Upload
vuongdung
View
240
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL THEOLOGI ALETHEIA
Volume 21 No.16, Maret 2019
Diterbitkan oleh:
Sekolah Tinggi Teologi Aletheia
(STT Aletheia)
Alamat Redaksi :
Sekolah Tinggi Teologi Aletheia
Jl. Argopuro 28-34 (PO. Box 100) Lawang 65211, Jawa Timur
Telp.: (0341) 426617 dan Fax.: (0341) 426971
E-mail : [email protected]
Rekening Bank: BCA Cab. Lawang a.n. Agung Gunawan & Herlini Y.
No. 316-003-1131
Staff Redaksi :
Penasehat : Pdt. Dr.Agung Gunawan, Th.M.
Pemimpin : Brury Eko Saputra, Th.M.
Anggota : Pdt. Alfius Areng Mutak, Ed.D.
Pdt. Amos Winarto, Ph.D.
Pdt.Gumulya Djuharto, Th.M.
Pdt. Kornelius A. Setiawan, D.Th.
Pdt. Mariani Febriana, Th.M.
Pdt. Marthen Nainupu, M.Th.
Bendahara : Herlini Yuniwati
Publikasi & Distributor : Suwandi & Adi Wijaya
Tujuan Penerbitan :
Memajukan aktivitas karya tulis Kristen melalui media penelitian
dan pemikiran di dalam kerangka umum
disiplin teologi reformatoris
DAFTAR ISI
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 1
Liu Wisda
Humor dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan 23
(Matius 18:21-35)
Stefanus Kristianto
Kemunafikan: Panggung Pertunjukan Orang Banyak 55
Amos Winarto
Iklan: Eksplorasi Aspek Teologis dalam Budaya Komersialisme 65
dan Konsumerisme
Linus Baito
Relasi Gereja dan Negara Menurut John Calvin: Hukuman Mati 93
Atas Michael Servetus Sebagai Sebuah Contoh Kasus
Yakub Tri Handoko
RESENSI BUKU
Memahami Perjanjian Lama: Tiga Pertanyaan Penting 109
Stefanus Kristianto
A New Testament Theology 113
Brury Eko Saputra
Defending Substitution: An Essay on Atonement in Paul 119
Stefanus Kristianto
i
KATA PENGANTAR
Jurnal Theologia Aletheia edisi kali ini tetap fokus pada tiga
tekanan utama yang menjadi visi STT Aletheia, yaitu studi biblika,
wawasan reformed dan pelayanan pastoral. Artikel dari Liu Wisda
dan Stefanus Kristianto mewakili tekanan terhadap studi biblika. Di
dalam artikelnya, Liu Wisda berusaha memaparkan kemungkinan
adanya gema dari kitab Kejadian di dalam 1 Korintus 11:7-9. Hal
menarik dari artikel tersebut adalah pada pembahasan perempuan
dalam pemikiran Paulus, khususnya dalam 1 Korintus. Artikel
Stefanus Kristianto berusaha menunjukkan bahwa kecenderungan
anti humor yang telah ada sejak tulisan bapa gereja awal tidak
semata-mata perlu dipertahankan. Menurutnya, ada banyak teks di
Alkitab ditulis secara humoris. Salah satu teks tersebut adalah
Matius 18:21-35.
Artikel ketiga dan keempat dalam jurnal ini memberikan
tekanan pada aspek pastoral dari visi STT Aletheia. Artikel ketiga
ditulis oleh Amos Winarto dengan judul Kemunafikan: Panggung
Pertunjukan Orang Banyak berusaha menelaah sikap orang Farisi
yang munafik dari sudut pandang etis dan praktis. Menurutnya,
setiap orang percaya harus berani hidup secara otentik dalam
kesehariannya. Artikel keempat ditulis oleh Linus Baito dengan
judul Iklan: Eksplorasi Aspek Teologis dalam Budaya
Komersialisme dan Konsumerisme berusaha menjawab
pertanyaan apakah ada elemen teologis di dalam dunia komersil,
khususnya iklan. Menurutnya, iklan dapat menjadi sebuah sarana
reflektif maupun ekspresif untuk iman Kristen dapat diwartakan.
Artikel kelima mewakili elemen teologi Reformed dalam visi
STT Aletheia seperti disebutkan di atas. Artikel dengan judul
Relasi Gereja dan Negara Menurut John Calvin ini ditulis oleh
Yakub Tri Handoko bertujuan memberikan klarifikasi terhadap
ii
tudingan bahwa Calvinlah yang bertanggung jawab atas hukuman
yang diterima oleh Servetus. Menurutnya, tulisan Calvin lebih
fokus pada teologi politik daripada politik praktis. Secara teologis,
Calvin meyakini bawah relasi antara gereja dan negara adalah
interdependen; tidak saling bertentangan dan tidak tercampur.
Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan bahwa tudingan terhadap
Calvin sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian
Servetus harus dievaluasi berdasarkan pemikiran Calvin tentang
politik, serta situasi politik di Jenewa pada waktu itu.
Dengan terbitnya Jurnal Theologia Aletheia kali ini, segenap
tim editor berharap bahwa edisi ini dapat memperkenalkan kembali
visi STT Aletheia, serta menjadi berkat bagi dunia akademik dan
pelayanan Kristiani di Indonesia.
Redaksi
1
GEMA KITAB KEJADIAN DALAM
1 KORINTUS 11:7-9
Liu Wisda
Abstrak: Beberapa pendekatan telah dilakukan, seperti pendekatan
teologis, analisa kultural, dan konteks historis untuk mengerti 1
Korintus 11:3-16 tentang kesopanan perempuan dalam ibadah.
Tulisan ini berusaha mengerti teks ini melalui pendekatan
intertekstual yang menggarisbawahi penggunaan kitab Kejadian
dalam retorika Paulus (1 Kor. 11:7-9) yang mewajibkan perempuan
memakai kerudung dalam ibadah.
Kata Kunci: Intertextuality, Narrative Summary, 1 Korintus 11:7-
9, Gambar dan Kemuliaan Allah, Kemuliaan Laki-laki, Urutan
Penciptaan
Abstract: Attempts have been made to understand 1 Corinthians
11:7-9 regarding the women propriety in worship, such as
theological approach, cultural analysis, and historical context. This
article attempts to understand the text by the intertextual approach,
which hightlights Pauls use of Genesis texts as a part of his
rhetoric of why women must cover their heads in worship.
Keywords: Intertextuality, Narrative Summary, 1 Corinthians
11:7-9, Image and Glory of God, Glory of Man, Creation Order
PENDAHULUAN
Dalam menghadapi persoalan tentang kesopanan perempuan
dalam beribadah (1 Kor. 11:3-16), Paulus menggunakan teks kitab
Kejadian untuk mendukung argumennya dalam mewajibkan
perempuan menutup kepalanya di dalam ibadah. Pernyataan Paulus
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 2
tampaknya mengekspresikan subordinasi kaum perempuan (pria
sebagai pemimpin berotoritas atas perempuan); pernyataan tersebut
kerap kali dijadikan argument definitif oleh pihak golongan Kristen
tradisional. Akan tetapi, di dalam surat 1 Korintus sendiri,
tampaknya ada indikasi bahwa pernyataan Paulus bertentangan
dengan argumentasinya sendiri, yaitu argumentasi yang
menekankan kesetaraan laki-laki dan perempuan, seperti referensi
pada tubuh Kristus yang menjelaskan semua anggota adalah satu di
dalam Kristus (1 Korintus 12:13; bdk. Galatia 3:28).1 Selain itu,
penyebutan Akwila dan Priskila (suami istri) yang sama-sama
melayani merupakan contoh adanya (indikasi) kepemimpinan
perempuan di kalangan orang Kristen (1 Korintus 16:19).2
Tambahan pula, para penganut egalitarian (persamaan gender)
berargumen bahwa argumentasi Paulus dari urutan penciptaan
tersebut didasarkan pada masalah budaya lokal, yang berbeda
dengan budaya di zaman sekarang dan lokasi (budaya menudungi
kepala), sehingga jawaban Paulus itu hanya relevan pada masalah
lokasi yang berkaitan dengan budaya mereka saat itu.3
Alih-alih mengkritisi pemahaman-pemahaman yang
disebutkan di atas, penulis menggunakan pendekatan
1 Galatia 3:28 (lebih ekspresif: laki-laki dan perempuan) yang dianggap
menekankan kesetaraan dan kesatuan mereka di dalam Kristus Yesus. 2 Meskipun kita tidak bisa menentukan level atau seberapa besar pengaruh
kepemimpinan Priskila bersama suaminya, Paulus mengakui bahwa mereka
adalah misionaris yang menjadikan rumah mereka sebagai gereja dan menjadi
rekan pelayanan Paulus yang penting. Lih. Peter Lampe, Prisca in The Anchor
Bible Dictionary, ed. David Noel Freedman (New York: Doubleday, 1996,
c1992), 5:467-468. 3 Contoh pendekatan budaya adalah redemptive-movement hermeneutic yang
dipopulerkan oleh William J. Webb, yang memahami Alkitab dengan mencari
semangat dari (gerakan penebusan) redemptive movement dalam teks untuk
melihat apa yang bisa diaplikasikan hari ini. Asumsinya adalah mengubah umat-Nya selangkah demi selangkah sesuai dengan konteks masa kini, sehingga ada
teks yang berlaku dan ada yang tidak berlaku. Contohnya sabat, sunat, hukum
makanan, menstruasi dll di dalam PL. Lih. William J. Webb, Slave, Women and
Homosexuals: Exploring the Hermeneutics of Cultural Analysis (Downers
Grove, IL: IVP Academic, 2001).
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 3
intertekstualitas4 untuk memahami 1 Kor. 11:7-9 (inti argumentasi
Paulus yang didebatkan) dan menyimpulkan bahwa di dalam
penggunaan teks Kejadian, Paulus menekankan perempuan yang
menjadi kemuliaan pria, tanpa mengabaikan argumentasi hubungan
hirarki berdasarkan urutan penciptaan. Tujuan Paulus dalam teks
ini bukanlah untuk mendukung subordinasi kaum perempuan,
tetapi memanggil para perempuan untuk mempraktikkan kasih
Kristus di dalam komunitas yang memiliki budaya menutup kepala
perempuan sebagai tanda kemuliaan. Karena itu, analisa
intertekstual pada teks ini dikelompokkan ke dalam dua: ayat 7 dan
ayat 8-9.
Ayat 7
Ayat 7 merupakan alasan dan argumentasi Paulus di ayat 4-5:
seorang pria tidak seharusnya menutupi kepalanya (ayat 4), karena
dia adalah gambar dan kemuliaan Allah (ayat 7a), sedangkan
seorang perempuan seharusnya berkerudung karena dia adalah
kemuliaan pria. Dengan asumsi bahwa jarang ada kata yang
merupakan kreasi murni dari Paulus,5 pernyataan Paulus ini juga
merupakan bagian dari dunia kata yang tidak asing dengan para
pembaca. Di dalam periode bait suci kedua atau masa
intertestamental, ada beberapa teks atau tradisi Yahudi yang
memiliki ekpresi yang mirip di dalam ayat ini. Tabel berikut ini
menggambarkan beberapa tradisi tersebut:
4 Untuk definisi dan teknik pendekatan intertekstual, lihat Richard Hays, Echoes
of Scripture in the Letters of Paul (New Haven, NH: Yale University Press, 1989). 5 Pendekatan intertekstual mengasumsi bahwa semua kata yang diekspresikan
penulis Alkitab memiliki relasi dengan kata lain, sehingga tidak ada makna baru
bahkan di dalam kata yang diciptakan (hapax legomenon). Dengan bahasa
Fishbane, content teks atau traditum tidaklah monolitis (memiliki satu arti
tunggal), tetapi merupakan: the complex result of a long and varied process of
transmission, or traditio. Michael Fishbane, Biblical Interpretation in Ancient
Israel (New York, NY: Oxford University Press, 1985), 6.
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 4
Frasa pertama memiliki kemiripan ekspresi di dalam Kejadian 1:27
(Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka, dan 2:7 (ketika itulah TUHAN
Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah
manusia itu menjadi makhluk yang hidup). Di samping itu, sirakh6
dan kebijaksanaan Salomo7 juga menggunakan tradisi Kejadian ini
di dalam ekspresi mereka.
Ketika Paulus mengatakan bahwa manusia adalah gambar
Allah, dia mungkin mengungkapkan narasi yang diringkas dari
Kejadian 1 melalui lensa Kejadian 2 yang menunjukkan bahwa
Adam/manusia adalah karya ciptaan Allah secara langsung.8 Meier
6 17:1-3 Manusia diciptakan Tuhan dari tanah, dan ke sana akan dikembalikan
juga. Ia menganugerahkan kepadanya sejumlah hari dan jangka, dan memberinya
kuasa atas segala sesuatunya di bumi. Kepadanya dikenakan kekuatan yang
serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri dan menurut gambar Allah dijadikan-Nya. (TB LAI) 7 2:23: Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-
Nya gambar hakekat-Nya sendiri. (TB LAI) 8 Lih. John P. Meier, On the Veiling of Hermeneutics (1 Cor. 11:2-16), The
Catholic Biblical Quarterly, 40, no. 2 (April 1978): 219; David E. Garland, 1
Referensi Tidak Langsung Hubungan
Intertekstual
Frasa
pertama
Pria adalah gambar ()
Allah
Kejadian 1:27; 2:7;
Sirakh 17:1-3;
Kebijaksanaan Salomo
2:23; Tulisan para rabi
Frasa
kedua
[Pria] adalah kemuliaan ()
Allah Tulisan rabinik
Frasa
ketiga
Perempuan adalah kemuliaan
pria (
)
Amsal 11:16 LXX; 1
Esdras 4:17; batu nisan
Yahudi di Roma.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 5
berkata: [Paul] understands the of Genesis 1 in terms of the
concrete individual of Genesis 2. He, and he alone, is made
directly by God, and is therefore the direct, precise image of God.9
Implikasi tidak langsung dari cara pembacaan ini adalah
perempuan bukanlah ciptaan langsung Allah, karena hanya pria
yang dibentuk langsung oleh Allah dan perempuan dibentuk dari
substansi pria.
Akan tetapi, dengan ungkapan demikian, Paulus tidak sedang
menyimpulkan bahwa perempuan adalah gambar dari pria.10
Dia
mungkin dipengaruhi oleh tradisi rabinik yang menunjukkan bahwa
perempuan bukanlah gambar Allah: Tanch B Tazria 10,11
BemR.
3:140d.12
Penafsiran ini menyebabkan masyarakat saat itu
memperlakukan laki-laki dan perempuan secara hirarkis, karena
pria dianggap lebih mulia sebagai ciptaan langsung Allah. Jervell
mengobservasi bahwa, the tendency of rabbinic theology is not
only to deny the status of the image of God to Eve -from the
standpoint of salvation history- but so to every woman.13
Dalam
lingkungan tradisi-tradisi ini, dengan tidak menyebutkan bahwa
status perempuan adalah gambar Allah, tidaklah berarti bahwa
Paulus setuju dengan teologi Yahudi yang mendukung inferioritas
perempuan. Pertanyaan Paulus tersebut bukanlah mengenai gambar
Corinthians, Baker Exegetical Commentary on the New Testament (Grand
Rapids, MI: Eerdmans, 219. 9 Meier, Hermeneutics, 219. 10 Gordon D. Fee, The First Epistle to the Corinthians. The New International
Commentary on the New Testament (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1987), 522. 11 Eve is not created in the image of God, but created out of Adam dikutip dari
Jacob Jervell, Imago Dei: Gen I, 26 f. im Sptjudentum, in der Gnosis und in den paulinischen Briefen (Gttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1960), 110. 12 Bdk. Tanch B Tazria 2 and Aggadat Bereshit 53, S. 107. Midrash Rabba
Number R 3:8; Midrash Rabba Gen. R 21:5 (Before Eve was created, Adam was
like an angel); lihat Jervell, Imago Dei, 110. 13 Jervell, Imago Dei, 111. Ada juga pemahaman lain dari teologi rabinik yang
memahami bahwa pasangan yang sudah menikah adalah gambar Allah.
Pemahaman ini tertuang dalam terjemahan Aquila, Theodosian, and Targum
Jeremiah II pada Kej. 1:27 (Jervell, ibid.).
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 6
Allah (the image of God, karena dia tidak menjelaskan
pernyataannya pria adalah gambar Allah lebih lanjut; malahan
dia menambahkan penekanan bahwa pria adalah kemuliaan Allah,
dan perempuan adalah kemuliaan pria.14
Selain itu, menurut
Jervell, ide ini (perempuan bukan gambar langsung Allah) yang
dicampuradukkan dengan konsep keluarga juga melihat bahwa
seorang anak laki-laki merepresentasikan gambar ayahnya [karena
Allah yang menciptakan Adam/manusia (Kej. 5:1)], dan bukan
seorang anak perempuan yang merepresentasikan ayahnya,
sehingga perempuan bukan cermin atau gambar langsung Allah.15
Hal yang menarik, pernyataan manusia atau pria sebagai
kemuliaan Allah tidak terdapat dalam kitab Kejadian. Paulus
mungkin sedang merujuk pada beberapa tradisi rabi yang
menunjukkan bahwa Adam adalah cermin dari kemuliaan Allah.
Tradisi-tradisi yang dimaksud di sini adalah Palestinian Talmud
Shabbat 2:5b; Balylonian Talmud Baba Batra 58a; Aggadic
Midrash Pesigta 4:36b; 12:10a; Tanch Achare Mot 3; Midrash
Rabba: Koh R 8:1; Pirqe R El 14:33b; Babylonian Talmud Chag
12a; Midrash Genesis R 12:6; Tanch Pikude 2.16
Literatur-literatur
ini mewakili teologi Yahudi yang memahami bahwa pria
diciptakan menurut kemuliaan Allah, dan bukan perempuan yang
diciptakan menurut kemuliaan Allah, dalam kaitannya dengan
konsep penciptaan pria yang sesuai dengan gambar Allah. Dengan
kata lain, tradisi Yahudi menghubungkan kemuliaan dengan
gambar Allah17
yang merujuk pada atribut dan kebesaran Allah,18
14 Lih. Fee, Corinthians, 513; Garland, 1 Corinthians, 522; C.K. Barret, Blacks
New Testament Commentary: The First Epistle to the Corinthians (Peabody,
MA: Hendrickson Publishers, 1968), 252. 15 Jervell, Imago Dei, 111. Lihat juga Wolfgang Schrage, Der erste Brief an die
Korinther, Bd.7/2:1 Kor 6,12-11,16 (Dsseldorf: Benziger Verlag, 1995), 509. 16 Tradisi-tradisi ini dirangkumkan oleh Jervell, Imago Dei, 100. 17 Jervell menunjukkan salah satu contoh relasi itu: In Tanch Pikude 2 it is said
that man was created, which is explained in greater detail: according to the glory
of his Creator. The expression can only be understood in such a way that one can
use for . is the attribute of God. - Ex 23:15: Moses asked to see
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 7
sehingga pria adalah refleksi kemuliaan Allah karena pria
diciptakan sesuai keagungan dan kemuliaan Allah.19
Paulus tidak menjelaskan atau mengklarifikasi konsep pria
sebagai refleksi kemuliaan Allah lebih lanjut kemungkinan karena
ia sedang menggambarkan pemahaman umum saat itu yang tidak
memerlukan penjelasan tambahan. Akan tetapi, Paulus tidak
berhenti sampai di titik ini yang seolah-olah hanya mengagungkan
posisi pria sebagai kemuliaan dan gambar Tuhan. Paulus
menambahkan tradisi tentang perempuan adalah kemuliaan pria
untuk menekankan pentingnya perempuan di dalam budaya yang
menegaskan dominasi pria.
Tradisi di dalam pernyataan bahwa perempuan adalah
kemuliaan pria terdapat dalam beberapa teks, seperti Amsal 11:16a
God's image, : Let me see yours, Ex 33, 18. - Adam's divine image was his
the light of the law. Gen. 1:27 corresponds to Ex 34, 29, according to Beth ,
Ha-Midrash Tadsche 4. In Deut. Rabba 11.3 it is said that Moses and Adam
discussed who was the greatest of them. Adam claims he was created. Moses
then answers that Adam in his godlike Doxa, the image of God, did not remain,
while he, Moses, did not lose his godlike equality. Jervell, Imago Dei, 100; tampaknya tradisi ini merupakan refleksi dari Bilangan 12:8 yang
menggambarkan Musa bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. 18 Lih. A. Feuillet, La Dignit Et Le Rle De La Femme D'aprs Quelques
Textes Pauliniens: Comparaison Avec L'Ancien Testament, New Testament
Studies 21, no. 2 (1975):160 dikutip oleh Anthony Thiselton, The First Epistle to
the Corinthians: A Commentary on the Greek Text (Grand Rapids: MI: W. B.
Eerdmans, 2000), 835. Beberapa ahli (Thiselton, Fee) mencoba melihat
kemuliaan sebagai sebuah tanda kehormatan berdasarkan Maleakhi 1:6; tetapi
tradisi Yahudi tidak memiliki pandangan demikian; Jervell menunjukkan bahwa
teologi Yahudi somehow menghubungkan kemuliaan Adam dengan wajahnya:
[Adam] is the image of God in the glorious appearance of man, that is, on his face see BBaba B 58a; Gene R 16.1; Koh R 8, 1 S 2; BMoed Q 15b; BSanh 46 b.
This also explains why the meaning can have "face", see Gene R 53.6, Tanch
Wajjesheb 2, Pb 3.6a, PMoed Q 3, 83a. Jervell, Imago Dei, 103. 19 Lihat juga BDAG yang memiliki pendapat sama bahwa kata kemuliaan ini
lebih cenderung merujuk pada cermin/refleksi. Untuk penjelasan Bauer dkk, lihat
William Arndt, Frederick W. Danker and Walter Bauer, A Greek-English
Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (BDAG),
3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 257.
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 8
(LXX);20
1 Edras 4:17;21
dan terdapat pada sebuah batu nisan, yang
tertulis nama istri seorang Yahudi Romawi Sophronius, yang
ditemukan di dalam bangunan bawah tanah (katakombe) dari Vigna
Randanini (sebelah luar kota Roma).22
Tradisi-tradisi ini
mengungkapkan adanya penghormatan terhadap perempuan di
tengah budaya patriarkat. Dengan merujuk pada tradisi-tradisi di
atas secara tidak langsung, Paulus mengingatkan pembaca bahwa
karena perempuan adalah kemuliaan pria, yang merupakan kepala
metaforana, dia harus membawa atau menyinarkan kemuliaan pria
dengan menutup atau menudungi kepalanya dalam ibadah.
Ayat 8-9
20 (perempuan yang cakap membangkitkan
kemuliaan pada lelaki; terjemahan literal); Septuaginta: SESB Edition, ed.
Alfred Rahlfs and Robert Hanhart (Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 2006);
or Amsal 12:4 (MT). 21 [Perempuan-perempuan] ini juga membuatkan baju untuk pria-pria;
[perempuan-perempuan] ini membawa kemuliaan () atas para pria; dan
tanpa perempuan para pria tidak bisa, diambil dari R. H. Charles, Apocrypha of the Old Testament, ed. Robert Henry Charles (Bellingham, WA: Logos Research
Systems, Inc., 2004), 1:31. Dalam konteks keseluruhan perikop (ayat 13-32),
ayat ini berbicara mengenai pentingnya perempuan dalam kaitannya dengan para
lelaki. 22 Inskripsinya tertulis : Lucilla,
kemuliaan Sophronius yang diberkati, dikutip oleh Garland dari R. Collins
(1999:410), Corinthians, 522; lihat juga Pieter W. van der Horst, Ancient Jewish
Epitaphs. Contributions to Biblical Exegesis and Theology 2, ed. Tj. Baarda and
A.S. van der Woude (Kampen, the Netherlands: Kok Pharos Publishing House,
1991), 143. Horst menunjukkan bahwa, We further note that Pauls conviction
that woman is the glory () of man (1 Cor. 11:7) is also expressed by the Roman Jew Sophronius who inscribes his wifes tombstone with the words the
glory of Sophronius (was) the blessed Lucilla; ibid, note 11. Sayangnya, sejak
batu tersebut hilang, Horst menambahkan, cukup sulit bagi kita untuk
menemukan informasi berkaitan dengan waktu dan konteks penulisan inskripsi
ini; ibid.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 9
Dalam dua ayat ini, Paulus menggunakan ringkasan atau
ikhtisar narasi23
dari Kejadian 2 (kisah penciptaan) sebagai alat
hermeneutikanya: urutan penciptaan24
sebagai argumentasi
lanjutannya berkaitan kesopanan dan penampilan dalam ibadah.
Mengenai urutan penciptaan, tidak banyak tradisi dalam tulisan
periode bait suci kedua yang berbicara mengenai perbandingan
status perempuan dan laki-laki, hanya Philo dalam Question and
Answers on Genesis 1:2725
dan Sirakh 42:14.26
Kedua tulisan ini
lebih menekankan tentang status perempuan yang lebih rendah
daripada laki-laki. Menurut Philo, perempuan itu lebih rendah dari
laki-laki karena perempuan tidak diciptakan langsung oleh Allah,
berbeda dengan laki-laki dan binatang yang merupakan ciptaan
23 Penulis menggunakan framework narrative summary, salah satu pendekatan
lanjutan intertekstualitas yang dikemukakan dari Leonard Wee Kong-Hwee
dalam desertasinya Beyond the Echoes: Extending the framework for Biblical
Intertextuality,Durham theses, Durham University (2012), available at Durham
E-Theses Online:
http://etheses.dur.ac.uk/6968/. 24 Sebagai tambahan, ada beberapa pandangan para ahli dalam mendefinisikan
urutan penciptaan: Richard Hays berpendapat bahwa urutan penciptaan adalah
urutan prioritas yang bersifat ontologis; sebaliknya, Belleville melihatnya
sebagai urutan kronologis; C. Blomberg dan W. Webb berpendapat bahwa urutan ini adalah urutan yang didasarkan pada analisis budaya, viz. primogeniture or
the privilege of firstborn, karena menurut mereka, Paulus berargumen
berdasarkan konteks budaya (ayat 16). Lihat Richard Hays, First Corinthians:
Interpretations: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville,
LV: John Knox Press, 1997), 187; Linda L. Belleville, Teaching and Usurping
Authority: 1 Timothy 2:11-15 in Discovery Biblical Equality: Complementary
Without Hierarchy, ed. R.W. Pierce, R.M. Groothuis, Gordon D. Fee (Downers
Grove, IL: IVP Academic, 2005), 222; Craig Blomberg, The NIV Application
Commentary: 1 Corinthians (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House,
1994), 216; William J. Webb, Slaves, Women And Homosexuals: Exploring The
Hermeneutics Of Cultural Analysis (Downers Grove, IL: IVP Academic, 2001), 134-144. 25 Mengapa bukan perempuan, seperti binatang lain dan lelaki, juga dibentuk
dari bumi, malahan dari sisi lelaki? Pertama, karena perempuan tidak setara
dalam kehormatan (honour) dengan lelaki. Philo, Supplement 1. Questions and
Answers on Genesis, LCL 380, transl. Raphl Marcus (London: Harvard
University Press, 1951), 16. 26 Kejahatan laki-laki lebih baik dari pada kebajikan perempuan, dan
perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista (TB LAI).
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 10
langsung.27
Karena itu, dia menyimpulkan bahwa perempuan lebih
rendah secara hirarki dari laki-laki dan subordinasi perempuan
diterima sebagai hal yang umum atau lazim dalam dunia saat itu.
Kitab Sirakh juga merefleksikan tradisi mirip yang menghirarkikan
pria di atas perempuan.
Bagaimana dengan Paulus? Berbeda dari eksegesis Philo
terhadap kisah penciptaan yang cenderung merendahkan
perempuan, Paulus tidak memahaminya demikian, karena Paulus
menekankan kesetaraan gender dalam tulisannya yang lain (bdk.
Galatia 3:28; 1 Korintus 7:2-4). Dengan mengekspresikan urutan
penciptaan, menurut penulis, Paulus berargumen bahwa karena
laki-laki diciptakan sebelum perempuan, dan perempuan adalah
penolong yang sepadan untuk pria, maka perempuan harus
menudungi kepalanya. Argumentasi Paulus terlihat dari
karakteristik dari ringkasan narasi berikut ini:
1. Penyusunan Kembali Cerita pada Level Mikro
(Rearrangement at Micro Level)
Di dalam ringkasan narasi tentang kisah penciptaan kitab
Kejadian 2 (ayat 8-9), Paulus tidak menyusun ringkasannya
secara kronologis, sehingga hal ini disebut penyusunan atau
penataan kembali pada level mikro. Contohnya, dia mengubah
kata (LXX), yang diterjemahkan dari ,(Hadam)
menjadi , bukan hanya dalam ayat 8-9, tetapi juga dalam
ayat-ayat lain di perikop yang sama (ayat 2-16). Sementara itu,
ketika Paulus menggunakan argumentasi yang sama (urutan
penciptaan) dalam 1 Tim 2:13,28
dia menggunakan ekspresi
yang berbeda (). Di samping itu, pada ayat 8, Paulus
27 Untuk mengetahui lebih lanjut persepsi Philo terhadap perempuan, lihat
Dorothy Sly, Philos Perception of Women, Brown Judaic Studies 209 (Atlanta,
GA: Scholars Press, 1990). 28 , .
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 11
merangkum materi yang diambil dari Kejadian 2:21-23, tetapi
pada ayat selanjutnya, dia kembali lagi pada Kejadian 2:18,
yang tentunya tidak berurutan. Hal ini dapat dideskripsikan
dalam tabel sebagai berikut:
2. Kerangka Episodik (Episodic Frames)
Paul meringkas dan mengubah kisah penciptaan (Kejadian
2) menjadi kerangka eposide dalam bentuk dua
argumentasi dan . Kedua argumentasi ini adalah
argumentasi lanjutan dari pernyataan Paul di ayat 7c
(perempuan adalah kemuliaan laki-laki), sebagaimana
permulaan ayat 8 dan 9 dimulai dengan kata penghubung .29
Dalam ayat 8, Paulus menggunakan kata preposisi atau
argumentasi dari untuk menunjukkan elemen interpretatif
bahwa pria atau manusia sudah ada ketika perempuan itu
diciptakan. Dia tidak menggunakan kisah penciptaan dari
Kejadian 1:27 yang mengindikasikan bahwa Allah menciptakan
pria dan perempuan. Dia justru menggunakan ringkasan kisah
dari Kejadian 2:7 untuk menunjukkan urutan penciptaan
dengan menggunakan argumentasi dari: perempuan
diciptakan dari pria.
Dalam ayat 9, Paulus menggunakan kata preposisi
30
dengan merujuk pada Kejadian 2, yang di dalamnya
29 Fee, Corinthians, 513. 30 Dalam konteks klausa ayat ini ( ), kata preposisi ini secara
sintaks memiliki fungsi kausatif , karena memiliki deklensi akusatif sehingga
Ringkasan Narasi/cerita
(Summary Narrative) Teks PL
Ayat 8 Perempuan diciptakan dari pria Kej 2:21-23
Ayat 9 Perempuan diciptakan untuk pria Kej 2:18
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 12
menceritakan bahwa Hawa ditunjuk sebagai penolong yang
sepadan untuk Adam. Dalam konteks 1 Kor. 11:9, Paulus
menggunakan kisah itu untuk mendukung argumennya bahwa
perempuan adalah kemuliaan pria/laki-laki (ayat 7c).31
Tabel
berikut meringkaskan perkembangan argumentasi Paulus:
Selain argumentasi dari dan untuk, Paulus juga
menunjukkan kontras argumentasi dengan menggunakan
adversatif kuat untuk memperkuat argumentasinya.
Sebagai contoh, dalam ayat 8, dia menunjukkan kontras
argumentasi dari tentang urutan penciptaan, dan dia
mengulanginya dalam nuansa negatif. Pola ini diulang dalam
ayat 9. Repetisi ini (bukan pria dari/untuk perempuan)
digunakan dengan tujuan untuk menekankan klausa
berarti karena; lihat Andreas J. Kostenberger, Benjamin L. Merkle, and Robert L. Plummer, Going Deeper with New Testament Greek: An Intermediate Study of
the Grammar and Syntax of the New Testament (Nashville, TN: B&H Academic,
2016), 402; Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics - Exegetical
Syntax of the New Testament (Zondervan Publishing House, 2002), 369. 31 Fee, Corinthians, 517.
Perkembangan
argumentasi
Ringkasan
narasi
Narasi PL
Ay. 8 Argumentasi
dari
Perempuan
diciptakan dari
pria, bukan
pria dari
perempuan
Kej 2:21-23
Ay. 9 Argumentasi
untuk
Perempuan
diciptakan
untuk pria,
bukan pria
untuk
perempuan
Kej 2:18
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 13
sebelumnya (perempuan diciptakan dari pria), karena mereka
memiliki arti yang sama dengan klausa sebelumnya itu.
3. Tujuan Retoris (Rhetorical Purpose)
Ringkasan narasi Paulus memiki tujuan retoris, yang dapat
dilihat dari dua cara: fokus yang selektif dan elemen yang
interpretatif:
a. Fokus yang Bersifat Selektif (Selective Focus)
Dalam memilih ringkasan narasi/cerita, Paulus cukup
selektif. Dia tidak memilih cerita penciptaan dari Kejadian
1 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan pria dan
perempuan (Kejadian 1:27), tetapi dari Kejadian 2. Dia
juga tidak menggunakan urutan penciptaan dari Kejadian
1,32
dan menghindari deskripsi detil tentang penciptaan
taman dan situasi di dalamnya (Kejadian 2:8-14), serta
relasi antara pria dan perempuan itu (ayat 23-25). Fokus
yang selektif dari ringkasannya digunakan untuk
menunjukkan urutan penciptaan Paulus hanya diambil dari
kisah penciptaan Kejadian 2.
b. Elemen yang Bersifat Interpretatif (Interpretative Element)
Dalam mendeskripsikan urutan penciptaan, Paulus
memasukkan elemen yang interpretatif sebagai bagian dari
argumentasinya dengan menggantikan kata
menjadi . Apakah Paulus tidak sengaja melakukan
kesalahan dengan mengubah kata ini? Penyalin p46
sepertinya berpikir demikian dan mencoba menyelesaikan
isu tekstual ini dengan mengubah kata ini kembali pada
versi Septuaginta LXX (). Akan tetapi, penulis
32 Dalam Kejadian 1, binatang dan ciptaan lainnya secara kronologis diciptakan
sebelum manusia, yang mengimplikasikan bahwa urutan penciptaan tidak harus
berarti hirarki; lihat Blomberg, Corinthians, 216.
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 14
yakin bahwa Paulus sengaja menggunakan kata
daripada kata .
Berdasarkan konteks perikop (ayat 2-16) dan gaya
menulis Paulus, di satu sisi, ada empat belas kali
kemunculan 33
dalam Korintus: empat kali di pasal 7
di dalam konteks hubungan suami-istri (kehidupan
pernikahan); delapan kali di 11:2-16; dan sekali dalam
13:11. Di sisi lain, Paulus juga menggunakan kata
sebanyak tiga kali: 3:3; 9:8 dan 15:32 (di dalam
arti yang lebih umum, yaitu manusia). Jika Paulus
bermaksud merujuk obyek argumentasinya pada manusia
secara umum, dia akan memilih menggunakan kata
daripada kata , karena dia sengaja
menggunakan kata juga dalam perikop-perikop
lainnya di 1 Korintus. Bagi penulis, Paulus tidak salah atau
dengan sengaja menggunakan kata . Pertanyaan lain
yang muncul: apakah memiliki arti yang sama
dengan ? Bauer mengamati adanya pergeseran
makna dari penggunaan , yaitu dari penggunaan
umum (manusia atau pria yang dikontraskan dengan
perempuan) menjadi suami dalam zaman Paulus.34
Hal ini
berarti makna di masa Paulus sudah cenderung
dipahami sebagai suami pada zaman Paulus. Dengan kata
lain, pilihan Paulus untuk menggunakan kata
daripada kata dalam konteks cerita Kejadian
yang sedang dia rujuk merefleksikan penekanan
interpretatifnya. Karena dia tidak merujuk pada manusia
secara umum, Paulus sengaja menempatkan kontras antara
33 1 Korintus 7:3, 4, 14, 39; 11:3, 4, 7, 8, 9, 11, 12, 14; 13:11. 34 Bdk. Mt 1:16, 19; Mk 10:2, 12; Lk 2:36; J 4:16ff; Kis 5:9f; Ro 7:2f; 1 Kor
7:2ff, 10ff; 14:35; Gal 4:27; Eph 5:22ff; Kol 3:18f; 1 Ti 3:2, 12; 5:9; Tit 1:6;
Homer et al.; Diodurus Siculus 2, 8, 6; Sir 4:10; Jos., Ant. 18, 149; Aristides 12,
2; Fragment Milne p. 74 ln. 3; Just., A II, 2, 5ff; untuk data yang lebih lengkap
lihat Bauer dkk, BDAG, 79.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 15
dan di dalam konteks relasi suami dan istri,
sebagaimana dia sudah mendahului menggunakan
argumentasinya dalam konteks itu pada ayat 3 bahwa
suami () adalah kepala dari istrinya.35
Blomberg
sejalan dengan pemahaman ini: References to the creation
of man and woman (vv. 8-9) have understandably given
rise to the former translation [man and woman], but Adam
and Eve were not only the prototypical male and female
but also the first married couple.36
Tentu saja tidak
perlu menerjemahkan sebagai suami pada setiap ayat
dalam perikop ini (ayat 2-16), karena Paulus berdiskusi
tentang problem lajang dan janda dalam pasal 7 yang
memahami bahwa tidak setiap perempuan dalam gereja
Korintus telah menikah.37
Di dalam ekspresi dan bersama pada ayat
8-9, Paulus mungkin membatasi aplikasi/penggunaan
urutan penciptaan dalam kaitannya dengan konteks
sebelumnya, yaitu urutan kediaman order of the home
(ayat 3).38
Hal ini sesuai dengan logika dan tujuan retoris
Paulus. Sebagaimana suami adalah kepala dari istrinya
(ayat 3), suami memiliki otoritas atas istri, dan menudungi
kepala adalah simbol ketaatan istri. Meskipun menudungi
kepala adalah budaya yang tidak diwajibkan bagi para
perempuan di Korintus,39
prinsip ini tidak dimengerti oleh
35 RSV dan NRSV sepakat menerjemahkan demikian. 36 Blomberg, 1 Corinthians, 209. 37 Blomberg, 1 Corinthians, 209. 38 Ketika mendiskusikan ayat 7, Fee juga mendeteksi hubungan antara ayat 8-9
and ayat 3; Fee, Corinthians, 515. 39 Thompson dalam studi arkeologinya mengenai lukisan dinding Pompeii yang
terkubur pada 79 M menyimpulkan bahwa tradisi menutupi/menudungi kepala
adalah tradisi pilihan atau bukanlah kewajiban bagi para perempuan dalam dunia
Yunani-Romawi pada masa Paulus. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Cynthia
L. Thompson, Hairstyles, Head-coverings, and St. Paul: Portraits from Roman
Corinth, Biblical Archeologist 51 (2, June 1988): 112.
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 16
para lajang atau janda, penulis setuju dengan Keener yang
mengamati bahwa tujuan Paulus ini adalah mempraktikkan
pengorbanan diri (self-sacrifice) atau surrendering ones
own right to avoid causing others to lose faith in Christ.40
Menudungi kepala adalah manifestasi sikap berkorban
demi kehidupan komunitas bersama. Hal ini sesuai dengan
respons Paulus terhadap beberapa isu gereja Korintus
dalam beberapa perikop lain. Contohnya, Paul menasihati
saudara yang kuat mengorbankan hak mereka pada saudara
yang lebih lemah berkaitan dengan isu memakan makanan
yang dipersembahkan pada berhala (pasal 8), dan dalam
pasal 9 Paulus mengorbankan haknya sendiri sebagai
seorang rasul.41
Karena itu, dengan mengenakan kerudung
kepala, para perempuan menunjukkan kasih Kristus yang
berkorban, dan mereka berkontribusi pada kesatuan gereja.
Selain itu, pemilihan kata daripada
dari Paulus juga merefleksikan konteks budaya dari
komunitas saat itu, yakni relasi suami-istri menjadi pola
bagi relasi pria-perempuan, bahkan untuk pria dan
perempuan yang tidak menikah.42
Meskipun otoritas
dilaksanakan atau diekpresikan secara penuh oleh suami
dan istri dalam konteks pernikahan (suami memiliki
otoritas atas istri), pria yang tidak menikah dalam
komunitas juga memiliki tanggung jawab ini, dan para
perempuan juga memiliki tanggung jawab untuk taat di
bawah otoritas pria dalam komunitas. Hal ini didasarkan
pada struktur sosial dalam dunia Yunani-Romawi kuno.
Para perempuan yang tidak menikah (para lajang dan
40 Keener, Paul, Women and Wives, 41. 41 Keener, Paul, Women and Wives, 41. 42 Michael R. Riley, The Proper Translation of Aner and Gune in the New
Testament, (paper presented for the Manitowoc Pastoral Conference, St. Johns,
Newtonburg, April 19, 1993).
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 17
janda) tidak independent, tetapi tetap berada di bawah
otoritas ayah mereka atau anggota keluarga lelaki yang
memiliki responsibilitas setelah ayah mereka.43
Dengan
kata lain, Paulus menasihatkan para perempuan untuk
mengikuti tradisi ini (otoritas pria berdasarkan pola
pernikahan) dengan menutupi kepala mereka pada saat itu
demi kepentingan komunitas mereka, bahkan ketika
mereka diikat oleh peraturan sosial untuk melakukan hal
itu. Karena itu
KESIMPULAN
Pembacaan intertekstual terhadap 1 Kor. 11:7-9
menghasilkan pemahaman yang mendalam dan kaya mengenai
penggunaan teks Kejadian oleh Paulus yang di dalam lingkungan
tradisi teks Yahudi yang merefleksikan tradisi Kejadian. Ada
beberapa pengamatan yang dapat ditarik dari hubungan
intertekstual ini:
1. Secara umum, Paulus tampaknya mengikuti tradisi rabinik dan
Yahudi yang bersandar pada tradisi Kitab Kejadian, yang
menekankan subordinasi kaum perempuan di bawah otoritas
pria (di dalam konteks urutan penciptaan), tetapi tentunya dia
memberikan klarifikasi dengan menambahkan pemahaman
tentang pentingnya perempuan di tengah budaya itu. Dengan
kata lain, Paulus tidak menentang tradisi menutup kepala
(khususnya di ayat 7), tapi tidak mengikuti sepenuhnya, karena
dia menekankan pentingnya perempuan di dalam tradisi
patriarkat. Selain itu, tujuan utama Paulus dengan rujukannya
pada tradisi ini adalah untuk mendukung argumentasi tentang
menutupi kepala perempuan di dalam ibadah. Sama halnya
43 Riley, Aner and Gune; see also Michael Marlowe, The Womans
Headcovering: 1 Corinthians 11:2-16, October 2008, accessed April 17, 2018,
http://www.bible-researcher.com/headcoverings.html#note3.
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 18
juga dengan urutan penciptaan (ayat 8-9) dipakai Paulus untuk
mendukung argumentasi Paulus di dalam konteks budaya yang
tidak diaplikasikan ke dalam semua konteks (transcultural).
2. Ringkasan narasi Paulus di dalam ayat 8-9 adalah hal yang
unik, karena dia menempatkan argumentasi dari urutan
penciptaan di dalam implikasi yang kontekstual. Dia menaruh
logika urutan penciptaan di dalam konteks pernikahan, yang
sesuai dengan latar belakang budaya sosial jemaat saat itu
(tudung kepala). Dengan menganalisa ringkasan narasi Paulus
(narrative summary), kita dapat menyimpulkan bahwa urutan
penciptaan ini digunakan Paulus untuk menunjukkan bahwa
otoritas suami atas istri di dalam pernikahan menjadi semacam
pola untuk relasi pria dan perempuan di dalam komunitas.
Selain itu, pola ini menjadi alasan bagi perempuan untuk
menutupi kepala mereka sebagai tanda dari kemuliaan pria di
dalam komunitas. Di samping itu, dengan berargumen dari
urutan penciptaan, Paulus memanggil para perempuan untuk
mempraktikkan kasih dalam bentuk pengorbanan diri demi
keutuhan dan kesatuan komunitas dengan menutupi kepala
mereka.
3. Kita tetap harus ingat bahwa Paulus tidak menitikberatkan
posisi para pria, tetapi mengkualifikasi argumentasinya dengan
menjelaskan relasi interdependensi (kesaling-bergantungan)
antara pria dan perempuan di dalam ayat 11-12, dan di dalam
konteks sebelumnya (7:1-9) yang menunjukan relasi yang
saling bergantung antara suami dan istri. Dengan kata lain,
tujuan Paulus di sini tidaklah mendukung keadaan/martabat
perempuan yang rendah (inferiority of women). Tujuannya
jelas di dalam ayat 7-9, seperti yang diutarakan Garland:
Woman, whose head is man and who represents his glory, is
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 19
to be covered in worship. To do otherwise brings shame to
their respective heads.44
4. Relevansi pastoral: dari pengamatan di atas, penulis melihat
bahwa pendekatan Paulus dalam memecahkan masalah di
gereja Korintus adalah pendekatan yang moderate. Paulus
tidak memberontak atau melabrak sistem yang ada (budaya
patriarkat berdasarkan urutan penciptaan), tetapi di dalam
tradisi yang dominan dan tidak menguntungkan posisi
perempuan, dia berusaha memberikan alasan positif
berdasarkan tradisi yang berimbang (perempuan adalah
kemuliaan pria), tentunya di dalam konteks meneladani kasih
Kristus. Dengan demikian, dengan menudungi kepala mereka,
para perempuan tidak menjadi batu sandungan bagi jemaat,
dan mereka berkontribusi pada kesatuan tubuh Kristus.
DAFTAR RUJUKAN
Barret, C.K. Blacks New Testament Commentary: The First
Epistle to the Corinthians. Peabody, MA: Hendrickson
Publishers, 1968.
Belleville, Linda L. Teaching and Usurping Authority: 1 Timothy
2:11-15 in Discovery Biblical Equality: Complementary
Without Hierarchy. Edited by R.W. Pierce, R.M. Groothuis,
Gordon D. Fee. Downers Grove, IL: IVP Academic, 2005.
Blomberg, Craig. The NIV Application Commentary: 1
Corinthians. Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing
House, 1994.
44 Garland, Corinthians, 522.
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 20
Fee, Gordon D. The First Epistle to the Corinthians. The New
International Commentary on the New Testament. Grand
Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1987.
Feuillet, A. La Dignit Et Le Rle De La Femme D'aprs
Quelques Textes Pauliniens: Comparaison Avec L'Ancien
Testament. New Testament Studies 21, no. 2 (1975): 157
191.
Fishbane, Michael. Biblical Interpretation in Ancient Israel. New
York, NY: Oxford University Press, 1985.
Garland, David E. 1 Corinthians. Baker Exegetical Commentary on
the New Testament. Grand Rapids, MI: Baker Academic,
2003.
Gregg, J. A. F. The Wisdom of Solomon in the Revised Version with
Introduction and Notes, The Cambridge Bible for Schools
and Colleges. Cambridge: Cambridge University Press,
1922), 21.
Hays, Richard B. First Corinthians: Interpretations: A Bible
Commentary for Teaching and Preaching. Louisville, LV:
John Knox Press, 1997.
Horst, Pieter W. van der. Ancient Jewish Epitaphs. Contributions to
Biblical Exegesis and Theology 2. Edited by Tj. Baarda and
A.S. van der Woude. Kampen, the Netherlands: Kok Pharos
Publishing House, 1991.
Jervell, Jacob. Imago Dei: Gen I, 26 f. im Sptjudentum, in der
Gnosis und in den paulinischen Briefen (Gttingen:
Vandenhoeck & Ruprecht, 1960.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 21
Keener, Craig S. Paul, Women and Wives: Marriage and Womens
Ministry in the Letters of Paul. Grand Rapids, MI: Baker
Academic, 2004.
Marlowe, Michael. The Womans Head Covering: 1 Corinthians
11:2-16, October 2008. Accessed April 17, 2018.
Http://www.bible-researcher.com/headcoverings.html#note3.
Meier, John P. On the Veiling of Hermeneutics (1 Cor. 11:2-16).
The Catholic Biblical Quarterly, 40, no. 2 (April 1978): 212-
226.
Riley, Michael R. The Proper Translation of Aner and Gune in the
New Testament. Paper presented for the Manitowoc Pastoral
Conference, St. Johns. Newton burg. April 19, 1993.
Schrage, Wolfgang. Der erste Brief an die Korinther, Bd.7/2:1 Kor
6,12-11,16. Dsseldorf: Benziger Verlag, 1995.
Sly, Dorothy. Philos Perception of Women, Brown Judaic Studies
209. Atlanta, GA: Scholars Press, 1990.
Thiselton, Anthony C. The First Epistle to the Corinthians: A
Commentary on the Greek Text. Grand Rapids: MI: W. B.
Eerdmans, 2000.
Thompson, Cynthia L. Hairstyles, Head-coverings, and St. Paul:
Portraits from Roman Corinth. Biblical Archeologist 51 (2,
June 1988): 99-115.
W. Arndt, F. W. Danker, & Bauer, W. A Greek-English lexicon of
the New Testament and other early Christian literature.
"Based on Walter Bauer's Griechisch -deutsches Wrterbuch zu
den Schriften des Neuen Testaments und der frhchristlichen
Gema Kitab Kejadian dalam 1 Korintus 11:7-9 22
[sic] Literatur, sixth edition, ed. Kurt Aland and Barbara
Aland, with Viktor Reichmann and on previous English
editions by W.F. Arndt, F.W. Gingrich, and F.W. Danker.",
3rd ed. Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Wallace, Daniel B. Greek Grammar Beyond the Basics - Exegetical
Syntax of the New Testament. Zondervan Publishing House
and Galaxie Software, 1999; 2002.
Webb, William J. Slaves, Women and Homosexuals: Exploring the
Hermeneutics of Cultural Analysis. Downers Grove, IL: IVP
Academic, 2001.
23
HUMOR DALAM PERUMPAMAAN
TENTANG PENGAMPUNAN
(MATIUS 18:21-35)
Stefanus Kristianto
Abstrak: Disadari atau tidak, untuk rentang waktu yang lama,
sebenarnya ada tendensi anti-humor yang kuat dalam Kekristenan.
Hal ini tidak mengejutkan sebab tradisi Kristen memang telah
mewariskan semacam sentimen negatif terhadap humor. Dalam
studi ini, penulis akan mencoba meresponi salah satu dampak
negatif dari tradisi ini, yaitu pengabaian atau penolakan terhadap
eksistensi humor dalam Alkitab. Lebih spesifiknya, penulis akan
mencoba menunjukkan potensi humor dalam sebuah teks, yakni
perumpamaan tentang pengampunan (Matius 18:21-35). Untuk
mencapai hal tersebut, penulis akan lebih dulu berusaha
memberikan definisi provisional tentang humor. Setelah itu,
penulis akan membahas konteks dan konten dari perikop tersebut,
sebelum pada akhirnya memaparkan beberapa usulan mengenai
humor dalam teks tersebut.
Kata-kata kunci: Humor, Injil Matius, Perumpamaan,
Pengampunan, Keganjilan, Hyperbola
Abstract: Whether it is realized or not, for a long period of time,
there has been a strong anti-humor tendency within the church.
This is not surprising since the Christian tradition has indeed
bequeathed a kind of negative sentiment toward humor. In this
study, the writer is trying to respond to one of the negative impacts
of this tradition, namely the ignorance or the denial of the existence
of humor in the Bible. Specifically, the writer will try to show
humor potentials in a certain passage of the Bible, i.e. the parable
of the Unmerciful Servant (Matthew 18:21-35). To achieve the
goal, the writer will first attempt to give a provisional definition of
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 24
humor. Afterwards, he will discuss the context and content of the
passage, and finally, he will discuss some suggestions as to humor
in the passage.
Keywords: Humor, the Gospel of Matthew, Parables, Unmerciful
Servant, Incongruity, Hyperbole
PENDAHULUAN: TRADISI YANG ANTI-HUMOR
Beberapa tahun yang lampau, dalam sebuah seminar, salah
seorang mentor penulis pernah mengisahkan pengalamannya ketika
dia mulai belajar berkhotbah di sebuah sekolah teologi. Dia
menceritakan bahwa salah seorang dosennya pernah menegurnya,
karena dia kerap menghadirkan gurauan-gurauan dalam khotbah-
khotbahnya. Bagi dosen tersebut, khotbah dan mimbar adalah hal
yang kudus dan, oleh sebab itu, tidak sepatutnya dikotori atau
dinajiskan dengan berbagai gurauan.1 Pengalaman mentor
penulis ini sebenarnya hanyalah salah satu contoh yang
menunjukkan bahwa untuk jangka waktu yang lama ternyata ada
semacam sentimen negatif terhadap humor dalam kekristenan. Hal
ini tidak mengherankan, sebab tanpa disadari tradisi Kristen
memang mewariskan semacam tendensi anti-humor dalam gereja.
Pada abad-abad permulaan, humor dianggap sebagai sesuatu yang
negatif oleh mayoritas bapa gereja.2 Dalam hal ini, salah satu
1 Lihat rekaman pertama seminar Humor dalam Alkitab oleh Yakub Tri
Handoko, yang bisa diakses secara daring di
https://www.youtube.com/watch?v=7EkT5MN4obM&t=68s 2 Nampaknya ada dua alasan utama mengapa para bapa gereja melihat humor
sebagai hal yang negatif. Alasan pertama bersifat teologis. Para tokoh ini melihat
bahwa kemunculan humor dalam Alkitab (khususnya dalam Perjanjian Lama) biasanya terkait dengan kebencian dan kebodohan [(band. John Morreall,
Philosophy and Religion, in Victor Raskin (ed.), The Primer of Humor
Research (Berlin: Mouton de Gruyter, 2008), 212-3]. Terkait kebencian, hal ini
bisa dilihat dalam tawa Allah di dalam Mazmur 2, yang muncul dalam konteks
ejekan. Tawa Elia terhadap nabi-nabi Baal (1 Raja-Raja 18:20-46) maupun tawa
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 25
contoh yang paling mengemuka ialah Yohanes Krisostomus.
Dalam salah satu khotbahnya, dia pernah menulis demikian:
Thus laughter often gives birth to foul discourse, and foul
discourse to actions still more foul. Often from words and
laughter proceed railing and insult; and from railing and
insult, blows and wounds; and from blows and wounds,
slaughter and murder. If, then, you would take good counsel
for yourself, avoid not merely foul words, and foul deeds, or
blows, and wounds, and murders, but unseasonable laughter,
itself, and the very language of banter; since these things
have proved the root of subsequent evils (The Homilies on the
Statues to the People of Antioch, Homily XV. 11)3
sekelompok anak kecil terhadap Elisa karena kebotakannya (2 Raja-Raja 2:23-
24) juga dianggap mengandung konotasi yang sama. Sementara mengenai
kebodohan, tawa Abraham dan Sarah terhadap janji Allah merupakan teks yang
representatif (Kejadian 17:17; 18:12-15). Morreall menjelaskan jalan berpikir
para tokoh ini, Abraham and Sarahs laughter did not express superiority or
scorn towards God, but it did show two serious shortcomings: the intellectual
inability to imagine the maker of heaven and earth performing a simple miracle,
and a lack of trust in God. (Morreall, Philosophy and Religion, 212; band juga James H. Charlesworth, How Barisat Bellowed: Folklore, Humor, and
Iconography in the Jewish Apocalypses and the Apocalypse of John. DSSCOL 3
[North Richland Hill, TX: Bibal, 1998], 9-10). Beberapa nasihat yang
disampaikan oleh Qoheleth juga terlihat mengaitkan tawa dengan kebodohan dan
kesia-siaan (Pengkhotbah 2:2; 7:3-6). Selain itu, rujukan kepada teladan Kristus
juga mengharuskan mereka menghindari tawa (lihat catatan kaki nomor 4; lih.
Willie Van Herden, Why the Humour in the Bible Plays Hide and Seek with
Us, in Social Identities 7/1 [2001]: 84). Alasan kedua terkait dengan pengaruh
filosofis. Beberapa filsuf ternyata mengaitkan tawa sebagai wujud sikap anti-
sosial yang lahir dari kurangnya pengendalian diri. Ide ini khususnya terlihat
jelas dalam pemikiran Plato. Van Herden menuliskan, Plato claimed that humour is harmful because it involves the suspension of our highest faculty, our
reason. Laughter is therefore to be suppressed, because it promotes and
expresses silliness and irresponsibility, which are less than fully human
qualities (Van Herden, Why the Humour in the Bible, 81). Akibatnya, tentu
saja para bapa gereja awal (yang umumnya dipengaruhi Plato) juga cenderung
melihat humor secara negatif. 3 Teks ini bisa diakses secara daring di
http://www.newadvent.org/fathers/190115.htm
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 26
Di tempat lain, Krisostomus menyatakan bahwa tawa
bukanlah sikap yang mengikuti teladan Kristus dan orang-orang
Kudus. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa justru dengan
menangislah orang-orang Kristen sebenarnya sedang meneladani
Kristus dan Paulus, dan bahkan mempersiapkan dirinya untuk
mewarisi Kerajaan Allah.4 Setali tiga uang dengan Krisostomus,
beberapa bapa gereja lainnyasemisal Klemens Aleksandria,
Ambrosiaster, Hieronimus (Jerome), dan Basil Kaesareaternyata
juga mengemukakan pendapat serupa dalam beberapa khotbah
mereka.5
Pada era Monastik, keadaan ternyata tidak jauh berubah.
Humor masih dipandang sebagai sesuatu yang negatif oleh banyak
rahib. Morreall mendaftarkan beberapa contoh di antaranya:
The oldest monastic ruleof Pachom of Egypt in the fourth
centuryforbade joking. The Rule of St. Benedict, the
foundation of Western monastic codes, enjoined monks to
prefer moderation in speech and speak no foolish chatter,
nothing just to provoke laughter; do not love immoderate or
boisterous laughter. In Benedicts Ladder of Humility, Step
Ten was a restraint against laughter, and Step Eleven a
warning against joking. The monastery of Columban in
Ireland assigned these punishments: He who smiles in the
4 If you also weep thus, you have become a follower of your Lord. Yea, for He
also wept, both over Lazarus, and over the city; and touching Judas He was
greatly troubled. And this indeed one may often see Him do, but nowhere laugh,
nay, nor smile but a little; no one at least of the evangelists has mentioned this.
Therefore also with regard to Paul, that he wept, that he did so three years night
and day, both he has said of himself, and others say this of him; but that he
laughed, neither has he said himself anywhere, neither has so much as one other
of the saints, either concerning him, or any other like him For this is not the
theatre for laughter, neither did we come together for this intent, that we may give way to immoderate mirth, but that we may groan, and by this groaning
inherit a kingdom (Homilies on Matthew VI.8-9). Teks khotbah ini bisa diakses
secara daring di http://www.newadvent.org/fathers/200106.htm 5 Lihat Stephen Halliwell, Greek Laughter: A Study of Cultural Psychology from
Homer to Early Christianity (Cambridge: CUP, 2008), 512-9.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 27
service . . . six strokes; if he breaks out in the noise of
laughter, a special fast unless it has happened pardonably.
One of the strongest condemnations of laughter came from
the Syrian abbot Ephraem: Laughter is the beginning of the
destruction of the soul, o monk; when you notice something of
that, know that you have arrived at the depth of the evil. Then
do not cease to pray God, that he might rescue you from this
death.6
Pada periode Puritanisme, cara pandang terhadap humor
ternyata kian menjadi negatif. Beberapa tokoh Puritan bahkan
menulis beberapa traktat untuk melawan humor dan komedi.
William Pyrnne, misalnya, menganggap bahwa komedi adalah hal
yang tidak sesuai dengan sikap hidup kristiani. Oleh karena itu, dia
menasihatkan, orang Kristen tidak seharusnya melibatkan dirinya
dalam sikap yang sembrono, sia-sia, dan berlebihan seperti
demikian.7
Dari skesta singkat ini, terlihat bahwa perjalanan sejarah
kekristenan ternyata diwarnai oleh para pemikir yang anti-humor.
Humor cenderung dianggap sebagai wujud keberdosaan, entah
sebagai bentuk ekspresi kebencian atau absennya pengendalian diri.
Willie Van Herden meringkaskan cara pandang ini dengan baik:
The greater the degree of holiness, the less the degree of laughter
and humour.8 Cara pandang ini tak pelak melahirkan dua
konsekuensi praktis dalam sejarah Kekristenan. Pertama, orang-
orang Kristen cenderung menghindari humor atau gurauan dalam
kehidupan mereka sehari-hari, sebab hal tersebut dianggap sebagai
tanda jauhnya hidup mereka dari kesalehan. Dengan kata lain,
secara diam-diam, orang-orang Kristen cenderung dibentuk agar
memiliki temperamen yang serius dan literal. Karena alasan ini,
6 Morreall, Philosophy and Religion, 217. 7 Lihat John Morreall, Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor
(Malden, Ma: Wiley-Blackwell, 2009), 5-6. 8 Van Herden, Why the Humour in the Bible, 77.
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 28
tidak heran jika dosen tadi harus memberikan teguran kepada
mentor penulis. Bukankah tidak layak untuk menggunakan piranti
keberdosaan dalam menyampaikan firman yang kudus di atas
mimbar yang kudus? Kedua, orang-orang Kristen cenderung
melewatkan (atau bahkan memungkiri) eksistensi humor dalam
Alkitab. Karena humor adalah manifestasi keberdosaan, maka
menganggap bahwa Alkitab mengandung dan menampilkan sikap
yang demikian tentunya merupakan sikap yang tidak masuk akal,
bila bukan penghujatan.9
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan berfokus pada
konsekuensi yang pertama.10
Sebaliknya, di sini penulis akan
mencoba memberikan jawaban terhadap konsekuensi kedua.
Karena keterbatasan ruang, tentu saja adalah hal yang mustahil
untuk menunjukkan potensi humor dalam seluruh bagian Alkitab.
Apa yang akan penulis lakukan dalam tulisan ini ialah
9 Van Herden, Why the Humour in the Bible, 81. Harus diakui bahwa tradisi
Kristen bukanlah satu-satunya penyebab orang-orang Kristen dan pembaca
modern lain tidak bisa menikmati humor dalam Alkitab. Penulis melihat (1) gap
budaya dan bahasa antara masyarakat Alkitab (penulis dan penerimanya) dan
pembaca modern, (2) perbedaan cara membaca antara masyarakat Alkitab
dengan masyarakat modern, maupun (3) pengaruh para akademisi (bdk. catatan
kaki 61), juga turut berperan menyebabkan banyak orang sulit mendeteksi keberadaan humor dalam Alkitab. Lih. Stefanus Kristianto, Jesuss Humor in the
Antitheses (Unpublished MTh thesis; Singapore: Trinity Theological College,
2017), 26-31. 10 Terkait hal ini Conrad Hyers memberi sebuah pendapat yang baik. Dia
mengakui bahwa memang ada tawa yang terkait dengan kejatuhan (fallen
laughter), yakni tawa yang ditujukan untuk mengolok seseorang atau
meninggikan diri seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi, dia menolak
gagasan bahwa semua tawa adalah hal yang negatif. Sebaliknya, dia berpendapat
bahwa humor dan tawa manusia berakar dalam Allah: manusia tertawa dan
mengenali humor sebab manusia diciptakan menurut gambar Allah. Dengan kata
lain, humor merupakan salah satu bagian dari karakter Allah. Oleh sebab itu, menolak humor karena menganggapnya sebagai sikap yang negatif merupakan
sikap yang tidak berdasar. Humor, seperti yang Hyers jelaskan, merupakan salah
satu anugerah Allah bagi manusia sebagai gambar-Nya. Lihat Conrad Hyers, And
God Created Laughter: the Bible as Divine Comedy (Atlanta: John Knox, 1987),
9-23.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 29
menunjukkan bahwa sebuah teks Alkitab yang dibahas ternyata
sangat mungkin mengandung potensi humor;11
dan bagian yang
akan menjadi perhatian dalam tulisan ini ialah perumpamaan
tentang pengampunan, yang terekam dalam Matius 18:21-35.
Perumpamaan ini adalah salah satu perumpamaan Tuhan Yesus
yang terkenal. Meski demikian, tidak banyak pembaca yang
menyadari bahwa perikop ini mengandung beberapa potensi
humor.12
Untuk menunjukkan potensi humor dalam perikop ini,
pertama-tama penulis akan mendiskusikan secara singkat mengenai
definisi humor. Sesudahnya, penulis akan membahas konteks dan
konten perumpamaan ini, sebelum akhirnya menunjukkan beberapa
potensi humor dalam perikop ini. Apa yang menarik, bila
interpretasi penulis dalam studi ini bisa diterima, itu berarti Alkitab
(khususnya kitab Injil) bukan sekadar mengandung humor, tetapi
lebih jauh lagi, Alkitab ternyata menampilkan Yesus sebagai sosok
yang hidup dan humoris! (kontra Krisostomus).13
11 Penting diingat bahwa studi humor dalam Alkitab bukanlah sebuah studi
eksakta, melainkan sebuah studi interpretasi. Karena itu, ketika seorang penafsir
berpendapat bahwa satu ayat atau bagian Alkitab mengandung humor, tentu saja
derajat keyakinannya akan berbeda dengan saat ia mengatakan bahwa satu
ditambah satu (dalam konteks perhitungan desimal!) adalah dua! Apa yang bisa
seorang penafsir humor nyatakan ialah bahwa dengan berdasar pada sebuah teori
atau konsep humor tertentu, sebuah ayat atau bagian Alkitab yang dibahas sangat
mungkin (probably) mengandung unsur humor. 12 Jakob Jnsson sebenarnya tidak terlalu yakin apakah perikop ini memang
mengandung humor. Meski demikian, ia melihat bahwa perubahan sikap yang
tiba-tiba yang dilakukan si hamba nampaknya berpotensi mengandung unsur komikal (lihat Humor and Irony in the New Testament: Illuminated by Parallels
in Talmud and Midrash [Leiden: Brill, 1965], 134-6). Sayangnya, Jnsson tidak
mengelaborasi pendapatnya lebih jauh, sehingga usulannya menjadi tidak jelas. 13 Selain Krisostomus, beberapa pemikir lain juga berpendapat bahwa Yesus
adalah pribadi yang anti-humor, misalnya Nietzsche, Harris, dan Chesterton.
Lihat Henry F. Harris, The Absence of Humor in Jesus, in Methodist Quarterly
Review 57/3 (July 1908): 460-7; Gilbert K. Chesterton, Heretics/Orthodoxy
(Nashville: Thomas Nelson, 2000), 311.
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 30
MENDEFINISIKAN HUMOR
Apakah humor itu? The Oxford Advanced American
Dictionary memberikan tiga pilihan definisi, yaitu: (1) the quality
in something that makes it funny or amusing; the ability to laugh at
things that are amusing; (2) the state of your feelings or mind at a
particular time; and (3) one of the four liquids that were thought in
the past to be in a persons body and to influence health and
character.14
Dari ketiga definisi di atas, terlihat jelas bahwa hanya
ada satu definisi yang terkait dengan studi humor, yakni definisi
pertama. Hanya saja, definisi tersebut tidak menjelaskan sifat dasar
humor kepada pembacanya.
Diskusi mengenai sifat dasar atau natur humor memang tidak
pernah menjadi diskusi yang mudah, sehingga tidak mengherankan
bila lantas para sarjana Alkitab cenderung menghindari diskusi ini
dan memilih memberi pengertian minimal mengenai humor.
Rogness, misalnya, mendefinisikan humor sebagai: those
situations, comments, or stories that would cause us to smile,
chuckle, or even laugh.15
Akan tetapi, dalam halaman awal
artikelnya, dia menuliskan:
What is humorous or funny depends as much on the listener
or viewer as the situation or humorist, so an exact definition
is impossible. Defining humor is much like Supreme Court
Justice Potter Stewart trying to define obscenity in a 1964
case before the court (Jacobellis V. Ohio). He wrote, I shall
not today attempt further to define the kinds of material I
understand to be embraced but I know it when I see it. An
adequate definition of humor is impossible, but we know it
when we see it.16
14 Oxford Advanced American Dictionary (Oxford: OUP, 2011), 740. 15 Michael Rogness, Humor in the Bible, in Word & World 32/2 (2012): 119. 16 Rogness, Humor in the Bible, 117. Penekanan oleh penulis.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 31
Kesimpulan yang sama juga bisa ditemukan dalam studi
yang dilakukan John Reid dan Yehuda Radday. Reid berpendapat
bahwa kualitas humor sebenarnya menolak semua upaya definisi.
Bagi Reid, humor hanya bisa dirasakan dan dinikmati, tetapi tidak
bisa didefinisikan dengan pasti.17
Senada dengan Reid, Radday
juga meyakini bahwa konsep humor sebenarnya menolak semua
upaya definisi yang dilakukan manusia.18
Bednarz merupakan
contoh yang lain. Di dalam disertasinya, dia tidak sedikitpun
membahas sifat humor.19
Hal ini menjadi jelas dalam sebuah
publikasi yang diterbitkannya kemudian. Dia berpendapat bahwa
sarjana Alkitab telah bersikap bijak dengan menghindari diskusi
yang kompleks mengenai teori humor. Dia melanjutkan, observasi
sederhana bahwa humor terdiri atas beberapa bentuk keganjilan
(incongruity) sudah lebih dari cukup untuk menjadi landasan dalam
studi humor Alkitab.20
Bila para sarjana tadi mewakili kelompok pesimisitis,
beberapa sarjana lain ternyata cukup percaya diri dalam
menguraikan natur humor. Jakob Jnsson, misalnya,
mengalokasikan satu bab khusus untuk membahas natur humor dan
ironi.21
Dia mejelaskan bahwa studi humor pada dasarnya
merupakan studi mengenai sesuatu yang lucu (comical). Dia lantas
mengaitkan kelucuan ini dengan beberapa elemen lain, seperti sifat
menggelikan (ludicrousness), kemenangan atas sesuatu yang tidak
17 Dikutip dalam Jnsson, Humor and Irony, 16. 18 Yehuda T. Radday, On Missing the Humour in the Bible: An Introduction,
dalam Yehuda T. Radday and Athalya Brenner (eds.), On Humour and Comic in
the Hebrew Bible (Sheffield: Almond, 1990), 23. 19 Terri Bednarz, Humor-neutics: Analyzing Humor and Humor Function in the
Synoptic Gospels (Unpublished Ph.D dissertation, Texas Christian University,
2009). 20 Terri Bednarz, Humor in the Gospels: A Sourcebook for the Study of Humor in
the New Testament 1863-2014 (Lanham: Lexington, 2015), 10. Bdk. juga Erik
Thoennes, Laughing through Tears: Redemptive Role of Humor in in a Fallen
World, in Presbyterion 33/2 (2007): 76. 21 Jnsson, Humor and Irony, 16-34.
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 32
disukai, keganjilan (incongruity), inkoherensi, dan sebagainya.22
Sementara itu, Leslie Flynn, sebagai perwakilan suara optimistis
lainnya, juga mencoba mendefinisikan hal-hal yang mendorong
seseorang tertawa. Dia mencatat bahwa humor sebenarnya
mencakup salah satu dari beberapa elemen ini: keganjilan
(incongruity), superioritas, kebaikan, dan kejutan
(unexpectedness).23
Tidak seperti Jnsson dan Flynn yang memberi
definisi yang luas, Palmer membatasi esensi humor hanya pada
aspek kejutan. Dia menuliskan, [t]here is a surprise at the center
of everything that is funny.24
Dari paparan singkat ini terlihat jelas
bahwa nampaknya tidak ada definisi yang sama di antara para
sarjana yang optimis ini.
Tidak bisa disangkal bahwa memang, dalam taraf tertentu,
ada aspek subyektif dalam pengenalan seseorang terhadap humor:
apa yang dianggap seseorang lucu, belum tentu dianggap lucu oleh
orang lain.25
Karena alasan inilah, maka diperlukan sebuah definisi
tentang humor meskipun sifatnya tentatif. Sebab bila tidak, maka
studi humor akan menjadi sangat subyektif, yakni hanya
mencerminkan selera humor dari pembaca atau penafsir.26
Di sisi
lain, tidak bisa juga disangkal bahwa mendefinisikan humor adalah
sebuah tugas yang rumit, sehingga mencapai sebuah definisi yang
22
Jnsson, Humor and Irony, 17-8. 23 Leslie B. Flynn, Serve Him with Mirth: The Place of Humor in Christian Life
(Grand Rapids: Zondervan, 1960), 41-9. 24 Earl F. Palmer, The Humor of Jesus: Sources of Laughter in the Bible
(Vancouver: Regent College, 2001), 15. 25 Bdk. Donald Capps, A Time to Laugh: the Religion of Humor (New York:
Continuum, 2005), 2; Kelly Iverson, Incongruity, Humor, and Mark:
Performance and the Use of Laughter in the Second Gospel, in NTS 59 (2013):
5. 26 Terkait studi humor terhadap literatur kuno, Meltzer memberikan peringatan serupa, Anyone attempting to discuss the humor of an extremely different and
distant culture will indubitably reveal much more about his/her sense of humor
than about that of the people under study. Edmund S. Meltzer, Humor and
Wit, Ancient Egypt, in David Noel Freedman (ed.), The Anchor Bible
Dictionary (New York: Doubleday, 1996), 3: 326.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 33
tepat mengenai humor pasti menjadi sangat sulit (bila bukan
mustahil). Nyatanya, apa yang bisa dicapai sejauh ini ini ialah
pemahaman yang cukup mengenai humor. Meski demikian,
penulis tidak melihat definisi yang ditawarkan oleh para sarjana di
atas sebagai definisi yang cukup tepat untuk mendefinisikan
humor. Sebagian dari definisi tersebut sifatnya terlalu luas,
sementara yang lainnya terlalu sempit. Karena itu, penulis akan
menggunakan definisi dari studi mutakhir mengenai humor dalam
bidang filsafat dan psikologi sebagai landasan definisi penulis.
Dalam studi psikologi dan filsafat, sebenarnya ada beragam
teori yang telah dimunculkan mengenai natur atau sifat humor. Di
antara berbagai macam teori tersebut, tiga teori yang paling
terkemuka ialah teori superioritas, teori pelepasan dan kelegaan
(the release and relief theory), serta teori keganjilan (the
incongruity theory).27
Masing-masing teori ini tentu memiliki
kelebihan dan kekurangan.28
Meski demikian, banyak pemikir
mengakui bahwa teori keganjilan merupakan teori yang paling
unggul dibandingkan berbagai teori lain. Carroll menulis
alasannya, it offers the most informative approach to locating the
structure of the intentional object of comic amusement.29
Akibatnya, tidak heran bahwa teori ini kini menjadi teori dominan
dalam studi humor.30
Martin, misalnya, mengakui bahwa mayoritas
peneliti humor kini kian menyadari bahwa humor mencakup
27 Di samping ketiga teori ini, masih ada beberapa teori lain mengenai humor,
semisal teori permainan, teori disposisi, teori kejutan, teori ambivalensi, teori
konfigurasi, dan sebagainya. Lihat Patricia Keith Spiegel, Early Conception of
Humor: Varieties and Issues, in Jeffery H. Goldstein and Paul E. McGhee, The
Psychology of Humor: Theoretical Perspectives and Empirical Issues (New York: Academic, 1972), 4-13; Noel Carroll, Humour: A Very Short Introduction
(Oxford: OUP, 2014), 7-54. 28 Untuk analisa singkat terhadap tiga teori tersebut, lihat Kristianto, Jesuss
Humor in the Antitheses, 10-17. 29 Carroll, Humour, 48. 30 Carroll berkomentar, the Incongruity theory of humour has attracted the
largest allegiance among philosophers and psychologists (Carroll, Humour,
17).
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 34
keganjilan.31
Ruch menambahkan bahwa hari ini nampaknya ada
persetujuan yang luas bahwa keganjilan merupakan kondisi yang
niscaya untuk terjadinya humor.32
Secara sederhana, teori keganjilan berpendapat bahwa
manusia belajar dari pengalaman mereka dan menciptakan sebuah
pola dari pemahaman mereka atas pengalaman tersebut. Manusia
tahu bahwa api itu panas, salju itu dingin, dan bahwa manusia tidak
memiliki kemampuan untuk terbang karena mereka membuat pola
dari pengalaman mereka. Jadi, menurut teori ini, humor terjadi
ketika pola tersebut dilanggar atau ketika ekspektasi, yang
didasarkan pada pola yang dipelajari tersebut, ternyata tidak
terjadi.33
Bila teori ini diterima, maka beberapa sarjana yang
mengaitkan humor dengan keganjilan (mis. Bednarz, Jnsson,
Flynn, Thoennes) berarti sudah berada di jalur yang benar.
Meski demikian, teori ini bukannya tanpa kritik. Setidaknya
ada dua keberatan utama terhadap teori keganjilan ini. Pertama,
beberapa pemikir menyadari bahwa keganjilan per se tidaklah
cukup untuk menjelaskan sifat dari humor. Ruch, misalnya,
berpendapat bahwa keganjilan semata tidak otomatis menghasilkan
humor, sebab hal tersebut juga bisa mendorong timbulnya
kebingungan atau bahkan reaksi yang negatif.34
Morreall
menjelaskan lebih jauh:
31 Rod A. Martin, The Psychology of Humor: An Integrative Approach
(Burlington: Elsevier, 2007), 6 32 Lih. Willibald Ruch, Psychology of Humor, in Raskin (ed.), The Primer of
Humor Research, 25. 33 Bdk. Morreal, Comic Relief, 11; Carroll, Humour, 17-18. Carroll
mengingatkan bahwa kata ekspektasi dalam teori keganjilan bukan merujuk
pada ekspektasi spesifik, melainkan ekspektasi yang bersifat global, yakni
tentang how the world is or should be (Carroll, Humour, 18). 34 Ruch, Psychology of Humor, 25.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 35
In the late twentieth century, one serious flaw in several older
versions of the theory came to light: they said or implied that
the mere perception of incongruity is sufficient for humor.
That is clearly false, since negative emotions like fear,
disgust, and anger are also reactions to what violates our
mental patterns and expectations. Coming home to find your
family murdered, for example, is incongruous but not funny.
Experiencing something incongruous can also evoke
puzzlement or incredulity: we may go into a problem-solving
mode to figure out how the stimulus might actually fit into
our conceptual frameworks.35
Kritik ini tentu perlu diperhatikan dengan serius, sebab tidak
ada seorang pun yang akan menganggap keganjilan yang berbahaya
untuk dirinya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Ini berarti teori
tersebut memerlukan penjelasan tambahan untuk menjadikannya
lebih sempurna. Beberapa pendukung teori ini kemudian
menambahkan satu aspek lagi untuk memperkuat teori ini, yakni
aspek keamanan (safeness) atau non-serius.36
Ketika sebuah
keganjilan bersifat aman atau non-serius, maka seseorang tentunya
lebih bisa menikmati keganjilan tersebut. Dengan kata lain,
keganjilan itu akan terlihat menyenangkan dan bukan mengerikan.
Martin meringkaskan versi revisi ini dengan baik: the essence
of humor seems to be incongruity, unexpectedness,37
and
playfulness, which evolutionary theorists Matthew Gervais and
David Wilson (2005) referred to as nonserious social
incongruity.38
Keberatan lain terhadap teori ini ialah the irrational
objection. Seperti yang dijelaskan di atas, teori ini mengaitkan
kemunculan humor dengan terjadinya pelanggaran terhadap pola
35 Morreall, Comic Relief, 12-3. 36 Ruch, Psychology of Humor, 25; Carroll, Humour, 29-30. 37 Carroll menolak ide bahwa bahwa kejutan merupakan unsur yang niscaya
untuk terjadinya humor (Humour, 17-8). 38 Martin, The Psychology of Humor, 6.
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 36
konseptual yang dibuat manusia. Pertanyaannya ialah: bagaimana
bisa seseorang menikmati pelanggaran terhadap pola
konseptualnya? Morreall menjelaskan, Such enjoyment looks
psychologically perverse or at least irrational. That is why,
although the Incongruity Theory freed humor from the traditional
stigma of being anti-social, it has not improved philosophers
assessments of humor much over the last three centuries.39
Dia
menambahkan lebih jauh bahwa kecenderungan manusia ialah
mengatasi keganjilan dan membuatnya bisa dijelaskan secara
teoritis, bukan menikmatinya. Karena itu, dia dan beberapa pemikir
lain memandang bahwa teori keganjilan sebenarnya tidak secara
lengkap menjelaskan natur atau sifat dasar dari humor.
Meresponi kritik ini, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama,
kritik Morreall hanya bisa dibenarkan ketika seseorang
mengabaikan aspek kelucuan (playful) dari sebuah keganjilan.
Dengan kata lain, jika seseorang merasa bahwa pola konseptualnya
sedang dilanggar itu berarti orang tersebut mencerna humor terlalu
serius, dan dengan demikian kehilangan aspek jenaka dari sebuah
humor. Kedua, ketika seseorang menangkap aspek jenaka dari
sebuah humor, hal itu akan membawanya pada kenikmatan
(enjoyment) atas humor tersebut. Carroll menjelaskan bahwa
kejenakaan sebuah keganjilan akan membawa seseorang terlepas
dari tirani norma dan konsep sehari-sehari. Dia melanjutkan, it
does not give way to higher sense (i.e. explanation or overcome the
incongruity); it leads to nonsense.40
Dua hal ini, membuat
keberatan Morreall menjadi tidak beralasan.
Selain dua keberatan tadi, tentunya ada satu dua keberatan
lain terhadap teori keganjilan. Tetapi, karena teori ini merupakan
teori yang paling bermanfaat dan memberi harapan (di samping
39 Morreall, Comic Relief, 13. 40 Carroll, Humour, 69.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 37
juga teori yang dominan), maka penulis akan menggunakan teori
ini sebagai landasan dalam tulisan ini. Singkatnya, dalam
mendefinisikan natur humor, penulis bergantung pada teori
keganjilan yang telah direvisi, yang memahami humor terkait erat
dengan ide, gambar, teks, atau peristiwa yang ganjil dan aman
atau non-serius, sehingga hal tersebut menjadi menyenangkan dan
bisa dinikmati.
KONTEKS DAN KONTEN PERUMPAMAAN
Dibanding ketiga Injil yang lain, Injil Matius bisa dibilang
merupakan Injil yang paling ekklesiastikal atau mengandung
perhatian gerejani paling kuat. Selain karena Matius adalah satu-
satunya Injil yang mengandung kata , pengaturan tematis
Injil ini nampaknya mencerminkan salah satu tujuan Injil ini, yakni
sebagai buku katekisasi bagi gereja perdana.41
Perhatian ekklesial
Matius ini juga terlihat cukup kuat dalam keseluruhan Matius 18.
Raymond Brown bahkan melihat keseluruhan pasal ini sebagai
sebuah khotbah terhadap gereja.42
Menarik dicatat, Matius meletakkan perumpamaan tentang
pengampunan ini tepat setelah perikop mengenai disiplin gerejani
(Matius 18:15-20). Melalui penempatan ini, Matius nampaknya
ingin menegaskan bahwa disiplin gerejani harus berjalan
berbarengan dengan pengampunan. Allison berpendapat, Its
function is to be a hedge against rigidity and absolutism, to
balance the hard teaching of the previous paragraph. The concern
is to avoid any calculus of less and more and to make explicit the
attitude that is necessary if one is to undertake the hard task of
41 E.g. Joachim Jeremias, The Sermon on the Mount (Philadelphia: Fortress,
1963), 19-23. 42 See Raymond E. Brown, An Introduction to the New Testament (New York:
Doubleday, 1997), 191.
Humor Dalam Perumpamaan Tentang Pengampunan (Matius 18:21-35) 38
correcting a brother.43
Sedikit berbeda dengan Allison, penulis
melihat bahwa kedua perikop ini bersifat saling menyeimbangkan
satu sama lain. Dengan kata lain, Matius nampaknya hendak
mengajar bahwa disiplin tanpa pengampunan sama tidak
bergunanya dengan pengampunan tanpa disiplin.
Perikop ini dimulai dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus
tentang berapa kali ia harus mengampuni saudaranya yang bersalah
kepadanya (ay. 21). Menilik penggunaan kata dalam
bagian lain Injil Matius (misal: 12:50; 23:8; 25:40), sangat
mungkin bahwa saudara yang dimaksud berbicara lebih dari
sekadar saudara secara biologis, yakni saudara secara rohani atau
sesama saudara seiman. Apa yang mungkin menarik dalam prolog
ini ialah angka yang diajukan Petrus kepada Yesus: Sampai tujuh
kali ()?44
Di sini, para sarjana biasanya merujuk pada
sebuah teks rabbinik yang mungkin melatarbelakangi proposal
Petrus. Dalam sebuah Talmud Babilonia (b. Yoma 86b), dinyatakan
bahwa tiga adalah jumlah maksimal seseorang bisa mengampuni:
It was taught in a baraita that Rabbi Yosei bar Yehuda says:
When a person commits a transgression the first time, he is
forgiven; a second time, he is forgiven; a third time, he is
forgiven; but for the fourth time, he is not forgiven, as it is
43 W. D. Davies and Dale C. Allison, A Critical and Exegetical Commentary on
the Gospel According to Saint Matthew (ICC; 3 Vols; London/New York: T&T
Clark, 2004), 2:791. 44 Luz berpendapat bahwa di sini Petrus tidak sedang berbicara mengenai angka
tujuh secara literal, melainkan angka tujuh sebagai simbol kesempurnaan. Ia
menuliskan, That Peter suggests forgiving seven times does not mean,
therefore, that he wants to grant his brother only a limited forgiveness. Instead,
the sense of Peters question is: Is perfect forgiveness expected of me?. Lihat
Ulrich Luz, Matthew, in Helmut Koester (ed.), Hermeneia (Minneapolis: Augsburg, 2001), 465. Interpretasi ini menarik, namun bila Luz benar, maka
jawaban Yesus dalam bagian selanjutnya justru akan menjadi mubazir. Selain
itu, konsep yang mungkin melatarbelakangi usulan Petrus juga berbicara
mengenai angka yang literal. Karena itu, penulis melihat nampaknya jauh lebih
tepat memahami angka tujuh di sini secara literal.
Jurnal Theologia Aletheia Volume 21 No. 16 Maret 2019 39
stated: Thus said the Lord: For three transgressions of
Israel, but for four I will not reverse it (Amos 2:6). And it
says: All these things does God do twice or three times with
a man (Job 33:29).45
Masalahnya, tarikh Talmud ini terbilang cukup belakangan,
sehingga agak sulit dipastikan apakah tradisi ini memang bisa
ditarik hingga ke abad pertama. Akan tetapi, seandainya tradisi ini
memang cukup awal, ini berarti Petrus telah menyodorkan sebuah
angka yang cukup fantastis! Ia telah mengusulkan sebuah angka
yang jauh melebihi batas yang umum.
Meskipun Petrus menyodorkan angka yang cukup fantastis,
tenyata Yesus tidak terkesan dengan itu. Sebaliknya, dia justru
menolak usulan Petrus46
dan menyodorkan sebuah angka yang jauh
lebih fantastis, yakni (ay. 22). Dalam sejarah
gereja, nominal angka yang disebut Yesus di sini ternyata telah
diartikan dalam dua cara. Pertama, beberapa terjemahan awal Injil
Matius menerjemahkan ungkapan tersebut sebagai tujuh puluh
kali tujuh kali (yaitu empat