21
Jogja Geoheritage Trail: “Jogja Riwayatmu Dulu….. dulu sekali” Organized by: TamasyaSaujana Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta Pulau Jawa menyimpan berbagai cerita menarik—bahkan boleh jadi “mengerikan”— di balik proses pembentukannya. Tahukah Anda berapa usia Pulau Jawa? Apakah berada dalam kisaran puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan hingga puluhan juta tahun? Bagaimana para ahli menentukan usia Pulau Jawa? “Geoheritage Trail” ini akan membawa Anda menjelajahi alur cerita pembentukan Pulau Jawa, dengan melihat bukti-bukti fisik pada tanah tempat kaki Anda menjejak, dan pada batuan yang akan Anda sentuh langsung. Perjalanan ini akan membawa Anda melintasi lorong waktu menuju 100-an juta tahun lalu, dan…bebaskan imajinasi Anda agar bisa lebih menikmati lompatan waktu ini! Setelah mengikuti Geoheritage Trail ini, Anda akan lebih bisa memahami dan menerima secara arif namun

Jogja Geoheritage Trail

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Geologycal experience

Citation preview

Jogja Geoheritage Trail:

“Jogja Riwayatmu Dulu….. dulu sekali”

Organized by:

TamasyaSaujana

Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran” Yogyakarta

Pulau Jawa menyimpan berbagai cerita menarik—bahkan boleh jadi “mengerikan”— di balik proses pembentukannya. Tahukah Anda berapa usia Pulau Jawa? Apakah berada dalam kisaran puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan hingga puluhan juta tahun? Bagaimana para ahli menentukan usia Pulau Jawa?

“Geoheritage Trail” ini akan membawa Anda menjelajahi alur cerita pembentukan Pulau Jawa, dengan melihat bukti-bukti fisik pada tanah tempat kaki Anda menjejak, dan pada batuan yang akan Anda sentuh langsung. Perjalanan ini akan membawa Anda melintasi lorong waktu menuju 100-an juta tahun lalu, dan…bebaskan imajinasi Anda agar bisa lebih menikmati lompatan waktu ini! Setelah mengikuti Geoheritage Trail ini, Anda akan lebih bisa memahami dan menerima secara arif namun tetap waspada bahwa kita hidup “berkalang” bencana…… di salah satu pulau busur gunungapi di Nusantara.

Batuan tertua yang pernah ditemukan di Pulau Jawa adalah batuan berusia ± 96 juta tahun dan dari batasan tahun itulah mulai terkuak misteri lembaran-lembaran sejarah terbentuknya Pulau Jawa. Tahukah Anda, menurut sejarahnya, dahulu Pulau Jawa adalah gabungan dari dua lempeng benua yaitu mikrokontinen Jawa Timur dan Paparan Sunda. Buktinya terlihat dari adanya batuan hasil tubrukan antara kedua lempeng benua tersebut yang kemudian tersingkap di daerah Karangsambung dan Bayat (Jawa Tengah), serta Ciletuh (Jawa Barat).

Seiring berjalannya waktu, terjadilah proses pengikisan (erosi) batuan-dasar yang tersingkap karena proses tumbukan yang terus-menerus, dan pada kala Eosen (54-36 juta tahun lalu) berlangsung lah proses sedimentasi/pengendapan pertama. Material sedimen terendapkan di cekungan-cekungan kecil maupun besar yang terbentuk sebagai akibat dari proses peregangan lempeng. Pada waktu ini umumnya terjadi proses pengendapan yang berupa pengendapan sungai, danau dan laut dangkal yang dicirikan dengan tersingkapnya konglomerat, batugamping, batupasir, serta batubara.

Proses pergerakan lempeng terus terjadi. Kejadian berikutnya adalah Pulau Jawa—

yang tadinya merupakan penyatuan antara lempeng paparan Sunda dan lempeng mikrokontinen Jawa Timur—kemudian ‘ditabrak’ dari selatan oleh lempeng Indo-Australia yang beringsut ke utara dan menunjam di zona palung di selatan Pulau Jawa yang berarah Barat-Timur. Kejadian inilah yang merupakan kejadian utama yang terjadi selama sejarah pembentukan Pulau Jawa, yaitu proses pembentukan gunungapi-gunungapi yang tersebar di bagian Selatan Pulau Jawa, yang kemudian menjadi tulang punggung Pulau Jawa (lihat Gambar-1).

Tahukah Anda, pada masa ini terjadi proses volkanisme yang sangat dahsyat, yang dibuktikan dengan ditemukannya banyak sekali singkapan batuan-batuan piroklastik (hasil erupsi gunungapi) dan batupasir vulkanik yang sangat tebal. Proses ini berlangsung selama masa Oligosen-Miosen Tengah (36-10,2 juta tahun lalu), dan produk dari proses ini disebut sebagai masa OAF (Old Andesite Formation). Masa ini bisa diibaratkan sebagai masa kejayaan gunungapi di Pulau Jawa.

Gambar-1: Dua jalur gunungapi sebagai tulang punggung Pulau Jawa

Seiring perjalanan waktu, proses keaktifan gunungapi pun berangsur turun atau bahkan menjadi tidak aktif. Kondisi Pulau Jawa pun menjadi relatif stabil, meskipun di beberapa tempat masih cukup aktif. Pada masa itu hampir seluruh Pulau Jawa tergenang laut, dengan proses biota laut yang berkembang dengan baik. Kondisi air laut yang menggenangi Pulau Jawa ini tenang, jernih, sumber makanan cukup, dan cahaya matahari yang dapat masuk ke laut cukup baik sehingga kemudian terbentuklah suatu koloni koral (kompleks terumbu) yang sangat luas dan kumpulan-kumpulan biota air berkembang biak. Hasil kejadian ini terekam dari tersingkapnya batugamping terumbu/batugamping nonklastik maupun batugamping klastik yang sangat tebal dan luas di sepanjang Selatan dan Utara Pulau Jawa. Di sisi lain, proses pengendapan delta, sungai, dan laut yang lebih dalam pun berlangsung secara bersamaan. Kejadian ini berlangsung dari 25,2 juta tahun hingga 5,2 juta tahun silam. Selanjutnya permukaan air laut berangsur turun dan diikuti oleh pengendapan-pengendapan sedimen non-marine yaitu endapan-endapan darat dan tepi laut. Selain itu, proses pembentukan gunungapi muda kembali terjadi seperti yang dapat kita lihat di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Kejadian ini masih diikuti pula dengan pengangkatan, pemiringan, erosi, serta pertumbuhan terumbu secara ekstensif yang mungkin bahkan masih berlangsung hingga saat ini.

Jadi, sejarah geologi seperti yang diceritakan di atas ini dapat dibagi menjadi beberapa periode (lihat Gambar-2):

1. Masa Awal Pembentukan Pulau Jawa2. Masa Sebelum Kejayaan Gunungapi Purba3. Masa Kejayaan Gunungapi Purba4. Masa Berakhirnya Gunungapi Purba5. Masa Gunungapi Modern

Gambar-2: Kolom sejarah geologi Yogyakarta dan sekitarnya.

Stop Site 1. Lava Bantal – Berbah, Sleman, Yogyakarta

Saat ini, kita sedang berdiri di atas peninggalan masa-masa awal Kejayaan Gunungapi Purba (volcanic arc). Situs ini bernama Lava Bantal Berbah. Ada apa dengan bantal, sehingga ia diasosiasikan dengan batuan di situs ini? Ayo, kita cermati.

Batuan ini disebut lava bantal atau pillow lava karena bentukan geometrinya yang mirip bantal. Lava bantal terbentuk akibat dari lava hasil erupsi lelehan yang berkontak langsung dengan fluida (massa air, bisa di laut atau danau). Pembekuan yang cepat karena kontak dengan massa air menyebabkan mineral-mineralnya tidak terbentuk dengan baik, dan membentuk geometri serupa bantal.

Umur lava bantal Berbah ini diperkirakan lebih tua dari 30 juta tahun. Dari perkiraan umur dan komposisi yang basaltis, diperkirakan gejala erupsi lelehan ini merupakan cikal-bakal gunungapi di Pulau Jawa yang kemudian berkembang menjadi himpunan gunungapi strato, yang erupsinya eksplosif, dan dengan komposisi umum andesitik. Jadi lava bantal Berbah ini representasi dari bentuk awal volkanisme Pulau Jawa.

Singkapan seperti ini tidak banyak dijumpai di sepanjang Pegunungan Selatan Jawa, dan lava bantal Berbah adalah yang terbaik (lihat Gambar-3). Kelangkaan ini mempertegas bahwa lava bantal ini merupakan fase awal mulai munculnya gunungapi di Jawa.

Gambar-3: Singkapan lava bantal di Kali Opak, Berbah, Sleman, Yogyakarta (Foto: C. Prasetyadi)

Stop Site 2. Endapan Abu Volkanik (endapan piroklastik) - Candi Ijo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta

Anda sekarang berdiri di situs yang merupakan singkapan terbaik batuan endapan abu gunungapi purba (lihat Gambar-4). Lokasi ini terletak di Desa Candi Ijo. Situs ini dikenal sebagai bagian dari Formasi Semilir. Nama ‘Semilir’ diberikan sesuai dengan nama lokasi tempatnya tersingkap, yakni Desa Semilir. Desa ini terletak di Kecamatan Pathuk, Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat batuan ini juga tersingkap bahkan jauh lebih tebal dan dianggap paling baik.

Gambar-4: Singkapan endapan abu volkanik purba (berumur 20-30 Juta tahun) yang mencapai ketebalan >50 m, di Desa Candi Ijo, Prambanan. Foto bawah potongan setangan endapan piroklastik yang terdiri dari abu volkanik (lapisan halus bagian atas) dan batuapung (pumice) yang berbutir lebih kasar (lapisan bagian bawah) (Foto: atas-Zaenal Fanani, bawah-Dwi Oblo).

Di hadapan Anda adalah singkapan batuan endapan debu/abu gunungapi purba, membentuk morfologi bukit. Penduduk lokal menambang bukit ini sedemikian rupa, hingga menghasilkan kupasan tebing setinggi 30 meter, menyingkap dengan segar bebatuan penyusunnya yang umumnya terdiri dari perlapisan abu gunungapi mengandung fragmen-fragmen batuapung (pumice).

Kehadiran batuapung ini membuktikan dengan sangat meyakinkan bahwa perlapisan ini merupakan hasil letusan gunungapi yang eksplosif. Batuan semacam ini banyak dijumpai mulai dari perbukitan di daerah Parangtritis sampai daerah Wonogiri, dengan ketebalan antara 300-600 meter.

Secara stratigrafi (urutan perlapisan), Formasi Semilir ini berada di atas Lava Bantal Berbah. Distribusi yang luas dan dengan ketebalan yang besar mengindikasikan bahwa Formasi Semilir ini dihasilkan dari suatu peristiwa rangkaian letusan gunungapi yang besar 20 juta tahun lalu, yang kemungkinan tidak kalah dahsyat dengan letusan Toba Volcano (70 ribu tahun lalu). Oleh karenanya formasi ini disebut sebagai hasil super eruption dari Semilir Volcano. Melalui bentangan alam yang kita lihat di situs ini, kita berhadap-hadapan dengan bukti otentik masa puncak kejayaan gunungapi purba di Pulau Jawa.

Dari lava bantal Berbah yang berada di bawah menuju ke Formasi Semilir yang berada di atasnya, berarti kita melihat bukti perkembangan suatu busur gunungapi yang pada awalnya ditandai dengan volkanisme monogenesis (hanya menghasilkan satu lelehan lava) di bawah laut, kemudian berkembang menjadi volkanisme poligenesis yang menghasilkan gunungapi strato (terdiri dari perselingan lava dan volkaniklastik), dan dipuncaki dengan peristiwa super eruption Gunungapi Semilir.

Formasi Semilir ditumpangi oleh Formasi Nglanggran, yang lebih muda, yang terdiri dari breksi andesit dan sedikit lava andesit. Hadirnya Formasi Nglanggran menunjukkan bahwa setelah terbentuk hamparan luas hasil letusan katastrofis Gunungapi Semilir, kemudian disusul dengan tumbuhnya gunungapi strato baru, yakni Gunungapi Nglanggran.

Tahan rasa penasaran Anda, karena sisa-sisa Gunungapi Nglanggran akan menjadi stop site terakhir dari perjalanan kita hari ini!

Stop Site 3. Konglomerat - Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah

Ini salah satu bagian yang paling menegangkan dari perjalanan geoheritage kita. Dari sisi lokasi, Anda akan diajak menyapa penduduk lokal terlebih dahulu, untuk menuju bagian belakang sebuah rumah. Anda mungkin bertanya, apa istimewanya lokasi ini? Di lokasi ini, Anda sedang berdiri di atas Pulau Jawa dalam Masa Sebelum Kejayaan Gunungapi Purba (non-volcanic arc).

Di lokasi ini dijumpai singkapan batuan sedimen konglomerat. Batuan ini cukup keras, berwarna coklat, terdiri dari fragmen-fragmen berbentuk membundar dari kuarsa, fragmen batuan metamorf sekis, sabak, batulempung, serta sedikit rijang. Batuan semacam ini merupakan hasil endapan sungai.

Komposisi batuan di lokasi ini mengindikasikan bahwa sumber-asalnya bukanlah material volkanik, melainkan material-material yang bersumber dari batuan asal yang lebih tua, yang tererosi menjadi butiran-butiran dan kemudian diendapkan kembali sebagai konglomerat ini (lihat Gambar-5).

Karena secara umum material pembentuknya terdiri dari batuan metamorf—yang merupakan batuan tertua—, maka konglomerat ini dianggap sebagai batuan sedimen tertua dan menunjukkan bahwa pada saat pembentukannya terjadi, belum ada kegiatan volkanisme.

Gambar-5: Singkapan batuan konglomerat (berumur 40-50 Juta tahun) yang didominasi oleh fragmen-fragmen membundar berwarna putih dari mineral kuarsa, di Desa Jiwo Kulon, Bayat (Foto: C.Prasetyadi).

Stop Site 4a. Watu Prahu - Perbukitan Jiwo Timur, Klaten, Jawa Tengah

Di lokasi ini, kami akan mengajak Anda untuk lompat lebih jauh lagi ke Masa Awal Pembentukan Pulau Jawa, dengan melihat batuan yang ada di hadapan Anda.

Di hadapan Anda adalah batuan metamorf yang disebut filit (lihat Gambar-6 atas). Ia merupakan batuan tertua di Pulau Jawa. Di dalam filit ini terdapat juga urat-urat kuarsa berwarna putih (lihat Gambar-6 bawah). Batuan metamorf semacam ini hanya tersingkap di tiga tempat di Pulau Jawa, yakni di Ciletuh (Jawa Barat), Karangsambung dan Bayat (kedua-duanya di Jawa Tengah).

Gambar-6: Singkapan batuan tertua di Tanah Jawa, berupa batuan metamorf yang disebut filit (foto atas), diperkirakan berumur >90 juta tahun. Di dalam filit ini banyak dijumpai “urat” kuarsa berwarna putih (foto bawah), tersingkap di Desa Watuprahu, Bayat Timur. Urat kuarsa ini adalah fragmen-fragmen membundar yang terdapat di batuan konglomerat yang dijumpai di stop site sebelumnya (Foto: C.Prasetyadi).

Menurut penanggalan, kandungan K-Ar batuan ini diperkirakan berumur sekitar 100-an juta tahun. Biasanya, batuan semacam ini terletak jauh di kedalaman (bisa mencapai 3.000 meter) dan umumnya mengalasi batuan-batuan sedimen di atasnya. Dengan karakter-karakter khasnya ini, batuan metamorf semacam ini disebut juga batuan-dasar (basement rock). Bukti bahwa batuan filit ini adalah yang tertua dapat dilihat dari fakta bahwa fragmen batuan metamorf ini—beserta urat kuarsanya—menjadi penyusun butiran-butiran batuan konglomerat yang dijumpai di stop site sebelumnya.

Stop Site 4b. Watu Prahu - Perbukitan Jiwo Timur, Klaten, Jawa Tengah

Di lokasi ini juga dijumpai batugamping Nummulites (lihat Gambar-7). Batugamping ini tersusun oleh kumpulan fosil binatang laut jenis foraminifera berbentuk koin. Fauna ini sudah punah dan merupakan fosil penunjuk untuk kala Eosen (sekitar 40 juta tahun lalu). Bersama-sama dengan konglomerat, batupasir kuarsa, dan batulempung, batugamping ini menumpang secara tidak selaras di atas batuan-dasar (basement rock) yang terdiri dari batuan metamorf filit seperti yang diamati di lokasi sebelumnya.

Gambar-7: Singkapan batugamping berfosil di Desa Watuprahu, Bayat Timur. Batugamping ini mengandung fosil fauna laut foraminifera Nummulites, fosil indek penunjuk umur Eosen sekitar 40-50 juta tahun (Foto: C.Prasetyadi).

Stop Site 5. Perbukitan Tancep – Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta

Setelah menjelajah daerah Klaten, kita meneruskan perjalanan menuju stop site berikutnya, yaitu Perbukitan Tancep yang berada di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Di lokasi yang terletak di atas perbukitan di Desa Tancep ini, kita bisa

melayangkan pandangan ke arah utara bentang alam dari daerah-daerah yang sudah dilalui selama geoheritage trip ini, mulai dari bentang alam Gunungapi Merapi, perbukitan Baturagung yang tersusun oleh batuan-batuan Old Andesite Formation/OAF (Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran), dan bentang alam Perbukitan Jiwo yang terdiri dari batuan-batuan tertua di Pulau Jawa (lihat Gambar-8). Lokasi ini juga merupakan titik awal perjalanan ke arah Selatan, yang merupakan daerah dengan riwayat geologi yang lebih muda, yaitu Periode Post-Old Andesite Formation. Sedangkan di arah utara merupakan daerah dengan riwayat geologi yang relatif lebih tua, mulai dari Periode Pra-Gunungapi, sampai Periode Gunungapi Purba (OAF), yang sudah anda lewati di beberapa stop site sebelumnya.

Gambar-8: Bentang alam di Desa Tancep, Kecamatan Ngawen. Memandang ke arah utara, ke arah G. Merapi yang terlihat bagian puncaknya. Di kejauhan nampak pula bentang alam perbukitan Bayat dimana batuan tertua di Jawa tersingkap. Bentang alam ini menunjukkan rentang dimensi waktu 100 juta tahun sampai masa kini (Foto: Indra Arista).

Stop Site 6. Morfologi Wonosari Platform – Desa Nglipar, Gunung Kidul, Yogyakarta

Tempat yang Anda kunjungi saat ini merupakan penampakan dari morfologi karst Formasi Wonosari, yang merupakan bukti dari zaman keemasan kehidupan laut seperti terumbu karang, algae, dan biota laut lainnya yang hidup pada masa 16,2 juta tahun silam di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jika kita ingin beranalogi, daerah Yogyakarta di masa dahulu bisa diibaratkan sama seperti The Great Barrier Reef di lautan Timur Australia di masa sekarang ini. Kemunculan secara besar-besaran kehidupan biota laut di sini menunjukkan bahwa pada masa itu kegiatan gunungapi mengalami penurunan dan bahkan tidak aktif (lihat Gambar-9).

Gambar-9: Bentang alam dataran Wonosari yang terdiri dari kompleks batugamping terumbu (foto atas), difoto dari lokasi tepi jalan raya Nglipar. Foto bawah memberi gambaran pertumbuhan kompleks terumbu (berwarna biru muda) di sekitar punggungan-punggungan bekas gunungapi (Foto: Atas-C.Prasetyadi; bawah-dari Awang Satyana).

Stop Site 7. Bioturbasi Sambipitu – Kali Ngalang, Gunung Kidul, Yogyakarta

Setelah Anda melihat sisa-sisa masa keemasan kehidupan laut di stop site sebelumnya, sekarang Anda telah tiba di Formasi Sambipitu, yang berada di dekat aliran Kali Ngalang. Dalam Formasi Sambipitu bisa ditemukan batugamping klastik, yaitu hasil dari endapan rombakan batuan gamping terumbu atau yang lainnya yang terjadi 16,2 hingga 5,2 juta tahun silam, dan masih masuk ke dalam sistem laut terbuka. Pada batuan ini Anda dapat melihat sisa-sisa aktivitas organisme laut yang hidup di dasar perairan, dengan cara hidup membuat rumah-rumah di dalam batu, yang menampakkan jejak-jejak aktivitas tersebut di batuan ini. Dalam dunia geologi hal ini dikenal dengan istilah Bioturbasi. Selain jejak-jejak aktivitas tersebut, di dalam batuan ini juga dijumpai fragmen-fragmen batuan andesit yang berasal dari formasi yang lebih tua, seperti Formasi Nglanggran yang identik dengan gunungapi strato purba. Jadi, bisa disimpulkan bahwa pada saat terjadinya pengendapan batugamping pasiran Formasi Sambipitu ini, kegiatan gunungapi Nglanggran sudah tidak aktif (lihat Gambar-10).

Gambar-10: Struktur sedimen bioturbasi pada batupasir gampingan Formasi Sambipitu. Bioturbasi adalah jejak-jejak kehidupan biota, biasanya biota yang hidup di lingkungan pasir pantai atau laut dangkal. Foto in zet, menunjukan batuan breksi lainnya dalam Formasi Sambipitu. Fragmen-fragmen andesit berasal dari Formasi Nglanggran yang lebih tua (Foto: C.Prasetyadi).

Stop Site 8. Situs Gunung Api Purba – Nglanggran, Gunung Kidul, Yogyakarta

Setelah melalui tujuh stop site, saat ini sampailah Anda di akhir petualangan menembus lorong waktu terbentuknya Pulau Jawa. Ya, saat ini Anda telah sampai di Situs Gunungapi Purba-Nglanggran yang merupakan jejak-jejak aktivitas volkanisme Pulau Jawa dari masa 36 juta tahun silam. Situs gunungapi purba Nglanggaran merupakan produk dari lontaran letusan gunungapi pada saat gunungapi mengalami erupsi (lihat Gambar-11). Dalam istilah geologi, kita mengenalnya sebagai Bomb atau Aglomerat, yang termasuk ke dalam batuan piroklastik. Jika dilihat secara geometri, material ini berukuran sangat besar dan luas, sehingga barangkali Anda bisa membayangkan betapa dahsyatnya kondisi erupsi gunungapi pada masa itu. Jika Formasi Semilir yang didominasi oleh abu volkanik dan batuapung menunjukkan kejadian gunungapi eksplosif yang bersifat katastrofis, maka Gunungapi Nglanggran dapat dianalogikan dengan gunungapi strato mirip gunungapi Anak Krakatau. Formasi Semilir mirip dengan pembentukan kaldera karena letusan dahsyat Krakatau, sedangkan Formasi Nglanggran mirip dengan gunungapi strato dari Gunungapi Anak Krakatau yang tumbuh di atas Krakatau Lama.

Gambar-11: Situs gunungapi purba Nglanggran.

EPILOG

Misi kami menyelenggarakan kegiatan Jogja Geoheritage Trail ini adalah menyebarluaskan pengetahuan berbasis pengamatan langsung di lapangan mengenai bukti-bukti ataupun fenomena riwayat geologi daerah Yogyakarta dan sekitarnyamasyarakat umum. Dengan modal pengetahuan ini, kita akan dapat menemukan cara cerdas terbaik bagaimana tinggal di wilayah rentan bencana di atas zona penunjaman lempeng yang niscaya tidak akan pernah berhenti bekerja.

GUNUNG MERAPI: “Duta tektonik Pulau Jawa masa kini”

Setelah melewati semua stop site, saatnya kita kembali ke masa sekarang. Gunung Merapi mewakili masa gunung api modern yang terbentuk sekitar 2 juta tahun lalu (pada zaman Kuarter). Gunung berapi dengan ketinggian 2.968 meter ini merupakan gunung berapi yang teraktif di Indonesia maupun di dunia. Proses pembentukan Gunung Merapi sama dengan proses gunungapi purba, yaitu hasil interaksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dan menunjam di Palung Jawa ke bawah Lempeng Asia Tenggara. Masih aktifnya Gunung Merapi dan seringnya terjadi gempabumi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa interaksi lempeng tersebut sedang berlangsung dan berlanjut terus sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.

Dari awal perjalanan kami menjelaskan kejadian masa lampau berdasarkan batuannya, tetapi umur Gunung Merapi yang masih muda menurut skala waktu geologi menyebabkan produk letusannya, yang terdiri dari abu vulkanik, lapili, blok (fragmen batuan yang ikut terlontar pada saat erupsi) dan bomb (fragmen lava panas yang ikut terlontarkan dan kemudian membeku) masih merupakan endapan lepas dan belum terkonsolidasi membentuk batuan karena belum lama atau baru saja dierupsikan. Material yang langsung dikeluarkan oleh Gunung Merapi ini ada yang mengendap di bagian lereng dan apabila terjenuhkan oleh air hujan dapat mengalir ke bawah menjadi aliran “campuran lumpur, pasir, dan bongkahan lava” dengan kekuatan aliran yang dahsyat, yang dikenal sebagai aliran Lahar Dingin (atau Lahar Hujan). Istilah “lahar” ini telah mendunia, dipakai sebagai terminologi internasional yang berasal dari Indonesia. Bukti sisa-sisa kedahsyatan aliran lahar Gunung Merapi yang terjadi pada awal 2011 dapat disaksikan hingga saat ini di sekitar jembatan Kali Putih, Muntilan, Jawa Tengah.