Upload
ngothien
View
223
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
PELAKSANAAN KEWENANGAN DISKRESI DALAM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Diajukan oleh:
FARLIAN BELAWA HURINT
NPM : 120510904
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Kenegaraan dan Pemerintahan
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
FAKULTAS HUKUM
2017
1
JURNAL
PELAKSANAAN KEWENANGAN DISKRESI DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN
Penulis: Farlian Belawa Hurint
Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
ABSTRACT
This study entitled “The Implementation of Discretion Authority within the Government”
has three statements of the problem. The first is how the exercise of discretion authority in
government organization works. Second, the obstacles of the exercise of discretion authority
may have. Third, the effort to overcome those obstacles. The purpose of this study is to find
out and analyze those three problems.
This study is a normative research and uses law political approach, law regulation
approach and historical approach. The materials and data used in this study is a cumulative
data which is obtained and utilized from primary law materials and secondary law materials.
The data resource was obtained directly from the research objects in the area by interviewing
the source also obtained from law materials. The thinking process used in this study is a
deductive. The law theory, the authority theory, the legality principle theory, the relation
between government and citizen theory and the protection law theory were used to analyze
the research.
The results of this study show that the exercise of discretion authority in government
organtization is a logical consequence and an inevitability of welfare state in which the
government of welfare state is the state power who are given the task and responsible for the
prosperity of the citizen whereas the discretion authority does not mean can be used as freely
but still has to follow the rule as it is written on Act Number 30 Tahun 2004 about
Government Administration and The Principles of Good Government (AAUPB). The exercise
of discretion authority in government organization also has some obstacles that caused the
government becomes less efficient and less effective. After elaborating into some aspects such
as the theory aspects, the practical aspect and the juridicial aspect. The effort to overcome
those obstacles is actually not easy as it has to involve all parties. Starting from the
legislative power, executive power and judicative power. The legislative through their
legislation needs to arrange the law framework to ensure the exercise of discretion authority
for the government officials and judicative power in doing enforce to the deviations that
caused by the discretion authority. One more important thing is that it also needs the citizens
role. The citizens have to understand the essence of discretion authority itself that they can
rate how the discretion authority works whether it is already proper as the rule or not. Those
things are to ensure the exercise of discretion authority in government organization to be
efficient and effective in embody the citizens prosperity.
Keywords: The Exercise of Discretion Authority, The Government Organization
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam konsep negara
kesejahteraan pada hakekatnya tugas
negara tidak boleh pasif, tetapi harus aktif
turut serta dalam kegiatan masyarakat
sehingga kesejahteraan bagi semua orang
tetap terjamin.1 Dengan demikian tugas,
wewenang dan tanggung jawab negara atau
pemerintah pun menjadi semakin lebih
besar. Untuk melaksanakannya tidak cukup
memadai apabila hanya didasarkan pada
apa yang telah di gariskan oleh undang-
undang (legalitas), hal itu disebabkan oleh
karakteristik dari undang-undang itu sendiri
yang lebih bersifat umum abstrak, sehingga
tidak bisa mencakup semua persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan
kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan dan juga disebabkan oleh
undang-undang yang dalam praktek
seringkali tertinggal oleh perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat. Oleh sebab
itu pemerintah harus diberikan kebebasan
bertindak atau disebut sebagai kewenangan
diskresi dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Kewenangan diskresi, freies
ermessen (jerman) merupakan konsekuensi
dari adanya konsep negara hukum
kesejahteraan.
Diskresi itu sendiri mengandung
arti kebebasan memutus sendiri tentang
sesuatu dalam situasi yang dihadapi.
Berdasarkan kamus hukum discretionair
(belanda) mengandung arti bahwa
memutuskan sesuatu tidak berdasarkan
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-
undangan atau hukum yang berlaku tetapi
atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan
atau keadilan. Ridwan dengan mengutip
pendapat Philipus M. Hadjon, diskresi atau
kebebasan bertindak pada dasarnya berarti:
kebebasan untuk menerapkan peraturan
dalam situasi konkrit, kebebasan untuk
mengatur situasi konkrit tersebut dan
kebebasan untuk bertindak meskipun tidak
ada atau belum ada pengaturannya secara
tegas.2 Ditinjau dari pengertian
kewenangan diskresi seperti yang
1 S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 1987,
Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm.45. 2 Ridwan, 2014, Diskresi dan Tanggung Jawab
Pemerintah, Penerbit FH UII, Yogyakarta, hlm. 128.
dipaparkan di atas dapat dipahami, bahwa
kewenangan diskresi merupakan
kewenangan yang tidak terikat,
kewenangan tidak terikat yang
dimaksudkan disini ialah kewenangan yang
tidak didasarkan atau terikat secara
langsung dengan undang-undang
(legalitas), dan juga sebagai pelengkap atas
kelemahan dari undang-undang.
Dari penjelasan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa, ketika
melakukan pembahasan mengenai konsep
negara kesejahteraan paling tidak ada dua
hal penting yang menjadi inti dari
pembahasan ini, yakni undang-undang
(legalitas) dan kewenangan diskresi,
keduanya dalam konsep negara
kesejahteraan mempunyai peranan yang
sangat penting sehingga perlu diatur secara
yuridis formil.
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945)
yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Sebelum nya asas
legalitas secara tegas juga pernah diatur
dalam penjelasan UUDNRI 1945 sebelum
amandemen tepatnya pada bagian Umum,
Sub Bagian Sistem Pemerintahan Negara
yakni angka 1 yang menyatakan bahwa
“Indonesia ialah negara yang berdasarkan
atas hukum (rechstaat)”, dan angka 1 butir
1 yang menyatakan bahwa “negara
Indonesia berdasar atas negara hukum
(rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (machtsstaat. Rumusan tersebut di
atas jelas terlihat bahwa negara dituntut
untuk selalu menjunjung tinggi prinsip
negara hukum.
Pengaturan kewenangan diskresi
dalam undang-undang nomor 30 tahun
2014, bertujuan untuk membatasi
penggunaan kewenangan diskresi dan
sekaligus untuk memberikan perlindungan
hukum bagi badan/pejabat tata usaha
negara dalam menggunakan kewenangan
diskresi, mengingat dalam praktek sebelum
adanya pengaturan semacam itu, banyak
sekali badan/pejabat tata usaha negara
ketika dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya enggan untuk menggunakan
kewenangan diskresi, sehingga kewajiban
pemerintah atau negara untuk memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat tidak bisa
berjalan secara efisien dan efektif.
3
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan diatas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan kewenangan
diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan?
2. Apa kendala-kendala pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan?
3. Bagaimana upaya untuk mengatasi
kendala-kendala tersebut?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
1. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apa kendala-kendala
pelaksaanaan kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan Pemerintahan.
3. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana mengatasi kendala-
kendala pelaksanaan kewenangan diskresi
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tinjauan Pustaka
a. Tinjauan Tentang Konsep Negara
Kesejahteraan.
Munculnya konsep negara
kesejahteraan disebabkan oleh kegagalan
dari konsep negara hukum formal/klasik
yang dianggap tidak mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat. Negara
kesejahteraan merupakan antitesis dari
konsep negara hukum formal/klasik yang
didasari oleh pemikiran untuk melakukan
pengawasan yang ketat terhadap
penyelenggaraan kekuasaan negara,
khususnya kekuasaan eksekutif, yang pada
masa monarki absolut telah terbukti banyak
melakukan penyalahgunaan kekuasaan.3
3 W. Riawan Tjandra, 2011, Teory dan Praktek
Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Revisi),
Hakekat dari negara kesejahteraan itu
sendiri ialah negara harus ikut terlibat
secara aktif dalam masalah sosial dan
ekonomi untuk menjamin kesejahteraan
bersama dalam masyarakat. Bila
dibandingkan dengan negara hukum
formil/klasik di mana negara harus
bertindak pasif, di dalam negara hukum
modern atau negara kesejahteraan negara
dituntut untuk harus bertindak lebih aktif.
Indonesia sebetulnya merupakan Negara
yang menggunaan konsep Negara
kesejahteraan hal tersebut diatur secara
eksplisit dalamUUDNRI 1945 tepatnya
dalam pembukaan (Preambule) yang
mengamanatkan bahwa:
1. Negara berkewajiban memberikan
perlindungan kepada segenap bangsa
(warga negara) Indonesia dan seluruh
teritorial Indonesia
2. Negara berkewajiban untuk
memajukan kesejahteraan umum
3. Negara berkewajiban untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Merujuk
pada ketentuan tersebut di atas pada
dasarnya ciri utama dari konsep negara
kesejahteraan adalah adanya kewajiban
negara untuk mewujudkan kesejahteraan
umum dan konsekuensinya negara secara
aktif dalam kehidupan sosial masyarakat.4
b. Tinjauan Tentang Asas Legalitas.
Dalam hukum administrasi negara
asas legalitas yang pada hakekatnya
mengandung arti badan/pejabat
administrasi dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan harus senantiasa
berpedoman pada undang-undang yang
dibuat oleh wakil-wakil rakyat dan tanpa
dasar undang-undang pejabat admistrasi
tersebut tidak berwenang untuk melakukan
suatu tindakan yang dapat mempengaruhi
keadaaan hukum masyarakat. Menurut
sjachran basah asas legalitas berarti upaya
mewujudkan duet integral secara harmonis
antara paham kedaulatan hukum dan paham
Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Hlm. 1. 4 H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat,
2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Penerbit Nuansa, Bandung, hlm. 56.
4
kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip
monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat
hakikatnya konstitutif.5
Kedaulatan hukum berarti hukum
merupakan legitimasi bagi kewenangan
pemerintah, tindakan badan/pejabat
pemerintah harus didasarkan pada
kewenangan yang ditentukan oleh undang-
undang. Sedangkan kedaulatan rakyat
berarti rakyat merupakan legitimasi bagi
hukum yang berlaku, hukum yang berlaku
harus disepakati oleh rakyat melalui wakil-
wakilnya di parlemen. Asas legalitas dalam
hukum administrasi juga sering disebut
sebagai keabsahan pemerintah. Keabsahan
pemerintah mengandung tiga aspek yakni
aspek negatif, aspek formal positif, dan
aspek materil positif. Aspek negatif
menentukan bahwa tindakan badan/pejabat
pemerintah tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, aspek formal
positif menentukan bahwa badan/pejabat
pemerintah mempunyai kewenangan
sepanjang ditentukan atau berdasarkan
undang-undang, dan aspek materil positif
menentukan bahwa undang-undang
memuat aturan umum yang mengikat
tindakan badan/pejabat pemerintah.6
Namun asas legalitas juga mempunyai
kelemahan, asas legalitas tidak lain adalah
tindakan berdasarkan undang undang-
undang yang sah dan tertulis, maka ketika
berbicara mengenai kelemahan dari asas
legalitas berarti saat itu juga kita berbicara
mengenai kelemahan dari peraturan
undang-undang itu sendiri. Kelemahan dari
undang-undang sebagai hukum tertulis
adalah sangat kaku dan seringkali tertinggal
dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Hukum tertulis mudah tercipta
kesenjangan antara peraturan hukum
dengan yang diaturnya.7 Hal demikian
seakan menjadi dasar pembenar untuk tidak
bertindak berdasarkan atas undang-undang
5 Ni’Matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Penerbit FH UII, Yogyakarta, hlm. 16. 6 Ridwan, 2014, Diskresi dan Tanggung Jawab
Pemerintah, Penerbit FH UII, Yogyakarta. Hlm.92. 7 Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, Penerbit
Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm.201
sebagai sebuah institusi normatif, tindakan
semacam ini disebut diskresi. Diskresi
sering dijumpai dalam lingkungan
kekuasaan negara eksekutif maupun
dilingkungan kekuasaan negara yudikatif,
dengan tujuan untuk dapat mewujudkan
tugas dan fungsi dari masing-masing
cabang kekuasaan negara tersebut dengan
efektif dan efisien.
c. Tinjauan Tentang Kewenangan
Diskresi.
Kewenangan bebas (diskresi) adalah
suatu kewenangan yang diberikan kepada
badan/pejabat tata usaha negara yang
peraturan dasarnya memberikan ruang
kebebaan kepada badan/pejabat tata usaha
negara untuk menafsirkan dan menentukan
sendiri isi suatu keputusan yang akan
dikeluarkan. Terkait dengan kewenangan
bebas ini, J.B.J.M. ten Berge,8 membaginya
kedalam tiga macam yaitu kebebasan
interpretasi, kebebasan mempertimbangkan
dan kebebasan mengambil kebijakan.
Kebebasan interpretasi menampilkan ruang
gerak yang paling sempit, kebebasan
mengambil kebijakan menampilkan ruang
gerak yang lebih luas, dan kebebasan
mempertimbangkan menampilkan
merupakan kategori antara. Ditinjau dari
UUAP tepatnya Pasal 1 angka 9, diskresi
adalah keputusan dan/atau tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintah untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan. Sebetulnya secara
yuridis formil kewenangan diskresi sudah
diberikan kepada pemerintah tepatnya di
dalam Pasal 4 UUDNRI 1945 yang
mengatakan bahwa Presiden memegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-
Undang Dasar, pasal ini menunjukkan
bahwa presiden diberi diskresi untuk
menjalankan wewenangnya dalam
memegang kekuasaan pemerintahan. Secara
eksplisit kewenangan diskresi diatur dalam
8 Ridwan, Op. Cit., hlm. 135.
5
UUAP, tepatnya Pasal 22 (umum), Pasal 23
berkaitan dengan ruang lingkup diskresi,
Pasal 24, Pasal 25 berkaitan dengan
persyaratan diskresi, Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 28, Pasal 29 berkaitan dengan
prosedur penggunaan diskresi, dan Pasal
30, Pasal 31, Pasal 32 yang berkaitan
dengan akibat hukum diskresi. kewenangan
diskresi hakekatnya sebagai pelengkap dari
kelemahan yang ada pada undang-undang,
meskipun kewenangan diskresi merupakan
kewenangan bebas atau tidak terikat bukan
berarti kewenangan diskresi tidak tunduk
dan patuh terhadap undang-undang sebagai
wujud kedaulatan rakyat, karena
kewenangan diskresi digunakan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara untuk
merealisasikan apa yang telah ditentukan
dalam undang-undang itu sendiri atau
dengan kata lain secara tidak langsung juga
melaksanakan undang-undang. Pentingnya
merealisasikan undang-undang dikarenakan
dalam undang-undang itu sendiri telah
memberikan hak dan kewajiban bagi
masyarakat sehingga dengan berpedoman
pada asas menanggapi pengharapan yang
layak, pemerintah senantiasa harus
merealisasikannya, dan apabila undang-
undang tersebut sudah direalisasikan
dengan baik oleh pemerintah untuk
kesejahteraan rakyat maka bagi rakyat
disitulah kepastian hukum itu akan ada.
d. Tinjauan Tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan
presiden dibantu oleh wakil presiden, dalam
menjalankan tugas-tugasnya presiden juga
dibantu oleh menteri-menteri yang
membidangi urusan-urusan tertentu
dibidang pemerintahan. Dalam kehidupan
kenegaraan di Indonesia kita mengenal
adanya 4 (empat) kelompok menteri seperti
menteri koordinator, menteri yang
memimpin departemen, menteri negara dan
menteri muda, disamping dibantu oleh
wakil presiden dan menteri-menteri,
presiden juga dibantu oleh seperangkat
pejabat yang bekerja pada lembaga-
lembaga non departemen (ada 19 lembaga
nondepartemen) dan pemerintah tingkat I
dan II.
Dalam konteks negara kesejahteraan urusan
pemerintah juga semakin besar dan luas
hampir mencakupi semua aspek dalam
kehidupan masyarakat, namun bukan
berarti semua aspek dalam kehidupan
masyarakat menjadi urusan pemerintahan.
Paling tidak ada 3 (tiga) kriteria untuk
menentukan bahwa itu merupakan urusan
pemerintahan:
1. Urusan itu merupakan bidang publik
atau menyangkut kepentingan umum
(algemeen belang)
2. Ada intervensi atau keterlibatan
pemerintah secara langsung atau tidak
secara langsung dalam urusan tersebut
3. Peraturan perundang-undangan
memberikan wewenang kepada
pemerintah untuk mengurus (besturen)
dan mengatur (regelen) urusan
tersebut.9
Dalam penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan, tentunya pemerintah
senantiasa melakukan tindakan hukum baik
dalam hukum publik maupun dalam hukum
privat. Tindakan hukum publik didasarkan
pada ketentuan hukum publik sedangkan
tindakan hukum privat didasarkan pada
ketentuan hukum keperdataan. Untuk
melakukan tindakan hukum dalam
penyelenggaraan fungsi pemerintahan,
pemerintah tentunya menggunakan
instrumen-instrumen pemerintahan. Dalam
hukum administrasi negara, instrumen-
instrumen pemerintahan terdiri dari:
1. Instrumen yuridis.
a. Instrumen peraturan perundang-
undangan
b. Instrumen peraturan
kebijaksanaan (bleidsregel)
9 Ridwan, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi
Dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 40.
6
c. Instrumen perencanaan
(planning)
d. Instrumen keputusan tata usaha
negara
e. Instrumen hukum keperdataan
2. Instrumen kepegawaian
3. Instrumen keuangan negara
4. Instrumen benda publik.
2. Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penulisan hukum ini adalah penelitian
hukum normatif yang berfokus pada
norma hukum positif berupa peraturan
perundang-undangan (bahan hukum
primer) sebagai bahan utama dan buku-
buku, pendapat para ahli, media massa,
surat kabar, maupun majalah (bahan
hukum sekunder) sebagai data
pendukungnya. Bahan dan data yang
digunakan merupakan data kumulatif yang
diperoleh dan dimanfaatkan dari data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari
buku-buku, jurnal, dan berbagai sumber
informasi lainnya yang berasal dan
diperoleh dari media cetak maupun media
elektronik yang berkaitan dengan
penelitian serta mendukung data yang
dikumpulkan guna mendukung penelitian
yang dilakukan tentang “Pelaksanaan
Kewenangan Diskresi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan”.
Penulisan hukum normatif ini, data yang
digunakan berupa:
a. Bahan Hukum Primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945
2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara
3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, yang sebagian
isinya telah dirubah dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
4) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
5) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana
7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara.
8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yang sebagian isinya telah diubah dan
diganti dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
9) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah
b. Bahan Hukum Sekunder:
Sumber data yang datanya diperoleh
langsung dari obyek penelitian di lapangan
melalui wawancara dengan narasumber
serta bahan-bahan hukum yang didapat
dari pendapat hukum, buku-buku, artikel,
internet, yang tentunya berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti.
3. Metode Pengumpulan Data:
a. Metode Pengumpulan bahan hukum
dilakukan dengan studi kepustakaan guna
memperoleh bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder dengan cara
mempelajari berbagai peraturan
perundang-undangan, buku-buku, serta
artikel dan jurnal yang diperoleh dari
makalah atau internet yang berhubungan
dengan obyek penelitian.
b. Penulis juga melakukan pengumpulan
data melalui wawancara, yaitu
mengadakan tanya jawab dengan
narasumber yang berkaitan dengan
7
permasalahan yang akan diteliti untuk
memperoleh data sekunder. Metode
wawancara yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode wawancara
terpimpin yaitu dengan menggunakan
pedoman daftar pertanyaan yang telah
disusun Penulis sehubungan dengan
masalah yang diteliti.Penulis melakukan
wawancara dengan narasumber yang
mempunyai relevansi dengan
permasalahan yang diteliti. Sesuai dengan
fokus penelitian ini, maka narasumber
dalam penulisan hukum ini mencakup:
1) Dr. Ridwan, SH., MHum. (Dosen
Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia)
2) Umar Dani, SH., MH. (Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta)
3) Suhasto Nugroho, SH. (Kasubbag
Dokumentasi Hukum pada Biro Hukum
Pemerintah Daerah, Daerah Istimewa
Yogyakarta)
4. Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan
secara lengkap, selanjutnya
disistematisasikan untuk dilakukan
analisis. Metode yang digunakan dalam
menganalisis adalah deskriptif kualitatif
dengan alur berpikir deduktif, yaitu mulai
dari peraturan hukumnya dan dibawa ke
dalam masalah yang sebenarnya.
Deskriptif adalah menganalisis data
dengan cara memaparkan secara terperinci
dan tepat tentang suatu fenomena tertentu
terkait dengan penulisan hukum ini.
Kualitatif adalah menganalisis pemaparan
hasil-hasil penulisan yang sudah
disistematisasikan tersebut dengan cara
yang didapat dari teori-teori hukum dan
hukum positif untuk dapat menjelaskan
permasalahan penelitian hukum ini dalam
bentuk kalimat yang logis, bersifat ilmiah,
dan mudah dipahami. Bahan dan data yang
digunakan merupakan data kumulatif yang
diperoleh dan dimanfaatkan dari data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari
buku-buku, jurnal, dan berbagai sumber
informasi lainnya yang berasal dan
diperoleh dari media cetak maupun media
elektronik yang berkaitan dengan
penelitian serta mendukung data yang
dikumpulkan guna mendukung penelitian
yang dilakukan tentang “Pelaksanaan
Kewenangan Diskresi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan”.
Penulisan hukum normatif ini, data yang
digunakan berupa:
a. Bahan Hukum Primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945
2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara
3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, yang sebagian
isinya telah dirubah dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
4) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
5) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana
7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara.
8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yang sebagian isinya telah diubah dan
diganti dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
9) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah
b. Bahan Hukum Sekunder:
8
Sumber data yang datanya diperoleh
langsung dari obyek penelitian di lapangan
melalui wawancara dengan narasumber
serta bahan-bahan hukum yang didapat
dari pendapat hukum, buku-buku, artikel,
internet, yang tentunya berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti.
3. Metode Pengumpulan Data:
a. Metode Pengumpulan bahan hukum
dilakukan dengan studi kepustakaan guna
memperoleh bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder dengan cara
mempelajari berbagai peraturan
perundang-undangan, buku-buku, serta
artikel dan jurnal yang diperoleh dari
makalah atau internet yang berhubungan
dengan obyek penelitian.
b. Penulis juga melakukan pengumpulan
data melalui wawancara, yaitu
mengadakan tanya jawab dengan
narasumber yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti untuk
memperoleh data sekunder. Metode
wawancara yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode wawancara
terpimpin yaitu dengan menggunakan
pedoman daftar pertanyaan yang telah
disusun Penulis sehubungan dengan
masalah yang diteliti.Penulis melakukan
wawancara dengan narasumber yang
mempunyai relevansi dengan
permasalahan yang diteliti. Sesuai dengan
fokus penelitian ini, maka narasumber
dalam penulisan hukum ini mencakup:
1) Dr. Ridwan, SH., MHum. (Dosen
Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia)
2) Umar Dani, SH., MH. (Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta)
3) Suhasto Nugroho, SH. (Kasubbag
Dokumentasi Hukum pada Biro Hukum
Pemerintah Daerah, Daerah Istimewa
Yogyakarta)
4. Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan
secara lengkap, selanjutnya
disistematisasikan untuk dilakukan
analisis. Metode yang digunakan dalam
menganalisis adalah deskriptif kualitatif
dengan alur berpikir deduktif, yaitu mulai
dari peraturan hukumnya dan dibawa ke
dalam masalah yang sebenarnya.
Deskriptif adalah menganalisis data
dengan cara memaparkan secara terperinci
dan tepat tentang suatu fenomena tertentu
terkait dengan penulisan hukum ini.
Kualitatif adalah menganalisis pemaparan
hasil-hasil penulisan yang sudah
disistematisasikan tersebut dengan cara
yang didapat dari teori-teori hukum dan
hukum positif untuk dapat menjelaskan
permasalahan penelitian hukum ini dalam
bentuk kalimat yang logis, bersifat ilmiah,
dan mudah dipahami.
3. Hasil dan Pembahasan
Pembagian wewenang berdasarkan
pada sifatnya, wewenang Diskresi
merupakan salah satunya selain wewenang
terikat dan wewenang fakultatif. Meskipun
pada pembahasan di atas sudah
menyinggung sedikit mengenai
kewenangan bebas atau kewenangan
diskresi, pada pembahasan kali ini akan
dipaparkan lebih terperinci lagi terkait
kewenangan diskresi, paling tidak yang
akan dipaparkan ialah mengenai pengertian
dari kewenangan diskresi, tujuan
digunakannya kewenangan diskresi dan
yang terakhir mengenai ruang lingkup dari
kewenangan diskresi.
Hal tersebut, akan dijadikan pula
sebagai batasan dalam pembahasan kali ini
yaitu “pelaksanaan kewenangan diskresi
dalam penyelenggaraan pemerintahan”,
atau dengan kata lain kewenangan diskresi
yang dipaparkan di dalam pembahasan kali
ini hanya terbatas pada aspek
pelaksanaannya saja, sehingga pada titik itu
lah ketika berbicara mengenai kewenangan
diskresi bukan lagi soal bisa atau tidak
digunakannya kewenangan tersebut,
melainkan pada benar atau salah
digunakanya kewenangan tersebut.
Nampaknya, hal tersebut cukup
beralasan, mengingat sekarang kewenangan
diskresi itu sendiri sudah diatur dalam
hukum positif Indonesia tepatnya dalam
UUAP, dan selanjutnya tinggal bagaimana
Badan atau Pejabat Pemerintahan akan
menggunakanya dalam penyelenggaraan
9
pemerintahan guna mewujudkan tugas dan
tanggungjawab yang telah berikan
kepadanya.
Pengertian Diskresi dari segi bahasa
adalah kebijaksanaan, keleluasaan,
penilaian, kebebasan untuk menentukan.
Diskresi berarti kebebasan untuk
menentukan atau memilih, tergantung
kepada kebijaksanaan seseorang. Dengan
demikian dapat dikemukan bahwa yang
dimaksud dengan kewenangan diskresi
yang relevan dengan pembahasan ini adalah
wewenang bagi pejabat publik untuk
bertindak berdasarkan kebijaksanaannya
sendiri, berdasarkan pertimbangannya
sendiri, dan kekuasaan seseorang untuk
mengambil pilihan melakukan atau tidak
melakukan tindakan, sehingga kewenangan
diskresi diartikan sebagai sarana yang
memberikan ruang gerak bagi Badan atau
Pejabat Pemerintahan administrasi negara
untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Kewenangan diskresi yang
mengandung arti kebebasan bertindak bagi
pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kendala pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan terjadi
ketika dipertentangkannya kewenangan
diskresi dengan asas legalitas
pemerintahan. Hal tersebut kerapkali terjadi
atas dasar logika sederhana bahwa asas
legalitas yang lebih menekankan pada
tindakan pemerintah berdasarkan undang-
undang sedangkan wewenang diskresi atau
wewenang bebas yang lebih menekankan
pada tindakan pemerintah tidak semestinya
berdasarkan pada undang-undang. Dari situ
kemudian disimpulkan bahwa kedua
konsep tersebut adalah sebuah kontradiksi
sehingga kedua konsep tersebut
dipertentangkan.
Dengan demikian maka pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien
dan efektif untuk menciptakan stabilitas
pemerintahan seperti yang diharapkan
menjadi tidak bisa berjalan dengan baik.
Pemerintahan menjadi sangat lamban
ditengah banyak nya kebutuhan masyarakat
yang harus segera untuk dipenuhi.
Pemerintahan masih terkungkung oleh
berbagai peraturan perundang-undang
secara kaku. Padahal prinsip diskresi
menyatakan bahwa diskresi merupakan
sebuah keniscayaan dalam konsep negara
kesejahteraan seperti yang telah dipaparkan
pada pembahasan di atas. Sikap dan
mentalitas semacam itu menjadikan
penyelenggaraan pemerintahan menjadi
sangat lamban dalam merespons setiap
perubahan dan aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat, termasuk rendahnya
daya inovasi pelayanan kepada publik.
Pelaksanaan kewenangan diskresi
dalam penyelenggaraan pemerintahan
merupakan sebuah sistem kerjasama.
Sebagai sebuah sistem terdapat unsur-
unsur, dimana setiap unsur-unsur tersebut
memainkan perannya masing-masing agar
pelaksanaan wewenang diskresi tersebut
dapat berjalan dengan sebaik mungkin agar
bisa mencapai tujuanya yaitu
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
Unsur-unsur tersebut antara lain ialah
badan atau pejabat pemerintah dan para
penegak hukum. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa narasumber
menunjukkan bahwa dalam prakteknya ada
beberapa kendala-kendala yang terdapat
dalam pelaksanaan kewenangan diskresi
dalam penyelenggaran pemerintahan yaitu
tidak adanya keharmonisan diantara unsur-
unsur tersebut seperti yang telah disebutkan
di atas.
UUAP maupun peraturan terkait
lainnya tidak mengatur secara spesifik
mengenai sebuah mekanisme pengujian
terhadap terhadap bentuk atau produk
hukum dari tindakan pemerintahan yang
didasarkan pada wewenang diskresi.
Bentuk atau Produk hukum dari wewenang
diskresi itu sendiri dalam hukum
administrasi negara biasanya dikenal
dengan istilah Peraturan Kebijakan. Upaya
untuk mewujudkan pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih
efisien, efektif dan produktif perlu adanya
kesadaran dari Pejabat Tata Usaha akan
10
tugas dan fungsi nya. Terkait hal itu
tentunya perlu adanya pemahaman akan
konsep negara hukum materil dan konsep
dari wewenang diskresi oleh Badan atau
Pejabat Pemerintah. Hal tersebut sangat
diperlukan agar badan atau Pejabat
Pemerintah ketika menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya betul-betul sesuai
dengan konsep negara hukum materil dan
konsep dari kewenangan diskresi itu
sendiri. Pemahaman akan konsep
wewenang diskresi turut memberikan
pengaruh terhadap pelaksanaan
kewenangan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Upaya
untuk mengatasi kendala praktis seperti
yang telah dipaparkan di atas ialah perlu
ada keharmonisan akan wewenang diskresi
antara Badan atau Pejabat Pemerintah. para
penegak hukum. Perlu adanya kerangka
hukum yang menjamin hal tersebut mulai
dari peraturan perundangan yang berkaitan
dengan bagaimana wewenang diskresi itu
dilaksanakan, kemudian perauran
perundang-undangan yang berkaitan
dengan bagaimana penegakkan akan
wewenang diskresi ketika terjadinya
penyimpangan baik terhadap peraturan
perundang-undangan maupun asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Kemudian
dalam internal pemerintahan itu sendiri
perlu juga adanya keharmonisan antara
pejabat yang menggunakan wewenang
diskresi dengan pejabat yang mempunyai
wewenang untuk melakukan pengawasan.
Agar dalam pelaksanaan wewenang
diskresi itu sendiri tidak terjadinya sebuah
kontradiksi dengan pengawasan yang
dilakukan oleh internal pemerintah.
Kemudian terkait upaya untuk mengatasi
kendala-kendala seperti yang telah
diuraikan di atas ada beberapa langkah
konkrit yang perlu dilakukan Pertama,
secara teoritik berdasarkan apa yang telah
diuraikan di atas dapat dipahami bahwa
setiap tindakan pemerintah harus selalu ada
upaya hukum sebagai bentuk perlindungan
hukum bagi masyarakat. Mengingat
peraturan kebijakan itu sendiri ialah
tindakan pemerintah yang didasarkan pada
wewenang diskresi maka bila dikaitkan
kedua teori di atas lembaga yang paling
tepat untuk melakukan pengujian terhadap
peraturan kebijakan ialah lembaga
pengadilan yang melaksanakan kekuasaan
yudikatif. Dan hal tersebut perlu untuk
diagendakan dalam politik hukum sebagai
ius constituendum. Namun hemat penulis
agenda politik hukum yang dimaksudkan
tersebut lebih pada melengkapi sistem yang
telah ada, artinya cukup dilakukan dengan
melengkapi peraturan perundangan yang
ada agar lebih memberikan kepastian dalam
pelaksanaannya. Selain hal tersebut untuk
mengatasi kendala yuridis yang kedua
diperlukan sebuah agenda dalam politik
hukum untuk menentukan nomenklatur dari
peraturan kebijakan. Hal tersebut
diperlukan untuk memudahkan ketika
dilakukanya pengujian terhadap peraturan
kebijakan. Mengingat batu uji peraturan
kebijakan berbeda dengan batu uji
pengujian terhadap peraturan perundangan-
undangan. Pengujian peraturan kebijakan
menggunakan batu uji asas-asas umum
pemerintahan yang baik sedangkan batu uji
pengujian peraturan perundang-undangan
ialah asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan.
4. Kesimpulan.
Pelaksanaan kewenangan diskresi
dalam penyelenggaraan pemerintahan
merupakan sebuah konsekuensi logis dan
merupakan sebuah keniscayaan dari konsep
negara hukum materil, dimana dalam
Negara hukum materiil pemerintahan
merupakan kekuasaan Negara yang
diberikan tugas dan tanggungjawab untuk
menyelenggarakan kesejahteraan bagi
masyarakat, walaupun demikian bukan
berarti kewenangan diskresi dapat
digunakan dengan sebebas-bebasnya
melainkan harus tetap memperhatikan
batasan-batasan seperti yang diatur dalam
UUAP dan Asas-Asas umum Pemerintahan
Yang Baik (AAUPB).
Pelaksanaan wewenang diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintah ternyata juga
mengalami beberapa kendala yang
menyebabkan penyelenggaraan pemerintah
menjadi kurang efisien dan efektif. Setelah
menguraikan kedalam beberapa segi seperti
11
dari segi teori, segi praktis dan dari segi
yuridis. Dan berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh penulis ternyata kendala
tersebut yang membuat pelaksanaan
wewenang diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintah mengalami beberapa
problematik seperti kriminalisasi terhadap
Badan atau Pejabat Pemerintah, lambanya
pelayanan pemerintah terhadap masyarakat
yang membuat turunnya tingkat
kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah, serta pelanggaran hak-hak
masyarakat yang kerapkali dilakukan
Badan atau Pejabat Pemerintah. Sehingga
hemat penulis sendiri kenyataan semacam
ini merupakan persoalan serius yang tidak
boleh dibiarkan berlarut-larut, sehingga
perlu adanya upaya untuk
menyelesaikanya.
Upaya untuk menyelesaikannya
persoalan tersebut penulis juga
membahasnya kedalam tiga bagian, yaitu
dari segi teori, segi praktis dan segi yuridis.
Upaya tersebut sebetulnya bukanlah hal
yang mudah, karena akan melibatkan
semua pihak. Mulai dari kekuasaan
legilastif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif
melalui kekuasaan legislasinya perlu
mengagendakan sebuah kerangka hukum
untuk menjamin pelaksanaan wewenang
diskresi bagi Badan atau Pejabat
Pemerintah dan kekuasaan yudikatif dalam
melakukan penegakan terhadap
penyimpangan penyimpangan yang terjadi
akibat dilaksanakanya wewenang diskresi
tersebut. Hal yang tidak kalah penting nya
juga ialah perlu adanya peran masyarakat.
Masyarakat juga perlu memahami esensi
dari wewenang diskresi itu sendiri paling
tidak dengan begitu masyarakat bisa
menilai bagaimana penggunaan dari
wewenang diskresi itu sendiri apakah sudah
tepat sesuai ketentuan yang berlaku atau
malah justru menyimpangi aturan yang ada.
Semuanya itu untuk menjamin pelaksanaan
wewenang diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan berjalan dengan efisien dan
efektif dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan bagi masyarakat.
5. REFERENSI
Juniarso Ridwan. H dan Achmad Sodik
Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi
Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Penerbit Nuansa, Bandung.
Ni’Matul Huda, 2011, Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi, Penerbit FH UII,
Yogyakarta,
Ridwan, 2014, Diskresi dan Tanggung
Jawab Pemerintah, Penerbit FH UII,
Yogyakarta.
----------------------------, 2013, Hukum
Administrasi Negara (Edisi Revisi),
Rajawali Pers, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan.
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5601