jurnal tbaf ct.rtf

Embed Size (px)

Citation preview

AbstrakCangkang telur (CT) merupakan limbah yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan aktif tabir surya. Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan CT sebagai bahan aktif tabir surya melalui reduksi ukuran partikel dan pengembangan formula sediaan tabir surya untuk meningkatkan nilai faktor pelindung surya. Penelitian ini diawali dengan pengecilan ukuran partikel CT melalui penggilingan basah menggunakan tumbler ballmill dilanjutkan dengan sonikasi untuk mendapatkan suspensi nanopartikel CT. Nanopartikel yang diperoleh dikarakterisasi ukuran partikel, indeks polidispersitas, serta morfologi partikel menggunakan SEM. Serbuk mikropartikel dan nanopartikel cangkang telur diformulasi menjadi sediaan krim menggunakan basis krim minyak dalam air yang terdiri dari asam stearat, trietanolamin, lanolin dan setostearil alkohol. Krim yang dibuat dievaluasi secara farmasetik dan diuji keamanannya melalui uji iritasi pada mata dan kulit kelinci secara in vivo, dilanjutkan dengan penentuan nilai FPS secara in vivo pada kelinci tersebut. Proses pembuatan nanopartikel serbuk CT dengan metode sonikasi menghasilkan nanopartikel cangkang telur dengan ukuran 453,8725,63 nm. Formula krim yang memenuhi persyaratan farmasetik adalah formula yang mengandung 5 dan 8% nanopartikel CT dalam basis yang terdiri dari 1% lanolin, 2% setostearil alkohol, 8% asam stearat dan 1,6% trietanolamin. Formula krim yang mengandung 8% nanopartikel CT bersifat mengiritasi ringan dengan Indeks Iritasi Primer (IIP) sebesar 0,58. Sedangkan dalam uji iritasi mata sediaan tidak menyebabkan iritasi. Pada uji in vivo nilai FPS krim yang mengandung 5 dan 8% nanopartikel CT berturutturut adalah 3,44, dan 4,30, dan krim yang mengandung 8% CT dalam bentuk mirkopartikel menghasilkan nilai FPS yang lebih rendah, yaitu 2,71. Berdasarkan hasil penelitian ini, pengecilan ukuran serbuk cangkang telur menjadi berukuran nano dapat meningkatkan aktivitas tabir surya cangkang telur.This research aims is to use eggshell a waste product as an active ingredients of sunscreen by reducing its particle size and to develop sunscreen preparation with a high Sun Protection Factor (SPF). The research begin with reducing the particle size of eggshell through wet milling proses using tumbler ballmill followed with sonication to produce a suspension of nanoparticle eggshell. Nanoparticles eggshell obtained were characterized based on its particle size, polidispersity index, and morphology using SEM. The eggshell powder, either in the micro or nano size were formulated into cream dosage form using oil in water base type consist of stearic acid, triethanoamine, lanolin, and cetostearyl alcohol. The formulated creams were evaluated pharmaceutically and its safety through irritation test on rabbit skin and eye, followed with in vivo determination of its sun protection effect in the rabbit. Results showed that the nanoparticle size obtained through sonication method was 453.8725.63 nm with polydispersity index of 0.160.04. The cream formula that meet with pharmaceutical requirement consist of 5 and 8 % of eggshell nanoparticle in base containing 1% lanolin, 2% cetostearyl alcohol, 8% stearic acid and 1,6% triethanolamine. Through skin irritation test, the cream contained 8% of eggshell nanoparticle has mild category of irritation potency with PII (Primary Irritation Index) of 0.58. While irritation test on the eye has no effect. On in vivo assay, the cream contained 5 and 8 % of nanoparticle eggshell showed SPF value of 3.44 and 4.30, respectively, while the cream contained 8% of microparticel of eggshell showed smaller SPF value (2.71). Based on this study, it can be concluded that reduction of particle size of eggshell into nanosize could increase the SPF value of sunscreen preparation.BAB IPENDAHULUANSpektrum sinar matahari memancarkan sejumlah energi tertentu pada rentang panjang gelombang 300-400 nm, yang dikenal sebagai sinar ultraviolet. Sinar ultra violet yang dipancarkan oleh matahari terbagi terbagi menjadi dua daerah UV A dengan rentang panjang gelombang 320-400 nm dan daerah UVB pada rentang 290-320 nm (Lowe dkk.,1990).Pemaparan sinar matahari berlebihan dapat membahayakan kulit manusia, karena kerusakan kulit dapat terjadi segera setelah pemaparan, yaitu berupa eritema atau kulit terbakar yang merupakan gejala terjadinya degradasi sel dan jaringan. Kerusakan kulit yang terjadi dalam pemaparan jangka panjang akan memberikan efek yang bersifat kumulatif akibat pemamparan sinar matahari berlebihan dalam jangka waktu tertentu, antara lain adalah penuaan dini kulit dan kemungkinan kanker kulit (Lowe dkk., 1990).Oleh karena adanya dampak negatif dari sinar UV, maka diperlukan perlindungan terhadap sinar UV. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimumkan jumlah UV yang berpenetrasi ke dalam kulit adalah dengan menggunakan tabir surya. Indonesia sebagai negara tropis dengan pemamparan sinar matahari yang cukup tinggi sangat membutuhkan sediaan kosmetik yang berperan sebagai tabir surya.Mekanisme sediaan tabir surya dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok tabir surya kimia yang bekerja menyerap sinar UV, dan kelompok pemblok fisik (tabir surya yang bekerja secara fisik). Tabir surya pemblok fisik bekerja dengan cara memantulkan atau membelokkan radiasi UV.Tabir surya fisik pada umumnya merupakan senyawa anorganik yang terbukti dapat memberikan manfaat mencegah terjadinya kerusakan kulit akibat radiasi sinar matahari. Akan tetapi, formulasi senyawa anorganik ini pada umumnya bersifat opaque, karena ukuran partikel serbuk akan mempengaruhi penampilan kulit pada saat dipakai.Bentuk nanopartikel pemblok fisik yang telah ada seperti TiO2 dan ZnO memberikan hasil formulasi tabir surya yang transparan, sehingga dapat diterima dengan lebih baik sebagai kosmetik. Ukuran partikel bahan pemblok fisik yang sangat halus memungkinkan sediaan ini dapat berperan juga sebagai tabir surya dengan mekanisme mengabsorpsi sinar UV (Newmann dkk., 2009). Akan tetapi, sediaan tabir surya dengan bahan aktif TiO2 dan ZnO dalam bentuk nanopartikel pada umumnya memiliki harga jual yang tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat tingkat ekonomi bawah. Oleh karena itu perlu dicari alternatif bahan baku tabir surya sebagai pemblok secara fisik dari bahan selain TiO2 dan ZnO yang harga jualnya memungkinkan untuk dijangkau oleh masyarakat ekonomi bawah.Sampai saat ini belum ada sediaan yang menjadikan cangkang telur sebagai tabir surya. Cangkang telur merupakan limbah rumah tangga yang pemanfaatannya belum maksimal. Penggunaan cangkang telur yang telah dihaluskan sebagai tabir surya diharapkan dapat membaurkan atau memantulkan radiasi sinar UV.Tujuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan cangkang telur yang merupakan limbah produksi menjadi bahan aktif sediaan tabir surya disertai reduksi ukuran partikel dan pengembangan formula sediaan tersebut untuk meningkatkan harga FPS sediaan tabir surya berdasarkan penentuan FPS sediaan tabir surya secara in vivo.BAB IIBAHAN DAN METODE PENELITIAN2.1. Bahan dan alatCangkang telur ayam broiler (yang didapat dari pabrik brownies kukus Amanda), asam klorida teknis, Tween 80 teknis, natrium lauril sulfat, setostearil alkohol, asam stearat, TEA, lanolin, Span 80, VCO (Virgin Coconut Oil) yang diperoleh dari SITH ITB, propilen glikol, PVP K-21, metil paraben, propil paraben, vitamin E asetat, aquadest, dan titanium dioksida. Alat-alat yang digunakan adalah cutting mill (Retsch tipe SM-1), mortar grinders (Retsch, tipe RM100), ballmill tumbler (Retsch), pengayak otomatis (Retsch), oven (Binder), probe sonicator (Vibra cell), particle size analyser (delsaTM Nano C, Beckmen Coulter), Lampu UV B (SMART), bath sonicator (Branson tipe 5510), ultraturax T25 (Janke & Kunkle, IKA labortechnik), timbangan analitik (Toledo), viskometer brookfield tipe DV-I, pH meter (Beckmann), penangas air, alat cukur (WAHL), dan alat-alat lain yang biasa digunakan di laboratorium.2.2. Hewan dan bahan baku percobaanHewan yang digunakan adalah kelinci albino jantan galur New Zealand, dengan bobot badan minimal 2 kg.Bahan baku yang digunakan adalah cangkang telur ayam broiler. Penyiapan cangkang telur diawali dengan pencucian dan pengeringan, kemudian pemotongan untuk mendapatkan ukuran yang seragam, dilanjutkan dengan perendaman menggunakan asam klorida 5% untuk menghilangkan senyawa organik, penetralan asam dengan cara pencucian menggunakan air mengalir dan diakhiri dengan pengeringan.2.3. Pembuatan nanopartikel cangkang telur (CT)Pembuatan nanopartikel CT dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pemotongan menggunakan cutting mill, dan penggerusan menggunakan mortar grinders. Serbuk hasil penggerusan kemudian diayak untuk memisahkan partikel yang berukuran kurang dari 100 m. Partikel dengan ukuran kurang dari 100 m dibuat suspensi dalam larutan Tween 80 1% dengan konsentrasi partikel cangkang telur 50%, kemudian dilakukan penggerusan menggunakan tumbler ballmill. Suspensi cangkang telur hasil penggilingan kemudian dikeringkan dalam oven. Serbuk kering yang diperoleh kemudian disuspensi-kan dalam larutan Tween 80 1% dengan kosentrasi 10% untuk selanjutnya dibuat nanosuspensi menggunakan metode sonikasi. Nanosuspensi yang diperoleh dievaluasi meliputi ukuran partikel, indeks polidispersitas, dan morfologi partikel menggunakan SEM.II.4. Formulasi dan uji keamanan sediaan tabir suryaDalam pengembangan formulasi sediaan tabir surya ini digunakan beberapa variasi emulgator, yaitu natrium lauril sulfat dan setostearil alkohol dengan perbandingan 1:9, asam stearat dan TEA dengan perbandingan 1:0,2, serta tween 80 dan span 80 dengan perbandingan 9,36:0,64. Sediaan yang dibuat kemudian dievaluasi karakteristik fisiknya, meliputi viskositas, pH serta perubahan organoleptisnya seperti perubahan warna, bau, timbulnya jamur serta dievaluasi stabilitas fisiknya dengan metode freezethaw.Uji keamanan sediaan dilakukan secara in vivo terhadap kulit punggung dan mata kelinci albino jantan galur New Zealand. Pengujian dilakukan terhadap tiga ekor kelinci, kemudian dihitung skor indeks iritasi kutan primer dan indeks iritasi okular untuk menentukan tingkat iritasi setiap formula.II.5. Uji aktivitas tabir suryaSediaan tabir surya yang tidak mengiritasi, yaitu yang memilliki nilai indeks iritasi primer kurang dari satu, selanjutnya ditentukan aktivitas pelindung suryanya secara in vivo pada kelinci labino jantan galur New Zealand, dengan menggunakan lampu UV B sebagai sumber radiasi. Kelinci yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari bulu, kemudian ditandai seluas 2x2 cm2. Dua puluh empat jam setelah penyinaran, diamati ada atau tidaknya eritema pada bagian yang disinar. Faktor pelindung surya merupakan perbandingan nilai Minimal Erythemal Dose (MED) setelah diberi sediaan tabir surya dengan nilai MED sebelum diberi sediaan tabir surya.BAB IIIPEMBAHASANBahan anorganik merupakan bahan tabir surya fisik yang dapat memblok radiasi ultraviolet dalam rentang panjang gelombang yang lebih luas dibanding tabir surya kimia. Kekurangan dari bahan ini adalah penampilannya yang tidak transparan saat diaplikasikan di permukaan kulit. Pengecilan ukuran partikel bahan anorganik tersebut dapat memperbaiki penampilan yaitu dengan lebih transparan pada saat penggunaan dipermukaan kulit. Nanopartikel TiO2 dan ZnO memberikan transparansi yang baik pada formulasi sediaan tabirsuryanya (Cross dkk., 2006)Cangkang telur tersusun dari lapisan kutikula, lapisan stratum, dan lapisan membran kutikula dengan beberapa lubang kecil yang disebut kanal pori pada kulit untuk pertukaran masuknya udara dan kelembaban, tetapi bersifat tidak larut dalam air. Keseluruhan lapisan mengandung 95% zat anorganik (kalsium karbonat), 3,3% protein, dan 1,6% air lembab. Lapisan membran dalam, terdiri dari 70 % senyawa organik, 10 % senyawa anorganik, dan 20 % air (Davis dkk., 2002).Protein yang terkandung dalam cangkang telur sebanyak 3,3% berpotensi menyebabkan reaksi alergi jika cangkang telur diaplikasikan dalam sediaan tabir surya, sehingga dilakukan penghilangan protein dari cangkang telur. Proses reduksi kandungan senyawa anorganik dilakukan dengan cara perendaman cangkang telur selama 24 jam dalam asam klorida 5% dengan perbandingan 1:1. Penetapan efektivitas reduksi kandungan senyawa organik didasarkan pada peningkatan kadar CaCO3 dalam cangkang telur hasil perendaman (Supriyadi, 2011). Diperoleh penurunan kandungan senyawa organik sebesar 51,82%, setelah proses perendaman cangkang dalam HCl 5% selama 24 jam.Serbuk cangkang telur yang diperoleh dari hasil penggilingan basah menggunakan ballmill dilanjutkan reduksi ukuran partikelnya dengan metode sonikasi. Kelebihan metode ini dapat menghasilkan produk yang relatif lebih bebas dari kontaminan yang berasal dari alat. Sonikator yang digunakan adalah jenis probe yang dapat menghasilkan panas. Saat proses sonikasi berlangsung mikrosuspensi meningkat suhunya, menyebabkan energy collapsed turun, sehingga proses nanonisasi kurang efektif (Gupta dan Kompella, 2006). Untuk menghindari pemanasan berlebih, alat dilengkapi dengan sistem pendingin berupa air dingin yang mengalir secara terus menerus melalui wadah mikrosuspensi (Supriyadi, 2011).Cangkang telur yang akan disonikasi disiapkan dalam bentuk suspensi dengan konsentrasi 10% dalam pembawa larutan Tween 80 1% sebagai stabilisator. Tween 80 merupakan stabilisator sterik karena sifatnya yang non ionik. Proses sonikasi dilakukan selama 60 menit dengan frekuensi 12KHz. Proses sonikasi menghasilkan nanopartikel cangkang telur dengan rata-rata ukuran 453,8725,63 nm. Pengecilan ukuran partikel suatu bahan tabir surya hingga lebih kecil dari 100 nm dapat menyebabkan perubahan dalam mekanisme kerjanya. suatu bahan tabir surya fisik dapat memiliki mekanisme kombinasi antara tabir surya fisik dan kimia perubahan ini disebabkan oleh adanya mobilisasi dan transisi elektron dari satu bagian molekul ke bagian yang lain (Wolf dkk., 2001). Akan tetapi hasil pengecilan ukuran yang dilakukan tidak menghasilkan ukuran partikel dibawah 100 nm, sehingga tidak terjadi perubahan mekanisme kerja bahan. Gambar 1 menunjukkan perbandingan ukuran partikel cangkang telur pada setiap tahapan.Untuk mempermudah penyimpanan dan meningkatkan stabilitas bahan baku, dilakukan pengeringan suspensi dispersi nanopartikel cangkang telur dengan metode kering beku. Hasil karakterisasi serbuk kering beku nanopartikel cangkang telur dapat dilihat pada Tabel 1. (a)(b)(c)Gambar 1. Hasil pemeriksaan serbuk cangkang telur dalam beberapa tahap proses menggunakan SEM dengan perbesaran 100 kali. Proses reduksi berukuran < 100 m (a); proses Ballmill (b); proses sonikasi (c).Tabel 1. Hasil karakterisasi serbuk kering beku nanopartikel cangkang telur.KarakteristikHasilOrganoleptisPutih kecoklatan, hampirtidak berbauKadar air (%b/b)1,75 0,08Ukuran partikel (nm)453,97 25,63Hasil foto SEM terhadap serbuk kering beku dan hasil redispersi dengan 45 menit sonikasi menggunakan bath sonication, menunjukkan hasil pada Gambar 2 sebagai berikut :(a)(b)Gambar 2. Foto SEM perbesaran 5000x nanopartikel CT. Setelah proses kering beku (a); setelah proses redispersi (b).Berdasarkan gambar foto SEM pada Gambar 2 dapat terlihat proses sonikasi selama 45 menit dapat memecahkan agregat nanokristal yang terbentuk pada proses kering beku.Agregasi terjadi akibat peningkatan energi bebas permukaan partikel, sehingga partikel cenderung saling berinteraksi yang menyebabkan perubahan partikel (Sinko, 2006). Larutan Tween 80 1% yang digunakan sebagai media pendispersi berfungsi sebagai stabilisator sterik dan menghambat penggabungan antar partikel untuk mencegah tumbuhnya aggregat (Shi, 2002).Basis krim dibuat dengan metode pelelehan menggunakan VCO sebagai fase minyak. Sebagai emulgator digunakan berbagai kombinasi bahan antara lain natrium lauril sulfat dan setostearil alkohol, asam stearat dan TEA, Tween 80, dan Span 80.Tabel 3. Orientasi formula basis sediaan tabir surya.Jumlah zat dalamNama zatformula (%b/b)F1F2F3VCO313131Natrium lauril sulfat9--Setostearil alkohol11-Lanolin-2-Asam stearat-8-TEA-1,6-Tween 80--9,36Span 80--0,64PVP2-2Aquadest ad100100100Keterangan : F1 = emulgel; F2 = krim; F3 = emulgelFase air dan fase minyak dipanaskan sampai suhu 70oC, kemudian diaduk menggunakan ultraturax dengan kecepatan 9600 ppm selama 25 menit. Sediaan emulgel dibuat dengan metode triturasi, yaitu mencampurkan basis krim dengan larutan PVP 40% pada suhu 40oC untuk mendapatkan emulgel yang mengandung 2% PVP.Sediaan yang telah dibuat kemudian diuji stabilitasnya terhadap temperatur penyimpanan ekstrem dengan mengemulsi dapat mengalami ketidakstabilan fisik yang bersifat reversibel (creaming dan flokulasi) maupun irreversibel (koalesen dan inversi fase). Ketidakstabilan yang bersifat reversibel dapat kembali ke keadaan awal dengan sedikit agitasi. Sedangkan ketidak stabilan berupa koalesen dan inversi fase dapat berakhir dengan pemisahan fase (Eccleston, 2007). Hasil yang diperoleh dari uji freeze-thaw menunjukkan formula basis F1 dan F2 memilki stabilitas fisik yang baik, sedangkan formula basis F3 menunjukkan terjadinya pemisahan fase pada siklus freeze-thaw ke dua. Berdasarkan hasil uji freeze-thaw tersebut maka dipilih formula F1 dan F2 untuk dikembangkan menjadi sediaan tabir surya dengan penambahan serbuk nanopartikel cangkang telur.Tabel 4. Formulasi sediaan tabir surya cangkang telur.Jumlah zat dalamNama Zatformula (%b/b)F1AF1BF2AF2BVCO31313131Natrium laurilsulfat99--Setostearilalkohol1111Lanolin--22Asam stearat--88TEA--1,61,6PVP22--Serbukcangkang telur5858Metil paraben0,180,180,180,18Propil paraben0,020,020,020,02Vitamin Easetat0,010,010,010,01Aquadest ad100100100100Sediaan F1A dan F1B adalah sediaan dalam bentuk emulgel, yang merupakan sediaan setengah padat dan dapat berupa emulsi minyak dalam air atau emulsi air dalam minyak dimana viskositas ditingkatkan dengan penambahan gelling agent, sediaan ini dapat meningkatkan kenyamanan pada saat digunakan karena sediaan ini memberikan keunggulan emulsi dan gel sekaligus (Mohammed, 2004).Sediaan F2A dan F2B adalah sediaan krim air minyak dalam air, dengan emulgator in situ asam stearat dan TEA yang akan membentuk TEA-Stearat dalam sediaan. Penambahan lanolin dalam sediaan dapat meringankan efek iritasi TEA-Stearat, sedangkan setostearil alkohol berguna untuk meningkatkan viskositas sediaan sehingga lebih stabil.Uji stabilitas dipercepat dilakukan terhadap keempat formula yang dibuat, dengan menyimpan sediaan di dalam climatic chamber pada suhu 40oC selama 28 hari. Pengamatan terhadap ada atau tidaknya pemisahan fase, viskositas dan pH dilakukan pada hari ke- 1, 7, 14, 21, dan 28. Hasil uji stabilitas dipercepat sediaan tertera dalam Gambar 3 dan 4 sebagai berikut :Gambar 3. pH krim F1A dan F1B pada uji stabilitas dipercepat ( = F1A, = F1B).Gambar 4. Viskositas krim F1A dan F1B pada uji stabilitas dipercepat (= F1A, = F1B).Hasil uji stabilitas sediaan F2A dan F2B yang meliputi evaluasi terhadap pH dan viskositas sediaan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.Gambar 5. pH krim F2A dan F2B hasil uji stabilitas dipercepat ( = F2A, = F2B).Gambar 6. Hasil evaluasi viskositas uji stabilitas dipercepat F2A dan F2B ( = F2A, = F2B).Pada Gambar 6 dapat dilihat pH sediaan cenderung diatas pH basis, yaitu 6,19 untuk F1 dan 6,53 untuk F2. Hal ini disebabkan karena CaCO3 yang terdapat dalam cangkang telur terlarut dalam air sebagai fase luar sediaan menjadi Ca(OH)2 yang bersifat basa sehingga pH sediaan lebih tinggi dibandingkan pH basis. Pada gambar tersebut terlihat bahwa selama penyimpanan pada suhu 40oC selama 20 hari tidak terjadi perubahan pH yang signifikan pada F1A dan F1B. Hal ini disebabkan karena jumlah CaCO3 yang terlarut dalam fase air sudah jenuh, sehingga walaupun disimpan di atas suhu kamar jumlah CaCO3 yang terlarut tidak bertambah. Nilai pH F2A dan F2B terjadi peningkatan pada penyimpanan disuhu 40oC akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara F2A dan F2B meskipun jumlah cangkang telur yang ditambahkan pada F2B satu setengah kali lipat lebih besar dari F2A. Hal ini menunjukkan kelarutan jenuh CaCO3 telah tercapai pada konsentrasi cangkang telur 5%, sehingga penambahan jumlah cangkang telur tidak meningkatkan pH secara signifikan.Viskositas sediaan selama uji stabilitas dipercepat tidak mengalami perubahan yang signifikan pada F1A dan F1B, hal ini menunjukkan sediaan dalam kondisi stabil selama penyimpanan. Viskositas F2A dan F2B mengalami penurunan pada penyimpanan disuhu 40oC, akan tetapi tidak terjadi pemisahan fase selama 28 hari penyimpanan disuhu tersebut.Pengujian keamanan emulgel dan krim dievaluasi dengan uji iritasi pada mata dan kulit punggung kelinci. Untuk menilai efek iritasi suatu sediaan topikal atau kosmetik pada kulit digunakan skor penilaian berdasarkan pedoman skor iritasi OECD dan Draize (Hayes, 2001). Hasil pengamatan uji iritasi pada kulit punggung kelinci ditunjukkan pada Tabel 5.Tabel 5. Hasil pengujian efek iritasi pada kulit.WaktuKelinciFormula123Indeks iritasipengamatan(jam)UdemEritemaUdemEritemaUdemEritemaprimer(OECD)F1A240201,5021,424813230372020102F1B240201,5021,114813230372022202Basis F1240201020,834802010272020002F2B240201020,584801010172010001F2P240201020,584801010172010001Keterangan : 0 : tidak ada; 1 : tidak tampak jelas; 2: tampak jelas; 3: sedang sampai kuatNilai indeks iritasi primer diperoleh dengan menjumlahkan nilai eritema dan edema. Perhitungan indeks iritasi primer dilakukan dengan menghitung rata-rata skor eritema dari ketiga kelinci kemudian dilakukan rata-rata dari pengamatan 24 dan 72 jam. Hasil rata-rata terakhir merupakan nilai indeks iritasi primer. Nilai indeks iritasi primer yang diperoleh sebesar 1,42 untuk formula F1A; 1,11 untuk formula F1B, dan 0,83 untuk basis. Pengelompokan nilai indeks iritasi primer adalah sebagai berikut : antara 0 sampai 1 hampir tidak mengiritasi, 1 sampai 2 menunjukkan iritasi ringan, 2 sampai 5 menunjukkan iritasi sedang, dan di atas 5 menunjukkan iritasi berat. Nilai indeks iritasi primer untuk F1A dan F1B yang diperoleh termasuk dalam iritasi ringan. Pengujian pada kulit punggung kelinci menunjukkan terjadinya iritasi ringan pada pemakaian sediaan F1A dan F1B. Hal ini disebabkan oleh penggunaan natrium lauril sulfat, seperti yang diketahui merupakan surfaktan anionik. Surfaktan yang kontak dengan kulit akan berinteraksi dengan berbagai mekanisme yaitu berikatan dengan protein permukaan kulit, mendenaturasi protein permukaan kulit, kemudian melarutkan atau mengubah tatanan lipid interselular kulit, berpenetrasi melalui barier lipid epidermis, dan selanjutnya dapat berinteraksi dengan sel-sel hidup pada lapisan kulit dermis. Seluruh mekanisme tersebut dapat menyebabkan terjadinya iritasi, akan tetapi secara perlahan-lahan efek iritasi menghilang karena berkurangnya konsentrasi zat iritan pada kulit.Pengujian iritasi juga dilakukan terhadap formula F2B yang merupakan formula dengan konsentrasi cangkang telur terbesar serta F2P yaitu formula F2 dengan penambahan pembanding tabir surya fisik TiO2 sebanyak 10%. Tidak dilakukan pengujian terhadap F2A sebab telah terwakili oleh F2B yang mengandung konsentrasi CT lebih tinggi. Hasil uji iritasi yang diperoleh F2B dan F2P menghasilkan indeks iritasi primer 0,58 yang berarti sediaan hampir tidak mengiritasi.Evaluasi uji iritasi okular menunjukkan bahwa sediaan F2A dan F2B serta sediaan pembanding F2P tidak menimbulkan iritasi pada mata. Uji iritasi sediaan F2B dan F2P kemudian dilanjutkan dengan uji iritasi terhadap mata kelinci meliputi pengamatan terhadap kornea, iris dan konjungtiva. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 6.Table 6. hasil uji iritasi mataKorneaKonjungtivaFormulaJam ke-KelinciDerajatLuasIrisEritemaUdemEskresi AiropasitasOpasistasMataF2A241000000200000030000004810000002000000300000072100000020000003000000F2B241000000200000030000004810000002000000300000072100000020000003000000F2P241000000200000030000004810000002000000300000072100000020000003000000Catatan: kemerahan pada kornea dan konjungtiva terjadi pada 1 jam setelah pemakaian sediaan pada mata.Berdasarkan hasil uji iritasi kulit dan okular terhadap semua formula, maka diputuskan formula yang dapat dilanjutkan untuk diuji FPS secara in vivo adalah formula yang hampir tidak mengiritasi yaitu formula F2A dan F2B. Pengujian aktivitas tabir surya secara in vivo dilakukan terhadap kulit hewan percobaan menggunakan sumber radiasi lampu UV B dengan panjang gelombang 310-315 nm. Tahap pertama dalam pengujian FPS adalah penentuan Minimum Erythema Dose (MED). Hasil orientasi MED menghasilkan energi minimal sinar UV dalam menimbulkan eritema pada kulit, data yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 7.Waktuirradiasi (I)EnergiKelinci 1 (area)Kelinci 2 (area)Kelinci 3(area)(detik)(mW/cm2)(J/cm2)1212122403,6060,87------3003,6061,08---+--4203,6061,51++++++Tabel 7. Hasil orientasi MED.Keterangan; + : timbul eritema; - :tidak timbul eritemaDari data pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa energi minimal yang menghasilkan eritema pada ketiga ekor kelinci adalah 1,51 J/cm2.Aktivitas tabir surya dinyatakan dengan suatu nilai yang menyatakan kemamouan sediaan untuk melindungi kulit dari radiasi sinar ultraviolet dan disebut Faktor Pelindung Surya (FPS). Nilai ini diperoleh dari perbandingan banyaknya energi yang diperlukan untuk mengasilkan eritema minimal atau DEM (Dosis Eritema Minimal) pada lapisan kulit yang diberi sediaan pelindung surya terhadap kulit yang tidak diberi sediaan tersebut (Stanfield dan Joseph, 2003).Table 8. hasil uji FPS in vivoSampelKelinciEnergi Penyinaran (J/cm2)FPS1,511,952,603,254,115,196,498,22F2K1+00000001,00K2+0000000K3+0000000F2PK1------+04,30K2------+0K3------+0F2AnK1-----+003,44K2-----+00K3-----+00F2BnK1------+04,30K2------+0K3------+0F2BmK1----+0002,71K2----+000K3----+000STD6K1-------+5,44K2-------+K3-------+Keterangan;+ : timbul eritemaF2: basis krim F2F2Bn : krim mengandung 8%- : tidak timbul eritemaF2P: krim mengandung 10% TiO2nanopartikel0 : penyinaran tidakF2An: sediaan krim yang mengandung 5%F2Bm: sediaan krim yangdilanjutkannanopartikelmengandung 8% mikropartikelSTD 6: Standar FPS 6Penentuan aktivitas tabir surya pada formula krim nanopartikel dan mikropartikel cangkang telur, formula krim TiO2 10% dan sediaan standar FPS 6 (STDTabel68.), memberikan hasil seperti ditampilkan pada Formula basis F2 tidak menunjukkan perlindungan terhadap sinar UV. Hal ini dapat dilihat dari nilai FPS nya, yaitu 1 yang artinya sama dengan MED. Formula F2An, yaitu sediaan krim tabir surya yang mengandung 5% nanopartikel cangkang telur memberikan nilai FPS 3,44 sedangkan F2Bn yang yang mengandung 8% nanopartikel cangkang telur memberikan nilai FPS 4,33. Berdasarkan kategori FDA, sediaan tabir surya yang mengandung 8% nanopartikel cangkang telur termasuk dalam kategori tabirsurya dengan perlindungan moderat yang cocok untuk jenis kulit tipe III, yaitu kulit yang agak mudah terbakar serta menjadi coklat secara bertahap jika terpapar sinar matahari (Murphy, 1990). Pengecilan ukuran partikel terbukti dapat meningkatkan aktivitas tabir surya dilihat dari peningkatan nilai FPS pada F2Bn dibandingkan dengan F2Bm.Sediaan Std6, yaitu sediaan standar yang telah diuji terhadap manusia memiliki FPS 6 memberikan nilai FPS 5,44 terhadap kelinci. Hal ini menunjukkan bahwa pengujian FPS secara in vivo menggunakan kelinci albino dapat menggambarkan perkiraan nilai FPS sediaan pada manusia.BAB IVKESIMPULANFormula sediaan krim yang terdiri atas 1% lanolin, 2% setostearil alkohol, 8% asam stearat dan 1,6% triethanolamin, dengan bahan aktif 5 dan 8% nanopartikel cangkang telur yang ditambahkan dalam bentuk terdispersi dalam larutan Tween 80 1%, memiliki stabilitas fisik yang baik berdasarkan uji stabilitas dipercepat selama 28 hari. Hasil uji iritasi kulit menunjukkan sediaan mengiritasi ringan dengan nilai indeks iritasi primer yang diperoleh sebesar 0,58 untuk formula yang mengandung 8% nanopartikel cangkang telur dan 10% titanium dioksida.Nilai FPS sediaan yang mengandung 5 dan 8 % nanopartikel cangkang telur berturut turut adalah 3,44 dan 4,30. Nilai FPS sediaan yang mengandung serbuk cangkang telur dalam bentuk nanopartikel menghasilkan nilai FPS yang lebih tinggi dibandingkan sediaan yang mengandung serbuk cangkang telur dalam bentuk mikropartikel pada konsentrasi 8%.DAFTAR PUSTAKACross, S. E., B. Innes, S. R. Roberts, T. Tsuzuki, T. A. Robertson, and P. McCormick, 2006, Human Skin Penetration of Sunscreen Nanoparticles: In vitro Assesment of Novel Micronized Zinc Oxide Formulation, Skin Pharmacol Physiol 2007:20, 148-154.Davis, C. and R. Reg, 2002, High Value Opportunitues From The Chicken Egg, Rural Industries Research and Development Corporation, 30 31.Eccleston, G. M., 2007, Emulsion and Microemulsion in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, 3rded., Informa Health Care, NewYork, 1548-1559.Gupta, G. B. and U. B. Kompella, 2006, Nanoparticle Technology for Drug Delivery,Taylor and Francis Group, London.Hayes, A. W., 2001, Principles and Methods of Toxicology, 4th ed., Taylor and Francis, Philadelphia.Lowe, J., Nicholas and N. A. Shaath, 1990, Sunscreens, New York : Marcel Dekker Inc.Mohammed, M. I., 2004, Optimization of Chlorphenesin Emulgel Formulation, The AAPS Journal 4, 6:3 Article 26 (di unduh dari http://www.aapsj.org pada tanggal 20 Maret 2011).Murphy, E. G., Regulatory Aspects of Sunscreen in United Stated in N. J. Lowe and N. A. Shaath (Eds.), 1990, Sunscreens Development, Evaluation, and Regulatory Aspects, Marcel Dekker Inc., New York.Newmann, M. D., M. Stotland, and J. I. Ellis, 2009, The Safety of Nanosized Particles in Titanium Dioxide and Zinc Oxide-Based Sunscreen, J.Am.Acad. Dermatol, 61:4, 687-692.Shi, J., 2002, Steric Stabilization, Literature Review, Center for Industrial Sensors and Measurements Department Materials Science & Engineering Group Inorganic Materials Science, USA.Sinko, P. J., 2006, Martins Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 5th ed., Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia.Stanfield and W. Joseph, 2003, Sun Protectants; Enhancing Product Functionality with Sunscreen in Multifunctional Cosmetics, Marcell Dekker, Inc. New York, 145-157.Supriyadi, D., 2011, Pembuatan Nanopartikel Cangkang Telur Menggunakan Metode Sonikasi, Tesis, Program Pasca Sarjana Sekolah Farmasi ITB, 24-26.Wolf, R., D. Wolf , P. Morganti, and V. Ruoco, 2001, Sunscreen, Clinics in Dermatology, 19, 452-459.