11
Profil Gejala Psikosomatik pada Pasien dengan “Restless Legs Syndrome” Abstrak Tujuan. Telah dilaporkan bahwa Restless Legs Syndrome (RLS) mungkit terkait dengan beberapa gejala psikosomatis. Kami bertujuan untuk mengidentifikasi gejala psikosomatik yang paling terkait pada pasien dengan RLS dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Kami juga berusaha untuk menentukan hubungan antara komorbiditas psikosomatis dan keparahan RLS terlepas dari gejala yang berhubungan dengan tidur. Metode. Seratus dua pasien baru yang didiagnosis dengan RLS dan tiga puluh tujuh subyek kontrol sehat yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Para pasien dengan RLS ini dikategorikan menjadi grup ringan dan berat berdasarkan skala penilaian menurut “the International RLS Study Group rating scale”. Data demografi dikumpulkan. Semua peserta menyelesaikan kuesioner yang berhubungan dengan skala tidur, yakni kuesioner dari the Pittsburgh Sleep Quality Index, Athens Insomnia Scale dan Epworth Sleepiness Scale as sleep-related questionnaires. Semua peserta menyelesaikan gejala ceklis-90-revisi (Symptom Checklist-90-Revision/ SCL-90-R). Hasil. Pasien RLS ditemukan memiliki komorbiditas dengan gejala psikosomatik. Somatisasi ditemukan menjadi faktor yang berkontribusi paling signifikan (OR 1.145, 95% CI 1.061-1.234, p<0.001) untuk komordibitas psikosomatik pada pasien dengan RLS. Pasien dengan RLS berat ditemukan memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dari pada pasie dengan RLS ringan. Selain itu, pasien RLS berat memiliki skor yang lebih tinggi untuk domain gejala yang paling psikosomatis di SCL-90-R. Kecemasan ditemukan untuk menjadi faktor paling independen yang berkontribusi pada derajat keparahan RLS (OR 1,145, 95% CI 1,043-1,257, p = 0,005). 1

JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal jiwa

Citation preview

Page 1: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Profil Gejala Psikosomatik pada Pasien

dengan “Restless Legs Syndrome”

Abstrak

Tujuan. Telah dilaporkan bahwa Restless Legs Syndrome (RLS) mungkit terkait dengan beberapa gejala psikosomatis. Kami bertujuan untuk mengidentifikasi gejala psikosomatik yang paling terkait pada pasien dengan RLS dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Kami juga berusaha untuk menentukan hubungan antara komorbiditas psikosomatis dan keparahan RLS terlepas dari gejala yang berhubungan dengan tidur.

Metode. Seratus dua pasien baru yang didiagnosis dengan RLS dan tiga puluh tujuh subyek kontrol sehat yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Para pasien dengan RLS ini dikategorikan menjadi grup ringan dan berat berdasarkan skala penilaian menurut “the International RLS Study Group rating scale”. Data demografi dikumpulkan. Semua peserta menyelesaikan kuesioner yang berhubungan dengan skala tidur, yakni kuesioner dari the Pittsburgh Sleep Quality Index, Athens Insomnia Scale dan Epworth Sleepiness Scale as sleep-related questionnaires. Semua peserta menyelesaikan gejala ceklis-90-revisi (Symptom Checklist-90-Revision/ SCL-90-R).

Hasil. Pasien RLS ditemukan memiliki komorbiditas dengan gejala psikosomatik. Somatisasi ditemukan menjadi faktor yang berkontribusi paling signifikan (OR 1.145, 95% CI 1.061-1.234, p<0.001) untuk komordibitas psikosomatik pada pasien dengan RLS. Pasien dengan RLS berat ditemukan memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dari pada pasie dengan RLS ringan. Selain itu, pasien RLS berat memiliki skor yang lebih tinggi untuk domain gejala yang paling psikosomatis di SCL-90-R. Kecemasan ditemukan untuk menjadi faktor paling independen yang berkontribusi pada derajat keparahan RLS (OR 1,145, 95% CI 1,043-1,257, p = 0,005).

Kesimpulan. Penelitian kami menunjukkan bahwa psikosomatis komorbiditasdistress cukup besar pada pasien dengan RLS. Lebih Lanjut, kebanyakan komorbiditas psikosomatis meningkat dengan keparahan RLS berkaitan dengan kualitas tidur yang buruk.

Kata Kunci. Restless legs syndrome. Gejala psikosomatik. SCL-90-R. Keparahan.

1

Page 2: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Pendahuluan

Restless legs syndrome (RLS) adalah gangguan sensorimotor neurologis, di mana gejala utama adalah dorongan kuat untuk memindahkan kaki [1, 2]. RLS adalah penyebab umum dari gangguan tidur yang sangat menggangu fungsi kehidupan normal seseorang [3-6]. Selain gangguan tidur, pasien RSL juga diketahui menunjukkan status kecemasan lebih berat dari orang sehat/ kontrol [7-10]. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa depresi juga merupakan komordibitas pada pasien RLS [9,11,12]. Hal ini diketahui bahwa RLS dan depresi dapat menyertai pada pasien dengan gangguan kesehatan seperti pada stadium akhir penyakit ginjal dan mempengaruhi kualitas hidup, kepatuhan pengobatan, dan prognosis [6]. ‘Gangguan suasana hati’telah dimasukkan dalam peringkat skala pada the International Restless Legs Syndrome Group (IRLS) untuk mengevaluasi gangguan psikosomatis pada RLS [13]. Namun, sedikit perhatian telah diberikan untuk mengidentifikasi gejala psikomatik tertentu yang berkaitan dengan RLS. Selain itu, gejala psikosomatik khusus tertentu yang berkorelasi dengan derajat keparahan RLS belum ditentukan dengan baik.

Untuk mengatasi hal tersebut, kami mengevaluasi profil gejala psikosomatis dengan menggunakan Gejala Checklist-90-Revisi (Symptom Checklist-90-Revised/ SCL-90-R) pada pasien dengan RLS. SCL-90-R telah digambarkan sebagai instrumen sensitif untuk menentukan seberapa berat gangguan, yang berkisar dari gangguan jiwa dalam, ringan dan kecemasan [14]. Dan sebuah kuesioner yang menberitahukan psikopatologi dan psikologikal gangguan kejiwaan. Ini tentu saja dapat digunakan untuk melihat gambaran komordibiti pada berbagai jenis kelainan [15-20]. Untuk pengetahuan terbaik kami, hanya satu penelitian yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyakit psikosomatis dengan menggunakan SCL-90-R pada pasien dengan RLS [21]. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien RLS yang tidak terobati memiliki gangguan psikologikal yang beraneka ragam termasuk somatisasi, gejala konvulsi, depresi dan kecemasan. Selain itu, pengobatan terhadap pasien dengan RLS memiliki banyak gangguan psikologikal yang berat dibandingkan dengan grup yang tidak diobati. Pada subgrup analisa, kehilangan efikasi dan augmentasi disebabkan karena gangguan psikologikal meningkat pada pengobatan pasien dengan RLS. Sebuah penelitian menyajikan seluruh profil psikosomatik pada pasien dengan RLS menggunakan SCL-90-R. Bagaimanapun, penelitian ini terfokuskan pada perbaikan psikologikal antara grup yang diobati dngan yang tidak diobati dalam konteks keparahan dengan penurunan augmentasi. Untuk pembandingan, pada profil gejala psikosomatis pada kelompok orang sehat sebagai kontrol dan pada pasien dengan RSL tidak dievaluasi. Lebih lanjut, penelitian ini tidak menghadirkan hasil dari perbedaan pada profil psikosomatik pada pasien RLS berat yang tidak berakibat dari pengobatan yang diberikan.

Pada penelitian ini,kami bertujuan membandingkan profil gejala psikosomatik pada pasien denga RLS dan kontrol yang menunjukkan gejala psikosomatik yang mirip dengan RLS. Selanjutnya, kami mengidentifikasi gejala psikosomatik mana yang paling berkaitan dengan derajat berat pada pasien dengan RLS.

Metode

2

Page 3: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Peserta

Seratus dua pasien baru didiagnosa, dimasukkan dalam penelitian ini. RLS didiagnosis mengkuti kriteria yang diusulkan oleh Internasional RLS Study group [1.2]. Semua pasien ditanya pertanyaan diagnostik dan klinis diperiksa oleh ahli saraf. Peserta menanggapi secara tegas untuk keempat pertanyaan yang dianggap memiliki gangguan RLS. Pasien dikeluarkan bila mereka memiliki mimik seperti RLS atau pada penyebab sekundr RLS, termasuk yang memiliki riwayat menggunakan obat yang diketahui untuk pasien RLS (misalnya, neuroleptik, anti-depresan, atau antihistamin), yang relevan secara neurologis atau gangguan kejiwaan, atau riwayat gangguan tidur yang berhubungan dengan selain RLS terkait insomnia. Hemoglobin, glukosa darah dan kadar serum kreatinin, besi/ feritrin, dan hormon tiroid diperiksa pada semua pasien. Keparahan RLS ditentukan dengan menggunakan skala penilaian RLS internasional (the International RLS Rating Scale/ IRLS). Pasien diklasifikasikan mejadi dua kelompok, ringan dan berat dengan menggunakan poin 20 dari IRLS [13].

Sebuah kelompok usia yang sama dari 37 relawan sehat yang direkrut melalui iklan di masyarakat setempat (usia rata-rata, 52.86 ± 10.76 tahun). Masing-masing calon peserta di wawancara klinis oleh dokter dan kuesioner mengenai tidur mereka. Peserta dengan riwayat neurologis, psikiatri atau penyakit sistemik atau riwayat keluarga dengan gangguan neurodegeneratif dikeluarka. Semua peserta memberikan informasi tertulis persetujuan sebelum menjadi peserta pada penelitian ini.

Profil gejala psikosomatik dan keluhan tidur.

Sebuah kuesioner terstruktur mengenai tidur diberikan kepada semua peserta. Pertanyaan pada kuesioner ini mengenai kebiasaan tidur dan riwayat penggunaan obat, indeks kualitas tidur menurut Pittsburgh (the Pittsburgh Sleep Quality Index/ PSQI) [22], skala kantuk menurut Epworth (the Epwort Sleepinss Scale/ ESS) [23], dan skala insomnia menurut Athens (the Athens Insomnia Scale/ AIS) [24].

Sebuah profil gejala psikosomatik dari masing-masing peserta dievaluasi menggunakan SCL-90-R (the Symptom Checklist-90-Revised). SCL-90-R terdiri dari sembilan gejala utama, terdiri dari 90 item dengan skala penilaian dari 0 hingga 5. Skor direpresentasikan sebagai nilai T, dengan rata-rata 50 dan standar deviasi 10; skor yang lebih tinggi menunjukkan gejala yang lebih berat. Keparahan SCL-90-R ditunjukkan bahwa alpha Cronbach adalah 0.923. kami menggunakan versi korea dari SCL-90-R yang dimana telah terstandar dan sudah diterapkan diberbagai bidang.

Analisa Statistik

Karakteristik demografi dan kuesioner mengenai tidur dibandingkan antara peserta kontrol dan pasien RLS ringan serta berat dengan analisis varian satu arah (one-way analysis of variance/ ANOVA) untuk membandingkan profil psikosomatis antara kelompok kontrol dan pasien RLS, skor SCL-90-R dianalisis dengan uji T. Tes yang sama juga diterapkan untuk membandingkan profil psikosomatis antara RLS ringan dan kelompok RLS berat. Untuk

3

Page 4: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

mengidentifikasi faktor-faktor psikosomatis independen dengan RLS, analisis regresi logistik dilakukan dengan domain SCL-90-R sebagai variabel independen. untuk mengidentifikasi korelasi antara faktor-faktor psikosomatis dan derajat keparahan RLS, analiss korelasi Pearson pun dilkukan. Domain SCL-90-R dan hasil kuesioner yang berhubungan dengan tidur menjadi sasaran analisis regresi bertahap ganda untuk menentukan tingkat kontribusi dari psikosomatis domain dengan penyesuaian untuk hasil kuesioner tidur. Signifikansi statistik diterima untuk nilai p <0.05.

Hasil

Perbandingan karakteristik klinis dan kuesioner mengenai tidur

Empat puluh tujuh pasien RLS diklasifikasikan dalam kelompok RLS ringan dan lima puluh lima psien diklasifikasikan dalam kelompok RLS berat. Karakteristik klinis dan variabel yang berubungan dengan tidur dirangkum dalam tabel 1.

Usia dan IMT tidak terdapat perbedaan dari ketiga kelompok. Namun peserta laki-laki yang lebih umum pada kelompok RLS ringan daripada kelompok lain. Skor PSQI, AIS, dan ESS berbe da secara signifikanantara ketiga kelompok, yang menunjukkan kecenderungan meningkat dari kontrol normal kelompok RLS berat. Terlalu banyak mengantuk disiang hari (Excessive daytime sleepiness/ EDS), yang didefinisikan sebagai skor >10 dalam ESS. Secara signifikan lebih tinggi pada pasien dibanding kontrol daripada peserta penelitian ini.

Analisis domain psikosomatik pada SCL-90-R yang berdampak pada RLS tersebut.

Uji T menunjukkan bahwa pasien RLS memiliki lebih banyak gangguan psikosomatik sebagian besar domain SCL-90-R kecuali sensitivitas interpersonal dan idea paranoid (Tabel2).

4

Page 5: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Untuk mengidentifikasi domain psikosomatik yang paling terkait dengan RLS, dilakukan analisis regresi logistik. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa somatisasi (OR 1,145, 95% CI 1,061-1,234, p <0,001) dan permusuhan (OR 1,129, 95% CI 1,012-1,258, p = 0.029) adalah faktor independen yang berkontribusi bagi komordibitas psikosomatis pada RLS (Tabel 3).

Hubungan antara kuesioner tidur, SCL-90-R, dan keparahan RLS

Semua domain psikosomatis kecuali idea paranoid yang berkorelasi positif dengan IRLS tersebut. Juga, AIS dan PSQI menunjukkan korelasi positif sedang dengan IRLS. Akan Tetapi,ESS menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan dengan IRLS (Tabel 4).

Beberapa analisis regresi bertahap mengungkapkan bahwa kecemasan (OR 1,141, 95% CI 1,037-1,255, p = 0,007) dan psychoticism (OR 0,855, 95% CI 0,772-0,948, p = 0,003) adalah faktor independen yang berkontribusi menjadi komorbiditas psikosomatis menurut keparahan RLS setelah penyesuaian untuk gejala tidur-terkait yang dapat mempengaruhi tekanan psikosomatik (Tabel 5).

5

Page 6: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Selanjutnya, analisis regresi bertahap ganda juga menunjukkan bahwa AIS (OR 1,148, 95% CI 1,034-1,273, p = 0,009) berkontribusi terhadap keparahan RLS bahkan menyesuaikan untuk komorbiditas psikosomatis. Perbandingan data SCL-90-R antara kelompok disajikan pada Gambar. 1 dengan post hoc hasil analisa.

Diskusi

Kami menemukan bahwa pasien RLS memiliki psikosomatis distress di semua domain dari SCL-90-R kecuali sensitivitas interpersonal yang dan ide paranoid dibandingkan dengan kontrol. Di Kalangan domain, somatisasi dan permusuhan adalah faktor independen untuk RLS. Kami juga mengidentifikasi bahwa semua domain psikosomatik dari SCL-90-R kecuali ide paranoid adalah berhubungan dengan keparahan RLS. Kualitas tidur yang kurang dan insomnia juga berkorelasi dengan keparahan RLS. Kecemasan dan insomnia ditemukan sebagai faktor yang berefek pada keparahan RLS bahkan setelah penyesuaian untuk gejala yang berhubungan dengan tidur dan psikosomatik distress.

Telah dilaporkan bahwa pada pasien RLS, gejala psikosomatis yang berhubungan dengan masalah tidur, seperti insomnia dan kantuk di siang hari. Dalam penelitian ini, kami menegaskan kembali bahwa pasien RLS menderita psikosomatis gangguan selain dari gejala RLS itu sendiri. Namun, dari gejala psikosomatik, hanya somatisasi dan permusuhan ditemukan secara independen terkait dengan RLS setelah penyesuaian untuk gejala yang berhubungan dengan tidur. Temuan ini menunjukkan bahwa somatisasi dan permusuhan adalah yang paling umum gejala psikosomatik pada pasien RLS terlepas dari masalah tidur. Dari dua domain, kami menemukan bahwa somatisasi adalah faktor kontribusi paling signifikan untuk komorbiditas psikosomatis pasien RLS. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa prevalensi RLS tinggi pada pasien dengan gangguan nyeri somatoform. Studi lain menunjukkan bahwa respon pengobatan RLS yang kurang mungkin disebabkan oleh komorbiditas neuropsikiatri. Dalam penelitian ini, gangguan somatoform adalah yang paling umum gangguan neuropsikiatri komorbiditas. Hasil kami bersama dengan temuan

6

Page 7: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

sebelumnya menyarankan bahwa karena RLS didiagnosis berdasarkan simtomatologi, RLS dapat dengan mudah didiagnosis sebagai komorbiditas di somatisasi pasien. Di sisi lain, pasien dengan somatisasi mungkin mencari bantuan medis lebih sering, dan gejala RLS sendiri dapat berkontribusi munculnya psikosomatik.

Dalam analisis antara kelompok pasien RLS, pasien RLS parah ditemukan memiliki kualitas tidur yang kurang dan profil psikosomatik lebih parah di sebagian besar domain. Dari semua domain psikosomatik, kecemasan ditemukan berkorelasi dengan keparahan RLS. Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa kecemasan dan gejala kejiwaan lainnya adalah umum di antara pasien RLS. Peneliti awal mencatat bahwa RLS terjadi terutama pada pasien "cemas, tegang, atau pasien depresi " dan studi terbaru melaporkan adanya peningkatan gejala kecemasan dan depresi pada pasien RLS. Dalam penelitian ini, kecemasan ditemukan secara sederhana tetapi secara signifikan berkorelasi dengan keparahan RLS dan berpotensi memberikan kontribusi pada keparahan RLS. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa pasien dengan RLS parah beresiko cemas berlebih. Hornyak et al. mempelajari pengaruh Terapi perilaku kognitif pada keparahan RLS dan gejala psikosomatik. Dalam studi mereka, subskala kecemasan di SCL-90-R ada penurunan secara signifikan antara awal dan akhir program perawatan (6,0-5,3 poin; p = 0,036) secara paralel dengan perbaikan sesuai dengan skala keparahan RLS. Oleh karena itu, studi mereka dan kita menunjukkan bahwa kecemasan harus dipertimbangkan sebagai target pengobatan RLS ketika pasien mengalami kecemasan, terutama pada pasien yang parah.

Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa depresi adalah gejala umum antara pasien RLS. Demikian juga, pada penelitian ini, depresi ditemukan lebih umum pada RLS. Meskipun depresi tidak ditemukan berdiri sendiri yang berkontribusi untuk tingkat keparahan RLS, analisis korelasi menunjukkan hubungan positif dengan IRLS (Tabel 4).

Dalam penelitian ini, kualitas tidur subjektif diwakili oleh PSQI dan profil gejala psikosomatik yang ditemukan secara signifikan berkorelasi dengan keparahan RLS. Insomnia diwakili oleh AIS secara khusus ditemukan untuk menjadi faktor independen yang berkontribusi dalam keparahan RLS. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tidur subjektif pasien dapat dipengaruhi oleh psikosomatis serta keparahan RLS terlepas dari kausalitas.

7

Page 8: JURNAL JIWA -- Profil Gejala Psikosomantik Pada Pasien RLS

Namun, setelah penyesuaian untuk gejala dan psikosomatis distress terkait-tidur, ditemukan bahwa keduanya berkontribusi terhadap derajat keparahan RLS.

Beberapa keterbatasan penelitian memerlukan pertimbangan dalam studi ini. Jenis kelamin yang tidak matching bisa menjadi faktor pengganggu di penelitian ini. Diagnosis psikiatri tidak dinilai. Mendiagnosa penyakit kejiwaan bisa memperjelas hubungan antara gejala psikosomatis dan keparahan RLS. Karena penelitian ini tidak dilakukan longitudinal, kausalitas antara gangguan psikosomatis dan keparahan RLS tidak dapat disimpulkan dari kami.

Meskipun keterbatasan ini, penelitian kami menghasilkan informasi tentang komorbiditas psikosomatis di RLS dengan perbandingan kontrol yang sehat. Selain itu, untuk pengetahuan, penelitian ini dapat menjadi studi pertama untuk mengidentifikasi komorbiditas psikosomatik pada pasien RLS yang baru didiagnosis menggunakan SCL-90-R.

Sebagai kesimpulan, penelitian kami menunjukkan pentingnya gejala psikosomatik selama evaluasi pasien RLS, terutama pada saat membuat diagnosis. Temuan ini juga mendukung gagasan bahwa pengakuan komorbiditas negara dan pengelolaan psikosomatik komorbiditas gejala pada RLS diperlukan untuk menganalisis baik gejala RLS maupun kualitas tidur.

8