1
S ISWA SD Gobang IV di Kampung Cibuluh, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sejauh ini belum pernah menghormat bendera Merah Putih. Mereka bukan membangkang karena perintah ormas seperti halnya siswa Sekolah Al Irsyad di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Di SD Gobang IV memang tidak pernah digelar upacara sebagaimana sekolah lain pada Senin atau penurunan bendera pada Sabtu. Pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus pun tidak ada upacara. Murid-murid juga tidak tahu apa itu baris-berbaris, aba-aba hadap kanan, kiri, balik kanan, dan arti bunyi peluit saat olahraga atau senam pagi. Semua kegiatan yang seharusnya bagian dari proses belajar-mengajar itu tak pernah dilakukan karena sekolah tak punya halaman. Ruangan guru pun bersih dari teknologi, tanpa komputer dan tanpa penerang listrik. “Kami pernah dikasih tape recorder untuk olahraga. Kami hanya ketawa saja. Anak-anak cukup olahraga di rumah masing-masing bersama orangtua. Kalau rapat dengan wali murid, kami bicara setengah teriak. Volume suara dikencangkan,” tutur Sunarya, salah seorang guru SD Gobang IV, Jumat (14/10) pagi. Proses belajar-mengajar sekitar 300 siswa sangat memprihatinkan. Seragam berbagai warna. Evi, Ika, Asep, dan serta beberapa siswa lain tidak memakai seragam yang seharusnya wajib setiap Jumat dan Sabtu. Siswa ke sekolah dengan baju sekenanya. Ada yang cokelat- putih, cokelat-merah, putih- merah, kaus-celana, kaus-rok, bunga-bunga, atau motif kotak. Lusuh dan kotor pula. Evi memang mengenakan baju pramuka, tapi hanya atasnya, sementara roknya merah. Dia juga tidak mengenakan sepatu. Alasannya, hanya punya sepasang sepatu dan basah oleh hujan sehari sebelumnya. Ada siswa bersepatu lengkap dengan kaus kaki. Ada yang bersepatu tanpa kaus kaki. Ada pula mengenakan sandal jepit serta ceker ayam. Satu lagi yang membuat sekolah ini berbeda, kalau siswa ingin pulang, mereka akan pulang saja tanpa menunggu bel terakhir. Guru-guru di sekolah tersebut mengaku sudah kehabisan akal. Selain karena banyak keterbatasan, faktor kultur juga cukup memengaruhi. ”Susah di sini. Kami bingung mau bagaimana lagi. Guru-guru tidak pakai seragam PNS karena anak-anak takut. Mereka bilang takut disuntik,” ulas Sunarya. Di sekolah tersebut anak didik punya kebiasaan pulang pada jam istirahat. Ada yang kembali lagi, ada pula yang tidak. Ada yang kembali masuk kelas dengan membawa serta adiknya. ”Katanya disuruh ngasuh adik sama umi (ibu). Yang tidak kembali itu alasannya macam-macam. Ada yang memang malas, tapi ada juga yang memang disuruh orangtua bantu-bantu. Di sawahlah, ke sana, ke situlah.” Beberapa siswa teramat sering meliburkan diri selama beberapa hari. Alasan mereka bantu orangtua panen padi, panen cengkih, atau jadi kuli panen cengkih. Guru mendatangi orangtua agar membebaskan anak mereka saat jam sekolah. Namun, itu hanya diiakan, tapi tidak dilaksanakan. Dalam satu kelas, usia anak-anak SD Gobang IV cukup variatif. Beberapa murid usia sembilan tahun masih kelas satu. Yang usia 12 tahun dimasukkan kelas tiga, tetapi malah mundur karena malu enggak bisa baca-tulis. (Dede Susianti/J-1) JUMAT, 21 OKTOBER 2011 22 F OKUS Bangunan Bangunan Sekolahku Sekolahku Menakutkan Tembok ruangan bersih dari gambar maupun atlas, kecuali papan tulis dan foto Jusuf Kalla yang masih terpampang sebagai wakil presiden. DEDE SUSIANTI B EBERAPA anak, pria dan perempuan, ber- main tok bal . Mereka mematahkan kayu atau batang seketemunya lalu ditempatkan di atas batu. Setelah menentukan siapa bermain lebih dahulu lewat suit, pemain memukul ujung kayu tanpa ukuran pasti itu dengan kayu lainnya. Pemenang ditentukan de- ngan seberapa jauh kayu lem- paran berada. Tidak jarang, kayu itu mengenai pemain atau anak-anak yang menonton. Permainan yang cukup berba- haya. Begitulah siswa SD Gobang IV Desa Gobang, Keca- matan Rumpin, Kabupaten Bogor, mengisi waktu istirahat karena ketiadaan fasilitas dan ketiadaan halaman. Mereka pergi ke pinggiran sawah dan mengisi waktu dengan apa saja. Puluhan anak yang bernyali bermain ayunan di batang po- hon rambutan dekat area seko- lah. Dalam sekali bermain lebih 10 orang berayunan di batang pohon yang menjuntai di atas parit sawah. Sementara di da- han atau di atas batang pohon anak-anak lain duduk manis menonton. Anak-anak yang terjatuh akan disoraki teman-temannya. Sudah sakit malah ditambah. Tapi itulah anak-anak, seperti singa yang terluka, mereka bangkit lagi dan kembali ber- ayun-ayun mengadu daya tahan dengan siswa lain. SD Gobang IV berada terpen- cil di antara persawahan dan kebun-kebun liar di perbukitan. Kondisi sekolah layak diguna- kan sebagai lokasi syuting lm horor. Betapa tidak, bangunan sekolah tidak berbentuk. Nyaris ambruk. Terlihat dari luar, dinding penuh coretan dan kotor, warna kayu jendela serta daun pintu memudar dan keropos, tapi ruangan masih utuh. Kaca jen- dela retak-retak, ruangan pe- ngap, berdebu, dengan lantai tanah merah. Barang paling berharga di ruangan tersebut berupa be- berapa pasang kursi dan meja yang sudah rusak. Di situlah 30 siswa kelas 1 duduk de- ngan pemandangan peta du- nia besar yang tergantung miring. Yang lebih mengkhawatir- kan, kondisi ruangan sebelah yang digunakan siswa kelas dua. Sebagian atap dari asbes lapuk dan sudah terbang. Pintu kayu tidak bisa dikunci, lantai tanah merah, beberapa jendela tanpa kaca. Bahkan bagian be- lakang sudah terbuka alias tanpa tembok. SD Gobang IV memiliki tiga lokal bangunan dengan posisi satu sama lain tidak sejajar. Lokal pertama terdiri dari tiga ruang belajar yang kondisinya kurang terawat. Kemudian di ketinggian sekitar 2 meter dari bangunan itu, ada satu bangunan secara kasatmata terlihat baru yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruang guru dan satu ruang belajar. Menurut guru di sana, bangunan itu dibangun tahun lalu. Tapi karena kon- struksi dan pengerjaannya asal-asalan, bangunan pun ce- pat reyot. Tembok ruangan bersih dari gambar maupun atlas, kecuali papan tulis dan foto Jusuf Kalla yang masih terpampang sebagai wakil presiden. ”Semuanya terbatas. Serba tidak ada. Guru pun borongan. Satu kelas mengajar semua mata pelajaran. Terkadang ka- lau guru satu sedang ada ha- langan, satu guru itu mengajar semua mata pelajaran di dua kelas,” jelas Sunarya, salah se- orang guru. Ambruk Kondisi gedung SD Gobang IV memang membuat miris. Tapi kalau dibandingkan de- ngan SDN Leuwihalang di Desa Cibodas, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, masih tergolong bagus. “Untung saja Pak Kepala Sekolah cepat ambil tindakan. Jika tidak, banyak yang men- jadi korban,” terang Jaenudin, staf SDN Leuwihalang, tentang peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Beberapa hari setelah kepala sekolah memutuskan pindah gedung belajar ke SMP PGRI Rumpin, tiga ruang kelas roboh. Satu orang menjadi korban dalam peristiwa itu. Tapi siswa kelas tiga berjumlah 62, kelas empat 40 siswa, serta kelas lima sebanyak 60 murid, selamat. Pertanda bangunan itu akan ambruk terlihat sekitar enam bulan lalu. Pada saat itu kuda- kuda penahan dudukan gen- teng sering mengeluarkan suara karena bergoyang. Sekitar Agustus 2011, para siswa di- ungsikan. Bulan lalu, bangunan ambruk. Bangunan SDN Leuwiha- lang, yang merupakan sekolah inti, ambruk sebelum waktu- nya. Menurut Jaenudin, ba- ngunan itu sudah dua kali direhabilitasi dalam 12 tahun terakhir. Perbaikan terakhir pada 2004. “Seharusnya belum waktu- nya rusak, apalagi ambruk,” kata Jaenudin. Penyebab ambruknya ba- ngunan diduga karena mutu bahan bangunan buruk, penger- jaan asal-asalan, dan tanpa polesan antirayap. Akibat ru- ang kelas mereka ambruk, para siswa menumpang sampai Di- nas Pendidikan Kabupaten Bogor membangunkannya kembali. Sebelum SDN Leuwihalang, bangunan SDN Bojong di Ke- Siswa Meliburkan Diri saat Panen Cengkih TEMA: Gengsi Manchester di Puncak Klasemen OLAHRAGA SABTU (22/10/2011) FOKUS SEDERHANA: Anak-anak berangkat dan pulang untuk bersekolah di Sekolah Dasar Gobang IV, Bogor, ada yang menggunakan sandal bahkan tanpa alas kaki. KONDISI SEKOLAH MEMPRIHATINKAN: Bangunan Sekolah Dasar Gobang IV, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sangat camatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, juga mendahului am- bruk. Padahal bangunan itu baru selesai diperbaiki. Semua bahan bangunannya juga baru. Ambruknya bangunan diduga karena kesalahan kon- traktor. Banyak gedung sekolah di Kabupaten Bogor yang sudah renta dan sewaktu-waktu am- bruk. Berulang kali pihak seko- lah mengajukan proposal per- baikan. “Kami sampai bosan. Disdik Kabupaten Bogor me- minta bersabar padahal sudah mengancam jiwa,” kata seorang kepala sekolah. Para guru SDN Megamen- dung III di Kampung Sirna- galih RT 3/2 Desa Megamen- dung, Kabupaten Bogor, saat ini juga berharap-harap cemas melihat kondisi sekolah mereka yang sudah rusak parah sejak 2007 tapi hingga saat ini belum diperbaiki. ”Kami takut karena ba- ngunan membahayakan. Bagian atapnya kami turunkan. Kegiatan belajar mengajar tetap di halaman,” kata Sri Ratna, salah seorang guru. Terkait dengan ambruknya sekolah, Humas Disdik Kabu- paten Bogor Rony Kusmaya mengatakan pemborong mem- punyai kewajiban pemeliharaan selama enam bulan. Berdasar- kan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, penyedia jasa harus melak- sanakan rehabilitasi sampai 10 tahun. “Apabila ada sekolah yang direhab ambruk bukan karena musibah dan dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, kontraktor tersebut akan di- blacklist pada tahun berikut- nya,” jelas Rony. Ia menambah- kan, pihaknya mengerahkan konsultan perencana, konsul- tan pengawas, dan tim monitor- ing untuk menjamin kualitas bangunan. (J-1) [email protected]

JUMAT, 21 OKTOBER 2011 Bangunan Sekolahku Menakutkan filebaju pramuka, tapi hanya atasnya, sementara roknya merah. Dia juga tidak mengenakan sepatu. ... Dalam satu kelas, usia anak-anak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JUMAT, 21 OKTOBER 2011 Bangunan Sekolahku Menakutkan filebaju pramuka, tapi hanya atasnya, sementara roknya merah. Dia juga tidak mengenakan sepatu. ... Dalam satu kelas, usia anak-anak

SISWA SD Gobang IV di Kampung Cibuluh, Desa Gobang, Kecamatan

Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sejauh ini belum pernah menghormat bendera Merah Putih. Mereka bukan membangkang karena perintah ormas seperti halnya siswa Sekolah Al Irsyad di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Di SD Gobang IV memang tidak pernah digelar upacara sebagaimana sekolah lain pada Senin atau penurunan bendera pada Sabtu. Pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus pun tidak ada upacara.

Murid-murid juga tidak tahu apa itu baris-berbaris, aba-aba hadap kanan, kiri, balik kanan, dan arti bunyi peluit saat olahraga atau senam pagi. Semua kegiatan yang seharusnya bagian dari proses belajar-mengajar itu tak pernah dilakukan karena sekolah tak punya halaman.

Ruangan guru pun bersih dari teknologi, tanpa

komputer dan tanpa penerang listrik. “Kami pernah dikasih tape recorder untuk olahraga. Kami hanya ketawa saja. Anak-anak cukup olahraga di rumah masing-masing bersama orangtua. Kalau rapat dengan wali murid,

kami bicara setengah teriak. Volume suara dikencangkan,” tutur Sunarya, salah seorang guru SD Gobang IV, Jumat (14/10) pagi.

Proses belajar-mengajar sekitar 300 siswa sangat memprihatinkan. Seragam

berbagai warna. Evi, Ika, Asep, dan serta beberapa siswa lain tidak memakai seragam yang seharusnya wajib setiap Jumat dan Sabtu.

Siswa ke sekolah dengan baju sekenanya. Ada yang cokelat-putih, cokelat-merah, putih-

merah, kaus-celana, kaus-rok, bunga-bunga, atau motif kotak. Lusuh dan kotor pula.

Evi memang mengenakan baju pramuka, tapi hanya atasnya, sementara roknya merah. Dia juga tidak mengenakan sepatu. Alasannya, hanya punya sepasang sepatu dan basah oleh hujan sehari sebelumnya.

Ada siswa bersepatu lengkap dengan kaus kaki. Ada yang bersepatu tanpa kaus kaki. Ada pula mengenakan sandal jepit serta ceker ayam. Satu lagi yang membuat sekolah ini berbeda, kalau siswa ingin pulang, mereka akan pulang saja tanpa menunggu bel terakhir.

Guru-guru di sekolah tersebut mengaku sudah kehabisan akal. Selain karena banyak keterbatasan, faktor kultur juga cukup memengaruhi. ”Susah di sini. Kami bingung mau bagaimana lagi. Guru-guru tidak pakai seragam PNS karena anak-anak takut. Mereka bilang takut disuntik,” ulas Sunarya.

Di sekolah tersebut anak

didik punya kebiasaan pulang pada jam istirahat. Ada yang kembali lagi, ada pula yang tidak. Ada yang kembali masuk kelas dengan membawa serta adiknya.

”Katanya disuruh ngasuh adik sama umi (ibu). Yang tidak kembali itu alasannya macam-macam. Ada yang memang malas, tapi ada juga yang memang disuruh orangtua bantu-bantu. Di sawahlah, ke sana, ke situlah.”

Beberapa siswa teramat sering meliburkan diri selama beberapa hari. Alasan mereka bantu orangtua panen padi, panen cengkih, atau jadi kuli panen cengkih. Guru mendatangi orangtua agar membebaskan anak mereka saat jam sekolah. Namun, itu hanya diiakan, tapi tidak dilaksanakan.

Dalam satu kelas, usia anak-anak SD Gobang IV cukup variatif. Beberapa murid usia sembilan tahun masih kelas satu. Yang usia 12 tahun dimasukkan kelas tiga, tetapi malah mundur karena malu enggak bisa baca-tulis.(Dede Susianti/J-1)

JUMAT, 21 OKTOBER 201122 FOKUS BangunanBangunanSekolahkuSekolahku

MenakutkanTembok ruangan bersih dari gambar maupun atlas,

kecuali papan tulis dan foto Jusuf Kalla yang masih terpampang sebagai wakil presiden.

DEDE SUSIANTI

BEBERAPA anak, pria dan perempuan, ber-main tok bal. Mereka mematahkan kayu

atau batang seketemunya lalu ditempatkan di atas batu.

Setelah menentukan siapa bermain lebih dahulu lewat suit, pemain memukul ujung kayu tanpa ukuran pasti itu dengan kayu lainnya.

Pemenang ditentukan de-ngan seberapa jauh kayu lem-paran berada. Tidak jarang, kayu itu mengenai pemain atau anak-anak yang menonton. Permainan yang cukup berba-haya. Begitulah siswa SD Gobang IV Desa Gobang, Keca-matan Rumpin, Kabupaten Bogor, mengisi waktu istirahat karena ketiadaan fasilitas dan ketiadaan halaman. Mereka pergi ke pinggiran sawah dan mengisi waktu dengan apa saja.

Puluhan anak yang bernyali bermain ayunan di batang po-hon rambutan dekat area seko-lah. Dalam sekali bermain lebih 10 orang berayunan di batang pohon yang menjuntai di atas parit sawah. Sementara di da-han atau di atas batang pohon anak-anak lain duduk manis menonton.

Anak-anak yang terjatuh akan disoraki teman-temannya. Sudah sakit malah ditambah. Tapi itulah anak-anak, seperti singa yang terluka, mereka bangkit lagi dan kembali ber-ayun-ayun mengadu daya tahan dengan siswa lain.

SD Gobang IV berada terpen-cil di antara persawahan dan kebun-kebun liar di perbukitan. Kondisi sekolah layak diguna-kan sebagai lokasi syuting fi lm horor. Betapa tidak, bangunan sekolah tidak berbentuk. Nyaris ambruk.

Terlihat dari luar, dinding penuh coretan dan kotor, warna

kayu jendela serta daun pintu memudar dan keropos, tapi ruangan masih utuh. Kaca jen-dela retak-retak, ruangan pe-ngap, berdebu, dengan lantai tanah merah.

Barang paling berharga di ruangan tersebut berupa be-berapa pasang kursi dan meja yang sudah rusak. Di situlah 30 siswa kelas 1 duduk de-ngan pemandangan peta du-nia besar yang tergantung miring.

Yang lebih mengkhawatir-kan, kondisi ruangan sebelah yang digunakan siswa kelas dua. Sebagian atap dari asbes lapuk dan sudah terbang. Pintu kayu tidak bisa dikunci, lantai tanah merah, beberapa jendela tanpa kaca. Bahkan bagian be-lakang sudah terbuka alias tanpa tembok.

SD Gobang IV memiliki tiga lokal bangunan dengan posisi satu sama lain tidak sejajar. Lokal pertama terdiri dari tiga ruang belajar yang kondisinya kurang terawat.

Kemudian di ketinggian sekitar 2 meter dari bangunan itu, ada satu bangunan secara kasatmata terlihat baru yang terdiri dari dua ruangan.

Satu ruang guru dan satu ruang belajar. Menurut guru di sana, bangunan itu dibangun tahun lalu. Tapi karena kon-struksi dan pengerjaannya asal-asalan, bangunan pun ce-pat reyot.

Tembok ruangan bersih dari gambar maupun atlas, kecuali papan tulis dan foto Jusuf Kalla yang masih terpampang sebagai wakil presiden.

”Semuanya terbatas. Serba tidak ada. Guru pun borongan. Satu kelas mengajar semua mata pelajaran. Terkadang ka-lau guru satu sedang ada ha-langan, satu guru itu mengajar semua mata pelajaran di dua kelas,” jelas Sunarya, salah se-orang guru.

Ambruk Kondisi gedung SD Gobang

IV memang membuat miris. Tapi kalau dibandingkan de-ngan SDN Leuwihalang di Desa Cibodas, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, masih tergolong bagus.

“Untung saja Pak Kepala Sekolah cepat ambil tindakan. Jika tidak, banyak yang men-jadi korban,” terang Jaenudin, staf SDN Leuwihalang, tentang peristiwa yang baru-baru ini terjadi.

Beberapa hari setelah kepala sekolah memutuskan pindah gedung belajar ke SMP PGRI Rumpin, tiga ruang kelas roboh. Satu orang menjadi korban dalam peristiwa itu. Tapi siswa kelas tiga berjumlah 62, kelas empat 40 siswa, serta kelas lima sebanyak 60 murid, selamat.

Pertanda bangunan itu akan ambruk terlihat sekitar enam bulan lalu. Pada saat itu kuda-kuda penahan dudukan gen-teng sering mengeluarkan suara karena bergoyang. Sekitar Agustus 2011, para siswa di-ungsikan. Bulan lalu, bangunan ambruk.

Bangunan SDN Leuwiha-lang, yang merupakan sekolah inti, ambruk sebelum waktu-nya. Menurut Jaenudin, ba-ngunan itu sudah dua kali direhabilitasi dalam 12 tahun terakhir. Perbaikan terakhir pada 2004.

“Seharusnya belum waktu-nya rusak, apalagi ambruk,” kata Jaenudin.

Penyebab ambruknya ba-ngunan diduga karena mutu bahan bangunan buruk, penger-jaan asal-asalan, dan tanpa polesan antirayap. Akibat ru-ang kelas mereka ambruk, para siswa menumpang sampai Di-nas Pendidikan Kabupaten Bogor membangunkannya kembali.

Sebelum SDN Leuwihalang, bangunan SDN Bojong di Ke-

Siswa Meliburkan Diri saat Panen Cengkih

TEMA:Gengsi

Manchester di Puncak Klasemen

OLAHRAGASABTU (22/10/2011)

FOKUS

SEDERHANA: Anak-anak berangkat dan pulang untuk bersekolah di Sekolah Dasar Gobang IV, Bogor, ada yang menggunakan sandal bahkan tanpa alas kaki.

KONDISI SEKOLAH MEMPRIHATINKAN: Bangunan Sekolah Dasar Gobang IV, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sangat

camatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, juga mendahului am-bruk. Padahal bangunan itu baru selesai diperbaiki. Semua bahan bangunannya juga baru. Ambruknya bangunan diduga karena kesalahan kon-traktor.

Banyak gedung sekolah di Kabupaten Bogor yang sudah renta dan sewaktu-waktu am-bruk. Berulang kali pihak seko-lah mengajukan proposal per-baikan. “Kami sampai bosan. Disdik Kabupaten Bogor me-minta bersabar padahal sudah mengancam jiwa,” kata seorang kepala sekolah.

Para guru SDN Megamen-dung III di Kampung Sirna-galih RT 3/2 Desa Megamen-dung, Kabupaten Bogor, saat ini juga berharap-harap cemas melihat kondisi sekolah mereka yang sudah rusak parah sejak 2007 tapi hingga saat ini belum diperbaiki.

”Kami takut karena ba-ngunan membahayakan .

Bagian atapnya kami turunkan. Kegiatan belajar mengajar tetap di halaman,” kata Sri Ratna, salah seorang guru.

Terkait dengan ambruknya sekolah, Humas Disdik Kabu-paten Bogor Rony Kusmaya mengatakan pemborong mem-punyai kewajiban pemeliharaan selama enam bulan. Berdasar-kan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, penyedia jasa harus melak-sanakan rehabilitasi sampai 10 tahun.

“Apabila ada sekolah yang direhab ambruk bukan karena musibah dan dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, kontraktor tersebut akan di-blacklist pada tahun berikut-nya,” jelas Rony. Ia menambah-kan, pihaknya mengerahkan konsultan perencana, konsul-tan pengawas, dan tim monitor-ing untuk menjamin kualitas bangunan. (J-1)

[email protected]