89

Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

Embed Size (px)

DESCRIPTION

EBOOK

Citation preview

Page 1: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007
Page 2: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007
Page 3: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

i

PENGANTAR REDAKSI

Strategi pemberdayaan tampaknya menjadi pilihan bagi berbagai pihak terutama pemerintahdalam upaya memberi motivasi dan dorongan guna membangkitkan kesadaran masyarakatterutama kelompok rentan akan potensi yang dimilikinya. Salah satunya adalah programpengembangan distrik (PPD) yang dilaksanakan di provinsi Papua menjadi kajian menarik karenaseharusnya dapat mengangkat masyarakat tidak mampu dari keterpurukannya tetapi ternyataprogram ini hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Muchtar menyajikan bagaimanaimplementasi program ini di tingkat masyarakat. Sebaliknya pemberdayaan sebagai perwujudandari Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh PT Ultrajaya Milk Industry &Trading Co Tbk, mampu membantu komunitas rentan yang ada di lingkungannya. Lebih jauhDewi Wahyuni melakukan studi pada lingkungan masyarakat yang menjadi sasaran program ini.

Masih bicara tentang masyarakat miskin, Toton Witono lebih menyoroti pada kehidupanmereka di era otonomi daerah terutama mereka yang tinggal di Lereng Gunung Merapi, JawaTengah. Menurut penulis, tampaknya otonomi daerah tidak banyak menghasilkan kebijakan yangdapat mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut. Sungguh ironis memang. Habibullah didalam artikelnya, melihat bahwa kegagalan program penanganan masalah kemiskinan umumnyalebih disebabkan karena terbatasnya pemahaman tentang pola kehidupan masyarakat tersebut.

Bahasan lain dalam edisi Jurnal kali ini tentang Anak Jalanan, tampaknya masih menjadipembicaraan pada kalangan Pemerintah dan LSM. Hari Harjanto Setiawan melakukan penelitiantentang Anak Jalanan yang tinggal di Kampung Pedongkelan yang mendapat program bantuanincome generating. Menurutnya, model community based yang diterapkan dalam program inidianggap cukup efektif dikembangkan.

Lain halnya dengan dua artikel yang dibahas oleh Dorita Setiawan yang menyoroti tentangkehidupan perempuan dengan aktivitasnya, serta Surya Wijaya dengan bahasannya tentangkepemimpinan dan motivasi kerja di kalangan PNS di lingkungan Departemen Sosial. KepedulianDorita terhadap KDRT yang akhir-akhir ini terjadi, memunculkan pemikiran tentang pentingnyametode pekerjaan sosial melalui pendekatan pengorganisasian masyarakat yang dianggap dapatlebih memahami bagaimana individu, kelompok dan kebersamaan saling terkait. Hal ini dilakukankarena penulis melihat ada pandangan umum yang menyatakan bahwa kekerasan terhadapperempuan adalah masalah kolektif, sehingga pemecahannya harus dilakukan bersama.Sementara dalam kehidupan komunitas pegawai yang disorot oleh Surya Wijaya, memunculkanpemikiran bahwa ternyata motivasi kerja sangat dipengaruhi oleh nilai (value), keyakinan dansistem merit yang dianut dalam suatu organisasi. Temuan yang sangat menarik adalah ternyatamotivasi kerja pada kalangan PNS yang diteliti belum cukup kuat mempengaruhi prestasi kerjamereka.

REDAKSI

Page 4: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007
Page 5: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

1

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN DISTRIKKajian Kebijakan dan Implementasinya di Provinsi Papua

Muchtar

ABSTRAK

Kajian Implementasi Program Pengembangan Distrik (PPD) di Provinsi Papua bertujuan memahamipenanganan kemiskinan melalui strategi pemberdayaan. Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yangmenekankan esensi dan substansi (pemahaman, pandangan, dan tanggapan) informan yang menghasilkandata deskriptif, yakni gambaran implementasi program di lapangan. Data tersebut diperoleh melalui studidokumen dan wawancara. Informan ditentukan secara purposive, yakni informan mengetahui secara baikpemasalahan yang sedang dikaji. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah aparat BadanPemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Papua sebagai pengelola PPD. Hasil kajian menunjukkan,meskipun pelaku PPD di Propinsi Papua khususnya pada awal implementasi program mampu melakukanpembangunan sejumlah prasarana dasar desa melalui dana program ditambah swadaya masyarakat setempatdan menyalurkan dana program kepada kelompok masyarakat untuk usaha ekonomi produktif, tetapi jikadicermati, belum terjadi proses pemberdayaan khususnya bagi kelompok miskin, karena tidak ada transferdaya kepada kelompok miskin. Program lebih dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja, dan proses belajarsosial relatif kurang berlangsung, sebab program lebih bernuansa ekonomi saja. Untuk itu, saran ditekankanpada kualitas pelaku program di berbagai tingkatan (khususnya tingkat kampung), yaitu: (a) mereka perlumemahami program secara baik pentingnya pembekalan; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi programkepada masyarakat secara benar, yang tidak semata penyebaran informasi, tetapi juga perlu diarahkan padapenyadaran tentang permasalahan yang sedang dihadapinya, dan tumbuhnya semangat untuk memecahkanmasalah secara mandiri; (c) perlunya pendampingan (fasilitator lokal) secara berkelanjutan terhadap parapelaku program di tingkat kampung, dalam kurun waktu tertentu, hingga mereka dinilai mampu melakukanpenanganan masalah kemiskinan warganya secara mandiri. Untuk itu, diperlukan petugas pendampingyang memiliki kompetensi yang memadai, profesional, visionis, taktis, tekun, dan mempunyai semangattinggi.

Kata kunci : Pemberdayan masyarakat,PPD.

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah perdesaan (baca: kampung) tidakhanya ditandai oleh keadaan yang serbaterbelakang, tapi ia juga menanggung bebanmempekerjakan mayoritas angkatan kerja yangberpendidikan sekolah dasar atau kurang,menampung penganggur semu, serta meng-hidupi lapisan penduduk di bawah gariskemiskinan (Baswir, 1999: 72).

Fenomena keterbelakangan masyarakatperdesaan di republik ini, telah lamamengemuka, yang terlihat dalam data dimanatahun 1980-an, terdapat 40,6 juta (27%)

penduduk Indonesia hidup dibawah gariskemiskinan. Dari jumlah itu, 70% berada diperdesaan (Data BPS 1981 dalamSumodiningrat 1989: 120). Hal serupadikemukakan oleh Sarbini (1989: 221), lebihdari 80% rakyat Indonesia hidup di perdesaan.Diantara mereka itu hanya 10-15% yang dapatdisebut sebagai orang berada. Sisanya 85%rakyat desa hidup serba kekurangan, bahkanlebih kurang 40% tergolong sangat miskin.

Tahun 1999, jumlah penduduk miskin diIndonesia mencapai 48,4 juta jiwa (23,4%)sebagai dampak langsung krisis moneter(ekonomi), padahal pada tahun 1996penduduk miskin hanya berjumlah 22,5 juta jiwa(11,9%). Tahun 2002, jumlah penduduk miskin

Page 6: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

2

mengalami sedikit penurunan menjadi 35,7 jutajiwa (17,6%). Dari jumlah itu, sebagian besartinggal di perdesaan, yang mencapai 22,6 jutajiwa (11,2%), dan selebihnya, 12,9 juta jiwa(6,4%) di perkotaan (BPS-Depsos R.I., 2003:15-17). Tahun 2006, data Susenasmenunjukkan, angka kemiskinan kembalimelonjak, dari 35,10 juta (15,97%) tahun 2005menjadi 39,05 juta jiwa (17,75%) tahun 2006,dengan garis kemiskinan Rp. 152.847 perkapita per bulan (setara konsumsi 2.100 kilo-gram kalori/kkal), bahkan Bank Dunia (Novem-ber 2006) mencatat dengan kriteria yangmereka acu, angka kemiskinan di Indonesiamencapai 149 juta jiwa (49%) dari totalpenduduk Indonesia. Sebagian besar merekaitu (63,41%) ada di perdesaan (Kompas, 16Maret 2007).

Atas realitas itu, program pemberdayaanpenduduk perdesaan/kampung (yang padaumumnya miskin), sudah mendesak untukdilakukan oleh berbagai pihak, khususnya daripenyelenggara negara, baik di tingkat pusatmaupun di daerah, sejalan dengan perubahanparadigma pembangunan dari sentralisasi kedesentralisasi (akhir 1990-an). Perubahan itutidak hanya terbatas pada bidang politik, tetapijuga pada bidang lainnya khususnyapemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan, dankesejahteraan rakyat lainnya. Perbaikanberbagai bidang tersebut, sebagian besar harusdipenuhi di tingkat daerah sejalan dengankebijakan otonomi daerah yang telah menjadikomitmen nasional dan telah harusdiberlakukan.

Searah dengan pemikiran itu, PemerintahPropinsi Papua sejak tahun 1998 melaksanakanPPD dengan dukungan dana APBN dalamupaya pemberdayaan masyarakat miskin diwilayah Propinsi Papua, akan tetapiefektifitasnya belum seperti diharapkan. Ataspermasalahan tersebut, pertanyaannya adalah:(1) bagaimana gambaran kemiskinan diWilayah Propinsi Papua? (2) Bagamaimanagambaran PPD? (3) Bagaimana capaianprogram? dan (4) Apa kendala dalamimplementasi program?

Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut,kajian ini bertujuan memahami danmendeskripsi: (1) kemiskinan di Wilayah PropinsiPapua, (2) implementasi program, (3) capaianprogram, dan (4) kendala dalam implementasi

program. Hasil kajian ini diharapkanbermanfaat bagi pihak-pihak terkait gunapenyempurnaan program yang akan datang,dan sebagai informasi awal bagi mereka yangingin melakukan kajian secara lebih mendalamdalam upaya pemberdayaan penduduk miskinperdesaan kampung.

B. Telaah Pustaka

1) Konsep pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat me-rupakan strategi pembangunan. Dalamperspektif pembangunan ini, disadaribetapa penting kapasitas manusia dalamupaya meningkatkan kemandirian dankekuatan internal atas sumber daya materidan nonmaterial. Sebagai suatu strategipembangunan, pemberdayaan dapatdiartikan sebagai kegiatan membantuklien untuk memperoleh daya gunamengambil keputusan dan menentukantindakan yang akan dilakukan, terkaitdengan diri mereka termasuk mengurangihambatan pribadi dan sosial dalammelakukan tindakan melalui peningkatankemampuan dan rasa percaya diri untukmenggunakan daya yang dimiliki denganmentransfer daya dari lingkungannya(Payne, 1997: 266 dalam buku “Modernsocial work theory”). Sementara itu Ife(1995: 182 dalam buku “Community de-velopment: Creating community alterna-tives-vision, analysis and practice”)memberikan batasan pemberdayaansebagai upaya penyediaan kepada or-ang-orang atas sumber, kesempatan,pengetahuan, dan keterampilan untukmeningkatkan kemampuan merekamenentukan masa depannya danuntuk berpartisipasi di dalam danmempengaruhi kehidupan komunitasmereka.

Sementara itu, Sutrisno (2000:185)menjelaskan, dalam perspektif pem-berdayaan, masyarakat diberi wewenanguntuk mengelola sendiri dana pem-bangunan baik yang berasal daripemerintah maupun dari pihak lain,disamping mereka harus aktif ber-partisipasi dalam proses pemilihan,perencanaan, dan pelaksanaan pem-bangunan. Perbedaannya dengan

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

Page 7: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

3

pembangunan partisipatif adalahketerlibatan kelompok masyarakat sebataspada pemilihan, perencanaan, danpelaksanaan program, sedangkan danatetap dikuasai oleh pemerintah.

Meskipun rumusan konsep pem-berdayaan berbeda-beda antara ahliyang satu dengan yang lainnya, tetapipada intinya dapat dinyatakan bahwapemberdayaan adalah sebagai upayaberencana yang dirancang untuk merubahatau melakukan pembaruan pada suatukomunitas atau masyarakat dari kondisiketidakberdayaan menjadi berdayadengan menitikberatkan pada pem-binaan potensi dan kemandirianmasyarakat. Dengan demikian merekadiharapkan mempunyai kesadaran dankekuasaan penuh dalam menentukanmasa depan mereka, dimana provider daripemerintah dan lembaga non governmentorganization/NGO hanya mengambilposisi partisipan, stimulan, dan motivator.

2) Konsep kemiskinan

Kemiskinan adalah konsep yang cair,tidak pasti, dan mutidimensional. Olehkarena itu, terdapat banyak terminologikemiskinan baik yang dikemukakanoleh pakar secara individu maupunsecara kelembagaan. Dalam pengertiankonvensional, kemiskinan (hanya)dimaknai sebagai permasalahanpendapatan (income) individu, kelompok,komunitas, masyarakat yang beradadibawah garis kemiskinan (Zikrullah,2000:11). Hal ini setidaknya terlihat padabatasan yang dikemukakan UNDP (1997)dalam Cox (2004:9), bahwa seseorangdikatakan miskin jika tingkatpendapatannya (hanya) berada dibawahgaris kemiskinan. Oleh Karena itu, upayapenanganan kemiskinan yang dilakukanpada negara dunia ketiga baik olehpemerintah maupun organisasi nonpemerintah, kebanyakan (hanya)bertumpu pada upaya peningkatanpendapatan. Padahal kemiskinan meliputiaspek ekonomi, sosial, dan aspek-aspeklainnya. Itu sebabnya, berbagai upayapenanganan kemiskinan itu tidakmenyelesaikan masalah dan cenderunggagal.

Untuk itu, menurut Max Neef dalamZikrullah (2000:11), sekurang-kurangnyaada enam macam kemiskinan yang perludi fahami oleh pihak-pihak yang menaruhperhatian terhadap penanganan ke-miskinan, yaitu: (a) kemiskinan substensi,penghasilan rendah, jam kerja panjang,perumahan buruk, fasilitas air bersihmahal; (b) kemiskinan perlindungan,lingkungan buruk (sanitasi, saranapembuangan sampah, polusi), kondisikerja buruk, tidak ada jaminan atas hakpemilikan tanah; (c) kemiskinanpemahaman, kualitas pendidikan formalburuk, terbatasnya akses atas informasiyang menyebabkan terbatasnya ke-sadaran akan hak, kemampuan danpotensi untuk mengupayakan perubahan;(d) kemiskinan partisipasi, tidak ada aksesdan kontrol atas proses pengambilankeputusan yang menyangkut nasib diri dankomunitas; (e) kemiskinan identitas,terbatasnya perbauran antara kelompoksosial, terfragmentasi; dan (f) kemiskinankebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidakaman baik ditingkat pribadi maupunkomunitas.

Narhetali mengutip hasil penelitiantentang kemiskinan yang dilakukan Yeates& Mc Laughlin dari Bank Dunia (2000)menyatakan, orang miskin mempunyaipenekanan yang berbeda dari pembuatkebijakan tentang hal-hal yang dipersepsisebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkatpendapatan, konsumsi, pen-didikan, dankesehatan, kaum miskin juga menekankanfaktor psikologis seperti kepercayaan diri,ketidakberdayaan (powerlesness) sertapengucilan fisik dan sosial sebagai sumberkemiskinan. Dengan demikian secara jelasterlihat bahwa bagi orang, kelompok,komunitas, masyarakat miskin, ternyatapeningkatan pendapatan bukanlah satu-satunya hal yang amat penting. Tetapi,perlakuan humanis penuh harga diri, self-respect juga merupakan sesuatu yang amatbernilai (Kompas, 5 Maret 2003)

Meskipun banyak terminologimengenai kemiskinan, tetapi secara umumdapat dinyatakan, bahwa istilahkemiskinan selalu menunjuk pada sebuahkondisi yang serba kekurangan. Kondisi

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik (Muchtar)

Page 8: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

4

serba kekurangan tersebut bisa diukursecara obyektif, dirasakan secara subyektif,atau secara relatif didasarkan padaperbandingan dengan orang lain,sehingga melahirkan pandangan obyektif,subyektif, dan relatif tentang kemiskinan.

Berdasarkan kajian teoritik itu,penanganan kemiskinan melalui PPDmulai memandang, bahwa peningkatanpendapatan bukan satu-satunya hal yangamat penting, tetapi perlakuan humanis,mengakui potensi mereka denganpendekatan pemberdayaan merupakanunsur lain yang ditekankan.

C. Metode Kajian

Kajian ini bermaksud mendapatkangambaran nyata implementasi PPD secarasistematis dan faktual di lapangan, danpencapaian hasil program. Oleh karena itu jeniskajian ini adalah deskriptif. Menurut Newman(1997:19), kajian deskriptif mampu menyajikangambaran secara detail dari sebuah situasi danatau setting social. Menurut Danim (2002:61),pada pendekatan kualitatif, data yangdikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata,gambar dan bukan angka-angka, kalaupunada angka-angka sifatnya hanya sebagaipenunjang. Data dimaksud meliputi transkripwawancara, catatan lapangan, foto-foto,dokumen pribadi, nota, dan catatan lain-lain.Atas alasan itulah dipilih pendekatan datakualitatif.

Kajian ini dilakukan di Papua padaSeptember 2006 selama lima hari. Penentuaninforman dalam penelitian ini secara purposive.Artinya, informan dipilih berdasarkanpertimbangan mereka mengetahui secara baikpelaksanaan PPD. Untuk itu, informan yangtelah dipertimbangkan sesuai dan mengetahuisecara baik pelaksanaan program adalahaparat kantor Badan PemberdayaanMasyarakat Desa (BPMD) Provinsi Papua.

Pengumpulan data dan informasi dilapangan digunakan studi dokumen gunamenghimpun dan merekam data yang bersifatdokumentatif, seperti: foto-foto kegiatan, arsip-arsip penting, kebijakan, dan lainnya.Disamping itu juga digunakan teknikwawancara.

Analisis data dilakukan dalam tigatahapan: (a) Reduksi data, proses pemilihan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan,transformasi data kasar yang muncul daricatatan-catatan lapangan; (b) Penyajian data,kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalambentuk teks naratif; dan (c) penarikankesimpulan, mencari arti, pola-pola,penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alursebab akibat. Penarikan kesimpulan dilakukansecara cermat dengan melakukan verifikasiberupa tinjauan ulang pada catatan-catatanlapangan sehingga data yang ada terujivaliditas dan reliabilitasnya.

I I . HASIL KAJIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Gambaran Kemiskinan di Papua

Provinsi Papua berpenduduk 1.956.224jiwa yang tersebar di 19 kabupaten/kota (219distrik, 2500 kampung/kelurahan). Dari jumlahpenduduk tersebut, 966.800 jiwa (38,69%)dalam kategori miskin (BPMD, 2006). Secaralebih jelas persebaran penduduk miskin diProvinsi Papua tersebut, terlihat pada matrik 1berikut:

Matriks 1: Data kemiskinan penduduk PropinsiPapua berdasarkan Kabupaten/Kota

NO KABUPATEN/KOTA %

1 Kota Jayapura 22,98

2 Jayapura 28,39

3 Sarmi 27,88

4 Yapen Waropen 42,62

5 Biak Numfor 44,87

6 Supiori -

7 Nabire 43,01

8 Paniai 49,09

9 Jayawijaya 46,21

10 Asmat 31,37

11 Mappi 29,97

12 Merauke 28,15

13 Pegunungan Bintang 47,85

14 Puncak Jaya 50,67

15 Yahukimo 45,74

16 Tolikara 46,21

17 Waropen 44,48

18 Mimika 30,75

19 Boven Digul 28,76 Sumber: BPMD, 2006.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

Page 9: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

5

B. Gambaran PPD

PPD adalah suatu program pendesen-tralisasian kewenangan dan dana ke tingkatkampung, dimana masyarakat kampungmengelola secara sendiri pembangunan dikampungnya dengan prinsip dari, oleh, danuntuk masyarakat.

1) Tujuan PPD

a) Meningkatkan keterlibatan orangmiskin dan perempuan terutamadalam pengambilan keputusan

b) Meningkatkan kualitas hidup masya-rakat miskin melalui bidangpendidikan dan kesehatan

c) Meningkatkan penyediaan pra-sarana sosial ekonomi masyarakatkampung

d) Memperoleh kesempatan berusahadan pengembangan usaha bagimasyarakat miskin di kampung

e) Mengembangkan kemampuan/kapasitas masyarakat dalammerencanakan, menyelenggarakandan melestarikan pembangunandi kampung serta mengaksessumberdaya yang dimilikinya

f) Meningkatkan kemampuan masya-rakat dalam melakukan pe-ngawasan terhadap programpembangunan di kampung

g) Mengembangkan dan memperkuatkelembagaan pembangunan dikampung atau antar kampung

2) Prinsip PPD

a) Transparansi

b) Partisipasi

c) Desentralisasi

d) Kompetisi sehat

e) Pertanggungjawaban pekerjaan

f) Pelestarian/keberlanjutan

3) Bentuk fasilitasi PPD

a) Bantuan langsung masyarakat (BLM)1) Dana untuk menyelenggarakan

kegiatan pembangunan saranaprasarana sosial dasar danekonomi

2) Diperuntukkan kepada masya-rakat di kampung terutama untukpenduduk miskin

b) Bantuan teknis pendampingan1) Berupa bantuan teknis kepada

institusi sosial lokal, pemerintahandesa, unit pengelola keuangan(UPK) dan usaha-usaha kecilserta mikro terutama yangdikelola oleh penduduk miskin

2) Transformasi pendampingankepada pendamping lokal,aparat pemerintah dan institusilokal

4) Jenis kegiatan PPD

a) Sarana prasarana (SP)

b) Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

c) Simpan pinjam untuk kelompokperempuan (SPP)

d) Pendidikan

e) Kesehatan

5) Alokasi dana perdistrik

LOKASI JUMLAH

PENDUDUK/DISTRIK ALOKASI DANA

KETERANGAN

> 25.000 jiwa 1 milyard

15.000-25000 jiwa 750 juta Seluruh distrik Provinsi Papua

< 15.000 jiwa 500 juta

Selama kurun waktu 1988-2006 dialokasikan dana 121.250 Milyard.

Tahun 2006, PPD melalui dana APBN dipersiapkan alih ke dana APBD (Otonomi khusus/Otsus) dengan alokasi dana 1 Milyard

Jumlah KK/kampung Alokasi perkampung = x Alokasi dana/distrik Total KK semua kampung

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik (Muchtar)

Page 10: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

6

6) Mekanisme pencairan dana

Dana dialokasikan untuk rekeningkampung melalui Tim Pengelola kegiatankampung di setiap distrik pada KPPN, Bank,Cabang pembantu bank terdekat. Pencairandana direalisasikan setelah melakukan prosesperencanaan melibatkan berbagai komponendi kampung dalam forum musyawarahkampung (Muskam) dan setelah diverivikasi/disetujui dalam musyawarah distrik dapatdicairkan setelah ditandatangani oleh TimPengelola Kegiatan di kampung, Pendamping,dan Penanggung Jawab Operasional Kegiatan(PJOK) distrik. Proses pencairan pada tahap Isebesar 60%, tahap II 40%.

7) Dampak program yang diharapkan

a) Adanya proses pembelajaran

b) Proses bottom up planning terjadi dimasyarakat

c) Adanya lapangan pekerjaan

d) Peningkatan kapasitas kelembagaan

e) Perubahan prilaku

f) Peningkatan swadaya masyarakat

g) Keberanian/kritis mengemukakanpendapat

h) Kompetensi

i) Tersedia dana (perputaran, saving)di tingkat kampung untuk meng-gerakkan ekonomi lokal

Sumber : BPMD Provinsi Papua, 2006.

Keterangan : 1. Tiga Tungku (Kepala Kampung, Tokoh Adat, Tokoh Agama) 2. Mamuskam (Badan Musyawarah Kampung) 3. TPKK (Tim Pengelola Kegiatan Kampung)

Tiga Tungku Kepala Kampung Bamuskam

Fasilitator lokal

TPK Masyarakat Tim Penulis Usulan

8) Struktur organisasi dan pelaku program

a) Struktur organisasi di tingkatkampung

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

Page 11: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

7

c) Pelaku di tingkat Kabupaten/Kota1) Bupati/Walikota2) DPRD3) Tim Koordinasi4) Konsultan managemen kabu-

paten/kota (teknik & pem-berdayaan)

d) Pelaku di tingkat Provinsi1) Gubernur (penanggung jawab)2) Sekretaris Daerah (pengarah)3) Badan Pemberdayaan Masya-

rakat Desa/BPMD (Pengarah)4) Tim Koordinasi5) Konsultan

9) Jumlah pelaku PPD (1998-2006):

a) Konsultan Provinsi : 10 orang

b) Aparatur/PjOK : 101 orang

c) Konsultan Manajemen

Kabupaten : 19 orang

d) Fasilitator Distrik : 432 orang

e) Unit Pengelola

Kegiatan (UPK) : 432 orang

f) Fasilitator kampung/

lokal : 1300 orang

I I I. CAPAIAN PPD DI PAPUA

Mencermati dokumen PPD yang ada,terkait capaian program bidang pembangunan

sarana prasarana, bidang usaha ekonomiproduktif, bidang pendidikan, dan kesehatan ,dan dikuatkan oleh informan melaluiwawancara, diperoleh data sebagai berikut :

A. Pembangunan Sarana Prasarana

1) Sarana air bersih di Kampung Asaryendi(Numfor Timur, Biak Numfor) dengandana PPD Rp. 38.000.000,- dan danaswadaya masyarakat Rp. 3.287.000,-

2) Sarana air bersih di kampung Kalifan(Waris, Keerom) dengan dana PPDRp.133.727.300,- dan dana swadayamasyarakat Rp. 13.717.500,-

3) Jembatan beton ukuran 6X4 m diKampung Telagasari (Kurik, Merauke)dengan dana PPD Rp. 61.539.000,-dan dana swadaya masyarakatRp.29.915.000,-

4) Jembatan beton panjang lima meter diKelurahan Awiyo (Abepura, Jayapura)dengan dana PPD Rp. 38.310.000,-dan dana swadaya masyarakatRp. 1.953.000,-

5) Jembatan kayu, ukuran 13X3 mdi Kampung Agenggem (Sinak,Puncak Jaya) dengan dana PPDRp. 30.142.697,-

6) Listrik desa di Kampung Pasi (Padaido,Biak Numfor) dengan dana PPDRp. 46.001.000,- dan swadayamasyarakat Rp. 950.000,-

b) Struktur organisasi di tingkat Distrik

Kepala Distrik

PjOK/PjAK Fasilitator Distrik

UPKD

Tim Verivikasi

Sumber: BPMD Provinsi Papua, 2006.

Keterangan : 1. PJoK/PJAK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan/Penanggung Jawab AdministrasiKegiatan

2. UPKD (Unit Pengelola Kegiatan Distrik)

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik (Muchtar)

Page 12: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

8

7) Lantai penjemuran coklat di kampungYuwainda (Waris, Keerom) dengan danaPPD Rp. 66.131.300,- dan swadayamasyarakat Rp. 12.467.000,-

B. Bidang Usaha Ekonomi Produktif :

1) Usaha jualan sayur keliling di KampungHarapan Makmur (Kurik, Merauke tidakdiperoleh informasi dana, baik dari PPDmaupun swadaya masyarakat ).

2) Usaha jualan di kios (Kampung Abatadi,Paradide, Paniai) dengan dana PPDRp. 8.498.700,-

3) Usaha kios di Kampung Ampera(Mandobo, Boven Digul) dengan danaPPD Rp. 9.243.500,-

C. Bidang Kesehatan

Pembangunan Puskesmas Pembantu(Pustu) di Kampung Amungun (Agim, Mimika)dengan dana PPD Rp. 40.000.000,- swadayamasyarakat Rp. 1.185.000,-

D. Bidang Pendidikan

1) Pemberian bea siswa dan pembelianpakaian seragam sekolah di Citak (tapitidak diperoleh informasi dana, baik dariPPD maupun swadaya masyarakat ).

2) Pengadaan sanggar belajar ukuran7X6 m di Kampung Entiyebo (DeppapreJayapura) dengan dana PPD.Rp. 84.306.400.- dan swadayamasyarakat Rp.14.830.000,-

IV. KENDALA DALAM

IMPLEMENTASI PPD

Kendala-kendala yang ditemui selamapelaksanaan PPD sejak 1998, meliputi:

a) Belum ada kesamaan persepsi darisebagian pemerintah kabupaten/kotatentang program yang didanai APBD(Otonomi khusus).

b) Pada tataran implementasi, kepala distrik(seringkali) menetapkan mekanisme diluarpanduan yang telah ada, dan alokasidana program tidak diturunkan ke bawah.Oleh karena itu, program ditangani olehunit kerja pemerintah kabupaten/kota

c) Sosialisasi program masih lemahkhususnya di kabupaten pemekaran.Dalam pelaksanaan program pem-berdayaan, cenderung tidak melibatkanmasyarakat, baik pada saat perencanaanmaupun pelaksanaan, sehingga rawanterjadi penyimpangan oleh aparat (distrik/kab/kota).

Atas dasar gambaran program, capaianprogram (hasil), kendala dalam implementasidan dianalisis berdasarkan kerangka teoripemberdayaan, dapat digambarkan sebagaiberikut:

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

Page 13: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

9

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasantersebut dapat disimpulkan, PPD belum mampumemberdayakan kelompok miskin, karenakurangnya pemahaman dari para pelaku pro-gram di berbagai tingkatan, khususnya ditingkat kampung dan distrik terhadap program.Hal itu diperburuk oleh sosialisasi program,dimana sosialisasi difahami oleh para pelakuprogram hanya sebatas penyebaran informasiproyek, bukannya sebagai bagian prosespenyadaran terhadap masyarakat (kelompokmiskin) terhadap visi dan missi program dalamupaya peningkatan kemandirian masyarakatdalam memecahkan masalah yang di-hadapinya, serta (hanya) sekedar memenuhitarget (formal) proyek. Tidak terjadinya prosespemberdayaan itu terlihat dari hasil capaianprogram, dimana: (a) tidak terjadi transfer dayakepada kelompok miskin, karena program lebihdimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja (elitbirokrasi: kabupaten/kota, distrik, kampung); (b)proses belajar sosial relatif tidak berlangsung,

karena program lebih bernuansa ekonomis(pengelola program memberikan pinjamandana kepada peminjam).

B. Saran

Bertolak dari kesimpulan tersebut, saranyang diajukan lebih ditekankan pada kualitaspelaku program, yaitu: (a) para pelaku perlumempunyai pemahaman terhadap PPD secaralebih baik. Untuk itu, diperlukan fasilitator lokal(kampung, distrik) secara lebih baik, danperlunya pembekalan kepada mereka secaramemadai; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasiprogram kepada masyarakat secara benar,dimana sosialisasi bukan semata penyebaraninformasi, tetapi lebih dari itu, sebagai bagianpenyadaran tentang permasalahan yangdihadapi dan tumbuhnya semangat untukmemecahkannya secara mandiri, karena itudiperlukan petugas yang berkualitas; (c)perlunya pendampingan oleh fasilitator lokalsecara berkelanjutan. Untuk itu, diperlukanfasilitator lokal yang mempunyai pemahamanbaik terhadap program, ulet, sabar, tekun, danmempunyai semangat yang tinggi.

Membangkitkan semangat kemandirian dan kegiatan usaha ekonomi kelompok miskin

Memberdayakan dan mengkoordinasikan masyarakat melalui kelembagaan lokal masyarakat

Sasaran pemberdayaan adalah kelompok masyarakat miskin

Terjadinya transfer daya, sehingga mereka

mampu menentukan nasib/pilihannya

(beneficeries)

Adanya proses belajar sosial bagi kelompok sasaran menuju penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya

Adanya kelembagaan yang mampu menampung dan menyuarakan kepentingan kelompok miskin

Implementasi program belum/tidak mampu menjangkau kelompok miskin

Tidak terjadi transfer daya kepada kelompok miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh golongan tertentu saja. Transfer hanya terjadi di tingkat lembaga yang keberadaannya cenderung didominasi oleh elit birokrasi (kabupaten/kota, distrik, kampung).

Proses belajar sosial relatif tidak berlangsung, karena program lebih bernuansa economic

TUJUAN PROGRAM KERANGKA TEORITIK HASIL PROGRAM

Gambar 4 : Olahan dari hasil bahasan

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik (Muchtar)

Page 14: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

10

DAFTAR PUSTAKA

Baswir, Revrisond. 1999. Pembangunan Pedesaan dan Penanggulangan Kemiskinan, Penyunting dalamHasan Basri Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan sebagai Strategi PenanggulanganKemiskinan. Kerjasama Yayasan Adi Karya IKAPI & The Ford Foundation, Jakarta: Bina Rena Pariwara.

BPS Kerjasama dengan Depsos R.I., 2003. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002, Jakarta.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Provinsi Papua. 2006.

Cox. Poverty alleviation programs in the Asia-Pacific Region, Seminar, 3rd March, 2004, Jakarta.

Danim, Sudarman. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating community Alternatives-vision, Analysis andPractice, Australia, Longman Pty Ltd.

Narhetali, Erita. Kemiskinan yang Berkelanjutan, KOMPAS, Rabu, 3 Maret 2003.

Neuman, L.W. 1997. Social Research Methodes: Qualitative & Quantitative Approach. Boston: AllynBacon.

Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory. Second edition London: MacMillan Press Ltd.

Qodir, Zuly. Islam dan Jeratan Kemiskinan. KOMPAS, 16 Maret 2007.

Sarbini. 1989. Ekonomi Kerakyatan, dalam Penyunting Sjahrir dkk. Menuju Masyarakat Adil Makmur.70 Tahun Prof. Sarbini Sumawinata, Jakarta: Gramedia.

Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

———————— 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Zikrullah, Y., Adam. 2000. Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, Media Partisipatif-P2KP, No.07 Edisi Oktober.

BIODATA PENULIS :

Muchtar, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, BadanPendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

Page 15: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

11

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

MEWUJUDKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKATStudi atas Program PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company TBK

Cimareme Padalarang Kabupaten Bandung

Dewi Wahyuni

ABSTRAK

Pembangunan sosial masih dipandang sebagai pelengkap dari pembangunan ekonomi. Keberlanjutanpembangunan sosial sangat terkait dengan peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu,pembangunan sosial harus dimulai oleh dunia usaha, salah satunya melalui tanggung jawab dunia usahayang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Tujuan dari penelitian ini adalahmendeskripsikan pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) diPT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. Hasil dari penelitian menunjukkan, bahwa aktivitasCSR PT Ultrajaya, mampu membantu kelompok rentan di komunitas, melalui program air bersih danbeasiswa bagi keluarga miskin. Meskipun demikian, masih perlu kerjasama yang kuat antara pemerintah,dunia usaha dan masyarakat dalam mewujudkan sustainability dari program yang telah dilaksanakan.

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan sosial masih dipandangsebagai pelengkap dari pembangunanekonomi. Pembangunan ekonomi denganstrategi pertumbuhan (growth oriented strategy)yang dilaksanakan bangsa Indonesia selamarezim orde baru 32 tahunan sering dipandangsebagai obat mujarab untuk mengatasiberbagai permasalahan bangsa ini.

Asumsi dengan strategi tersebutmenekankan bahwa apabila terjadi pergerakanekonomi nasional (Gross National Product) yangtinggi, maka sebagai konsekuensinya akanterjadi ”tetesan rejeki ke bawah” (Trickle downeffect). Inilah yang diharapkan menyentuhlapisan masyarakat paling bawah (grass root)berupa pemerataan pendapatan dankesempatan kerja terhadap standar kebutuhanminimum dapat dinikmati oleh seluruhanak bangsa (Wahyuni,2006). Namunkenyataannya, pertumbuhan ekonomi yangtinggi dengan Trickle down effect-nya tidakmenjamin terciptanya pemerataan hasil-hasilpembangunan. Sebagian besar pendapatannasional justru dikuasai oleh para elit danpemilik modal. Mereka kemudian mendirikan

koorporasi untuk tujuan bisnis atau mencarikeuntungan. Koorporasi perusahaan inilah yangdalam perkembangannya di Indonesia telahmenjadi kekuatan besar yang mendorongterjadinya perubahan sosial. Perusahaan telahmenjadi alat yang dominan dalam transformasiilmu dan teknologi berupa barang dan jasa yangberdayaguna secara ekonomis.

Ternyata pembangunan dengan pen-dekatan strategi pertumbuhan cenderungsemakin memperlebar kesenjangan ekonomi diantara kelompok kaya dan miskin karenakepemilikan terhadap aset ekonomi tidakmerata cenderung di satu pihak yangmemperdalam jurang pemisah kehidupan sosialyang berwujud memudarkan kesetiakawanansosial. Sudah saatnya pembangunan ber-orientasi pada penguatan kehidupan sosial.Penguatan kehidupan sosial dilaksanakandengan memadukan sinergi antara ketigapelaku utama pembangunan yaitu pemerintah,dunia usaha dan masyarakat. Kenyataanmenunjukkan apabila tidak terjadi sinergi diantara ketiga pelaku pembangunan sosialdapat menimbulkan bencana sosial. Berbagaiunjuk rasa banyak muncul sebagai protes padadunia usaha yang tidak mempedulikankepentingan masyarakat sekitarnya atausebagai perlawanan terhadap kebijakan

Page 16: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

12

regulasi pemerintah yang dipandang tidakberpihak pada kepentingan masyarakat.Masyarakat merasa kehadiran perusahaan-perusahaan besar umumnya perusahaan asingmenjadi pemicu munculnya masalah ekologi,sosial dan budaya (ekososbud), seperti polusi(air, udara, suara), kesenjangan sosial ekonomiyang sangat tajam antara masyarakatperusahaan dengan penduduk lokal danterjadinya pemiskinan masyarakat secarastruktural dengan eksploitasi dan perusakanlingkungan yang dilakukan perusahaan.

Namun, saat ini ada secercah harapan disektor dunia usaha berkaitan dengan penguatankehidupan sosial. Hal ini ditandai denganmunculnya paradigma baru di sektor duniausaha dengan konsep ”Triple Bottom line”bahwa kinerja perusahaan bukan hanyadievaluasi dari satu dimensi keuangan (finan-cial result) belaka. Namun harus memperhatikandua dimensi lain yaitu dampaknya terhadaporang (karyawan/komunitas di sekitarperusahaan) dan lingkungan alam (Elkingtondalam Pambudi, 2005). Paradigma baru didunia usaha inilah yang mendorong perusahaanuntuk melaksanakan kegiatan tertentu sebagaiwujud tanggung jawab perusahaan kepadalingkungannya yang dikenal dengan istilahCorporate Social Responsibility (CSR). CSRmenunjuk pada perluasan peran perusahaanyang tidak hanya mengurusi kesejahteraanpegawai dan kebutuhan konsumen saja,melainkan turut peduli akan kehidupanmasyarakat yang tinggal di seputar perusahaan(Suharto, 2005).

CSR lahir didorong oleh adanyaperubahan model perusahaan yang lebihberorientasi pada model sosio ekonomis daripada model ekonomis. Ciri pendekatan modelsosio ekonomis menekankan pada kualitaskehidupan secara keseluruhan, kelestariansumber daya, kepentingan masyarakat,keterlibatan aktif pemerintah dan pandangansistem terbuka perusahaan. Sedangkan ciriperusahaan dengan pendekatan modelekonomis menekankan pada aspek produksi,eksploitasi sumber daya, kepentingan individual,peran pemerintah sangat sedikit danperusahaan sebagai sistem tertutup (Purnama,2005).

Salah satu contoh perusahaan yangmelibatkan masyarakat di sekitarnya dilak-sanakan oleh PT. Ultrajaya Milk Industry. Namun

apakah kegiatan yang dipraktikkan perusahaantersebut sudah merupakan perwujudan darikonsep CSR belum diketahui validitas danreliabilitasnya. Oleh karena itu, kajian ini lebihdifokuskan analisa data pelaksanaan pem-berdayaan masyarakat sebagai perwujudankonsep CSR dimaksud.

B. Rumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat sebagaiperwujudan Corporate Social Responsibility(CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & TradingCompany Tbk masih lebih menitikberatkanpada pemberian bantuan daripada pen-dekatan pemberdayaan masyarakat.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendes-kripsikan dan analisa pemberdayaan masya-rakat sebagai perwujudan Corporate SocialResponsibility (CSR) di PT. Ultrajaya MilkIndustry & Trading Company Tbk Cimareme-Padalarang Kabupaten Bandung.

I I . TINJAUAN PUSTAKA

Pada tahun 1980-an dan 1990-ankepedulian sosial sebagian besar perusahaanberfokus pada sponsorship untuk kegiatantertentu, seperti olah raga. Namun saat iniperhatian perusahaan mulai pada isu-isu sosial,kemiskinan dan pemberdayaan ekonomikomunitas lokal. Keberadaan perusahaan akanmemperhatikan kesejahteraan bukan hanyapada pemilik modal (shareholder) namun jugabagi komunitas sekitar perusahaan danmasyarakat terkait (stakeholder). Perusahaansudah mulai melaksanakan konsep CorporateSocial Responsibility (CSR).

Schermerhon (1993) dalam Suharto(2006) dengan judul buku “Pekerjaan Sosial diDunia Industri” mengartikan CSR sebagai suatukepedulian organisasi bisnis untuk bertindakdengan cara-cara mereka sendiri dalammelayani kepentingan organisasi dan publikeksternal. Suatu kegiatan dikatakan CSR lebihmenekankan pada prinsip keberlanjutan darikegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakatdi sekitar perusahaan. Hal ini sebagaimanadikemukakan Widjajanti Direktur EksekutifYayasan Pembangunan Berkelanjutan danDirektur Program National Lead Indonesia.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Page 17: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

13

”Sebenarnya yang terpenting, dari pro-gram CSR menekankan pada prinsip-prinsip keberlanjutan. Artinya, perusahaanmembuat program yang berjalan secaraberkesinambungan, bukan sekedar membagi-bagi uang dalam jangka yang sangat pendek.Perlu ada desain program terencana,termonitoring dan evaluasi perbaikan yangkontiniu. Aktivitas CSR yang terbaik adalah pro-gram yang bersumber dari hasil pertanyaanapa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakatdan lingkungan sekitar kita, sehingga lebihmengena dan tepat sasaran”. (Pambudi, 2005dengan judul artikel “CSR Sebuah Keharusan”).

Porter ketika berbicara di Sekolah BisnisCopenhagen, September 2003, ketika itu iamengkritik perusahaan yang mempraktikkanCSR hanya sebagai reaksi terhadap tekananmengatakan bahwa : ”Sekecil apapun, dansemurah apapun, perusahaan bisa mem-praktekkan CSR. Buatlah dan berilah nilaitambah sebanyak mungkin kepada lingkungandan masyarakat, terutama untuk yang merekatak memiliki.” Lebih lanjut Porter mencontohkanbahwa : ”Jika sebuah perusahaan berada dilingkungan yang sistem pendidikanya kurangbagus, bantulah sebisa mungkin. SeyogyanyaCSR bukanlah sebagai reaksi, tapi kegiatanproaktif yang dirancang dengan tujuan memberinilai tambah buat stakeholders.” (Pambudi,2005 dengan judul artikel “CSR SebuahKeharusan”).

Pada dasarnya CSR merupakan suatustandar minimum yang harus dipenuhi olehperusahaan. Jadi CSR ditujukan untukmemenuhi harapan stakeholder dalammemaksimumkan dampak positif perusahaanterhadap lingkungan sosial dan fisik, dengantetap menyediakan suatu pengembaliankeuntungan kompetitif kepada shareholderfinansial, sehingga CSR diposisikan sebagaisuatu kewajiban sosial perusahaan untukmempertimbangkan kepentingan stakeholderdalam menjalankan bisnis.

CSR penting bagi perusahaan agarkeberadaan perusahaan mendapat dukungandan memberikan manfaat bagi masyarakatsekitarnya. Apabila perusahaan tidakmemberikan kontribusi pada lingkungan disekitarnya, perusahaan akan mengalamiberbagai kendala dalam bisnisnya. Tidakjarang komunitas sekitar perusahaan berusaha

menghentikan aktivitas perusahaan antara lainlewat berdemo. Jadi CSR berfungsi memeliharakelangsungan perusahaan sepanjang masayang memungkinkan perusahaan terhindar dariberbagai risiko dari masyarakat sekitarperusahaan.

CSR pada jangka panjang menjadi asetstrategis dan kompetitif bagi perusahaan ditengah iklim bisnis yang menuntut praktik-praktiketis dan tanggung jawab. Praktik tanggungjawab sosial dipercaya menjadi landasan fun-damental bagi pertumbuhan berkelanjutan,bukan hanya untuk perusahaan itu sendiri, tapijuga stakeholders secara keseluruhan.

Pemberdayaan merupakan salah satuwujud dari konsep CSR. Pemberdayaanberhubungan dengan kekuatan individu dankompetensinya serta sistem yang salingbergantung dan perilaku proaktif pada aktivitassosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, danpengembangan masyarakat. Itu semua dapatditerapkan secara praktis pada semua tingkat(Anderson dalam Dubois dan Miley, 2005dalam buku “Social Work An Empowering Pro-fession”). Jadi, pemberdayaan sebagai prosespeningkatan kemampuan individu, keluarga,kelompok dan masyarakat agar dapatmengambil peran dalam meningkatkan kondisimereka.

Pemberdayaan adalah upaya mem-bangun daya dengan mendorong/memotivasidan membangkitkan kesadaran akan potensiyang dimiliki serta berupaya untuk mengem-bangkannya (Kartasasmita, 1996 dalam buku“Pembangunan untuk Rakyat MemadukanPertumbuhan dan Pemerataan”).Pemberdayaan juga berarti upaya untukmenstimulasi, mendorong atau memotivasiindividu agar mempunyai kemampuan ataukeberdayaan untuk menentukan apa yangm e n j a d ipilihan hidupnya (Pranaka dan Moeljarto, 1994dalam buku “Pemberdayaan, KonsepKebijakan dan Implementasinya”).

Pemberdayaan adalah suatu proses yangbertujuan untuk membantu klien memperolehdaya untuk mengambil keputusan danmenentukan tindakan yang akan ia lakukanyang terkait dengan diri mereka, termasukmengurangi efek hambatan pribadi dan sosialdalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukanmelalui peningkatan kemampuan dan rasa

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat (Dewi Wahyuni)

Page 18: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

14

percaya diri untuk menggunakan daya yang iamiliki, antara lain melalui transfer daya darilingkungannya (Payne, 1997 dalam buku”Modern Social Work Theory”).

Pemberdayaan masyarakat dapatmenjadikan masyarakat sekitar perusahaandapat mengaktualisasikan dirinya danmemahami keberadaannya sebagai elemenpenting dari perusahaan. Interaksi masyarakatdengan perusahaan akan harmonis, apabilaperusahaan mampu memberikan manfaat bagimasyarakat di sekitar perusahaan dansebaliknya, sehingga tercipta modal sosial(social capital) di lingkungan perusahaan. Inilahyang menjadi prasyarat long life corporateyang seyogyanya menjadi dambaan setiapperusahaan. Kepedulian perusahaan dalammenyisihkan dananya untuk CSR bukan sesuatuyang dipaksanakan melainkan justru menjadikebutuhan bagi perusahaan. Mengingatkeuntungan dari CSR dalam bentuk pem-berdayaan masyarakat bukan hanya intangibleyang nilai moralitasnya jauh melebihi nilaifinansialnya, namun secara tangible jugamampu mendatangkan nilai finansial yang lebihtinggi melalui brand image produk. KeuntunganCSR secara intangible lebih menekankan padaaspek psikologis, nilai-nilai dan moral, sepertikerjasama, rasa aman, memahami potensi,mampu mengambil keputusan, dan lain-lain.Sementara keuntungan secara tangible lebihmenekankan pada bantuan permodalan danpeluang usaha di sektor formal dan informal,mengembangkan sarana dan prasaranamasyarakat serta pembangunan sarana danfasilitas masyarakat, dan lain-lain. KeuntunganCSR yang lain terutama dapat mempertinggicitra diri (brand image) perusahaan yang tidakhanya dibangun melalui anggaran iklan, tetapijuga ditunjukkan oleh akuntabilitasnyakepada kepentingan masyarakat melaluipemberdayaan masyarakat. Justru pember-dayaan masyarakat inilah yang menjadi iklanpaling baik dan sekaligus berfungsi sebagai talipengaman (seat belt) bagi perusahaan agartetap mampu menarik simpati parapelanggannya agar tetap percaya padaproduk perusahaan.

I I I. METODELOGI PENELITIAN

YANG DIGUNAKAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodedeskriptif dengan pendekatan data kualitatifkhususnya menggunakan studi kasus. Penelitianini berusaha untuk memberi gambarantentang pemberdayaan masyarakat sebagaiperwujudan CSR di PT. Ultrajaya Milk IndustryCimareme Padalarang.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakanadalah :

1. Wawancara :

Wawancara dilakukan kepada paramanajer dan karyawan di PT. UltrajayaMilk Industry tentang pemberdayaanmasyarakat sebagai perwujudan CSR.Wawancara juga dilakukan kepada tokohmasyarakat, warga masyarakat danorangtua dari anak penerima beasiswa.

2. Observasi :

Dilakukan untuk mengetahui pemanfaatanbantuan (air bersih, beasiswa dan fasilitaslainnya) oleh masyarakat.

3. Studi litelatur :

Dilakukan untuk mempelajari konsep CSRdan pemberdayaan serta mencermati datatentang pemberdayaan masyarakat diperusahaan tersebut.

Pengumpulan data kualitatif dilakukandengan memilih informan. Informan dalampenelitian ini ditentukan secara purposivesampling yang ditentukan berdasarkan tujuanyang ingin dicapai dari penelitian ini (Nasution,2003).

Informan pada penelitian ini berjumlahsepuluh orang yang di bagi menjadi dua bagianyaitu :

1. Karyawan PT. Ultrajaya Milk Industrysebanyak 5 orang terdiri dari 3 orang darikalangan manajer dan 2 orang staff yangdapat memberikan gambaran tentangpemberdayaan masyarakat sebagaipelaksanaan Corporate Social Responsi-bility (CSR).

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Page 19: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

15

2. Masyarakat di sekitar perusahaansebanyak 5 orang terdiri dari Kepala DesaGadobangkong, tokoh masyarakat,warga masyarakat (2 orang) danorangtua dari anak penerima beasiswayang dapat memberikan gambarantentang manfaat Corporate Social Respon-sibility (CSR) bagi masyarakat.

C. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secarakualitatif dan bersifat terbuka (open ended),artinya terbuka terhadap perubahan, perbaikandan penyempurnaan berdasarkan data baruyang masuk (Nasution, 2003). Analisis datakualitatif merupakan upaya yang berlanjut,berulang dan terus menerus selama pengkajianberlangsung melalui reduksi data, penyajiandata dan penarikan kesimpulan.

Data kualitatif yang diperoleh dari hasilwawancara direduksi yang dimaksud adalahdilakukannya pemilihan, pemusatan perhatianpada penyederhanaan untuk menajamkan,menggolongkan, mengarahkan, membuangdata yang tidak perlu dan mengorganisasi datasehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

IV. PEMBAHASAN

PT. Ultrajaya Milk Industry merupakan salahsatu perusahaan susu cair dan sari buah yangcukup tua yang sudah mulai beroperasi sejaktahun 1971 dan mulai tahun 2000 menjadiPT. Ultrajaya Milk Industry & Trading CompanyTbk dengan melakukan penawaran umumsahamnya kepada masyarakat.

PT. Ultrajaya Milk Industry memiliki visi”menjadi perusahaan industri makanan danminuman yang terbaik dan terbesar di Indone-sia dengan senantiasa mengutamakankepuasan konsumen serta menjunjung tinggikepercayaan para pemegang saham danmitra kerja perusahaan”. Untuk mewujudkanmisi tersebut dirumuskan misi : ”menjalankanusaha dengan dilandasi kepekaan yang tinggiuntuk senantiasa berorientasi kepada pasar/konsumen dan kepercayaan serta kepedulianuntuk senantiasa memperhatikan lingkunganyang dilakukan secara optimal agar dapatmemberikan nilai tambah sebagai wujudpertanggungjawaban kepada para pemegangsaham”.

PT. Ultrajaya Milk Industry terletak di JalanCimareme Nomor 131 Padalarang KabupatenBandung yang merupakan lokasi strategis didaerah lintasan peternakan dan pertaniansehingga memudahkan untuk memperolehpasokan bahan baku dan pengiriman hasilproduksinya.

PT. Ultrajaya Milk Industry merupakanperseroan yang bergerak dalam bidangmakanan dan minuman. Makanan yangdiproduksi, seperti mentega, susu bubuk, susukental manis dan bermacam-macam minum,seperti minuman susu, sari buah, teh, minumantradisional dan minuman untuk kesehatan yangdiproses dengan teknologi UHT (Ultra HighTemperature) dan dikemas dalam kemasanantiseptik (Antiseptic packaging material) sertamemproduksi teh celup dan konsentrat buah-buahan tropis.

Kegiatan PT. Ultrajaya Milk Industry dalamkerangka CSR dilaksanakan denganmemperhatikan kebutuhan hajat hidup orangbanyak khususnya warga masyarakat yangbertempat tinggal disekitar lokasi perusahaandengan harapan mempunyai dampaklangsung terhadap pemenuhan sebagiankebutuhan mereka diantaranya :

A. Air Bersih

Menyadari bahwa air memiliki arti yangsangat penting bagi kelangsungan hidupmanusia dan perusahaan menggunakan airbawah tanah sebagai bahan penunjangproduksi, maka PT. Ultrajaya Milk Industrymemberikan sebagian air yang diambilnyauntuk disalurkan kepada masyarakat sekitarnyasesuai dengan batas kewajaran.

Pengambilan Air Bawah Tanah (ABT)dikaitkan dengan upaya pemberian air bersihkepada masyarakat sekitar selalu menjadiperhatian yang serius dan diupayakansemaksimal mungkin agar tidak menimbulkandampak negatif. Oleh karena itu PT. UltrajayaMilk Industry selalu peduli dan memberikannyadengan alokasi sebagai berikut:

a. Di RW 04 Desa Gadobangkong(seberang jalan raya Cimareme),diberikan air bersih dengan menya-lurkannya melalui pipa dan ditampungpada sebuah bak penampungan.

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat (Dewi Wahyuni)

Page 20: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

16

b. Di RW 05 Desa Gadobangkong,diberikan air bersih dengan menyalurkanke pipa-pipa induk penyaluran dandibuatkan juga 2 (dua) bak penam-pungan. Pendistribusian air agar sampaike warga dilakukan dengan swadayamenyediakan paralon.

c. Di RW 06 Desa Gadobangkong,diberikan juga air bersih denganmenyalurkannya ke pipa-pipa induk dandibuatkan juga 3 (tiga) bakpenampungan. Pada tahap awalpendistribusian air untuk sampai ke wargamasyarakat dikelola oleh warga denganswadaya menyediakan paralon.

d. Di RW 05 dan RW 06 Desa Cimaremeyang jumlah penduduknya padat,dibuatkan 1 (satu) sumur bor tersendirilengkap dengan pipanya. Untuk menguruspendistribusian air sampai ke wargadikelola oleh tim pengelola RW setempatdan untuk pemeliharaan teknis masihdibantu oleh PT. Ultrajaya Milk Industry.

e. Air bersih langsung disalurkan melalui pipauntuk rumah-rumah ibadah dan sekolahyang letaknya berdekatan dengan lokasiperusahaan.

PT. Ultrajaya Milk Industry memberikan airbersih kepada warga sekitar berdasarkanperhitungan dari flow meter yang terpasangmencapai hampir 2 (dua) sumur bor yang adadi dalam komplek pabrik dengan debitpengambilan sesuai dengan Surat IzinPengambilan Air (SIPA) adalah 146 - 154 m3

per hari. Memang hal ini berpengaruh padapersediaan air untuk produksi yang padaakhirnya berpengaruh pada proses produksiselanjutnya.

Guna meringankan beban semua pihak,perusahaan berniat untuk membuat sumur bordi setiap RW tersebut di atas dengan biayasepenuhnya ditanggung perusahaan. Namunsebagian warga belum menyetujui pembuatansumur bor dimaksud. Selama ini warga yang

tempat tinggalnya jauh dari lokasi perusahaan,mendapatkan air tanah dari sumur pantekmaupun sumur tradisional miliknya. Merekakhawatir apabila di setiap RW dimanamereka tinggal dibuatkan sumur bor, akanmengakibatkan sumur-sumur mereka tidak lagikeluar airnya.

B. Pemberian Beasiswa

Pemberian bantuan beasiswa untukmembantu menunjang program pemerintahtentang wajib belajar 9 tahun. Dasar pemikiranpemberian beasiswa bagi anak yang tinggaldi sekitar perusahaan antara lain :

a. Mahalnya biaya pendidikan yangmengakibatkan banyaknya orang tua yangtidak mampu membiayai pendidikananaknya meskipun hanya sampai kesekolah lanjutan tingkat petama.

b. Perusahaan berkepentingan, apabilamasyarakat disekitarnya memiliki tingkatpendidikan yang memadai, makaperusahaan apabila membutuhkantenaga kerja diharapkan dapat menyerapdari warga setempat.

Beasiswa diberikan kepada anak-anaklulusan sekolah dasar yang akan melanjutkanke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)dengan persyaratan sebagai berikut :

a. Anak yang berasal dari keluarga tidakmampu.

b. Berminat melanjutkan pendidikan keSekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

c. Adanya dukungan orang tua untukmenyekolahkan anak.

Program pemberian beasiswa dimulaipada tahun ajaran 2001/2002 dengan jumlahpenerima beasiswa yang terus bertambah danbesarnya dana yang diterima pun meningkatpula. Secara lebih rinci jumlah penerimabeasiswa dan besaran dana yang diterimadapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Page 21: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

17

Penerima beasiswa tersebut tersebar diberbagai SLTP di wilayah Ngamprah, Cimahidan Padalarang. Beasiswa diberikan langsungkepada pihak sekolah dengan terlebih dahulupihak perusahaan meminta pihak sekolah untukmerinci kebutuhan pendidikan siswa selamasetahun. Pemberian bantuan bea siswa meliputi:Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), DanaBP3, seragam sekolah & pramuka sampaipada buku LKS (Lembar Kerja Siswa dan alattulis termasuk dana untuk karya wisata. Jadibeasiswa yang diberikan tidak diterima langsungoleh orang tua siswa, namun langsungdiserahkan kepada pihak sekolah sesuaidengan kebutuhan siswa selama setahun.Besarnya dana yang dikeluarkan perusahaanuntuk setiap bulannya akan berbeda.Pengeluaran dana terbesar terjadi saatpenerimaan siswa baru di SLTP, karenapenerima beasiswa yang masuk di kelas 1 harusmembayar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP)yang besarannya bervariasi tergantung padakebijakan sekolah. Apabila dihitung rata-rata,dana yang dikeluarkan untuk setiap siswa padatahun 2007 sebesar Rp. 95.875,00.

Di bidang pendidikan keagamaan, padasetiap Bulan Ramadhan, semua penerimabeasiswa diundang untuk buka puasa danSholat Tarawih bersama sekaligus di isi denganceramah pembinaan rohani oleh perusahaan.

Setiap akhir semester dan kenaikan kelasdiselenggarakan acara silaturahmi antarapenerima beasiswa bersama orang tua siswa,guru dan perwakilan manajemen PT. Ultrajayasekaligus dilakukan evaluasi dan memantaukemajuan proses belajar siswa.

Perusahaan tidak menutup kemungkinanmemberikan beasiswa lanjutan kepada siswalulusan terbaik penerima beasiswa PT. Ultrjayayang ternyata lulus Ujian Akhir Nasional (UAN)dan diterima disekolah Negeri favorit.

C. Bantuan Sosial Lain

Bentuk kepedulian lain yang dapatdikategorikan sebagai “kepedulian” Perusahaanterhadap masyarakat disekelingnya adalahberupa :

a. Bantuan yang sifatnya rutin :

• Pemberian bantuan rutin tahunanberupa iuran desa pada AnggaranPendapatan dan Belanja Desa baikDesa Cimareme maupun DesaGadobangkong.

• Bantuan rutin keamanan kepadaaparat Desa dan RW sekitarperusahaan.

• Bantuan partisipasi kerja bhaktilingkungan maupun desa setempat.

Tabel 1

JUMLAH PENERIMA BEASISWA

PT. ULTRAJAYA MILK INDUSTRY TAHUN 2001 S.D TAHUN 2007

NO. TAHUN JUMLAH PENERIMA

BEASISWA KELAS

(Jumlah Siswa)

BESAR BEASISWA RATA-RATA PER

BULAN 1. 2001 47 Orang siswa 1 (25 orang)

2 (22 orang) Rp. 63.696,00

2. 2002 116 Orang siswa 1 (62 orang) 2 (32 orang) 3 (20 orang)

Rp. 66.295,00

3. 2003 158 Orang siswa 1 (53 orang) 2(32 orang)

Rp. 73.508,00

4. 2004 192 Orang siswa 1 (80 orang) 2 (51 orang) 3 (61 orang)

Rp. 76.174,00

5. 2005 230 Orang siswa 1( 98 orang) 2 (80 orang) 3 (52 orang)

Rp. 83.560,00

6. 2006 278 Orang siswa 1 (104 orang) 2 (97 orang) 3 (77 orang)

Rp. 95.875,00

Sumber : PT. Ultrajaya Milk Industry, 2006

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat (Dewi Wahyuni)

Page 22: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

18

• Pemberian kesempatan kepadadesa setempat membeli barang-barang sisa pembungkus untukselanjutnya dijual kembali kepadayang membutuhkan.

• Pemberian bantuan berupa infaqmaupun sodakoh kepada masya-rakat tidak mampu di sekitarperusahaan, terutama pada hariRaya Idul Fitri dan hari-hari besar Is-lam lainnya.

b. Bantuan yang sifatnya insidental, meliputi:

• Bantuan peralatan 2 Set komputerlengkap kepada Desa Cimaremedan Desa Gadobangkong.

• Bantuan pengerasan dan peng-aspalan jalan desa di KampungSindangsari yang menghubungkanJalan Raya Cimareme ke jalandesa di Kampung Bunisari, DesaGadobangkong sepanjang 500meter.

• Pemberian pinjaman 1 (satu)bangunan rumah tinggal karyawanuntuk digunakan sebagai gedungKantor dan Posyandu RW 06 DesaCimareme.

• Pemberian bantuan perbaikan/renovasi bangunan tempat-tempatibadah di sekitar perusahaan.

Bentuk pemberdayaan yang masihdirencanakan untuk dilaksanakan adalahpemberdayaan di bidang ekonomi. Kegiatanyang akan dilaksanakan dikaitkan dengankegiatan perusahaan yang bergerak di bidangmakanan dan minuman. Perusahaan berupayauntuk memanfaatkan lahan kosong milikperusahaan di Desa Gadobangkong untuk istal/kandang koloni ternak sapi perah yangberorientasi mandiri dengan menyerap tenagacalon peternak dari warga setempat yangberminat dan belum memiliki pekerjaan tetap.Lahan untuk kandang ternak disediakan olehPT Ultrajaya.

Kesulitan saat ini menyediakan lahan untukmenanam pakan ternak berupa rumput hijau.Sudah dilakukan penjajagan ke daerah CijapatiDesa Bojong Kecamatan Nagreg, PerkebunanCisadea, Cigombong perbatasan Cianjur dan

Gunung Halu, Cililin. Namun semuanya belumdilaksanakan karena tidak ada investor yangtertarik.

Kegiatan yang dilaksanakan PT. UltrajayaMilk Industry sudah mencerminkan pelaksanaankonsep CSR, seperti pemberian air kepadamasyarakat secara cuma-cuma. Suatu kegiatandikatakan sebagai pelaksanaan CSR apabilakegiatan yang dilaksanakan berkelanjutandan benar-benar sesuai dengan kebutuhanmasyarakat. Penulis memandang bahwapemberian air kepada masyarakat sekitarperusahaan adalah wujud kepedulian peru-sahaan pada masyarakat sekitar. Masyarakatsekitar memang sangat memerlukan air untukkelangsungan hidupnya, karena sumur merekasedikit sekali bisa mengeluarkan air bahkan adayang sama sekali tidak mengeluarkan air.Warga masyarakat di sekitar perusahaanpunsangat merasakan manfaat bantuan air bersihdari perusahaan. Hal ini sebagaimanadisampaikan oleh kepala desa, tokohmasyarakat dan warga masyarakat ketikadilakukan wawancara dengan mereka.Pemberian air dari perusahaan kepadamasyarakat sifatnya berkelanjutan, karenatanpa air yang diberikan oleh perusahaan,kehidupan warga sekitar akan sangat berat.

Sebaliknya warga masyarakatpunsangat bertanggung jawab untuk memeliharadan memanfaatkan air yang disalurkanperusahaan. Mereka membentuk pengelolapada tingkat RW dan melakukan swadayauntuk pengadaan paralon agar air sampai kewarga. Manfaat bantuan air bersih dariperusahaan akan dirasakan menurun olehmasyarakat apabila ada kerusakan pada pipainduk di perusahaan dan ini akan segera dapatdiatasi apabila warga melapor dan perusahaanmemperbaikinya.

Selain itu, kegiatan pemberian beasiswakepada anak dari keluarga tidak mampu yangtinggal di sekitar perusahaan merupakan bentukpemberdayaan sebagai pelaksanaan darikonsep CSR. Artinya kehadiran PT. Ultrajaya MilkIndustry mampu memberikan nilai tambah bagikemajuan pendidikan di sekitar perusahaan.Penulis memandang pemberian beasiswatersebut adalah bentuk pemberdayaan. Padahakikatnya pemberdayaan dapat dimaknaisebagai suatu proses yang berisi serangkaiankegiatan untuk memberikan sebagian kekuatan

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Page 23: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

19

dan kemampuan agar individu menjadi lebihberdaya. Jadi pemberdayaan merupakanupaya berkesinambungan untuk meningkatkandaya yang ada. Dengan beasiswa yangdiberikan, keluarga yang semula tidak mampumembiayai sekolah anaknya menjadi mampumenyekolahkan anaknya. Melalui pendidikanjuga diharapkan dapat menjadi bekal bagianak untuk merubah masa depannya menjadilebih baik, sehingga anak dapat menolongdirinya sendiri di masa yang akan datang. Padadasarnya pendidikan merupakan investasimanusia (human invesment) yang hasilnya baruakan dinikmati setelah melalui proses.

Prasyarat diperolehnya beasiswa adalahanak dari keluarga tidak mampu yang tinggaldi sekitar perusahaan tanpa melihat anaktersebut berprestasi atau tidak di sekolahnya.Hal ini menarik untuk ditelaah karenakeluarga yang tidak berdaya memiliki banyakketerbatasan untuk menjadikan anaknyaseorang yang berprestasi. Apabila ukuran anakyang berprestasi menjadi salah satu prasyaratuntuk mendapatkan beasiswa, maka anak darikeluarga tidak mampu di sekitar perusahaantidak akan pernah mendapat kesempatan.

Dengan demikian, bantuan yangdiberikan PT. Ultrajaya Milk Industry sudah sesuaidengan kebutuhan masyarakat dan merupakanpemberdayaan masyarakat sebagai pelak-sanaan dari konsep CSR. Pemberdayaanmasyarakat menjadikan masyarakat sekitarperusahaan dapat mengaktualisasikan dirinyadan memahami keberadaannya sebagaielemen penting dari perusahaan. Interaksimasyarakat dengan perusahaan akanharmonis, apabila perusahaan mampumemberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarperusahaan, sehingga tercipta modal sosial (so-cial capital) di lingkungan perusahaan.Kepedulian PT. Ultrajaya Milk Industry dalammenyisihkan dananya untuk pemberdayaanmasyarakat bukan sesuatu yang dipaksakanmelainkan justru menjadi kebutuhan perusahaanagar memberikan manfaat sekecil apapun bagimasyarakat di sekitar perusahaan.

IV. KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI

A. Kesimpulan

CSR dalam berbagai manifestasinyapenting dilaksanakan mengingat sebagianbesar masyarakat masih hidup dalam kondisiserba kekurangan. Sudah saatnya CSR yangsekarang masih bersifat kesukarelaan berubahmenjadi suatu keharusan untuk dilaksanakanoleh perusahaan. Hal ini disebabkan masalahsosial di masyarakat khususnya yang berkaitandengan kondisi sosial dan ekonomi sudahsangat berat, sehingga pemerintah tidaksanggup lagi menanggungnya sendiri.

Kegiatan yang dilaksanakan PT. UltrajayaMilk Industry merupakan kegiatan CSR untukmemberdayakan masyarakat di sekitarperusahaan. Wujud nyatanya berupa pem-berian air bersih secara cuma-cuma kepadamasyarakat dan pemberian bea siswa bagianak dari keluarga tidak mampu di sekitarperusahaan. Suatu kegiatan dapat dikatakansebagai kegiatan CSR, apabila kegiatan yangdilakukan lebih menekankan pada prinsipkeberlanjutan sesuai dengan kebutuhanmasyarakat di sekitar perusahaan dan kegiatantersebut dapat memberikan nilai tambah padamasyarakat, terutama untuk warga yang tidakmampu. Kenyataannya yang dilaksanakanperusahaan adalah pemberian air bersih dapatmemberikan manfaat bagi masyarakat dandapat menumbuhkan pemberdayaanmasyarakat dengan mengelola air bersih secaraswadaya. Selain itu, pemberian beasiswakepada anak dari keluarga tidak mampu disekitar perusahaan adalah bentuk pem-berdayaan. Mengingat pemberdayaan itusendiri dapat dimaknai sebagai suatu prosesyang manfaatnya baru akan dirasakan di masayang akan datang.

B. Rekomendasi

Terdapat beberapa rekomendasi agarpemberdayaan masyarakat sebagai per-wujudan konsep CSR di PT. Ultrajaya MilkIndustry dapat mencapai hasil yang maksimal,antara lain :

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat (Dewi Wahyuni)

Page 24: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

20

1. PT. Ultrajaya Milk Industry perlu lebihmeningkatkan kerjasama denganPemerintah Kabupaten Bandung, DinasKoperasi dan Usaha Kecil KabupatenBandung serta masyarakat di sekitarperusahaan untuk mewujudkan pem-berdayaan ekonomi warga sekitar yangsampai saat ini belum terwujud.

2. Apabila pemberdayaan masyarakat di PT.Ultrajaya Milk Industry meningkat, kiranyaperlu dipikirkan untuk bekerja samadengan organisasi sosial setempat,bahkan perlu dipikirkan untuk membentukunit khusus sebagai pelaksana CSR yangberisi tenaga profesional tidak bersatudengan manajemen seperti yangdilaksanakan selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dubois, B dan Milley K. 1992. Social Work An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon.

Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.Jakarta: Dides.

Majalah SWAsembada. Perusahaan-perusahaan Dermawan, 19 Desember 2005 11 Januari 2006.

Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nuryana, Mu’man. 2005. Sumber Dana Sosial dari Corporate Social Responsibility Perusahaan (Isu-isuTematik Pembangunan Sosial Konsepsi dan Strategi). Jakarta: Balatbangsos.

Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory, Second Edition. London: MacMillan Press. London.

PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. 2005. Profil Perseroan Company Profile.

Pranarka, A.M.W dan Moeljarto, Vindyandika. 1994. Pemberdayaan, Konsep Kebijakan danImplementasinya. Jakarta: Center For Strategic and International Studies.

Purnama, Asep Sasa. 2005. Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha dalam Pembangunan KesejahteraanSosial. (Investasi Sosial). Jakarta: La Tofi Enterprise.

Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis PembangunanKesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung: Refika Aditama.

Pambudi, Teguh Sri. 2005. CSR Sebuah Keharusan (Investasi Sosial). Jakarta: La Tofi Enterprise.

Wahyuni, Dewi. 2006. Konsep dan Praktik Pengembangan Masyarakat. Bandung: BBPPKS.

BIODATA PENULIS :

Dewi Wahyuni, Menyelesaikan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS)Bandung tahun 1992 dan pada tahun 2005 menyelesaikan pendidikan Magister ProfesionalPengembangan Masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini menjabat widyaiswara diBalai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Bandung.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Page 25: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

21

KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA

OTONOMI DAERAHStudi Kasus di Lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah

Toton Witono

ABSTRAK

Penelitian ini menggali pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah dan mengungkap perannyadalam pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan melalui kasus penambangan pasir di kawasanGunung Merapi. Dengan pendekatan induktif, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (i) mengkajidokumen terkait; (ii) mewawancarai berbagai pihak; dan (iii) mengobservasi kegiatan penambangan,kehidupan para penambang, dan kondisi lingkungan. Hasil kajian eksploratori ini menunjukkan pelaksanaanotonomi daerah tingkat desa sangat bergantung pada pemerintah kabupaten. Dominasi tingkat atas danketergantungan desa masih sangat kentara. Di samping itu, otonomi daerah tidak banyak menghasilkankebijakan-kebijakan yang dapat berperan mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkunganbagi aktivitas penambangan pasir Merapi. Kebijakan yang ada cenderung berorientasi pendapatan daerahtanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kebijakan tersebut lebih memihak pada kaum pemodal(para pengusaha) dan memarginalkan penambang manual. Sistem penambangan rakyat lebih tepat untukmengentaskan kemiskinan dan dengan pengawasan ketat demi menghindari kerusakan lingkungan.

Kata kunci : otonomi daerah, kemiskinan, dan lingkungan

I . PENDAHULUAN

Banyak kalangan menilai kebijakanotonomi daerah (Otda) adalah semacamkompensasi ketakpuasan orang-orang daerahakibat sistem pemerintahan sentralistik (Huda,2004). Krisis ekonomi tahun 1997 memicuberbagai tuntutan daerah untuk mendapatkankekuasaan atau kewenangan lebih besarmengurus dan menyelesaikan masalah-masalah mereka sendiri dan pembagiankeuntungan hasil eksploitasi sumber daya alam(Ismawan, 2002; McCharty, 2004). Atas dasaritu, diterbitkanlah Undang-undang No. 22tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UUNo. 25/1999 tentang Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dan Daerah. KeduaUU ini menjadi pijakan pelaksanaan kebijakandesentralisasi. Tahun 2004, UU No. 22/1999direvisi menjadi UU No. 32/2004 denganbeberapa perubahan signifikan.

Pada kenyataannya, efektivitas pelak-sanaan kebijakan Otda ini belum mampumenyelesaikan masalah. Otda menciptakankesenjangan ekonomi antar daerah yangsebagian disebabkan oleh perbedaankekayaan sumber daya alamnya. Setelah krisis

ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga tidakberdaya menurunkan angka pengangguran.Sebagai ilustrasi, angka pengangguran tahun1994 hanya 3,2%. Satu dekade kemudian,tahun 2004, persentasenya meningkat hingga10,3% (Usman, 2004; Maryatmo, 2005). Disamping itu, dalam hal pengentasankemiskinan kontribusi Otda masih diper-tanyakan. Alih-alih mengakomodasi aspirasidan partisipasi rakyat dalam pembangunan,Otda telah menjadi alat pemuas kepentinganelit lokal dan para pemodal. Pemerintah daerah(Pemda) bahkan berlomba-lomba mengerukkekayaan alam untuk meningkatkanPendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memper-timbangkan kondisi lingkungan dan ekonomimasyarakat bawah (Ismawan, 2002; Setiaji,2004). Dengan latar belakang seperti ini, usahapelestarian lingkungan dan perbaikankesejahteraan masyarakat masih jauh dariharapan.

Penelitian tentang tema ini pada intinyabertujuan untuk: (i) mengetahui bagaimanaimplementasi konsep Otda di tingkatpemerintahan paling bawah; (ii) memahamiperan Otda dalam mengentaskan kemiskinandan menjaga kelestarian lingkungan; dan (iii)

Page 26: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

22

mengetahui pola hubungan antara kemiskinandan lingkungan dalam kasus komunitaspenambang pasir di lereng Merapi. Padaakhirnya, penelitian ini diharapkan dapatmemberi kontribusi bagi perbaikan kebijakanOtda yang sarat akan utopis pengentasankemiskinan dan sustainabilitas ekologi.

I I . DESKRIPSI MASALAH

Kawasan Merapi memiliki kandungansumber daya alam melimpah. Salah satunyaadalah tambang pasir. Akan tetapi,kemakmuran penduduk yang mendiaminya sulitterwujud dan kondisi ekologinya pun semakinterancam. Dalam kasus aktivitas penambangandi lereng Gunung Merapi, Otda diuji dari sisipeluang dan tantangan dalam pemberantasankemiskinan dan upaya pelestarian lingkungan.

Aktivitas penambangan pasir berada disepanjang sungai-sungai yang berhulu dipuncak Merapi. Material volkanik hasil erupsiMerapi dimuntahkan dan dialirkan sepanjangsungai-sungai di lereng Merapi. Sudah sejaklama material pasir dan batu ditambang secaramanual oleh penduduk lokal maupunpendatang. Mereka disebut penambangtradisional. Sejak awal tahun 1990-an, alat beratseperti backhoe (dalam bahasa lokal disebutbego) dan excavator mulai digunakan untukmengeruk pasir dan batu dalam skala besar.Eksploitasi dengan teknologi berat ini dilegalkanoleh pemerintah provinsi Jawa Tengah denganmaksud mengatur aktivitas penambangan danmemperoleh pemasukan dana bagi provinsi.

Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaankebijakan Otda (UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999), kewenangan pengelolaan BahanGalian Golongan C (BGGC) diserahkan kePemda kabupaten dan kota. Bahan tambangpasir dan batu termasuk dalam BGGC. Baikregulasi penambangan pasir Merapi yangdibuat pemerintah provinsi maupun Pemdaberdasarkan kebijakan Otda ternyata tidak jauhberbeda. Regulasi tesebut, pada intinya,mengharuskan setiap kegiatan penambanganmemiliki izin dari pemerintah. Namanya SuratIzin Penambangan Daerah (SIPD). Sementaraada ribuan penambang tradisional yangmenggantungkan hidupnya pada pekerjaanmenambang ini, kebanyakan dari mereka tidakmampu memiliki SIPD karena satu dan lain hal.

Akibatnya, karena ketiadaan izin tersebut,pekerjaan mereka dikatakan sebagaipenambangan liar.

Deposit pasir ditambang tidak hanya darisungai (riverbank), tetapi juga dari tebing sungai,hutan, dan tanah pertanian. Di sampingmengancam nyawa para penambang itu sendiriketika mereka menambang, seperti ancamanlongsoran tebing dan aliran lahar atau awanpanas ketika Merapi aktif, penambangantersebut juga menimbulkan kerusakanlingkungan yang luas, di antaranya peng-gundulan hutan (deforestasi), pengupasantanah/soil di lahan hutan dan pertanian (landclearing), dan pengurangan suplai air bagipertanian dan wilayah lereng bawah.

Berangkat dari gambaran di atas,rumusan masalah (research question) penelitianini adalah: Kebijakan otonomi daerah berperandalam melahirkan kesenjangan aktivitaspenambangan pasir di wilayah GunungMerapi. Perumusan ini dikaitkan dengankegagalan pengentasan kemiskinan danpelestarian lingkungan dimana ruh kebijakanOtda di tingkat bawah dieksplorasi untukmendapatkan kerangka bagi kebijakanpengelolaan tambang pasir, khususnya yangterkait dengan masalah kemiskinan danlingkungan.

I I I. DAERAH PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada paruh awaltahun 2005 di kawasan Gunung Merapi,Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.Kabupaten Magelang terdiri dari 21kecamatan. Tiga di antaranya berada di lerengbaratdaya-selatan Gunung Merapi, yakniSrumbung, Dukun, dan Sawangan. Srumbungberada di lereng baratdaya. Kecamatan inimemiliki luas wilayah 53,18 km2 dan 17 desadengan ketinggian rata-rata 501 m di ataspermukaan laut.

Daerah penelitian mencakup tujuh desadi Kecamatan Srumbung: Kaliurang, Kemiren,Ngablak, Ngargosuko, Mranggen, Tegalrandu,dan Sudimoro. Alasan pemilihan daerahpenelitian adalah karena ketujuh desa tersebutdilewati lima dari 13 sungai yang ada di lerengMerapi dimana endapan pasir volkanik sangatpotensial ditambang. Kelima sungai tersebutyaitu Kali Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng,

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Page 27: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

23

dan Krasak. Di lima sungai ini pula aktivitaspenambangan pasir masih intensif dilakukanbaik oleh perusahaan tambang maupun parapenambang manual dan penduduk lokalkondisi kualitas hidup yang kurang baik.

IV. METODE PENELITIAN

Metode induktif digunakan untukmengeksplorasi penerapan kebijakan Otdakaitannya dengan isu kemiskinan danlingkungan di wilayah Merapi, karena literaturtentang tema ini belum kuat untuk menjawabrumusan masalah penelitian ini (Friedman,1998). Alasan lain adalah bahwa penelitimemiliki keterbatasan pemahaman akanmasalah yang dikaji (Marlow, 2001; Singletondan Straits, 1999). Rumusan masalah penelitianini menggunakan kerangka “process question,”yang secara eksplisit tidak perlu ada variabelyang akan diobservasi untuk kemudian diujiada tidaknya hubungan kausalitas antarvariabel (Maxwell, 1996). Dengan demikian,penelitian ini menggunakan kajian eksploratori(exploratory study).

Strategi penelitian yang dipakai berupastudi kasus (case study). Gambaran tentangpelaksanaan Otda di tingkat bawah diperolehdari tujuh desa wilayah penelitian. Informasi inidiperlukan sebagai konteks dimana kegiatanpenambangan pasir berada. Kegiatanpenambangan di lereng Merapi sejak awalsampai penelitian ini berjalan ditelusuri untukmemahami berbagai konsekuensi penerapanOtda terhadap kondisi lingkungan dan ekonomipenduduk lokal. Terakhir, pola hubungan antarakemiskinan dan lingkungan dalam kasus ini jugadianalisis.

Teknik pengumpulan data yang digunakanadalah kajian literatur, interview, dan observasilapangan. Teknik ini digunakan untukmemperoleh pemahaman yang baik tentangfenomena yang diteliti. Penggunaan teknik daninstrumen yang berbeda dalam penelitiankualitatif dinamakan triangulasi (interdisciplinarytriangulation) yang bertujuan untuk validasi data.Data atau berbagai penemuan diperolehmelalui penggunaan dua sampai tiga teknikatau pendekatan berbeda yang tidak punyakelemahaman serupa secara metodologis(Singleton dan Straits, 1999; Janesick, 2003;Denzin dan Lincoln, 2003).

Kajian literatur pertama sekali dilakukandalam rangka memahami konsep Otda danberbagai kebijakan menyangkut pengelolaansumber daya alam secara umum. Berbagaidokumen yang relevan, semacam perundang-undangan, lembar kebijakan (peraturan ataukeputusan), arsip, draft, dan lain-lain, jugadimanfaatkan semaksimal mungkin.

Wawancara open-ended dilaksanakanuntuk lima kategori informan kunci: tiga pejabatpemerintah daerah Magelang; sepuluh elit lokal(enam kepala desa dan empat ketua atauanggota Badan Perwakilan Desa); enampengurus organisasi setempat; tiga aktivislembaga non-pemerintah; dan tujuh pekerja/buruh yang terkait dengan kegiatanpenambangan pasir.

Wawancara mendalam (in-depth interview)dijabarkan dari pedoman wawancara yangtelah tersusun ( interview guide) untukmengembangkan diskusi dan mengecek/membandingkan data yang telah diperoleh darisatu sumber ke sumber lain sebagai bagian dariproses analisis hasil pengumpulan data (Ezzy,2002). Hal ini dimaksudkan sebagai tes validitasdan reliabilitas data. Meskipun demikian,informasi atau pandangan satu informan tidaksecara eksplisit dikonfrontasikan denganinforman lain. Ketika membandingkan suatudata, anonimitas informan tetap dijaga demimengeliminasi segala kemungkinan resiko baikbagi informan maupun peneliti (Punch, 1994;Babbie, 1998; Rubin dan Babbie, 2001).

Karena in-depth interview dilakukanterhadap beberapa kategori informan yangberbeda, otomatis dijumpai komentar dan/ataupandangan yang berbeda-beda, meskipuntema masalah yang diwawancarakan sama.Pada tahap ini, peneliti menggunakan“kristalisasi” ketimbang triangulasi. Kristalisasiadalah satu istilah yang dipakai Richardsonuntuk merujuk ke satu desain penelitian yangrelatif baru yang muncul dalam konteksPosmodern. Konsep ini mengibaratkan subjekpenelitian seperti layaknya citra (image) kristalyang memiliki warna dan struktur yangmemantulkan keindahan internal dan akanmenampakkan citra yang berbeda-bedatergantung dari sisi mana dilihat (angle). Segalakenampakan kristal dari berbagai arah tersebutadalah relevan. Dengan kristalisasi, akandiperoleh “… pemahaman tentang topiktertentu secara mendalam, kompleks, dan

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

Page 28: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

24

tajam. Kita tahu lebih, akan tetapi kitameragukan apa yang kita tahu” (Richardson,1994: 522). Dengan demikian, pandangan,perspektif, dan tanggapan yang berbeda-bedatentang tema yang sama diakomodasi dalampenelitian ini. Dengan kata lain, penelitian inimenampung suara dari berbagai informanyang berbeda dari segi kelas sosial, status, atauprofesi.

Observasi lapangan dilaksanakan untukmendapatkan data tentang aktivitas pe-nambangan pasir di wilayah penelitian. Selakupengamat murni (complete observer), penelitimembuat catatan yang menggambarkankegiatan penambangan yang dilakukan parapenambang manual dan kondisi hidupkeseharian mereka dan juga kondisi lokasipenambangan (Rubin dan Babbie, 2001).

V. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Penambangan Pasir di Merapi

Ada 13 atau 14 sungai di lereng Merapiyang sangat potensial mengandung endapanpasir. Akan tetapi, sebagian besar pasir volkanikdialirkan ke sungai-sungai di lereng selatanhingga barat puncak Gunung Merapi, yaituPabelan (Trising and Senowo), Lamat,Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng, dan Krasakyang terletak di Kabupaten Magelang. Diantara sungai-sungai tersebut, Pabelan/Senowo, Lamat, Putih, dan Bebeng palingintensif ditambang. Sejarahnya, parapenambang manual telah jauh memulaipekerjaannya sejak dekade 1980-an. Kegiatanpenambangan ini masih bebas dilakukan dansemakin menjadi sumber penghidupan bagipenduduk lokal Merapi maupun bagipara pendatang dari sekitar Magelang,Temanggung, Wonosobo, Semarang, Salatiga,dan wilayah lain di provinsi Jawa Tengah. Diawal tahun 1990-an, alat-alat berat mulaidigunakan untuk menambang pasir dan mulaimenggeser aktivitas para penambangtradisional. Sejak saat itu, deposit pasir dikawasan Merapi secara masif dieksploitasibaik secara manual maupun dengan teknologimodern.

Pemberlakuan peraturan pemerintahprovinsi Jawa Tengah No. 6 tahun 1994 tentangmanajemen penambangan pasir di lereng

Merapi membuat para penambang manualdikategorikan sebagai penambang liar(Anonim, 2000). Hal ini karena mereka tidakmengantongi izin menambang (SIPD) karenaketakmampuan finansial dalam memenuhipersyaratan yang terkait dengan uang. Karenahidup mereka bergantung pada kegiatan ini,mereka terpaksa menambang secara ilegal.Sampai era Reformasi berjalan, status merekatetap sebagai penambang liar di bawahperaturan daerah (Perda) No. 23/2001 karenaalasan yang sama, yakni masalah finansial.Bahkan, ketika Bupati Magelang mengeluarkanKeputusan No. 19/2004 untuk menghentikankegiatan penambangan di lima sungai di akhir2004, mereka masih melakukan aktivitaspenambangan seperti biasa.

Di samping ketiadaan modal, “izin prinsip”dari Bupati, sebagai rekomendasi yang sangatmenentukan di tahap awal memperoleh SIPD,bisa menjadi alasan lain mengapa merekatidak mampu mengantongi izin. Kebanyakanpenambang manual adalah buta huruf dantidak paham akan prosedur birokratis.Keluarnya izin prinsip menjadi sangatbergantung pada kehendak Bupati. Ini bisa jadikarena didorong oleh kenyataan bahwa usahapenambangan yang berstatus badan hukum(perusahaan tambang) dapat memberikontribusi pendapatan daerah yang jauh lebihbesar dibanding para penambang tradisional.Kenaikan PAD dari sektor tambang inilah yangtampaknya menjadi motif utama diterbitkannyaPerda pengelolaan penambangan pasir.

Jumlah penambang pasir selalu berubahdan tidak pasti. Satu sumber mengestimasisekitar 1500 penambang manual di tahun1995, 3000 orang pada 1998, dan 4370penambang pada 2001. Sumber lain,sebagaimana dilaporkan Kompas, mencatatada 4000-an penambang. Sebagian besarmasuk dalam keanggotaan PaguyubanGotong Royong (GORO), sebuah organisasiberpengaruh yang terkait dekat dengan aktivitaspenambangan pasir di Kabupaten Magelang(Kompas, 16 Februari 2005).

Lokasi tambang atau bekas tambangtersebar di banyak tempat, terutama di lahanhutan di lereng Gunung Merapi. Endapan pasirdikeruk dimana-mana oleh para penambangmanual secara berkelompok tiga sampai limaorang. Para pengeruk dan pengumpul pasir ini

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Page 29: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

25

dalam bahasa keseharian mereka disebutpengepul.

Sedimen pasir volkanik ditambangdengan tiga cara: menggali lahan/tanah;mengepras tebing sungai atau bukit; danmenambang bukit. Teknik pertama dilakukanuntuk menambang deposit pasir di lahan hutanatau pertanian dengan cara menghilangkanlapisan soilnya (land clearing) dimana pohondan semak-belukar ditebang dan disingkirkanterlebih dahulu. Penggalian deposit pasirdengan metode ini hingga sedalam 1-2 m.Penggalian dilakukan di sembarang lahansecara ekstensif, sehingga deforestasi jugamenjadi intensif dan lubang-lubang bekasgalian dibiarkan dimana-mana. Cara keduaadalah dengan cara menggali tebing sungaiatau bukit. Cara penggalian seperti inimenyisakan lubang-lubang horisontal danbukit-bukit kecil yang curam dan labil. Kondisimacam ini sangat mengancam keselamatanpara penambang karena bukit-bukit tersebutbisa runtuh setiap saat. Cara terakhir adalahdengan menggali pasir dari atas bukit padaketinggian tertentu dan hasil galian dijatuhkanke kaki bukit. Cara penambangan seperti inijuga sangat membahayakan karena tebing bukitmudah longsor.

B. Penambangan Pasir dalamKerangka Otonomi Daerah

Dalam kegiatan penambangan pasirterkait dengan isu kesejahteraan sosial dankelestarian lingkungan, kebijakan Otda dilihatdan diuji pada tiga tingkatan pemerintahan:pemerintah desa, Pemda, dan pemerintahpusat. Secara keseluruhan, kebijakan Otdamemposisikan pemerintah dan/atau wargadesa sebagai peran penentu di tingkatandaerah dan pusat.

Pada tingkatan pemerintah desa,pelaksanaan Otda ditunjukkan oleh kehadiranbeberapa elemen desa. Bentuk-bentukpelaksanaannya berupa Perda dan KeputusanBupati, peraturan desa (Perdes), BadanPerwakilan Desa (BPD), sumber pendapatandesa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa(APBDesa), dan kerjasama antar desa.

Di tingkatan daerah, salah satu bentukkewenangan kabupaten yang berupa regulasipenambangan pasir melalui penerbitan SIPDmemungkinkan pemerintah desa bisa

memegang peran kunci. Peran tersebut diantaranya meliputi rekomendasi boleh-tidaknyasuatu perusahaan menambang pasir besertadana sumbangan dari pemberian rekomendasitersebut, kompensasi tanah melalui kontrak, danretribusi.

Kemudian, pada level pusat, kewenanganpemerintah dalam hal konservasi kawasan telahdigunakan untuk mengubah status Merapimenjadi Taman Nasional. Kewenangan ini jugamasih harus melibatkan penduduk lokal dalamproses pembuatan kebijakan. Di sini, institusi-institusi demokratis tingkat desa diharuskandapat menampung aspirasi dan harapan or-ang-orang desa.

Penerapan kebijakan desentralisasi ditingkat bawah terutama tercermin padakewenangan desa untuk membuat Perdes yangmenampung segala peraturan, cita-cita dankepentingan masyarakat, dan keuangan desa(Perda No. 1/2000). Kemudian, pendapatandesa, APBDesa, dan kerjasama antar desadiatur dalam Perdes; dan aktor dari pembuatanPerdes ini adalah BPD dengan melibatkaneksekutif desa dan masyarakat (Perda No. 10/2000). Pada kenyataannya, secara garis besarpembuatan Perdes di kebanyakan desa dikecamatan Srumbung terlalu didominasi oleheksekutif dan legislatif desa dan dikendalikankabupaten. Sebagai contoh, Perdes seputarAPBDesa yang akan ditetapkan telah ditentukanatau harus sesuai dengan kehendak Bupatimelalui keputusan-keputusannya. Denganbegitu, tidak berlebihan apabila apa yangdisebut Dwipayana dan Eko (2003: xi) sebagai“formalisasi politik desa” atau oleh Dwipayanaet al. (2003a: 96) disebut “formalismedemokratik di desa” telah terbukti adanya. Halyang sama terjadi pada institusi BPD. Secaraumum, badan ini belum mampu mendorongdemokratisasi tingkat desa karena tidak munculdari bawah, tetapi dari atas. Hal ini terjadikarena BPD berposisi sebagai sebuah institusiformal-korporatif di tingkat desa (Dwipayanaet al., 2003b).

Ada beberapa sumber bagi pendapatandesa. Sumber pertama adalah tanah Bengkok.Keputusan Bupati No. 188.4/353/KEP/06/2001 secara khusus merujuk ke peralihankepemilikan atau pemanfaatan Bengkoksebagai sumber pendapatan desa, meskipuntidak mencukupi atau tidak memadai sebagai

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

Page 30: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

26

sumber pemasukan. Sumber pemasukan lain,sebagaimana diatur dalam Perda No. 3/2001,dapat diperoleh dari donasi berbagai sumber.Sebagian besar berasal dari beberapaperkumpulan atau perusahaaan yang terkait eratdengan aktivitas penambangan pasir. Sumberpemasukan tersebut berbentuk bantuan finansialdan barang, retribusi, kompensasi atau gantirugi, dan dana komitmen. Sayangnya, sumber-sumber pemasukan ini kurang punya kontribusiterhadap kondisi ekonomi penduduk lokal.Sumber pendapatan berikutnya adalah danablock grant yang diperoleh setiap tahun daripemerintah kabupaten. Lebih jauh, desa-desawilayah penelitian punya sektor penambanganyang sejatinya dapat dimanfaatkan untukmendapatkan sumber pemasukan yang sangatpotensial. Akan tetapi, tidak ada pembagiansecara proprosional dengan kabupaten.Kemudian, tidak ada Perda atau KeputusanBupati yang mengatur pemanfaatan sektortambang bagi desa. Dari semua sumberpemasukan tadi, tampaknya hanya block grantyang selama ini menjadi sumber pendapatanutama bagi desa.

Sebagai sumber utama pemasukan desa,secara otomatis block grant juga menjadi satu-satunya sumber bagi pembiayaan APBDesa(lihat Perda No. 6/2001) dimana anggaranbelanjanya harus sesuai dengan apa yangtelah digariskan Bupati melalui KeputusanNo. 188.4/353/KEP/06/2001. Walaupundemikian, masih ada ruang bagi keterlibatanmasyarakat dalam menentukan anggaranbelanja umum. Dengan kondisi seperti ini,pemerintah kabupaten menciptakan keter-gantungan desa dan tetap mendominasi desa.Dalam pandangan Sukasmanto (2004), blockgrant digunakan sebagai instrumen untukmengontrol desa.

Sebetulnya, ada beberapa kemungkinanbagi desa-desa yang bertetangga di lerengMerapi untuk melakukan kerjasama terkaitdengan penambangan pasir, sejalan denganPerda No. 7/2001 tentang kerjasama antardesa. Seperti telah dijelaskan, masyarakat desadapat berperan sebagai faktor penentu dalampenerbitan SIPD berdasarkan Perda No. 23/2001. Dalam menerbitkan rekomendasi, yangdiinginkan oleh perusahaan-perusahaan untukmenambang pasir yang terkandung di lebih darisatu wilayah desa, diperlukan adanyakoordinasi antar kepala desa untuk memutuskan

layak-tidaknya rekomendasi diberikan kepadaperusahaan yang mengajukan. Hal iniseharusnya dapat menjadi kesempatan untukmenaikkan posisi tawar desa dalammendapatkan dana komitmen dari perusahaantambang sekaligus posisi tawar di hadapanBupati yang hendak mengeluarkan izin prinsip.Koordinasi antara desa juga penting untukmengatur pembagian retribusi dan danakompensasi dari dampak lingkungan yangditimbulkan oleh aktivitas tambang. Sayangsekali, kenyataannya tidak ditemui adanyakerjasama antar desa. Hal ini setidaknya karenadua hal: tidak terakomodasi dalam kebijakan(Perda atau Keputusan Bupati); dan kurangnyainisiatif warga desa.

Secara garis besar kebijakan daerahtentang SIPD hampir serupa dengan kebijakanprovinsi sebelumnya. Keduanya sama-samaberorientasi pada peningkatan PAD yangcenderung memihak perusahaan-perusahaantambang bermodal besar dan, akhirnya,mengkesampingkan para pekerja tambangmanual. Dengan kata lain, mereka dimiskinkanoleh kedua kebijakan tersebut. Lebih buruk lagi,kondisi lingkungan kawasan Merapi menjaditerancam dan semakin parah karena eksploitasibesar-besaran dengan menggunakan alat-alatberat demi mengejar profit berlimpah. Parapenambang manual ikut serta memperburukkondisi ini dengan mengeruk onggokan pasirdi sembarang tempat, seperti lahan hutan danladang. Meskipun demikian, para penambangmanual tampaknya lebih sering menjadikambing hitam bagi rusaknya lingkungan.

Perubahan status Merapi menjadi TamanNasional oleh pemerintah pusat sejalan dengankewenangannya dalam mengatur konservasikawasan. Akan tetapi, kebijakan ini menyisakanmasalah berkaitan dengan proses pe-ngambilan keputusan dan masih menjadiperdebatan pada tahap implementasi. Selamaproses pembuatan kebijakan, pemerintah pusattidak banyak melibatkan Pemda danmasyarakat selaku kelompok yang palingmengalami dampak langsung dari kebijakantersebut (the most affected groups). Kalaudemikian adanya, hal ini berarti bertentangandengan UU No. 23/1997 tentang pengelolaanlingkungan hidup yang harus melibatkanmasyarakat luas. Di samping itu, masalahMerapi tampaknya hanya dilihat dari masalahhutan semata. Padahal, faktanya ada ribuan

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Page 31: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

27

warga negara yang secara ekonomi, sosial,dan kultural bergantung pada Merapi. Sebagaibukti, kegiatan penambangan pasir dan aspekmitigasi bencana akibat volkanisme Merapitidak termasuk bahan pertimbangan dalamkonsep Taman Nasional Gunung Merapi(TNGM). Keputusan tentang Taman Nasionaltersebut juga mengandung beberapa cacatkarena kajian kelayakan lingkungan ternyatabelum beres. Sehingga, lagi-lagi keputusan itubertentangan dengan UU No. 41/1999tentang pemanfaatan lahan dan hutan(Kompas, 26 Mei 2004).

C. Kemiskinan dan Ketertindasan

Para penambang manual asal luar Merapisudah bertahun-tahun tinggal di lereng GunungMerapi di gubug-gubug atau tempat tinggalsederhana secara berkelompok di sepanjangtebing sungai. Sebenarnya wilayah yang merekatinggali termasuk zona terlarang dalam petazonasi bahaya volkanik Merapi. Hidup danharta benda mereka berada di bawah ancamannyata Gunung Merapi, seperti awan panas(nuée ardente atau Wedhus Gembel dalambahasa lokal) dan aliran lahar baik ketikaMerapi aktif maupun tidak. Singkatnya, merekahidup dengan kondisi buruk karena kuranglayaknya pemenuhan kebutuhan dasar manusia:tempat tinggal, sanitasi, kesehatan, pendidikan,lingkungan. Kondisi seperti itu disebut sebagaikemiskinan karena “ketakmampuan merekamemenuhi standar hidup minimal” (Cox, 1996).

Meskipun telah bertahun-tahun tinggal dilereng Merapi, sebagian ada yang sudahbelasan tahun, status kependudukan merekamasih dari daerah asal. Dengan demikian,pada satu sisi, mereka belum diakui sebagaipenduduk desa dimana sekarang merekatinggal. Di sisi yang lain, mereka dianggap tidakada di daerah asal mereka. Keadaan inimembuat mereka hidup dengan pelayanansosial yang sangat terbatas atau bahkan tidakada, baik dari pemerintah pusat maupundaerah, seperti pelayanan kesehatan,pendidikan, atau pelayanan sosial lain. Palingjauh, dari sisi aspirasi politik, mereka barudilibatkan oleh partai politik tertentu hanyaketika masa-masa kampanye Pemilihan Umum(Pemilu) berlangsung untuk menambahperolehan suara.

Keberadaan penambang manual besertaaktivitasnya di lereng Merapi tampaknya

didukung oleh GORO. Dengan kata lain,mereka berada di bawah otoritas danpatronase paguyuban ini. Selama ini, GOROsampai tahap tertentu menjadi semacambenteng bagi aktivitas penambangan pasirMerapi dari intervensi lembaga-lembaga non-pemerintah yang peduli akan masalahkemiskinan desa dan isu lingkungan. Sampaiperiode tertentu, paguyuban ini juga pernahmemiliki hubungan khusus dengan pemodalbesar dan elit pusat dalam rangkamengamankan bisnis penambangan di sana.Tidak mengherankan apabila organisasi inisering dicitrai kurang baik dan keberadaannyaditentang baik oleh pejabat kabupaten maupunmasyarakat luar lingkaran pengaruh GORO.Keadaan ini menyebabkan organisasi ataulembaga non-pemerintah enggan melakukanpemberdayaan penambang manual karenamereka diidentikan dengan GORO itu sendiri.Di samping itu, pemerintah daerah dan desamenjadi kurang peduli terhadap pelayanansosial bagi mereka. Dengan demikian, keadaanini dapat dikatakan sebagai ketiadaanpemberdayaan dan akses pelayanan sosial.

Karena mayoritas penambang pasirberasal dari luar, penduduk desa lereng Merapimerasa keberatan dengan kegiatanpenambangan tersebut. Alasannya adalahbahwa sementara kandungan sumber dayaalam di tanah mereka dimanfaatkan orang lain,mereka lah yang harus menanggung dampaklingkungan dari eksploitasi tersebut. Kondisimacam ini cukup dilematis. Satu sisi, ini tentusaja tidak adil bagi penduduk Merapi, tetapidi sisi lain juga tidak adil kalau hanyapenambang manual saja yang dipersalahkan.Alasannya, agen utama perusak lingkunganMerapi adalah mereka yang menggunakanalat-alat berat untuk mengeruk pasir Merapi,yang kebanyakan juga orang luar Merapi, disamping penduduk Merapi sendiri.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwakomunitas pengumpul pasir lereng Merapimengalami “Kemiskinan multidimensional”.Istilah ini merujuk ke suatu keadaan dimanadimensi politik, sosial, kultural, ekologi, sejarah,dan ekonomi telah tercerabut. Lebih jelasnya,para pengumpul pasir dikatakan miskin karena:ketiadaan akses terhadap pelayanan sosial,adanya penghalang sosial-kultural, kondisikesehatan, sanitasi, dan pendidikan yangkurang baik serta berbagai keterbatasan lain,

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

Page 32: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

28

tempat menambang dan tempat tinggal yangsangat beresiko terkena ancaman Merapi.Karena tidak ada pemberdayaan, mereka jugatidak memiliki representasi dan partisipasi sosial-politik, dicap dengan berbagai anggapanburuk (prejudice dan stereotype), ketiadaanakses informasi dan teknologi (Snel, 2002).

Dalam perspektif Hak Azasi Manusia(HAM), kemiskinan penambang manual lebihbaik dipahami dengan cara bagaimana“kemiskinan itu dialami dan dirasakan oleh simiskin itu sendiri,” karena kemiskinan tiap or-ang berbeda tergantung waktu dan konteks.Oleh karena itu, inti permasalahannya bukanpada apakah mereka miskin atau tidak menurutstandar kemiskinan tertentu. Akan tetapi, apabilakebutuhan dasar mereka tidak mamputerpenuhi, hak azasi mereka dilanggar, merekadikatakan miskin. Keinginan dan kebutuhantersebut kemudian ditransformasikan ke dalamhak-hak yang harus mereka perjuangkan olehmereka sendiri (Goldewijk dan de Gaay-Fortman, 1999: 90; Wahono, 2005).

Secara keseluruhan, komunitas pe-nambang manual mengalami berbagai bentukpenindasan atau diskriminasi di semuatingkatan: personal, kultural, dan struktural.Penindasan personal yang dimaksud adalahbahwa mereka dilabeli dengan penilaiannegatif (negative prejudgement) oleh para elitlokal, pejabat pemerintah daerah, ataumasyarakat kebanyakan. Mereka dianggapsebagai kelompok orang yang sulit diatur, takterkontrol, dan pembangkang. Lebih jauh lagi,sebagai penambang liar, mereka juga seringdikambinghitamkan sebagai oknum kerusakanlingkungan yang ada di Merapi. Penindasankultural yang mereka alami bahwa masyarakatumum mencurigai dan menganggap merekasebagai orang-orang pelarian (karenamelakukan tindak kriminal di kampung asalnya),orang-orang bermasalah, atau kaum miskindesa. Penindasan yang ketiga, karena tidakdilibatkan dalam institusi, proses, atau kegiatansosial, mereka bisa dikatakan mengalamipenindasan struktural. Selain itu, mereka jugadimarginalkan dan dimiskinkan karenakebijakan pemerintah di tingkat daerah (Mullaly,2002: 49). Untuk memberantas penindasanyang dialami para penambang manual iniadalah melalui pemberdayaan sosial. Sepertikonsep Paulo Freire, dengan memakai kata-kata Mayo, pemberdayaan tersebut bertujuan

untuk “mencari sumber masalah mereka,mengeksplorasi kebutuhan mereka, danmenemukan strategi mereka sendiri” (Adams,2003:130).

D. Pola Hubungan Kemiskinan danLingkungan

Setidaknya terdapat tiga pola atau bentukhubungan kemiskinan (atau kaum miskin) danlingkungan dalam kasus aktivitas penam-bangan di lereng Merapi. Pertama, kaum miskin(penambang tradisional) berperan sebagaiagen kerusakan lingkungan. Kedua, merekajuga sekaligus menjadi korban bencanalingkungan karena harta-benda dan hidupmereka berada di bawah ancaman aktivitasvolkanisme Gunung Merapi (Shyamsundar,2002). Ketiga, lingkungan hidup yang didalamnya terkandung sumber daya alam dapatdijadikan sebagai aset penting untukmengentaskan kemiskinan.

Kaitannya dengan penambangan pasir,lingkungan Merapi sedang terancam. Sepertitelah dijelaskan, kerusakan lingkunganditimbulkan oleh eksploitasi intensif penam-bangan modern, dan penambang manualmemperburuk kondisi tersebut. Konsekuensiekologisnya di antaranya adalah sebagaiberikut: deforestasi, berkurangnya pasokan airbagi air permukaan maupun air bawah tanahdaerah sekitar, rusaknya tebing dan dasarsungai yang natural, menumpuknya sisa/limbahpenambangan pasir berupa blantak (batuanvolkanik sisa pengayakan pasir yang berukurankerikil dan kerakal), yang dapat mengganggujalannya aliran lahar.

Di samping kerusakan ekologi, parapengepul pasir juga terancam oleh bencanavolkanik Merapi, seperti aliran dan lontaranpiroklastik dan awan panas ketika erupsiMerapi terjadi sewaktu-waktu. Dalam hal ini,lingkungan berarti dapat menimbulkan bencanakematian dan juga kerusakan harta-bendapenduduk.

Kontribusi lingkungan dapat dijelaskandari sisi ekonomi bagi penduduk lokal dengancara pemanfaatan sumber daya alam, sepertideposit pasir dan batu volkanik untuk bahanbangunan baik kontribusi langsung maupuntak lansung. Kontribusi langsung berupapemanfaatan material pasir dan batu untukmembangun rumah mereka, jalan aspal, atau

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Page 33: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

29

fasilitas publik lain. Sedangkan, kontribusi taklangsung diperoleh ketika mereka menambangpasir-batu untuk mereka jual dan jugaperolehan manfaat ekonomi lain yang terkaitdengan aktivitas penambangan tersebut, sepertiwarung makan-minum, bengkel, jasatransportasi, dan sebagainya.

Bentuk hubungan pertama dan keduamerujuk ke suatu keterkaitan yang bernuansanegatif, karena keduanya dapat salingmerugikan, merusak, atau bahkan meng-hancurkan dan membinasakan. Sebaliknya,bentuk yang ketiga mengkaitkan lingkunganalam dengan kemiskinan dari sisi positifnya,karena alam bisa menjadi anugerah untukmengurangi penderitaan manusia danmenciptakan kesejahteraan masyarakat. Darisini, pengintegrasian aset lingkungan danpengentasan kemiskinan dalam program danasistensi pembangunan bisa menjadi prioritas(Reed, 2002; Sullivan, 2002).

Dikatakan sebagai agen kerusakanlingkungan tidak dimaksudkan bahwa kaummiskin lah yang harus bertanggung jawab.Alasannya, mereka hanya salah satu daribeberapa agen perusak. Penambanganmodern dengan backhoe dan excavator-nya,yang sering diidentikkan dengan karakterpengejar atau pelipat ganda keuntungan (profit-oriented), merupakan faktor paling utamadalam kerusakan lingkungan. Meskipundemikian, seperti telah dijelaskan, dampak-dampak ini sebetulnya telah diciptakan olehregulasi penambangan pasir daerah yangberlaku. Melalui regulasi tersebut,penambangan modern dizinkan mengerukdengan alat-alat berat di konsesi wilayah yangdimilikinya. Sementara, para penambangmanual yang hidupnya bergantung padaanugerah Merapi terpaksa menambang disembarang tempat karena otomatis tidak punyakonsesi, yang hanya bisa diperoleh kalau punyaSIPD. Dengan demikian, hal ini menunjukkanbetapa pentingnya menciptakan kebijakansosial yang sekiranya punya “pengaruh besarakan bagaimana lingkungan dikelola danbagaimana kaum papa dan kelompok-kelompok yang dimarginalkan merasakandampaknya” (Hazlewood, 2002).

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kaitannya dengan isu kemiskinan danlingkungan, otonomi daerah sebenarnya dapatberperan di tingkat pemerintah pusat, daerah,hingga desa. Keterlibatan masyarakat akarrumput bersama pemerintah desa jugadapat memengaruhi dan menjadi penentupengambilan kebijakan di tingkat daerah danpusat. Pada intinya, masyarakat akar rumputmerupakan subjek sekaligus objek utamamengapa dan untuk apa kebijakan desen-tralisasi diterapkan. Pada pelaksanaannya,Otda tampaknya masih belum membawaperubahan nyata bagi perbaikan kualitas hiduppenduduk lokal dan kondisi lingkungan.Meskipun demikian, bukan berarti Otdamenjadi penyebab semakin buruknya kondisiyang ada. Ada atau tidaknya Otda, keadaanseperti itu kurang-lebih tetap berlangsung,karena kebijakan yang dihasilkan daripenerjemahan konsep desentralisasi kurangmemperhatikan pelestarian lingkungan dankondisi penambang manual.

Akar penyebab semakin parahnya kondisilingkungan Merapi dan kemiskinan penduduklokal adalah kebijakan penambangan pasirdaerah dan kurang baiknya penerapankebijakan tersebut. Oleh karena itu, pe-mecahannya ada pada kebijakan itu sendiri danpenerapannya. Pemecahan tersebut tidakdengan menciptakan ketergantungan penduduklokal terhadap pemerintah daerah dan pusat,melainkan harus dengan menciptakan berbagaiupaya berkelanjutan dalam rangka memenuhikebutuhan ekonomi, sosial, dan kultural sertamenjaga kelestarian lingkungan. Di sini, pekerjasosial (peksos) dapat berkontribusi menunjukkanbagaimana suatu kebijakan sosial publiksebaiknya dibuat, menerjemahkannya keregulasi yang lebih rendah, serta mene-rapkannya. Para peksos juga dapat memainkanperannya untuk menggerakkan keterlibatanmasyarakat akar rumput dan mengorganisirpara penambang manual untuk memberantasberbagai bentuk ketertindasan yang merekaalami.

Pada akhirnya, penelitian ini mere-komendasikan empat hal. Pertama, penerapanPerda dan Keputusan Bupati tidak semestinyadisamakan untuk semua desa, tetapi harusdisesuaikan dengan kondisi, kebutuhan,

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

Page 34: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

30

kemampuan, dan sumber daya yang dimilikitiap desa. Oleh karena itu, perbedaanpenerapan suatu kebijakan yang kontekstualdan khas bagi tiap desa sangat lahmemungkinkan.

Kedua, block grant yang setiap tahundialokasikan oleh Pemda harus mulai dikurangisecara bertahap dengan diimbangi pemberiankewenangan lain bagi desa untuk mengelolapendapatan dari sektor yang dimiliki desa,seperti penambangan pasir dan pariwisata.Sehingga, retribusi dan pajak yang didapat darisektor tersebut dapat dimanfaatkan sebagaisumber pembiayaan anggaran belanja desa.Hal ini dimaksudkan dalam rangka men-ciptakan kemandirian desa.

Ketiga, pengelolaan sektor penambanganpasir Merapi seharusnya mengadopsi sistempenambangan rakyat, yang dibarengi denganpengawasan ketat dari berbagai stakeholder,termasuk organisasi lokal semacam GORO,untuk mewujudkan keadilan sosial dankelestarian lingkungan Merapi.

Terakhir, memberdayakan komunitaspenambang pasir mungkin menjadi cara terbaikuntuk memberantas berbagai bentukpenindasan (ketaksetaraan, diskriminasi, danprejudice) dan kemiskinan multidimensi.Kemudian, pemberdayaan ini harus mampumengungkap apa yang mereka inginkan danbutuhkan dari segi standar hidup, kesehatan,pendidikan, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, R. 2003. Social Work and Empowerment. Third edition. New York: Palgrave Macmillan.

Anonim, 2000. Laporan Antara: Penataan dan Pengaturan Usaha Pertambangan Kawasan GunungMerapi Tahun Anggaran 2000. Jogjakarta: Kerjasama Dinas Pertambangan Propinsi Jawa Tengahdan P4N Universitas Gadjah Mada.

Babbie, E. 1998. The Practice of Social Research. 8th edition. USA: Wadsworth Publishing Company.

Cox, D. 1996. Focusing on Poverty: Enhancing Social World’s Developmental Relevance ThroughPoverty Alleviation Programs. The Journal of Applied Social Sciences, 21 (1), Fall/Winter, 27-36.

Denzin, N. & Lincoln, Y. 2003. Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research.In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 1-45). Second Edition.California: Sage Publications, Ltd.

Dwipayana, A.A. & Eko, S. 2003. Membuat Good Governance Bekerja di Desa. Dalam Dwipayana,A.A. & Eko, S. (Eds.), Membangun Good Governance di Desa (pp. v-xxviii). Jogjakarta: IREPress.

Dwipayana, A.A., Karim, A.G., Purwoko, B., Haryanto, Pratikno, & Santoso, P. 2003a. PembaharuanDesa secara Partisipatif. Jogjakarta: Pustaka Pelajar and S2 Politik Lokal dan Otonomi DaerahUGM.

Dwipayana, A.A., Rozaki, A., Sujito, A., Hudayana, B. Bramantyo, Purnomo, J., et al. 2003b. MembangunGood Governance di Desa. Jogjakarta: IRE Press.

Ezzy, D. 2002, Qualitative Analysis: Practice and Innovation. London: Routledge.

Fakultas Kehutanan UGM Merasa Kecolongan. (2004, May 26). Retrieved June 28, 2005, from http://www.kompas.com

Friedman, B. 1998. The Research Tool Kit: Putting It All Together. Toronto: Brooks/Cole ThomsonLearning.

Goldewijk, B.K. & de Gaay-Fortman, B. 1999. Where Needs Meet Rights: Economic, Social, CulturalRights in a New Perspective. Geneva: WCC Publications.

Hazlewood, P. 2002. A Global Capacity Development Network on Poverty and Environment: LinkingParticipatory Research, Dialogue and Action. New York: Harper & Case, Inc.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Page 35: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

31

http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/040630_masytolakmerapi. Retrieved June 24, 2004

Huda, N. 2004. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme dan Negara Kesatuan.Dalam Hamid, E.S. & Malian, S. (Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi danSaran (pp. 15-26). Jogjakarta: UII Press.

Ismawan, I. 2002. Ranjau-ranjau Otonomi Daerah. Solo: Pondok Edukasi. Janesick, V. (2003). TheChoreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. In Denzin,N. & Lincoln, Y. (Eds.), Strategies of Qualitative Inquiry (pp. 46-79). Second Edition. California:Sage Publications, Ltd.

Keputusan Bupati Magelang No.: 188.4/353/KEP/06/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan PeraturanDaerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Sumber Pendapatan Desa.

Keputusan Bupati Magelang No. 19/2004 tentang Penghentian Kegiatan Penambangan Pasir di LerengMerapi.

Marlow, C. 2001. Research Methods for Generalist Social Work. 3rd edition. USA: Wadsworth/ThomsonLearning.

Maryatmo, R. (2005). Kontroversi Upaya Pembelaan. Basis No. 05-06, Tahun ke-54, May-June 2005,18-23.

Masyarakat dan Kepala Dusun Tolak TNGM. (2004, June 1). Retrieved June 28, 2005, from http://www.kompas.com

Maxwell, J. 1996. An Interactive Approach. USA: Sage Publications, Inc.

McCharty, J. F. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-LegalConfigurations in Central Kalimantan, Indonesia. World Development Vol. 32, No. 7, 1199-1223.

Mullaly, B. 2002. Challenging Oppression: A Critical Social Work Approach. Oxford: Oxford UniversityPress.

Pakar UGM Tuntut SK tentang TNGM Dicabut. (2004, July 17). Retrieved June 28, 2005, from http://www.kompas.com

Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No. 6/1994 tentang Manajemen Penambangan Pasir diLereng Merapi.

Perda Kab. Magelang No. 1/2000 tentang Peraturan Desa.

Perda Kab. Magelang No. 10/2000 tentang Badan Perwakilan Desa.

Perda Kab. Magelang No. 23/2001 tentang Izin Usaha Pertambangan.

Perda Kab. Magelang No. 3/2001 tentang Sumber Pendapatan Desa.

Perda Kab. Magelang No. 6/2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Perda Kab. Magelang No. 7/2001 tentang Kerjasama antar Desa atau Kelurahan di Kabupaten Magelang.

Punch, M. 1994. Politics and Ethics in Qualitative Research. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Hand-book of Qualitative Research (pp. 83-97). California: Sage Publications, Inc.

Reed, D. 2002. Poverty and the Environment: Changing Concepts. Development Bulletin, 58, July 2002,9-15.

Richardson 1994. Writing A Method of Inquiry. In Denzin, N. & Lincoln, Y. (Eds.), Handbook of Qualita-tive Research (pp. 516-529). California: Sage Publications, Inc.

Rubin, A. & Babbie, E. 2001. Research Methods for Social Work. 4th edition. USA: Wadsworth/ThomsonLearning.

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah (Toton Witono)

Page 36: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

32

Saleng, A. 2004. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press.

Setahun, Enam Pekerja Tambang Pasir Tewas di Lereng Merapi. (2005, February 16). Retrieved June 28,2005, from http://www.kompas.com

Setiaji, B. 2004. Kecenderungan dalam Implementasi Otonomi Daerah. In Hamid, E.S. & Malian, S.(Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 123-132). Jogjakarta:UII Press.

Shyamsundar, P. 2002. Environmental Economic Series: Poverty-Environment Indicators. The World BankEnvironment Department, Paper No. 84.

Singleton, R. Jr. & Straits, B. (1999). Approaches to Social Research. Third Edition. Oxford: OxfordUniversity Press.

Snel, M. 2002. What does It Mean to be Poor? Environment and Poverty Times. No. 1 First Issue, August2002. Available from http://www.povertymap.net/publications/povertytimes/01/

Sukasmanto 2004. Good Governance dan Isu-Isu Politik Anggaran Desa dan Kabupaten. Dalam Rozaki,A. (Ed.), Promosi Otonomi Desa (pp. 73-97). Jogjakarta: IRE Press.

Sullivan, M. 2002. Aid in Community Based Poverty-Environment Projects. Development Bulletin 58,July 2002, 16-19.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan Penjelasan.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara PemerintahPusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional(PROPENAS) Tahun 2000-2004.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Penjelasan.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan

Usman, S. 2004. Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Demokratisasi. In Hamid, E.S. & Malian, S.(Eds.), Memperkokoh Otonomi Daerah: Kebijakan, Evaluasi dan Saran (pp. 109-115). Jogjakarta:UII Press.

Wahono, F. 2005. Proses Perjuangan Hak di Akar Rumput. Basis No. 05-06, Tahun ke-54, May-June2005, 4-9.

BIODATA PENULIS :

Toton Witono, Alumnus S-2 UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, program Interdisciplinary IslamicStudies, konsentrasi Social Work; staf BBPPKS Padang, Sumatera Barat.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

Page 37: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

33

PEMANFAATAN LAHAN DAN SUMBER DAYA ALAM DALAM

KERANGKA PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA SEKITAR

HUTAN DI KABUPATEN BATANGHARI PROPINSI JAMBI

Habibullah

ABSTRAK

Kegagalan berbagai program penanganan kemiskinan masyarakat sekitar hutan tidak terlepas darikesalahan dalam mengidentifikasi pola pemanfaatan lahan dan sumber daya alam karena masyarakatsekitar hutan mempunyai pola pemanfaatan yang berbeda dengan masyarakat desa yang berbasis pertaniansawah umumnya sehingga pemahaman yang tepat terhadap sumber daya yang tersedia akan dapatmenuntun langkah yang tepat pula dalam pembangunan masyarakat. Kajian ini bertujuan untukmengidentifikasi potensi-potensi sumber daya alam yang dikembangkan masyarakat sekitar hutan sebagaisumber penghidupan tanpa merusak lingkungan hidup. Kajian bersifat deskriptif ini dilaksanakan di 4(empat) desa sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi.

Hasil kajian menunjukkan sebagian besar masyarakat desa memanfaatkan lahan untuk mengembangkankomoditas karet walaupun tidak dapat dipungkiri terdapat kendala sosial-ekonomi antara lain masyarakatterjebak dengan pinjaman(barang dan uang) yang diberikan tauke sehingga harga karet ditentukan olehtauke sementara itu KUD yang semestinya dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat belummempunyai peranan kecuali hanya sebagai “kedok” untuk memanfaatkan hasil hutan. Hasil studi inimerekomendasikan berbagai program Departemen Sosial untuk masyarakat sekitar hutan lebihmempertimbangkan aspek pola-pola pemanfaataan lahan dan sumber daya alam sehingga program tersebuttepat sasaran dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci : Masyarakat sekitar hutan, pembangunan masyarakat, pemanfaataan lahan dan sumber daya alam, karet

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa otonomi daerah yangbersamaan dengan lahirnya berbagai tuntutanreformasi, pemanfaatan sumber daya hutanmenjadi krusial. Harapan besar terhadapsumber daya hutan mengakibatkan sektor inimasih menjadi tumpuan untuk dapatmenghasilkan pendapatan. Permasalahan iniditambah lagi dengan kenyataan sektorperkebunan sawit oleh swasta kurangmempertimbangkan opportunity cost yang akanmuncul, baik jangka panjang maupun jangkapendek. Memberikan porsi ruang berlebihan disalah satu aspek seperti aspek perkebunan danaspek ekonomi lainnya akan memberikankerugian pada aspek keruangan lain sepertiaspek ekologi dan sosial ekonomi.

Pada aspek sosial ekonomi perubahanfungsi-fungsi keruangan yang terjadi tidakserta-merta dapat meningkatkan ekonomimasyarakat sekitar hutan, terutama masyarakatasli. Banyak kasus-kasus konflik lahan antaramasyarakat dengan perkebunan sebagai buahdari kebijakan keruangan yang memarginalkanmasyarakat sekitar hutan. Resiko terbesar akibatkehilangan sumber daya alam justru menjadibeban masyarakat sehingga manfaat sesaatsecara finansial menjadi hilang maknanya danmasyarakat sekitar hutan tetap miskin.

Departemen Sosial telah mengimplemen-tasikan berbagai program penanganankemiskinan seperti: Proyek Bantuan Kesejah-teraan Sosial (BKS), Program KesejahteraanSosial KUBE (Prokessos KUBE), ProgramBantuan Sosial Fakir Miskin (BSFM), ProgramKeluarga Harapan (PKH) dan lainnya. Salahsatu sasaran program penanganan kemiskinan

Page 38: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

34

yang dilaksanakan oleh Departemen Sosialadalah masyarakat sekitar hutan.Namunseringkali dalam implementasinya program-program tersebut salah sasaran, timbul benih-benih fragmentasi sosial dan belum menyentuhakar permasalahan salah satu penyebabnyaadalah program tersebut tidak memper-timbangkan pola pemanfaatan lahan dansumber daya alam desa sekitar hutan. Melaluigarapan tata ruang desa ini akan diketahuipotensi ekonomi strategis dan mungkindikembangkan, termasuk masalah ketersediaanlahan dan konflik lahan.

Pembangunan masyarakat sebagai usahauntuk menciptakan hubungan serasi antarasumber-sumber yang tersedia dengankebutuhan masyarakat. Apabila hubunganharmonis tersebut dapat terwujud makakesejahteraan masyarakat akan terwujud pula,apabila yang terjadi sebaliknya maka akanditemukan adanya berbagai bentuk masalahsosial (Soetomo, 2006). Identifikasi sumber dayamerupakan salah satu langkah strategis dalamproses pembangunan masyarakat. Pemahamanyang tepat terhadap sumber daya yangtersedia akan dapat menuntun langkah yangtepat pula. Tidak jarang dijumpai suatukenyataan ironis bahwa dalam masyarakattersedia sumber daya cukup besar, tetapi tetapbersifat laten dalam jangka waktu cukup lamaoleh karena masyarakat belum menyadarikeberadaannya sementara itu kondisi kehidupanmasyarakat demikian buruknya sehinggamembutuhkan perbaikan kehidupan. Olehsebab itu, identifikasi sumber daya berfungsiuntuk mengangkat sumber daya terpendam keatas permukaan realitas sosial sehingga dapatsegera dimanfaatkan dalam rangkapeningkatan taraf hidup. Dengan kata lain,identifikasi sumber daya juga dapat berartimengubah sumber daya yang masih latenmenjadi manifes.

B. Metodologi Penelitian

Kajian ini bersifat deskriptif, yaitumenggambarkan masyarakat desa sekitar hutandalam memanfaatkan lahan dan sumber dayaalam. Penentuan lokasi ditetapkan secarapurposive, yakni desa-desa interaksi TamanNasional Bukit Duabelas yang mempunyaipotensi lahan dan sumber daya alam sekaligusmenjadi ancaman bagi Taman Nasional BukitDuabelas. Desa-desa penelitian terletak di

Kecamatan Maro Sebo Ulu dan KecamatanBathin XXIV Kabupaten Batanghari. Desapenelitian adalah 1) Padang Kelapo, 2) SungaiRuan Ulu di Kecamatan Maro Sebo Ulu dan 3)Jelutih, dan 4) Hajran di Kecamatan Bathin XXIV.

Penetapan responden dengan meng-gunakan metode kuantitatif dalam kajian iniditetapkan secara purposive, yakni 10% kepalakeluarga (kk) dari masing-masing desa: PadangKelapo mempunyai 286 kk ditetapkan 29responden, Sungai Ruan Ulu mempunyai 445kk ditetapkan 44 responden, Jelutih mempunyai653 kk ditetapkan 66 responden dan Hajranmempunyai 158 kk ditetapkan 16 responden.Penetapan 10% kepala keluarga sebagairesponden sudah dianggap cukup meng-gambarkan keseluruhan keadaan kepalakeluarga di masing-masing desa, untuk itudigunakan kuesioner sebagai teknik pe-ngumpulan data.

Sedangkan metode kualitatif digunakanuntuk menjelaskan lebih jauh tentang berbagaihal yang mengakibatkan munculnya satukejadian, yang memberikan gambaran tentangvariabel penelitian. Teknik yang digunakanmeliputi interview mendalam, kelompok diskusidan triangulasi.Selain metode tersebut jugadigunakan metode partisipatif melalui kegiatanworkshop di desa yang dimaksudkan untukmengamati perhatian masyarakat desa padasumber daya desa dan bagaimana merekamerencanakannya. Sedangkan pengamatanuntuk melengkapi unit analisis tersebut dilakukanterhadap desa dan lembaga-lembaga yangterdapat di lokasi penelitian.

II. HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Wilayah

1. Keadaan Wilayah dan Jumlah PendudukDesa-desa Penelitian

Desa-desa penelitian secaraadministratif terletak di dua kecamatanyaitu desa Jelutih dan Hajran diKecamatan Batin XXIV. Sementara itu,desa Padang Kelapo dan Sungai Ruan Uluterletak di Kecamatan Maro Sebo Ulu.Desa-desa ini termasuk desa penyanggaTaman Nasional Bukit Duabelas terletakdi Kabupaten Batanghari. Desa Jelutihmempunyai luas wilayah 9.900 ha danberpenduduk 2.698 jiwa. Sebelah utara

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Page 39: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

35

berbatasan dengan desa Durian Luncuk,selatan berbatasan dengan desaMandiangin, barat dengan Maro SeboUlu dan timur dengan desa Olak Besarmerupakan desa penelitian terjauh dariibukota kabupaten (61 km) dan ibukotaprovinsi (121 km). Desa Hajran mempunyailuas wilayah 7.500 ha dan berpenduduk816 jiwa. Sebelah utara berbatasandengan desa Mata Goal, selatanberbatasan dengan desa Aur Gading dandesa Paku Aji, barat dengan Batas TNBDdan timur dengan Maro Sebo Ulu. DesaPadang Kelapo mem-punyai luas wilayah3.513 ha dan berpenduduk 1.407 jiwa.Sebelah utara berbatasan dengan desaRenah Sago, selatan berbatasan dengandesa Sei. Lingkar, barat dengan HPInhutani V dan timur dengan desa RantauGedang. Desa Sungai Ruan Ulumempunyai luas wilayah 5600 ha danberpenduduk 2.357 jiwa. Sebelah utaraberbatasan dengan desa RantauGedang,selatan berbatasan dengan desaHajran, barat dengan Sungai Lingkar dantimur dengan desa Sungai Ruan Ilir.

2. Kelembagaan Sosial dan Ekonomi diDesa-desa Penelitian

Secara umum kelembagaan sosialseperti Badan Perwakilan Desa (BPD) danLembaga pemberdayaan Masyarakat(LMD) secara formal telah terbentuk,namun dalam hal kinerja tidak banyakmemberikan kontribusi terhadap pem-bangunan desa, bahkan ada kesankeberadaannya masih di bawahkoordinasi oleh aparat pemerintahandesa. Hal ini juga menjadikan peranaparat pemerintahan desa lebih dominandalam mengatur dan melaksanakankinerja pembangunan desa.

Lembaga pendidikan utama yangterdapat di desa penelitian adalah sekolahdasar negeri (Inpres) dan sekolah agamaberupa Madrasah Ibtidaiyah (MI) yangdiselenggarakan secara swadaya olehmasyarakat. Kondisi fasilitas pendidikanjika dilihat per desa menunjukkan kondisiyang berbeda, baik dari jumlah murid danguru sekolah. Pada Madrasah Ibtidaiyah,desa Sungai Ruan Ulu saat ini tidak aktif

lagi akibat keterbatasan swadaya darimasyarakat. Dari keempat desa penelitianternyata fasilitas kesehatan dankeberadaan paramedis hanya terdapat didesa Jelutih dan Hajran. Desa PadangKelapo dan Sungai Ruan Ulu tidakmempunyai fasilitas kesehatan hal inimenjadikan kedua desa tersebut rentanterhadap masalah kesehatan danpengetahuan akan gizi masyarakat.

B. Karakteristik Responden

Berdasarkan jenis kelamin terbanyakadalah laki-laki sebanyak 143 orang (94%)dan perempuan sebanyak 10 orang (6%).Dilihat dari rata-rata tanggungan keluargamaka di desa Hajran sebesar 4,76 jiwa, desaJelutih sebesar 4,41 jiwa, desa Padang Kelaposebesar 6,68 jiwa dan desa Sungai Ruan Ulusebesar 4,18 jiwa. Responden di desa PadangKelapo mempunyai tanggungan keluargayang lebih banyak dibanding dengan ketigadesa lainnya, karena terdapat beberapakecenderungan pada rumah tangga.Kecenderungan itu antara lain adalah banyakanggota keluarga menjadi janda (+ 63orang) menjadi tanggungan keluarga inti,demikian juga dengan penduduk lanjut usia danmasih bergabungnya beberapa KepalaKeluarga (KK) dalam satu rumah tangga.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwamasyarakat desa Padang Kelapo rentanmenjadi Penyandang Masalah KesejahteraanSosial (PMKS) apabila tidak diantisipasi denganberbagai program pemberdayaan.

Tingkat pendidikan responden dilihat darilamanya bersekolah atau pendidikan formalyang ditempuh. Dari 153 responden di 4 desaterlihat bahwa 19 orang atau 8,67 % tidakpernah menempuh pendidikan di tingkat dasar(SD/MI), sebanyak 109 orang atau 71,33 %pernah menempuh pada pendidikan tingkatdasar (tidak tamat dan tamat SD/ MI) yangmerupakan pendidikan tertinggi mayoritasresponden. Rendahnya tingkat pendidikandisebabkan ketidaksediaan fasilitas sekolahmenengah yang dekat dengan desa penelitianuntuk melanjutkan pada pendidikan menengahanak-anak di desa penelitian paling tidak harusbersekolah di kota kecamatan. Di sisi lain, anakselepas pendidikan dasar bagi masyarakatdesa-desa penelitian mulai dapat memberikan

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Habibullah)

Page 40: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

36

sumbangan produktif kepada penghasilankeluarga. Sehingga apabila si anak berada disekolah akan berarti hilangnya sejumlahpenghasilan yang sedianya dapat dihasilkanoleh si anak tersebut bila ia menggunakanwaktunya untuk bekerja di tanah pertaniankeluarga. Hal ini menurut Todaro ( 1993:467)dinamakan biaya pendidikan yang bersifattidak langsung (opportunity cost of education).Dan hanya sebanyak 18 orang (12%)responden yang pernah dan tamat padapendidikan lanjutan pertama dan 10 orang(6,67%) pernah menempuh pendidikan lanjutantingkat atas, sedang sisanya pernah menempuhpendidikan tinggi setara akademi.

Mata pencaharian utama yang digelutilebih didominasi oleh pertama; orang yangberaktivitas sebagai petani karet berjumlah 97orang (64,67%) dan kedua, orang yangberaktivitas sebagai pembalok berjumlah 26orang (17,34%). Jika dilihat untuk masing-masing desa, sebagai petani karet lebih banyakdilakukan oleh responden di desa Jelutih yaitu34 % dari total responden, diikuti oleh PadangKelapo yaitu 14%, dan Sungai Ruan Ulusebanyak 12 persen, sementara Hajran hanya4,67 persen. Aktivitas sebagai pembalokbanyak ditemui di Sungai Ruan Ulu (13,34 %),Hajran (2,67 %) dan Jelutih (1,34 %). Aktivitasini tidak ditemui pada responden di DesaPadang Kelapo.

Untuk aktivitas di luar petani karet danpembalok bervariasi antara 0,67 – 2 % dari150 responden yang meliputi antara lainsebagai peternak, buruh (angkut balok,bangunan, mencuci pakaian), berdagang,PNS/ Guru, jasa penyeberangan, ojek, opera-

tor chain shaw, Sopir, Tukang kayu, Tauke (balok,karet) dan tidak bekerja sama sekali.

C. Kepemilikan dan Kondisi Lahan,Produksi, Pemasaran dan SistemPembayaran

Responden di desa Hajran yangmenyatakan memiliki lahan sebesar 88,24%,desa Jelutih sebesar 88,52%, desa PadangKelapo sebesar 92,86% dan desa Sungai RuanUlu sebesar 61,35%. Berdasarkan persentaseini, terlihat bahwa responden yang tidak memilikilahan yang tertinggi adalah di Desa SungaiRuan Ulu (38,64%) hal ini disebabkan sebagianbesar masyarakatnya masih bertumpu kepadapemanfaatan sumber daya alam hutanmeskipun pemanfaatannya secara ileggal dikawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.

Dari 153 orang responden di 4 desa yangmenjadi lokasi penelitian, kepemilikan lahanpertanian dibagi menjadi kepemilikan lahanperkebunan karet, lahan sawah, lahanperkebunan kelapa sawit, belukar ( belukar tuadan belukar muda), sesap, kepemilikan lahandan sama sekali tidak mempunyai lahan.Berdasarkan hal tersebut, kepemilikan lahanperkebunan karet lebih mendominasi denganjumlah responden sebanyak 109 orang atau71,34%. Jika dilihat dari prosentase kepemilikanlahan karet untuk masing-masing desa, di desaJelutih sebanyak 85,25%; 76,47% dariresponden yang ada di desa Hajran,sedangkan di Padang kelapo dan S. Ruan Uluyang menyatakan memiliki lahan karet masing-masing 71,43% dan 50% dari total respondendi desa tersebut. Lebih rinci kepemilikan lahankaret berdasarkan luasannya dapat dilihatpada tabel 1.

Luas ( ha) Desa

0 –2 (%) 2 – 5 (%) 5 –10(%) > 10 (%)

Hajran 61,54 23,08 0 15,38

Jelutih 19,23 48,08 21,15 11,54

Padang Kelapo 5 55 10 30

Sungai Ruan Ulu 54,55 27,27 13,64 4,55

Sumber : diolah dari data primer

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan Karet

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Page 41: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

37

Dari tabel tersebut menunjukkan di desaHajran sebesar 61,54% responden luasankebun karet 0-2 ha, luasan 2-5 ha dan > 10ha masing-masing 23,08% dan 15,38%. Didesa Jelutih didominasi luasan lahan 2-5 hayaitu sebesar 48,08 ha, sedangkan 5-10 hasebesar 21,15%. Sedangkan di Padang Kelaposebanyak 55% memiliki lahan karet seluas 2-5ha dan 30% dengan luasan lebih dari 10 Ha.Sementara itu desa S. Ruan Ulu didominasipemilik lahan seluas 0-2 ha yaitu 54,55 %,sedangkan yang mempunyai lahan karet lebihdari 10 ha hanya 4,55 dari responden yangada. Berdasarkan grafik 1. sebanyak 33 or-ang atau 18,67 persen dari total respondenmenyatakan memiliki lahan sawah. Jika dilihatper desa responden terbanyak yang memilikilahan sawah terdapat di desa Padang Kelapo(67,86%), disusul desa Sungai Ruan Ulu(31,82%). Sedangkan desa Jelutih dan Hajrantidak ditemui responden yang mempunyai lahansawah. Sedang luasan sawah respondentersebut untuk di Padang Kelapo cukup merata,yaitu kurang 1 ha sebanyak 21,05%, 1-5 hasebesar 31,57%, dan 5-10 ha serta lebih dari10 ha masing-masing 26,31% dan 21,05%,Sedangkan di desa S. Ruan Ulu rata-rataresponden mempunyai luasan sawah 1-5 hasebesar 64,28% dan untuk sawah seluas 0-1ha sebesar 35,71% dari responden yangmemiliki sawah. Mengenai kepemilikan lahankelapa sawit dari 150 responden yangmenyatakan memiliki sebanyak 3 orang atau10,7% di Desa Padang Kelapo, Desa Jelutihsebanyak 1 orang (1,63%). Besarnya produksi

karet, ada perbedaan jika menyadap padakaret sendiri dengan menyadap karet oranglain, dan juga tergantung dengan periodebulan basah atau bulan kering pada saatpenyadapannya.

Grafik 1. Kepemilikan Lahan Karet, Sawah dan Sawit

Di desa Hajran pada saat bulan basahuntuk karet sendiri dapat dihasilkan sebanyakrata-rata 226,67kg/bulan, sementara untukkaret orang lain dapat dihasilkan sebanyak 405kg/bulan. Pada bulan kering, penyadapan karetmilik sendiri menghasilkan 420 kg/bulan,sementara untuk karet orang lain dihasilkan592,22 kg/bulan. Hal yang agak mencolokterjadi di desa Padang Kelapo, dimana padaperiode bulan basah penyadapan karet miliksendiri sebanyak 266,67 kg/bulan sementarauntuk karet milik orang lain hanya menghasilkan52 kg/ bulan. Pada bulan kering dihasilkan 605kg/bulan karet milik sendiri sementara untuk karetorang lain hanya 357,78 kg/bulan. Lebih rincidapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Produksi Karet Responden Berdasarkan Periode Bulan Basah dan Bulan Kering

Kepemilikan Lahan Karet, Sawah dan Sawit

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Karet 76.47% 85.25% 71.43% 50.00%

Sawah 0.00% 0.00% 67.86% 31.82%

Sawit 0.00% 1.64% 10.71% 0.00%

Hajran Jelutih P. Kelapo S. Ruan

Sumber: diolah dari data primer

Karet Sendiri Karet Orang Lain Desa Bulan basah

(Kg) Bulan kering

(Kg) Bulan basah

(Kg) Bulan kering

(Kg)

Hajran 226,67 420 405 592,22

Jelutih 213 345,29 324,28 463,39

Padang Kelapo 266,67 605 52 357,78

Sungai Ruan Ulu 150 150 193,34 340 Sumber: diolah dari data primer

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Habibullah)

Page 42: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

38

Angka produksi karet tersebut, terutamakaret milik orang lain masih harus dibagi antarauntuk penyadap dengan pemiliknya. Daripernyataan responden kecenderungan tentangsistem bagi hasil/desa, untuk desa Hajran danJelutih memakai pola 1:2 yaitu 1 (satu) bagianuntuk pemilik tanaman karet dan 2 (dua) bagianuntuk penyadap. Sedangkan desa PadangKelapo dan Sungai Ruan Ulu pola umum yangdipakai adalah 1:3 1 (satu) bagian untukpemilik tanaman karet dan 3 (tiga) bagian untukpenyadap.

Pemasaran hasil karet masyarakatumumnya dilakukan di desa karena padaempat desa penelitian terdapat pedagangpengumpul dan cenderung menjual pada satupedagang pengumpul tertentu (tauke). Jika

dilihat alasan yang dominan menjual getah ketauke; di Hajran sebanyak 5 responden dari 7responden yang berkegiatan menyadap karet(71,43%) beralasan bahwa itu karet tauke.Alasan yang sama sebesar 39,21% respondenditunjukkan di Jelutih. Disusul dengan alasantelah mendapat pinjaman/hutang dari taukeyaitu sebesar 31,37%. Di Padang Kelapo alasanyang dominan adalah karena karetnya miliktauke (47,62%) sedangkan pemotong karettelah mendapat pinjaman dari tauke sebesar19,05%. Sementara itu di S. Ruan Ulu mayoritaspemotong menjual ke tauke tertentu karenaalasan harga yang tinggi (44,44 %) dan yangmenjual secara bebas, tidak terikat pada tauketertentu sebesar 33,33 %. Rincinya dapat dilihatpada tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Responden di Daerah Penelitian BerdasarkanAlasan Menjual Karet Pada Tauke di Desa.

Alasan menjual ke toke sekarang Hajran Jelutih P. Kelapo S. Ruan Total

Keluarga 1 2 1 4

Bisa ambil belanja 1 1 2

Dapat pinjaman 16 4 2 22

Dekat kebun 1 1 2

Dijemput Toke 2 2

Harga dianggap layak 7 2 8 17

Karet toke 5 20 10 1 36

Mudah berunding 1 1

Terikat jasa sosial 1 1

Tidak ada modal 1 1

Jual Bebas (tidak tergantung toke tertentu) 1 1 6 8

Total 7 51 21 18 97

Sumber : diolah dari data primer

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Page 43: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

39

Adapun sistem pembayaran dari polapenjualan karet kepada tauke di empat desayang diteliti memperlihatkan adanyakecenderungan membayar tunai kepadapenyadap dan membayar selisih antara nilaipenjualan dengan pinjaman yang telahdiberikan kepada penyadap sebelumnya.Pinjaman barang berupa kebutuhan sehari-hariyang diambil oleh penyadap dari tauke yangbersangkutan. Sebanyak 57,14% respondenyang berkegiatan ekonomi karet di DesaHajran menerima pembayaran tunai, di PadangKelapo sebanyak 90,48% dan 77,7 % di S.Ruan Ulu. Sementara di Jelutih hanya 19,61 %yang menyatakan mendapatkan pembayarantunai dari penjualan hasil karetnya, sedangkanmayoritasnya (80,39 %) berupa pinjamanterlebih dahulu kepada tauke.

D. Prospek Ekonomi Desa

Berdasarkan luasan kebun karet yangdimiliki oleh responden di empat desa yangditeliti maka didapatkan gambaran tentangprospek ekonomi ke depan terutama dari sektortanaman karet. Dilihat dari per desa yang pal-ing tinggi adalah Hajran dimana kepemilikankaret usia 1-5 tahun dan 5-10 tahun masing-masing 35,29 % dan 23,53 %. Sedang yangpaling mengkuatirkan adalah Sungai Ruan Uludimana kepemilikan kebun karet usia 1- 5 tahunhanya 4,54 %, sedangkan 5-10 tahun 18,18% dari responden yang ada. Lebih lengkapnyabisa lihat tabel 5. berikut:

Tabel 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan LahanKaret yang Belum Disadap dan Umur Tanaman

Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Sistem PembayaranPenjualan Karet Pada Tauke di Desa

Tunai Pinjaman Total

Desa Jml % Jml % Jml %

Hajran 4 57,14 3 42,86 7 100

Jelutih 10 19,61 41 80,39 51 100

P. Kelapo 19 90,48 2 9,52 21 100

S. Ruan Ulu 14 77,78 4 22,22 18 100

Sumber : diolah dari data primer

Tahun Umur Tanaman Karet Desa

1 – 5 5 - 10 > 10

Hajran 6 35,29 % 4 23,53 % 1 5,88

Jelutih 16 26,22 % 10 16,39 % 0 -

P. Kelapo 3 10,71 % 2 7,14 % 0 -

S. Ruan 2 4,54 % 8 18,18 % 0 -

Sumber : diolah dari data primer

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Habibullah)

Page 44: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

40

Sedangkan jika dilihat dari kepemilikankaret responden yang belum disadap; di desaJelutih didapati 42,62 %, Sungai Ruan Uludijumpai 22,73 %. Sementara desa PadangKelapo dari 28 reseponden hanya 2,5 % yangmemiliki tanaman karet belum disadap. Darikondisi ini dapat disimpulkan bahwa keadaanresponden di desa Padang Kelapo untuk 5tahun ke depan akan tetap berada dibawahdari responden di tiga desa lainnya. Disamping bergerak dalam aktivitas ekonomiutama di usaha pertanian dan perbalokan,ditemukan juga beberapa responden yangbekerja di luar sektor pertanian (non-farm)walaupun saat ini masih bersifat sebagai usahasampingan. Usaha sampingan di desa Jelutihterbanyak adalah dagang yaitu 4 responden(6,56 %), sedangkan di Sungai Ruan Ulu adalahdagang dan ojek masing-masing 3 orang(6,82 %).

E. Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang di desa tergambarkandari berbagai kegiatan masyarakat di desapenelitian. Secara fisik kegiatan ini dapatdibedakan menjadi kegiatan yang berada dilingkungan desa dan di luar lingkungan desa.Kegiatan di luar lingkungan desa padakenyataannya merupakan tempat yangdigunakan oleh masyarakat secara bersama,berupa interaksi antara desa. Kegiatan yangdilakukan di lingkungan desa antara laindigunakan untuk kegiatan: sawah, ladang,penggembalaan, kebun karet, kebun sawit danbelukar secara historis masing-masing kegiatanini berbeda latar belakangnya antara satu desadengan desa penelitian lainnya.

1. Sawah

Sawah diartikan sebagai hamparanyang digunakan petani untuk bercocoktanam pangan, utamanya padi yangmenggunakan irigasi maupun tadahhujan. Di desa Padang Kelapo hamparansawah terdapat belakang perkampungan.Luas lahan yang digunakan untuk sawahadalah 112 ha. Dengan kondisi sekarang,sawah yang dapat diairi oleh irigasi adalah90 ha.

Masyarkat desa Sungai Ruan Ulumelakukan kegiatan bersawah bersama-sama dengan penduduk Sungai Lingkar

pada hamparan yang bersifat tadahhujan. Pada musim hujan atau pasang naikmasyarakat mengharapkan akan turun kesawah karena lahan dapatdiolah. Akan tetapi jika musim hujan yangtidak sesuai dengan kebutuhan dapatmendatangkan bencana. Masyarakatdesa Hajran tidak mempunyai kegiatanbersawah dari penjelasan masyarakatdesa, kebiasan bersawah ditinggalkanmasyarakat ketika kegiatan bebalok(memanfaatkan hasil hutan berupa kayu)marak terjadi.

2. Ladang

Kegiatan berladang masyarakatterlaksana dengan pola subsisten, hampirtidak ditemui adanya hamparan khususyang digunakan untuk berladang.Kehidupan berladang menjadi langkabukan saja karena pengetahuanmasyarakat tentang pengembangantanaman kurang, akan tetapi jugadikarenakan intensifnya gangguan dariberbagai ternak seperti kerbau dankambing. Oleh karena itu tidak meng-herankan kendala masyarakat dalammengembangkan ladang adalah karenaadanya ancaman dari berbagai jenisternak yang ada di desa. Ladang termasuksawah pada kenyataaannya harus diberipagar agar terhindar dari gangguanternak-ternak yang ada didesa.

3. Kebun karet

Kebun karet merupakan wilayahperuntukan lahan terbesar di desa-desapenelitian. Hampir seluruh kebun karetmenggunakan bibit lokal, yang lebihdikenal dengan bibit sapuan. Produktivitasrata-rata pernyadap 1,25 kuintal/mingguuntuk luas lahan kira-kira 2 ha, denganhari kerja selama lima hari dalamseminggu.

F. Aksesibilitas Desa

Aksesibilitas yang menonjol di desa-desapenelitian adalah adanya keterjangkauanmasyarakat terhadap sumber daya hutan yangterletak di Taman Nasional Bukit Duabelas.Sumber daya ini menjadi pusat aktivitasmasyarakat desa-desa penelitian. Surat

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Page 45: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

41

Keputusan Menteri Kehutanan dan PerkebunanNo.258/Kpts-II/2000 pada tanggal 23 Agustusmenyebutkan, antara lain bahwa kawasanTaman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) berasaldari perubahan fungsi sebagian hutan produksiterbatas Serengam Hulu seluas 20.700 ha dansebagian hutan produksi tetap Serengam Hilirseluas 11.400 ha serta penunjukan sebagianareal penggunaan lain seluas 1.200 ha dankawasan suaka alam dan pelestarian alam(cagar biosfer) seluas 27.200 ha, dengandemikian luas TNBD menjadi 60.500 ha.

Sebagai Taman Nasional maka TNBDditujukan sebagai kawasan pelestarian jenis danekosistem, aspirasi generasi mendatang, ilmudan pengetahuan dan teknologi, edukasi,rekreasi dan budaya. Pada saat ini arahpembukaan lahan (perladangan dan kebunkaret) penduduk desa interaksi tersebut lebihbanyak ke arah kawasan TNBD. Masyarakatdesa Paku Aji dan Hajran banyak yangmembuka lahan di kiri kanan mudik daerahSungai Serengam sampai ke Muara SungaiTerab dan di sekitar daerah Sungai Nemantan(areal perkebunan sawit PT. SDM), sedangkanpenduduk desa Jelutih banyak yang membukalahan (sekitar 80 KK) antara Sungai Serengam(sampai ke Sungai Bangkai Anjing) dan SungaiJelutih, atau di dalam dan sekitar areal HTI PT.Wana Perintis dan perkebunan sawit PT. EMAL.Daerah hulu Sungai Jelutih dan Sungai BangkaiAnjing menjadi daerah perebutan pembukaanlahan dengan Desa Baru Kecamatan Pauh.

Masyarakat desa sebagian besar me-manfaatkan sumber daya hutan berupa kayu(bebalok) untuk sumber penghasilan danpendapatan. Kegiatan bebalok biasanyadilakukan oleh bujangan dan kepala keluargayang masih berusia muda atau masihbesar kekuatan fisiknya. Masyarakat desamenganggap bahwa sumber daya hutan masihcukup tersedia antara 2–3 tahun lagi dandidukung oleh permintaan kayu masih terusmengalir, termasuk kehadiran pabrik sawmillyang aksesnya relatif dekat dengan desamereka. Keberadaan Sawmill terdapat di desaMuara Jangga 1 (satu) pabrik sawmill(pengolahan kayu menjadi papan) dan desaTeluk Leban ada 4 (empat) pabrik sawmill dandi desa Sungai Rengas ada 1 (satu) pabriksawmill.

G. Infrastruktur Ekonomi

Sarana ekonomi di pedesaan dirancangoleh pemerintah dengan menggunakanKoperasi Unit Desa (KUD). KUD diharapkanmampu menggerakkan potensi ekonomi desa,meningkatkan posisi tawar masyarakat desaterhadap pelaku ekonomi pada jenjangperekonomian yang lebih tinggi. Pada masalalu diperoleh bukti keberadaan KUD sebagaialat penggerak ekonomi di desa-desapenelitian. Selain dengan KUD, pembenahankelembagaan di pedesaan juga dilakukanmelalui perangkat pemerintahan desa yangmenginisiasi dan mengelola berbagai programpembangunan di perdesaan. Keadaan saranaekonomi ini dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Sarana Ekonomi KUD, Individu dan Perangkat KadesPada Masing-Masing Desa Lokasi Penelitian

No

Desa

KUD (Past)

KUD

(Existed)

Warga Desa

Secara Individu

Perangkat

Kades

1 Padang Kelapo - - Toke Balok dan getah

-

2 Sungai Ruan Ulu

Ruan Putra - Toke Balok dan getah

-

3 Hajran

Empat Sekato

- Toke Balok dan getah

Simpan pinjam PKK

4 Jelutih

Harapan Sejahtera

- Toke Balok dan getah

-

Sumber : Hasil penelitian

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Habibullah)

Page 46: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

42

Masing-masing koperasi di desa penelitianmempunyai peranan yang hampir sama,keberadaannya hanya rangka memanfaatkansumber daya hutan. Di desa Sungai Ruan Uluterdapat Koperasi Ruan Putra yang mendapatIzin Pemanfaatan Kayu (IPK). Peran Koperasibagi pembangunan desa hanya terbatasmenyediakan dana untuk membangun Mesjiddan Kantor Kepala Desa dari hasil penerimaandi bidang perkayuan.

Demikian juga dengan Hajran terdapatKoperasi Empat Sekato yang pada akhirnyajuga tidak mendapat tempat di masyarakatkarena dicurigai hanya mengambil keuntunganuntuk koperasi itu sendiri tanpa memperhatikankepentingan masyarakat desa.

H. Kegagalan-Kegagalan Program-Program Pembangunan Desa

Program pembangunan yang pernahdialami oleh desa-desa penelitian adalahprogram Inpres Desa Tertinggal (IDT). Keempatdesa penelitian masuk dalam kategori DesaTertinggal yang mempunyai pengalaman samayaitu gagal dalam menjalankan programtersebut. Dari hasil pendalaman terhadapberbagai kegagalan ini dapat dijelaskanpenyebab-penyebabnya antara lain adalahsebagai berikut:

a) Bidang usaha yang dipilih oleh KelompokMasyarakat merupakan bidang usahayang tidak didukung oleh kompentensimasyarakat untuk mengembangkannya.Sebagaimana digariskan bahwa jeniskomoditi yang dikembangkan dalam pro-gram IDT adalah jenis komoditi yangmudah dipasarkan marketable akan tetapipada kenyataannya masyarakat tidakmempunyai keahlian dalam mengelolajenis komoditi yang dikembangkan. Jeniskomoditi yang pernah dikembangkan diempat desa ini antara lain adalah ternaksapi, kambing, keramba dan tanamansemusim seperti cabai.

b) Kegagalan juga dikarenakan tidakadanya penyiapan kelembagaan ditingkat desa yang mampu mengelolaKelompok Masyarakat (Pokmas) dimanasetiap penerima terhimpun. Kegagalan iniditambah lagi bahwa secara program, IDT“terputus” dari program pembangunanyang dilaksanakan oleh pemerintahkabupaten.

c) Praktek-praktek “kolusif” juga menjadisalah satu penyebab kegagalan IDT.Pengadaan sapi, dan kambing diketahuioleh masyarakat tidak sesuai dengankriteria yang disusun bersama olehkelompok.

Dari hasil workshop yang adakan di empatdesa penelitian muncul keinginan masyarakatuntuk turut serta dalam membudidayakankelapa sawit. Keinginan ini berkaitan denganprogram kabupaten Batanghari yang me-rencanakan akan menjadikan desa-desapenelitian untuk dijadikan daerah tujuantransmigrasi dengan komoditas adalah kelapasawit. Kedua hal ini disebabkan dengankenyataan:

a) keinginan masyarakat untuk mempunyailahan sawit sangat tinggi, dengan alasanbahwa keempat desa ini merupakan desayang tidak terjamah oleh programpemerintahan kabupaten Batangharidalam membudidayakan sawit.

b) Bila dilakukan program transmigrasi,maka ke empat desa ini sangat berharapbahwa mereka terlibat ke dalam bentukprogram yang akan dilaksanakandengan harapan program membawaperubahan kehidupan masyarakatsetempat terutama setelah hutan sudahtidak dimanfaatkan lagi.

Masyarakat memang tertarik untukmenanam sawit dengan berbagai programkemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit akan tetapimasyarakat desa Hajran mempunyaipengalaman pahit dengan PT. Sawit DesaMakmur yang hanya mengambil keuntungandari pengambilan kayu-kayu dari lahan yangakan disiapkan menjadi lahan kebun sawit.

I I I. KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan sebelumnyadapatlah ditarik berbagai kesimpulankaret merupakan komoditas potensialpengembangannya bagi desa-desa sekitarhutan di kabupaten Batanghari. Hal inidisebabkan masyarakat sudah berpengalamandalam membudidayakan komoditas ini terbukti

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 33-43

Page 47: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

43

dengan mata pencaharian masyarakat yangmayoritas petani, kepemilikan kebun karet,luasan peruntukkan wilayah untuk kebun karetnamun masyarakat masih ada yang tergiuruntuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayuillegal yang diambil dari Taman Nasional BukitDuabelas karena adanya desakan kebutuhanhidup dan pendapatan yang besar walaupunsesaat.

Ada beberapa kendala sosial ekonomiyang dihadapi masyarakat dalam mem-budidayakan karet antara lain; terjebak denganpinjaman tauke sehingga harga di masyarakatjauh lebih rendah dibandingkan harga pasarsementara keberadaan KUD belum begitudapat diterima masyarakat.

B. Rekomendasi

Pola pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam dilakukan masyarakat sekitar hutandengan mengandalkan budidaya karetmerupakan sumber ekonomi jangka panjangoleh karena itu berbagai program pem-berdayaan masyarakat sekitar hutan harus lebihberorientasi pada sumber daya lokal tanpamengesampingkan aspek ekologi yang ada.Namun untuk budidaya karet bukan hanyabagaimana cara menanam karet yang baikdengan pemilihan bibit unggul, pemberianpupuk dan pembasmian hama akan tetapiharus mempertimbangkan kondisi sosialekonomi masyarakat desa yang masih terjeratdengan pinjaman tauke sementara infrastrukturKUD belum dapat di terima sepenuhnya olehmasyarakat. Oleh karena itu perlu pembenahanKUD dan pembenahan berbagai programpemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1997. Evaluasi Pelaksanaan Pelita VI Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. Laporan akhir, KerjasamaBappeda Tingkat I Jambi dengan Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

—————, 2000. Kecamatan Bathin XXIV dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari,Muara Bulian

—————, 2000. Kecamatan Maro Sebo Ulu dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari,Muara Bulian

Arifin, B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia, Perspektif Ekonomi, Etika, dan PraksisKebijakan, Erlangga, Jakarta.

Redclift, M., 1987. Sustainable Development: exploring the contradictions, Methuen, London and NewYork.

Soetomo, 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Todaro, Michael, 1999. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta

Tyler, Sthepen, R. 1999. Policy Implication Of Natural Resource Conflict Management, in Buckle, D,Editor Cultiating Peace Conflict And Collaboration in Natural Reource Management, The WorldBank.

BIODATA PENULIS :

Habibullah, Menyelesaikan kuliah di Jurusan Ilmu Sosiatri Fisipol Universitas Gadjah MadaYogyakarta tahun 2003, sempat bekerja sebagai Fasilitator Desa di Komunitas Konservasi Indo-nesia-Warsi (KKI-Warsi) LSM Program Habitat and Resources Management for the Kubu, sekarangsebagai Staf Bidang Program Puslitbang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI.

Pemanfaatan Lahan dan SDM dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Habibullah)

Page 48: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

44

MENCEGAH MENJADI ANAK JALANAN DAN

MENGEMBALIKANNYA KEPADA KELUARGA MELALUI

MODEL COMMUNITY BASED

Hari Harjanto Setiawan

ABSTRAK

Anak-anak di Kampung Pedongkelan mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Hal inidisebabkan ketidakmampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, sehingga mendorong anak untukbekerja sebagi pengamen, penjual koran, atau pedagang asongan. Secara umum, anak-anak masih tinggalbersama keluarga. Karena mereka mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan, maka pendekatanyang harus dilakukan adalah melalui pendekatan komunitas. Program yang dilaksanakan adalah melaluiprogram income generating dan mendorong komunitas untuk turut serta mendorong potensi keluarga.Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhansosial, melindungi anak-anak sesuai dengan haknya.

Kata kunci : Anak Jalanan, Community Based, Keluarga

I . PENDAHULUAN

Pendorong anak lari dari rumah dan hidupdi jalan adalah penelantaran dan pengabaianoleh keluarga. Penelantaran sebagai dampakkemiskinan keluarga yang ditampilkandalam bentuk ketidak mampuan fisik dansosial. Dalam Pola Dasar PembangunanKesejahteraan Anak (Departemen Sosial RI,1996), dikemukakan bahwa anak terlantardapat dikarenakan orang tua melalaikankewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidakdapat terpenuhi dengan wajar, baik secararohani, jasmani dan sosial.

Pada seminar Nasional “Children On Fire”di Hotel Savoy Homan Bandung yang berjudulKebijakan Penanganan Anak Jalanan Di Indo-nesia, dikemukakan bahwa pemahamanterhadap situasi anak jalanan saja tidak akanmemberikan jalan keluar yang efektif. Agarsebuah intervensi efektif, maka diperlukanpemahaman yang menyeluruh mengenaimasyarakat dan keluarga anak jalanan.Pemahaman makro (struktural) dan mikro(dinamika keluarga) sangat dibutuhkan(Irwanto, 1999:2).

Departemen sosial sudah melaksanakanbeberapa program penanganan anak jalananyang bekerja sama dengan lembagainternasional antara lain United Nation Devel-

opment Program (UNDP) dalam uji coba 10rumah singgah di 7 propinsi di Indonesia; AsianDevelopment Program (ADB) dalam progranSocial Protection Sector Development Program(SPSDP) dan Health and Nutrition Sector Devel-opment Program (HANSDP). Program tersebutdiberikan kepada anak jalanan dalam bentukpendampingan, pelatihan ketrampilan,pemberian makanan tambahan danpemberian beasiswa bagi anak yang sekolahmelalui model rumah singgah.

Ada 3 model penanganan anak jalananantara lain : penanganan berbasis jalanan(street based), penanganan anak jalananterpusat (center based), dan penanganan anakjalanan berbasis komunitas (community based).Dalam prakteknya lebih banyak diterapkanmodel street based dan center based, padahalmodel community based tidak kalah pentingnyadibandingkan pendekatan yang lainnya karenamasing-masing pendekatan mempunyaikelemahan dan kelebihan.

Penanganan anak jalanan sampai saat inicenderung lebih dititik beratkan pada upayapemberdayaan langsung kepada anak.Keberadaan keluarga atau orang tua anakjalanan yang cenderung sebagai penyebabanak turun ke jalanan belum tersentuhpelayanan secara optimal. Padahal dilihat dariperkembangannya, penyebab banyaknya anak

Page 49: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

45

jalanan dikota-kota besar bersumber darikeluarga yang mengalami kemiskinan maupunkeretakan hubungan orang tua. Bila dilihat lebihjauh lagi ada dua faktor utama yaitu: pertama,ketidak siapan orang tua melakukan pernikahanbaik fisik maupun mental. Kedua, faktoreksternal yang disebabkan karena faktorekonomi seperti terjadinya krisis ekonomi yangmenyebabkan terjadinya pemutusan kerjasecara masal. Anak yang berada dalam kondisikeluarga seperti itu mempunyai resiko sangattinggi (children at high risk).

Salah satu wilayah yang banyak anakjalanannya adalah Kampung Pedongkelan.Dalam kondisi ini, pencegahan yang palingtepat agar anak tidak menjadi anak jalananadalah penguatan fungsi keluarga. Sehinggamodel berbasis masyarakat (community based)perlu untuk dikembangkan selain kedua modelyang lain. Inilah yang mendorong untukmelakukan penelitian di wilayah tersebut.

I I . PERMASALAHAN

Konsekuensi logis dari perkembangankota Jakarta sebagai kota metropolitan adalahlahirnya kantong-kantong pemukiman kumuhsebagai akibat kemiskinan yang dialami olehwarga di wilayah tersebut. Kondisi ini melahirkantuntutan untuk kontribusi pendapatan dari seluruhkeluarga agar dapat mempertahankankelangsungan hidupnya tak terkecuali anak-anak dibawah umur. Salah satu wilayah yangtermasuk dalam kriteria ini adalah KampungPedongkelan. Sebagai akibat ketidakmampuankeluarganya, anak-anak dari wilayah initerpaksa bekerja sebagai pengamen, pe-dagang asongan maupun sebagai tukangparkir. Anak seperti ini kita kenal dengan istilahanak jalanan. Mereka dianggap sebagaipermasalahan sosial karena selain meng-ganggu ketertiban umum juga kurangterpenuhinya hak mereka sebagai seoranganak. Kita kembalikan kepada keluarganyadengan memperkuat fungsi-fungsi keluarga.Sehingga dalam penelitian ini akan menjawabpermasalahan umum penelitian yaitu“Bagaimana mencegah anak untuk menjadianak jalanan dan mengembalikannya kepadakeluarga melalui model community Based ?”dari permasalahan umum penelitian tersebut,secara khusus penelitian ini akan menjawab :

1. Bagaimana kehidupan keluarga anakjalanan di Kampung Pedongkelan?

2. Model community based seperti apa yangdapat dikembangkan diwilayah tersebut?

I I I. TUJUAN

Penelitian menemukan ini secara umumbertujuan untuk model penanganan anakjalanan yang berbasis masyarakat sehinggadapat memberikan masukan kepadapemerintah, LSM maupun masyarakat dalammencegah anak untuk menjadi anak jalanandan mengembalikannya kepada keluarga.Dan secara khusus penelitian ini bertujuan :

1. Menggambarkan kehidupan keluargaanak jalanan di Kampung Pedongkelan

2. Menemukan model community basedyang dapat dikembangkan diwilayahtersebut.

IV. DEFINISI KONSEP

A. Anak Jalanan

Banyak istilah yang ditunjukkan kepadaanak jalanan seperti anak pasar, anak tukangsemir, anak lampu merah, peminta-minta,anak gelandangan, anak pengamen dansebagainya. Menurut Lusk (1989, 57-58), yangdimaksud anak jalanan adalah “...any girl orboy...for whom the street (in the widest sense ofthe word, including unoccupied dwellings, waste-land, etc.) has become his or her habitual abodeand/or source of livelihood; and who is inad-equately protected, supervised, or directed by re-sponsible adults. […setiap anak perempuan ataulaki-laki…yang memanfaatkan jalanan (dalampandangan yang luas ditulis, meliputi tidakpunya tempat tinggal, tinggal di tanah kosongdan lain sebagainya) menjadi tempat tinggalsementara dan atau sumber kehidupan; dantidak dilindungi, diawasi atau diatur olehorang dewasa yang bertanggung jawab.

Definisi anak jalanan yang disusun pesertalokakarya nasional anak jalanan DEPSOS bulanOktober 1995, yang dimaksud anak jalananadalah anak yang sebagian besar waktunyauntuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan atau tempat-tempat umum lainnya”.Usia anak jalanan berkisar antara 6 sampai

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga (Hari Harjanto Setiawan)

Page 50: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

46

dengan 18 tahun. Rentang usia ini dianggaprawan karena mereka belum mampu berdirisendiri, labil mudah terpengaruh dan belummempunyai bekal pengetahuan danketrampilan yang cukup. Di jalanan memangada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi merekabiasanya dibawa orangtua atau disewakanuntuk mengemis. Memasuki usia 6 tahunbiasanya dilepas atau mengikuti temannya.Anak-anak yang berusia 18 sampai dengan 21tahun dianggap sudah mampu bekerja ataumengontrak rumah sendiri bersama teman-temannya.

Anak jalanan dikelompokkan menjadi 3tipologi yaitu anak yang mempunyai resikotinggi (children at high risk), anak yang bekerjadi jalan untuk membantu keluarganya (childrenon the street) dan anak yang hidupkesehariannya di jalan (children of the street).Ketiga tipologi anak jalanan tersebutmempunyai karakteristik yang berbeda sehinggamodel penanganannya juga berbeda. Dalampenelitian ini anak jalanan yang dimaksudadalah yang tergolong dalam kategori childrenat high risk dengan usia dibawah 18 tahun.

B. Model Penanganan Anak Jalanan

Menurut Departemen Sosial RI (1995), ada3 model penanganan anak jalanan yaitu streetbased, center based dan community based.Masing-masing model ini memiliki kelemahandan kelebihan tertentu.

Community based adalah modelpenanganan yang berpusat di masyarakatdengan menitik beratkan pada fungsi-fungsikeluarga dan potensi seluruh masyarakat.Tujuan akhir adalah anak tidak menjadi anakjalanan dan mereka tetap berada di lingkungankeluarga. Kegiatannya biasanya meliputipeningkatan pendapatan keluarga, penyuluhandan bimbingan pengasuhan anak, kesempatananak untuk memperoleh pendidikan dankegiatan waktu luang dan lain sebagainya.Street based adalah kegiatan di jalan, tempatdimana anak-anak jalanan beroperasi. Pesansosial menciptakan perkawanan, mendampingidan menjadi sahabat untuk keluh kesah mereka.Anak-anak yang sudah tidak teratur ber-hubungan dengan keluarga, memperolehkakak atau orang tua pengganti denganadanya pekerja sosial. Center based yaitukegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudahputus dengan keluarga. Panti menjadi lembagapengganti keluarga untuk anak dan memenuhikebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan,ketrampilan waktu luang, makan, tempattinggal, pekerjaan dan lain sebagainya. Openhouse (Rumah terbuka/Rumah singgah) diberbagai negara untuk melengkapi pendekatanyang sudah ada, termasuk di Indonesia.Keunikannya adalah mampu digunakan untukmemperkuat ketiga pendekatan diatas.

Berikut adalah tipologi anak jalanan yangdihubungkan dengan model dan fungsiintervensi :

TIPOLOGI ANAK JALANAN

KATEGORI ANAK MODEL INTERVENSI FUNGSI INTERVENSI

Anak yang mempunyai resiko tinggi menjadi anak jalanan (Children at high risk)

Community based

Preventif

Anak yang bekerja di jalanan (Children in the street)

Street based

Street education

Anak yang hidup di jalan (Children

of the street)

Center based

Rehabilitatif

Corectional

Sumber : Lusk (1989, 67-74)

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

Page 51: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

47

Model Penanganan Anak Jalanan BerbasisMasyarakat (Community based ) adalah salahsatu model penanganan anak jalanan yangmenerapkan strategi pengembalian anakkepada keluarganya dan mencegah anak-anakmenjadi anak jalanan. Anak yang menjadisasaran adalah anak yang masih berhubunganatau tinggal dengan keluarga. Basispenanganan diarahkan pada penguatan fungsikeluarga, peningkatan pendapatan, danpendayagunaan potensi masyarakat. Anak-anak memperoleh pendidikan formal maupunnon formal, memenuhi kebutuhan dasar,pengisian waktu luang dan lain-lain. Tujuanmodel ini adalah meningkatkan kemampuankeluarga dan anggota masyarakat dalammelindungi, mengasuh dan memenuhikebutuhan anak-anak.

Childhope Asia (1990, 2) mengemukakanpengertian model community based sebagaipendekatan pencegahan. Pendekatan inimerupakan suatu alternatif untuk me-lembagakan anak jalanan. Hal itu merupakansuatu usaha yang menunjukkan bahwapermasalahan anak dimulai dari keluarga danmasyarakat. Proses pendekatan berbasismasyarakat adalah ditujukan pada keluargaanak jalanan, anak miskin perkotaan danmasyarakat untuk meyakinkan merekamembuat perubahan terhadap diri merekasendiri agar tidak memanfaatkan anak merekauntuk mencari nafkah di jalan. Komponen-komponen pendekatan berbasis masyarakatantara lain : advokasi, pengorganisasianmasyarakat, peningkatan pendapatan, bantuanpendidikan yang meliputi : klarifikasi nilai danpelatihan ketrampilan.

Dalam penelitian ini, Community basedyang dimaksud adalah penanganan keluargaanak jalanan di Kampung Pedongkelan,Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung,Jakarta Timur. Alur pikir model digambarkansebagai berikut :

Keberhasilan program dalam model com-munity based tidak terlepas dari peranan pekerjasosial. Seseorang pekerja sosial yang bekerjadi masyrakat kita sebut dengan pendampingmasyarakat (community worker). Seorang com-munity worker harus memiliki sikap yangditampilkan pribadi, baik bersumber darikompetensi profesional maupun secara funda-mental melekat pada kualitas pribadinya.Kualitas pribadi tersebut disamping diperolehmelalui proses pelatihan, terlebih utamadiperoleh dari pengalaman praktek dimasyarakat. Kesadaran untuk membangun danmeningkatkan kualitas pribadi secara terusmenerus perlu dikembangkan dalam rangkatanggung jawab profesionalnya. Peran seorangpekerja sosial menurut Zastrow (1986, 49-50)antara lain : Pemercepat perubahan (Enabler),Perantara (Broker), Pendidik (Educator), TenagaAhli (Ekspert), Perencana Sosial (Social Planner),Advokat (Advocate) dan Aktifis (Activist).

V. METODE

Data dalam tulisan ini diambil daripenelitian terapan (action research) yangmenurut penjabarannya termasuk penelitiandeskriptif dengan menggunakan pendekatanpenelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, penelititerlibat langsung dalam pelaksanaan programdi Kampung Pedongkelan.

Tahapan dalam action research diulangisecara terus menerus sampai batas waktu yangtelah ditentukan untuk menghasilkan suatu pro-gram yang lebih sempurna. Action researchpaling sedikit berproses dalam satu kali siklusdan dalam penelitian ini berjalan dua kali siklus.

Gambar 1 : Model Community Based

KELUARGA ANAK

JALANAN DI

KAMPUNG

PEDONGKELAN

MODEL

COMMUNITY

BASED

KEBERFUNGSIAN

SOSIAL, KELUARGA

ANAK JALANAN

INPUT PROSES

OUTPUT

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga (Hari Harjanto Setiawan)

Page 52: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

48

VI. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Kehidupan Keluarga Anak Jalanandi Kampung Pedongkelan

Kampung Pedongkelan terletak di sebelahperempatan Coca-cola (by Pass) yang sangatstrategis untuk menuju pusat-pusat per-ekonomian kota sehingga penduduk banyakyang memanfaatkan sebagai sumberpendapatan. Kearah timur menuju terminalPulogadung, kearah utara menuju Tanjung Priuk,kearah barat menuju ke Senen dan ke arahselatan menuju ke Jatinegara. Berdasarkankondisi geografisnya, daerah Pedongkelanmerupakan daerah dataran rendah dan terletakdiatas rawa-rawa. Apabila hujan, makagenangan air naik dan membanjiri rumah-rumah penduduk.

Sebagian besar mata pencaharian kepalakeluarga di Kampung Pedongkelan adalahpedagang kecil, tukang ojeg dan pengelapmobil. Dengan mata pencaharian tersebutpenghasilan mereka rata-rata Rp.10.000,-sampai dengan Rp. 20.000,-perhariperkeluarga. Pendapatan yang sedikitmenyebabkan mereka tidak bisa mencukupikebutuhan keluarganya, sehingga merekaterpaksa mengajak anaknya untuk membantumencukupi kebutuhan keluarga. Dalammembantu keluarganya, anak-anak tersebutbekerja sebagai pengamen, pengelap mobildan ada juga yang berdagang koran. Kondisiyang menyedihkan ini diperburuk lagi ketika adaorang yang memanfaatkan kondisi keluargatersebut untuk membungakan uang (renternir).Bunga yang ditentukan renternir berkisar antara20%-30%. Karena terdesak oleh kebutuhankeluarga, tidak jarang dari mereka yangmeminjam uang dari renternir. Bunga yang tinggiini menyebabkan usaha mereka tidakberkembang karena keuntungannya habisdipakai untuk membayar hutang. Untukmencukupi kebutuhan rumah tangganya,penduduk terbiasa dengan cara gali lobangtutup lobang.

Hampir setiap keluarga memiliki anakjalanan yang pada umumnya berpendidikanhanya sampai tingkat SD dan bahkan ada yangtidak bersekolah. Mereka pulang ke rumahsecara teratur (tiap hari bertemu karena tinggaldengan orangtuanya) maupun tidak teratur,secara berkala pulang ke rumah. Keluarga anakjalanan adalah keluarga miskin yang tinggaldi daerah-daerah kumuh di perkotaan.Begitupun yang berasal dari luar kota berasaldari desa-desa miskin. Lingkungan komunitasmereka biasanya ditandai dengan kurangnyasarana drainase dan sanitasi, rumah-rumahyang sempit, kurangnya sarana bermain untukanak, merupakan rumah sewaan, dansebagainya. Padahal keluarga-keluargatersebut biasanya mempunyai jumlah anakyang banyak dan pendapatan mereka dibawah garis kemiskinan. Dalam kondisi sepertiitu, anak-anak memperoleh tekanan untukbekerja dan sebagian besar meluangkanwaktunya di jalanan. Bagi mereka, persoalanyang utama mereka hadapi adalahbagaimana mempertahankan kelangsunganhidup, bukan lagi bagaimana bisa bersekolahdengan baik seperti anak-anak lainnya.

B. Model Community Based

Salah satu LSM yang menangani anakjalanan di wilayah Jakarta Timur adalahYayasan SEKAM. Menurut data dari YayasanSEKAM (th 2000) jumlah anak jalanan yangdibina di sekitar Jakarta Timur berdasarkantipologi anak jalanan, antara lain children ofthe street yang berjumlah 199 orang atau 10%,yang membutuhkan model center based. Anakyang tergolong children in the street berjumlah493 orang atau 25%, yang membutuhkanmodel street based, dan anak yang tergolongchildren at high risk berjumlah 1283 orang atau65% yang membutuhkan program communitybased. Apa bila digambarkan kondisi tsebutadalah sebagai berikut :

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

Page 53: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

49

Berdasarkan hasil observasi kondisi anakjalanan dan latar belakang keluarganya,maka model community based dianggapefektif dikembangkan di wilayah KampungPedongkelan.

Proses penanganan anak jalanan denganpendekatan community based dapat kita lihatdalam gambar sebagai berikut :

Children of the street Children in the street Children at high risk

10 %

25 %

65 %

Center Based Street Based Community Based

Gambar 2. Kategori anak jalanan berdasarkan jumlah dan model penanganan

Sumber : Yayasan SEKAM tahun 2000

Gambar 3. Kategori anak jalanan berdasarkan jumlah dan model penanganan

TUJUAN

Membangkitkan kesadaran orang tua

Membantu mengindentifikasi kebutuhanMengembangkan kapabilitas keluarga

PRINSIP

Partisipatif, sustainable,

pemberdayaan, multiefek, dan kontrol

sosial

PROGRAM

Penambahan pendapatan keluarga dan pembentukan

keluarga yang baik

(income generating)(good parenting)

income generating

TARGET INTERVENSI

Keluarga/orang tua anak jalanan

SASARAN

Terwujudnya keluarga yang mandiriTerwujudnya keberfungsian keluarga

Terbinanya keluarga peduli anak

Children athigh riskberjumlah1283 atau65%

Children inthe stereetberjumlah493 atau25%

Children ofthe stereetberjumlah199 atau10%

Tipologi

anak

jalanan

KEBERFUNGSIAN

SOSIAL

KELUARGA ANAK

JALANAN

Anak tidak lagi di jalan

dan kembali ke keluarga

PENDAMPINGAN OLEH

PEKERJA SOSIAL

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga (Hari Harjanto Setiawan)

Page 54: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

50

Tujuan penanganan dengan model iniadalah Pertama, untuk membangkitkankesadaran orang tua dan anak-anak mengenaihak-hak anak, serta membangkitkan perasaanbahwa mereka bisa melakukan sesuatu untukmerubah kehidupannya. Kedua, membantumereka dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan mereka serta mengorganisirpenduduk untuk memenuhi kebutuhan mereka.Ketiga, mengembangkan kapabilitas orang tuadan anak-anak untuk memahami dan bertindakberdasarkan kemampuan mereka dalammenggunakan sumber-sumber internal maupuneksternal guna memenuhi kebutuhan-kebutuhanindividual, keluarga dan masyarakat serta untukmengatasi masalah-masalah mereka.

Sasaran dari model community basedadalah: Pertama, terwujudnya keluarga danmasyarakat yang mampu mengurus dirinyasendiri dan mampu memecahkan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sendiriserta tidak tergantung pihak lain. Kedua,terciptanya keberfungsian sosial kehidupananak dengan keluarga dan masyarakat secaraharmonis. Ketiga, terwujudnya dan terbinanyakepedulian serta peran aktif keluarga danmasyarakat dalam melindungi anak-anakmereka agar tidak turun ke jalanan.

Target intervensi program secaralangsung adalah keluarga anak jalanan danmasyarakat. Sedangkan sasaran tidaklangsungnya adalah anak jalanan itu sendiri.Sedangkan fungsinya adalah mencegah agaranak tidak turun ke jalan, mengembalikan anakkepada orang tua atau keluarga pengganti,dan anak mandiri dan bekerja pada tempatyang lebih baik dari pada di jalanan.

Prinsip pelayanan adalah partisipatif,sustainable, pemberdayaan, multiefek, dankontrol sosial. Partisipatif yaitu menekankanpada kebersamaan atau saling memberikansumbangan akan kepentingan dan masalah-masalah bersama yang tumbuh darikepentingan dan perhatian individu keluargaanak jalanan itu sendiri. Partisipasi adalah hasildari kesepakatan warga masyarakat akanperubahan sosial yang mereka harapkan.Sutainable, yaitu dalam proses pengembangankeluarga dan masyarakat harus berkelanjutan.Program yang dilaksanakan harus berkaitansatu dengan program selanjutnya dan tidakhanya berorientasi pada tuntutan proyek.

Pemberdayaan (empowerment) yaitu pe-ningkatan kemampuan keluarga untukmemelihara kelangsungan hidup, tumbuhkembang dan perlindungan anak. Dalam halini keluarga anak jalanan tidak tergantungselamanya pada pekerja sosial pendamping.Multiefek, yaitu intervensi yang dilakukanterhadap keluarga anak jalanan tidak hanyaberdampak pada dirinya sendiri, tetapi jugaberdampak pada lingkungan sekitarnyaterutama pada anak mereka. Kontrol sosial yaitusegala tindakan pencegahan dan pengawasanyang dilakukan oleh keluarga dan masyarakatterhadap tindak kekerasan, perlakuan salah,eksploitasi maupun penelantaran anak yangterjadi pada keluarganya.

Program atau kegiatan dalam modelcommunity based antara lain penambahanpendapatan keluarga (income generating) danpembentukan keluarga yang baik (goodparenting). Income generating yaitu bantuansosial bagi keluarga atau orang tua anakjalanan dengan harapan untuk meningkatkanpendapatan keluarga. Dengan meningkatnyapendapatan keluarga diharapkan dapatmemenuhi hak-hak anaknya. Jenis pelayananyang diberikan antara lain: pemberian bantuanmodal usaha ekonomi produktif berupapinjaman uang untuk berdagang, bimbinganmotifasi berwira usaha, pembentukankelompok swadaya masyarakat dan pelatihanmanajemen kelompok. Dalam pelaksanaanprogram pertama adalah memberikan modalbergulir kepada keluarga anak jalanansebanyak 150 keluarga. Kemudian setelah 6bulan kemudian pada program kedua adalahsemakin memperluas pelayanan denganmenambah anggota yaitu sebayak 100keluarga sehingga jumlah keseluruhan adalah250 keluarga. Selain menambah anggota jugamembentuk lembaga yang menaungi yaitukoperasi.

Sedangkan good parenting adalahmeningkatkan pengetahuan dan ketrampilanbagi keluarga bermasalah atau rawan masalahsehingga secara bertahap mampu mendayagunakan berbagai sumber yang tersedia baikdidalam maupun diluar keluarga gunapemecahan permasalahan atau kerawananyang dialami. Jenis pelayanan yang diberikanantara lain: pemberian informasi tentangkesejahteraan keluarga, mengembangkan

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

Page 55: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

51

pengetahuan dan ketrampilan, membantumerujuk kepada pelayanan terkait yangdibutuhkan, penyuluhan dan bimbingan tentanghak anak sehingga keluarga tersebut tersentuhuntuk berusaha memenuhinya.

Keberhasilan model community basedtidak lepas dari peranan pendampingmasyarakat yang dilakukan oleh pekerja sosial.Peran pekerja sosial dalam mendampingimasyarakat Kampung Pedongkelan antara lain:pertama, sebagai enabler yaitu membantumasyarakat agar dapat mengartikulasikankebutuhan mereka, mengidentifikasikanmasalah mereka, dan mengembangkankapasitas mereka agar dapat menanganimasalah yang mereka hadapi secara lebihefektif. Peranan sebagai enabler ini adalahperan klasik dari seorang community worker.Dasar filosofis dari peran ini adalah “helppeople to help them selves”. Kedua, sebagaibroker (perantara) yaitu terkait erat denganupaya hubungkan individu atau kelompokdalam masyarakat yang membutuhkanbantuan ataupun layanan masyarakat (commu-nity services), tetapi tidak tahu dimana danbagaimana mendapatkan bantuan tersebut,dengan lembaga yang menyediakan layananmasyarakat. Peran sebagai perantara, yangmerupakan peran mediasi dalam kontekspengembangan masyarakat.juga diikutidengan perlunya melibatkan klien dalamkegiatan penghubung ini. Ketiga, pendidik, com-munity worker diharapkan mempunyaikemampuan menyampaikan informasi denganbaik dan jelas, serta mudah ditangkap olehkomunitas yang menjadi sasaran perubahan.Disamping itu ia harus mempunyai pe-ngetahuan yang cukup memadai mengenaitopik yang akan dibicarakan. Dalam kaitandengan hal ini, seorang community worker tidakjarang harus menghubungi rekan dari profesilain yang menguasai materi tersebut. Keempat,sebagai tenaga ahli (ekspert), communityworker diharapkan untuk memberikan masukan,saran dan dukungan informasi dalam berbagaiarea. Misalnya saja, seorang tenaga ahlidiharapkan dapat memberikan usulanmengenai bagaimana struktur organisasi yangbisa dikembangkan dalam suaatu organisasinirlaba yang menangani lingkungan,kelompok-kelompok mana saja yang harusterwakili, atau memberikan masukan mengenaiisu yang pantas dikembangkan dalam suatukomunitas (termasuk organisasi). Kelima,

sebagai Perencana Sosial (Social Planer) yaitumengumpulkan data mengenai masalah sosialyang terdapat dalam komunitas, meng-analisisnya dan menyajikan alternatif tindakanrasional untuk menangani masalah. Setelah ituperencana sosial mengembangkan program,mencoba alternatif sumber pendanaan, danmengembangkan konsensus dalam kelompokyang mempunyai berbagai kepentingan. Jadiperencanaan sosial lebih memfokuskan padatugas-tugas yang terkait dengan pengem-bangan dan pelaksanaan program. Keenam,sebagai advokat dalam community workdicangkok dari profesi hukum. Peran advokatpada satu sisi berpijak pada tradisipembaharuan sosial, dan pada sisi lain berpijakpada tradisi pelayanan sosial. Peran inimerupakan peran yang aktif dan terarahdimana community worker menjalankan fungsiadvokasi. Seseorang community worker tidakjarang harus melakukan persuasi terhadapkelompok profesional ataupun kelompok elittertentu, agar dapat mencapai tujuan yangdiharapkan. Ketujuh, Sebagai activist, seorangcommunity worker mencoba melakukanperubahan institusional yang lebih mendasar,dan seringkali tujuannya adalah mengalihkansumberdaya ataupun kekuasaan (power) padakelompok yang kurang mendapatkankeuntungan (disadvanted group). Seorang aktifisbiasanya memperhatikan isu-isu tertentu, sepertiketidak sesuaian dengan hukum yang berlaku( injustice), kesenjangan ( inequity ) danperampasan hak. Seorang aktifis biasanyamencoba menstimulasi kelompok-kelompokyang kurang diuntungkan tersebut untukmengorganisir diri dan melakukan tindakanmelawan struktur kekuasaan yang ada (yangmenjadi penekanan mereka). Taktik yang biasamereka lakukan adalah melalui konflik,konfrontasi (misalnya melalui demonstrasi) dannegoisasi.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Community based digunakan untukmenggali dan menumbuhkan partisipasikeluarga dan masyarakat setempat dalammenemukan kebutuhan-kebutuhannya,merencanakan kegiatan dalam memenuhikebutuhan, berpartisipasi aktif dalammelaksanakan kegiatan dan mengawasi

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga (Hari Harjanto Setiawan)

Page 56: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

52

pelaksanaan kegiatan. Proses ini dilaksanakandengan cara mengembangkan sikap-sikapkooperatif dan kolaboratif antar wargamasyarakat. Dari tahapan penelitian diatasdapat diambil manfaat bahwa proses commu-nity based yang harus dilalui oleh seorangpekerja sosial bukanlah proses alamiah, akantetapi merupakan proses sosial yaituserangkaian aktifitas yang terencana untukmemfasilitasi dan mengembangkan kapasitasindividu kelompok dan masyarakat gunamerespon masalah-masalah yang dipandangdalam kerangka kerja dari tujuan-tujuan dannilai-nilai spesifik.

B. Saran

Pertama, Pekerja sosial kadang-kadangterjebak pada kegiatan mikro kredit yangseolah-olah sebagai suatu tujuan. Pekerja sosialharus menyadari bahwa intervensi melalui mikro

kredit hanyalah sebagai alat saja, sedangkantujuan utamanya adalah kesejahteraan anakatau terpenuhinya hak anak.

Kedua, Permasalahan yang dialamikeluarga anak jalanan bukan hanya masalahekonomi saja, tetapi juga masalah nilai-nilaiyang diterapkan keluarga terhadap anaknya.Untuk itu selain program income generating,perlu diimbangi dengan program goodparenting. Sehingga perlu adanya komitmenorang tua anak jalanan untuk melaksanakanprogram tersebut.

Ketiga, Pelaksanaan program seringberbenturan dengan pihak-pihak tertentu,misalnya pemerintah setempat, ada LSM yangmerasa tersaingi maupun renternir yangkehilangan lahan. Untuk mengatasi masalahtersebut, libatkan stakeholder dan shareholderdisekitrar komunitas Kampung Pedongkelan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Adi, Isbandi Rukminto. 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas,Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Carrizosa and Poertner. 1990, International social work : Latin American Street Children.

Childhope Asia, A Guidebook for Community Based Programs Among Street Children and Theit fami-lies, National Project on Street Children, Philippines.

Kruenge Richard. 1988, Focus Group: A Practical Guide For Aplied Research, Sage publication, NewburyPark Beverly Hills London New Delhi.

Moleong, Lexy J. 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung.

Margaret Alston and Wendy Bowles. 1998, Research for Social Workkers; An Introduction to Methods,Allen & Unwin.

Skidmore, Rex. 1994, Introduction to Social Work, Sixth Edition, Prentice Hall International Editions.

Siporin, Max. 1975, Introduction to Social Work Practice,: MacMillan Publishing Co. Inc, New York &Coll ier Macmillan Publishers, London.

Stringer T Ernest. 1996, Action Research : A Hand For Practitioners, California: Sage publication, Inc.

Zastrow, Charles. 1985, The Practice of Social Work, Dorsey Pres, Chicago.

Artikel dan Makalah :

Anwar Jeffry. 1994, Ekonomi Jalanan Suatu Pendekatan Alternatif Dalam Penanganan Anak Jalanan diPerkotaan, Makalah seminar.

Balukh, Benyamin (Ketua Komisi VII DPR).2000, Kerangka Kebijakan Terhadap Perlindungan Hak Anak,Konas III Kesejahteraan Anak, Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 44-53

Page 57: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

53

Hikmat, Harry. 1999, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Pendekatan Pembangunan Pada GenerasiSelanjutnya, Seminar Hari Anak Nasional STKS Bandung.

Irwanto. 1999, Anak Jalanan : Strategi Intervensi Terbaik Untuk Indonesia, Unika Atmajaya, Jakarta.

Sanusi, Makmur. 1996, Beberapa Temuan Lapangan Survey Anak Jalanan dan Rencana penanganannyadi Jakarta dan Surabaya, Jakarta Departemen Sosial-UNDP.

Sudrajat, Tata. 1997, Mengenali Program Penanganan Anak Jalanan, Makalah untuk pelatihan berantingpendamping anak, YKAI

Silva, Theresita L, Memobilisasi Masyarakat Bagi Perlindungan Dan Rehabilitasi Anak Jalanan, PerwakilanRegional Childhope Asia Philipina.

Karya Ilmiah Akhir, Thesis dan Disertasi :

Adi, Isbandi Rukminto. 1999, Social Work Macro Intervention, Street Children’s Problem and The OpenHouse For Street Children in Jakarta, School of Social Work, Faculty of Art and Social Sciences,University of New South Wales.

Harjanto S, Hari. 1998, Pemberdayaan Anak Jalanan Di Kecamatan Majalaya Kabupaten Dati II Bandung,Karya Almiah Akhir, STKS Bandung.

Kartika, Tuti. 1997, Anak Jalanan Dan Model Penanganannya, Tesis Program Magister , Program StudiSosiologi, Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta.

Wibawa, Dhevi Setia. 2000, Anak Jalanan Pun punya “Waktu Luang” Studi tentang Leisure pada anakjalanan di Jakarta, Tesis Program Pasca Sarjana, Bidang Ilmu Sosial, Kekhususan Sosiologi, Uni-versitas Indonesia, Jakarta.

Konvensi, Keputusan dan Undang-undang :

Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 23/HUK/1996 Tentang Pola Dasar‘Pembangunan KesejahteraanSosial.

Unicef, Convention On The Right Of The Child. (Konvensi Hak-hak Anak)

Undang-undang No 4. 1979, Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-undang No 23 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Anak.

BIODATA PENULIS :

Hari Harjanto Setiawan, adalah Kandidat Peneliti Pusat Penelitian Dan PengembanganKesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Tulisan ini mengambil sebagian data dari tesis yangtelah disesuaikan.

Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikan Kepada Keluarga (Hari Harjanto Setiawan)

Page 58: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

54

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENGORGANISASIAN

MASYARAKAT FEMINIS ISLAMIS DALAM MEMERANGI

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIASebuah Kajian Kualitatif

Dorita Setiawan

“Everything changes, what does not change is the change it self”(anonimous)

ABSTRAK

Pendekatan pengorganisasian masyarakat, pada dunia Barat, telah menjadi salah satu cara dalammemerangi kekerasan terhadap perempuan (violence against women). Kombinasi antara pendekatan yangberdasarkan teori feminis dan pengorganisasian masyarakat ini telah menjadi salah satu cara yang dikenaldalam mengatasi beberapa masalah sosial, lebih khusus, pendekatan ini terbukti pula menjadi salah satucara yang paling efektif dalam memerangi isu-isu gender, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Dalampekerjaan sosial, masyarakat adalah salah satu elemen terpenting dalam agenda perubahan, masyarakatadalah objek sekaligus subjek akan suatu perubahan; masyarakat adalah sumber kekuatan terpenting yangharus tetap diperhatikan. Dalam lapangan pekerjaan sosial, masyarakat disebut juga dengan level mezoatau level tengah yang berada di antara level mikro (individu) atau yang bersifat klinis dan makro yanglebih bersifat kebijakan. Dengan kata lain pendekatan terhadap masyarakat adalah jembatan yang begitupenting dalam sebuah perubahan mikro dan makro dalam pendekatan yang lebih luas dan komprehensif.

Kata kunci : masyarakat, pengorganisasian masyarakat, feminisme, kekerasan perempuan, pemberdayaan

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengorganisasian masyarakat dalamtradisi bangsa Indonesia sudah ada sejak lamadikenal dengan tradisi ‘gotong-royong’ atau‘pela gandong’ pada masyarakat IndonesiaTimur. Ini artinya dalam tradisi Indonesia telahada budaya kebersamaan dalam memecahkanmasalah, dengan usaha kolektif. Dalambeberapa kasus personal, ternyata lebih efektifdiatasi dengan cara bersama. Tetapi kini tidakdapat disangkal, budaya individualis yang kianbanyak dianut orang baik di komunitas urban,juga masyarakat rural membawa masalahsosial yang semakin kompleks. Permasalahantersebut membutuhkan tidak hanya pendekatanpersonal, tapi juga organisasional. Bila ditelusurilebih jauh, hal ini lebih disebabkan olehketiadaan informasi akan aksi dan respon yangdapat dilakukan. Contohnya saja pada kasuskekerasan pada perempuan, khususnya pada

KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga),dimana terjadi ketidakacuhan terhadappersoalan ini. Masih banyak kalangan yangmenganggap bahwa KDRT adalah isu privatyang tidak dapat di’campur tangani’. Banyakyang tidak tahu bahwa kekerasan semacam inidapat dilaporkan kepada pihak yangberwenang. Ini terbukti dengan banyaknyalaporan KDRT akut atau yang telah berujungkerusakan badan fatal, hingga kematian.1

Dalam pekerjaan sosial, dari level makro hinggalevel mikro, upaya untuk memecahkan masalahtersebut harus dilakukan secara komprehensif.Pendekatan mikro, mezo dan makro adalahusaha yang saling terkait satu dengan yang lain.Artinya seorang pekerja sosial yang kompeten,harus mampu menguasai semua tingkatketerampilan, baik dari pendekatan mikro sepertikonseling hingga advokasi yang lebih banyakditemukan pada tingkat makro.2 Pada kasuskekerasan terhadap perempuan secara umum,pendekatan berlapis (makro, mezo dan mikro)menjadi pilihan solusi yang tidak terelakan.

Page 59: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

55

Karena nyata bahwa kasus ini bukanlah kasusekslusif milik perempuan, tetapi masyarakatsecara menyeluruh. Mengacu pada pernyataanyang terkenal dari kaum feminis bahwa “per-sonal is political” yang tidak lain menyatakanbahwa apa yang dirasakan perempuan secarapersonal adalah masalah politis. Sebenarnyapandangan ini berlaku pada semua manusiasecara umum yang mengalami kekerasan.Kekerasan adalah kekerasan. Alasan mengapaperempuan yang diprioritaskan, bukanberdasarkan posisi perempuan yang lebihpenting pada masyarakat, dan menomorduakan yang lain,tetapi lebih pada bukti faktualdan sejarah. Dalam lintasan sejarah,perempuan adalah salah satu kelompok yangpaling dirugikan dan menjadi ‘korban’ dalammasalah sosial dan mereka dianggap sebagaiwarga kelas dua. 3

Selanjutnya, kaitan dengan usaha me-merangi kekerasan terhadap perempuan di In-donesia, khususnya sekitar penerapan teorifeminis pada isu gender ini -bila disampaikanlangsung demikian- akan memiliki banyaktantangan dan penolakan dari masyarakatumum. Kata feminis itu sendiri seperti menjadimomok tersendiri di beberapa kalangan di In-donesia. Pandangan seperti ini terjadi karenaakses informasi yang kurang tentang feminisme.Ketakutan akan segala macam yang berbauBarat mengundang stigma tersendiri terhadapfeminisme, seperti adanya stigma yangmengatakan bahwa feminisme adalah pahamBarat yang memusuhi laki-laki. Ini tentu sajatidak tepat. Perlu dipahami bahwa menurutpandangan pribadi saya, dengan tidakbermaksud menomorduakan pendekatan lainyang juga penting saya melihat bahwapendekatan feminisme adalah salah satu ‘kacamata’ penting yang harus dipakai dalam melihatsebuah masalah lebih urut.

Memahami hal di atas, penyesuaian danadaptasi pendekatan pengorganisasianmasyarakat feminis dalam konteks yang lebihlokal menjadi hal yang harus dilakukan agarmudah dipahami dan mendekati sasaran.Dalam hal ini, karena konteks yang saya miliki,saya akan mencoba untuk mengkaji lebihjauh kemungkinan yang ada dalammengembangkan pendekatan ini denganpemahaman yang berdasar dengan teorikeIslaman. Untuk ini saya mengambil tema,

pendekatan pengorganisasian masyarakatfeminis Islamis dalam memerangi isu kekerasanterhadap wanita. Tentu saja pendekatan inisama sekali tidak baru karena terbukti adanyaikatan yang kuat antara pengorganisasianmasyarakat dan spiritualitas. 4

Alasan mengapa saya lebih memilih teorikeIslaman, adalah salah satu cara saya dalammengaplikasikan teori feminisme yang sayapahami dengan konteks saya sendiri,Indonesia dan juga muslim. Di Indonesia,sejarah telah banyak mencatat adanyabeberapa gerakan perempuan Islam yangmemerangi isu-isu gender termasuk didalamnya kekerasan terhadap perempuan.Contohnya, gerakan perempuan padabeberapa organisasi Islam sepertiMuhammadiyah (Aisiyah) dan NU.5 Kini, tentusaja masih banyak lagi organisasi perempuanyang ada seperti dari kalangan cendekia danlembaga keIslaman yang muncul, sepertiadanya komisi perempuan di sebagian besarorganisasi masyarakat dan juga di lembagapemerintahan, namun seperti yang dapatdiduga, jumlah yang banyak dan dianggaptelah mewakili, tetap saja belum mampumemenuhi tuntutan masalah perempuan karenabegitu banyak terjadi di tengah masyarakat In-donesia. Namun, everything counts atauapapun yang terjadi menjadi penting yangartinya ini adalah awal yang baik dari sebuahperubahan yang besar dan bertahap.

Lebih lanjut, seperti yang saya telah bahassebelumnya, tema feminisme ini saya angkatkarena dalam masyarakat, teori feminismemasih berada di dalam tataran ideologi.Kesulitan bertambah ketika kemudian teori inimasih begitu kental diasumsikan sebagai nilaiBarat. Alih-alih diterima, yang terjadi kemudianadalah penolakan atas pendekatan ala‘kebarat-baratan’ nya. Ditambah lagi denganadanya ‘ketakutan akan ancaman wanitasebagai penjajah baru’. Pada tahap personalsaya menyangkal asumsi seperti ini dansecara akademis juga merasa ‘tertantang’untuk membuktikan bahwa anggapanini salah besar. Ditambah lagi denganadanya kesalahpahaman akan ‘emansipasiperempuan’ yang begitu menakutkan bagisebagian besar masyarakat. Semua tantanganini tidak mesti harus dihadapi dengan frontal,namun perlu juga menggunakan paham ini

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 60: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

56

dengan cara yang lebih ‘lembut’ lebihmengena pada masalah yang tengahdipersoalkan.

Selain itu kita harus memilih definisi secaraumum tentang kekerasan terhadap perempuan.Untuk memperjelas, “bentuk kekerasan dapatdidefiniskan secara umum sebagai segalabentuk kekerasan fisik, psikologis atau emosionalyang dialami oleh perempuan karena iamemiliki jenis kelamin perempuan”. Bentukkekerasan ini terjadi baik pada kawasan pribadiatau publik.6

Kini, kekerasan perempuan telah banyakmengisi agenda pergerakan sosial di seluruhdunia; kekerasan perempuan adalah salah satutema penting dalam penghapusan kekerasanglobal yang terjadi di muka bumi ini.7 Perhatianini bukan berarti menafikan kekerasan yangterjadi selain terhadap perempuan. Pilihanterhadap kekerasan perempuan ini lebih karenakekerasan terhadap perempuan memiliki sisi-sisi lain yang banyak tidak disadari olehmasyarakat umum. Banyaknya konstruksi sosialdan stigma yang dialamatkan pada diriseorang perempuan. Pendapat yang me-ngatakan bahwa perempuan tidak perlumengenyam pendidikan tinggi, karena kawasanperempuan hanya akan berkisar pada sumur,kasur dan dapur, adalah salah satu yang masihbnayak ditemukan dalam masyarakat.

Isu kekerasan ini mendunia seiring dengansemakin banyak terjadi kasus kekerasan yangada di masyarakat, dari ranah domestik hinggapada kawasan publik.8 Banyak studi yangdilakukan yang menunjukan bahwa masya-rakat dalam hal ini adalah bagian terpentingdalam melakukan usaha memerangi kekerasanyang terjadi. Masyarakat biasanya adalah saksi‘first hand’, di sisi lain sebenarnya masyarakatjuga dapat dimaksimalkan sebagai penolongpertama ketika kekerasan ini terjadi,

Dalam tulisan ini saya akan secara spesifikmembahas bagaimana pentingnya orientasikemasyarakatan pada praktek pekerjaan sosial.Tulisan ini juga mengkaji lebih jauh tentangbagaimana pengorganisasian masyarakatdilakukan dalam konteks kekerasan terhadapperempuan. Lebih spesifik lagi saya akanmembahas lebih jauh tentang pendekatanpengorganisasian yang feminis (feminist com-munity approach) dan bagaimana ‘kompromi’

yang dilakukan ketika harus berhadapandengan nilai keIslaman.

B. Tujuan

Tulisan ini diharapkan untuk memberikanpemahaman penting tentang teori feminismeyang ada di dalam teori pengorganisasianmasyarakat. Hal lain yang didiskusikan disiniadalah apa saja elemen yang paling pentingdalam pengorganisasian masyarakat serta isu-isu apa saja yang dapat diangkat danditemukan solusinya dengan pengorganisasianmasyarakat. Pada dasarnya teori feminismebukan saja melulu milik perempuan tetapi lebihpada nilai dasar akan persamaan hak bagisetiap manusia tanpa mengenal jeniskelaminnya tetapi lebih pada sisi kemanusiaanitu sendiri. Kekerasan perempuan hanyalahsalah contoh isu yang dipergunakan penulisagar lebih mudah memberikan contohaplikasi akan pendekatan pengorganisasianmasyarakat ini. Makalah ini pun tidak mendetailmembahas tentang kekerasan perempuan, lebihlanjut penulis akan menulis kekerasanperempuan ini di dalam kerangka pemilihanisu yang dapat dipergunakan dalam penerapanteori pengorganisasian masyarakat yang feminisIslamis.

I I . PENDEKATANPENGORGANISASIANMASYARAKAT YANGFEMINIS ISLAMIS

A . Mengembangkan OrientasiKemasyarakatan

Agar lebih efektif, pekerja sosial butuhpemahaman konseptual akan apa yangdimaksudkan dengan masyarakat. Dia jugaperlu tahu cara bagaimana menerapkan teorike dalam sebuah praktek profesional. Tentu sajasalah satu cara memahami hal tersebut adalahdengan memahami pengalaman diri sendirisebagai bagian dari masyarakat.9 Selanjutnya,pandangan umum akan masyarakat ataukomunitas ini dicapai lewat sebuah kajian dariberbagai ilmu sosial, seperti, antropologi,sosiologi, ilmu politik dan ekonomi.Pengalaman yang ada dari berbagai bidang

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 61: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

57

ini memberikan satu dasar pemahaman akansebuah komunitas atau masyarakat. Mengingatbanyaknya definisi tentang komunitas itu, danbagaimana manusia terafiliasi ke dalam satumasyarakat, maka akan dijelaskan tiga dimensidalam membentuk sebuah masyarakat :

1. Sebuah unit fungsi ruang dalam memenuhikebutuhan

2. Sebuah unit akan interaksi sosial terpola.

3. Sebuah unit simbolis atas sebuah identitaskolektif.10

Dalam beberapa hal, biasanya,komunitas yang berdasarkan lokalitas memilikisemua dimensi ini. Ini termasuk kampung, desa,kota dimana manusia tinggal. Umumnya satukomunitas kecil merupakan bagian darikomunitas besar. Misalnya, di Indonesia, adatingkat komunitas yang dikelompokan sesuaidengan sistem pemerintahan dari RT hinggatingkat provinsi.

Selanjutnya ada juga komunitas yangdilihat bukan dari mana mereka tinggal, tapilebih pada adanya kepentingan bersama yangdianut. Seperti komunitas yang terbentukberdasarkan agama, kelas sosial, gaya hidup,ideologi, orientasi seksual dan lain sebagainya.Seringkali terjadi overlap antara masyarakatyang berdasarkan tempat tinggal juga padamasyarakat yang terbentuk atas dasarkepentingan. Sedang masyarakat yangdimaksudkan di dalam tulisan ini lebih padakebersamaan tempat tinggal, namunmasyarakat berdasarkan kepentingan bersamajuga mendapatkan perhatian yang besar ,karena disini dibahas juga tentang masyarakatIslam yang memiliki kedua elemen tersebut.

Pemahaman kedua bentuk besarkomunitas ini penting untuk praktek pada tingkatmakro dan mikro pada intervensi pekerjaansosial. Praktek pada tingkat makro ternyatamelibatkan peran profesional pada pe-ngembangan masyarakat, perencanaan sosial,aksi sosial, administrasi kesejahteraan sosial,pengembangkan kebijakan sosial, juga evaluasiprogram sosial. Karena kesemuanya mem-butuhkan cara-cara misalnya bagaimana caramenyatukan kelompok yang berbeda di tengahmasyarakat atau bagaimana caranyamembantu masyarakat untuk dapat me-ningkatkan kapasitas dalam melaksanakan

peran komunitas yang berbeda, memobilisasimasyarakat juga sarana yang ada dimasyarakat itu sendiri.11

Pandangan feminis pada tulisan inikhususnya digunakan sebagai perekat dandasar penghapus diskriminasi atas dasar jeniskelamin yang dapat menghalangi partisipasiwarga masyarakat dalam usaha bersamapengorganisasian masyarakat. Ini diterapkankarena pada intinya usaha pekerja sosial danmandat feminisme serupa dalam menimbulkan,menjaga dan meningkatkan fungsi sosialindividu, keluarga juga masyarakat. Dalammelakukan ini pekerja sosial memberikanintervensi dan perhatian pada lingkungan sosialdan individu serta hubungan interaksikeduanya.12

Dengan kata lain praktek yang ada padalevel makro dan mikro membutuhkan pekerjasosial yang memahami masyarakat sebagaielemen penting dalam lingkungan sosial.Pengetahuan akan komunitas dibutuhkan untukmelihat dampak lingkungan akan per-kembangan individu-individu yang adasebagai anggota masyarakat. Pekerja sosialharus dapat mengetahui tentang resources atausarana yang ada di dalam masyarakat jugamengenali kondisi masyarakat yang mungkinmembatasi kesempatan anggota masyarakatuntuk berpartisipasi pada proses sosial; banyakinteraksi sosial justru terjadi di luar unit keluargayaitu masyarakat dimana manusia melakukanrutinitas sehari-hari mereka. Oleh karena itumenurut Fellin praktek yang kompetentergantung pada pengetahuan pekerja sosialakan struktur, fungsi dan proses perubahanyang terjadi pada komunitas tertentu.13

B. Pandangan Feminis padaPengorganisasian Masyarakat

Telah disebutkan di atas, bahwa,‘kombinasi pendekatan feminis dan peng-organisasian masyarakat terbukti telah menjadisalah satu cara paling efektif dalam mengatasiisu-isu gender, khususnya kekerasanperempuan.14 Heise menyatakan bahwapergerakan feminis melawan kekerasanperempuan harus diawali dengan pergerakandari masyarakat itu sendiri, namun hal inimungkin akan menemui kesulitan tersendiriapalagi melihat masyarakat umum yang masihbegitu percaya akan nilai partiarki dan

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 62: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

58

tradisional, dengan didukung oleh tokoh danpemerintahan yang belum melihat akankepentingan isu perempuan ini.15 MenurutTorczyner, dasar awal ini sangat penting dalammemulai sebuah pergerakan ‘grassroots’. Halini disebut dengan seleksi isu. Yang pertamaharus diperhatikan adalah bagaimanamemastikan bahwa masalah yang diusungdalam pengorganisasian masyarakat atauusaha bersama adalah masalah yang nyatadan dirasakan oleh sejumlah orang yang adapada sebuah masyarakat.16 Analisa kebutuhanmenjadi begitu penting untuk melihat seberapabanyak yang merasakan masalah itu danberapa orang yang ingin terlibat dalam usahabersama mengatasinya. Artinya, masalah initerletak pada bagaimana mereka yang ada dilapangan khususnya untuk melakukan ini secaralangsung dengan melakukan penyadaranterhadap masyarakat.

Aktifisme feminis dan feminismemenjunjung apa yang dinamakan dengan aksidemokratis dengan partisipasi penuh semuaanggota masyarakat. Dengan kata lain,Feminisme dan pergerakannya lebihmenitikberatkan pada peningkatan kondisimanusia pada umumnya, perempuan padakhususnya lewat aksi-aksi demokratis. Tentu sajapendekatan ini menggunakan pendekatanyang berbeda tergantung pada konteks yangberlaku. Feminisme adalah teori besar yangmenggunakan pendekatan yang berbedayang diadaptasikan pada konteks yangberbeda.Feminisme tidak menawarkan satuformula manjur bagi semua ‘penyakit’ namunlebih pada satu titik semangat yang samatergantung pada latar belakang teoritikal daneksperiensal dari berbagai tuntutan pergerakanfeminis yang sama sekali berbeda.

Merujuk pada Joseph et al. yangmenangkap dengan jelas esensi peng-organisasian feminis yang lebih berdasarkanpada kerangka kerja yang demokratis danhumanis.17 Tekanan yang penting di sini adalahkarakter yang berbeda dan unik dari kontekssatu dan konteks lainya. Yang terpenting adalahbagaimana pendekatan pengorganisasianfeminis ini dapat memiliki dampak padaperempuan. Pada saat bersamaan pem-berdayaan juga hal yang tidak dapatdipisahkan. Kontribusi yang diberikanperempuan dalam proses ini lebih dilihat dari

kekuatan bukan kekurangan dari segi fungsi,peran dan pengalaman. Pertimbangan ini tentusaja tidak melupakan keterbatasan yang ada,dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.Kesempatan pun harus diberikan kepadasiapapun dengan kapabilitas dan kemampuanyang diperlukan, bukan dibedakan dari jeniskelamin, kelas sosial dan etnis. Pandangan iniselanjutnya adalah dengan melihat bagaimanaproses seleksi masalah itu berjalan, bagaimanaproses masalah itu dipecahkan, apa saja halyang dibutuhkan yang harus dipenuhi, taktik danstrategi apa yang digunakan dan tujuan sepertiapa yang ingin dicapai.

Terlepas dari teori yang berbeda padapendekatan feminis itu sendiri, Guiterrez danLewis melanjutkan adanya karakteristik umumpada pengorganisasian masyarakat feminis.Beberapa hal penting dalam proses ini,pertama, adalah bagaimana lensa genderdipergunakan untuk menganalisa masalah yangada di masyarakat.18 Pergerakan feminis melihatperempuan sebagai bagian terpenting yangada pada suatu masyarakat. Ini lebihdidasarkan pada bagaimana seksismebanyak menjadi sebab dan akar masalah dariproblem yang terjadi di masyarakat, khususnyamasalah kekerasan terhadap perempuan.Kedua proses dari praktik yang dilakukan.Joseph berpendapat bahwa di dalam peng-organisasian masyarakat yang feminis, prosesharus melibatkan perempuan di dalam prosesperencanaan, implementasi dan evaluasinya.19

Pengorganisasian masyarakat yangfeminis berpendapat bahwa perempuan harusdiberikan kesempatan agar suara danpendapat mereka didengar dan diberdayakandalam prosesnya. Kolektifitas persamaan gen-der dan nilai dijaga di dalam proses yang ada.Oleh karena itu pemberdayaan dalam prosespenyadaran (conciousness raising) menjadielemen kunci dalam pengorganisasianmasyarakat feminis. Menurut Torzyner,pemberdayaan pada umumnya terkait denganproses dimana seseorang atau sekelompok or-ang mendapatkan pengaruh dan kemandirianyang lebih besar lewat kekuatan-kekuatan yangberdampak pada hidupnya.20 Pemberdayaanatau empowerment ini terjadi pada tingkat per-sonal apabila kita merasa memiliki kontrol yanglebih pada hidup dan pilihan-pilihan yang adadi dalam kehidupan kita. Pemberdayaan atau

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 63: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

59

empowerment terjadi pada tingkat komunitasketika sekelompok orang mengorganisir dirimereka sendiri dalam mengembangkanlayanan baru atau perubahan hukum danmerasakan keterlibatan yang signifikan dalamkehidupan bermasyarakat. Pemberdayaanterjadi pada sebuah institusi ketika institusi inilebih reflektif akan kebutuhan, budaya, danpreferensi sebuah masyarakat dimana iaberada. Lebih luas lagi empowerment secarapolitis terjadi bila publik figur atau tokohmasyarakat atau pekerja sosial, khususnya,bertanggungjawab akan tugas dan mandatyang ditugaskan pada mereka. Mereka jugamembuat keputusan yang merefleksikankebutuhan nyata dari masyarakat. Pem-berdayaan pada masyarakat grassrootsmembentuk sebuah basis pengorganisasianmasyarakat yang penting. Hal ini dicapaidengan partipasi langsung dari masyarakat,khususnya bagi mereka yang merasa bahwamasalah itu tereskpresikan ke dalam sebuahbentuk organisasi. Artinya, keikutsertaan danketerlibatan perempuan yang dimaksudkan didalam teori feminis disini adalah adanya relasikuasa yang setara antar pembuat keputusan.Relasi kuasa ini berdampak pada kehidupanperempuan sehari-hari, dengan prosespemberdayaan –empowerment- ini dari ranahpersonal, komunal dan politikal, perempuanakan mampu memainkan peranan yang lebihbesar dalam memberikan kontribusi untukperubahan sosial. Usaha penyadaran danpemberian informasi akan situasi dan faktayang ada di sekitar perempuan akan dapatmenghubungkan perempuan terhadappengalaman mereka sebagai pengalamanpersonal kepada isu yang lebih politis.Contohnya, dengan pemberian informasi yangcukup, bagaimana pengalaman kekerasanyang dialami seorang perempuan secara per-sonal akan menjadi isu politis apabila ternyatamereka mengetahui bahwa kekerasan bukanlahmasalah privasi belaka, melainkan sebuahpelanggaran hukum yang harus ditindak secarategas. Dengan ini perempuan akan men-dapatkan masalah yang mereka hadapi kedalam gambaran yang lebih luas dan merekaakan merasa sebagai bagian dari usahapengentasan masalah yang mereka hadapidengan solusi yang lebih tepat dan diper-timbangkan secara kolektif.

Disini pengorganisasian masyarakatfeminis adalah salah satu penerapan akan teoripengorganisasian masyarakat yang berusahamemahami dinamika sebuah masyarakat Indo-nesia yang terdiri dari banyak perempuan.Sesungguhnya pergerakan feminis akanberbeda sesuai dengan latar belakang agama,pendidikan, ekonomi dan letak geografisdimana teori ini diterapkan. Dengan kata lain,feminisme adalah fenomena global danterekspresikan unik pada setiap kultur danbudaya yang ada di seluruh dunia. Namun tentusaja ada tujuan umum yang sama darikesemuanya yaitu menghapuskan kekuasaanhirarkis pada proses pembuatan keputusan,agar setiap orang menyadari bahwa merekadapat memberikan kontribusi pada sebuahorganisasi dengan cara apapun yang dapatmereka lakukan. Karena pengorganisasianmasyarakat feminis bertujuan untuk meng-hapuskan seksisme, rasisme dan bentukdiskriminasi dan tekanan lainnya dengan prosespemberdayaan.21

Teori dan pendekatan pada aktifismefeminis memiliki keserupaan pada peng-organisasian masyarakat, yang akan lebihlanjut dibahas pada bahasan berikutnya.Secara keseluruhan semuanya berkomitmendalam mengusung tanggungjawab kolektif,bekerjasama bukan berkompetisi, bekerjadengan dan pemberdayaan kelompok danberusaha melakukan perubahan sosial.22

C. Pendekatan-PendekekatanPengorganisasian Masyarakat

Menurut Brager, pengorganisasianmasyarakat adalah satu metode pekerjaansosial dalam pendekatan pada isu kolektif.Tidak ada definisi akurat dan persis akanpengorganisasian masyarakat, ini dikarenakanbanyaknya macam, tingkat dan perbedaanpraktek yang ada di lapangan.23

Seperti yang ada pada pendekatanpengorganisasian masyarakat feminis,pengorganisasian masyarakat memberikansebuah kerangka dalam memahamibagaimana individu, kelompok dan keber-samaan saling terkait. Pengorganisasianmasyarakat memandang masalah personalsebagai sebuah masalah politis. Baik teorifeminis maupun teori pengorganisasian secara

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 64: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

60

umum memandang sama bahwa kekerasanterhadap perempuan adalah masalah kolektif.Karena keduanya memandang bahwakekerasan perempuan harus dipandangsebagai masalah yang ada di masyarakat.Proses bagaimana melakukan ini dinamakandengan sosialisasi.24

Namun sebelum kita melakukan sosialisasimasalah ke dalam masyarakat tentunya kitaharus mengetahui seleksi masalah, seperti yangtelah disebutkan pada bagian awal tulisan ini,salah satu yang terpenting dari pemilihanmasalah adalah masalah yang akan diangkatharuslah masalah yang nyata dihadapi olehmasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakatbanyak isu-isu yang potensial, oleh karena itu,masalah seperti apa yang harus dipilih?Dengan sarana dan prasarana yangterbatas, kita tidak dapat mengatasi semuamasalah yang ada. Salah satu langkahpenting yang dapat dilakukan, misalnyadengan mendengarkan apa yang diinginkanmasyarakat dan memberdayakan mereka untukmengambil keputusan. Hal-hal tersebut adalahbeberapa cara yang bisa dilakukan di dalampengorganisasian masyarakat.

Ada beberapa prinsip dasar dalammelakukan seleksi masalah ini : pertama,problem yang dirasakan harus nyata dandirasakan oleh sejumlah besar anggotamasyarakat. Ini dapat dilakukan dengan caramemetakan masalah dan memastikan jumlahorang yang ingin terlibat.

Kedua , masalah yang ada dengansendirinya membutuhkan solusi kolektif.Beberapa masalah penting yang ada dimasyarakat yang sulit diatasi dengan solusikolektif, khusus untuk kekerasan terhadapperempuan. Banyaknya kasus kekerasan iniyang dianggap privat dan pribadi meng-akibatkan seringnya kasus kekerasan yang tidakdapat diidentifikasi, lalu menumpuk danmenjadi fenomena yang begitu mengerikan.Sekedar untuk mengkontekstualisasikanmasalah kekerasan terhadap perempuan initelah lama ‘disembunyikan’ dari muka umum,namun terjadi setiap hari. Contohnya saja,dalam waktu 5 jam saja, menurut Wahjana,Indonesia mencatat paling tidak satu kasuspemerkosaan, dan banyaknya kasus inidilakukan oleh orang yang dikenal dari teman,pacar, hingga keluarga kandung pun menjadi

pelaku akan peristiwa pemerkosaan yangdialami perempuan setiap harinya.25 Belum lagipelecehan seksual yang dilakukan oleh oknummasyarakat kepada perempuan. Alasan akantindak negatif ini sederhana saja, karena targetadalah perempuan. Fakta yang terjadi adalahbanyak masyarakat yang membiarkan bahkan‘menyetujui’nya lewat diam atau lebih buruklagi, lewat adat, norma dan perangkat hukumyang tetap melakukan diskriminasi-diskriminasiterhadap perempuan.26 Oleh karena itumasalah kekerasan terhadap perempuanadalah masalah bersama yang membutuhkansolusi bersama.

Ketiga, masalah ini dapat dijelaskan;karena pada dasarnya setiap masalah adalahkompleks, oleh karena itu masalah harus dapatdijelaskan dengan sederhana dan singkat,karena tanpa itu masalah tidak akan dapatmenarik perhatian dan dukungan masyarakat.Khusus untuk masalah kekerasan terhadapperempuan ini, akan lebih mudah bagi pekerjasosial untuk dapat menjelaskan masalahkekerasan ini kepada masyarakat dengancontoh dan kasus yang terjadi di tengahmasyarakat itu sendiri. Selanjutnya melakukanrefleksi pada masyarakat dan sekali lagimelakukan sosialisasi akan pentingnya masalahkekerasan terhadap perempuan.

Ketiga cara ini adalah beberapa daribanyak hal yang dapat dilakukan dalammelakukan seleksi masalah yang ada dimasyarakat. Namun yang paling penting dariusaha ini adalah melakukan sosialisasi danpenyadaran isu kekerasan ini. Pada bentukidealnya, pengorganisasian masyarakat adalahsatu cara agar semua anggota masyarakatdapat terlibat, karena pengorganisasianmasyarakat harus bersifat ‘inklusif’.27 Teoripengorganisasian masyarakat feminis jugamenekankan pentingnya membangun kekuatanhubungan dan dinamika internal masyarakatsebelum melakukan aksi yang lebih eksternal.28

Dalam kajian feminisme, ini yang disebutdengan ‘sisterhood’ atau persaudaraanperempuan.29 Ini adalah sebuah konsep dasarperekat perempuan pada perjuangan akancita-cita yang sama.

Salah satu mekanisme yang kuat dalammelakukan usaha penyadaran adalah lewatmedia.30 Media sebagai salah satu caramasyarakat dalam mengakses informasi.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 65: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

61

Media adalah cara yang efektif dalammenyampaikan pesan-pesan sosial. Hal ini bisadilakukan dengan menerbitkan selembaran,poster dan spanduk. Contoh menarik yang adadi Indonesia adalah dengan layanan iklanmasyarakat yang dilakukan oleh tokohmasyarakat, selebritis atau publik figur yangdianggap berpengaruh dalam membentukopini publik. Untuk kasus kekerasan terhadapperempuan, cara ini adalah yang pentingdilakukan.

Untuk mempersingkat, pendekatanpengorganisasian masyarakat ini, ada duadimensi penting: pertama, proses pendekatanpengorganisasian masyarakat yang terdiri darimengenal masyarakat, outreach ataubersentuhan dengan masyarakat, dansosialisasi. Sedangkan pada dimensi strategihanya ada dua elemen yang penting yaitubekerja melalui dan dengan media. Kedua,bekerja dengan pemerintah atau tokohsetempat.

Tentu saja pengorganisasian masyarakattentu saja bukan fenomena baru di Indonesia.Artinya, hal ini tentu saja mungkin diaplikasikanpada konteks Indonesia. Mungkin isu kekerasanterhadap perempuan dengan pendekatanfeminislah yang baru dan perlu disosialisasikandengan giat oleh pekerja lapangan. Initantangan dan pekerjaan baru, namun tentusaja mungkin dilakukan.

D. Feminisme Islam

Feminisme Islam sebagai sebuah istilahyang muncul di Mesir ketika banyak diskusi yangmembahas tentang persamaan dan keadilanbagi perempuan dalam menggunakanpendekatan yang Qur’ani dan teks agamalainnya pada tahun 1980-an.31

Badran berpendapat bahwa feminismeIslam adalah penerapan teks keagamaan yangmenjunjung tinggi nilai persamaan antarapria dan perempuan pada kehidupan sehari-hari. Feminisme Islam berusaha untukmendekonstruksikan interpretasi Al-Qur’an yangpartiarkis dari makna sebenarnya yang bebasdari kepentingan politis manapun dalam rangkauntuk menunjukan makna yang sebenar dari Al-Qur’an sebagai kitab suci. Pada kenyataannya,Feminisme Islamis dapat diawali dengan caramempromosikan juga mensosialisasikan kepada

masyarakat nilai sebenarnya Al-Qur’an bukanpada makna yang diterjemahkan oleh orang-orang yang berbeda dengan kepentingannyamasing-masing. Dari perspektif Barat,feminisme Islam ini dapat diterima pada tahun1990an, tetapi masih banyak yang menolakistilah feminisme Islam.

Banyak kaum feminis yang ‘sekular’percaya bahwa Islam tidak dapat digabungkanpada feminisme, karena mereka percayabahwa ini hanya kepanjangan tangan daridominasi partiarki yang kental dalam dunia Is-lam. Tetapi feminisme Islam ini dapat dijadikancara untuk membentuk solidaritas denganperempuan lain agar dapat mempromosikankekuatan global untuk kemerdekaanperempuan dengan caranya tersendiri, denganmengenal dan memahami perbedaan danberusaha menemukan persamaan yang adauntuk dapat melakukan perubahan. Feminismeadalah sebuah ide dimana perempuan dapatberdiri sendiri dengan penuh percaya diri,harga diri dan persamaannya sebagaiperempuan, terlepas dari perbedaan etnis dannegara. Yang perlu dilakukan disini adalahdengan menciptakan dialog antara kedua kubuyang bertentangan ini.

Nighat Gandhi sebagai aktifis hakperempuan berpendapat bahwa feminisme Is-lam adalah respon perempuan muslim kepadakekerasan yang semakin marak di tengahmasyarakat mereka.32 Ia memandang bahwagerakan ini adalah salah satu usaha pencariansolusi dalam membawa perempuan muslimpada perjuangan akan hak mereka sebagaimanusia. Jadi isu ini, bukan melulu milikperempuan. Identitas Islam digunakan sebagaititik awal perjuangan, karena dari sanaperempuan muslim dapat ke luar dariketidakadilan, ketidakacuhan juga harga diriyang telah dikelasduakan untuk akhirnya dapatbergabung dengan yang lain dalam usaha glo-bal dalam membentuk keadilan sosial jugadunia yang setara.

Untuk dapat bekerja dalam konteks iniadalah dengan memahami berbagai tradisiIslam yang sangat berpengaruh di dalammasyarakat. Menurut Al Faruqi ada beberapahal yang harus dipahami, salah satunya adalah,sistem keluarga besar, yang banyak memainkanperanan penting di dalam sebagian besarkehidupan perempuan muslim. Keluarga besar

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 66: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

62

seperti ini mengikat anggota keluarganya lebihjauh dari sebuah keluarga kecil inti dari segipsikologis, sosial, ekonomi bahkan politik. Inididukung pula dengan teks agama akantanggungjawab yang harus diemban di dalamsebuah keluarga besar, seperti hak waris yangtelah ditentukan, dukungan, dan salingketergantungan yang erat pada sebuahkeluarga besar.33

Sebuah tradisi Islam yang penting bagisebagian besar muslim lainnya adalahperhatian yang besar akan komunitas dan skalamasyarakat yang lebih besar. Pandanganindividualisme Barat bukan hal yang mudahditerima bagi sebagian besar perempuanmuslim. Oleh karena itu feminisme yang tidakdapat memahami konteks Islam seperti ini akangagal mendapatkan tempatnya di hatimasyarakat Islam. Ini juga yang memperkuatpentingnya pendekatan yang lebih komunaldalam kekerasan terhadap perempuan ini.

D. Islam, Feminisme danPengorganisasian Masyarakat

Spiritualitas dan PengorganisasianMasyarakat feminis memiliki keterkaitan yangkuat, walaupun banyak yang melihat hal inisebagai sesuatu yang terpisah. Bagaimanapunsejarah menunjukan bahwa kedua pendekatanini tidak dapat dipisahkan. Menurut Shaheed,seorang aktifis feminis Islam, berpendapatbahwa, salah satu faktor agama yangmembedakan dengan yang lain adalahkapasitasnya dalam memberikan afirmasi diripada tingkat psikologis seseorang juga padatingkat kolektifitas seseorang. Lewat ritual danpraktek keagamaan yang ada, agamamemberikan rasa keterlibatan dan kepemilikanatas sesuatu yang tidak dapat diberikan hallain.34

Pada konteks Amerika Utara, hubunganantara organisasi masyarakat feminis danspiritualitas telah dicatat oleh Todd.35 Ia melihatbahwa ketika banyak dari kita yang bekerjapada bidang yang sekular, jelas bahwa sisikeagamaan dan spiritualitas telah membentukcara bagaimana kita melakukan sesuatu dilapangan. Apa yang kita lakukan sebenarnyamencerminkan dan terkait dengan pengalamanspiritualias kita; juga sisi sosial ketika bekerjadengan masyarakat serta pekerjaan sosialyang kita geluti. Todd juga menambahkan

bagaimana sejarah pengorganisasianmasyarakat yang moderen di Amerika Utarajuga berawal dari kegiatan kemasyarakatankeberagamaan pada gereja, sinagog dantempat peribadatan lainnya. 36

Dalam pengorganisasian masyarakat ini,agama dapat dijadikan alat dalam melibatkankeanggotaan seseorang di dalam masya-rakatnya (Shaheed, 1995). Kombinasi akan duapendekatan ini menunjukan bahwa aktifismesebenarnya dapat berjalan beriringan denganspiritualitas dan agama seperti apa yang pernahterjadi di masa lalu.

I I I. KONTEKS INDONESIA

A. Penerapan Feminis Islamdi Indonesia pada OrganisasiMasyarakat Perempuandi Indonesia

Pada konteks keindonesiaan, peng-organisasian masyarakat sangat terkait eratdengan NGO atau organisasi non pemerintah.Sebuah diskursus yang memiliki ciri khas kulturdan sejarah tersendiri di Indonesia.37 Begitujuga pada pergerakan organisasi perempuandi Indonesia. Pergerakan perempuan diIndonesia memiliki sejarah yang panjang danmenjadi bagian dari perjuangan Indonesiasebagai sebuah bangsa. Khususnya padamasa melawan penjajahan belanda adabeberapa pahlawan wanita yang menjaditokoh penting seperti Cut Nyak Dien (1908),Martha Christina Tiahahu (1818) juga NyaiAgeng Serang (1928) dan masih banyak lagi.38

Dalam konteks pengorganisasian masyarakatakan feminisme, gerakan perempuan diIndonesia pada masa awal ini belum terlihat.

Organisasi perempuan dengan agendagender muncul sekitar tahun 1990-1998. adatiga faktor besar yang memiliki kontribusi besarterhadap munculnya pergerakan perempuan ini,khusunya organisasi feminis islam, pertama,pengaruh yang besar dari pelatihan dan semi-nar bertemakan gender dengan skala nasionalyang dilakukan oleh aktifis perempuan diIndonesia. Mereka yang mengikuti pelatihan iniberbagi pengalaman dan akhirnya terinspirasiuntuk mengorganisasikan diri mereka untukmengangkat tema-tema perempuan.39 Kedua,adanya perkembangan akan diskusi feminis

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 67: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

63

yang mulai melirik pendekatan religi, agarperempuan di Indonesia dapat dengan mudahmenerima ide feminisme yang berdasarkanagama dan kepercayaan yang mereka anut.Pada pergerakan ini para aktifis perempuanberusaha menjawab pertanyaan seputarperempuan yang berdasarkan pandanganreligi. Pergerakan ini terbukti sukses denganbanyak tumbuhnya organisasi perempuan yangmengangkat isu gender namun tetap bercirikanFeminisme Islam.40

Berdasarkan observasi yang saya lakukandi lapangan, Rifka Annisa women crisis centeradalah salah satu organisasi perempuan yangsesuai dengan pembahasan yang saya maksud.Rifka Annisa WCC adalah sebuah organisasinon pemerintah, yang dibangun hampir 13tahun silam dengan tema besar penghapusanakan kekerasan terhadap wanita.

Feminisme Islam itu sendiri tidak begitujelas nampak pada program-program yangmereka miliki. Namun pada salah satubookletnya, Rifka Annisa WCC dengan jelasmenggambarkan kerangka feminisme islampada pembahasan tentang persamaangender dengan sudut pandang agama islam.Pada salah satu bookletnya Rifka Annisa WCC,contohnya, berusaha menggambarkan relasiantara suami dan istri yang memiliki kekuasaanyang sama dengan menggunakan teks suci.Rifka Annisa memandang bahwa peng-organisasian masyarakat feminis Islam begitupenting dalam memberikan kerangka ideologiyang dapat merespon kebutuhan perempuanIndonesia dalam memerangi kekerasanterhadap perempuan.41

Di masyarakat ada juga usaha-usahabaru yang dilakukan untuk mengangkat temagender khususnya kekerasan ke permukaan,salah satunya dengan menggunakan kelompokmajlis ta’lim untuk melakukan sosialisasiterhadap perilaku kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat. Usaha mengkaitkan tekssuci tentang kesetaraan gender dengan realitayang ada di tengah masyarakat, terbukti ampuhdalam melakukan usaha penyadaran seputarisu-isu kekerasan.42

IV. METODOLOGI

A. Disain Studi

Metode yang digunakan dalam pem-bahasan ini adalah kajian teoritis berupa studipustaka tentang pendapat, pemikiran dan teorifeminis akan pengorganisasian masyarakat,teori feminisme Islam dan kombinasi antarelemen di atas. Di samping itu tentu saja akanada analisa riil tentang persoalan yang adadalam pengorganisasian masyarakat dan isuyang muncul berdasarkan pengamatan danpengalaman penulis selama mengajar, belajardan aktif dalam lapangan pengorganisasianmasyarakat. Data sekunder dijadikan sumberdata dalam mendalami kajian yang dibahasdi dalam tulisan ini sumber datanya adalahartikel pada jurnal, koran, periodikal,selembaran, flyers, booklet,disertasi danlaporan tahunan). Selain itu data juga diambildengan menggunakan pedoman interviewsemi-terstruktur. Ada tujuh informan kunci yangdiwawancara secara individu. Pertanyaan yangditanyakan terkait dengan impelemntasi teorifeminis Islam dalam pengorganisasianMasyarakat di Indonesia lewat NGO yang adadi Indonesia. Metode ini digunakan karenakajian yang diangkat dalam makalah ini adalahisu yang begitu besar, sehingga metode kualitatifseperti ini sangat tepat.

B. Sampel

Sampel dipilih berdasarkan keinginaninforman dan menggunakan teknik samplingnon-random terencana (purposeful non-randomsampling techniques). Kedua cara di atas sesuaidengan kajian penelitian kuliatatif.43 Newmanmenambahkan bahwa teknik seperti iniberdasarkan pemikiran bahwa setiap informanbisa memberikan informasi yang mendalamtentang kajian yang sedang dipelajari dandengan menggunakan teknik ini informan dapatmemberikan variabilitas data yang memangdibutuhkan dalam kajian kualitatif seperti yangdiusung dalam tulisan ini. Sampling convienceini juga dipilih karena kesediaan informan, caraini tentunya menawarkan sampel yang cepatdan mudah untuk membahas pertanyaan yangmemang sangat spesifik.44 Informan yang

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 68: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

64

bersedia untuk diwawancara adalah dua staffNGO di Jakarta, 2 staff NGO di Yogyakarta,Seorang Konsultan gender di McGill-Indone-sian Project, dua orang peneliti dari PPIM (PusatPengembangan Islam dan Masyarakat. KeduaInforman di Yogyakarta dipilih berdasarkanrekomendasi dari pusat studi wanita UIN syarifHidayatullah ketika membaca kajian pustakayang telah saya tulois, sedangkan semua yangdijakarta dipilih berdasarkan rekomendasikonsultan gender di McGill-Indonesian Project.Wawancara dilakukan dengan mendatangilangsung mereka, kontak melalui surat elektronikdilakukan untuk memastikan kebersediaanmereka untuk diwawancara. Kontak sudahdibangun dua bulan sebelum wawancarakualitatif dilakukan.

C. Keterbatasan Studi

Namun, tentunya studi ini memilikibeberapa keterbatasan yaitu terbatasnya jumlahinforman yang dapat diwawancarai sehinggadata yang didapat tidak bisa dijadikanpandangan umum. Akan sangat ideal bilawawancara dilakukan dengan beberapainforman sehingga data dapat menjadi lebihluas. Namun karena kekurangan dana hal initidak dapat dilakukan. Waktu juga menjadiketerbatasan, karena studi ini hanya dilakukandalam kurun waktu dua minggu, sehinggabanyak sekali informasi detail yang tidak bisadikumpulkan.

V. ANALISA TEMUAN

A. Gambaran Impelentasi PendekatanPengorganisasian MasyarakatFeminis Islamis dalam MemerangiKekerasan terhadap Perempuandi Indonesia

Pengorganisasian Masyarakat di Indone-sia terimpelentasikan lewat banyaknya network-ing yang dibangun dalam memerangi kekerasanperempuan di Indonesia dan juga carabagaimana pelyanan yang ada diberikankepada perempuan Indonesia. Ada beberapatemuan yang merefleksikan hal ini :

1. Apa yang dimaksud dengan Feminisme ?

Wawancara yang dilakukan olehpara informan mengatakan bahwafeminisme di Indonesia tergambarkan

dengan berbagai cara yang berbeda.Salah satu staff NGO perempuan diYogyakarta mengatakan bahwa kataFeminisme itu tidak bisa dibahasakandengan kata ‘feminisme’ langsung namundengan menggunakan bahasa lain sepertikesetaraan gender. Namun, walaupunkeseganan ini muncuk, mereka merasabahwa feminisme adalah kerangkapenting dalam memahami isuperempuan. Seperti yang dikatakan dibawah ini :

“Saya rasa feminisme memiliki wajahyang berbeda. Perbedaan ini berdasarkandari banyak hal, .. ekonomi..agama..pendidikan... yang seperti yang bikin beda.Dengan hal ini.. cara satu orangmengartikan feminisme tentu saja berbedadibandingkan dengan orang lain... nah Is-lam disini adalah salah satu latar belakangperempuan Indonesia” (Informan 3)

Senada dengan informan se-belumnya, salah satu informanmengatakan :

“Namanya Feminisme itu kan konsepyang sangat besar.. jadi sangat wajar bilaorang menggunakan konteks dimanaberada, untuk memahami.. apalagiFeminisme.. Indonesia itu kan orang masihbanyak enggan.. apa ya.. rada ragu-ragumenggunakannnya.. karena masyarakatsudah takut bila mendengar kata feminisme.. jadi bahasanya yah.. diubah jadikesetaraan gender.. masih ok lah.. yangpenting kan pesan yang ingin disampaikan.. sampai.. gitu lho.. “(Informan 4)

Menurut salah satu Booklet padaRifka Annisa45, sebuah LSM perempuan diYogya, feminisme menolak ketidak-adilangender dan mendukung kese-taraan gen-der. Feminisme membantu perempuanuntuk memahami tekanan yang dialamioleh perempuan dan mencari solusi yangtepat sesuai dengan kontek dan situasiyang mereka hadapi. Yang diterapkan disalah satu daerah di Indonesia, mungkintidak dapat dilakukan di daerah lain,meskipun masih di Indonesia. Feminismemelihat relasi gender antara perempuandan laki-laki. Dengan feminisme juga,perempuan dapat memahami masalahyang dipahami oleh perempuan lain.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 69: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

65

Seorang Konsultan gender diMcGill-Indonesian Project dan seorangPeneliti di PPIM mengrekspresikanpandangan yang lebih kuat tentangfeminisme dibandingkan dengan informansebelumnya, “Saya pikir belum tepat bilaIndonesia menggunakan kesetaraan gen-der, karena begitu banyak isu perempuanakibat subordinasi yang terjadi di Indone-sia... ini bila kita bandingkan denganmasalah yang dihadapi laki-laki.. olehkarena itu feminisme harus dibahasakansecara eksplisit dalam pergerakanperempuan di Indonesia” (informan 1)

“Saya rasa feminisme harus tetapmenjadi bendera. Jangan takut kalaumasyarakat belum siap.. masyarakat akanmenerima atau tidak.. cepat atau lambatmereka akan menerimanya” (informan 2)

2. Apakah feminisme bertolak belakangdengan Budaya Indonesia ?

Menurut Rifka,46 feminisme tidakbertolak belakang dengan budayaIndonesia. Sebenarnya, feminisme berasaldari barat dan banyak orang berpikirbahwa feminime merefleksikan budaya.Namun bagi wanita, yang menjadi inti darifeminisme bukan darimana ideologi ituberasal karena feminisme menyorotpermasalahan perempuan. Singkatnya,feminisme tidak berseberangan denganbudaya Indonesia karena mendukungkesetaraan gender. Feminisme danBudaya Indonesia bisa dan mampu untukberjalan beriringan.

Satu informan menyetujui pan-dangan ini, namun ia merasa masihbanyak masyarakat Indonesia yangmenganut budaya partiarki :

“Kita semua tahu bahwa budayaIndonesia menghargai perempuan danlaki-laki.. namun ada banyak tradisiyang ada pada masyarakat yang secaratidak sadar melakukan subordinasiyang meminggirkan kaum perempuan,contohnya banyak perempuan pemimpin diIndonesia yang diragukan kemampuannya,hanya karena ia berpenampilan baik..apalagi kalau sudah cantik.. jadi pemimpin...masih banyak orang yang mikir bahwa pastipemimpin ini ada apa-apanya...” (informan

7)

3. Apakah Feminisme berseberangandengan Islam ?

Sebagian besar informan menya-takan setuju bahwa Islam beriringandengan Feminisme, ditambah denganagenda feminisme yang memangmempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun salah satuinforman, yang menjadi direktur salah satuLSM perempuan di Jakarta mengutarakanbahwa sangat sulit untuk penganut Mus-lim untuk mengakui nilai barat, sepertifeminime :

“Ada beberapa praktek dalam Islamyang sangat partiarki. Namun disini yangharus kita lakukan adalah berhati-hati..karena saya yakin itu bukan Islam (karenatidak sesuai dengan Al-Qur’an dan SunnahNabi), namun banyak orang yang sudahbegitu lama melakukan praktek ini danmenjadi tradisi. Seperti contohnya kawinpaksa pada beberapa masyarakat di Indo-nesia... banyak orang yang memandang itusebagai bagian dari tradisi Islam... sayatidak tau.. mungkin mbak lebih tau manayang Islamis mana yang tidak.. namunintinya kita harus hati-hati... dan tentunyabijaksana.. feminisme disini hadir danmenjadi kerangka penting untuk melihatmasalah seperti ini.. namun karenafeminisme bukan dari Islam.. banyakMuslim yang takut menggunakan ide ini”(Informan 6)

4. Adakah Pengorganisasian MasyarakatFeminis Islamis dalam memerangikekerasan Perempuan di Indonesia ?

Ada banyak LSM perempuan yangmenggunakan bahasa Arab, yangnotabene Islam (paling tidak di Indone-sia), sebagai strategi untuk menarikperhatian publik seperti Rifka Annisa diYogya (yang berarti teman perempuan).Strategi lain yang digunakan adalahdengan menggunakan OrganisasiMasyarakat Islam dalam memerangi isuperempuan seperti Aisyiyah untukMuhammadiyah, Fatayat dan Muslimatpada Nahdatul Ulama atau NU.

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 70: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

66

Salah satu Informan peneliti dan jugapengajar mengutarakan pesan yangsama :

“... kalau ditanya seperti itu.. banyaklah.. banyak sekali pergerakan perempuanyang bernafaskan (menggunakan) benderaagama... kegiatannya itu banyak.. daripelatihan.. tulisan.. jurnal.. seperti ketika isupoligami marak di Indonesia. Pergerakanperempuan di Indonesia hadir denganmenggunakan bahasa agama.. bahkanpakai alQur’an segala.. itu kan bagus.. dantentu saja lebih efektif.. yang saya ingatkok.. Rifka Annisa.. ini adalah salah satucontoh paling baik.. kalau andamenanyakan pertanyaan ini... karenamereka itu inklusif.. karena merekamembuka pelayanannya untuk semuaorang” (informan 5).

Informan yang lain juga menyetujuihal ini :

“Yang saya paling suka adalah..mereka menggunakan bahasa agama..sehingga orang lebih mendengarkan.. danakhirnya orang juga percaya.. simpel saja..karena orang lebih mengerti dan lebih con-nect aja.. itu bagus kan” (Informan 2)

Dalam salah satu bookletnya, RifkaAnnisa juga menggambarkan kerangkaFeminis Islamis dalam diskusinya tentangkesetaraan gender di Islam, khususnyatentang masalah hubungan suami istri.Mereka berpendapat walaupun benardalam Al-Quran, tuhan menyatakanbahwa perempuan dan laki-laki adalahsama, namun pada kenyataan sehari-hari,interpretasi partiarkis yang masih seringdipakai. Contohnya adalah pendapatyang menyatakan bahwa perempuantidak seharusnya mening-galkan rumahuntuk melakukan kerja sebagai bentukaktualisasi diri adalah salah satumisinterpretasi nilai islami yang tentu sajahal ini mensubordinasi perempuan. RifkaAnnisa menekankan bahwa menghormatiperempuan adalah dengan menjaminkebebasan mereka untuk menentukanpilihan dan perempuan harus terlibat dandiikutsertakan di dalam proses pembuatankeputusan.

Walaupun kekerasan terhadapperempuan adalah masalah yang begitumeluas, bagi beberapa masyarakat,mengutarakan masalah kepada publikadalah ide yang sangat revolusioner. Olehkarena itu pendidikan dan sosialisasi harustetap menjadi agenda utama, tentu sajahal ini dilakukan dengan tetapmengindahkan pendekatan yang sensitifdengan pertimbangan kebutuhan dan nilailokal.47 Di banyak daerah di Indonesia,ada banyak kelompok pengajianperempuan yang biasa disebut denganMajlis Ta’lim, sosialisasi dan pendidikankesetaraan gender dapat dilakukan lewatorganisasi semacam ini. Nilai keislamandapat dijadikan pendekatan yang dapatmenarik perhatian publik. Laki-laki dalamhal ini juga harus dapat diikutsertakan,karena bagaimanapun isu perempuanbukan hanya milik perempuan, namunjuga laki-laki. Perubahan sosial harusmelibatkan semua anggota masyarakat,karena perubahan itu penting dan bagisemua anggota masyarakat baik laki-lakimaupun perempuan.

VI. PENUTUP

Setelah kita membahas tentang teori sertakenyataan yang ada, kita dapat melihat bahwapendekatan pengorganisasian masyarakatyang feminis juga Islamis dapat diterapkan kedalam komunitas Islam karena pendekatan inidapat memahami realitas unik yang ada ditengah masyarakat Indonesia.

Untuk memerangi kekerasan terhadapperempuan, kita harus dapat bekerja darikonteks lokal agar usaha yang kita lakukandapat diterima, paling tidak, dipahami olehmasyarakat. Di Indonesia, saya melihat potensiyang begitu besar dari perempuan Indonesiadalam memerangi kekerasan terhadapperempuan dengan melibatkan mereka padaproses pembuatan keputusan. Hal ini bisadiawali dengan memasukan agenda isuperempuan pada organisasi perempuankeIslaman, dari organisasi politik hingga majlista’lim, misalnya, karena ini dapat membentukkekuatan yang ada di luar rumah.48

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 71: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

67

Usaha yang dilakukan dalam pem-berdayaan wanita ini harus dapat memastikanhak yang sama pada konteks religius dan sosial.Ini penting untuk memberikan pengertian pada

perempuan Indonesia bahwa kekerasan adalahmasalah bersama, juga masalah internasionaldan harus diikuti dengan kesadaran penuh akanhak mereka sebagai perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Adamson, A, et al., 1998, The Ideology of women’s movement. In Feminist organizing for change, thecontemporary women’s movement in Canada, Toronto; Oxford

Al- Faruqi,L.L., Islamic Traditions and the Feminist Movement: Confrontation or Cooperation?,http//www.jannah.org/sisters/feminism.html

Badran,M., Islamic Feminism means justice to women, retrieved april 22 2003, dari http://www.milligazzette.com/archivs/2004/16-31Jan04-Prin-Edition/1631200425.htm

Brager, George, Harry Specht dan James Torzyner, Community Organizing, (New York, ColumbiaUniversity Press, 1987)

Breton, Margaret On the Meaning of Empowerment and Empowerment Oriented Social Work Practice,Social Work with Groups,( vol. 17 (3), 1994)

Campbell,John., Prevention of wife battering : Insights from cultural analysis. Response to the Victimiza-tion of Women and Children, (1992), 14 (3)

Dorfman, Rachelle, Ph.D., 1996, Chapter 3 : Roles and Practice Settings.; Clinical Social Work; Defini-tion, Practice and Vision.; New York : Brunner-Mazel Publishers

Eldridge, O.J., 1995, Self Reliance, participation and democracy : Core concepts and values of Indone-sian Non-Government Organisatios, Non-Government Organisations and Democratic Participa-tion in Indonesia; New York, Oxford University Press

Fellin,P., 1999, Developing Community Orientation, in Community and the Social Worker, Itasaca. F.E.Peacock Publishers

Gandhi,N., In the Shadow of Inequality in the Hindu, 19 Oktober 2003, http://www.countercurrents.org/gender-gandhi191003.htm

George, Dan., Excerpts from Vis-a-Vis : A National Newsletter on Family Violence, (Canadian Councelon Social Development, 1992), chap. 11.

Guiterrez,Louise, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera, FG.,Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon, 1996)

Hardcastle,D.A., S. Wenocur. & P.R. Powers, The Concept of Community in Social Work Practice. InCommunity Practice. Theories and Skills for Social Workers, (New York : Oxford University Press,1996).

Heise, Lori, 1996, Violence Against Women: Global Organizing for Change, In Future Intervention withBattered Women and Their Families; Newbury Park : Sage Publications, Inc

hooks, Bell, Feminist theory : From Margin to Center, In Feminist Movement to End Violence, (Boston :South End Press, 1984) chap. 9

Mizrahi. Joseph, B, T Peterson & F. Sugarman. Women’s Perspectives on Community Organizing: AFeminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of theCouncil on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989)

Muchtar, Damayanti, 1999, The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, Athesis submitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 72: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

68

Newman, W.L., 2003, Social Work Research Methods, qualitative and quantitative approaches, Boston;Pearson

Shaheed,F., 1995, Networking for change: The role of women in initiating dialogue on women’s issues,in faith and freedom, women’s human rights in the Moslem’s world. New York; Syracuse UniversityPress

Suryochondro, S., 1995, Timbulnya Pergerakan Gerakan Wanita di Indonesia pada Kajian Wanitadalam Pembangunan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Todd, Sarah, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm

Torczyner, James, Globalization, Inequality and Peace Building: What Social Work Can do, “SpecialIssue: Canadian Social Work” volume 2 (1), (Summer, 2000)

Torczyner, James, 2003, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar inEmpowerment Practice, Montreal, Eastman

Wahjana, Jajang, Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http://www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html

Williams, O., Group Work with American African Men who Batter : Towards More ethnically sensitivepractice. Journal of Comparative Studies, 25 (1).

Yuarsi, S et. Al, 2002, Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan, Yogyakarta, Kerjasama PusatStudi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation

10 Tahun WCC Rifka Annisa, Kompas 1 Agustus 2003.

Catatan Kaki :1 Yuarsi, S et. Al, Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan, (Yogyakarta, Kerjasama pusat

studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation, 2002), hal1-9

2 Margaret Breton, On the Meaning of Empowerment and Empowerment Oriented Social Work Prac-tice, Social Work with Groups,( vol. 17 (3), 1994), hal 24

3 Bell hooks. Feminist theory : From Margin to Center, In Feminist Movement to End Violence, (Boston:South End Press, 1984) chap. 9 hal. 117-131.

4 Sarah Todd, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm

5 Damayanti Muchtar, The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, A thesissubmitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia (1999), hal.35-37.

6 Yuarsi, S et. Al, Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan, (Yogyakarta, Kerjasama pusatstudi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation, 2002), hal1-9

7 Lori Heise, Violence Against Women: Global Organizing for Change, In Future Intervention withBattered Women and Their Families (Newbury Park : Sage Publications, Inc, 1996), hal. 7

8 Jajang Wahjana. Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http://www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html

9 P. Fellin, Developing Community Orientation, in Community and the Social Worker, (Itasaca. F.E.Peacock Publishers, 1999) hal. 1-5.

10 D.A. Hardcastle, S. Wenocur. & P.R. Powers, The Concept of Community in Social Work Practice. InCommunity Practice. Theories and Skills for Social Workers, (New York : Oxford University Press,

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 73: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

69

1996). Hal. 9711 George Brager, Harry Specht dan James Torzyner, Community Organizing, (New York, Columbia

University Press, 1987) hal. 5312 Rachelle A. Dorfman, Ph.D., Chapter 3 : Roles and Practice Settings.; Clinical Social Work; Defini-

tion, Practice and Vision.; (New York : Brunner-Mazel Publishers,1996) hal 41-54.13 P. Fellin, Developing Community Orientation, in Community and the Social Worker, (Itasaca. F.E.

Peacock Publishers, 1999) hal. 1-5.14 Louise Guiterrez, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera,

FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon,1996) hal. 7-33

15 Lori Heise, Violence Against Women: Global Organizing for Change, In Future Intervention withBattered Women and Their Families (Newbury Park : Sage Publications, Inc, 1996), hal. 11

16 James Torczyner, Globalization, Inequality and Peace Building: What Social Work Can do, “SpecialIssue: Canadian Social Work” volume 2 (1), (Summer, 2000) hal 125.

17 Joseph. B. Mizrahi.T Peterson & F. Sugarman. Women’s Perspectives on Community Organizing: AFeminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of theCouncil on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989).

18 Louise Guiterrez, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera,FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon,1996) hal. 7-33

19 Joseph. B. Mizrahi T Peterson & F. Sugarman. Women’s Perspectives on Community Organizing: AFeminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of theCouncil on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989).

20 James Torczyner, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar inEmpowerment Practice, (Montreal, Eastman, 2003) hal. 13

21 Louise Guiterrez, E.A. Lewis, A Feminist Perspective on Organizing with Women of Color. In Rivera,FG., Erlich, JL., (Eds.), Community Organizing in a Diverse Society, (Toronto, Allyn and Bacon,1996) hal. 7-33.

22 Joseph. B. Mizrahi T Peterson & F. Sugarman. Women’s Perspectives on Community Organizing: AFeminist Synthesis of Theory and Practice. Dipresentasikan pada the Annual Program Meeting of theCouncil on Social Work Education (Chicago, Maret, 1989).

23 George Brager, Harry Specht dan James Torzyner, Community Organizing, (New York, ColumbiaUniversity Press, 1987) hal. 60

24 James Torczyner, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar inEmpowerment Practice, (Montreal, Eastman, 2003) hal. 13

25 Jajang Wahjana. Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http://www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html

26 Lori Heise. International Diensions of Violence Against Women, Response to the Victimization ofWomen and Children, (New York : Sage Publications, 1989) Chap. 12 (1), hal. 3-11

27 James Torczyner, Issue Selection in Community Organization Practice in the Advanced Seminar inEmpowerment Practice, (Montreal, Eastman, 2003) hal. 13

28 Sarah Todd, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm

29 N. Adamson, et al., The Ideology of women’s movement. In Feminist organizing for change, thecontemporary women’s movement in Canada, (Toronto, Oxford, 1988) hal. 199-227.

30 Dan George. Excerpts from Vis-a-Vis : A National Newsletter on Family Violence, (Canadian Councelon Social Development, 1992), chap. 11, hal. 4.

31 M. Badran, Islamic Feminism means justice to women, retrieved april 22 2003, dari http://www.milligazzette.com/archivs/2004/16-31Jan04-Prin-Edition/1631200425.htm

Implementasi Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat Feminis Islamis (Dorita Setiawan)

Page 74: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

70

32 Nighat Gandhi, In the Shadow of Inequality in the Hindu, 19 Oktober 2003, http://www.countercurrents.org/gender-gandhi191003.htm

33 L. L. Al- Faruqi, Islamic Traditions and the Feminist Movement: Confrontation or Cooperation?, http//www.jannah.org/sisters/feminism.html

34 F. Shaheed, Networking for change: The role of women in initiating dialogue on women’s issues, infaith and freedom, women’s human rights in the Moslem’s world (New York, Syracuse University Press,1995). Hal. 12.

35 Sarah Todd, Feminist Community Organizing: The Spectre of the Sacred and the Secular, Retrieved 13June 2004 from http://www.fsw.ucalgary.ca/currents/articles/articles/todd/main.htm

36 Ibid37 O.J. Eldridge, Self Reliance, participation and democracy : Core concepts and values of Indonesian

Non-Government Organisatios, Non-Government Organisations and Democratic Participation inIndonesia (New York, Oxford University Press, 1995). Hal. 12.

38 S. Suryochondro, S., Timbulnya Pergerakan Gerakan Wanita di Indonesia pada Kajian Wanita dalamPembangunan, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal 5.

39 Damayanti, Muchtar, The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, A thesissubmitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia (1999), hal.35-37.

40 Ibid41 10 Tahun WCC Rifka Annisa, Kompas 1 Agustus 2003.42 Laporan Tahunan desa Binaan bojong Indah, tahun 2005, IISEP.43 W.L. Newman, Social Work Research Methods, qualitative and quantitative approaches,

(Boston:Pearson,2003) Hal 21044 W.L. Newman, Social Work Research Methods, qualitative and quantitative approaches,

(Boston:Pearson,2003) Hal 21045 Rifka Annisa Women Crisis Center, Mengorganisasikan diri menghentikan kekerasan membangun

pusat krisis berbasis komunitas, (Yogyakarta, WCC Rifka Annisa & AusAid,2002)46 Ibid47 O. Williams, Group Work with American African Men who Batter : Towards More ethnically sensitive

practice. Journal of Comparative Studies, 25 (1). Hal 91-10348 John Campbell, Prevention of wife battering : Insights from cultural analysis. Response to the Victim-

ization of Women and Children, (1992), 14 (3) hal. 18-24.

BIODATA PENULIS :

Dorita Setiawan, penulis adalah Alumnus School of Social Work, McGill University,Montreal,Quebec, Canada, tahun 2004. Sekarang aktif sebagai staf pengajar ProgramKesejahteraan Sosial di Universitas Islam Negeri Jakarta.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 54-70

Page 75: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

71

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA

TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI

DEPARTEMEN SOSIAL RI

Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari

ABSTRAK

Penelitian yang dilaksanakan di Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial ini meliputi (1) seberapa jauhaspek kepemimpinan berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai, (2) seberapa jauh motivasi kerja pegawaiberpengaruh terhadap prestasi kerjanya. Populasi penelitian ini berjumlah 70 orang, dengan acak sederhanadiambil sebanyak 60 orang pegawai untuk dijadikan responden penelitian. Hasil penelitian menunjukkan(1) Motivasi bekerja pegawai pusdiklat belum optimal dalam mendorong pegawai lain untuk bekerja lebihbaik, (2) Prestasi kerja di Pudiklat belum maksimal, karena konsistensi dan perilaku bekerja yang belumsesuai, (3) Prinsip dalam kepemimpinan yang terdiri dari keberhasilan dalam sebuah proses, pengetahuan,kemampuan dalam bertindak, kemampuan dalam memandu dan mendorong seluruh pegawai pusdiklatuntuk meningkatkan motivasi pegawai, (4) Karakteristik pegawai yang homogen, mempengaruhi motivasipegawai, (5) Budaya kerja yaitu nilai, kepercayaan serta merit system membawa efek dalam meningkatkanmotivasi kerja, (6) Motivasi pegawai Pusdiklat kurang kuat, sehingga berpengaruh terhadap prestasi kerja.Dari hasil penelitian tersebut, disarankan (1) Mengembangkan motivasi intrisnik dan ekstrinsikkepemimpinana dan budaya kerja yang efektif, (2) Budaya kerja, khususnya pada peningkatan sikap,kepercayaan, dan merit sistem.

Key word : Kepemimpinan, Motivasi, Prestasi Kerja

I . PENDAHULUAN

Berdasarkan pengamatan sementara,prestasi kerja pegawai pada Pusat Pendidikandan Pelatihan (Pusdiklat) Pegawai DepartemenSosial secara umum dapat dikategorikan masihbelum maksimal. Hal ini ditandai dengan belumberkembangnya nilai-nilai budaya kerja secarakonsisten yang dapat merubah sikap danperilaku sumber daya manusia untuk mencapaiproduktivitas kerja lebih tinggi dalammenghadapi tantangan masa depan.

Penilaian prestasi kerja pegawai ini mutlakharus dilakukan karena untuk mengetahuiseorang pegawai memiliki prestasi kerja atautidak dan sekaligus dapat mengetahuikelebihan-kelebihan maupun kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Bagi pegawaiyang memiliki prestasi kerja yang tinggi,memungkinkan dirinya untuk diberikan promosi,sebaliknya pegawai yang prestasinya rendahdapat diperbaiki prestasi kerjanya denganmemindahkan kejabatan atau posisi yang

sesuai dengan kecakapannya ataupunmelalui pendidikan dan latihan dalamrangka pengembangan pegawai.

Diduga ada masalah-masalah di sekitarkinerja ini, yang ditandai dengan kurangnyakonsistensi antara tugas dan tanggung jawabyang diberikan oleh pimpinan dalam rangkamencapai tujuan, visi dan misi organisasi, dandidukung komunikasi yang ada di lingkungankerja organisasi untuk mensosialisasikanprogram/kegiatan belumlah tersosialisasisecara baik.

I I . MASALAH PENELITIAN

Setiap dan semua organisasi apapunjenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorangpimpinan tertinggi (pimpinan puncak) dan/ataumanajer tertinggi (top manager) yang harusmenjalankan kegiatan kepemimpinan (leader-ship) dan/atau manajemen (management) bagikeseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan(Nawawi, 2003: 18).

Page 76: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

72

Robbins (1992 : 354) mengatakanbahwa kepemimpinan adalah kemampuanmempengaruhi suatu kelompok ke arahpencapaian (tujuan). Pendapat ini memandangsemua anggota kelompok/organisasi sebagaisatu kesatuan, sehingga kepemimpinan diberimakna sebagai kemampuan mempengaruhisemua anggota kelompok/organisasi agarbersedia melakukan kegiatan/bekerja untukmencapai tujuan kelompok/organisasi.

Schifrman dan Kanuk (1992) men-definisikan motivasi sebagai daya gerak dalamdiri individu yang mendorongnya untukmelakukan tindakan yang disebabkan olehadanya tegangan yang diakibatkan oleh belumterpenuhinya suatu kebutuhan.

Motivasi terdiri atas motivasi intrinsik danmotivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalahdorongan yang berasal dari dalam diriseseorang. Selanjutnya motivasi ekstrinsikadalah dorongan dari luar diri seseorangsehingga melakukan sesuatu hal (Reece danBrandt, 1981: 126).

Menurut Nawawi (2003), Penilaian Kinerja(Job Performance Appraisal) yang disebut jugaPenilaian Prestasi Kerja, Penilaian Karya atauPenilaian Pelaksanaan Pekerjaan adalah salahsatu kegiatan manajemen sumber dayamanusia.

Penilaian Kinerja/Prestasi Kerja pegawaijuga diartikan sebagai proses pengamatan(observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaanseseorang karyawan/anggota organisasi atautim (team) kerja. Nantinya dari hasil observasiitu dilakukan pengukuran yang dinyatakandalam bentuk skor atau nilai yang menunjukkankelemahan/kekurangan atau kelebihan sertakeberhasilan atau kegagalan seorangkaryawan/anggota organisasi dalam melak-sanakan pekerjaan/tugas pokoknya.

Berpijak pada konsep di atas, makaindikator kinerja tidak saja dari aspek inputs,outputs, tapi juga sampai pada outcomes. Ben-efit dan impact dari kegiatan organisasi publik.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawabmasalah-masalah berikut: (1) seberapa jauhaspek kepemimpinan, berpengaruh terhadapprestasi kerja pegawai; (2) seberapa jauhmotivasi kerja pegawai berpengaruh terhadapprestasi kerjanya. Berdasarkan pada masalahdi atas, maka tujuan penelitian ini dirumuskansebagai berikut: (1) menganalisis pengaruhkepemimpinan terhadap prestasi kerjapegawai; (2) menganalisis pengaruh motivasikerja terhadap prestasi kerja pegawai.

I I I. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di PusatPendidikan dan Pelatihan Pegawai DepartemenSosial RI di Jl. Margaguna Raya No.1 JakartaSelatan, selama tiga bulan sejak Bulan Januari2006 hingga Bulan Maret 2006. Populasipenelitian ini adalah pegawai Pusdiklat PegawaiDepartemen Sosial. Lokasi penelitian ditentukansecara purposive, dengan pertimbanganbahwa Departemen Sosial pernah mengalamirekonstruksi kelembagaan termasuk pergantiankepemimpinan, sehingga penting untukdianalisis pengaruh kepemimpinan terhadapprestasi kerja pegawai. Populasi penelitian iniberjumlah 70 orang, dengan acak sederhanadiambil sebanyak 60 orang pegawai untukdijadikan responden penelitian, karena 10orang pegawai lainnya tengah mengikuti tugasbelajar untuk program S1 – S3. Penelitian initergolong penelitian eksplanatori denganmenganalisis pengaruh kepemimpinan danmotivasi kerja terhadap prestasi kerja pegawai.Terdapat tiga peubah/variabel yaitu variabeltak bebas berupa prestasi kerja pegawai danvariabel bebas yang berupa kepemimpinan danmotivasi kerja pegawai. Data yang dikumpulkandalam penelitian ini berupa data primer dandata sekunder. Data primer yang dikumpulkanmeliputi data yang berhubungan denganvariabel utama seperti karakteristik pegawai,kepemipinan, budaya organisasi danmotivasi kerja pegawai. Data sekunder yangdikumpulkan berupa data penunjang sepertistruktur organisasi, aturan-aturan organisasi,surat-surat keputusan dalam organisasi dandata lain yang mendukung penelitian ini.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Page 77: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

73

Hipotesis Penelitian

H1: Terdapat pengaruh yang nyata antaraaspek kepemimpinan terhadap motivasikerja pegawai.

H2: Terdapat pengaruh yang nyata antaramotivasi kerja terhadap prestasi kerjapegawai.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Responden

Pegawai yang menjadi respondensejumlah 60 orang, terdiri dari jabatanfungsional 20 orang (33,3 persen), jabatanstruktural 10 orang (16,7 persen) dan staffsebanyak 30 orang (50 persen). Sebanyak 60pegawai dijadikan responden dalam penelitianini. Secara rinci menurut umur, pendidikan,pangkat/golongan, dan masa kerja disajikanpada Tabel 1.

Rata-rata umur responden adalah 46tahun dengan kisaran 28 – 65 tahun. Sebesar40 persen tergolong berusia antara 38-47tahun. Sekitar tujuh tahun ke depan terdapat16 orang pegawai akan pensiun, terdiri darisebanyak 6 orang pejabat fungsional, dan 10orang diluar pejabat fungsional.

Tingkat pendidikan formal respondensebagian besar (60 persen) pegawai telahberpendidikan So - S1. Pendidikan merupakansuatu faktor yang menentukan dalammendapatkan pengetahuan, ini berarti pegawaiPusdiklat Pegawai Depsos berpeluangmemahami dengan baik tugas-tugas pokokyang harus dilaksanakannya.

Sebagian besar responden (50 persenpegawai) berada pada Golongan III. Hal inimenunjukkan bahwa sebagian besarresponden telah mencapai jenjang hierarkhikepegawaian yang juga tergolong tinggi.(Tabel 1)

X.1. Kepemimpinan X.1.1. Menantang Proses X.1.2. Mengilhamkan Wawasan Bersama X.1.3. Memungkinkan Orang Lain Bertindak X.1.4. Menjadi Petunjuk Jalan X.1.5. Membesarkan Hati

X.2. Motivasi Kerja X.2.1. Motivasi Instrinsik

X.2.2. Motivasi ekstrinsik

Y. Prestasi Kerja

KERANGKA BERPIKIR

Gambar 1. Kerangka Berpikir Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi KerjaTerhadap Prestasi Kerja Pegawai Pusdiklat PegawaiDepartemen Sosial RI.

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

Page 78: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

74

Rata-rata responden telah bekerja selama20 tahun dengan kisaran 1 – 44 tahun. Hal inimenunjukkan bahwa Pegawai Pusdiklat Depsostelah memiliki pengalaman yang cukup lamadalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dibidang tugas pokoknya. Berdasarkan distribusiresponden terlihat bahwa sebesar 46,7 persenpegawai memiliki masa kerja dari 12 sampaidengan 22 tahun.

B. Kepemimpinan di PusdiklatPegawai Departemen Sosial

Kepemimpinan yang dianalisis terdiri darikemampuan pemimpin dalam: menantangproses, mengilhamkan wawasan bersama,memungkinkan orang lain bertindak, menjadi

petunjuk jalan dan membesarkan hati parafollower-nya. Hasil penelitian disajikan padaTabel 2.

1. Menantang Proses

Sebagian besar pegawai (50 persen)menyatakan bahwa pimpinan yang adatergolong kurang berani menantangproses. Hal ini berarti bahwa parapemimpin masih kurang berani mengkritisidari kebiasaan dan aturan-aturan yangtelah ditetapkan. Selain itu, para pimpinanrelatif kurang berani mengambil risikountuk melakukan inovasi dan upayamenemukan cara baru yang lebih baikuntuk melakukan perubahan-perubahan diLembaga ini. (Tabel 2).

Jabatan Jumlah No

Karakteristik Pegawai

Klasifikasi Fungsional Struktural Staff Orang (%)

28-37 th 0 1 9 10 16,7

38-47 th 4 4 16 24 40,0

48-57 th 10 5 5 20 33,3 1 Umur

58-67 th 6 0 0 6 10,0

< SLTA 0 0 15 15 25,0

S0 – S1 16 5 15 36 60,0

S2 3 4 0 7 11,7 2 Pendidikan

S3 1 1 0 2 3,3

Gol I 0 0 0 0 0

Gol II 0 0 7 7 11,7

Gol III 1 6 23 30 50,0 3

Pangkat/ Golongan

Gol IV 19 4 0 23 38,3

1-11 th 0 1 4 5 8,3

12-22 th 5 5 18 28 46,7

23-33 th 10 4 8 22 36,7 4 Masa Kerja

34-44 th 5 0 0 5 8,3

Tabel 1. Karakteristik responden

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan penilaian terhadap faktor-faktor kepemimpinan

Jumlah No

X1 Prinsip-prinsip Kepemimpinan

Klasifikasi Orang (%)

Rendah (skor 15-20) 30 50,0

Sedang (skor 21-26) 29 48,3

1 X11 Menantang proses

Tinggi (skor 27-32) 1 1,7

Rendah (skor 11-16) 33 55,0

Sedang (skor 17-22) 22 36,7

2 X12 Mengilhamkan wawasan bersama

Tinggi (skor 23-28) 5 8,3

Rendah (skor 11-15) 22 36,7

Sedang (skor 16-20) 24 40,0

3 X13 Memungkinkan orang lain bertindak

Tinggi (skor 21-25) 14 23,3

Rendah (skor 8-13) 10 16,7

Sedang (skor 14-19) 45 75,0

4 X!4 Menjadi petunjuk jalan

Tinggi (skor 20-25) 5 8,3

Rendah (skor 104-141) 20 33,3

Sedang (skor 142-179) 25 41,7

5 X15 Membesarkan Hati

Tinggi (skor 180-217) 15 25,0

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Page 79: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

75

2. Mengilhamkan Wawasan Bersama

Para pemimpin yang ada di PusdiklatPegawai Depsos dalam hal meng-hadirkan wawasan bersama tergolongdalam kategori rendah hal tersebut terlihatdari (55 persen) pegawai. Hal inimengindikasikan bahwa para pimpinan diPusdiklat Pegawai Depsos kurang mampuuntuk memahami kebutuhan, impian,harapan dan aspirasi para pegawai yangdipimpinnya.

3. Memungkinkan Orang Lain Bertindak

Para pemimpin yang ada di PusdiklatPegawai Depsos tergolong cukup baikdalam memberikan kepercayaan ataupendelegasian wewenang kepada parapegawainya untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai unit kerjanya masing-masingtanpa melanggar aturan-aturan yang telahditetapkan (40 persen pegawai). Hal iniberarti para pemimpin Pusdiklat PegawaiDepsos cukup memberikan kebebasankepada bawahannya untuk mengeluarkanide, pendapat/gagasan demi kemajuanorganisasi. Selain itu data ini meng-indikasikan bahwa para pimpinan yangada di Pusdiklat Pegawai Depsostergolong cukup dalam membuat

bawahannya. Hal tersebut terlihat darikenyataan di lapangan bahwa parapimpinan memiliki cukup keperdulianterhadap masalah-masalah yangdihadapi para bawahannya dan tetapkonsisten pada keputusan yang telahmenjadi kesepakatan bersama.

5. Membesarkan Hati

Membesarkan hati adalah pimpinanuntuk menghargai setiap usaha individudalam pelaksanaan tugas-tugasnya.Sebesar (33,3 persen) pegawai masihmerasa bahwa para pemimpin diPusdiklat Pegawai Depsos tergolongkurang mampu membesarkan hati parabawahannya. Hal ini terlihat dari belumoptimalnya usaha pimpinan untukmenunjukkan kepada staff bagaimanamereka mampu menghadapi masalahdan rintangan yang dihadapi, sertapimpinan mau memberikan pengakuanatas keberhasilan baik secara individumaupun kelompok.

C. Budaya Organisasi

Budaya organisasi yang dianalisis dalampenelitian ini terdiri atas: value, belief, dan sistemmerit. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 3.

Jumlah No Budaya Organisasi Kategori

Orang (%)

Tidak jelas (skor 8-12) 26 43,3

Kurang Jelas (skor 13-17) 31 51,7

1 Nilai (Value)

Jelas (skor 18-22) 3 25,0

Tidak yakin (skor (8-10) 35 58,3

Kurang yakin (skor 11-13) 22 36,7

2 Kepercayaan (Belief)

Yakin (skor 14-16) 3 5,0

Tidak baik (skor 7-12) 24 40,0

Kurang baik (skor 13-18) 31 51,7

3 Sistem Merit

Baik (skor 19-34) 5 8,3

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan budaya organisasi

bawahannya merasa memiliki kesem-patan, mampu, dan memiliki keyakinanuntuk berkarya dalam bidang tugasnya.

4. Menjadi Petunjuk Jalan

Sebagian besar (75 persen) pegawaimenyatakan bahwa para pemimpin yangada di Pusdiklat Pegawai Depsostergolong cukup baik dalam memberikanpetunjuk jalan (arahan) bagi para

1. Nilai (Value)

Value adalah nilai-nilai yang adadan berkembang dalam organisasi sepertiinisiatif individu, toleran terhadap tindakanyang berisiko dan pengarahan yang ditaatioleh seluruh pegawai. Nilai inidimanifestasikan dalam bentuk norma-norma/aturan-aturan. Norma adalahpedoman perilaku standar yang dapatditerima oleh orang-orang yang ada

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

Page 80: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

76

dalam organisasi. Nilai yang dianutmasing-masing organisasi berbeda-beda.Nilai adalah suatu ketentuan mana yangbaik dilakukan dan mana yang tidak baikdilakukan. Bila tidak ada nilai dan normayang jelas maka kehidupan organisasiakan kacau balau. Sebagian 43,3 persenpegawai menyatakan bahwa nilai-nilaiyang ada dalam organisasi PusdiklatPegawai Depsos tergolong tidak jelas. Halini berimplikasi perlunya sosialisasi nilaibagi mereka yang masih merasa belumjelas.

2. Kepercayaan (Belief)

Keyakinan adalah segala sesuatuyang dianggap benar oleh sistem sosial.Keyakinan tertentu harus dimiliki olehanggota-anggota yang ada dalamorganisasi. Sedapat mungkin organisasidirekatkan dalam keyakinan yang sama.Keyakinan berfungsi sebagai perekatsistem sosial. Makin banyak keyakinanbersama dalam suatu organisasi, makasemakin kompak organisasi tersebut.Kenyataannya sebagian besar (58,3persen) pegawai masih tergolong tidakmemiliki keyakinan terhadap sesuatu yangdianggap benar oleh orang-orang yangada dalam organisasi.

3. Sistem Merit (Merit System)

Sistem merit di Pusdiklat PegawaiDepsos masih dinilai tak baik olehsebanyak (40,0 persen) pegawai. Hal inimenunjukkan bahwa belum berjalannyasecara baik mekanisme pengangkatanseseorang untuk menduduki jabatan

berdasarkan ketentuan yang ditetapkanoleh sistem merit tersebut. Pengangkatanseseorang untuk menduduki suatujabatan tertentu di dasarkan ataskecakapan dan kemampuan denganmelalui uji kepatutan/kelayakan.Selain itu diperlukan persyaratan lainseperti berdasarkan pada Daftar UrutKepangkatan (DUK) yang sudah menjadisuatu ketentuan. Bukan didasari ataskeinginan pimpinan atau dengan caraKKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)sehingga seseorang yang diangkat dalamsuatu jabatan tertentu benar-benar telahmelalui seleksi yang ketat. Dengandemikian diharapkan yang bersangkutandapat melaksanakan tugas dan fungsinyasecara baik, sehingga memberikankontribusi terhadap kemajuan organisasi.

D. Motivasi Kerja

Motivasi kerja adalah sesuatu doronganyang ada dalam diri seseorang untuk bertindakatau berbuat sesuatu, karena ada hal-hal yangingin ia peroleh dengan tindakan tersebut.Dalam penelitian ini yang dianalisis dalammotivasi kerja adalah motivasi intrinsik danmotivasi ekstrinsik. Tidak ada satupun staff yangmemiliki motivasi kerja yang baik. Hal inidisebabkan karena kurangnya perhatian danpenghargaan yang diberikan pimpinan kepadastaffnya. Data ini mengindikasikan bahwapimpinan harus lebih memberikan perhatianyang lebih pada staffnya agar dapatmenumbuhkan motivasinya untuk bekerja lebihbaik dengan cara menerapkan sistem ganjarandan hukuman yang tegas. Hasil penelitiandisajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan motivasi kerja

Jabatan (%) Jumlah No

X2 Motivasi Kerja

Klasifikasi Fungsional Struktural Staff Orang (%)

Tidak termotivasi (skor 15-21) 25,0 10,0 20,0 12 20,0

Kurang termotivasi (skor 22-28) 70,0 90,0 80,0 47 78,3

1 X21 Motivasi Intrinsik Termotivasi (skor 29-35) 5,0 0,0 0,0 1 1,7

Tidak termotivasi(Skor 15-25) 25,0 10,0 20,0 12 20,0

Kurang termotivasi(skor 26-36) 70,0 80,0 76,7 45 75,0

2 X22 Motivasi Ekstrinsik Termotivasi(skor 37-47) 5,0 10,0 3,3 3 5,0

Tidak termotivasi (Skor 30-45) 15,0 10,0 20,0 10 16,7

Kurang termotivasi (skor 46-61) 80,0 80,0 80,0 48 80,0

3 X1 Motivasi Kerja Termotivasi (skor 62-87) 5,0 10,0 0,0 2 3,3

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Page 81: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

77

1. Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik adalah doronganyang tumbuh dalam diri pegawaiPusdiklat Pegawai Depsos untuk bekerja.Pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos relatifmasih kurang memiliki motivasi intrinsikuntuk bekerja (78,3 persen) pegawai. Halini menunjukkan bahwa keinginan untukbekerja sudah berasal dari dalam dirinyasehingga hal ini dapat dijadikan nilaipositif bagi para pimpinan yang adauntuk mencapai prestasi kerja yang lebihbaik. Apabila dianalisis berdasarkanjabatan, pada masing-masing jabatanbaik struktural, fungsional maupunstaff, motivasi kerja masih perlu untukditingkatkan karena seluruhnya beradapada kategori cukup termotivasi,khususnya motivasi instrinsik pada jabatanstruktural.

mendorong untuk bekerja lebih baik. Hallain yang bisa mendorong juga karenaadanya imbalan yang ditawarkan bagipegawai yang berprestasi. Hukuman yangketat terhadap para pegawai yangmelanggar aturan juga menjadi doronganuntuk bekerja lebih baik.

E. Prestasi Kerja

Prestasi kerja yang dianalisis dalampenelitian ini meliputi konsistensi bekerja danperilaku pegawai dalam bekerja. Prestasi kerjastaff lebih baik dibandingkan dengan pegawaistruktural dan fungsional. Hal ini disebabkankarena staff terikat oleh perintah atasan danaturan-aturan yang mewajibkan para staff untukbekerja lebih baik. Disamping itu, staff tidakmemiliki kewenangan yang lebih dibandingkandengan pegawai struktural dan fungsional. Hasilpenelitian disajikan pada Tabel 5.

2. Motivasi Ekstrinsik

Dorongan yang berasal dari luar diriresponden untuk bekerja juga tergolongrelatif masih kurang termotivasi (75,0persen) pegawai. Dorongan untuk bekerjalebih baik berasal dari aturan-aturan yangada dalam organisasi. Selain itu peranpimpinan juga menentukan doronganuntuk bekerja sesuai dengan unit kerjanya.Pegawai menyadari bahwa lingkungantempat bekerja yang kondusif juga

1. Konsistensi Bekerja

Konsistensi bekerja adalahketekunan/ketahanan bekerja di dalambidang tugas yang dibebankan kepadapegawai tersebut. Tingkat konsistensibekerja pegawai berada pada kategori16,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwapegawai yang ada di Pusdiklat PegawaiDepsos masih kurang memiliki kedisiplinanuntuk bekerja, terutama dalam kehadirandan melaksanakan tugas-tugas rutin. Oleh

Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan prestasi kerja

Jabatan (%) Jumlah No YPrestasi Kerja Klasifikasi

Fungsional Struktural Staff Orang (%)

Tidak konsisten (Skor 5-10)

65,0 80,0 13,3 25 41,7

Kurang konsisten (skor 11-16)

35,0 10,0 56,7 25 41,7

1 Y1 Konsistensi Bekerja

Konsisten (skor 17-22)

0,0 10,0 30,0 10 16,6

Tidak baik (Skor 12-16)

35,0 0,0 3,3 8 13,6

Kurang baik (skor 17-21)

45,0 60,0 80,0 39 65,0

2 Y2 Perilaku bekerja

Baik (skor 22-26)

20,0 40,0 16,7 13 21,7

Rendah (Skor 22-27)

20,0 10,0 6,7 7 11,7

Sedang (skor 28-33)

70,0 80,0 56,7 39 65,0

3 Y Prestasi Kerja

Tinggi (skor 34-39)

10,0 10,0 36,6 14 23,3

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

Page 82: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

78

sebab itu diperlukan seorang pimpinanyang dapat memacu motivasi pegawaidalam bekerja yang lebih konsisten. Dilihatberdasarkan pada jabatan maka parastaff memiliki tingkat konsistensi bekerjayang lebih baik dibandingkan denganpara pegawai yang menduduki jabatanfungsional dan struktural. Hal ini di-sebabkan karena pegawai tunduk dansegan (takut) pada atasan dan peraturanyang berlaku. Pegawai yang mendudukijabatan struktural merasa memiliki ”power”untuk berbuat sesuai dengankeinginannya. Apalagi pada jabatanfungsional, individu dituntut untuk bekerjasecara mandiri tanpa harus tergantungpada perintah atasan, sehingga ia sendiriyang mengatur segala sesuatu yangberkenaan dengan kebutuhannya.

2. Perilaku Bekerja

Perilaku bekerja pegawai tergolongmasih kurang baik hal tersebut terlihatpada (65,0 persen) pegawai. Ini berartiprioritas masalah di luar kedinasanmenjadi yang lebih utama dibandingkanmasalah-masalah pekerjaan yangmenjadi tugas pokok dan fungsinya.Walaupun sudah adanya terjalinhubungan kerjasama dengan pimpinan,sesama pegawai, maupun denganbawahannya, tetapi hal ini perlu untuk terusditingkatkan, pada taraf yang lebih baiklagi. Dilihat berdasarkan jabatan makapegawai yang menduduki jabatanstruktural menunjukkan perilaku bekerjayang paling baik (40 persen)dibandingkan dengan jabatan fungsional

dan staff. Hal ini disebabkan karenajabatan struktural dianggap memiliki”lahan basah” banyak aktivitas yangmendapatkan imbalan materi yang lebihbaik dibandingkan dengan jabatanfungsional dan staff.

F. Pengaruh Kepemimpinan terhadapMotivasi Kerja

Terdapat pengaruh yang signifikan antaravariabel kepemimpinan menantang prosesdengan motivasi kerja. Semakin seringpemimpin berani menantang proses yangberjalan secara alami, maka para bawahanakan berusaha terus untuk mengikutipimpinannya sehingga timbul dorongan untukmenunjukkan prestasi kerja yang lebih baik.(Tabel 6)

Pengaruh variabel mengilhamkanwawasan bersama terhadap motivasi kerjamenunjukkan angka 0,651 dengan tarafsignifikansi sangat nyata (a = 0,01). Semakinsering pimpinan memberikan petunjuk atauinstruksi atau menginternalisasikan tugas-tugasyang ada di dalam unit kerja masing-masingmaka motivasi itu akan meningkat. Paling tidakstaff akan mengetahui atau menguasai hal-halyang seharusnya ia lakukan. Hal ini terjadikarena setiap staff mengetahui hal-hal yangseharusnya ia lakukan. Selain itu, setiap staffjuga akan mengetahui hal-hal yang akan iadapatkan dari yang telah ia kerjakan. Hal iniakan memperjelas tugas-tugas dan perananmasing-masing staff pada unit kerjanya.

Terdapat pengaruh yang signifikanvariabel kepemimpinan memungkinkan oranglain bertindak dengan motivasi kerja. Semakin

Tabel 6. Pengaruh prinsip-prinsip kepemimpinan terhadap motivasi kerja

Motivasi Kerja No Prinsip-Prinsip Kepemimpinan

Koefisien regresi Nilai-p

1 Menantang Proses 0,600** 0,000

2 Mengilhamkan wawasan bersama 0,651** 0,000

3 Memungkinkan orang lain bertindak 0,701** 0,000

4 Menjadi petunjuk jalan 0,606** 0,000

5 Membesarkan hati 0,649** 0,000 Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Page 83: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

79

sering kesempatan yang diberikan pimpinankepada staffnya untuk melaksanakan tugas,maka semakin tinggi motivasi kerja staff untukmelaksanakan pekerjaan. Selain itu, pimpinanyang mampu membuat staffnya merasamampu dan yakin dapat melaksanakanpekerjaan akan meningkatkan motivasikerjanya. Hubungan yang yang terjalinberdasarkan kepercayaan dan keyakinanantara pimpinan dan staffnya akan semakinmeningkatnya motivasi kerja staff.

Menjadi petunjuk jalan juga berpengaruhsecara signifikan dengan motivasi kerja.Apabila seorang pemimpin sering menyalahkanstaff dalam pelaksanaan tugas-tugasnya makadapat menurunkan motivasi kerja staff yangbersangkutan. Sebaliknya, apabila pimpinansering memberikan arahan atau pencerahan

maka motivasi kerja staffnya akan meningkat.Kenyataan di lapangan sering ditemukanbahwa apabila pimpinan dalam melaksanakanfungsi supervisi (pembinaan) dalampelaksanaan tugas yang hanya menyalahkansaja akan menurunkan motivasi kerja staffnya.Sebaiknya apabila ditemukan penyimpangandalam pelaksanaan tugas yang dilakukanbawahannya maka pimpinan tidak bolehmenuding secara langsung pada kesalahanbawahannya tetapi seharusnya dapatmemberikan solusi cara pemecahan masalahyang sedang dihadapi para bawahannyatersebut. Apabila langsung disalahkan begitusaja maka bawahan akan takut berbuatsehingga akan menurunkan motivasi kerjanya.

Variabel kepemimpinan membesarkan hatiberpengaruh secara sangat nyata denganmotivasi kerja. Hal ini berarti pimpinan akandapat meningkatkan motivasi kerja staffnya jikamampu membesarkan hati staffnya. Apabilapimpinan sering memberikan pengakuan(recognation) terhadap keberhasilan kerja staffmaka hal ini dapat menumbuhkan motivasi kerjapara bawahannya dan pada akhirnya padaprestasi kerjanya.

G. Pengaruh Karakteristik Pegawaiterhadap Motivasi Kerja

Tidak terdapat pengaruh yang nyataantara variabel karakteristik pegawai denganmotivasi kerja dapat dilihat pada tabel 7. Halini terjadi karena karakteristik pengawai yangrelatif homogen.

H. Pengaruh Budaya Organisasiterhadap Motivasi Kerja

Nilai (value) berpengaruh sangat nyataterhadap motivasi kerja. Ini berarti semakin jelasnilai-nilai yang budaya bagi orang-orang yangada dalam organisasi meningkatkan motivasikerja pegawai. Hal ini didukung oleh kenyataandi lapangan bahwa nilai-nilai yang dianutseperti: organisasi membutuhkan inovasi yangbaru, organisasi mendukung ide-ide baru,organisasi mendukung kreatifitas dari orang-orang yang ada dalam organisasi, organisasimendukung tindakan pegawai yangmenginginkan perubahan sistem kerja yanglebih baik dan setiap pegawai diberikankewenangan tanpa tergantung pada orang laincukup kuat mempengaruhi motivasi kerjapegawai.

Tabel 7. Pengaruh unsur-unsur karakteristik pegawai terhadap motivasi kerja

Motivasi kerja No Karakteristik pegawai

Koefisien regresi Nilai-p

1 Umur -0,126 0,222

2 Pendidikan 0,116 0,953

3 Pangkat/golongan 0,014 0,995

4 Masa kerja 0,318 0,127 Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

Page 84: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

80

Kepercayaan (belief) berpengaruh secarasangat nyata terhadap motivasi kerja pegawai.Ini berarti semakin kuat kepercayaan yang dianutorganisasi semakin membangkitkan motivasipegawai. Kepercayaan tadi meliputi:kepercayaan organisasi pada pegawai untukmengambil bidang pekerjaan yang menjaditugas pokoknya, kepercayaan organisasipada pegawai untuk harus memper-tanggungjawabkan pekerjaannya, dankepercayaan organisasi pada pegawai untukmenduduki posisi jabatan harus sesuaikompetensinya.

Sistem merit secara sangat nyataberpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai.Ini berarti sistem merit dinilai tepat, yang terdiriatas: pengangkatan jabatan berdasarkan

Motivasi Kerja No Budaya Organisasi

Koefisien regresi Nilai-p

1 Nilai (Value) 0,386** 0,001

2 Kepercayaan (belief) 0,474** 0,000

3 Sistem merit (Merit system) 0,632** 0,000 Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

Tabel 8. Pengaruh unsur-unsur budaya organisasi terhadap motivasi kerja

Tabel 9. Pengaruh motivasi kerja dengan prestasi kerja

Prestasi kerja No Motivasi kerja

Koefisien regresi Nilai-p

1 Motivasi Intrinsik 0,072 0,293

2 Motivasi Ekstrinsik - 0,057 0,332 Keterangan: n = 60 orang; nilai-p = peluang kesalahan (galat) ** Berpengaruh sangat nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

kecakapan yang dimiliki pegawai, kejelasankarir pegawai untuk menduduki suatu jabatantertentu, prestasi yang luar biasa dari pegawaiakan dijadikan dasar dalam pengangkatansuatu jabatan tertentu cukup kuat mempengaruhimotivasi kerja pegawai.

I. Pengaruh Motivasi Kerja terhadapPrestasi Kerja

Tidak terdapat pengaruh yang nyataantara variabel motivasi kerja pegawaidengan prestasi kerja. Hal ini disebabkan olehmotivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik yangtergolong sedang dan prestasi kerjanya jugatergolong sedang maka belum cukup kuatmengembangkan motivasi kerja berpengaruhsecara nyata terhadap prestasi kerja pegawai.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 71-81

Page 85: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

81

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasanmaka disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1)Motivasi kerja pegawai Pusdiklat PegawaiDepsos pada umumnya relatif belum tinggi halini dipengaruhi oleh relatif masih rendahnyapenerapan prinsip-prinsip kepemimpinan, jugamasih kurang jelasnya unsur-unsur budayaorganisasi bagi sebagian pegawai; (2) Prestasikerja pegawai Pusdiklat Pegawai Depsos padasaat ini masih belum maksimal baik dalamkonsistemsi bekerja maupun dalam perilakubekerja, ini dipengaruhi oleh masih kurangtingginya motivasi kerja baik intrinsik maupunekstrinsik. Belum tingginya tingkat prestasi ini,disebabkan oleh masih rendahnya kemampuanpimpinan untuk menerapkan prinsip-prinsipkepemimpinan. (3) Karakteristik pegawai tidakterbukti secara nyata mempengaruhi motivasi

kerja pegawai di Pusdiklat Pegawai Depsoskarena karakteristik pegawai yang homogensatu dengan lainnya. (4) Budaya organisasiyang terdiri dari nilai (value), keyakinan (belief)dan sistem merit terbukti berpengaruh secaranyata dengan motivasi. (5) Motivasi kerjapegawai Pusdiklat Pegawai Depsos belumcukup kuat untuk mempengaruhi prestasikerjanya.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian makadisarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Perluuntuk terus mengembangkan motivasi instrinsikdan ekstrinsik melalui penerapan prinsip-prinsipdasar kepemimpinan dan kejelasan budayaorganisasi. (2) Perlu diperjelas budayaorganisasi terutama menyangkut kejelasantentang sistem nilai (value), keyakinan (belief)dan di dalam menerapkan sistem merit.

DAFTAR PUSTAKA

Donnely. Ivancevich dan Gibson. 1993. Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses. Jakarta:Erlangga.

Handoko, M, 1992. Motivasi: Daya Penggerak Tingkah Laku. Jogjakarta: Kanisius.

Kartono. K, 1991. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Pers.

Nawawi, H., 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.

Ndraha, T. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Posner, Z. Barry, 1999. Leadership The Challenge: Tantangan Kepemimpinan. Alih Bahasa AdiwinotoAnton. Bamtam Centre: Inter Aksara

________, 1987. The Leadership Challenge: How to Get Extraordinary Things Done in Organization.San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Reece L.B. Brandt R. 1981. Effective Human Relation in Business. Boston: Houghton Miflin Compsny.

Robbins P. Stephen. 1994. Teori Organisasi. Struktur, Desain dan Aplikasi. Jusuf Udaya Alih Bahasa.Jakarta: Arcan.

________, 1992. Essentials of Organizational Bahavior. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Ruky, S Achmad. 2004. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

BIODATA PENULIS :

1. Surya Wijaya, Mahasiswa S2 Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

2. Sumardjo, Ketua Komisi Pembimbing

3. Pang S. Asngari, Anggota Komisi Pembimbing

Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Surya Wijaya, Sumardjo, Pang S. Asngari)

Page 86: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

82

INDEKS

A

Abepura, 7

Ageng serang, 62

Agim, 8

Air bawah tanah (ABT), 15

Aktifisme feminis, 58

Anderson, 13

Angle, 23

Antiseptic packaging material, 15

Antiseptik, 15

B

Babbie:1998, 23

Backhoe, 22

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa(BPMD), 1, 4, 7

Bandung, 11

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), 5

Baswir, 1999:72, 1

Batanghari, 33

Bebalok, 40

Belief, 75, 80

Beneficeries, 9

Benefit, 72

Biak Numfor, 7

Blantak, 28

Block grant, 26

Bottom up planning, 6

Boven Digul, 8

Brand image, 14

C

Case study, 23

Center based, 44, 46

Childhope Asia (1990), 47

Children at high risk, 45, 46

Children of the street, 46, 48

Children on fire, 44

Children on the street, 46

Cianjur, 18

Cijapati, 18

Cimareme, 11

Community based, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,51, 52

Community services, 51

Community worker, 47, 51

Complete observer, 24

Conciousness raising, 58

Corporate social responsibility (CSR), 11, 12,13, 14, 18, 19

Cox (2004:9), 3, 26

Cut Nyak Dien, 62

D

Daftar Urut Kepangkatan (DUK), 76

Danim (2002:61), 4

Deforestasi, 22

Deppapre Jayapura, 8

Desentralisasi, 2

Dubois dan Miley:2005, 13

E

Eksploitasi, 11, 22

Ekstrinsik, 72

Elkington, 12

Empowerment, 50, 58, 59

Enabler, 47, 51

Ended, 15

Erupsi, 22

Excavator, 22, 29

Exploratory study, 23

Ezzy, 2002, 23

F

Faktual, 4

Fasilitator, 1

Page 87: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

83

Fellin, 57

Feminis, 55, 63

Feminisme, 58, 61, 62, 64, 65

Financial result, 12

First hand, 56

Flow meter, 16

Friedman:1998, 23

Frontal, 55

G

Good parenting, 50

Grassroots, 58, 59

Gross National Product, 11

Growth oriented strategy, 11

Guiterrez, 58

H

Hajran, 39, 42

Hazlewood, 2002: 29

Heise, 57

Huda:2004, 21

Human investment, 19

Humanis, 3

I

Ife, 1995:182, 2

Image, 23

Impact, 72

Income generating, 50, 52

In-depth interview, 23

Inequity, 51

Informan, 1, 4, 14, 64

Injustice, 51

Inklusif, 60

Intangible, 14

Interdisciplinary Triangulation, 23

Interpretasi, 66

Intervensi, 57

Interview guide, 23

Irwanto, 44

Ismawan, 2002, 21

J

Jambi, 33

Jawa tengah, 21, 22

Jayapura, 7

Job Performance Appraisal, 72

K

Kartasasmita, 1996, 13

Keerom, 7, 8

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 54

Kondusif, 77

Konvensional, 3

Kristalisasi, 23

Kurik, 7, 8

L

Land clearing, 22, 25

Long life corporate, 14

Lusk, 45

M

Magelang, 21, 24

Makro, 54

Mandobo, 8

Marlow, 2001, 23

Martha Christina Tiahahu, 62

Maryatmo, 2005, 21

Max Neef, 3

Maxwell:1996, 23

Mc. Charty:2004, 21

Mc. Laughlin, 3

Merauke, 7, 8

Merauke, 8

Merit system, 76

Mezo, 54

Mikro, 54

Mimika, 8

Misinterpretasi, 66

Moeljarto, 1994, 13

Motivasi ekstrinsik, 80, 81

Motivasi intrinsik, 80, 81

Indeks

Page 88: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

84

Mullaly, 2002:49, 28

Multidimensial, 3

Muskam, 6

N

Narhetali, 3

Nasution:2003, 14, 15

Nawawi: 2003:18, 72

Negative prejudgement, 28

Newman (1997:19), 4

Nighat Gandhi, 61

Non Government Organization (NGO), 3, 62,64

Non-farm, 40

Nuee ardente, 26

Numfor Timur, 7

O

Observasi, 72

Opportunity cost of education, 36

Opportunity cost, 33

Otonomi daerah, 21

Otonomi khusus, 8

Outcomes, 72

Outreach, 61

P

Padaido, 7

Pambudi:2005, 12, 13

Papua, 1, 4

Paradigma, 12

Partiarkis, 66

Partisipatif, 3, 50

Paulo freire, 28

Payne, 1997, 2, 13

Penanggung Jawab Operasional Kegiatan(PJOK), 6

Pendapatan asli daerah (PAD), 21

Personal is political, 54

Perspektif, 2

Piroklastik, 28

Powerlesness, 3

Pranaka, 13

Prejudice, 28

Process question, 23

Profit oriented, 29

Program Pengembangan Distrik (PPD), 1, 2, 4,5, 7, 8, 9

Provider, 3

Pulogadung, 48

Punch, 1994, 23

Purposive, 4

R

Recognation, 79

Reduksi, 4, 15

Reece dan Brandt: 1981:126, 72

Reed 2002, 29

Reliabilitas, 4, 23

Research question, 22

Responden, 40

Rifka Annisa Women Crisis Center, 63, 66

Riverbank, 22

Robbins: 1992:354, 72

Rubin dan Babbie, 2001, 24

S

Sampling convience, 63

Sawmill, 41

Schermerhon (1993), 12

Schifrman dan Kanuk (1992), 72

Seat belt, 14

Self-respect, 3

Sentralisasi, 2

Sentralistik, 21

Setting social, 4

Shaheed, 62

Shareholder, 12

Simpan Pinjam Perempuan (SPP), 5

Sinak, 7

Singleton, 23

Sisterhood, 60

Snel, 2002, 28

Social capital, 14, 19

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 82-85

Page 89: Jurnal Vol 12_ No. 02 2007

85

Social planer, 51

Soetomo, 34

Stakeholder, 12, 13

Stereotype, 28

Straits, 23

Street based, 44, 46

Sudimoro, 22

Suharto (2005), 12

Sukasmanto 2004, 26

Sullivan, 29

Sumodiningrat 1989:120, 1

Surat izin penambangan daerah (SIPD), 22, 24,25, 26, 29

Surat izin pengambilan air (SIPA), 16

Sustainabilitas ekologi, 22

Sustainable, 50

Sutrisno (2000:185), 2

T

Tangible, 14

Tanjung Priuk, 48

Tauke, 39

The most affected groups, 26

Todd, 62

Torczyner, 58

Transformasi, 11

Triangulasi, 34

Trickle down effect, 11

Triple bottom line, 12

Trising and Senewo, 24

U

Ultra High Temperature (UHT), 15

Unit Pengelola Keuangan (UPK), 5

Usaha Ekonomi Produktif (UEP), 5

Usman 2004, 21

Utopis, 22

V

Validitas, 4

Value, 75

Violence against women, 54

W

Workshop. 34

Wahyuni, 2006, 11

Wahjana, 60

Waris, 7, 8

Wedhus gembel, 26

Y

Yeates, 3

Z

Zastrow (1986), 47

Zikrullah (2000:11), 3

Indeks