32
ISSN 0215 - 8250 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL SISWA`SMA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN “PROBLEM BASED LEARNING” DAN “CYCLE LEARNING” DALAM PEMBELAJARAN FISIKA oleh I Wayan Sadia Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha ABSTRAK Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap profil kemampuan berpikir formal siswa SMA di Kabupaten Buleleng, serta mengkaji dua model pembelajaran yang inovatif yang diperkirakan mampu menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan model siklus belajar (Learning Cycle Model). Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan rancangan ”Nonrandomized Pretest- Posttest Kontrol Group Design” yang dilakukan di SMAN 1 Singaraja yang merupakan sekolah nasional berstandar internasional (SNBI) dan SMAN 1 Seririt yang merupakan sekolah standar nasional (SSN). Pada tiap-tiap sekolah dilibatkan satu kelas sebagai kelas eksperimen I dengan perlakuan problem ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007 1

jurnalis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pembelajaran

Citation preview

Page 1: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL SISWA`SMA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

“PROBLEM BASED LEARNING” DAN “CYCLE LEARNING” DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

olehI Wayan Sadia

Jurusan Pendidikan FisikaFakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha

ABSTRAK

Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap profil kemampuan berpikir formal siswa SMA di Kabupaten Buleleng, serta mengkaji dua model pembelajaran yang inovatif yang diperkirakan mampu menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan model siklus belajar (Learning Cycle Model). Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan rancangan ”Nonrandomized Pretest-Posttest Kontrol Group Design” yang dilakukan di SMAN 1 Singaraja yang merupakan sekolah nasional berstandar internasional (SNBI) dan SMAN 1 Seririt yang merupakan sekolah standar nasional (SSN). Pada tiap-tiap sekolah dilibatkan satu kelas sebagai kelas eksperimen I dengan perlakuan problem based learning (PBL), satu kelas sebagai kelas eksperimen II dengan perlakuan learning cycle model (LCM), dan satu kelas sebagai kelas kontrol yang diajar dengan model pembelajaran konvensional (MPK). Data tentang profil kemampuan berpikir formal dianalisis dengan statistik deskriptif, sedangkan keunggulan komparatif model PBL dan LCM terhadap MPK dianalisis dengan teknik analisis varian. Hasil analisis data menunjukkan, bhawa (1) Secara umum dengan tidak memandang perlakuan (treatment) dan level sekolah, ternyata sebagian besar (83,82%) siswa SMA kelas I di Kabupaten Buleleng kemampuan berpikir formalnya berada pada kualifikasi sedang, dan hanya 13,44% berkualifikasi tinggi dan bahkan masih terdapat 2,74% siswa yang kemampuan berpikir formalnya ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

1

Page 2: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

berkualifikasi rendah; (2) Model PBL/LCM ternyata efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa; dan (3) Model PBL lebih baik daripada LCM dan MPK, dan model LCM lebih baik dari pada MPK dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini maka disarankan kepada para guru Fisika maupun guru bidang studi lain untuk menggunakan model PBL atau model LCM dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa.

Kata kunci : berpikir formal, PBL, LCM

ABSTRACT

This research aimed at revealing the profile of formal thinking ability of senior high school student’s at Buleleng regency and at analyzing two inovative teaching and learning models which are predicted to develop students’ formal thinking ability. This quasi experimental research using nonrandomized pretest-posttest Kontrol group design was conducted at SMAN1 Singaraja, an international standardized school, and SMAN 1 Seririt a national standardized school. In each school one class was involved as the first experimental group using problem based learning (PBL), another class as the second experimental group using learning cycle model (LCM), and one class as the Kontrol group using conventional model. The data of formal thinking ability was analyzed using descriptive statistic, while the comparative advantage of PBL and LCM to conventional model was analyzed using variance analysis technique. The results of the data analysis showed that: 1) In general with out considering the treatment and school level, most (83,82%) of first class senior high school students at Buleleng regency in term of their formal thinking ability were clasified on medium qualification, 13,44% on high qualification, and 2,74% on low qualification; 2) The model of PBL and LCM were efective in developing student’s formal thinking ability; and 3) The PBL was more efective than LCM and conventional model, and the LCM was more efective than conventional model in developing student’s formal thinking ability. Based on the research finding it was suggested to physics teachers and other

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

2

Page 3: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

teachers to use PBL and LCM in teaching and learning process in their effort to developing student’s formal thinking ability.

Key words : formal thinking, PBL, LCM.

1. Pendahuluan

Pesatnya perkembangan IPTEKS dan tekanan globalisasi dewasa ini

telah menyebabkan terjadinya akselerasi perubahan nilai-nilai sosial, yang

membawa dampak positif dan negatif terhadap pertumbuhan bangsa kita,

termasuk sistem pendidikan kita. Dampak positifnya adalah terjadinya

percepatan dan peningkatan pola berpikir dalam berbagai bidang dan

perubahan pola hidup yang lebih efisien dan pragmatis. Sedangkan dampak

negatifnya adalah adanya kesulitan masyarakat dalam memahami dan

mencerna perkembangan yang demikian pesatnya di berbagai bidang dan

terbenturnya berbagai kecenderungan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Konsekuensinya adalah bahwa dalam pengembangan SDM kita harus

bersifat realistik, karena globalisasi menjadi tantangan yang terkait dengan

daya saing dan prakarsa. Kehidupan dalam era globalisasi dipenuhi oleh

kompetisi-kompetisi yang sangat ketat. Keunggulan dalam berkompetisi

terletak pada kemampuan dalam mencari dan menggunakan informasi,

keakuratan dalam pengambilan keputusan, dan tindakan yang proaktif

dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Dalam hubungan dengan

permasalahan pengembangan SDM, maka kemampuan berpikir formal

siswa yang mencakup kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, kemampuan

berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan

berpikir reflektif perlu dijadikan sebagai substansi yang harus digarap

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

3

Page 4: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

secara serius dalam dunia pendidikan pada jenjang pendidikan menengah

atas.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengungkap profil

kemampuan berpikir formal siswa SMA di Kabupaten Buleleng, serta

mengkaji dua model pembelajaran yang inovatif yang diperkirakan akan

mampu menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Model

pembelajaran yang akan diterapkan adalah model pembelajaran berbasis

masalah (Problem Based Learning) dan model siklus belar (Learning Cycle

Model). Model siklus belajar hipotetik-deduktif akan memberi wahana bagi

siswa untuk mengembangkan pola-pola penalaran tingkat tinggi seperti

pengendalian variabel, penalaran korelasional, dan penalaran-penalaran

hipotetik-deduktif melalui tiga tahapan pembelajaran yaitu eksplorasi,

pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Sedangkan model pembelajaran

berbasis masalah akan memberi wahana bagi tumbuh dan berkembangnya

keterampilan pemecahan masalah berdasarkan pola-pola penalaran yang

rasional, analitis, sintesis, dan reflektif. Di samping itu model pembelajaran

berbasis masalah juga memberi peluang kepada siswa untuk

mengembangkan keterampilan berpikir hipotetik, berpikir kombinatorial,

berpikir divergen, serta latihan metakognisi.

Model siklus belajar (learning cycle model) merupakan suatu

strategi pembelajaran yang berbasis pada paham konstruktivisme dalam

belajar, dengan asumsi dasar bahwa “pengetahuan dibangun di dalam

pikiran pebelajar” (Bodner, 1986). Dasar pemikiran para konstruktivis

adalah bahwa proses pembelajaran yang efektif menghendaki agar guru

mengetahui bagaimana para siswa memandang fakta dan fenomena yang

menjadi subjek pembelajaran. Proses pembelajaran harus dikembangkan

dari gagasan yang telah ada pada diri siswa (prior knowledge) melalui

langkah-langkah intermediasi dan berakhir pada gagasan baru yang telah

mengalami modifikasi.____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

4

Page 5: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase

aktivitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam

memahami gejala – gejala alam yang konpleks melalui pengalaman

langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh

kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan

argumentasinya, melakukan interprestasi, dan memperbaiki gagasannya

(Ramsey, 1993). Fase – fase aktivitas belajar dalam model siklus belajar

adalah (1) fase eksplorasi, (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi

konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa belajar melalui aksi dan reaksinya

dalam suatu situasi baru. Kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen

dengan bimbingan guru yang seminimal mungkin. Gejala – gejala yang

diobservasi dalam fase eksplorasi diharapkan memunculkan pertanyaan –

pertanyaan bagi siswa yang belum dapat dipecahkan dengan menggunakan

prior knowladge atau prakonsepsi mereka. Pada fase pengenalan konsep,

para siswa didorong untuk mendiskusikan temuan – temuan dalam fase

eksplorasi. Melalui fase ini para siswa diharapkan membangun struktur

mental baru sebagai modifikasi terhadap prakonsepsinya. Pada fase aplikasi

para siswa diberi kesempatan untuk menerapkan konsepsi barunya dalam

situasi yang baru. Fase aplikasi merupakan wahana untuk memperkaya dan

memperkuat struktur kognitifnya.

Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam suatu prosedur

pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dan menggunakan

instruktur sebagai pelatih metakognitif. Prosedur Problem Based Learning,

setting awalnya adalah penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai

setelah siswa dikonfrontasikan dengan struktur masalah riil, sehingga

dengan cara itu siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajari

materi ajar tersebut. Informasi-informasi akan mereka kumpulkan dan

mereka analisis dari unit-unit materi ajar yang mereka pelajari dengan

tujuan untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Masalah yang ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

5

Page 6: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

disajikan juga hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun

prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain. Melalui problem

based learning para siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu

proses interaktif dalam mengevaluasi apa yang mereka ketahui,

mengidentifikasi apa yang perlu mereka ketahui, mengumpulkan informasi,

dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data

yang telah mereka kumpulkan. Sedangkan guru lebih berperan sebagai tutor

dan fasilitator dalam menggali dan menemukan hipotesis, serta dalam

mengambil kesimpulan.

Savoi & Andrew (1994), mengemukakan enam tahapan proses

pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut, (1) mulai dengan penyajian

masalah; (2) masalah hendaknya berkaitan dengan dunia siswa (masalah

riil); (3) organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah; (4)

memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan

pembelajarannya sendiri; (5) menggunakan kelompok-kelompok kecil

dalam proses pembelajaran; dan (6) menuntut siswa untuk menampilkan

apa yang telah mereka pelajari.

Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang

program pembelajaran problem based learning sehingga proses

pembelajaran benar-benar menjadi berpusat pada siswa (student-centered)

adalah sebagai berikut. (1) Fokuskan permasalahan (problem) sekitar

pembelajaran konsep-konsep sains yang esensial dan strategis. (2)

Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya

melalui eksperiment atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data

yang diperlukan untuk memecahlkan masalah yang dihadapinya. (3)

Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka

miliki, yang merupakan proses latihan metakognisi. (4) Berikan

kesempatan kepada mahasiswa untuk mempresentasikan solusi-solusi

yang mereka kemukakan. Penyajiannya dapat dilakukan dalam bentuk ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

6

Page 7: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

seminar atau publikasi (jurnal ilmiah) atau dalam bentuk penyajian poster

(Gallagher & Stepien, 1995).

Implementasi strategi pembelajaran berbasis masalah (problem

based learning) akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam

perbaikan proses belajar-mengajar, khususnya dalam

menumbuhkembangkan kemampuan berpikir formal siswa, baik dalam

meningkatkan kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, berpikir

proporsional, berpikir kombinatorial, maupun dalam meningkatkan

kemampuan berpikir reflektif.

2. Metode Penelitian

2.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan

rancangan “Nonrandomized Pretest-Posttest Kontrol Group Design” .

Dalam hal ini digunakan dua kelompok eksperimen dan satu kelompok

Kontrol. Desain penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut (Isaac

Stephen & Michael William B.; 1971)

Kelompok Eksperimen I T1 Xa T2

Kelompok Eksperimen II T1 Xb T2

Kelompok Kontrol T1 - T2

Keterangan: T1 = pre-test kemampuan berpikir formal

T2 = post-test kemampuan berpikir formal

Xa = model pembelajaran “ Problem based learning”

Xb = model pembelajaran “ Learning cycle model”

2.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I SMA Negeri di

Kabupaten Buleleng. Sebagai sampel penelitiannya adalah 217 orang siswa

kelas I SMA Negeri yang terdiri atas dua kelompok eksperimen I, dua

kelompok eksperimen II, dan dua kelompok kontrol. Pengambilan sampel ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

7

Page 8: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

dari populasi dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, dilakukan

pengambilan sampel sekolah dengan teknik cluster random sampling. Pada

tahap kedua, pengambilan sampel kelas dilakukan dengan teknik simple

random sampling. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, maka

sebaran sampel penelitian ini dapat dilihat pada tabel 01 berikut.

Tabel 01: Sebaran Sampel Penelitian

No. Nama Sekolah Kelompok Kelas Jumlah

Siswa

1 SMA Negeri 1 Singaraja

(Sekolah Standar

Nasional)

Eksperimen I X2 35

Eksperimen II X4 35

Kontrol X3 35

2 SMA Negeri 1 Seririt

(Sekolah Berpotensi)

Eksperimen I X5 36

Eksperimen II X4 38

Kontrol X3 38

Jumlah 217

2.3 Variabel (Objek) Penelitian

Variabel bebas penelitian eksperimental ini adalah perlakuan

(treatmen) yang dikenakan pada kelompok eksperimen, yaitu model

pembelajaran problem based learning (PBL) dikenakan pada kelompok

eksperimen I, model pembelajaran learning cycle model (LCM) dikenakan

pada kelompok eksperimen II, dan model pembelajaran konvensional

(MPK) dikenakan pada kelompok kontrol. Variabel terikatnya adalah efek

dari perlakuan yaitu kemampuan berpikir formal (KBF)

2.4 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini terdapat lima instrumen, yaitu (1) Instrumen

perlakuan untuk kelompok eksperimen I berupa program pembelajaran

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

8

Page 9: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Fisika kelas I yang dirancang berdasarkan model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning); (2) Instrumen perlakuan untuk

kelompok eksperimen II berupa program pembelajaran berdasarkan model

siklus belajar (learning cycle model); (3) Instrumen perlakuan untuk

kelompok kontrol berupa program pembelajaran berdasarkan model

konvensional; (4) Tes kemampuan berpikir formal, yang disusun

berdasarkan empat indikator berpikir formal yaitu kemampuan berpikir

hipotetik-deduktif, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir

kombinatorik, dan kemampuan berpikir reflektif. Tes kemampuan berpikir

formal ini merupakan modifikasi tes yang dikembangkan oleh Robert B.

Sund (1976).

2.5 Teknik Analisis Data

Data tentang profil kemampuan berpikir formal siswa akan

dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang penyimpulannya

didasarkan atas skor rerata (mean) dan simpangan baku. Kemampuan

berpikir formal (KBF) siswa dikelompokkan ke dalam tiga jenjang

kualifikasi yaitu tinggi, sedang, dan rendah dengan menggunakan pedoman

konversi skor seperti tabel 02 berikut.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

9

Page 10: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Tabel 02 : Pedoman Konversi Kualifikasi KBF

No. Interval Skor Kualifikasi

1 > Mi + si Tinggi

2 (Mi – 0,5 si) ----- (Mi + 1,5 si) Sedang

3 < Mi – 0,5 si Rendah

Data tentang perbedaan peningkatan kemampuan berpikir formal

antara kelompok siswa yang belajar Fisika melalui model problem based

learning, learning cycle, dan model pembelajaran konvensional, akan

dianalisis dengan statistik analisis varian (anova) dengan menggunakan

program SPSS.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

3.1 Hasil Penelitian

3.1.1 Profil kemampuan berpikir formal

Kemampuan berpikir formal siswa diukur melalui tes objektif

dengan jumlah butir 30. Setiap butir yang dijawab benar diberi skor 1 dan

yang dijawab salah diberi skor 0. Dengan demikian, rentangan skor

idealnya adalah antara 0 sampai 30. Rerata (mean) idealnya adalah 15 dan

simpangan baku idealnya adalah 5. Dengan menggunakan pedoman

konversi kualifikasi kemampuan berpikir formal yang telah diuraikan pada

bagian teknik analisis data, maka jika skor yang dicapai siswa lebih besar

dari 22,5 kemampuan berpikir formalnya dikategorikan berkualifikasi

tinggi. Jika skornya antara 12,5 sampai 22,5 dinyatakan dengan kualifikasi

sedang, dan jika skornya lebih kecil dari 12,5 maka dikategorikan

berkualifikasi rendah.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

10

Page 11: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Pada tabel 03 berikut akan disajikan rangkuman hasil analisis data

tentang profil kemampuan berpikir formal siswa dalam bentuk persentase

untuk tiap-tiap kelompok perlakuan dan kualifikasinya masing-masing.

Tabel 03 : Profil Kemampuan Berpikir Formal

No. Model-Level Persentase tiap-tiap kualifikasi

Tinggi (%) Sedang (%) Rendah (%)

1 A1B1 (n = 35) 22,86 27,14 0,00

2 A1B2 (n = 36) 19,44 80,56 0,00

3 A1 ( n = 71) 21,13 78,87 0,00

4 A2B1 (n = 35) 14,29 85,71 0,00

5 A2B2 (n = 38) 18,42 81,58 0,00

6 A2 (n = 73) 16,45 83,55 0,00

7 A3B1 ( n = 35) 5,71 88,58 5,71

8 A3B2 (n = 38) 0,00 89,47 10,53

9 A3 (n = 73) 2,74 89,04 8,22

Keterangan:

A1 = Kelompok PBL A2B2 = Kelompok LCM,

sekolah level 2

A1B1 = Kelompok PBL, sekolah level 1 A3 = Kelompok MPK

A1B2 = Kelompok PBL, sekolah level 2 A3B1 = Kelompok MPK,

sekolah level 1

A2 = Kelompok LCM A3B2 = Kelompok MPK,

sekolah level 2

A2B1 = Kelompok LCM, sekolah level 1

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

11

Page 12: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tercantum pada tabel 03

berikut, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Secara umum

dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui

model pembelajaran PBL (A1) sebagian besar (78,87%) siswa kemampuan

berpikir formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian lagi (21,13%)

berkualifikasi tinggi, dan tidak ada yang berkualifikasi rendah. (2) Jika

ditinjau dari level sekolah, siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar

Fisika melalui PBL (A1B1), 22,86% siswa kemampuan berpikir formalnya

berkualifikasi tinggi dan 77,14% siswa berkualifikasi sedang. Siswa pada

sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui PBL (A1B2), 19,44%

kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi tinggi dan (80,56%)

berkualifikasi sedang serta tidak terdapat siswa yang kualifikasi

kemampuan berpikir formalnya berkategori rendah. (3) Secara umum

dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika melalui

model pembelajaran LCM (A2) sebagian besar (83,55%) siswa kemampuan

berpikir formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian lagi (16,45%)

berkualifikasi tinggi, dan tidak ada yang berkualifikasi rendah. (4) Jika

ditinjau dari level sekolah, siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar

Fisika melalui LCM (A2B1), ternyata 14,29% siswa kemampuan berpikir

formalnya berkualifikasi tinggi, dan 85,71% berkualifikasi sedang. Siswa

pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika melalui LCM (A2B2),

ternyata 18,42% siswa kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi

tinggi, dan (81,58%) berkualifikasi sedang, serta tidak terdapat siswa yang

kualifikasi kemampuan berpikir formalnya berkategori rendah. (5) Secara

umum dengan tidak memandang level sekolah, siswa yang belajar Fisika

melalui model MPK (A3) sebagian besar (89,04%) siswa kemampuan

berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 8,22%) berkualifikasi rendah, dan

hanya 2,74% yang berkualifikasi tinggi. (6) Jika ditinjau dari level sekolah,

siswa pada sekolah level 1 (SNBI) yang belajar Fisika melalui MPK (A3B1), ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

12

Page 13: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

sebagian besar (88,58%) siswa kemampuan berpikir formalnya

berkualifikasi sedang, 5,71% berkualifikasi rendah dan 5,71%

berkualifikasi tinggi. Siswa pada sekolah level 2 (SSN) yang belajar Fisika

melalui MPK(A3B2), sebagian besar (89,47%) kemampuan berpikir

formalnya berkualifikasi sedang, dan sebagian (10,53%) berkualifikasi

rendah, dan tidak terdapat siswa yang kualifikasi kemampuan berpikir

formalnya berkategori tinggi.

3.1.2 Pengujian Hipotesis

Untuk menjawab pertanyaan seberapa efektif model pembelajaran

berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM) dalam

meningkatkan kemampuan berpikir formal, serta untuk menguji

keunggulan komparatif PBL dan LCM terhadap model pembelajaran

konvensional (MPK), maka dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan

analisis statistik Anova dua jalur.

Hipotesis alternatif (Ha), ”Terdapat perbedaan yang signifikan

antara kemampuan berpikir formal siswa SMA yang belajar Fisika melalui

model pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM),

dan model pembelajaran konvensional (MPK)”. Atau dinyatakan dalam

hipotesis nol (H0) ”Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

kemampuan berpikir formal siswa SMA yang belajar Fisika melalui model

pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM), dan

model pembelajaran konvensional (MPK)” . Hipotesis nol (H0) ini diuji

dengan teknik analisis varian melalui uji-F.

Berikut pada tabel 04 dan 05 akan disajikan hasil analisis statistik

deskriptif dan hasil analisis varians, untuk digunakan sebagai pengambilan

kesimpulan dalam uji hipotesis.

Tabel 04 : Rangkuman Hasil Analisis Statistik Deskriptif

Model Mean Simpangan Baku N____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

13

Page 14: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Level

PBL 1

2

Total

21,0286

20,5556

20,7887

2,1759

2,1573

2,1641

35

36

71

LCM 1

2

Total

20,1429

19,1053

19,6027

2,5798

3,0738

2,6759

35

38

73

PMK 1

2

Total

18,2857

17,8421

18,0548

2,7070

3,5832

3,1793

35

38

73

Total 1

2

Total

19,8190

19,1429

19,4700

2,7273

3,1818

2,9830

105

112

217

Tabel 05 : Rangkuman Hasil Analisis VariansSource Type III Sum

of Squaresdf Mean

SquareF Sig.

Corrected ModelInterceptModelLevelModel * LevelErrorTotalCorrected Total

298,135a

82346,239269,85522,9894,069

1623,92084183,0001922,055

51212

211217216

59,62782346,239134,92822,9892,0347,696

7,74710699,450

17,5312,9870,264

0,0000,0000,0000,0850,768

Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dan hasil analisis

varian, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Hipotesis nol

(H0) yang menyatakan bahwa ”Tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antara kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL,

LCM, dan MPK” ditolak (F = 17,531; p < 0,05). Dengan lain perkataan,

”Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir formal ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

14

Page 15: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

siswa SMA yang belajar Fisika melalui PBL, LCM, dan MPK”. (2)

Kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL(mean =

20,7887) lebih baik daripada kemampuan berpikir formal siswa yang

belajar Fisika melalui LCM (mean = 19,6027) dan lebih baik daripada

kemampuan berpikir formal siswa yang belajar Fisika melalui MPK (mean

= 18,0548). (3) Untuk sekolah level-1 (SNBI), kemampuan berpikir

formal siswa yang belajar Fisika melalui PBL(mean = 21,0286) lebih baik

daripada kemampuan berpikir forma siswa yang belajar Fisika melalui

LCM (mean = 20,1429) dan lebih baik daripada kemampuan berpikir

formal siswa yang belajar Fisika melalui MPK (mean = 18,2857). (4)

Untuk sekolah level-2 (SSN), kemampuan berpikir formal siswa yang

belajar Fisika melalui PBL(mean = 20,5556) lebih baik daripada

kemampuan berpikir forma siswa yang belajar Fisika melalui LCM (mean

= 19,1053) dan lebih baik daripada kemampuan berpikir formal siswa yang

belajar Fisika melalui MPK (mean = 17,8421). (5) Tidak terdapat interaksi

yang signifikan antara model pembelajaran dengan level sekolah (F =

0,264; p > 0,05). Artinya, penerapan PBL dan LCM dalam

mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa tidak dipengaruhi oleh

level sekolah.

3.2 Pembahasan

Dengan tidak memperhatikan perlakuan (treatment) dan level

sekolah, hasil tes kemampuan berpikir formal terhadap 217 orang siswa

SMA kelas X di Kabupaten Buleleng, menunjukkan bahwa sebagian besar

(83,82%) siswa kemampuan berpikir formalnya berada pada kualifikasi

sedang, dan hanya 13,44% yang berkualifikasi tinggi dan bahkan masih

terdapat 2,74% yang berkualifikasi rendah. Secara teoretik, berdasarkan

teori Piaget, semestinya siswa SMA kelas I dengan rentangan umur antara

14 sampai 16 tahun kemampuan berpikir formalnya sudah berada pada ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

15

Page 16: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

kualifikasi tinggi, jika kelima faktor penentu perkembangan intelektual

siswa, yaitu (1) kedewasaan, (2) pengalaman fisik, (3) pengalaman logiko

matematik, (4) transmisi sosial, dan (5) pengaturan-diri berinteraksi dan

berkontribusi secara optimal dalam pengembangan intelektual anak.

Tampaknya teori Piaget tentang perkembangan intelektual anak bahwa

anak yang telah berusia 11 tahun ke atas sudah mencapai operasi formal

kurang sesuai dengan kondisi anak di Kabupaten Buleleng.

Gambaran tentang profil kemampuan berpikir formal seperti yang

disajikan pada tabel 03 menunjukkan bahwa PBL lebih efektif daripada

LCM dan jauh lebih efktif daripada MPK serta model LCM lebih efektif

daripada MPK dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa.

Proses pembelajaran Fisika yang diawali dengan penyajian masalah dan

dilanjutkan dengan analisis masalah oleh siswa dalam kelompok-kelompok

kecil sampai pada penemuan konsep, ataupun prinsip Fisika untuk

memecahkan masalah merupakan wahana yang sangat baik dalam

mengasah dan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, termasuk

kemampuan berpikir formal. Di sisi lain, pembelajaran Fisika dengan

model LCM yang kegiatan utamanya adalah melakukan eksperimen

memberi peluang yang banyak kepada siswa untuk merancang eksperimen,

mengendalikan variabel, merumuskan hipotesis, menganalisis data, dan

mengambil kesimpulan melalui proses induktif. Peluang-peluang tersebut

juga ada pada model PBL. Jika proses pembelajaran berlangsung melalui

model konvensional (ekspositori), kesempatan siswa untuk mengasah dan

melatih kemampuan penalaran formalnya sangat rendah. Kondisi itulah

yang menyebabkan adanya perbedaan yang tajam antara model PBL dan

LCM dengan model konvensional (MPK) dalam pengembangan

kemampuan berpikir formal siswa.

Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi

antara model pembelajaran dan level sekolah dalam peningkatan ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

16

Page 17: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

kemampuan berpikir formal siswa. Artinya, efektivitas model pembelajaran

PBL maupun LCM dalam peningkatan kemampuan berpikir formal tidak

dipengaruhi oleh level sekolah. PBL dapat diterapkan pada semua level

sekolah baik itu sekolah yang berstatus SNBI, maupun SSN.

4. Penutup

Berdasarkan perasalahan, tujuan penelitian, dan hasil analisis data,

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, secara umum

dengan tidak memandang perlakuan (treatment) dan level sekolah, ternyata

sebagian besar (83,82%) siswa SMA kelas I di Kabupaten Buleleng

kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi sedang, 13,44%

berkualifikasi tinggi, dan 2,74% berkualifikasi rendah. Kedua, model

pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM)

ternyata cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal

siswa. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara model

pembelajaran berbasis masalah (PBL), model siklus belajar (LCM) dan

model pembelajaran konvensional (MPK) dalam mengembangkan

kemampuan berpikir formal siswa. Model PBL lebih baik daripada LCM

dan MPK, dan model LCM lebih baik dari pada MPK. Hal ini terbukti dari

hasil uji hipotesis dengan menggunakan teknik analisis varian dimana F =

17,531 (p < 0,05). Keempat, tidak terjadi interaksi antara model

pembelajaran dan level sekolah dalam pengembangan kemampuan berpikir

formal, dalam arti bahwa efektivitas PBL maupun LCM dalam

pengembangan berpikir formal tidak dipengaruhi oleh level sekolah, apakah

SMA berstatus SNBI maupun SSN.

Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini maka dikemukan saran-

saran berikut. Pertama, bertolak dari temuan penelitian tentang profil

kemampuan berpikir formal siswa SMA kelas I di Kabupaten Buleleng,

yang menunjukkan bahwa sebagian besar (83,82%) siswa kemampuan ____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

17

Page 18: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

berpikir formalnya masih berada pada kualifikasi sedang dan hanya 13,44%

siswa yang berkualifikasi tinggi, dan bahkan masih terdapat 2,74% siswa

yang kemampuan berpikir formalnya berkualifikasi rendah, maka

disarankan kepada semua guru agar berupaya untuk mengembangkan dan

mengimplementasikan model-model pembelajaran yang inovatif yang

mampu meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa. Kedua, model

pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan model siklus belajar (LCM)

ternyata cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal

siswa, dan juga bahwa model PBL lebih baik daripada model LCM dan

MPK, serta model LCM lebih baik daripada MPK dalam meningkatkan

kemampuan berpikir formal dan pemahaman konsep Fisika, maka

disarankan kepada para guru Fisika maupun guru bidang studi lain untuk

menggunakan model PBL atau model LCM dalam proses pembelajaran

guna meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Barrows, Howard S. 1996. Problem-Based Learning in Medicine and Beyond. New Direction for Teaching and Learning. Jossey-Bass Publishers.

Bodner, George M. 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education, Vol.63.

Brooks J.G & Martin G.B. 1993. In Search of Anderstanding; The Case for Contructivist Classroom. Alexandria Virginia.

Dantes, dkk. 1994. Pengaruh Bakat Diferensial Matematika, Kemampuan Awal dan Intelgensi Terhadap Kesanggupan Berpikir Formal dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar Matematika. Laporan Penelitian STKIP Singaraja.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

18

Page 19: jurnalis

ISSN 0215 - 8250

Driver, Rosalind. 1988. Changing Conceptions. Centre for Studies in Science and Mathematics Education, University of Leeds.

Eka Wilantara, I Putu. 2003. Implementasi Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran Fisika untuk Mengubah Miskonsepsi Ditinjau dari Penalaran Formal Siswa. Thesis Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja

Flavell, J.H. 1963. The Developmental Psychology of Jean Piaget. Princeton: N.J. van Nostrand

Fosnot, Caterine Twomey 1989. Equiring Teachers Equiring Learners.

A Construvitist Approach for Teaching. New York: Teachers College Press.

Gallagher, Shelagh A & Stepien, William J. 1995. Implementing Problem-Based Learning in Science Classroom. School Science and Mathematics

Isaac Stephen & Michael William B. 1971. HandBook in Research and Evaluation. San Diego, California: Robert R. Knapp Publisher.

Ratna Wilis Dahar 1989. Teori-Teori Belajar.Jakarta: Penerbit Erlangga

Sadia. 1996. Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Program Pascasarjana IKIP Bandung

Savoie J.M. & Andrew S.H. 1994. Problem-Based Learning as Classroom Solotion. Educational Leadership

Savery, John R & Duffy, Thomas M. Problem Based Learning: An Instructional Model and Its Contructivist Framework.

Sund, Robert B. 1976. Piaget for Educator. Ohio: A Bell and Howell.

____________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 1 TH. XXXX Januari 2007

19