88
Jurnal Museum Nasional

Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

Jurnal Museum Nasional

Page 2: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

Diterbitkan oleh:Museum NasionalDirektorat Jenderal KebudayaanKementerian Pendidikan Dan Kebudayaan

Penanggung Jawab: Kepala Museum Nasional Indonesia

Redaktur: Dewi Murwaningrum, M.Hum

Sekretariat:Suswadi, S.Pd. Sri Wiyarto

Editor:Dra. Sri Patmiarsih Retnaningsih, M.Hum

Setting & Desain: Handrito Danar Prabowo, S.Ds.Nusi Lisabilla Estudiantin

Fotografer:Ujang Mulyadi, A.Md.

Mitra Bestari:Dr. Kresno Yulianto Soekardi, S.S., M.Hum.

Copyright © 2013Cetakan Pertama 2019Pihak yang ingin mengutip sebagian maupun seluruh isi buku dapat mencantumkan buku ini sebagai sumbernya.

Isi di luar tanggung jawab penerbit dan menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis.

Tidak untuk diperjualbelikan

Hak cipta dilindungi undang-undang

Alamat redaksi:Museum Nasional IndonesiaJl.Medan Merdeka Barat No. 12 Jakarta Pusat 10110

Telp. / Fax. : 021-3447778, 3868172 / 021-3447778

Email : [email protected]

Website : Web Museum Nasional Indonesia:www.museumnasional.or.idVirtual Museum Nasional Indonesia:wwwmuseumnasional.indonesiaheritage.org/

JURNAL MUSEUM NASIONALPRAJNAPARAMITA

Museum Nasional Indonesiah t t p s : / / w w w . f a c e b o o k . c o m /museumnasionalindonesia/

@MuseumNasionalhttps://twitter.com/MuseumNasional

ISSN: 2355-575-01

Artikel/naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Museum Nasional belum pernah dipublikasikan sebelumnya di media apapun

Page 3: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Museum Nasional edisi VII tahun 2019 ini merupakan terbitan pertama dari saya yang menjabat sebagai Kepala Bidang Penyajian dan Publikasi Museum Nasional mulai tahun 2018. Semoga saja ini membuka berbagai penerbitan tulisan ilmiah yang semakin berkembang di masa mendatang. Kegiatan Museum Nasional tahun 2019 diramaikan dengan keikutsertaan Museum Nasional dalam mendukung kegiatan DAK (Dana Alokasi Khusus) di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu tentunya dalam mendukung kemeriahan Pekan Kebudayaan Nasional yang rencananya akan diadakan di Istora Senayan. Jurnal Museum Nasional edisi VII menyajikan tulisan membandingkan Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen dengan The Siam Society yang lekat dengan awal mula Museum Nasional. Sajian lain terkait dengan kebudayaan materi (tangible) seperti Mamuli: Penghormatan Kepada Kehidupan, Warna-warni dalam Naskah Kakawin Sumanasantaka, Museum dan Instagram Perlukah Museum Diubah Menjadi Tempat Instagramable?, juga Biografi Budaya Materi : Lika-Liku Pesona Kain Hinggi, Tenun Ikat dari Sumba Timur. Kali ini kami juga melibatkan mitra bestari, Dr. Kresno Yulianto Soekardi, S.S., M.Hum. yang merupakan Staf pengajar Dpartemen Arkeolog Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia agar kredibilitas Jurnal Museum Nasional bisa semakin baik. Tentunya keberadaan jurnal bermuatan kebudayaan dan permuseuman menjadi salah satu wadah perkembangan ilmu pengetahuan yang perlu untuk menaungi keilmuan budaya dan permuseuman di Indonesia. Dengan terbitnya jurnal museum Nasional ke VII ini, diharapkan dapat meningkatkan wawasan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat luas. Kami mengucapkan terima kasih dan menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya

Page 4: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

kepada para penulis, tim pembuat jurnal dan semua pihak yang terlibat sehingga jurnal edisi VII dapat terwujud. Tiada gading yang tak retak, apabila masih ada kekurangan dalam penulisan maupan tata letak gambar, kami mohon maaf sebesar-besarnya.

Redaksi

Page 5: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

DAFTAR ISI

1. Menyandingkan Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen dengan The Siam Society Nunus Supardi.......... .................................................................................................................................7

2. Mamuli: Penghormatan Kepada KehidupanMawaddatul Khusna Rizqika................. .......................................................................................35

3. Warna-warni dalam Naskah Kakawin SumanasantakaSari Gumilang...................................................................................................................................49

4. Museum dan Instagram Perlukah Museum Diubah Menjadi Tempat Instagramable?Ashar Murdihastomo................................................................................................................61

5. Biografi Budaya Materi : Lika-Liku Pesona Kain Hinggi, Tenun Ikat dari Sumba TimurValentina Beatrix Sondag.......................................................................................................................73

Page 6: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Page 7: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

77Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Menyandingkan Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En

Wetenschappen dengan The Siam Society

Oleh: Nunus SupardiPemerhati Budaya

Email: [email protected]

Abstrak

Ketika Chulalongkorn (Rama V) naik tahta masih sangat muda. Baru berusia 15 tahun. Untuk mendalami ilmu pemerintahan modern, pada 1871 Rama V belajar ilmu pemerintahan pada pemerintah Hindia Belanda. Selain ke Batavia Rama juga berkunjung ke berbagai kota di Jawa termasuk ke kerajaan Surakarta, Yogyakarta dan Cirebon. Sejak pertama datang Rama V langsung tertarik dengan alam dan budaya Jawa. Datang lagi pada 1896 dan 1901. Dari tiga kali kunjungan itu Rama V sangat terkesan dengan pengembangan kebudayaan di lingkungan kerjaan. Raja juga sangat terkesan dengan lembaga penelitian seni dan ilmu pengetahuan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Juga tertarik pada museum dan perpustakaan sebagai bagian dari BGKW. Setelah kembali ke Siam Rama V kemudian mendirikan lembaga yang sama dengan BGKW. Lembaga yang dinamai Siam Society itu hingga kini masih ada dan menerbitkan Jurnal secara rutin. Selain itu Rama V juga mendirikan museum dan perpustakaan seperti yang dimiliki oleh BGKW.

Abstraction:

King Chulalongkorn (Rama V) of Siam ascended the throne was still very young. Only 15 years old. To explore the science of modern government, in 1871 Rama V studied the science of government in the Dutch East Indies government. Rama also visited the kingdoms of Surakarta, Yogyakarta and Cirebon. Since the first time Rama V was interested in Javanese nature and culture. Coming again in 1896 and 1901. From the three visits, besides being impressed with the development of culture in the work environment, he was also very impressed with the Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) institution, museums and

Page 8: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

88 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Pengantar

Di masa penjajahan Belanda antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah kerajaan di Jawa (Keraton Surakarta, Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, Paku Alaman, Kasepuhan dan Kanoman) dengan pemerintah kerajaan Siam (Thailand sekarang) telah bertemu. Tampaknya Jawa di mata raja Siam mendapatkan tempat tersendiri. Raja Chulalongkorn atau Rama V (1853-1910) telah tiga kali datang ke Jawa, yaitu pada 1871, 1896, dan 1901. Raja berikutnya yang berkunjung adalah Raja Prajadhipok atau Rama VII pada 1929 dan pada 1934. Sebelum menjadi raja, Prajadhipok - yang punya nama panggilan Iad-Noi – pada 1901 juga telah pernah datang ke Jawa mendampingi Raja Chulalongkorn (Imtip Pattajoti Suharto:2010, hal. 134). Lawatan raja Siam berlanjut setelah Indonesia merdeka. Raja Bhumibol Adulyadej pada pada 1957 berkunjung

ke Indonesia, melihat keindahan Bali, dan kepala pemerintahan pertama yang menginap di Istana Tampak Siring. Raja datang lagi tahun 1960. Dari beberapa kunjungan yang dirintis Rama V sejak hampir 150 tahun yang lalu itulah yang membuat hubungan baik kedua bangsa berlanjut hingga kini. Dapat dipastikan dari pertemuan berkali-kali itu telah dibicarakan berbagai hal yang berkenaan hubungan persahabatan kedua bangsa. Pembicaraan tentu tidak hanya sebatas bidang politik, ekonomi, sosial, pertanian, transportasi misalnya, tetapi juga di bidang budaya. Pada kesempatan ini penulis hanya ingin mengangkat hal-hal yang berkenaan bidang yang terakhir ini, khususnya mengenai masalah museum, perpustakaan serta penelitian bidang budaya di negeri Siam yang kuat mengindikasikan sebagai buah dari kunjungan Raja Chulalongkorn ke Jawa. Dengan menyandingkan keberadaan lembaga Bataviaasch Genootschap van

libraries as part of BGKW. After returning to Siam Rama V then established the same institution as BGKW. The institution, called the Siam Society, still exists today and publishes journals on a regular basis. In addition, Rama V also established museums and libraries like those owned by BGKW.

Key word: Rama, Java.

Page 9: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

99Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Kunsten en Wetenschappen (BGKW) yang melahirkan Museum Nasional dengan lembaga The Siam Society (SS) tampaknya ada hubungan yang dekat. Mungkinkah lembaga-lembaga museum, perpustakaan dan lembaga SS di Siam itu lahir karena diinspirasi oleh empat kali kunjungan Raja ke museum, perpustakaan dan lembaga BGKW?

Sekilas kunjungan Raja Chulalongkorn ke Jawa

Tujuan utama dari lawatan Raja

Chulalongkorn atau Raja Rama V yang pertama kali ke Jawa pada 1871 adalah untuk mendalami ilmu pemerintahan modern dari pemerintahan kolonial Inggris di Singapura dan Belanda di Batavia. Raja Rama V waktu naik tahta baru berusia 15 tahun menggantikan ayahnya Raja Mongkut (Rama IV) yang wafat pada 1868. Selama 17 tahun memerintah (1851-1868), Raja Mongkut telah berhasil mencanangkan dua kebijakan yang dinilai menjadikan negeri Siam tidak pernah dijajah oleh bangsa asing seperti negara-negara tetangganya. Pertama, kebijakan melakukan pembaharuan (modernisasi) kehidupan masyarakat Siam seperti halnya bangsa Eopa. Masyarakat

Siam yang dipandang masih tradisional, oleh Raja Mongkut sikap pandangan itu diubah dengan cara menerima berbagai pembaharuan yang datang dari Barat. Menurut Raja cara memajukan aspek politik, ekonomi dan sosial dan budaya masyarakat Siam sehingga menjadi bangsa moden adalah dengan mengadopsi dan mengadaptasi sistem pemerintahan Barat. Kedua, kebijakan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa Siam agar tetap menjadi bangsa merdeka. Untuk mewujudkan

Gambar 1. Somdetch Phra Paramindr Maha

Chulalongkorn atau Rama V, menjabat dari 1 Oktober

1868 – 23 October 1910.

Page 10: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1010 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

modernisasi dan menjaga kedalautan itu Raja Mongkut menempuh cara merekrut sejumlah tenaga ahli dari Barat. Selain itu Raja menandatangani beberapa perjanjian dengan negara-negara Barat, seperti dengan Inggris (18 April 1855) Amerika (1856), Perancis (1856), Denmark (1858), Portugis (1859), Belanda (1860), Jerman (1862), serta Belgium, Norwegia, Italia, dan Swedia (1868). Setelah Raja Mongkut mangkat, tanggung jawab melanjutkan kebijakan itu sepenuhnya ada di atas pundak raja muda. Sebagai seorang raja muda belia dan belum memiliki pengetahuan banyak tentang ilmu pemerintahan menjadi perhatian serius bagi senior kerajaan. Menambah wawasan raja muda menjadi pembicaraan serius. Sebagian senior menyarankan agar Raja melakukan perjalanan belajar ke Eropa, dan sebagian mengkhawatirkan bila Raja Muda harus meninggalkan kerajaan. Akhirnya disepakati untuk mendatangkan saja guru dari Barat. Guru yang dipilih adalah Anna Leonowens dari Inggris yang sedang bekerja di Singapura. Tampaknya berbagai ajaran dari Anna Leonowens yang menekankan pembaharuan yang lebih luas membekas di benak Raja. Selain itu, untuk mengganti lawatan ke Eropa yang dibatalkan, perjalanan Raja dialihkan ke Singapura dan

Batavia (Jawa). Singapura yang saat itu menjadi jajahan Inggris dinilai dapat menambah wawasan pemerintahan modern kerajaan Inggris, dan lawatan ke Batavia (Jawa) untuk belajar pemerintahan modern kerajaan Belanda. Raja datang didampingi oleh 208 orang pengikut dengan menggunakan kapal pesiar bernama Pritayamronnayuth dinahkodai oleh John Bush berkebangsaan Inggris. Menurut Anchalee Pupaka, seluruh perjalanan itu seluruhnya memakan waktu dua bulan (Anchalee Pupaka. 2015: hal. 40) tetapi kalau menurut Imtip Pattajoti selama 38 hari, yaitu dari tanggal 9 Maret sampai dengan 15 April 1871 (Imtip Pattajoti Suharto. 2001: hal. 1). Di Singapura Raja Muda yang saat itu berusia 18 tahun (1871) tertarik pada kemajuan dan kemakmuran koloni Inggris, yang ditandai antara lain oleh keberadaan kantor pos, gereja, Raffles College, hotel, rumah sakit, penjara, pengadilan, taman Botani, dan sebagainya. Seperti dikutip dari Journal of a Journey to Java of Over the Two Months 1896, Raja menyebut Singapura itu sebagai “pintu gerbang” (bahasa Thai: pratu ban) menuju ke dunia luar (Davisakd Puaksom, 2007: hal. 187). Dari Singapura Raja Rama V melanjutkan perjalanan ke Jawa. Ia

Page 11: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1111Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

tinggal di Batavia dan Semarang. Raja mengagumi modernitas kota Batavia setelah mengamati sistem administrasi kolonial, barak militer, sekolah umum, sekolah taruna, rumah sakit dan laboratorium medis, sistem peradilan, kantor pengadilan dan penjara, konstruksi kereta api, Kebon Raya Bogor dan sebagainya. Pada kesempatan itu raja juga berkunjung ke Museum van het BGKW. Setelah berkeliling museum raja sangat mengagumi keagungan gedung museum dan berbagai artefak yang ada di dalamnya. Selain itu Raja juga sangat tertarik dengan upaya pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi ilmiah pada saat itu. Dari Batavia rombongan naik kereta api menuju Semarang. Di kota ini Raja mengunjungi pabrik senjata, rumah sakit, barak militer, pertunjukan kesenian, cara membatik, dll. Karena merasa puas dengan kunjungan yang pertama kali itu, Raja memerintahkan untuk membuat dua patung gajah dan selanjutnya patung itu dikirim ke Singapura dan Batavia sebagai hadiah. Di Batavia patung diserahkan oleh utusan bernama Praya Samutburamurak kepada pemerintah Hindia Belanda. Diputuskan patung gajah itu ditempatkan di Museum van het BWKG dan selesai dipasang pada 1872. Karena masyarakat mengalami

kesulitan menyebut nama museum berbahasa Belanda (Museum van het BGKW), dengan dipajangnya patung gajah di halaman museum, masyarakat kemudian menyebut museum itu sebagai “Museum Gajah”. Kunjungan Raja Rama V yang kedua berlangsung pada 1896 dengan menggunakan kapal bernama Maha Chakri, duapuluh lima tahun kemudian ketika Raja telah berusia 43 tahun. Tujuan kunjungan kedua yang berlangsung dari 9 Mei – 12 Agustus 1896 itu sedikit berbeda dengan yang pertama. Bila pada kunjungan pertama ke Batavia dan Semarang perhatian raja hanya pada beberapa aspek budaya Jawa, kunjungan kedua benar-benar hanya sebagai “muhibah budaya”, atau membangun hubungan dengan raja-raja Jawa melalui pendekatan “diplomasi bermatra budaya”. Setelah tiba di Batavia tempat pertama yang dikunjungi adalah (pada 26 Mei 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan setelah kunjungan 1871, Raja merasa sangat puas. Hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan pemasangan patung yang sama di Singapura. Kepuasannya itu ditulis di dalam buku hariannya sebagai berikut: “The base was nicer than the one in Singapore with a nicely carved stone design of

Page 12: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1212 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Borobudur” (Imtip Pattajoti Suharto. 2001: hal. 37). Karena puas dengan landasan patung lebih bagus daripada yang ada di Singapura, dengan batu yang diukir bergaya Borobudur dengan baik, Raja puas dan betah berkunjung ke museum. Dari Batavia kunjungan dilanjutkan ke Bogor (Buitenzorg), Garut, Bandung, Sukabumi, kembali ke Garut, Yogyakarta dan Paku Alaman singgah ke Prambanan, ke Magelang melihat candi Borobudur dan Mendut, ke Surakarta, Surabaya, Pasuruan (menginap di Tosari), gunung Bromo, Kediri, dan Semarang. Di Yogyakarta diterima oleh Sultan Hamengkubuwono VII dan seluruh staf istana berpakaian Jawa dan bukan pakaian gaya Eropa. Pada saat itu Sultan menyampaikan cenderamata berupa sebilah keris bernama Mangkurat. Dari Yogyakarta Raja Rama V melanjutkan kunjungan ke Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, dijamu oleh Susuhunan Pakubuwana X. Ternyata Raja Rama juga menerima cenderamata dari Sunan berupa sebilah keris dengan nama yang sama dengan cenderamata dari raja Yogya yaitu Mangkurat. Di kota batik Yogyakarta, Surakarta dan Semarang, Raja dan Permaisuri menyaksikan peragaan batik dan sangat tertarik dengan aneka ragam corak batik yang dipamerkan. Dari

beberapa kali kunjungan itu Raja dan Permaisuri “memborong” sejumlah batik dan akhirnya terkumpul sebanyak 307 lembar batik. Koleksi batik yang sebelumnya hanya dipajang di istana, mulai tahun 2003 ada yang dipamerkan di museum yang didirikan oleh Yang Mulia Ratu Sirikit dengan nama Queen Sirikit Museum of Textiles, di Bangkok. Selanjutnya, Raja juga berkunjung ke Surabaya dan sekitarnya dengan tujuan untuk menelusuri asal usul cerita Panji Asmarabangun. Di Siam tidak hanya cerita Ramayana dari India saja yang dikenal tetapi juga cerita Panji yang berasal dari Jawa (Kediri). Cerita ini telah berkembang menjadi drama tari dengan nama “Inao” yang berasal dari kata “Inu” pada nama Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun. Selain itu Raja juga dua kali ke Garut selain untuk mengunjungi perkebunan teh, ke situ Bagendit, gunung Cikurey, dan pergelaran kesenian Sunda, juga karena tertarik pada acara adu domba Garut dan membeli lima belas ekor kuda dibawa ke Siam (Imtip Pattajoti Suharto. 2001: hal. 134) Kunjungan ketiga berlangsung pada 5 Mei sampai dengan 24 Juli 1901. Setelah tiba di Batavia raja berkunjung ke kota-kota: Bogor, Tangerang, Bandung, Cianjur, Cipanas, Garut, Surakarta, Surabaya, Kediri, Madiun, Yogyakarta dan Magelang. Di

Page 13: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1313Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Yogyakarta Raja kembali berkunjung ke candi Prambanan, Borobudur dan Mendut. Di Surakarta, Raja Rama V disambut dengan gendhing Sri Minulya (ladrangan) laras slendro pathet sanga. Sebaliknya, Raja Rama menghadiahkan bintang kehormatan yang disebutnya bintang “Groot Kries Kroon Order Siam”. Kedatangan raja itu menurut catatan di keraton Surakarta, berbunyi: “Amarengi ing dinten malem Akad Pahing, tanggal kaping 11 Mulud ing tahun Dal 1831 wuku sinta, utawi kaping 30 Juli 1901”.

Mendirikan Museum dan Perpustakaan

Dari gambaran tiga kali kunjungan itu menunjukkan bahwa perhatian Raja Rama V pada bidang budaya tidak kalah besar bila dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Kunjungan ke Jawa tidak hanya ingin menyerap ilmu pemerintahan modern a la pemerintahan kolonial Belanda tetapi juga mengenai bentuk pemerintahan kerajaan di Jawa dan juga cara-cara pengurusan kebudayaan. Selain ingin menelusuri sejarah cerita Panji, Raja juga tertarik pada bidang sejarah, museum, kesenian, arkeologi, upacara adat, permainan rakyat, cerita rakyat, olah raga tradisional, dan lain-lain. Semua hal yang dianggap menarik bagi

Raja dicatat di dalam buku harian. Selama kunjungan banyak berdiskusi tentang kebudayaan Nusantara dengan ahli dari Belanda seperti Dr. Isaäc Groneman, Pieter Vincent van Stein Callenfels, Ir. van Romondt, Dr. J.L.A. Brandes, dengan para kerabat keraton di Yogya, Surakarta dan Cirebon serta ahli fotografi Kassian Cephas. Seperti ditulis dalam Jurnal SS yang dikutip oleh Davisakd Puaksom, dari kunjungan itu Raja ternyata telah terpesona pada bidang budaya. Antara lain disebutkan: “Namun, pada akhir abad itu, bukan lagi kemajuan ilmiah dan modernitas kolonial yang memesona raja. Sebaliknya, dalam dua jurnal yang diterbitkan dari dua perjalanan ke Jawa pada tahun 1896 dan 1901, keasyikannya adalah dengan budaya, sejarah dan artefak arkeologi di pulau itu.” (Davisakd Puaksom, hal. 189). Dalam tiga kali kunjungan ke Jawa, Rama V tidak pernah sekali pun melewatkan waktu untuk tidak berkunjung ke Museum van het BGKW. Bahkan pada kunjungan 1896 sampai dua kali Raja datang ke museum. Kunjungan pertama berlangsung pada 31 Maret 1871, kedua 26 Mei 1896, ketiga 30 Mei 1896 dan keempat pada 16 Mei 1901. Dalam kunjungannya yang ketiga Raja bertemu dengan Dr. J.L.A. Brandes dan sempat berbincang lama tentang kepurbakalaan, museum

Page 14: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1414 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

serta tugas dan fungsi BGKW. Di dalam Jurnal SS tahun 1905 dimuat tulisan khusus untuk mengenang Brandes yang meninggal pada 25 Juli 1905. Antara lain ditulis “dengan senang hati Brandes membimbing Yang Mulia mengenali koleksi arkeologi di museum Batavia”. Pada akhir tulisan itu dikatakan karya Brandes sebagai seorang sarjana Oriental akan tetap dikenang dan diingat oleh Siam Society dan dengan bangga telah menempatkan namanya di antara anggota-anggota SS. (J.H. v. D.H., Journal Siam Society, Vol. 2.1 tahun 1905, hal. 71). Tampaknya berangkat dari “keasyikannya adalah dengan budaya, sejarah dan artefak arkeologi di Jawa” itu yang membuat selang tiga tahun kemudian Raja Rama V memerintahkan untuk mendirikan museum umum pertama. Museum yang didirikan pada 1874 itu menempati Paviliun Concordia yang berada di dalam kompleks Grand Palace. Museum ini memamerkan koleksi kerajaan Raja Rama IV serta beberapa artefak lain yang memiliki nilai budaya dan unik. Upacara pembukaan Museum Concordia berlangsung pada 19 September 1874. Untuk membuat museum lebih baik lagi, pada 1887, Raja Rama V memerintahkan untuk memindahkan museum dari Paviliun Concordia ke istana bagian depan, dan kemudian

diberi nama Museum Wang Na atau museum istana bagian depan. Museum terus mengalami penataan dan pada 1926, museum berganti nama lagi menjadi “Museum Bangkok” dan kemudian dikembangkan menjadi “Museum Nasional Bangkok”, dan mulai 1934 museum itu berada di bawah binaan Departemen Seni Rupa Thailand. Di museum inilah sejumlah artefak dari Jawa antara lain dari Borobudur, Prambanan, Jawa Timur yang diberikan pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Rama V ikut dipamerkan. Menurut A.J. Bernet Kempers, ada artefak purbakala yang berasal dari Jawa yang dihadiahkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Rama V pada kunjungan 1896. Satu-satunya koleksi yang berasal dari candi Borobudur berupa arca dwarapala (penjaga) didampingi oleh dua buah arca singa. Artefak yang dihadiahkan itu menurut AJ Bernet Kempers jumlahnya mencapai delapan gerobak sapi. (A.J. Bernet Kempers, 1975: hal.35). Masih dalam kaitan dengan museum, dari tiga kali kunjungan ke Jawa Raja Chulalongkorn juga tertarik pada koleksi batik. Tidak kurang dari 307 lembar batik dari Jawa (Yogya, Solo, Semarang, Lasem, Cirebon, Banyumas, dan lain-lain) yang dikumpulkan oleh Raja Chulalongkorn disimpan sebagai

Page 15: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1515Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

koleksi Istana. Ketika ratusan koleksi itu pada 2018 yang lalu dipamerkan di Museum Tekstil Queen Sirikit koleksi itu disebut-sebut sebagai “Harta Karun Tersembunyi” (Hidden Treasure). Koleksi batik yang diakui sebagai gambaran kisah perjalanan Raja ke Jawa yang luar biasa itu belum pernah ditampilkan untuk umum. Ketika dari 1 November 2018 hingga Mei 2021 berbagai kain batik itu dipamerkan di Galeri 3 dan 4 di Museum Tekstil Queen Sirikit, apresiasi dari masyarakat Thailand sangat besar. Selain tertarik pada museum dan koleksi batik Raja Rama V juga tertarik pada koleksi yang ada di perpustakaan museum BGKW. Pada kunjungan ke museum Batavia tanggal 26 Mei 1896, Raja menyempatkan diri melihat ruang perpustakaan. Raja sangat terkesan dengan 150.000 koleksi buku yang beranekaragam temanya. Bagian yang menarik Raja adalah ketika membaca buku-buku tentang budaya Jawa yang dianggapnya tidak lazim (unusual). Dari ketidaklaziman itu Raja sempat menulis komentar tentang gambar hiasan kepala dari Jawa di dalam buku hariannya. Raja antara lain menulis: “Saya bisa membuktikan bahwa hiasan kepala nasional kami (Siam) adalah desain Jawa yang dimodifikasi sesuai dengan selera Thailand” (I can attest that our national headdress is the

Javanese design modified to the Thai taste). Sayang tidak ada penjelasan tentang nama hiasan kepala di Siam yang disebut oleh Raja sebagai hasil modifikasi hiasan kepala dari Jawa. Jika benar, maka dapat diartikan hiasan kepala karya budaya Jawa juga disenangi bahkan ditiru oleh masyarakat Siam. Hal lain yang tidak kalah menarik, adalah catatan Raja yang mencerminkan ketertarikannya untuk membaca buku perpustakaan BGKW. Di dalam buku hariannya Raja sempat mengutarakan rasa menyesalnya karena waktu kunjung yang terbatas. Karena ketatnya acara kunjungan Raja harus segera meninggalkan museum dan perpustakaan. Di dalam buku hariannya Raja menulis: “Jika saya bisa berada di sana selama 3-4 jam sehari, saya akan dapat menulis buku tentang itu” (“If I could be there for 3-4 hours a day, I would be able to write a book about it”). (Impit Pattajoti Suharto.2001: hal.37). Dari kutipan ini jelas menunjukkan betapa besar perhatian Rama V pada lembaga perpustakaan di Museum BGKW. Oleh karena itu, selain mendirikan museum Raja Rama V juga kemudian mendirikan perpustakaan sebagai Perpustakaan Kerajaan. Perpustakaan yang didirikan pada 1883 itu diberi nama Perpustakaan Kerajaan

Page 16: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1616 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Phra Vajirayanana. Kemudian pada 1897, Raja Chulalongkorn menyatakan keinginannya untuk menjadikan perpustakaan Phra Vajirayanana menjadi Perpustakaan Vajirayanana Ibukota. Keinginan itu baru terwujud pada 1905, atas perintah Raja tiga perpustakaan yang telah ada, yaitu Perpustakaan Mandira Dharma, Perpustakaan Vajirayanana, dan Perpustakaan Buddha Sangaha, digabung menjadi satu menjadi Perpustakaan Vajirayanana Ibukota. Statusnya tetap berada di bawah lindungan kerajaan. Kemudian pada tahun 1933, setelah terjadi reformasi di Siam dibentuklah Departemen Seni Rupa yang salah satu tugasnya adalah mengurus administrasi Perpustakaan Vajirayanana, yang kemudian berganti nama menjadi Perpustakaan Nasional Thailand. Mendirikan The Siam Society

Tampaknya selain tertarik pada museum dan perpustakaan, Raja juga sangat terkesan dengan keberadaan BGKW sebagai sebuah lembaga yang berfungsi sebagai wadah pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan budaya dan seni pada saat itu. Lembaga yang berdiri pada 24 April 1778 itu dirintis oleh Jacobus Cornelis Radermacker bersama dengan

sejumlah ilmuwan Eropa. Berdirinya lembaga itu terinspirasi setelah ada seruan untuk mendirikan yayasan yang merupakan bagian ekonomi (economische task) dari Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perhimpunan Ilmiah Belanda) yang didirikan di Haarlem pada 1777 (J.P.M. Groot, 2006: hal. 353). Ketika Raja Rama V pertama kali berkunjung ke lembaga BGKW (1871) pada saat itu lembaga sudah berusia 93 tahun. Usia yang sudah matang sehingga Raja sangat terkesan dengan keberadaan dan hasil yang dicapai oleh lembaga BGKW sebagai sebuah lembaga ilmu pengetahuan budaya. Lembaga BGKW telah berkembang menjadi sebuah lembaga ilmiah yang disegani. Lembaga ini telah membangun jejaring (network) mencakup seluruh benua. Tidak hanya dengan Ibukota Negara tetapi dengan berbagai kota. Hubungan dengan lembaga-lembaga penelitian di Belanda, misalnya, telah mencakup kota-kota: Amsterdam, Breda, Deventer, s’Gravenhage, Groningen, Haarlem, Leiden, Middenburg, Nijmegen, Oegstgeest, Rotterdam, Sittard, Tilburg, Utrecht, Wageningen. Selain Belanda juga dengan Belgie (Antwerpen, Brussel, Gent; Czecho Slovakije (Praag); Denemarken

Page 17: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1717Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

(Kopenhagen); Duitschland (Berlin, Bremen, Dresden, Frankfurt, Gottingen, Halle (Saale), Hamburg, Keulen, Leipzig, Munchen); Engeland (Cambridge, Londen); Frankrijk (Parijs); Italie (Rome); Noorwegen (Oslo); Oostenrijk (Weenen); Polen (Krakow); Rusland (Leningrad); Zweden (Uppsala); Zwitserland (Zurich). Untuk benua Afrika adalah: Tananarive (Madagascar); Maroko: Rabat, Stellenbosch (Zuid-Afrika). Benua Asia: China (Peiping, Shanghai); Japan (Taihoku (Formosa) Tokio); Philippijnen (Manila); Siam: Bangkok (Royal Institute of Literature Archaeology and Fine Arts. Hindia Depan dan Belakang: Anuradhapura (Ceylon), Bombay, Calcutta, Colombo (Ceylon) Lahore, Mandalay, Patna, Poona, Simla, Kuala Lumpur, Singapore, Ranggon, Hanoi. Untuk benua Australia dan Oceanea: Melbourne, Popeete (Tahiti), Wellington. Wilayah Amerika Utara: Berkley, Boston, Cambridge, Chicago, Newhoven, New York, Washington, sedangkan dari Amerika Selatan adalah Rio de Jeneiro. Berkat kesan yang mendalam tentang BGKW itu, selain mendirikan museum dan perpustakaan, pada 1904 Raja Rama V merestui berdirinya lembaga yang mirip dengan lembaga BGKW. Lembaga itu diberi nama The Siam Society (SS). Lembaga ini

sepenuhnya didirikan atas inisiatif ilmuwan Siam bekerja sama dengan ilmuwan dari Eropa. Dengan demikian berbeda dengan inisiatif pendirian BGKW yang sepenuhnya tumbuh atas inisiatif ilmuwan Belanda. Jika status kerajaan Siam pada waktu itu sebagai pemerintahan kerajaan yang merdeka, sebaliknya keadaan di Jawa saat itu sedang dalam cengkeraman penjajah Belanda. BGKW didirikan pada 24 April 1778 atas inisiatif ilmuwan Jacobus Cornelis Radermacker yang didukung dan dikendalikan oleh sejumlah ilmuwan Eropa. Tidak ada satupun orang bumiputra yang menjadi pengurus maupun anggota. Orang bumiputra pertama yang diterima menjadi anggota kehormatan BGKW baru pada 1866, atau 88 tahun setelah berdirinya BGKW adalah Raden Saleh Bustaman yang lebih dikenal sebagai maestro pelukis. Ia diterima di lembaga BGKW karena Raden Saleh adalah seorang ahli di bidang paleontologi kemudian diakui oleh pakar-pakar paleontologi, seperti E. Dubois (1858-1940), L.J.C van Es, R. Lydekker dan G.H.R. von Koenigswald (1902-1982). Belakangan baru menyusul nama-nama Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Prof. Dr. Poerbatjaraka, Drs. Amir Sutaarga, Soekmono, dan lain-lain. Sementara itu, pendirian lembaga

Page 18: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1818 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

SS di dalam dokumen pendirian berikut AD-ART memang tidak menyebut secara jelas adanya perintah Raja seperti ketika mendirikan museum dan perpustakaan. Meskipun demikian bukan berarti pendirian SS tidak seperti pendirian BGKW yang sepenuhnya atas inisiatif bangsa Barat. Seperti terlihat dalam susunan pengurus SS, dengan masuknya nama Yang Mulia Putra Mahkota Vajiravudh (yang kemudian menjadi Raja Rama VI), dan Yang Mulia Pangeran Damrong seorang sejarawan hebat dan terpelajar yang berusaha keras untuk melestarikan sastra dan artefak kuno Siam, sebagai Wakil Pelindung. Seperti yang dilaporkan oleh O. Frankfurter Sekretaris Jenderal SS pada 1904 disebutkan bahwa The Siam Society Under Royal Patronage dapat diartikan Raja sangat mengetahui dan merestui pendirian lembaga itu (Journal Siam Society, Vol. 1.0, tahun1904) Masih menurut laporan Frankfurter lembaga ini didirikan atas kesepakatan 103 orang sebagai anggota, dan memiliki hampir 1.800 orang anggota. Seperti halnya dengan BGKW, lembaga SS sejak berdiri juga menerbitkan jurnal dengan nama Journal of the Siam Society (JSS). Dalam usia lebih dari seratus tahun telah menghasilkan ribuan artikel

dan sekarang pemerintah Thailand sedang memproses pengusulan untuk mendapat pengakuan sebagai Memory of the World dari UNESCO. Bila dilihat dari segi tata kelembagaan, keduanya sama-sama memiliki status hukum yang jelas, diperkuat dengan adanya semacam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART). BGKW berstatus lembaga swasta, berkedudukan di Batavia. Lembaga ini merupakan lembaga ilmu pengetahuan pertama di Asia yang didirikan oleh ilmuwan dari Barat. Di dalam Statuta Pasal 2 dijelaskan bahwa tujuannya adalah: ”Memajukan pengetahuan-pengetahuan kebudayaan, sejauh hal-hal ini berkepentingan bagi pengenalan kebudayaan di Kepulauan Indonesia dan kepulauan sekitarnya”1. Untuk mencapai tujuan itu kegiatan dilakukan antara lain: (1) memelihara museum termasuk perpustakaan; (2) mengusahakan majalah dan penerbitan lainnya di samping pengumpulan penulisan dari BGKW sendiri; (3) melakukan penelitian di samping memberikan penerangan dan kerja sama dengan semua pihak yang melakukan studi di lingkungan BGKW; (4) memperbanyak penerangan bagi Pemerintah Hindia-Belanda. Sama dengan BGKW, lembaga SS

1Statuten en Reglementen Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1936

Page 19: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

1919Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

juga merupakan sebuah lembaga yang memiliki status, tujuan dan kegiatan yang jelas. Lembaga yang berada di bawah binaan langsung dari Raja ini memiliki misi mempromosikan pengetahuan budaya, sejarah, seni dan pengetahuan alam Siam serta negara-negara tetangga seperti Birma, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, dan lain-lain. Bahkan dengan dipandu oleh moto “Knowledge Gives Rise to Friendship” mengundang partisipai semua negara. Untuk mencapai tujuan itu SS menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut.: (1) mengadakan seminar, diskusi, pertemuan, membahas hasil-hasil penelitian; (2) menerbitkan dan mempublikasikan berbagai tulisan, artikel setelah mendapat persetujuan Dewan dalam bentuk jurnal; (3) mendirikan perpustakaan untuk menampung berbagai buku dan manuskrip serta mendirikan Museum Etnologi. Tugas dan fungsinya adalah mengurus masalah seni, sastra, ilmu pengetahuan dan unsur budaya lainnya. Lembaga SS juga memiliki Perpustakaan yang sangat lengkap dan dikelola dengan baik seperti halnya BGKW memiliki unit perpustakaan yang ketika Raja berkunjung jumlahnya mencapai 15.000 koleksi. Selain itu kalau lembaga BGKW menerbitkan semacam majalah atau jurnal

(Tijdschrift) lembaga SS menerbitkan jurnal juga dengan nama The Journal of the Siam Society, mengelola program publikasi dalam bentuk buku-buku yang berisi aneka topik budaya dan karya ilmiah. Tugas dan fungsi SS tersebut mirip sekali dengan lembaga BGKW. Selain itu, SS mensponsori program kuliah dan pertunjukan artistik, dan secara teratur melakukan perjalanan studi ke situs-situs purbakala di Thailand dan luar negeri. Kegiatan dan acara SS dilaporkan dalam surat edaran reguler dan khusus. Lembaga SS memiliki “The Kamthieng House”, sebuah museum etnologi, memberikan contoh rumah tradisional Thailand utara dengan artefak kehidupan pedesaan dan koleksi bahan tenun dan ukiran kayu yang luar biasa. Kemudian juga ada Rumah tradisional Saengaroon, rumah khas Thailand tengah. Untuk bagian Sejarah Alam dari SS dibentuk pada tahun 1913, yang fungsinya mensponsori program ceramah tentang alam, konservasi satwa liar dan flora Thailand. Dari paparan singkat mengenai pendirian museum, perpustakaan dan lembaga SS di Siam jelas menunjukkan adanya suatu “keasyikan” di dalam diri Sang Raja terhadap lembaga BGKW berserta museum dan perpustakaan yang ada di dalamnya. Keasyikan itu

Page 20: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2020 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

kemudian dikembangkan di negerinya. Langkah cepat yang dilakukan oleh Raja Rama untuk memajukan Siam dengan cara menerapkan segala hal yang didapat dari kunjungan ke Jawa, dengan mendirikan lembaga-lembaga itu bukahlah hal yang aneh. Raja memang merasa mendapatkan “ilmu baru” untuk memajukan kerajaan Siam. Besarnya perhatian untuk mengembangkan bidang budaya dan ilmu pengetahuan serta bidang-bidang lain membuat Raja Chulalongkorn atau Rama V oleh masyarakat Siam atau Thailand dinyatakan sebagai raja yang paling dikenang dan dihormati karena berhasil membangun Siam menjadi negara maju. Raja Rama V disebut-sebut sebagai “The Great Beloved King”, “The Great Developer”, “The Great Moderniser” kerajaan Siam (Irene Stengs. 2008: hal. 72). Seperti ditulis oleh Udomporn Teeraviriyaku: “Soon after returning from Singapore and Java in 1871, King Chulalongkorn commanded to be built governmental buildings with architecture and interior design that was inspired by what he had seen in the colonial cities”. Segera setelah Raja Chulalongkorn kembali dari Singapura dan Jawa pada tahun 1871, langsung memerintahkan untuk membangun gedung pemerintahan bersama arsitektur dan desain interior yang terinspirasi oleh

apa yang telah dilihatnya di kota-kota kolonial. Misalnya, raja merenovasi Singgasana Balai Phaisantaksin dengan desain Barat, membangun jembatan yang mirip dengan jembatan sungai Ciliwung, membangun kebon raya, mengadopsi baju dan jamuan makan a la Barat di lingkungan istana, dll. (Udomporn Teeraviriyaku, 2012: hal. 264) Sebagai contoh lain, ketika Chulalongkorn berkunjung ke Prancis sangat terkesan dengan patung Louis XIV yang naik kuda di depan istana di Versailles. Setelah pulang, pada tahun 1907 Raja menugaskan ahli patung untuk membuat patung seperti yang ada di Paris. Patung itu setahun kemudian diresmikan (pada 1908), menggambarkan Raja Chulalongkorn sedang naik kuda, mirip patung Louis XIV (Julie Kalman.2015: hal. 238). Penutup

Dari sekilas gambaran dari tiga kali kunjungan Raja Siam Chulalongkorn atau Rama V ke Jawa banyak hal yang dapat dicatat sebagai bukti sejarah pertautan antara kedua bangsa. Khusus dalam kaitan dengan keberadaan lembaga ilmu pengetahuan dan seni Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) dengan Lembaga The Siam Society yang didirikan oleh pemerintah kerajaan

Page 21: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2121Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Siam, setelah disandingkan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, tiga kali kunjungan Raja Rama V (1871, 1896, dan 1901) menunjukkan bahwa pulau, alam dan budaya Jawa serta pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa (Surakarta dan Pura Mangkunegaran serta keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman, Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon) telah menarik perhatian raja untuk menjadi tempat belajar, menjadi tempat menjalankan diplomasi bermatra budaya dan tujuan wisata. Kedua, pernyataan Raja ketika berada di Museum van het BGKW dengan menulis: ”I can attest that our national headdress is the javanese design modified to the Thai taste”, sebagai sebuah penghargaan dan bukti bahwa hiasan kepala nasional Thailand adalah desain Jawa yang dimodifikasi sesuai selera orang Thailand. Ketiga, setelah berkunjung ke pusat pemerintahan kerajaan di Jawa Rama V juga merasa mendapat pengetahuan baru terutama dalam hal mengurus kebudayaan serta peninggalan sejarah dan purbakala. Keempat, dari kunjungan itu Raja mendapatkan inspirasi untuk mendirikan sebuah museum seperti Museum van het BGKW. Pada tahun 1874 berdirilah museum yang

kini menjadi Museum Nasional Thailand (National Museum of Thailand). Demikian pula halnya dengan perpustakaan, di Bangkok pada 1883 didirikan perpustakaan yang kini menjadi Perpustakaan Nasional Thailand (National Library of Thailand). Kelima, dari kunjungan itu Raja juga tertarik untuk mendirikan lembaga ilmu pengetahuan seperti lembaga BGKW. Lembaga yang diberi nama Siam Society itu disebut-sebut menjadi “pesaing” dari keberadaan BGKW. Meskipun pada saat itu posisi dan prestasi SS masih berada di bawah BGKW, tetapi keberadaan SS lebih tangguh dibandingkan dengan BGKW. Hingga kini keberadaan SS masih tetap hidup, dan dalam proses pengusulan untuk mendapat pengakuan sebagai Memory of the World dari UNESCO. Sementara itu, sangat disayangkan BGKW (Lembaga Kebudayaan Indonesia) bubar pada 1962 dan untuk mengumpulkan seluruh dokumennya bukanlah pekerjaan mudah. Demikian gambaran sekilas hasil penyandingan antara Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) dengan The Siam Society yang ternyata memiliki kemiripan dalam hal latar belakang pendirian, misi serta satuan kerja yang mendukungnya, yaitu museum dan

Page 22: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2222 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 2. Kapal pesiar Pritayamronnayuth yang digunakan oleh Raja Chulalongkorn berkunjung ke Jawa

pada 1871.

perpustakaan. Semoga ada manfaatnya.

Jakarta, 27 September 2018

Page 23: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2323Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 3. Kapal pesiar The Maha Chakri yang digunakan Raja Rama V untuk berkunjung ke Jawa singgah di

Singapura yang kedua tahun 1896 dan 1901(Sumber: http://www.soravij.com/essays/Yachts/royalyachts.html)

Page 24: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2424 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 4. Kapal pesiar The Maha Chakri yang digunakan Raja Rama V untuk berkunjung ke Jawa singgah di

Singapura yang kedua tahun 1896 dan 1901(Sumber: http://www.soravij.com/essays/Yachts/royalyachts.html)

Page 25: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2525Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 5. Raja Chulalongkorn di Keraton Yogyakarta pada 1896

Page 26: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2626 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 6. Raja Rama V sedang berwisata di Situ Bagendit (Sumber https://mooibandoeng.com/2013/05/30/

kunjungan-raja-rama-v-ke-bandung)

Page 27: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2727Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 7. Patung Gajah berbahan perunggu yang dihadiahkan oleh Raja Rama V kepada pemerintah Hindia

Belanda dan ditempatkan di depan Museum van het Batacviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen

pada 1871 dan selesai dipasang pada 1872

Page 28: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2828 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 8. Patung Raja Chulalongkorn naik kuda diresmikan 11 November 1908 untuk memperingati ulang

tahun ke 40 naik tahta.

Page 29: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

2929Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 9. Dua buah arca dari Jawa sebagai bagian dari sejumlah artefak yang dihadiahkan di Museum

Nasional Bangkok (Foto: Nusi L.E.).

Page 30: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

3030 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Gambar 10. Kiri arca Dwarapala dan kanan arca singa dari candi Borobudur (A.J. Bernet Kempers, 1975: hal

14)

Page 31: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

3131Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Daftar Pustaka

Frankfurter, O. 1904. Journal of the Siam Society Vo. 1.0 tahun 1904.Groot, J.P.M. 2006. Van der Grote Rivier naar het Koningsplein: Het Batacviaasch

Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Universiteit Leiden Journal of The Siam Society Vol. 84, Part 2 (1996) hal 127-128)Kalman, Julie (Ed).2015. French History and Zivilization, Volume 6 (Aldrich,

Robert. 2015. France and the King of Siam: An Asian King’s Visits to the Republican Capital).

Kempers, A.J. Bernet. 1975. Ageless Borobudur: Buddhist Mystery in Stone Decay and Restoration Mendut and Pawon Folklife in Ancient Jawa. Sevire/ Wassenaar.

Puaksom, Davisakd, 2007. The Pursuit of Java: The Panji Stories, Melayu Lingua Franca and The Question of Traslation (Disertasi)

Pupaka, Anchalee. 2015. King Rama V’s Travelogues: The Distribution of Modern Knowledge, Journal of Social Sciences, Humanities, and Arts Vol.15 (1): 31-49, 2015.

100th anniversary of King Prajadhipok of Siam’s commencement of service in Thailand and anniversary of the 10th Asian cycle of his birth, 2014. A paper for Proposed to UNESCO for consideration under the Anniversaries and Great Personalities of the World Project

Stengs, Irene. 2008. Worshipping the Great Moderniser King Chulalongkorn, Patron Saint of the Thai Middle Class. NUS PRESS Singapore.

Suharto, Imtip Pattajoti. 2001. Journeys to Java by a Siamese King. ITB Press, Bandung.

Supardi, Nunus. 2013. Kebudayaan dalam Lembaga Pemerintah: Dari Masa ke Masa, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Teeraviriyaku, Udomporn. 2012. Bangkok Modern: Singapore and Batavia as Models, International Journal of Thai Studies Vol. 5/2012.

Page 32: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

3232 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Page 33: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

33Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

33

Abstrak

Ketika Chulalongkorn (Rama V) naik tahta masih sangat muda. Baru berusia 15 tahun. Untuk mendalami ilmu pemerintahan modern, pada 1871 Rama V belajar ilmu pemerintahan pada pemerintah Hindia Belanda. Selain ke Batavia Rama juga berkunjung ke berbagai kota di Jawa termasuk ke kerajaan Surakarta, Yogyakarta dan Cirebon. Sejak pertama datang Rama V langsung tertarik dengan alam dan budaya Jawa. Datang lagi pada 1896 dan 1901. Dari tiga kali kunjungan itu Rama V sangat terkesan dengan pengembangan kebudayaan di lingkungan kerjaan. Raja juga sangat terkesan dengan lembaga penelitian seni dan ilmu pengetahuan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Juga tertarik pada museum dan perpustakaan sebagai bagian dari BGKW. Setelah kembali ke Siam Rama V kemudian mendirikan lembaga yang sama dengan BGKW. Lembaga yang dinamai Siam Society itu hingga kini masih ada dan menerbitkan Jurnal secara rutin. Selain itu Rama V juga mendirikan museum dan perpustakaan seperti yang dimiliki oleh BGKW.

Abstraction:

King Chulalongkorn (Rama V) of Siam ascended the throne was still very young. Only 15 years old. To explore the science of modern government, in 1871 Rama V studied the science of government in the Dutch East Indies government. Rama also visited the kingdoms of Surakarta, Yogyakarta and Cirebon. Since the first time Rama V was interested in Javanese nature and culture. Coming again in 1896 and 1901. From the three visits, besides being impressed with the development of culture in the work environment, he was also very impressed with the Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) institution, museums and

Mamuli:Penghormatan Kepada Kehidupan

Oleh: Mawaddatul Khusna RizqikaKepala Seksi Pencarian dan Pengumpulan Museum Nasional

[email protected]

Page 34: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

34 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Pendahuluan

Museum Nasional sebagai lembaga pemerintah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan salah satu fungsinya yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum Nasional, yakni menyelenggarakan pengkajian benda bernilai budaya berskala nasional. Museum Nasional memiliki beberapa koleksi mamuli, namun data dan informasi mengenai koleksi tersebut sangat terbatas. Oleh karena itu, kurator Museum Nasional melakukan kajian lapangan untuk mengumpulkan kembali konteks awal dari mamuli beserta dinamika mamuli pada masa kini dari sudut pandang pelaku budayanya sendiri. Kajian ini bertujuan untuk meningkatkan potensi nilai dan infomasi koleksi mamuli untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Dari hasil kajian tersebut kurator dapat menginterpretasi koleksi mamuli sesuai visi Museum Nasional saat ini, yaitu Museum Kebudayaan Indonesia bertaraf internasional melalui insan dan ekosistem yang berkarakter dengan dilandasi semangat gotong-royong. Hasil interpretasi kurator

terhadap koleksi mamuli kemudian dikomunikasikan kepada masyarakat luas melalui beragam media, misalnya buku terbitan Museum Nasional dan pameran. Desa Lairuru, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur dipilih sebagai lokasi kajian dikarenakan desa ini tersohor sebagai desa yang dihuni beberapa perajin mamuli dan perhiasan tradisional lainnya. Para bangsawan Sumba Timur pun memesan hasil kerajinan di desa ini untuk keperluan berbagai upacara adat. Kajian atau penelitian lapangan merupakan jantung dari antropologi budaya. Menurut Malinowski (1922), tujuan utama kajian atau penelitian etnografi adalah “to grasp the native’s point of view, his relation to life, to realise his vision and his world” atau yang berarti untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, dan untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya (Spradley, 1997: 3). Kajian mengenai koleksi mamuli Museum Nasional ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sugiyono (2016) menulis bahwa metode kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan aliran filsafat positivisme. Instrumen kunci dari metode ini adalah peneliti sendiri, analisis datanya bersifat induktif, serta

Page 35: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

35Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

hasilnya lebih difokuskan pada makna. Data dan informasi pada kajian ini diperoleh melalui wawancara dan observasi partisipatif. Informan dalam kajian lapangan ini terdiri dari para pelaku budaya, yakni perajin mamuli, seorang raja dari Prailiu, dan beberapa bangsawan Sumba Timur. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini juga didapat melalui wawancara dengan beberapa informan kunci yang bukan merupakan pelaku budaya secara langsung, melainkan mengetahui tentang seluk-beluk mengenai mamuli terutama dari sisi akademis. Sedangkan pencarian data sekunder dilakukan di Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Profil Perajin Mamuli

Mamuli merupakan perhiasaan anting-anting masyarakat Sumba yang bermukim di Nusa Tenggara Timur. Mamuli merupakan perhiasan yang menempati posisi istimewa pada masyarakat Sumba. Mamuli dihadirkan pada banyak upacara adat terkait siklus hidup manusia, misalnya saja pernikahan. Saat ini terdapat empat orang yang berprofesi sebagai perajin perhiasan di Desa Lairuru. Salah seorang perajin perhiasan yang tersohor adalah Lukas Kaborang. Perhiasan-perhiasan buatan

pria yang akrab disapa Lukas ini terkenal rapi dan indah dibanding yang lain. Tubuhnya tidak tinggi, tidak pula pendek. Rahangnya keras menyiratkan keseriusan di wajahnya. Saat tim kajian Museum Nasional bertandang ke rumahnya, Lukas tengah sibuk membuat mamuli dengan ditemani anak keduanya, Yudias. Di meja kerjanya yang terbuat

Foto 1. Lukas Kaborang sedang membuat mamuli

Mawaddatul Khusna Rizqika

Page 36: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

36 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

dari kayu, Lukas menempa lempengan logam kuningan. Lantai rumahnya beralaskan tanah kapur. Seperti mayoritas rumah di Lairuru, dinding rumah Lukas beranyamkan bambu. Angin semilir menerobos pintu dan jendela rumah yang dibingkai kayu tanpa plitur. Keluarga Lukas termasuk golongan orang merdeka (kabihu bokul/besar) yang dalam strata sosial

masyarakat Sumba Timur golongan ini berada di tengah. Nama marga keluarga Lukas adalah Kahikku. Dalam keluarga besar Lukas, orang pertama yang memiliki keahlian membuat perhiasan adalah sang nenek. Keahlian ini lantas diturunkan kepada ayah dan ibu Lukas. Selain Lukas, seluruh saudaranya yang berjumlah enam orang juga memiliki keahlian membuat perhiasan. Pekerjaan membuat perhiasan ini

Foto 2. Salah satu mamuli koleksi Museum Nasional yang dibuat keluarga Lukas

sumber: Museum Nasional

Page 37: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

37Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

sebenarnya bukan pekerjaan asli keluarganya. Mata pencaharian asli dan utama dari keluarga ini adalah berkebun seperti halnya sebagian besar penduduk Desa Lairuru lainnya. Demikian hari-hari Lukas dan keluarga yang memilih hidup untuk tradisi. Meski semakin sedikit orang yang memilih menjalani profesi sebagai pembuat mamuli, keluarga ini sedikit pun tidak ragu untuk bertahan. Mamuli menjadi sebuah bagian yang tidak lagi bisa dipisahkan dari hidup mereka. Mamuli adalah lambang jati diri bagi masyarakat Sumba. Beberapa mamuli hasil kreasi keluarga Lukas saat ini menjadi bagian dari koleksi Museum Nasional.

Proses Pembuatan Mamuli

Secara umum, mamuli dibuat menggunakan teknik tempa dan filigran. Pada masa dahulu bahan utama pembuatan mamuli adalah emas. Tetapi pasca krisis moneter 1998, bahan baku emas semakin susah didapat sehingga para perajin beralih menggunakan campuran tembaga, perak, dan emas. Sedangkan peralatan pembuatan mamuli, yakni:1. Batu kapur sebagai alas menempa

mamuli.2. Berbagai jenis palu

Beragam jenis palu ini

digunakan untuk menempa lempengan tembaga dan digunakan sesuai kebutuhan. Palu besar digunakan untuk menempa tembaga saat pertama kali. Setelah tembaga sedikit tipis, lantas diganti palu kecil untuk membuat tembaga lebih tipis dan merata.

3. Berbagai jenis gunting dan tang Gunting berfungsi untuk memotong lempengan tembaga. Tang digunakan untuk membentuk atau melengkungkan tembaga.

4. Alat pompa api Para perajin dahulu menggunakan bahan lemak sebagai campuran untuk pelebur logam emas atau perak dalam pembuatan perhiasan. Lantas, teknik peleburan dengan api yang ditiup manual menggantikan teknik tersebut. Namun, saat ini peleburan bahan emas dan perak menggunakan alat pompa api yang dianggap lebih praktis.

Tahapan pembuatan mamuli, yaitu:1. Lempengan tembaga dipotong

membentuk persegi panjang.2. Lempengan tembaga ditempa pada

salah satu sisi sehingga sisi tersebut melebar.

3. Lempengan tembaga dilengkungkan pada salah satu.

4. Lempengan tembaga ditempa,

Page 38: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

38 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

dipanaskan, dan dibentuk sedemikian rupa hingga tampak bentuk dasar mamuli.

5. Dua lempengan bentuk dasar mamuli direkatkan tepinya dengan cara dipanaskan.

6. Untuk membuat rongga, bagian tengah mamuli dicungkil menggunakan pencungkil khusus.

7. Bagian tepi atas mamuli dihias dengan titik-titik tembaga kecil yang dipanaskan.

8. Untuk membuat hiasan bagian tengah menggunakan benang tembaga yang dibentuk spiral dengan cara dipanaskan.

9. Hiasan tepi kanan dan kiri mamuli dapat berbentuk motif ayam, burung kakatua, prajurit, dan lain-lain. Hiasan ini juga terbuat dari lempengan tembaga yang

digunting, lantas direkatkan pada tepi kanan dan kiri mamuli dengan cara dipanaskan.

10. Mamuli dilebur menggunakan perak. Cairan perak terbuat dari biji perak dan air keras perak yang dipanaskan. Mamuli dimasukkan ke dalam cairan panas tersebut.

11. Setelah dilebur perak, mamuli dibersihkan dengan sikat kawat.

12. Mamuli kembali dilapis emas. Cairan emas terbuat dari biji emas dan air keras emas yang dipanaskan. Mamuli dicelupkan ke dalam cairan emas tersebut beberapa waktu, lantas dibersihkan kembali dengan sikat kawat.

Mamuli dalam Kehidupan Masyarakat Sumba

Foto 3. Berbagai bentuk dasar lempengan tembaga sesuai dengan urutan pembuatan mamuli

sumber foto: Mawaddatul Khusna Rizqika

Page 39: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

39Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Terdapat sebuah kisah menarik mengenai asal mula mamuli ini. Umbu Turupaita, pemimpin adat Desa Prailiu, menjelaskan bahwa mamuli pertama kali dikreasikan oleh Umbu Lombu yang berasal dari Sabu sekitar seratus tahun lampau. Umbu Lombu bernama asli Lobo, namun karena pengaruh dialek Sumba namanya berubah menjadi Umbu Lombu. Umbu Lombu singgah di desa-desa di Sumba untuk memperkenalkan mamuli. Selain itu, ada pula seorang leluhur yang berperan dalam pembuatan dan perkembangan mamuli Sumba, yaitu Umbu Ruapa yang berasal dari Rote dengan nama asli Rupa. Dari kedua leluhur inilah orang Sumba kini mampu membuat mamuli. Para perajin perhiasan Sumba sangat menghormati mereka. Pada perkembangannya banyak pula orang-orang Sumba yang menjadi perajin mamuli. Para perajin ini biasanya bekerja pada kaum bangsawan (maramba). Bentuk mamuli memiliki kemiripan dengan beberapa jenis anting-anting dari daerah Sikka, Ende, Ngada dan Lembata. Yang membedakan adalah ukuran mamuli lebih besar dan dihiasi ornamen tambahan yang khas. Bentuk ornamen dari perhiasan ini mendapat sentuhan dari pengrajin emas yang berasal dari Pulau Sabu. Selain itu juga ada Orang Ndao

yang berasal dari Rote. Sejak dahulu orang-orang Ndao dikenal memiliki keahlian mengerjakan perhiasan emas. Orang Ndao berkeliling dari pulau ke pulau menawarkan keahlian mereka membuat perhiasan bagi para penduduk yang memiliki logam mulia seperti emas dan perak. Mengenai bahan baku mamuli yang terbuat dari logam mulia, masyarakat Sumba meyakini bahwa langit merupakan asal mula dari logam. Matahari yang berada di langit terbuat dari emas, sedangkan bulan dan bintang terbuat dari perak. Dalam tradisi lisan mereka diceritakan bahwa matahari, bulan, dan bintang jatuh kemudian tenggelam sehingga tertanam di perut bumi (Husin, 2011). Karena keistimewaan tersebut, hasil kriya termasuk juga perhiasan dimaknai sebagai penanda kekayaan dan berkah dari Sang Pencipta. Kepercayaan ini mendasari pula para perajin mamuli untuk melakukan upacara kasih dingin. Salah satu bagian dari pekerjaan membuat mamuli adalah mematri logam yang menimbulkan percikan api yang menyerupai petir. Pekerjaan mematri ini dianggap lancang karena menandingi sang dewa Marapu Kabalat yang dipercaya sebagai pencipta petir. Supaya terhindar dari amarah dewa maka dilakukan upacara kasih dingin.

Page 40: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

40 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Semua peralatan yang digunakan untuk membuat perhiasan dibersihkan dan disembahyangkan. Persembahan pun diberikan, yakni berupa sirih pinang, ayam putih, dan sedikit lempengan emas dan perak1. Pandangan lain mengenai asal mula penggunaan logam di Sumba terdapat dalam buku “Power and Gold” karya Susan Rodgers (1990). Ia menuliskan bahwa pembuatan mamuli atau perhiasan khas Sumba lainnya berkembang pada masa kolonialisme Belanda di Nusantara. Emas diberikan oleh pihak Belanda kepada para raja sebagai hadiah atas persekutuan mereka. Pada perkembangan berikutnya, perolehan emas dan perak berlangsung lewat jalur perdagangan. Para pedagang asing seperti dari India, Eropa, dan Tionghoa mendarat di Tanjung Sasar dan Teluk Mananga untuk bertransaksi dengan masyarakat setempat2. Karena aktivitas inilah kemungkinan mereka menyebut kedua tempat ini dengan istilah Mananga Leli dan Mananga Lewa, yaitu tempat masuknya gading dan perak (Bell, 2005). Bentuk mamuli sangat khas yakni berbentuk omega (Ω). Bentuk dasarnya menyerupai bentuk rahim

atau kelamin perempuan. Bentuk ini dipandang sebagai lambang kewanitaan yang diasosiasikan dengan kesuburan dan asal mula kehidupan. Mamuli dibuat dengan maksud untuk menghormati kedudukan perempuan. Penghormatan tersebut juga tampak pada perilaku masyarakat Sumba yang selalu menghadirkan mamuli pada upacara-upacara penting terkait dengan daur hidup manusia. Secara garis besar, bentuk mamuli terbagi menjadi mamuli mapamuluk yang bentuknya polos tanpa hiasan dan mamuli mapawihi yang dihias ornamen. Mamuli mapamuluk merupakan bentuk awal dari mamuli. Bentuk yang sederhana ini dikarenakan pada saat itu fungsi nilai spiritual sebuah mamuli lebih diutamakan dibandingkan nilai keindahannya sebagai perhiasan. Mamuli dipandang sebagai lambang kehadiran marapu. Mamuli yang polos tanpa hiasan ini disebut juga sebagai mamuli perempuan. Sedangkan mamuli yang dianggap maskulin adalah yang pada bagian bawahnya terdapat hiasan seperti figure manusia, binatang atau bentuk lainnya. Mamuli dengan hiasan seperti ini melambangkan kemakmuran

1Wawancara dengan Leonardus Nahak, Kepala Museum Propinsi Nusa Tenggara Timur pada Mei

20122Wawancara dengan Umbu Turupaita pada Mei 2012.

Page 41: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

41Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

dan kekuasaan. Logam diasosiasikan dengan laki-laki, sedangkan bentuk mamuli adalah representasi dari rahim perempuan. Kedua unsur bersatu laki-laki dan perempuan tersebut bersatu dan bermakna sebagai asal mula kehidupan. Pada perkembangannya barulah mamuli dihias dengan beragam ornamen terutama setelah adanya kontak dengan budaya asing, seperti melalui perdagangan dan migrasi. Secara umum, ornamen pada mamuli berupa figur manusia dan binatang. Di bawah ini beberapa ornamen dan makna yang terkandung di dalamnya.1. Burung kakatua merupakan

lambang musyawarah dan ikatan persatuan. Ornamen ini digunakan oleh perempuan bangsawan.

2. Monyet bermakna musyawarah dan persatuan seperti halnya burung kakatau. Oleh karena itu, monyet dan burung kakatua sering digambarkan secara bersamaan.

3. Kuda melambangkan kendaraan yang digunakan oleh orang meninggal dalam perjalanannya menuju alam marapu.

4. Ayam bagi masyarakat Sumba bermakna kesigapan bertindak dalam menangani masalah.

5. Perempuan dan laki-laki mengendarai seekor kuda bermakna sepasang pengantin

atau juga dimaknai pengantin yang melakukan luhungandi palaeingandi (kawin lari).

6. Kereta kuda diiringi manusia memperlihatkan makna penguburan seorang bangsawan menurut kepercayaan marapu.

7. Prajurit dengan tameng bermakna perlindungan dan saling melengkapi.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Sumba hampir tidak bisa dipisahkan dari mamuli. Mamuli menjadi harta pusaka di keluarga-keluarga Sumba. Mereka menyimpannya bersama dengan benda pusaka lainnya di tempat yang sakral yaitu tempat tertinggi pada bagian atas rumah. Mamuli yang berfungsi sebagai pusaka hanya dikeluarkan pada saat tertentu karena dipercayai mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan malapetaka jika pemakaiannya tidak sesuai adat-istiadat. Oleh karena itu, mamuli pusaka hanya dipakai oleh rotu (pemuka adat) dengan cara disematkan pada penutup kepala saat memakai pakaian adat. Mamuli diyakini juga sebagai media penghubung antara manusia dengan leluhurnya. Mamuli pusaka diturunkan sebagai warisan kepada generasi berikutnya dan diyakini memiliki kekuatan magis. Pernikahan adat Sumba terdiri dari beberapa tahapan, yakni

Page 42: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

42 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

meminang, lua papangga (pertemuan utusan keluarga), kawuku rehi (penentuan waktu), pertunangan, dan pernikahan. Dalam bagian upacara pernikahan, mamuli digunakan sebagai belis dan balasan. Belis merupakan mas kawin yang diberikan oleh pihak calon pengantin laki-laki atau pengambil perempuan (layia) kepada pihak calon pengantin perempuan atau pemberi istri (yera). Mamuli yang terbuat dari logam bersifat maskulin kemudian dipertukarkan dengan benda-benda dari pihak perempuan yang bersifat feminin, seperti kain-kain tenun, manik-manik, dan gelang gading. Selain mamuli, pihak laki-laki juga membawa hewan ternak dan benda-benda yang terbuat dari emas lainnya. Jumlahnya berdasarkan status sosial mereka (Wellem, 2001). Namun, pada masa kini makna belis mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat sakral menjadi lebih bermakna ekonomis. Mamuli yang menjadi lambang bersatunya pihak laki-laki dan perempuan bergeser menjadi sekedar benda yang hanya dihadirkan saat upacara saja. Pada saat upacara pihak laki-laki membawa mamuli untuk diberikan kepada pihak perempuan, tetapi saat upacara selesai mamuli dikembalikan lagi kepada pihak keluarga laki-laki. Masyarakat Sumba mengenal

konsep palei ngandi/luhung ngandi yaitu pernikahan yang tanpa melewati proses peminangan atau kawin lari. Pernikahan ini terjadi karena adanya ketidaksetujuan dari pihak orang tua, baik laki-laki maupun perempuan. Pihak laki-laki akan mengajak dan membawa pihak perempuan untuk pergi dari rumah. Pasangan tersebut meletakkan mamuli dan rantai emas di tempat tidur perempuan. Pihak laki-laki juga meninggalkan seekor kuda dan tanda dari klan keluarganya di halaman rumah untuk menginformasikan bahwa ia telah melarikan anak perempuan dari rumahnya untuk dinikahi. Ayah dari anak perempuan tersebut akan mengutus wakilnya ke rumah pihak laki-laki. Pada saat pertemuan kedua belah pihak mendiskusikan mas kawin dan denda yang harus dibayarkan pihak laki-laki. Denda adat tersebut biasanya berupa mamuli dalam jumlah yang banyak dan benda-benda lainnya (Wellem, 2001). Mamuli juga dihadirkan dalam upacara penguburan masyarakat Sumba. Mamuli menjadi bekal kubur utama selain gelang perak, gelang gading, manik-manik, dan kalung logam (luluamahu). Jenazah orang Sumba, terutama bangsawan, akan dimasukkan ke dalam kubur batu saat upacara penguburan dengan dilengkapi bekal kubur yang salah

Page 43: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

43Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 4. Perempuan bangsawan Sumba memakai mamuli sebagai liontin kalung

sumber foto: Mawaddatul Khusna Rizqika

Page 44: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

44 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

satunya adalah mamuli. Kubur batu tersebut dihias dengan pahatan-pahatan yang bentuknya sesuai dengan hartanya. Pahatan ini memperlihatkan status sosial orang yang dikubur semasa hidupnya. Pahatan dapat berbentuk perhiasan emas seperti mamuli, lamba, marangga, dan hewan. Pada saat waktu penguburan sudah ditentukan, pihak keluarga akan mengutus seorang wunang untuk mengumumkan pelaksanaan upacara tersebut kepada kerabat dan masyarakat. Pada masa lalu, undangan untuk menghadiri penguburan berupa mamuli dan lau (sarung). Wunang akan membawa mamuli emas untuk kerabat laki-laki dan lau (sarung) untuk kerabat perempuan. Jika kerabat bersedia menerima mamuli dan lau maka berarti ia akan memenuhi undangan tersebut3. Selain sebagai hiasan, bentuk

mamuli juga menjadi inspirasi para penenun untuk menampilkan ragam hias mamuli pada tekstil tradisional Sumba, seperti hinggi (selimut) dan lau (sarung). Pada dinamikanya sekarang, mamuli banyak dijadikan cenderamata. Jika dahulu mamuli digunakan sebagai anting-anting bagi para wanita di Sumba dengan lubang telinga yang besar, maka saat ini mamuli banyak dipakai sebagai liontin kalung yang terdiri dari untaian mutisala. Mamuli tidak hanya digunakan perempuan Sumba saat upacara adat, tetapi juga semakin popular sebagai perhiasan yang dipakai oleh masyarakat umum. Saat ini seiring dengan makin mahalnya harga emas serta sulitnya mendapatkan bahan mentahnya, mamuli banyak dibuat dari bahan lain seperti perunggu atau kuningan yang diperoleh dari luar Sumba.

3Wawancara dengan Umbu Tarupaita Mei 2012

Page 45: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

45Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Daftar Pustaka

Bell, Alexander, dkk. (2005). Mamuli dalam Kehidupan Masyarakat Sumba. Kupang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, UPDT Museum Daerah, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Rodgers, Susan. (1990). Power and Gold, Jewelry from Indonesia, Malaysia, and the Philippines. Munich: Prestel-Verlag.

Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian pendidikan, pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Wellem, Frederiek Djara. (2001). Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis Perjumpaan Injil Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1900. Jakarta: BKP Gunung Mulia.

Internet

Husin, Usman Maman. (2011). Mamuli: Sebuah Simbol Reproduksi dalam Identitas Kebudayaan Lokal. 12 Mei 2012. http://daonlontar.blogspot.com/2011/12/mamuli-sebuah-simbol-reproduksi-dalam.html.

Page 46: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

46 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Page 47: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

47Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Warna-warni dalam Naskah Kakawin Sumanasantaka

Oleh: Sari GumilangDepartemen Linguistik

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesiae-mail: [email protected]

Abstract

Colors are part of daily needs because all objects have color. Colors have existed since ancient times. We can see this in ancient manuscripts, one of them is Kakawin Sumanasantaka by Mpu Monaguna. The aim of this paper is to see color lexicons mentioned in the Sumanasantaka and the variations of the color lexicons that appear in the Sumanasantaka. The conclusion is that in Kakawin Sumanasantaka found eight basic color lexicons from eleven basic colors according to Berlin and Kay, and total there were sixteen color lexicons. Some basic colors have more than one variation of the lexicon. This shows that the Old Javanese language in Sumanasantaka also has a variety of color lexicons that vary according to the color variations of objects in Old Java. The variation of the color lexicon shows the richness of the Old Javanese language. The white, yellow, blue and indigo lexicons in the Indonesian language have been used since the Old Javanese period.

Keywords: color; color lexicons; Sumanasantaka; Old Javanese

Abstrak

Warna adalah bagian dari kebutuhan sehari-hari karena semua benda memiliki warna. Warna sudah ada sejak zaman kuno. Kita bisa mengetahui variasi warna pada masa kuno melalui naskah kuno. Salah satu naskah kuno yang ada di Indonesia adalah Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat leksikon warna yang disebutkan dalam Sumanasantaka dan variasi leksikon warna yang muncul dalam Sumanasantaka. Kesimpulannya adalah bahwa dalam Kakawin Sumanasantaka ditemukan delapan leksikon warna dasar dari sebelas warna dasar menurut Berlin dan Kay, sedangkan secara keseluruhan terdapat enam belas leksikon warna. Beberapa warna dasar memiliki lebih dari satu variasi leksikon.

Page 48: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

48 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Pendahuluan

Warna merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari karena segala benda memiliki warna. Oleh karena itu, warna memiliki banyak nama sesuai dengan kebutuhan manusia akan warna. Misalnya saja warna cat yang bisa muncul dalam ratusan bahkan ribuan warna. Salah satu perusahaan produsen cat terkenal memiliki koleksi warna yang sangat banyak untuk setiap warna karena untuk satu warna terdapat puluhan sampai ratusan variasi warnanya. Sebagai contoh misalnya cat warna putih mempunyai 129 variasi warna (https://www.dulux.co.id/id/palet-warna#white), cat warna merah mempunyai 294 variasi warna (https://www.dulux.co.id/id/palet-warna#red), dan seterusnya. Selain itu, perusahaan tersebut juga siap untuk membuatkan warna yang lain selain warna-warna yang sudah disediakan apabila konsumen menginginkan warna baru.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) warna adalah kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya sehingga kita bisa melihat warna yang berbeda dari setiap benda yang kita lihat (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/warna). Dalam bahasa Indonesia, kita menyebut warna merah, putih, biru, kuning, hijau, hitam, dan lain-lain. Penyebutan warna merah adalah merah atau putih adalah putih, dan lain sebagainya sudah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat kita lihat di dalam naskah-naskah kuno. Salah satu naskah kuno yang ada di Indonesia adalah Kakawin Sumanasantaka. Sumanasantaka merupakan salah satu puisi naratif Jawa Kuno. Peter Worsley dan S. Supomo dalam “Kakawin Sumanasantaka Mati karena Bunga Sumanasa” karya Mpu Monaguna Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno menjelaskan bahwa Sumanasantaka merupakan karya

Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Jawa Kuna dalam Sumanasantaka juga memiliki variasi leksikon warna yang sesuai dengan variasi warna benda pada masa Jawa Kuna. Variasi leksikon warna menunjukkan kekayaan leksikon bahasa Jawa Kuna. Leksikon warna putih, kuning, biru, dan nila yang terdapat dalam bahasa Indonesia saat ini sudah digunakan sejak masa Jawa Kuna.

Kata kunci: warna; leksikon warna; Sumanasantaka; Jawa kuno

Page 49: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

49Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

yang ditulis pada abad ke-13. Kakawin Sumanasantaka ditulis berdasarkan mahakavya Raghuvamsa karya penyair India abad ke-5, Kalidasa. Oleh karena itu, melalui Kakawin Sumanasantaka dapat diperoleh pemahaman tentang hubungan budaya antara India, Jawa, dan Bali (2014: ix—3). Kakawin Sumanasantaka berkisah tentang bidadari bernama Harini yang diutus oleh Dewa Indra untuk menggoda seorang pertapa bernama Trnawindu, namun gagal dan mendapat kutukan dari sang pertapa. Sang bidadari akan menitis menjadi seorang perempuan bernama Indumati, lalu menikah dengan seorang raja bernama Aja, yang memenangkan sayembara untuk menjadi pasangan Indumati. Akan tetapi, suatu saat Indumati akan mati karena bunga Sumanasa. Aja sangat sedih dan sangat marah kepada bunga Sumanasa (Worsley, et.al, 2014: 3—16). Penggambaran alam di dalam Sumanasantaka menyebutkan berbagai benda-benda dan deskripsinya sehingga muncul leksikon warna-warna dalam mendeskripsikan benda-benda tersebut. Misalnya saja warna bunga, seperti yang disebutkan dalam Pupuh 2 no. 3 …sĕkar ning asanâmayung kuning apinda mamayungana kāla ning panas… yang artinya: ‘bunga asana yang serupa payung kuning berusaha

memayunginya dari terik matahari’ (Worsley, et.al, 2014: 58—59). Oleh karena itu, kita dapat mengetahui penyebutan leksikon warna apa saja yang sudah dikenal pada masa kakawin ini ditulis. Tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (leksikon) (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/leksikon) dalam hal ini khususnya leksikon warna dan variasinya di dalam Kakawin Sumanasantaka yang berbahasa Jawa Kuna. Naskah Kakawin Sumanasantaka yang digunakan adalah naskah yang terdapat di dalam buku karya Peter Worsley, S. Supomo, dan M. Fletcher dengan kerjasama T. H. Hunter (Worsley, et.al, 2014: iii). Untuk memeriksa leksikon warna dalam bahasa Jawa Kuna digunakan Kamus Jawa Kuna Indonesia yang merupakan versi terjemahan dari “Old Javanese – English Dictionary” karya P. J. Zoetmulder bekerja sama dengan S. O. Robson pada tahun 1982. Versi terjemahan merupakan karya Dausuprapta dan Sumarti Suprayitna pada tahun 1995.

Warna-warna yang muncul dalam Kakawin Sumanasantaka

Di dalam Kakawin Sumanasantaka ditemukan enam belas leksikon warna, yaitu:

Page 50: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

50 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

1. Putih (Pupuh 1, No. 23, hlm. 56—57) Penyebutan warna putih sama dengan leksikon yang kita kenal sekarang. Contoh dalam kalimat:līlânganti darā putihnya kadi śangkha madulur angurambat ing hĕnī ‘dan burung-burung merpati putih

dia menunggu seperti keong laut merayap bersamaan pada pasir’.

2. Aputih (Pupuh 10, No. 8, hlm. 86—87) Penyebutan warna putih selain leksikon putih adalah dengan leksikon aputih. Contoh dalam kalimat:wahw âhuntw aputih katon sĕdĕng

Foto 1. Buku Kakawin Sumanasantaka, Mati karena Bunga Smanasa karya Mpu Monagusa

sumber foto: Sari Gumilang

Page 51: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

51Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

irâsĕmu guyu bangun anghĕmū mĕnur‘ketika gigi putih pertamanya tumbuh dan dia tersenyum tampak seolah bunga melati di mulutnya’.

3. Hireng (Pupuh 2, No. 2, hlm. 58—59) Penyebutan warna hitam adalah dengan leksikon hireng. Contoh dalam kalimat:hirĕng ni kucup ing trikañcu sumĕlat kadi sipat awawan pudak-pudak‘kuntum gelap bunga trikancu yang berserakan tak ubahnya celak hitam di kotak rias’.

4. Krsna (Pupuh 20, No. 2, hlm. 120—121) Penyebutan warna hitam selain leksikon hireng adalah dengan leksikon krsna. Contoh dalam kalimat:kṛṣṇakara padânglunang kadi gunung kumukus i sĕḍĕng ing darâwrĕg aputih‘bentuk-bentuk hitam terpampang laksana gunung berapi berasap manakala merpati putih terbang di atasnya’.

5. Kuning (Pupuh 2, No. 3, hlm. 58—59) Penyebutan warna kuning

sama dengan leksikon yang kita gunakan saat ini. Contoh dalam kalimat:sĕkar ning asanâmayung kuning apinda mamayungana kāla ning panas‘bunga asana yang serupa payung kuning berusaha memayunginya dari terik matahari’.

6. Kunyit giling (Pupuh 10, No. 15, hlm. 88—89) Kunyit giling berasal dari tumbuhan yang memiliki bagian umbi berwarna kuning. Menurut KBBI kunyit adalah tumbuhan, suku Zingiberaceae, marga Curcuma, banyak digunakan dalam masakan, misalnya sebagai bumbu penyedap, pemberi warna kuning, dan dapat membuat makanan lebih awet, dapat juga digunakan sebagai obat; kunir; kurkuma (Curcuma domestica) (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kunyit). Contoh dalam kalimat:mambĕt madhya nirâwĕlū bungah i warṇa nika kadi giling-giling kuñit‘pinggangnya gilik gemulai berpendar warna kunyit giling’.

7. Bang (Pupuh 5, No. 8, hlm. 68—69) Penyebutan warna merah adalah dengan leksikon bang.

Page 52: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

52 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Contoh dalam kalimat:amrang bang ing katirah arja hanê laṭinta‘merahnya tunas katirah yang indah tertera di bibirmu’.

8. Mirah (Pupuh 29, No. 10, hlm. 158—159) Penyebutan warna merah selain leksikon bang adalah dengan leksikon mirah. Contoh dalam kalimat:lwir lung ning katirah mirah ni sungut ing hurang angaring-aring marêng lumut‘sungut merah delima udang yang istirah di rumput laut yang mirip lumut tampak seperti sulur merah katirah’.

9. Rakta (Pupuh 138, No. 1, hlm. 368—369) Penyebutan warna merah memiliki variasi leksikon yang cukup banyak. Selanjutnya leksikon rakta juga merupakan warna merah selain leksikon bang dan mirah. Contoh dalam kalimat:samantaji mijil hyang arka kadi raktakumuda sumĕkar sakêng bañu‘tak lama kemudian matahari terbit semerah bunga padma yang menyembul dari air’.

10. Dadu (Pupuh 52, No. 5, hlm. 224—225) Penyebutan warna merah muda atau merah jambu adalah dengan leksikon dadu. Contoh dalam kalimat:akweh war ṇ a nik ā hanan dadu hanan prĕcik asira-siran paḍângadĕg‘warna-warni ada yang merah jambu ada yang bitnik-bintik semua berdiri tegak bersaing satu sama lain’.

11. Biru (Pupuh 5, No. 8, hlm. 68—69) Penyebutan warna biru sama dengan leksikon yang kita gunakan saat ini. Contoh dalam kalimat:tuñjung birū mĕkar alurw akusū sugandhayang artinya ‘teratai biru yang mekar sempurna telah memucat kusam dan berbau harum’.

12. Wulung (Pupuh 159, No. 4, hlm. 448—449) Penyebutan warna biru tua menggunakan leksikon yang berbeda dengan saat ini, yaitu dengan leksikon wulung. Contoh dalam kalimat:tan hana śeṣa ning ambĕk aruhur i huwus ning aḍampa wulung

Page 53: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

53Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

‘namun tak ada jejak keangkuhan sebab ia telah memupus pelangkin biru tua’.

13. Nila (Pupuh 114, No. 1, hlm. 332—333) Penyebutan warna nila sama dengan leksikon yang kita gunakan saat ini. Contoh dalam kalimat:bwat Kāmeśwara ratna nīla winangun gṛha linarangan ing huwus prabhu‘rumah yang dibangun dari batu safir bercorak Dewa Kama dianggap tabu bagi yang sudah menjadi raja’. Di dalam KBBI nila memiliki beberapa arti, diantaranya yaitu: tumbuhan perdu yang mengandung indikan yang menghasilkan zat warna indigo (nila); dan batu permata nilam (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nila). Oleh karena itu, leksikon nila yang terdapat di dalam contoh kalimat dapat dianggap mengacu kepada warna nila.

14. Wungu (Pupuh 7, No. 12, hlm. 76—77)

Penyebutan warna ungu menggunakan leksikon yang berbeda dengan saat ini, yaitu

dengan leksikon wungu. Contoh dalam kalimat:tuhun kita lumĕṇḍwa-lĕṇḍwa ri śawangku gĕsĕngĕn i pañaṇḍi ning wungū‘jika demikian mohon rangkul jasad hamba dan perabukan di kuil kembang wungu’. Di dalam KBBI disebutkan bahwa wungu merupakan bentuk tidak baku dari kata ungu (https://kbbi.kemdikbud.go. id/entr i/ungu).

15. Ahawuk (Pupuh 9, No. 3, hlm. 82—83) Penyebutan warna abu-abu menggunakan leksikon yang berbeda dengan saat ini, yaitu dengan leksikon ahawuk. Contoh dalam kalimat:hayunya milu bhasmibhūta tĕka ring gĕlung ahawuk amiṇḍa ring kukus‘kecantikannya juga terbakar menjadi abu. Bahkan sanggulnya kelabu abu dan berubah menjadi asap’.

16. Mas (Pupuh 59, No. 6, hlm. 240—241) Penyebutan warna emas menggunakan leksikon mas. Warna emas merupakan variasi warna dari warna kuning. Di dalam KBBI disebutkan bahwa

Page 54: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

54 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

kuning adalah warna yang serupa dengan warna kunyit atau emas murni (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kuning). Contoh dalam kalimat:kram ning sampir i bāhu mās inapi molah asĕmu hĕlaranya n anglayang‘selendang emas murni yang mereka sampirkan pada bahu tampak berkilauan terkesan

seperti sayap untuk menerbangkan mereka’.

Di dalam daftar warna yang terdapat dalam Kakawin Sumanasantaka yang disebutkan di atas terdapat beberapa leksikon yang memiliki arti yang mengacu kepada satu warna yang sama. Hal ini dapat dilihat di dalam contoh-contoh kalimat yang berisi leksikon warna tersebut.

No. Warna dasar menurut Berlindan Kay

Warna dalam KakawinSumanasantaka

1 Hitam HirengKrsna

2 Putih PutihAputih

3 Merah BangMirahRakta

4 Hijau

5 Kuning KuningKunyit gilingMas

6 Biru BiruWulungNila

7 Cokelat

8 Ungu Wungu

9 Merah muda Dadu

10 Jingga

11 Abu-abu Ahawuk

Tabel 1. Variasi leksikon warna dalam Kakawin Sumanasantaka

Page 55: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

55Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Hal ini menunjukkan bahwa leksikon warna bahasa Jawa Kuna dalam Kakawin Sumanasantaka memiliki variasi leksikon warna. Menurut Berlin dan Kay dalam W. T. Morrill (1971, 151—152) leksikon untuk warna dasar adalah black and white ‘hitam dan putih’, red ‘merah’, green or yellow ‘hijau atau kuning’, blue ‘biru’, brown ‘cokelat’, purple and/or pink ‘ungu dan/atau merah muda’ and/or orange ‘dan/atau jingga, and/or grey ‘dan/atau abu-abu’. Terdapat sebelas leksikon yang dikumpulkan dari hasil penelitian terhadap bahasa-bahasa di dunia. Akan tetapi, tidak semua bahasa memiliki sebelas leksikon tersebut, ada yang kurang dan ada yang lebih. Apabila kita bandingkan dengan leksikon warna yang terdapat dalam Kakawin Sumanasantaka, maka dapat dilihat variasi leksikon warna sebagai berikut:

Tabel variasi leksikon warna dalam Kakawin Sumanasantaka

Dalam tabel di bawah dapat dilihat bahwa enam belas leksikon warna yang terdapat dalam Kakawin Sumanasantaka terdiri dari delapan warna dasar menurut Berlin dan Kay, yaitu: hitam, putih, merah, kuning, biru, ungu, merah muda, dan abu-abu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

tiga warna dasar menurut Berlin dan Kay yang tidak muncul dalam Kakawin Sumanasantaka, yaitu: hijau, cokelat, dan jingga.

Kesimpulan

Dalam Kakawin Sumanasantaka yang berbahasa Jawa Kuna ditemukan delapan leksikon warna dasar jika mengacu kepada sebelas warna dasar menurut Berlin dan Kay. Beberapa warna dasar ada yang memiliki lebih dari satu variasi leksikon, yaitu: warna hitam memiliki dua leksikon yaitu hireng dan krsna; warna putih memiliki dua leksikon yaitu putih dan aputih; warna merah memiliki tiga leksikon yaitu bang, mirah, dan rakta; warna kuning memiliki tiga leksikon yaitu kuning, kunyit giling, dan mas; warna biru memiliki tiga leksikon yaitu biru, wulung, dan nila. Hal ini menunjukkan bahwa Bahasa Jawa Kuna dalam Kakawin Sumanasantaka memiliki variasi leksikon warna yang beragam sesuai dengan variasi warna benda-benda yang ada pada masa Jawa Kuna. Selain itu, dari enam belas warna tersebut, terdapat empat leksikon warna yang sama dengan leksikon warna yang digunakan saat ini, yaitu leksikon warna putih, kuning, biru, dan nila.

Page 56: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

56 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Daftar Pustaka

Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cet. kelima: Juni 2006.

Worsley, P. et. al. 2014. Kakawin Sumanasantaka Mati karena Bunga Sumanasa karya Mpu Monaguna Kajian sebuah puisi epik Jawa Kuno. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Morrill, W. T. 1971. Basic Color Terms: Their Universality and Evolution by Brent Berlin and Paul Kay. Man, New Series. Vol. 6, No. 1. Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland.

(https://www.jstor.org/stable/2798490 yang diunduh pada tanggal 21Februari 2019).https://www.dulux.co.id/id/palet-warna#red yang diunduh pada 21 Februari

2019.https://www.dulux.co.id/id/palet-warna#white yang diunduh pada 21 Februari

2019.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/warna yang diunduh pada 21 Februari 2019.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kunyit yang diunduh pada 14 Maret 2019.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nila yang diunduh pada 14 Maret 2019.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ungu yang diunduh pada 14 Maret 2019.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kuning yang diunduh pada 14 Maret 2019.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/leksikon yang diunduh pada 17 Maret 2019.

Page 57: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

57Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 2. Bunga melati

sumber foto: Sari Gumilang

Page 58: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

58 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 3. Bunga melati

sumber foto: Sari Gumilang

Page 59: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

59Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 4. Bunga cempaka

sumber foto: Sari Gumilang

Page 60: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

60 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 5. Bunga cempaka

sumber foto: Sari Gumilang

Page 61: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6161Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Museum dan InstagramPerlukah Museum Diubah Menjadi

Tempat Instagramable?Oleh: Ashar Murdihastomo, M.A.

[email protected] Museum

Abstract

Social media has been drive a narcissist phenomenon in the society, especially for teenager. Because of that, many people documented their activities and share them into social media, one of the social media is instagram. It can be an interesting issue because the narcissist phenomenon also affect the museum. The research about museum and instagram has a purpose to get information about the relation between museum and instagram on the new museum concept. This research use interview methods to get the data. The research result give us information that museum and instagram have a tight relationship nowadays, however the new museum concept of the 21st Century is focused on its function. Keywords: museum, social media, narcissist, instagram

Abstrak

Media sosial juga telah membawa fenomena baru di kalangan masyarakat, terutama anak muda, berupa narsis. Hal ini mengakibatkan setiap aktivitas yang dilakukan berusaha untuk didokumentasikan dan kemudian disebarkan di media sosial, salah satunya adalah instagram. Hal ini tentu menjadi salah satu isu menarik dalam kajian museum karena institusi ini juga mendapat imbas dari fenomena tersebut. Dengan mengkaji museum dan instagram bertujuan untuk memperoleh informasi keterkaitan keduanya dalam kajian museum baru. Melalui wawancara dan kuesioner diperoleh hasil bahwa museum dan instagram dapat dikaitkan satu sama lain dengan syarat fungsi museum pada abad 21 tetap menjadi yang utama. Kata kunci: instagram, media sosial, dan narsis.

Page 62: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6262 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Pendahuluan

Kemajuan teknologi yang pesat telah membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat. Jarak dan waktu dapat dipersempit sehingga komunikasi dan hubungan antar personal di lain tempat dapat terjalin secara nyata. Hal ini memungkinkan dijumpainya informasi baru yang kemudian dapat menyebar ke segala penjuru secara cepat. Kemajuan teknologi ini dapat terdiri dari dua aspek, baik perangkat keras maupun lunak. Perkembangan keduanya selalu beriringan. Hal ini dapat dicontohkan dengan kehadiran smartphone atau gawai pada sepuluh tahun terakhir. Kemunculan smartphone juga menandai era baru dalam perkembangan masyarakat karena alat ini telah mampu menghimpun seluruh fungsi alat yang pada masa lalu masih terpisah, antara lain kamera, pemutar musik, pengirim pesan, telepon, GPS, radio, pemutar film, internet, dan masih banyak lainnya. Dengan banyaknya fungsi dalam satu genggaman menjadikan alat ini menjadi salah satu primadona alat komunikasi masyarakat. Tidak mengherankan apabila hampir seluruh masyarakat memiliki alat ini. Keberadaan smartphone ini pun memberikan pengaruh terhadap

munculnya layanan perangkat lunak yang dapat digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang akademis, hiburan, maupun personal. Salah satu aspek yang muncul dan turut booming dalam perkembangan smartphone adalah keberadaan media sosial. Media sosial merupakan media yang membuat masyarakat saling terhubung satu sama lain. Hal ini menyebabkan media sosial merupakan salah satu aplikasi yang populer di kalangan masyarakat. Kemunculan media sosial ini juga memberikan pengaruh signifikan terhadap perilaku masyarakat. Munculnya tren atau mode baru yang diperkenalkan oleh seseorang maupun tokoh terkenal mampu memikat kalangan masyarakat dan mereka berusaha untuk menirunya. Kondisi ini dominan dan berkembang pesat di kalangan anak muda. Salah satu media sosial yang menjadi salah satu sumber informasi tren tersebut adalah Instagram. Instagram merupakan salah satu media sosial yang menitikberatkan pada penyebaran foto maupun video sehingga setiap orang dapat melihatnya. Karena fungsinya inilah instagram banyak digandrungi oleh masyarakat. Hal ini juga dikaitkan dengan maraknya fenomena narsistik di kalangan masyarakat sehingga

Page 63: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6363Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

masyarakat tersebut berusaha untuk mengabadikan seluruh aktivitasnya melalui media sosial. Fenomena narsistik ini kemudian dimanfaatkan oleh banyak instansi maupun perusahaan komersial dalam upayanya menggaet perhatian masyarakat. Banyak diantaranya yang menyediakan tempat atau spot foto unik agar banyak orang yang datang dan berfoto, kemudian mengunggahnya di Instagram sehingga dapat menjadi salah satu promosi gratis untuk menarik masyarakat agar datang atau membeli produk tertentu. Bidang yang banyak memanfaatkan instagram antara lain bidang budaya, bidang pariwisata, pendidikan, hingga komersial. Bagaimana dengan museum? Sebagai instansi yang bergerak dalam bidang budaya, pendidikan, serta pariwisata, banyak museum telah mengadopsi dan mengembangkan tempatnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk dalam hal media sosial instagram. Kini telah banyak spot foto yang dihadirkan oleh pengelola museum sehingga masyarakat dapat berfoto di tempat tersebut. Selain itu, mulai banyak bermunculan “museum” yang berkonsep instagramable yang menawarkan pengalaman baru melalui foto, seperti Museum De Mata-De

Arca di Jogja, Old City 3D Trick Art Museum Semarang, Alive Museum Ancol Jakarta, Dream Museum Zone Bali, dan masih banyak lainnya (Asterasa, 2017). Dari beberapa informasi tersebut, didapatlah beberapa pertanyaan, antara lain, apakah penyajian museum yang instagramable merupakan suatu keharusan? Apakah kondisi tersebut sangat mendesak? Bagaimana keterkaitannya dengan konsep museum baru (new museum)? Beberapa pertanyaan tersebut diajukan untuk mengetahui hubungan antara museum dengan Instagram dalam konteks konsep museum baru. Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan beberapa data terkait keberadaan Instagram dan museum. Data diperoleh melalui wawancara dengan orang yang terkait (pekerjaannya terkait museum, kurator, pemandu, konservator, dan edukator) dengan museum, masyarakat umum, dan studi pustaka yang terkait dengan konsep museum baru serta aspek positif-negatif Instagram. Setelah data terkumpul dan dilakukan analisis maka diharapkan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan yang bertujuan untuk mencari tahu posisi Instagram di museum.

Pembahasan

Page 64: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6464 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

1. Konsep Baru Museum Museum yang muncul di tengah-tengah masyarakat telah melewati berbagai perkembangan yang membantu menentukan tujuan dan fungsi museum. Sejarah mencatat museum telah beberapa kali mengalami perubahan fungsi. Mulai dari menjadi media yang menunjukkan status sosial, identitas negara, tempat untuk menyimpan dan memamerkan benda, serta tempat untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Perubahan fungsi tersebut masih berkembang hingga sekarang. Pada awal abad ke-21 mulai muncul pemikiran-pemikiran baru terkait keberadaan museum. Para ahli museum bersepakat bahwa museum memiliki fungsi yang sangat dinamis dan luas. Fungsi museum ini dapat dihubungkan dengan perkembangan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, yang merupakan bagian penting dari museum. Dengan kata lain fungsi baru museum ini lebih cenderung menitikberatkan pada peran sosial kepada masyarakat (Pabst, Johansen, dan Ipsen, 2016: 8). Keberadaan peran sosial ini telah dibahas oleh beberapa ahli, seperti Arinze (1999: 1-2) yang

menyatakan bahwa museum perlu melakukan pendefinisian ulang terkait misi, tujuan, fungsi, dan strateginya dalam menghadapi perubahan yang berkembang di masyarakat. Dengan melakukan pendefinisian ulang tersebut diharapkan museum dapat menjadi agen perubahan yang bersinergi dengan masyarakat sehingga mampu menunjukkan keselarasan dan membantu arah perkembangan masyarakat. Menurut Mairesse dan Desvallees (2010 dalam McCall dan Gray, 2013: 2), peran museum pada konsep baru ini lebih menekankan pada pembaharuan komunikasi dan pengembangan baru dalam tampilan museum yang meliputi, interpretasi, makna, kontrol, nilai, serta kewenangan dalam museum. Bagi Stam (1993) kondisi tersebut disebut dengan distribusi ulang dalam tahap kuratorial (curatorial redistribution), sedangkan Harrison (1993) menyebutnya pemberdayaan, dialog, definisi ulang sosial (social re-definition), dan keberadaan aspek emosional. Melalui pemahaman baru ini, museum bukan lagi sekedar tempat untuk memamerkan benda (McCall dan Gray, 2013: 1). Hal ini disebabkan karena terdapat

Page 65: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6565Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

dua aspek yang menjadi peran sentralnya,, yaitu komunikasi dan pendidikan (Hooper-Greenhill, 2000). Komunikasi menitikberatkan pada proses penyampaian informasi yang terkait dengan desain, materi, dan interpretasi, sedangkan aspek pendidikan tidak hanya dalam kaitannya dengan segi kognitif, namun juga soft skill dan kompetensi kreatif lainnya (Mastenistsa, 2014: 6). Dengan kata lain museum menjadi salah satu institusi yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya (Hein, 2004: 423).

2. Museum dan Media Sosial

Media sosial telah menjadi salah satu wahana baru bagi masyarakat dalam berkomunikasi. Cara berkomunikasi yang mampu menggabungkan dua unsur bahkan lebih ini mampu menarik perhatian masyarakat untuk menggunakannya. Tidak mengherankan apabila saat ini banyak masyarakat yang memiliki media sosial, tidak hanya satu bahkan bisa lebih dari dua. Kebutuhan akan interaksi antara individu merupakan salah satu alasan mengapa media sosial ini begitu populer. Kepopuleran media sosial

ini tidak hanya digandrungi oleh individu personal saja. Banyak institusi maupun instansi yang mulai menggunakan media sosial. Penggunaannya dimanfaatkan untuk dapat mengetahui tren yang sedang berkembang di dalam masyarakat serta digunakan untuk mencari pangsa pasar baru (Kelly, 2009: 7 dan Marakos, 2014: 76). Hal ini terbukti efektif karena sebagian besar masyarakat telah mengenal dan menggunakan media sosial secara intensif. Penggunaan media sosial juga banyak dijumpai di museum. Penggunaan media sosial di museum merupakan salah satu cara agar terdapat ikatan antara museum dengan masyarakat. Hal ini juga terkait dengan perkembangan konsep museum baru yang menempatkan masyarakat sebagai salah satu bagian penting museum. Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Simon (2010 dalam Visser, 2013: 3) yang menyatakan bahwa masyarakat pada saat ini telah berubah bukan lagi sebagai konsumer tetapi telah memiliki kontribusi nyata sebagai partisipan. Berdasarkan pada pernyataannya tersebut, Simon (2010) mendefinisikan museum bukan lagi sebagai tempat memajang benda

Page 66: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6666 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

tetapi lebih kepada suatu tempat di mana pengunjung mampu berkreasi, berbagi, dan terkoneksi satu sama lain dalam satu cakupan. Pada taraf ini media sosial bisa memberikan gambaran aktivitas komunikasi yang ada. Aktivitas komunikasi ini dapat terlihat dari berbagai level, contohnya adalah mengembangkan model baru dalam segi partisipasi dan timbal balik museum, mempromosikan aktivitas yang ada di museum, membantu dalam menentukan keaslian dan keabsahan koleksi museum, serta berperan dalam membentuk konten pameran (Marakos, 2014: 80).

3. Museum Instagramable Instagram merupakan salah satu media sosial yang cukup populer di kalangan masyarakat. Keberadaan media sosial ini sering dimanfaatkan oleh banyak masyarakat, khususnya anak muda, untuk mengunggah foto maupun video terkait kegiatan yang dilakukannya. Salah satu caranya adalah dengan melakukan swafoto atau swavideo (melakukan perekaman foto maupun video secara mandiri). Dua aktivitas tersebut oleh Raditya (2014: 29) dinyatakan sebagai tindakan pendokumentasian

momen yang dianggap penting. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Harisa dan Asriwandari (2017 : 4) menyebutkan bahwa fenomena ini sangat erat terkait dengan citra yang akan dipersepsikan seseorang kepada orang lain, di mana individu tersebut berusaha menunjukkan sisi terbaiknya untuk meninggalkan kesan positif bagi orang lain. Hal inilah yang membuat para individu yang berswafoto maupun swavideo akan memilih tempat maupun kegiatan yang menarik (Raditya, 2014: 29). Museum dianggap sebagai salah satu tempat yang menarik untuk berswafoto maupun swavideo yang kemudian diunggah ke instagram. Harsono (2016) menjelaskan bahwa keberadaan benda-benda koleksi merupakan salah satu pemicu masyarakat mengabadikan diri di museum. Selain itu, keberadaan desain pameran maupun gaya bangunan juga menjadi daya tarik tersendiri. Keunikan yang dimiliki oleh museum ini tidak dijumpai di tempat lain. Sehingga tidak mengherankan apabila ada museum yang menarik, maka akan cepat dikenal oleh masyarakat. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi pengelola museum karena aktivitas tersebut menjadi

Page 67: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6767Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

salah satu ajang promosi gratis yang dilakukan oleh masyarakat. Maka, tidak mengherankan apabila pada saat ini banyak museum yang merenovasi bangunan, menata ulang desain pameran maupun penambahan koleksi serta adanya area untuk berfoto. Kondisi ini juga ditiru oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kini banyak bermunculan tempat berlabel “museum” yang menghadirkan atraksi foto tanpa adanya “jiwa museum” yaitu menyampaikan informasi untuk menambah pengetahuan pengunjung. Fenomena ini sedikit banyak telah memberikan pandangan kepada kita bahwa keberadaan media sosial diibaratkan sebagai dua sisi mata uang, ada sisi positif dan ada sisi negatif. Sisi positifnya adalah dikenalnya museum secara luas oleh masyarakat melalui media sosial (Instagram) yang dapat menjadikannya sebagai wahana untuk menarik kelompok masyarakat tertentu yang potensial untuk dijadikan pengunjung baru museum. Sisi negatifnya adalah fungsi museum sebagai tempat penyebaran pengetahuan tidak terlaksana dengan semestinya.Hasil wawancara yang dilakukan

Penulis terhadap beberapa orang yang berkecimpung di dunia permuseuman mengangap bahwa keberadaan instagram bagi museum merupakan suatu hal yang wajar dan cenderung penting. Hal ini didasarkan pada fungsi komunikasi yang ada pada instagram. Komunikasi yang ada di instagram cenderung mampu menghadirkan pengalaman berbeda jika dibandingkan dengan media sosial lainnya, seperti Facebook dan Twitter. Hal ini didasarkan pada tampilan instagram yang lebih efektif. Selain itu, keberadaan instagram juga dapat difungsikan sebagai “ruang pamer digital” sehingga setiap orang mampu melihat beberapa koleksi museum. Keuntungan lainnya adalah pengelola museum mampu mengetahui fenomena yang muncul di kalangan anak muda sehingga museum mudah beradaptasi. Sementara itu, keberadaan museum instagramable bagi orang-orang museum perlu diperhatikan secara cermat. Keberadaannya tidak ditolak namun terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Beberapa diantaranya adalah terkait fungsi museum. Sesuai dengan konsep museum baru, museum harus mengedepankan kemanfaatannya

Page 68: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6868 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

bagi perkembangan masyarakat. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Sinaulan (Susantio, 2018) yang menyatakan bahwa anak muda saat ini rela berkunjung ke museum yang memiliki tiket mahal hanya untuk mencari latar belakang foto yang bagus. Akibat yang ditimbulkan adalah terkikisnya fungsi museum sebagai tempat pendidikan. Hal lainnya adalah aktivitas orang yang mengambil foto juga perlu menjadi perhatian khusus. Kondisi ini perlu disadari mengingat manusia juga menjadi salah satu sumber agen perusak (deterioration) baik vandalisme maupun fisik (physical forces) (Canadian Conservation Institute, 2017). Salah satu contoh adanya kerusakan yang diakibatkan oleh swafoto adalah kerusakan patung dari abad ke-18 di Museum Nasional Seni Kuno (National Museum of Ancient Art) di Lisbon (Marcus, 2016). Hasil wawancara terhadap pengunjung museum diperoleh informasi bahwa pengelola museum harus memiliki akun instagram. Alasannya adalah untuk menyebarkan segala kegiatan yang ada di museum sehingga masyarakat mengetahuinya. Adanya area untuk berfoto juga perlu dipertimbangkan. Area ini

tidak harus berupa tempat khusus untuk berfoto tetapi pengunjung dibebaskan berfoto di ruang pamer. Kondisi ini didasarkan pada sifat anak muda yang selalu bisa melihat sesuatu hal yang menarik dan pengambilan gambar dari sisi yang berbeda. Hal menarik adalah adanya pengunjung museum yang berpendapat bahwa keberadaan museum yang instagramable tidak perlu dipaksakan, karena hal yang terpenting adalah membuat pengunjung nyaman terlebih dahulu. Nyaman dalam arti pengunjung betah untuk berlama-lama di museum dikarenakan lingkungannya yang kondusif untuk berkeliling di museum. Alasan ini cukup menarik mengingat masih banyak museum Indonesia dalam kondisi yang belum memberikan kenyamanan pengunjung. Dari hasil dua tahap wawancara tersebut dapat diperoleh beberapa pernyataan. Keberadaan media Instagram sebagai salah satu alat komunikasi alangkah baiknya dimanfaatkan oleh pengelola museum. Keuntungan yang diperoleh adalah museum melangkah menjadi institusi yang mengikuti perkembangan zaman, dan dapat dijadikan media untuk menggaet pengunjung baru.

Page 69: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

6969Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Keberadaan museum instagramable juga dapat dijadikan opsi untuk promosi museum sehingga akan banyak masyarakat yang datang. Tetapi, yang terpenting dari keseluruhan tersebut adalah adanya kontribusi dari museum dalam perkembangan masyarakat. Dengan adanya keseimbangan antara museum instagramable dan fungsi baru museum maka akan didapatkan museum menarik namun tetap mampu menjadi tempat belajar pengunjung.

Penutup

Perkembangan zaman yang terjadi di seluruh dunia telah membawa perubahan perilaku masyarakat terutama dalam konteks komunikasi. Munculnya media sosial telah menarik perhatian masyarakat luas, salah satunya adalah instagram. Kegunaan Instagram mampu memberikan pengalaman baru berinteraksi melalui tampilan yang efektif terkait foto, video, dan teks. Instagram digunakan di berbagai institusi seperti museum. Penggunaan di museum dapat dimanfaatkan dalam berbagai hal, seperti menginformasikan kegiatan yang sedang berlangsung,

memperlihatkan koleksi museum, serta sarana berkomunikasi dengan pengunjung. Penggunaan instagram di museum juga menghadirkan menghadirkan fenomena yang disebut museum instagramable. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pembentukan museum instagramable bukanlah suatu kebutuhan yang mendesak mengingat masih banyak museum yang ada di Indonesia belum memperhatikan kenyamanan museum. Namun penggunaan Instagram sebagai media komunikasi merupakan keharusan karena berusaha mengikuti perkembangan zaman. Terkait dengan keberadaan konsep museum baru, adanya instagram ini perlu mendapat perhatian bagi pengelola museum. Fungsi museum berdasarkan pada konsep ini adalah memberikan dampak positif bagi perkembangan masyarakat yaitu dengan menjadikan museum sebagai tempat belajar. Sehingga, munculnya fenomena museum instagramable ini perlu diseimbangkan dengan konsep museum baru agar tidak hanya faktor kesenangan pribadi yang dicari namun pengetahuan pun juga didapatkan oleh pengunjung.

Page 70: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7070 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Daftar Pustaka

Arinze, Emmanuel N. 1999. The Role of the Museum in Society. Public Lecture at the Natonal Museum, Georgetown, Guyana, 17 Mei 1999. p.1-2

Bennet, Tony. 1995. The Birth of The Museum: History, Theory, Politics. London and New York: Routledge

Direktorat Permuseuman. 2008. Pedoman Museum Indonesia. Direktorat Museum, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pari-wisata. Jakarta

Harisa, Suci Ananda dan Asriwandari, Hesti. 2017. Perilaku Berfoto Selfie Sebagai Ke-cenderungan Munculnya Gaya Hidup Modern (Studi Tentang Kegiatan Berfoto Selfie Pada Mahasiswa di Universitas Riau) dalam JOM FISIP, Vol. 4, No. 1, Februari 2017

Hein, George E. 2004. John Dewey and Museum Education on Curator 47/4 October 2004Hooper-Greenhill, Eilean. 1999. “Education, Communication, and Interpretation:

Towards a Critical Pedagogy in Museum” dalam The Educational Role of the Museum. Hal. 3-28. London and New York: Routledge

Kelly, Lynda. 2009. The Impact of Social Media on Museum Practice, presented at The National Palace Museum Taipe 20 october 2009

Marakos, Panteleimon. 2014. Museums and Social Media: Modern Methods of Reaching a Wider Audience. Mediterranean Archaeology and Archaeometry, Vol. 14, No. 4 hal. 75-81. Yunani

Pabst, Kathrin; Johansen, Eva D.; dan Ipsen, Merete. 2016. Towards New Relations Be-tween the Museum and Society. Oslo: ICOM Norway

Kurniasari, Luvy dan Rachmah, Eva Nur. 2017. Relasi Narsisme dan Konsep Diri pada Pengguna Instagram. Prosiding SEMNAS Penguatan Individu di Era Revolusi Informasi. Hal. 136-142

Mastenitsa, Elena. 2014. Actual Issues of Museology and Practice of Museum Manage-ment in the 21st Century: Policy Brief. Moscow: Russian National Committee of International Council of Museums

McCall, V dan Gray, C. 2014. Museums and the ‘New Museology’: Theory, Practice and Organisational Change. Museum Management and Curatorship, 29(1), Hal. 19-35

Raditya, Michael HB. 2014. Selfie dan Mediasosial Pada Seni Sebagai Wujud Eksistensi dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 18, No. 1, juli 2014

Rahmawati, Dewi. 2016. Pemilihan dan Pemanfaatan Instagram sebagai Media Komu-nikasi Pemasaran Online (Studi Deskriptif Kualitatif pada Akun Instagram @

Page 71: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7171Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

FreezyBrowniezz). Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Fakul-tas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Trihayuningtyas, E; Wulandari, W; Adriani Y; Sarasvati. 2018. Media Sosial sebagai Sarana Informasi dan Promosi Pariwisata bagi Generasi Z di Kabupaten Garut. Tourism Scientific Journal. Vol. 4, No. 1. Hal. 1-22

Visser, Jasper. 2013. From Social Media to a Social Museum. The Nordic Centre of Herit-age Learning.

Internet

Asterasa. 2017. 10 Museum 3D Trick Art Paling Menakjubkan di Indonesia. Diakses dari https://www.idntimes.com/travel/destination/asteria-dw/10-museum-3d-trick-art-paling-menakjubkan-di-indonesia-c1c2/full, pada tanggal 29 Agustus 2018

Canadian Conservation Institute. 2017. Agents of Deterioration. www.canada.ca/en/conservation-institute/services/agents-deterioration.html, diakses tanggal 2 September 2018.Diakses pada tanggal 2 September 2018

Harsono, Fitri Haryati. 2016. Mencengangkan, Jauh-jauh Datang ke Museum Hanya Untuk Foto Selfie. https://www.liputan6.com/citizen6/read/2473561/mencen-gangkan-jauh-jauh-datang-ke-museum-hanya-untuk-foto-selfie, 3 April 2016. Diakses pada 29 Agustus 2018

Marcus, Lilit. 2016. Selfie Taking Tourist Destroys 18th Century Saint Michael Statue in Lisbon. 10 November 2016

Permana, Rizky Wahyu. 2016. Ternyata Kini Banyak Orang ke Museum Hanya untuk Melakukan Selfie. 4 maret 2016. https://www.merdeka.com/gaya/ternyata-kini-banyak-orang-ke-museum-hanya-untuk-melakukan-selfie.html.

Susantio, Djulianto. 2018. Generasi Sekarang ke Museum untuk Berswafoto, Bukan Mencari Informasi. Kompasiana,18 Mei 2018. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2018

Page 72: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7272 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 1. Pengunjung bergaya untuk berfoto di depan Arca Bhairawa di Museum Nasional.

dok. Museum Nasional

Page 73: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7373Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Biografi Budaya Materi : Lika-Liku Pesona Kain Hinggi, Tenun

Ikat dari Sumba Timur Oleh: Valentina Beatrix Sondag

Museum Nasional [email protected]

Abstract

This paper discusses the cultural biography of hinggi, one of the traditional ikats cloths from East Sumba. The concept of cultural biography explains that an object has a cultural meaning beyond its physical form. The meaning of an object will change for its user, over time and space. Data collection is carried out by obser-vation, literature study and interviews. The results of the study show that through the perspective of cultural biography, hinggi it is not merely an inanimate object that has no meaning. Hinggi has a dynamic meaning and is constantly moving and changing from its traditional characteristics into a cultural object that has new meaning for its users both for the people of East Sumba and people outside East Sumba. The func-tion of hinggi has changed from its function as a traditional cloth for men. Hinggi is used as a attire for both men and women, it is use as part of the decoration, and some hinggi is kept as a valuable collection. Keyword: cultural biography, material culture, hinggi

Abstrak

Tulisan ini mendiskusikan hinggi, salah satu kain tenun ikat khas Sumba Timur menggunakan pendekatan kebudayaan materi yaitu biografi budaya ma-teri (cultural biography). Konsep ini menjelaskan bahwa sebuah benda memiliki makna budaya melampaui bentuk fisiknya. Makna tersebut akan berubah bagi penggunanya , seiring ruang dan waktu. Pengumpulan data dilaksanakan den-gan observasi , studi pustaka dan wawancara. Hasil kajian menunjukkan bahwa melalui perspektif biografi budaya materi, hinggi bukan sekedar benda mati yang tidak memiliki makna apapun. Hinggi memiliki makna yang dinamis dan senan-tiasa bergerak serta mengalami perubahan dari karakteristiknya yang tradisional

Page 74: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7474 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Pendahuluan

Tinung pahikung atau tenun ikat khas Sumba Timur adalah kain tradisional Indonesia yang terkenal karena keindahan motifnya. Eksistensinya dari dahulu hingga saat ini masih menempati peran penting dalam keseharian hidup masyarakatnya. Tenun ikat adalah salah satu bentuk kebudayaan materi. Sebagai bentuk dari kebudayaan materi, keberadaan tenun ikat mampu bertahan menembus zaman, dinikmati dan memiliki makna berbeda bagi satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu dari jenis kain tenun ikat khas Sumba Timur tersebut adalah hinggi yaitu yang umum dikenakan sebagai kain adat laki- laki Sumba Timur. Tulisan ini akan membahas hinggi sebagai objek kebudayaan materi menggunakan pendekatan biografi budaya materi (cultural biography). Pendekatan ini adalah satu konsep dari kajian budaya material. Konsep ini menjelaskan bahwa sebuah benda (objek) sejatinya memiliki

“kisah” perjalanan hidup. Pemikiran biografi budaya materi ini diusung oleh (Appandurai, 1986) Sejalan dengan Appadurai, (Kopytoff, 1986, hal. 64) menjelaskan lebih jauh bahwa ‘biografi’ yang dimaksud dalam hal ini adalah pandangan bahwa sebuah objek (benda) memiliki perjalanan hidup atau daur hidup. Selanjutnya makna sebuah benda bagi pemakainya (konsumen) akan berubah seiring waktu dan ruang. Menurut Kopytoff, biografi budaya (cultural biography) melihat proses komoditisasi sebuah benda, dimana benda bertransformasi menjadi komoditas dari sudut pandang budaya. Kopytoff dalam (Woodward, 2007, hal. 103) lebih jauh menjelaskan bahwa dalam kehidupannya sosialnya suatu benda akan mengalami proses komodifikasi, dekomodifikasi dan rekomodifikasi. Pemilihan hinggi sebagai objek penulisan karena hinggi bersifat adapatif dan mampu bertahan dari satu generasi ke generasi. Sejak orang Sumba masih di dalam kandungan sampai tiba saat kematiannya, kain tenun ikat

menjadi objek budaya yang memiliki makna baru bagi penggunanya baik bagi masyarakat Sumba Timur maupun masyarakat di luar Sumba Timur. Hasil kajian menunjukkan bahwa adanya perluasan dari fungsi hinggi yang pada awalnya di-gunakan sebagai kain tradisional untuk laki-laki Sumba. Hinggi digunakan pula sebagai pakaian untuk pria dan wanita, dimanfaatkan menjadi dekorasi. Selain itu, beberapa hinggi disimpan sebagai koleksi yang berharga. Keyword : cultural biography, material culture, hinggi

Page 75: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7575Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

menjadi benda penting dalam siklus kehidupannya dan digunakan dalam berbagai upacara. Selain itu, kain tenun ikat sebenarnya bukan monopoli dari pulau Sumba. Namun, hinggi, adalah tenun ikat dari Sumba Timur memiliki kekhasnya tersendiri yang menyebabkan kain ini menarik banyak orang diluar masyarakat Sumba Timur. Keindahan sehelai kain Sumba Timur dengan ciri khas komposisi warna yang cerah berpadu berpadu dengan ragam hias flora dan fauna berukuran besar yang ditenun dengan sedemikian rupa, menjadikan kain ini diapresiasi banyak orang. Karena keindahannya, kain hinggi yang awalnya adalah kain adat dari sebuah pulau, akhirnya mengalami perjalanan hidup yang panjang sehingga kepopulerannya mendunia.

Hinggi Dalam Siklus Hidup Orang Sumba Timur

Keberadaan hinggi tak terlepas dari pengaruh agama Marapu, yaitu agama lokal yang menyembah leluhur (marapu). Ajaran marapu sudah meresap menjadi satu dengan sendi-sendi kebudayaan Sumba. Hal ini turut mempengaruhi dalam proses pembuatan, pengunaan dan pemanfaatan hinggi dalam keseharian masyarakat Sumba.

Hinggi sejatinya merupakan busana tradisional lelaki Sumba Timur . Berdasarkan warnanya, ada dua jenis warna hinggi yaitu hinggi kaworu (merah) dan hinggi kombu (biru). Suwati Kartiwa (2007: 93) menjelaskan bahwa hinggi adalah kain panjang berukuran dua meter bagi laki-laki dewasa, yang dapat berfungsi sebagai selimut, selendang, atau kain yang dililitkan di pinggang. Kain ini digunakan baik sebagai busana adat maupun busana sehari-hari. Umumnya lelaki Sumba mengenakan hinggi sebanyak dua helai. Sehelai dililitkan di pinggang dan sehelai lagi disampirkan di pundak. Penggunaan hinggi dengan ragam hias tertentu dapat menunjukkan status sosial seseorang. Hal ini dikarenakan setiap ragam hias yang ditenun adalah ragam hias yang sarat makna dalam ajaran Marapu. Secara adat, ada beberapa ragam hias yang hanya boleh digunakan oleh kaum raja dan bangsawan (kaum maramba) misalnya saja ragam hias buaya, kura-kura- kura dan udang. Beberapa motif lain yang sering ditemukan pada hinggi antara lain motif hewan ( kuda, ayam jantan,rusa, udang dan ular); motif flora (patola ratu, pohon andung) . Berikut ini makna yang terkandung dalam beberapa ragam hias tenun ikat yang ditemukan pula dalam hinggi

Page 76: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7676 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

(Ndima & Wiratmoko, 2007) : 1. Kuda (ndjara)

Kuda merupakan simbol penting dalam masyarakat Sumba. Kuda dipercaya menjadi transportasi baik dalam kehidupan di dunia dan di alam kematian. Kuda juga adalah hewan yang cocok hidup di alam Sumba Timur yang keras, digunakan untuk transportasi dan juga memiliki nilai ekonomi. Kuda juga merupakan bekal kubur yang disembelih saat upacara kematian dan dipercaya menhadi tunggangan majikannya ke alam marapu.

2. Buaya (wuya) Buaya adalah simbol kekuasaan dan darah biru. Ragam hias ini awalnya terukir di penji (nisan kubur batu) milik keluarga raja. Ragam hias ini kemudian diadopsi kedalam tenun ikat dan hanya boleh dikenakan oleh raja atau bangsawan.

3. Ayam Jantan (manu) Ayam melambangkan kepemimpinan, tercermin dalam ungkapan Ama Manu,Ina Rendi (bapak ayam, ibu belibis) melambangkan sosok seorang pemimpin yang sifatnya melindungi dan mengayomi. Ayam jantan juga dipercaya sebagai lambang kebangkitan. Menurut

kepercayaan marapu, kokok ayam jantan akan membangunkan roh orang yang meninggal untuk bersiap menuju ke alam marapu .

4. Kura – kura (karawulangu) Sama halnya dengan buaya, kura – kura merupakan lambang kebangsawanan dan memiliki arti umur yang panjang dan kebijaksanaan.

5. Rusa (ruha) Tanduk rusa yang kokoh melambangkan keagungan dan kebijaksanaan. Sifat ini yang seharusnya menjadi sifat- sifat utama seorang pemimpin. Makna ini diungkapakan dalam syair adat Pa jangga kadu ruhangu-pa rara mata mandungu (tinggi seperti tanduk rusa- merah seperti mata ular)

6. Udang (kurangu) Udang merupakan lambang panjang umur. Karakter udang yang dapat berganti kulit menjadi simbol kehidupan baru seperti dalam ungkapan Njulu la kura luku-halubu la mandu mara ( menjelma seperti udang- mengelupas seperti ular darat). Ragam hias udang merupakan salah satu ragam hias yang digunakan oleh kaum bangsawan.

7. Pohon andung Pohon andung atau pohon

Page 77: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7777Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

tengkorak diadaptasi dari pohon andung yang dahulu menghiasi perkampungan. Pohon ini sebenarnya batang pohon yang berhiaskan tengkorak musuh – musuh suatu klan. Pohon andung terletak di tengah perkampungan adat Sumba. Walau tampak menyeramkan, namun sebenarnya pohon andung merupakan simbol dari pohon kehidupan. Kini pohon andung sudah sulit ditemukan dan diganti dengan pohon tertentu yang menjadi ciri pohon andung.

8. Patola Ratu (Patuala ratu) dan patola bunga Ragam hias patola ratu merupakan ragam hias bernilai sakral dan paling tinggi dalam upacara kematian di adat Sumba. Ragam hias patola ratu mendapatkan pengaruh dari ragam hias yang berkembang di India. Kain ragam hias patola ratu hanya boleh dipakai oleh imam yang bertugas pada upacara kematian raja dan bangsawan.Kain ini juga menjadi kain penutup jenasah raja dan kaum bangsawan yang meninggal. Patola bunga merupakan ragam hias yang dikembangkan dari ragam hias patola ratu.

Selain sebagai pakaian, hinggi digunakan pada setiap aspek

kehidupan orang Sumba sejak lahir, pernikahan dan kematian orang Sumba. Poerwadi Soeriadiredja (Soeriadiredja, 2017) menjelaskan bahwa di Sumba Timur, saat seorang suami tidak dapat mendampingi istrinya melahirkan maka kehadiran suami dapat diwakili oleh hinggi milik suami. Hal itu dianggap penting sekali, karena menurut anggapan mereka si bayi akan sulit keluar dari rahim ibu bila tidak ditunggui oleh ayahnya. Dengan adanya kain selimut itu, si bayi diharapkan dapat lahir dengan selamat. Cara seperti tersebut disebut rambangu hinggi. Di dalam pernikahan adat Sumba, hinggi dan lau (sarung perempuan) adalah elemen penting yaitu sebagai balasan dari mas kawin yang diberikan oleh pihak laki-laki. Pernikahan adat Sumba terdiri dari prosesi yang rumit dan panjang, melibatkan keluarga besar dan pertukaran harta benda. Hinggi dan lau adalah hadiah balasan dari pihak perempuan atas pemberian perhiasan emas, perak dan hewan ternak dari pihak keluarga laki-laki. Berdasarkan kesepakatan keluarga, pertukaran sejumlah tertentu hinggi dan lau dipandang memiliki nilai ekonomi yang sama dengan emas dan perak yang dipertukarkan. Hinggi memiliki makna

Page 78: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7878 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

penting dalam prosesi kematian penganut agama Marapau di Sumba Timur. Pada upacara penguburan, kita dapat melihat bahwa hinggi dikenakan oleh orang yang masih hidup maupun sudah mati. Para tamu undangan yang datang diwajibkan mengenakan hinggi. Sementara itu, menurut adat Sumba, hinggi memiliki fungsi sebagai pembungkus jenasah dan bekal kubur dalam upacara kematian. Saat seorang lelaki Sumba, penganut agama marapu meninggal, jenasahnya akan didudukan dalam posisi janin, dan dibungkus dengan berlapis-lapis kain hinggi, menjalani mumifikasi sambil menunggu waktu yang tepat untuk dikuburkan. Hinggi juga menjadi bekal kubur almarhum. Penganut agama marapu percaya bahwa kematian merupakan peralihan dari kehidupan duniawi ke kehidupan sesungguhnya di parai marapu (negeri para leluhur). Mereka akan hidup seperti layaknya sebelum mati, karena itulah mereka memerlukan bekal kubur seperti hewan ternak, kain tenun (hinggi) untuk laki-laki atau lau (untuk perempuan) ,dan perhiasan untuk menjalani kehidupanya kelak. Semakin tinggi status sosial almarhum, maka semakin banyak hinggi yang digunakan untuk membungkus jenasahnya. Jenasah seorang maramba (bangsawan) akan dibungkus paling sedikit 100

kain hinggi. Jenasah kemudian disemayamkan di rumah adat, sementara keluarga mempersiapkan kebutuhan upacara penguburan. Hal ini tak jarang membutuhkan waktu bertahun-tahun karena dana yang dibutuhkan cukup besar. Hinggi Dalam Perspektif Biografi Budaya Materi

Ian Woodward mendefinisikan objek sebagai materi yang dihadapi, berinteraksi, dan digunakan oleh orang-orang. Objek biasanya dibicarakan sebagai budaya material. Istilah ‘budaya material’ menekankan bagaimana benda mati di dalam lingkungan bertindak terhadap manusia, dan ditindaklanjuti oleh orang-orang, untuk tujuan melaksanakan fungsi sosial, mengatur hubungan sosial dan memberikan makna simbolis untuk aktivitas manusia. (Woodward, 2007, hal. 6) kemudian menunjukkan bagaimana objek dapat (i) digunakan sebagai penanda nilai, (ii) digunakan sebagai penanda identitas dan (iii) enkapsulasi jaringan kekuatan budaya dan politik. Uraian mengenai hinggi di atas secara tersirat menunjukkan bahwa melalui pendekatan kebudayaan materi, makna suatu benda budaya seperti hinggi memiliki makna yang sangat luas. Berdasarkan konsep yang

Page 79: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

7979Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

diusung oleh Ian Woodward, maka dapat kita lihat bahwa dalam konteks kebudayaan materi bahwa pertama, hinggi adalah busana tradisional dengan desain dan ragam hias yang khas yang menjadi penanda identitas jati diri Sumba Timur dan penanda nilai. Hal ini membedakannya dengan kain sejenis dari Sumba Barat atau wilayah Indonesia lainnya. Walaupun pada perkembangannya hinggi digunakan oleh berbagai orang, namun desain tersebut sudah menjadi identitas hinggi khas Sumba Timur. Yang kedua, hinggi menjadi penanda nilai dalam keseharian orang Sumba Timur. Menenun hinggi adalah perwujudan rasa hormat kepada para marapu, karena dalam sehelai hinggi juga tercermin makna- makna kebaikan dalam ajaran marapu. Mengenakan hinggi mengugah kesadaran bahwa para marapu selalu bersama mereka, mengawasi hidup mereka dan menjaga mereka. Karena itu kemanapun dia berjalan ia menyadari bahwa Marapu hadir bersamanya. Hal ini akan membentuk kepribadian mereka sesuai dengan kebaikan-kebaikan yang ada pada ajaran marapu. Kasus ini sama seperti yang dicontohkan Ian Woordward (2007:11) dimana alkitab sebagai benda penting bagi umat Kristen, tidak selalu dibawa kemanapun namun mempengaruhi

sikap dan tindakan seseorang. Dan yang ketiga, hinggi juga dapat mengungkapkan jaringan budaya dan politik. Salah satu hal ini adalah jenis ragam hias hinggi juga dapat menjadi mengungkapkan jaringan budaya dan politik. Seorang maramba (bangsawan Sumba) akan mengenakan ragam hias yang berbeda dengan seorang rato (pemimpin keagamaan) dan tentu saja seorang ata (anak dalam rumah atau budak) akan memiliki jenis kain dan kualitas yang berbeda. Saat seseorang mengenakan hinggi, maka secara otomatis ia diharapkan dapat bersikap seperti apa yang ia kenakan berdasarkan status dan kedudukan sosialnya. Berkaitan dengan politik, hinggi menjadi objek negosiasi dalam acara-acara adat Sumba. Jumlah pemberian hinggi, jumlah hadiah balasan dari penerima hinggi merupakan hasil politik , dimana masing- masing pihak bernegosiasi untuk menghasilkan keputusan terbaik.

Lika Liku Hidup Hinggi : Suatu Biografi

Biografi hinggi yang dimaksudkan di sini adalah mengacu pada konsep biografi yang oleh Kopytoff disebut sebagai cultural biography yaitu melihat proses komoditisasi sebuah objek, dimana objek bertransformasi

Page 80: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8080 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

menjadi komoditas dari sudut pandang budaya (Kopytoff, 1986). Berdasarkan pendapat Kopytoff yang dikutip (Woodward, 2007, hal. 103) maka dalam siklus kehidupannya suatu benda akan mengalami proses komodifikasi, dekomodifikasi dan rekomodifikasi. Definisi komoditas sendiri ada bermacam-macam. (Appandurai, 1986) berpendapat bahwa komoditas dapat sementara didefinisikan sebagai objek nilai ekonomi. (Appandurai, 1986, hal. 3) kemudian meminjam istilah nilai ekonomi milik George Simmel (Simmel 1978: 73) dimana nilai ekonomi adalah sesuatu yang bersifat temporer dalam artian bersifat subjektif dan dapat berubah sesuai dengan hasrat keinginan untuk memiliki komoditas tersebut. Sementara (Woodward, 2007, hal. 17) berpendapat bahwa kata ‘komoditas’ mengacu pada alur pertukaran objek sebagai barang dagangan. Demikian pula, komoditas adalah sesuatu yang dapat dipertukarkan. Objek masuk ke dalam dan keluar dari lingkup komoditisasi, sehingga objek yang sekarang menjadi komoditas mungkin tidak selalu menjadi komoditas karena penggabungannya ke dalam dunia pribadi atau ritual individu, keluarga dan budaya. Sementara (Kopytoff, 1986, hal. 64) menyatakan proses produksi komoditas dipengaruhi oleh

proses kognitif dan budaya yang ada sehingga kebudayaan menentukan komoditas yang diproduksi dan yang tidak diproduksi. Sebuah objek menjadi komoditas jika objek tersebut memiliki nilai praktis yang nilainnya setara dan dibutuhkan bagi kedua belah pihak yang bertukar. Proses pertukaran terjadi secara langsung dan keuntungan diterima saat itu juga. Hal ini penting untuk membedakan komoditas dengan gift atau hadiah.

Komodifikasi Hinggi

Berkaitan dengan hinggi maka biografi atau siklus kehidupan hinggi dimulai dari proses penciptaannya. sehelai kain hinggi dihasilkan melalui lika liku dan proses yang cukup panjang. Sehelai kain hinggi membutuhkan waktu satu hingga enam bulan pengerjaan tergantung kualitas hinggi yang diinginkan. Proses tersebut diawali dari proses pemintalan benang, perentangan benang, melukiskan desain motif, pengikatan benang, pewarnaan benang, penenunan dan hingga penjahitan yang membutuhkan waktu panjang dengan sistem pembagian kerja yang kompleks dan diatur secara turun temurun. Pekerjaan menenun pada awalnya adalah ranah perempuan Sumba, namun dalam prosesnya, pembagian kerja untuk menghasilkan

Page 81: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8181Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

sehelai hinggi juga melibatkan laki-laki dan perempuan, dan kesepakatan gotong royong satu desa dengan desa lainnya. Misalnya saja pada proses pewarnaan. Para penenun yang tinggal di desa – desa adat umumnya memberikan pekerjaan pewarnaan pada warga desa lain yang secara turun temurun dikenal memiliki keahlian dalam pewarnaan. Hasil akhir dari semua proses tersebut adalah sehelai kain hinggi yang merupakan gabungan dua helai (dua lirang) kain tenun yang dijahit secara vertikal ,sehingga saat dibentangkan, kain tersebut memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran kurang lebih sekitar 2,5m x 1.5 m. Komodifikasi hinggi terbagi pada dua masa yaitu (1) masa sebelum masuknya orang asing, (2) masa setelah kedatangan orang asing. Sebelum kedatangan orang asing, hinggi adalah gift atau hadiah untuk berbagai acara seperti pernikahan dan kematian. Hubungan seperti ini menurut Kopytoff (1986: 69). yang dalam antropologi disebut sebagai “relations of reciprocity” atau hadiah yang bersifat timbal balik dimana penerima hadiah berkewajiban memberikan hadiah yang sama nilainya di masa yang akan datang. Kontak dengan orang asing membawa warna baru pada perjalanan hidup hinggi. Di satu sisi, penggunaan

hinggi sebagai gift masih ada, terutama pada saat upacara pernikahan dan kematian. Walaupun saat ini orang Sumba telah memeluk agama selain agama marapu, hinggi tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Contohnya adalah di Gereja Kristen Sumba Timur, kita bisa menyaksikan patung Yesus Kristus mengenakan hinggi. Saat pemeluk agama kristen meninggal, maka hinggi tetap digunakan sebagai penutup peti jenasah dan ikut dikuburkan bersama jenasah. Kedatangan orang asing juga membawa pengaruh pada desain dan fungsi hinggi. Pada masa inilah hinggi menjadi komoditas dan masuk kedalam tahap komodifikasi melalui perdagangan. Perdagangan kain hinggi umumnya dijual langsung pada wisatawan yang mengunjungi desa – desa adat, dijual pada pengepul yang akan menjualnya kembali di toko – toko souvenir di Bali, atau badan yang ditunjuk pemerintah. Proses komoditisasi hinggi dengan orang asing sebenarnya sudah berlangsung lama. Menurut Judi Achjadi, hal ini dapat ditelusuri jauh hingga ke abad-19 dimana hinggi mulai menarik perhatian pengunjung dari Eropa pada akhir abad ke-19. Mereka datang untuk membeli hinggi dan menggunakan hinggi sesuai dengan kehendak dan kreatifitas pribadinya.

Page 82: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8282 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Dari sini hinggi kemudian mengalami proses dekomodifikasi1.

Dekomodifikasi Hinggi

Proses dekomodifikasi hinggi terjadi setelah dilaksanakan transaksi ekonomi. Pembeli hinggi kemudian memodifikasi hinggi menjadi sesuatu yang memiliki makna dan nilai baru bagi mereka. Makna tersebut memiliki makna yang berbeda dengan makna dan nilai hinggi pada masyarakat aslinya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh (Achjadi, 2013, hal. 3) : “Mereka terpesona oleh desain yang tegas, kekayaan warna dan ragam haias yang mudah dikenali seperti kuda cendana kecil yang indah, yang memegang peran penting dalam budaya Sumba, burung, rusa demgan tanduk mengagumkan , ular sedang merayap, kurakura, dan buaya yang diperuntukkan bagi penguasa, kehidupan laut, sebagian dengan bentuk aneh, dan andungu atau pohon tengkorak yang dihiasi kepala museum yang ditangkap dalam peperangan.

Mereka membawa tenun ikat untuk dijadikan hiasan yang digantung di dinding rumah, diselempangkan di dipan, dan dibentangkan diatas meja atau tempat tidur. Beberapa wastra menjadi koleksi museum yang berharga, sehingga memungkinkan untuk mengikuti perubahan-perubahan kecil yang telah terjadi selama satu setengah abad setelah adanya kontak dengan masyarakat asing yang sangat menghargai wastra tersebut” Keadaan ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Biranul Annas. Menurutnya, kedatangan orang dari luar Sumba membawa pengaruh pada desain dan fungsi hinggi. Desain hinggi yang tadinya bersifat tradisional dan idealistik bertransformasi menjadi desain yang disesuaikan dengan kehendak pasar. Fungsi hinggi kemudian mengalami perluasan fungsi dari kain tradisional menjadi berbagai jenis suvenir yang digunakan sebagai dekorasi (Annas, 2007, hal. 18). Kini, kain hinggi juga bertransformasi menjadi busana unisex, baik busana kerja maupun busana eksklusif

1Untuk memahami dekomodifikasi, sebuah contoh sederhana dituliskan oleh (Corrigan, 2006)

dengan contoh pembelian kucing di sebuah Petshop. Dalam contoh tersebut dituliskan bahwa saat

sebuah keluarga membeli kucing di Petshop maka kucing tersebut mengalami proses komoditisasi.

Kucing yang menjadi miliki keluarga tersebut kemudian mengalami proses dekomodifikasi dijadikan

hewan peliharaan yang disayangi dan diperlakukan secara khusus oleh keluarga sehingga memiliki

nilai dan makna khusus bagi keluarga tersebut, lebih dari sekedar objek yang diperjualbelikan.

Page 83: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8383Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

rancangan designer kenamaan. Hal ini tak lepas dari peran pemerintah daerah yang berusaha menghidupkan ekonomi rakyat. Pemerintah daerah setempat mewajibkan setiap aparaturnya mengenakan baju dinas dari kain tenun. Selain itu para perancang di industri fashion hingga selebriti Indonesia mulai meliriknya. Desainer ternama seperti Biyan Waatmaja, Denny Wirawan, Itang Yunasz mampu menterjemahkan keindahan kain tenun ikat menjadi berbagai produk busana2. Kepopuleran hinggi semakin meningkat semenjak kalangan selebriti seperti Dian Sastro, Marsha Timothy dan Nadine Candrawinata menjadikan hinggi sebagai bagian gaya fashion mereka3. Komoditisasi hinggi mempengaruhi perkembangan tenun ikat Sumba yang bermutu tinggi. Kondisi alam yang tidak menentu menyulitkan para penenun memproduksi kain terutama untuk menghasilkan kain – kain dengan mutu yang terbaik, dengan pewarna alami. Akhinya mereka juga lebih memilih menggunakan pewarna pabrik yang lebih murah. Kain – kain yang dihasilkan lebih ditujukan untuk konsumsi oleh – oleh wisatawan,

dengan kualitas yang biasa saja.

Rekomodifikasi Hinggi

Siklus kehidupan hinggi kemudian berlanjut ketika hinggi sudah menjadi kain tua. Pada masa ini maka perjalanan siklus hidupnya berlanjut menuju dua arah. Yang pertama, hinggi menjadi sesuatu yang dilupakan karena sudah kehilangan nilai ekonominya, misalnya busana tersebut sudah lusuh, rusak atau bosan. Kedua, hinggi akan menjadi benda antik yang ragam hiasnya langka sehingga kembali memiliki nilai ekonomi tinggi dan dipajang atau dijual ke satu kolektor. Hal ini artinya hinggi mengalami tahap rekomodifikasi. Dalam suatu wawancara dengan Rambu Margaretha, seorang penenun yang tinggal di Praiyawang, Sumba Timur menyatakan bahwa trend kekinian yang terjadi saat ini adalah munculnya permintaan kain-kain hinggi lama, yang sudah kusam dan tua dari para wisatawan asing, khususnya wisatawan dari Jepang. Berdasarkan hal itu, para penenun di desa-desa kembali mengumpulkan kain-kain tenun tua, walaupun sudah kusam dan lapuk,

2https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171116091214-277-255973/terpikat-sumba-biyan-

hadirkan-koleksi-humba-hammu diakses tanggal 27 Mei 2018 jam 09.433https://hype.idntimes.com/entertainment/jcnd/cinta-indonesia-7-seleb-ini-bangga-kenakan-kain-

tradisional-nusantara-c1c2/full diakses tanggal 27 Mei 2018 jam 09.46

Page 84: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8484 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Daftar Pustaka

Achjadi, J. (2013). Wastra Sumba Warisan Dunia dari Indonesia. Jakarta: Museum Tekstil Jakarta.

Annas, B. (2007). Tourism And The Hinggi Design Of East Sumba . A Study On Aestheti-cal Morphology Of Color and Motifs Of Traditional Cloth. ASEAN Journal on Hospitality dan Tourism. Vol. 6, Printed in Indonesia, 18.

Appandurai, A. ( 1986). Comodities and Politic . In A. Appandurai, The social life of things. Commodities in cultural perspective. Pennsylvania : Cambridge Univer-sity Press.

Corrigan, P. (2006). The Sociology Of Consumption. London: SAGE Publication.Kopytoff, I. (1986). The cultural biography of things: commoditization as process dalam. In

A. Appandurai, The social life of things. Commodities in cultural perspective (p. 64). Pennsylvania: Cambridge University Press.

Margaretha, R. (2018, Mei 21). Rekomodifikasi Hinggi Tua. (V. B. Sondag, Pewawancara)Museum Nasional, T. K. (2013). Kajian Tenun Ikat Sumba Timur. Jakarta: Museum

Nasional (Belum Diterbitkan).Ndima, P. P., & Wiratmoko, N. T. (2007). Kajian Budaya Kain Tenun Ikat Sumba Timur.

Waingapu: Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur .

padahal sebelumnya kain-kain tersebut biasanya sudah tidak terpakai dan dibiarkan begitu saja, bahkan dijadikan lap atau alas. Karena fenomena ini pula, ada beberapa keluarga yang mencoba mengambil kain tua yang dijadikan bekal kubur keluarganya yang sudah meninggal untuk dijual kembali. Alasan utamanya adalah kebutuhan ekonomi. Selain itu mereka juga memiliki harapan agar karya nenek moyang mereka dapat bermanfaat dan lestari. Proses pengambilan tersebut dilaksanakan melalui upacara-upacara terntu dengan mengorbankan hewan ternak, dengan harapan para marapu mau memahami keputusan mereka.

(Margaretha, 2018). Pemaparan tulisan mengenai hinggi menunjukkan bahwa sebuah benda budaya dari sudut pandang kebudayaan material memiliki perjalanan hidup (biografi) yang dinamis atau senantias bergerak dari benda komuditas kemudian menjadi benda non komoditas. Selain itu menurut perspektif biografi dalam konteks cultural biography maka sebuah objek bukanlah suatu benda mati yang tidak memiliki makna apapun, dan tidak diperhitungkan beradaannya dalam kehidupan manusia.

Page 85: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8585Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Soeriadiredja, P. (2017, Januari 2). fkai.org. Dipetik Juli 29, 2019, dari fkai.org: http://fkai.org//kain-tenun-ikat sumba-sebagai-pembungkus-jenazah-dan-bekal-kubur/

Woodward, I. (2007). Understanding Material Culture. London: SAGE Publication Ltd.

Foto 1. Penenun membuat tenunan hinggi

sumber foto: Valentina Beatrix

Page 86: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8686 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Foto 2. Busana tenun

sumber foto: Valentina Beatrix

Page 87: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8787Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Page 88: Jurnal Museum Nasionalmunas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2019.pdf · 1896) adalah Museum van het BGKW. Setelah melihat hasil pemasangan patung Gajah yang dihadiahkan

8888 Prajnaparamita Jurnal Museum Nasional

Jurnal Museum Nasional

Redaksi menerima artikel dalam jurnal ini dengan tema tentang museum (koleksi, publikasi, pemasaran, layanan, dan lain-lain) atau permuseuman (kelembagaan, manajemen, regulasi, kemitraan. Dan lain-lain). Artikel dapat berupa hasil kajian/penelitian, refleksi terhadap persoalan-persoalan aktual museum, dan berupa resensi buku tentang museum dan atau tentang permuseuman.

Sistematika Penulisan

Penulisan artikel dalam jurnal harus mengikuti sistematika penulisan sebagai berikut:1. Judul, berisi judul artikel dan dapat menggunakan sub judul.2. Nama Penulis, Nama penulis ditulis lengkap3. Inti sari (Abstraksi), Berisi ini sari artikel disertai dengan 3-5 kata kunci4. Pendahuluan, berisi latar belakang penulisan artikel, tujuan, metode, dan

sistematika baik secara eksplisit maupun implisit.5. Pembahasan, adalah isi dari artikel. Penambahan sub-bahasan dapat disesuaikan

dengan kebutuhan.6. Penutup, berisi kesimpulan hasil pembahasan dan atau saran dari Penulis7. Daftar Pustaka, berisi semua rujukan yang diacu dalam artikel, diurutkan sesuai

abjad. Penulisan daftar pustaka menggunakan pedoman Harvard APA style, Nama belakang pengarang, tahun terbit, judul buku, penerbit, kota penerbit.

Pengiriman Tulisan

Redaksi Jurnal Museum Nasional menerima artikel dengan tema terkait dengan Museum dan Kebudayaan untuk penyusunan Jurnal Museum Nasional: Prajnaparamita dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Format tulisan: 2. Ms Word3. Ukuran kertas A44. Margin 4 – 35. Huruf Time New Roman 126. Spasi 1,57. Pada awal tulisan dilengkapi abstraksi berbahasa inggris minimal 1 (satu)

paragraf8. Foto resolusi 300dpi (jika diperlukan)

Tulisan artikel dapat dikirim ke alamat email : [email protected] dilengkapi dengan data pribadi Penulis (nama, profesi, alamat rumah, alamat email, serta nomor yang dapat dihubungi).