Journal Reading

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pulmonology

Citation preview

JOURNAL READING

Manifestasi Pulmoner dari Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID)

Oleh:

Windhy Monica

G99142071

Hera Amalia

G99142073

Pembimbing:

Ismiranti, dr., Sp.A, M.Kes.KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

ABSTRAK

Gangguan immunodefisiensi primer (PID) merujuk beragam gangguan yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau lebih komponen dari sistem kekebalan tubuh. Gangguan tersebut dapat bersifat kronis dan biasanya merupakan gangguan yang cukup penting. PID menyebabkan pasien tidak dapat merespon secara adekuat infeksi yang ada sehingga respon terhadap gangguan infeksi tidak adekuat. Lebih dari 200 gangguan IPD yang berbeda telah diidentifikasi hingga saat ini, dan dengan adanya penemuan baru yang terus-menerus didapatkan perkembangan identifikasi lainnya. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi tergantung usia penderita. Gejala respiratorik dan komplikasinya sangat mempengaruhi mortilitas dan morbiditas. Komplikasi pada saluran nafas biasanya dipertimbangkan memiliki peran lebih terhadap prognosis. Gejala respiratorik pada PID dibagi menjadi infeksi (pada saluran pernafasan atas dan bawah) dan non-infeksi (abnormalitas bronkial, bronkiektasis, atau keganasan). Diagnosis dini dan pengobatan yang sesuai dapat mencegah penyakit atau paling tidak menurunkan perkembangan komplikasi respiratorik pada PID.Pengetahuan tentang PID kini semakin berkembang dalam ilmu kedokteran modern dan imunologi. PID merujuk beragam gangguan yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau lebih komponen dari sistem kekebalan tubuh, sehingga memiliki efek terhadap perkembangan, fungsi dan morfologi sistem imun (1). Semenjak publikasi pertama pada tahun 1952 (2), lebih dari 200 gangguan IPD yang berbeda telah diidentifikasi. PID kebanyakan merupakan hasil dari cacat bawaan dalam pengembangan sistem kekebalan tubuh dan/atau fungsi. Penting untuk diketahui bahwa PID berbeda dari immunodefisiensi sekunder yang mungkin timbul dari penyebab lain, seperti infeksi virus atau bakteri, malnutrisi atau pengobatan dengan menggunakan obat yang menginduksi imunosupresi. Presentasi klinis PID sangat bervariasi, namun gangguan yang paling banyak adalah gangguan yang melibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi (3). Berdasarkan diagnosis yang diketahui dengan mendeteksi sistem kekebalan tubuh setelah timbulnya gejala klinis dan komplikasi, terdapat pergeseran algoritma yang terdiri dari tes imunologi yang berbeda disertai dengan analisis genetik dan molekuler dalam kasus tertentu (Gambar 1). Tantangan terbesar imunologi saat ini adalah untuk menetapkan diagnosis PID sebelum timbulnya gejala klinis dan memulai terapi yang tepat sesegera mungkin untuk mencegah kemungkinan komplikasi (3).

Gambar 1. Perjalanan penyakit PID dan upaya penegakkan diagnosis secara umum (4)

PID secara luas diklasifikasikan menurut komponen dari sistem kekebalan tubuh yang terutama terganggu. Berikut adalah 8 klasifikasi utama PID (5,6) :

1. defisiensi antibodi,

2. kombinasi defisiensi sel T dan sel B,

3. sindrom imunodefisiensi lainnya yang didefinisikan dengan baik,

4. cacat bawaan dari jumlah dan atau fungsi fagosit,

5. defisiensi komplemen,

6. cacat disregulasi imun,

7. gangguan autoinflamasi,

8. cacat imunitas bawaan.

Di antara klasifikasi tersebut, defisiensi antibodi merupakan gangguan yang paling banyak dijumpai. Pasien dengan PID memiliki ciri yang khas dengan berbagai gejala pernapasan. Pada anak-anak, gejala pernapasan merupakan presentasi awal bermacam-macam penyakit PID. Namun, klasifikasi PID dapat dikaitkan dengan manifestasi pernapasan yang signifikan (Tabel 1).

Tabel 1. Gangguan respirasi dan komplikasi pernapasan pada PID (7, 8).

MANIFESTASI KLINIS RESPIRASI PADA PIDA. Infeksi

a. Defisiensi antibodiDefisiensi antibodi menunjukkan gambaran klinis yang penting dan merupakan gangguan imun terbesar pada PID. Ganggguan yang paling sering adalah defisiensi IgA selektif, defisiensi IgG dan defisiensi antibodi spesifik. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah infeksi saluran pernafasan, seperti rhinosinusitis, otitis media, bronkitis, bronkiektasis, dan pneumonia (16). Infeksi pernafasan pada pasien PID biasanya berat, persisten, disebabkan oleh mikroorganisme atipikal atau oportunistik dan sering kambuh. Manifestasi klinis tersebut biasanya muncul pada 6 bulan pertama kehidupan.

Pasien dengan infeksi saluran pernafasan yang sering kambuh dengan paparan patogen atau faktor resiko yang minimal (misalnya tidak memiliki kebiasaan merokok) perlu dicurigai memiliki gangguan imunodefisiensi (17). Begitu pula dengan pasien yang mengidap delapan infeksi minor tiap tahun (selama 3 tahun atau lebih), infeksi mayor berat (pneumonia, sepsis, meningitis, enchepalitis, osteomyelitis, atau empyema) juga perlu dipertimbangkan menderita PID jenis ini (18, 19). Pneumonia yang sering kambuh merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh pasien dengan gangguan defisiensi antibodi.

b. Kombinasi defisiensi sel T dan sel BKombinasi defisiensi sel T dan sel B memberikan gambaran manifestasi klinis yang berat. Gangguan ini dapat berdampak secara langsung pada sistem imun humoral maupun imunitas yang dimediasi oleh sel T disebut severe combined immunodeficiency (SCID). Pasien dengan imunodefisiensi tipe ini memiliki predisposisi untuk terinfeksi bakteri interselular. Saluran pernapasan merupakan tempat yang paling sering terjadi infeksi. Sedangkan mikroorganisme tersering yang menyebabkannya adalah cytomgalovirus, adenovirus, parainfluenza virus tipe 3, dan respiratory syncytial virus (26). Kemungkinan penanda lain dari SCID adalah RSV kronis atau bronkiolitis persisten. Infeksi tersebut berat, prolonged, dan terdapat komplikasi (31).c. Defisiensi fagosit

Penyakit fagositik disebabkan oleh penurunan jumlah dan/atau disfungsi fagosit. Tipe PID ini cukup jarang ditemukan, pada kasus ini ditemukan adanya abses organ atau kulit, dermatitis kronis, infeksi jamur yang persisten. Penyakit paling penting dari tipe PID ini adalah penyakit granulomatosis kronik (Chronic Granulomatous Diseases/ CGD) yang disebabkan oleh ketidakmampuan fagosit untuk menghasilkan oksigen reaktif untuk mematikan mikroorganisme yang dicerna, pada tipe lain dari immunodefisiensi fagositik tampak adanya netropenia kongenital.

Pasien dengan penyakit fagisitik meningkatkan risiko dari infeksi saluran pernapasan. Patogen penting dalam CGD antara lain S. Aureus, Klebsiella, Aerobacter, Pseudomonas, Aspergillus, dan Candida. Infeksi tersebut sulit untuk diobati, lambat membaik, dan sering berulang. Aspergilosis invasif dapat memicu keadaan sakit bahkan kematian pada CGD yang mencerminkan peran kunci dari oksidase NADPH fagosit pada pertahanan host terhadap jamur oportunistik. Aspergilosis paru-paru bersama dengan munculnya kembali pneumonia bakterial tampak pada pasien dengan neutropenia kongenital berat, dan terjadi penurunan insidensi secara signifikan setelah diberi terapi granulocyte colony-stimulating factor rekombinan.

d. Defisiensi komplemen

Immunodefisiensi Komplemen merupakan tipe paling jarang dari PID. Terdapat peningkatan risiko untuk infeksi pyogenik dengan defisiensi komponen awal pada jalur klasis (C1-C4). Defisiensi komponen komplemen akhir (C5-C9) dihubungkan dengan peningkatan kecurigaan adanya Neisseria sp. Komplikasi serius dari defisiensi C3 adalah Pneumonia berulang (S. Pneumoniae), meningitis, dan peritonitis. Gambaran klinis yang spesifik dari sistep respirasi berhubungan dengan angiodema herediter, dimana terdapat manifestasi klinis angiodema berulang pada bagian tubuh yang berbeda. Angiodema yang berada di laring dapat berpotensi mengancam jiwa. Untuk menghindari kejadian fatal akibat pembengkakakn laring, terapi harus segera diberikan secepat mungkin.

B. Non-Infeksi

a. Bronkiektasis

Bronkiektasis merupakan konsekuensi yang paling sering dari infeksi kronik saluran napas bawah yang tidak terkontrol. Penyebab paling sering dari bronkiektasis adalah cystic fibrosis, PID merupakan penyebab paling penting dari bronkiektasis sekunder dan biasanya terlambat terdiagnosis pada fase yang irreversibel yang mengarah pada stadium akhir dari penyakit paru-paru. Skrining rutin sangat direkomendasikan, terutama humoral dan kombinasi immunodefisiensi sel T dan sel B. Bronkiektasis biasanya ditemukan di lobus tengah atau bawah paru-paru. Tampak mayoritas pasien hypogammaglobulinemik menderita bronkiektasis ringan. Bronkiektasis dan penebalan dinding bronkial terjadi pada 17-76% pasien defisiensi antibodi dan dapat dikenali komplikasinya.Lebih dari 73% pasien CVID berkembang menjadi komplikasi kronik struktur paru-paru. Pada bentuk yang lebih ringan dari PID humoral (seperti defisiensi IgA, defisiensi subclass IgG) insidensi brokiektasis lebih rendah dari XLA atau CVID.

Karakteristik klinik dari bronkiektasis antara lain adanya gambaran silindris, bilateral dan difus pada lobus tengah atau bawah dan sedikit frekuensi pada lobus atas. Pada pasien dengan gejala kronik sebaiknya dilakukan Chest high-resolution computed tomography (HRCT) untuk menialiprogesivitas dari penyakit. Karakteristik pada penemuan hasil HRCT pasien bronkiektasis meliputi dilatasi bronkial, penebalan dinding bronkial, dan bronkus dapat berada 2 cm dengan permukaan pleura.

Pasien dengan bronkiektasis diprediksi memiliki prognosis yang buruk, penegakan diagnois lebih awal dan teapi yang agresif dapat menghasilkan hasil yang baik. Beberapa peneliti menyebutkan bronkiektasis sekunder pada anak-anak PID tidak selalu menjadi kondisi yang progesif dan terdapat potensi untuk memperlambat dan menjegah progesivitas penyakit dengan terapi yang tepat. Bronkiektasis yang berkembang menjadi berat berhubungan erat dengan gejala klinis dan kualitas hidup yang buruk. Mayoritas pasien CVID dengan bronkiektasis memiliki defisiensi vitamin D ringan hingga berat. Defisiensi vitamin D dapat memperburuk risiko dan lamanya infeksi pernapasan pada pasien CVID. Pengobatan antibiotik yang adekuat (immunoglobulin dan antibiotik) dapat memperlambat perkembangan bronkiektasis. Penggantian immunoglobilin yang dimulai sejak dini, menurunkan kemungkinan perkembangan bronkiektasis dan kebutuhan untuk intervesi operatif yang invasif pada beberapa pasien. Beberapa peneliti melaporkan perkembangan bronkiektasis meskipun sudah dilakukan terapi IVIG, dimungkinkan disebabkan oleh inflamasi lokal yang persisten dan obstruksi mukosa.

b. Penyakit Paru Interstisial

Penyakit paru interstisial merupakan salah satu komplikasi PID yang paling penting dan masuk ke gejala late onset. Jarang terjadi padaanak-anak. Komplikasi kronik non infeksi merupakan karakteristik pasien dengan CVID dimana paru-paru dipengaruhi oleh granulomatous-lymphocytic interstitial lung diaseas (GLILD) dimana kemunculan yang berulang dapat menyebabkan kesakitan dan kematian. Patologi paru-paru pada penyakit paru interstitial meliputi pneumonia interstisial limfositik, bronkiolitis folikular, penyakit paru granunulomatosis, dan pneumonia yang teratur. Bronkiolitis folikular , pembesaran kelanjar getah bening, infiltrat limfoid reaktif dan pneumonia interstisial limfositik merupakan bentuk dari hiperplasia limfoid paru-paru. GILLD menunjukkan adanya kombinasi patologis dari granuloma dan hiperplasi limfoid.

Penyakit struktur jalan napas sebagian besar merupakan efek kumulatif dari infeksi berulang yang diikuti selanjutnya dengan sikatrik pada jaringan paru, penyakit paru interstisial biasanya dihasilkan dari disregulasi sistem imun. Pada pasien CVID, perkembangan penyakit grnulomatosis dapat diobservasi kemungkinan penyebab penyakit paru interstisial kurang lebih pada 10% kasis. Insidensi nodul pulmonal pada pasien CVID memiliki hubungan yang erat dengan splenomegali dan fenomena autoimun. Kehadiran GLILD berhubungan dengan prognosis yang buruk dan meningkatka prevalensi gangguan proliferatif limfosit. Pneumonia bakterial berulang dan suppurasi bronkial merupakan komplikasi paling sering dari CVID, pneumonitis interstisial dan limfoma pulmonal memiliki frekuensi ynag lebih renpah pada pasien tersebut.Penyakit paru interstisial muncul asimtomatik pada stadium awal, dan oleh karena itu skrining patologis paru-paru pada pasien CVID sangat dianjurkan untuk deteksi dini dan pencegahan progesivitas penyakit. Etiologi dari penyakit granulomatosis masih belum diketahui. Beberapa faktor yang mungkin meliputi perkembangan GLILD sudah dievaluasi, tetapi kemungkinan paling relevan adalah infeksi dari human herpes virus tipe 8. Virus lain seperti EBV atau CMV dimungkinkan ikut terlibat. Gambaran radiologi GLILD meliputi infiltrat interstitial difusa pada foto polos, konsolidasi, ground-glass opacities dan abnormalitas retikular pada HRCT. Pada pemeriksaan CT ditemukan jelas gambaran abnormalitas jalan napas, mikronodul pulmonal, limfadenopati thorak, penebalan septal interlobular, dan konsolidasi pulmonal multifokal. Abnormalitas fisik, radiografi, dan laboratoris yang paling seing pada pasien CVID dan penyakit granulomatosis meliputi spenomegali, limfadenopati hilar dan mediastinal dengan ground glass atau nodular opac pada parenkim paru serta penurunan jumlah dan fungsi sel T.

Abnormalitas immunologis yang paling sering berhubungan dengan penyakit paru interstisial adalah defisiensi subclass IgG. Kebanyakan pasien dengan defisiensi IgA dapat memproduksi antobodi IgG, sehingga mengurangi kemungkinan infeksi bakterial, sehingga bronkiektasis jarang ditemukan pada XLA atau CVID.

c. Tumor jalan napas

Keganasan merupakan penyebab kematian kedua setelah infeksi pada PID. Mayoritas tumor berhubungan dengan Epstein Barr Virus pada 30-60% kasus. Pada umumnya risiko berkembangnya keganasan bervariasi dari 1 sampai 25%, tetapi anak-anak dengan CVID dan sindrom Wiskott-Aldrich memiliki risiko yang lebih besar (31). Pembesaran limfonodi mediastinum terkadang dapat memicu sindrom vena cava superioe dan CVID dimasukan kedalam diagnnosis banding dari penyakit paru interstisial dan limfadenopati hilar (71).

Tumor pulmonar yang disebabkan oleh matastasis lebih sering terjadi dibandingkan keganasan pulmonal primer (7). Thymoma dapat terjadi pada kombinasi immunodefisiensi, hal ini jarang terjadi dan disebut Good syndrome (74). Limfoma pulmonar merupakan komplikasi serius yang berhubungan dengan CVID atau PID yang lain (19,75). Pasien dengan CVID mengembangkan penyakit limfoproliveratif dan risiko untuk limfoma maligna meningkat lebih dari 300 kali lipat (76).d. Komplikasi lain

Pada pasien dengan imunodefisiensi humoral, alergi respirasi atau gejala mirip alergi seperti dyspnea, rhinitis, atau asma dapat sering terlihat (29). Banyak pasien meskipun telah mendapat terapi yang sesuai masih mengeluhkan batuk produktif kronis, yang biasanya merupakan tanda adanya sinusitis kronis atau bronchitis (79). Meskipun terdapat beberapa persamaan pada gambaran klinis diskinesia silier primer dan CVID, kedua penyakit ini membutuhkan terapi yang berbeda. Terdapat laporan kasus di literatur bahwa satu pasien mengalami dua penyakit tersebut. Sehingga, pada pasien yang telah didiagnosis dengan penyakit paru kronis dengan klinis memburuk, pencarian diagnosis kedua sangat direkomendasikan (80, 81).

Beberapa kasus hipertensi pulmonal primer juga telah dideskripsikan berhubungan dengan imunodefisiensi primer (82).

Disgenesis pulmonal promer atau bahkan agenesis telah didiskusikan untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari spectrum anomaly yang berhubungan dengan simdrom velokardiofasial (83).

Baru-baru ini, sindrom imunodefisiensi baru yang disebut proteinosis alveolar pulmonal telah dideskripsikan. Kelainan ini ditandai dengan akumulasi surfaktan pulmonal, insufisiensi respirasi, dan peningkatan infeksi akibat imunodefisiensi terkait. Sindrom ini termasuk kategori penyakit fagositik dan akibat terganggunya katabolisme surfaktan di makrofag alveolar. Kelainan ini bisa didapat (akibat autoantibody melawan GM-CSF) atau congenital akibat mutasi CSF2RA. CSF2RA mengkode reseptor protein GM-CSF. Pasien tersebut mengalami peningkatan potensi infeksi dari patogen mikroba oportunistik dan peningkatan mortalitas dari infeksi yang tidak terkontrol (84). Sindrom baru lain pada dua kakak beradik 46XX dengan fatal lung fibrosis, kombinasi imunodefisiensi dan disgenesis gonad telah dideskripsikan baru-baru ini. Perbandingan hibridisasi genom dan analisis gen yang diketahui berhubungan dengan defek imun berat pada infan atau disgenesis gonad menunjukkan tidak adanya abnormalitas (85).

Keterlambatan diagnosis PID menghasilakn prognosis yang lebih buruk dan morbiditas yang sangat mungkin terjadi, khususnya pneumonia rekuren, menghasilkan kerusakan struktur paru seperti bronkiektasis, hipertensi pulmonal, dan pada akhirnya cor pulmonale (17). Penyakit paru stadium akhir yang disertai cor pulmonale dan gagal nafas telah didokumentasikan sebagai penyebab umum terjadinya morbiditas pada imunodefisiensi humoral primer (25). Bagaimanapun, penyakit paru non-infeksius dapat terjadi meskipun terapi immunoglobulin diberikan secara optimal (28). Sehingga, pasien dengan gejala respirasi kronis harus dikelola oleh tim multidisiplin, termasuk fisioterapis toraks, karena progress penyakit paru dapat terjadi meskipun terapi immunoglobulin telah diberikan (17). C. Diagnosis dan Komplikasi

Akibat kronis dari saluran respirasi (pneumonia bakterial, abses, penyakit paru fatal, dan pneumonia interstisial) pada PID, terjadinya perubahan fungsi paru secara logis dapat terjadi. Meskipun pola yang berbeda berhubungan dengan perbedaan defek imun, terdapat dasar yang overlap pada temuan radiologis (26). Pemeriksaan screening, seperti lung function test (LFT) dan HRCT thorak, dapat digunakan untuk mengevaluasi status pulmonal dari pasien PID (86).

a. Pemeriksaan Fungsi Paru pada PID

Beberapa studi mengevaluasi perubahan fungsi paru. Fungsi paru normal dapat terlihat pada 45-74% pasien. Secara umum, gangguan ventilasi dapat diobservasi pada sebagian besar pasien dengan CVID atau XLA (87). Terdapat beberapa perbedaan diantara penyakit, seperti pasien dengan CVID lebih memiliki hasil tes abnormal dibandingkan dengan pasien dengan X-linked agammaglobulinemia (88). Pola obstruksi telah dilaporkan lebih sering, meskipun penyakit pulmonal restriktif telah diketahui (17). Keterkaitan jalan nafas kecil mengarah pada abnormalitas ventilasi dan penyakit obstruksi kronis, diaman biasanya irreversible (7). Turunnya rasio karbon monoksida uptake dan pola ventilasi restriksif ditemukan pada pada pasien setelah mulai pengobatan immunoglobulin dan penulis menyimpulkan bahwa LFT dapat berfungsi sebagai alat evaluasi respon klinis terhadap terapi imunoglobulin (89). Perubahan fungsi paru-paru dapat digunakan sebagai indikator khasiat pengobatan immunoglobulin. Berdasarkan hubungan yang signifikan antara dosis IVIG dan indeks spirometri, penggunaan IVIG yang lebih tinggi direkomendasikan sebagai perlindungan penurunan fungsi paru-paru (90). Tes fungsional paru dapat digunakan untuk memantau pasien secara lebih teratur, meskipun memiliki sensitivitas buruk untuk menilai komplikasi (8).b. Teknik Pencitraan pada PIDAda peran penting dari berbagai macam teknik pencitraan yang berbeda, terutama CT scan. dalam identifikasi dan pemantauan perubahan paru dan komplikasi pada CVID atau imunodefisiensi spesifik lainnya. Salah satu alat diagnostik yang paling penting bagi deteksi, pengukuran, dan pengkarakterisasian jenis dan kerusakan paru adalah CT. HRCT adalah standar baku untuk mendeteksi bronkiektasis. Tanda awal dari bronkiektasis adalah penebalan dinding bronkus. HRCT lebih sensitif untuk mendeteksi pneumopathies (dengan penekanan khusus pada perubahan bronkial dan lesi interstitial) pada Pasien PID daripada x-ray toraks (55, 91). HRCT dan helical CT terbukti menjadi alat yang berguna untuk memantau perubahan paru-paru yang berhubungan dengan PID, terutama pada pasien simtomatik namun temuan radiografi negatif (92).Para pasien dengan PID berat harus diperiksa secara teratur gejala respiratorik dan kemungkinan komplikasinya. Secara umum, LFT direkomendasikan setiap 6-12 bulan dengan diulang X-ray toraks. Pemriksaan CT harus diulang dalam 5-10 tahun setelah presentasi awal dari PID kecuali ada indikasi tertentu atau perubahan status klinis. Jika kelainan signifikan ditemukan, CT berulang harus dilakukan setiap 3-5 tahun, tergantung pada jenis kelainan atau stabilitas klinis pasien. Jika pasien diresepkan terapi yang potensial toksik, misalnya, steroid dosis tinggi untuk GLILD, pemeriksaan CT harus dilakukan sekitar 6 bulan setelah memulai terapi. Pemeriksaan CT berikutnya tergantung pada perubahan klinis, X-ray, dan tes fungsi paru-paru, namun secara umum harus diulang setiap tahun selama 1-2 tahun diikuti oleh penurunan frekuensi pemeriksaan ketika stabilitas telah tercapai (9, 79). Pendekatan khusus harus diberikan kepada pasien yang sensitive terhadap peningkatan radiasi (defek pada DNA repair, juga bagian dari Pasien CVID). Dalam kasus ini, MRI yang bebas radiasi dapat digunakan untuk evaluasi perubahan pada paru. Dalam penelitian terbaru, CT dan Temuan MRI sebanding untuk perubahan moderat untuk derajat parah bronkial dan perubahan parenkim, tetapi konkordansi lemah antara CT dan MRI scan ditemukan untuk skor yang lebih rendah dari bronkial kelainan. Oleh karena itu, harus diakui bahwa CT memungkinkan identifikasi yang lebih baik dari saluran udara perifer perubahan. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk kualitas gambar dan keterlibatan metode ini dalam algoritma diagnostik PID (93). Sebenarnya, lowdose HRCT masih dianggap sebagai standar dan Metode paling sensitif untuk identifikasi kelainan struktural dan komplikasi paru pada CVID pada Interval follow up belum ditentukan. Pengujian setiap tahun (baik spirometri dan transfer factor) berguna dalam asesmen pasien PID, dan tidak harus terbatas pada orang-orang dengan temuan radiologi yang positif semata. Dalam sebuah penelitian dengan 58 pasien anak PID atau kanker (12 PID) menderita gejala pernapasan yang berbeda, bronkoskopi dan lavage bronchoalveolar terbukti secara klinis berguna dan membentuk tingkat diagnostik keseluruhan 94% dari pasien. Infection rate 74,2% dan agen infeksi diisolasi di 53% dari kasus. Pada pasien PID, agen yang berbeda yang terisolasi (Pseudomonas, Enterobacter, E. coli, Acinetobacter, Proteus, dan Aspergillus). P. jirovecii diidentifikasi hanya pada pasien tanpa terapi profilaksis dengan trimetoprim-sulfametoksazol. Penulis menyatakan bahwa kedua metode ini harus dianggap sebagai alat diagnostik awal pada pasien PID anak (95).KESIMPULANSistem pernapasan adalah sistem yang paling umum menjadi manifestasi klinis PID yang berbeda pada orang dewasa dan pada anak-anak. Komplikasi pernapasan infeksius dan non infeksius menentukan prognosis pasien. Untuk mengurangi morbiditas terkait dengan PID, perlu adanya kewaspadaan yang lebih besar pada komplikasi pernapasan. Pemeriksaan rutin dengan tes yang sesuai akan mengungkapkan proses patologi pernafasan pada tahap dini dan harus digunakan juga untuk pemantauan pada kelaianan yang sudah ada. Secara umum, karena peningkatan kesadaran dari PID yang semakin baik, prognosis dari pasien ini juga secara bertahap membaik.

1