Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No. 1, Januari 2019
77
Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua1
Fred Keith Hutubessy2 dan Jacob Daan Engel 3
Abstraksi
Kajian ini membahas tentang pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta dan persebaran wacana nasionalisme Papua. Situasi problematik Papua pasca integrasi dengan Republik Indonesia telah menjadi perhatian penting bagi dunia internasional. Fenomena kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)(HAM) sebelum dan sesudah integrasi dengan Indonesia menjadi keprihatinan bersama, khususnya bagi Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta. Berbagai aksi yang dilakukan komunitas ini merupakan wujud ekspresi pembebasan sebagai respon atas pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap masyarakat Papua selama ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua dilakukan dengan membangun resistensi terhadap konstruksi nasionalisme Indonesia. Hal itu dilakukan komunitas pergerakan melalui pemetaan musuh dalam melakukan perlawanan. Peran kapitalisme, imperialisme dan militerisme diidentifikasi sebagai musuh yang dengan sengaja dibentuk oleh penguasa (pemerintah Indonesia) untuk mendominasi bangsa Papua. Sakralitas sebagai bangsa Papua dianggap sebagai nasionalisme yang sesungguhnya ketimbang yang dikonstruksikan oleh penguasa di Indonesia.
Kata kunci: nasionalisme, gerakan mahasiswa, pelanggaran HAM, demokrasi, bangsa Papua/Papua
Abstract
This study discusses the movement of Papuan Student Alliance in Yogyakarta and the dissemination of the discourse of Papuan nationalism. The problematic human condition in Papua after joining the Republic of Indonesia has become an international attention. The phonomenon of human rights violations prior to and after the integration with Indonesia have became a common concern, especially for the Alliance of Papuan Students in Yogyakarta. Various actions have been carried out by this community as manifestations of expressing democracy and liberation in response to human rights violations in Papua. This study employs qualitative methods through observation. The result of the study shows that the movement of the Papuan Student Alliance has been conducted by building resistance to the Indonesian version of nationalism. To do this, the community members involved in the movement have mapped out common enemy (ies) for their struggle. Capitalism, imperialism and militarism are identified as the enemies that are deliberately formed by the authorities (the Indonesian government) to oppress the Papuan people. Sacrality as being Papuan nation is regarded as a real sense of nationalism rather than the sense of nationalism constructed by the Indonesian ruler.
Keywords: nationalism, student movement, human right violations, democracy, Papuans/Papua
A. Latar Belakang
Kajian ini menjelaskan tentang pola
pergerakan sakralitas-nasionalisme Aliansi
mahasiswa Papua dalam ruang solidaritas bersama
di Yogyakarta. Situasi problematik Papua dengan
Indonesia telah berlangusng cukup lama pasca
integrasi dengan Indonesia di Tahun 1969. Setelah
1 Untuk kutipan atau sitasi artikel ini: Hutubessy & Engel. 2019. “.Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua” Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol 6 (1): 77-93 2 Magister Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Kontak penulis: [email protected] 3 Magiter Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Kontak penulis: [email protected]
kejatuhan Soeharto, aksi massa seakan menyeruak
di permukaan publik. Bukan hanya di wilayah Jawa,
tetapi juga di Papua. Bedanya, aksi massa di pulau
Jawa khususnya di Jakarta sepertinya menyambut
dengan sukacita era reformasi atas kejatuhan rezim
otoriter yang telah berakhir. Di Papua saat itu,
proses kejatuhan Soeharto oleh para elit dan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
78
masyarakat lokal Papua dimanfaatkan dengan
melakukan strategi pergerakan dalam upaya
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Widjojo dkk, 2009 : 155-159).
Kekuatan mobilisasi dalam bentuk aksi
massa bukan dengan tanpa tujuan. Di masa
sekarang, pergerakan mahasiswa Papua di kota-
kota studi diluar Papua tampaknya semakin massif.
Beberapa laporan media cetak menyatakan aksi
mahasiswa Papua yang secara fundamental
menyuarakan tentang pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) dan meminta untuk melakukan
referendum sebagai bentuk sikap pemisahan diri
dari Indonesia (Lihat: https://tirto.id/aliansi-
mahasiswa-tuntut-papua-bebas-dari-kolonialisme-
indonesia-cNlm)
Pada kenyataannya, upaya penanganannya
selalu disikapi dengan tindakan represif oleh aparat
keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
permasalahan terkait kebebasan hidup orang Papua
dan bukan sekedar masalah klasik yang sudah lazim
terjadi di Papua, tetapi juga di luar Papua. Dari
penjelasan di atas pula, masalah krusial yang tak
pernah selesai khususnya adalah nasionalisme
dalam diri orang Papua yang dianggap memiliki
“nasionalisme ganda” (Meteray, 2012). Namun
demikian, persoalannya tidak pernah selesai, karena
akar permasalahan dari timbulnya berbagai konflik
sosial dan penyangkalan diri terhadap Indonesia
dari orang Papua yang tidak pernah diketahui
alasan-alasan rilnya dalam sejarah sampai saat ini,
karena kompleksitas masalah dalam memahami
Papua.
Padahal salah satunya menurut Bilveer
Singh, (Singh, 2008 : 22-26) dalam penelitiannya
tentang ‘Geopolitics and the quest for Nationhood,
sense of difference’ , munculnya perasaan berbeda
terjadi akibat perjumpaan-perjumpaan dengan
orang non-Papua misalnya Belanda, pendudukan
Jepang, dan perjumpaan dengan orang-orang
Indonesia di luar dari diri orang asli Papua dalam
konteks sejarahnya sehingga muncul tindakan pro
kontra dan penyangkalan diri terhadap eksistensi
Papua sebagai bagian dari Indonesia yang didukung
oleh beragam peristiwa yang turut membentuk
komplesitas masalah. Akibatnya, komplesitas
masalah itu menjadi bentuk persaingan dan memori
pahit terhadap tindak kekerasan dan konflik
berdarah yang terjadi sampai saat ini (Yoman, 2007
: 188). Bentuk Nasionalisme semacam ini menurut
Drooglever (2010) dianggap sebagai kegagalan
Indonesia dalam membangun konstruksi rasa
nasionalisme bagi bangsa Papua sebagai bagian dari
bangsa Indonesia dan NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia).
Meteray (2012) menemukan bahwa
“nasionalisme ganda” orang Papua adalah bagian
dari Indonesia dan justru merupakan bagian yang
khas dari Papua sendiri dalam konteks sejarahnya.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Suryawan
(2013) juga menemukan bahwa adanya fakta Papua
pernah dibentuk sebagai negara merdeka secara de
Facto tetapi kemudian karena persoalan konspirasi
kepentingan geopolitik antara Indonesia, Amerika,
Belanda, dan Australia maka integrasi dilakukan. Hal
senada juga dikemukakan oleh Drooglever (2010)
yakni Papua masuk ke dalam NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) dengan ‘paksaan’.
Padahal nasionalisme menurut Gellner dan Eriksen
(dalam Meteray, 2012: 259) adalah suatu produk
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
79
ideologi suatu negara moderen. Namun, ide tersebut
berasal dari sekelompok masyarakat yang memiliki
kesamaan etnis dan Ras. Selain itu karena adanya
kesamaan nasib tertekan atau ditindas dalam
berbagai bentuk termasuk kekerasan (Yoman,
2007) sehingga mereka berjuang untuk
mendapatkan kebebasanya melalui ideologi
nasionalismenya (Karma, 2014).
Terkait aspek pergerakan mahasiswa Papua,
Corputty (2007) dalam kajiannya menemukan
bahwa Aliansi Mahasiswa Papua memanfaatkan
primordialisme, kontekstual dan media massa
untuk mengembangkan isu referendum dan juga
organisasi ini menjadi wadah yang menyatukan
seluruh elemen pergerakan. Ia juga menjelaskan
bahwa gerakan perjuangan yang melibatkan
penyatuan berbagai kelompok, yang dibangun oleh
mereka seperti sebuah ‘mazhab bersama’ selalu
menuntut adanya kemampuan kelompok untuk
memengaruhi suatu gerakan perlawanan.
Ketidakmampuan dalam memperjuangkan
ideologinya adalah fakta ‘kekalahannya’ dalam
proses pertarungan merebut ‘mazhab bersama’
sebagai akses politiknya, baik di tingkat kelompok-
kelompok gerakan mahasiswa, maupun pada level
elit-elit Papua. Pamuji (2018) menemukan bahwa
nasionalisme Papua yang diseminasikan oleh Aliansi
Mahasiswa Papua adalah hal yang baru dan tersemai
ketika terjadi interaksi di dalam komunitas ini. Salah
satu hal penting yang ditemukannya juga
menjelaskan bahwa kekerasan dan perampasan
lahan serta eksploitasi sumber daya alam Papua
telah menyebabkan gerakan ini semakin masif.
Oleh karenanya, konteks sejarah Papua
melalui pergerakan mahasiswa yang membentuk
rasa nasionalisme Papua harus dipandang sebagai
pokok utama yang turut membentuk nasionalisme
Papua, tanpa memungkiri hasil-hasil penelitiaan
tentang komplesitas permasalahan bangsa Papua
dan di Papua yang telah dibahas sebelumnya
(Drooglever 2010; Osborne, 2001; Meteray, 2012;
Suryawan, 2013 ; Corputty, 2007 ; Pamuji, 2018).
Sejauh yang diketahui, dalam penelitian-penelitian
sebelumnya hanya membahas dari konteks sejarah
dan masalah penderitaan bersama dalam
membentuk pergerakan mahasiswa Papua.
Sementara itu, kajian yang mengedepankan aspek
hak asasi manusia (HAM) dan perjuangan
demokrasi dalam pergerakan mahasiswa Papua
dalam penelitian sebelumnya, belum dikaji secara
mendalam sebagai bagian yang integral dan
berperan dalam memahami pembentukan rasa
nasionalisme Papua di kalangan mahasiswa Papua
khususnya dan melalui pola pergerakannya. Karena
ternyata, situasi tersebut berkaitan erat dengan
pergerakan dan perjuangan terhadap hak asasi
manusia (HAM) dalam bingkai kemanusiaan sebagai
bentuk perlawan terhadap konflik yang
berkepanjangan. Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan mereka ingin bebas, dalam arti yang
luas dengan menghidupi nilai-nilai sakral dalam
kehidupan mereka. Sejatinya, hal ini telah
menghasilkan sakralitas-nasionalisme dalam diri
mereka. Suatu nilai sakral sebagai bangsa atau orang
Papua yang berbeda dengan Indonesia.
Artikel ini membahas lebih mendalam
tentang pergerakan Sakralitas-Nasionalisme Papua
dalam ruang solidaritas Aliansi mahasiswa Papua di
Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mengajak
pembaca menemukan motif pergerakan mahasiswa
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
80
Papua dan pergerakan sakralitas-nasionalisme yang
tumbuh dalam diri mereka.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mengembangkan sikap, perilaku, dan pengalaman
dalam menemukan data. Cara-cara yang digunakan
seperti obeservasi, wawancara secara individu dan
melalui pendekatan focus group discussion, serta
ditunjang juga oleh beberapa literatur berupa buku-
buku dan jurnal-jurnal Papua serta laporan dari
berbagai media. Sumber wawancara telah diperoleh
dari sejumlah mahasiswa Papua yang melakukan
aksi di kota Yogyakarta. Beberapa di antaranya
merupakan bagian dari kelompok Aliansi
Mahasiswa Papua. Kelebihan pendekataan ini,
secara langsung telah membangun hubungan
kedekatan antara peneliti dengan partisipan,
sehingga membentuk relasi yang tidak sebatas
kepentingan penelitian, tetapi juga dapat
membangun hubungan jangka panjang yang secara
substansi dapat menjaga keamanan dan keaslian
data (Creswell, 2010).
Studi ini juga telah memfokuskan kepada
identifikasi, deskipsi dan interpretasi data dan
analisa kritis ditemukan dengan membandingkan
relevansi antara teori dan data, sehingga
menghasilkan temuan dalam narasi motif
pergerakan mahasiswa Papua dan penyemaian
nasionalismenya.
C. Temuan dan Pembahasan: Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua dan Perjuangan HAM
Suatu pergerakan yang melibatkan aksi
massa mengisyaratkan sebuah kepentingan.
Persoalan lainnya ketika dikaji dengan
menggunakan perspektif antar komunitas yang
berkonflik, akan menghasilkan akumulasi dari
masing-masing kepentingan dalam posisi negatif
dan posisi positif. Akumulasi kepentingan yang tidak
terpenuhi, menyebabkan protes dilakukan. Pada
pokok pergerakan, hal paling fundamental dari
massa secara kolektif diupayakan untuk memenuhi
kepentingannya. Aksi protes jika dijelaskan dari
kajian studi-studi gerakan sosial salah satunya
menurut Tilly (1986), protes selalu digunakan oleh
para aktivis pergerakan sebagai bagian dari
tuntutan dalam perjuangan. Merujuk ide Tilly, bagi
Hiariej (2010 : 135), protes merupakan metode yang
tidak lazim dan juga keabsahannya dapat
dipertanyakan sebagai bentuk yang memengaruhi
dan mempertahankan hubungan kekuasaan dalam
kelembagaam. Aksi-aksi yang terdapat dalam
gerakan sosial jika dibenturkan dengan
kelembagaan secara terstruktur misalnya negara,
tentunya menghambat kebijakan struktural yang
juga tidak terlepas dari kepentingan. Namun,
dipihak lain merupakan sebuah impian untuk
melakukan transformasi secara struktural yang
tentunya jika dikaji lebih mendalam akan
menemukan pertautan kepentingan untuk
mendapatkan status quo.
Kajian ini juga membahas aksi gerakan
mahasiswa Papua yang melibatkan bentuk protes
seperti yang dikemukakan di atas. Penyebabnya,
tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang meliputi ;
nasionalisme yang berbeda, kekerasan yang
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
81
berakibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
terhadap bangsa Papua, serta ketimpangan sosial
pasca integrasi dengan Indonesia (Drooglever,
2010; Osborne, 2001; Meteray, 2012 ; Hutubessy,
2018). Hal demikian telah menjadi tema besar
dalam pokok perjuangan. Bagian dari tema besar ini
kemudian digunakan sebagai legitimasi bahwa,
aspek kemanusiaan penting untuk diperjuangkan
melalui aksi protes dalam perjuangan mereka,
meskipun dalam kenyataannya sarat dengan
pertautan kepentingan. Menurut (Wonda, 2007),
integrasi Papua ke Indonesia adalah awal kekerasan
terhadap bangsa Papua. Faktanya, integrasi Papua
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam perjanjian New York yang diimplementasikan
dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di
tahun 1969 yang bersifat represif dan sarat akan
kepentingan (Lihat Osborne, 2001 ; Drooglever
2010).
Pasca bergabung dengan Indonesia,
gerakan-gerakan perlawanan yang
mempresentasikan identitas semakin masif
melakukan protes terhadap proses integrasi dengan
Indonesia. Pada masa itu, pengibaran bendera
‘Bintang Kejora’ dilakukan sebagai bentuk protes
dan sebagai penanda identitas kelompok gerakan.
Bendera ini merupakan lambang negara Papua yang
secara de facto pernah dibentuk dalam manifesto
politik Nieuw Guinea Raad di tahun 1961. Nieuw
Guinea Raad adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bentuk representasi rakyat Papua dalam
Pemerintahan. Dewan ini hadir untuk
mempersiapkan kemerdekaan bangsa Papua. Secara
langsung, tampak pertautan ekspresi identitas
simbol telah menegaskan identitas berbeda dengan
Indonesia secara nyata di ruang publik.
Di masa kini, pokok pergerakan mahasiswa
Papua di sejumlah kota studi khususnya di
Yogyakarta tampaknya memiliki gaya dan semangat
yang sama seperti aksi massa di awal bergabung
dengan Indonesia. Kesamaannya tampak dalam aksi
protes yang dilakukan secara taktis dan masif
dengan menggunakan atribut bendera Bintang
Kejora . Hal ini dilakukan sebagai bentuk kesadaran
tentang permasalahan yang telah terjadi di Papua
pasca bergabung dengan Indonesia seperti pola
pergerakan yang dahulu dilakukan (Djopari, 1993).
Namun, hal yang membedakan adalah stigma dan
stereotipe atas pergerakan yang kian masif sehingga
berbeda dengan pergerakan di masa lalu. Stigma
dan sterotipe tentang agenda separatisme
mahasiswa Papua di kota-kota studi secara khusus
justru semakin memperkuat motivasi pergerakan
sehingga membedakannya dengan gerakan
mahasiswa Papua sebelumnya. Griapon (2018)
menjelaskan bahwa telah terjadi indoktrinasi di
publik luas di Indonesia yang meneguhkan stigma
negatif tentang gerakan mahasiswa Papua kini.
Pembohongan publik besar-besaran misalnya
disebarkan tentang pengetahuan sejarah Papua
menurut versi kekuasaan. Stigma buruk bahkan
membuat sebagian orang Indonesia menganggap
orang Papua itu “primitif” sehingga pemahaman
semacam itu terstruktur dan dibangun untuk
mengucilkan orang Papua. Dampaknya, setiap akan
membuat kegiatan, maka acapkali distigma sebagai
kegiatan yang tidak jelas orientasinya. Misalnya
macam orientasi kegiatan kelompok separatislah,
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
82
kriminal kah, ormas kah, juga sengaja dikondisikan
untuk itu wacananya ke publik di Indonesia.
Semangat kesadaran berbeda direspon oleh
pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua dengan
menyuarakan permasalahan dalam tema besar hak
asasi manusia, dan dalam tuntutannya mereka
meminta untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Organisasi ini awalnya dibentuk oleh mahasiswa
Papua yang berkuliah di Yogyakarta dan kemudian
secara sah didirikan 30 Mei 1998 di Jakarta. Aliansi
Mahasiswa Papua berorientasi dalam
memperjuangkan kemerdekaan Papua (Pamuji,
2018). Pokok pergerakannya sampai saat ini,
mereka telah melakukan pemetaan musuh bersama.
Musuh bersama Aliansi Mahasiswa Papua oleh
Douw (2018) dikatakan:
Kalau secara umum terutama soal aksi masa itu sendiri, boleh di bilang mulai tahun 1998 gerakan massa mulai bangkit di Indonesia, kawan-kawan mulai membentuk gerakan mahasiswa. Di sana metode perjuangan yang teman-teman dorong itu terutama aksi massa. Aksi-aksi dengan kekuatan mobilisasi massa.Awal yang mendorong itu terutama kesadaran kawan-kawan untuk memetakan siapa musuh sebenarnya. Misalnya AMP telah petakan soal imperialisme, awal munculnya imperialisme, sampai mendorong kolonialisme dan juga militerisme yang telah bertahun-tahun telah menghisap rakyat Papua dan alam Papua.
Foto: Aksi Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta mengunakan atribut bendera Bintang Kejora (Sumber: Koran Suara Kolaitaga Papua – situs online http://suarakolaitaga.blogspot.com – diblokir Kominfo sejak 1 Januari 2019)
Pada dasarnya, mereka berpendapat bahwa
dengan memetakan musuh bersama dapat
memberikan pemahaman secara komunal,
khususnya kepada masyarakat Papua agar dapat
memahami kebutuhan penting mereka selama ini.
Masyarakat Papua memiliki kebutuhan khusus
yakni demokrasi. Kebutuhan demokrasi
mengharuskan masyarakat Papua untuk hidup
sejahtera dan bebas untuk memilih hak dalam
hidupnya, Namun selama ini demokrasi telah
dibungkam (Griapon, 2018). Musuh bersama yang
telah dipetakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua,
menyiratkan dua hal penting yang saling bertautan.
Pertama, dampak kapitalisme kepada orang Papua
dalam sejarah perkembangannya telah
menghasilkan imperialisme. Struktur kapitalis yang
dominan telah berakumulasi dengan kekuatan-
kekuatan besar dan dilindungi oleh aparat
keamanan untuk mengamankan kepentingan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
83
penguasa (Griapon, 2018). Kedua, dampak
Kapitalisme, Imperialisme dan Militerisme di masa
lalu dan sekarang telah menghilangkan Hak asasi
manusia (HAM) Papua ( lih, Supriyono, 2014;
Widjojo dkk, 2009 ; Rahab, 2006).
Konsep kapitalisme tidak dapat dilepaskan
dari kritik Karl Marx. Baginya, kapitalisme bukan
merupakan respon dari aspek situasi politik, namun
aspek ekonomi yang merupakan faktor utama dalam
membentuk sistem kapitalisme (Bahari, 2010: 6).
Sistem ekonomi merupakan dasar yang
menyebabkan kepentingan dalam mencari
keuntungan sebesar-besarnya melalui sistem
produksi. Selanjutnya hasil dari keuntungan yang
didapatkan hanya dimiliki oleh sebagian pihak ,
yakni pemilik modal. Menurutnya, sistem
kapitalisme menyebabkan alienasi atau
keterasingan antara para pekerja (proletar) dan
kaum Borjuis (pemilik modal). Kerugian yang
dialami oleh para pekerja ialah hasil dari pembagian
jam kerja yang tidak sesuai dan harga produksi yang
telah ditentukan oleh pemilik modal menyebabkan
dominasi non konsensus kepada para proletarian
(Bahari, 2010 : 7).
Ide yang dikembangkan oleh Marx sejatinya
memiliki perbedaan konteks mendasar dalam
kondisi kapitalisme di Papua. Perbedaannya,
konteks Papua tidak melibatkan kelas pekerja
secara langsung, tetapi melibatkan pemilik sumber
daya alam. Aspek ekonomi merupakan salah satu
penyebabnya, namun tidak dapat diingkari bahwa
permasalahan Papua juga berkaitan pula dengan
aspek politik yang dalam pandangan kapitalisme
Marx mengingkarinya. Senis (2013: 44) dalam
penelitiannya menemukan bahwa kontrak karya
Freeport McMoran merupakan tolak awal
kapitalisme ekonomi di Papua. Eksploitasi sumber
daya alam berupa kekayaan tambang, hutan, laut
telah dikelola sedemikian rupa dan dikuasai oleh
pemilik modal dan elit politik untung mendapatkan
keuntungan. Mengingat aspek politik yakni negara
memainkan peranan sentral terkait eksistensi
Freeport McMoran di Indonesia dan berakibat
kepada sejumlah pelanggaran HAM berat di Papua
(Benny Giay dan Yafet Kambai, 2003 : 41). Pada
akhirnya, posisi kapitalisme di Papua berdampak
pada kondisi diabaikannya hak asasi manusia
(HAM).
Aristoteles sebelumnya telah memberikan
konsep bernegara atas dasar hukum. Baginya,
negara seharusnya menjamin kehidupan bernegara
untuk mencapai keadilan atas nama hukum,
termasuk hak asasi manusia (HAM) bagi setiap
warganya. Pemikir barat salah satunya John Locke
telah menjelaskan bahwa Hak asasi manusia (HAM)
merupakan sebuah konsep pemberian yang secara
alami. Menurutnya, God is the author of the natural
law. Ia mengakui bahwa keberadaan Tuhan
menjadikan hak ini perlu diakui secara moral dan
semuanya berasal dari Tuhan. Baginya, negara harus
memiliki peranan penting dalam melindungi
kepentingan manusia sebagai warga negara (Locke,
1959: 69-70). Berbeda dengan Locke, posisi hak
asasi manusia (HAM) menurut Hannah Arendt
(1962) bersifat paradoks dan tidak berarti apa-apa
tanpa adanya komunitas yang mewadahi. Manusia
pada hakekatnya memiliki hak asasi, namun pada
kenyataanya mereka tidak memiliki hak dalam
mendapatkan haknya. Pemikiran Arendt
dipengaruhi oleh posisinya sebagai penganut
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
84
Republikanisme yang cenderung memandang
struktur komunitas memengaruhi pola eksistensi di
ruang publik. Ia cenderung mengkritisi pemikir
dahulu seperti John Locke, Thomas Hobbes dan
Immanuel Kant (Hardiman, 2011: 26-29) dengan
mendasarkan kepada ide abstrak yang
dikembangkan mereka dalam ruang liberal.
menurutnya, kebebasan hak asasi hanya bersifat
individu-individu yang berjuang tanpa wadah alasan
adi kodrati. Sementara itu, kebangkitan liberalisme
yang diawali oleh individu-individu yang sadar
kebebasan dan mencoba melawan tirani kekuasaan
pada konteks abad ke 17 hanya bersifat pra politis.
Baginya, tanpa negara, tidak ada hak yang bisa
dilindungi.
Konteks Indonesia dimungkinkan
berkorelasi dalam ide besar Arendt yang
menjunjung tinggi hukum sebagai cita-cita bersama
untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyatnya
termasuk hak asasi manusia (HAM). Secara legal,
Indonesia turut serta menjamin kehidupan hak
asasi manusia-manusianya. Sebelumnya di awal
reformasi, pemerintah melegalkan Peraturan
Perundang-undangan No. 39 Tahun 2009 dan
sebelumnya No 29 Tahun 2000 tentang hak asasi
manusia (HAM)cdan pengadilannya. Tujuannya,
untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran
HAM yang selama ini terjadi di Indonesia, khususnya
di masa Orde Baru (Winandi, 2009). Meskipun
demikian, apa yang telah diupayakan melalui
undang-undang ini belum secara signifikan
menjamin hak asasi warganya khususnya dalam
konteks Papua (Sitepu, 2017). Pada akhirnya,
negara kemudian dianggap belum mampu untuk
melindungi hak asasi warganya.
Permasalahan ini dalam perkembangannya
telah mendorong kesadaran Aliansi Mahasiswa
Papua di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak
yang selama ini belum dirasakan dalam kehidupan
masyarakatnya. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, aksi mereka semakin masif hingga kini.
Penelitian menemukan bahwa sifat pokok
pergerakan mereka yakni nilai kemanusian dalam
perspektif hak asasi manusia (HAM) telah
berkembang dan tidak lagi bersifat eksklusif. Oleh
karena itu, berbeda dengan temuan sebelumnya.
Corputty (2007) menjelaskan bahwa pola
perjuangan bangsa Papua cenderung bersifat
primodialisme. Namun dalam perkembangannya
kini yang ditemukan pergerakannya justru lebih
bersifat inklusif komunal. Menurut Douw (2018),
permasalahan yang dihadapi dalam gerakan Aliansi
Mahasiswa Papua bukan persoalan suku dan ras,
namun justru melawan sistem yang menghisap
kemanusiaan sehingga gerakan mahasiswa Papua
juga turut serta berafiliasi dengan gerakan-gerakan
pro-demokrasi lainnya yang mendukung ruang
demokrasi sebagai isu bersama.
Bagi orang Papua, musuh sebenarnya bukan
persoalan karena seseorang itu adalah ras Melayu,
atau suku Jawa, suku Makassar, suku Batak dan
sebagainya, tapi suatu sistem yang menghisap dan
meniadakan eksistensi kemanusiaan bangsa Papua.
Keadaan itu mendorong anggota komunitas dalam
Aliansi Mahasiswa Papua untuk melawan rezim
penguasa, sekaligus merangkul massa yang lebih
luas sebagai bentuk menyadarkan publik di
Indonesia bahwa sebenarnya musuh bagi bangsa
Papua bukanlah orang, etnis atau suku-suku lainnya
di Indonesia. Keterlibatan jaringan ini membuahkan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
85
hasil dengan bergabungnya komunitas lain yang
cair, seperti komunitas mahasiswa Yogyakarta di
Kulonprogo dan Cemara Sewu.
Pro-demokrasi pada hak ekatnya bukan
merupakan sebuah gerakan. Pro-demokrasi adalah
sebuah istilah yang diberikan kepada individu dan
organisasi paten maupun taktis yang memiliki
kesadaran demokrasi untuk berjuang di ruang
publik. Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta
merupakan bagian dari pro-demokrasi terkait isu-
isu HAM dan demokrasi yang sering diperjuangkan
(Mofu, 2019). Namun pengertian tentang pro-
demokrasi dapat diidentifikasi sebagai sebuah
kelompok gerakan apabila diamati dari pola
pergerakan di lapangan. Artinya, ketika kelompok-
kelompok yang bergabung dan melakukan aksi
bersama dalam label tersebut, maka pro-demokrasi
bukan lagi sebagai label ideologi, namun merupakan
gerakan komunal yang bersifat taktis. Ada dua
temuan penting dari bergabungnya Aliansi
Mahasiswa Papua di Yogyakarta dengan beberapa
organisasi lainnya di bawah payung label pro-
demokrasi.
Pertama, nilai perjuangan bersama tantang
ruang demokrasi dan hak asasi manusia (HAM)
Papua secara khusus dan yang lainnya seperti
kebutuhan masyarakat di Yogyakarta dapat
diperjuangkan. Hal ini dibuktikan oleh pandangan
aktivis Ernawati dari gerakan pro-demokrasi:
“Papua ini persoalan internasional. Orang Papua yang merasa ditindas ingin merdeka. Tapi kalau Papua merdeka, ada yang senang karena bisa lebih mudah menjarah sumber daya alam Papua” (Berita CNN, 2016).
Aktivis Papua Roy Karoba menganggap :
“Masyarakat Yogya sama seperti kami di Papua, banyak yang tertindas. Pemerintah lebih mementingkan perusahaan ketimbang rakyatnya sendiri. Kasus seperti itu terlihat pada petani di Kulon Progo dan Parangkusumo. Tindakan kami tidak mengancam secara fisik. Kami melakukan aksi damai, bukan angkat senjata. Yang harus dicermati adalah isu yang kami bawa: kebebasan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Kami menuntut solusi negara Indonesia yang mengaku demokratis ini untuk berbagai problem di Papua,” (Ibid).
Kedua, nilai perjuangan Aliansi Mahasiswa
Papua di Yogyakarta cenderung bersifat
oportunistik dengan mencari peluang untuk
memperkuat basis massa melalui isu bersama. Hal
lainnya, dengan bergabungnya AMP dalam koalisi
besar pro-demokrasi secara sadar telah menjadikan
isu Papua menjadi kuat dan masif. Dalam
wawancara dengan peneliti (Januari 2019), aktivis
Papua, Mofu, mengatakan :
“Dalam beberapa kesempatan, teman-teman dari pro demokrasi seringkali membuka ruang dengan mengajak untuk melakukan aksi bersama. Sa (saya) kira ini respon yang cukup baik.”
Peneliti memandang, koalisi dalam pro-
demokrasi telah terfragmentasi dalam memahami
isu Papua. Merujuk kepada pandangan Ernawati dan
Roy di atas, tampaknya saling bertentangan dan
mengalami kerapuhan dalam aspek konsensus
terhadap Papua untuk menentukan nasib sendiri
(merdeka) sebagai solusi yang selama ini selalu
menjadi tuntutan oleh Aliansi Mahasiwa Papua .
Kerapuhan yang terjadi tertutupi oleh isu bersama
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
86
hak asasi manusia (HAM) yang masih terus
diperjuangkan dalam ranah kawan bersama yang
telah dibangun.
Propaganda melalui sistem pendidikan
kepada masyarakat menurut Griapon (2018) adalah
penyebabnya. Entah itu orang Indonesia dan Papua,
ada yang mau terlibat dalam pergerakan, tetapi ada
yang tidak. Diantara mereka yang ikut pergerakan
ada yang hanya berfokus pada isu pelanggaran HAM
saja, ada juga yang mengharuskan anggota
komunitas untuk isu kemerdekaan bangsa Papua,
dan lain sebagainya. Kondisi semacam itu
membuktikan adanya propaganda yang dipelihara
oleh kelas penguasa (elit) sehingga membuat
mereka tidak dapat dikritik untuk menjadi yang
lebih baik.
Pada akhirnya, meskipun banyaknya
tantangan berupa agitasi dan propaganda dalam
pola pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua di
Yogyakarta, namun konsep ke-kita-an bersifat
primodialisme sebagaimana yang diungkapkan oleh
Corputty (2007) bukan merupakan ideologi mereka
saat ini. Mereka memilih untuk mengelola
simpatisan massa dalam pergerakan yang anti
rasisme. Kesadaran demokrasi dan pemetaan
musuh bersama telah menyemai dalam pokok
pergerakan. Pada perkembangnya juga, mereka
turut peduli dengan kaum marginal lainnya dalam
isu HAM di Yogyakarta. Alasan senasib, menjadikan
nilai kemanusian dalam pokok pergerakan mereka
memiliki posisi tawar. Pokok pergerakan hak asasi
manusia (HAM) yang diupayakan, telah menjadikan
gerakan ini memiliki karakteristik yang kuat untuk
mencapai tujuan bersama.
Sejatinya, masifnya pergerakan mereka
diawali hilangnya hak asasi manusia (HAM) akibat
situasi konflik kekerasan yang dialami oleh mereka
seperti kekerasan struktural, kekerasan simbolik,
kekerasan fisik. Akumulasinya bertambah dengan
ingatan sejarah masa lalu yang telah membentuk
rasa nasionalisme yang berbeda dengan yang
dikonstruksikan oleh penguasa di Indonesia.
Akhirnya, mereka menuntut pelurusan pelanggaran
HAM kepada pemerintah dan sekaligus melakukan
pola penyadaran kepada masyarakat terkait hak
mereka yang telah dirampas melalui sejumlah aksi
massa di Yogyakarta.
Selanjutnya, dengan bergabungnya mereka
ke dalam koalisi bersama pro-demokrasi, telah
berdampak signifikan dalam pergerakan melalui
label kemanusian. Namun, nilai kemanusiaan yang
diupayakan bersama dalam koalisi ini memiliki
tantangan. Salah satunya ialah meyakinkan ideologi
perjuangan mereka untuk menentukan nasib sendiri
melalui kemerdekaan dan terlepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sesuatu isu
yang masih belum diterima oleh beberapa anggota
komunitas lainnya dari gerakan pro-demokrasi di
Indonesia.
D. Analisis Kritis: Persemaian Sakralitas Nasionalisme Bangsa Papua
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta
bukan dengan tanpa alasan. Namun tersirat
pertanyaan lain, sebenarnya nasionalisme macam
apa yang berakar dalam diri mereka? Nasionalisme
Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan
integrasi, ataukah nasionalisme yang berbeda
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
87
dengan warga negara Indonesia lainnya? Mengingat
ada dua hal penting dalam konteks nasionalisme
disana. Pertama, telah cukup lama Papua bergabung
dengan Indonesia. Kedua, telah banyak yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk Papua
melalui berbagai kebijakan afirmatif salah satunya
Otonomi Khusus . Demikianlah dalam pembahasan
ini akan dibahas hubungan antara nasionalisme
yang berkembang di dalam diri orang atau bangsa
Papua dan hak asasi manusia (HAM) yang telah
dibahas sebelumnya. Kajian sejarah, antropologi,
dan politik cukup berperan penting dalam
menjelaskan terbentuknya sakralitas-nasionalisme
Papua.
Konteks sejarah Papua menarasikan hal
yang menarik dalam persentuhannya dengan dunia
luar, khususnya berkaitan dengan kepercayaan yang
niscaya membangun konsep kehidupan Papua hari
ini. Cargo cult atau kargoisme merupakan
kepercayaan pribumi yang berkembang di wilayah
Melanesia. Narasi dogmatis dalam kepercayaan ini,
menyakralkan seorang sosok yang dipercayai akan
membawa kebahagian dan kedamaian
(messianistic). Sebut saja misalnya, kepercayaan
Kuri dan Pasai, kepercayaan Manarmakeri,
kepercayaan Hai, dan lain sebagainya (Suabey,
2017; Kamma, 1972; Suryawan, 2017) terdapat
dalam kultus kargo ini. Menurut Benny Giay (dalam
Suryawan, 2017) menyoroti pertentangan antara
“Teologi Pribumi Papua dan Kekristenan”.
Menurutnya, dogma kekristenan cukup
memengaruhi subjektivitas berpikir komunitas
Kristen di Papua bahwa, “kegelapan” berasal dari
kepercayaan pribumi dan Kekristenan telah datang
membawa “terang” menuju peradaban. Dampaknya
menurut Giay (Suryawan 2017), tidak sedikit
komunitas-komunitas Teologi Pribumi yang
dipenjarakan, dibakar rumahnya dan mengalami
kekerasan simbolik yang mengancam psikologi
mereka.
Peran Kekristenan saat itu terjadi karena
identitas Kekristenan disebarkan melalui peran
Zending (pekabar injil). Persentuhan antara Teologi
Pribumi dan peran Zending justru telah membentuk
“sakralitas-nasionalisme Papua dengan
menggabungkan nilai kedua nilai ini (Hutubessy,
2016). Meskipun di dalam pergerakannya,
terkandung hegemoni politik bersifat mutualistik
yang hingga saat ini masih dihidupi dan dihidupkan
oleh orang Papua, khususnya Aliansi Mahasiswa
Papua melalui pergerakannya. Untuk memahaminya
lebih jauh, ada tiga fase penting dalam
pembentukan, konstruksi dan persemaian
nasionalisme orang Papua.
Pertama, fase hibriditas antara mitologi
pribumi dan Injil. Fase ini merupakan awal sebagai
landasan kuat sakralitas-nasionalisme Papua. Kajian
Meteray (2012) dan Singh (2008) menemukan
bahwa Izaak Samuel Kijne dan Jan Pieter Karl Van
Eechoud adalah para Zending yang telah
menumbuhkan semangat nasionalisme orang
Papua. Sementara itu, terdapat perbedan yang
mendasar dari proporsi kerja mereka yang
berpengaruh kepada dominanannya pola
penyemaian ini. Van Eechoud menyemaikan
nasionalisme di bidang pemerintahan, sedangkan
Kijne melakukan pendekatan yang mendasar secara
Teologis melalui pendidikan (Awom, 2012).
Menurut peneliti, dibandingkan Van
Eechoud, Kijne lebih dominan memberikan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
88
sentuhan nasionalisme, meskipun dalam pandangan
sebelumnya mengatakan tidak demikian. Mengapa?
Kijne membangun basis rasa bersama non subjektif
melalui sekolah peradaban. Sekolah ini didesain dan
dikonstruksikan untuk semua orang Papua yang
datang dari Mansinam ke Miei (Wanma, 2016: 27-
29). Hutubessy (2013) menemukan bahwa Kijne
melakukan hibriditas terhadap Teologi pribumi dan
Teologi Kristen melalui tiga hal penting, yakni injil,
pendidikan dan peradaban. Meskipun Injil
menggambarkan subjektivitas Kristen, namun inti
dari produk injil memiliki nilai kasih yang berlaku
universal. Kemudian, kasih ini diimplementasikan
melalui pendidikan yang bersifat kultural dengan
memanfaatkan hasil alam sebagai konsumsi
bersama dan membuat pola keteraturan dalam
lingkup pendidikan (Onim, 2004). Kemudian, hasil
dari hibriditas ini, telah menghasilkan banyak
kualitas dan kuantitas didikan sebagai cita-cita
Zending untuk membentuk sebuah peradaban bagi
bangsa Papua.
Teologi Pribumi sebelum kedatangan Kijne
di Miei memiliki kepercayaan mitologi kepada
sebuah batu yang terletak di kaki bukit Aitumieri.
Batu besar itu dipercayai orang Maniwak dapat
memberikan kemenangan saat berperang dengan
melakukan ritual di atasnya. Sesampainya ia di Miei,
ia pergi ke batu itu dan berdoa. Kemudian, dalam
doanya di tanggal 25 Oktober malam itu, ia
mengatakan sebuah kalimat yang popular saat dan
dipercayai sebagai nubuatan kepada bangsa Papua:
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”(Hutubessy F. K., 2013).
Wanma (2011) menjelaskan secara subjektif
konteks batu ini dalam perspektif ajaran Kristen.
Dalam bukunya, ia menghubungkan beberapa tokoh
Alkitab yang menggunakan media batu yang
ditafsirkan sebagai penanda dalam kepercayaan
kekristenan. Pada persepktif ini, Kijne tidak
menghilangkan salah satu dari nilai teologi ini,
namun justru melakukan hibridisasi. Filosofi makna
“kemenangan” orang Maniwak melalui batu
tersebut, juga dikembangkannya dalam makna nilai
yang sama, yakini kemenangan bagi orang Papua
saat itu. Implementasi nilai kasih dalam injil,
bertransisi melalui pendidikan sehingga
menghasilkan peradaban Papua untuk bangkit dan
memimpin dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan
sebelumnya, bahwa hibriditas antara kedua
pendekatan teologi ini bersifat hegemoni namun
mengandung sifat mutualistik. Namun, ruang
hibriditas, telah membentuk memori kolektif yang
dalam perkembangannya menurut (Hutubessy
2013), merupakan awal dari pembentukan spirit
pembebasan yang menghasilkan Sakralitas-
Nasionalisme Papua dan oleh pandangan (Suryawan
2017) telah menghasilkan gerakan keagamaan baru
dalam situasi politik Papua saat ini.
Fase Kedua, merupakan masa transisi.
Mengapa demikian? Hal ini merupakan bagian dari
fase peralihan nilai yang abstrak kepada
implementasi tindakan yang nyata. Ingatan tentang
mitologi pribumi bersifat abstrak
diimplementasikan oleh aksi murid-murid Kijne
dalam mempersiapkan sebuah negara Papua di
Tahun 1961 dengan landasan produk Nasionalisme
yang telah tersemai dalam diri mereka. Fase transisi
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
89
ini menurut Hutubessy (2016) diawali dengan
pembentukan Nieuw Guinea Raad, yang beberapa di
dalamnya terdapat murid-murid hasil didikan Kijne
di sekolah peradaban. Beberapa murid-murid Kijne
yang memilih jalur pemerintahan, berjumpa pula
dengan Van Eechoud dalam sekolah Bestuur
(Meteray, 2012 : 135). Tugas mereka ialah membuat
manifesto politik yang di dalamnya terdapat ketiga
unsur penting untuk mendirikan sebuah negara
Nederlands Nieuw Guinea yaitu, Bendera Bintang
Kejora, simbol burung mambruk, dan lagu Hai,
Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan
(Suryawan, 2013). Manifesto politik ini memiliki
entitas yang sakral. Misalnya menurut Hutubessy,
(2016), simbol bintang di dalam bendera Bintang
Kejora diadopsi dari mitologi Manarmakeri (Nonie
Sharp, Markus Wonggor Kaisiepo, 1994; Kamma,
1972) yang merupakan tradisi cargo cult
masyarakat Biak yang di dalamnya bermakna
kehidupan yang penuh dengan kedamaian (korer).
Selanjutnya, entitas burung Mambruk
sebagai lambang negara juga memiliki filosofi
keteraturan. Hal ini ditemukan dalam cara Mambruk
untuk bertahan hidup secara teratur. Oleh
karenanya, nilai ini yang diharapkan oleh Nieuw
Guinea Raad kepada orang Papua sebagai bagian
dari imajinasi sebagai sebuah negara merdeka.
Sedangkan yang terakhir, lagu Hai Tanahku Papua
sebagai lagu kebangsaan merupakan lagu karangan
Izaak Samuel Kijne. Nilai dari syair lagu ini memiliki
filosofi untuk mengajarkan orang Papua agar
mengucap syukur kepada Tuhan oleh karena alam
yang berlimpah, dan juga memohon tuntunan Tuhan
untuk menuntun dan mengajarkan orang Papua
untuk selalu rajin dalam menyampaikan maksud
Tuhan. Lagu ini terdapat pada buku nyanyian
seruling emas nomor dua. Pada tradisinya,
nyanyianini dikumandangkan pada saat
peribadatan di Gereja (Hutubessy, 2016).
Pola nasionalisme dalam fase transisi juga
menggunakan metode hibriditas teologis, seperti
pola pada fase pertama. Mengapa demikian?
Manifesto politik yang di dalamnya terdapat ketiga
makna yang berbeda, dipersatukan ke dalam sebuah
ruang manifesto politik sebagai upaya melegalkan
tujuan bersama. Ruang manifesto politik disebut
penulis sebagai ruang nasionalisme yang sakral.
Oleh karena proses pembentukannya tetap
menggunakan pola yang lama dan tanpa
meninggalkan nilai Sakralitas-Nasionalisme pada
fase pertama. Secara nyata, fase transisi tidak
beralih bentuk, namun justru semakin kuat.
Fase ketiga merupakan fase pergerakan
sakralitas-nasionalisme Papua. Fase ini
berkembang setelah hancurnya impian untuk
mendirikan sebuah negara merdeka pasca 1
Desember 1961 dan bergerak hingga kini (Osborne,
2001; Suryawan, 2013, Hutubessy, 2016). Aktivitas
pergerakannya selalu bersifat ekspresif dan masif
dengan menggunakan atribut bendera Bintang
Kejora sebagai simbol perlawanan dan penegasan
identitas nasionalismenya. Identifikasi dalam fase
pergerakan sakralitas-nasionalisme bangsa Papua
dapat disusun dalam tabel berikut ini:
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
90
Tabel. Daftar Aksi Gerakan Massa di Papua 1971-
1999 (Sumber data sekunder peneliti)
Yang menarik, fase ini telah melakukan pola
transformasi simbol dalam mempertegas dan
memperkuat sakralitas-nasionalisme Papua. Pola
transformasi disebabkan oleh represivitas dari
pelarangan pengunaan atribut bendera Bintang
Kejora oleh pemerintah Indonesia yang dianggap
sebagai upaya melawan negara. (Hutubessy, 2016).
Dalam kenyataannya atribut ini meskipun
mengalami represivitas, namun justru menjadi
kecenderungan penggunaan simbol secara
fashionable, seperti misalnya pelekatan identitas
Bintang Kejora pada baju, topi, tas noken (tas rajut
asli Papua yang terbuat dari bahan alam seperti akar
kayu, anggrek dan benang), sebagai atribut tarian,
dan lain sebagainya. Simbol yang bersifat
fashionable tersebut tetap digunakan di ruang
publik dan menjadi fenomena yang berbeda untuk
menegaskan eksistensi pergerakan sakralitas-
nasionalisme Papua.
Dengan kata lain, berbeda dengan pendapat
yang diajukan oleh Pamuji (2018) dalam
penelitiannya yang menemukan bahwa kesadaran
nasionalisme dalam pergerakan Aliansi Mahasiswa
Papua tersemai sejak bergabung dengan komunitas
gerakan pro-demokrasi, tidak dapat sepenuhnya
mewakili fakta sejarah yang telah berlangsung di
dalam periode fase sakralitas-nasionalisme bangsa
Papua. Faktanya, tersemainya nasionalisme Papua
telah sejak lama berkembang melalui tahapan ketiga
fase sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Salah satu stimulusnya ialah keluarga sebagai pusat
pembentukan karakter yang telah menyemaikan
kesakralan nasionalisme sebagai orang Papua
dengan cara bercerita atau melalui tradisi tutur –
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
91
yang narasinya diwarisi oleh keluarga secara turun-
temurun. Di sisi lain, faktor yang semakan
memperkuat “rasa’ (sense) sebagai bangsa yang
berbeda (dengan sense sebagai bangsa Indonesia)
ialah fenomena kekerasan secara struktural,
simbolik dan fisik yang dialami baik secara langsung
dan tidak langsung oleh kebanyakan orang Papua.
Kesadaran yang lain juga melalui persamaan nasib
bersama melalui persentuhan dengan berbagai
orang Indonesia yang menjadi kelompok marjinal
lainnya dengan memetakan musuh bersama seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sadar akan kehilangan hak asasi dan ruang
demokrasi yang dibatasi, menyebabkan mereka
bergerak dalam pokok perjuangannya. Dalam
penelitian sebelumnya, Corputty (2007)
berpendapat bahwa pola perjuangan orang Papua
yang bersifat primodial dan belum mampu
memobilisasi massa dengan koalisi kelompok-
kelompok demokrasi lainnya telah dipatahkan
dengan perkembangan terakhir yang ditemukan
dalam pola perjuangan Aliansi Mahasiswa Papua
saat ini. Mereka justru lebih masif melakukan koalisi
dan kepedulian bersama dengan komunitas lainnya.
Inti dari pola Aliansi Mahasiswa Papua di
Yogyakarta ialah telah tersemai dengan kuat
sakralitas-nasionalisme dalam diri mereka.
Sejatinya, sakralitas-nasionalisme merupakan
paham yang terbentuk melalui cara dan rasa yang
mendalam terhadap identitas yang berkembang dan
dikembangkan dalam konteks mitologi, sejarah,
agama, gaya hidup, pengalaman baik dan buruk yang
menggerakkan individu dan kelompok masyarakat
dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap
benar untuk dilakukan dalam kehidupan orang
Papua, khususnya oleh Aliansi Mahasiswa Papua di
Yogyakarta.
E. Kesimpulan
Pokok pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua
memiliki hubungan sejarah perjalanan panjang pada
ketiga fase perkembangan Nasionalisme ini.
Faktornya berkaitan dengan ingatan kolektif
terhadap gagalnya membentuk sebuah negara dan
berbagai fenomena kekerasan menjadikan rasa
berbeda dengan Indonesia semakin kuat. Ideologi
ini kemudian tersemai melalui keluarga sebagai
locus pembentukan karakter awal. Analogi
sederhananya, anak-anak Papua lebih mempercayai
kakeknya di rumah, daripada guru mereka di
sekolah. Meskipun di dalam sistem pendidikan guru
lebih dominan mengajarkan nasionalisme Indonesia
di sekolah, namun pengajaran sakralitas-
nasionalisme dalam keluarga lebih kuat diajarkan.
Melalui indoktrinasi ideologis tentang
musuh bersama, gerakan ini secara sadar telah
membentuk dengan sistematis rasa berbeda dengan
Indonesia. Pada akhirnya konsep “ke-kita-an”
melalui terminologi “kawan” dan “lawan” menjadi
semakin kuat pula. Hal ini merupakan salah satu
faktor kekalahan dan kegagalan negara dalam
meyakinkan orang Papua untuk berbangsa dan
bernegara. Sehingga, mengakibatkan pola
pergerakan semakin masif melalui isu pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) dan pembungkaman
ruang demokrasi yang selama ini belum
terselesaikan dalam kehidupan mereka.
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
92
Daftar Pustaka
Arendt, H. 1962. The Origins of Totalitarianism. Ohio:
A Meredian Book.
Bahari, Y. 2010. “Karl Marx: Sekelumit Tentang
Hidup dan Pemikirannya.” Jurnal Pemikiran
Sosiologi dan Humaniora Volume 1 (1): 6-7.
Benny Giay dan Yafet Kambai. 2003. Yosepha
Alomang ; Pergulatan Seorang Perempuan
Papua Melawan Penindasan. Jayapura:
Elsham Papus.
Corputty, R. 2007. “Gerakan mahasiswa Papua :
Studi organisasi Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP) di Yogyakarta,” Tesis. Universitas
Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.
Creswell, J. W. 2010. Research Design "Pendekatan
Kulaitatif, Kuantitatif dan Mix Method.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djopari, J. R. 1993. Pemberontakan Organisasi Papua
Merdeka. Jakarta: Grasindo.
Drooglever, P. J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas!
Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. B. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia:;
Polemik dengan Agama dan Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Hiariej, E. 2010. “Aksi dan Identitas Kolektif
Gerakan Islam Radikal di Indonesia.” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14 (2):
135.
Hutubessy, F. K. 2013. “Memimpin Diri Sendiri:
Suatu Studi terhadap Pemaknaan Ungkapan
Pdt. Izaak Samuel Kijne”. Tesis. Universitas
Kristen Satya Wacana. Tidak dipublikasikan.
Hutubessy, F. K. 2014. “Panggilan Untuk
Membangun Solidaritas Kebangsaan dari
Tanah Papua.” Pax Humana No 23.
Hutubessy, F. K. 2016. “Nasionalisme Eksternal dan
Internal Papua.” Tesis. Universitas Gadjah
Mada. Tidak dipublikasikan.
Hutubessy, F. 2018. “Menguatnya Sakralitas
Nasionalisme Papua Dalam Fenomena
Kekerasan.” Jurnal Sintesa No 128.
J.G Sterlan dan J.A Godschalk. 1989. Kargoisme di
Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian Jaya.
Kamma, F. 1972. Messianic Movements in The Biak-
Numfor Area. The Hague, Martinus Nijhoff.
Locke, J. 1959. An Essay Concerning Human
Understanding. Collated and annotated by
Alexander Campbell Fraser. New York: Dover
Publications.
Meteray, B. 2012. Nasiomalisme Ganda Orang Papua.
Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Nonie Sharp, Markus Wonggor Kaisiepo. 1994. The
Morning Star in Papua Barat. North Carlton:
Arena Publications.
Onim, J. 2004. 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi
di Tanah Papua. Jayapura: GMT.
Osborne, R. 2001. Kibaran sampari Gerakan
Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi masyarakat (ELSAM).
Pamuji, R. 2018. “Nasionalisme Papua Dalam
Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua.”
Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Rahab, A. A. 2006. “Operasi-Operasi Militer di Papua:
Pagar Makan Tanaman?” Jurnal Penelitian
Politik LIPI No. 3.
Senis, Y. 2013. “Globalisasi dan Kemiskinan di Papua
Dalam Perspektif Gramsci.” Dinamika Sosial
No 45.
Singh, B. 2008. Papua Geopolitics and The quest for
Nationhood. New Jersey and London:
Transaction Publisher.
Suabey, R. S. (2017). “Analisis Fungsi dan Mitos Kuri
dan Pasai Bagi Masyarakat Asli Teluk
Wondama.” MELANESIA: Jurnal Ilmiah
Kajian Bahasa dan Sastra Vol 1 (2): 77-78.
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.1 2019 Sakralitas Nasionalisme Papua: Studi Kasus Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua Fred Keith Hutubessy dan Jacob Daan Engel
93
Suryawan, I. N. 2013. Jiwa Yang Patah. Yogyakarta:
Kepel Press .
Suryawan, I. N. 2017. “Lahirnya Zaman Bahagia:
Transformasi Teologi Pribumi di Tanah
Papua.” Jurnal Sosiologi Walisongo No 123.
Tilly, C. 1986. The Contentious French. Cambridge:
Harvard University Press.
Wanma, H. 2011. Cahaya Yang Pudar di Bukit
Peradaban Tanah Nieuw Guinea. Jayapura:
Andy Wijaya.
Wanma, H. 2016. Dominee Izaak Samuel Kijne ;
Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk
Tanah dan Bangsa Papua (Mansinam 23 Juni
1923 - Miei, Medio September 1958).
Yogyakarta: JW Press.
Widjojo, M. S. 2009. Papua Road Map, "Negotiating
the Past, improving the present and securing
the future". Jakarta: Kerjasama LIPI, yayasan
Tifa dan Yayasan Obor.
Winandi, W. 2009. “Reformasi dan Penegakan Hak
Asasi Manusia di Era Globalisasi’, dalam
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat,
Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika
Aditama.
Wonda, S. 2007. Tenggelamnya Rumpun Melanesia:
Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat.
Jayapura: Deiyai.
Yoman, S. S. 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia.
Jayapura: Cenderawasih Press.
Sumber lain (laman internet)
(https://tirto.id/aliansi-mahasiswa-tuntut-papua-
bebas-dari-kolonialisme-indonesia-cNlm)
Diakses 20 Oktober 2018
(https://jejaknasionalis.com/2018/10/01/lbh-
malang-pembubaran-massa-aksi-
mahasiswa-papua-penuh-dengan-
kekerasan/) Diakses 20 Oktober 2018
(http://jatim.tribunnews.com/2018/12/01/kenak
an-atribut-mirip-bintang-kejora-ratusan-
mahasiswa-papua-demo-di-jalan-pemuda-
tuntut-8-hal-ini) Diakses 20 Oktober 2018.
(https://kbr.id/nusantara/072016/sampai_semala
m__mahasiswa_papua_di_yogyakarta_masih
_terima_perlakuan_rasisme/83184.html)
Diakses 20 Oktober 2018.
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/201608
09081824-20-150076/aliansi-mahasiswa-
papua-gerakan-yang-kian-garang) Diakses 3
Januari 2019
(http://jogja.tribunnews.com/2018/10/04/ratusa
n-mahasiswa-papua-adakan-aksi-damai
;https://www.bbc.com/indonesia/berita_in
donesia/2016/07/160718_indonesia_papu
a_yogya) Diakses 3 Januari 2019
(https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-
4242395/mahasiswa-papua-di-yogya-
mengaku-terancam-ini responssultan)
Diakses 3 Januari 2019.
(https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
39031020) Diakses 3 Januari 2019