Upload
sachriana-said
View
80
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jurnal
Citation preview
INKONTINENSIA STRES
Seorang wanita, 45 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan kemih yang keluar
saat batuk, tertawa, atau bersin sejak melahirkan bayi. Pasien tidak dapat mengurangi
berat badan sebesar 25 lb (11 kg) yang telah diperolehnya saat hamil 6 tahun yang
lalu. Pasien berkemih tiap 3 jam dan melaporkan tidak ada urgensi berkemih maupun
nokturia. Inkontinensia yang dialaminya telah membuatnya enggan berpartisipasi
dalam latihan untuk menurunkan berat badan, dan sering kali urin ikut tercecer ketika
pasien melakukan hubungan seksual. Indeks massa tubuhnya (IMT, berat badan
dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter) adalah 28, dan
hasil pemeriksaan pelvis rutin terkesan normal. Bagaimana evaluasi dan
penatalaksanaan yang harus diberikan pada pasien ini?
MASALAH KLINIS
Inkontinensia urin merupakan suatu masalah kesehatan yang cukup lazim ditemukan
dan dapat menghabiskan banyak biaya. Sekitar 25% wanita premenopause dan 40%
wanita post-menopause melaporkan pernah mengalami kececeran urin. Tidak semua
kececeran urin, dapat mengganggu pasien; namun, 10% wanita paruh baya
melaporkan inkontinensia harian, dan sepertiganya melaporkan inkontinensia
mingguan. Inkontinensia dapat mengurangi kualitas hidup, termasuk kesehatan
seksual. Namun hingga saat ini kurang dari separuh populasi wanita tersebut yang
mencari pertolongan kesehatan akibat inkontinensia yang dialaminya, dan masih
banyak dokter primer yang merasa belum siap dalam memberikan penatalaksanaan
untuk kondisi tersebut.
Inkontinensia stres (stress incontinence) dan inkontinensia desakan (urge
incontinence) merupakan dua jenis inkontinensia urin yang paling sering ditemukan.
Inkontinensia stres – yang didefinisikan sebagai keluarnya urin secara tidak sengaja
ketika sedang bergiat, bersin, atau batuk – dapat terjadi ketika tekanan buli-buli
(vesika urinaria) yang berada dalam pengaruh peningkatan tekanan abdominal,
melebihi kemampuan resistensi (tahanan) urethral. Keseimbangan antara tekanan
urethral dan buli-buli dipengaruhi oleh faktor intrinsik (otot urethral, aliran darah, dan
innervasi/persarafan) dan faktor ekstrinsik (derajat dukungan urethral, berat badan
dan aktivitas fisik pasien). inkontinensia desakan – yang didefinisikan sebagai suatu
kebocoran urin yang diikuti atau didahului oleh desakan ingin berkemih/urgensi –
terjadi karena fungsi kontraksi otot detrusor yang tak terkontrol sehingga melebihi
kemampuan resistensi urethral. Pasien bisa saja mengalami kombinasi kedua jenis
inkontinensia tersebut; kita harus bisa membedakan dua jenis inkontinensi itu, karena
terapinya berbeda satu sama lain. Untuk pasien yang mengalami inkontinensia
campuran (mixed incontinence), terapi difokuskan pada gejala yang paling
mengganggu pasien. Tinjauan ini akan memfokuskan pembahasan pada inkontinensia
stres.
Puncak insidensi inkontinensia stres terjadi ketika berusia 45 hingga 49 tahun. Faktor
resiko yang diketahui berhubungan dengan inkontinensia antara lain ras kulit putih,
obesitas, kehamilan dan persalinan, terutama jika persalinan dilakukan secara
pervaginam. Wanita kulit putih non-hispanik memiliki tingkat inkontinensia stres
yang lebih tinggi dari wanita hispanik atau kulit hitam. Wanita obes/gemuk (IMT ≥
30) memiliki resiko sekitar 2 kali lipat lebih besar mengalami inkontinensia jika
dibandingkan dengan wanita kurus. Gejala inkontinensia stres dapat terjadi pada
sepertiga populasi wanita selama kehamilan, meskipun inkontinensia seringkali
sembuh sendiri setelah bersalin. Ada salah satu laporan penelitian mengenai wanita-
wanita yang mengalami inkontinensia stres persisten pada bulan ke-3 postparum,
92% dari semua wanita tersebut tetap mengalami inkontinensia stres pada tahun ke-5
postpartum.
Inkontinensia urin berhubungan dengan penurunan libido, kekeringan vagina, dan
dispareunia. Banyak wanita penderita inkontinensia yang melaporkan kebocoran urin
selama melakukan hubungan seksual pervaginam, yang dapat menimbulkan rasa
malu dan masalah lain dalam hubungan suami-istri.
STRATEGI DAN BUKTI
Evaluasi
Evaluasi untuk inkontinensia stres mencakup proses anamnesis dan pemeriksaan
fisik, melakukan pencatatan berkemih harian pasien (voiding diary), tes urin untuk
mengetahui adanya infeksi, dan tes sederhana lain yang dapat dilakukan di tempat
praktek dokter umum, seperti pemeriksaan volume residu urin pasca-berkemih dan uji
stres batuk. Karena banyak wanita yang enggan mendiskusikan inkontinensia, maka
skrining dapat dilakukan melalui kuisioner. Sebuah kuisioner singkat yang telah
tervalidasi, yang terdiri atas tiga pertanyaan (Three Incontinence Questions [3IQ]),
dapat digunakan untuk skrining inkontinensia (lihat pada gambar 1).
Gambar 1: Kuisioner Three Incontinence Questions (3IQ)
Dengan kuisioner itu, kita dapat membedakan inkontinensia stres dan inkontinensia
desakan (sensitivitas 75% dan spesifitas 77%). Penilaian mengenai derajat
ketergangguan gejala inkontinensia yang dialami oleh pasien dapat memandu kita
dalam memulai penatalaksanaan. Pasien harus ditanya juga mengenai inkontinensia
fecal dan prolaps organ pelvis, yang dapat menyertai inkontinensia urin.
Pada pemeriksaan pelvis, otot pelvis harus dinilai dengan cara meminta pasien
mengontraksikan otot pelvis di sekitar jari pemeriksa; kemampuan pasien dalam
mengontraksikan otot dasar panggul secara sadar/volunter dan kekuatan kontraksi
harus dicatat. Perhatikan juga mengenai prolaps organ pelvis yang melewati hymen
selama pasien melakukan manuver Valsava. “cough stress test/uji stres batuk” harus
dilakukan pada pasien; kita meminta pasien untuk batuk saat buli-bulinya sedang
penuh dan memperhatikan apakah telah terjadi kebocoran urethra. Adanya kebocoran
dapat mendukung diagnosis inkontinensia stres.
Semua pasien inkontinensia harus diminta untuk merampungkan diari/catatan harian
berkemih, dalam catatan itu, mereka mencatat volume dan jenis cairan yang
diminum, frekuensi berkemih, dan jumlah urin yang dikeluarkan (diukur dengan
menggunakan alat pengukur seperti botol atau “toilet hat”) serta rincian episode
inkontinensia dan pemicunya. Kisaran jumlah kemih yang normal adalah 200 hingga
400 ml tiap kali berkemih, dan frekuensi berkemih yang normal adalah 8 sampai 12
kali per hari, serta 1 kali berkemih tiap malam hari. Catatan harian selama tiga hari
dianggap sudah representatif sebagai catatan harian jangka panjang. Sebuah
percobaan acak telah menunjukkan bahwa catatan harian berkemih dapat mengurangi
jumlah intake cairan, membuat wanita yang sering berkemih menjadi lebih
memperpanjang jeda antar-berkemihnya, serta dapat mengidentifikasi masalah atau
pemicu episode inkontinensia.
Pemeriksaan harus mencakup urinalisis dan kultur. Infeksi traktus urinarius dapat
menyebabkan inkontinensia, namun jenis inkontinensia yang ditimbulkan lebih sering
bersifat inkontinensia desakan. Pengosongan buli-buli harus dinilai dengan cara
mengukur volume urin residual pasca-berkemih bauk dengan menggunakan
ultrasonografi atau kateterisasi, namun kateterisasi dianggap sebagai standar baku
pemeriksaan. Nilai ambang batas volume residual yang abnormal hingga saat ini
masih menjadi perdebatan; namun, volume yang melebihi 150 ml dalam dua kali
pemeriksaan merupakan salah satu indikasi telah terjadi retensi urin (yang dapat
mengakibatkan inkontinensia “overflow”) dan pasien seperti ini harus menjalani
pemeriksaan tambahan untuk memastikan adanya disfungsi berkemih.
Uji urodinamik untuk menilai fungsi urethral, kapasitas dan stabilitas buli-buli, serta
fungsi berkemih, tidak rutin dilakukan sebelum terapi untuk inkontinensia stres
dilakukan. Namun, pemeriksaan ini seringkali direkomendasikan sebelum melakukan
intervensi bedah untuk mendukung diagnosis kebocoran urin akibat stres yang tanpa
didahului kontraksi buli-buli dan untuk menilai fungsi berkemih.
PENATALAKSANAAN
Peralatan Absorptif
Produk absorptif seperti popok, memiliki peranan yang penting dalam perawatan
wanita yang mengalami inkontinensia urin. Karena harganya lebih murah dan dapat
mengurangi stigma,maka banyak wanita yang menggunakan kain bersih atau popok
mini sebagai pengganti popok inkontinensia; namun, sebetulnya popok inkontinensia
jauh lebih efektif untuk pasien inkontinensia. Dari percobaan acak yang
membandingkan berbagai produk inkontinensia, diketahui bahwa pasien lebih
memilih menggunakan popok inkontinensia jika dibandingkan dengan pembalut haid,
meskipun harga popok inkontinensia jauh lebih mahal dari pembalut haid. Untuk
wanita yang mengalami banyak kehilangan urin, produk sekali pakai dapat lebih
mengurangi masalah kulit jika dibandingkan dengan produk yang berkali-kali pakai.
Membersihkan area urogenitalia dengan menggunakan alat penyeka yang
berpelembab dapat membantu mengontrol bau; alat penyeka pada orang dewasa
berukuran lebih besar dan ada banyak merek yang mengandung berbagai jenis bahan
yang dapat mengurangi bau serta lebih aman untuk kulit.
Terapi fisik dan perilaku
Terapi lini pertama untuk inkontinensia stres antara lain latihan otot dasar panggul
dan beberapa modifikasi perilaku. Persepsi sembuh lebih sering ditemukan pada
wanita yang melakukan latihan dasar panggul jika dibandingkan dengan wanita yang
tidak melakukannya. Meskipun belum ada rekomendasi pasti mengenai jumlah
pengulangan kontraksi yang baik untuk terapi, namun khasiat sudah dapat terlihat jika
pengulangan dilakukan sebanyak 30 hingga 50 kali kontraksi. Dari percobaan acak
bersampel sedikit, diketahui bahwa wanita yang dilatih untuk melakukan kontraksi
dasar panggul agar mengantisipasi batuk, bersin, atau tertawa, mengalami lebih
sedikit kebocoran urin jika dibandingkan dengan wanita yang tidak melakukannya.
Tidak semua wanita dapat melakukan latihan dasar panggul secara benar saat
diberikan melalui instruksi oral. Wanita dapat dilatih untuk menjalankan latihan dasar
panggul sambil melakukan pemeriksaan pelvis bimanual. Wanita yang tidak dapat
mengidentifikasi otot dasar panggulnya dapat memperoleh bantuan dengan cara
menemui seorang terapis fisik yang sudah terlatih dalam memberikan terapi dasar
panggul. Latihan otot dasar panggul tidak dianjurkan dilakukan saat sedang
berkemih, karena interupsi yang terus-menerus saat berkemih dapat menyebabkan
disfungsi berkemih. Selain itu, kemampuan untuk menghentikan aliran urin secara
intermiten tidak dapat mengkonfirmasi bahwa latihan tersebut telah dilakukan secara
benar. Untuk wanita gemuk atau berat badan berlebih, penurunan berat badan dapat
memperbaiki fungsi kontinensia. Dari sebuah percobaan kecil, diketahui bahwa
wanita gemuk yang secara acak dipilih untuk menjalani penurunan berat badan
melalui diet cairan, ternyata mengalami pengurangan inkontinensia yang lebih
signifikan jika dibandingkan dengan pasien yang tidak melakukannya. Penurunan
sebesar 5 hingga 10% dari berat badan awal dapat mengurangi frekuensi
inkontinensia hingga 50%. Modifikasi lain terhadap diet dan kebiasaan, seperti
penghentian merokok dan pengurangan intake caffeine, belum terbukti berkhasiat
dalam mengatasi inkontinensia, meskipun hal ini sering direkomendasikan.
Medikasi
Duloxetine hydrochloride, suatu jenis serotonin-reuptake inhibitor (penghambat
ambilan kembali serotonin) yang digunakan dalam terapi depresi, memiliki sejumlah
khasiat dalam penatalaksanaan inkontinensia stres, meskipun saat ini obat tersebut
belum setujui sebagai terapi resmi inkontinensia di Amerika Serikat. Sebuah meta-
analisis beberapa percobaan acak terbaru telah menyimpulkan bahwa duloxetine
secara signifikan dapat menurunkan frekuensi episoden inkontinensia stres dan
meningkatkan kualitas hidup. Efek sampingnya, terutama mual, cukup lazim
ditemukan namun pada umumnya bersifat ringan. Agonist α, seperti clonidine, telah
digunakan secara empirik untuk penatalaksanaan inkontinensia stres, namun
aplikasinya belum didukung oleh beberapa penelitian, dan khasiatnya dalam praktek
klinis cenderung terbatas. Penatalaksanaan estrogen postmenopause pernah dipercaya
dapat mengurangi gejala inkontinensia stres. Namun, data dari Heart and
Estrogen/Progestin Replacement Study menunjukkan bahwa resiko inkontinensia
stres dan desakan justru secara signifikan lebih tinggi pada wanita yang mendapatkan
estrogen tunggal atau estrogen dan progesterone jika dibandingkan dengan wanita
yang hanya mendapatkan plasebo. Berdasarkan hasil ini, maka pemberian terapi
hormon tidak diindikasikan untuk inkontinensia stres.
Peralatan Bantu
Peralatan bantu yang dapat mengatasi inkontinensia antara lain tampon dan pesarium
(spiral). Pesarium merupakan suatu alat intravaginal yang dapat mendukung organ
pelvis (gambar 2).
Gambar 2: Pesarium untuk mengatasi inkontinensia stres
Pesarium inkontinensia memiliki knop yang terletak di bawah urethra sehingga dapat
meningkatkan dukungan pada urethral. Pesarium harus dirawat dengan baik dan perlu
dilepas dan dibersihkan secara reguler; resiko yang berhubungan dengan alat ini
sangat sedikit kecuali erosi pada jaringan vagina dan sekret vagina. Karena pesarium
memiliki banyak variasi bentuk dan ukuran, maka pesarium harus dicocokkan untuk
pasien memperoleh kenyamanan dan dapat mengoptimalisasi fungsinya dalam
mengatasi gejala. Sekitar separuh populasi wanita merasa cocok dengan penggunaan
pesarium selama 1 hingga 2 tahun. Sebuah percobaan acak terkontrol yang
membandingkan penggunaan tampon super dan penggunaan pesarium dengan yang
tanpa alat bantu pada pasien wanita yang mengalami inkontinensia ketika sedang
bergiat, berhasil menunjukkan bahwa tampon dan pesarium memiliki efektivitas yang
sama dalam mengurangi frekuensi inkontinensia stres.
Pembedahan
Jumlah prosedur pembedahan untuk inkontinensia stres pada wanita di Amerika
Serikat mengalami peningkatan dari 0.32 per 1000 jiwa pada tahun 1979, menjadi
0.60 per 1000 jiwa pada tahun 1997. Meskipun sudah ada lebih dari 100 prosedur
pembedahan yang telah dijelaskan sebagai terapi inkontinensia stres, prosedur standar
baku untuk tindakan ini adalah Burch colposuspension dan fascial sling (gambar 3)
Gambar 3: Prosedur pembedahan untuk mengatasi inkontinensia stres
Kedua metode tersebut dirancang untuk meningkatkan dukungan urethral. Sebuah
percobaan acak terbaru terhadap 655 wanita berhasil menemukan angka kesembuhan
yang lebih baik (yang dinilai berdasarkan kombinasi luaran objektif dan subyektif)
untuk tindakan fascial sling jika dibandingkan dengan Burch colposupension di tahun
kedua pasca operasi (47% vs 38%, p=0.01); namun, sling mengakibatkan lebih
banyak efek samping, seperti infeksi traktus urinarius, disfungsi berkemih, dan gejala
buli-buli over-reactive (reaksi berlebihan).
Prosedur sling yang minimal invasif hanya dengan menggunakan anestesia lokal,
dapat mempercepat masa pemulihan dan mengurangi durasi ketergangtungan pada
kateter. Tension-free vaginal tape (gambar 3), yang sekarang ini digunakan secara
luas, merupakan prosedur sling minimal invasif urethral-media pertama yang telah
diuji oleh banyak percobaan acak. Angka kesuksesan prosedur dalam 2 tahun untuk
tension-free vaginal tape hampir sama dengan angka kesuksesan Burch
colposuspension. Pasien yang menjalani prosedur tension-free vaginal tape memiliki
durasi operasi yang lebih singkat dan komplikasi pasca-operasi seperti hernia
abdominal yang lebih sedikit (0% vs 2% untuk Burch colposuspension) namun
komplikasi intraoperatif-nya lebih tinggi seperti cedera buli-buli (9% vs 2%). Sebuah
teknik yang lebih baru (menggunakan transobturator tape) yang melibatkan
penggunaan mesh polypropylene melalui foramen obturator, bukannya melalui
cavum retropubik, hingga saat ini masih memiliki sedikit pembuktian lewat penelitian
acak terkontrol. Sebuah percobaan tunggal yang membandingkan penggunaan
transobturator tape dan Burch colposuspension telah menemukan bahwa angka
kesuksesan antara kedua prosedur tersebut tidak jauh berbeda. Semua prosedur
operasi untuk inkontinensia stres memiliki resiko tertentu – termasuk timbulnya
gejala buli-buli over-reactive, disfungsi berkemih (yang bisa saja bersifat permanen),
peningkatan resiko infeksi traktus urinarius, dan kegagalan mengontrol gejala
inkontinensia stres secara adekuat. Mayoritas wanita yang menjalani pembedahan
untuk inkontinensia stres melaporkan bahwa mereka puas dengan hasil pembedahan
dan mengalami peningkatan kualitas kehidupan, termasuk perbaikan fungsi seksual.
AREA KETIDAKPASTIAN
Definisi Penyembuhan
Tingkat penyembuhan yang dilaporkan berhubungan dengan penatalaksaan bedah
inkontonensia stres untuk tindakan Burch colposuspension, suburethral sling, tension-
free vaginal tape, atau transobturator tape, memiliki nilai yang bervariasi, mulai dari
30% hingga 100%. Variasi yang luas ini berhubungan erat dengan perbedaan definisi
sembuh. Secara tradisional, penyembuhan inkontinensia stres didefinisikan sebagai
ketiadaan kebocoran urin saat diuji dengan tes urodinamik atau tes popok dan hal ini
hanya dapat ditentukan oleh klinisi. Namun, pemeriksaan obyektif tidak selalu
menjadi indikasi persepsi sembuh untuk pasien, sehingga saat ini telah berkembang
suatu penilaian yang berhubungan dengan pemeriksaan subyektif. Meskipun saat ini
sudah ada kuisioner tervalidasi yang dapat mengukur luaran subyektif, namun
penggunaannya secara klinis masih terbatas. Diskusi yang jujur dengan pasien
mengenai keluhan, sekaligus ekspektasi dan tujuan operasi, dapat membantu proses
pemilihan jenis terapi. Meskipun banyak laporan yang menyebutkan rasa puas pasien
dan peningkatan kualitas hidup, hanya beberapa wanita yang dapat mengalami
ketiadaan kebocoran secara absolut. Hal ini memiliki implikasi yang penting dalam
konseling pembedahan, karena deskripsi realistis mengenai luaran hasil operasi yang
diharapakan merupakan hal utama dalam informed consent.
Pencegahan
Berdasarkan data observasional yang mengindikasikan bahwa peningkatan
inkontinensia stres pada wanita yang telah menjalani persalinan pervaginam jauh
lebih besar jika dibandingkan dengan persalinan caesar, maka persalinan caesar
merupakan salah satu strategi yang dianjurkan untuk mencegah inkontinensia stres.
Namun strategi kontroversial ini telah didukung oleh sebuah percobaan tunggal yang
membandingkan proses persalinan caesar versus persalinan pervaginam untuk kasus
letak bokong, yang menunjukkan bahwa persalinan caesar dapat menurunkan angka
inkontinensia stres pada 3 bulan pertama postpartum (relative risk, 0.62; 95%
confidence interval, 0.41 to 0.93) namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok yang diteliti untuk tahun ke-2 postparum. Dari penelitian
epidemiologi, diketahui bahwa insidensi inkontinensia stres cenderung lebih tinggi
pada wanita yang telah menjalani persalinan cesar jika dibandingkan dengan wanita
nullipara, hal ini mengimplikasikan bahwa peningkat resiko inkontinensia pasca-
persalinan kemungkinan terjadi karena proses persalinan itu sendiri atau karena faktor
lain yang tidak berhubungan dengan jenis persalinan.
Prosedur Pembedahan Terbaru
Banyak sling miduretrhal dan alat bantu ang telah disetujui penggunaannya oleh Food
and Drug Administration (FDA). Namun, persetujuan ini disertai dengan FDA’s
510(k) atau suatu pemberitahuan pra-pemasaran, yang membuat pengesahan
peralatan tersebut tidak harus melewati proses pengujian tingkat keamanan dan
khasiat secara menyeluruh, namun cukup membutuhkan bukti bahwa alat yang serupa
dengan alat baru, sudah pernah disetujui sebelumnya. Resiko potensial yang
berhubungan dengan proses ini pernah terjadi pada sling ProteGen, yang telah
terimplantasi secara meluas pada banyak wanita sebelum dilakukan percobaan klinis.
Beberapa laporan selanjutnya menyebutkan bahwa erosi sling pada jaringan vagina
mengalami peningkatan hingga 30% pada wanita, setelah menggunakannya selama 5
bulan, sehingga sling ProteGen ditarik dari pasar. Selain itu pengesahan alat melalui
metode 510(k) melibatkan proses pelaporan efek samping dan komplikasi yang
bersifat sukarela, sehingga kemungkinan besar hal ini tidak bersifat representatif.
Hingga terdapat data komparatif yang telah ditinjau oleh banyak rekan sejawat, maka
kewaspadaan sangat dianjurkan pada semua penggunaan alat bantu jenis baru, dan
pasien harus sudah diinformasikan bahwa data-data yang mendukung penggunaan
alat baru tersebut dan tekniknya hingga saat ini masih terbatas.
PANDUAN
International Continence Society, the American Urogynecologic Society, dan the
Society of Gynecological Surgeons telah mengeluarkan sebuah pernyataan untuk
menstandarisasi terminologi yang berkaitan dengan kelainan dasar panggul, termasuk
istilah inkontinensia urin, dan ringkasan mengenai jenis pemeriksaan yang
direkomendasikan; tinjauan yang kami berikan pada artikel ini secara umum sudah
sesuai dengan rekomendasi dari kedua organisasi tersebut. The American College of
Obstetricians and Gynecologists telah mempublikasikan beberapa panduan praktis
untuk penanganan pasien wanita yang mengalami inkontinensia urin, meskipun tidak
disebutkan secara spesifik mengenai inkontinensia stres. Pada tahun 1997, American
Urological Association mempublikasikan beberapa rekomendasi untuk
penatalaksanaan bedah pada inkontinensia stres, namun rekomendasi tersebut masih
menggunakan hasil percobaan mengenai intervensi pembedahan yang sudah
ketinggalan zaman.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kebocoran urin yang terjadi saat batuk, bersin, atau bergiat, seperti yang dilaporkan
oleh pasien dalam vinyet ini, merupakan salah satu ciri khas inkontinensia stres.
Untuk itu pasien tersebut perlu menjalani pemeriksaan fisik, berupa uji cough stress,
dan urinalisis serta pemeriksaan volume urin residual pasca-berkemih. Jika hasil
urinalisis dan volume residual normal, maka pasien tersebut harus menjalani terapi
perilaku dan latihan otot dasarpanggul. Secara spesifik, pasien harus merampungkan
catatan harian berkemih, yang dapat menilai jumlah cairan yang diminum pasien dan
mengevaluasi kebiasaan berkemihnya. Selama pemeriksaan fisik, kita harus
memastikan bahwa pasien sudah melakukan latihan otot dasar panggul secara tepat
dan pasien mengulanginya sebanyak 30 hingga 50 kali latihan per hari. Penurunan
berat badan dapat mengurangi gejala pasien dan hal ini harus dianjurkan pada pasien.
Jika pasien ingin melakukan aktivitas fisik yang aktif, maka pasien dapat
menggunakan popok. Kita dapat mempertimbangkan terapi pembedahan sebagai
alternatif terhadap terapi perilaku dan alat bantu. Kita harus menjelaskan pada pasien
bahwa terapi pembedahan kemungkinan besar dapat meningkatkan kualitas
kehidupan dan fungsi seksual, sekaligus mengurangi gejala inkontinensia, namun
tidak secara komplit mengatasi semua gejalanya.