar. Pada 10 Desember 1965 diselenggarakan aksi rasialisme dan merupakan gelombang pertama penghilangan paksa di kamp itu. Tahanan gelombang pertama yang dihilangkan paksa adalah Sudirman, berumur 40 tahun, Wakil Sekretaris Comite Kota PKI Medan dan Wakil Ketua Front Nasional Medan. Kemudian Imran Djoni, Penanggung Jawab dan Pimpinan Redaksi Harian Bendera Revolusi organ PNI Front Marhaenis Pada saat dihilangkan paksa Imran berumur 32 tahun. Dia juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kepala Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) Antara, Medan. Selanjutnya Margono Ketua BTI Percut, Saibun Sianaga Ketua SOSI Sumatera Utara, Tan Foe Kiong, Penanggung Jawab Harian Gotong Royong Medan. Dia menjabat pula Sekretaris PWI Medan. Pada waktu yang sama hilang pula Diapari Siregar, berumur 40 tahun dan pimpinan Serikat Buruh Listrik dan Gas.

Pada 27 Mei 1966, kamp tahanan TPU A Jalan Sena kemudian melakukan penghilangan paksa gelombang kedua dengan jumlah yang dihilangkan 27 orang. Mereka yang dihilangkan saat gelombang kedua antaranya ialah Rumiyati, berumur 37 tahun dan ketua Gerwani Sumatera Utara, Maisih Ismail berusia 37 tahun dan ketua Gerwani Medan, Lisma berusia 26 tahun, mahasiswi IKIP Medan dan anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Bacharuddin Nasution, anggota DPRD-GR Kabupaten Deli Serdang dan ketua BTI Deli Serdang, dan Hasan Basri Pulungan, berusia 27 tahun dan Sekretaris II PimpinanDaerah Besar Pemuda Rakyat  Sumatera Utara. Penghilangan paksa juga terjadi pada pertengahan November 1967, kali ini  terhadap 40 orang tahanan, sebagian Mahasiswa Akademi Ilmu Sosial Ali Archam yang pada bulan Oktober 1965 sedang mengadakan peneletian dibeberapa desa di Sumatera Utara, antara lain yang dihilangkan L.S. Rento berusia 26 tahun, Farida Rani 25 tahun, Paidjan 25 tahun, Soenarto 25 tahun.   

Kamp tahanan Jalan Merbabu No. 28, sekarang kamp tahanan ini masih seperti bangunan asli. Gedung itu terdiri dari tiga lantai dengan ruangan berukuran 3x4 meter sebanyak 24 buah. Kini gedung dipergunakan sebagai kantor Pengurus Daerah Generasi Muda FKPPI dan kantor KNPI Sumatera Utara. Tampaknya gedung tersebut sudah tidak dirawat lagi. Gedung itu sebelum diubah menjadi kamp tahanan merupakan sekolah milik Baperki. Kamp tahanan jalan Merbabu No. 28 ini, diperuntukkan untuk tahanan etnis Tionghoa kaya. Mereka yang

Page 25: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

menjadi tahanan di sana mempunyai latar belakang pengusaha besar dan profesional, seperti dokter bedah, dan dokter ahli kandungan. Mereka semua oleh militer dituduh ikut terlibat dalam gerakan komunis Indonesia. Para tahanan itu berkeinginan bisa bebas dan pergi ke luaar negeri, tetapi mereka jutru menjadi ajang sapi perah perwira militer di Medan. Diantara etnis Tionghoa yang menjadi sapi perah perwira militer dan bisa ke luar negeri ialah Kong Sio Mo, pemilik pabrik besi baja Suma Grup; kemudian Dokter FM La Li Sang yang berhasil pergi ke Belanda; Dokter Kho En Hua ahli parasitologi tamatan salah satu Universitas di Amerika Serikat, dan Tan Fu Siang yang berhasil pergi ke Belgia. Sementara itu etnis Tionghoa yang tidak dapat dipergunakan sebgai sapi perah disebut sebagai “Cina kebun sayur”, dipindahkan dari TPU Jalan Merbabu ke TPU C Jalan Binjai.

Kamp tahanan TPU C terletak di Jalan Binjai Km.7, sekarang Jalan Gatot Subroto. Dewasa ini area kamp tahanan itu menjadi Markas KODAM II  Bukit Barisan. Dihalaman luas Markas KODAM itu berdiri monumen patung Djamin Ginting (bekas panglima pertama setelah berdiri KODAM II Bukit Barisan yang sebelumnya adalah Teritorium I (TT I), masih bergabung dengan Aceh. Djamin Ginting menggantikan Kolonel M. Simbolon yang ikut melakukan pemberontakan PRRI-Permesta pada 1957. Brigjen Djamin Ginting digantikan Brigjen Manaf Lubis, sedangkan Letjen Djamin Ginting di tahun 1965 menjabat sebagai Wakil Ketua DPR-RI mewakili Sekber Golkar. Pada awalnya kamp tahanan itu adalah tanah perkebunan seluas 10 hektare dan menjadi tahanan chusus buruh perkebunan anggota Sarbubri Sumatera Utara. Akhirnya karena tahanan TPU Jalan Merbabu dan TPU Jalan Sena dikosongkan sebagian tahanan dipindahkan ke TPU Jalan Binjai dan sebagian lagi ke TPU penjara Sukamulia yang berganti nama menjadi Inrehab Sukamulia. Kamp tahanan Jalan Binjai terdiri dari 20 barak yang terdiri dari antara lain barak No. 6 dan 9 untuk perempuan, dan barak No. 11 untuk indoktrinasi. Di kamp Jalan Binjai di awal hingga pertengahan 1966 sudah terjadi penghilangan paksa pada malam hari diantaranya dihilangkan, Djonatan berumur 28 tahun, dan anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) Medan, Achmad Sukri berumur 19 tahun dan anggota Pemuda Rakyat, Muluk berusia 35 tahun dan anggota SOBSI Medan.

Penjara di Jalan Listrik Negara  adalah penjara peninggalan pemerintah Belanda. Penjara ini terletak ditengah kota Medan dan di tepi sungai Deli. Pada masa kolonial kawasan itu berdekatan dengan kesultanan Deli. Dewasa ini penjara telah disulap menjadi pusat hiburan, cafe, aula besar dan restoran, Gedung Selekta. Pada Desember 1965 Martin Saragih berumur 27 tahun dan Ketua CGMI Sumatera Utara dihilangkan paksa dari penjara Jalan Listrik. Dia hilang bersama dengan tapol TPU A Jalan Sena. Menurut cerita yang beredar dikalangan korban mereka dibawa dari penjara Jalan Listrik pada malam hari menuju Sungai Ular dan sungai Buaya. Pada tahun awal 1970-an sebelum dipindahkan ke RTM Jalan Pantai Timur Jalan Binjai dan akhir tahun 1970 sampai awal 1980-an, Narapidana Politik (Napol), yang telah dijatuhi hukuman oleh Mahmilub maupun Mahmilti ditempatkan di penjara Jalan Listrik, baik yang dijatuhi hukuman mati, hukuman seumur hidup, 20 tahun dan 15 tahun penjara. Diantaranya Peris Pardede anggota CC PKI, Djalaludin Jusuf Nasution Sekretaris Pertama CDB PKI Sumatera Utara, PP Gangga Wakil Sekretaris CDB PKI Sumatera Utara, Brigjen Ulung Sitepu Gubernur KDH Sumatera Utara, Kolonel Maliki Komandan Brigif 7, dan napol yang lain

Page 26: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

.Lalu penjara Sukamulia yang berdiri sejak awal abad ke-20, di Jaman kolonial Belanda terletak di Jalan Palang Merah Indonesia. Dewasa ini lokasi penjara itu telah berubbah menjadi ruko-ruko. Kawasan ini masih tersisa bergaya etnis Tionghoa yang beranda rumahnya mempunyai tempat sembahyang Konghucu. Keadaan itu menandakan kompleks perumahan disekitar penjara pernah menjadi kawasan pecinan Kota Medan.Kompleks penjara itu terdiri dari 20 kamar tahanan. Sementara itu luas penjara Sukamulia berukuran sekitar 30x60 meter. Di samping kamar-kamar tahanan di huni melebihi kapasitas tahanan, diawal tahun 1966, terjadi penghilangan paksa terhadap 11 tahanan politik, diantaranya M. Kanabran berusia 27 tahun dan ketua Dewan Pimpinan Ranting Sarbupri Kantor Besar PT London Sumatera, Medan, Selamat DW, berusia 45 tahun dan Pimpinan Daerah BTI Sumatera Utara, serta anggota Dewan Perusahaan Sumatera Utara.

Kamp tahanan Andalas adalah bekas sekolah swasta yang dikelola oleh Baperki Sumatera Utara. Arsitektur gedung itu khas Minangkabau Pagaruyung yang dikombinasikan dengan susunan bangunan gaya Cina. Gedung itu berhalaman luas sekitar 200 meter persegi didepan dan dibelakang gedung terdapat lapangan basket. Dari luar tampak gedung itu mempunyai banyak ruang kelas. Gedung itu berlantai dua berbentuk U. Diperkirakan luas bangunan kamp tahanan Andalas 2 hektare. Kini Gedung Andalas dipergunakan sebagai kantor pusat PKK Medan. Penghilangan paksa dari Andalas dimulai pada Desember 1965. Dalam pengumuman resmi tahpol akan dipindahkan ketempat seperti ke Mapomdam. Namun dalam kenyataan keluarga dan tapol sendiri tidak diberi tahu dipindahkan kemana dari kamp Andalas. Setelah diumumkan tapol akan dipindahkan tidak pernah kembali. Mereka yang hilang dari kamp Andalas antara lain Syarif Tarigan, berusia 29 tahun dan fungsionaris Lekra Sumatera Utara, Bataraguru berumur 23 tahun dan Anggota Pemuda Rakyat Medan, dan Abusamah, berumur 45 tahun dan bekas Angkatan 45.

Jalan Masdulhak merupakan kawasan perumahan elit kota Medan. Sebagian besar pejabat pemerintah kota Medan tinggal dikawasan itu. Selain itu kawasan Jalan  Masdulhak terdiri dari rumah-rumah besar setiap rumah mempunyai luas 1000 meter persegi. Pada era Kolonial kompleks perumahan di Jalan Masdulhak dihuni oleh pengusaha perkebunan Eropa. Pada 1957 terjadi nasionalisasi perusahaan asing dan kompleks perumahan tersebut juga diambil alih oleh militer dan dijadikan kompleks Markas Kodam II Bukit Barisan.Hanya satu rumah di Jalan Masdulhak itu yang dipergunakan sebagai kamp tahanan. Tahanan politik yang dihilangkan paksa dari kamp Jalan Masdulhak ini antara lain Sumarno Hasibuan berusia 50 tahun dan Dewan Harian CDB PKI Sumatera Utara serta anggota DPRD-GR Provinsi Sumatera Utara, Anwar Djambak, berusia 43 tahun dan Sekretaris Comite Kota PKI Medan, serta anggota DPRD-GR Medan. Dan Nirwan Dito, penghubung satu Aceh. Ketiga tapol itu diangkut dengan truk kemudian dieksekusi di Sungai Ular. Penghilangan paksa tersebut bersamaan dengan penghilangan paksa pertama dari TPU A Jalan Sena. 

Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Kapuas atau di Jalan Medan ini sebelum Oktober 1965, adalah rumah tahanan militer, yang diperuntukkan bagi Narapidana dan tahanan militer. Namun sesudah terjadi penangkapan terhadap anggota Angkatan Bersenjata yang di tuduh terlibat G 30 S, baik Perwira, Bintara dan Tamtama dan sipil yang terindikasi dengan Angkatan Bersenjata juga dijadikan penghuni RTM ini. RTM ini juga diperuntukkan menjadi tempat tahanan bagi mereka yang sedang menjalani pemeriksaan Team Oditur Kodam II Bukit Barisan dari TPU A Jalan Sena. Dari RTM ini,

Page 27: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

terjadi juga penghilangan paksa terhadap Mochtar Naam berusia 32 tahun dan bekas Pimpinan Daerah Besar Pemuda Rakyat Sumatera Utara.

Kamp tahanan Jalan Gandhi sebelum Oktober 1965 adalah Gedung Sekolah SD Abadi itu berlantai dua milik Baperki. Terdapat tujuh ruangan kelas dilantai satu dan enam ruangan kelas dilantai dua. Ketika dipergunankan sebagai kamp tahanan, tujuh ruang kelas dilantai satu digunakan menjadi kamar tahanan, ruang kelas dari depan disebut kamar satu sampai kamar tujuh. Sedang ruang kelas lantai dua ditempati dua regu para pengawal. Satu regu pengawal dari kesatuan batayon 121 dan satu regu lagi dari kesatuan Armed (Arteleri Medan). Digedung itu juga terdapat ruangan besar semacam aula yang juga digunakan menjadi lapangan bulu tangkis dan Pentas pertunjukan seni. Kedua ruangan ini juga digunakan bagi tahanan khusus bagi yang sudah tua, dan yang sakit, tapi juga menjadi ruang tahanan yang mereka anggap tidak berbahaya.  Tahanan Perempuan ditempatkan diruangan belakang. Ketika gedung tersebut masih menjadi gedung sekolah, adalah merupakan ruangan guru-guru. Di kamp tahanan Jalan Gandhi hampir tidak ada penghilangan paksa. Tapi tindakan kejam dari militer berlangsung disana, terutama pemerkosaan dan pelecehan terhadap tapol perempuan. Juga pada para keluarga yang berkunjung, kirimannya hanya sebagian kecil yang diterima para tapol, pelecehan terhadap para keluarga yang mengirim, kerap terjadi. Di Jalan Gandhi juga terjadi kelaparan besar hingga membawa kematian beberapa orang tahanan.

Kamp berikutnya adalah Rumah Tahanan Militer (RTM), di Jalan Pantai Timur, Rumah Tahanan Militer ini dibangun untuk menggantikan RTM sebelumnya yang di Jalan Kapuas atau Jalan Medan. RTM di Jalan Pantai Timur ini juga selain dihuni Narapidana dan tahanan Militer juga dihuni Narapidana politik (Napol) 16 orang, pindahan dari Penjara Jalan Listerik Negara ditambah dengan Napol baru, setelah diputus di Mahkamah Militer Tinggi, antara lain, Peris Pardede (anggota CC PKI), Djalaludin Jusuf Nasution (Sekretaris Pertama CDB PKI Sumatera Utara), PP Gangga (Wakil Sekretaris Pertama PKI Sumatera Utara), Rakut Sembiring (anggota DH CDB PKI Sumatera Utara), Brigjen Ulung Sitepu, (mantan Gubernur Sumatera Utara), Kolonel Maliki ( mantan Komandan  Brigif 7), Djiman Karo-Karo (Ketua Partindo Dairi), Mayor RM Maha (mantan Bupati Dairi), Kapten Pandak Tarigan ( mantan Walikota Pematang Siantar), Samin Pakpahan (mantan Bupati Tapanuli Tengah).

Pada tahun 1975 Amnesti Internasional menjadwalkan akan bertemu dengan tapol 65 di Inrehab (TPU) Penjara Sukamulia. Sebagian sekitar 20-an tapol dipindahkan selama satu bulan ke RTM Jalan Pantai Timur. Tahanan politik yang dipindahkan ke RTM Jalan Pantai Timur ditakutkan tergolong mampu berkomunikasi dengan para delegasi Amnesti Internasional.

Peran Perkebunan Dalam Penghilangan Paksa dan Pengangguran Kaum Buruh

Mengenai penghilangan paksa di Sumatera Utara perlu diperhatikan penangkapan dilingkup kecamatan dan perkebunan. Digegofrafi kecamatan, semua pimpinan dari ranting dan cabang PKI, ormas seperti pimpinan cabang, sekretaris bendahara BTI, Pemuda Rakyat dan Sarbupri ditangkap serta dibawa ke TPS maupun Puterpra/Kodim. Sementera kaum Buruh yang ditangkap di perkebunan dipaksa untuk meninggalkan rumah perkebunan dan

Page 28: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

dikumpulkan diperkebunan, kemudian dibawa ke TPU C Jalan Binjai Km.7. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa TPU C pada awalnya diperuntukkan bagi kaum buruh perkebunan anggota Sarbupri. Mereka dipindahkan dari perkebunan ke TPU C pada pertengahan Oktober. Fenomena ini merupakan waktu penangkapan tercepat diseluruh Indonesia bagi tapol yang terkena dampak tragedi 30 September 1965.

Penghilangan paksa di area perkebunan acap kali terjadi pada penangkapan diruang geografi kecamatan. Kenapa penghilangan paksa tapol terjadi pada seleksi dan pengumpulan tingkat kecamatan? Dalam operasi penghilangan paksa yang menjadi sasaran adalah pimpinan hingga bendahara PKI, ormas dan serikat buruh. Mereka tidak ditempatkan dan dikumpulkan di kantor perkebunan. Tetapi setelah mereka diidentifikasi sebagi pimpinan partai, Sarbubpri, Dewan Perusahaan, dan orang yang menonjol ditingkat kecamatan akan diambil dan dibawa ke TPS. Untuk wilayah kecamatan Pulka dan Tanjung Keliling mempunyai TPS bernama gedung Dewi Sri. Gedung tersebut adalah tempat pertunjukan kesenian yang diubah menjadi kamp tahanan tapol. Di gedung Dewi Sri inilah banyak tapol dari dua kecamatan itu dihilangkan paksa.

Penangkapan di Kecamatan Pulka dan Tanjung Kelilingserta diwilayah lain perkebunan Sumatera Utara, juga penangkapan terhadap pimpinan organisasi dimulai pertengahan Oktober seperti diceritakan oleh Miyun , guru yang ditangkap di Tanjung Keliling.

Ya, bulan Oktoberlah, Oktober lewat. Tapi kalau 1 sampai 10belum ada penangkapan itu. Ha, itukan jelas sekalisetelah ada pidato Pak Jenderal Nasution menyatakan PKI dan ormas-ormasnyaharus dihukum.Mulailah disitu, mulai ada perintah harus ke Puterpra, kemudian ada perintah dari lurah, kemudian langsung ditangkap, kemudian datangi sore, siang, malam itu. Terus yang dihutan didatangi ramai-ramaidiburu begitu.

Penangkapan yang dilakukan oleh tentara dan Komando Aksi berlangsung secara bertahap, mulai dari lima orang yang ditangkap kemudian meningkat 13 orang dan seterusnya. Sasaran penangkapan adalah seluruh pimpinan. Mereka dikumpulkan dilapangan dan dibawa ke gedung Dewi Sri. Dari gedung itu tidak diketahui dibawa kemana dan tidak pernah kembali. Data dan nama pimpinan yang akan diambil diperoleh dari lurah dan perkebunan. Selainitu orang yang akan ditangkap adalah figur terkenal. Mereka sering tampil dalam aksi pemogokan perkebunan, memimpin aksi bersih desa dan tawar menawar dalam Dewan Perusahaan. Mereka ditangkap secara bertahap, dimulai dari mendatangi rumah hingga ke tempat pekerjaan.“Mulai ditangkap, dikumpulkan, tanyain. Disitu yang dianggap ketuahilang, sekretaris hilang, itu diambil bertahap, lima, 13, 14, 44, bertahap. Kalau yang ditangkap sedang bekerja di kebun, mereka langsung mendatangi ke tempat pekerjaan..... Ya, diambilin itu dari Puterpra sendiri. Kami sudah kerja kumpulin panggil... Ya mulai jam limalah. Karena nanti jam empat, setengah empat datang motor berkeliling-keliling. Ya pasti ada yang diambil. Ha, siapa ini belum tahu, sudah perintah kumpul dihalaman baris lalu datang sersan Daud, terus sersan Iman, “Siapa yang dipanggil namanya ini ikut naik motor”. Itu sudah naik motor sampai sekarang dimana”?

Operasi penangkapan dan penghilangan paksa di geografi kecamatan, perusahaan perkebunan mempunyai  andil besar. Perusahaan perkebunan menyediakan fasilitas kenderaan mobil jenis jeep yang disebut oleh orang desa Sumatera Utara sebagai motor. Kenderaan motor itu dipergunakan sebagai alat transportasi membawa dan menghilangkan

Page 29: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

tapol ditanggung oleh perkebunan. Kemudian perkebunan membentuk Komando Aksi Pengganyangan PKI. Kebanyakan personil berasal dari kampung lain, karena mereka tidak dikenal oleh penduduk setempat. Pihak perkebunan juga menyediakan Hansip yang dapat dipergunakan oleh Komando Aksiuntuk menangkap dan melakukan pengusiran terhadap tapol.

Diperkebunan Tanjung Keliling Komando Aksi dipimpin oleh Budiman Pulungan. Dia mendapatkan izin dari Puterpra  untuk mempergunakan dan menyimpan sejata api. Kedudukan Budiman adalah mandor sekaligus centeng perkebunan. Posisi centang pada 1960-an meredup dan dihidupkan kembali untuk pengganya anti PKI. Budiman setiap kali pengambilan pimpinan organisasi senantiasa ikut didalam mobil, karena dia adal Komando Aksi dari pihak perkebunan. Fungsi Budiman dalam Komando Aksi yakni menunjuk tapol yang akan ditangkap. Siapa saja yang ditunjuk oleh Nudiman untuk dibawa dengan motor perkebunan harus patuh.

Jenis mobil yang dipergunakan untuk mengangkut tapol adalah mobil dengan bagian belakang terbuka. Namun mobil itu sedikit dimodifikasi terutama bagian belakang kanan dan kiri ditutup dengan terpal Miyun menceritakan bentuk fisik dan keadaan tahanan ketika dibawa dengan mobil perkebunan.

“Motornya kayak sekarang yang ngangkut kelapa sawit. Modelnya kayak gitu. Cuma dulukan dipakai, pakai terpal, ditutup untuk membawa itu, atas ditutup rapat begini. Yang diambil naik motor atas ditutup, terus perintah orang itu kalau dari dalam ada tukang ringkusnya, terus diikat kita, diikat mata, diplester, lalu dibawa kemana sudah enggak tahu kita. Itu ada yang langsung dibuang. Disini misal besok suruh kesana kan enggak tahu karena ditutup”.

Di area perkebunan Sumatera Utara penghilangan paksa dilakukan pada Oktober, November dan Desember. Tetapi dibeberapa TPS dan kamp tahanan khusus untuk kecamatan penghilangan masih berlangsung hingga Maret 1966. Dalam Operasi itu Komando Aksi yang dibiayai oleh perkebunan menggunakan mobil atau truk perusahaan untuk transportasi dari area penangkapan ke TPS atau ketempat eksekusi. Mobil perusahaan itu dipergunakan oleh Komando Aksi kapanpun ingin mereka pergunakan. Komando Aksi menjadi anak emas perkebunan. Di Padang Halaban, Komando Aksi dipimpin oleh Kotjik Dalimunte, sementara sekretarisnya ialah Tukiman. Latar belakang Kotjik adalah supir Jonder, mobil pengangkut buah dari Rantau Prapat ke Labuhan Batu. Berdasarkan cerita para korban di Padang Halaban, Kotjik mempunyai telunjuk berbisa yang kemudian dicatat oleh sekretaris Tukiman. Orang dicatat oleh Tukiman, malam hari dieksekusi oleh algojo Said, Saring dan Tumadi. Anggota Komando Aksi berasal dari luar kampung dan orang melayu. Komando Aksi terdiri dari anggota Pemuda Marhaen, PNI.        

Komando Aksi dibentuk untuk membantu Perwira Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat (Puterpra). Berdasarkan teori organisasi, Puterpra itu melakukan pengejaran terhadap pimpinan Sarbupri, pimpinan kabupaten/kecamatan PKI, dan ormas lainnya. Komandan Puterpra setingkat Letnan Dua yang dalam operasi penangkapan dibantu oleh Komando Aksi. Namun untuk urusan penghilangan, Puterpra membawa tahanan dan yang melakukan penghilangan paksa adalah Komando Aksi. Praktiknya terjadi diskusi dan seleksi dalam penghilangan paksa antara Kodim, Puterpra dan Komando Aksi. Ketiga kelompok itu

Page 30: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

yang bertanggung jawab atas operasi penghilangan paksa setidaknya hingga Maret 1966. Mereka menyaring siapa saja yang perlu dihilangkan paksa untuk priode November dan Desember. Seleksi itu tidak didasarkan atas Tapol akan melakukan perlawnan atau tindakan merugikan. Tetapi, informasi untuk proses seleksi diperoleh dari pimpinan ormas atau partai yang diintrograsi terlebih dahulu sebelum dihilangkan.

Operasi penangkapan dan penghilangan paksa terhadap korban dari segi waktu terjadi perbedaan. Biasanya penangkapan pada sore hari sekitar pukul17:00. Komando Aksi bersama militer dari Puterpra mendatangi rumah tapol dan tempat persembunyian. Kemudian tapol dipaksa untuk berkumpul dilapangan perusahaan perkebunan. Sementara itu penangkapan terhadap mereka yang sedang bekerja di kebun dilakukan pada siang hari. Informasi penangkapan terhadap tapol yang sedang bekerja diperkebunan berasal dari administratur perkebunan. Biasanya operasi penghilangan paksa dari kantor Puterpra terjadi pada sore hari setelah apel. Sekitar pukul 18:30 malam korban dibawa dalam keadaan mata tertutup kesuatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun. Korban tidak dieksekusi dengan tembakan senjata api, tetapi dengan cara menggorok leher korban dan membuang mereka ke sungai.

Penghilangan paksa secara berutal juga dilakukan di kecamatan Salapian, kabupaten Langkat. Di sana diperkirakan hingga bulan ketiga atau keempat tahun 1966 seluruh tingkatan pimpinan dari jenjang ketua sampai bendahara habis dieksekusi. Penghilangan paksa mulai mereda ketika pasukan Brawijaya tiba di Sumatera Utara. Pasukan ini juga melakukan penembakan terhadap pimpinan Komando Aksi. Itu memperlihatkan bahwa pembunuhan dan penghilangan paksa harus dihentikan ditingkat pedesaan. Terlebih lagi penghilangan paksa harus secara legal, tidak bisa dengan mengikut-sertakan Komando Aksi. Dalam praktik, penghilangan terus berlangsung di kamp-kamp tahanan dan dilakukan oleh militer, sebagaimana diuraikan diatas.

Kemudian bagaimana nasib dari jajaran rendah (rank and file) buruh perkebunan yang bergabung dengan Sarbupri? Paska 30 September 1965 buruh perkebunan jenjang bawah yang bergabung dengan Sarbupri dipecat atau dinonaktifkan. Mereka dipandang sebagai lawan yang harus dihancurkan oleh Komando Aksi. Namun, dibeberapa tempat seperti kecamatan Salapian buruh perkebunan dipecat melalui surat keputusan administratur perkebunan. Kemudian mereka dipaksa untuk meninggalkan rumah dinas perkebunan. Jika ada buruh yang membandel tidak mau pergi maka hansip perkebunan akan mengambil tindakan kekerasan. Setelah dipaksa meninggalkan rumah perusahaan, buruh perkebunan dari isteri dan anak mereka.

Agar buruh tidak melarikan diri dari wilayah perkebunan mereka dinonaktifkan dalam pengertian mereka masih menerima gaji hanya untuk Oktober. Kebanyakan buruh perkebunan tetap tinggal di perkebunan, ketika mereka diberangkatkan ke TPU C Jalan Binjai. Sebelumnya telah diumumkan bahwa nama-nama yang akan disebutkan akan diberangkatkan. Buruh-buruh itu dari kantor perkebunan dijemput truk dengan pengawalan Perwira Pengawas (Papam) Perusahaan Perkebunan.     

Tiba di TPU C Jalan Binjai buruh-buruh perkebunan kecamatan Salapian bertemu dengan buruh-buruh perkebunan lainnya. Pada pertengahan Oktober di TPU C terdapat tahanan 1.200 buruh bekas anggota Sarbupri dari beberapa tempat di Sumatera Utara.Buruh perkebunan itu di TPU C tidak diintrograsi dan mendapatkan proses hukum yang layak. Mereka telah dipisahkan dari pekerjaan di perkebunan. Pada intinya, mereka telah kehilangan

Page 31: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

mata pencarian. Banyak buruh perkebunan ditinggalkan isterinya, karena tidak dapat memberikan nafkah. Sementara itu, pekerjaan di perkebunan yang ditinggalkan oleh buruh-buruh perkebunan telah diisi oleh buruh kebun dari Persatuan Karyawan Perkebunan (Perkapen-SOKSI).

Pada pertengahan 1966 buruh bekas anggota Sarbupri dikerja paksakan diluar TPU C Jalan Binjai . Sebagian kelompok buruh bekerja diperkebunan jagung milik tentara, sedang sebagian bekerja diperusahaan perkebunan karet negara. Di perusahaan karet mereka tidak menderes getah, tetapi membongkar bonggol pohon karet tua. Pekerjaan itu membutuhkan energi banyak, tetapi baik perusahaan milik tentara, maupun negara tidak memberikan upah. Perusahaan itu hanya memberikan buruh makan. Kondisi kerja paksa bagi buruh eks Sarbubpri itu berlangsung hingga pertengahan 1971, setelah itu mereka dikembalikan ke kampung masing-masing.

Cara ketiga untuk menghancurkan organisasi kerja buruh perkebunan yang tergabung dalam Sarbupri dengan pemecatan secara bertahap dari tempat kerja. Pemecatan buruh kebun itu secara bertahap berlangsung dari tahun 1966 hingga 1978. Cara ini masuk akal untuk menghabiskan seluruh anggota Sarbupri di perkebunan Sumatera Utara. Paska 1965 hampir seluruh perkebunan karet diganti dengan tanaman kelapa sawit. Perubahan tanaman itu mempercepat kerja buruh yakni kelapa sawit berumur 3 tahun sudah dapat dipetik, sedangkan pohon karet berumur 7 tahun baru bisa disadap getahnya. Selain itu pohon karet masih bisa memperkerjakan buruh berumur 50 tahun ke atas, sedangkan sawit hanya bisa dipanjat oleh pekerja muda atau buruh perkebunan membawa kernet dari keluarganya sendiri. Kemudian dengan pergantian pohon karet menjadi kelapa sawit, pencurian peroduk berkurang. Getah karet bisa dicuri dengan mudah dan dalam jumlah sedikit, sedangkan kelapa sawit baru bisa dicuri dalam jumlah besar agar mempunyai nilai. Buruh perkebunan yang dipecat secara bertahap digantikan penduduk lokal. Selain itu pengganti buruh perkebuanan dengan buruh anak dan perempuan. Proses pemecatan buruh perkebunan menghancurkan keterampilan mereka terlebih dahulu dan setelah itu dipecat. Pergantian proses kerja itu dimulai kembali pada era buruh kontrak di perkebunan, yang sebenarnya telah ditentang oleh organisasi buruh pada 1950-an. Status pekerja kontrak tanpa mempunyai perlindungan sosial dan jam kerja panjang dalam pertukaran komoditas.

Kesimpulan

        Dengan menempatkan buruh-buruh perkebunan bekas anggota Sarbupri di kamp tahananJalan Binjai Km.7, membuat mereka kehilangan hak atas pekerjaan. Juga terjadi diskriminasi pekerjaan tatkala kerja paksa diselenggarakan oleh negara terhadap buruh-buruh perkebunan. Mereka tidak mendapatkan upah yang layak dalam penyelenggaraan kerja paksa. Sementara itu, dampak pengaruh terhadap serikat buruh perkebuanan yang berkembang sekarang ini bergantung terhadap perusahaan perkebunan. Baik bergantung pada upah yang tidak layak, maupun tidak ada perlindungan sosial seperti perumahan dan jaminan kesehatan. Mereka tidak mempunyai kontrol terhadap perusahaan atas pekerjaan mereka yang layak. Tidak adanya perlindungan sosial berarti buruh perkebunan tidak mendapatkan nafkah hidup yang layak. Dalam keadaan seperti itu, hak kewarganegaraan buruh perkebunan telah dilanggar.

Page 32: Jejak-Jejak Yang Digelapkan

Sebelum September 1965 jumlah anggota buruh perkebunan Sarbupri Sumatera Utara kurang lebih 283 ribu orang. Pada saat itu, organisasi Sarbupri merupakan serikat buruh terkuat dan terkaya di Indonesia. Kekayaan Sarbupri dapat terlihat dari pembayaran yuran anggota. Ketika itu kantor Sarbupri di Medan ditumpangi oleh SOBSI yang menjadi pusat organisasi buruh. Organisasi Sarbupri kaya pula dengan kebudayaan perkebunan seperti ketoprak, wayang orang, ludruk dan seni pentas lainnya. Dampak kehancuran Sarbupri sebagai organisasi buruh perkebunan tidak hanya berupa pisik seperti kantor dibakar dan pimpinan dihilangkan paksa. Tetapi serikat buruh perkebunan kehilangan tradisi dan ingatan kolektif organisasi buruh perkebunan. Tradisi organisasi buruh perkebunan melancarkan tawar menawar dengan perusahaan perkebuan, misalnya Sarbupri menuntut kenaikan upah dan makanan yang layak bagi semua buruh perkebunan, baik untuk buruh lelaki maupun perempuan. Sarbupri juga menuntut mendapatkan pakaian yang baik bagi buruh perempuan dan lelaki di perkebunan. Tuntutan Sarbupri tidak hanya dinikmati oleh organisasi Sarbupri saja, tetapi organisasi buruh perkebunan lainnya.

Keterputusan kaum buruh perkebunan dengan ingatan kolektif masa lalu melemahkan posisi tawar menawar mereka terhadap perusahaan. Terlalu lama atas hak pekerjaan yang layak tidak dipenuhi oleh negara. Walaupun neo-liberalisme akan merusak perlindungan sosial mereka dan peran negara direduksi untuk memberikan perlindungan sosial, peningkatan keahlian kaum buruh perkebuanan dan memperkuat jaringan organisasi akan memperkuat tawar menawar terhadap perusahaan. Hanya melalui perjuangan organisasi, eksploitasi terhadap kelompok yang tidak memiliki alat-alat produksi dapat dikurangi. ***