Jispar Vol. 6

Embed Size (px)

Citation preview

  • 135

    IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DAN PENGINAPAN DI

    KABUPATEN SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

    THE POLICY IMPLEMENTATIONS HOTEL AND LODGING TAXES REVENUE IN

    SINTANG REGION IN WEST KALIMANTAN PROVINCE

    Oleh :

    TRESIA KRISTIANA

    ABSTRAK

    Penelitian ini tentang Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan,

    terdapat berbagai model yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan guna meningkatkan

    Pendapatan Asli Daerah dari sektor pajak daearah, terindikasi hasil pemungutan yang dilakukan

    mengalami fluktuasi sehingga hasil pungutan pajak belum optimal, serta belum dapat dijadikan

    sebagai sumber keuangan daerah, untuk membiayai kegiatan pemerintahan daerah dan

    pembangunan yang seharusnya digali dari potensi sumber daya daerah yang dimiliki.

    Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data

    dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder melalui wawancara dan observasi,

    untuk data sekunder didapatkan dari dokumen resmi, berupa laporan kegiatan dan Peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    Hasil penelitian menunjukan bahwa beban kerja staf pelaksana dalam mengimplementasikan

    kebijakan melebihi kemampuannya, insentif masih minim namun telah diatur dalam Peraturan

    Daerah Nomor 5 Tahun 2009, disisi lain standar tujuan kebijakan telah ada dan diatur dalam

    Peraturan Daerah tentang Satuan Organisasi Perangkat Daerah. Komunikasi internal dan eksternal

    cukup efektif, lingkungan sosial, ekonomi, politik cukup mendukung, sehingga hasil dari

    pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan mengalami peningkatan dilihat dari pencapaian target dan

    realisasi meskipun belum signifikan peningkatannya jika dibandingkan dengan potensinya.

    Temuan dari penelitian ini adalah adanya faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan

    implementasi kebijakan yaitu sistem kerja merupakan pengembangan dari teori implementasi

    kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yaitu dimensi standar.

    Kata Kunci : Implementasi kebijakan, Pajak Hotel dan Penginapan.

    ABSTRACT This research examinies on the policy Implementation Hotel and Lodging Taxes. There are various

    models that can support the implementation of policies to improve local revenue from affluent

    sectors tax. Poll results indicated to be fluctuate so that tax money is not optimal, and can not be

    used as an areas finance resources, to fund local government activities and development which should be extracted from the areas potentialresouces.

    This study used a qualitative descriptive method. data collection technicque conducted by

    collectingprimary and secondary data through interviews and observation. Secondary data

    obtained from official documents, activities and report and applicable regulations.

  • 136

    The results showed that the operating staff workload exceeds the ability to implement policies,

    incentives are still low but has been regulated in Local Regulation No. 5 of 2009, on the other hand

    there are standards and policy objectives have been set in the Regulation on Organization of the

    regional units. Internal and external communication is effective, the social environment, economy,

    politics quite supportive, so that the results of the poll tax Hotel and Lodging seen increased

    realization of the achievement of targets and although not significant increase when compared to

    its potential. The findings of this study is the presence of other factors that influence the successful

    implementation of policies that work is the development of systems theory of policy implementation

    by Van Meter and Van Horn is a standard dimension.

    Keywords: Implementation of policies, Hotel and Lodging Tax.

    PENDAHULUAN

    Keleluasaan daerah dalam memungut pajak dan retribusi daerah diharapkan dapat

    meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, dengan ditunjang oleh

    kesadaran masyarakat yang tinggi dalam membayar pajak. Pendapatan Daerah dari pajak daerah

    dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi pemungutan dan efisiensi administrasi pajak

    serta perbaikan kontrol terhadap petugas pemungutan dalam rangka mengurangi kebocoran.

    Pemungutan pajak daerah, di Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang diatur dengan

    Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Penginapan

    yang ditetapkan pada tanggal 29 Desember 2003, Peraturan Daerah ini masih berlaku hingga saat

    ini.

    Dari berbagai jenis pajak yang ada dalam penelitian ini peneliti akan fokus pada Pajak Hotel

    dan Penginapan. Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang Provinsi

    Kalimantan Barat dilakukan dengan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Daerah Kabupaten

    Sintang Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pajak Hotel dan Penginapan.

    Berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah terutama untuk membiayai

    penyelenggaraan otonomi daerah (desentralisasi fiscal) pemerintah daerah dapat menggali sumber-

    sumber penerimaan bagi daerah dengan potensi masing-masing daerah. Salah satu Pajak daerah

    yang dapat digali menjadi sumber Pendapatan asli daerah adalah pajak hotel dan penginapan. Di

    Kabupaten Sintang Pajak Hotel dan Penginapan setiap tahun mengalami fluktuatif dalam

    pencapaian target, dikarenakan penetapan target belum dilakukan dengan perhitungan yang akurat,

    dengan memperhitungkan potensi pajak yang sebenarnya, perhitungan yang dilakukan hanya

    didasarkan pada pendapatan tahun sebelumnya dengan tambahan kenaikan sebesar 10 % setiap

    tahun.

    Pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah di Kabupaten Sintang, khususnya Pajak Hotel dan

    Penginapan di tetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003, standar dan sasaran

    kebijakan yang dibuat oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Aset dan Keuangan Daerah diatur dalam

    Rencana Kerja Dinas ini, dalam bentuk rencana strategi yang memuat rencana kinerja, capaian

    kinerja dan analisis capaian kinerja. Rencana Strategis menjadi acuan dan pedoman dalam

    melaksanakan tugas dan fungsi dinas, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bupati sebagai

    Kepala Daerah, dalam Susunan Organisasi Tata Kerja Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan

    Aset Daerah, dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi terutama dalam

    melaksanakan tugas dan fungsi salah satunya dalam mengimplementasikan kebijakan tentang Pajak

    Hotel dan Penginapan.

  • 137

    Dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan yang

    dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang, dengan menggunakan model implementasi

    kebijakan menurut Donald Van Meter dan Carl E.Van Horn, dimana terdapat enam variabel yang

    membentuk hubungan antara kebijakan dengan pelaksana. Keenam variabel terdiri dari : 1)standar

    dan tujuan (standard and objectivitas), 2) sumber daya (resources), 3)komunikasi antar organisasi

    (comunications and enforcement activities), 4)karakteristik agen pelaksana (the characteristic of the

    implementing agencies), 5)kondisi sosial ekonomi dan politik (economic, social and political

    conditions) 6)disposisi pelaksana (the disposition of implementory).

    Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan

    Penginapan, merupakan salah satu kebijakan publik, sebagaimana pendapat Santoso (1993:4)

    pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah katagori salah satunya,

    pendapat para ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah.

    Dalam penelitian ini tidakan pemerintah Kabupaten Sintang dengan menerbitkan Peraturan Daerah

    Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan adalah merupakan

    implementasi kebijakan.

    Sebagaimana menurut pendapat Anderson yang dikutif oleh Tachjan (2008:16) Public polices are those policies developed by governmental bodies and official. Maksudnya kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat

    pemerintah. Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang yang diatur

    dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 adalah kebijakan yang

    dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dalam hal ini Bupati Sintang.

    Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan

    Penginapan dikatakan sebagai suatu kebijakan sebagaimana pendapat Edward dan Sharkansky yang

    dikutip oleh Islamy (1992:18-19) kebijakan dapat ditetapkan secara jelas dalam bentuk peraturan

    perundang-undangan, pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun dalam bentuk program-

    program, proyek-proyek dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Mengacu pada

    pendapat tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh

    Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang tersebut merupakan sebuah kebijakan.

    Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah

    Daerah Kabupaten Sintang, yang telah ditetapkan dan di Undangkan dalam Lembaran Daerah

    Kabupaten Sintang Tahun 2003 Nomor 26 Seri B Nomor 2,oleh Sekretaris Daerah Kabupaten

    Sintang, Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu kebijakan

    publik, sebagaimana menurut Tachjan (2008:16) dalam suatu negara kebijakan publik tersusun

    dalam suatu strata yang menunjukan tingkatan-tingkatan dari kebijakan paling tinggi yang sifatnya

    paling strategis sampai pada kebijakan yang paling rendah yang sifatnya teknis operaional.

    Kebijakan yang lebih rendah merupakan penjabaran dari kebijakan yang paling tinggi dan

    materinya tidak boleh bertentangan. Demikian juga halnya kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten

    Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Penginapan ini tidak bertentangan dengan

    Peraturan Perundang-Undangan yang diatasnya yakni Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000

    tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001

    tentang Pajak Daerah. Peraturan ini tentu tidak bertentangan karena dilakukan penyempurnaan dan

    penyesuaian, dimana dalam peraturan tersebut ada pemisahan obyek pajak antara hotel dan

    penginapan.

    Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang penting dalam proses kebijakan,

    implementasi kebijakan juga merupakan alat administrasi hukum karena sebagai aktor, organisasi,

    prosedur dan teknik untuk menjalankan kebijakan guna mencapai tujuan yang ingin dicapai.

    Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 merupakan payung hukum untuk

  • 138

    pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan, dimana Pajak tersebut merupakan salah satu

    Sumber Pendapatan Asli Daerah yang akan memberikan kontribusi dalam kegiatan pembangunan.

    Sebagaimana pendapat Syamsi (1988:228) sumber pendapatan asli daerah tersebut adalah pajak

    daerah dan retribusi daerah sangat penting, karena merupakan sumber pendapatan asli daerah yang

    paling besar. Hasil dari pungutan pajak daerah dapat dijadikan sebagai sumber untuk membiayai

    pelayanan kepada masyarakat.

    Tujuan dari pemungutan pajak adalah sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan guna

    membiayai operasional pemerintah, untuk mengatur perekonomian dan pencapaian tujuan sosial

    lainnya dalam mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk dapat mencapai kesejahteraan bagi

    masyarakat, pemerintah harus dapat menjalankan roda pemerintahan, terutama pelaksanaan

    pembangunan. Pembangunan yang dilakukan membutuhkan biaya yang cukup besar, salah satu

    sektor yang dapat diandalkan untuk membiayai kegiatan pembangunan tersebut adalah pajak

    daerah. Pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan yang

    diinginkan maka harus didukung oleh pengelolaan di sektor pajak. Masyarakat harus mendukung

    dengan kesadaran yang tinggi untuk membayar pajak, karena hasil pungutan pajak tersebut

    diperuntukan untuk kepentingan masyarakat.

    Kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, termasuk pajak daerah ditentukan dari

    ketegasan pemerintah dengan membuat peraturan-peraturan, yang mengacu pada Undang-Undang

    yang berlaku. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pajak

    Daerah adalah iuran wajib yang dilaksanakan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa

    imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan

    pembangunan daerah. Sejak bergulirnya Otonomi Daerah maka tanggungjawab pemerintah daerah

    semakin berat karena dituntut kemandirian untuk mampu mencari dan menggali potensi yang

    dimiliki dalam hal pendanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sebagaiman pendapat

    Norton 1994 dan Smith,1985 (dalam Nugroho,2007:153) kemandirian daerah memutuskan

    pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan, dan kemandirian daerah

    memperoleh pendanaan guna pembiayaan pembangunan.

    Ada beberapa variabel Menurut Van Meter dan Van Horn yang menjadi faktor yang

    mempengaruhi atau dimensi yang terdapat dalam implementasi yang diarahkan pada pencapaian

    tujuan. Adapun variabel tersebut:

    Standar dan Tujuan

    Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Penginapan diundangkan di

    Sintang pada tanggal 30 Desember Tahun 2003, oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Sintang

    tertanda Drs. Wasbir Martha,MM dalam lembaran Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2003

    Nomor 26 Seri B. Nomor 2.

    Tahapan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan pemungutan Pajak Hotel dan

    Penginapan yang dilakukan setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang menetapkan

    Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003, tentang Pajak Hotel dan Penginapan. Peraturan Daerah

    ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

    Daerah berikut tentang peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun

    2001 tentang Pajak Daerah dimana esensi peraturan tersebut mengamanatkan obyek pajak

    berupa Hotel dapat dikenakan dengan Pajak Daerah yang diatur dengan Peraturan Daerah.

    Meskipun saat ini Undang-Undang tersebut telah mengalami perubahan dengan diterbitnya

    Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, namun di Kabupaten

  • 139

    Sintang tetap menggunakan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003, dalam pelaksanaan

    pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan.

    Pelaksanaan Pemungutan Pajak yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

    Sintang adalah Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKA), hal ini

    mengacu pada Keputusan Bupati Sintang Nomor: 02 Tahun 2008 Lembaran Daerah Tahun 2008

    Nomor 02 Tambahan Lembaran Daerah Nomor 02 tentang Susunan Organisasi Pemerintah

    Daerah. DPKKA merupakan unsur pelaksana teknis di bidang pendapatan, pengelolaan

    keuangan dan Aset. Sebagai unsur teknis DPPKA Kabupaten Sintang mempunyai tugas dan

    fungsi sebagi berikut:

    a. Tugas Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset Kabupaten Sintang sebagai unsur

    penunjang mempunyai tugas melaksanakan sebagian kewenangan Pemerintah Kabupaten

    di bidang Pendapatan, pengelolaan keuangan dan Aset serta tugas kedinasan lainnya yang

    dilimpahkan oleh Bupati.

    b. Fungsi Untuk menyelenggarakan tugas tersebut di atas, Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan

    dan Aset mempunyai beberapa fungsi, untuk fungsi yang berhubungan dengan penelitian

    ini yaitu implementasi kebijakan pemungutan pajak hotel dan penginapan adalah:

    1. Perumusan kebijakan teknis dibidang pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset; 2. Penyusunan dan pelaksanaan rencana strategis dan rencana kerja tahunan dibidang

    pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset;

    3. Penyusunan Penetapan Kinerja dibidang Pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset; 4. Pembinaan Unit Pelayanan Terpadu Daerah dibidang Pendapatan; 5. Evaluasi dan laporan pelaksanaan tugas dan fungsi; 6. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dibidang Pendapatan, Pengelolaan

    Keuangan Dan Aset;

    7. Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dibidang Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset;

    Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset

    Daerah Kabupaten Sintang setiap tahun akan menetapkan Rencana Kerja untuk satu tahun kedepan

    yang akan dijadikan pedoman dan dasar pelaksanaan kegiatan pokok maupun penunjang di bidang

    Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Pedoman dan dasar pelaksanaan tersebut

    merupakan standar dan sasaran dari kebijakan pemungutan pajak daerah yang dilakukan di

    Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang.Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kepala

    Bidang Pendapatan dibantu oleh : (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan (2) Seksi Penetapan (3)

    Seksi penagihan

    Standar dalam memberikan pelayanan Pajak Daerah khususnya Pajak Hotel dan Penginapan

    di Kabupaten Sintang menurut Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

    (DPPKA) Kabupaten Sintang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, yang dikeluarkan oleh

    Kementrian Keuangan Republik Indonesia yakni berupa standar prosedur operasi (Standard

    Operating Procedure) layanan unggul bidang perpajakan meliputi : 1) Pelayanan penyelesaian

    permohonan pendaftaran nomor pokok wajib pajak, sebagai identitas untuk melaksanakan hak dan

    kewajiban perpajakan, 2) pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan wajib pajak, 3)

    pelayanan penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, 4) pelayanan

    penerbitan surat perintah membayar kelebihan pajak, 5) pelayanan penyelesaian permohonan

    keberatan penetapan pajak, 6) pelayanan penyelesaian surat keterangan bebas pemungutan, 7)

  • 140

    pelayanan penyelesaian permohonan pengurangan, 8) pelayanan pendaftaran objek pajak baru

    dengan penelitian kantor, 9) pelayanan penyelesaian mutasiseluruh objek dan subjek pajak, 10)

    pelayanan penyelesaian permohonan keberatan pajak, 11) pelayanan penyelesaian permohonan

    pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, 12) pelayanan penyelesaian permohonan

    pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

    Dari data yang penulis dapatkan baik hasil wawancara maupun dokumentasi yang ada

    menunjukan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan pemungutan Pajak Hotel dan

    Penginapan yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

    Kabupaten Sintang telah dilakukan sesuai dengan pendapat dari Donald.S Van Meter dan Carl.E

    Van Horn (1975:462) yang mengutif pendapat dari Pressman and Wildavsky(1973:xiv) In

    determining standard and objectives one could use the statement of policy maker, as reflected in

    numerous documents such as program regulations and guidelines which spell out the criteria for an

    evaluation on policy performance.

    Standar dan tujuan kebijakan Van Meter dan Van Horn sebagaimana dikutip oleh Widodo

    (2001:197-198) harus senantiasa dicantumkan dengan jelas ditiap-tiap program, jika standar dan

    tujuan kebijakan itu jelas maka akan dengan mudah untuk dilaksanakan, sebaliknya akan sering

    terjadi kegagalan bila standar dan tujuan tidak jelas.

    Pelaksananya kebijakan tentang pemungutan pajak daerah tersebut sebagaimana ditetapkan

    oleh Keputusan Bupati Sintang adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

    (DPPKA) Kabupaten Sintang, hal ini termuat dalam Pasal 5 Peraturan Bupati Sintang Nomor 39

    Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) pada Dinas Pendapatan,

    Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sintang. Tugas pokok DPPKA adalah melaksanakan

    sebagian kewenangan otonomi daerah dibidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.

    Adapun pernyataan misi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten

    Sintang adalah: a) Meningkatkan penerimaan daerah. b) Memantapkan Sistem Pengelolaan

    Pendapatan, Keuangan dan Aset /Kekayaan/ Barang Daerah. c) Meningkatkan kualitas pelayanan.

    Dalam mengimplementasikan kebijakan Pemerintah Daerah, khususnya Pajak Hotel dan

    Penginapan sesuai dengan kewenangan dalam tugas pokok dan fungsinya Dinas Pendapatan

    Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sintang, telah melakukan prosedur pelayanan

    pemungutan pajak, namun hasil yang didapat belumlah maksimal menujukan dukungan terhadap

    peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan

    pembangunan.

    Menurut Brotodihardjo (2006:113) tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga

    stelsel yakni (1) Stelsel nyata, (2) Stelsel anggapan, (3) stelsel campuran.

    Sumber Daya (resources)

    Sumber daya sebagaimana yang dimaksud Van Meter dan Van horn mencakup dana atau

    perangsang (incentive) yang dapat mendorong dan memperlancar proses implementasi kebijakan

    secara efektik. Sumber daya dapat juga berupa aparat pelaksana (staff), informasi, kewenangan dan

    fasilitas sebagaimana yang dikutif dari pendapat Edwards III.

    Uang perangsang (insentif) sebgai bagian dari sumber daya, telah diatur oleh Pemerintah

    Daerah dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2009 tentang

    Pemberian Uang Perangsang Kepada Unit Kerja Yang Melaksanakan Pemungutan Pajak Daerah.

    Untuk Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan karena pelaksananya adalah Dinas Pendapatan

  • 141

    Pengelolaan dan Keuangan Aset Daerah, maka uang perangsang diberikan kepada staf pelaksana

    yang melakukan pemungutan Pajak Daerah Tersebut.

    Pemberian uang perangsan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memotivasi

    pegawai pada unit kerja yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dalam rangka menunjang

    pendapatan daerah. Adapun bersarnya uang perangsang yang diterima selama kurun waktu tiga

    tahun dari tahun 2006, tahun 2007, tahun 2008, tahun 2009 dan tahun 2010 adalah sebagai berikut :

    Tabel.4.10

    Hasil Perhitungan Uang Perangsang Yang Diterima DPPKA

    dari Pajak Hotel dan Penginapan

    No Tahun Realisasi Penerimaan Pajak

    Hotel dan Penginapan

    Jumlah Uang Perangsang

    Peningkatan Uang

    Perangsang

    1. 2006 Rp. 140.589.175,00 Rp. 7.029.458,75 Rp. 702.945,75

    2. 2007 Rp. 179.713.497,00 Rp. 8.985.674,85 Rp. 1.956.216,10

    3. 2008 Rp. 236.626.920,00 Rp.11.831.346,00 Rp. 2.845.671,15

    4. 2009 Rp. 282.602.520,00 Rp.14.130.126,00 Rp. 2.298.780,00

    5. 2010 Rp. 287.924.760,00 Rp.14.396.238,00 Rp. 266.112

    Sumber : DPKKA Kabupaten Sintang.

    Pemberian uang perangsang atau yang lebih dikenal dengan remunerasi adalah semua

    bentuk imbalan yang diterima pegawai atas kontribusi yang diberikan kepada organisasi bersifat

    langsung atau tidak langsung, berbentuk cash ataupun in-kind diberikan secara reguler ataupun pada

    waktu-waktu tertentu.

    Sumber daya menurut Van Meter dan Van Horn sebagaimana dikutif Winarno (2002:112)

    adalah sumber kebijakan yang mencakup dana atau perangsang (incentive) yang mendorong dan

    memperlancar proses inmplenetasi secara efektif. Tipe dan tingkatan sumber-sumber akan

    mempengaruhi komunikasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana, mempengaruhi kecenderungan

    (disposisi) para pelaksana, serta mempengaruhi kondisi sosial ekonomi dan politik organisasi

    pelaksana seperti motivasi, ekonomi, dan tuntutan peran serta. Van Meter dan Van Horn (1974:465)

    mengemukakan sumber daya kebijakan (polyce resources)tidak kalah penting dengan standar dan

    tujuan. Sebagaimana yang dikemukakan Derthick dalam Van Meter dan Van Horn (1974:465) new towns study suggest that the limited supply of federal incentives was a majorcontributor to the

    failure of the program.

    Karakteritik Organisasi Pelaksana.

    Karakteristik agen pelaksana, untuk suatu kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah

    selalu dikaitkan dengan struktur birokrasi. Beberapa unsur yang mempengaruhi dalam

    mengimplementasikan kebijakan berupa: kompetensi dan ukuran staf, tingkat pengawasan hirarki

    terhadap sub unit dan proses dalam badan pelaksana, sumber politik organisasi, vitalitas suatu

    organisasi dan jaringan kerja secara horisontal dan vertikal, kaitan formal dan informal suatu badan

    dengan pembuat keputusan. Keterkaitan antara Visi dan Misi tersebut dalam dokumen rencana kerja

  • 142

    Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKA) tergambar dalam suatu bagan

    sebagai berikut

    KETERKAITAN VISI DAN MISI DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN

    DAN ASET KABUPATEN SINTANG

    Komunikasi antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksana

    Kebijakan publik akan dapat di implementasikan dengan baik dan terlaksana dengan efektif

    jika standar dan tujuan dikomunikasikan kepada pelaksana. Komunikasi yang dilakukan kepada

    pelaksana (implementors) sesuai dengan sasaran akan memberikan informasi yang bermanfaat

    terutama dalam menginterpretasikan kebijakan.

    Bentuk dari informasi yang dilakukan adalah pembinaan yang dilakukan dalam bentuk

    sosialisasi tentang Peraturan Daerah, terutama tentang kewajiban yang harus dipenuhi wajib pajak

    seperti mengisi data dalam Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), yang digunakan untuk

    melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak daerah. Komunikasi antar organisasi

    dilakukan secara internal dalam hal pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan, Komunikasi yang

    dilakukan oleh Kepala Bidang Pendapatan sesuai tugas pokok dan fungsi melakukan komunikasi

    internal dengan Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan, dan Seksi penagihan.

    Komunikasi eksternal dilakukan oleh masing-masing seksi dengan subyek Pajak Hotel dan

    Penginapan.

    Melakukan komunikasi dalam rangka koordinasi untuk pelaksanaan tugas dan fungsi dalam

    suatu organisasi merupakan suatu tugas yang tidak mudah dilakukan. Hal ini dikarenakan

    komunikasi tidak hanya menyangkut pada capaian penyampaian tujuan, tetapi yang terpenting

    adalah efek dari komunikasi yang diberikan. Sebagaimana pendapat Forsyth (1998:7) untuk

    mencapai tujuan komunikasi ada empat tujuan yang perlu dipahami yaitu: (1) mendengarkan apa

    yang diutarakan (untuk melihat apa yang anda perhatikan). (2) memahami apa yang mereka dengar

    atau lihat. (3) menyetujui apa yg mereka dengar (atau tidak menyetujui setelah memahami benar

    apa yang anda katakan atau perhatikan. (4) mengambil tindakan yang sesuai dengan tujuan secara

    keseluruhan dan yang dapat mereka terima.

    Komunikasi internal yang dilakukan baik dengan atasan yakni Kepala Dinas DPKKA

    Kabupaten Sintang maupun dengan bawahan yakni Kepala Seksi Pendaaftaran dan Pendataan,

    Kepala Seksi Penetapan dan Kepala Seksi Penagihan serta staf pelaksana masing-masing seksi yang

    ada dilakukan melalui komunikasi formal dengan mengadakan rapat bersama untuk membahas

    pelaksanaan kegiatan pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan. Hasil rapat dijadikan program yang

    akan dikembangkan dalam tahapan pelaksanaan pemungutan pajak. Setiap permasalahan dan

    kendala yang dihadapi dalam melakukan kegiatan pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan, selalu

    Pengelolaan Keuangan Daerah Yang

    Optimal Didukung Pelayanan

    Aparatur Yang Profesional

    Meningkatkan penerimaan daerah.

    Memantapkan Sistem Pengelolaan

    Pendapatan, Keuangan dan

    Aset/Kekayaan/Barang Daerah

    Meningkatkan kualitas pelayanan.

  • 143

    diupayakan dengan memecahkan persoalan dengan melakukan sharing pendapat, yang dapat

    dijadikan sebagai informasi untuk mengatasi masalah yang kemungkinan dihadapi pada masa yang

    akan datang.

    Komunikasi yang dilakukan mencakup transformasi informasi dan kejelasan serta

    konsistensi. Transformasi informasi tidak hanya berlaku kepada pelaksana kebijakan akan tetapi

    juga kelompok sasaran (target group). Target Group (kelompok sasaran) menurut Tachjan

    (2008:35) yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang

    dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Mereka diharapkan dapat

    menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola interaksi yang ditentukan oleh kebijakan.

    Sikap Pelaksana

    Dalam hal pemungutan pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang pelaksananya

    adalah seluruh staf birokrasi yang ada di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keangan dan Aset Daerah,

    sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan dalam organisasi.

    Pelaksana kebijkan pemngutan Pajak Hotel dan Penginapan adalah seluruh staf yang berada

    dibawah Kepala Bagian Pendapatan DPKKA Kabupaten Sintang yang berjumlah 8 (delapan) orang.

    Dalam menjalankan tugas masing-masing mendapat surat tugas sebagai pelaksana pemungutan

    pajak. Secara operasional yang bertanggung jawab langsung dilapangan adalah Kepala Seksi

    Penagihan.

    Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

    Kondisi lingkungan ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi pelaksanaan

    implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dapat berhasil sesuai yang diharapkan atau

    sebaliknya menjadi penghambat dalam pelaksanaan implementasi kebijakan. Salah satu indikator

    kemajuan daerah dapat dilihat dari perekonomian.

    Berdasarkan data Sekunder yang penulis dapatkan dari Dinas Pendapatan Pengelolaan

    Keuangan dan Aset Daeah (DPPKA) Kabupaten Sintang diperoleh informasi, pertumbuhan

    ekonomi pada tahun 2011 sebesar 7,26%. Pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain disebabkan

    mulai bangkitnya sektor rill seperti sektor industri pengolahan, sektor keuangan, pemerintahan dan

    jasa perusahaan serta sektor jasa. Sektor pertanian tetap menjadi andalan perekonomian Kabupaten

    Sintang dengan kontribusi 48,23%, sektor lainnya yang memberikan kontribusi cukup tinggi antara

    lain sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 22,64%, sektor jasasebesar 7,11%, sektor

    pertambangan dan penggalian sebesar 5,49%, sektor industri pengolahan sebesar 5,49%, sedangkan

    sektor lainnya masih dibawah 5%.

    Pertumbuhan sektor ekonomi yang baik dipengaruhi kebijakan-kebijakan sektoral yang

    mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat yang pada gilirannya akan meningkatkan kegiatan

    ekonomi masyarakat. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

    Sintang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan memperluas penciptaan

    dan pemertaan lapangan kerja.

    Peningkatan penciptaan kesempatan kerja terutama di sektor perkebunan dan pertanian

    diharapkan mampu mengatasi permasalahan sosial ekonomi masyarakat, yang diharapkan akan

    dapat terus mendukung laju peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian dan perkebunan. Hal

    ini diperkiraan akan tetap meningkat sejalan dengan pertumbuhan sektor pertanian yang diupayakan

    adanya perluasan lahan pertanian dan perkebunan, baik milik masyarakat maupun perusahan-

    perusahaan swasta di bidang perkebunan Kelapa Sawit dan tanaman Karet. Peningkatan tersebut

    diharapkan mampu menekan angka pengangguran di Kabupaten Sintang.

  • 144

    Kondisi sosial budaya di Kabupaten Sintang dapat diamati pada berbagai bidang kehidupan

    diantaranya adalah kesehatan, pendidikan dan pariwisata. Dalam bidang kesehatan umur harapan

    hidup masyarakat Kabupaten Sintang yaitu 66,6 tahun. Dalam bidang pendidikan angka melek

    huruf yaitu 83,60%. Di bidang pariwisata dilihat dari potensinya Kabupaten Sintang merupakan

    daerah yang memiliki keberagaman potensi pariwisata karena terdapat beberapa objek wisata yang

    sangat prospektif untuk dikembangkan. Beberapa potensi pariwisata tersebut di antaranya adalah :

    Hutan Wisata Alam Baning, Hutan Wisata Bukit Kelam, Air Terjun Nokan Nayan, Museum Dara

    Juanti, Rumah Betang dan Upacara Adat.

    Kesimpulan

    Berdasarkan perumusan masalah, hipotesis dan hasil penelitian serta pembahasan mengenai

    Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang Provinsi

    Kalimantan Barat, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

    1. Implementasi kebijakan pemungutan pajak hotel dan penginapan yang di atur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003, memiliki standar dan sasaran

    yang jelas, akan tetapi tidak semua ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut dapat

    dilaksanakan sepenuhnya sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini disebabkan kondisi objek

    pajak hotel dan penginapan yang ada, mengakibatkan Kepala Daerah harus membuat

    kebijakan lain untuk pelaksanaan pemugutan pajak hotel dan penginapan. Sumber daya

    (resourcers) yang terbatas terutama petugas pemungut pajak, serta sarana dan prasarana yang

    masih kurang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat dilaksanakan sesuai

    ketentuan. Organisasi pelaksana dalam pemungutan pajak hotel dan penginapan ditunjuk

    dengan SK Bupati dalam SOTK, organisasi pelaksana tersebut adalah DPKKA Kabupaten

    Sintang. Secara operasional yang melaksanakan kebijakan tersebut adalah Kepala Dinas,

    Kepala Bagian Pendapatan, Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan, dan Seksi

    Penagihan serta seluruh staf yang berada pada Bagiaan Pendapatan. Komunikasi antar

    organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksana, dilakukan secara internal dan eksternal

    belum terlaksana secara maksimal. Sikap Para Pelaksana dalam menjalankan tugas

    sebagaimana yang telah digariskan dalam tugas dan fungsi untuk Bagian Pendapatan dan

    Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan, Seksi Penagihan serta seluruh staf yang

    ada pada Bagian Pendapatan DPPKA Kabupaten Sintang dalam menjalankan tugas sudah

    cukup baik, meskipun demikian hasil yang diperoleh dari pemungutan pajak belum optimal.

    Lingkungan Sosial Ekonomi dan Politik juga sangat mendukung, dimana tingkat

    pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, sosial kemasyarakatan dan partisipasi politik dari

    masyarakat, menunjukan jika lingkungan sosial ekonomi dan politik di kabupaten Sintang

    cukup stabil sehingga pelaksanaan implementasi kebijakan pemungutan pajak hotel dan

    penginapan dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku, meskipun hasil pemungutan pajak

    belum maksimal.

    2. Dengan demikian peneliti telah menemukan konsep baru dalam implementasi kebijakan pemungutan pajak diperlukan sistem kerja, tata kerja dan prosedur kerja yang merupakan

    bagian dari variabel Standar dan Sasaran kebijakan sebagaimana model yang ada pada teori

    Van Meter dan Van Horn untuk mendukung terlaksananya implementasi kebijakan.

    ******

  • 145

    DAFTAR PUSTAKA

    Agustino. L. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung.Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)

    Bandung Bekerja sama dengan Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad.

    Albrow, Martin. 1996. Birokrasi. Penerjemah : M.RusliK. dan Totok Daryanto. Yogyakarta: Tiara

    Wacana

    Anderson,J.E. 2003. Public Policy Making. An Introduction,3 ed. Boston New York.Hougton

    Mifflin Company.

    Bawazir, F, 1996. Pungutan Pada Dunia Usaha, dalam seri Kajian Fiskal Moneter

    N0.19/VIII/1996, Pusat Pengkajian Fiskal dan Moneter. Jakarta: CFMS

    Blau, Peter M and Marshall W. Mayer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. Penerjemah :

    Riyanto Slamet. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya

    Bogdan, Robert C. And Biklen.1993. Terjemahan Arif Fucrahman, Dasar-Dasar Penelitian

    Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional.

    Devas, N, dkk. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, terjemahan Masri Marimis.

    Jakarta: UI-Press

    Donald S. Van Meter dan Carl E. Vanhorn.1975. The Policy Implementation Process, A Conceptual

    Framework. Departement of Political Science Ohio State University.

    Frans Poels.1997. Job Evaluation and Remunerations Strategies. London: British Library.

    Ganna, Judistira K. 1999. Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Bandung: Primaco Akademika

    Grindle,M.1980. Politics and Policy Implementations, In The Third World,New Jersey: Precenton

    University Press

    Hadisoeprapto. 1996. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty

    Ichsan, C. 1996. Pengembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Banda Aceh: UP3R-FE

    Universitas Syah Kuala.

    Ismail, T. 2008. Pengantar Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta : Yellow Printing.

    Jones, Charles O.1984. An Introduction to the study of Public Policy. Thrid Edition Monterey,

    California Books/Cole Publishing Company.

    Judisseno, Rimsky,K. 2005. Pajak dan Strategi Bisnis Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum

    dan Penerapan Akuntansi di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

    Lains, A. 1985. Pendapatan Daerah dalam Ekonomi-Orde Baru, dalam Prisma No.4 April 1985,

    LP3ES, Jakarta Hal 40-57

    Lubis, S, M. 1975. Pergeseran Politik dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah.

    Bandung : Alumni

    Mardiasmo.2006. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta : ANDI

    -------------.2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: ANDI

    Martodirdjo. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Bina Rosda Karya

    Milles, B,M. Dan Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Bandung : Bina Rosda Karya

    Moleong,Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya

  • 146

    Nasution. S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito

    Nawawi, H. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajahmada University Press.

    Ndraha, Taliziduhu.1989. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta : Bina

    Aksara

    Nugroho, R. 2008. Public Policy.Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses Kebijakan

    Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management Dalam Kebijakan Publik

    Kebijakan Sebagai The Fifth Estate-Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Elex Media

    Komputindo Kelompok Gramedia.

    Redjo, Ibnu. 1995. Intensifikasi dan Eksistensifikasi Peningkatan PAD, Mimeo, Makalah Pada

    Seminar Otonomi Daerah Dati II, Riau Bangkiang.

    Rosdiana, Haula dan Irianto, Slamet E. 2011. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di

    Indonesia. Jakarta : Visimedia.

    Snavely. Keith. Innovations in State Tax Administration. Source: Public Administration Review,

    Vol 48,N0.5 (sep-Oct.,1988), pp.903-910 Published by : Black well Publishing on behalf of

    the American Society for Public Administration. Stable http:/www.jstor.org/stable/976906

    Accessed:27/04/2009 05:52

    Soedjadi.FX. 1989. O & M, Organization and Methods Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen.

    Jakarta : CV.Haji Masagung.

    Steers, Richard. 1985. Efektivitas Organisasi. Penterjemah Magdalena Jamin. Jakarta: Erlangga

    Suhadak dan Nugroho, T. 2007. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam

    Penyusunan APBD di Era Otonomi. Malang : Banyu Media Publishing

    Suryaningrat, Bayu.1981. Pemerintahan, Administrasi Desa dan Kelurahan, Jakarta : Aksara Baru.

    Syamsi. I. 1988. Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Negara. Jakarta : Bina Aksara

    Tachjan.H. 2006. Implementasi Kebijkan Publik. Bandung. Puslit KP2W.Lembaga Penelitian

    Unpad.

    Tengkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta. Yayasan

    Pembaharuan Administrasi Publik dan Lukman Ofset.

    Widodo.J.2001. Good Governance. Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kotrol Birokrasi pada

    Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya. Insan Cendekia.

    Winarno.B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Press.

  • 147

    ANALISIS TEORITIK MODEL PEMBANGUNAN DAERAH (DESA) TERTINGGAL

    Oleh :

    SYAMSURI

    ABSTRAK :

    Daerah tertinggal merupakan suatu daerah yang tingkat pembangunan dan kesejahteraan

    rakyatnya tertinggal atau kurang berkembang dari daerah lain. Dengan berbagai persoalan yang

    dialami oleh daerah tertinggal, diantaranya terbatasnya sumberdaya alam, rendahnya sumberdaya

    manusia, sangat terbatasnya prasarana dan sarana seperti sarana transportasi, komunikasi,

    kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya serta kemiskinan, maka dibutuhkan suatu model

    kebijakan/program pembangunan yang diarahkan untuk melakukan percepatan pembangunan di

    daerah tertinggal. Model yang dimaksud disesuaikan dengan karakteristik, potensi dan persoalan

    yang dialami oleh daerah tersebut. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menambah khasanah

    teoritik dalam melakukan kajian tentang pembangunan daerah (desa) tertinggal.

    Kata Kunci : Pembangunan Desa, Model Pembangunan Desa, dan Daerah Tertinggal.

    I. Pendahuluan

    Secara nasional bahwa meningkatnya pembangunan ekonomi selama ini masih belum

    mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara meluas dan merata, indikator utamanya adalah

    masih tingginya tingkat kesenjangan dan kemiskinan (Suharto, 2008), terutama antara daerah

    perkotaan dengan perdesaan. Hal ini disebabkan adanya ketidakmerataan dan ketidakadilan dalam

    distribusi pembangunan, karena kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini lebih

    mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan dan dipusat-pusat pemerintahan sedangkan di

    daerah perdesaan kurang mendapat perhatian yang serius, sehingga terjadi kesenjangan

    pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan yang menyebabkan tingginya angka

    kemiskinan di daerah perdesaan (Joshi dan Gebremedhin, 2012). Disisi lain ada dua alasan

    mengapa permasalahan pembangunan desa masih relevan dibahas, pertama kendati dalam dua

    dasawarsa terakhir perkembangan kota semakin maju tetapi perkembangan perdesaan justru

    sebaliknya, sedangkan wilayah negara didominasi oleh daerah perdesaan; dan Kedua kendati sejak

    tahun 1970-an pemerintah Orde baru mencanangkan berbagai macam kebijaksanaan dan program

    pembangunan perdesaan, secara umum kondisi sosial ekonomi desa masih memperhatikan dan

    persoalan kemiskinan dan kesenjangan menjadi masalah krusial di perdesaan. Kemiskinan dan

    kesenjangan dalam pembangunan membuat daerah tersebut menjadi tertinggal (Suryono, 2010).

    II. Pengertian dan Karakteristik Desa

    Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan (di

    Indonesia) jauh sebelum bangsa ini merdeka. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain

    sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam

    pembangunan bangsa. Desa merupakan institusi yang otonomi dengan tradisi, adat-istiadat dan

    relatif mandiri. Hal ini ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin

    merupakan wujud dari suatu bangsa.

    Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta

    Perencanaan Desa Terpadu memiliki batas yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003). Istilah desa dan

    perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village yang dibandingkan dengan kota

  • 148

    (city/town) dan perkotaan (urban). Konsep perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik

    masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial,

    dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa (Tarigan, 2003). Sedangkan Di Indonesia

    penggunaan istilah tersebut digunakan dengan cara yang berbeda untuk masing-masing daerah,

    misalnya dusun bagi masyarakat Sumatera Selatan, dati bagi Maluku, kuta untuk Batak, nagari

    untuk Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa. Bagi masyarakat lain istilah desa memiliki

    keunikan tersendiri dan berkaitan erat dengan mata pencahararian, norma dan adat istiadat yang

    berlaku (Sumpeno, 2011:3).

    Dalam kamus bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan desa adalah 1) suatu sekelompok

    rumah diluar kota yang merupakan kesatuan, kampung (di luar kota) atau dusun; 2) dusun atau udik

    (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota (Poerwadarminta, 1976). Sedangkan

    menurut Landis yang dikutip oleh Ahmadi (2003) menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah

    yang pendudunya kurang dari 2500 jiwa. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) mempunyai

    pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa; (b) ada pertalian perasaan yang

    sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan; (c) cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang sangat

    dipengaruhi alam, seperti: iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan

    agraris adalah bersifat sambilan (Yansen, 2013:95).

    Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan

    Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat

    hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

    kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

    dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif

    istilah desa di Indonesia adalah pembagian wilayah administratif yang di bawah kecamatan, yang

    dipimpin oleh Kepala Desa. Sejalan dengan undang-undang di atas Widjaja (2005:3)

    mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli

    berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran mengenai Pemerintahan

    Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan

    masyarakat.

    Dari beberapa pengertian di atas dapat tarik benang merahnya adalah bahwa desa

    merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman

    bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya

    sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli

    sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi

    daerah. Karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan

    otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, maka desa memiliki wewenang : 1) menyelenggarakan

    urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) menyelenggarakan urusan

    pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada

    desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat;

    3) tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4)

    urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa (PP.

    No 72 Tahun 2005 Bab III Pasal 7 tentang Desa)

    Dengan demikian bahwa desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh jumlah jiwa

    yang relatif kecil tetap memegang teguh nilai-nilai dan adat-istiadatnya yang khas. Dalam tatanan

    bengsa dapat dikatakan bahwa desa merupakan wilayah terkecil atau pemerintah negara paling

    bawah yang otonom dengan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan dilindungi oleh negara.

    Desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa ini. Disebut vital karena desa merupakan

    satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman bangsa. Selama ini terbukti

    keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan

    demikian penguatan desa menjadi hal yang tidak bisa ditawar dan tidak bisa dipisahkan dari

    pembangunan bangsa secara menyeluruh.

  • 149

    Setiap desa memiliki kekhasan tersendiri dan kekhasan tersebut yang menjadikan desa itu

    bisa berbeda-beda dalam kehidupan kesehariannya, perbedaan itu nampak terihat dalam perilaku

    sosial keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat

    digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat, misalnya masyarakat Jawa, Batak, Banjar, Bugis

    Dayak dan lain-lainnya. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan

    perkembangan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik

    tersebut sudah tidak begitu nampak dan bahkan tidak berlaku. Untuk itu Yansen (2010) menyatakan

    ada beberapa karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang

    bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui, yaitu: Sebagian besar masyarakat desa hidup

    dalam kesederhanaan, Masyarakatnya mudah menaruh curiga terhadap orang baru yang belum

    mereka kenal, masyarakatnya sangat menjunjung tinggi adat dan kesopanan, sangat tingginya rasa

    suasana kekeluargaan dan persaudaraan, cendrung berbicara apa adanya, cendurung minder dan

    tidak banyak omong terhadap orang kita, menghargai orang lain dan berusaha membalas budi

    dengan orang yang bernah berbuat bagi kepada mereka, Jika berjanji, akan selalu diingat dan

    ditepati, Suka bergotong-royong, Demokratis, Masyarakat perdesaan dikenal sangat religious dan

    suka mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan, misalnya: tahlilan,

    rajaban, Jumat Kliwonan, dan lain-lain.

    Kemudian Adisasmita (2006:100) membuat karakteristk desa berdasarkan tipologi desa,

    tipologi desa berdasarkan topografis dapat dibagi menjadi empat, yakni 1) desa daerah pegunungan,

    merupakan suatu desa yang berada di daerah pegunungan; 2) desa dataran tinggi, merupakan desa

    yang berada di daerah dataran tinggi tetapi tidak di daerah pegunungan; 3) desa dataran rendah,

    merupakan desa yang berada di daerah yang tidak berada pinggiran sungai/pantai; sedangkan 4)

    desa pasisir/desa pantai, desa ini biasanya berada di sekitar pantai atau bisa juga berada di daerah

    aliran sungai.

    Masyarakat desa umumnya hidup dalam situasi sederhana dengan mata pencaharian sangat

    tergantung dari kondisi geografis wilayahnya, misalnya usaha tani, nelayan, ternak, kerajinan

    tangan dan pedagang kecil dan banyak mengandalkan produksi pertanian masyarakat terutama

    untuk memenuhi keperluan sendiri (subsistence). Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari

    masih memegang teguh tradisi, nilai-nilai dan adat istiadat secara turun temurun. Bukan berarti

    tradisi dan adat istiadat yang dianut tidak menunjang usaha pembangunan, sebagian justru

    dibutuhkan untuk memelihara kelangsungan hidup dan lingkungan. Walaupun secara psikologis

    masyarakat desa cenderung memiliki sifat konservatif dan ortodoks, fatalis dan suka curiga

    terhadap orang luar, namun demikian, masyarakat desa dapat bersikap hemat, cermat dan

    menghormati orang lain yang terkadang sulit ditemukan di perkotaan (Sumpeno, 2011).

    III. Tipologi Desa

    Berdasarkan data dari BPS tahun 2011 secara nasional bahwa jumlah desa di Indonesia

    berjumlah 78.198, masing-masing desa mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik dan

    kekakhasan desa itu tidak terlepas dari kondisi desa itu sendiri. Dengan variasinya yang sangat

    luas, maka sangat sulit untuk merumuskan dan menentukan strategi pembangunan yang akan

    dilakukan. Untuk mencari solusi tersebut dipandang perlu untuk menyusun tipologi desa. Dengan

    tipologi desa yang ditetapkan akan diperoleh gambaran yang lebih sederhana dan dapat

    menggambarkan profil dan ciri desa, dengan demikian akan memudahkan dalam menganalisanya

    dan menyusun strategi kebijakan pembangunan. Tipologi menggambarkan tipe atau pola, ataupun

    sebagai pencerminan model berdasarkan kemiripan atau keserupaan ciri-ciri dan potensi dan

    kondisi sumberdaya (alam, manusia dan buatan) yang dimiliki oleh suatu desa, atau dikaitkan

    dengan aspek topografinya, kegiatan ekonomi daerah yang dominan, kemampuan keswadayaan

    masyarakat, dan lainnya (Adisasmita, 2013:110)

    Berdasarkan karakteristik desa yang ada, maka Adisasmita (2013) merumuskan berbagai

    macam tipologi desa, diantaranya:

  • 150

    1) Tipologi desa berdasarkan aspek topografi, terdiri dari desa daerah pegunungan, desa dataran tinggi desa dataran rendah dan desa pasisir/pantai.

    2) Tipologi desa berdasarkan kemampuan keswadayaan, terdiri dari: a) desa swadaya (tradisional), pada umumnya masyarakatnya masih bersifat tradisional dalam

    arti bahwa sumber kehidupan utama warganya masih berkaitan erat dengan usaha tani,

    termasuk meramu hasil hutan dan berternak yang diiringi dengan pemeliharaan ikan di

    tambak-tambak kecil tradisional. Jenis usaha tani cenderung bersifat untuk memenuhi

    kebutuhan sehari-hari. Teknologi pertanian yang dipakai masih rendah, tenaga hewan dan

    manusia merupakan sumber utama energi teknologi usaha taninya. Hubungan antar personal

    dan atau kelompok (masyarakat) sering didasarkan dan diikat atas adat istiadat yang ketat.

    Pengendalian atau pengawasan sosial (social control) dilaksanakan atas dasar kekeluargaan

    dan kebanyakan desa seperti ini berlokasi jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pusat

    kota dan sumberdaya manusia juga masih rendah serta masih sangat kurangnya prasarana

    dan sarana seperti infrastruktur jalan, pendidikan kesehatan.

    b) desa swakarya (transisional), merupakan tipe desa yang tingkatannya dianggap lebih

    berkembang lagi dibandingkan desa swadaya. Adat yang merupakan tatanan hidup

    bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan

    yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial budaya lainnya, adanya pengaruh dari luar

    sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir dan sarana prasarana mulai meningkat.

    c) desa swasembada (modern), merupakan tipe desa yang maju dan lebih berkembang

    dibandingkan tipe-tipe desa terdahulu. Prasarana desa sudah baik, beraspal dan terpelihara

    pula dengan baik. Warganya telah memiliki pendidikan setingkat dengan sekolah menengah

    lanjuatan atas. Mata pencaharian sudah amat bervariasi dan tidak lagi berpegang teguh pada

    usaha tani yang diusahakan sendiri. Masyarakat tidak lagi berpegang teguh dengan adatnya

    tetapi ketaatan kepada syariat agama terus berkembang sejalan dengan perbaikan pendidikan

    dan sarana dan prasarana relatif lengkap dan modern

    Berdasarkan aspek topografi dan kemampuan keswadayaan terlihat bahwa masing-masing

    desa mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda, perbedaan tersebut tidak terlepas dari kondisi

    dari desa itu sendiri. Oleh karenanya dalam melaksanakan program pembangunan di suatu desa

    belum tentu sama dengan pembangunan yang akan dilakukan di desa lain. Program yang akan

    dilaksanakan tentu harus dilihat dari bagaimana karakteristik dan kebutuhan dari masyarakat desa,

    dengan demikian maka program yang akan dilakukan dapat mencapai apa yang diharapkan oleh

    masyarakat itu sendiri.

    IV. Pembangunan Desa

    Pembangunan desa merupakan seluruh kegiatan pembangunan di desa dan meliputi seluruh

    aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya

    gotong-royong, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa berdasarkan

    kemampuan dan potensi Sumber Daya Alam (SDA) mereka melalui peningkatan kualitas hidup,

    ketrampilan dan prakarsa masyarakat (Adisasmita, 2006:4). Lebih lanjut Chittoo dan Suntoo

    (2012) menyatakan bahwa pembangunan desa merupakan proses pertumbuhan dan kemajuan

    ekonomi pedesaan dan peningkatan kesejahteraan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Kemudian

    menurut Howell dan Chisolm (2006) Pembangunan desa merupakan upaya yang dilakukan untuk

    memperbaiki dan meningkatkan kehidupan masyarakat desa, terutama pembangunan ekonomi,

    seperti ekspansi bisnis, pengembangan kewirausahaan dan pengembangan pariwisata.

    Ada dua alasan mengapa permasalahan pembangunan desa masih relevan dibahas, pertama

    kendati dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan kota semakin maju tetapi perkembangan

    perdesaan justru sebaliknya, sedangkan wilayah negara didominasi oleh daerah perdesaan; dan

    Kedua kendati sejak tahun 1970-an pemerintah Orde baru mencanangkan berbagai macam

    kebijaksanaan dan program pembangunan perdesaan, secara umum kondisi sosial ekonomi desa

  • 151

    masih memperhatikan dan persoalan kemiskinan dan kesenjangan menjadi masalah krusial di

    perdesaan (Usman, 2012:29).

    Menurut Fernando (2008) ada tiga dimensi dalam pembangunan perdesaan, yakni : 1) dimensi

    ekonomi, yakni mencakup penyediaan baik kapasitas maupun peluang bagi masyarakat miskin dan

    masyarakat berpenghasilan rendah perdesaan terutama sekali untuk mendapatkan manfaat dari

    proses pertumbuhan ekonomi, termasuk kebijakan untuk mengurangi ketidakmerataan intra maupun

    antar sektor; 2) dimensi sosial, yakni dimensi yang mendukung pembangunan sosial masyarakat

    berpendapatan rendah dan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak beruntung, menghilangkan

    ketidakmerataan dalam beberapa indikator sosial serta penyediaan jaringan pengamanan sosial; dan

    3) dimensi politik, yakni memperbaiki peluang masyarakat miskin dan masyarakat berpenghasilan

    rendah untuk dapat berpartisipasi secara efektif dan setara dalam proses politik pada tingkat

    perdesaan Arsyad et.al (2011:18-19). Pendapat senada dalam pembangunan berbasis lokal Arsyad,

    et.al (2011:19) mengungkapkan ada tiga dimensi dalam pembangunan desa, yakni 1) dimensi

    ekonomi, 2) dimensi kelembagaan, dan 3) dimensi politik. Sedangkan Harjanto (2011:126)

    menyatakan ada tiga dimensi dalam pembangunan desa, yaitu; 1) dimensi psikologis, yakni

    membangun hubungan erat antara petugas lapangan dengan sejumlah kecil petani untuk

    menumbuhkan kepercayaan pada petani, 2) dimensi teknologis, menggunakan demonstration plot

    untuk mentransfer pengetahuan dan meningkatkan produksi pangan, dan 3) dimensi kelembagaan,

    melaksanakan proses institution building, antara lain pembentukan koperasi (KUD) untuk melayani

    kredit dan membantu pemasaran. Dimensi-dimensi ini akan dibahas dalam bagian model-model

    pembangunan desa. Dimensi-dimensi tersebut akan dijadikan batu sandaran bagi pemerintah untuk

    melakukan pembangunan di daerah tertinggal.

    Sehubungan dengan beberapa dimensi di atas, maka dalam pembangunan terkandung

    beberapa unsur, yakni: 1) Perubahan, yaitu perubahan dari sesuatu yang dianggap masih kurang

    menuju kesempurnaan; 2) Tujuan, yaitu tujuan yang diarahkan dari, oleh dan untuk rakyat

    (manusia) menuju pelastarian, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang lebih baik lagi; dan 3)

    Potensi, yaitu potensi masyarakat yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri yang kemudian dapat

    digunakan untuk mendukung perencanaan pembangunan (Suryono, 2010).

    Untuk melakukan itu semua, negara (pemerintah) mempunyai peran yang sangat besar, karena

    tanpa ada keterlibatan dari pemerintah, terutama dalam hal anggaran maka pembangunan di

    perdesaan akan terlambat. Walaupun otonomi desa itu diberikan tetapi desa mempunyai anggaran

    yang sangat terbatas, disi lain bahwa tidak semua desa mempunyai sumber daya yang mempuni.

    Seiring dengan adanya otonomi daerah, maka prinsip-prinsip pembangunan pedesaan adalah

    (1) transparansi (terbuka), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati masyarakat, (4) dapat

    dipertanggungjawabkan (akuntabilitas), dan (5) berkelanjutan (sustainable) (Adisasmita, 2006:19).

    Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh

    pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya adalah dari,

    oleh, dan untuk seluruh rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk

    menentukan visi pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa depan merupakan impian

    tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah dalam arti tercapainya tingkat

    kemakmuran yang lebih tinggi.

    Pembangunan pedesaan juga dilakukan dengan pendekatan secara multisektoral (holistik),

    partisipatif, berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan keberkelanjutan

    serta melaksanakan pemanfaatan sumberdaya pembangunan secara serasi selaras dan sinergis dan

    berkeadilan. Dalam artikelnya mengenai pembangunan desa tertinggal, Hardi (2010) mengajukan

    beberapa strategi dalam meingkatkan pembangunan di desa tertinggal, yakni:

    1) Pembangunan daerah tertinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing

    daerah

    2).Pengembangan ekonomi lokal, strategi ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah

    tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya

  • 152

    manusia, sumberdaya kelembagaan, serta sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing

    daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-

    kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada.

    3).Pemberdayaan Masyarakat, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

    untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik

    4).Perluasan Kesempatan, strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal

    agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju

    5).Peningkatan Kapasitas, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan

    sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal.

    6).Peningkatan Mitigasi, Rehabilitasi dan Peningkatan, strategi ini diarahkan untuk mengurangi

    resiko dan memulihkan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dan bencana alam serta

    berbagai aspek dalam wilayah perbatasan.

    Strategi-strategi di atas merupakan suatu upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan

    terintegrasi dengan mengarahkan sumber daya dan potensi yang ada. Strategis tersebut dijadikan

    sebagai hal yang mendasar dalam melaksanakan kebijakan pembangunan desa tertinggal,

    pembangunan desa tertinggal merupakan pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh. Dalam

    melaksanakan strategi itu, Adisasmita (2006:20) mengingatkan bahwa ada tiga prinsip pokok yang

    harus diperhatikan, yakni: 1) kebijaksanaan dan langkah-langkah pembangunan di setiap desa

    mengacu kepada, pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan Trilogi Pembangunan. Ketiga

    unsur Trilogi Pembangunan tersebut yaitu a) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, b)

    pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan c) stabilitas yang sehat dan dinamis, diterapkan di

    setiap sektor dan antar sektor di setiap daerah, termasuk desa dan kota, di setiap wilayah dan antar

    wilayah secara saling terkait, serta dikembangkan secara selaras dan terpadu. 2) pembangunan desa

    dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Penerapan prinsip

    pembangunan berkelanjutan mensyaratkan setiap daerah lebih mengandalkan sumber-sumber alam

    yang terbaharui sebagai sumber pertumbuhan. Disamping itu setiap desa perlu memanfaatkan SDM

    secara luas, memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin, dan peralatan seefisien mungkin.

    3) meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kebijakan deregulasi, debirokratisasi dan

    desentralisasi dengan sebaik-baiknya.

    Pada hakekatnya tujuan umum dari pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kualitas

    hidup masyarakat pedesaan melalui pencapaian kemajuan sosial dan ekonomi secara

    berkesinambungan dengan tetap memperhatikan persamaan hak dan menjunjung tinggi prinsip-

    prinsip keadilan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa

    tujuan pembangunan perdesaan adalah untuk peningkatan perbaikan kualitas hidup masyarakat

    secara multidimensional (improving quality of life) yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

    politik dan hak-hak sosial dari semua orang yang ada di desa-desa (Chittoo dan Suntoo, 2012)

    Pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi,

    potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritas pembangunan pedesaan yang telah

    ditetapkan. Sasaran umum yang diharapkan dapat dicapai adalah pertumbuhan ekonomi pedesaan

    berbasis sumberdaya pertanian (agricultural resource based) yang ditunjang oleh kegiatan sektor

    non pertanian dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan kebutuhan masyarakat kecil.

    untuk itu Adisasmita (2006:24) menyatakan bahwa sasaran umum dalam pembangunan desa

    tertinggal dapat dikelompokkan menjadi beberapa sasaran sebagai berikut:

    1) Tersedianya infrastruktur fisik dan sosial yang mencakup jaringan jalan, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah.

    2) Terlaksananya pembangunan ekonomi yang mencakup ketersediaan sumber-sumber penghasilan, produktivitas pertanian yang tinggi, dan tingkat efisiensi yang tinggi dalam

    pemanfaatan sumberdaya alam.

  • 153

    3) Terciptanya kelestarian lingkungan yang meliputi terciptanya kesadaran akan arti pentingaya lingkungan, berkembangnya kepedulian lingkungan semua pihak, dan adanya upaya nyata untuk

    kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi.

    Sasaran pembangunan di atas tidak terlepas dari kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh

    desa tertinggal. Dan mengacu pada sasaran tersebut, maka pembangunan pedesaan harus diletakkan

    dalam konteks: 1) sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan

    prasarana dan sarana pembangunan untuk memberdayakan masyarakat, dan 2) sebagai upaya

    mempercepat dan memperkokoh pembangunan ekonomi daerah dalam arti luas secara efektif dan

    kokoh serta selalu berlandaskan pada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) .

    Dengan demikian maka program pembangunan perdesaan, pada prinsipnya bertujuan untuk

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi

    perdesaan yang berkeadilan, dan mempercepat industrialisasi perdesaan dengan selalu

    memperhatikan keberlanjutan lingkungan..

    Dari beberapa hal yang diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa secara umum terdapat dua

    aspek penting yang menjadi objek dalam pembangunan desa pembangunan, yakni : pertama

    pembangunan desa dalam aspek fisik, yaitu pembangunan yang objek utamanya dalam aspek

    fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan seperti jalan desa, bangunan rumah,

    pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana ibadah, pendidikan dan kesehatan Kedua:

    pembangunan dalam aspek pemberdayaan masyarakat, yaitu pembangunan yang objek utamanya

    aspek pengembangan dan peningkatan kemampuan, ketrampilan dan memberdayakan

    masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, pembinaan usaha ekonomi, kesehatan, spiritual,

    pengembangan kapasitas masyarakat individu maupun kelembagaan yang ada didesa dan

    sebagainya. Tujuan utamanya adalah untuk membantu masyarakat yang masih tergolong marjinal

    agar dapat melepaskan diri dari berbagai belenggu keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan

    sebagainya. keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan desa. karena proses

    pembangunan desa bukan hanya sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi

    proses pembangunan desa merupakan bagian dari pemberdayaan dan peningkatan kapasitas

    masyarakat pedesaan.

    V. Model Pembangunan Desa

    Untuk memudahkan dalam melaksanakan suatu program dibutuhkan suatu bentuk

    konseptual yang dijadikan sebagai acuan ataupun panduan dalam melaksanakan program tersebut.

    Dari konsep-konsep yang telah ditentukan kemudian akan dibuat suatu model. Secara sederhana

    Bullock dan Stallybrass (1997) dalam Wahab (2011:64) menyatakan bahwa model adalah a representation of something else, designed for a specific purpose (suatu pengejawantahan dari sesuatu yang lain, yang dirancang untuk tujuan tertentu). Pendapat yang hampir sama dinyatakan

    oleh Dye (197:39) bahwa a model is merely an abstraction or representation of political life (model merupakan suatu upaya penyederhanaan dan pengejawantahan dari keyataan politik).

    Dengan demikian bahwa model dapat dikatakan sebagai suatu konsep atau pola yang dibuat secara

    sederhana sebagai upaya untuk menggambarkan suatu keadaan (publik) melalui kebijakan publik

    untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan publik. Model dalam pembangunan desa

    merupakan suatu bentuk atau pola yang dibuat untuk mencapai tujuan dari program pembangunan

    desa secara efektif.

    Disadari bahwa masing-masing desa mempunyai karakteristik dan potensi yang berbeda,

    maka diperlukan suatu pola atau model yang dianggap sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan

    potensi desa tersebut agar program-program pembangunan yang dilakukan dapat memberikan

    dampak positif dalam meningkatkan kualitas hidup mereka sehingga mereka bisa keluar dari

    ketertinggalan dan kemiskinan. oleh karena itu dalam bagian ini akan disajikan beberapa model

    pembangunan desa, yakni :

  • 154

    a) Model Intervensi Model ini dikembangkan oleh Inanyatullah (1977) dalam Winarno (2008:19) menyatakan

    bahwa ada tiga model dalam pembangunan desa, yakni model intervensi rendah (model

    produktivitas), model intervensi menengah (model solidaritas) dan model intevensi tinggi (model

    pemerataan atau equality).

    Pertama Model Intervensi Rendah (Model Produktivitas). Model ini mendiaknosa bahwa

    yang menyebabkan ketertinggalan desa (rural underdevelopment) adalah langkanya teknologi yang

    digunakan untuk meningkatkan produktivitas, ketidaktahuan, kebodohan, ketakhayulan, buta aksara

    dan angka . Oleh karena itu upaya pembangunan ditujukan untuk meningkatkan produktivitas

    (pertanian) tanpa melakukan perubahan-perubahan penting dan substansial terhadap struktur sosial

    yang sudah ada.

    Model ini diarahkan untuk membantu penduduk lokal yang mempunyai modal, sumber-

    sumber daya, ketrampilan dan motivasi yang tinggi untuk meningkatkan produktivitas mereka.

    Oleh karena itu pemerintah harus memberikan perhatian kepada penduduk desa yang masuk

    kategori ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan untuk memperoleh input bagi

    produktivitas yang tinggi dan pembaharuan-pembaharuan teknis. Pemerintah juga perlu

    memberikan insentif yang lebih besar kepada penduduk desa yang mengorganisir bagi pertukaran

    dan keuntungan dan bukan untuk konsumsi sendiri.

    Kedua adalah Model Intervensi Menengah (model solidaritas). Menurut Inanyatullah bahwa

    yang menyebabkan ketertinggalan desa (rural underdevelopment) adalah kemerosotan dan

    degradasi masyarakat desa serta langkanya lembaga-lembaga desa yang dapat meningkatkan peran

    aktif penduduk desa tersebut. Untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan membentuk

    lembaga-lembaga baru, memodernisasi elit desa dan mendifusikan ketrampilan-ketrampilan

    berorganisasi dan menjalin hubungan menjalin hubungan antara anggota masyarakat untuk lebih

    harmonsi dalam organisasi yang mereka bentuk.

    Intervensi yang dilakukan hanya terbatas pada lembaga-lembaga desa dengan perubahan

    yang bersifat moderat dalam sistem kepemilikan tanah dan dalam struktur kekuasaan desa. Dengan

    demikan dapat dikatakan bahwa model ini bersifat toleran terhadap tingkat ketidakmerataan

    (inequality) yang moderat dan bersifat ambivalen dalam hal seberapa jauh sistem sosial pedesaan

    tradisional perlu dimodernisir, dan seberapa jauh struktur tradisional perlu diperlemah guna

    melambangkan struktur kelembagaan baru yang mampu meningkatkan peran serta aktif penduduk

    desa.

    Negara (Pemerintah) hanya melakukan pengembangan kerajinan dan ketrampilan

    masyarakat di pedesaan, mendorong kegiatan kegiatan kelembagaan seperti koperasi melalui

    pembentukan dan penyediaan kredit yang berasal dari masyarakat desa, yang ditujukan untuk

    mengurangi kegiatan ekonomi yang bersifat eksploitatif di daerah pedesaan untuk memperkuat

    produsen dan konsumen di desa.

    Walaupun ada kekhawatiran karena lembaga tersebut baru dan dibentuk bukan inisiatif dari

    masyarakat desa, bahkan kurang dipahami oleh masyarakat atau bernuansa proyek pemerintah,

    maka modal-modal stimulan yang diberikan pemerintah melalui lembaga (koperasi) bisa macet atau

    gagal. Oleh karena itu harus adanya sosialisasi dan melakukan pelatihan-pelatihan kepada

    masyarakat desa mengenai tujuan dan kegiatan yang dilakukan oleh koperasi agar masyarakar desa

    dapat memahami tujuan dan manfaat dari koperasi tersebut. Sehingga dengan terbentuknya

    lembaga baru tersebut perekonomian dan pendapatan masyarakat setempat bisa meningkat.

    Ketiga Model Intevensi Tinggi (model pemerataan atau equality). Model ini

    mengasumsikan bahwa yang menyebabkan desa itu tertinggal adalah karena tidak meratanya

    pendapatan, kekayaan dan kekuasaan di kalangangan penduduk desa. Oleh karena itu menurut

    Inanyatullah untuk meningkatkan pembangunan di desa yang tertinggal karena kondisi di atas

    adalah melakukan nasionalisasi, yakni melalui 1) penguasaan oleh aparat pemerintah pada tingkat

    nasional melalui organisasi politik yang relevan dengan masyarakat bawah guna memudahkan

  • 155

    dalam melakukan transformasi masyarakat, dan 2) perjuangan yang terorganisir untuk menentang

    kelompok petani-petani kaya di tingkat lokal dengan cara mengambil alih sebagian struktur

    kekuasaan lokal dan mendistribusikan sebagian tanah dan sasaran produksi lainnya kepada petani

    yang berpenghasilan rendah atau yang tidak mempunyai lahan pertanian.

    Adapun tujuan dari model ini adalah mempersempit, atau jika memungkinkan menghapus

    ketidakmerataan sosial, ekonomi serta kegiatan-kegiatan ekonomi dari penduduk desa yang kaya

    yang dapat merugikan lapisan penduduk berpenghasilan rendah. Dengan perubahan kepemilikan

    melalui program pembagian lahan kepada kelompok tani yang tidak mempunyai lahan diharapkan

    akan mampu meningkatkan pendapatan dan pemerataan bagi semua petani di desa tersebut.

    Ketiga model intervensi di atas secara umum berawal dari asumsi bahwa yang menyebabkan

    desa itu tertinggal adalah karena produktivitas pertanian yang tidak maksimal, adanya

    ketidakmerataan terhadap kepemilikan dan pengasaan lahan pertanian dan tidak adanya dukungan

    kelembagaan desa yang mampu menjadi motor penggerak perekonomian warga desa tersebut.

    Untuk itu melalui intervensi ini, produktivitas hasil pertanian dan kerekonomian masyarakat dapat

    meningkat secara berkeninambungan dan berkeadilan. Dalam kaitan ini Barca, Fabrizio, et.al

    (2012) mengungkapkan bahwa intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan

    pembangunan di suatu daerah mutlak dilakukan agar pembangunan di daerah tersebut cepat

    berkembang. Mereka berasumsi tanpa ada intervensi dari pemerintah maka perkembangan daerah

    tersebut menjadi lambat. Dengan melakukan intervensi dengan melihat pada permasalahan yang

    dialami oleh desa tersebut maka permasalahan yang dialami oleh masyarakat dapat teratasi dengan

    baik. Intervensi yang dilakukan tentu dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

    dari masyarakat desa.

    Model pembambangunan ini menurut Arsyad, et.al (2011) lebih menekankan pada model

    dari atas top down karena walaupun program atau kegiatan yang diluncurkan itu berdasarkan

    kondisi masyarakan desa tetapi dalam penentuan program tidak melibatkan masyarakat dan

    ditentukan oleh pemerintah sendiri.

    b). Model Pembangunan Berbasis Lokal

    Konsep pembangunan yang bersifat bottom up yang telah diterapkan mulai dari

    Musrenbang tingkat desa hingga kini belum dilaksanakan dengan optimal, seperti adanya usulan

    dari desa yang dirumuskan oleh masyarakat desa seringkali diintervensi oleh pemerintah (Winarno,

    2006) bahkan dalam pelaksanaan dan pengawasan program-program pembangunan, masyarakat

    desa tidak dilibatkan secara maksimal (Arsyad, et.al, 2011) sehingga banyak program-program

    pembangunan pedesaan tidak berhasil karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak.

    Untuk itu melalui model pembangunan berbasis lokal, masyarakat desa bisa terlibat dalam setiap

    proses pembangunan, mulai dari pengambilan keputusan, implementasi keputusan, pemanfaatan

    (Benefits) hasil program pembangunan hingga pada evaluasi program pembangunan (Cohen dan

    Uphoff, 1977, Adisasmita, 2006 dan Arsyad, et.al 2011).

    Model pembangunan berbasis lokal menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi dan

    perubahan struktural yang dimotori oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan potensi-potensi

    yang ada dalam upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Manurut Corten, yang

    dikutip oleh Suryono (2010:12) pembangunan yang berorientasi pada masyarakat (people centered

    development) menginginkan alternatif paradigma pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada

    produksi dan kebutuhan semata, akan tetapi juga berorientasi pada manusia.

    Pembangunan yang berdimensi kerakyatan memberi peran kepada individu bukan sebagai

    subyek, tetapi sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan

    mengarahkan proses yang mempengaruhi kebutuhannya (Suryono, 2010:12). Di sini pemerintah

    hanya bertindak sebagai fasilitator dan koordinator (Chittoo dan Suntoo, 2012). Pemerintah

    memberikan fasilitas dan melakukan koordinasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat

    yang kemudian dituangkan dalam suatu kebijakan pembangunan di desa tersebut. Strategi yang

  • 156

    digunanakan adalah dengan pendekatan yang mengandalkan pada kebutuhan, seluruh potensi dan

    perilaku lokal dari suatu daerah tertentu (locality). Oleh karena itu karakteristik utama dari model

    ini adalah

    1) Kerangka pembangunan di dalam kerangka kewilayahan bukan sektoral. Wilayah tidak hanya diangkap sebagai wilayah dimana sumberdaya dan kegiatan ekonomi dan terjadi tetapi juga

    sebagai agen perubahan karena perusahaan dan pelaku-pelaku lainnya di dalam wilayah

    tersebut berinteraksi satu sama lainnya bersama-sama membangun perekonomian dan

    masyarakat;

    2) Kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya diarahkan untuk dimaksimalkan manfaat bagi masyarakat lokal melalui pemanfaat sumberdaya lokal, fisikal maupun budayanya

    3) Pembangunan dikontekstualkan melalui pemusatan perhatian pada kebutuhan, kapasitas dan perspektif masyarakat lokal, yang berarti bahwa suatu wilayah mengembangkan kapasitasnya

    untuk membangun sosial ekonomi yang khas wilayah tersebut;

    4) Pembangunan tidak terbatas hanya pada pembangunan ekonomi saja, tetapi juga untuk memperlakukan masalah-masalah ekonomi, ekologis dan sosial secara setara sehingga dapat

    diharapkan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustanaible development);

    5) Partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan politik sangat penting karena strategi ini terutama sekali ditentukan sendiri oleh masyarakat lokal dengan mengacu pada

    kebutuhan lokal.

    Menurut Amadi (2012) bahwa strategi pembangunan pedesaan seperti ini dapat

    mewujudkan melalui motivasi, keterlibatan aktif dan organisasi di tingkat akar rumput masyarakat

    pedesaan dalam konseptualisasi dan merancang kebijakan dan program dimaksudkan untuk mereka.

    Strategi ini bukan hanya memperbaiki dari sisi produktif (pertanian, industri dan jasa) tetapi juga

    mendorong dan meningkatkan dimensi sosial dan budaya yang mempengaruhi kebihupan

    masyarakat.

    Dalam model pembangunan berbasis lokal, terdapat 3 (tiga) dimensi yang menjadi sasaran,

    yakni 1) dimensi ekonomi yang ditandai oleh sistem produksi khusus yang memungkinkan para

    entrepreneur menggunakan secara efisian faktor-faktor produksi dan mencapai produktivitas yang

    memungkinkan mereka bisa kompetitif di pasar; 2) dimensi kelembagaan, dimana para pelaku

    ekonomi dan sosial terintegrasi di dalam institusi lokal untuk membentuk sistem hubungan yang

    kompleks yang memadukan nilai-nilai sosial dan budaya dalam pembangunan; dan 3) dimensi

    politik, yang tercermin pada inisiatif lokal yang menekankan pada penciptaan lingkungan lokal

    yang menstimulus produksi dan membuat pembangunan yang berkelanjutan (Arsyad, et.al, 2011).

    Melalui model pembangunan ini maka perumusan dan pelaksanaan program-program

    pembangunan untuk meningkatkan pembangunan pedesaan dapat terlaksana secara reliable,

    acceptable, implementable dan Workable (Adisasmita, 2006:132). Reliable maksudnya bahwa

    program pembangunan yang dirumuskan itu menyakinkan dan dipercaya karena dilakukan oleh

    seluruh atau kelompok yang mewakili anggota masyarakat yang merupakan stakeholder atau

    kelompok yang berkepentingan. Acceptable artinya pembangunan tersebut dapat diterima oleh

    masyarakat luas, karena program yang akan diimplementasikan tersebut disusun dan dirumuskan

    bersama oleh masyarakat. Implementable yakni program tersebut dapat dilaksanakan karena

    disusun berdasarkan potensi, kondisi dan kemampuan yang dimiliki serta kebutuhan masyarakat

    desa setempat. Workable artinya program yang telah dirumuskan dapat dilaksanakan oleh

    pemerintah dan terutama masyarakat setempat, dan apabila ada hambatan atau kekurangan dalam

    implementasinya maka akan bisa diatasi oleh oleh masyarakat setempat, baik dalam hal dana,

    material, tenaga maupun pemikiran sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

    Dalam model ini, komunikasi mempunyai peran yang sangat penting, karena kegagalan dari

    program ataupun proyek pembangunan pedesaan antara lain disebabkan karena program maupun

    proyek tersebut tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat (Acharya, 2010). Karena

    melalui komunikasi dapat menciptakan partisipasi dan rasa memiliki di kalangan masyarakat

  • 157

    pedesaan (Hagul, 1992) dan keberhasilan pembangunan tergantung dari tingkat partisipasi

    masyarakat dalam kehidupan sosial-ekonomi (Chmielinski, 2011).

    Melalui model pembangunan berbasis lokal yang partisipatif, masyarakat desa dapat terlibat

    dalam semua proses dan tahap dari pelaksanaan program pembangunan yang dilakukan.

    Pembangunan dilakukan secara terus-menerus dengan menempatkan manusia sebagai posisi yang

    wajar yakni sebagai obyek dan subyek pembangunan unutuk mampu mengembangkan dan

    memberdayakan diri sendiri (Suryono, 2011:38).

    Apabila dicermati bahwa model pembangunan perdesaan yang berbasis lokal ini lebih

    bersifat dari bawah bottom up karena masyarakat dilibatkan dalam setiap proses pembangunan dan

    konsepnya adalah bahwa masyarakat adalah sebagai pelaku utama dalam program tersebut,

    sedangkan pemerintah adalah memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat

    yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.

    c). Model Pembangunan Desa Terpadu

    Model ini merupakan model penggabungan antara model pembangunan yang bersifat top

    down seperti dalam model intervensi dan model pembangunan desa yang bersifat bottom up dalam

    model pembangunan desa berbasis lokal. Menurut Parsons (2008) bahwa model pembangunan

    bawah ke atas (bottom-up) menyempingkan pertimbangan seberapa riilkah orang berperilaku secara

    kontekstual dan lebih memahami hubungan logis antara input, proses dan uotput dan menjadikan

    orang melakukan apa yang diperintahkan serta mengontrol setiap tahapan dalam sebuah sistem,

    sehingga apabila implementasi itu gagal yakni tujuan kebijakan tidak tercapai, disebabkan karena

    pemilihan strategi dan instrumen yang digunakan keliru. Sedangkan pendekatan bottom-up adalah

    kebalikan dari pendekatan top-down, yakni lebih menyoroti pelaksanaan kebijakan yang

    terformulasi berdasarkan inisiatif dari masyarakat setempat. Asumsi ini dapat dimengerti melalui

    argumentasi bahwa masalah dan persoalan yang terjadi dilevel daerah/desa hanya dapat dimengerti

    oleh masyarakat setempat. Menurut Parson (2008) bahwa pendekatan bottom-up lebih memberikan

    keleluasaan kepada pelaksana di lapangan dalam penerapan kebijakan.

    Pendekatan bottom-up mulai dikembangkan setelah melihat kekurang-berhasilan dari

    pendekatan top-down. Namun demikian bukan berarti pendekatan top-down ditinggalkan. Tanpa

    ada arahan dari atas (pemerintah) barangkali pembangunan yang akan dilakukan menjadi bias,

    karena pada umumnya pendekatan pembangunan dari bawah saja kurang bisa menjamin

    perwujudan peningkatan produktivitas masyarakat (Sitompul, 2009:23). Oleh karena itu

    pendekatan gabungan yang memadukan antara pendekatan bottom-up dan pendekatan top-down

    merupakan suatu pendekatan yang anggap sangat realistis dan produktif (Parsons, 2008).

    Sejalan dengan pandangan Parson dan Sitompul di atas, Waterson dalam Fakih (2006)

    mengungkapkan bahwa pendekatan top-down terhadap pembangunan tidak berhasil dalam

    memenuhi kebutuhan sosial masyarakat miskin diperdesaan dan strategi yang hanya memfokuskan

    pada pada pertanian akan membuat jurang semakin lebar antara yang kaya dan miskin. Untuk itu ia

    mengungkapkan bahwa dengan memadukan pendekatan top-down dan bottom-up akan

    terakomodasi semua. Pemerintah mempunyai kebijakan terhadap pembangunan akan disinergikan

    dengan apa yang menjadi kabutuhan masyarakat di perdesaan.

    VI. Indikator Keberhasilan Pembangunan Desa

    Tingkat keberhasilan pembangunan perdesaan dapat dikur dengan menggunakan beberapa

    indikator baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Meskipun indikator-indokator tersebut

    tidak dapat mencerminkan kondisi yang sebenarnya, namun indikator-indikator tersebut dapat

    digunakan sebagai proxies dari kemajuan pembangunan desa (Arsyad et.al, 2011:87). lebih lanjut

    dikatakan bahwa ada delapan indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan

    pembangunan perdesaan.

  • 158

    1) Infrastruktur; terdiri dari infrastruktur fisik (transportasi, komunikasi, irigasi dan listrik), infrastruktur ekonomi (pasar, pertokoan koperasi, dan lain-lain), infrastruktur kesehatan

    (jumlah paramedis, fasilitas kesehatan, jarak ke hasilitas kesehatan, sanitasi), dan infrastruktur

    pendidikan (ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru dan murid jarak menuju gedung

    sekolah lain-lain).

    2) Pembangunan pertanian; dilihat dari porsi