259

Jurnal Itkt51 Final

Embed Size (px)

Citation preview

  • ISSN Cetak : 2087-9423 Vol. 5, No. 1, Juni 2013 ISSN Electronik: 2085-6695

    JURNAL ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN TROPIS

    Akreditasi LIPI No.: 742/E/2012 Tanggal 7 Agustus 2012

    Diterbitkan Oleh: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

    http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

  • Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis yang terbit semenjak Juni 2009, mulai Desember 2010 diterbitkan secara cetak dan elektronik. Jurnal ini merupakan jurnal ilmiah dibidang ilmu dan teknologi kelautan tropis dan diterbitkan secara berkala sebanyak dua kali dalam setahun. Jurnal ini terakreditasi secara nasional semenjak Agustus 2012 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No.: 742/2/2012 tanggal 7 Agustus 2012. Redaksi menerima paper dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang dikirim melalui email ke alamat redaksi dan mengikuti pedoman penulisan paper yang terdapat pada bagian belakang jurnal ini. Diterbitkan oleh : Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan

    Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB Penanggung Jawab : Ketua Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan

    Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB Pemimpin Redaksi (Editor in Chief): Bisman Nababan, Ph.D. Redaksi Pelaksana (Executive Editors): Dr. Alimuddin (Aquaculture, BDP-IPB) Dr. Ario Damar (Biological Oceanography, MSP-IPB) Dr. Iskaq Iskandar (Physical Oceanography, UNSRI) Dr. Muhammad Lukman (Marine Pollution and Ecotoxicology, UNHAS) Dewan Redaksi/Mitra Bebestari (Editorial Board):

    Augy Syahailatua, Ph.D. (Marine Fisheries and Marine Biology, P2O-LIPI) Bambang Yulianto, Ph.D. (Marine Ecotoxicology, FPIK-UNDIP) Dr. Eddy A. Subroto (Marine Geology, ITB) Prof. Dr. Feliatra (Marine Microbiology, ITK-UNRI) Prof. Dr. Dwi Djoko Eny Setyono (Marine Biology and Aquaculture, P2O-LIPI) Prof. Dr. Inneke Rumengan (Marine Biotechnology, FPIK-UNSRAT) Prof. Dr. Jamaluddin Jompa (Coral Reef and Marine Ecology, UNHAS) Joko Santoso, Ph.D. (Aquatic Product Processing Technology, THP-IPB) Dr. Jonson L. Gaol (Marine Remote Sensing & GIS, ITK- IPB) Prof. Dr. Mulia Purba (Physical Oceanography, ITK-IPB) Dr. Mutiara Putri (Physical Oceanography, ITB) Neviaty P. Zamani, Ph.D. (Marine Biology, Coral Reef, ITK-IPB) Rizal Idrus, Ph.D. (Marine Ecology, Coastal Zone Management, UNHAS) Suhartati M. Natsir, Ph.D. (Marine Ecology, Marine Geology, P2O-LIPI) Wahyu Pandoe, Ph.D. (Physical Oceanography, Modeling, BPPT) Zainal Arifin, Ph.D. (Marine Pollution, Chemical Oceanography, P2O-LIPI) Tri Prartono, Ph.D. (Chemical Oceanography, ITK-IPB)

    Penyunting Pelaksana: Verlin Ayu Ibrani, Sri Ratih Deswati, Muhammad Subhan, dan Sahat M.R. Tampubolon Alamat Redaksi : Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK

    Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 e-mail: [email protected]

    Isi dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya

  • KATA PENGANTAR

    Selamat datang terhadap Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Volume 5 Nomor 1 Juni 2013 yang terbit secara online dan cetak. Jurnal ini merupakan media informasi hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan teknologi kelautan tropis khususnya pada perairan Indonesia.

    Pemimpin redaksi sangat senang melihat besarnya antusiasme masyarakat ilmiah dibidang Ilmu dan Teknologi Kelautan dalam mengirimkan papernya untuk diterbitkan dalam jurnal ini. Melalui seleksi dan review oleh tim reviewer (mitra bebestari), dari sejumlah paper yang masuk, sebanyak 21 paper dapat diterima dengan perbaikan untuk diterbitkan pada edisi ini.

    Mulai edisi ini, jurnal ini sudah dilengkapi dengan indeks yang dimuat pada halaman akhir jurnal untuk memudahkan pembaca dalam menemukan halaman atau lokasi akan topik dan penulis yang diinginkan. Semoga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis ini dapat meningkatkan diseminasi dan ketersediaan informasi akan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan teknologi kelautan serta perikanan tropis.

    Pemimpin Redaksi

  • ISSN Cetak : 2087-9423 ISSN Elektronik : 2085-6695

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis

    Vol. 5, No. 1, Juni 2013

    DAFTAR ISI

    KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PADA KEPULAUAN SERIBU (THE COMPOSITION AND DISTRIBUTION OF BENTHIC FORAMINIFERA AT CORAL REEF ECOSYSTEM IN THOUSANDS ISLAND) Lumban Nauli Lumban Toruan, Dedi Soedharma, dan Kresna Tri Dewi ............................... 1

    KARAKTERISTIK KOMUNITAS FORAMINIFERA LAUT DALAM DI TELUK TOMINI, SULAWESI (THE CHARACTERISTIC OF DEEP SEA FORAMINIFERAL COMMUNITY IN TOMINI BAY, SULAWESI) Kresna Tri Dewi dan Mustafa Hanafi ..................................................................................... 17

    FORAMINIFERA BENTONIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KONDISI PERAIRAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN FORAM Index DI GUGUSAN KEPULAUAN NATUNA, PROVINSI KEPULAUAN RIAU (BENTHIC FORAMINIFERA AS BIOINDICATOR OF CORAL REEF ENVIRONMENTAL CONDITION BASED ON FORAM Index IN NATUNA ISLANDS, PROVINCE OF RIAU ISLANDS) Kinanti Gitaputri, Hikmat Kasmara, Tatang S. Erawan, dan Suhartati M. Natsir .................. 26

    TUTUPAN LAMUN DAN KONDISI EKOSISTEMNYA DI KAWASAN PESISIR MADASANGER, JELENGA, DAN MALUK KABUPATEN SUMBAWA BARAT (SEAGRESS COVERAGE AND ECOSYSTEM CONDITION AT THE COASTAL AREA OF MADASANGER, JELENGA AND MALUK, WEST SUMBAWA) Erny Poedjirahajoe, Ni Putu Diana Mahayani, Boy R. Sidharta, dan Muhamad Salamuddin 36

    PEMELIHARAAN LARVA IKAN HIAS BALONG PADANG (Premnas biaculeatus) DENGAN PENGKAYAAN PAKAN ALAMI (LIFE FEED ENRICHMENT FOR LARVAL REARING OF YELLOWBAND CLOWNFISH (Premnas biaculeatusKetut Maha Setiawati dan Gunawan ....................................................................................... 47

    ))

    LAMA WAKTU DAN KEPADATAN TELUR DALAM UPAYA PERBAIKAN TEKNOLOGI TRANSPORTASI TERTUTUP PADA TELUR KERAPU (DURATION TIME AND EGGS DENSITY TO IMPROVE CLOSED TRANSPORTATION TECHNOLOGY ON GROUPER EGGS) Suko Ismi ................................................................................................................................ 54

    DAYA PENEMPELAN LARVA KERANG MUTIARA (Pinctada maxima) PADA KOLEKTOR DENGAN POSISI TEBAR DAN KEDALAMAN BERBEDA (SETTLEMENT ABILITY OF THE PEARL OYSTER LARVAE (Pinctada maxima

    Mat Sardi Hamzah ................................................................................................................... 60

    ) AT DIFFERENT POSITIONS AND DEPTHS COLLECTORS)

    SPEKTRAL REMOTE SENSING REFLEKTANSI PERMUKAAN AIR LAUT (SPECTRAL OF REMOTE SENSING REFLECTANCE OF SURFACE WATERS) Bisman Nababan, Anak A.G. Wirapramana, dan Risti E. Arhatin ......................................... 69

  • PENGARUH PERBEDAAN METODE PERENDAMAN DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA TEPUNG IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) (THE EFFECTS OF DIFFERENT IMMERSION METHOD AND TIME ON THE PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTICS OF SKIPJACK TUNA (Katsuwonus pelamis

    Christina Litaay dan Joko Santoso .......................................................................................... 85

    ) FISH MEAL)

    DIMENSI GUNUNG BAWAH LAUT DENGAN MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER DI PERAIRAN BENGKULU (DIMENSION OF SEAMOUNT USING MULTIBEAM ECHOSOUNDER IN BENGKULU WATERS) Fahrulian, Henry Manik, dan Djoko Hartoyo ......................................................................... 93

    KERAGAMAN GENETIK IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) GENERASI F1 DAN F3 (GENETIC VARIATION OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes altivelis

    Sari Budi Moria Sembiring, Tridjoko, dan Haryanti ............................................................... 103

    ) ON F1 AND F3 GENERATIONS)

    EVALUASI LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR SEMARANG (ECOLOGICAL ASSESSMENT IN SEMARANG COASTAL WATER) Ricky Rositasari dan Lestari .................................................................................................... 112

    PERBEDAAN DISTRIBUSI KONSENTRASI DAN SUMBER PESTISIDA ORGANO-KLORIN DALAM AIR DAN SEDIMEN PADA MUSIM PERALIHAN DI PERAIRAN TELUK JAKARTA (DIFFERENCES CONCENTRATION DISTRIBUTION AND SOURCE OF IN ORGANO-CHLORINE PESTICIDES IN WATER AND SEDIMENT IN JAKARTA BAY WATERS DURING TRANSITION SEASON) Khozanah ................................................................................................................................. 122

    STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEKOTONG DAN TELUK KODEK, KABUPATEN LOMBOK (COMMUNITY STRUCTURE OF PHYTOPLANKTON IN SEKOTONG AND KODEK BAY WATERS, WEST LOMBOK) Sutomo .................................................................................................................................... 131

    KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN KEPULAUAN BANGGAI (THE ABUNDANCE AND SPATIAL DISTRIBUTION OF PLANKTON COMMUNITIES IN BANGGAI ISLANDS WATERS) Hikmah Thoha dan Arief Rachman ......................................................................................... 145

    TRIGLYCERIDE COMPOSITION OF SIXTEEN STRAINS OF MARINE DIATOM Lily M.G. Panggabean, Abdullah Rasyid, Zarrah Duniani, Yana Meliana, dan Indah Kurniasih ................................................................................................................................. 162

    DISTRIBUSI DAN PREDIKSI TINGKAT PENCEMARAN LOGAM BERAT (Pb, Cd, Cu, Zn, dan Ni) DALAM SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU BANGKA MENGGUNAKAN INDEKS BEBAN PENCEMARAN DAN INDEKS GEOAKUMULASI (DISTRIBUTION AND PREDICTION ON HEAVY METALS POLLUTION LEVEL (Pb, Cd, Cu, Zn, and Ni) IN SEDIMENT IN BANGKA ISLAND WATERS USING LOAD POLLUTION INDEX AND GEOACCUMULATION INDEX) Fasmi Ahmad .......................................................................................................................... 170

  • KONSENTRASI Hg, Cd, Cu, Pb,DAN Zn DALAM SEDIMEN DI PERAIRAN GRESIK (CONCENTRATION OF Hg, Cd, Cu, Pb AND Zn IN SEDIMENT OF GRESIK WATERS) Lestari dan Fitri Budiyanto ..................................................................................................... 182

    PERKEMBANGAN EMBRIO DAN RASIO PENETASAN TELUR IKAN KERAPU RAJA SUNU (Plectropoma laevis) PADA SUHU MEDIA BERBEDA (EMBRYONIC DEVELOPMENT AND HATCHING EGGS RATIO OF BLACKSADDLED CORAL GROUPER (Plectropoma laevisWawan Andriyanto, Bejo Slamet, I Made Dharma Jaya Ariawan .......................................... 192

    ) AT DIFFERENT TEMPERATURE MEDIA)

    MIKROBA PARAMETER KUALITAS PERAIRAN P. PARI UNTUK UPAYA PEMBESARAN BIOTA BUDIDAYA (MICROBES PARAMETERS OF WATER QUALITY FOR AQUACULTURE ON PARI ISLAND WATERS) Lies Indah Sutiknowati ............................................................................................................ 204

    KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN LAMALERA DAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR (ZOOPLANKTON COMMUNITY IN LAMALERA SEA AND SAWU SEA, EAST NUSA TENGGARA) Nurul Fitriya dan Muhammad Lukman ................................................................................... 219

    Pedoman Penulisan Paper ....................................................................................................... 228

    Indeks ...................................................................................................................................... 236

  • Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 1-16, Juni 2013

    Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 1

    KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PADA KEPULAUAN SERIBU

    THE COMPOSITION AND DISTRIBUTION OF BENTHIC FORAMINIFERA AT

    CORAL REEF ECOSYSTEM IN THOUSANDS ISLAND

    Lumban Nauli Lumban Toruan1, Dedi Soedharma2, dan Kresna Tri Dewi3 1Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana,

    Nusa Tenggara Timur; E-mail: [email protected] 2Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB, Bogor

    3Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Bandung

    ABSTRACT Composition and distribution of foraminifers are affected by human activities and have close association with coral reef ecosystem. The aims of this research were to investigate the benthic foraminifers composition and distribution in sediment of coral reef ecosystem. Eleven stations of Karang Bongkok, Pramuka, and Onrust Island were observed in this study. The sediments were taken from surface substrate up to 2 cm under the substrate. Samples were washed on sieve with mesh size 0,063 mm, and then dried in oven with 50C of temperature for two hours. After separating from the sediment, the foraminifers were laid on foraminiferal slide and indentified using binocular microscope. The highest composition of symbiont-bearing foraminiferal assemblages which associated with reef ecosystem was in East Pramuka (78.17%) and the lowest was in South Onrust (21,83%). The opportunistic type had the highest composition in South Onrust (38.67%) and the lowest was in South Karang Bongkok. In west Pramuka had the highest composition of heterotrophic type (57.17%) and the lowest was in North Onrust (11.33%). Onrust Island was dominated by opportunistic type, indicating high nutrient. The highest amount of foraminifers taxa was found in Karang Bongkok with good coral reef coverage, while the lowest in Onrust facing with Jakarta Bay. Keywords: composition, distribution, benthic foraminifers, coral reef.

    ABSTRAK

    Komposisi dan distribusi foraminifera dipengaruhi oleh aktivitas manusia di pesisir dan memiliki asosiasi yang erat dengan terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi dan distribusi foraminifera bentik di sedimen pada ekosistem terumbu karang. Sebelas stasiun pada Pulau Karang Bongkok, Pramuka, dan Onrust dipilih sebagai lokasi penelitian. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen dasar perairan sampai 2 cm di bawah permukaan sedimen. Sampel tersebut dicuci dengan air mengalir dalam saringan 0,063 mm, lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50C selama dua jam yang kemudian diletakkan pada foraminiferal slide untuk diidentifikasi dengan mikroskop binokuler. Foraminifera tipe simbion alga dengan komposisi tertinggi terdapat pada Stasiun Pramuka Timur (78,17%), sedangkan yang terendah terdapat pada Stasiun Onrust Selatan (21,83%). Komposisi foraminifera tipe oportunis tertinggi berada pada Stasiun Onrust Selatan (38,67%) dan terendah di Stasiun Karang Bongkok Selatan (2,50%). Stasiun Pramuka Barat memiliki komposisi tertinggi untuk tipe heterotrofik (57,17%), dan yang terendah pada tipe ini berada di Stasiun Onrust Utara (11,33%). Pulau Onrust yang tidak memiliki terumbu karang didominasi oleh foraminifera jenis oportunis sebagai indikator tingginya konsentrasi nutrien. Jumlah taksa foraminifera tertinggi terdapat di Pulau Karang Bongkok yang memiliki penutupan karang yang baik dan terendah di Pulau Onrust yang berhadapan dengan Teluk Jakarta. Kata kunci: komposisi, distribusi, foraminifera bentik, terumbu karang.

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    2 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    I. PENDAHULUAN

    Ekosistem terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu merupakan salah satu ekosistem pesisir dengan biodiversitas yang tinggi dan memiliki sumberdaya alam yang sangat menarik bagi beragam aktivitas perairan. Sebagai kawasan yang sebagian besar wilayahnya ditetapkan sebagai taman nasional, ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu menunjukkan kondisi yang semakin buruk akibat eksploitasi dan dampak pencemaran dari wilayah sekitar Jakarta dan Banten. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Fadila dan Idris (2009) pada Kepulauan Seribu menunjukkan adanya penurunan rerata penutupan karang keras dari 33,1% pada tahun 2003 menjadi 31,7% pada tahun 2007. Selain itu terjadi penurunan kelimpahan rerata karang keras dari 46.015 koloni/ha pada tahun 2005 menjadi 35.878 koloni/ha pada tahun 2007 (Estradivari et al., 2009). Degradasi yang paling tinggi terjadi di area pulau-pulau bagian selatan yang berdekatan dengan Teluk Jakarta. Degradasi lingkungan pada wilayah ini akan berpengaruh terhadap eksistensi berbagai ekosistem lain beserta organisme yang berasosiasi.

    Salah satu kelompok organisme yang mendiami ekosistem terumbu karang adalah foraminifera. Foraminifera meru-pakan salah satu kelompok organisme yang bersimbiosis dan memiliki asosiasi yang sangat erat dengan terumbu karang. Nybakken dan Bertness (2006) menyata-kan keberadaan foraminifera bentik dapat meningkatkan proses kalsifikasi terumbu karang antara 20 sampai 40 kali dibandingkan dengan yang tidak berasosiasi dengan foraminifera bentik tersebut. Berkaitan dengan siklus hidup-nya yang singkat serta pola adaptasinya, fauna renik seperti foraminifera bentik dapat segera merespon perubahan lingkungan (Day et al., 1989), oleh karena

    itu organisme ini sangat meyakinkan dalam penggunaannya untuk menilai kondisi lingkungan perairan. Perubahan yang mencolok dari eksistensi foraminifera dapat digunakan sebagai indikator ekologi untuk menduga kualitas ekosistem terumbu karang.

    Hallock et al. (1995) dan Cockey et al. (1996) in Scott et al. (2004) telah memantau adanya hubungan antara kumpulan foraminifera bentik dengan kondisi terumbu karang di Amerika. Negara Australia telah menggunakan foraminifera sebagai salah satu bagian dari pemantauan kondisi terumbu karang (Reef Plan Marine Monitoring Pro-gramme) sejak tahun 2008 (Schaffelke et al., 2008). Uraian tersebut menunjukkan adanya asosiasi yang kuat antara foraminifera bentik dengan terumbu karang. Karena kuatnya asosiasi kedua kelompok organisme tersebut, maka aktivitas manusia yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang akan mempe-ngaruhi komposisi dan distribusi fauna bentik ini.

    Beberapa kajian mengenai foraminifera bentik telah dilakukan di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu. Helfinalis dan Rositasari (1988) menemukan kumpulan Calcarina yang melimpah di ekosistem terumbu karang yang masih baik di Pulau Pari. Renema (2008) mendapatkan foraminifera bentik kelompok fungsional simbion alga di area terumbu karang di Kepulauan Seribu. Pada wilayah yang berada di luar ekosistem terumbu karang di Pulau Bidadari, Pulau Pramuka, dan Pulau Belanda, foraminifera kelompok oportunis akan melimpah melampaui kelompok foraminifera yang berasoisasi dengan terumbu karang (Dewi et al., 2010). Berbagai kajian tersebut menunjukkan adanya preferensi habitat dari masing-masing kelompok fungsional foraminifera bentik. Oleh karena itu penelitian ini diadakan untuk mengkaji komposisi dan

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 3

    distribusi foraminifera bentik di sedimen pada ekosistem terumbu karang pada kondisi ekosistem terumbu karang yang berbeda di Kepulauan Seribu. II. METODE PENELITIAN

    Sebelas stasiun, masing-masing empat stasiun pada Pulau Karang Bongkok, empat stasiun pada Pulau Pramuka, dan tiga stasiun pada Pulau Onrust dipilih sebagai lokasi penelitian (Gambar 1) pada Bulan April 2011. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen dasar perairan sampai kedalaman 2 cm di bawah permukaan sedimen. Sampel tersebut dicuci dengan air yang mengalir dalam saringan 0,063 mm, lalu dikeringkan menggunakan oven

    pada suhu 50C selama dua jam. Sampel foraminifera diletakkan pada forami-niferal slide untuk proses identifikasi menggunakan mikroskop binokuler dan diambil sebanyak 300 individu dalam setiap sampel (Hallock et al., 2003). Identifikasi yang digunakan mengacu pada Adisaputra et al. (2010), Albani dan Yassini (1993), Barker (1960), Loeblich dan Tappan (1994), dan Nobes dan Uthicke (2008). Uji t digunakan untuk melihat perbedaan nilai respon antar stasiun (Schueth dan Frank, 2008). Uji t dalam penelitian ini merupakan uji dua pihak dengan menguji kesamaan dua rata-rata dengan selang kepercayaan 95%. Formula Uji t berdasarkan Hammer dan Harper (2006).

    Gambar 1. Lokasi penelitian.

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    4 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Sebanyak enam ordo foraminifera bentik teridentifikasi dalam 179 spesies dari 53 genera. Keenam ordo tersebut adalah Astrorhizida, Buliminida, Lage-nida, Miliolida, Rotaliida, dan Textu-lariida. Rerata kisaran jumlah spesies dari seluruh stasiun pengamatan adalah 24-67 spesies, rerata jumlah genus berkisar antara 15-38 genera, sedangkan taksa yang memiliki kelimpahan relatif pada setiap genus 1% berkisar antara 10 -13 genera. Baik jumlah spesies dan genus yang rendah berada pada Stasiun Onrust Barat, sedangkan yang tinggi berada pada Stasiun Karang Bongkok Utara (Gambar 2). Secara umum, jumlah taksa tertinggi berada di Pulau Karang Bongkok dan makin menurun ke arah selatan, yaitu saat mendekati Teluk Jakarta yang memiliki tingkat pencemaran perairan yang tinggi. Hasil penelitian ini melengkapi kajian yang telah dilakukan van der Meij et al.

    (2009) tentang moluska dan van der Meij et al. (2010) mengenai terumbu karang. Penurunan jumlah taksa pada foraminifera, moluska, dan terumbu karang terjadi pada wilayah yang berdekatan dengan area yang mengalami tekanan akibat aktivitas manusia. Fauna karang di Teluk Jakarta pada tahun 2005 telah berkurang sebesar 45% bila dibandingkan dengan tahun 1920, sedangkan penurunan kekayaan spesies pada moluska lebih tajam lagi yaitu sebesar 66% bila dibandingkan dengan kekayaan spesies pada tahun 1937/1938. Pemulihan fauna karang dan organisme yang berasosiasi tersebut menjadi lebih lambat akibat dampak antropogenik dibandingkan dengan peristiwa alamiah seperti penaikan/penurunan muka laut secara ekstrim, proses predasi, dan pemanasan global. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh manusia dalam jangka panjang terhadap eksistensi fauna di ekosistem terumbu karang.

    Gambar 2. Jumlah taksa foraminifera bentik. Keterangan : K=Karang Bongkok,

    P=Pramuka, O=Onrust, U=Utara, B=Barat, S=Selatan, T=Timur.

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    KU KB KS KT PU PB PS PT OU OB OS K P O KPO

    Jum

    lah

    Taxa

    Sta.

    Spesies Genus Genus >=1%

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 5

    Komposisi kelompok fungsional simbion alga umumnya memiliki kelimpahan relatif tertinggi diikuti tipe heterotrofik dan tipe oportunis (Gambar 3). Komposisi foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang tertinggi terdapat pada Stasiun Pramuka Timur (78,17%), sedangkan yang terendah terdapat pada Stasiun Onrust Selatan (21,83%). Pada tipe oportunis, komposisi kelimpahan relatif tertinggi berada pada Stasiun Onrust Selatan (38,67%) dan terendah di Stasiun Karang Bongkok Selatan (2,50%). Stasiun Pramuka Barat memiliki kelimpahan relatif tertinggi untuk tipe heterotrofik (57,17%), dan kelimpahan relatif terendah pada tipe ini berada di Stasiun Onrust Utara (11,33%). Perbedaan komposisi foraminifera tipe simbion alga dan heterotrofik tidak nyata pada ketiga pulau, namun pada tipe oportunis perbedaan tersebut sangat nyata antara Pulau Karang Bongkok dan Pulau Onrust serta antara Pulau Pramuka dan Pulau Onrust (uji t, = 0,01). Tipe oportunis merupakan tipe yang mendominasi area yang kaya akan zat

    hara dimana kompetisi akan sumberdaya makanan menjadi minimal. Area yang kaya nutrien tersebut terletak pada wilayah yang mendapat masukan cukup tinggi dari daratan akibat aktivitas manusia. Pada wilayah yang tertekan secara ekologi tersebut, tipe oportunis dapat beradaptasi pada kondisi eutrofik dan berkembang biak dengan baik (Hallock et al., 2003).

    Penggunaan komposisi kelimpahan relatif yang memberikan kontribusi minimal 1% menyebabkan tereduksinya kelimpahan relatif, sehingga komposisi kelimpahan tertinggi terdapat di Stasiun Onrust Barat (96,83%) dan terendah di Stasiun Pramuka Barat (75,67%) (Gambar 4). Jumlah genus mengalami penurunan menjadi 13 genera. Calcarina merupakan tipe simbion alga yang umumnya mendominasi seluruh stasiun (0,67-44,50%, x = 25,08%, SD = 15,16). Rosalina adalah tipe heterotrofik yang kelimpahan relatifnya paling rendah (0-5,00%, x = 1,21%, SD = 1,51) dan hanya terdapat pada sembilan stasiun.

    Gambar 3. Komposisi relatif kelompok fungsional foraminifera bentik.

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    6 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    Gambar 4. Komposisi relatif foraminifera bentik predominan.

    Seluruh genus predominan yang

    diperoleh pada penelitian ini merupakan genus yang umum ada di Kepulauan Seribu dengan kelimpahan yang berbeda antar pulau (Helfinalis dan Rositasari, 1988; Natsir, 1994; Suharti et al., 1994; Renema, 2008; Dewi et al., 2010; Natsir, 2010; Natsir dan Subkhan, 2010, 2011). Pulau yang pernah dikaji tersebut antara lain Pulau Onrust, Pulau Bidadari, Pulau Nirwana, Pulau Rambut, Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Tengah, Pulau Tidung Besar, Pulau Pramuka, Pulau Kotok Besar, Pulau Pemagaran, Pulau Bira, Pulau Belanda, Pulau Pelangi, Pulau Papate, Pulau Ringgit, Pulau Peteloran Timur, Pulau Genteng Kecil, dan Pulau Genteng Besar.

    3.1. Kelompok Simbion Alga 3.1.1. Calcarina

    Calcarina merupakan epifauna yang umumnya melimpah di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Genus ini umumnya berada pada kondisi perairan yang memiliki substrat lumpur

    sampai pecahan karang dan juga pada kondisi ekosistem karang yang baik dengan energi air yang cukup besar, baik arus maupun gelombang perairan.

    Helfinalis dan Rositasari (1988) dalam penelitiannya di Pulau Pari yang berada di sebelah selatan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, merekomendasikan bahwa kelompok Calcarinid merupakan indikator ekosistem terumbu karang. Indikasi tersebut berdasarkan kenyataan bahwa epifauna ini mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan terumbu karang (Rositasari, 1997). Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Natsir (2010), dimana pada Pulau Kotok Besar yang berada di barat laut Pulau Pramuka menemukan kelimpahan dari famili Calcarinidae tertinggi dibandingkan jenis-jenis lainnya, namun ditemukan dalam jumlah yang rendah di Pulau Nirwana yang berdekatan dengan Pulau Onrust. Pada penelitian ini terdapat tiga spesies Calcarina, yaitu C. spengleri sebagai spesies predominan diikuti C. mayori lalu C. defrancii.

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 7

    Murray (2006) menuliskan bahwa C. spengleri hidup pada substrat keras di ekosistem karang yang terbuka dengan kelimpahan yang tinggi pada perairan yang memiliki kandungan nutrien tinggi. Pada penelitian tahun 1929 di Teluk Jakarta, C. spengleri yang ditemukan menempati habitat berlumpur (mud), rataan karang, lereng karang, dan laguna (Tomascik et al., 1997). Troelstra et al. (1996) mendapatkan spesies ini di Spermonde, Sulawesi Selatan mendiami seluruh area terumbu karang dari intensitas cahaya yang tinggi sampai yang rendah, substrat yang lembut sampai keras, energi perairan yang rendah sampai sedang, serta kondisi perairan yang oligotrofik sampai eutrofik. Kemampuan C. spengleri untuk hidup pada perairan eutrofik mengindikasikan jenis ini merupakan pemangsa aktif dan tidak tergantung pada endosimbion saat kandungan organik perairan menjadi tinggi sehingga dapat dikelompokkan sebagai tipe oportunis. Namun meskipun dikelompokkan dalam tipe oportunis, habitat C. spengleri terbatas pada laut dangkal di sekitar karang. Hal ini berbeda dengan tipe oportunis lain seperti Ammonia dan Elphidium yang dapat hidup dari laut dangkal hingga laut terbuka baik di lingkungan terumbu karang maupun ekosistem laut lainnya.

    C. spengleri di Stasiun Onrust Utara dan Stasiun Onrust Barat yang terpapar langsung dengan laut lepas dengan substrat pecahan karang dan pasir memiliki kelimpahan yang tinggi dibandingkan dengan Stasiun Onrust Selatan. Stasiun Onrust Selatan lebih mendukung eksistensi kelompok oportunis dan heterotrofik lainnya seperti Elphidium dan Ammonia dibandingkan seluruh jenis Calcarina. Selain itu kelimpahan C. spengleri di Stasiun Onrust Barat yang didominasi oleh pecahan karang lebih tinggi dibandingkan Stasiun Onrus Utara yang didominasi substrat

    pasir. Hal ini sejalan dengan pendapat Cleary et al. (2005) mengenai C. spengleri di Spermonde yang lebih memilih daerah yang terbuka ibandingkan daerah terlindung. Pada bagian yang terbuka tersebut, C. spengleri akan menempel dengan kuat pada substrat atau pecahan karang. Renema (2006) juga menemukan preferensi C. spengleri terhadap substrat pecahan karang di Berau, Kalimantan Timur. Sen Gupta (2003) menyatakan habitat C. spengleri berada di rataan terumbu karang, pada wilayah yang sangat landai. Kondisi kemiringan dasar laut yang landai dari seluruh stasiun penelitian hanya ditemukan di Pulau Onrust. Meskipun pada saat pengambilan data tidak ditemukan terumbu karang, namun keberadaan pecahan karang dan berdasarkan data jumlah jenis karang yang diuraikan oleh van der Meij et al. (2010) menegaskan bahwa dahulu wilayah perairan di sekitar Pulau Onrust merupakan habitat bagi terumbu karang. Dengan demikian ada kemungkinan spesies tersebut berasosiasi dengan terumbu karang masa lampau. Untuk meyakinkannya, maka diperlukan penentuan umur dari spesimen yang ada. C. defrancii dan C. mayori umumnya ditemukan pada perairan oligotrofik dengan tingkat penutupan pecahan karang yang rendah. 3.1.2. Neorotalia

    Neorotalia ditemukan di seluruh stasiun penelitian. Pada penelitian ini, Neorotalia ditemukan pada semua jenis substrat, namun kelimpahan tertinggi ditemukan pada bagian wilayah yang cukup landai dengan kandungan nutrien dan bahan organik yang tinggi seperti di Pulau Onrust. N. calcar yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tahun 1975 menempati habitat berlumpur (mud), rataan karang, lereng karang, dan laguna (Tomascik et al., 1997). Pola yang serupa ditemukan oleh Renema et al. (2001) di

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    8 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    Spermonde. N. calcar ditemukan secara melimpah di Spermonde pada bagian yang lebih dalam zona atas lereng karang dengan substrat berpasir, membentuk kumpulan yang padat dan dapat mentoleransi kisaran parameter ling-kungan yang luas (eurytopic), sehingga dapat hidup pada perairan oligotrofik sampai eutrofik. Di Kepulauan Seribu, Renema (2008) berpendapat bahwa N. calcar akan mendominasi zona rataaan karang yang cukup landai sampai puncak karang.

    Selain memiliki kemiripan dalam hal preferensi substrat (Hohenegger et al., 1999), N. calcar dan C. spengleri memiliki kemampuan mentoleransi kisa-ran lingkungan perairan yang lebih luas dari C. defrancii (Renema dan Troelstra, 2001). Hasil penelitian menunjukkan kelimpahan C. defrancii menurun bahkan tidak ada pada lokasi ekosistem terumbu karang yang makin tercemar, sementara kelimpahan N. calcar dan C. spengleri meningkat. 3.1.3. Amphistegina

    Tiga spesies Amphistegina yang ditemukan berdasarkan jumlah terbanyak secara berturut-turut yaitu A. lessonii, A. radiata, dan A. lobifera. A. lessonii dan A. radiata banyak ditemukan pada daerah lereng terumbu, sedangkan A. lobifera jarang ditemukan. Hal ini terjadi karena habitat A. lobifera berada di bagian atas lereng terumbu pada perairan lebih dangkal dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi. Kondisi ini sesuai dengan yang diperoleh Renema (2008) di Kepulauan Seribu dan Troelstra et al. (1996) di wilayah Spermonde. Pada kedua lokasi oligotrofik tersebut, A. lessonii mendiami habitat dengan intensitas cahaya yang tinggi dan memiliki substrat keras seperti pecahan karang dengan energi perairan yang sedang sampai tinggi. Selain itu, jenis tersebut terletak pada dataran sampai lereng karang dimana

    kelimpahan tertinggi ditemukan di lereng karang (Renema dan Troelstra, 2001). A. radiata umumnya berada pada ekosistem terumbu karang yang didominasi substrat pecahan karang, beberapa muncul di wilayah berpasir bercampur dengan pecahan karang.

    Hasil penelitian Natsir (2010) menunjukkan kelimpahan Amphistegina yang tinggi merupakan indikasi perairan yang memiliki kondisi terumbu karang yang baik. Tomascik et al. (1997) menuliskan bahwa A. lessonii berada pada habitat rataan dan lereng karang di Pulau Pari. Hal ini sesuai dengan kondisi Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka yang merupakan wilayah terumbu karang, sehingga kelimpahan A. lessonii cukup tinggi

    Amphistegina memberikan respon negatif terhadap pencemaran perairan. Jenis ini melimpah di Pulau Karang Bongkok, namun kelimpahannya menurun di Pulau Pramuka, dan kelimpahan terendah tercatat di Pulau Onrust. Kelompok dari famili Amphisteginidae ini memiliki pola sebaran yang lebih jelas dibandingkan famili Calcarinidae dalam merespon kualitas perairan dan kondisi terumbu karang. Pada ekosistem terumbu karang yang baik, kelompok dari famili Amphisteginidae akan melimpah dan bersama dengan kelompok dari famili Calcarinidae akan mendominasi foraminifera lainnya, sedangkan kualitas perairan yang menurun menyebabkan kelimpahan kelompok ini menjadi berkurang (Hallock et al., 2003; Renema, 2010). 3.1.4. Peneroplis

    Peneroplis sangat jarang ditemukan pada perairan yang memiliki tingkat kekeruhan tinggi pada substrat berlumpur dan liat. Hal ini dibuktikan dengan sangat rendahnya kelimpahan Peneroplis di Pulau Onrust. Tiga spesies yang ditemukan dari kelimpahan yang tertinggi

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 9

    berturut-turut adalah P. pertusus, P. antillarum, dan P. planatus. Pada ekosistem terumbu karang di Spermonde, Peneroplis berada pada zona rataan, lereng, sampai dasar karang dengan intensitas cahaya yang tinggi sampai rendah, substrat yang keras maupun berpasir, energi perairan yang sedang sampai rendah, dan kondisi perairan yang oligotrofik (Troelstra et al., 1996). Meskipun Peneroplis mendiami habitat yang bersubstrat pasir, namun jenis ini, khususnya P. planatus menghindari substrat yang lembut (Renema dan Troelstra, 2001) seperti lumpur dan liat. Pulau Onrust memiliki kelimpahan Peneroplis yang sangat rendah dengan kelimpahan relatif tertinggi sebesar dua individu di Stasiun Onrust Selatan yang tidak terdapat P. planatus. Selain itu, P. planatus cenderung memilih lokasi yang terlindung dengan substrat yang keras seperti pecahan karang dan karang mati seperti di Stasiun Karang Bongkok Selatan dan Stasiun Pramuka Barat, meski jenis ini juga ditemukan di lokasi lain dengan kelimpahan yang lebih rendah. Kondisi ini serupa dengan temuan Renema et al. (2001) di Spermonde. 3.2. Kelompok Oportunis. 3.2.1. Elphidium

    Elphidium ditemukan di zona perairan dengan kandungan konsentrasi nutrien dan kekeruhan yang tinggi seperti Pulau Onrust. Meski demikian, organisme ini dapat hidup di seluruh tipe perairan ekosistem terumbu karang dengan kelimpahan yang rendah pada daerah oligotrofik dan tingkat kekeruhan perairan yang rendah. Elphidium mendominasi perairan Teluk Jakarta yang tercemar melebihi daerah Kepulauan Seribu yang kondisinya lebih baik (Renema, 2008). Elphidium juga akan mendominasi perairan yang berdekatan dengan perairan tercemar lainnya dengan tingkat

    kecerahan yang rendah seperti di Pulau Nirwana (Natsir, 2010).

    Tidak seperti Calcarina, Amphistegina, dan Neorotalia yang bersimbiosis dengan alga di area oligotrofik, Elphidium yang mendominasi zona mesotrofik sampai eutrofik tidak bersimbiosis dengan alga. Bila pada tipe simbion alga, alga tersebut tinggal dalam foraminifera, maka pada tipe heterotrofik seperti Elphidium, alga yang berada di luar sistem tubuhnya akan dicerna terus menerus. Kloroplas pada alga yang telah dicerna disimpan oleh Elphidium dan memberikan energi untuk kehidupannya. Oleh karena itu, jenis ini menunjukkan adanya kloroplas yang merupakan bagian dari alga dalam tubuhnya (Renema et al., 2001).

    3.2.2. Ammonia

    Ammonia dapat ditemukan di semua substrat yang berasosiasi dengan ekosistem karang maupun ekosistem pesisir lainnya di perairan dangkal (Javaux dan Scott, 2003). Kelimpahan tertinggi diperoleh pada perairan eutrofik dengan kandungan bahan organik yang tinggi seperti di Pulau Onrust. Selain itu, perairan terlindung merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan organisme infauna ini (Alve, 1999) seperti di Stasiun Pramuka Barat dan Stasiun Onrust Selatan. Kelimpahan A. beccari yang tinggi pada Pulau Onrust dapat menjadi indikator perairan yang bersalinitas rendah (Suharti et al., 1994; Rositasari, 2005) dengan kondisi yang eutrofik.

    Rendahnya total kelimpahan Ammonia dibandingkan Cymbaloporetta karena delapan stasiun (pada Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka) merupakan wilayah oligotrofik, sedangkan tiga stasiun sisanya (pada Pulau Onrust) merupakan wilayah eutrofik. Meski demikian, bila dilihat dari kelimpahan tiap stasiun, maka Ammonia menunjukkan kelimpahan tertinggi pada wilayah

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    10 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    eutrofik, terutama pada area dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Organisme oportunis ini merupakan indikator polusi perairan laut karena dapat mentoleransi kondisi perairan yang tercemar (Koukousioura et al., 2011). Natsir (2010) menemukan genus ini mendominasi perairan di Pulau Nirwana yang memiliki pH dan tingkat kecerahan yang rendah. pH yang rendah dengan tingkat kecerahan yang juga rendah mengindikasikan perairan yang kaya akan bahan organik. Sedimen yang lembut pada perairan eutrofik yang tenang mengandung banyak bahan organik sebagai makanannya, sehingga sangat sesuai dengan habitat Ammonia (Debenay et al., 2002; Rositasari, 2005). 3.3. Kelompok Heterotrofik 3.3.1. Quinqueloculina

    Quinqueloculina umumnya ditemu-kan di wilayah perairan yang terlindung di perairan estuari, laguna, sampai zona intertidal (Yassini dan Jones, 1995). Stasiun Onrust Selatan merupakan wilayah semi tertutup yang berhadapan langsung dengan Teluk Jakarta pada bagian selatan. Pada Stasiun Onrust Selatan, kelimpahan Quinqueloculina lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya di Pulau Onrust. Pada lokasi yang terlindung seperti Stasiun Pramuka Barat yang berhadapan dengan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka, jenis ini juga memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lain di Pulau Pramuka. Pada Pulau Karang Bongkok, kelimpahan Quinqueloculina cukup seimbang di keempat stasiun karena posisi pulau ini cukup jauh dari pulau besar lainnya sehingga keberadaan Pulau Karang Bongkok cukup terbuka.

    Selain kelimpahan Ammonia yang tinggi, dominasi Quinqueloculina mengindikasikan perairan yang tertekan secara ekologi. Hal tersebut diindikasikan dengan tingginya kandungan bahan

    organik (Barbosa et al., 2009; Wilson dan Wilson, 2011) dan rendahnya tingkat kecerahan (Natsir, 2010). Meski demikian, konsentrasi bahan organik bukan satu-satunya penyebab utama tingginya kelimpahan Quinqueloculina. Kondisi fisik seperti substrat dan lokasi stasiun yang terbuka atau terlindung berperan dalam mempengaruhi distribusi organisme ini. Keberadaan jenis ini di semua stasiun menunjukkan bahwa Quinqueloculina merupakan organisme kosmopolitan. 3.3.2. Cymbaloporetta

    Cymbaloporetta merupakan kelom-pok heterotrofik yang ditemukan dengan jumlah yang cukup seimbang di seluruh stasiun yang bersifat oligotrofik seperti di Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka atau tempat yang terlindung seperti di Stasiun Pramuka Barat dan Stasiun Onrust Selatan. Organisme yang memiliki sifat menetap ini mendominasi tempat yang terlindung karena menyediakan habitat yang stabil, baik dari sisi makanan maupun substrat. Habitat ini merupakan tempat yang sesuai dengan organisme yang memiliki sifat menetap. Rendahnya kelimpahan organisme ini di hampir seluruh stasiun sesuai dengan yang diperoleh oleh Narrayan dan Pandolfi (2010) di Teluk Moreton, Queensland Tenggara, Australia. 3.3.3. Miliolinella

    Miliolinella ditemukan di seluruh stasiun dengan kelimpahan yang rendah. Javaux dan Scott (2003) menyatakan bahwa organisme heterotrofik ini ditemukan di ekosistem terumbu karang, terutama di area laguna. Horton et al. (2003) melaporkan bahwa Miliolinella mendominasi substrat lumpur yang tidak memiliki vegetasi. Kehadiran Miliolinella mengindikasikan kondisi perairan yang mirip dengan estuari alami (Carnahan et al., 2009). Menurut Uthicke et al. (2010),

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 11

    di wilayah Whitsunday, Great Barrier Reef Australia, organisme ini berasosiasi dengan sedimen yang lembut disertai kandungan organik yang tinggi. Kondisi yang ditemukan pada penelitian ini lebih sesuai dengan sebagian pendapat Horton et al. (2003), meskipun belum menunjukkan pola yang jelas antar stasiun. Pada seluruh stasiun, Miliolinella yang ditemukan berada pada substrat yang tidak didominasi oleh vegetasi. Kandungan hara dan organik sedimen diduga menjadi faktor utama preferensi habitat pada kelompok epifauna ini di Kepulauan Seribu.

    3.3.4. Textularia

    Textularia ditemukan di seluruh stasiun penelitian tanpa menunjukkan pola preferensi yang jelas terhadap habitat yang spesifik. Murray (2006) menuliskan habitat epifauna ini di sedimen dan substrat yang keras karena sifatnya yang bergerak bebas atau melekat. Organisme heterotrofik ini ditemukan di sedimen dengan kelimpahan yang rendah, hal ini sesuai dengan pendapat Schueth dan Frank (2008). Meskipun kelimpahannya rendah (total 2% dari seluruh stasiun), namun masih lebih tinggi dibandingkan temuan Scoffin et al. (1985) di wilayah pusat Great Barrier Reef, Australia yaitu kurang dari 1%. 3.3.5. Eponides

    Eponides termasuk kelompok heterotrofik yang yang kelimpahannya rendah. Hewan ini ditemukan di seluruh stasiun yang mengindikasikan kisaran lingkungan yang cukup luas untuk mendukung kehidupannya, baik di sedimen maupun substrat yang keras (Murray, 2006). Meski ditemukan dengan kelimpahan yang rendah (Narrayan dan Pandolfi, 2010), namun epifauna ini cukup umum ditemukan di ekosistem terumbu karang, laguna semi tertutup, dan

    wilayah laguna yang jauh dari pantai (offshore) (Javaux and Scott, 2003). 3.3.6. Spiroloculina

    Spiroloculina ditemukan di seluruh stasiun dengan jumlah individu yang rendah dibandingkan sebelas genus yang telah dibahas sebelummya. Rendahnya kelimpahan organisme ini sesuai dengan hasil kajian Schueth dan Frank (2008) di Low Isles, bagian utara Great Barrier Reef-Australia. Meskipun kelimpahannya rendah, namun pada Stasiun Karang Bongkok Selatan, Stasiun Pramuka Barat, Stasiun Pramuka Selatan, dan Stasiun Onrust Selatan menunjukkan habitat organisme ini berada pada wilayah yang semi tertutup, karena pada keempat stasiun tersebut kelimpahannya cukup tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lainnya pada pulau yang sama. Diduga faktor terumbu karang bukan merupakan penyebab utama tingginya kelimpahan grup ini. Menurut Yassini dan Jones (1995), Spiroloculina ditemukan di wilayah perairan yang terlindung dari perairan estuari, laguna, sampai zona intertidal. 3.3.7. Rosalina

    Rosalina ditemukan di ketiga pulau dengan kelimpahan yang paling rendah dari 13 genera predominan. Kebera-daannya di seluruh pulau kajian mengin-dikasikan distribusinya yang menyebar luas di wilayah pesisir dari ekosistem mangrove, laguna, sampai terumbu karang (Javaux and Scott, 2003). Kelimpahan tertinggi epifauna sessile ini (Murray, 2006) ada di Pulau Onrust, khususnya Stasiun Onrust Selatan. Kandungan organik yang tinggi dan lokasi yang cukup terlindung karena berada pada area yang semi tertutup dan berhadapan dengan Teluk Jakarta diduga menyebabkan kelimpahan Rosalina menjadi tinggi di Stasiun Onrust Selatan.

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    12 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    Bergamin et al. (2009) berpendapat bahwa R. bradyi berada pada lingkungan epifit dan juga mendiami pasir yang didominasi oleh detritus. Murray (2006) menuliskan bahwa komposisi Rosalina spp. pada kumpulan lamun dan makro alga mencapai 25-85%, sedangkan pada zona mikrohabitat hanya 10-45%. R. bradyi yang hidup di substrat yang keras seperti karang dan spons atau menempel pada lamun di pesisir Prancis, Texas, dan Karibia atau pada pantai berbatu seperti di Northland (Selandia Baru) dapat muncul pada sedimen halus (fine sediment) di Laut Adriatik. Rosalina spp. di Honshu, pesisir laut Jepang di Pasifik Barat muncul di habitat dengan sedimen halus sampai kasar pada kedalaman 5-50 m. Natsir (2010) menyatakan bahwa pada lokasi yang lebih terlindung di Pulau Nirwana bagian barat, selatan, dan timur menunjukkan kelimpahan Rosalina yang lebih tinggi dibandingkan di bagian utara. Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari uraian tersebut menunjukkan bahwa Rosalina merupakan epifauna yang melekat pada substrat yang lembut sampai kasar dengan kandungan organik tinggi di lokasi semi tertutup. Kesimpulan dari habitat Rosalina secara umum ini sesuai dengan hasil yang ditemukan pada daerah penelitian, terutama bila dikaitkan dengan tingginya Rosalina di Stasiun OS yang cukup terlindung dibanding Stasiun Onrust Utara dan Stasiun Onrust Selatan, namun lebih rendah dibandingkan stasiun pada Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka. IV. KESIMPULAN

    Hasil penelitian menunjukkan pada ekosistem terumbu karang di Pulau Karang Bongkok dan Pramuka yang oligotrofik, cenderung memiliki komposisi simbion alga dan heterotrofik yang tinggi. Wilayah Pulau Onrust didominasi oleh kelompok oportunistik

    yang dapat hidup pada daerah tercemar. Jenis-jenis foraminifera bentik predo-minan yang terdistribusi di wilayah terumbu karang adalah Calcarina, Neoro-talia, Amphistegina, Peneroplis. Calca-rina dan Amphistegina merupakan indikator kondisi terumbu karang yang baik. Tipe oportunis, khususnya Ammonia mendominasi ekosistem terumbu karang yang sudah rusak dan kaya akan bahan organik, seperti di Pulau Onrust yang berhadapan langsung dengan Teluk Jakarta.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adisaputra, M.K., M. Hendrizan, dan A.

    Kholiq. 2010. Katalog forami-nifera perairan Indonesia. Kemen-trian Energi dan Sumberdaya Mineral. Badan Litbang Energi dan Sumberdaya Mineral. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Geologi Kelautan. Bandung. 198hlm.

    Alve, E. 1999. Colonization of new habitats by benthic foraminifera: a review. Earth Science Reviews, 46:167-185.

    Barbosa, C.F., M.F. Prazeres, B.P. Ferreira, and J.C.S. Seoane. 2009. Foraminiferal assemblage and reef check census in coral reef health monitoring of East Brazilian Margin. Marine Micropaleon-tology, 73:62-69.

    Barker, R.W. 1960. Taxonomic notes on the species figured by H. B. Brady in his report on the foraminifera dredge by H.M.S. challenger during the years 1873-1876. Special publication No. 9. Tulsa, USA: Society of Economic Paleontologists and Mineralogists. 240p.

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 13

    Bergamin, L., E. Romano, M.G. Finoia, F. Venti, J. Bianchi, A. Colasanti, and A. Ausili. 2009. Benthic foraminifera from the coastal zone of Baia (Naples, Italy): Assemblage distribution and modification as tools for environmental characterisation. Marine Pollution Bulletin, 59:234-244.

    Carnahan, E.A., A.M. Hoare, P. Hallock, B.H. Lidz, and C.D. Reich. 2009. Foraminiferal assemblages in Biscayne Bay, Florida, USA: Responses to urban and agricul-tural influence in a subtropical estuary. Marine Pollution Bulletin, 59:221-233.

    Cleary, D.F.R., L.E. Becking, N.J. de Voogd, W. Renema, M. de Beer, R.W.M. van Soest, and B.W. Hoeksema. 2005. Variation in the diversity and composition of benthic taxa as a function of distance offshore, depth and exposure in the Spermonde Archipelago, Indonesia. Estua-rine, Coastal, and Shelf Science, 65:557-570.

    Day, J.W., C.A.S. Hall, W.M. Kemp, and A. Yanez-arancibia. 1989. Estuarine Ecology. John Wiley and Sons. New York. 558p.

    Debenay, J.P., D. Guiral, and M. Parra. 2002. Ecological factors acting on the microfauna in mangrove swamps. The case of foraminiferal assemblages in French Guiana. Estuarine, Coastal, and Shelf Science, 55:509-533.

    Dewi, K.T., S.M. Natsir, dan Y. Siswantoro. 2010. Mikrofauna (Foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar pulau-pulau kecil. Ilmu Kelautan, 1(Edisi Khusus):1-9.

    Estradivari, Idris, dan M. Syahrir. 2009. Kajian struktur komunitas karang keras kepulauan Seribu tahun 2005 & 2007. Dalam: Estradivari, E., Setyawan, dan S. Yusri (eds.). Terumbu karang Jakarta: penga-matan jangka panjang terumbu karang kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta. Yayasan Terangi. Hlm.:29-39.

    Fadila, Idris. 2009. Perbandingan dua tahunan persentase penutupan karang di kepulauan Seribu (2003, 2005, dan 2007). Dalam: Estradivari, E., Setyawan, dan S.Yusri (eds.). Terumbu karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta. Yayasan Terangi. Hlm.:23-28.

    Hallock, P., B.H. Lidz, E.M. Cockey-Burkhard, and K.B. Donnelly. 2003. Foraminifera as bioin-dicators in coral reef assessment and monitoring: The FORAM Index. Environmental Monitoring & Assessment J., 81:221-238.

    Hammer, . and D.A.T. Harper. 2006. Paleontological Data Analysis. Blackwell publishing. USA. 351p.

    Helfinalis dan R. Rositasari. 1988. Foraminifera di lingkungan terumbu karang Pulau Pari. Dalam: Moosa, M.K., D.P. Praseno, dan Sukarno (eds.). Teluk Jakarta. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. Hlm.:119-124.

    Hohenegger, J., E. Yordanova, Y. Nakano, and F. Tatzreiter. 1999. Habitats of larger foraminifera on the upper reef slope of Sesoko Island, Okinawa, Japan. Marine Micropaleontology, 36:109-168.

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    14 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    Horton, B.P., P. Larcombe, S.A. Woodrole, J.E. Whittaker, M.R. Wright, and C. Wynn. 2003. Contemporary foraminiferal distri-butions of a mangrove envi-ronment, Great Barrier Reef coastline, Australia: implications for sea-level reconstructions. Marine Geology, 198:225-243.

    Javaux, E.J., and D.B. Scott. 2003. Illustration of modern benthic foraminifera from Bermuda and remarks on distribution in other subtropical/tropical areas. Pala-eontologia Electronica, 6(4):29.

    Koukousioura, O., M.D. Dimiza, M.V. Triantaphyllou, and P. Hallock. 2011. Living benthic foraminifera as an environmental proxy in coastal ecosystems: A case study from the Aegean Sea (Greece, NE. Mediterranean). J. of Marine Systems. doi: 10.1016/j.jmarsys. 2011.06.004.

    Loeblich Jr. A.R. and H. Tappan. 1988. Foraminiferal genera and their classifications. New York. Van Nostrand Reinhold. 2105p.

    Murray, J.W. 2006. Ecology and applications of benthic forami-nifera. Cambridge University Press. Cambridge. 426p.

    Natsir, S.M. dan M. Subkhan. 2010. Kelimpahan foraminifera bentik resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. Dalam: Nababan et al. (eds.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010, Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010. Hlm.:143-152.

    Natsir, S.M., dan M. Subkhan. 2011. Foraminifera bentik sebagai indikator kualitas perairan ekosistem terumbu karang di Pulau Bidadari dan Ringgit, Kepulauan

    Seribu. Lingkungan Tropis, 5(1):1-10.

    Natsir, S.M. 1994. Benthic foraminifera in the seagrass beds of Pari Island-Seribu islands, Jakarta. In: Sudara, S., C.R. Wilkinson, and L.M. Choc (eds.). Proceedings, Third ASEAN-Australia Symposium on Living Coastal Resources. Vol. 2: Research Papers. Bangkok, Chula-longkorn University. Thailand. 323-329pp.

    Natsir, S.M. 2010. Foraminifera bentik sebagai indikator kondisi lingkungan terumbu karang Per-airan Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 36(2):181-192.

    Nobes K., and S. Uthicke. 2008. Benthic foraminifera of the great barrier reef: A guide to species potentially useful as water quality indicators. Report to the marine and tropical sciences research facility. Reef and Rainforest Research Centre Limited. Cairns. 44p.

    Nybakken J.W. and M.D. Bertness. 2006. Marine biology: An ecological approach. 6th ed. San Fransisco: Pearson education. Inc. 579p.

    Renema, W., B.W. Hoeksema, and J.E. van Hinte. 2001. Larger benthic foraminifera and their distribution patterns on the Spermonde shelf, South Sulawesi. Special volume Dr Jacob van der Land. Zoologische Verhandelingen Lei-den, 334:115-149.

    Renema, W. dan S.R. Troelstra. 2001. Larger foraminifera distribution on a mesotrophic carbonate shelf in SW Sulawesi (Indonesia). Palaeogeography, Palaeoclima-tology, Palaeoecology, 175:125-146p.

  • Toruan et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 15

    Renema, W. 2006. Habitat variables determining the occurrence of large benthic foraminifera in the Berau area (East Kalimantan, Indonesia. Coral Reefs, 25:351-359.

    Renema, W. 2008. Habitat selective factors influencing the distribution of larger benthic foraminiferal assemblages over the Kepulauan Seribu. Marine Micropaleon-tology, 68:286-298.

    Rositasari, R. 1997. Habitat makro dan mikro pada foraminifera. Oseana, 22(4):31-42.

    Rositasari, R. 2005. Keluarga foramina-fera bercangkang pasiran sebagai kelompok oportunis. Oseana, 30(3):9-19.

    Schaffelke, B., A. Thompson, J. Carleton, E. Cripps, J. Davidson, J. Doyle, M. Furnas, K. Gunn, S. Neale, M. Skuza, S. Uthicke, M. Wright, and I. Zagorskis. 2008. Water quality and ecosystem monitoring programme reef water quality protection plan. Final report 2007/08. Australian Institute of Marine Science. Townsville. 154p.

    Schueth, J.D. and T.D. Frank. 2008. Reef foraminifera as bioindicators of coral reef health; Low Isles Reef, Northern Great Barrier Reef, Australia. J. of Foraminiferal Research, 38(1):11-22.

    Scoffin, T.P. and A.W. Tudhope. 1985 Sedimentary environments of the central region of the great barrier reef of Australia. Coral Reefs, 4:81-93.

    Scott, D.B., C.T. Schafer, and F.S. Medioli. 2004. Monitoring in coastal environments using foraminifera and the camoebian indicators. Cambridge University Press. UK. 177p.

    Sen Gupta, B.K. 2003. Foraminifera in marginal marine environments.

    Dalam: Sen Gupta BK, (ed.). Modern foraminifera. Kluwer Academic Publishers. New York. 141-160pp.

    Suharti, M., R. Rositasari, K.R. Sri, Helfinalis, dan Subardi. 1994. Foraminifera bentonik dan spesifikasinya pada beberapa lingkungan perairan dangkal di Indonesia. Prosiding Volume I, Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 23, 6-8 Desember 1994. Hlm.:591-602.

    Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The ecology of the Indonesian Seas. Part 1. Periplus Editions. Singapore. 642p.

    Troelstra, S.R., H.M. Jonkers, and S. de Rijk. 1996. Larger foraminifera from the Spermonde Archipelago (Sulawesi, Indonesia). Scripta Geologica, 113:93-120.

    Uthicke, S., and C. Altenrath. 2010. Water column nutrients control growth and C:N ratios of symbiont-bearing benthic forami-nifera on The Great Barrier Reef, Australia. Limnology and Oceanography, 55(4):1681-1696.

    van der Meij, S.E.T., Suharsono, and B.W. Hoeksema. 2010. Long-term changes in coral assemblages under natural and anthropogenic stress in Jakarta Bay (19202005). Marine Pollution Bulletin, 60:1442-1454.

    van der Meij, S.E.T., R.G. Moolenbeek, and B.W. Hoeksema. 2009. Decline of the Jakarta Bay molluscan fauna linked to human impact. Marine Pollution Bulletin, 59:101-107.

    Wilson, B. and J. Wilson. 2011. Shoreline foraminiferal thanata-coenoses around five eastern Caribbean islands and their

  • Komposisi dan Distribusi Foraminifera Bentik di Ekosistem Terumbu Karang...

    16 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    environmental and biogeographic implications. Continental Shelf Research, 31:857-866.

    Yassini, I. and B.G. Jones. 1995. Recent foraminiferida and ostracoda from estuarine and shelf environments on the southeastern coast of Australia. Northfields Avenue, Wollongong, NSW. The University of Wollongong Press. Australia. 484p.

    Diterima : 11Agustus 2012 Direvisi : 2 Februari 2013 Disetujui : 15 Mei 2013

  • Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 17-25, Juni 2013

    Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 17

    KARAKTERISTIK KOMUNITAS FORAMINIFERA LAUT DALAM DI TELUK TOMINI, SULAWESI

    THE CHARACTERISTIC OF DEEP SEA FORAMINIFERAL COMMUNITY

    IN TOMINI BAY, SULAWESI

    Kresna Tri Dewi dan Mustafa Hanafi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

    Jl. Junjunan 236, Bandung-40174. Email: [email protected]

    ABSTRACT A total of 14 sediment samples from Tomini Bay, Sulawesi were used for this study as a component of sediment. The samples were carried out by using a gravity corer at water depth range between 600 and 1400 m. This study was a part of mapping activity on marine geology and geophysics during the first cruise of R/V Geomarin III in 2010. The purpose of this study was to examine the subsurface geology related to the potency of energy and mineral resources. Top core sediment samples were washed through 0.063mm opening sieve and then dried in an oven. About maximum 300 foraminiferal specimens were picked from every dried washed residue sample to separate them from other particles under a binocular microscope with brush and water. The result showed that most samples were dominated by planktonic foraminifera (>90%), such as Globorotalia menardii, Orbulina universa, Globigerinoides ruber and others as typical of deep sea sediments. On the other hand, benthic foraminifera was found less than 10% that was represented by Cibicidoides wuellerstorfi, Ceratobulimina pacifica, Pyrgo sp., Bolivinita quadralatera, Uvigerina peregrina

    , etc. The characteristic of deep sea foraminiferal community of this area may be used for interpreting environmental deposition in the adjacent areas that is useful for petroleum exploration.

    Keywords: foraminifera, deep sea, Tomini Bay, Sulawesi.

    ABSTRAK Sejumlah 14 sampel sedimen dari Teluk Tomini telah digunakan untuk studi foraminifera sebagai komponen sedimen. Sampel diambil menggunakan pemercontoh jatuh bebas pada kedalaman antara 600 dan 1400 m. Studi ini merupakan bagian dari kegiatan pemetaan geologi dan geofisika saat pelayaran perdana kapal riset Geomarin III pada Tahun 2010. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui geologi bawah dasar laut dalam kaitannya dengan potensi sumber daya mineral dan energi. Bagian atas sampel dari sedimen dicuci dalam ayakan dengan ukuran bukaan 0,063 mm dan kemudian dikeringkan dalam sebuah oven. Sekitar 300 spesimen foraminifera dipisahkan dari pertikel sedimen lainnya menggunakan kuas, air dan mikroskop binokuler. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar sampel mengandung foraminifera yang didominasi oleh foraminifera plangtonik (>90%), seperti Globorotalia menardii, Orbulina universa, Globigerinoides ruber dan lain-lain sebagai penciri sedimen laut dalam. Di sisi lain, foraminifera bentik ditemukan dalam jumlah sedikit (

  • Karakteristik Komunitas Foraminifera Laut Dalam di Teluk Tomini...

    18 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    I. PENDAHULUAN

    Teluk Tomini terletak diantara Provinsi Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Utara yang merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia. Di bagian dalam dari teluk ini terdapat Kepulauan Togean yang terdiri gugusan pulau-pulau terumbu karang dan merupakan merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle). Kawasan Teluk Tomini dan sekitarnya merupakan salah satu lokasi Kegiatan Pemetaan Geologi dan Geofisika dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan pada Tahun 2010. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatan data dan informasi tentang tatanan geologi bawah dasar laut dalam kaitannya dengan potensi sumber daya mineral dan energi. Salah satu sub-kegiatan ini adalah penelitian mikropaleontologi, khususnya foramina-fera yang terawetkan dalam sedimen dasar laut.

    Penelitian foraminifera di kawasan Indonesia Bagian Timur lebih sedikit dibandingkan di Kawasan Indonesia Barat. Walaupun studi foraminifera bentik di kawasan ini masih terbatas, namun data dan informasinya sangat lengkap, sistematis dan komprehensif. van Marle (1991 berhasil mengidentifikasi lebih dari 400 spesies foraminifera di perairan sekitar Laut Banda mulai kedalaman 60 m hingga lebih dari 2000 m. Selanjutnya data tersebut langsung dikilasbalikkan untuk merekonstruksi lingkungan pengendapan di pulau-pulau Buru, Buton, Kai Kecil, Seram, dan Timor dari Miosen Awal hingga Plistosen Akhir. Kemudian Loeblich dan Tappan (1994) secara taksonomis melakukan pemerian terhadap 946 spesies foraminifera dari 378 sampel sedimen di sekitar Paparan Sahul dan Laut Timor. Penelitian mereka dilengkapi dengan dokumentasi dan posisi geografis setiap spesiesnya dari kedalaman 19 m hingga lebih dari 3000 m. Terakhir, Natsir

    dan Rubiman (2010) mengidentifikasi 37 spesies foraminifera bentik di Laut Arafura pada kedalaman antara 29 dan 341 m. Di Teluk Ambon. Natsir (2010) dan) menemukan 61 spesies foraminifera bentik dari 29 sampel sedimen dasar laut pada kedalaman 26-50m. Dari hasil penelitian tersebut belum ada data dan informasi foraminifera dari Teluk Tomini, khususnya pada kedalaman lebih dari 500 m.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik komunitas foraminifera dalam sedimen laut dalam di Teluk Tomini dan sekitarnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi data terdahulu dalam interpretasi lingkungan pengendapan di daerah sekitarnya. Analisa lingkungan pengendapan (dan biostratigrafi) merupa-kan salah satu bagian yang diperlukan dalam dunia perminyakan yaitu menentukan satuan batuan berdasarkan kumpulan mikrofosil tertentu, khususnya foraminifera. (Singh, 2008). Makin banyak data dan informasi foraminifera yang dilakukan di Indonesia akan memberi acuan lebih akurat dan sesuai dengan kondisi wilayah Indonesia. Hal ini berkaitan selama ini untuk merekonstruksi lingkungan pengendapan menggunakan acuan dari wilayah yang jauh dari Indonesia seperti Teluk Meksiko. . II. METODE PENELITIAN Kapal Riset Geomarin III milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan melakukan pelayaran perdana pada tahun 2010 di sekitar Teluk Tomini (Lembar Peta 2114, 2115, 2214 dan 2215 (Gambar 1). Hasil kegiatan tersebut antara lain perolehan 14 sampel sedimen dari penginti jatuh bebas (gravity corer) dengan panjang rata-rata 1 m. Sampel tunggal kemudian dibagi-bagi, misalnya volume 100cm3 dibagi untuk foram 25 cm3, analisa besar butir 25cm3,

  • Dewi dan Hanafi

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 19

    Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sedimen dasar laut dan batimetri di sekitar Teluk Tomini (Modifikasi dari Hanafi et al., 2010).

    dan lain-lain. Selanjutnya sedimen tersebut digunakan untuk berbagai analisa seperti besar butir sedimen, mineral berat, mineral lempung, mineral logam, foraminifera dalam sedimen dan lain-lain. Untuk studi foraminifera, digunakan sampel sedimen dari bagian atas gravity corer (sekitar 0-1 cm). Kemudian sampel sedimen tersebut dicuci dalam ayakan berukuran 0,063mm dengan bantuan air mengalir dan dikeringkan dalam sebuah oven. Di laboratorium mikropaleontologi di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Bandung, pemisahan dilakukan maksimum 300 spesimen foraminifera dari partikel sedimen dengan alat bantu mikroskop binokular, kuas halus (ukuran 000) dan air. Kemudian dilakukan identifikasi menggunakan

    acuan van Marle (1988), Loeblich dan Tappan (1992). Selanjutnya dilakukan penghitungan spesimen dari setiap spesies dan dikelompokkan secara semi kuantitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Foraminifera Plangtonik

    Foraminifera ditemukan dalam semua sampel sedimen hasil cucian yang diperiksa dan didominasi oleh forami-nifera plangtonik dibandingkan foramini-fera bentik. Secara umum, diperoleh bahwa 9 sampel sedimen terdiri partikel sedimen biogenik berkisar antara 80%-99% yang umumnya tersebar di bagian timur dan tenggara daerah penelitian.

  • Karakteristik Komunitas Foraminifera Laut Dalam di Teluk Tomini...

    20 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    Sedangkan 5 sampel sedimen me-ngandung sedikit (

  • Dewi dan Hanafi

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 21

    Tabel 1. Foramnifera plangtonik di sekitar Teluk Tomini.

    Terlihat bahwa Globigerinoides

    ruber dan Globoratolia menardii ditemukan sangat melimpah (>25 spesimen) di beberapa stasiun dari kedalaman 665 m hingga 1.306 m. Sedangkan Beela digitata dan Boliella adamsi ditemukan maksimal 10 spesimen di beberapa stasiun terutama yang terletak di bagian timur berhadapan dengan Laut Maluku dan di St. 1 yang terletak di Selat Peleng. Orbulina universa dan Globigerinoides sacculiferus ditemukan di semua stasiun dalam jumlah dari jarang (1 individu) hingga sangat melimpah (>25

    individu). Stasiun 3, 11, 12, 13, dan 14 merupakan titik lokasi yang mempunyai jumlah spesies foraminifera lebih dari 20 jenis.

    3.1.2. Foraminifera Bentik

    Foraminifera bentik yang mempunyai pola hidup di sekitar dasar suatu perairan, khususnya perairan sekitar Teluk Tomini ditemukan sangat sedikit dibandingkan dengan foraminifera plangtonik yang hidup dalam kolom air dengan sebaran seperti pada Tabel 2.

    Nama genus/ spesies Nomor stasiunNo foraminifera plangtonik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

    Kedalaman (m) 1004 693 665 693 940 1225 1423 1370 1308 1371 1306 1114 830 680Ordo GlobigerinidaeFamili Globigerinidae

    1 Beella digitata O - - - - - - - - - o o o -2 Bolliella (Globogerinella) adamsi * - - - - - - - - - - o - o3 Globigerina bulloides O - O - - - - o o O O O O *4 Globigerinella calida * O * - - - O O O * * O O O5 Globigerinoides conglobatus - - O - O O O O O O O O O6 Globigerinoides elongatus O - o - - - - - - O O O O O7 Globigerinoides pyramidalis - o o - O o o o o o O O O O8 Globigerinoides ruber - O O * * * * 9 Globigerinoides sacculiferus C O o * O - O * * * * O O

    10 Globigerinoides trilobus - O o * * * * * *11 Hastigerina aequilateralis O * o - - - * o * 12 Sphaeroidinella dehiscens * - O - * - - * O O O O * *13 Orbulina universa O o O O O O * * *

    Famili Globorotaliidae14 Globorotalia fimbricata - - o - - - - - - - - - O O15 Globorotalia flexuosa - o O - o o o - - - - - O O16 Globorotalia hirsuta - - O - - O - O - O - O O O17 Globorotalia menardii O * O * * * * 18 Globorotalia multicamerata O - o - * * - - O o o o O O19 Globorotalia scitula O - O o - O O O O O * O O O20 Globorotalia tumida O * - * * * O O * * * *21 Globorotalia tosaensis * - * - - - - - * * * * * *22 Globorotalia viola O o - o - O - - O * * O O O23 Globorotalia ungulata * o * o * * O * O * * *24 Neogloboquadrina dutertrei O o - O O O *

    Famili Pulleniatinidae25 Pulleniatina obliqueloculiata * o - * * O O O * * * * *

    Keterangano : Rare/ jarang (1 spesimen/individu)

    O : Few /sedikit (2-5 individu)

    * : Common /umum (6-10 individu) : Abundant /melimpah (11-25 individu)

    : Very abundant/ sangat melimpah (>25 individu)

  • Karakteristik Komunitas Foraminifera Laut Dalam di Teluk Tomini...

    22 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    Tabel 2. Foraminifera bentik di Teluk Tomini.

    Nama genus/ spesies Nomor stasiunNo foraminifera bentik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14Ordo Rotaliida

    Famili RotaliidaeAmmonia sp. O o o

    Famili VaginulinidaeAmphycorina scalaris O oLenticulina sp. O O * o O

    Famili HeterolepidaeAnomalinoides colligerus o oHeterolepa dutertrei O o o

    Famili BagginidaeCancris sp. O O

    Famili CibicididaeCibicides sp. o O o

    Genus FontbotiaCibicidoides wuellerstorfi O o o * O o

    Famili PlanulinidaePlanulina plana O O o O o o o o O o

    Famili NonionidaeMelonis affinis o o

    Famili DiscorbinellidaeLaticarinina pauperata o o

    Ordo BuliminidaeFamili Bolivinidae

    Genus BolivinaBolivina robusta o O O o o o

    Genus BrizalinaBrizalina sp. o o

    Famili BolivinitidaeBolivinita quadralatera O O ORectobolivina dimorpha o O o

    Famili CassidulinidaeCassidulina carinata

    Famili BuliminidaeBulimina striata o o oGlobobulimina sp o O O

    Famili UvigerinidaeUvigerina peregrina o o O * O o O O o o

    Famili PleurostomellidaePleurostomella sp. o o

    Ordo Robertinidae O oFamili Ceratobulimidae

    Ceratobulimna pasifica O O oOrdo LagenidaFamili Nodosariidae

    Dentalina advena * o o o * oLagena spp. O o OTrifarina sp. O

    Famili PolymophinidaeFissurina spp. O o

    Ordo MiliolidaFamili Spiroloculinidae

    Quinqueloculina spp. o o o o o o oSpiroloculina sp. O oTriloculina trigonula o oPyrgo sp. o o

    Ordo LituolidaFamili Duquepsammidae

    Spiroplectela sp. o o oKeterangano : Rare/ jarang (1 spesimen/individu)

    O : Few /sedikit (2-5 individu)

    * : Common /umum (6-10 individu) : Abundant /melimpah (11-25 individu)

    : Very abundant/ sangat melimpah (>25 individu)

  • Dewi dan Hanafi

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 23

    Di daerah penelitian terdapat minimal 80 spesies/jenis foraminifera plangtonik yang telah diidentifikasi hingga tingkat genus/spesies. Tabel 2 menyajikan sebaran foraminifera bentik yang mempunyai jumlah individu lebih dari 1 spesimen dan beberapa spesies terpilih didokumentasikan pada Gambar 4. Tiga puluh spesies terpilih disajikan pada Tabel 3 Setiap jenis/spesies mempunyai jumlah individu rata-rata kurang dari 5 kecuali Cibicidoides wuellerstorfi, Dentalina advena, Lenticulina sp dan Uvigerina peregrina. Keempat spesies tersebut mencapai jumlah 10 spesimen dan ditemukan pada St. 5 yang terletak di Selat Peleng. Ditinjau dari sebarannya maka Planulina lana dan Uvigerina peregrina mempunyai sebaran cukup merata yaitu ditemukan pada 11 dari 14 stasiun yang diteliti dalam jumlah jarang (1 individu) hingga umum (5-10 individu).

    Beberapa jenis foraminifera ditemukan dalam jumlah jarang pada dua stasiun yaitu Anomalinoides colligerus, Brizalina sp., Melonis affinis, Triloculina trigonula. St 1, 2, 3, 4, 5 yang terletak di Selat Peleng mempunyai kandungan foramifera bentik lebih bervariasi dibandingkan di perairan sekitar Teluk Tomini, terutama di bagian barat. Sedangkan di bagian timur yang berhadapan dengan Laut Maluku (St. 11, 12, 13, dan 14), foraminifera bentik lebih bervariasi dan dicirikan oleh kehadiran Bolivina robusta, Globobulimina sp., Lagena sp., Lenticulina sp., Planulina nana, Pleurostomella sp., Uvigerina peregrina, Triloculina trigonula, dan lain-lain.

    3.2.Pembahasan

    Sampel sedimen yang diteliti pada umumnya didominasi oleh partikel biogenik (foraminifera, ostracoda, radiolaria, sponge spikula, sisa tanaman, pecahan cangkang moluska dan lain-lain) kecuali pada beberapa stasiun yang

    didominasi oleh partikel non biogenik (pasir kuarsa, lembaran tipis pirit berwarna keemasan). Partikel biogenik, khususnya foraminifera, terdiri dari foraminifera plangtonik dan foraminifera bentik yang telah mati kemudian terawetkan dalam sedimen dasar laut. Kelimpahan foraminifera plangtonik di beberapa titik lokasi sekitar sekitar Teluk Tomini dapat mencapai lebih dari 99% sebagai penciri perairan laut dalam. Hal ini juga ditemukan oleh van Marle dkk (1987) di sekitar Laut Banda bahwa kandungan foraminifera plangtonik berkisar antara 92 dan 99% pada kedalaman lebih dari 1000 m. Boltovkoy dan Wright (1976) menyatakan bahwa semakin ke arah laut dalam jumlah plangtonik semakin meningkat dibandingkan dengan jumlah foraminifera bentik atau dapat dikatakan kelimpahan foraminifera bentik berbanding terbalik dengan kelimpahan foraminifera planktonik terhadap kedalaman. Dalam kaitannya dengan jenis sedimen dapat terlihat dari rendahnya kandungan foraminifera di beberapa stasiun. St. 06, kandungan foraminifera sangat sedikit diantara partikel non biogenik yang didominasi oleh pirit berbentuk lembaran pipih berwarna kuning mengkilat. Pada St. 7 dan 8, mengandung banyak partikel pasir kuarsa dan sisa-sisa tanaman yang menyebabkan rendahnya kandungan foraminifera. Hal ini memberi indikasi adanya pasokan material asal darat yang cukup tinggi dan secara tidak langsung mengakibatkan gangguan kehidupan foraminifera. Demikian juga pada St. 9 yang didominasi oleh jenis sedimen berupa pasir kuarsa (80%) dapat membatasi ketersediaan nutrisi bagi kehidupan foraminifera. Selain dari kelimpahan foraminifera plangtonik, jenis tertentu yang ditemukan dapat memberi informasi umur saat sedimen diendapkan. Kemunculan Beella digitata dan Boliella adamsi pada beberapa stasiun

  • Karakteristik Komunitas Foraminifera Laut Dalam di Teluk Tomini...

    24 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    menunjukkan bahwa sedimen diendapkan tidak lebih tua dari kala Holosen atau sekitar 10.000 tahun yang lalu (Patterson et al., 2004).

    Dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu, van Marle (1988) membagi empat zona kedalaman yang dicirikan oleh komunitas foraminifera bentik tertentu: zona paparan luar, batial atas, batial tengah dan batial bawah. Khusus pada zona batial tengah dibagi menjadi empat zubzona yaitu C1 (350-700 m), C2 (700-900 m), C3 (900-1.100 m) dan C4 (1.100-1.400 m). Daerah penelitian di sekitar Teluk Tomini kemudian disetarakan termasuk kedalam zona batial tengah subzona C2, C3, dan C4. Dari hasil penelitian tersebut, pada zona ini dicirikan oleh kemunculan Bolivina robusta secara sangat melimpah (>25 spesimen) dan Gavelinopsis lobatulus dalam jumlah melimpah (10-25 spesimen). Sedangkan dari sekitar Teluk Tomini pada kedalaman air yang sama, tidak ada spesies foraminifera bentik yang mendominasi daerah penelitian. Namun jumlah spesies cukup tinggi lebih dari 80 spesies dan jumlah setiap spesies rata-rata kurang dari 10 spesimen dengan pengawetan cangkang sangat bagus. Hasil penelitian Murgese dan DeDeckker (2005) menunjukkan bahwa sebaran foraminifera bentik di Samudera Indonesia dipengaruhi oleh kedalaman. Pada kedalaman antara 700 dan 4.335 m dicirikan oleh Oridorsalistener umbonatur, Ephisto-minella exiqua, Pyrgo murchinna yang ditemukan sangat melimpah pada kedalaman 1.000 sampai 2.500 m. Dengan adanya perbedaan komposisi jenis foraminifera bentik di beberapa lokasi berbeda dan pada kisaran kedalaman yang hampir sama memberi data dan informasi komunitas foraminifera yang berbeda. Selain kedalaman, ada faktor lain yang membatasi kelimpahan jenis tertentu, seperti jenis sedimen, pola arus atau parameter lain yang belum diketahui. Oleh

    karena itu, untuk merekonstruksi lingku-ngan pengendapan di sekitar Teluk Tomini diperlukan data dan informasi lain yang menunjung data foraminifera.

    IV. KESIMPULAN

    Komunitas foraminifera laut dalam di Teluk Tomini dan sekitarnya dido-minasi oleh foraminifera plangtonik dengan jumlah bervariasi antara 50% dan 90% yang dicirikan oleh kemunculan Globigerinoides ruber dan Globorotalia menardii, dengan sebaran hampir merata. Perbandingan foraminifera plangtonik dan bentik (PB ratio) pada umumnya lebih dari 90% sesuai dengan kondisi laut dalam Teluk Tomini dan sekitarnya kecuali beberapa sampel yang didominasi oleh pasir. Foraminifera bentik sangat sedikit dibandingkan foraminifera plangtonik namun jumlah spesies yang berhasil diidentifikasi minimal 80 jenis. Tidak ada jenis foraminifera bentik yang mendominasi di stasiun tertentu kemungkinan berkaitan dengan parameter lingkungan tertentu yang membatasi komunitas foraminfera. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim Geologi dan Geofisika Kelautan pada Pelayaran Perdana Kapal Riset Geomarin 3 yang telah berhasil mendapatkan sampel sedimen laut sekitar Teluk Tomini. DAFTAR PUSTAKA Boltovskoy, E. dan R. Wright. 1976.

    Recent foraminifera. Dr. W. Junk b.v. Publishers - The Hague. Buenos Aires. 315p.

    Hanafi, M., C. Purwanto, J. Hutagaol, Susilohadi, Subarsyah, dan A. Sinaga. 2010. Pemetaan geologi dan geofisika kelautan bersistem

  • Dewi dan Hanafi

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 25

    skala 1:1.000.000 lembar peta 2114, 2115, 2214, dan 2215. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Laporan tidak dipublikasikan.

    Loeblich, A.R. dan H. Tappan. 1994. Foraminifera of the Sahul Shelf and Timor Sea. Cushman founda-tion for foraminifera research special publication. 31-661pp.

    Natsir, S.M. 2010. Kelimpahan foraminifera resen pada sedimen permukaan di Teluk Ambon. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(1):9-18.

    Natsir, S.M. dan Rubiman. 2010. Distribusi foraminifera bentik Resen di Laut Arafura. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan, 2(2):74-82.

    Patterson, R.T., A.D. Fowler, dan B.T. Huber. 2004. Evidence of hierarchial organization in the planctic foraminiferal record. J. of Foraminiferal Research, 34:85-95.

    Sutisna, N. 2010. Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Prosiding Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung, Lembang 29-30 November 2010. Hlm.: 21-26.

    Szarek, R. 2006. Biodiversity and biogeography of recent benthic foraminiferal assemblages in the south-western South China Sea (Sunda Shelf). Marine Micropaleontologi, 61:171-195.

    Singh, A. 2008. Micropaleontology in petroleum exploration. 7th International Conference and Exposition of Petroleum Geophysics, 14-16 January 2008, Hyderabad. 288-294pp.

    Murgese, D.S. dan P. DeDeckker. 2005. The distribution of deep-sea benthic foraminifera in coretops from the eastern Indian Ocean.

    Marine Micropelontology, 56:25-49.

    Van Marle, L.J. 1991. Eastern Indonesian, late cenozoic smaller benthic foraminifera. Verhande-lingen der Koninklijke Nederlands Akademie van Wetenschappen Afd. Natuurkunde, Eerste Reeks, deed 34. Amsterdam, 328p.

    Van Marle, L.J., J.E. van Hinte, dan A.J. Nederbragt. 1987. Plankton percentage of teh foraminiferal fauna in seafloor samples from the Australian-Irian Jaya continental margin, eastern Indonesia. Marine Geology, 77:151-156.

    Kiswara, W. dan L. Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. J. Teknologi Kelautan Nasional, 3(1):23-36.

    Diterima : 16 Januari 2013 Direvisi : 17 Februari 2013 Disetujui : 3 Juni 2013

  • Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 26-35, Juni 2013

    Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan 26 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

    FORAMINIFERA BENTONIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KONDISI PERAIRAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN FORAM Index DI GUGUSAN KEPULAUAN NATUNA, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

    BENTHIC FORAMINIFERA AS BIOINDICATOR OF CORAL REEF

    ENVIRONMENTAL CONDITION BASED ON FORAM Index IN NATUNA ISLANDS, PROVINCE OF RIAU ISLANDS

    Kinanti Gitaputri1, Hikmat Kasmara1, Tatang S. Erawan1, dan Suhartati M.

    Natsir2 1Jurusan Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,

    Bandung. Email: [email protected] 2Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Ancol-Jakarta

    ABSTRACT

    Foraminifera is one of single-celled protozoa, living in the water environment especially marine waters. This organism can be used as bioindicator of environmental conditions of coral reefs through a simple index called FORAM Index. The purpose of this research are to obtain FORAM Index values, to know any species of benthic foraminifera bioindicator of coral reefs environmental conditions that have been found and to find out whether there is a relationship between FORAM Index to the condition of coral reefs based on coral coverage percentage. The research used survey method on sediment sampling and measurement of environment parameters by P20 LIPI team in April 2011. Several important steps in this research such as sediment samples preparation, sample observation, and sample identification. The results showed that there were 80 species and 31 genera benthic foraminifera bioindicator of coral reefs environmental conditions were found in the Natuna Islands. The condition of coral reefs in the Natuna Islands based on FORAM Index (FI) values ranged from 2.6 to 5.94, and overall there was a positive relationship between FORAM Index and the condition of coral reefs based on coral coverage percentage i.e., the increase of FI was followed by the increase of coral coverage percentage. However, in the terms of correlation there were several different results, there was a strong correlation and a weak correlation. Keywords: foraminifera, FORAM index, coral reef.

    ABSTRAK

    Foraminifera merupakan salah satu ordo dari Protozoa yang bersel tunggal, hidup pada lingkungan perairan terutama laut yang dapat dijadikan bioindikator kondisi lingkungan terumbu karang melalui indeks sederhana bernama FORAM Index. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai FORAM Index, mengetahui jenis foraminifera bentonik bioindikator kondisi perairan terumbu karang apa saja yang ditemukan serta mengetahui apakah terdapat hubungan antara FORAM Index dengan kondisi terumbu karang berdasarkan penutupan karangnya. Penelitian ini menggunakan metode survey pada pengambilan sampel sedimen dan pengukuran parameter lingkungan yang telah dilakukan oleh tim Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI pada bulan April 2011. Tahap-tahap dalam penelitian ini meliputi tahap preparasi sampel sedimen ,tahap pengamatan sampel, dan tahap identifikasi sampel di laboratorium. Hasil dari penelitian ini ditemukan 80 jenis dan 31 genus foraminifera bentonik bioindikator kondisi perairan terumbu karang. Kondisi perairan terumbu karang di gugusan Kepulauan Natuna berdasarkan FORAM Index (FI) nilainya berkisar antara 2,63-9,46 dan secara keseluruhan terdapat hubungan yang postif antara FORAM Index dengan kondisi terumbu karang berdasarkan penutupan karang, dimana kenaikkan nilai FI diikuti dengan kenaikan presentase penutupan karangnya, namun dari segi korelasi terdapat hasil yang beragam, ada yang menunjukkan korelasi yang erat juga lemah. Kata kunci : foraminifera, FORAM index, terumbu karang.

  • Gitaputri et al.

    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Juni 2013 27

    I. PENDAHULUAN

    Terumbu karang merupakan salah satu bentuk ekosistem laut yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupuan. Namun, komunitas terumbu karang telah terancam keberadaannya di berbagai belahan dunia. Bryan et al. (1998) dalam Hallock et al. (2003) memperkirakan hampir 60% terumbu karang di muka bumi terancam keberadaannya karena dampak lokal seperti polutan kimia, sedimentasi, penangkapan ikan yang merusak lingkungan dan aktivitas kapal.

    Kondisi terumbu karang Indonesia telah banyak mengalami degradasi yang mengkhawatirkan, hal ini ditunjukkan dengan presentase penutupan karangnya yaitu kategori kondisi sangat baik hanya sebesar 6,83% ; 25,72% berkondisi baik; 36,87 dalam kondisi sedang, dan 30,58% dalam kondisi rusak (Suharsono dan Giyanto, 2003 dalam Johan et al., 2007). Banyak penelitian-penelitian dan upaya yang dilakukan sebagai bagian dari penyelamatan dan konservasi terumbu karang, salah satunya dengan menggunakan bioindikator.

    Risk (1999) dalam Hallock et al. (2003) mengatakan bahwa dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam telah memonitor kualitas air dan kondisi terumbu karang selama beberapa dekade tetapi mereka kekurangan bioindikator yang dapat menghubungkan keduanya yaitu mengukur kualitas perairan untuk kondisi terumbu karang sebagai salah satu upaya yang berarti untuk melestarikan sumber daya terumbu karang yang tersisa.

    Salah satu bioindikator yang dapat digunakan adalah foraminifera yang didasarkan pada kumpulan spesiesnya di sedimen dasar lingkungan perairan terumbu karang yang kemudian dimasukkan ke dalam suatu perhitungan yang dinamakan FORAM (Foraminifera ion Reef Assessment an Monitoring) Index (Hallock et al., 2003). Indeks ini dapat

    menentukan apakah kualitas suatu lingkungan perairan cukup baik atau tidak untuk mendukung pertumbuhan dan pemulihan terumbu karang (Hallock et al., 2003).

    Foraminifera merupakan salah satu ordo dari Protozoa yang bersel tunggal, hidup pada lingkungan perairan terutama laut. Foraminifera bentonik adalah mikrobentos yang hidup pada dasar perairan. Foraminifera dikenal sebagai salah satu penghasil CaCO3 di lautan. Organisme ini mengandung mineral aragonit atau yang dikenal dengan kalsium karbonat (CaCO3) yang ter-kandung di dalam cangkangnya (Haq and Boersma, 1997).

    Banyak peneliti telah mengusulkan bahwa foraminifera dapat berguna sebagai bioindikator. Keuntungan utama peng-gunaan foraminifera dalam pemantauan kondisi terumbu karang adalah siklus hidup foraminifera yang singkat dibandingkan dengan organisme pembangun terumbu karang yang lain sehingga secara potensial dapat memfasilitasi dalam jangka panjang perbedaan antara penurunan kondisi terumbu karang yang terkait dengan penurunan kualitas air (Cockey et al,. 1990 dalam Hallock et al., 2003).

    Beberapa spesies dari foraminifera bentonik merupakan kontributor pembentuk karang, karena foraminifera juga menghasilkan CaCO3 (Yamano et al., 2000). Salah satu genusnya adalah Amphistegina yang memberikan kontribusi penting penghasil CaCO3 lingkungan terumbu karang (Hallock, 1974). Kemampuan foraminifera dalam menghasilkan CaCO3 membuat mereka memiliki peran sebagai salah satu organisme pembentuk karang (Goreau, 1963). Sehingga bisa dikatakan bahwa foraminifera berasosiasi dengan terumbu karang.

    Kepulauan Natuna merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau

  • Foraminifera Bentonik sebagai Bioindikator Kondisi Perairan Terumbu Karang

    28 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt51

    yang merupakan provinsi terluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan langsung berbatasan dengan Singapura, Malaysia,dan Vietnam. Gugusan Kepulauan Natuna terletak di bagian terluar dan terdiri dari tiga pulau besar, yaitu Pulau Bunguran, Pulau Laut dan Pulau Subi Besar. Ekosistem yang terdapat di perairan Kepulauan Natuna sangat beragam, mulai dari mangrove, lamun sampai terumbu karang (Natsir et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh tim Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI Jakarta pada tahun 2011 mendapatkan hasil kondisi terumbu karang di perairan gugusan Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yaitu termasuk ke dalam kategori baik hingga rusak. Ekosistem terumbu karang dapat menjadi habitat yang kondusif untuk berbagai organisme laut termasuk foraminifera yang dapat hidup pada semua tipe perairan.

    II. METODE PENELITIAN 2.1. Alat dan Bahan

    Alat yang digunakan meliputi: Van Veen Grab, kantung plastik, label, saringan dengan diameter 0,063 mm; 0,250 mm; 0,125 mm; 0,5 mm; 0,1 mm, mangkuk aluminium, oven (Heraeus T6120), batang pengaduk, timbangan analitik elektrik (Sartorius AC 2115), jarum picking, foraminiferal slide, cawan tabor, mikroskop stereoskopik binokuler, kuas halus nomor 1, dan kamera.

    Bahan yang digunakan meliputi: sampel sedimen, larutan H2O2 (10-15%), larutan methylen blue, air, dan lem. 2.2. Pengambilan Sampel

    Sampel sedimen lingkungan terumbu karang diambil dengan Van Veen Grab di 16 titik pengambilan sampel pada kedalaman 1-12 m yang tersebar di gugusan perairan Kepulauan Natuna yaitu perairan Pulau Subi yang terdiri dari 7 stasiun, perairan pulau Bunguran yang

    terdiri dari 6 stasiun, dan perairan Pulau Laut yang terdiri dari 3 stasiun dengan lima kali pengulangan pada tiap stasiun. Sampel sedimen kemudian dilakukan tahap preparasi yang terdiri dari tahapan pencucian sampel, pemisahan foraminifera dari sedimen, deskripsi dan identifikasi. Preparasi sampel dilakukan berdasarkan metode Kennedy & Ziedler (1976) dalam Natsir (2010). 2.3. Tahap Preparasi

    Sampel dicuci pada saringan bertingkat dengan ukuran mesh 0,063 mm, 0,250 mm, 0,125 mm, 0,5 mm, dan 0,1 mm. Residu sampel dikerin