49
OSTEOPOROSIS DEFINISI Kata osteoporosis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteon yang berarti tulang dan poros yang berarti porositas menunjukkan bahwa tulang menjadi lebih berpori. Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan gangguan arsitektur tulang sehingga mengurangi kekuatan tulang dan peningkatan risiko patah tulang (Agrawal and Gupta,2013). Menurut WHO, Osteoporosis merupakan penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang mengakibatkan meningkatnya fragilitas tulang sehingga tulang cenderung untuk mengalami fraktur spontan atau akibat trauma minimal (Kanis, 2010). EPIDEMIOLOGI Osteoporosis merupakan salah satu penyakit yang paling umum yang mempengaruhi 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di akhir hidup mereka. Di seluruh dunia sekitar 200 juta wanita menderita osteoporosis. Pada usia 50 risiko seumur hidup dari patah tulang yang terkait dengan osteoporosis adalah hampir 40% (Agrawal and Gupta,2013). Kelompok II | 1

jURNAL II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jURNAL II

Citation preview

OSTEOPOROSIS

DEFINISI Kata osteoporosis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteon yang berarti tulang dan poros yang berarti porositas menunjukkan bahwa tulang menjadi lebih berpori. Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan gangguan arsitektur tulang sehingga mengurangi kekuatan tulang dan peningkatan risiko patah tulang (Agrawal and Gupta,2013).Menurut WHO, Osteoporosis merupakan penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang mengakibatkan meningkatnya fragilitas tulang sehingga tulang cenderung untuk mengalami fraktur spontan atau akibat trauma minimal (Kanis, 2010).EPIDEMIOLOGI Osteoporosis merupakan salah satu penyakit yang paling umum yang mempengaruhi 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di akhir hidup mereka. Di seluruh dunia sekitar 200 juta wanita menderita osteoporosis. Pada usia 50 risiko seumur hidup dari patah tulang yang terkait dengan osteoporosis adalah hampir 40% (Agrawal and Gupta,2013).

Osteoporosis adalah silent disease yang tercermin dari rendahnya kepadatan tulang sampai terjadinya fraktur. fraktur osteoporosis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada orang tua. Sensus tahun 2001 menunjukkan sekitar 163 juta orang India berada di atas usia 50 tahun. Dari jumlah tersebut 20% wanita dan 10-15% laki-laki akan menjadi osteoporosis. Total diperkirakan jumlah pasien osteoporosis di India diperkirakan sekitar 26 juta dan jumlahnya diproyeksikan meningkat menjadi 36 juta pada tahun 2013. Rata-rata usia fraktur adalah 49 tahun pada pria dan 57 tahun pada wanita (Agrawal and Gupta,2013).

Lokasi umum terjadi fraktur meliputi badan vertebra, radius distal, femur proksimal dan humerus proksimal (Gambar 1). Di inggris, sekitar 50% dari pasien yang menderita patah tulang pinggul tidak bisa lagi hidup mandiri dan 20% meninggal dalam waktu 12 bulan dari fraktur (Kanis, 2010).

ETIOLOGI Osteoporosis telah dibagi menjadi beberapa klasifikasi sesuai dengan etiologi dan lokalisasi di tulang. Osteoporosis awalnya dibagi ke dalam kategori lokal dan umum, dan kategori utama dirinci lebih lanjut ke osteoporosis primer dan sekunder. Pasien dikatakan memiliki osteoporosis primer bila penyebab sekunder osteoporosis tidak dapat diidentifikasi, termasuk remaja dan idiopatik osteoporosis. Idiopatik osteoporosis dapat dibagi lagi menjadi osteoporosis postmenopause (tipe I) dan terkait usia atau pikun (tipe II). Sedangkan osteoporosis sekunder berkembang sebagai akibat langsung dari beberapa kondisi tertentu yang mempengaruhi massa tulang. Beberapa pasien dipengaruhi oleh kombinasi penyebab primer dan sekunder (Agrawal and Gupta,2013).Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan massa puncak tulang yang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah menopause. Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40 tahun, pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian tulang yang hidup tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan memperbaharui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam keadaan seimbang dan disebut coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun. Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada konsep Activation-Resorption-Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang yang merangsang preosteoblas supaya membelah membelah menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang mempengaruhi proses remodelling adalah faktor hormonal. Proses remodelling akan ditingkatkan oleh hormon paratiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D. Sedang yang menghambat proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid. Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah yang menyebabkan osteoporosis (Fauci AS, et al, 2008).

Selain gangguan pada proses remodelling tulang, faktor lainnya adalah pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat. Walaupun terdapat variasi asupan kalsium yang besar, tubuh tetap memelihara konsentrasi kalsium serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium serum dikontrol oleh organ tulang, ginjal dan usus melalui pengaturan paratiroid hormon (PTH), hormon kalsitonin, kalsitriol (1,25(OH)2 vitamin D) dan penurunan fosfat serum. Faktor lain yang berperan adalah hormon tiroid, glukokortikoid dan insulin, vitamin C dan inhibitor mineralisasi tulang (pirofosfat dan pH darah). Pertukaran kalsium sebesar 1.000 mg/harinya antara tulang dan cairan ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase formasi dan resorpsi tulang yang lambat. Absorpsi kalsium dari gastrointestinal yang efisien tergantung pada asupan kalsium harian, status vitamin D dan umur. Didalam darah absorpsi tergantung kadar protein tubuh, yaitu albumin, karena 50% kalsium yang diserap oleh tubuh terikat oleh albumin, 40% dalam bentuk kompleks sitrat dan 10% terikat fosfat (Sandhu & Hapson, 2013).

PATOGENESIS

Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus menerus. Pada osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang pasti melebihi laju pembentukan tulang. Pembentukan tulang lebih banyak terjadi pada korteks (Kanis, 2010).

A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium (Sandhu & Hapson, 2013).

Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin, proteoglikan tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang.

Tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai perancah, proses mineralisasi tulang tidak mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang merupakan makromolekul yang sangat bersifat anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fiksasi kristal hidroksi apatit pada serabut kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis dan beban mekanik sesuai dengan hukum Wolf, yaitu setiap perubahan fungsi tulang akan diikuti oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal dan penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain, hukum Wolf dapat diartikan sebagai bentuk akan selalu mengikuti fungsi.

B. Patogenesis Osteoporosis Primer (Lau & Guo, 2011)

Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.

Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik.

C. Patogenesis Osteoporosis Sekunder (Lau & Guo, 2011)

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan 9 kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang misalnya osteokalsin. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif.

Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata.

Tabel penyebab umum osteoporosis sekunder (Kanis, 2010) :

Faktor risiko perkembangan osteoporosis (BCMA, 2012) :

MANIFESTASI KLINISPenyakit osteoporosis biasanya berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa disadari dan tanpa disertai gejala. Gejala-gejala baru timbul pada tahap osteoporosis lanjut, gambaran yang paling umum dari osteoporosis tahap lanjut adalah fraktur. Tempat yang paling umum adalah pinggul, tulang belakang dan lengan bawah. Fraktur lengan bawah dan tulang belakang yang paling umum pada wanita sampai usia 70 tahun setelah patah tulang pinggul menjadi lebih signifikan. Fraktur menyebabkan rasa sakit dan cacat. bukti sekarang bahwa fraktur osteoporosis menyebabkan cacat substansial dan kematian. Patah tulang pinggul memiliki tingkat kematian 20% dalam enam bulan pertama setelah patah tulang. Patah tulang belakang juga meningkatkan mortalitas. Gejala lain yang timbul dapat berupa punggung yang semakin membungkuk, hilangnya tinggi badan atau nyeri pungung (Agrawal and Gupta,2013).DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS

Pertimbangkan kemungkinan osteoporosis dan risiko patah tulang pada pria dan perempuan, dapat dilihat berdasarkan adanya faktor risiko dan kondisi yang berhubungan dengan terjadinya osteoporosis. BMD (kepadatan mineral tulang) adalah komponen penting dalam diagnosis dan manajemen osteoporosis. BMD telah terbukti berkorelasi dengan kekuatan tulang dan merupakan prediktor yang sangat baik dari risiko terjadinya fraktur. Namun, Penyakit tulang metabolik selain osteoporosis, seperti hiperparatiroidisme atau osteomalacia, dapat berhubungan dengan BMD rendah. Untuk membedakan hal tersebut maka perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap sebelum membuat diagnosis osteoporosis atas dasar suatu BMD rendah saja. (National Osteoporosis Foundation, 2010).

Beberapa pemeriksaan yang biasanya dilakukan sebagai berikut (Kanis, 2010) :

Anamnesis

Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita osteoporosis. Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma minimal, adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan faktor-faktor risiko lainnya. Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga dapat digunakan untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat-obatan, juga konsumsi alkohol jangka panjang dan merokok. Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya riwayat keluarga yang pernah menderita osteoporosis (Sandhu & Hampson, 2011).

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght inequality , dan nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (Sandhu & Hampson, 2011).

Pemeriksaan densitas tulang

Massa tulang yang rendah merupakan faktor utama terjadinya osteoporosis. Terdapat hubungan berkebalikan antara BMD dengan kecenderungan patah tulang. BMD merupakan indikator utama risiko fraktur pada pasien tanpa riwayat patah tulang sebelumnya (National Osteoporosis Foundation, 2010). Terdapat berbagai cara pemeriksaan densitas tulang, yaitu : absorpsi foton Ganda (DPA), Quantitative computed tomography (QTC), DPA dengan energi sinar X ganda (DEXA) atau dengan ultrasound. Saat ini yang terbanyak dipakai, walaupun harganya cukup mahal adalah DPA dan DEXA, (DEXA merupakan gold standard sesuai rekomendasi WHO). Kekurangan cara pemeriksaan ini adalah tidak dapat menggambarkan keadaan dinamik tulang, walaupun dapat diatasi dengan mengadakan pemeriksaan serial (National Osteoporosis Foundation, 2010). Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingan dengan metode ultrasounds (National Osteoporosis Foundation, 2010). Ukuran dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dari tulang pinggul dan tulang belakang merupakan teknologi yang dipakai untuk menetapkan atau mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis, prediksi risiko terjadinya fraktur dan monitoring pasien yang untuk menilai performa serial. Hasil pengukuran DEXA berupa densitas mineral tulang yang dinilai dalam satuan bentuk gram per cm2 , kandungan mineral dalam satuan gram, perbandingan densitas tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam persentase, atau perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada dewasa (jenis kelamin sama) yang dinyatakan dalam skor standar deviasi (Z-score atau T-score) (National Osteoporosis Foundation, 2010).

Pengukuran BMD sering dilakukan dengan T-score yaitu angka deviasi antara BMD pasien dengan puncak BMD rata-rata pada subjek dewasa yang normal dengan jenis kelamin sama. Ukuran BMD lain yaitu Z-score, dimana ukuran standar deviasi pada BMD pasien dengan BMD subjek dewasa dengan usia dan jenis kelamin yang sama (National Osteoporosis Foundation, 2010). Perbedaaan antara skor pasien dan nilai normal menunjukkan standar deviasi (SD) dibawah atau diatas rata-rata. Biasanya, 1 standar deviasi setara dengan 10 - 15% ukuran BMD dalam g/cm2. Tergantung pada bagian tulang, penurunan BMD dalam massa absolut tulang atau standar deviasi (T-score atau Z-score) yang berlangsung selama dewasa muda, mempercepat pada wanita menopause dan berlanjut secara progresif pada wanita pasca menopause atau pria usia 50 tahun atau lebih. Diagnosis BMD normal, massa tulang rendah, osteoporosis dan osteoporosis berat didasarkan berdasarkan klasifikasi diagnostik WHO(National Osteoporosis Foundation, 2010).

Jenis pemeriksaan BMD laninya (National Osteoporosis Foundation, 2010) :

a. Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA.

b. Dual photon absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.

c. Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan Ultrasounds tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds juga lebih terbatas dibandingkan DEXA.

d. Quantitative computed tomography (QTC), adalah suatu model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi, dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, PDEXA,atau DPA.Biomarker Resorpsi Tulang

Petanda resorpsi tulang akibat aktivitas osteoklas meningkat, saat ini merupakan metode pilihan untuk memperkirakan akan terjadinya osteoporosis, atau untuk memantau terapi pada pasien yang diberi obat antiresorpsi oral. Penentuan Crosslink Telopeptida Cterminal (CTx) dalam serum merupakan indikator yang baik untuk resorpsi tulang. CTx merupakan hasil dekomposisi awal dan stabil dari kolagen tipe-1 spesifik tulang, oleh karena itu menggambarkan proses pada tulang secara relatif langsung. CTx merupakan penanda resorpsi tulang pertama dalam serum yang dapat diperiksa dengan alat otomatisasi. CTx dapat diukur dalam serum dan plasma (National Osteoporosis Foundation, 2010). TATALAKSANA

Tujuan dari tatalaksana osteoporosis ialah mengurangi risiko fraktur di kemudian hari (bersifat individualistik), dimana tatalaksana ini meliputi pengenalan dini penyakit dan pengobatan efektif pada pasien dengan risiko fraktur tinggi. (Hampson G., 2011)

a. Intervensi non-farmakologis

Intervensi non-farmakologis meliputi:

Modifikasi gaya hidup seperti diet gizi seimbang yang mengandung kalsium dan vitamin D, berhenti merokok, dan menghindari penggunaan alkohol berat.

Rutin melakukan latihan seperti latihan mempertahankan berat ideal dan penguatan otot-otot. Pada populasi berisiko tinggi (housdebound dan institutionalized elderly) dengan kadar 25OHD serum berkisar 75 nmol/l direkomendasikan pemberian vitamin D sebanyak 800-1000 IU. Pada asupan kalsium yang tidak adekuat, rekoemdasi pemberian kalsium harian berkisar 1000-1200 mg/hari. b. Farmakologis

Sejumlah obat yang digunakan sebagai terapi osteoporosis dinyatakan dalam tabel dibawah ini :

Dalam beberapa studi didapatkan bahwa bifosfonat (alendronate, risedronate, zoledronate) dan estrogen dapat mengurangi risiko fraktur vertebra, non-vertebra, dan fraktur femur. Bifosfonat merupakan analog sintetik pirofosfat yang memiliki afinitas tinggi terhadap mineral tulang dan dapat mengurangi aktivitas osteoklas. Pada wanita postmenopause dengan osteoporosis dapat diberikan alendronate, sedangkan pada laki-laki dan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid, pemberian risedronate dan zoledronate nampaknya lebih memberikan hasil baik. (Hampson G., 2011)

Alendronate merupakan rekomendasi pilihan pertama pada terapi osteoporosis, karena melihat efikasi, sediaan (oral), dan dan biaya (ada generic). Sedangkan zoledronate i.v merupakan pilihan bagi pasien dengan intoleransi gastrointestinal atau pada pengobatan yang gagal dengan pemberian bifosfonat oral seperti ibandronate. (Hampson G., 2011)

Durasi optimal pemberian terapi bifosfonat tidak diketahui pasti. Namun ada bukti menyebutkan bahwa penurunan risiko fraktur dapat terjadi apabila seseorang melanjutkan pengobatan dengan alendronate sampai sedikitnya 10 tahun dan 7 tahun pada pengobatan dengan risedronate. Terapi dengan bifosfonat bersifat individual, dimana pada kenyataanya diperlukan adanya masa bebas obat bifosfonat pada pasien dengan pemberian obat tersebut jangka panjang (pada pasien risiko tinggi fraktur sebaiknya masa bebas obat ini pemberian bifosfonat dapat diganti dengan raloxifene atau teriparatide). Hal ini terkait dengan adanya supresi kronis bone turnover yang dapat menyebabkan serangkaian efek buruk. Berdasarkan bukti yang tersedia, pemutusan terapi setelah 5 tahun pemberian bifosfonate nampaknya tidak menyebabkan pengaruh berbahaya pada pasien. Efek antifraktur dapat tetap ada meskipun pengobatan tidak dilanjutkan sampai sekiranya 12-18 bulan oleh karena retensi berkepanjangan bifosfonat pada tulang panjang. (Hampson G., 2011)

Selain itu, disebutkan bahwa keuntungan penggunaan terapi pengganti hormone (HRT) dalam pencegahan fraktur dan kanker kolon tidak lebih baik karena kaitannya dengan peningkatan risiko kanker payudara, penyakit jantung koroner, stroke, dan tromboembolisme. Oleh karena itu, penggunaan estrogen sebagai pencegahan dan pengobatan osteoporosis mulai ditinggalkan. Namun, rasio untung/rugi penggunaan HRT pada wanita postmenopause