79
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa) Oleh : MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

JERUK PONTIANAK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JERUK PONTIANAK

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH

PROSES PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK

(Citrus nobilis var microcarpa)

Oleh :

MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: JERUK PONTIANAK

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES

PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 3: JERUK PONTIANAK

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES

PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040

Dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1984

Di Sidoarjo

Tanggal lulus : 31 Agustus 2006

Menyetujui,

Bogor, September 2006

Ir. Ade Iskandar, MSi Ir. Yulianingsih, MSi Pembimbing I Pembimbing II

Page 4: JERUK PONTIANAK

Mauliyah Nur Hariyati. F34102040. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Di bawah bimbingan Ade Iskandar dan Yulianingsih. 2006.

RINGKASAN Produksi jeruk Indonesia selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat. Jumlah produksi di musim panen raya yang melebihi kapasitas pasar, berakibat pada rendahnya harga jual jeruk. Untuk mengatasi hal tersebut maka jeruk pontianak dikembangkan dalam bentuk puree dan jus jeruk. Pembuatan produk tersebut menghasilkan limbah diantaranya berupa ampas jeruk. Selama ini ampas jeruk digunakan sebagai pakan ternak atau hanya dibuang percuma. Padahal ampas jeruk mengandung sejumlah komponen yang bermanfaat diantaranya pektin.

Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein. Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan tingkat kolesterol. Selain itu, pektin juga dapat membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi dalam industri kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet.

Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan ikatan α- (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol sekunder terasetilasi (Hoejgard, 2004).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakteristik pektin ampas jeruk. Pektin yang dihasilkan diharapkan memiliki mutu yang setara dengan pektin komersial dan menjadi alternatif sumber pektin selain kulit jeruk dan kulit apel. Ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan air destilat yang telah diberi asam klorida hingga pH 1.5. Ekstraksi pektin dilakukan dengan perlakuan suhu 65, 80, dan 95oC serta perlakuan lama ekstraksi 40, 60, dan 80 menit. Pektin yang dihasilkan dianalisa karakteristiknya yang meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif.

Rendemen pektin yang dihasilkan berkisar antara 13.67-16.32%. Berdasarkan metode Bayes yang membandingkan karakteristik pektin hasil penelitian, kondisi ekstraksi pektin yang terbaik adalah perlakuan suhu 95oC dengan waktu ekstraksi 40 menit. Pektin dengan kondisi ekstraksi yang terbaik dibandingkan dengan pektin komersial. Parameter yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar metoksil. Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin hasil ekstraksi suhu 65oC dan 95oC selama 40 menit memiliki kulitas yang lebih baik dari pektin komersial.

Page 5: JERUK PONTIANAK

Mauliyah Nur Hariyati. F34102040. Extraction and Characterization Pectin from Processing Pontianak Orange Waste (Citrus nobilis var microcarpa). Supervised by Ade Iskandar dan Yulianingsih. 2006.

SUMMARY

Indonesian orange production during the last three years tend to increase. Amount of production in certain season exceed market capacities, it cause lowering of orange price. To overcome the mentioned hence pontianak orange developed in the form of puree and orange juice. The production process of them produce waste, example orange pulp.. During the time, orange pulp is used as livestock feed or sometimes only thrown or useless. Though, orange pulp contain a number of usefull components, among others pectin.

Pectin is used widely as functional component in food industry because its ability to form watery gel and to stabilize protein. Addition of Pectin at food will influence metabolism process and digestion specially in glucose adsorption and cholesterol level. Pectin also can make very good coat that is used for filler in paper industry and textile, and also as thickener in rubber industry.

Pectins consists of an α- (1-4) linked galacturonic acid homopolymer and L-rhamnose D-galacturonic acid repeating units carrying branched neutral sugar side chain. Galacturonic acid units in both regions are partially methyl-esterified (Hoejgard, 2004). This research aim is to know the influence of extraction temperature and time to orange pulp pectin characteristic. Orange pulp pectins are expected to have equivalent quality with commercial pectin and become alternative source of pectin besides lime peel and apple pomace. Pectin extraction was done by using destilate water which have been given by chloride acid until pH 1.5. Pectin Extraction conducted with treatment of temperature 65, 80, and 95oC and also treatment of time extraction 40, 60, and 80 minutes. Then, pectin was analysed its characteristic which cover yield, water content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galacturonic content, esterified degree, and relative viscosity.

Yield of Pectin ia about 13.67-16.32%. Based on Bayes method which comparing pectin characteristic result of research, the best condition of pectin extraction is treatment of temperature 95oC with extraction time 40 minutes. Pectin with the best extraction condition was compared to commercial pectin. The characteristic which is compared to commercial pectin is set in Food Chemical Codex standard that are water content, ash content, galacturonic content, and methoxyl content. Pursuant fourth of the characteristic, pectin result from temperature extraction 65oC and 95oC during 40 minute have better quality than commercial pectin.

Page 6: JERUK PONTIANAK

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

kekuatan dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang

berjudul Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Proses Pengolahan

Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa) dapat diselesaikan.Dalam

pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan

dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada berbagai pihak berikut ini :

1. Ir. Ade Iskandar, MSi selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan,

nasehat, dan arahannya.

2. Ir. Yulianingsih, Msi selaku pembimbing II atas bimbingan dan

dukungannya.

3. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi selaku dosen penguji atas bimbingannya.

4. Agus Budianto, STP atas segala bantuan dan dukungannya.

5. Mamak, Bapak, Harman, Aprilia dan Rachmad atas kasih sayang, doa dan

semangatnya selama ini.

6. Para staf dan karyawan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca

Panen Pertanian terutama Ibu Tisna, Ibu Ermi, Bapak Ato, Bapak Yudi,

Mbak Meli, Mbak Dewi yang telah banyak membantu selama penelitian.

7. Sigit, Iffa, Rini, Fitri, Ocie, Wahyu, Farikin, Hari, Andri, Ocha atas

bantuan dan kebersamaannya di Balai Pasca Panen.

8. Teman-teman ”Andaleb Crew” (Nisa, , Lely, Cocom, M’Saras, M’Yanti,

Widi, Firdaus, Azzi, Maryam, Sifa, dll) atas cinta yang telah kalian

berikan dan dukungan selama ini.

9. Teman-teman TIN IPB 39 atas kebersamaannya.

10. Semua pihak yang telah membantu selama masa tugas akhir.

Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Bogor, Juli 2006

Penyusun

Page 7: JERUK PONTIANAK

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

DAFTAR TABEL...........................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................v

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................vi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................1

B. Tujuan....................................................................................................2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jeruk Pontianak.....................................................................................3

B. Pektin.....................................................................................................4

1. Pengertian dan Sumber Pektin..........................................................4

2. Struktur dan Komposisi Kimia Pektin..............................................6

3. Sifat- Sifat Pektin..............................................................................8

4. Proses Produksi Pektin....................................................................10

5. Aplikasi Pektin................................................................................12

III. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat....................................................................................14

B. Metode Penelitian................................................................................14

1. Penelitian Pendahuluan....................................................................14

2. Penelitian Utama..............................................................................15

C. Rancangan Percobaan..........................................................................19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan........................................................................20

1. Analisa Proksimat.............................................................................20

2. Penentuan Bahan Baku.....................................................................21

B. Penelitian Utama..................................................................................23

1. Rendemen........................................................................................24

2. Kadar Air.........................................................................................26

3. Kadar Abu.......................................................................................27

Page 8: JERUK PONTIANAK

Halaman

4. Berat Ekivalen................................................................................29

5. Kadar Metoksil...............................................................................31

6. Kadar Galakturonat........................................................................33

7. Derajat Esterifikasi.........................................................................35

8. Viskositas Relatif............................................................................37

C. Perbandingan Terhadap Pektin Komersial...........................................38

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan..........................................................................................43

B. Saran.....................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................45

LAMPIRAN....................................................................................................49

Page 9: JERUK PONTIANAK

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Negara-Negara Penghasil Jeruk Dunia................................................1

Tabel 2. Rendemen Pektin Beberapa Bahan Baku Industri Pektin ...…...…….6

Tabel 3. Rincian Spesifikasi Mutu Pektin Komersial …................................13

Tabel 4. Penentuan bobot karakteristik mutu pektin.......................................16

Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ampas Jeruk Pontianak.............................20

Tabel 6. Hasil Metode Bayes Karakterisasi Pektin………………………….39

Tabel 7. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian dengan Pektin Komersial......41

Page 10: JERUK PONTIANAK

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penampang Melintang Buah Jeruk................................................4

Gambar 2. Struktur Dinding Sel Tanaman......................................................6

Gambar 3. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat............................................7

Gambar 4. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat..........................................7

Gambar 5. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi..................................7

Gambar 6. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah.................................8

Gambar 7. Struktur Fungsional Pektin............................................................8

Gambar 8. Diagram Alir Produksi Pektin Kulit Jeruk Pontianak..................18

Gambar 9. Hubungan Pengeringan Bahan Terhadap Rendemen Pektin.......21

Gambar 10. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen..... 25

Gambar 11. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air….. 26

Gambar 12. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu......28

Gambar 13. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat

Ekivalen…………………………………………………………30

Gambar 14. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Metoksil………………………………………………………...31

Gambar 15. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Galakturonat.................................................................................34

Gambar 16. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat

Esterifikasi....................................................................................35

Gambar 17 Reaksi Deesterifikasi Pektin.........................................................36

Gambar 18. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas

Relatif………………………………...........................................37

Gambar 19. Pektin Hasil Penelitian.................................................................39

Page 11: JERUK PONTIANAK

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pohon Industri Jeruk........................................................................49

Lampiran 2. Analisa Bahan..................................................................................50

Lampiran 3 Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen

Pektin Pada Perlakuan Pendahuluan ..............................................53

Lampiran 4. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen

Pektin Pada Perlakuan Utama.........................................................54

Lampiran 5. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Air

Pektin Pada Perlakuan Utama ........................................................55

Lampiran 6. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Abu

Pektin Pada Perlakuan Utama ........................................................57

Lampiran 7. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Berat

Ekivalen Pektin Pada Perlakuan Utama .........................................59

Lampiran 8. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar

Metoksil Pektin Pada Perlakuan Utama .........................................60

Lampiran 9. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar

Galakturonat Pektin Pada Perlakuan Utama ...................................62

Lampiran 10. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Derajat

Esterifikasi Pektin Pada Perlakuan Utama .....................................64

Lampiran 11. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Viskositas

Relatif Pektin Pada Perlakuan Utama .............................................66

Page 12: JERUK PONTIANAK

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jeruk Pontianak merupakan jenis jeruk siam yang banyak diusahakan

dan paling luas penyebarannya di Indonesia. Tanaman ini bisa diusahakan di

daerah dataran rendah sampai dengan daerah berketinggian 770 meter di atas

permukaan laut (Sarwono, 1994).

Produksi jeruk Indonesia selama tiga tahun terakhir cenderung

meningkat. Indonesia berada di peringkat 14 pada tahun 2002 dan peringkat

10 pada tahun 2003 dan 2004. Produksi jeruk Indonesia tahun 2004 kurang

lebih 1.600.000 ton atau 2,6% dari produksi dunia (Ditjen Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Pertanian, 2005).

Tabel 1. Negara-Negara Penghasil Jeruk Dunia 2002 2003 2004 No. Negara

Produksi % Produksi % Produksi % 1 Brasil 18.530.624 30.2 16.902.600 28.0 18.262.632 29.1 2 USA 11.225.500 18.3 10.473.450 17.3 11.729.900 18.7 3 Meksiko 3.843.960 6.3 3.969.810 6.6 3.969.810 6.3 4 India 3.120.000 5.1 3.070.000 5.1 3.070.000 4.9 5 Spanyol 2.867.100 4.7 3.112.900 5.2 2.900.000 4.6 6 Iran 1.880.000 3.1 1.850.000 3.1 1.850.000 3.0 7 Egypt 1.725.000 2.8 1.740.000 2.9 1.750.000 2.8 8 Italia 1.723.630 2.8 1.962.000 3.2 1.800.000 2.9 9 Cina 1.643.469 2.7 1.831.681 3.0 1.892.681 3.0 10 Turki 1.250.000 2.0 1.215.000 2.0 1.215.000 1.9 11 Pakistan 1.190.000 1.9 1.128.000 1.9 1.120.000 1.8 12 Yunani 1.164.508 1.9 967.681 1.6 1.000.000 1.6 13 Afrika Selatan 1.082.330 1.8 1.165.000 1.9 1.160.000 1.8 14 Indonesia 968.132 1.6 1.441.680 2.4 1.600.000 2.6 Dunia 61.644.115 60.740.954 63.039.736

Sumber: Data Produksi Jeruk FAO (2005)

Pembuatan produk dengan bahan baku jeruk seperti sari buah jeruk

akan mempunyai limbah berupa kulit, ampas dan biji. Limbah pengolahan

jeruk terutama kulit merupakan sumber serat pangan dan juga salah satu bahan

baku produksi pektin yang banyak digunakan pada industri makanan

(Herbstreith dan Fox, 2005). Ampas jeruk diperoleh sebagai produk

sampingan industri sari buah jeruk. Saat ini ampas jeruk digunakan untuk

pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah industri. Pemanfaatan ampas

tersebut kurang optimal, padahal ampas jeruk mengandung komponen yang

Page 13: JERUK PONTIANAK

bermanfaat bagi manusia. Salah satu komponen yang terdapat pada ampas

jeruk adalah pektin.

Indonesia mempunyai potensi yang baik sebagai penghasil buah jeruk,

tetapi pemanfaatan limbah jeruk sebagai sumber pektin secara industri belum

dilakukan. Kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya limbah jeruk yang

terkumpul cukup banyak dan kontinyu, sehingga diperlukan kerjasama dengan

pabrik yang memanfaatkan buah jeruk sebagai bahan baku seperti misalnya

pabrik sari buah jeruk (Purwantoro, 1989).

Pektin merupakan kompleks polisakarida anion yang terdapat pada

dinding sel primer dan interseluler pada tanaman tingkat tinggi. Asam D-

galakturonat merupakan molekul utama penyusun polimer pektin, dan

biasanya gula netral juga terdapat dalam pektin (O’Neill et al, 1990; Visser

dan Voragen, 1996).

Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada

industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan

menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan

mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi

glukosa dan tingkat kolesterol (Baker, 1994). Selain itu, pektin juga dapat

membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi dalam industri

kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet.

Nilai ekonomi yang dimiliki pektin cukup tinggi. Harga eceran tepung

pektin berkisar antara Rp. 200.000-Rp. 300.000 per kg. Pada tahun 2001,

Indonesia mengimpor pektin sebanyak 14.242 kg dengan nilai sebesar US $

130.599 (Biro Pusat Statistik, 2001).

B. Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknologi

proses pembuatan pektin dari bahan baku ampas jeruk Pontianak yang saat ini

dianggap sebagai limbah industri pengolahan sari buah jeruk. Tujuan khusus

penelitian ini adalah mencari suhu dan waktu ekstraksi terbaik dalam

menghasilkan pektin dengan mutu terbaik yaitu sesuai dengan standar mutu

pektin komersial.

Page 14: JERUK PONTIANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jeruk Pontianak

Jeruk merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai daerah

tumbuh antara 40oLU – 40oLS. Negara asal jeruk adalah Asia Tenggara, India,

Cina, Australia, dan Kaledonia Baru (Sarwono, 1986).

Jeruk Pontianak sebenarnya adalah jeruk siam (Citrus nobilis var

Microcarpa). Tanaman ini masuk Kalimantan Barat pada tahun 1936, dan

pertama kali ditanam di daerah Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. Pohon

jeruk Tebas yang telah berproduksi bisa menghasilkan buah sebanyak 15-50

kg per pohon (Sarwono, 1994).

Klasifikasi tanaman jeruk Pontianak adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicothyledonae

Suku : Rutacea

Marga : Citrus

Jenis : Citrus nobilis

Varietas : Citrus nobilis var microcarpa (Sarwono, 1994).

Jeruk Pontianak memiliki bentuk buah bulat dan licin. Daging buah

jeruk Pontianak banyak mengandung air, kulitnya tipis, agak melekat dan sulit

terlepas dari daging buah (Sarwono, 1994).

Menurut Albrigo dan Carter (1977), bagian-bagian utama buah jeruk

jika dilihat dari bagian luar sampai ke dalam adalah kulit (tersusun atas

epidermis, flavedo, kelenjar minyak, dan ikatan pembuluh), segmen-segmen

(terdiri atas dinding segmen, rongga cairan dan biji) dan core (bagian tengah

yang terdiri dari ikatan pembuluh dan jaringan parenkim).

Page 15: JERUK PONTIANAK

Bagian-bagian buah jeruk Pontianak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang Melintang Buah Jeruk

Kulit jeruk dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu flavedo (kulit

bagian luar yang berbatasan dengan epidermis) dan albedo (kulit bagian dalam

yang berupa jaringan busa). Epidermis merupakan bagian luar yang

melindungi buah jeruk, yang terdiri dari lapisan lilin, matriks kutin, dinding

sel primer dan sel epidermal. Flavedo sebagai lapisan kedua ditandai dengan

adanya warna hijau, kuning, oranye, kelenjar minyak, dan tidak terdapat

ikatan pembuluh. Pigmen yang terdapat pada flavedo adalah kloroplas dan

karotenoid. Dalam perkembangannya kloroplas akan terdegradasi, sehingga

buah yang sebelum matang berwarna hijau menjadi berwarna oranye pada saat

matang (Albrigo dan Carter, 1977).

Juring atau lamella jeruk banyak mengandung pektin, karena itu rugi

bila mengkonsumsi jeruk hanya menyerap sarinya dan membuang kulit

juringnya. Pektin pada jeruk yang bila dimakan atau diolah menjadi jus

dengan dagingnya akan bermanfaat sebagai pembersih racun dari dalam tubuh

(Kurniasih, 2004).

B. Pektin

1. Pengertian dan sumber pektin

Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar

tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan

jaringan dan komponen utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga

Page 16: JERUK PONTIANAK

berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith

dan Fox, 2005). Pektin merupakan senyawa polisakarida dengan bobot

molekul tinggi yang banyak terdapat pada tumbuhan. Pektin digunakan

sebagai pembentuk gel dan pengental dalam pembuatan jelly, marmalade,

makanan rendah kalori dan dalam bidang farmasi digunakan untuk obat

diare (National Research Development Corporation, 2004).

Kata pektin berasal dari bahasa Latin “pectos” yang berarti pengental

atau yang membuat sesuatu menjadi keras/ padat. Pektin ditemukan oleh

Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790,

pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan pada tahun

1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh

Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai

asam pektat (Herbstreith dan Fox, 2005).

Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer

yang berisi unit asam galakturonat (sedikitnya 65%). Kelompok asam

tersebut bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium,

kalsium atau ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida

(IPPA, 2002).

Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam

buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah. Pada

umumnya, protopektin yang tidak larut itu lebih banyak terdapat pada buah-

buahan yang belum matang (Winarno, 1997).

Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman,

khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa

pektin berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan yang

lain. Bagian antara dua dinding sel yang berdekatan tersebut dinamakan

lamella tengah (Winarno, 1997). Gambar 2 menunjukkan senyawa pektin

pada dinding sel tanaman (IPPA, 2002).

Page 17: JERUK PONTIANAK

Gambar 2. Struktur Dinding Sel Tanaman

Kandungan pektin dalam tanaman sangat bervariasi, baik berdasarkan

jenis tanamannya maupun dari bagian-bagian jaringannya. Bagian kulit dan

albedo buah jeruk lebih banyak mengandung pektin daripada jaringan

parenkimnya (Winarno, 1997). Tabel 2 menunjukkan rendemen pektin yang

dihasilkan dari beberapa jenis buah-buahan di Indonesia.

Tabel 2. Rendemen pektin beberapa bahan baku industri pektin

Sumber Rendemen (% bobot kering) Apel Gula Bit Bunga matahari Kulit jeruk

10-15 10-20 15-25 20-35

Sumber : Herbstreith dan Fox, 2006.

2. Struktur dan Komposisi Kimia Pektin

Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi

bahwa pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930,

Meyer dan Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan

Schneider dan Bock pada tahun 1937 membentuk formula tersebut

(Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat

yang berikatan dengan ikatan α- (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam

poligalakturonat. Gugus karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol

dan sebagian gugus alkohol sekunder terasetilasi (Herbstreith dan Fox,

Page 18: JERUK PONTIANAK

2005). Gambar 3 di bawah ini menunjukkan struktur kimia unit asam α-

galakturonat.

Gambar 3. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat

Menurut Hoejgaard (2004), pektin merupakan asam poligalakturonat yang

mengandung metil ester. Pektin diekstraksi secara komersial dari kulit buah

jeruk dan apel dalam kondisi asam. Masing-masing cincin merupakan suatu

molekul dari asam poligalakturonat, dan ada 300 – 1000 cincin seperti itu

dalam suatu tipikal molekul pektin, yang dihubungkan dengan suatu rantai

linier.

Gambar 4. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat

Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua

golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar

metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan

metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai

kandungan pektin maksimal 7% (Guichard et al, 1991).

Gambar di bawah ini merupakan rumus molekul dari pektin bermetoksil

tinggi dan pektin bermetoksil rendah (IPPA, 2002).

Gambar 5. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi

Page 19: JERUK PONTIANAK

Gambar 6. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah

Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu

rantai molekul panjang. Rantai utama ini diselingi oleh kelompok rhamnosa

dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa).

Kelompok karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat

diesterifikasi atau diamidasi (IPPA, 2002). Selain asam D-galakturonat

sebagai komponen utama, pektin juga memiliki D-galaktosa, L-arabinosa,

dan L-rhamnosa dalam jumlah yang bervariasi. Komposisi kimia pektin

sangat bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi yang dipakai dalam

isolasinya (Willats et al, 2006).

Gambar 7. Struktur Fungsional Pektin (Herbstreith dan Fox, 2005).

3. Sifat-sifat pektin

Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin

sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan

sodium, potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat

berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan,

kelabu atau kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran

matang. Gliksman (1969) menyatakan bahwa pektin kering yang telah

Page 20: JERUK PONTIANAK

dimurnikan berupa kristal yang berwarna putih dengan kelarutan yang

berbeda-beda sesuai dengan kandungan metoksilnya.

Sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin (Guichard

et al., 1991). Faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat

kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion

kalsium, dan gula (Chang dan Miyamoto, 1992). Kekentalan larutan pektin

mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin,

garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat (Rouse, 1977).

Pektin dengan kadar metoksil lebih rendah dari 7% dapat membentuk

gel bila ada ion-ion logam bivalen. Ion logam bivalen dapat bereaksi dengan

gugus-gugus karboksil dari 2 molekul asam pektat dan membentuk

jembatan. Pada pembentukan gel ini, tidak diperlukan gula dan tekstur gel

yang terbentuk kurang keras (Guichard et al., 1991).

Pembentukan gel dari pektin dengan derajat metilasi tinggi

dipengaruhi juga oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH. Semakin

besar konsentrasi pektin, semakin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi 1%

telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Gula yang ditambahkan

tidak boleh lebih dari 65% agar terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel

dapat dicegah (Guichard et al., 1991). Pembentukan gel pektin metoksil

tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil bebas dan

antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan

membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu

membentuk gel dengan adanya ion kalsium (Gliksman, 1969).

Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang

bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif.

Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi

ini dapat dihambat dengan penambahan garam.

Menurut Rouse (1977), degradasi dan dekomposisi pektin dapat

disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi. Kecepatan degradasi tergantung

pada suhu, pH, dan konsentrasi agen pengoksidasi.

Page 21: JERUK PONTIANAK

4. Proses Produksi Pektin

Tahapan-tahapan dalam pembuatan pektin yaitu persiapan bahan,

ekstraksi, penggumpalan, pencucian, dan pengeringan. Metode yang

digunakan untuk mengekstrak pektin dari jaringan tanaman sangat beragam.

Akan tetapi pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan

ekstraksi asam. Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi

pektin. Menurut Kertesz (1951), asam yang digunakan dalam ekstraksi

pektin adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat,

asam fosfat tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral

yang murah seperti asam sulfat, asam khlorida, dan asam nitrat. Beberapa

artikel saat ini menyarankan untuk menggunakan asam khlorida (Kalapathy

dan Proctor, 2001; Hwang et al., 1998; Dinu, 2001) dan asam nitrat (Pagán

et al., 2001).

Ekstraksi dengan menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen

yang lebih tinggi dibandingkan asam organik. Asam mineral pada pH rendah

lebih baik dari pada pH tinggi untuk menghasilkan pektin (Rouse dan

Crandal, 1978). Peranan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk

memisahkan ion polivalen, memutus ikatan antara asam pektinat dengan

selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil dan

menghidrolisa gugus metil ester pektin (Kertesz, 1951).

Suhu yang tinggi selama ekstraksi dapat meningkatkan rendemen

pektin. Suhu yang agak tinggi akan membantu difusi pelarut ke dalam

jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam

menghidrolisis pektin yang umumnya terdapat di dalam sel primer tanaman,

khususnya pada lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973). Penggunaan

suhu ekstraksi yang terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak

jernih, sehingga gel yang diperoleh akan keruh dan kekutan gel berkurang

(Kertesz, 1951).

Pektin dalam jaringan tanaman banyak dalam bentuk protopekin yang

tidak larut dalam air. Dengan adanya asam, kondisi larutan dengan pH

rendah akan menghidrolisa protopektin menjadi pektin yang lebih mudah

larut. Ekstraksi pektin sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada

Page 22: JERUK PONTIANAK

kisaran pH 1.5 sampai 3.0 dengan suhu pemanasan 60 – 100oC selama

setengah jam sampai satu setengah jam (Towle dan Christensen, 1973).

Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis

pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosidik

gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam

galakturonat (Smith dan Bryant, 1968).

Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin

dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari

gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik

isoelektrik seperti kebanyakan koloidal hidrofilik. Pektin lebih utama

distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Penambahan

etanol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan

koloidalnya, dan akibatnya pektin akan terkoagulasi (Rouse, 1977).

Ranganna (1977) menggunakan etanol 95% sebanyak dua kali volume

filtrat untuk mengendapkan pektin kulit jeruk. Dewan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004) mengendapkan pektin dengan

menggunakan etanol 95% yang mengandung 2 ml asam khlorida pekat

setiap satu liter etanol sebanyak 1.5 kali volume filtrat.

Pada tahap pemurnian pektin, Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi

dan Industri Sumatra Barat (2004) melakukan pencucian pektin markisa

dengan menggunakan alkohol 95% sampai pektin bebas khlorida. Suradi

(1984) melakukan pencucian pektin dari kulit jeruk dengan alkohol 80%

sampai bebas khlorida. Salah satu tujuan pencucian pektin adalah untuk

menghilangkan khlorida yang ada pada pektin.

Tahap akhir dari ekstraksi pektin adalah pengeringan endapan pektin.

Ranganna (1977) menganjurkan pengeringan dilakukan pada tekanan yang

rendah agar pektin tidak terdegradasi. Menurut Dewan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004), pengeringan pektin markisa

dapat dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40 - 60oC

selama 6 - 10 jam. McCready (1965) menggunakan suhu 60oC dalam oven

keadaan vakum selama 16 jam untuk pengeringan pektin kulit jeruk.

Page 23: JERUK PONTIANAK

5. Aplikasi Pektin

Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada

industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan

menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan

mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada

adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan

minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik

pada roti dan keju, bahan pengental dan stabilizer pada minuman sari buah.

Selain itu pektin juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jeli, jam,

dan marmalade (Herbstreith dan Fox, 2005).

Pektin memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Towle dan

Christensen (1973) menyatakan bahwa sejak dahulu pektin digunakan dalam

penyembuhan diare dan menurunkan kandungan kolesterol darah. Pektin

melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang

berguna untuk mengendalikan pendarahan. Pada industri farmasi, pektin

digunakan sebagai emulsifier bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada

bayi dan anak-anak, obat penawar racun logam, dan bahan penyusut

kecepatan penyerapan bermacam-macam obat. Selain itu, pektin juga

berfungsi sebagai bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan

antibiotika, bahan pelapis perban (pembalut luka) untuk menyerap kotoran

dan jaringan rusak atau hancur sehingga luka tetap bersih dan cepat sembuh,

serta bahan injeksi untuk mencegah pendarahan (Hoejgaard, 2004).

Kualitas pektin komersial ditentukan oleh sifat-sifat fisik pektin. Sifat

fisik tersebut diantaranya warna dan cita rasa yang cocok, kelarutan (untuk

pektin padat), derajat gel, kecepatan membeku, serta tidak mengandung

bahan atau zat berbahaya bagi kesehatan. Sifat fisik tersebut dipengaruhi

oleh sifat kimia pektin (IPPA, 2002).

Page 24: JERUK PONTIANAK

Tabel 3. Spesifikasi mutu pektin komersial

Karakteristik Nilai Kadar air (maksimum) 12 % Kadar abu (maksimum) 1 % Pektin bermetoksil tinggi (minimum) 7 % Pektin bermetoksil rendah (maksimum) 7 % Asam galakturonat (minimum) 65 % (bk) Logam berat (maksimum) 0.002 %

Sumber: Food Chemical Codex (1996)

Page 25: JERUK PONTIANAK

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan Dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah jeruk yang

merupakan sisa perasan jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa) yaitu

bagian lamella, core dan pulp. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi

pektin adalah etanol 95%, asam khlorida (HCl), air destilat, dan perak nitrat

(AgNO3) untuk uji ion khlorida serta bahan kimia untuk analisis yaitu NaOH,

etanol, NaCl, HCl, dan fenol merah.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, timbangan,

oven, tanur, pH-meter, kain saring tebal, viskometer Brookfield, blender,

stopwatch, stirrer hot plate , serta alat-alat gelas.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan

penelitian utama.

Tahap 1. Penelitian Pendahuluan

Pada tahap penelitian pendahuluan ini dilakukan analisis proksimat

terhadap bahan baku berupa limbah jeruk Pontianak. Metode analisa dapat

dilihat pada Lampiran 2.

Pada tahap penelitian pendahuluan juga dilakukan penentuan perlakuan

bahan baku. Ampas jeruk ditimbang sebanyak 200 gram untuk tiap sampel.

Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven selama 5 jam, 10 jam, dan 15

jam. Sebagian ampas dikeringkan dengan cara dijemur matahari selama 1 hari,

2 hari, dan 3 hari. Ekstraksi dilakukan pada ampas yang telah kering dan

ampas segar. Sebelum diekstrak, ampas diblender terlebih dahulu dengan

penambahan akuades sebanyak tiga kali berat ampas segar. Kemudian

ditambahkan HCl 0.1N sampai pH larutan menjadi 1.5. Campuran tersebut

dipanaskan di atas penangas ambil diaduk dengan suhu 95oC selama 40 menit.

Menurut Fardiaz (1984), ekstraksi pada pH 1.5 memberikan jumlah rendemen

pektin kulit jeruk yang tertinggi.

Campuran tersebut disaring. Filtratnya didinginkan sampai mencapai

suhu kamar, kemudian ditambahkan etanol 95% yang telah diasamkan (satu

Page 26: JERUK PONTIANAK

liter etanol diasamkan dengan 2 ml HCl pekat) sebanyak 1.5 kali volume

filtrat, dan diendapkan selama 12 jam. Endapan pektin disaring dan dicuci

dengan etanol 95% sampai bebas khlorida (khlorida masih ada jika terdapat

endapan putih pada etanol bekas pencucian ketika ditambahkan perak nitrat.

Endapan pektin khlorida dikeringkan dengan oven pada suhu 40oC selama 8

jam kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya.

Tahap 2. Penelitian Utama

(a) Ekstraksi pektin

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi

suhu dan waktu reaksi terhadap pektin yang dihasilkan. Tahap-tahap

produksi pektin terdiri dari :

a. Ekstraksi

Ampas segar ditimbang dan dihancurkan dengan menggunakan

blender selama 2 menit dengan menambahkan air sebanyak 3 kali bobot

bahan basah. Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan asam

khlorida 0.1 N sampai mencapai pH 1.5. Ekstraksi dilakukan di atas

penangas dengan suhu dan waktu bervariasi sebagai perlakuan. Selama

ekstraksi dilakukan pengadukan.

Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 65oC, 80oC, dan

95oC. Sedangkan waktu reaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

40 menit, 60 menit, dan 80 menit. Campuran yang telah diekstrak disaring

dengan menggunakan kain saring yang cukup tebal dan diperas untuk

memisahkan filtrat dari ampasnya. Kemudian dilakukan pengentalan

sampai volume menjadi setengah volume semula dengan pemanasan pada

suhu 80 oC.

b. Pengendapan (isolasi)

Filtrat yang telah dikentalkan didinginkan sampai dengan suhu

kamar kemudian dilakukan pengendapan pektin dengan menambahkan

etanol 95% yang telah diasamkan dengan menambahkan 2 ml asam

khlorida pekat per satu liter etanol. Perbandingan filtrat dengan etanol

yang ditambahkan adalah 1 : 1.5. Proses pengendapan dilakukan selama

12 jam. Endapan pektin yang terbentuk disaring dengan menggunakan

Page 27: JERUK PONTIANAK

kain saring tebal untuk memisahkan endapan pektin dari larutan etanol

dengan air.

c. Pencucian

Endapan pektin yang diperoleh dicuci dengan menggunakan etanol

95% hingga bebas khlorida. Pemisahan endapan pektin dengan etanol

bekas cucian dilakukan dengan kain saring tebal kemudian diperas. Untuk

mengetahui terdapatnya khlorida, dapat dilakukan dengan menambahkan

beberapa tetes larutan perak nitrat (AgNO3) pada cairan bekas cucian.

Apabila khlorida masih ada, maka akan terbentuk endapan putih (AgCl).

d. Pengeringan

Pengeringan pektin basah hasil cucian dilakukan dalam oven pada

suhu 40oC selama 8 jam. Tepung pektin diperoleh dengan memblender

pektin kering kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan

ayakan 60 mesh.

Karakterisasi pektin yang dihasilkan

Karakterisasi pektin yang dihasilkan dilakukan dengan pengujian

kadar abu, kadar air, berat ekivalen, kandungan metoksil, kadar

galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif.

Perbandingan terhadap pektin komersial

Pektin terbaik yang dihasilkan melalui perhitungan metode Bayes

diperbandingkan dengan karakteristik dari pektin komersial. Tiap

karakteristik pektin diberi bobot sesuai dengan tingkat kepentingannya.

1 : sangat tidak penting

2 : tidak penting

3 : cukup penting

4 : penting

5. sangat penting

Tabel 4. Penentuan bobot karakteristik mutu pektin

karakteristik rendemen kadar abu

berat ekivalen

kadar metoksil

kadar galakturonat

derajat esterifikasi

viskositas relatif Jumlah

Peringkat 5 4 4 3 4 3 2 25 Bobot 0,2 0,16 0,16 0,12 0,16 0,12 0,08 1

Page 28: JERUK PONTIANAK

Nilai tiap parameter mutu pektin diurutkan dari yang terkecil sampai

yang terbesar. Perlakuan ekstraksi yang memiliki rendemen tertinggi

diberi nilai tertinggi yaitu 9, sedangkan perlakuan ekstraksi yang memiliki

rendemen terendah diberi nilai satu. Pektin yang memiliki kadar abu

terendah memiliki nilai tertinggi yaitu 9, sedangkan pektin yang memiliki

kadar abu tertinggi memiliki nilai satu. Pektin dengan berat ekivalen

tertinggi diberi nilai 9. Pektin dengan kadar metoksil tertinggi diberi nilai

9. Pektin yang memiliki kadar galakturonat tertinggi diberi nilai 9. Pektin

yang memiliki derajat esterifikasi tertinggi diberi nilai 9. Pektin yang

memiliki viskositas tertinggi diberi nilai 9.

Nilai tiap karakteristik yang diberikan pada langkah tersebut diatas

dikalikan dengan bobot karakteristik tersebut. Hasil perhitungan untuk tiap

karakteristik mutu pektin dijumlahkan sehingga diperoleh nilai total.

Pektin yang memiliki nilai total tertinggi adalah pektin terbaik.Pektin

terbaik tersebut akan dibandingkan dengan pektin komersial. Selain itu,

pektin yang diperoleh pada ekstraksi suhu dan waktu terendah juga

dibandingkan dengan pektin komersial.

Page 29: JERUK PONTIANAK

Gambar 8. Diagram Alir Ekstraksi Pektin

Ampas jeruk pontianak

Penghancuran dengan blender (2 menit)

Air sebanyak 3 kali bobot bahan

basah

Ekstraksi pada pH 1,5 dengan suhu dan waktu sesuai perlakuan

Penyaringan

Filtrat

Pengentalan sampai volume menjadi setengahnya Etanol 95%

(ditambah HCl) 1,5 kali volume filtrat

Pengendapan pektin selama 12 jam (isolasi)

Penyaringan

Pencucian endapan pektin beberapa kali dengan etanol 95% sampai bebas khlorida

Endapan pektin

Pengeringan endapan pektin (oven 40oC, 8 jam)

ampas

filtrat

Pektin kering

Penghancuran dan Pengayakan

Tepung pektin

Page 30: JERUK PONTIANAK

C. Rancangan Percobaan

Pada penelitian utama, rancangan percobaan yang digunakan

adalah Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial 3 x 3 dengan

ulangan 3 kali ulangan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai

berikut :

Yijk = M + Ei + Fj + EFij + Ek (ij)

i = 1, 2, 3

j = 1, 2, 3

k = 1,2, 3

Yijk : variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke i faktor A dan

taraf ke j faktor B yang terdapat pada observasi ke k

M : efek rata-rata yang sebenarnya

Ei : efek sebenarnya dari taraf ke i faktor suhu

Fj : efek sebenarnya dari taraf ke j faktor waktu

EF ij : efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor suhu dengan

taraf j faktor waktu

Ek (ij): efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi

perlakuan (ij)

Hipotesis :

Ho : Menyatakan terdapat pengaruh faktor suhu dan waktu keduanya

saling mempengaruhi

H1 : Menyatakan tidak adanya pengaruh suhu dalam eksperimen

H2 : Menyatakan tidak adanya pengaruh faktor waktu dalam eksperimen

H3 : Menyatakan tidak terdapat interaksi antara factor suhu dan waktu

dalam eksperimen

Page 31: JERUK PONTIANAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

1. Analisa Proksimat

Pada tahap awal penelitian analisa proksimat dilakukan untuk

mengetahui komposisi dari ampas jeruk Pontianak yang meliputi persentase

kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan

kadar serat kasar. Parameter yang dianalisa tersebut berpengaruh terhadap

proses ekstraksi pektin dan karakter pektin hasil ekstraksi.

Menurut Tressler dan Joyslin (1954), kadar serat berpengaruh

terhadap jumlah pektin yang dapat diekstrak. Grape fruit dan orange dengan

kadar serat kasar 0.6-0.9% akan memiliki rendemen pektin sebesar 1-2%

basis basah.

Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ampas Jeruk Pontianak Segar

Jenis Analisa % Hasil (bb) % Hasil (bk) Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Kadar serat kasar

82.48 0.57 0.84 4.50 11.61 4.15

470.78 3.25 4.79 25.69 66.27 23.69

Hasil analisa proksimat yang dilakukan memperlihatkan bahwa

limbah pengolahan jus jeruk berupa ampas jeruk Pontianak memiliki kadar

air sebanyak 82.48 %. Kadar air yang tinggi pada bahan baku akan

mempercepat degradasi senyawa pektin oleh reaksi enzimatis menjadi

senyawa gula. Adanya enzim pektinase pada ampas jeruk akan

mendegradasi pektin menjadi asam pektat dan senyawa sederhana lainnya.

Kadar air bahan yang tinggi menjadi dasar pemikiran dilakukannya

pengeringan bahan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu yang

cukup lama.

Page 32: JERUK PONTIANAK

2. Penentuan Bahan Baku

Tahap pendahuluan pada penelitian ini dilakukan untuk memperoleh

bahan baku yang terbaik untuk proses ekstraksi pada penelitian utama.

Suhu yang digunakan untuk ekstraksi adalah 95oC dengan lama ekstraksi

40 menit. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Fitriani

(2002) tentang ekstraksi dan karakteriasi pektin dari jeruk lemon yang

memberikan hasil terbaik pada suhu 95oC dengan lama ekstraksi 40 menit.

Grafik hubungan antara perlakuan bahan baku terhadap rendemen pada

penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 9.

Rendemen Pektin

14,68 14,29 13,91

12,1313,47

12,83

11,31

0

2

4

6

8

10

12

14

16

ampassegar

oven 5jam

oven 10jam

oven 15jam

jemur 1hari

jemur 2hari

jemur 3hari

perlakuan

rend

emen

(% b

asis

ker

ing)

Gambar 9. Hubungan Pengeringan Bahan Terhadap

Rendemen Pektin

Rendemen pektin yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan ini

berkisar antara 11.31 – 14.68 % (bk). Hasil analisis keragaman

menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan bahan memberikan pengaruh

nyata terhadap rendemen pektin. Uji analisis keragaman dan uji lanjut

Duncan terhadap rendemen pektin dapat dilihat pada Lampiran 3.

Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan bahan terhadap

rendemen menunjukkan bahwa semakin rendah kadar air bahan maka

semakin rendah pula rendemen pektin. Penurunan rendemen semakin

Page 33: JERUK PONTIANAK

besar pada pengeringan dengan menggunakan matahari. Hal ini

disebabkan karena panas matahari yang cenderung tidak stabil akan

mempercepat terjadinya degradasi pektin menjadi senyawa yang lebih

sederhana.

Menurut Fitriani (2002), pengeringan kulit jeruk pada suhu 55oC

selama 15 jam sampai kadar air 10% memberikan rendemen yang lebih

tinggi daripada kulit jeruk segar. Tingginya kadar air bahan akan menutup

permukaan dan menyulitkan difusi larutan asam untuk mengekstrak pektin

dari bahan. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra

Barat (2004) menyatakan bahwa pengeringan kulit jeruk dapat dilakukan

dengan menggunakan panas matahari selama 3 hari.

Pada produksi pektin komersial, bahan yang akan diekstrak

dikeringkan terlebih dahulu. Menurut Kalapathy dan Proctor (2001),

pengeringan bahan tersebut bertujuan untuk mencegah deteriorasi selama

penyimpanan dan transportasi bahan.

Hasil penelitian pendahuluan tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Fitriani (2002). Hal ini disebabkan bahan yang diekstrak

berbeda. Pada penelitiannya Fitriani (2002) menggunakan kulit jeruk

lemon. Kulit jeruk lemon mengandung sejumlah minyak atsiri yang

cenderung bersifat nonpolar yang menghambat difusi larutan asam yang

bersifat polar. Dengan adanya pengeringan bahan, sebagian minyak atsiri

juga ikut menguap bersama uap air.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas jeruk

Pontianak yang kadar minyak atsirinya sangat berbeda dengan kulit jeruk

lemon. Pengeringan bahan dengan menggunakan oven menghasilkan

rendemen pektin yang lebih rendah dari bahan segar. Semakin lama bahan

dikeringkan maka semakin rendah pula rendemen pektin yang dihasilkan.

Semakin lama bahan dijemur, maka semakin rendah pula rendemen

pektinnya. Pada kadar air yang hampir sama, pengeringan bahan dengan

panas matahari memberikan rendemen yang lebih rendah daripada

pengeringan dengan oven.

Page 34: JERUK PONTIANAK

Pada proses pengeringan, degradasi pektin dalam ampas mulai

terjadi. Ampas jeruk memiliki jumlah kandungan enzim pektin esterase dan

pektinase yang lebih tinggi dari bagian yang lain dari buah jeruk (Rousse,

1977). Enzim tersebut mampu mendegradasi pektin menjadi asam pektat.

Adanya proses pengeringan pada suhu yang tidak terlalu tinggi akan

memberikan kesempatan terjadinya degradasi pektin bahkan dimungkinkan

enzim semakin aktif mendegradasi pektin pada suhu tersebut.

Dalam struktur polimer pektin terdapat gula yang terletak pada rantai

cabang (IPPA, 2002). Selama proses pengeringan juga terjadi oksidasi yang

ditunjukkan dengan perubahan warna ampas menjadi coklat pada

permukaan ampas. Pengeringan dengan matahari menghasilkan kualitas

ampas yang lebih rendah dari pengeringan dengan oven.Selain suhu yang

tidak konstan, lamanya proses pengeringan juga memberikan kesempatan

terjadinya oksidasi sehingga degradasi pektin menjadi lebih besar.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan

dengan oven selama 5 jam dan 10 jam tidak berbeda nyata dengan ampas

segar. Pengeringan dengan oven selama 5 jam dan 10 jam tidak berbeda

nyata dengan pengeringan dengan matahari selama satu hari yang memiliki

rendemen yang berbeda nyata dengan ampas segar. Dari hasil tersebut

maka dipilih ampas segar sebagai bahan penelitian utama karena

memberikan rendemen pektin yang tertinggi.

Rouse (1977) menyatakan bahwa ekstraksi bahan segar akan

menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi daripada bahan yang

dikeringkan. Pektin yang dihasilkan dari bahan segar memiliki kadar

metoksil, tingkat kemurnian, unit gel, dan grade gel yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan bahan kering.

B. Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan dengan melakukan ekstraksi pektin dari

bahan yang diperoleh dari hasil terbaik penelitian pendahuluan yaitu berupa

ampas segar. Bahan diekstrak sesuai perlakuan yang telah ditentukan yaitu

dengan adanya variasi suhu dan waktu ekstraksi. Pektin yang dihasilkan dari

Page 35: JERUK PONTIANAK

masing-masing perlakuan ditentukan karakteristiknya yang meliputi

rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar

galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif. Karakteristik pektin

terbaik yang dihasilkan dibandingkan dengan pektin komersial.

1. Rendemen

Pektin termasuk dalam kelompok kompleks heteropolisakarida yang

beragam. Seperti polisakarida tanaman yang lain, pektin memiliki

komposisi dan ukuran molekul yang beragam sehingga struktur kimia dan

bobot molekulnya beragam. Komposisi tersebut tergantung pada jenis

bahan yang diekstrak, kondisi ekstraksi, lokasi asal bahan, dan faktor

lingkungan yang lain (Chang et al, 1994).

Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi

menggunakan pelarut, dalam hal ini berupa air yang diasamkan dengan

asam khlorida. Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan

bagian tanaman yang diekstrak. Sebelum diekstrak, dilakukan persiapan

bahan sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan

yang akan mempermudah proses ekstraksi.

Rendemen pektin yang dihasilkan dari ampas jeruk Pontianak

berkisar antara 13.67-16.32% (bk). Rendemen tertinggi diperoleh pada

ekstraksi dengan suhu 95oC selama 80 menit dan rendemen terendah

diperoleh pada ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit. Grafik hubungan

perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen pektin yang

dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10. Semakin lama waktu dan

semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin

besar.

Page 36: JERUK PONTIANAK

12,00

13,00

14,00

15,00

16,00

17,00

65 C 80 C 95 C

suhu ekstraksi (˚C)re

ndem

en p

ektin

(%bk

)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 10. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap

Rendemen Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 4b menunjukkan bahwa

waktu dan suhu ekstraksi memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen

pektin yang dihasilkan, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut

tidak berpengaruh nyata. Pengaruh masing-masing perlakuan dapat

diketahui dari hasil uji lanjut Duncan.

Pada suhu ekstraksi 65oC rata-rata rendemen yang dihasilkan 14.04%

berbeda nyata dengan suhu 80oC yaitu 14.57% dan berbeda nyata pula

dengan suhu 95oC yaitu 15.56%. Semakin tinggi suhu ekstraksi, maka

kinetika reaksi hidrolisis protopektin semakin meningkat sehingga

rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar.

Ekstraksi selama 40 menit menghasilkan rendemen pektin yang tidak

berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit tetapi berbeda nyata dengan

waktu ekstraksi 80 menit. Waktu ekstraksi 60 menit dan 80 menit memiliki

rendemen pektin yang yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata

dengan waktu ekstraksi 40 menit. Semakin lama waktu ekstraksi sampai

batas waktu 80 menit, semakin tinggi pula rendemen pektin yang

dihasilkan.

Pada ekstraksi 40 menit dihasilkan rendemen pektin sebesar 14.36%

dan semakin meningkat menjadi 15.12% pada waktu ekstraksi 80 menit.

Semakin lama terjadinya kontak antara bahan dan pelarut, akan

memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menghidrolisis protopektin

Page 37: JERUK PONTIANAK

yang terdapat dalam bahan sehingga dapat meningkatkan rendemen pektin

yang dihasilkan.

Goycoolea dan Adriana (2003) menjelaskan bahwa penggunaan HCl

dengan konsentrasi 0.1 N pada proses ekstraksi pektin memberikan

rendemen pektin yang terbaik. Peningkatan suhu lebih dari 100oC dan

waktu lebih dari 80 menit tidak akan memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap rendemen pektin Oppuntia sp. yang dihasilkan.

2. Kadar Air

Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan.

Tingginya kadar air dalam bahan menyebabkan kerentanan terhadap

aktivitas mikroba. Dalam upaya memperpanjang masa simpan, dilakukan

pengeringan sampai dengan batas kadar air tertentu. Pengeringan pada

suhu rendah bertujuan meminimalkan degradasi pektin.

Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan pada oven pengering suhu

40oC selama 8 jam. Kadar air pektin yang dihasilkan berkisar antara 7.94-

11.91% atau 8.62-13.53% (bk). Nilai kadar air tersebut masih berada

dalam kisaran nilai kadar air yang diizinkan The Council Of The European

Communities (1998) yaitu tidak lebih dari 12%. Hubungan perlakuan

waktu dan suhu ekstraksi terhadap kadar air pektin dapat dilihat pada

Gambar 11. Kadar air pektin yang dihasilkan semakin rendah dengan

meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi.

0,002,004,006,008,00

10,0012,0014,0016,00

65 80 95

suhu (°C)

kada

r air

(%)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 11. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap

Kadar Air (bk) Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 5b memperlihatkan bahwa

suhu, waktu ekstraksi dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata

Page 38: JERUK PONTIANAK

terhadap kadar air pektin. Pada suhu 65oC kadar air pektin yang

dihasilkan 11.70%, berbeda nyata dengan suhu 80oC yaitu 10.26%, dan

berbeda nyata pula dengan suhu 95oC yaitu 8.22%. Pada waktu ekstraksi

40 menit, kadar air pektin yang dihasilkan 10.51% dan waktu ekstraksi 60

menit yaitu 10.38% berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu

9.29%.

Kadar air pektin tertinggi diperoleh pada pelakuan suhu 65oC dan

waktu ekstraksi 40 menit yaitu 11.91%, sedangkan kadar air terendah

diperoleh pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit yaitu

7.94%. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu

ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar air pektin. Semakin tinggi

suhu dan semakin lama waktu ekstraksi akan meningkatkan jumlah air

yang menguap selama proses ekstraksi sehingga mempermudah proses

pengeringan yang berakibat semakin rendahnya kadar air pektin.Tingginya

suhu dan lamanya waktu ekstraksi mampu menghidrolisis polimer pektin

sehingga rantai molekulnya menjadi lebih pendek. Semakin pendek rantai

polimer pektin akan semakin memudahkan pengeringan karena kandungan

air yang terperangkap di dalamnya semakin sedikit.

3. Kadar Abu

Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa

pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat dilihat

dari kadar abu yang dimiliki bahan tersebut. Kadar abu berpengaruh pada

tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi kadar abu dalam pektin, tingkat

kemurnian pektin semakin rendah. Jika kadar abu dalam tepung pektin

tinggi, maka persentase kandungan pektin yang terdapat didalamnya

semakin rendah dan tingkat kemurnian tepung pektin tersebut juga rendah.

Kadar abu pektin dipengaruhi oleh residu bahan anorganik yang terdapat

pada bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin (Kalapathy dan

Proctor, 2001).

Page 39: JERUK PONTIANAK

0,000,200,400,600,801,001,201,40

65 80 95

suhu (°C)ka

dar a

bu (%

)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 12. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap

Kadar Abu (bk) Kadar abu tepung pektin yang diperoleh berkisar antara 0.64-1.22%

(bb) atau 0.73 -1.33% (bk). Kadar abu tepung hasil ekstraksi selama 80

menit memiliki nilai lebih dari 1%, sedangkan pektin hasil ekstraksi

selama 40 menit dan 60 menit memiliki kadar abu kurang atau sama

dengan 1%. Pektin yang dihasilkan pada ekstraksi 40 dan 60 menit

memiliki nilai kadar abu masih berada dalam kisaran nilai kadar abu yang

diizinkan oleh The Council Of The European Communities (1998) yaitu

tidak lebih dari 1%. Ekstraksi selama 80 menit memiliki kadar abu

melebihi batas maksimum yang telah diizinkan. Grafik hubungan

perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar abu pektin dapat

dilihat pada Gambar 12.

Kadar abu tepung pektin yang dihasilkan semakin meningkat dengan

meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. 5b

memperlihatkan bahwa suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata

terhadap kadar abu tepung pektin, sedangkan interaksi antara kedua faktor

tersebut tidak berpengaruh nyata.

Menurut Meyer (1985), dalam buah-buahan dan sayuran,

protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat.

Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin akan mengakibatkan

bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak.

Kadar abu dalam pektin semakin meningkat dengan meningkatnya

konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Hal ini disebabkan oleh

kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang

Page 40: JERUK PONTIANAK

diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi

asam, suhu, dan waktu reaksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap

bercampur dengan pektin pada saat pengendapan dengan alcohol

(Kalapathy dan Proctor, 2001).

Pektin dengan waktu ekstraksi 40 menit memiliki kadar abu 0.73%

berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 0.93% dan berbeda

nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 1.1033%. Semakin lama

waktu ekstraksi semakin lama terjadinya kontak antara bahan dan pelarut

yang dapat memperbesar kesempatan terjadinya reaksi hidrolisis

protopektin yang berakibat pada semakin tingginya kadar abu.

Pektin yang dihasilkan pada suhu ekstraksi 65oC memiliki kadar abu

sebesar 0.85% dan suhu 80oC sebesar 0.89% berbeda nyata dengan suhu

95oC sebesar 1.03%. Semakin tinggi suhu maka kecepatan reaksi hidrolisis

protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu pektin juga semakin

tinggi.

Kadar abu merupakan salah satu parameter mutu pektin. Semakin

rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin tinggi. Perlakuan ekstraksi

selama 40 dan 60 menit menghasilkan kadar abu pektin yang sesuai

dengan nilai standar yaitu tidak lebih dari 1 %.

4. Berat Ekivalen

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam

galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin

(Ranganna, 1977). Asam pektat murni merupakan zat pektat yang

seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus

metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Asam pektat murni memiliki

berat ekivalen 176. Tingginya derajat esterifikasi antara asam galakturonat

dengan methanol menunjukkan semakin rendahnya jumlah asam bebas

yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Rouse, 1977).

Berat ekivalen tepung pektin yang dihasilkan berkisar antara 587.07 -

1334.11. Hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap berat

ekivalen dapat dilihat pada Gambar 13.

Page 41: JERUK PONTIANAK

0,00200,00400,00600,00800,00

1000,001200,001400,001600,00

65 80 95

suhu ekstraksi (˚C)bo

bot e

kiva

len

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 13. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap

Berat Ekivalen Berat ekivalen pektin yang dihasilkan semakin menurun dengan

semakin meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. Hasil

analisa sidik ragam pada Lampiran 7b menunjukkan bahwa suhu, waktu

dan interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap

berat ekivalen pektin.

Berat ekivalen pektin hasil ekstraksi selama 40 menit yaitu 1003.84

berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 896.10 dan berbeda

nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 783.94. Ekstraksi pada

suhu 65oC menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 1204.61 berbeda

nyata dengan ekstraksi suhu 80oC yaitu 861.52 dan berbeda nyata pula

dengan ekstraksi suhu 95oC yaitu 617.75.

Ekstraksi pada suhu 65oC selama 40 menit menghasilkan pektin

dengan berat ekivalen tertinggi yaitu sebesar 1334.11. Berat ekivalen

terendah dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 80

menit yaitu sebesar 548.07. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara

suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata.

Kim et al (1978) menjelaskan semakin rendah suhu yang digunakan

akan memperkecil terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Menurut

Padival et al (1979), karakteristik gel dan bobot molekul akan menurun

dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Semakin tinggi suhu dan semakin

lama waktu ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya

Page 42: JERUK PONTIANAK

depolimerisasi pektin sehingga memiliki nilai berat ekivalen yang semakin

rendah.

Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan

baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi. Pada

umumnya, pektin berbobot molekul tinggi lebih disukai untuk

pembentukan gel (Constenla dan Lozano, 2006). Pektin yang terbaik

adalah pektin yang memiliki nilai bobot ekivalen yang tinggi. Semakin

tinggi suhu dan lama ekstraksi, mutu pektin akan semakin rendah jika

dilihat dari nilai bobot ekivalennya.

5. Kadar Metoksil

Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat

di dalam pektin. Pektin disebut bermetoksil tinggi jika memiliki nilai

kadar metoksil sama dengan 7% atau lebih. Jika kadar metoksil kurang

dari 7% maka pektin disebut bermetoksil rendah (Goycoolea dan Adriana,

2003).

Kadar metoksil pektin hasil ekstraksi berkisar antara 4.87 -6.95%.

Berdasarkan nilai kadar metoksil tersebut, maka pektin yang dihasilkan

dalam penelitian ini tergolong dalam pektin berkadar metoksil rendah.

Grafik hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap kadar

metoksil pektin dapat dilihat pada Gambar 14. Grafik tersebut

menunjukkan bahwa rata-rata kadar metoksil pektin akan semakin tinggi

dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi.

0,001,002,003,004,005,006,007,008,00

65 80 95

suhu ekstraksi (˚C)

kada

r met

oksi

l (%

)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 14. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

kadar metoksil

Page 43: JERUK PONTIANAK

Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 8b memperlihatkan bahwa

waktu, suhu dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata. Kadar

metoksil tertinggi dimiliki pektin hasil ekstraksi pada suhu 95oC selama 80

menit yaitu 6.95%, sedangkan kadar metoksil terendah dimiliki pektin

hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit yaitu 4.87%. Hal ini

menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan lama ekstraksi berpengaruh

nyata terhadap kadar metoksil pektin.

Kadar metoksil pektin pada suhu ekstraksi 65oC sebesar 5.21%

semakin meningkat menjadi 6.74% pada suhu 95oC. Hasil uji lanjut

Duncan menunjukkan bahwa kadar metoksil pektin hasil ekstraksi suhu

65oC berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan

suhu 95oC.

Ekstraksi selama 40 menit menghasilkan pektin dengan kadar

metoksil sebesar 5.73% dan semakin meningkat menjadi 6.34% pada

ekstraksi selama 80 menit. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa

ekstraksi selama 40 menit menghasilkan kadar metoksil pektin yang

berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula

dengan waktu ekstraksi 80 menit.

Kadar metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan

sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan

tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2006). Pektin bermetoksil

tinggi membentuk gel dengan adanya gula dan asam. Kondisi yang

diperlukan untuk pembentukan gel adalah kadar gula 58-75% dengan pH

2.8-3.5. Pektin bermetoksil rendah tidak memiliki kemampuan membentuk

gel dengan adanya gula dan asam, tetapi dapat membentuk gel dengan

adanya kation polivalen (Cruess, 1958).

Perusahaan pektin biasanya menghasilkan pektin bermetoksil tinggi

meskipun ada tanaman yang menghasilkan pektin bermetoksil rendah. Ada

empat metode demetilasi termasuk yang menggunakan asam, alkali, enzim

dan amonia dalam etanol. Demetilasi dengan menggunakan asam lebih

umum digunakan untuk menghasilkan pektin bermetoksil rendah (Kertesz,

1951). Ekstraksi pektin bermetoksil tinggi lebih mudah dilakukan dengan

Page 44: JERUK PONTIANAK

biaya yang lebih murah. Selain itu, sebagian besar sumber bahan bakunya

menghasilkan pektin yang bermetoksil tinggi. Pektin bermetoksil tinggi

lebih dianggap dapat memenuhi kebutuhan pasar. Jika pasar menginginkan

pektin bermetoksil rendah, maka dengan mudah pektin bermetoksil tinggi

ni dapat dirubah menjadi pektin bermetoksil rendah. Tetapi tidak

sebaliknya pada pektin bermetoksil rendah yang lebih sulit untuk dijadikan

pektin bermetoksil tinggi.

Pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk pektin

bermetoksil rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation

polivalen seperti ion kalsium. Hal ini lebih menguntungkan karena pektin

bermetoksil rendah dapat langsung diproduksi tanpa melalui proses

demetilasi seperti pektin bermetoksil rendah yang diproduksi dari pektin

bermetoksil tinggi.

6. Kadar Galakturonat

Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan

penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar

galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin

(Constenla dan Lozano, 2006).

Kadar asam galakturonat pektin hasil ekstraksi berkisar antara 40.84-

71.60 % (basis basah) atau 46.70-78.82 % (basis kering) tanpa abu.

Menurut The Council Of The European Communities (1998), kadar asam

galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65% yang dihitung

berdasarkan basis kering tanpa abu. Berdasarkan nilai tersebut, yang

memenuhi syarat tersebut adalah pektin yang diekstrak pada suhu 95oC

selama 40 menit, 60 menit, 80 menit dan suhu 80oC selama 80 menit.

Grafik hubungan antara perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

kadar galakturonat dapat dilihat pada Gambar 15.

Page 45: JERUK PONTIANAK

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

65 80 95

suhu ekstraksi (˚C)ka

dar g

alak

turo

nat (

%)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 15. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

kadar galakturonat Gambar 15 menunjukkan bahwa kadar asam galakturonat semakin

meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu

ekstraksi. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 9b menunjukkan

bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi kedua faktor tersebut

berpengaruh nyata terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan.

Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan kadar

galakturonat sebesar 44.35% dan meningkat menjadi 67.28% pada suhu

95oC. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa suhu ekstraksi 65oC

menghasilkan kadar galakturonat pektin yang berbeda nyata dengan suhu

80oC dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC. Semakin tinggi suhu

ekstraksi akan meningkatkan kinetika reaksi hidrolisis pektin, sehingga

kadar galakturonat pektin yang dihasilkan juga meningkat.

Ekstraksi pektin selama 40 menit memiliki kadar galakturonat

51.12% dan meningkat menjadi 60.02% pada waktu ekstraksi 80 menit.

Waktu ekstraksi 40 menit menghasilkan kadar galakturonat pektin yang

berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula

dengan waktu ekstraksi 80 menit. Semakin lama waktu ekstraksi, kadar

galakturonat semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin lamanya reaksi

hidrolisis protopektin sehingga kadar galakturonat yang dihasilkan juga

semakin meningkat.

Kadar galakturonat tertinggi diperoleh pada ekstraksi dengan suhu

95oC selama 80 menit, sedangkan kagar galakturonat terendah diperoleh

Page 46: JERUK PONTIANAK

pada suhu 65oC selama 40 menit. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

interaksi antara faktor suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata

terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan.

Salah satu yang menentukan mutu pektin adalah kadar

galakturonat. Semakin tinggi nilai kadar galakturonat, maka mutu pektin

semakin tinggi. Ekstraksi pektin pada suhu 95oC selama 40, 60, dan 80

menit serta ekstraksi pada suhu 80oC selama 80 menit memiliki nilai kadar

galakturonat yang sesuai dengan standar yaitu minimal 65% (bk) tanpa

abu.

7. Derajat Esterifikasi

Menurut Whistler dan Daniel (1985), derajat esterifikasi merupakan

persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya

teresterifikasi dengan etanol. Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari

nilai kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Persentase dari

kelompok karboksil teresterifikasi oleh methanol dinamakan derajat

esterifikasi (Fennema, 1996).

Nilai derajat esterifikasi pektin hasil penelitian berkisar antara 55.13-

67.68%. Grafik hubungan antara perlakuan suhu dan waktu ekstraksi

terhadap derajat esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil analisa

sidik ragam pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa suhu, waktu, dan

interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap derajat ekivalen pektin

yang dihasilkan.

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

65 80 95

suhu ekstraksi (˚C)

dera

jat e

ster

ifika

si (%

)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 16. Hubungan perlakuan dan waktu ekstraksi terhadap

derajat esterifikasi

Page 47: JERUK PONTIANAK

Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan derajat

esterifikasi 66.74 % dan menurun menjadi 57.03% pada suhu ekstraksi

95oC. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pektin hasil ekstraksi

suhu 65oC berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula

dengan suhu 95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi, nilai derajat esterifikasi

semakin rendah.

Pektin yang dihasilkan dengan lama ekstraksi 40 menit memiliki

nilai derajat esterifikasi 64.07% menurun menjadi 60.64% pada ekstraksi

selama 80 menit. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pektin yang

diekstrak selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang berbeda

nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula dengan

ekstraksi selama 80 menit. Semakin lama ekstraksi dilakukan, nilai derajat

esterifikasi semakin rendah.

Tingginya suhu dan lamanya proses ekstraksi dapat menyebabkan

degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh

adanya asam. Asam yang digunakan dalam ekstraksi pektin akan

menghidrolisa ikatan hidrogen (Kertesz, 1951). Ikatan glikosidik gugus

metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam

galakturonat. Jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah

menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil

ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang

tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi. Reaksi deesterifikasi pektin

dapat dilihat pada Gambar 19.

Asam pektinat Air Asam pektat metanol

Gambar 17. Reaksi Deesterifikasi Pektin

Derajat esterifikasi tertinggi diperoleh pada pektin yang diekstrak

dengan suhu 65oC selama 40 menit, sedangkan derajat esterifikasi

terendah pada pektin yang diekstrak dengan suhu 95oC selama 80 menit.

+ CH3OH

+ H2O

Page 48: JERUK PONTIANAK

Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara faktor waktu dan suhu

ekstraksi berpengaruh nyata terhadap derajat esterifikai pektin yang

dihasilkan.

8. Viskositas Relatif

Viskositas adalah karakteristik dari makromolekul yang

berhubungan langsung dengan kemampuan untuk mengalir, dan tidak

langsung berhubungan dengan ukuran dan bentuk molekul (Tanglertpaibul

dan Rao, 1987). Pada larutan yang sangat encer, pengaruh tersebut saling

tumpang tindih dan interaksi dari makromolekul tidak relevan (Chou dan

Kokini, 1987). Viskositas relatif diukur dengan melarutkan pektin dalam

air destilat.

Viskositas relatif larutan pektin yang dihasilkan berkisar antara

14.50-73.3 cP. Grafik hubungan perlakuan suhu dan waktu ekstraksi

terhadap viskositas relatif pektin dapat dilihat pada Gambar 18.

0,0010,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

65 80 95

suhu ekstraksi (˚C)

visk

osita

s (c

P)

40 menit

60 menit

80 menit

Gambar 18. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap

viskositas relatif Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan

semakin lama waktu ekstraksi maka viskositas larutan pektin semakin

rendah. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 11b. menunjukkan

bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

terhadap viskositas relatif larutan pektin.

Viskositas relatif larutan pektin hasil ekstraksi suhu 65oC sebesar

56.02 cP turun menjadi 16.87 cP pada ekstraksi suhu 95oC. Larutan pektin

Page 49: JERUK PONTIANAK

hasil ekstraksi suhu 65oC memiliki viskositas relatif yang berbeda nyata

dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan ekstraksi pada suhu

95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi, viskositas relatif larutan pektin

semakin rendah.

Pektin yang diekstrak selama 40 menit memiliki viskositas relatif

sebesar 42.77 cP dan turun menjadi 26.99 cP pada ekstraksi selama 80

menit. Viskositas relatif larutan pektin hasil ekstraksi selama 40 menit

berbeda nyata dengan 60 menit dan berbeda nyata pula dengan 80 menit.

Viskositas tertinggi diperoleh pada larutan pektin hasil ekstraksi

suhu 65oC selama 40 menit yaitu 73.3 cP dan terendah pada ekstraksi suhu

95oC selama 80 menit yaitu 14.50 cP. Hal tersebut menunjukkan bahwa

interaksi faktor suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap

viskositas larutan pektin. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu

ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya reaksi depolimerisasi

yang akan memperkecil nilai viskositas larutan pektin yang dihasilkan.

Menurut Padival et al (1979), karakteristik gel, dan bobot molekul

menurun dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Kim et al (1978)

menjelaskan semakin rendah suhu yang digunakan akan memperkecil

terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Viskositas pektin juga

dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti suhu, konsentrasi larutan, pH,

dan keberadaan garam (Constenla dan Lozano, 2006).

C. Perbandingan Terhadap Pektin Komersial

Penentuan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Bayes dengan

semua parameter memiliki bobot yang sama. Perhitungan pektin terbaik dapat

dilihat pada Tabel 5. Pektin yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat

pada Gambar 19.

Page 50: JERUK PONTIANAK

Gambar 19. Pektin Hasil Penelitian

Tabel 6. Hasil Metode Bayes Karakterisasi Pektin

Rendemen terbaik dipilih dengan mengambil perlakuan ekstraksi yang

menghasilkan rendemen tertinggi yaitu pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC

selama 80 menit. Perlakuan lainnya yang menghasilkan nilai rendemen

tertinggi adalah ekstraksi pada suhu 95oC selama 60 menit dan ekstraksi pada

suhu 95oC selama 40 menit.

Kadar air dapat mempengaruhi umur simpan bahan. Kadar air yang

tinggi dapat memicu aktivitas mikroorganisme. Pektin bersifat higroskopis

atau mudah menyerap air dan kadar airnya dipengaruhi oleh derajat

pengeringan. Derajat pengeringan yang tinggi akan menghasilkan pektin

dengan kadar air yang rendah. Kadar air yang tinggi mempengaruhi

perhitungan rendemen sehingga nilai rendemen lebih tinggi dari nilai

sebenarnya. Kadar air tidak diperhitungkan dalam penentuan pektin terbaik

Karakteristik rendemen kadar abu

berat ekivalen

kadar metoksil

kadar galakturonat

derajat esterifikasi

viskositas relatif Jumlah Peringkat

Bobot 0,2 0,16 0,16 0,12 0,16 0,12 0,08 1

40 menit 65 oC 1 9 9 1 1 9 9 5,16 4

40 menit 80 oC 4 8 6 4 4 6 6 5,36 2

40 menit 95 oC 7 7 3 7 7 3 3 5,56 1

60 menit 65 oC 2 6 8 2 2 8 8 4,80 7

60 menit 80 oC 5 5 5 5 5 5 5 5,00 5

60 menit 95 oC 8 4 2 8 8 2 2 5,20 3

80 menit 65 oC 3 3 7 3 3 7 7 4,44 9

80 menit 80 oC 6 2 4 6 6 4 4 4,64 8

80 menit 95 oC 9 1 1 9 9 1 1 4,84 6

Pektin komersial

Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit

Pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit

Page 51: JERUK PONTIANAK

karena kadar air pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah memenuhi

standar yaitu dibawah 12%, selain itu kadar air dianggap sebagai parameter

yang dapat diatur sesuai kebutuhan dalam perdagangan.

Tingkat kemurnian pektin ditentukan oleh kadar abu. Semakin tinggi

kadar abu dalam pektin, maka tingkat kemurniannya semakin rendah. Kadar

abu terendah diperoleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40

menit.

Berat ekivalen menunjukkan kandungan gugus asam galakturonat bebas

dalam rantai molekul pektin. Semakin rendah kandungan gugus asam

galakturonat bebas, berat ekivalen pektin semakin tinggi. Nilai berat ekivalen

yang dipilih adalah yang memiliki nilai tertinggi dari semua perlakuan. Berat

ekivalen tertinggi dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama

40 menit.

Berdasarkan kadar metoksilnya, pektin dibedakan atas pektin

bermetoksil tinggi dan pektin bermetoksil rendah. Pektin yang dihasilkan

dalam penelitian termasuk pektin bermetoksil rendah karena nilainya kurang

dari 7%. Pektin bermetoksil rendah lebih banyak digunakan karena mampu

membentuk gel tanpa adanya gula dan asam. Pektin terbaik adalah yang

memiliki nilai tertinggi tetapi lebih kecil dari 7%. Dalam hal ini dipilih pektin

hasil ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit.

Menurut The Council Of The European Communities (1998), kadar

asam galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65% yang dihitung

berdasarkan basis kering tanpa abu. Pektin terbaik memiliki nilai kadar

galakturonat yang tertinggi. Kadar galakturonat tertinggi dimiliki oleh pektin

yang diekstrak pada suhu 95oC selama 80 menit.

Menurut Hoejgaard (2004), pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini

termasuk pektin berkadar ester tinggi dengan nilai derajat esterifikasi di atas

50%. Pektin yang terbaik adalah yang memiliki nilai tertinggi yaitu hasil

ekstraksi pada suhu 65oC selama 40 menit.

Viskositas relatif menggambarkan kekuatan gel yang mampu dibentuk

oleh pektin. Pektin terbaik adalah yang memiliki nilai viskositas relatif

tertinggi yaitu hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit.

Page 52: JERUK PONTIANAK

Dari hasil analisa diperoleh peringkat satu pada perlakuan ekstraksi suhu

95oC selama 40 menit, sehingga dipilih sebagai perlakuan terbaik dan

dibandingkan dengan karakteristik pektin komersial. Selain dibandingkan

dengan pektin terbaik hasil penelitian, pektin komersial juga dibandingkan

dengan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terendah. Jika perlakuan suhu dan

waktu terendah memiliki nilai sesuai dengan yang ditetapkan pada standar

pektin komersial, maka hal ini akan menguntungkan dalam aplikasi. Pada

industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan

meningkatkan biaya produksi.

Tabel 7. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian dengan Pektin Komersial Parameter

Nilai Standar

Pektin Hasil Penelitian

(65oC, 40 menit)

Pektin Hasil Penelitian

(95oC, 40 menit)

Pektin

Komersial Kadar air (%) Kadar abu (%) Berat ekivalen Kadar metoksil (%) Kadar galakturonat (%) Derajat esterifikasi Viskositas (cP)

12 1 -

< 7 65 (bk)

- -

11.91 0.64

1334.11 4.87

46.70 (bk) 67.68 73.30

8.44 0.87

739.78 6.47

66.77 (bk) 60.71 20.00

12.00 1.33

877.41 4.21

44.19 (bk) 62.35 18.3

Secara fisik pektin yang dihasilkan dalam penelitian tidak berbeda

dengan pektin komersial. Kadar air yang dimiliki pektin komersial lebih tinggi

daripada pektin hasil penelitian pada suhu 95oC selama 40 menit. Pektin hasil

penelitian pada suhu 95oC selama 40 menit, suhu 65oC selama 40 menit, dan

pektin komersial memiliki nilai yang memenuhi standar Food Chemical

Codex (1996) dan The Council Of The European Communities (1998) yaitu

sebesar 12%.

Kadar abu pektin komersial melebihi nilai standar Food Chemical Codex

(1996) yaitu sebesar 1%. Pektin hasil penelitian memiliki nilai kadar abu yang

memenuhi nilai standar. Kadar abu menunjukkan tingkat kemurnian. Semakin

tinggi kadar abu, maka tingkat kemurnian pektin semakin rendah.

Pektin hasil penelitian termasuk pektin bermetoksil rendah karena kadar

metoksil lebih rendah dari 7%. Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit

memiliki nilai kadar metoksil yang lebih tinggi dari pektin komersial. Pektin

ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki nilai kadar metoksil yang

sedikit lebih tinggi dari pektin komersial.

Page 53: JERUK PONTIANAK

Berat ekivalen pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit sedikit lebih

rendah dari pektin komersial, sedangkan pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40

menit memiliki nilai lebih tinggi dari pektin komersial. Kadar galakturonat

pektin hasil penelitian suhu 65oC dan 95oC selama 40 menit lebih tinggi dari

nilai pektin komersial. Kadar galakturonat pektin komersial dan pektin hasil

ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit tidak memenuhi standar nilai yang

ditetapkan Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of The European

Communities (1998) yaitu minimal 65% (bk) tanpa abu.

Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit memiliki nilai derajat

esterifikasi yang lebih rendah dari pektin komersial. Pektin ekstraksi suhu

65oC selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang lebih tinggi dari

pektin komersial. Viskositas relatif pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40

menit sedikit lebih tinggi dari pektin komersial, sedangkan viskositas relatif

pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit jauh lebih tinggi dari pektin

komersial.

Parameter yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah yang

ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of

The European Communities (1998) yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar

galakturonat, dan kadar metoksil. Dari keempat parameter tersebut, pektin

hasil penelitian ekstraksi suhu 65oC dan 95oC memiliki nilai yang lebih tinggi

dari pektin komersial. Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin hasil

ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki mutu yang lebih baik dari

pektin komersial. Pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit tidak

memenuhi standar karena nilai kadar galakturonat berada di bawah nilai

standar yaitu kurang dari 65% (bk) tanpa abu. Yang memenuhi keempat

persyaratan nilai standar adalah pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40

menit.

Page 54: JERUK PONTIANAK

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Limbah industri sari buah jeruk berupa ampas jeruk Pontianak dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pektin. Hasil analisa proksimat

memperlihatkan bahwa kadar air ampas jeruk cukup tinggi yaitu sebesar

82.48%. Reaksi browning pada saat pengeringan bahan karena kadar protein

dan karbohidratnya yang cukup tinggi dapat mempengaruhi warna pectin yang

dihasilkan. Dari hasil penelitian pendahuluan, diperoleh ampas segar sebagai

bahan baku yang terbaik untuk penelitian utama dengan rendemen 14.68% bk.

Penelitian utama menghasilkan pektin yang memenuhi standar Food

Chemical Codex. Rendemen pektin yang dihasilkan dalam penelitian berkisar

antara 13.67-16.32%. Rendemen tertinggi diperoleh pada ekstraksi suhu 95oC

selama 80 menit. Kadar air pektin yang dihasilkan kurang dari 12% yaitu

sekitar 7.94-11.91%. Kadar air terendah diperoleh pada ekstraksi suhu 95oC

selama 80 menit. Kadar abu pada ekstraksi selama 40 dan 60 menit memiliki

kadar abu kurang dari 1%. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan berkisar

antara 548.07-1334.11. Berat ekivalen tertinggi diperoleh pada pektin

ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit.

Pektin yang dihasilkan dalam penelitian termasuk dalam pektin

bermetoksil rendah dengan nilai kadar metoksil 4.87-6.95%. Pektin yang

memenuhi syarat kadar galakturonat minimum 65% basis kering tanpa abu

adalah pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 40 menit, 60 menit, 80

menit dan suhu 80oC selama 80 menit. Pektin yang dihasilkan memiliki

derajat esterifikasi sekitar 55.13-67.68. Derajat esterifikasi tertinggi dimiliki

oleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40 menit. Viskositas relatif

larutan pektin yang dihasilkan berkisar antara 14.50-73.30 cP. Viskositas

relative tertinggi diperoleh pada larutan pektin yang diekstrak pada suhu 65oC

selama 40 menit.

Berdasarkan metode Bayes yang membandingkan karakteristik pektin

hasil penelitian, kondisi ekstraksi pektin yang terbaik adalah perlakuan suhu

95oC dengan waktu ekstraksi 40 menit. Pektin dengan kondisi ekstraksi yang

Page 55: JERUK PONTIANAK

terbaik dibandingkan dengan pektin komersial. Parameter yang dibandingkan

dengan pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical

Codex yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar

metoksil. Pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit juga memiliki

mutu yang lebih baik dari pektin komersial tetapi kadar galakturonatnya tidak

sesuai dengan standar mutu pektin komersial. Berdasarkan keempat parameter

tersebut, pektin terbaik yaitu hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit

memiliki mutu yang lebih baik dari pektin komersial dan memenuhi standar

mutu pectin komersial.

B. Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang ekstraksi ampas jeruk pada

suhu lebih dari 95oC dan waktu ektraksi lebih dari 80 menit.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah

dihasilkan.

3. Perlu adanya analisa kelayakan dari penelitian ini untuk mengetahui

seberapa besar industri ini dapat dijalankan.

Page 56: JERUK PONTIANAK

DAFTAR PUSTAKA

Albrigo, L. G dan R. D Carter. Structure of Citrus Fruit in Reaction to Processing di dalam S. Nagy, P. E. Shaw, dan M. K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume I. The AVI Publishing Company Inc. West Point, Connecticut.

Baker, R. A. 1994. Pectin. Carbohydrate Polymer. 12: 133-138. Biro Pusat Statistik. 2001. Statistik Perdagangan Ekspor Impor Indonesia. Biro

Pusat Statistik. Jakarta. Caplin, M. 2004. Pectin. http://www.lsbu.ac.uk/water/hypec.html Chang, K. C., Dhurandhar, N., You, X. dan Miyamoto, A. 1994. Cultivar/

Location and Processing Methods Affect The Quality of SunFlower Pectin. J. Food Sci., 59: 602-612.

Chang, K. C. dan Miyamoto A. 1992. Gelling Characteristics of Pectin from

Sunflower Head Residue. Di dalam Sahari. M. A., A. Akbarian dan M. Hamedi. 2002. Effect of Variety and Acid Washing Method on Extraction Yield and Quality of Sunflower Head Pektin. J. Food Chemistry, 83:43-47.

Chou, T.D. and J.L. Kokini. 1987. Rheological Properties and Conformation of

Tomato Paste Pectins, Citrus and Apple Pectins, J. Food Science 52(6): 1658-1664.

Constenla, D., A.G. Ponce and J.E. Lozano. 2002. Effect of Pomace Drying on

Apple Pectin. Lebensmittel Wissenschaft und Technology. 35(3): 216-221. Constenla, D. dan J.E. Lozano. 2006. Kinetic Model of Pectin Demethylation.

http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1516-8913200500 0200013

Cruess, W.V. 1958. Commercially Fruits and Vegetable Products. McGraw Hill

Book Co, New York. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat. 2004. Pektin

Markisa. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/pengolahan_pangan_idx.php? doc=6d26

Dinu, D. 2001, Extraction and Characterization of Pectins from Wheat Bran. Roumanian Biotechnology Letter, 6: 37-43.

Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Panduan Pasca Panen dan Pengolahan Jeruk. Departemen Pertanian. Jakarta.

Page 57: JERUK PONTIANAK

Fardiaz, Dedi. 1984. Pemanfaaatan Limbah Jeruk Sebagai Bahan Pembuat Pektin. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian. Bogor.

Fennema. 1996. Food Chemistry. Edisi 3. Marcel Dekker. Inc., New York. Food Chemical Codex. 1996. Pectins. http://arjournals.annualreviews.org/doi/abs/

10.1146/annurev.bi.20.070151.000435 Fitriani, V. 2002. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon

(Citrus medica var Lemon). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian. Bogor.

Goycoolea, F.M. dan Adriana Cardenas. 2003. Pectins from Opuntia Spp. : A

Short Review. J.PACD. 17-29. Guichard, E. S., A, Issanchou., Descovieres dan P. Etievant. 1991. Pectin

Concentration, Molekular Weight and Degree of Esterification. Influence on Volatile Composition and Sensory Caracteristic of Strawberry Jam. J. Food Science, 56:1621

Glicksman. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Academic Press. New

York. Herbstreith, K dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreith-

fox.de/pektin/forschung und entwicklung /forschung_entwicklung04a.htm Hoejgaard, S. 2004. Pectin Chemistry, Funcionality, and Applications.

http://www.cpkelco.com/Ptalk/ptalk.htm.

Hwang, Jae-Kwan; Kim, Chul-Jin and Kim, Chong-Tai (1998), Extrusion of Apple Pomace Facilitates Pectin Extraction. Journal of Food Science, 63: 841-844.

IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin. http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm.

Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol

Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Food Chemistry 73 : 393 – 396.

Kertesz, Z.I. 1951. The Pectin Substances. Interscience Pub. Inc., New York Kim, W.J., C.J.B. Smit dan V.N.M. Rao. 1978. Demethylation of Pectin Using

Acid and Ammonia, Journal of Food Science. 43, 74-78 . Kurniasih, Nia. 2004. Jeruk Kurangi Resiko Kanker. http://pikiran-

rakyat.com/cetak/0904/02/cakrawala/lainnya03.htm.

Page 58: JERUK PONTIANAK

May, C. D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production, and Application.

Carbohydrate Polymer. 12: 79-84. McCready, R.M. 1965. Extraction of the Pectin from the Citrus Peels and

Preservation of Pectin Acid. Method Carbohydrate Chem, 8:167-170. National Research Development Corporation. 2004. High Grade Pectin From

Lime Peels. http://www. nrdcindia.com/pages/pect.htm. O’Neill, M., P. Albersheim, dan A. Darvil. 1990. Methods in Plant Biochemistry.

2: 514-441. Padival, R.A., S. Ranganna and S.P. Manjrekar. 1979. Low Methoxyl Pectins

from Lime Peel, J. Food Technology. 14: 333-342 .

Pagán, J.; Ibarz, A.; Llorca M.; Pagán A. and Barbosa-Cánovas G. V. 2001, Extraction and characterization of pectin from stored peach pomace. Food Research International, 34: 605-612.

Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. McGraw Hill, New Delhi.

Rouse, A.H. 1977. Pectin: Distribution, Significance. Di dalam Nagy, S., P. E.

Shaw dan M.K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume 1. The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut.

Rouse dan Crandal. 1978. Pectin Content of Lime and lemon Peel as Extracted by

Nitric Acid. Di dalam Attri, B.L. dan Maini. 1996. Pectin from Galgal (Citrus pseudolimon Tan.) Peel. Bioresources Technology, 55: 89-91.

Sarwono, B. 1994. Jeruk dan Kerabatnya. Penebar Swadaya. Jakarta. Smith dan Bryant. 1968. Properties of Pectin Fraction Separated on

Diethylleaminoethyl-Cellulose Columns. Di dalam Nelson, D.B., C.J.B. Smith dan R.L Wiles. 1977. Commercially Important Pectic Substances. AVI Publ. Inc., Westport, Connecticut.

Suradi, K., 1984. Ekstraksi, Isolasi dan Karakterisasi Pektin dari Beberapa Jenis

Kulit Jeruk. Thesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tanglertpaibul, T. and M.A. Rao. 1987. Intrinsic Viscosity of Tomato Serum as

Affected by Method of Determination and Methods of Processing Concentrates, J. Food Science 52(6): 1642-1645.

The Council Of The European Communities, 1998.

http://www.legaltext.ee/text/en/T41047.htm

Page 59: JERUK PONTIANAK

Towle, G.A. dan O. Christensen. 1973. Pectin. Di dalam R.L Whistler (ed.) Industrial Gum. Academic Press, New York.

Visser, A., G. J. Voragen. Pectins and Pectinases. J. Food Chemistry. !4: 25-35. Willats, WGT.,J. Paul Knox dan Jorn D.M, 2006. Pectin : New Insights Into An

Old Polymer Are Starting To Gel. Trends in Food Science & Technology. 17: 97-104.

Whistler, R.L dan Daniel. 1985. Industrial Gum. Academic Press, New York. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Page 60: JERUK PONTIANAK
Page 61: JERUK PONTIANAK

Lampiran 1. Pohon Industri Jeruk

Page 62: JERUK PONTIANAK

Lampiran 2. Analisa Bahan 1. Kadar Air (Ranganna, 1977)

Sebanyak satu gram contoh dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC

selama 4 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai

diperoleh bobot yang tetap.

% Kadar air (bb) = a x 100 % Kadar air (bk) = a x 100 B (b-a)

Dimana a = kehilangan bobot pektin

b = bobot awal pektin

2. Kadar Abu (Ranganna, 1977)

Cawan porselin dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian

didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai wadah. Satu gram

contoh ditimbang di dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya.

Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu 600oC selama 3 – 4 jam. Abu

yang telah diperoleh didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai

diperoleh bobot konstan.

Kadar abu (%) = bobot abu x 100 bobot contoh

3. Kadar Lemak (Balit Pasca Panen Pertanian)

Sampel ampas jeruk pontianak sebanyak lima gram dibungkus dengan

kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam soxlet dan ditambahkan pelarut

n-hexan sebanyak 200 ml. Sampel diekstrak selama enam jam. Setelah selesai,

labu lemak yang menampung hasil ekstraksi diuapkan sampai pelarutnya

habis. Labu lemak dikeringkan di dalam oven. Labu lemak yang sudah kering

didinginkan dan ditimbang.

Kadar lemak (%) = (berat labu + lemak hasil ekstraksi) – berat labu x 100% bobot contoh

4. Kadar Protein (Balit Pasca Panen Pertanian)

Sampel sebanyak 0.2 gram ditambahkan katalis selen dan ditambahkan 5

ml H2SO4 pekat. Sampel tersebut didekstruksi selama satu jam yaitu sampai

larutan berwarna jernih. Setelah didekstruksi, sampel didiamkan terlebih

dahulu sampai uapnya hilang, kemudian dibilas dengan akuades dan

ditambahkan 30 ml NaOH 30%. Sampel selanjutnya didestilasi dan

Page 63: JERUK PONTIANAK

penampungnya adalah Erlenmeyer yang berisi 15 ml asam borat 4%. Pada

tahap ini asam borat akan berubah warna dari merah menjadi hijau. Destilasi

dihentikan setelah penampung berubah volumenya menjadi 45 – 50 ml (tiga

kali lipatnya). Larutan hasil tampungan dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai

berubah warna dari hijau menjadi merah.

Kadar N = ml HCl x N HCl x 14 x 100 % mg sampel

Kadar protein = kadar nitrogen x 6.25

5. Kadar Serat Kasar (SNI)

Sampel ditimbang sebanyak 2-4 gram kemudian dibebaskan lemaknya

dengan cara ekstraksi dengan Soxlet atau dengan cara mengaduk dan

mencampur contoh dengan pelarut organic sebanyak tiga kali berat,. Contoh

dikeringkan dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer 500 ml, kemudian

ditambahkan 50 ml NaOH 1.25% dan dididihkan selama 30 menit dengan

menggunakan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan 50 ml NaOH 3.25%

dan dididihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas, disaring dengan

corong Bucher yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 54.41/541 yang

telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas

saring dicuci berturut-turut dengan menggunakan H2SO4 1025% panas, air

panas, dan etanol. Kertas saring beserta isinya dimasukkan kedalam kotak

timbang yang telah diketahui bobotnya, kemudian dikeringkan pada suhu

105oC, didinginkan dan ditimbang sampai bobot konstan. Bila ternyata kadar

serat kasar lebih besar dari 1%, kertas saring beserta isinya diabukan.

Bila serat kasar < 1%, % serat kasar = w x 100% w2 Bila serat kasar > 1%, % serat kasar = w-w1 x 100% w2 w : bobot contoh (g) w1 : bobot abu (g) w2 : bobot endapan (g)

Page 64: JERUK PONTIANAK

6. Berat Ekivalen (BE) (Ranganna, 1977)

Pektin sebanyak 0.5 gram dibasahi dengan 5 ml etanol dan dilarutkan

dalam 100 ml air suling bebas karbonat yang berisi satu gram NaCl. Larutan

hasil campuran tersebut dititrasi perlahan-lahan dengan 0.1 N NaOH memakai

indikator fenol merah sampai terjadi perubahan menjadi merah kekuningan

(pH 7.5) yang bertahan sedikitnya 30 detik.

Berat Ekivalen (BE) = bobot contoh (mg) ml NaOH x N NaOH

7. Kandungan metoksil (Ranganna, 1977)

Larutan netral dari penentuan BE ditambah 25 ml larutan 0.25 N NaOH,

dikocok dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam keadaan

tertutup. Selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan 0.25 N HCl dan dititrasi

dengan larutan 0.1 N NaOH dengan indikator fenol merah sampai titik akhir

seperti pada penentuan BE.

Kadar metoksil (%) = ml NaOH x 31 x N NaOH x 100 Bobot contoh (mg)

Nilai 31 didapatkan dari bobot molekul metoksil yang berupa CH3O

8. Kadar galakturonat (McCready, 1965)

Kadar galakturonat dihitung dari µek (miliekivalen) NaOH yang diperoleh

dari penentuan BE dan kandungan metoksil.

% galakturonat = µek (BE + metoksil) x 176 x 100 Bobot contoh (mg)

Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat

9. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965)

Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar galakturonat

yang telah diperoleh.

DE (%) = Kadar metoksil x 176 x 100 Kadar galakturonat x 31

10. Viskositas Larutan Pektin (Goycoolea dan Adriana, 2003)

Viskositas pektin diukur dengan menggunakan viskosimeter. Nilai

viskositas dalam satuan centipoises (cP). Spindel yang digunakan adalah

spindel nomer 3 dengan kecepatan 60 rpm.

Page 65: JERUK PONTIANAK

Lampiran 3a. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan Pengeringan Bahan Terhadap Rendemen Pada Penelitian Pendahuluan

Perlakuan Kadar air bahan Rendemen (%bk) (%) Ulangan1 Ulangan 2 rata-rata ampas segar 84,26 14,61 14,74 14,68 oven 5 jam 58,01 13,85 14,74 14,29 oven 10 jam 15,89 13,72 14,10 13,91 oven 15 jam 13,21 11,94 12,33 12,13 jemur 1 hari 48,84 13,09 13,85 13,47 jemur 2 hari 15,29 12,58 13,09 12,83 jemur 3 hari 12,63 11,18 11,44 11,31

Lampiran 3b. Uji analisis keragaman rendemen pektin pada penelitian

pendahuluan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Rendemen

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 17,567(a) 6 2,928 20,385 ,000 Intercept 2451,519 1 2451,519 17068,464 ,000 Perlakuan 17,567 6 2,928 20,385 ,000 Error 1,005 7 ,144 Total 2470,092 14 Corrected Total 18,573 13

a R Squared = ,946 (Adjusted R Squared = ,899) Lampiran 3c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Pengeringan Bahan

Terhadap Rendemen Rendemen Duncan

Subset Perlakuan N 1 2 3 4 5 jemur 3 hari 2 11,3100 oven 15 jam 2 12,1350 12,1350 jemur 2 hari 2 12,8350 12,8350 jemur 1 hari 2 13,4700 13,4700 oven 10 jam 2 13,9100 13,9100oven 5 jam 2 14,2950 14,2950ampas segar 2 14,6750Sig. ,066 ,107 ,138 ,075 ,093

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,144. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.

Page 66: JERUK PONTIANAK

Lampiran 4a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 13,35 13,77 13,89 13,6740' 80 C 14,32 14,40 14,74 14,4940' 95 C 14,91 15,33 14,42 14,8960' 65 C 13,85 13,98 14,40 14,0860' 80 C 14,49 14,57 14,65 14,5760' 95 C 14,40 16,65 15,37 15,4780' 65 C 14,15 14,27 14,70 14,3780' 80 C 14,53 14,65 14,82 14,6780' 95 C 16,05 16,31 16,60 16,32

Lampiran 4b. Uji Analisis Keragaman Rendemen Pektin Pada Penelitian Utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: rendemen

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 14,614(a) 8 1,827 8,742 ,000 Intercept 5854,145 1 5854,145 28013,240 ,000 waktu 2,688 2 1,344 6,431 ,008 suhu 10,702 2 5,351 25,606 ,000 waktu * suhu 1,224 4 ,306 1,465 ,254 Error 3,762 18 ,209 Total 5872,521 27 Corrected Total 18,376 26

a R Squared = ,795 (Adjusted R Squared = ,704) Lampiran 4c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 40' 9 14,3478 60' 9 14,7067 14,706780' 9 15,1200Sig. ,113 ,071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,209. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Page 67: JERUK PONTIANAK

Lampiran 4d. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Rendemen suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 3 65 C 9 14,0400 80 C 9 14,5744 95 C 9 15,5600Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,209. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 4e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap

Rendemen kombinasi suhu dan waktu Duncan

Subset Perlakuan N 1 2 3 4 40 ' 65 3 13,6700 60 ' 65 3 14,0767 14,0767 80 ' 65 3 14,3733 14,3733 40 ' 80 3 14,4867 14,4867 60 ' 80 3 14,5700 80 ' 80 3 14,6667 14,6667 40 ' 95 3 14,8867 14,8867 60 ' 95 3 15,4733 80 ' 95 3 16,3200 Sig. ,058 ,068 ,054 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,209. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05 Lampiran 5a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Air

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 11,97 11,80 11,97 11,9140' 80 C 11,38 11,01 11,14 11,1840' 95 C 8,59 8,39 8,34 8,4460' 65 C 11,86 11,57 11,79 11,7460' 80 C 11,15 11,10 11,10 11,1260' 95 C 8,72 8,27 7,89 8,2980' 65 C 11,38 11,49 11,49 11,4580' 80 C 8,35 8,55 8,55 8,4880' 95 C 7,98 7,86 7,98 7,94

Page 68: JERUK PONTIANAK

Lampiran 5b. Uji Analisis Keragaman Kadar Air Pektin Pada Penelitian Utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadarair

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 69,864(a) 8 8,733 279,803 ,000 Intercept 2733,503 1 2733,503 87581,095 ,000 waktu 8,069 2 4,034 129,259 ,000 suhu 54,951 2 27,476 880,317 ,000 waktu * suhu 6,844 4 1,711 54,817 ,000 Error ,562 18 ,031 Total 2803,929 27 Corrected Total 70,425 26

a R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,988) Lampiran 5c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 80' 9 9,2922 60' 9 10,383340' 9 10,5100Sig. 1,000 ,146

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 5d. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Air suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 3 95 C 9 8,2244 80 C 9 10,2589 65 C 9 11,7022Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Page 69: JERUK PONTIANAK

Lampiran 5e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Air

Kombinasi waktu dan suhu Duncan

Subset Perlakuan N 1 2 3 4 5 6 80 ' 95 3 7,9400 60 ' 95 3 8,2933 40 ' 95 3 8,4400 80 ' 80 3 8,4833 60 ' 80 3 11,1167 40 ' 80 3 11,1767 11,1767 80 ' 65 3 11,4533 11,4533 60 ' 65 3 11,7400 11,740040 ' 65 3 11,9133Sig. 1,000 ,228 ,682 ,071 ,062 ,245

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. Lampiran 6a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Abu

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 0,62 0,69 0,62 0,6440' 80 C 0,66 0,71 0,71 0,6940' 95 C 0,88 0,86 0,86 0,8760' 65 C 0,89 0,87 0,9 0,8960' 80 C 0,95 0,94 0,85 0,9160' 95 C 0,99 0,99 1,01 1,0080' 65 C 1,12 0,99 0,99 1,0380' 80 C 1,02 1,12 1,02 1,0580' 95 C 1,18 1,23 1,26 1,22

Lampiran 6b. Uji Analisis Keragaman Kadar Abu Pektin Pada Penelitian Utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadarabu

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model ,781(a) 8 ,098 52,929 ,000 Intercept 23,019 1 23,019 12480,018 ,000 waktu ,613 2 ,307 166,289 ,000 suhu ,155 2 ,078 42,042 ,000 waktu * suhu ,012 4 ,003 1,693 ,195 Error ,033 18 ,002 Total 23,833 27 Corrected Total ,814 26

a R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,941)

Page 70: JERUK PONTIANAK

Lampiran 6c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 3 40' 9 ,7344 60' 9 ,9322 80' 9 1,1033Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 6d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 65 C 9 ,8544 80 C 9 ,8867 95 C 9 1,0289Sig. ,129 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 6e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap

Kadar Abu Kombinasi waktu dan suhu Duncan

Subset Perlakuan N 1 2 3 4 40 ' 65 3 ,6433 40 ' 80 3 ,6933 40 ' 95 3 ,8667 60 ' 65 3 ,8867 60 ' 80 3 ,9133 60 ' 95 3 ,9967 80 ' 65 3 1,0333 80 ' 80 3 1,0533 80 ' 95 3 1,2233 Sig. ,171 ,223 ,142 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Page 71: JERUK PONTIANAK

Lampiran 7a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen

Waktu suhu ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3 rata-rata 40' 65 C 1377,8380 1310,7140 1313,7780 1334,1100 40' 80 C 906,7742 989,2157 916,9091 937,6330 40' 95 C 740,4225 738,3824 740,5405 739,7818 60' 65 C 1256,7500 1267,0270 1206,0000 1243,2590 60' 80 C 899,8077 884,5313 854,5593 879,6328 60' 95 C 562,8889 599,4059 533,9175 565,4041 80' 65 C 1026,9090 1038,2980 1044,1670 1036,4580 80' 80 C 767,5758 764,5588 769,7692 767,3013 80' 95 C 562,3596 546,0241 535,8333 548,0723

Lampiran 7b. Uji Analisis Keragaman Berat Ekivalen Pektin Pada Penelitian

Utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: beratekivalen

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 1816670,063(a) 8 227083,758 319,514 ,000 Intercept 21609701,408 1 21609701,408 30405,554 ,000 waktu 217626,755 2 108813,377 153,104 ,000 suhu 1564597,007 2 782298,504 1100,719 ,000 waktu * suhu 34446,301 4 8611,575 12,117 ,000 Error 12792,881 18 710,716 Total 23439164,351 27 Corrected Total 1829462,944 26

a R Squared = ,993 (Adjusted R Squared = ,990) Lampiran 7c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Berat

Ekivalen waktu Duncan

waktu N Subset

1 2 3 80' 9 783,943867 60' 9 896,098622 40' 9 1003,841600Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 710,716. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Page 72: JERUK PONTIANAK

Lampiran 7d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen

suhu Duncan

suhu N Subset

1 2 3 95 C 9 617,752744 80 C 9 861,522344 65 C 9 1204,609000Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 710,716. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 7e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap

Berat Ekivalen Kombinasi waktu dan suhu Duncan

Perlakuan N Subset

1 2 3 4 5 6 7 80 ' 95 3 548,0723 60 ' 95 3 565,4041 40 ' 95 3 739,7818 80 ' 80 3 767,3012 60 ' 80 3 879,6327 40 ' 80 3 937,6330 80 ' 65 3 1036,4580 60 ' 65 3 1243,2590 40 ' 65 3 1334,1100 Sig. ,436 ,222 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 710,716. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05 Lampiran 8a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Metoksil

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 4,8730 4,7636 4,9689 4,868540' 80 C 5,7409 5,8549 5,9342 5,843340' 95 C 6,5782 6,3593 6,4866 6,474760' 65 C 5,0472 5,0306 5,0092 5,029060' 80 C 6,0768 6,2738 6,1233 6,158060' 95 C 6,6849 6,7794 6,8748 6,779780' 65 C 5,6397 5,8218 5,7168 5,726180' 80 C 6,2900 6,3741 6,3700 6,344780' 95 C 6,8252 7,0907 6,9434 6,9531

Page 73: JERUK PONTIANAK

Lampiran 8b. Uji Analisis Keragaman Kadar Metoksil Pektin Pada Penelitian Utama

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadarmetoksil

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 12,614(a) 8 1,577 176,594 ,000 Intercept 978,386 1 978,386 109578,44

2 ,000

waktu 1,701 2 ,850 95,242 ,000 suhu 10,630 2 5,315 595,253 ,000 waktu * suhu ,284 4 ,071 7,941 ,001 Error ,161 18 ,009 Total 991,161 27 Corrected Total 12,775 26

a R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,982) Lampiran 8c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Metoksil waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 3 40' 9 5,728844 60' 9 5,988889 80' 9 6,341300Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 8d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar

Metoksil suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 3 65 C 9 5,207867 80 C 9 6,115333 95 C 9 6,735833Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Page 74: JERUK PONTIANAK

Lampiran 8e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil

kadarmetoksil Duncan

Perlakuan N Subset

1 2 3 4 5 6 40 ' 65 3 4,868500 60 ' 65 3 5,029000 80 ' 65 3 5,726100 40 ' 80 3 5,843333 60 ' 80 3 6,157967 80 ' 80 3 6,344700 40 ' 95 3 6,474700 60 ' 95 3 6,779700 80 ' 95 3 6,953100Sig. ,052 ,146 1,000 ,109 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 9a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 40,4397 40,4728 41,6070 40,839840' 80 C 52,0030 51,0326 52,8859 51,973840' 95 C 61,1174 59,9403 60,5936 60,550460' 65 C 42,6594 42,4516 43,0330 42,714760' 80 C 54,0603 55,5165 55,3600 54,978960' 95 C 69,2203 67,8519 71,9950 69,689180' 65 C 49,1578 50,0036 49,3122 49,491280' 80 C 58,6403 59,2083 59,0292 58,959280' 95 C 70,0462 72,4899 72,2666 71,6009

Lampiran 9b. Data Hasil Kadar Galakturonat (% Bk Tanpa Abu) Pada Pektin Hasil Penelitian Utama

waktu suhu ulangan 1 ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 46,264386 46,24929 47,59983 46,704540' 80 C 59,121145 57,80765 59,99531 58,974740' 95 C 67,510673 66,04992 66,73301 66,764560' 65 C 48,893349 48,48288 49,28763 48,888060' 80 C 61,502021 63,11566 62,87331 62,497060' 95 C 76,664362 74,77618 79,02856 76,823080' 65 C 56,18029 57,13393 56,34394 56,552780' 80 C 64,702967 65,54661 65,27608 65,175280' 95 C 77,109449 79,73808 79,62388 78,8238

Page 75: JERUK PONTIANAK

Lampiran 9c. Uji Analisis Keragaman Kadar Galakturonat Pektin Pada Penelitian Utama

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: kadargalakturonat

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2775,153(a) 8 346,894 349,096 ,000 Intercept 83599,590 1 83599,590 84130,218 ,000 waktu 356,409 2 178,204 179,336 ,000 suhu 2367,918 2 1183,959 1191,474 ,000 waktu * suhu 50,826 4 12,707 12,787 ,000 Error 17,886 18 ,994 Total 86392,630 27 Corrected Total 2793,040 26

a R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,991) Lampiran 9d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar

Galakturonat waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 3 40' 9 51,121367 60' 9 55,794222 80' 9 60,017122Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,994. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 9e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar

Galakturonat suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 3 65 C 9 44,348567 80 C 9 55,304011 95 C 9 67,280133Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,994. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Page 76: JERUK PONTIANAK

Lampiran 9f. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat

Kombinasi waktu dan suhu Duncan Perlakuan N Subset

1 2 3 4 5 6 7 8 40 ' 65 3 40,8398 60 ' 65 3 42,7146 80 ' 65 3 49,4912 40 ' 80 3 51,9738 60 ' 80 3 54,9789 80 ' 80 3 58,9592 40 ' 95 3 60,5504 60 ' 95 3 69,6890 80 ' 95 3 71,6009Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 ,066 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,994. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05. Lampiran 10a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap

Derajat Esterifikasi

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 68,4131 66,8226 67,8023 67,679440' 80 C 62,6762 65,1363 63,7050 63,839240' 95 C 61,1073 60,2340 60,7773 60,706260' 65 C 67,1717 67,2785 66,0872 66,845860' 80 C 63,8187 64,1592 62,7973 63,591760' 95 C 54,8293 56,7257 54,2136 55,256280' 65 C 65,1351 66,1008 65,8187 65,684980' 80 C 60,8983 61,1206 61,2666 61,095280' 95 C 55,3199 55,5345 54,5488 55,1344

Lampiran 10b. Uji Analisis Keragaman Derajat Esterifikasi Pektin Pada

Penelitian Utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: derajatesterifikasi

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 509,897(a) 8 63,737 103,069 ,000 Intercept 104470,946 1 104470,946 168938,89

7 ,000

waktu 54,413 2 27,206 43,995 ,000 suhu 429,291 2 214,645 347,101 ,000 waktu * suhu 26,194 4 6,548 10,589 ,000 Error 11,131 18 ,618 Total 104991,974 27 Corrected Total 521,028 26

a R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,969)

Page 77: JERUK PONTIANAK

Lampiran 10c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat Esterifikasi

waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 3 80' 9 60,638144 60' 9 61,897911 40' 9 64,074900Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,618. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 10d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Derajat

Esterifikasi suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 3 95 C 9 57,032267 80 C 9 62,842022 65 C 9 66,736667Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,618. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 10e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap

Derajat Esterifikasi Kombinasi waktu dan suhu Duncan

Subset Perlakuan N 1 2 3 4 5 80 ' 95 3 55,134400 60 ' 95 3 55,256200 40 ' 95 3 60,706200 80 ' 80 3 61,095167 60 ' 80 3 63,591733 40 ' 80 3 63,839167 80 ' 65 3 65,684867 60 ' 65 3 66,845800 66,845800 40 ' 65 3 67,679333 Sig. ,852 ,552 ,704 ,087 ,211

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,618. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Page 78: JERUK PONTIANAK

Lampiran 11a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif

waktu suhu ulangan 1

ulangan 2

ulangan 3

rata-rata

40' 65 C 73,30 73,30 73,30 73,3040' 80 C 38,30 36,70 30,00 35,0040' 95 C 20,00 18,30 21,70 20,0060' 65 C 55,00 53,30 55,00 54,4360' 80 C 30,00 36,70 35,00 33,9060' 95 C 18,30 15,00 15,00 16,1080' 65 C 41,00 38,30 41,70 40,3380' 80 C 25,00 26,70 26,70 26,1380' 95 C 13,50 15,00 15,00 14,50

Lampiran 11b. Uji Analisis Keragaman Viskositas Relatif Pektin Pada Penelitian

Utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: viskositas

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 8865,267(a) 8 1108,158 226,978 ,000 Intercept 32802,563 1 32802,563 6718,777 ,000 waktu 1120,249 2 560,124 114,727 ,000 suhu 7035,536 2 3517,768 720,526 ,000 waktu * suhu 709,482 4 177,371 36,330 ,000 Error 87,880 18 4,882 Total 41755,710 27 Corrected Total 8953,147 26

a R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,986) Lampiran 11c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas

Relatif waktu Duncan

Subset waktu N 1 2 3 80' 9 26,9889 60' 9 34,8111 40' 9 42,7667Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,882. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Page 79: JERUK PONTIANAK

Lampiran 11d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif

suhu Duncan

Subset suhu N 1 2 3 95 C 9 16,8667 80 C 9 31,6778 65 C 9 56,0222Sig. 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,882. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05. Lampiran 11e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap

Viskositas Relatif Kombinasi waktu dan suhu Duncan

Perlakuan N Subset

1 2 3 4 5 6 7 80 ' 95 3 14,500 60 ' 95 3 16,100 40 ' 95 3 20,000 80 ' 80 3 26,133 60 ' 80 3 33,900 40 ' 80 3 35,000 80 ' 65 3 40,333 60 ' 65 3 54,433 40 ' 65 3 73,300Sig. ,387 1,000 1,000 ,550 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,882. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.