21
JURNAL SYIAR TANPA SYAIR (Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di Jawa) Disusun Oleh: BAYU ARDI ISNANTO D0208042 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

JURNAL SYIAR TANPA SYAIR (Video Dokumenter Tentang Tradisi … Tanpa Syair... · 2016. 2. 27. · Syeh Maulana Maghribi, Syeh Siti Jenar. Tiap-tiap wali memiliki wilayah penyebarannya

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • JURNAL

    SYIAR TANPA SYAIR

    (Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di

    Jawa)

    Disusun Oleh:

    BAYU ARDI ISNANTO

    D0208042

    PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2015

  • 1

    SYIAR TANPA SYAIR

    (Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di

    Jawa)

    Bayu Ardi Isnanto

    Chatarina Heny D. S.

    Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Abstract

    The spread of Islam in Java is one of the great historic events in the

    religious symbols of Islam in Indonesia. Walisongo who became the major

    character in the greatness, leaving a trail of cultural traditions that are used as a

    medium for spreading Islam, that was Sekaten. Ironically, society today is more

    familiar know Sekaten as a market rather than Sekaten as a means of spreading

    Islam.

    Sekaten is still held in several cities in Java, one in Surakarta. Sekaten in

    Surakarta still held the same as during the first Sekaten. However, over the ages,

    the implementation of Sekaten expanded into the domain of economy. Now,

    Sekaten also filled with entertainment and public market that sells various people

    needs with relatively low prices.

    This documentary can be a medium that leads people to know the

    meaning of real Sekaten. By understanding the meaning of Sekaten, surely, the

    tradition can be a reference to Muslims especially to preach without violence but

    with a particular approach that can be accepted by society.

    Keyword: Sekaten, spread of Islam, tradition

  • 2

    Pendahuluan

    Sekitar 10 abad wilayah Nusantara dikuasai oleh kerajaan Hindu-Budha.

    Mulai dari Kerajaan Kutai, Sriwijaya, hingga Majapahit. Bertahun-tahun pula

    budaya kerajaan tersebut mengakar hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat

    di Nusantara. Namun ketika Islam mulai masuk ke wilayah Indonesia, Islam dapat

    tersebar dan berkembang dengan pesat melalui perdagangan, kesenian, maupun

    perebutan kekuasaan wilayah kerajaan.1

    Penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah salah satu peristiwa yang sangat

    bersejarah dalam syiar agama Islam di Indonesia. Ada sebuah sarana syiar Islam

    yang hingga kini masih menjadi tradisi yang tiap tahun selalu digelar, yaitu

    Sekaten. Sekaten menjadi media dakwah Islam tanpa kekerasan karena

    penyampaian pesan-pesan keagamaan dalam sekaten menggunakan pendekatan

    budaya dan disimbolkan dalam beberapa benda seperti gamelan, gunungan,

    kinang dan lain sebagainya.

    Pesan yang disampaikan di dalam tradisi sekaten tidak hanya mengenai

    agama, tetapi juga pesan sosial, medis, dan ekonomi. Selain melalui pemaknaan

    simbol-simbol, penyampaian pesan juga melalui cerita-cerita yang dikemas

    menggunakan mitos. Penggunaan mitos dianggap lebih efektif karena masyarakat

    di masa itu belum mengenal sains. Mitos di sini berfungsi untuk

    mentransformasikan keterbatasan pengetahuan manusia.

    Upacara sekaten sarat dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat

    komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga dianggap sebagai

    penghubung dengan Tuhan. Setiap upacara tradisional biasanya diadakan dalam

    waktu dan periode tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung

    nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan

    para warga masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku2

    1 A. Djamil, dkk., Sejarah dan Kebudayaan Islam. Semarang, Toha Putra, 1984, hal 28

    2 Kundharu Saddhono, Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, Jurnal Pendidikan dan

    Kebudayaan (Depdikbud), 2009

  • 3

    Perumusan Masalah

    Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah :

    “Bagaimanakah keadaan sekaten dari masa ke masa, dari perubahannya

    sebagai media syiar Islam menjadi tempat hiburan dan pasar rakyat yang

    digambarkan melalui format film dokumenter?”

    Tujuan

    Tujuan dari tugas akhir ini adalah :

    Memberi pelajaran terhadap masyarakat tentang budaya lokal, terutama

    melalui sejarah sekaten yang awalnya ialah sebagai sarana penyebaran agama

    Islam. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan mengenal dan

    mengembalikan esensi sekaten yang sebenarnya.

    Tinjauan Pustaka

    1. Komunikasi Antar Budaya dan Inkulturasi

    Beberapa pendapat klasik mengatakan bahwa komunikasi dan

    kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Komunikasi adalah kebudayaan dan

    kebudayaan adalah komunikasi. Apabila komunikasi merupakan bentuk,

    metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka

    komunikasi adalah sarana transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan

    adalah komunikasi.3

    Beberapa fungsi sosial dari komunikasi antarbudaya diantaranya

    ialah sebagai penjembatan dan sosialisasi nilai. Melalui komunikasi,

    perbedaan-perbedaan latar belakang antara komunikator dan komunikan

    dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya

    saling menjelaskan tafsir dari sebuah pesan sehingga menghasilkan makna

    yang sama. Kemudian komunikasi juga berfungsi memperkenalkan nilai-nilai

    suatu kebudayaan kepada masyarakat dengan budaya yang lain. Dalam fungsi

    ini mungkin sering muncul ketidakpahaman terhadap perilaku-perilaku

    3 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hal 20-

    21

  • 4

    nonverbal yang disampaikan, namun yang lebih penting ialah bagaimana

    nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku nonverbal dapat ditangkap.4

    Pendekatan-pendekatan dalam berkomunikasi sangat penting

    dilakukan untuk kelancaran sebuah proses komunikasi, salah satunya dengan

    proses inkulturasi. Inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada

    masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa

    terdapat pada suatu tempat.5 Istilah inkulturasi sering digunakan dalam ajaran

    Katolik.

    Oleh Ary Roest Crollius (1984), inkulturasi dapat terjadi melalui tiga

    tahapan. Tahap pertama adalah akulturasi, yaitu ketika dua atau lebih budaya

    yang berbeda bertemu dan dapat berjalan beriringan. Menurut

    Koentjaraningrat (1990) titik penting dari akulturasi ialah bertahannya kedua

    unsur kebudayaan tersebut tanpa ada salah satu berusaha menghilangkan

    budaya yang lain. Tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi,

    yaitu ketika kebudayaan- kebudayaan tersebut mulai berpadu menjadi

    kebudayaan baru. Tahapan terakhir adalah transformasi, yaitu kedua

    kebudayaan direinterpretasikan terus-menerus ke arah bentuk kebudayaan

    baru dengan tidak kehilangan identitas dari masing-masing kebudayaan asal.6

    Dalam studi kebudayaan lokal, inkulturasi mengandaikan sebuah

    proses internalisasi sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal

    dalam konteks akomodasi atau adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam rangka

    mempertahankan identitas.7

    Seperti gagasan K.H.Abdurrahman Wahid yang mulai disuarakan

    sejak tahun 80-an, yaitu “pribumisasi Islam”. Ini adalah sebuah upaya

    rekonsialisasi Islam dengan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak

    menghilang, malah dapat menjadi sumber kekuatan bagi perkembangan

    4 Ibid, hal 40-41

    5 Hari Kustanto, Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, PPY, 1989,

    hlm.40. 6 Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2005, hal 338-339

    7 Anna Zakiyah Hastriana, Pribumisasi Hukum Islam Dalam Pesantren, Jurnal Al-Manahij 7.1,

    2013

  • 5

    Islam. Pribumisasi Islam bukanlah penggabungan atau perpaduan dengan

    budaya lokal, konsep ini hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan

    lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum

    itu sendiri. Berikut petikan tulisan Gus Dur di media Tempo, 16 Juli 1983.

    “Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka.

    Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya.

    Tidak diperlukan “Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa”. Islam tetap Islam, dimana

    saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya.

    Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?”8

    2. Sejarah Sekaten

    Tradisi sekaten berawal ketika masa Kerajaan Demak yang didirikan

    oleh Raden Patah setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.

    Ketika itu agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa, berpusat di

    Kerajaan Demak dengan pemuka agama yang dalam Agama Islam disebut

    wali. Para wali ini dikenal berjumlah sembilan orang, karena itu disebut Wali

    Songo. Nama mereka masing-masing adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang,

    Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria,

    Syeh Maulana Maghribi, Syeh Siti Jenar. Tiap-tiap wali memiliki wilayah

    penyebarannya masing-masing. Tiap tahun para wali itu mengadakan

    pertemuan di kota Demak. Pertemuan tahunan tersebut diselenggarakan pada

    bulan Rabiul Awal, tanggal 6 sampai dengan tanggal 12, tepat ketika

    memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.9

    Kesulitan dirasakan oleh para wali karena masih banyak masyarakat

    yang menganut agama Hindu yang merupakan ajaran Kerajaan Majapahit.

    Masyarakat masih sangat dekat dengan adat istiadat agama Hindu. Maka

    dalam syiarnya, para wali, terutama Sunan Kalijaga menggunakan

    pendekatan kebudayaan yang masih diusung oleh masyarakat Jawa. Beberapa

    8 Ibid

    9 Kundharu Saddhono, Loc.Cit.

  • 6

    cara yang dilakukan ialah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat

    atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya:

    a. Semedi

    Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada

    dewa-dewa. Karena agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti

    dengan memuja Allah SWT dengan dzikir dan sholat.

    b. Sesaji

    Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi

    makanan kepada dewa-dewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam

    diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin.

    c. Keramaian

    Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat

    kepada dewa-dewa, diganti keramaian menghormat hari raya dan

    peringatan Islam.

    Para wali juga mengetahui bahwa masyarakat sangat menyukai suara

    gamelan dan gemar dengan keramaian. Atas usul Sunan Kalijaga, para wali

    lalu mengatur penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

    dengan penyesuaian dengan tradisi rakyat pada waktu itu, yaitu mengganti

    kesenian rebana dengan kesenian gamelan. Untuk melaksanakan hal itu

    Sunan Kalijaga membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Nogo

    Wilogo.10

    Untuk memeriahkan perayaan itu, maka ditempatkanlah gamelan

    Kyai Nogo Wilogo di halaman Masjid Demak. Gamelan itu dipukul bertalu-

    talu tidak henti-hentinya, mula-mula dengan irama dan suara lembut dan

    halus, lama kelamaan dipukul keras-keras. Karena tertarik dengan bunyi

    gamelan yang nyaring mengalun tersebut, maka orang-orang dari berbagai

    penjuru datang berduyun-duyun ke pusat kota, sehingga alun-alun kerajaan

    Demak menjadi penuh sesak dibanjiri orang yang ingin menikmati kesenian

    gamelan dan menyaksikan keramaian yang diselenggarakan. Keramaian

    itulah yang kemudian disebut sekaten, dan yang sampai sekarang masih

    10

    Wawancara dengan K.P. Winarnokusumo, 14 Januari 2014

  • 7

    dilestarikan. Sementara gamelan dibunyikan, para wali bergantian

    memberikan wejangan dan ajaran tentang agama Islam di mimbar yang

    didirikan di depan gapura masjid.11

    Orang yang datang tersebut diperbolehkan juga masuk ke dalam

    serambi masjid tetapi harus terlebih dahulu membaca dua kalimat syahadat.

    Membaca kalimat syahadat adalah syarat bagi seseorang untuk memeluk

    agama Islam. Kalimat syahadat ditulis di gapura masjid agar dapat dibaca

    oleh masyarakat yang akan masuk ke dalam masjid. Gapura sendiri berasal

    dari bahasa Arab ghafura yang berarti ampunan. Ini merupakan doa sekaligus

    simbol bahwa setelah melewati gapura, orang akan mendapatkan ampunan

    dari Allah SWT.12

    Selain itu, sebelum masuk ke dalam masjid, orang-orang

    disuruh membasuh tangan, muka dan kaki mereka dengan air kolam luar

    serambi masjid dengan maksud berwudhu membersihkan diri dari kotoran.

    Demikianlah keramaian sekaten itu diselenggarakan sekali dalam

    setahun tiap bulan Rabiul Awal, dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 12.

    Tradisi sekaten ini tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan

    berikutnya hingga masa Kerajaan Surakarta.

    3. Prosesi Upacara Sekaten

    Prosesi pertama ialah miyos gongso. Miyos gongso adalah prosesi

    gamelan yang disimpan di dalam keraton diboyong keluar menuju halaman

    Masjid Agung melewati sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan

    dibunyikan selama tujuh hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling

    gamelan atau gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid

    Agung pada tanggal 5 Rabiul Awal. Miyos gongso disertai dengan kebiasaan

    lain yakni mengunyah kinang pada saat gamelan dibunyikan. Masih banyak

    masyarakat yang percaya, mengunyah kinang pada saat itu akan membuat

    awet muda. Selain mengunyah kinang, masyarakat juga antusias berebut

    11

    Kundharu Saddhono, Loc.Cit. 12

    Wawancara dengan K.P. Winarnokusumo, 14 Januari 2014

  • 8

    janur untuk memperoleh keberkahan. Ada pula telur asin, mainan pecut, dan

    celengan sebagai ciri khas sekaten.

    Puncak acara sekaten adalah grebeg maulud atau yang biasa orang

    menyebut gunungan. Pada prosesi ini, gunungan yang berisi hasil bumi dan

    kekayaan alam dikirab dari keraton menuju halaman Masjid Agung Surakarta

    untuk didoakan dan selanjutnya diperebutkan. Prosesi ini sekaligus

    mengakhiri segala prosesi sekaten di tahun tersebut.

    4. Simbol dan Makna dalam Sekaten

    a. Sekaten

    Kata “sekaten” berasal dari bahasa Arab syahadatain yaitu

    kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang merupakan syarat

    seseorang untuk masuk Islam. Selain berasal dari kata syahadatain,

    sekaten juga berasal dari kata beberapa kata:13

    1) Sakatain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat

    pengecut dan menyeleweng;

    2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat

    setan, karena watak tersebut sumber kerusakan;

    3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi

    suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan;

    4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai

    hal-hal yang baik dan buruk;

    5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat

    jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

    b. Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan

    Miyos gongso adalah prosesi ketika gamelan yang disimpan di

    dalam keraton diboyong keluar menuju halaman Masjid Agung melewati

    sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan dibunyikan selama tujuh

    13

    Tim Penulis Masjid Agung Surakarta, Sejarah Masjid Agung Surakarta, Yogyakarta, Absolute

    Media, 2014, hal 129-130

  • 9

    hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling gamelan atau

    gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid Agung

    pada tanggal 5 Rabiul Awal dan akan dibawa kembali ke keraton pada

    tanggal 12 Rabiul Awal sebelum prosesi Garebeg Maulud atau yang juga

    disebut gunungan.

    Gamelan tersebut berjumlah dua perangkat yang diberi nama

    Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Keduanya diletakkan di dalam

    bangsal Pradonggo di halaman Masjid Agung. Kyai Guntur Madu

    diletakkan di selatan, Kyai Guntur Sari diletakkan di utara.

    Kyai Guntur Madu memainkan gendhing Rambu yang berasal

    dari kata Robbuna yang berarti Allah Tuhanku, sehingga gamelan ini

    disimbolkan sebagai syahadat tauhid. Sedangkan, Kyai Guntur Sari

    memainkan gendhing Rangkung yang berasal dari kata Roukhun yang

    berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi

    atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata

    ‘barang kakung’ yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah,

    dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Dan kemudian

    gamelan Kyai Guntur Sari disimbolkan sebagai syahadat rasul.

    Kedua perangkat gamelan dibunyikan secara bergantian dari

    pukul 9 pagi hingga pukul 12 malam. Namun ketika waktu sholat lima

    waktu tiba, gamelan akan berhenti agar masyarakat dapat bersama-sama

    menunaikan ibadah sholat. Selain pada waktu sholat lima waktu, gamelan

    juga diistirahatkan pada hari Jum’at, karena hari Jum’at adalah hari

    agung bagi umat Islam.

    c. Kinang

    Dalam prosesi sekaten, terdapat tradisi mengunyah kinang.

    Tradisi ini diyakini oleh masyarakat dapat membuat awet muda.

    Mengunyah kinang atau dalam Bahasa Jawa nginang, dilakukan ketika

    gamelan mulai dibunyikan, yaitu pada tanggal 5 Rabiul Awal atau pada

    prosesi miyos gongso.

  • 10

    Kinang terdiri dari lima unsur, yang juga menyimbolkan rukun

    Islam yang jumlahnya juga lima. Kelima unsur itu adalah daun sirih,

    injet, gambir, tembakau, dan bunga kantil. Orang yang mengunyah

    kinang menggunakan tiga unsur yang terdiri atas suruh, gambir dan injet

    itu sudah enak, artinya orang yang sudah melaksanakan tiga rukun Islam

    yakni syahadat, sholat, puasa itu sudah baik, apalagi melakukan zakat

    dan haji, maka lebih sempurna.14

    Dalam dunia medis, masing-masing kandungannya berkhasiat

    bagi kesehatan tubuh. Kandungan inilah yang sebenarnya membuat awet

    muda. Banyak orang-orang tua kita yang masih berwajah cerah dan

    memiliki gigi yang utuh meskipun telah berusia lanjut. Tradisi ini

    dilakukan sebagai ajakan kepada masyarakat agar senantiasa hidup sehat.

    d. Gunungan

    Pada puncak acara sekaten yang dalam bahasa Jawa disebut

    Garebeg Maulud, terdapat upacara membawa gunungan dari keraton ke

    halaman Masjid Agung untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun

    pada kenyataannya, masyarakat tidak bisa tertib dan saling berebut untuk

    mendapatkan gunungan.

    Gunungan ialah wujud syukur kepada Allah SWT atas limpahan

    rejeki yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, gunungan

    dibentuk dari hasil bumi, seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.

    Disebut gunungan karena dibentuk seperti gunung yang semakin ke atas

    semakin kecil. Di atas gunungan juga tertancap bendera merah putih.

    Bendera merah putih merupakan bendera kerajaan Majapahit yang juga

    disebut gulo klopo, kemudian bendera ini juga digunakan kerajaan

    Mataram dan hingga saat ini digunakan sebagai bendera Republik

    Indonesia.

    Gunungan kakung dan putri melambangkan lingga-yoni atau

    organ vital lelaki dan perempuan. Dalam kehidupan, manusia terlahir dari

    14

    Ibid, hal 141

  • 11

    ayah dan ibu. Dan apabila diurutkan ke urutan teratas, manusia juga

    dimulai dari laki-laki dan perempuan, yaitu Nabi Adam AS dan Hawa.

    Gunungan kakung dibentuk dari bahan-bahan mentah, gunungan putri

    dibentuk dari makanan olahan. Ini melambangkan bahwa laki-laki yang

    berkewajiban mencari nafkah dan perempuan yang mengolahnya.

    Sedangkan gunungan anakan berisi makanan berwarna-warni yang

    melambangkan anak-anak.

    e. Makanan dan Mainan Khas Sekaten

    Dalam tradisi sekaten, terdapat makanan maupun mainan yang

    selalu dijual dan menjadi ikon dari sekaten. Tentunya mainan dan

    makanan tersebut juga merupakan simbol-simbol yang memiliki makna.

    1) Telur Asin

    Telur asin dalam Bahasa Jawa disebut endhog kamal atau

    endhog amal, yang dimaksudkan agar kita beramal. Selain itu, Ada

    pula yang menghubungkan dengan istilah dalam bahasa Arab, kamal

    berarti sempurna, yakni sempurna melaksanakan rukun Islam.15

    2) Pecut

    Pecut biasa digunakan oleh orang-orang dari desa ketika

    membajak sawah. Pecut digunakan untuk menggiring kerbau atau

    sapi, bukan digunakan untuk melukai hewan tersebut, sehingga pecut

    diibaratkan sebagai pengarah ke jalan yang benar.16

    Dan bunyinya pun memiliki makna bahwa pecut ini dapat

    melecut semangat pemiliknya, semangat untuk bekerja, beribadah,

    dll.

    3) Celengan

    Celengan juga dihubungkan dengan pecut di atas. Ketika

    orang membeli celengan, mereka akan semangat bekerja, semangat

    menabung dengan keinginan agar tahun berikutnya dapat kembali

    15

    Ibid, hal 143-144 16

    Ibid

  • 12

    datang ke sekaten dengan uang yang ditabungnya di dalam celengan.

    Kemudian ketika di sekaten, mereka membeli celengan lagi, dan

    begitu seterusnya. Sehingga hidup mereka penuh semangat, tidak

    hanya berdiam diri.

    4) Gasing

    Gasing ini dimaknai seperti hidup manusia yang selalu

    berputar. Dalam hidupnya, manusia boleh berputar ke mana saja,

    tetapi harus selalu pada porosnya, yaitu Allah SWT. Poros pada

    gasing ialah tiang di tengah gasing yang mengarah vertikal seperti

    hubungan manusia dengan Tuhannya.17

    Metodologi

    Tugas akhir ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Pawito

    (2007: 111) mengemukakan metode observasi (observation research) dilakukan

    untuk melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait

    dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode

    wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting yang

    melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas

    atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk

    mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir

    (Pawito, 2007: 132).

    Di dalam film dokumenter ini, penulis melakukan observasi di Alun-Alun

    Utara Surakarta yang merupakan lokasi diadakannya sekaten tiap tahunnya dan di

    Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan penyelenggara Sekaten. Penulis

    juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber dengan latar belakang

    akademisi, budayawan, dan perwakilan dari Keraton Kasunanan Surakarta.

    17

    Ibid

  • 13

    Sajian dan Analisis Data

    a. Judul

    Syiar Tanpa Syair

    b. Lokasi

    Keraton Kasunanan Surakarta, Masjid Agung Surakarta, dan Alun-Alun

    Utara Surakarta.

    c. Durasi

    19 menit 19 detik

    d. Segmentasi

    Masyarakat umum

    e. Film Statement

    Saat ini kebanyakan masyarakat, terutama kaum pemuda hanya

    mengetahui sekaten sebagai tradisi yang rutin digelar tiap tahunnya tanpa

    mengetahui fungsi dari tiap prosesi di sekaten. Sekaten hanya dikenal

    dengan keramaian dan hiburan rakyatnya. Padahal sekaten memiliki

    filosofi yang mendalam di tiap prosesinya. Dan sekarang tujuan asli

    sekaten sebagai media penyebaran agama Islam telah luntur.

    Dengan hilangnya pengetahuan tentang sekaten sebagai media

    dakwah Islam, masyarakat seperti kekurangan referensi untuk melakukan

    dakwah-dakwah Islam secara cerdas. Sekaten dibuat oleh para wali

    melalui proses berfikir yang cerdas, bagaimana agar Islam dapat diterima

    oleh masyarakat Jawa yang pada waktu itu menganut agama Hindu.

    Tentunya para wali adalah ulama-ulama yang dilebihkan ilmunya oleh

    Alloh SWT, sehingga segala tidakan yang dilakukan para wali semata-

    mata hanya berdasarkan keimanan.

  • 14

    Ringkasan Film

    Film dokumenter Syiar Tanpa Syair ini terdiri dari empat sekuen.

    1. Sekuen I

    Menggambarkan prosesi Miyos Gongso sebagai tanda bahwa sekaten

    telah dibuka. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa ajaran Islam telah

    dimasukkan ke dalam prosesi ini, seperti makna gamelan dan gendhing yang

    dimainkan, lalu juga diceritakan bahwa dahulu gamelan inilah yang dapat

    menarik minat masyarakat untuk masuk Islam.

    Gambar 1 : Gamelan dibawa masuk ke dalam Masjid Agung

    Sumber : dokumen pribadi

    Gambar 2 : Gamelan dimainkan para niyaga

    Sumber : dokumen pribadi

    Selain menceritakan sejarah sekaten menurut Keraton Surakarta,

    dalam sekuen ini terdapat pendapat akademisi, Prof. Dr. Dharsono, M.Si yang

    menganggap sekaten adalah politik kebudayaan. Dia menganggap demikian

  • 15

    karena sekaten digunakan para penguasa di masa itu agar masyarakat

    menyesuaikan pemerintahan di masa itu yang menganut agama Islam.

    2. Sekuen II

    Menjelaskan tradisi yang masih dilakukan masyarakat saat gamelan

    dibunyikan, yaitu berebut janur dan menginang. Selain itu, digambarkan pula

    bahwa sekaten memiliki ciri khas filosofis mengenai makanan dan mainan

    yang dijual di sekitar masjid, seperti telur asin, pecut, gasing, dll.

    Gambar 3 : Masyarakat berebut janur

    Sumber : dokumen pribadi

    Gambar 4 : Masyarakat menginang

    Sumber : dokumen pribadi

  • 16

    K.P. Winarnokusumo sebagai budayawan Keraton Kasunanan

    Surakarta menjelaskan tentang tradisi menginang yang ternyata memiliki

    banyak fungsi dari segi medis dan filosofis. K.G.P.H Puger sebagai kerabat

    Keraton juga menjelaskan tentang filosofi mainan yang terdapat di dalam

    sekaten.

    3. Sekuen III

    Sekuen ini menceritakan perkembangan sekaten di masa kini yang

    telah berubah bentuk maupun fungsi.

    Gambar 5 : Wahana Permainan Bianglala

    Sumber : dokumen pribadi

    Gambar 6 : Musik yang tidak sesuai semangat syiar Islam

    Sumber : dokumen pribadi

  • 17

    Keadaan sekaten yang telah berubah digambarkan dengan beberapa

    hal, yaitu seperti keramaian pasar malam, wahana permainan yang

    mengandung unsur judi, dan pedagang VCD musik dangdut. Dipertegas pula

    dengan vox pop masyarakat yang tidak tahu esensi sekaten yang sebenarnya.

    4. Sekuen IV

    Sekuen ini menceritakan prosesi Grebeg Maulud yang sering dikenal

    dengan gunungan sebagai puncak acara sekaten. Dan sekuen ini digunakan

    sebagai penutup.

    Gambar 8 : Gunungan keluar dari Keraton

    Sumber : Dokumen pribadi

    Gambar 9 : Masyarakat berebut gunungan

    Sumber : Dokumen pribadi

  • 18

    Sekuen ini menjelaskan makna simbolis gunungan dan tujuan yang

    terkandung di dalamnya. Digambarkan pula proses pembuatan gunungan

    beberapa hari sebelum puncak perayaan sekaten. Terakhir ditutup oleh K.P.

    Winarnokusumo yang menjelaskan bahwa tradisi di Keraton Kasunanan

    Surakarta akan tetap lestari selamanya.

    Kesimpulan

    Kesimpulan dalam tugas akhir ini, antara lain:

    1. Banyak masyarakat, khususnya anak muda sudah tidak mengetahui sejarah

    dan makna sekaten. Mereka hanya mengetahui sekaten sebagai tempat

    hiburan dan pasar rakyat saja, bukan sebagai sarana media syiar agama Islam.

    2. Semangat sekaten juga telah berkurang untuk menyemarakkan hari lahirnya

    Nabi Muhammad SAW. Nampak dari banyaknya permainan yang

    mengandung unsur judi dan banyak musik yang tidak sesuai dengan semangat

    syiar Islam. Bergesernya fungsi sekaten tidak terlepas dari arus globalisasi

    yang juga semakin mengancam kebudayaan asli di Indonesia.

    3. Tradisi sekaten selalu digelar setiap tahun dengan prosesi yang masih

    lengkap, yaitu dari mulai miyos gongso atau keluarnya gamelan dan

    jenggleng pertama kali, hingga prosesi grebeg mulud atau gunungan.

    Saran

    Saran yang diharapkan untuk Tradisi Sekaten untuk masyarakat pada

    umumnya, dan Keraton Kasunanan Suarakarta pada khususnya, antara lain:

    1. Masyarakat agar mau memperlajari sejarah kebudayaan di daerahnya, seperti

    sekaten agar dapat lestari sesuai esensi semula.

    2. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penyelenggara seharusnya lebih

    mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan esensi sekaten agar masyarakat

  • 19

    juga paham. Mungkin dapat dilakukan dengan menambahkan media

    sosialisasi di beberapa titik di Alun-Alun Utara, Masjid Agung, dan

    Pagelaran.

    3. Keraton Kasunanan Surakarta seharusnya juga menerbitkan buku tentang

    sekaten secara khusus, karena literatur tentang sekaten sangat minim. Dengan

    demikian, pengetahuan sejarah sekaten dapat terus terjaga.

    4. Keraton Kasunanan Surakarta dan Pemerintah Kota Surakarta harus lebih

    tegas dalam membuat aturan untuk wahana permainan dan pasar rakyat di

    Alun-Alun Utara agar esensi sekaten sebagai media syiar Islam tetap terjaga.

    Pasalnya masih banyak permainan yang mengandung unsur judi dan sering

    pula tercium bau minuman keras di beberapa wahana permainan.

    Daftar Pustaka

    Ayawaila, Gerzon Ron. (2008). Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta:

    FFTV-IKJ Press.

    Beattie, Keith. (2004). Documentary Screens. New York: Palgrave Macmillan.

    Boelaars, Huub J.W.M. (2005). Indonesianisasi. Yogyakarta: Kanisius.

    Djamil, A. (1984). Sejarah dan Kebudayaan Islam. Semarang: Toha Putra.

    Effendy, Heru. (2002). Mari Membuat Film. Yogyakarta: Panduan.

    Effendy, Onong Uchjana. (1990). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:

    Remaja Rosdakarya.

    Gaarder, Jostein. (1996). Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan.

    Himawan. (2008). Memahami Film, Jakarta: Homerian Pustaka.

    Kustanto, Hari. (1989). Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa.

    Yogyakarta: PPY.

    Liliweri, Alo. (2009). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar.

    Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar.

    Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

    Rosdakarya.

    Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.

    Rabiger, Michael. (1998). Directing the Documentary. Burlington: Focal Press.

    Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia

    Widiasarana Indonesia.

    Sutardi, Tedi, (2007). Antropologi : Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung:

    PT. Setia Purna Inves.

    Sutisno, P.C.S. (1993). Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video.

    Jakarta: Grasindo.

  • 20

    Tim Penulis Masjid Agung Surakarta. 2014. Sejarah Masjid Agung Surakarta.

    Yogyakarta: Absolute Media.

    Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Grasindo.

    Hastriana, Anna Zakiyah (2013). Pribumisasi Hukum Islam Dalam Pesantren,

    Jurnal Al-Manahij 7.1.

    Saddhono, Kundharu (2009). Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta,

    Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan

    Kebudayaan Indonesia.

    Williams, Linda (1993). Mirrors Without Memories, Film Quarterly, Vol. 46,

    No. 3, 9-21.