33
JOURNAL READING ASCITES Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RST Bhakti Wira Tamtama Semarang Disusun oleh : Afifatul Hakimah 01.209.5822 Pembimbing : dr. Nurul Aisyah, Sp. Pd.

Jurnal Ascites Dr.nurul

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Ascites Dr.nurul

JOURNAL READING

ASCITES

Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu

Penyakit Dalam di RST Bhakti Wira Tamtama Semarang

Disusun oleh :

Afifatul Hakimah

01.209.5822

Pembimbing :

dr. Nurul Aisyah, Sp. Pd.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2014

Page 2: Jurnal Ascites Dr.nurul

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Afifatul Hakimah

NIM : 01.209.5822

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Judul : Ascites

Semarang, Juli 2014

Mengetahui dan Menyetujui

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RST Bhakti Wira Tamtama Semarang

Pembimbing

dr. Nurul Aisyah., Sp. Pd

Page 3: Jurnal Ascites Dr.nurul

ASCITES

Definisi

Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam rongga perut. Kata "ascites" itu

berasal dari kata Yunani "askos," berarti yang tas atau karung.

Etiologi

Liver Disease:

Cirrhosis

Fulminant Hepatic Failure

Fatty liver of pregnancy

Neoplasms:

Hepatoma

Liver, peritoneal or lymphatic metastases

Lymphoma with Lymph Obstruction

Pseudomyxoma peritonei

Meig’s Syndrome (Ovarian Fibroid)

Heart Failure:

Cor pulmonalé heart disease & COPD

ASHD or VHD with biventricular CHF

Constrictive Pericarditis

Infections:

Tuberculosis

Spontaneous Bacterial Peritonitis

Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia)

HIV

Venous occlusion:

Supradiaphragmatic IVC Occlusion

Budd-Chiari Syndrome

80-85%

10%

3%

1%

<1%

Page 4: Jurnal Ascites Dr.nurul

Veno-occlusive disease \\

Dialysis Related

Nephrotic Syndrome

Inflammatory:

Pancreatitis

Bile Peritonitis

Chronic lymphatic inflammation/fibrosis

Connective Tissue Disease

Trauma:

Ruptured Viscus

Trauma to the abdominal cysterna chyli

Nutritional:

Marasmus

Kwashiokor

Endocrine:

Myxedema

Endometriosis

<1%

<1%

<1%

<1%

Klasifikasi Ascites:

Menurut EASL 2010:

1. Uncomplicated ascites

Kira-kira 75% pasien ascites di Eropa Barat atau AS mengalami sirosis sebagai

penyebabnya. Pada pasien lain, ascites disebabkan oleh keganasan, gagal jantung,

tuberculosis, penyakit pancreas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.

Sehingga evaluasi inisial pada pasien dengan ascites meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik, USG abdominal, pemeriksaan laboratorium fungsi hepar,

fungsi renal, elektrolit serum dan urine, kemudian analisis cairan ascites.

Tabel grading ascites dan terapi yang sesuai

Page 5: Jurnal Ascites Dr.nurul

Grade

ascites

Definisi Terapi

1 Ascites ringan, hanya terdeteksi

dengan USG

Tidak ada terapi

2 Ascites moderat diketahui

dengan adanya distensi abdomen

simetris

Restriksi intake natrium dan

diuretik

3 Ascites besar atau gross dengan

distensi abdomen terbatas

Paracentesis volume besar

dengan restriksi ntake natrium

dan diuretik (kecuali pada

pasien refractory ascites)

2. Refractory ascites

Berdasarkan kriteria the International Ascites Club, refractory ascites

didefinisikan sebagai “ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali

secara dini dimana (contoh: setelah LVP) tidak dapat dicegah secara memuaskan

dengan terapi medis.” Sekali ascites tidak mempan terhadap pengobatan, rata-rata

ketahanan pasien kira-kira 6 bulan. Konsekuensinya, pasien dengan ascites

refrakter harus dipertimbangkan transplantasi hepar.

Tabel Definisi dan kriteria diagnostik untuk ascites refrakter pada sirosis

Ascites resisten diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul

kembali secara dini yang tidak dapat dicegah

karena kekurangan respon terhadap restriksi

natrium dan terapi diuretic

Ascites sulit diatasi diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul

kembali secara dini yang tidak dapat dicegah

karena perkembangan komplikasi akibat diuretic

yang mengganggu penggunaan dosis efektif

diuretic

Syarat

Page 6: Jurnal Ascites Dr.nurul

1. Durasi terapi Pasien harus mendapatkan terapi diuretic intensif

(spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160

mg/hari) setidaknya 1 minggu dan pada diet rendah

garam kurang dari 90 mmol/hari

2. Kurangnya respon Penurunan berat badan rata-rata <0.8 kg lebih dari

4 hari dan natrium urine kurang dari intake

3. Rekurensi ascites

dini

Kemunculan kembali ascites grade 2 atau 3 antara

4 minggu pertama mobilisasi

4. Komplikasi akibat

diuretic

Hepatic ensefalopati akibat diuretic adalah

timbulnya ensefalopati tanpa factor presipitasi lain

Kerusakan renal akibat diuretic adalah peningkatan

kreatinin serum >100% hingga nilai >2 mg/dL

(177μmol/L) pada pasien ascites yang respon

terhadap terapi

Hiponatremia akibat diuretic didefinisikan sebagai

penurunan serum natrium >10 mmol/L hingga

natrium serum <125 mmol/L

Hipo atau hiperkalemia akibat diuretic

didefinisikan sebagai perubahan kalium serum

<3mmol/L atau >6mmol/L menggunakan

pengukuran yang tepat

3. Spontaneous bacterial peritonitis

SBP merupakan infeksi bakteri yang paling umum pada pasien dengan sirosis dan

asites. Saat pertama kali dideskripsikan, angka mortalitasnya lebih dari 90% tapi

turun hingga sekitar 20% dengan diagnosis dan terapi dini. Diagnosis SBP

berdasarkan diagnosis paracentesis. Semua pasien dengan sirosis dan ascites

beresiko SBP dan prevalensi SBP pada pasien rawat jalan adalah 1.5-3.5% dan

sekitar 10% pada pasien rawat.

Page 7: Jurnal Ascites Dr.nurul

4. Hiponatremia

Hiponatremia umum pada pasin dengan sirosis dekompensata dan

berkaitan dengan ketidakseimbangan solution air bebas sekunder terhadap

hipersekresi vasopressin non-osmotik (anti diuretic hormone), yang

mengakibatkan ketidakproporsionalan retensi air relative terhadap retensi natrium.

Hiponatremia pada sirosis secara sepihak didefinisikan ketika konsentrasi natrium

serum menurun hingga di bawah 130 mmol/L, namun reduksi di bawah 135

mmol/L juga dikatakan sebagai hiponatremia, tergantung panduan hiponatremia

pada populasi umum pasien yang ada.

Pasien dengan sirosis dapat mengembangkan 2 tipe hiponatremia:

hipovolemik dan hipervolemik. Hipervolemik hiponatremia adalah yang paling

umum dan dikarakteristikkan dengan rendahnya level natrium serum dengan

ekspansi volume cairan ekstraseluler, dengan ascites dan edema. Kondisi ini dapat

muncul secara spontan atau sebagai konsekuensi kelebihan cairan hipotonik

(contoh: dextrose 5% ) atau komplikasi sekunder sirosis, sebagian akibat infeksi

bakteri. Hipovolemik hiponatremia jarang terjadi dan dikarakteristikkan dengan

rendahnya level natrium serum dan tidak adanya ascites dan edema, dan paling

sering terjadi sekunder dari terapi diuretic berlebih.

Konsentrasi natrium serum adalah penanda penting prognosis sirosis dan

adanya hiponatremia dikaitkan dengan ketidakmampuan bertahan hidup. Lebih

jauh lagi, hiponatremia juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, sebagian

komplikasi neurologis, dan penurunan kemungkinan hidup setelah transplantasi,

meskipun hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian dengan harapan hidup.

5. Hepatorenal syndrome

Hepatorenal syndrome (HRS) didefinisikan sebagai kemunculan gagal

ginjal pada pasien dengan penyakit hepar berat dengan tidak adanya penyebab

gagal ginjal yang dapat diidentifikasi. Diagnosis ditegakkan dengan

menyingkirkan penyebab gagal ginjal lain.

Page 8: Jurnal Ascites Dr.nurul

Pada kondisi ini, vasodilatasi terutama terjadi pada arteri splanchnicus, sehingga

cardiac output pasien HRS dapat rendah atau normal (sedikit meningkat), namun

tidak mencukupi kebutuhan pasien, dimana pemicu paling penting perkembangan

HRS tipe 1 adalah infeksi bakteri, dan fungsi renal dapat ditingkatkan dengan

terapi obat.

Table criteria diagnosis hepatorenal syndrome pada sirosis

Sirosis dengan ascites

Serum kreatinin >1.5 mg/dL (133μmol/L)

Tidak ada shock

Tidak ada hipovolemia yang didefinisikan dengan tidak adanya perkembangan

berkelanjutan fungsi renal (penurunan kreatinin hingga <133μmol/L) diikuti

setidaknya 2 hari withdrawal diuretic (jika menggunakan diuretic), dan ekspansi

volume dengan albumin 1 g/kg/hari hingga maksimum 100g/hari

Tidak ada terapi dengan obat nephrotoxic

Tidak ada penyakit parenkim ginjal yang didefinisikan dengan proteinuria <0.5

g/hari, tidak mikrohematuria (<50 sel darah merah/ LPB), dan USG ginjal normal

Tabel Penyebab Ascites

Penyebab %

Penyakit Hepar:

Sirosis

Gagal hepar fulminan

Perlemakan hati pada kehamilan

80-85%

Neoplasma:

Hepatoma

Metastase ke hepar, peritoneal atau limfatik

Limfoma dengan obstruksi limfe

Pseudomyxoma peritonei

10%

Page 9: Jurnal Ascites Dr.nurul

Meig’s syndrome (fibroid ovarium)

Gagal jantung:

Cor pulmonale & PPOK

ASHD atau VHD dengan biventricular CHF

Perikarditis konstriktif

3%

Infeksi:

Tuberkulosis

Peritonitis bakterialis spontan

PID (Chlamydia)

HIV

<1%

Oklusi vena:

Oklusi Supradiafragmatika IVC

Sindroma Budd-Chiari

Veno-occlusive disease 2o to toxin (seneciosis)

<1%

Renal:

Kaitan dengan dialysis

Sindroma nefrotik

<1%

Inflamasi:

Pancreatitis

Peritonitis bilier

Inflamasi limfatik kronik/fibrosis

Penyakit jaringan ikat

<1%

Trauma:

Viscus yang rupture

Trauma abdomen sisterna chili

<1%

Nutrisi:

Marasmus

Kwashiorkor

<1%

Endokrin:

Myxedema

Endometriosis

<1%

Page 10: Jurnal Ascites Dr.nurul

Patofisiologi

Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling,

overflow, dan vasodilatasi arteri perifer.

Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah penyerapan

cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik karena hipertensi porta

dan penurunan volume darah yang beredar efektif. Ini mengaktivasi plasma renin,

aldosteron, dan sistem saraf simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan air pada

ginjal.

Teori overflow menunjukkan bahwa kelainan utama adalah terjadinya

retensi natrium dan air pada ginjal padahal tidak terdapat penurunan volume

vaskular. Teori ini dikembangkan karena pada pengamatan pasien dengan sirosis

memiliki hipervolemia intravaskular daripada hipovolemia.

Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer. Sirosis

(pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan

fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang

berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan

vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat adanya vasodilator

endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan

adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan

peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi

semakin menetap.  Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan

transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan

terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.

Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan

mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan

penurunan volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons

terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik

dan sumbu sistem renin-angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin.

Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan

Page 11: Jurnal Ascites Dr.nurul

diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan

yang terkumpul di rongga tubuh.

Komplikasi

Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi

yaitu spontaneus bacterial peritonitis (mengancam nyawa), sindrom hepatorenal

(vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam dan cairan dari ginjal),

malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain yang dikaitkan dengan

penyakit penyebab asites.

Dasar Diagnosis

Anamnesis

Page 12: Jurnal Ascites Dr.nurul

Ascites bisa timbul mendadak atau perlahan – lahan tergantung pada

penyebabnya. Ascites ringan mungkin tidak bergejala, moderate ascites mungkin

memberi gejala peningkatan berat badan dan rasa berat di perut, ascites dalam

jumlah besar juga memberi gejala rasa tidak nyaman di perut, dapat menimbulkan

hernia umbilicalis, serta menyebabkan elevasi dari diafragma yang akan

menimbulkan gejala sesak napas.

Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor risiko dari

penyakit yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites. Pada penyakit

hati, harus ditanyakan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, penggunaan jarum

suntik bergantian, riwayat transfusi, serta riwayat hepatitis. Untuk cardiac ascites

harus ditanyakan riwayat penyakit jantung atau penyakit pericardial. Riwayat

keganasan mengarah ke malignant ascites, terutama keganasan payudara, saluran

pencernaan, ovarium, atau lymphoma. Untuk negara berkembang, harus juga

dipikirkan kemungkinan tuberculosis, harus disertai demam dan gejala konstitusi

dari tuberculosis. Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada pasien dengan

riwayat pancreatitis kronis. Harus diingat bahwa pada seorang pasien mungkin

ditemukan lebih dari satu faktor predisposisi.

Pemeriksaan Fisik

Ascites harus dibedakan dengan pembesaran perut lainya, misalnya obesitas,

dispepsia, obstruksi usus, serta massa atau kista abdomen. Pada ascites dalam

jumlah besar, ascites mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, untuk ascites

dalam jumlah sedang atau kecil, ketepatan pemeriksaan fisik hanya mencapai

50%. Pemeriksaan fisik untuk ascites berupa, flank dullness (90% positif pada

pasien dengan ascites), sifting dullness, fluid wave, serta puddle sign, bila jumlah

cairan ascites < 120 ml. fluid wave dapat juga positif untuk kista ovarium yang

besar dan kehamilan dengan polihidramnion.

Pemeriksaan fisik juga dapat digunakan sebagai petunjuk etiologi ascites.

Pada penyakit hati kronis mungkin ada palmar eritem, spider naevi, jaundice, dll.

Splenomegaly dan pelebaran vena merupakan tanda hipertensi porta. Pada pasien

Page 13: Jurnal Ascites Dr.nurul

dengan cardiac ascites akan ditemukan peningkatan JVP. Perbesaran KGB

mengarah ke tuberculosis atau lymphoma.

Pemeriksaan Penunjang

Parasintesis abdomen

Dulu, parasintesis dilakukan diantara pubis dan umbilicus, karena merupakan

daerah avascular. Saat ini, karena parasintesis juga ditujukan untuk pengambilan

cairan dalam jumlah besar, dan peningkatan persentase orang – orang dengan

obesitas, yang menyebabkan penebalan dinding abdomen, kuadran kiri bawah

lebih direkomendasikan, karena dinding abdomen pada kuadran kiri bawah, 2 jari

caudal dan 2 jari medial SIAS lebih tipis, serta cairan lebih terakumulasi di daerah

tersebut dibanding di daerah umbilicus. Kuadran kanan bawah kurang optimal

karena sering kali ada scar post appendectomy, lokasi antara pubis dan SIAS

harus dihindari karena ada arteri epigastric inferior. Bila lokasi ascites sulit

ditentukan karena obesitas atau jumlah yang kecil, dapat digunakan bantuan USG.

Fig. 1. Diagram of the abdomen showing the three usual sites for abdominal

paracentesis. The author prefers the left lower quadrant site. Reproduced from

Thomsen TW, Shaffer RW, White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med

Page 14: Jurnal Ascites Dr.nurul

2006;355:e21, with permission from the Massachusetts Medical Society(2006)

Massachusetts Medical Society.

Analisis Cairan Ascites

Page 15: Jurnal Ascites Dr.nurul

Penatalaksanaan

Page 16: Jurnal Ascites Dr.nurul

Penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan pada ascites menurut

European Association for the Study of the Liver (EASL) dibagi berdasarkan

penyakit yang menyertai timbulnya ascites, antara lain :

1. Ascites tanpa komplikasi

Pasien dengan cirrhosis dan ascites merupakan resiko tinggi untuk komplikasi

lain dari penyakit liver, termasuk ascites berulang, peritonis bakterialis spontan

(spontaneous bacterial peritonitis, SBP), hiponatremia, maupun sindroma

hepatorenal (HRS). Ascites tanpa komplikasi didefinisikan sebagai ascites

yang bukan disebabkan komplikasi tersebut di atas.

a. Penatalaksanaan

Grade 1. Ascites hanya terdiagnosis dengan USG. Untuk grade ini, tidak

dilakukan terapi apapun.

Grade 2. Ascites sedang yang ditandai dengan distensi abdomen yang

simetris. Pasien seperti ini dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan

tidak dilakukan opname kecuali pada pasien tersebut ditemukan komplikasi

lain dari cirrhosis. Terapi yang diberikan bertujuan untuk meniadakan

retensi natrium dan menghasilkan keseimbangan natrium negatif. Hal ini

dilakukan dengan mengurangi asupan natrium dan meningkatkan ekskresi

natrium dengan diuretik.

- Pembatasan natrium, rekomendasi untuk asupan natrium adalah 80-120

mmol/hari atau setara dengan 4,6-6,9 gram garam / hari.

- Diuretik yang dapat diberikan antara lain Furosemid (dimulai dengan dosis

40 mg/hari dinaikkan setiap 7 hari sampai dengan 160 mg/hari), maupun

Spironolakton (100 mg/hari, dimana jika tidak responsif dapat dinaikkan

setiap 7 hari sampai mencapai 400 mg/hari). Pemberian diuretik ini

diberikan hingga didapatkan penurunan berat badan harian tidak lebih dari

0,5 kg/hari pada pasien tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada pasien

dengan oedem perifer, hal ini untuk menghindari gagal ginjal terkait

pemberian diuretik dan/atau hiponatremia.

Page 17: Jurnal Ascites Dr.nurul

Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi

abdomen. Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP)

merupakan pilihan terapi dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang

dikombinasi dengan albumin lebih efektif ketimbang diuretik dan secara

nyata mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2) LVP dengan albumin

lebih aman ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian hiponatremia,

gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang

menjamin rawat ulang maupun angka keberhasilan antara keduanya. (4)

LVP adalah prosedur yang aman dengan resiko komplikasi lokal seperti

perdarahan atau perforasi usus yang rendah.

Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun

polygeline setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin

lebih bermakna pada penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal

ini bertujuan untuk mencegah terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah

LVP.

b. Prognosis

Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang

buruk. Angka kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan

50% pada tahun kedua. Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk,

antara lain : hiponatremia, tekanan arterial yang rendah, peningkatan serum

kreatinin, dan kadar natrium yang rendah dalam urine.

Pada pasien dengan ascites grade 2 dan 3, transplantasi liver dapat

dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang potesial.

2. Ascites Refrakter

Ascites refrakter didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi

ataupun berulang dengan segera setelah LVP yang tidak dapat dicegah dengan

pengobatan.

a. Penatalaksanaan

Large-volume Paracentesis. Merupakan pilihan terapi yang efektif dan

aman. Pemberian albumin mencegah disfungsi sirkulasi yang terkait LVP.

Page 18: Jurnal Ascites Dr.nurul

Diuretik. Pada sekitar 90% pasien, pemberian diuretik tidak cukup efektif

untuk mencegah maupun memperlambat rekurensi ascites setelah LVP.

Diuretik harus dihentikan secara permanen pada pasien dengan komplikasi

terkait permberian diuretik (ensefalopati hepatik, gagal ginjal, maupun

kelainan elektrolit).

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS). TIPS terbukti

efektif dalam mengendalikan ascites berulang. Efek jangka pendek dari

TIPS adalah meningkatkan cardiac output, tekanan atrial kanan, dan

tekanan arteri pulmonal yang mengurangi resistensi pembuluh darah

sistemik dan volume darah arteri menjadi efektif. Efek yang

menguntungkan pada fungsi ginjal termasuk meningkatkan ekskresi natrium

dan GFR. TIPS juga memiliki keuntungan dalam menjaga keseimbangan

nitrogen dan berat badan.

3. Peritonitis Bakterialis Spontan (SBP)

SBP sering ditemukan pada pasien dengan cirrosis dan ascites, dimana

terjadi peningkatan angka kematian mencapai 90% yang dapat ditekan hingga

20% dengan diagnosis dan terapi dini.

a. Penatalaksanaan

Terapi antibiotik empiris.Terapi dengan antibiotik empiris perlu segera

diberikan setelah SBP didiagnosis, tanpa menunggu hasil kultur cairan

ascites. Antibiotik yang berpotensi nefrotoksik (seperti aminoglikosida)

tidak boleh diberikan sebagai terapi empiris. Cefotaxime yang merupakan

generasi ketiga dari cephalosporin, diberikan secara luas pada pasien dengan

SBP karena dapat mengatasi kebanyakan organisme yang menjadi

penyebab. Angka kesembuhan ditemukan pada 77-98% pasien dengan dosis

4 mg/hari sama efektif dengan dosis 8 mg/hari dan terapi selama 5 hari sama

efektifnya dengan terapi selama 10 hari.

Alternatif lain, Amoxicillin / asam Clavulanat yang pertama-tama diberikan

secara IV kemudian per oral memberi hasil serupa dengan angka

kesembuhan dan angka kematian dibandingkan dengan cefotaxime dan

Page 19: Jurnal Ascites Dr.nurul

tentu dengan harga yang lebih murah. Ciprofloxacin diberikan selama 7 hari

IV; ataupun 2 hari IV dan diikuti 5 hari per oral memberi hasil serupa dalam

angka kesembuhan dibanding cefotaxime, tetapi dengan harga yang lebih

mahal.

Jika pada hitung jenis neutrofil yang didapat dari cairan ascites tidak

berkurang kurang dari 25% dibanding nilai sebelum terapi setelah

pemberian terapi antibiotik selama 2 hari, kemungkinan besar terapi gagal

dan diperkirakan infeksi yang terjadi disebabkan bakteri yang resisten

terhadap terapi antibiotik.

Albumin IV pada pasien SBP tanpa syok septik.Hepatorenal Syndrome

(HRS) terjadi pada sekitar 30% pasien dengan SBP yang menerima terapi

antibiotik tunggal memiliki prognosis yang buruk. Pemberian albumin (1,5

g/kg pada saat didiagnosis dan 1 g/kg pada hari ketiga) menurunkan

frekuensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.

b. Pencegahan

Agen profilaksis yang ideal harus aman, terjangkau, dan efektif dalam

menurunkan jumlah organisme ini di usus. Tiga populasi pasien beresiko

tinggi yang perlu dikenali, antara lain : (1) pasien dengan perdarahan GIT

akut, (2) pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah

dan tidak memiliki riwayat SBP sebelumnya, (3) pasien dengan riwayat

SBP sebelumnya.

(1) Pasien dengan perdarahan GIT akut. Infeksi bakterial termasuk SBP

merupakan masalah serius pada pasien cirrhosis dan perdarahan GIT akut

yang terjadi antara 25% dan 65% pada pasien dengan perdarahan GIT. Pada

hasil meta-analisis didapatkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis

terbukti menurunkan insidensi perburukan infeksi dan angka kematian.

Pada pasien dengan perdarahan GIT dan penyakit liver yang berat

ceftriaxone merupakan pilihan antibiotik profilaksis. Namun, apabila pasien

dengan penyakit liver yang tidak terlalu berat dapat diberikan norfloxacin

per oral maupun kuinolon untuk mencegah perburukan dari SBP.

Page 20: Jurnal Ascites Dr.nurul

(2) pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan

tidak memiliki riwayat SBP sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit liver

sedang dengan konsentrasi protein dalam cairan ascites kurang dari 15

g/liter dan tanpa riwayat SBP sebelumnya, efektivitas kuinolon dalam

mencegah SBP atau membuktikan angka keberhasilan profilaksis tidak

terlalu terbukti.

(3) pasien dengan riwayat SBP sebelumnya. Pasien yang dalam masa

pemulihan dari SBP memiliki resiko tinggi terjadinya SBP berulang.

Pemberian antibiotik profilaksis mengurangi resiko terjadinya SBP

berulang. Norfloxacin (400 mg/hari, per oral) merupakan pilihan terapi.

Pilihan lainnya termasuk Ciprofoxacine (750 mg sekali seminggu, per oral)

atau Co-trimoxazole (800 mg Sulfamethoxazole dan 160 mg Trimethroprim

per hari, per oral) tetapi efek yang didapatkan tidak sebaik Norfloxacin.

4. Hiponatremia

Hiponatremia pada pasien cirrhosis didefinisikan ketika konsentrasi

natrium serum dibawah 130 mmol/L, tetapi reduksi di bawah 135 mmol/L

perlu disadari sebagai hiponatremia pada populasi pasien secara umum.

a. Penatalaksanaan

Terapi untuk hiponatremi hipovolemik adalah dengan pemberian natrium

bersamaan dengan identifikasifaktor penyebabnya (biasanya disebabkan

karena pemberian diuretik berlebih). Kunci dari terapinya adalah membuat

balance air negatif dengan meningkatkan total cairan tubuh, dimana hasil

yang diharapkan untuk mengembalikan keadaan natrium.

Pemberian natrium klorida yang hipertonis sering digunakan untuk keadaan

hiponatremia hipervolemik yang berat. Efektivitasnya partial, seringkali

bertahan sementara, dan meningkatkan jumlah ascites dan oedem.

Pemberian albumin nampaknya lebih terbukti memperbaiki konsentrasi

natrium serum, tetapi masih dibutuhkan lebih banyak bukti penunjang.

Pengunaan obat-obatan secara dini seperti demeclocycline atau κ-opioid

antagonist kurang berhasil dikarenakan efek samping yang ditimbulkannya.

Page 21: Jurnal Ascites Dr.nurul

Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan penelitian mengenenai

vaptans, obat yang diberikan secara aktif per oral dan menyebabkan blok

selektif terhadap reseptor-V2 dari AVP pada sel prinsipal dari ductus

coligens. Obat ini terbukti efektif dalam memperbaiki konsentrasi natrium

serum pada kondisi dengan level vasopresin yang tinggi, seperti syndrome

of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH), gagal jantung,

atau cirrhosis. Hasil penelitian dengan pemberian vaptan untuk periode

singkat (1 minggu sampai 1 bulan) menunjukkan peningkatan volume urine

dan ekskresi cairan bebas, serta memperbaiki level natrium serum yang

rendah pada 45-82% pasien. Vaptan tidak boleh diberikan pada pasien

dengan gangguan kesadaran (seperti ensefalopati) yang tidak dapat

meminum cukup cairan karena beresiko terjadinya dehidrasi dan

hipernatremia. Vaptan dimetabolisme oleh nzim CYP3A di liver, tetapi

pemberian obat-obatan kuat CYP3A-inhibitor seperti ketoconazole, jus

anggur, dan clarithromycin yang diberikan secara bersamaan dapat

meningkatkan efek dari vaptan dalam meningkatkan konsentrasi natrium

serum dalam jumlah yang besar. Namun, obat-obatan seperti rifampin,

barbiturat, dan phenytoin dapat mengurangi efektivitas dari vaptan.

Di Amerika pemberian tolvaptan telah diakui sebagai terapi untuk

hiponatremi hipervolemik berat (<125 mmol/L) yan terkait dengan cirrhosis,

ascites, gagal jantung, dan SIADH. Conivaptan juga diterima di Amerika

untuk terapi singkat (5 hari) dengan pemberian secara IV. Pemberian

tolvaptan dimulai dengan dosis 15 mg/hari dan di titrasi sampai 30 dan 60

mg/hari. Pada penelitian berbeda dilaporkan meningkatkan kejadian

perdarahan GIT dengan pemberian tolvaptan.

5. Sindroma hepatorenal (HRS)

HRS didefinisikan sebagai kejadian gagal ginjal pada pasien dengan penyakit

liver dimana penyebab gagal ginjalnya tidak diketahui.

a. Penatalaksanaan

Page 22: Jurnal Ascites Dr.nurul

Terapi suportif termasuk pengawasan ketat terhadap tanda-tanda vital,

fungsi liver dan ginjal, dan evaluasi tanda klinis dari komplikasi cirrhosis.

Pemberian cairan berlebihan harus dihindari untuk mencegah overload

cairan dan progresivitas dari hiponatremia. Diuretik rendah kalium tidak

boleh diberikan karena beresiko terjadinya hiperkalemia berat.

Terapi spesifik dapat diberikan obat-obatan dengan efek vasokonstriktor.

Penggunaan vasokonstriktor secara luas diberikan obat dengan sifat

vasopresin analog seperti terlipressin. Terapi ini cukup efektif 40-50%

pasien. Umumnya, terlipressin dimulai dengan dosis 1 mg/4-6 jam dan

dinaikkan sampai dosis maksimum 2 mg/4-6jam jika tidak didapatkan

penurunan kadar kreatinin serum setidaknya sebanyak 25% terhadap nilai

awal pada hari ketiga terapi. Terapi dipertahankan sampai kreatinin serum

turun di bawah 1,5 mg/dL (133 μmol/L), biasanya sekitar 1-1,2 mg/dL (88-

106 μmol/L).

TIPS. TIPS juga memperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal dan

mengontrol ascites pada pasien HRS.

Terapi transplantasi ginjal. Terapi sebaiknya segera dilakukan pada

keadaan hiperkalemia berat, asidosis metabolik, dan overload cairan pada

pasien HRS stadium dini.

Transplantasi liver. Merupakan terapi pilihan yang dapat meningkatkan

angka keberhasilan sampai 65% pada pasien HRS

b. Pencegahan

Pasien dengan SBP perlu diterapi dengan albumin IV menunjukkan

penurunan insidensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.

Page 23: Jurnal Ascites Dr.nurul

Daftar Pustaka

1. Clinical Practice Guideline, EASL clinical practice guideline on the

management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal

syndrome in cirrhosis. Journal of Hepatology, 2010, Vol. 53, p 397-417.

2. Runyon, Bruce A. Management of Adult Patients with Ascites Due to

Cirrhosis: An Update from AASLD PRACTICE GUIDELINES,

hepatology, Vol. 49, No. 6 on

http://www.aasld.org/practiceguidelines/Documents/Bookmarked

%20Practice%20Guidelines/Ascites%20Update6-2009.pdf