Jurnal Syok Perdarahan Trauma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Syok Perdarahan Trauma

Citation preview

BAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIFDAN MANAJEMEN NYERIFAKULTAS KEDOKTERANJOURNAL READINGUNIVERSITAS HASANUDDINOKTOBER 2013

SYOK PERDARAHAN TRAUMA : KEMAJUAN DALAM TERAPI CAIRAN(David C, Marie-Carmelle E, Eric JW, Xun Z.et al. Traumatic Hemorrhagic Shock : Advances In Fluid Management.Emergency Medicine Practice. 2011;13:p. 1-16)

Oleh :Alvin Andrean JiwonoC11109115Pembimbing :dr. M. FaridSupervisor :dr. Ratnawati, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIANILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSARHALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:Nama: Alvin Andrean JiwonoNIM: C11109115Judul: Syok Perdarahan Trauma : Kemajuan Dalam Terapi Cairan

Bahwa BENAR telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Anestesi, Perawatan Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2013

SupervisorPembimbing

dr. Ratnawati, Sp.Andr. M. Farid

Syok Perdarahan Trauma : Kemajuan Dalam Terapi CairanDavid Cherkas,MD,FACEP, Marie-Carmelle Elie,MD,RDMS,FACEP, Eric J. Wasserman,MD,FACEP, (Shawn) Xun Zhong,MDAbstrakBeberapa permasalahan telah meningkat mengenai kelayakan prinsip klasik resusitasi kristaloid yang agresif pada syok perdarahan akibat trauma. Isu ini membahas kemajuan yang mengarah ke perubahan protokol departemen emergensi tentang resusitasi dari status syok termasuk literatur terbaru mengenai paradigma terbaru pada penanganan syok perdarahan trauma yang kebanyakan dikenal sebagai resusitasi pengendalian kerusakan. Tujuan dan titik akhir dari resusitasi dan pembahasan tentang pilihan cairan utama didiskusikan, bersama dengan trauma koagulopati dan penanganannya, bagaimana mengenali syok hemorragik pada cedera kepala akibat trauma dan terapi farmakologi terbaru untuk syok hemorragik. Kesimpulan utama termasuk penggunaan asam traneksamat pada semua pasien dengan perdarahan tidak terkontrol (Kelas I), pengaplikasian protokol transfusi masif dengan perbandingan antara produk darah (Kelas II), peenghindaran resusitasi kristaloid dalam volume besar (kelas III), dan penggunaan sesuai dengan hipotensi permisif (kelas III). Pemilihan cairan untuk resusitasi awal tidak ditunjukkan untuk mempengaruhi pengeluaran dari trauma (kelas I).Presentasi kasusDi tengah jaga malam Sabtu, pasien masuk ke rumah sakit dengan mengendarai mobilnya sendiri dengan luka tusuk pada punggung kiri atas. Laki-laki 19 tahun ini mengatakan bahwa dia sedang dalam perjalanan ke gereja ketika dia dihadang oleh 2 orang yang menikamnya. Dia mengatakan bahwa dia dapat lari ke suatu tempat untuk menghindari mereka. Ditemukan pasien dalam keadaan sadar namun lesu. Pasien dapat berbicara normal dan jalan napasnya paten. Bunyi napas kedua paru simetris. Tanda-tanda vital berupa nadi 140x/menit, tekanan darah 80/50 mmHg, napas 20 x/menit, suhu 36,1 C, SpO2 100%. Pasien melaporkan hanya terdapat satu titik luka dan ketika pakaiannya dibuka, tidak ada tanda trauma lain yang ditemukan. Nadi perifer teraba dan saat diinspeksi, lukanya tampak mengalami sedikit perdarahan. Pemeriksaan FAST negatif. Dua IV 18 G dipasang, hasil lab diambil, dan 2L ringer laktat dimasukkan. Tekanan darah pasien meningkat dengan cepat menjadi 110/75 mmHg, dan pasien mulai mengeluhkan sulit bernapas. Foto thorax x-ray menunjukkan adanya hemothoraks yang besar, dan tekanan darah pasien turun menjadi 75/55 mmHg.Setelah 50 menit kemudian, emergency medical services (EMS) tiba dengan pejalan kaki yang ditabrak oleh mobil. EMS mengatakan bahwa laki-laki berusia 24 tahun tersebut merupakan korban tabrak lari di mana penabrak meninggalkannya setelah menabrak dan menjatuhkannya dengan mobil. Pasien ditemukan dalam keadaan terbangun dan marah, mengeluhkan nyeri pada kuadran kanan atasnya. Pasien berada di atas back board, mengenakan collar, dan terdapat memar pada dada kanan dan abdomen. Jalan napasnya terbuka dan suara napasnya simetris kiri-kanan. Tanda-tanda vital pasien tersebut: denyut nadi 125x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, napas 20 x/menit, suhu 36,6 C dan SpO2 94%. Menurut EMS, pasien dalam keadaan hipotensi saat mereka tiba di lokasi, dengan tekanan darah 80/40 mmHg, namun dengan cepat meningkat setelah dilakukan pemberian 2L kristaloid dalam perjalanan. IV line kedua dipasang dan hasil lab diambil. Pemeriksaan FAST menunjukkan adanya hemoperitoneum. Pasien kemudian mengalami diaforesis dan tekanan darahnya sekarang menjadi 75/40 mmHg. Perawat menanyakan apakah ingin dipasangi 2L kristaloid lagi.PendahuluanResusitasi dari kondisi syok merupakan bagian utama dari kedokteran kegawatdaruratan. Dalam beberapa tahun terakhir, gold standar terpai adalah pemulihan secara cepat volume sirkulasi dengan larutan kristaloid ke normal. Penelitian selama 30 tahun terakhir menghasilkan peningkatan signifikan dalam terapi syok dengan berbagai penyebab, termasuk terapi untuk syok sepsis, menggunakan variasi tujuan awal terapi yang dikemukakan pertama kali oleh Rivers et al.1 Namun, semua tipe syok tidaklah sama dan perbedaan penyebab membutuhkan pendekatan yang berbeda. Kehilangan intravaskular yang berasal dari third spacing, seperti sepsis atau pankreatitis, utamanya air dan elektrolit. Penggantian kehilangan secara agresif ini dengan kristaloid sebelum kerusakan irreversible terjadi merupakan tindakan yang tepat. Sebaliknya, kehilangan yang berasal dari perdarahan termasuk air, elektrolit, koloid, faktor pembekuan, trombosit, dan sel darah merah. Ditambah adanya respon imun dan inflamasi akibat perdarahan dan kerusakan jaringan yang berakibat third spacing, menyebabkan kehilangan lebih lanjut. Kompleksitas dalam mengatasi kehilangan ini baru saja dimulai untuk dipahami.Emergency medicine practice fokus pada pengetahuan lebih lanjut tentang perubahan pokok bagaimana cara kita mengobati pasien trauma dengan syok perdarahan. Bukti yang paling baik dari literatur menyarankan bahwa kita harus berubah dari paradigma lama yang digunakan oleh para praktisi emergensi. Berikut pertanyaan menyediakan tuntunan untuk mengubah dasar: Apa itu kerusakan resusitasi? Cairan apa yang baik digunakan untuk resusitasi? Kapan cairan resusitasi dimulai, dan sekali dimulai, apa titik akhir yang seharusnya? Bagaimana mengatasi koagulopati trauma? Apa peran paling penting penanganan secara farmakologi?Metode standar resusitasi saat ini kemungkinan 90% tepat pada pasien dengan trauma.2 Review ini utamanya berniat untuk menunjukkan kebutuhan pada luka-luka kritis pasien yang dalam keadaan syok hemorragik. Meskipun dalam pusat trauma pendidikan terbesar, pasien ini jarang ada, terhitung hanya 1% sampai 2% dari semua kasus trauma yang ada.2 Meskipun demikian, sejak syok perdarahan memimpin prevalensi penyebab kematian, penggunaan terapi efektif untuk populasi kecil ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup.

EpidemiologiKeharusan untuk mengendalikan dan mengatasi perdarahan sudah merupakan tantangan sejak William Harvey pertama kali mengemukakan proses sirkulasi darah pada awal 1600-an. Trauma merupakan penyebab utama kematian pada pemuda di US, dan cedera sistem saraf pusat menjadi penyebab utama trauma yang berhubungan dengan kematian, kehilangan darah terhitung pada 39% semua kematian yang berkaitan dengan trauma dalam suatu penelitian dan tetap menjadi penyebab utama kematian yang berhubungan dengan trauma.3 Cairan fisiologis pertama kali diproduksi pada akhir 1800-an, dan segera setelah itu, resusitasi kristalloid dengan normal saline ataupun ringer laktat menjadi terapi yang tetap untuk mengatasi perdarahan. Tipe darah besar ditemukan pada tahun 1900-an dan transfusi ditambahkan segera setelahnya.Dalam perang dunia I, dokter bedah mulai khawatir tentang efek negatif dari resusitasi cairan. Dalam artikel 1918, Cannon dkk mengatakan, jika tekanan naik sebelum dokter bedah siap untuk memeriksa perdarahan yang mengambil tempat, darah yang sangat dibutuhkan dapat hilang.4 Pemikiran ini juga muncul saat perang dunia II, dan artikel saat waktu itu membahas celah dari resusitasi cairan yang sebelumnya mengendalikan perdarahan.5Di awal 1960-an, pekerjaan yang dilakukan oleh Fogelman dan Wilson6 dan dikonsolidasi oleh Shires7 dan lainnya menunjukkan bahwa trauma dan perdarahan mengarah kepada kehilangan volume ekstraselular di luar kehilangan darah dan penambahan kristaloid untuk penggantian darah dapat mengarah untuk meningkatkan harapan hidup. Sebagai hasil, pada pertengahan 1960-an, pendekatan terhadapa resusitasi cairan volume besar menjadi populer. Meskipun perhatian awal, titik pusat dari resusitasi perdarahan menjadi akses awal intravena dan resusitasi cepat kristaloid. ATLS merekomendasikan infus 2 liter kristaloid, dan pepatah meramalkan ...sekarang secara umum semua pasien trauma (bukan pasien syok) diinfus menggunakan 2 hingga lebih larutan RL8,9Pada awal1980-an, perhatian baru berkembang menjadi efek samping dari infus kristaloid dalam jumlah besar. Beberapa menghubungkan dengan efek imunologis dari perdarahan dan dari cairan yang dipilih untuk resusitasi. Yang lainnya berdasar pada komplikasi yang berhubungan dengan timing dan volume cairan resusitasi.10-12 Dalam penelitian oleh Bickel et al pada 1994, 598 pasien hipotensi denggan trauma penetrasi diacak untuk resusitasi cairan standar atau tertunda. Hasil penelitian menunjukkan angka survival 62% pada yang menerima resusitasi cairan segera dan 70% pada resusitasi yang tertunda (P=0,04). Lebihnya, hanya 23% dari kelompok resusitasi tertunda memilki komplikasi postoperasi, dimana 30% dari kelompok standar memiliki komplikasi (P=0,08), dan durasi rata-rata hospitalisasi lebih singkat dibanding resusitasi tertunda.13 hasil dari penelitian ini menjadi perdebatan hebat, keduanya karena hasil dan masalah metolodi penelitian. Kontroversi yang berkembang ini membisikkan Office of Naval Research untuk meminta Institute of Medicine (IOM) mengadakan review tentang strategi resusitasi cairan.14 rekomendasi dibuat dalam laporan IOM melakukan penelitian dalam dekade terakhir dan menghasilkan pengertian tentang perdarahan dan penanganannya. Penuntun trauma yang digunakan militerUSA saat ini menyarakan resusitasi cairan direstriksi hanya pada pasien dengan syok, sangat dibatasi dalam volume, dan memiliki tujuan spesifik.15Karena pengetahuan yang luas mengenai trauma yang berhubungan dengan perdarahan, peneliti mengamati dalam jangka waktu lama statistik pertempuran untuk mengevaluasi pengukuran kualitas resusitasi. Meskipun pengambilan keputusan mengenai teknik resusitasi melewati dekade yang berbeda dan tipe konflik sangat menantang, data historik tetap merupakan beberapa jendela yang berharga dalam perubahan penanganan perdarahan. Secara umum diakui bahwa kematian dalam tugas menjadi indikator senjata mematikan yang digunakan dan efektivitas dari pelindung diri. Kematian akibat luka telah dipikirkan untuk mengukur efektivitas penanganan medis perang, dan case fatality rate(CFR) digunakan untuk mengukur keseluruhan lingkungan perang yang mematikan. Beberapa penulis mencatat bahwa persentasi kematian dalam perang dan persentasi kematian akibat luka berubah sedikit antara perang dunia II dan perang vietnam dan menggunakan bukti ini untuk meberlakukan pendekatan resusitasi cepat pada perang Vietnam tidak efektif.9 yang lainnya melihat peningkatan CFR pada konflik ini dan menyarakan peningkatan signifikan dari sistem penanganan trauma dapat dipertanggung jawabkan.16Tabel 1. Perbandingan, konflik kematian dalam perang, kematian oleh luka dan case fatality rate (As 2006)

Perang Dunia IIPerang VietnamTotal perang Irak/Afganistan

Mati dalam perang %20,020,013,8

Mati oleh luka %3,53,24,8

Case Fatality Rate19,115,89,4

Evaluasi dari data Tabel 1 memperlihatkan terjadi timbal balik antara kematian dalam perang dan kematian oleh luka dalam konflik yang terjadi. Penjelasan terbaik untuk ini mungkin bahwa luka berat, yang terjadi dulu, dapat meninggal sebelum mencapai penanganan definitif medis yang sekarang sedang diresusitasi lebih efektif di lapangan dan dibawa lebih cepat ke rumah sakit perang di mana luka yang mereka alami berubah menjadi kematian oleh luka. Peningkatan kematian oleh luka dapat menjadi lebih besar jika tidak dibantu dengan peningkatan resusitasi, penanganan bedah, dan penanganan intesif sejak perang Vietnam.17 peningkatan dalam resusitasi ini sesuai dengan klinisi emergensi. Sayangnya, perubahan ini dalam kualitas perawatan diimplementasikan terbatas atau setengah-setengah dalam rumah sakit umum dan bahkan tak sebanyak pada penanganan perdarahan non trauma.Etiologi dan PatofisiologiBanyak pendekatan modern didiskusikan dalam review ide yang berdasar Damage Control Resucitation (DCR). Ini adalah strategi penanganan yang dimulai pada militer dan sekarang digunakan pada rumah sakit umum, yang memilki target untuk mengatasi perdarahan. Elemen yang mengandung filosofi ini adalah permisive hipotensi, minimalisasi resusitasi kristaloid, mengontrol hipotermi, mencegah asidosis dan penggunaan asam traneksamat dan transfusi untuk mengurangi koagulopati. Rasional dan bukti mengenai masing-masing terapi dan lainnya merupakan subjek dari review ini.Resuscitation InjuryDalam trauma, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, mengarah pada kehilangan cairan intravskular ke ruang interstitial. Selain itu, asidosis yang merupakan hasil dari trauma merusak fungsi jantung. Penanganan pasien ini dengan kristaloid volume besar dapat menyebabkan pembengkakan sel yang mengarah ke disfungsi sel.18 penelitian pada hewan menunjukkan kerja kristaloid berhubungan dengan peningkatan aktivitas neutrofil dan peningkatan marker inflamasi.19,20 respon inflamasi ini dapat menciptakan siklus yang buruk di mana ...cairan berlebih dan edema menurunkan penggantian cairan dan memperburuk edema.10 siklus ini dipikirkan sebagai kerusakan reperfusi, namun sekarang lebih dikenal sebagai kerusakan resusitasi.21 (lihat gambar 1)Dalam perang Vietnam, kerusakan akut paru-paru diperlihatkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru dan inflamasi pertama kali dideskripsikan.22 Kadang disebut sebagai Da Nang Lung, setelah rumah sakit Navy di Vietnam, kemudian dikenal sebagai Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Meskipun belum pernah dibuktikan bahwa resusistasi besar dapat menyebabkan ARDS, hubungan ini sangat diperhatikan.Resusitasi besar memilki efek membahayakan lainnya, termasuk komplikasi gastrointestinal dan jantung,10 peningkatan penekanan kompartemen ekstremitas,23 dan gangguan koagulasi. Sindrom kompartemen perut merupakan salah satu komplikasi yang terbukti jelas sbagai hasil dari resusitasi. Sindrom kompartemen abdominal primer yang mulai dari berat, kerusakan langsung abdomen, telah dipahami selama bertahun-tahun. Sindrom kompartemen sekunder timbul pada pasien mendasari kerusakan abdomen, memilki mortalitas lebih dari 50%, dan jelas berhubungan dengan strategi resusitasi cairan yang berlebihan.24

Diferensial DiagnosisEvaluasi dari pasien yang shock membutuhkan penentuan etiologi yang cepat. Walaupun hipotensi pada pasien trauma diasumsikan disebabkan oleh hemorrhage, ini sangatlah penting untuk mengevaluasi dan menangani pasien dengan hypotensi yang disebabkan oleh kausa yang lain, seperti tension pneumothorax, pericardial temponade, myocardial contusion dan neurogenic shock. Cedera dari pasien juga mesti dilihat untuk mengetahui kondisi fisiologi yang mendasari. Kemungkinan pasien punya dasar yang buruk mengenai fungsi jantung, alcohol, obat-obatan, medikasi, kerentanan pendarahan, atau kondisi-kondisi yang signifikan berkaitan.(Lihat tabel 2)

Penanganan Sebelum Masuk Rumah Sakit(Prehospital)Ada 3 tujuan yang ingin dicapai dengan penanganan prehospital pada pasien shock hemorrhagic. Tujuan pertama ialah menghentikan pendarahan dan meminimalisir kehilangan darah (contohnya dengan mengikat pelvis yang tidak stabil atau dengan cara memberikan tekanan pada luka pendarahannya dengan menggunakan kain). Tujuan kedua ialah dengan cepat mengantar pasien ke pusat trauma untuk mendapatkan penanganan definitive. Tujuan yang ketiga ialah pengukuran resusitasi awal untuk memperbaiki status mentalnya dan mempertahankan pulsus perifer tidak terlambat. Konsensus para ahli dari WHO pada tahun 2005 menemukan sedikit fakta pada penanganan prehospital pada pasien trauma bahwa interfensi prehospital yang bagus sangat dibutuhkan sebagai interfensi dasar.25 Dua uji coba terakhir pra-rumah sakit mendukung meminimalkan waktu dengan membatasi intervensi memakan waktu. Sebuah penelitian multiprospektif di Canada melibatkan 9405 pasien menunjukkan peningkatan mortalitas dengan ATLS intervensi di lapangan saat dibandingkan dengan "scoop and run."26 dalam penelitian retrospektif, Seamon et al meneliti 180 korban taruma tertusuk yang menjalani ED tracheotomy dan dilaporkan bahwa prediktor independen satunya kematian adalah jumlah prosedur pra-rumah sakit.27 tiap prosedur, risiko kematian meningkat 2,63 kali (oods ratio [OR] 0,38, 95% confidence interval [CI], 0,18-0,79, P