15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkemih merupakan proses pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Vesika Urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila urinaria berisi ± 250-450 cc (pada orang dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak). Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat menimbulkan rangsangan pada saraf-saaf di dinding vesika urinaria. Kemudian rangsangan tersebut diteruskan melalui medula spinalis ke pusat pengontrol berkemih yang terdapat di korteks serebral. Selanjutnya otak memberikan impuls atau rangsangan melalui medula spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, kemudian terjadi koneksi otot detrusor dan relaksasi otot sphingter internal. Urine dilepaskan dari vesika urinaria, tetapi masih tertahan di sphincter eksternal. Jika waktu dan tempat memungkinkan, akan menyebabkan relaksasi sphincter eksternal dan urine kemudian dikeluarkan/berkemih (A. Aziz Alimul H & Uliyah Musrifatul, 2008) Proses berkemih pada seseorang dapat mengalami gangguan sehingga tidak dapat berjalan dengan normal. Kondisi umum yang terjadi sebagian besar adalah ketidakmampuan individu untuk berkemih karena adanya obstruksi uretra, inkontinensia urin, retensi urin. (Hooton et al, 2010). Salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk membantu mengembalikan fungsi kandung kemih pasien ke keadaan normal yaitu dengan cara latihan bladder training. Tujuan dari bladder training adalah untuk mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (AHCPR, 1992 dalam Tiurma Juliana N, 2011). Agar bladder training ini berhasil, klien harus mampu menyadari dan 1

JURNAL URIN

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangBerkemih merupakan proses pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Vesika Urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila urinaria berisi 250-450 cc (pada orang dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak). Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat menimbulkan rangsangan pada saraf-saaf di dinding vesika urinaria. Kemudian rangsangan tersebut diteruskan melalui medula spinalis ke pusat pengontrol berkemih yang terdapat di korteks serebral. Selanjutnya otak memberikan impuls atau rangsangan melalui medula spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, kemudian terjadi koneksi otot detrusor dan relaksasi otot sphingter internal. Urine dilepaskan dari vesika urinaria, tetapi masih tertahan di sphincter eksternal. Jika waktu dan tempat memungkinkan, akan menyebabkan relaksasi sphincter eksternal dan urine kemudian dikeluarkan/berkemih (A. Aziz Alimul H & Uliyah Musrifatul, 2008)Proses berkemih pada seseorang dapat mengalami gangguan sehingga tidak dapat berjalan dengan normal. Kondisi umum yang terjadi sebagian besar adalah ketidakmampuan individu untuk berkemih karena adanya obstruksi uretra, inkontinensia urin, retensi urin. (Hooton et al, 2010). Salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk membantu mengembalikan fungsi kandung kemih pasien ke keadaan normal yaitu dengan cara latihan bladder training.Tujuan dari bladder training adalah untuk mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (AHCPR, 1992 dalam Tiurma Juliana N, 2011). Agar bladder training ini berhasil, klien harus mampu menyadari dan secara fisik mampu mengikuti program pelatihan. Program tersebut meliputi penyuluhan, upaya berkemih yang terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Fungsi kandung kemih untuk sementara mungkin terganggu setelah suatu periode kateterisasi (Potter & Perry, 2005).Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Bladder training umumnya digunakan untuk mengatasi stress incontinence, urge incontinence dan mixed incontinence. Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag dan dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan (Hariyati, 2000 dalam Tiurma Juliana N, 2011). Bladder training dilakukan dengan cara sebagai berikut : Saat ada rangsangan ingin berkemih cobalah untuk mulai menahan urin selama 5 menit, bila mampu menahan selama 5 menit tingkatkan samapi 10 menit dan seterusnya sehingga jarak berkemih 2 3 jam. Lakukan bladder training 3 12 minggu (Ford Martin, 2002 dalam Lina Herdiana, 2009). Melalui latihan bladder training, penderita diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. (Suharyanto, 2008).Pada jurnal ini menyajikan mengenai perbandingan analisis data dan hasil dariempat Cochrane tinjauan sistematis pada pelatihan kandung kemih (bladder training) dan program berkemih untuk pengelolaan inkontinensia urin menggunakan teknik deskriptif metastudy untuk menginformasikan praktek klinis, menghasilkan ide-ide baru dan mengidentifikasi penelitian masa depan arah.

1.2 Rumusan Masalah 1. Topik apa yang diangkat oleh penulis untuk diteliti?2. Bagaimanakah analisi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis?3. Apa saja kelebihan dan kekurangan penulis dalam mengemukakan hasil penelitan yang diterbitkan dalam bentuk jurnal ini?4. Bagaimanakah aplikasi hasil penelitian ini di Indonesia?

1.3 Tujuan1. Untuk mengidentifikasi topik jurnal yang diangkat oleh penulis.2. Untuk menganalisis hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis.3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penulis dalam mengemukakan hasil penelitian yang diterbitkan dalam bentuk jurnal.4. Untuk mengetahui aplikasi hasil penelitian di Indonesia.

1.4 Identitas JurnalAuthours : Brenda Roe, Joan Ostaszkiewicz, Jill Milne, Sheila WallaceYear: 2006Title: Systematic Review of Bladder Training and Avoiding Progammes in Adults: A Synopsis of findings from data analysis and outcomes using metastudy techniquesLanguage: EnglishJournal: Journal of Advanced NursingVolume: 57Issue: 1Page: 18 pageStart Page: 15

BAB IIANALISA DATA2.1 IDENTIFIKASI TOPIKMakalah ini menyajikan perbandingan analisis data dan hasil dari empat Cochrane tinjauan sistematis pada pelatihan bladder training dan program berkemih untuk memangemen inkontinensia urine, menggunakan teknik deskriptif metastudy untuk menginformasikan praktek klinis, menghasilkan ide-ide baru dan mengidentifikasi penelitian yang akan datang. kebiasaan pelatihan ulang dan berkemih pada waktunya, secara kolektif dikenal sebagai program berkemih, biasanya digunakan untuk orang dengan gangguan kognitif dan fisik dalam pengaturan kelembagaan. Program pelatihan kandung kemih dan berkemih fitur sebagai praktek klinis yang umum untuk pengelolaan inkontinensia urin.Pada jurnal ini menggunakan sebuah ringkasan dari empat Cochrane review sistematis yang mencakup acak uji coba terkontrol pada pelatihan kandung kemih, diminta berkemih, kebiasaan pelatihan ulang dan berkemih waktunya dilakukan dengan menggunakan teknik metastudy untuk sintesis penelitian kualitatif, dan telah memberikan perbandingan diskursif dan kontras analisis meta-data dan hasil dari tinjauan ini.

2.2 ANALISA TOPIK DALAM JURNALMeta-data analysis methodStrategi analisis meta-data dikembangkan olehPaterson et al. (2001) dan melibatkan metode identifikasi analisisdari 22 percobaan yang memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam empat tinjauan sistematis, pengembangan pengajuan dan sistem pengkodean, tabulasi, kategorisasi data dan diskusi dan interpretasi temuan. Data yang dikategorikan menurut perbandingan yang dibahas dalam empat tinjauan sistematis dan terkait hasil. Hasil dikelompokkan sebagai berikut: Frekuensi inkontinensia. Keparahan inkontinensia. Hasil obyektif lainnya. Hasil subyektif.

1. Frekuensi InkontinensiaPelatihan kandung kemih (bladder training)Dari 10 percobaan yang memenuhi syarat pada bladder training, manfaat yang signifikan secara statistik dikaitkan dengan intervensi pada empat. Hasil yang dilaporkan:Comment by TOSHIBA: Aku gag pahammasing poin d bawahinigmnhasilnya. Tiappoinkanmembandingkanhasilnyatinggiygmana, efektifygmanatiappointnya, akuggpaham.Jumlah individu meningkat segera setelah bladder training untuk inkontinensia 'lainnya' (Fantl 1991) dengan bladder training dibandingkan dengan tanpa bladder training. Jumlah episode inkontinensia untuk individu dengan stresinkontinensia segera setelah pengobatan dengan bladder training dikombinasikan dengan latihan otot dasar panggul danbiofeedbackdibandingkan denganlatihan otot dasar panggul dan biofeedback saja. Jumlah episode inkontinensia untuk individu dengan inkontinensia 'lain'segera setelah pengobatan dengan bladder training dikombinasikan dengan latihan otot dasar panggul danbiofeedback, dibandingkan denganlatihan otot dasar panggul dan biofeedback saja(Wyman 1998),Jumlah individu yang sembuh dari inkontinensia 'lainnya'segera setelah perawatan dengan bladder training gabungandengan latihan otot dasar panggul dan biofeedbackdibandingkan dengan latihan otot dasar panggul dan biofeedbacksendiri (Wyman 1998).

Mendorong BerkemihDari enam percobaan termasuk dalam review sistematis pada mendorong berkemih, dua melaporkan penurunan yang signifikan secara statistik pada jumlah rata-rata episode inkontinensia per individu bagi mereka yang menerima dorongan berkemih dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima dorongan berkemih.

Kebiasaan Pelatihan UlangDari tiga uji coba yang terdiri review sistematis pada kebiasaan pelatihan ulang, masing-masing melaporkan penurunan kejadian inkontinensia dari awal. Namun, tidak ada statistik yang signifikan antara perbedaan kelompok yang tercatat pada hasil ini.

Jangka Waktu BerkemihAda signifikan secara statistikpeningkatan jumlah individu dengan penurunan frekuensi inkontinensia malam hari bagi individu dalamkelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tobin & Brocklehurst 1986).Comment by TOSHIBA: Inimaksudnyapeningkatanapa? Terusadapenurunanjugaitupenurunanapa?

2. Keparahan InkontinensiaKeparahan inkontinensia dihitung sebagai ukuran hasil oleh tiga percobaan (Colling et al. 1992, 2003, Tobin & Brocklehurst 1986). Data hasil didasarkan pada volume rata-rata inkontinensia per individu dan / atau jumlah individu dengan penurunan volume inkontinensia. Dimana data pembanding yang tersedia, tidak ada statistik yang signifikan antara perbedaan kelompok yang tercatat pada hasil ini (Tabel 2).

3. Hasil Obyektif lainnyaHasil obyektif lain yang dilaporkan termasuk, Permintaan diri mulai untuk ke toilet, frekuensi berkemih, tindakan kesehatan(efek obat yang merugikan, integritas kulit diubah, infeksi saluran kemih) dan langkah-langkah ekonomi kesehatan (biaya pelaksanaan dan penghematan biaya).a. Permintaan diri dimulai untuk ke toiletComment by TOSHIBA: Bahasanya kaya anehData hasil terbatas pada satu percobaan(Schnelle 1989). Ini melaporkan sejumlah statistik signifikan lebih tinggi dari permintaan yang diprakarsai sendiri untuk toileting untuk kelompok terkena diminta berkemih dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima instruksi diminta berkemih.b. Frekuensi berkemihEvaluasi frekuensi berkemih terbatas pada tiga percobaan yang berfokus pada bladder training (Jarvis 1981, Fantl1991, Colombo et al. 1995).Langkah-langkah yang digunakan untuk menentukan efektivitas intervensi termasuk (a) jumlah hari-waktu dan berkemih malam hari per minggu untuk inkontinensia stres, dan untuk inkontinensia'lainnya' segera setelah pengobatan dan(b) jumlah individu yang sembuh dari siang dan malam waktu frekuensi kencing. Data didasarkan pada buku harian kemih individu di dua dari tiga percobaan. Antar kelompok data yang tersedia didukung perbedaan signifikan secara statistik dalam mendukung bladder training: Peningkatan jumlah individu sembuh dari siang harifrekuensi bladder training dibandingkan dengan oxybutynin(RR 123 95% CI 083 ke181) (Colombo et al. 1995).Comment by TOSHIBA: Aku gag paham angka2 initik. kalokamuggpaham, hapusajaya Peningkatan jumlah individu sembuh dari malam-waktufrekuensi pelatihan kandung kemih dibandingkan dengan oxybutynin(RR 224 95% CI 080 ke 630) (Colombo et al. 1995). Peningkatan jumlah individu sembuh dari siang harifrekuensi pelatihan kandung kemih dikombinasikan dengan flavoxatehidroklorida 200 mg TDS imipramine 25 mg TDS(RR 256, 95% CI 128 ke 513) (Jarvis 1981) (Tabel 3).

c. TindakanMedisEfek samping obatData tersedia pada hasil dari10 percobaan bladder training (Jarvis 1981, Colombo et al. 1995), dandari satu sidang diminta berkemih (Ouslander et al.1995) (Tabel 3). Colombo et al. (1995) melaporkan statistik sejumlah besar peserta yang mengalami kerugian sebagai konsekuensi dari oxybutynin dibandingkan dengan bladder training saja (RR 003, 95% CI 000 untuk 044). Jarvis(1981) juga melaporkan jumlah yang lebih tinggi dari pasien yang mengalami efek samping pada obat kelompok penerima (yaituflavoxate hidroklorida 200 mg, tiga kali sehari(TDS) imipramine 25 mg TDS) dibandingkan dengan bladder training saja, namun perbedaan ini tidak mencapai statistik signifikansi (RR 003, 95% CI 000 ke 055) (Tabel 3).Dalam percobaan tunggal pada efek oxybutynin di diminta berkemih, tiga efek samping dicatat adalah mulut kering (N = 22 aktif dan n = 19 plasebo), sembelit (n = 16aktif dan n = 13 plasebo) dan tidak lengkap pengosongan kandung kemih(N = 14 aktif dan n = 16 plasebo) (Ouslander et al. 1995).Para ahli penelitian menyimpulkan bahwa oxybutynin tidak menambah efektivitas klinis diminta berkemih di sebagian besar penghuni panti jompo dengan jenis inkontinensia urin dorongan meskipun beberapa orang mungkin lebih responsif terhadap diminta berkemih sementara pada obat ini (Ouslander et al.1995)

Integritas kulit DiubahPara ahli penelitian melaporkan signifikandalam kelompok penurunan kejadian ruam kulit dan kerusakan kulit yang berhubungan dengan pengobatan. Tidak ada analisis lebih lanjut dapat diterapkan pada data yang disajikan.

Infeksi saluran kemihStaf peneliti mengumpulkan spesimen clean-catch ofurin pada minggu ke 3, 6, 9 dan 12, dan mengirim mereka untuk kultur dansensitivitas jika positif pada dipstick. Peneliti melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Tidak ada lagianalisis dapat diterapkan pada jenis data yang disajikan.

d. Langkah-Langkah Ekonomi KesehatanBiaya pelaksanaan dan penghematan biayaBiaya pelaksanaan dan / ataupenghematan biaya yang terkait dengan intervensi.

Hasil SubyektifInstrumen pengumpulan data yang digunakan untuk menilai hasil subyektif dalam review pada bladder training dirancang untuk self-completion sedangkan instrumen yang digunakan dalam percobaan pada kebiasaan pelatihan ulang yang ditargetkan untuk pengasuh rumah berbasis masyarakat.Fantl (1991) melaporkan peningkatan signifikan secara statistik dalam skor kualitas hidup bagi peserta dengan 'inkontinensia lain'pada kelompok pelatihan kandung kemih dibandingkan dengankontrol. Satu-satunya uji coba lain yang menunjukkan statistik yang hasil yang signifikan pada hasil subjektif yang berhubungan dengan kepuasan segera setelah perawatan (Wyman 1998).Data disukai kelompok kontrol yang menerima latihan otot dasar panggul dan biofeedback dibandingkan dengan kandung kemih pelatihan saja.

2.3 KRITISI JURNALA. Kelebihan:1. Antara judul/tema pada jurnal ini sesuai dengan isi pada jurnal tersebut.2. Table pada jurnal ini lengkap, tidak ada yang kurang.3. Jurnal ini lumayan bagus karena di jurnal ini berkaitan tentang perbandingan pada beberapa jurnal penelitian dengan tema yang sama.4. Bahasa yang digunakan pada jurnal tersebut cukup mudah dipahami.5. Sistematika jurnal ini lengkap, ada abstract, introduction, background, dll6. Ada penjelasan singkat mengenai istilah singkatan-singkatan pada jurnal ini. B. Kekurangan :1. Sebagaimana yang telah dilaporkan dari tiap systematic review yang sesuai, analisa dari tiap systematic review terbatas karena kekurangan data yang sebanding dan variasi kualitas data yang tersedia. Demikian pula, keanekaragaman protocol dan metode yang mengartikan bahwa kombinasi data outcome yang sama tidak dilakukan.2. Tidak jelas apakah diagnostik dan penilaian investigasi untuk inkontinensia urin akan meningkatkan kesehatan bagi orang-orang dengan penyakit penyerta, kognitif dan gangguan fisik.3. Penjelasan mengenai singkatan-singkatan sudah jelas tetapi terlalu singkat karena hanya menjelaskan kepanjangannya saja.

2.4 APLIKASI HASIL DI INDONESIAMenurut Salomon dalam Darmojo (2000) bahwa inkontinensia urin pada lanjut usia menduduki urrutan klima. Dari penelitin menyebutkn bahwa 15-30% orang yangtinggl di masyarakat dan 50% orang yang dirawat ditempat pelayanan kesehatan menderita inkontinensia urine. Pada taun 1999, dari semua pasien geriatriyang dirawat di ruang geriatri penyakit dalam RSUD Dr. Cipto Mangun Kusuo didapatkan angka kejada inkontinensia urin sebesar 10% dan ada tahun 2000 meningkat menjadi 12% (Widya, W., 2002).Prevalensi inkontinensia urin menurut The Asia Pacific Continense Board(APCB) sebanyak 20,9%-35%, di mana perempuan lebih banyak menderita (15,1%) dari pada laki-laki (5,8%). Dari sejumlah penderita perempuan tersebut 24,9% adalah stres inkontinesia, 10,5% inkontinensia gesa (Urge Incontinence) dan 5% adalah kombinasi. Prevalensi inkontinesia urin di Indonesia belum ada angka yang pasti, dari hasil beberapa penelitian didapatkan angka kejadian berkisar antara 20% sampai dengan 30% (Suparman, E & Rompas, J., 2008).Prevalensi inkontinensia urin pada wanita bervariasi, di dunia berkisar antara 10 - 58%, sedang di Eropa dan Amerika berkisar antara 29,4%. Menurut APCAB (Asia Pacific Continence Advisor Board) tahun 1998 menetapkan prevalensi inkontinensia urin14,6% pada wanita Asia. Prevalensi di Asia relatif rendah karena pandangan orang Asia bahwa inkontinensia urin merupakan hal yang memalukan, sehingga tidak dikeluhkan pada dokter. Sedangkan prevalensi pada wanita Indonesia 5,8%. Survei inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urinpada pria 3,02% sedangkan pada wanita 6,79%. Survei ini menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Jayani, L., 2010). Inkontinensia urine juga merupakan komplikasi persalinan yang sering terjadi pada periode postpartum. Inkontinensia urin tidak mengancam jiwa penderita, tetapi dapat berdampak terhadap fisik dan kualitas hidup. Dalam penelitian Cardozo, Srikrishna dan Robinson (2009) yang meneliti tentang pengalaman dan harapan wanita yang mengalami inkontinensia urin secara kualitatif dan kuantitatif diperoleh data bahwa wanitadengan inkontinensia urin membatasi aktivitas (71,26%), pembatasan peran (67,24%), pembatasan sosial (50,38%). Secara kualitatif juga ditemukan bahwa wanita dengan Inkontinensia urine merasakan gannguan body images,tidak percaya diri karena menimbulkan bau, dan melakukan pembatasan aktivitas seperti belanja, dansa, bermain dengan anak-anaknya, tertawa dan bersin. Menurut Susan (2008) beberapa komplikasi inkontinensia urin selain berpengaruh terhadap mental dan sosial adalah risiko tinggi infeksi kandung kemih, uretra dan iritasi vagina. Hal ini akan meningkatkan risiko infeksi pada postpartum (Pinem, L, 2009).Selain menimbulkan dampak terhadap mental, inkontinensia urin secara tidak langsung akan meningkatkan infeksi postpartum. Menurut Susan (2008) komplikasi fisik yang paling umum terjadi pada penderita inkontinensia urin adalah infeksi kandung kemih, infeksi uretra dan iritasi vagina. Iritasi vagina dapat berkembang menjadi infeksi dan berkembang sampai terjadinya infeksi pada sistem reproduksi lainnya. Ege,et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa 7,3% wanita mengalami inkontinensia urin pada saat melakukan hubungan seksual, dan 14,4% wanita yang mengalami inkontinensia selalu menggunakan pembalut (Pinem, L, 2009).Yin dan Jacobson (2006, dalam Setyowati, 2007) menyatakan bahwa kejadian inkontinensia urin merupakan suatu kondisi yang biasa dialami satu dari tiga wanita. Inkontinensia urin dapat mempengaruhi kondisi fisik, psikologis dan kesejahteraan sosial individu. Menurut Dubeau (2000) inkontinensia urin tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mortalitas tetapi akan mengganggu kualitas hidup, kesejahteraan mental, fungsi sosial, sellulitis, infeksi saluran kemih, sleep deprivation,depresi dan disfungsi seksual. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Smeltzer dan Bare (2000, dalam Setyowati, 2007) bahwa dampak inkontinensia urin sangat besar yaitu perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri, dan isolasi sosial (Pinem, L, 2009).Inkontinensia urine adalah masalah kesehatan yang signifikan di seluruh dunia dengan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomis pada individu dan lingkungannya. Hu dan rekan memperkirakan biaya total dari inkontinensiadi Amerika Serikat pada tahun 2000 adalah sekitar 19,5 juta dollar. Inkontinensia memiliki pengaruh ekonomis yang lebih besar daripada penyakit kronis lainnya (Putra, M., 2013).

BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanPada penelitian di jurnal menyimpulkan bahwa jumlah percobaan termasuk dalam tinjauan sistematik dan bukti tentang efektivitas program berkemih pada khususnya sangat terbatas. Ada bukti bahwa bladder training efektif untuk management inkontinensia urin pada orang dewasa dan direkomendasikan untuk praktek klinis, meskipun dalam waktu jangka panjang tindak lanjut penelitian perlu dilakukan. Bladder training yang dikombinasikan dengan latihan otot dasar panggul dan modifikasi kognitif dan gaya hidup lainnya dan intervensi kombinasi yang lainnya perlu dipelajari dalam penelitian masa depan untuk managemen inkontinensia urin.

3.2 SaranMudah-mudahan ada penelitian lebih lanjut mengenai bladder training karena dalam jurnal ini hanya mereview penelitiaan yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA1. Jayani, L. (2010). Hubungan Kelebihan Berat Badan dengan Inkontinensia Urin pada Wanita di Wilayah Surakarta. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.2. Pinem, L. (2009). Efektivitas Paket Latihan Mandiri Terhadap Pencegahan Inkontinensia Urin Pada Ibu Postpartum. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.3. Putra, M. (2013). Inkontinensia Urin dalam Kehamilan. Orthopaedic And Traumatology Department Faculty Of Medicine Hasanuddin University Makassars.4. Suparman, E & Rompas, J. (2008). Inkontinensia Urin Pada Perempuan Menopause. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado.5. Widya, W., (2002). Pengaruh yang Signifikan pada Pemberian Latihan Kegel terhadap Frekensi Inkontinensia Urine ada Lanjut Usia (Lansia).1