Upload
novi
View
96
Download
29
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Analisis ATP-WTP
Citation preview
ANALISIS ABILITY TO PAY (ATP) DAN WILLINGNESS TO PAY (WTP)
PENGGUNA KERETA API BANDARA
(Studi Kasus: Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta)
Abstrak – Dalam menetapkan tarif kereta api bandara perlu mempertimbangkan kemampuan membayar
(Ability to Pay, ATP) dan kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP) calon pengguna (user) kereta api
bandara. Penelitian ini menganalisis nilai ATP-WTP menggunakan pendekatan metode analisis pemilihan
diskrit (Discrete Choice Analysis) terhadap perilaku individu dengan teknik stated preference (SP). Dimana
rentang nilai ATP berada pada probabilitas pemilihan kereta api bandara sebesar 0,5-0,9. Sedangkan nilai
WTP berada pada probabilitas pemilihan kereta api bandara sebesar 0,5. Model pemilihan moda yang
digunakan adalah model logit-binomial-selisih dan model logit-binomial-nisbah, dengan pemilihan dua moda
yang ditinjau adalah 1) Kereta api bandara dan Bus Damri, 2) Kereta api bandara dan taksi, 3) Kereta api
bandara dan kendaraan pribadi (mobil). Hasil analisis ketiga model pemilihan moda menunjukkan bahwa
nilai WTP Bus Damri lebih kecil daripada nilai WTP taksi dan mobil. Sehingga WTP Bus Damri dapat
dijadikan batasan tertinggi tarif KA Bandara.
Kata kunci : Kemampuan Membayar, Kemauan Membayar, Analisis Pemilihan Diskrit
1. PENDAHULUAN
Bandar udara merupakan simpul dalam jaringan transportasi udara yang memiliki peran
yang sangat penting. Salah satu bandara utama yang tersibuk di Indonesia adalah Bandar
Udara Internasional Soekarno-Hatta. Akan tetapi, saat ini Bandar Udara Internasional
Soekarno-Hatta belum didukung dengan aksesibilitas menuju bandar udara yang memadai.
Sebagian besar aksesibilitas menuju bandara masih banyak menggunakan angkutan
transportasi darat yang waktu perjalanannya tidak dapat diprediksi. Jika kondisi lalu lintas
padat dan gangguan cuaca (banjir) seringkali membuat tidak ada kepastian waktu yang
dibutuhkan untuk menuju bandara. Salah satu solusi untuk mengatasinya adalah angkutan
rel sebagai pemadu moda menuju bandara. Kereta api merupakan moda transportasi yang
bergerak di jalan rel (jalur terpisah dengan moda lainnya) dan mampu mengangkut
penumpang dengan kapasitas besar, sehingga sangat cocok digunakan sebagai solusi
menangani kemacetan dan juga dapat memberikan kepastian waktu yang dibutuhkan untuk
menuju ke bandara.
Dalam rangka mendukung terciptanya angkutan menuju bandar udara tersebut, diperlukan
beberapa kebijakan perlu diperhatikan, termasuk penentuan tarif yang akan diberlakukan.
Tarif KA Bandara haruslah terjangkau oleh masyarakat, dalam artian penyediaan layanan
angkutan sesuai dengan tingkat daya beli masyarakat dengan tetap memperhatikan
kelangsungan hidup dan pengembangan usaha layanan jasa angkutan tersebut. Dari uraian
diatas, penulis mencoba untuk menganalisis tarif KA Bandara dengan pendekatan metode
Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) berdasarkan perilaku perjalanan dari
sisi calon pengguna (user) kereta api bandara, dengan studi kasus pada Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta. Besar harapan penulis agar penelitian ini dapat memberikan
manfaat dan minimal mampu memberikan gambaran kebijakan penentuan tarif yang sesuai
dengan kemampuan dan kesediaan masyarakat pengguna angkutan kereta api menuju
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Permintaan
Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga.
Permintaan atas barang dan jasa umumnya sangat bergantung pada pendapatan konsumen
dan pada harga dari barang dan jasa tersebut relatif terhadap harga-harga lainnya. Hukum
permintaan (The Law of demand), pada hakikatnya makin rendah harga suatu barang maka
makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu
barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang tersebut. Dari hipotesa tesebut
dapat disimpulkan, bahwa:
1. Apabila harga suatu barang naik, maka pembeli akan mencari barang lain yang dapat
digunakan sebagai pengganti barang tersebut, dan sebaliknya apabila barang tersebut
turun, konsumen akan menambah pembelian terhadap barang tersebut.
2. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil konsumen berkurang, sehingga
memaksa konsumen mengurangi pembelian, terutama barang yang akan naik
harganya.
Berdasarkan ciri hubungan antara permintaan dan harga dapat dibuat grafik kurva
permintaan berikut ini.
Gambar 1 Kurva Permintaan
2.2 Konsep Ability to Pay (ATP) dan Willingness to Pay (WTP)
Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang
diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Sedangkan Willingness To Pay
(WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang
diperolehnya. Nilai ATP dan WTP ini perlu diketahui untuk melindungi konsumen dari
penyalahgunaan potensi kekuatan monopoli utilitas yang mengendalikan kontrol harga dan
kontrol kualitas layanan (The CIE, 2001).
2.1.1 Ability to Pay (ATP)
Salah satu metode yang digunakan dalam menganalisis nilai ATP yaitu metode biaya
perjalanan (Travel Cost Method, TCM). Metode TCM mengasumsikan bahwa demand
perjalanan menuju lokasi tertentu tergantung pada biaya perjalanan, pendapatan,
karakteristik situs, harga pengganti, dan lainnya. Biaya perjalanan tersebut dapat berbeda
dari suatu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung jaraknya, dimana biaya yang rendah
untuk orang-orang di dekat lokasi dan biaya yang tinggi bagi orang yang tinggal lebih jauh.
Selain metode TCM, analisis ATP juga dapat dilakukan dengan pendekatan normatif yang
mendasari teori perpajakan (Musgrave. 1975). Prinsip ATP ini sejalan dengan kemampuan
ekonomi wajib pajak, yang berarti bahwa untuk proyek publik, orang yang mampu untuk
membayar lebih harus membayar lebih. Prinsip ATP tersebut biasanya disebut
pengorbanan marjinal yang sama (equal marginal sacrifice principle).
2.1.2 Willingness to Pay (WTP) Secara umum, analisis WTP dapat dilakukan menggunakan beberapa metode, antara lain
Metode Valuasi Kontingensi (Contigent Valuation Method, CVM), Conjoint Analysis dan
Discrete Choice Analysis.
1. Metode Valuasi Kontingensi (Contigent Valuation Method, CVM)
Metode valuasi kontingensi adalah metodologi berbasis survei untuk mendapatkan nilai
atas suatu barang, jasa, dan fasilitas. Studi valuasi kontingen pertama dilakukan oleh Davis
(1963) untuk memperkirakan nilai berburu (big game hunting) di Maine. Seperti yang
didefinisikan oleh Klose (Klose 1999, dalam Mataria), CVM adalah teknik survei
hipotesis langsung yang digunakan untuk menilai jumlah maksimum uang yang responden
akan bersedia membayar untuk mendapatkan keuntungan dari komoditas yang
bertawarkan. Metode CV memperkirakan suatu nilai barang ketika pasarnya belum ada
(kategori metode stated reference), dimana metode revealed preference tidak dapat
diaplikasikan.
2. Conjoint Analysis
Analisis conjoin diperkenalkan pertama kali dalam literatur pemasaran oleh Green and
Rao (1971). Secara umum, analisis conjoint adalah teknik untuk mengukur struktur
preferensi individu melalui variasi sistematis dari atribut produk dalam desain
eksperimental. Atribut produk dianggap sebagai satu set kemungkinan realisasi, yang
disebut sebagai tingkatan atribut. Responden disajikan sejumlah profil produk yang terdiri
dari realisasi atribut produk dan mengatur profil tersebut sesuai dengan preferensi yang
dirasakan, misalnya dengan menunjukkan urutan peringkat sehubungan dengan tingkat
preferensi. Evaluasi preferensi secara keseluruhan digunakan untuk membuat kesimpulan
dari kontribusi relatif dari tingkat atribut yang berbeda. Tahapan terakhir adalah bagian
penilaian dan evaluasi stimulus produk secara lengkap yang disebut sebagai utilitas
produk. 3. Discrete Choice Analysis
Sebuah pendekatan langsung yang cukup sederhana untuk memprediksi pilihan di pasar
diberikan oleh teori pilihan diskrit (discrete choice), teori ini diformulasikan untuk analisis
ekonomi oleh McFadden (1974). Dasar konseptual untuk analisis McFadden pada analisis
ekonomi didasarkan pada gagasan utilitas acak Thurstone (1927). Dengan
mengasumsikan bahwa individu membuat pilihan yang dapat memaksimalkan utilitas
mereka, dimana utilitas tersebut merujuk pada perilaku dan persepsi individu. Analisis
discrete choice juga disebut sebagai analisis conjoint berbasis pilihan (Louviere dan
Woodworth, 1983). Hubungannya dengan analisis conjoint terletak pada kemampuan
kedua metode untuk menguraikan produk ke tingkat atribut dan memperkirakan penilaian
utilitas untuk setiap tingkatannya. Metodologi kedua metode tersebut cukup berbeda.
Analisis conjoint memperkirakan penilaian untuk setiap responden secara individual
berdasarkan data responden, sedangkan analisis discrete choise memperkirakan pada
tingkat agregat menggunakan data dari semua responden.
2.3 Model Pemilihan Diskrit
Menurut Tamin (2008), secara umum model pemilihan diskrit dinyatakan sebagai peluang
setiap individu memilih suatu pilihan merupakan fungsi ciri sosio-ekonomi dan daya tarik
pilihan tersebut. Untuk menyatakan daya tarik suatu alternatif, digunakan konsep utilitas
(didefinisikan sebagai sesuatu yang dimaksimumkan oleh setiap individu). Domencich
and McFadden (975) dan Williams (1977), sebagaimana dikutip dari Tamin (2008),
mengemukakan bahwa setiap set pilihan utilitas Uin untuk setiap individu n. Pemodel yang
juga merupakan pengamat sistem tersebut tidak mempunyai informasi yang lengkap
tentang semua unsur yang dipertimbangkan oleh setiap individu yang menentukan pilihan.
Sehingga dalam membuat model diasumsikan bahwa Uin dapat dinyatakan dalam dua
komponen, yaitu :
1. Vin yang terukur sebagai fungsi dari atribut terukur.
2. Bagian acak ɛin, yang mencerminkan hal tertentu dari setiap individu, termasuk
kesalahan yang dilakukan oleh pemodel.
Secara umum, pengaruh tersebut dapat diekspresikan menjadi :
Uin = Vin + ɛin
dimana :
Uin = utilitas alternatif i bagi pembuat keputusan n
Vin = fungsi deterministik utilitas moda i bagi individu n
ɛin = kesalahan acak (random error) atau kompenen stokastik dan berfungsi distribusi
tertentu
Persamaan tersebut dapat menjelaskan hal-hal yang tidak rasional. Contohnya, dua
individu dengan atribut yang sama dan mempunyai set pilihan yang sama mungkin
memilih pilihan yang berbeda dan beberapa individu tidak selalu memilih alternatif yang
terbaik. Agar persamaan tersebut benar, dibutuhkan populasi yang homogen. Individu yang
berada dalam suatu populasi yang homogen akan bertindak secara rasional dan memiliki
informasi yang tepat sehingga biasanya dapat menentukan pilihan yang dapat
memaksimumkan utilitas individunya masing-masing sesuai dengan batasan hukum, sosial,
fisik, waktu dan uang.
2.4 Model Logit Binomial
Pengambilan keputusan pada model logit binomial ditentukan pada sepasang alternatif
diskrit, dimana alternatif yang akan dipilih adalah yang mempunyai utilitas terbesar,
utilitas dalam hal ini dipandang sebagai utilitas acak (random utility). Pada penelitian ini
perilaku pemilihan moda angkutan penumpang yang akan diamati adalah antara kereta api
bandara dan moda eksisting (Bus Damri, taksi dan mobil). Dengan dua alternatif moda
maka persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut.
dan
dimana:
PKA adalah probabilitas untuk KA Bandara
PModa adalah probabilitas untuk moda eksisting, yaitu: Bus Damri/ taksi/ mobil
Dengan menggunakan metode penaksiran regresi-linear, terdapat dua jenis model yang
sering digunakan, yaitu model logit-binomial-selisih dan model logit-binomial-nisbah.
Pada model logit-binomial-selisih, probabilitas bahwa individu memilih kereta api bandara
adalah fungsi selisih utilitas antara kedua moda. Dengan menganggap bahwa fungsi utilitas
linier, maka perbedaan utilitas dapat diekspresikan dalam bentuk perbedaan dalam
sejumlah n atribut yang relevan diantara kedua moda, dirumuskan sebagai berikut:
UKA – Umoda = β0 + β1.(X1KA – X1moda) + β2.(X2KA – X2moda) + ... + βn.(XnKA – Xnmoda)
dimana UKA – Umoda adalah respon individu terhadap pernyataan pilihan, β0 adalah
konstanta, β1, β2 dan βn adalah koefisien masing-masing atribut yang ditentukan melalui
multiple linear regression. Sehingga, nilai probabilitas kedua moda yang ditinjau dapat
ditulis dalam bentuk persamaan berikut.
Nilai utilitas sebagai respon individu dapat juga dinyatakan dalam bentuk probabilitas
memilih moda tertentu, yang dikenal dengan transformasi Berkson-Theil, persamaannya
adalah sebagai berikut.
*
+ ( – ) ( – ) ( – )
( – )
Sedangkan untuk model logit-binomial-nisbah, proporsi PKA dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut.
(
)
dan
dimana (
) adalah rasio atribut kereta api bandara dengan moda eksisting. Dengan
melakukan beberapa penyederhanaan, persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi
persamaan berikut.
[ (
)
]
(
)
Persamaan tersebut selanjutnya dapat ditulis kembali dalam bentuk logaritma seperti
persamaan berikut.
(
)
2.5 Teknik Survey
Ketika kita melakukan suatu penelitian, secara tradisional kita mengamati atau
menanyakan apa yang sebenarnya individu lakukan. Dalam data tersebut karena perilaku
individu yang sebenarnya diketahui, yang biasanya diasumsikan bahwa informasi yang
dapat dipercaya dan dapat diperoleh dari kuesioner retrospektif, data ini disebut data
preferensi terungkap (Revealed Preference, RP). Di sisi lain, dalam suatu kuesioner atau
wawancara survei kita bertanya, "Jika Anda menghadapi situasi tertentu, apa yang akan
Anda lakukan?" Dalam data ini karena reaksi yang diberikan oleh responden bukan
merupakan perilaku yang sebenarnya, tetapi hanya pernyataan preferensi, data tersebut
disebut data Stated Preference (SP). Karakteristik data RP dan SP dirangkum dalam tabel
berikut ini (Morikawa dan Ben-Akiva, 1992).
Tabel 1 Karakteristik Data RT dan SP
Data RP Data SP
Informasi
Preferensi Hasilnya merupakan perilaku
sebenarnya
Perilaku konsisten dalam pasar
Tanggapan merupakan situasi
yang hipotesa
Kemungkinan perilaku tidak
Data RP Data SP
sebenarnya
Hasilnya adalah pilihan
konsisten dalam pasar
sebenarnya
Hasilnya adalah pemeringkatan,
penilaian dan pilihan
Alternatif Hanya alternatif eksisting Alternatif eksisting dan tidak
eksisting
Atribut Mengukur kesalahan
Tingkatan atribut yang terbatas
Kemungkinan adanya korelasi
diantara atribut
Tidak mengukur kesalahan
Tingkatan atribut dapat diperluas
Korelasi diantara atribut dapat
dikontrol
Set Pemilihan Tidak jelas Jelas
Jumlah Respon Satu respon per responden Satu atau lebih respon per reponden
Untuk penelitian mengenai kereta api bandara ini dipakai teknik Stated Prefence (SP),
dimana alternatif hipotesa yang akan diberikan merupakan pilihan antara kereta api
bandara dengan moda eksisting (Bus Damri, taksi dan mobil). Sesuai dengan penjelasan
sebelumnya, teknik SP ini dicirikan oleh adanya penggunaan desain eksperimen untuk
membangun alternatif hipotesa terhadap situasi (hypothetical situation), yang kemudian
disajikan kepada responden. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam desain
eksperimen SP adalah sebagai berikut:
1. Respon kuesioner (Penilaian / Peringkat / Pilihan / Tingkat preferensi)
2. Metode Analisis
Untuk menganalisa hasil pemilihan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
Naive atau metode grafik
Non-metric scaling
Metode regressi
Analisa logit dan probit
3. Jumlah sampel
Untuk mengumpulkan data diperlukan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu,
setelah metode analisis ditentukan, maka selanjutnya dapat diputuskan jumlah sampel
yang diperlukan.
4. Atribut (Pengukuran)
Faktor ini perlu diperhatikan untuk menentukan atribut apa yang akan ditinjau dan
bagaimana mengekspresikan tingkatan atribut, khususnya untuk atribut kualitatif.
5. Tingkatan atribut
Faktor ini mempertimbangkan berapa banyak tingkat harus diperlakukan dan cara
mengatur atribut (nilai absolut, persentase dan sebagainya). Tingkatan atribut dalam
desain eksperimental biasanya bersifat 'ortogonal', yaitu untuk memastikan bahwa
atribut disajikan kepada responden bervariasi secara independen dari satu sama lain.
Hasilnya adalah bahwa efek dari setiap tingkat atribut pada respon lebih mudah
diisolasi. Hal ini untuk menghindari 'multi-kolinearitas' antara atribut, yang
merupakan masalah umum dengan data RP.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Pada umumnya perjalanan menuju bandara merupakan perjalanan sesekali (occasional
trip). Sehingga dalam melakukan perjalanan tersebut, penentuan pemilihan moda
transportasi ke bandara biasanya didasarkan pada utilitas (nilai guna) moda transportasi
yang ditawarkan. Konsep ini dapat diterapkan untuk penentuan nilai ATP-WTP kereta api
bandara, yaitu dengan pendekatan analisis pemilihan diskrit (discrete choice analysis).
Nilai ATP-WTP ditentukan berdasarkan nilai probabilitas pemilihan moda yang ditinjau.
Dalam pemilihan moda transportasi, pengambil keputusan (konsumen) cenderung
memaksimalkan utilitas suatu pilihan. Sehingga alternatif moda yang mempunyai utilitas
yang tertinggi memiliki peluang besar untuk dipilih.
Pemilihan moda transportasi dapat dipengaruhi oleh variabel atribut perjalanan dan
pelayanan dari setiap alternatif moda serta kondisi sosial ekonomi. Dengan asumsi bahwa
pemilihan moda angkutan umum penumpang yang akan digunakan oleh pelaku perjalanan
merupakan keputusan individu maka penelitian ini dilakukan pendekatan pada level
disaggregate. Pengumpulan data penelitian ini meliputi dua jenis data, yaitu data sekunder
dan data primer. Data sekunder dan primer yang telah didapatkan kemudian diolah agar
dapat digunakan sebagai data masukan dalam proses analisis selanjutnya.
3.1 Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini menggunakan data rencana pengembangan ka bandara,
data moda transportasi eksisting dan data kuesioner yang didapat dari laporan studi ATP-
WTP kereta api lintas pelayanan menuju Bandara (Soekarno-Hatta, Juanda-Surabaya,
Kualanamu-Medan dan Minangkabau-Padang). Data kuesioner yang telah dikumpulkan
terdiri dari data karakteristik penumpang, data perjalanan penumpang dan data stated
preference KA Bandara. Tabel berikut ini menunjukkan jumlah dan lokasi pengambilan
sampel survei kuesioner.
Tabel 2 Jumlah Sampel Data Sekunder
No Keterangan Moda
Bus Damri Taksi Mobil
1 Responden Penumpang keberangkatan dan kedatangan, dengan daerah
asal/tujuan perjalanan DKI Jakarta
2 Jumlah Sampel
a. Penumpang
Keberangkatan 87 Orang 42 Orang 41 Orang
b. Penumpang
Kedatangan 66 Orang 50 Orang 48 Orang
3 Lokasi Survei 1. Bandara Soekarno-
Hatta
2. Terminal Bus Damri
a. Stasiun Gambir
b. Blok M
Bandara
Soekarno-
Hatta
Bandara
Soekarno-Hatta
3.2 Pengumpulan Data Primer
Data primer dalam penelitian ini didapatkan melalui teknik Stated Preference (SP). Teknik
tersebut dilakukan dengan perpaduan dua metode dasar, yaitu survei kuesioner
(questionnaire survey) dan survei wawancara (interview survey). Pengumpulan data
tersebut menggunakan kuesioner yang disebarkan oleh tenaga survei (surveyor) secara
langsung kepada responden dan surveyor juga bertindak sebagai pewawancara. Hal ini
dimaksudkan agar surveyor dapat memberikan gambaran penelitian secara keseluruhan
dan lebih memperjelas maksud dari pertanyaan pada lembar kuesioner sehingga dapat
membantu responden dalam mengisi kuesioner dengan baik. Survei tersebut dilakukan
dengan mengambil sampel sebanyak 75 sampel per segmen, dimana segmen ditentukan
berdasarkan tujuan perjalanan responden, yaitu bisnis dan non-bisnis. Sehingga survei
pengumpulan data primer dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak 450 responden.
Tabel berikut ini menunjukkan jumlah dan lokasi pengambilan sampel survei.
Tabel 3 Jumlah Sampel Data Primer
No. Moda Jumlah Sampel Lokasi Survey
1 Bus Damri 139 Orang
1. Terminal Bus Damri :
a. Gambir
b. Blok-M
2. Bandara Soekarno-Hatta
2 Taksi 141 Orang Bandara Soekarno-Hatta
3 Kendaraan Pribadi (Mobil) 122 Orang Bandara Soekarno-Hatta
4. HASIL DAN ANALISIS
Berdasarkan hubungan antara nilai selisih tarif kereta api bandara dan moda eksisting
(mobil, taksi dan bus damri) dengan nilai probabilitas pemilihan antara kedua moda akan
diketahui nilai ATP-WTP pengguna kereta api bandara. Penentuan nilai ATP dan WTP
dilakukan dengan pendekatan teori permintaan. Dimana rentang nilai ATP yang didapat
merupakan nilai atribut tarif pada probabilitas pemilihan kereta api bandara sebesar 0,5
sampai dengan probabilitas 0,9. Sedangkan nilai WTP yang didapat merupakan nilai
atribut tarif pada probabilitas pemilihan kereta api bandara sebesar 0,5. Pada probabilitas
ini kemungkinan untuk memilih KA Bandara adalah sama dengan moda eksisting.
4.1 Nilai ATP-WTP Penumpang Keberangkatan
Pada nilai ATP-WTP penumpang keberangkatan digunakan 2 (dua) set data sebagai
berikut.
A. Data Pertama
Pemodelan pemilihan moda untuk data pertama menggunakan skenario dengan atribut
tarif, waktu tempuh, toleransi keterlambatan, tingkat pelayanan (service) dan waktu antara
(headway). Nilai ATP-WTP penumpang untuk data pertama ini dianalisis menggunakan
model logit-binomial-selisih dan model logit-binomial-nisbah. Gambar berikut ini
menampilkan diagram WTP untuk setiap modelnya.
Gambar 2 Diagram WTP Model Logit-Binomial-Selisih
Gambar 3 Diagram WTP Model Logit-Binomial-Nisbah
B. Data Kedua
Pemodelan pemilihan moda untuk data kedua menggunakan skenario dengan atribut tarif,
waktu tempuh, toleransi keterlambatan, tingkat pelayanan (service) dan waktu antara
(headway). Nilai ATP-WTP penumpang untuk data pertama ini dianalisis menggunakan
model logit-binomial-selisih dan model logit-binomial-nisbah. Gambar berikut ini
menampilkan diagram WTP untuk setiap modelnya.
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 150.000
Rp. 200.000
Tarif Bus Damri = Rp. 30.000
Biaya Mobil = Rp. 18.000
Tarif Taksi = Rp. 130.000
Tarif KA Bandara = Rp. 100.000**
Tarif KA Bandara = Rp. 75.000* WTP(Mobil) = Rp. 72.000 WTP(Bus Damri) = Rp. 69.391
WTP(Taksi) = Rp. 72.381
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 150.000
Rp. 200.000
Tarif Bus Damri = Rp. 30.000
Biaya Mobil = Rp. 18.000
Tarif Taksi = Rp. 130.000
Tarif KA Bandara = Rp. 100.000**
Tarif KA Bandara = Rp. 75.000* WTP(Mobil) = Rp. 69.578
WTP(Bus Damri) = Rp. 61.839 WTP(Taksi) = Rp. 68.772
Gambar 4 Diagram WTP Model Logit-Binomial-Selisih
Gambar 5 Diagram WTP Model Logit-Binomial-Nisbah
4.2 Nilai ATP-WTP Penumpang Kedatangan
Pada nilai ATP-WTP penumpang kedatangan menggunakan data pertama. Dimana
pemodelan pemilihan moda untuk data pertama menggunakan skenario dengan atribut
tarif, waktu tempuh, toleransi keterlambatan, tingkat pelayanan (service) dan waktu antara
(headway). Nilai ATP-WTP penumpang untuk data pertama ini dianalisis menggunakan
model logit-binomial-selisih dan model logit-binomial-nisbah. Gambar berikut ini
menampilkan diagram WTP untuk setiap modelnya.
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 150.000
Rp. 200.000
Tarif Bus Damri = Rp. 40.000
Biaya Mobil = Rp. 18.000
Tarif Taksi = Rp. 130.000
Tarif KA Bandara = Rp. 100.000**
Tarif KA Bandara = Rp. 75.000*
WTP(Mobil) = Rp. 100.000
WTP(Bus Damri) = Rp. 75.000
WTP(Taksi) = Rp. 133.397
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 150.000
Rp. 200.000
Tarif Bus Damri = Rp. 40.000
Biaya Mobil = Rp. 18.000
Tarif Taksi = Rp. 130.000
Tarif KA Bandara = Rp. 100.000**
Tarif KA Bandara = Rp. 75.000*
WTP(Mobil) = Rp. 101.600
WTP(Bus Damri) = Rp. 65.650
WTP(Taksi) = Rp. 154.108
Gambar 6 Diagram WTP Model Logit-Binomial-Selisih
Gambar 7 Diagram WTP Model Logit-Binomial-Nisbah
*Batas Bawah Indikasi Tarif KA Bandara (Sumber: www.keretaekspressoetta.com)
**Batas Atas Indikasi Tarif KA Bandara (Sumber: www.keretaekspressoetta.com)
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian Ability to Pay (ATP) dan Willingness to Pay (WTP) untuk Kereta
Api Bandara Internasional Soekarno-Hatta, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pada analisis nilai ATP-WTP penumpang keberangkatan dapat diketahui bahwa nilai
WTP pengguna Bus Damri lebih kecil daripada nilai WTP pengguna taksi dan mobil.
Hal ini berarti pengguna moda bus Damri memiliki kesediaan membayar tarif KA
Bandara yang lebih rendah daripada pengguna moda taksi dan mobil.
2. Sedangkan untuk analisis nilai ATP-WTP penumpang kedatangan, dapat diketahui
bahwa nilai WTP pengguna Bus Damri juga lebih kecil daripada nilai WTP pengguna
taksi dan mobil. Hal ini berarti pengguna moda bus Damri memiliki kesediaan
membayar tarif KA Bandara yang lebih rendah daripada pengguna moda taksi dan
mobil.
Rp. 100.000
Rp. 50.000
Rp. 150.000
Rp. 200.000
Tarif Bus Damri = Rp. 30.000
Biaya Mobil = Rp. 18.000
Tarif Taksi = Rp. 130.000
Tarif KA Bandara = Rp. 100.000**
Tarif KA Bandara = Rp. 75.000*
WTP(Mobil) = Rp. 68.684 WTP(Bus Damri) = Rp. 66.566
WTP(Taksi) = Rp. 70.919
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 150.000
Rp. 200.000
Tarif Bus Damri = Rp. 30.000
Biaya Mobil = Rp. 18.000
Tarif Taksi = Rp. 130.000
Tarif KA Bandara = Rp. 100.000**
Tarif KA Bandara = Rp. 75.000* WTP(Mobil) = Rp. 64.600
WTP(Bus Damri) = Rp. 58.820 WTP(Taksi) = Rp. 62.655
3. Jika dibandingkan nilai WTP antara penumpang keberangkatan dan kedatangan,
diketahui bahwa nilai WTP penumpang keberangkatan lebih besar daripada
penumpang kedatangan. Perbedaan nilai tersebut menunjukkan penumpang
keberangkatan lebih membutuhkan kepastian waktu yang diberikan KA Bandara untuk
menuju bandara sehingga mereka bersedia membayar lebih.
4. Dari dua (2) data set yang dianalisis pada penumpang keberangkatan, terlihat bahwa
rentang nilai WTP dari hasil analisis kedua data adalah berbeda. Dapat disimpulkan
bahwa nilai WTP dipengaruhi oleh atribut yang ditinjau. Perbedaan atribut yang
ditinjau dapat memberikan nilai WTP yang berbeda.
5. Pada analisis nilai ATP-WTP berdasarkan karakteristik tujuan perjalanan responden,
dapat diketahui responden bisnis mempunyai nilai WTP yang lebih besar daripada
responden non-bisnis. Hal ini dapat dikarenakan biaya perjalanan responden bisnis
biasanya ditanggung oleh perusahaan/instansi tempat responden bekerja. Sehingga,
responden bisnis cenderung mempertimbangkan kepastian waktu dan kecepatan
perjalanan yang diberikan KA Bandara untuk menuju bandara.
6. Dari grafik sensitivitas atribut tarif dapat diketahui kemiringan garis menunjukkan
arah negatif, yaitu menyatakan bahwa semakin besar tarif (KA Bandara – Moda
Eksisting) maka akan semakin memperkecil probabilitas memilih kereta api bandara.
7. Berdasarkan hasil analisis elastisitas, untuk ketiga model pemilihan moda diketahui
bahwa atribut yang paling sensitif mempengaruhi probabilitas pemilihan moda adalah
atribut tarif.
8. Jika tarif KA Bandara ditetapkan berdasarkan indikasi tarif KA Bandara (Rp. 75.000 –
100.000) maka nilai WTP yang berada dibawah indikasi tarif tersebut memerlukan
subsidi untuk mencapai probabilitas 50% KA Bandara.
6. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2013), Jakarta Dalam Angka 2013, Badan
Pusat Statistik: DKI Jakarta.
Ben-Akiva, M. and Steven R. Lerman (1985), Discrete Choice Analysis : Theory and
Application To Travel Demand, Cambridge, MA:MIT Press.
Breidert, Christoph (2005). Estimation of Willingness-to-Pay, Gabler Edition
Wissenschaft.
Breidert C., Hahsler M., Reutterer T. (2006), A Review of Methods For Measuring
Willingness-to-Pay, Preprint to appear in Innovative Marketing.
Center for International Economics (2001), Review of Willingness to Pay
Methodologies, Canberra & Sydney.
Hensher, David A., and Lester W.J. (1981), Applied Discrete-Choice Modelling, Halsted
Press, John Wiley & Sons, Inc, New York.
Joewono, Tri Basuki (2009), Exploring the Willingness and Ability to Pay for Paratransit
in Bandung, Indonesia, Journal of Public Transportation, Vol. 12, No.2.
Kanafani, A. (1983), Transportation Demand Analysis, McGraw-Hill, New Yok, USA.
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (2011), Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 9 Tahun 2011 Tentang Standar Pelayanan Minimum Untuk
Angkutan Orang Dengan Kereta Api, Sekretariat Negara: Jakarta.
Mukti, Elsa Tri (2001), Kompetisi Pemilihan Moda Angkutan Penumpang Antar Kota
Antara Moda Kereta Api dan Bus : Studi Kasus Rute Bandung – Jakarta, Tesis
Magister, Rekayasa Transportasi, Institut Teknologi Bandung.
Novirani, Dwi (2007), Kajian Tarif Terhadap Vehicle Operation Cost serta Willingness to
Pay Penumpang, Tesis Magister, Rekayasa Transportasi, Institut Teknologi
Bandung.
Ortuzar, J.D and Willumsen, L.G. (1994), Modelling Transport, Fourth Edition, Jonh
Wiley & Sons.
Permain, D. and Swanson, J. (1991), Stated Preference Techniques : A Guide to
Practice, Steer Davies Gleave and Haque Consulting Group, London.
Republik Indonesia (2007), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian, Sekretariat Negara.
Tamin, Ofyar Z., Rahman, H., Kusumawati, A., Munandar, AR., Setiadji, BH. (1999), Evaluasi Tarif Angkutan Umum dan Analisis ‘Ability to Pay’ (ATP) dan
‘Willingnes to Pay’ (WTP) di DKI Jakarta, Jurnal Transportasi, Vol. 1 No. 2.
Tamin, Ofyar Z. (2009), Perencanaan, Pemodelan, & Rekayasa Transportasi: Teori,
Contoh Soal, dan Aplikasi, Penerbit ITB.
SANKO, Nobuhiro (2001), Guidelines for Stated Preference Experiment Design.
Warpani, Suwardjoko P. (2002), Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Penerbit
ITB.
Website : www.keretaekspressoetta.com (diakses April 2015)