Upload
jispar-fisip-upr
View
108
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
135
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DAN PENGINAPAN DI
KABUPATEN SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT
THE POLICY IMPLEMENTATIONS HOTEL AND LODGING TAXES REVENUE IN
SINTANG REGION IN WEST KALIMANTAN PROVINCE
Oleh :
TRESIA KRISTIANA
ABSTRAK
Penelitian ini tentang Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan,
terdapat berbagai model yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan guna meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah dari sektor pajak daearah, terindikasi hasil pemungutan yang dilakukan
mengalami fluktuasi sehingga hasil pungutan pajak belum optimal, serta belum dapat dijadikan
sebagai sumber keuangan daerah, untuk membiayai kegiatan pemerintahan daerah dan
pembangunan yang seharusnya digali dari potensi sumber daya daerah yang dimiliki.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder melalui wawancara dan observasi,
untuk data sekunder didapatkan dari dokumen resmi, berupa laporan kegiatan dan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hasil penelitian menunjukan bahwa beban kerja staf pelaksana dalam mengimplementasikan
kebijakan melebihi kemampuannya, insentif masih minim namun telah diatur dalam Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2009, disisi lain standar tujuan kebijakan telah ada dan diatur dalam
Peraturan Daerah tentang Satuan Organisasi Perangkat Daerah. Komunikasi internal dan eksternal
cukup efektif, lingkungan sosial, ekonomi, politik cukup mendukung, sehingga hasil dari
pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan mengalami peningkatan dilihat dari pencapaian target dan
realisasi meskipun belum signifikan peningkatannya jika dibandingkan dengan potensinya.
Temuan dari penelitian ini adalah adanya faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan yaitu sistem kerja merupakan pengembangan dari teori implementasi
kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yaitu dimensi standar.
Kata Kunci : Implementasi kebijakan, Pajak Hotel dan Penginapan.
ABSTRACT This research examinies on the policy Implementation Hotel and Lodging Taxes. There are various
models that can support the implementation of policies to improve local revenue from affluent
sectors tax. Poll results indicated to be fluctuate so that tax money is not optimal, and can not be
used as an areas finance resources, to fund local government activities and development which should be extracted from the areas potentialresouces.
This study used a qualitative descriptive method. data collection technicque conducted by
collectingprimary and secondary data through interviews and observation. Secondary data
obtained from official documents, activities and report and applicable regulations.
136
The results showed that the operating staff workload exceeds the ability to implement policies,
incentives are still low but has been regulated in Local Regulation No. 5 of 2009, on the other hand
there are standards and policy objectives have been set in the Regulation on Organization of the
regional units. Internal and external communication is effective, the social environment, economy,
politics quite supportive, so that the results of the poll tax Hotel and Lodging seen increased
realization of the achievement of targets and although not significant increase when compared to
its potential. The findings of this study is the presence of other factors that influence the successful
implementation of policies that work is the development of systems theory of policy implementation
by Van Meter and Van Horn is a standard dimension.
Keywords: Implementation of policies, Hotel and Lodging Tax.
PENDAHULUAN
Keleluasaan daerah dalam memungut pajak dan retribusi daerah diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, dengan ditunjang oleh
kesadaran masyarakat yang tinggi dalam membayar pajak. Pendapatan Daerah dari pajak daerah
dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi pemungutan dan efisiensi administrasi pajak
serta perbaikan kontrol terhadap petugas pemungutan dalam rangka mengurangi kebocoran.
Pemungutan pajak daerah, di Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Penginapan
yang ditetapkan pada tanggal 29 Desember 2003, Peraturan Daerah ini masih berlaku hingga saat
ini.
Dari berbagai jenis pajak yang ada dalam penelitian ini peneliti akan fokus pada Pajak Hotel
dan Penginapan. Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang Provinsi
Kalimantan Barat dilakukan dengan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Sintang Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pajak Hotel dan Penginapan.
Berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah terutama untuk membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah (desentralisasi fiscal) pemerintah daerah dapat menggali sumber-
sumber penerimaan bagi daerah dengan potensi masing-masing daerah. Salah satu Pajak daerah
yang dapat digali menjadi sumber Pendapatan asli daerah adalah pajak hotel dan penginapan. Di
Kabupaten Sintang Pajak Hotel dan Penginapan setiap tahun mengalami fluktuatif dalam
pencapaian target, dikarenakan penetapan target belum dilakukan dengan perhitungan yang akurat,
dengan memperhitungkan potensi pajak yang sebenarnya, perhitungan yang dilakukan hanya
didasarkan pada pendapatan tahun sebelumnya dengan tambahan kenaikan sebesar 10 % setiap
tahun.
Pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah di Kabupaten Sintang, khususnya Pajak Hotel dan
Penginapan di tetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003, standar dan sasaran
kebijakan yang dibuat oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Aset dan Keuangan Daerah diatur dalam
Rencana Kerja Dinas ini, dalam bentuk rencana strategi yang memuat rencana kinerja, capaian
kinerja dan analisis capaian kinerja. Rencana Strategis menjadi acuan dan pedoman dalam
melaksanakan tugas dan fungsi dinas, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bupati sebagai
Kepala Daerah, dalam Susunan Organisasi Tata Kerja Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah, dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi terutama dalam
melaksanakan tugas dan fungsi salah satunya dalam mengimplementasikan kebijakan tentang Pajak
Hotel dan Penginapan.
137
Dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang, dengan menggunakan model implementasi
kebijakan menurut Donald Van Meter dan Carl E.Van Horn, dimana terdapat enam variabel yang
membentuk hubungan antara kebijakan dengan pelaksana. Keenam variabel terdiri dari : 1)standar
dan tujuan (standard and objectivitas), 2) sumber daya (resources), 3)komunikasi antar organisasi
(comunications and enforcement activities), 4)karakteristik agen pelaksana (the characteristic of the
implementing agencies), 5)kondisi sosial ekonomi dan politik (economic, social and political
conditions) 6)disposisi pelaksana (the disposition of implementory).
Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan
Penginapan, merupakan salah satu kebijakan publik, sebagaimana pendapat Santoso (1993:4)
pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah katagori salah satunya,
pendapat para ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah.
Dalam penelitian ini tidakan pemerintah Kabupaten Sintang dengan menerbitkan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan adalah merupakan
implementasi kebijakan.
Sebagaimana menurut pendapat Anderson yang dikutif oleh Tachjan (2008:16) Public polices are those policies developed by governmental bodies and official. Maksudnya kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah. Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang yang diatur
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 adalah kebijakan yang
dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dalam hal ini Bupati Sintang.
Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan
Penginapan dikatakan sebagai suatu kebijakan sebagaimana pendapat Edward dan Sharkansky yang
dikutip oleh Islamy (1992:18-19) kebijakan dapat ditetapkan secara jelas dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun dalam bentuk program-
program, proyek-proyek dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Mengacu pada
pendapat tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang tersebut merupakan sebuah kebijakan.
Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Sintang, yang telah ditetapkan dan di Undangkan dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Sintang Tahun 2003 Nomor 26 Seri B Nomor 2,oleh Sekretaris Daerah Kabupaten
Sintang, Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu kebijakan
publik, sebagaimana menurut Tachjan (2008:16) dalam suatu negara kebijakan publik tersusun
dalam suatu strata yang menunjukan tingkatan-tingkatan dari kebijakan paling tinggi yang sifatnya
paling strategis sampai pada kebijakan yang paling rendah yang sifatnya teknis operaional.
Kebijakan yang lebih rendah merupakan penjabaran dari kebijakan yang paling tinggi dan
materinya tidak boleh bertentangan. Demikian juga halnya kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten
Sintang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Penginapan ini tidak bertentangan dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang diatasnya yakni Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah. Peraturan ini tentu tidak bertentangan karena dilakukan penyempurnaan dan
penyesuaian, dimana dalam peraturan tersebut ada pemisahan obyek pajak antara hotel dan
penginapan.
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang penting dalam proses kebijakan,
implementasi kebijakan juga merupakan alat administrasi hukum karena sebagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik untuk menjalankan kebijakan guna mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003 merupakan payung hukum untuk
138
pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan, dimana Pajak tersebut merupakan salah satu
Sumber Pendapatan Asli Daerah yang akan memberikan kontribusi dalam kegiatan pembangunan.
Sebagaimana pendapat Syamsi (1988:228) sumber pendapatan asli daerah tersebut adalah pajak
daerah dan retribusi daerah sangat penting, karena merupakan sumber pendapatan asli daerah yang
paling besar. Hasil dari pungutan pajak daerah dapat dijadikan sebagai sumber untuk membiayai
pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan dari pemungutan pajak adalah sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan guna
membiayai operasional pemerintah, untuk mengatur perekonomian dan pencapaian tujuan sosial
lainnya dalam mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk dapat mencapai kesejahteraan bagi
masyarakat, pemerintah harus dapat menjalankan roda pemerintahan, terutama pelaksanaan
pembangunan. Pembangunan yang dilakukan membutuhkan biaya yang cukup besar, salah satu
sektor yang dapat diandalkan untuk membiayai kegiatan pembangunan tersebut adalah pajak
daerah. Pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan yang
diinginkan maka harus didukung oleh pengelolaan di sektor pajak. Masyarakat harus mendukung
dengan kesadaran yang tinggi untuk membayar pajak, karena hasil pungutan pajak tersebut
diperuntukan untuk kepentingan masyarakat.
Kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, termasuk pajak daerah ditentukan dari
ketegasan pemerintah dengan membuat peraturan-peraturan, yang mengacu pada Undang-Undang
yang berlaku. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pajak
Daerah adalah iuran wajib yang dilaksanakan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
pembangunan daerah. Sejak bergulirnya Otonomi Daerah maka tanggungjawab pemerintah daerah
semakin berat karena dituntut kemandirian untuk mampu mencari dan menggali potensi yang
dimiliki dalam hal pendanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sebagaiman pendapat
Norton 1994 dan Smith,1985 (dalam Nugroho,2007:153) kemandirian daerah memutuskan
pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan, dan kemandirian daerah
memperoleh pendanaan guna pembiayaan pembangunan.
Ada beberapa variabel Menurut Van Meter dan Van Horn yang menjadi faktor yang
mempengaruhi atau dimensi yang terdapat dalam implementasi yang diarahkan pada pencapaian
tujuan. Adapun variabel tersebut:
Standar dan Tujuan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Penginapan diundangkan di
Sintang pada tanggal 30 Desember Tahun 2003, oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Sintang
tertanda Drs. Wasbir Martha,MM dalam lembaran Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2003
Nomor 26 Seri B. Nomor 2.
Tahapan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan pemungutan Pajak Hotel dan
Penginapan yang dilakukan setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang menetapkan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003, tentang Pajak Hotel dan Penginapan. Peraturan Daerah
ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah berikut tentang peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun
2001 tentang Pajak Daerah dimana esensi peraturan tersebut mengamanatkan obyek pajak
berupa Hotel dapat dikenakan dengan Pajak Daerah yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Meskipun saat ini Undang-Undang tersebut telah mengalami perubahan dengan diterbitnya
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, namun di Kabupaten
139
Sintang tetap menggunakan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003, dalam pelaksanaan
pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan.
Pelaksanaan Pemungutan Pajak yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Sintang adalah Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKA), hal ini
mengacu pada Keputusan Bupati Sintang Nomor: 02 Tahun 2008 Lembaran Daerah Tahun 2008
Nomor 02 Tambahan Lembaran Daerah Nomor 02 tentang Susunan Organisasi Pemerintah
Daerah. DPKKA merupakan unsur pelaksana teknis di bidang pendapatan, pengelolaan
keuangan dan Aset. Sebagai unsur teknis DPPKA Kabupaten Sintang mempunyai tugas dan
fungsi sebagi berikut:
a. Tugas Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset Kabupaten Sintang sebagai unsur
penunjang mempunyai tugas melaksanakan sebagian kewenangan Pemerintah Kabupaten
di bidang Pendapatan, pengelolaan keuangan dan Aset serta tugas kedinasan lainnya yang
dilimpahkan oleh Bupati.
b. Fungsi Untuk menyelenggarakan tugas tersebut di atas, Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan
dan Aset mempunyai beberapa fungsi, untuk fungsi yang berhubungan dengan penelitian
ini yaitu implementasi kebijakan pemungutan pajak hotel dan penginapan adalah:
1. Perumusan kebijakan teknis dibidang pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset; 2. Penyusunan dan pelaksanaan rencana strategis dan rencana kerja tahunan dibidang
pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset;
3. Penyusunan Penetapan Kinerja dibidang Pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset; 4. Pembinaan Unit Pelayanan Terpadu Daerah dibidang Pendapatan; 5. Evaluasi dan laporan pelaksanaan tugas dan fungsi; 6. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dibidang Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan Dan Aset;
7. Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dibidang Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Aset;
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan Dan Aset
Daerah Kabupaten Sintang setiap tahun akan menetapkan Rencana Kerja untuk satu tahun kedepan
yang akan dijadikan pedoman dan dasar pelaksanaan kegiatan pokok maupun penunjang di bidang
Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Pedoman dan dasar pelaksanaan tersebut
merupakan standar dan sasaran dari kebijakan pemungutan pajak daerah yang dilakukan di
Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang.Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kepala
Bidang Pendapatan dibantu oleh : (1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan (2) Seksi Penetapan (3)
Seksi penagihan
Standar dalam memberikan pelayanan Pajak Daerah khususnya Pajak Hotel dan Penginapan
di Kabupaten Sintang menurut Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPPKA) Kabupaten Sintang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, yang dikeluarkan oleh
Kementrian Keuangan Republik Indonesia yakni berupa standar prosedur operasi (Standard
Operating Procedure) layanan unggul bidang perpajakan meliputi : 1) Pelayanan penyelesaian
permohonan pendaftaran nomor pokok wajib pajak, sebagai identitas untuk melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakan, 2) pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan wajib pajak, 3)
pelayanan penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, 4) pelayanan
penerbitan surat perintah membayar kelebihan pajak, 5) pelayanan penyelesaian permohonan
keberatan penetapan pajak, 6) pelayanan penyelesaian surat keterangan bebas pemungutan, 7)
140
pelayanan penyelesaian permohonan pengurangan, 8) pelayanan pendaftaran objek pajak baru
dengan penelitian kantor, 9) pelayanan penyelesaian mutasiseluruh objek dan subjek pajak, 10)
pelayanan penyelesaian permohonan keberatan pajak, 11) pelayanan penyelesaian permohonan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, 12) pelayanan penyelesaian permohonan
pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.
Dari data yang penulis dapatkan baik hasil wawancara maupun dokumentasi yang ada
menunjukan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan pemungutan Pajak Hotel dan
Penginapan yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
Kabupaten Sintang telah dilakukan sesuai dengan pendapat dari Donald.S Van Meter dan Carl.E
Van Horn (1975:462) yang mengutif pendapat dari Pressman and Wildavsky(1973:xiv) In
determining standard and objectives one could use the statement of policy maker, as reflected in
numerous documents such as program regulations and guidelines which spell out the criteria for an
evaluation on policy performance.
Standar dan tujuan kebijakan Van Meter dan Van Horn sebagaimana dikutip oleh Widodo
(2001:197-198) harus senantiasa dicantumkan dengan jelas ditiap-tiap program, jika standar dan
tujuan kebijakan itu jelas maka akan dengan mudah untuk dilaksanakan, sebaliknya akan sering
terjadi kegagalan bila standar dan tujuan tidak jelas.
Pelaksananya kebijakan tentang pemungutan pajak daerah tersebut sebagaimana ditetapkan
oleh Keputusan Bupati Sintang adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPPKA) Kabupaten Sintang, hal ini termuat dalam Pasal 5 Peraturan Bupati Sintang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) pada Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sintang. Tugas pokok DPPKA adalah melaksanakan
sebagian kewenangan otonomi daerah dibidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.
Adapun pernyataan misi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten
Sintang adalah: a) Meningkatkan penerimaan daerah. b) Memantapkan Sistem Pengelolaan
Pendapatan, Keuangan dan Aset /Kekayaan/ Barang Daerah. c) Meningkatkan kualitas pelayanan.
Dalam mengimplementasikan kebijakan Pemerintah Daerah, khususnya Pajak Hotel dan
Penginapan sesuai dengan kewenangan dalam tugas pokok dan fungsinya Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sintang, telah melakukan prosedur pelayanan
pemungutan pajak, namun hasil yang didapat belumlah maksimal menujukan dukungan terhadap
peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan
pembangunan.
Menurut Brotodihardjo (2006:113) tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga
stelsel yakni (1) Stelsel nyata, (2) Stelsel anggapan, (3) stelsel campuran.
Sumber Daya (resources)
Sumber daya sebagaimana yang dimaksud Van Meter dan Van horn mencakup dana atau
perangsang (incentive) yang dapat mendorong dan memperlancar proses implementasi kebijakan
secara efektik. Sumber daya dapat juga berupa aparat pelaksana (staff), informasi, kewenangan dan
fasilitas sebagaimana yang dikutif dari pendapat Edwards III.
Uang perangsang (insentif) sebgai bagian dari sumber daya, telah diatur oleh Pemerintah
Daerah dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pemberian Uang Perangsang Kepada Unit Kerja Yang Melaksanakan Pemungutan Pajak Daerah.
Untuk Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan karena pelaksananya adalah Dinas Pendapatan
141
Pengelolaan dan Keuangan Aset Daerah, maka uang perangsang diberikan kepada staf pelaksana
yang melakukan pemungutan Pajak Daerah Tersebut.
Pemberian uang perangsan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memotivasi
pegawai pada unit kerja yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dalam rangka menunjang
pendapatan daerah. Adapun bersarnya uang perangsang yang diterima selama kurun waktu tiga
tahun dari tahun 2006, tahun 2007, tahun 2008, tahun 2009 dan tahun 2010 adalah sebagai berikut :
Tabel.4.10
Hasil Perhitungan Uang Perangsang Yang Diterima DPPKA
dari Pajak Hotel dan Penginapan
No Tahun Realisasi Penerimaan Pajak
Hotel dan Penginapan
Jumlah Uang Perangsang
Peningkatan Uang
Perangsang
1. 2006 Rp. 140.589.175,00 Rp. 7.029.458,75 Rp. 702.945,75
2. 2007 Rp. 179.713.497,00 Rp. 8.985.674,85 Rp. 1.956.216,10
3. 2008 Rp. 236.626.920,00 Rp.11.831.346,00 Rp. 2.845.671,15
4. 2009 Rp. 282.602.520,00 Rp.14.130.126,00 Rp. 2.298.780,00
5. 2010 Rp. 287.924.760,00 Rp.14.396.238,00 Rp. 266.112
Sumber : DPKKA Kabupaten Sintang.
Pemberian uang perangsang atau yang lebih dikenal dengan remunerasi adalah semua
bentuk imbalan yang diterima pegawai atas kontribusi yang diberikan kepada organisasi bersifat
langsung atau tidak langsung, berbentuk cash ataupun in-kind diberikan secara reguler ataupun pada
waktu-waktu tertentu.
Sumber daya menurut Van Meter dan Van Horn sebagaimana dikutif Winarno (2002:112)
adalah sumber kebijakan yang mencakup dana atau perangsang (incentive) yang mendorong dan
memperlancar proses inmplenetasi secara efektif. Tipe dan tingkatan sumber-sumber akan
mempengaruhi komunikasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana, mempengaruhi kecenderungan
(disposisi) para pelaksana, serta mempengaruhi kondisi sosial ekonomi dan politik organisasi
pelaksana seperti motivasi, ekonomi, dan tuntutan peran serta. Van Meter dan Van Horn (1974:465)
mengemukakan sumber daya kebijakan (polyce resources)tidak kalah penting dengan standar dan
tujuan. Sebagaimana yang dikemukakan Derthick dalam Van Meter dan Van Horn (1974:465) new towns study suggest that the limited supply of federal incentives was a majorcontributor to the
failure of the program.
Karakteritik Organisasi Pelaksana.
Karakteristik agen pelaksana, untuk suatu kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah
selalu dikaitkan dengan struktur birokrasi. Beberapa unsur yang mempengaruhi dalam
mengimplementasikan kebijakan berupa: kompetensi dan ukuran staf, tingkat pengawasan hirarki
terhadap sub unit dan proses dalam badan pelaksana, sumber politik organisasi, vitalitas suatu
organisasi dan jaringan kerja secara horisontal dan vertikal, kaitan formal dan informal suatu badan
dengan pembuat keputusan. Keterkaitan antara Visi dan Misi tersebut dalam dokumen rencana kerja
142
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKA) tergambar dalam suatu bagan
sebagai berikut
KETERKAITAN VISI DAN MISI DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN
DAN ASET KABUPATEN SINTANG
Komunikasi antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksana
Kebijakan publik akan dapat di implementasikan dengan baik dan terlaksana dengan efektif
jika standar dan tujuan dikomunikasikan kepada pelaksana. Komunikasi yang dilakukan kepada
pelaksana (implementors) sesuai dengan sasaran akan memberikan informasi yang bermanfaat
terutama dalam menginterpretasikan kebijakan.
Bentuk dari informasi yang dilakukan adalah pembinaan yang dilakukan dalam bentuk
sosialisasi tentang Peraturan Daerah, terutama tentang kewajiban yang harus dipenuhi wajib pajak
seperti mengisi data dalam Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), yang digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak daerah. Komunikasi antar organisasi
dilakukan secara internal dalam hal pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan, Komunikasi yang
dilakukan oleh Kepala Bidang Pendapatan sesuai tugas pokok dan fungsi melakukan komunikasi
internal dengan Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan, dan Seksi penagihan.
Komunikasi eksternal dilakukan oleh masing-masing seksi dengan subyek Pajak Hotel dan
Penginapan.
Melakukan komunikasi dalam rangka koordinasi untuk pelaksanaan tugas dan fungsi dalam
suatu organisasi merupakan suatu tugas yang tidak mudah dilakukan. Hal ini dikarenakan
komunikasi tidak hanya menyangkut pada capaian penyampaian tujuan, tetapi yang terpenting
adalah efek dari komunikasi yang diberikan. Sebagaimana pendapat Forsyth (1998:7) untuk
mencapai tujuan komunikasi ada empat tujuan yang perlu dipahami yaitu: (1) mendengarkan apa
yang diutarakan (untuk melihat apa yang anda perhatikan). (2) memahami apa yang mereka dengar
atau lihat. (3) menyetujui apa yg mereka dengar (atau tidak menyetujui setelah memahami benar
apa yang anda katakan atau perhatikan. (4) mengambil tindakan yang sesuai dengan tujuan secara
keseluruhan dan yang dapat mereka terima.
Komunikasi internal yang dilakukan baik dengan atasan yakni Kepala Dinas DPKKA
Kabupaten Sintang maupun dengan bawahan yakni Kepala Seksi Pendaaftaran dan Pendataan,
Kepala Seksi Penetapan dan Kepala Seksi Penagihan serta staf pelaksana masing-masing seksi yang
ada dilakukan melalui komunikasi formal dengan mengadakan rapat bersama untuk membahas
pelaksanaan kegiatan pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan. Hasil rapat dijadikan program yang
akan dikembangkan dalam tahapan pelaksanaan pemungutan pajak. Setiap permasalahan dan
kendala yang dihadapi dalam melakukan kegiatan pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan, selalu
Pengelolaan Keuangan Daerah Yang
Optimal Didukung Pelayanan
Aparatur Yang Profesional
Meningkatkan penerimaan daerah.
Memantapkan Sistem Pengelolaan
Pendapatan, Keuangan dan
Aset/Kekayaan/Barang Daerah
Meningkatkan kualitas pelayanan.
143
diupayakan dengan memecahkan persoalan dengan melakukan sharing pendapat, yang dapat
dijadikan sebagai informasi untuk mengatasi masalah yang kemungkinan dihadapi pada masa yang
akan datang.
Komunikasi yang dilakukan mencakup transformasi informasi dan kejelasan serta
konsistensi. Transformasi informasi tidak hanya berlaku kepada pelaksana kebijakan akan tetapi
juga kelompok sasaran (target group). Target Group (kelompok sasaran) menurut Tachjan
(2008:35) yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang
dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Mereka diharapkan dapat
menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola interaksi yang ditentukan oleh kebijakan.
Sikap Pelaksana
Dalam hal pemungutan pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang pelaksananya
adalah seluruh staf birokrasi yang ada di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keangan dan Aset Daerah,
sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan dalam organisasi.
Pelaksana kebijkan pemngutan Pajak Hotel dan Penginapan adalah seluruh staf yang berada
dibawah Kepala Bagian Pendapatan DPKKA Kabupaten Sintang yang berjumlah 8 (delapan) orang.
Dalam menjalankan tugas masing-masing mendapat surat tugas sebagai pelaksana pemungutan
pajak. Secara operasional yang bertanggung jawab langsung dilapangan adalah Kepala Seksi
Penagihan.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik
Kondisi lingkungan ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi pelaksanaan
implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dapat berhasil sesuai yang diharapkan atau
sebaliknya menjadi penghambat dalam pelaksanaan implementasi kebijakan. Salah satu indikator
kemajuan daerah dapat dilihat dari perekonomian.
Berdasarkan data Sekunder yang penulis dapatkan dari Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daeah (DPPKA) Kabupaten Sintang diperoleh informasi, pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2011 sebesar 7,26%. Pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain disebabkan
mulai bangkitnya sektor rill seperti sektor industri pengolahan, sektor keuangan, pemerintahan dan
jasa perusahaan serta sektor jasa. Sektor pertanian tetap menjadi andalan perekonomian Kabupaten
Sintang dengan kontribusi 48,23%, sektor lainnya yang memberikan kontribusi cukup tinggi antara
lain sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 22,64%, sektor jasasebesar 7,11%, sektor
pertambangan dan penggalian sebesar 5,49%, sektor industri pengolahan sebesar 5,49%, sedangkan
sektor lainnya masih dibawah 5%.
Pertumbuhan sektor ekonomi yang baik dipengaruhi kebijakan-kebijakan sektoral yang
mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat yang pada gilirannya akan meningkatkan kegiatan
ekonomi masyarakat. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Sintang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan memperluas penciptaan
dan pemertaan lapangan kerja.
Peningkatan penciptaan kesempatan kerja terutama di sektor perkebunan dan pertanian
diharapkan mampu mengatasi permasalahan sosial ekonomi masyarakat, yang diharapkan akan
dapat terus mendukung laju peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian dan perkebunan. Hal
ini diperkiraan akan tetap meningkat sejalan dengan pertumbuhan sektor pertanian yang diupayakan
adanya perluasan lahan pertanian dan perkebunan, baik milik masyarakat maupun perusahan-
perusahaan swasta di bidang perkebunan Kelapa Sawit dan tanaman Karet. Peningkatan tersebut
diharapkan mampu menekan angka pengangguran di Kabupaten Sintang.
144
Kondisi sosial budaya di Kabupaten Sintang dapat diamati pada berbagai bidang kehidupan
diantaranya adalah kesehatan, pendidikan dan pariwisata. Dalam bidang kesehatan umur harapan
hidup masyarakat Kabupaten Sintang yaitu 66,6 tahun. Dalam bidang pendidikan angka melek
huruf yaitu 83,60%. Di bidang pariwisata dilihat dari potensinya Kabupaten Sintang merupakan
daerah yang memiliki keberagaman potensi pariwisata karena terdapat beberapa objek wisata yang
sangat prospektif untuk dikembangkan. Beberapa potensi pariwisata tersebut di antaranya adalah :
Hutan Wisata Alam Baning, Hutan Wisata Bukit Kelam, Air Terjun Nokan Nayan, Museum Dara
Juanti, Rumah Betang dan Upacara Adat.
Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah, hipotesis dan hasil penelitian serta pembahasan mengenai
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel dan Penginapan di Kabupaten Sintang Provinsi
Kalimantan Barat, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Implementasi kebijakan pemungutan pajak hotel dan penginapan yang di atur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sintang Nomor 5 Tahun 2003, memiliki standar dan sasaran
yang jelas, akan tetapi tidak semua ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut dapat
dilaksanakan sepenuhnya sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini disebabkan kondisi objek
pajak hotel dan penginapan yang ada, mengakibatkan Kepala Daerah harus membuat
kebijakan lain untuk pelaksanaan pemugutan pajak hotel dan penginapan. Sumber daya
(resourcers) yang terbatas terutama petugas pemungut pajak, serta sarana dan prasarana yang
masih kurang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat dilaksanakan sesuai
ketentuan. Organisasi pelaksana dalam pemungutan pajak hotel dan penginapan ditunjuk
dengan SK Bupati dalam SOTK, organisasi pelaksana tersebut adalah DPKKA Kabupaten
Sintang. Secara operasional yang melaksanakan kebijakan tersebut adalah Kepala Dinas,
Kepala Bagian Pendapatan, Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan, dan Seksi
Penagihan serta seluruh staf yang berada pada Bagiaan Pendapatan. Komunikasi antar
organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksana, dilakukan secara internal dan eksternal
belum terlaksana secara maksimal. Sikap Para Pelaksana dalam menjalankan tugas
sebagaimana yang telah digariskan dalam tugas dan fungsi untuk Bagian Pendapatan dan
Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan, Seksi Penagihan serta seluruh staf yang
ada pada Bagian Pendapatan DPPKA Kabupaten Sintang dalam menjalankan tugas sudah
cukup baik, meskipun demikian hasil yang diperoleh dari pemungutan pajak belum optimal.
Lingkungan Sosial Ekonomi dan Politik juga sangat mendukung, dimana tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, sosial kemasyarakatan dan partisipasi politik dari
masyarakat, menunjukan jika lingkungan sosial ekonomi dan politik di kabupaten Sintang
cukup stabil sehingga pelaksanaan implementasi kebijakan pemungutan pajak hotel dan
penginapan dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku, meskipun hasil pemungutan pajak
belum maksimal.
2. Dengan demikian peneliti telah menemukan konsep baru dalam implementasi kebijakan pemungutan pajak diperlukan sistem kerja, tata kerja dan prosedur kerja yang merupakan
bagian dari variabel Standar dan Sasaran kebijakan sebagaimana model yang ada pada teori
Van Meter dan Van Horn untuk mendukung terlaksananya implementasi kebijakan.
******
145
DAFTAR PUSTAKA
Agustino. L. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung.Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
Bandung Bekerja sama dengan Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad.
Albrow, Martin. 1996. Birokrasi. Penerjemah : M.RusliK. dan Totok Daryanto. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Anderson,J.E. 2003. Public Policy Making. An Introduction,3 ed. Boston New York.Hougton
Mifflin Company.
Bawazir, F, 1996. Pungutan Pada Dunia Usaha, dalam seri Kajian Fiskal Moneter
N0.19/VIII/1996, Pusat Pengkajian Fiskal dan Moneter. Jakarta: CFMS
Blau, Peter M and Marshall W. Mayer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. Penerjemah :
Riyanto Slamet. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya
Bogdan, Robert C. And Biklen.1993. Terjemahan Arif Fucrahman, Dasar-Dasar Penelitian
Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional.
Devas, N, dkk. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, terjemahan Masri Marimis.
Jakarta: UI-Press
Donald S. Van Meter dan Carl E. Vanhorn.1975. The Policy Implementation Process, A Conceptual
Framework. Departement of Political Science Ohio State University.
Frans Poels.1997. Job Evaluation and Remunerations Strategies. London: British Library.
Ganna, Judistira K. 1999. Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Bandung: Primaco Akademika
Grindle,M.1980. Politics and Policy Implementations, In The Third World,New Jersey: Precenton
University Press
Hadisoeprapto. 1996. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty
Ichsan, C. 1996. Pengembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Banda Aceh: UP3R-FE
Universitas Syah Kuala.
Ismail, T. 2008. Pengantar Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta : Yellow Printing.
Jones, Charles O.1984. An Introduction to the study of Public Policy. Thrid Edition Monterey,
California Books/Cole Publishing Company.
Judisseno, Rimsky,K. 2005. Pajak dan Strategi Bisnis Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum
dan Penerapan Akuntansi di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Lains, A. 1985. Pendapatan Daerah dalam Ekonomi-Orde Baru, dalam Prisma No.4 April 1985,
LP3ES, Jakarta Hal 40-57
Lubis, S, M. 1975. Pergeseran Politik dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah.
Bandung : Alumni
Mardiasmo.2006. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta : ANDI
-------------.2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: ANDI
Martodirdjo. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Bina Rosda Karya
Milles, B,M. Dan Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Bandung : Bina Rosda Karya
Moleong,Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya
146
Nasution. S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito
Nawawi, H. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Ndraha, Taliziduhu.1989. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta : Bina
Aksara
Nugroho, R. 2008. Public Policy.Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses Kebijakan
Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management Dalam Kebijakan Publik
Kebijakan Sebagai The Fifth Estate-Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
Redjo, Ibnu. 1995. Intensifikasi dan Eksistensifikasi Peningkatan PAD, Mimeo, Makalah Pada
Seminar Otonomi Daerah Dati II, Riau Bangkiang.
Rosdiana, Haula dan Irianto, Slamet E. 2011. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia. Jakarta : Visimedia.
Snavely. Keith. Innovations in State Tax Administration. Source: Public Administration Review,
Vol 48,N0.5 (sep-Oct.,1988), pp.903-910 Published by : Black well Publishing on behalf of
the American Society for Public Administration. Stable http:/www.jstor.org/stable/976906
Accessed:27/04/2009 05:52
Soedjadi.FX. 1989. O & M, Organization and Methods Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen.
Jakarta : CV.Haji Masagung.
Steers, Richard. 1985. Efektivitas Organisasi. Penterjemah Magdalena Jamin. Jakarta: Erlangga
Suhadak dan Nugroho, T. 2007. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam
Penyusunan APBD di Era Otonomi. Malang : Banyu Media Publishing
Suryaningrat, Bayu.1981. Pemerintahan, Administrasi Desa dan Kelurahan, Jakarta : Aksara Baru.
Syamsi. I. 1988. Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Negara. Jakarta : Bina Aksara
Tachjan.H. 2006. Implementasi Kebijkan Publik. Bandung. Puslit KP2W.Lembaga Penelitian
Unpad.
Tengkilisan, Hessel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta. Yayasan
Pembaharuan Administrasi Publik dan Lukman Ofset.
Widodo.J.2001. Good Governance. Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kotrol Birokrasi pada
Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya. Insan Cendekia.
Winarno.B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Press.
147
ANALISIS TEORITIK MODEL PEMBANGUNAN DAERAH (DESA) TERTINGGAL
Oleh :
SYAMSURI
ABSTRAK :
Daerah tertinggal merupakan suatu daerah yang tingkat pembangunan dan kesejahteraan
rakyatnya tertinggal atau kurang berkembang dari daerah lain. Dengan berbagai persoalan yang
dialami oleh daerah tertinggal, diantaranya terbatasnya sumberdaya alam, rendahnya sumberdaya
manusia, sangat terbatasnya prasarana dan sarana seperti sarana transportasi, komunikasi,
kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya serta kemiskinan, maka dibutuhkan suatu model
kebijakan/program pembangunan yang diarahkan untuk melakukan percepatan pembangunan di
daerah tertinggal. Model yang dimaksud disesuaikan dengan karakteristik, potensi dan persoalan
yang dialami oleh daerah tersebut. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menambah khasanah
teoritik dalam melakukan kajian tentang pembangunan daerah (desa) tertinggal.
Kata Kunci : Pembangunan Desa, Model Pembangunan Desa, dan Daerah Tertinggal.
I. Pendahuluan
Secara nasional bahwa meningkatnya pembangunan ekonomi selama ini masih belum
mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara meluas dan merata, indikator utamanya adalah
masih tingginya tingkat kesenjangan dan kemiskinan (Suharto, 2008), terutama antara daerah
perkotaan dengan perdesaan. Hal ini disebabkan adanya ketidakmerataan dan ketidakadilan dalam
distribusi pembangunan, karena kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini lebih
mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan dan dipusat-pusat pemerintahan sedangkan di
daerah perdesaan kurang mendapat perhatian yang serius, sehingga terjadi kesenjangan
pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan yang menyebabkan tingginya angka
kemiskinan di daerah perdesaan (Joshi dan Gebremedhin, 2012). Disisi lain ada dua alasan
mengapa permasalahan pembangunan desa masih relevan dibahas, pertama kendati dalam dua
dasawarsa terakhir perkembangan kota semakin maju tetapi perkembangan perdesaan justru
sebaliknya, sedangkan wilayah negara didominasi oleh daerah perdesaan; dan Kedua kendati sejak
tahun 1970-an pemerintah Orde baru mencanangkan berbagai macam kebijaksanaan dan program
pembangunan perdesaan, secara umum kondisi sosial ekonomi desa masih memperhatikan dan
persoalan kemiskinan dan kesenjangan menjadi masalah krusial di perdesaan. Kemiskinan dan
kesenjangan dalam pembangunan membuat daerah tersebut menjadi tertinggal (Suryono, 2010).
II. Pengertian dan Karakteristik Desa
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan (di
Indonesia) jauh sebelum bangsa ini merdeka. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain
sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam
pembangunan bangsa. Desa merupakan institusi yang otonomi dengan tradisi, adat-istiadat dan
relatif mandiri. Hal ini ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin
merupakan wujud dari suatu bangsa.
Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta
Perencanaan Desa Terpadu memiliki batas yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003). Istilah desa dan
perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village yang dibandingkan dengan kota
148
(city/town) dan perkotaan (urban). Konsep perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik
masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial,
dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa (Tarigan, 2003). Sedangkan Di Indonesia
penggunaan istilah tersebut digunakan dengan cara yang berbeda untuk masing-masing daerah,
misalnya dusun bagi masyarakat Sumatera Selatan, dati bagi Maluku, kuta untuk Batak, nagari
untuk Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa. Bagi masyarakat lain istilah desa memiliki
keunikan tersendiri dan berkaitan erat dengan mata pencahararian, norma dan adat istiadat yang
berlaku (Sumpeno, 2011:3).
Dalam kamus bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan desa adalah 1) suatu sekelompok
rumah diluar kota yang merupakan kesatuan, kampung (di luar kota) atau dusun; 2) dusun atau udik
(dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota (Poerwadarminta, 1976). Sedangkan
menurut Landis yang dikutip oleh Ahmadi (2003) menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah
yang pendudunya kurang dari 2500 jiwa. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) mempunyai
pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa; (b) ada pertalian perasaan yang
sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan; (c) cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang sangat
dipengaruhi alam, seperti: iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan
agraris adalah bersifat sambilan (Yansen, 2013:95).
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif
istilah desa di Indonesia adalah pembagian wilayah administratif yang di bawah kecamatan, yang
dipimpin oleh Kepala Desa. Sejalan dengan undang-undang di atas Widjaja (2005:3)
mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli
berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran mengenai Pemerintahan
Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat tarik benang merahnya adalah bahwa desa
merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman
bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya
sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli
sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi
daerah. Karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan
otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, maka desa memiliki wewenang : 1) menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada
desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat;
3) tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4)
urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa (PP.
No 72 Tahun 2005 Bab III Pasal 7 tentang Desa)
Dengan demikian bahwa desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh jumlah jiwa
yang relatif kecil tetap memegang teguh nilai-nilai dan adat-istiadatnya yang khas. Dalam tatanan
bengsa dapat dikatakan bahwa desa merupakan wilayah terkecil atau pemerintah negara paling
bawah yang otonom dengan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan dilindungi oleh negara.
Desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa ini. Disebut vital karena desa merupakan
satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman bangsa. Selama ini terbukti
keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan
demikian penguatan desa menjadi hal yang tidak bisa ditawar dan tidak bisa dipisahkan dari
pembangunan bangsa secara menyeluruh.
149
Setiap desa memiliki kekhasan tersendiri dan kekhasan tersebut yang menjadikan desa itu
bisa berbeda-beda dalam kehidupan kesehariannya, perbedaan itu nampak terihat dalam perilaku
sosial keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat
digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat, misalnya masyarakat Jawa, Batak, Banjar, Bugis
Dayak dan lain-lainnya. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan
perkembangan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik
tersebut sudah tidak begitu nampak dan bahkan tidak berlaku. Untuk itu Yansen (2010) menyatakan
ada beberapa karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang
bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui, yaitu: Sebagian besar masyarakat desa hidup
dalam kesederhanaan, Masyarakatnya mudah menaruh curiga terhadap orang baru yang belum
mereka kenal, masyarakatnya sangat menjunjung tinggi adat dan kesopanan, sangat tingginya rasa
suasana kekeluargaan dan persaudaraan, cendrung berbicara apa adanya, cendurung minder dan
tidak banyak omong terhadap orang kita, menghargai orang lain dan berusaha membalas budi
dengan orang yang bernah berbuat bagi kepada mereka, Jika berjanji, akan selalu diingat dan
ditepati, Suka bergotong-royong, Demokratis, Masyarakat perdesaan dikenal sangat religious dan
suka mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan, misalnya: tahlilan,
rajaban, Jumat Kliwonan, dan lain-lain.
Kemudian Adisasmita (2006:100) membuat karakteristk desa berdasarkan tipologi desa,
tipologi desa berdasarkan topografis dapat dibagi menjadi empat, yakni 1) desa daerah pegunungan,
merupakan suatu desa yang berada di daerah pegunungan; 2) desa dataran tinggi, merupakan desa
yang berada di daerah dataran tinggi tetapi tidak di daerah pegunungan; 3) desa dataran rendah,
merupakan desa yang berada di daerah yang tidak berada pinggiran sungai/pantai; sedangkan 4)
desa pasisir/desa pantai, desa ini biasanya berada di sekitar pantai atau bisa juga berada di daerah
aliran sungai.
Masyarakat desa umumnya hidup dalam situasi sederhana dengan mata pencaharian sangat
tergantung dari kondisi geografis wilayahnya, misalnya usaha tani, nelayan, ternak, kerajinan
tangan dan pedagang kecil dan banyak mengandalkan produksi pertanian masyarakat terutama
untuk memenuhi keperluan sendiri (subsistence). Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari
masih memegang teguh tradisi, nilai-nilai dan adat istiadat secara turun temurun. Bukan berarti
tradisi dan adat istiadat yang dianut tidak menunjang usaha pembangunan, sebagian justru
dibutuhkan untuk memelihara kelangsungan hidup dan lingkungan. Walaupun secara psikologis
masyarakat desa cenderung memiliki sifat konservatif dan ortodoks, fatalis dan suka curiga
terhadap orang luar, namun demikian, masyarakat desa dapat bersikap hemat, cermat dan
menghormati orang lain yang terkadang sulit ditemukan di perkotaan (Sumpeno, 2011).
III. Tipologi Desa
Berdasarkan data dari BPS tahun 2011 secara nasional bahwa jumlah desa di Indonesia
berjumlah 78.198, masing-masing desa mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik dan
kekakhasan desa itu tidak terlepas dari kondisi desa itu sendiri. Dengan variasinya yang sangat
luas, maka sangat sulit untuk merumuskan dan menentukan strategi pembangunan yang akan
dilakukan. Untuk mencari solusi tersebut dipandang perlu untuk menyusun tipologi desa. Dengan
tipologi desa yang ditetapkan akan diperoleh gambaran yang lebih sederhana dan dapat
menggambarkan profil dan ciri desa, dengan demikian akan memudahkan dalam menganalisanya
dan menyusun strategi kebijakan pembangunan. Tipologi menggambarkan tipe atau pola, ataupun
sebagai pencerminan model berdasarkan kemiripan atau keserupaan ciri-ciri dan potensi dan
kondisi sumberdaya (alam, manusia dan buatan) yang dimiliki oleh suatu desa, atau dikaitkan
dengan aspek topografinya, kegiatan ekonomi daerah yang dominan, kemampuan keswadayaan
masyarakat, dan lainnya (Adisasmita, 2013:110)
Berdasarkan karakteristik desa yang ada, maka Adisasmita (2013) merumuskan berbagai
macam tipologi desa, diantaranya:
150
1) Tipologi desa berdasarkan aspek topografi, terdiri dari desa daerah pegunungan, desa dataran tinggi desa dataran rendah dan desa pasisir/pantai.
2) Tipologi desa berdasarkan kemampuan keswadayaan, terdiri dari: a) desa swadaya (tradisional), pada umumnya masyarakatnya masih bersifat tradisional dalam
arti bahwa sumber kehidupan utama warganya masih berkaitan erat dengan usaha tani,
termasuk meramu hasil hutan dan berternak yang diiringi dengan pemeliharaan ikan di
tambak-tambak kecil tradisional. Jenis usaha tani cenderung bersifat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Teknologi pertanian yang dipakai masih rendah, tenaga hewan dan
manusia merupakan sumber utama energi teknologi usaha taninya. Hubungan antar personal
dan atau kelompok (masyarakat) sering didasarkan dan diikat atas adat istiadat yang ketat.
Pengendalian atau pengawasan sosial (social control) dilaksanakan atas dasar kekeluargaan
dan kebanyakan desa seperti ini berlokasi jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pusat
kota dan sumberdaya manusia juga masih rendah serta masih sangat kurangnya prasarana
dan sarana seperti infrastruktur jalan, pendidikan kesehatan.
b) desa swakarya (transisional), merupakan tipe desa yang tingkatannya dianggap lebih
berkembang lagi dibandingkan desa swadaya. Adat yang merupakan tatanan hidup
bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan
yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial budaya lainnya, adanya pengaruh dari luar
sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir dan sarana prasarana mulai meningkat.
c) desa swasembada (modern), merupakan tipe desa yang maju dan lebih berkembang
dibandingkan tipe-tipe desa terdahulu. Prasarana desa sudah baik, beraspal dan terpelihara
pula dengan baik. Warganya telah memiliki pendidikan setingkat dengan sekolah menengah
lanjuatan atas. Mata pencaharian sudah amat bervariasi dan tidak lagi berpegang teguh pada
usaha tani yang diusahakan sendiri. Masyarakat tidak lagi berpegang teguh dengan adatnya
tetapi ketaatan kepada syariat agama terus berkembang sejalan dengan perbaikan pendidikan
dan sarana dan prasarana relatif lengkap dan modern
Berdasarkan aspek topografi dan kemampuan keswadayaan terlihat bahwa masing-masing
desa mempunyai ciri dan karakteristik yang berbeda, perbedaan tersebut tidak terlepas dari kondisi
dari desa itu sendiri. Oleh karenanya dalam melaksanakan program pembangunan di suatu desa
belum tentu sama dengan pembangunan yang akan dilakukan di desa lain. Program yang akan
dilaksanakan tentu harus dilihat dari bagaimana karakteristik dan kebutuhan dari masyarakat desa,
dengan demikian maka program yang akan dilakukan dapat mencapai apa yang diharapkan oleh
masyarakat itu sendiri.
IV. Pembangunan Desa
Pembangunan desa merupakan seluruh kegiatan pembangunan di desa dan meliputi seluruh
aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya
gotong-royong, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa berdasarkan
kemampuan dan potensi Sumber Daya Alam (SDA) mereka melalui peningkatan kualitas hidup,
ketrampilan dan prakarsa masyarakat (Adisasmita, 2006:4). Lebih lanjut Chittoo dan Suntoo
(2012) menyatakan bahwa pembangunan desa merupakan proses pertumbuhan dan kemajuan
ekonomi pedesaan dan peningkatan kesejahteraan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Kemudian
menurut Howell dan Chisolm (2006) Pembangunan desa merupakan upaya yang dilakukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kehidupan masyarakat desa, terutama pembangunan ekonomi,
seperti ekspansi bisnis, pengembangan kewirausahaan dan pengembangan pariwisata.
Ada dua alasan mengapa permasalahan pembangunan desa masih relevan dibahas, pertama
kendati dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan kota semakin maju tetapi perkembangan
perdesaan justru sebaliknya, sedangkan wilayah negara didominasi oleh daerah perdesaan; dan
Kedua kendati sejak tahun 1970-an pemerintah Orde baru mencanangkan berbagai macam
kebijaksanaan dan program pembangunan perdesaan, secara umum kondisi sosial ekonomi desa
151
masih memperhatikan dan persoalan kemiskinan dan kesenjangan menjadi masalah krusial di
perdesaan (Usman, 2012:29).
Menurut Fernando (2008) ada tiga dimensi dalam pembangunan perdesaan, yakni : 1) dimensi
ekonomi, yakni mencakup penyediaan baik kapasitas maupun peluang bagi masyarakat miskin dan
masyarakat berpenghasilan rendah perdesaan terutama sekali untuk mendapatkan manfaat dari
proses pertumbuhan ekonomi, termasuk kebijakan untuk mengurangi ketidakmerataan intra maupun
antar sektor; 2) dimensi sosial, yakni dimensi yang mendukung pembangunan sosial masyarakat
berpendapatan rendah dan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak beruntung, menghilangkan
ketidakmerataan dalam beberapa indikator sosial serta penyediaan jaringan pengamanan sosial; dan
3) dimensi politik, yakni memperbaiki peluang masyarakat miskin dan masyarakat berpenghasilan
rendah untuk dapat berpartisipasi secara efektif dan setara dalam proses politik pada tingkat
perdesaan Arsyad et.al (2011:18-19). Pendapat senada dalam pembangunan berbasis lokal Arsyad,
et.al (2011:19) mengungkapkan ada tiga dimensi dalam pembangunan desa, yakni 1) dimensi
ekonomi, 2) dimensi kelembagaan, dan 3) dimensi politik. Sedangkan Harjanto (2011:126)
menyatakan ada tiga dimensi dalam pembangunan desa, yaitu; 1) dimensi psikologis, yakni
membangun hubungan erat antara petugas lapangan dengan sejumlah kecil petani untuk
menumbuhkan kepercayaan pada petani, 2) dimensi teknologis, menggunakan demonstration plot
untuk mentransfer pengetahuan dan meningkatkan produksi pangan, dan 3) dimensi kelembagaan,
melaksanakan proses institution building, antara lain pembentukan koperasi (KUD) untuk melayani
kredit dan membantu pemasaran. Dimensi-dimensi ini akan dibahas dalam bagian model-model
pembangunan desa. Dimensi-dimensi tersebut akan dijadikan batu sandaran bagi pemerintah untuk
melakukan pembangunan di daerah tertinggal.
Sehubungan dengan beberapa dimensi di atas, maka dalam pembangunan terkandung
beberapa unsur, yakni: 1) Perubahan, yaitu perubahan dari sesuatu yang dianggap masih kurang
menuju kesempurnaan; 2) Tujuan, yaitu tujuan yang diarahkan dari, oleh dan untuk rakyat
(manusia) menuju pelastarian, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang lebih baik lagi; dan 3)
Potensi, yaitu potensi masyarakat yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri yang kemudian dapat
digunakan untuk mendukung perencanaan pembangunan (Suryono, 2010).
Untuk melakukan itu semua, negara (pemerintah) mempunyai peran yang sangat besar, karena
tanpa ada keterlibatan dari pemerintah, terutama dalam hal anggaran maka pembangunan di
perdesaan akan terlambat. Walaupun otonomi desa itu diberikan tetapi desa mempunyai anggaran
yang sangat terbatas, disi lain bahwa tidak semua desa mempunyai sumber daya yang mempuni.
Seiring dengan adanya otonomi daerah, maka prinsip-prinsip pembangunan pedesaan adalah
(1) transparansi (terbuka), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati masyarakat, (4) dapat
dipertanggungjawabkan (akuntabilitas), dan (5) berkelanjutan (sustainable) (Adisasmita, 2006:19).
Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh
pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya adalah dari,
oleh, dan untuk seluruh rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk
menentukan visi pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa depan merupakan impian
tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah dalam arti tercapainya tingkat
kemakmuran yang lebih tinggi.
Pembangunan pedesaan juga dilakukan dengan pendekatan secara multisektoral (holistik),
partisipatif, berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan keberkelanjutan
serta melaksanakan pemanfaatan sumberdaya pembangunan secara serasi selaras dan sinergis dan
berkeadilan. Dalam artikelnya mengenai pembangunan desa tertinggal, Hardi (2010) mengajukan
beberapa strategi dalam meingkatkan pembangunan di desa tertinggal, yakni:
1) Pembangunan daerah tertinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing
daerah
2).Pengembangan ekonomi lokal, strategi ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah
tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya
152
manusia, sumberdaya kelembagaan, serta sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing
daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-
kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada.
3).Pemberdayaan Masyarakat, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik
4).Perluasan Kesempatan, strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal
agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju
5).Peningkatan Kapasitas, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan
sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal.
6).Peningkatan Mitigasi, Rehabilitasi dan Peningkatan, strategi ini diarahkan untuk mengurangi
resiko dan memulihkan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dan bencana alam serta
berbagai aspek dalam wilayah perbatasan.
Strategi-strategi di atas merupakan suatu upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan
terintegrasi dengan mengarahkan sumber daya dan potensi yang ada. Strategis tersebut dijadikan
sebagai hal yang mendasar dalam melaksanakan kebijakan pembangunan desa tertinggal,
pembangunan desa tertinggal merupakan pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh. Dalam
melaksanakan strategi itu, Adisasmita (2006:20) mengingatkan bahwa ada tiga prinsip pokok yang
harus diperhatikan, yakni: 1) kebijaksanaan dan langkah-langkah pembangunan di setiap desa
mengacu kepada, pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan Trilogi Pembangunan. Ketiga
unsur Trilogi Pembangunan tersebut yaitu a) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, b)
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan c) stabilitas yang sehat dan dinamis, diterapkan di
setiap sektor dan antar sektor di setiap daerah, termasuk desa dan kota, di setiap wilayah dan antar
wilayah secara saling terkait, serta dikembangkan secara selaras dan terpadu. 2) pembangunan desa
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Penerapan prinsip
pembangunan berkelanjutan mensyaratkan setiap daerah lebih mengandalkan sumber-sumber alam
yang terbaharui sebagai sumber pertumbuhan. Disamping itu setiap desa perlu memanfaatkan SDM
secara luas, memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin, dan peralatan seefisien mungkin.
3) meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kebijakan deregulasi, debirokratisasi dan
desentralisasi dengan sebaik-baiknya.
Pada hakekatnya tujuan umum dari pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kualitas
hidup masyarakat pedesaan melalui pencapaian kemajuan sosial dan ekonomi secara
berkesinambungan dengan tetap memperhatikan persamaan hak dan menjunjung tinggi prinsip-
prinsip keadilan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa
tujuan pembangunan perdesaan adalah untuk peningkatan perbaikan kualitas hidup masyarakat
secara multidimensional (improving quality of life) yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
politik dan hak-hak sosial dari semua orang yang ada di desa-desa (Chittoo dan Suntoo, 2012)
Pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi,
potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritas pembangunan pedesaan yang telah
ditetapkan. Sasaran umum yang diharapkan dapat dicapai adalah pertumbuhan ekonomi pedesaan
berbasis sumberdaya pertanian (agricultural resource based) yang ditunjang oleh kegiatan sektor
non pertanian dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan kebutuhan masyarakat kecil.
untuk itu Adisasmita (2006:24) menyatakan bahwa sasaran umum dalam pembangunan desa
tertinggal dapat dikelompokkan menjadi beberapa sasaran sebagai berikut:
1) Tersedianya infrastruktur fisik dan sosial yang mencakup jaringan jalan, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah.
2) Terlaksananya pembangunan ekonomi yang mencakup ketersediaan sumber-sumber penghasilan, produktivitas pertanian yang tinggi, dan tingkat efisiensi yang tinggi dalam
pemanfaatan sumberdaya alam.
153
3) Terciptanya kelestarian lingkungan yang meliputi terciptanya kesadaran akan arti pentingaya lingkungan, berkembangnya kepedulian lingkungan semua pihak, dan adanya upaya nyata untuk
kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi.
Sasaran pembangunan di atas tidak terlepas dari kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh
desa tertinggal. Dan mengacu pada sasaran tersebut, maka pembangunan pedesaan harus diletakkan
dalam konteks: 1) sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan
prasarana dan sarana pembangunan untuk memberdayakan masyarakat, dan 2) sebagai upaya
mempercepat dan memperkokoh pembangunan ekonomi daerah dalam arti luas secara efektif dan
kokoh serta selalu berlandaskan pada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) .
Dengan demikian maka program pembangunan perdesaan, pada prinsipnya bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi
perdesaan yang berkeadilan, dan mempercepat industrialisasi perdesaan dengan selalu
memperhatikan keberlanjutan lingkungan..
Dari beberapa hal yang diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa secara umum terdapat dua
aspek penting yang menjadi objek dalam pembangunan desa pembangunan, yakni : pertama
pembangunan desa dalam aspek fisik, yaitu pembangunan yang objek utamanya dalam aspek
fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan seperti jalan desa, bangunan rumah,
pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana ibadah, pendidikan dan kesehatan Kedua:
pembangunan dalam aspek pemberdayaan masyarakat, yaitu pembangunan yang objek utamanya
aspek pengembangan dan peningkatan kemampuan, ketrampilan dan memberdayakan
masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, pembinaan usaha ekonomi, kesehatan, spiritual,
pengembangan kapasitas masyarakat individu maupun kelembagaan yang ada didesa dan
sebagainya. Tujuan utamanya adalah untuk membantu masyarakat yang masih tergolong marjinal
agar dapat melepaskan diri dari berbagai belenggu keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan
sebagainya. keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan desa. karena proses
pembangunan desa bukan hanya sebatas membangun prasarana dan sarana yang diperlukan, tetapi
proses pembangunan desa merupakan bagian dari pemberdayaan dan peningkatan kapasitas
masyarakat pedesaan.
V. Model Pembangunan Desa
Untuk memudahkan dalam melaksanakan suatu program dibutuhkan suatu bentuk
konseptual yang dijadikan sebagai acuan ataupun panduan dalam melaksanakan program tersebut.
Dari konsep-konsep yang telah ditentukan kemudian akan dibuat suatu model. Secara sederhana
Bullock dan Stallybrass (1997) dalam Wahab (2011:64) menyatakan bahwa model adalah a representation of something else, designed for a specific purpose (suatu pengejawantahan dari sesuatu yang lain, yang dirancang untuk tujuan tertentu). Pendapat yang hampir sama dinyatakan
oleh Dye (197:39) bahwa a model is merely an abstraction or representation of political life (model merupakan suatu upaya penyederhanaan dan pengejawantahan dari keyataan politik).
Dengan demikian bahwa model dapat dikatakan sebagai suatu konsep atau pola yang dibuat secara
sederhana sebagai upaya untuk menggambarkan suatu keadaan (publik) melalui kebijakan publik
untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan publik. Model dalam pembangunan desa
merupakan suatu bentuk atau pola yang dibuat untuk mencapai tujuan dari program pembangunan
desa secara efektif.
Disadari bahwa masing-masing desa mempunyai karakteristik dan potensi yang berbeda,
maka diperlukan suatu pola atau model yang dianggap sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan
potensi desa tersebut agar program-program pembangunan yang dilakukan dapat memberikan
dampak positif dalam meningkatkan kualitas hidup mereka sehingga mereka bisa keluar dari
ketertinggalan dan kemiskinan. oleh karena itu dalam bagian ini akan disajikan beberapa model
pembangunan desa, yakni :
154
a) Model Intervensi Model ini dikembangkan oleh Inanyatullah (1977) dalam Winarno (2008:19) menyatakan
bahwa ada tiga model dalam pembangunan desa, yakni model intervensi rendah (model
produktivitas), model intervensi menengah (model solidaritas) dan model intevensi tinggi (model
pemerataan atau equality).
Pertama Model Intervensi Rendah (Model Produktivitas). Model ini mendiaknosa bahwa
yang menyebabkan ketertinggalan desa (rural underdevelopment) adalah langkanya teknologi yang
digunakan untuk meningkatkan produktivitas, ketidaktahuan, kebodohan, ketakhayulan, buta aksara
dan angka . Oleh karena itu upaya pembangunan ditujukan untuk meningkatkan produktivitas
(pertanian) tanpa melakukan perubahan-perubahan penting dan substansial terhadap struktur sosial
yang sudah ada.
Model ini diarahkan untuk membantu penduduk lokal yang mempunyai modal, sumber-
sumber daya, ketrampilan dan motivasi yang tinggi untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Oleh karena itu pemerintah harus memberikan perhatian kepada penduduk desa yang masuk
kategori ini dengan memberikan kemudahan-kemudahan untuk memperoleh input bagi
produktivitas yang tinggi dan pembaharuan-pembaharuan teknis. Pemerintah juga perlu
memberikan insentif yang lebih besar kepada penduduk desa yang mengorganisir bagi pertukaran
dan keuntungan dan bukan untuk konsumsi sendiri.
Kedua adalah Model Intervensi Menengah (model solidaritas). Menurut Inanyatullah bahwa
yang menyebabkan ketertinggalan desa (rural underdevelopment) adalah kemerosotan dan
degradasi masyarakat desa serta langkanya lembaga-lembaga desa yang dapat meningkatkan peran
aktif penduduk desa tersebut. Untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan membentuk
lembaga-lembaga baru, memodernisasi elit desa dan mendifusikan ketrampilan-ketrampilan
berorganisasi dan menjalin hubungan menjalin hubungan antara anggota masyarakat untuk lebih
harmonsi dalam organisasi yang mereka bentuk.
Intervensi yang dilakukan hanya terbatas pada lembaga-lembaga desa dengan perubahan
yang bersifat moderat dalam sistem kepemilikan tanah dan dalam struktur kekuasaan desa. Dengan
demikan dapat dikatakan bahwa model ini bersifat toleran terhadap tingkat ketidakmerataan
(inequality) yang moderat dan bersifat ambivalen dalam hal seberapa jauh sistem sosial pedesaan
tradisional perlu dimodernisir, dan seberapa jauh struktur tradisional perlu diperlemah guna
melambangkan struktur kelembagaan baru yang mampu meningkatkan peran serta aktif penduduk
desa.
Negara (Pemerintah) hanya melakukan pengembangan kerajinan dan ketrampilan
masyarakat di pedesaan, mendorong kegiatan kegiatan kelembagaan seperti koperasi melalui
pembentukan dan penyediaan kredit yang berasal dari masyarakat desa, yang ditujukan untuk
mengurangi kegiatan ekonomi yang bersifat eksploitatif di daerah pedesaan untuk memperkuat
produsen dan konsumen di desa.
Walaupun ada kekhawatiran karena lembaga tersebut baru dan dibentuk bukan inisiatif dari
masyarakat desa, bahkan kurang dipahami oleh masyarakat atau bernuansa proyek pemerintah,
maka modal-modal stimulan yang diberikan pemerintah melalui lembaga (koperasi) bisa macet atau
gagal. Oleh karena itu harus adanya sosialisasi dan melakukan pelatihan-pelatihan kepada
masyarakat desa mengenai tujuan dan kegiatan yang dilakukan oleh koperasi agar masyarakar desa
dapat memahami tujuan dan manfaat dari koperasi tersebut. Sehingga dengan terbentuknya
lembaga baru tersebut perekonomian dan pendapatan masyarakat setempat bisa meningkat.
Ketiga Model Intevensi Tinggi (model pemerataan atau equality). Model ini
mengasumsikan bahwa yang menyebabkan desa itu tertinggal adalah karena tidak meratanya
pendapatan, kekayaan dan kekuasaan di kalangangan penduduk desa. Oleh karena itu menurut
Inanyatullah untuk meningkatkan pembangunan di desa yang tertinggal karena kondisi di atas
adalah melakukan nasionalisasi, yakni melalui 1) penguasaan oleh aparat pemerintah pada tingkat
nasional melalui organisasi politik yang relevan dengan masyarakat bawah guna memudahkan
155
dalam melakukan transformasi masyarakat, dan 2) perjuangan yang terorganisir untuk menentang
kelompok petani-petani kaya di tingkat lokal dengan cara mengambil alih sebagian struktur
kekuasaan lokal dan mendistribusikan sebagian tanah dan sasaran produksi lainnya kepada petani
yang berpenghasilan rendah atau yang tidak mempunyai lahan pertanian.
Adapun tujuan dari model ini adalah mempersempit, atau jika memungkinkan menghapus
ketidakmerataan sosial, ekonomi serta kegiatan-kegiatan ekonomi dari penduduk desa yang kaya
yang dapat merugikan lapisan penduduk berpenghasilan rendah. Dengan perubahan kepemilikan
melalui program pembagian lahan kepada kelompok tani yang tidak mempunyai lahan diharapkan
akan mampu meningkatkan pendapatan dan pemerataan bagi semua petani di desa tersebut.
Ketiga model intervensi di atas secara umum berawal dari asumsi bahwa yang menyebabkan
desa itu tertinggal adalah karena produktivitas pertanian yang tidak maksimal, adanya
ketidakmerataan terhadap kepemilikan dan pengasaan lahan pertanian dan tidak adanya dukungan
kelembagaan desa yang mampu menjadi motor penggerak perekonomian warga desa tersebut.
Untuk itu melalui intervensi ini, produktivitas hasil pertanian dan kerekonomian masyarakat dapat
meningkat secara berkeninambungan dan berkeadilan. Dalam kaitan ini Barca, Fabrizio, et.al
(2012) mengungkapkan bahwa intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan
pembangunan di suatu daerah mutlak dilakukan agar pembangunan di daerah tersebut cepat
berkembang. Mereka berasumsi tanpa ada intervensi dari pemerintah maka perkembangan daerah
tersebut menjadi lambat. Dengan melakukan intervensi dengan melihat pada permasalahan yang
dialami oleh desa tersebut maka permasalahan yang dialami oleh masyarakat dapat teratasi dengan
baik. Intervensi yang dilakukan tentu dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dari masyarakat desa.
Model pembambangunan ini menurut Arsyad, et.al (2011) lebih menekankan pada model
dari atas top down karena walaupun program atau kegiatan yang diluncurkan itu berdasarkan
kondisi masyarakan desa tetapi dalam penentuan program tidak melibatkan masyarakat dan
ditentukan oleh pemerintah sendiri.
b). Model Pembangunan Berbasis Lokal
Konsep pembangunan yang bersifat bottom up yang telah diterapkan mulai dari
Musrenbang tingkat desa hingga kini belum dilaksanakan dengan optimal, seperti adanya usulan
dari desa yang dirumuskan oleh masyarakat desa seringkali diintervensi oleh pemerintah (Winarno,
2006) bahkan dalam pelaksanaan dan pengawasan program-program pembangunan, masyarakat
desa tidak dilibatkan secara maksimal (Arsyad, et.al, 2011) sehingga banyak program-program
pembangunan pedesaan tidak berhasil karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak.
Untuk itu melalui model pembangunan berbasis lokal, masyarakat desa bisa terlibat dalam setiap
proses pembangunan, mulai dari pengambilan keputusan, implementasi keputusan, pemanfaatan
(Benefits) hasil program pembangunan hingga pada evaluasi program pembangunan (Cohen dan
Uphoff, 1977, Adisasmita, 2006 dan Arsyad, et.al 2011).
Model pembangunan berbasis lokal menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi dan
perubahan struktural yang dimotori oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan potensi-potensi
yang ada dalam upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Manurut Corten, yang
dikutip oleh Suryono (2010:12) pembangunan yang berorientasi pada masyarakat (people centered
development) menginginkan alternatif paradigma pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada
produksi dan kebutuhan semata, akan tetapi juga berorientasi pada manusia.
Pembangunan yang berdimensi kerakyatan memberi peran kepada individu bukan sebagai
subyek, tetapi sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan
mengarahkan proses yang mempengaruhi kebutuhannya (Suryono, 2010:12). Di sini pemerintah
hanya bertindak sebagai fasilitator dan koordinator (Chittoo dan Suntoo, 2012). Pemerintah
memberikan fasilitas dan melakukan koordinasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat
yang kemudian dituangkan dalam suatu kebijakan pembangunan di desa tersebut. Strategi yang
156
digunanakan adalah dengan pendekatan yang mengandalkan pada kebutuhan, seluruh potensi dan
perilaku lokal dari suatu daerah tertentu (locality). Oleh karena itu karakteristik utama dari model
ini adalah
1) Kerangka pembangunan di dalam kerangka kewilayahan bukan sektoral. Wilayah tidak hanya diangkap sebagai wilayah dimana sumberdaya dan kegiatan ekonomi dan terjadi tetapi juga
sebagai agen perubahan karena perusahaan dan pelaku-pelaku lainnya di dalam wilayah
tersebut berinteraksi satu sama lainnya bersama-sama membangun perekonomian dan
masyarakat;
2) Kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya diarahkan untuk dimaksimalkan manfaat bagi masyarakat lokal melalui pemanfaat sumberdaya lokal, fisikal maupun budayanya
3) Pembangunan dikontekstualkan melalui pemusatan perhatian pada kebutuhan, kapasitas dan perspektif masyarakat lokal, yang berarti bahwa suatu wilayah mengembangkan kapasitasnya
untuk membangun sosial ekonomi yang khas wilayah tersebut;
4) Pembangunan tidak terbatas hanya pada pembangunan ekonomi saja, tetapi juga untuk memperlakukan masalah-masalah ekonomi, ekologis dan sosial secara setara sehingga dapat
diharapkan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustanaible development);
5) Partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan politik sangat penting karena strategi ini terutama sekali ditentukan sendiri oleh masyarakat lokal dengan mengacu pada
kebutuhan lokal.
Menurut Amadi (2012) bahwa strategi pembangunan pedesaan seperti ini dapat
mewujudkan melalui motivasi, keterlibatan aktif dan organisasi di tingkat akar rumput masyarakat
pedesaan dalam konseptualisasi dan merancang kebijakan dan program dimaksudkan untuk mereka.
Strategi ini bukan hanya memperbaiki dari sisi produktif (pertanian, industri dan jasa) tetapi juga
mendorong dan meningkatkan dimensi sosial dan budaya yang mempengaruhi kebihupan
masyarakat.
Dalam model pembangunan berbasis lokal, terdapat 3 (tiga) dimensi yang menjadi sasaran,
yakni 1) dimensi ekonomi yang ditandai oleh sistem produksi khusus yang memungkinkan para
entrepreneur menggunakan secara efisian faktor-faktor produksi dan mencapai produktivitas yang
memungkinkan mereka bisa kompetitif di pasar; 2) dimensi kelembagaan, dimana para pelaku
ekonomi dan sosial terintegrasi di dalam institusi lokal untuk membentuk sistem hubungan yang
kompleks yang memadukan nilai-nilai sosial dan budaya dalam pembangunan; dan 3) dimensi
politik, yang tercermin pada inisiatif lokal yang menekankan pada penciptaan lingkungan lokal
yang menstimulus produksi dan membuat pembangunan yang berkelanjutan (Arsyad, et.al, 2011).
Melalui model pembangunan ini maka perumusan dan pelaksanaan program-program
pembangunan untuk meningkatkan pembangunan pedesaan dapat terlaksana secara reliable,
acceptable, implementable dan Workable (Adisasmita, 2006:132). Reliable maksudnya bahwa
program pembangunan yang dirumuskan itu menyakinkan dan dipercaya karena dilakukan oleh
seluruh atau kelompok yang mewakili anggota masyarakat yang merupakan stakeholder atau
kelompok yang berkepentingan. Acceptable artinya pembangunan tersebut dapat diterima oleh
masyarakat luas, karena program yang akan diimplementasikan tersebut disusun dan dirumuskan
bersama oleh masyarakat. Implementable yakni program tersebut dapat dilaksanakan karena
disusun berdasarkan potensi, kondisi dan kemampuan yang dimiliki serta kebutuhan masyarakat
desa setempat. Workable artinya program yang telah dirumuskan dapat dilaksanakan oleh
pemerintah dan terutama masyarakat setempat, dan apabila ada hambatan atau kekurangan dalam
implementasinya maka akan bisa diatasi oleh oleh masyarakat setempat, baik dalam hal dana,
material, tenaga maupun pemikiran sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Dalam model ini, komunikasi mempunyai peran yang sangat penting, karena kegagalan dari
program ataupun proyek pembangunan pedesaan antara lain disebabkan karena program maupun
proyek tersebut tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat (Acharya, 2010). Karena
melalui komunikasi dapat menciptakan partisipasi dan rasa memiliki di kalangan masyarakat
157
pedesaan (Hagul, 1992) dan keberhasilan pembangunan tergantung dari tingkat partisipasi
masyarakat dalam kehidupan sosial-ekonomi (Chmielinski, 2011).
Melalui model pembangunan berbasis lokal yang partisipatif, masyarakat desa dapat terlibat
dalam semua proses dan tahap dari pelaksanaan program pembangunan yang dilakukan.
Pembangunan dilakukan secara terus-menerus dengan menempatkan manusia sebagai posisi yang
wajar yakni sebagai obyek dan subyek pembangunan unutuk mampu mengembangkan dan
memberdayakan diri sendiri (Suryono, 2011:38).
Apabila dicermati bahwa model pembangunan perdesaan yang berbasis lokal ini lebih
bersifat dari bawah bottom up karena masyarakat dilibatkan dalam setiap proses pembangunan dan
konsepnya adalah bahwa masyarakat adalah sebagai pelaku utama dalam program tersebut,
sedangkan pemerintah adalah memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat
yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.
c). Model Pembangunan Desa Terpadu
Model ini merupakan model penggabungan antara model pembangunan yang bersifat top
down seperti dalam model intervensi dan model pembangunan desa yang bersifat bottom up dalam
model pembangunan desa berbasis lokal. Menurut Parsons (2008) bahwa model pembangunan
bawah ke atas (bottom-up) menyempingkan pertimbangan seberapa riilkah orang berperilaku secara
kontekstual dan lebih memahami hubungan logis antara input, proses dan uotput dan menjadikan
orang melakukan apa yang diperintahkan serta mengontrol setiap tahapan dalam sebuah sistem,
sehingga apabila implementasi itu gagal yakni tujuan kebijakan tidak tercapai, disebabkan karena
pemilihan strategi dan instrumen yang digunakan keliru. Sedangkan pendekatan bottom-up adalah
kebalikan dari pendekatan top-down, yakni lebih menyoroti pelaksanaan kebijakan yang
terformulasi berdasarkan inisiatif dari masyarakat setempat. Asumsi ini dapat dimengerti melalui
argumentasi bahwa masalah dan persoalan yang terjadi dilevel daerah/desa hanya dapat dimengerti
oleh masyarakat setempat. Menurut Parson (2008) bahwa pendekatan bottom-up lebih memberikan
keleluasaan kepada pelaksana di lapangan dalam penerapan kebijakan.
Pendekatan bottom-up mulai dikembangkan setelah melihat kekurang-berhasilan dari
pendekatan top-down. Namun demikian bukan berarti pendekatan top-down ditinggalkan. Tanpa
ada arahan dari atas (pemerintah) barangkali pembangunan yang akan dilakukan menjadi bias,
karena pada umumnya pendekatan pembangunan dari bawah saja kurang bisa menjamin
perwujudan peningkatan produktivitas masyarakat (Sitompul, 2009:23). Oleh karena itu
pendekatan gabungan yang memadukan antara pendekatan bottom-up dan pendekatan top-down
merupakan suatu pendekatan yang anggap sangat realistis dan produktif (Parsons, 2008).
Sejalan dengan pandangan Parson dan Sitompul di atas, Waterson dalam Fakih (2006)
mengungkapkan bahwa pendekatan top-down terhadap pembangunan tidak berhasil dalam
memenuhi kebutuhan sosial masyarakat miskin diperdesaan dan strategi yang hanya memfokuskan
pada pada pertanian akan membuat jurang semakin lebar antara yang kaya dan miskin. Untuk itu ia
mengungkapkan bahwa dengan memadukan pendekatan top-down dan bottom-up akan
terakomodasi semua. Pemerintah mempunyai kebijakan terhadap pembangunan akan disinergikan
dengan apa yang menjadi kabutuhan masyarakat di perdesaan.
VI. Indikator Keberhasilan Pembangunan Desa
Tingkat keberhasilan pembangunan perdesaan dapat dikur dengan menggunakan beberapa
indikator baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Meskipun indikator-indokator tersebut
tidak dapat mencerminkan kondisi yang sebenarnya, namun indikator-indikator tersebut dapat
digunakan sebagai proxies dari kemajuan pembangunan desa (Arsyad et.al, 2011:87). lebih lanjut
dikatakan bahwa ada delapan indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan
pembangunan perdesaan.
158
1) Infrastruktur; terdiri dari infrastruktur fisik (transportasi, komunikasi, irigasi dan listrik), infrastruktur ekonomi (pasar, pertokoan koperasi, dan lain-lain), infrastruktur kesehatan
(jumlah paramedis, fasilitas kesehatan, jarak ke hasilitas kesehatan, sanitasi), dan infrastruktur
pendidikan (ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru dan murid jarak menuju gedung
sekolah lain-lain).
2) Pembangunan pertanian; dilihat dari porsi