i JURNAL WARNA Volume 1 No. 1 Juni 2017 SUSUNAN ORGANISASI JURNAL WARNA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU RAUDLATUL ATHFAL INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI CILACAP TAHUN AKADEMIK 2017/2018 s.d 2019/2020 Pembina : Rektor IAIIG Cilacap Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Tarbiyah Pimpinan Redaksi : Indra Rukmana, S.Pd., M.Sn Sekretaris Redaksi : Sandi Aji Wahyu Utomo, M.Pd.I Dewan Redaksi : Nasrul Umam, M.Pd.I Utami Budiyati, M.Pd.I Suvidian Elytasari, M.Pd.I Wulandari Retnoningrum, M.Pd Layout : Siti Purwati Eka Maula Ulfah Al Umam Tata Usaha/Sirkulasi : Tun Zaetun Lina Nur Arifah Nur Laila
SUSUNAN ORGANISASI JURNAL WARNA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018 s.d 2019/2020
Pembina : Rektor IAIIG Cilacap
Pimpinan Redaksi : Indra Rukmana, S.Pd., M.Sn
Sekretaris Redaksi : Sandi Aji Wahyu Utomo, M.Pd.I
Dewan Redaksi : Nasrul Umam, M.Pd.I
Utami Budiyati, M.Pd.I
Suvidian Elytasari, M.Pd.I
Wulandari Retnoningrum, M.Pd
Layout : Siti Purwati
Tata Usaha/Sirkulasi : Tun Zaetun
Musik merupakan hal terpenting dalam kehidupan sehari- hari
dari awal bangun tidur sampai tidur lagi. Dari bangun tidur
sudah
mendengarkan alarm berbunyi, melihat televisi juga terdapat
musik
yang mengiringi, setiap apa yang didengar merupakan musik
yang
selalu ada untuk mengikuti kehidupan. Tanpa musik hidup seperti
mati
karena tidak mendengarkan suara yang mempunyai nada dan
volume
tertentu. Setiap anak yang dilahirkan mempunyai kemampuan
untuk
bermusik. Karena itu anak memerlukan orang tua yang peduli
terhadap
musik sehingga kemampuan musik anak akan berkembang dengan
optimal.
dari sudut neurologis. Karena sejak dari dalam kandungan janin
sudah
bisa mendengarkan suara- suara termasuk juga musik. Dari
semua
kecerdasan yang ada dalam diri seseorang, musik memberikan
pengaruh terbesar untuk diri manusia dan bisa mengembangkan
kecerdasan lainnya. Sehingga aspek kecerdasan musik pada anak
sangat
penting untuk dikembangkan agar kecerdasan yang lainnnya bisa
berkembang dengan baik. Selain itu musik memberikan efek yang
kuat
pada otak dengan cara menstimulasi intelektual dan emosional.
Musik
juga dapat mempengaruhi tubuh dengan cara mengubah kecepatam
detak jantung, kecepatan bernapas, tekanan darah, ambang batas
rasa
sakit, dan gerakan otot. Berbagai respon tersebut dihasilkan
dari
aktivitasi jaringan- jaringan saraf yang terlibat dalam motivasi
dan rasa
senang. Oleh karena itu, untuk perkembangan anak usia dini yang
lebih
iii
dahulu. Penting bagi pendidik atau orang tua untuk mengetahui
manfaat
kecerdasan musikal pada anak agar keterampilan- keterampilan
yang
lain dapat berkembang optimal.
berbagai fenomena yang terjadi dalam perkembangan anak usia dini
di
Indonesia. Di samping itu, masalah, metode, dan hasil penelitian
itu
hendaknya dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitan
lebih
lanjut.
Indra Rukmana., S.Pd., M.Sn
Mohamad Fajrin Kobi
1 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
CAMPURSARI : BENTUK LAIN DARI KESENIAN
GAMELAN YANG DITERIMA DI MASA MODERN
Mohamad Fajrin Kobi Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia
Yogyakarta
ABSTRAK Musik campursari masuk dalam ketegori kebudayaan baru,
yakni melakukan perkawinan dan melahirkan bentuk baru. Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika zaman berubah,
maka selera dan pola pikir masyarakat pun berubah. Musik
tradisional tidak lagi sepenuhnya menjadi hal yang digandrungi
masyarakat yang semakin modern. Berdasar wujud campursari tersebut
nampaknya campursari menarik untuk dikaji dari sudut pandang
Antropologi khususnya pada perubahan kebudayan pada proses
akulturasi. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengkaji
campursari berdasar pada sebuah genre musik yang muncul akibat dari
proses akulturasi tersebut. Metode penelitian ini mengunakan metode
kualitatif, data dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi dan
dokumentasi. Selanjutnya data dianalisis berdasar analisis
kuantitatif mengikuti alur huberman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa campursari dapat dikategorikan sebuah genre musik yang lahir
akibat dari proses akulturasi. Di kategorikan demikian, karena
campursari merupakan sebuah genre musik yang terbentuk atau
dibangun dari perpaduan beberapa genre musik yang berbeda latar
budayanya baik dilihat dari segi fisik atau instrumentasi maupun
dari segi musikalitasnya.
Kata Kunci : campursari, akulturasi, modern
A. Pendahuluan Musik merupakan bagian dari budaya manusia. Dalam
situasi
apapun musik selalu mengisi kehidupan. Dapat dikatakan musik
telah
menjadi bagian dari kebutuhan manusia. Musik adalah bagian
dari
tingkah laku manusia sehingga tidak dapat dilepaskan dari
budaya
Mohamad Fajrin Kobi
2 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
tertentu. Sebagai “commodity listening” musik diyakini sebagai
bahasa
universal yang bisa memberikan kehangatan insani dan makanan
rohani
bagi si pendengar. Aliran musiknya yang ceria dan enak
didengar
mungkin bisa membuat kita menghentakan kaki atau menggerakkan
kepala. Musik bukanlah bahasa konvensional seperti bahasa
Indonesia,
Inggris, Arab, Cina, dan lain-lain. Namun sebagai sebuah sistem
yang
mampu mewakili suasana, perasaan, bahkan gagasan, musik mampu
melampaui bahasa konvensional dalam menyampaikan apa yang
dikandungnya secara univer (Allan dalam Muhaya, 2003: 27).
Musik sebagai salah satu hasil karya seni, tidak mungkin
hadir
atau dihadirkan oleh penciptanya kalau tidak memiliki manfaat
bagi
masyarakat di mana musik itu diciptakan. Bagi pengarang
sendiri,
musik sebagai salah satu karya seni, di samping bertujuan
untuk
menghibur, dengan lirik lagu yang dibuatnya merupakan media
komunikasi untuk menyampaikan apa yang ada dalam benak
penciptanya. Musik sebagai salah satu karya seni dapat
dipahami
sebagai simbol dalam komunikasi. Musik dan komunikasi secara
umum
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan kembali atau menentang
struktur sosial yang dominan, karena komunikasi dibentuk dari
masyarakat. Hubungan antara musik dan masyarakat adalah
timbal
balik dimana dalam hubungan tersebut keduanya saling
mempengaruhi
contoh lain juga terjadi pada musik campusari walaupun
seringkali
dilihat sebelah mata tetapi coba tanyakan kepada masyarakat
beretnis
Jawa dari kalangan menengah kebawah tentang musik apa yang
paling
memikat hati mereka. Jawabannya adalah campursari. Musiknya
yang
Mohamad Fajrin Kobi
3 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
sederhana dengan balutan lirik lagu berbahasa Jawa dengan tema
yang
akrab dengan keseharian masyarakat, membuat campursari lebih
diminati ketimbang jenis musik yang lain yang berkembang di
masyarakat luas. Kebanyakan lirik lagu campursari menggunakan
Bahasa Jawa Ngoko (bahasa biasa yang tiap hari dipakai), sehingga
tak
ayal jika lirik lagu campursari begitu mudah dicerna oleh
masyarakat
luas.
pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah
karawitan.
Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit,
berbelit-
belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan
enak. Kata
Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik
gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis
(dalam
laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan
sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan
aturan
garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran
yang
indah didengar.
bagi bangsa Indonesia. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan
satu
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
Hal
demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan
dengan
seni budayanya yang berupa kesenian serta berhubungan erat
dengan
perkembangan religi yang dianutnya. Pada masyarakat jawa
gamelan
mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai
sosial,
moral dan spiritual. Secara historis, sarjana J.L.A. Brandes
(1889)
Mohamad Fajrin Kobi
4 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
mengemukakan bahwa masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh
Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah
wayang
dan gamelan. Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai
sejarah yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan
yang
lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami
perubahan-perubahan.
seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya
di
lingkungan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering
terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah
(Prawiroatmojo,
1985:134). Begitu pula sudah terdengar kata ngrawit yang artinya
suatu
karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan
indah
(Soeroso:1985;1986). Dari dua hal tersebut dapat diartikan bahwa
seni
karawitan berhubungan dengan sesuatu yang halus, dan rumit.
Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan tampak nyata
dalam
sajian gending maupun asesoris lainnya. Suhastjarja (1984)
mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia yang
berlaras
non diatonic (dalam laras slendro dan pelog) yang
garapan-garapannya
sudah menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki
fungsi,
sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis
dan
campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain.
Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah
disebut
pada beberapa Perkawinan Jawa Kuno. Arti kata gamelan, sampai
sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan
Mohamad Fajrin Kobi
5 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel.
Gembel
adalah alat untuk memukul. Karena cara membunyikan instrument
itu
dengan dipukul-pukul. Barang yang sering dipukul namanya
gembelan.
Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan.
Mungkin juga karena cara membuat gamelan itu adalah perunggu
yang
dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka benda yang
sering
dibuat dengan cara digembel namanya gamelan, benda yang
sering
dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan
berkembang menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah
suatu
benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul
(Trimanto, 1984).
yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita
harus
bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan
gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan
adalah
alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik
barat
yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan
mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan
untuk
mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa
berkecimpung
dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa
halus,
tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi
sehalus
gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
2. Instrumen Karawitan
yang ada didalamnya, yang pertama adalah Bonang, terdiri dari
bonang
Mohamad Fajrin Kobi
6 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Barung dan bonang Penerus yang terbuat dari logam. Bonang
dapat
dipakai dalam segala macam gendhing, baik dalam irama keras
atau
cepat maupun halus atau pelan. Fungsinya adalah sebagai penghias
lagu
pokok dan pembuka gendhing. Slenthem, bentuknya seperti
gender
tetapi ukuran bilahnya lebih besar dan terdiri dari 7 bilah.
Fungsinya
adalah sebagai pembawa lagu pokok (pamangku lagu) Saron,
termasuk
alat tetabuhan keras yang terbuat dari logam. Berupa
bilahan-bilahan
perunggu yang disusun berderet di atas kotak kayu sebagai
wadah
gema. Saron terdiri dari Saron Demung, Saron Barung, dan
Saron
Penerus. Fungsinya adalah sebagai pembawa lagu pokok dengan
intensitas tetabuhan yang lebih keras. Kendang, berbentuk
seperti
tabung dan terbuat dari kayu dengan tutup tabung dari kulit
binatang.
Fungsi utamanya adalah sebagai pengendali baik irama,
jalannya
gendhing, ataupun dinamika. Kenong, berbentuk canang seperti
bonang tetapi lebih besar. Fungsinya adalah untuk memainkan
irama
dasar dan memberikan tekanan pada sela lagu. Kethuk,
bentuknya
seperti bonang dan biasanya berdampingan dengan alat yang
disebut
kempyang. Fungsinya untuk memainkan irama dasar dengan bunyi
selang-seling antara kempyang-kethuk-kempul-kenong dan gong.
Kempul, mempunyai ukuran yang agak besar dibandingkan
lainnya.
Biasanya digantung pada gawangan yang terbuat dari kayu yang
bernama Gayor. Fungsinya sebagai penguat lagu pokok selain
sebagai
patokan gendhing. Gong, instrumen yang mempunyai ukuran
paling
besar. Bentuk dan cara meletakkannya sama seperti kempul.
Fungsinya
Mohamad Fajrin Kobi
7 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
sebagai penguat akhir lagu, batas-batas lagu, dan penguat rasa
seleh
lagu atau gendhing.
sebagai daya tarik agar masyarakat mau masuk islam dan datang
kemasjid untuk melakukan ibadah. Dengan semakin berkembangnya
Kerajaan Demak, maka mendorong Kerajaan Demak untuk lebih
menyempurnakan gamelan yang digukan sebagai sarana penyebaran
agama islam, sehingga dengan gamelan tersebut agama islam
dapat
lebih menyerap lagi kedalam hati sanubari rakyat. Selain itu
gamelan
juga digunakan oleh kerajaan demak untuk menyelenggarakan
upacara
sekaten untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw, yang
dimana gemelan merupakan komponen utama dalam
terselenggaranya
upacara Sekaten tersebut. Dalam upacara sekaten gamelan yang
dipakai
adalah gamelan tua yang diberi nama Kyai Sekati, yang terdiri dari
dua
rancak atau perangkat. Dan gamelan sekaten ini hanya memiliki
Mohamad Fajrin Kobi
8 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
beberapa instrumen. Masing-masing istrumen tersebut dibuat
serba
tebal karena gamelan ini selalu dibunyikan keras-keras, agar
bisa
menarik perhatian warga untuk datang meramaikan upacara
sekaten
tersebut. Namun sekarang gamelan yang lengkap mempunyai
kira-kira
terdapat 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh)
dengan
disertai 10-15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama
terdiri
dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam
seperti Bonang, Demung, Saron, Peking, Kenong & Kethuk,
Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling,
Kempul.
Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan sudah berabad-abad
lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun
prasasti-
prasasti di dinding candi yang ditemukan. Perkembangan
selanjutnya
dari masa ke masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis,
maupun
fungsinya. Dari yang sangat sederhana, menjadi sederhana,
kemudian
menjadi lebih komplit. Bukti tertua mengenai keberadaan
alat-alat
musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya
dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf
Pallawa.
Kesederhanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat
dengan
pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut
terdapat
gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang
digunakan
untuk perlengkapan upacara keagamaan (Palgunadi, 2002:7).
Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami
perjalanan sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya
kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit, dan Mataram. Di
bawah
kekuasaan kerajaan-kerajaan penelitian zaman tersebut, gamelan
(seni
Mohamad Fajrin Kobi
9 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga
menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan
mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian
yang dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan
tersebut
selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan
menggambarkan bahwa seni karawitan merupakan suatu produk
kebudayaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan dengan
kondisi zaman. Hal ini sesuai dengan kodratnya, bahwa seni
karawitan
sebagaimana cabang seni pertunjukan tradisi lainnya
dikategorikan
dalam jenis senikomunal, yaitu seni yang lahir dari, oleh, dan
untuk
masyarakat. Keberadaan dan perkembangannya tergantung pada
kondisi masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat
dikategorikan
dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni jenis yang
mengabdi
kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai
payungnya.
Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada
penguasa.
Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan
pesat. Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan
hidup
dan matinya suatu bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam
puisi
abad ke-14 Perkawinan Negarakertagama. Kerajaan Majapahit
mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi
program seni pertunjukan (Sumarsam, 2003:19). Begitu
pentingnya
seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan
raja
adalah keterbilatan gamelan dan teater pada upacara-upacara
atau
pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).
Mohamad Fajrin Kobi
10 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
B. Metode Penelitian
kualitatif, yakni penelitian yang mepamarkan data-data yang
bersifat
deskriptif serta data tersebut berupa kata-kata dan bukan berupa
angka-
angka. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu
mendeskripsikan secara verbal fenomena atau gejala yang terjadi
pada
campursari khususnya dikaji dari sudut pandang akulturasi
budaya.
Selanjutnya untuk mendapatkan data-data guna memecahkan
permasalahn yang dikaji, ditempuh dengan teknik wawancara,
obsersasi, dan dokumentasi. Wawancara ditunjukan kepada para
narasumber yang memiliki kapasitas serta kredibilitas di
bidang
campursari. Obsevasi ditempuh dengan jalan melihat langsung
pentas
campursari maupun mengamati pada tayangan televisi, guna
mendapatkan gambaran yang kongkrit tentang campursari baik
dari
segi instrumentasi, segi musikalnya maupun unsur-unsur lain
yang
menunjang. Kemudian studi dokumentasi dilakukan dengan cara
mendengarkan rekaman-rekaman baik berupa SD, VCD maupun kaset
guna memperoleh data yang lebih akurat khususnya dari segi
musikalnya.
diperoleh dengan megacu pada teknik analisis kualitatif yang
diajukan
Rohidi (1992), yakni dengan langkah mereduksi keseluruhan
data,
mengklasifikasi data sesuai dengan kategorinya,
menginterpretasi
sesuai dengan tujuan penelitian, selanjutnya penyajian data
serta
diakhiri verivikasi atau penarikan kesimpulan.
Mohamad Fajrin Kobi
11 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
C. Pembahasan
sudah mengenal bentuk kesenian kurang lebih 2000-1000 tahun
sebelum masehi, yang merupakan akhir dari zaman mezolitikum.
Dan
apabila kita berbicara tentang kesenian dari jawa, tentu
banyak
jenisnya. Seperti halnya seni tari, seni musik dan yang lainnya.
Salah
seorang musikologis asal belanda yang terkenal bernama Jaap
Kunst,
mengumpulkan bahan untuk karyanya yang mendalam mengenai
musik
jawa selama akhir tahun 1910 dan 1920-an. Di tahun 1934 ia pulang
ke
negeri Belanda dan menerbitkan dua jilid buku mengenai teori
dan
teknik musik jawa. Salah satu musik yang berasal dari daerah
Jawa
adalah musik Campursari. Musik ini merupakan karya anak
bangsa.
Campursari sempat mengundang pro dan kontra dari berbagai
kalangan. Ada yang berpendapat bahwa musik campursari dapat
merusak tradisi, namun di lain sisi berpendapat bahwa inovasi
dalam
musik campursari sangat diperlukan agar dapat diterima oleh
bebagai
kalangan, baik di Indonesia maupun juga dalam tingkat
mancanegara.
Sejarah musik campursari berlanjut, campursari berasal dari
dua
kata yaitu campur dan sari, campur berarti berbaurnya instrumen
musik
baik dari alat musik tradisional maupun alat musik modern,
sedangkan
sari dapat berarti eksperimen yang menghasilkan jenis irama yang
lain
daripada yang lain. Istilah campursari sendiri dikenal di awal
tahun
1970-an, saat itu RRI stasiun Surabaya memperkenalkan acara
baru,
yaitu lagu-lagu yang diiringi oleh alat musik
Mohamad Fajrin Kobi
12 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
berskala pentatonis dan diatonis. Campursari merupakan salah
satu
bentuk kesenian jawa dari perkawinan antara musik modern
dengan
musik etnik. Dalam sejarah musik campusari, musik ini berangkat
dari
musik keroncong asli langgam, musik campursari masih
menggunakan
dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan
dan
ada juga yang cenderung ke musik keroncong. Musik campursari
pada
awalnya dipopulerkan oleh Ki Nartosabdho yang bernama asli
Sunarto.
Di tahun 1945, Sunarto berkenalan dengan Ki Sastrosabdho, lewat
Ki
Sastrosabdho, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Sunarto,
kemudian di anugerahi nama belakang yaitu, Ki Nartossabdho.
Ki
Nartosabdho merupakan pembaharu dalam dunia pedalangan di
tahun
80-an, ia menggabungkan musik modern dengan musik gamelan
sehingga menghasilkan harmoni dengan nuansa tradisi Jawa, namun
hal
tersebut memicu timbulnya kontroversi.
tradisi? Dalam sejarah musik campursari, musik campursari
merupakan
perpaduan antara sebuah tradisi dan inovasi. Pernyataan ini dilihat
dari
pandangan tradisi, bahwa musik campursari menggunakan alat
musik
tradisional seperti gamelan dan lain sebagainya, kemudian lirik
yang
digunakan dalam musik campursari menggunakan bahasa daerah
Jawa
dan terkadang dapat kita lihat para penyanyinya masih
menggunakan
pakaian daerah. Dan dari sudut pandang inovasi, terlihat
bahwa
perpaduan penggunaan alat musik tradisional dengan alat musik
modern seperti Keyboard, gitar, bass elektrik dan lain
sebagainya
menghasilkan satu buah inovasi yang baru. Sehingga bisa
dikatakan
Mohamad Fajrin Kobi
13 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
musik campursari memliki aliran yang khas, yaitu perpaduan
antara
tradisi dan inovasi.
aset budaya negara Indonesia, musik campursari memang pernah
mengalami kejayaan, namun kini musik campursari memang
sedikit
dilupakan karena kepopuleran musik modern. Sebagai warga
negara
Indonesia yang baik, terutama untuk kaum muda jadi tidak ada
salahnya
kita menjaga dan melestarikan budaya warisan nenek moyang
kita,
salah satunya adalah musik campursari.
2. Campursari Sebagai Genre Musik Baru
Tahun 1990-an musik keroncong dan karawitan masih
menyimpan masa keemasan dilihat dari fungsinya sebagai seni
hiburan
yang populer. Pada masa itu mulai ada kreasi-kreasi dari berbagai
seni
pertunjukan yang menggabungkan kedua jenis seni musik
tersebut.
Kreasi juga timbul pada masing-masing jenis dengan
menciptakan
komposisi baru yang tidak lazim dari segi bentuk, irama, laras,
dan
teknik menyajikannya. Musik keroncong dan karawitan masih
ketat
mempertahankan ansambelnya, baik berupa alat dan teknik
bermusiknya. Terlihat sekali seniman-seniman seni musik ini
masih
setia menggunakan perang katakustik yang tidak memakai
instrumen
musik elektronik. Kreasi-kreasi itu memunculkan pemikiran
seniman
untuk berbuat praktis dengan membawa serta kedua genre musik
dalam
satu ansambel baru. Keinginan ini muncul untuk mewadahi
keinginan
penikmat musik yang heterogen dalam memilih lagu. Seringkali
penikmat musik salah sasaran karena meminta lagu yang tidak
bisa
Mohamad Fajrin Kobi
14 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
dilayani grup yang tampil. Ambil saja contoh suatu orkes
keroncong
tidak dapat menyajikan repertoar lagu atau gendhing yang
biasa disajikan oleh karawitan/gamelan. Begitupun sebaliknya,
suatu
grup karawitan tidak bisa menyajikan lagu keroncong atau lagu
diatonis
lainnya. Akhirnya muncullah musik campursari yang mana
merupakan
modifikasi alat-alat musik gamelan dikombinasi dengan
instrumen-
instrumen musik modern.
Aransemen musik campursari lebih fleksibel karena
mengandung musik tradisional dan modern, sehingga
musik campursari banyak digemari masyarakat dari tingkat
masyarakat daerah hingga masyarakat kota. Pada awalnya,
kehadiran
musik ini memunculkan suatu kontroversi antara seniman dari
musik
Mohamad Fajrin Kobi
15 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
tradisional dengan para pelaku musik kreatif. Karena hal ini
dianggap
menurunkan nilai-nilai tradisi yang terkandung dalam gamelan
sebagai
salah satu bentuk musik istana. Namun, bagi seniman pelaku
musik
kreatif, hal tersebut bukan merupakan suatu penghalang yang
berarti.
Ketidak setujuan beberapa pihak akan perpaduan musik ini
dicekal
ataupun menjadi tidak boleh diperdengarkan dalam kehidupan
sehari-
hari. Buktinya campursari dapat berkembang hingga meluas pada
masyarakat dimana musik itu berasal dan kemudian di luar
kebudayaan
musik itu berasal.
musik ini, namun semua pihak sepakat dan memahami bahwa
campursari menghidupkan kembali musik-musik tradisional di
wilayah
tanah Jawa. Karena musik campur sari merupakan musik yang
mampu
mengusung suatu etnisitas dan patut diterima oleh masyarakat
luas tanpa menghapus identitas dari masyarakat pemilik musik
itu
sendiri. Bentuk musik enak didengar dengan nuansa tradisi
yang
dibawa. Akhirnya, musik ini diminati banyak orang dari
berbagai
kalangan di Indonesia. Tak heran kalau selanjutnya muncul
banyak
kelompok musik campursari di daerah -daerah. Musik campursari
menjadi salah satu jenis musik komersial yang digemari oleh
masyarkat
yang kebanyakan dari golongan sosial ekonomi menengah ke
bawah
dan banyak dijumpai dalam berbagai macam acara, seperti pesta
pernikahan, promise wisata, perayaan hari-hari besar, dan
lain-lain.
Jenis-jenis lagu yang dinyanyikanpun bervariasi, sesuai
permintaan
tamu, seperti langgam jawa, keroncong, pop, dangdut, bahkan
juga
Mohamad Fajrin Kobi
16 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
terkadang lagu berbahasa inggris. Zaman keemasan musik
campursari
terjadi mulai pertengahan tahun 1990-an sampai awal tahun
2000-an
Campursari tidak lagi berwujud seperti campursari tahun
1960an.
Masyarakat dapat memaknai sendiri ansambel campursari,
grup organ tunggal yang menyajikan lagulagu pentatonic sudah
dapat
ikatakan sebagai sebuah pertunjukan campursari, demikian juga
pemakaian keyboard dengan kendang. Campursari yang yang mana
sebuah genre musik baru yang menonjolkan percampuran antara
musik
tradisional dan musik modern secara tampilan memberikan hal
yang
berbeda dalam pertunjukan tidak hanya dalam variasi instrumen
musik
yang digunakan, akan tetapi ada perbedaan juga dalam
penggunaan
kostum yang digunakan penyanyi maupun musisinya. Biasanya
penyanyi keroncong atau karawitan (swarawati atau sindhen)
menggunakan busana kain Jawa menurut ukuran seperlunya
tetapi,
berbeda dengan penyanyi campursari, mereka merasa harus
menambahkan aksesoris lain untuk mempercantik penampilan.
Musik campursari haruslah memilki ruh yakni nilai-nilai
kearifan
lokal yang tetap melekat pada musik campursari (intrumen, kostum,
dan
lagu-lagunya). Akan tetapi, dalam perkembangannya saat ini
memang
hanya beberapa musisi campursari yang tetap mempertahankan
ruh
campursari. Sedangkan sebagian besar musisi campursari justru
mengabaikan ruh tersebut, sehingga yang muncul kemudian
adalah
penyimpangan dalam berbagai pentas musik campursari yang
membuat
efek negatif terhadap musik campursari. Penggarapan karya dan
penyajian campursari yang asal-asalan dan mengabaikan nilai-
Mohamad Fajrin Kobi
17 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
nilailuhur justru akan menjerumuskan musik campursari ke
jurang
degradasi luhuran kesenian tradisional.
kreativitas pencipta produk dan kreativitas dari penyelenggara
produk
atau produser. Kreativitas campursari, secara utama dapat
menciptakan
produk musik baru, yakni Campursari dengan style tersendiri
sebagai
bentuk musik Jawa kreasi. Kebaruan Campursari berpijak dari
musik
yang telah lama ada dan dikenal oleh masyarakat, yakni musik
gamelan
atau karawitan Jawa yang dipadu dengan musik diatonis yang
telah
terjelma dalam musik populer Indonesia, utamanya langgam dan
dangdut.
menyatukan dua tangganada antara tangganada pentatonis dan
tangga
nada diatonis. Dipandang dari sisi karawitan Jawa, alternatif
frekuensi-
frekuensi baru pada nada-nada yang biasa digunakan dalam
karawitan
Jawa, yakni dari yang biasa menggunakan frekuensi nada-nada
pelog
dan slendro diubahnya menggunakan frekuensi nada-nada
diatonis.
Tangga nada pentatonis yang digunakan untuk membentuk atau
membuat lagu, secara utama hanya lima nada sedangkan dua nada
yang
lain hanya sebagai nada alternatif. Dipandang dari sisi tangga
nada
diatonis, campursari memberikan paradigma baru, bahwa
nada-nada
yang digunakan secara utama hanya lima nada. Dua nada pokok
yang
Mohamad Fajrin Kobi
18 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
lain difungsikan sebagai nada varian atau nada alternatif.
Kemudian
untuk nada-nada kromatis sama sekali tidak digunakan dalam
penciptaan lagu.
musik Barat dan alat musik gamelan dalam Karawitan Jawa yang
dimainkan membentuk sebuah unit atau kesatuan musikal
sehingga
menawarkan estetika musikal baru. Untuk membentuk kesatuan
musikal tersebut, campursari tidak terpaku pada permainan
musik
diatonis. Alat musik yang berasal dari Barat seperti keyboard, cak,
cuk,
gitar melodi, dan bass tidak memainkan nada-nada dengan cara
sebagaimana yang biasa digunakan untuk memainkan musik
diatonis
tetapi lebih cenderung frontal kememainkan nada-nada untuk
sajian
karawitan Jawa.
ekspresi karawitan Jawa yang dikemas dengan kolaborasi
peralatan
musik Barat dan alat musik gamelan. Implikasi dari
penggabungan
peralatan tersebut adalah penggarapan harmoni yang mengacu
pada
karawitan Jawa. Hal ini disebabkan karena tangga nada yang
digunakan
secara utama dalam karawitan Jawa hanya terdiri dari lima
nada.
Berkait dengan itulah maka penggarapan harmoni hanya
berdasarkan
kelima nada tersebut. Dalam hubungan dengan itu apabila
terdapat
nada-nada yang tidak termasuk dalam tangga nada dalam
karawitan
Jawa, maka nada-nada tersebut dihilangkan. Hal ini dilakukan
untuk
mempertahankan karakter lagu agar nuansa Jawa lebih menonjol
atau
optimal.
Mohamad Fajrin Kobi
19 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Keempat, Campursari tidak menggunakan pola irama diatonis
Barat tetapi mengadopsi struktur bentuk gendhing karawitan Jawa
yang
telah ada. Campursari mengemas polapola tabuhan atau teknik
permainan dengan alat musik Barat untuk menunjukkan struktur
bentuk
gendhing menjadi jelas. Struktur bentuk gendhing musik gamelan
atau
karawitan Jawa yang secara dominan dalam Campursarinya
hanyalah
langgam, dangdut Jawa, lancaran, ketawang, dan ladrang. Musik
diatonis dalam Campursari Manthous hanya digunakan sebagai
pelengkap dan sangat tidak dominan.
Untuk menjadikan Campursari ini dapat sukses atau hidup
menjadi musik industri tidak lepas dari kreativitas Produser.
Kreativitas
dari produser ditinjau dari aspek musikalnya hanyalah
mengenai
menentukan jenis musik, memilih penyanyi yang dirasa paling
cocok,
dan menyusun urutan lagu dalam sebuah kemasan produk. Selain
dari
itu yang lebih penting, produser mempromosikan dan
menyalurkan
produk ke pihak lain yang dipandang dapat mendistribusikan
produk
tersebut dengan baik, dalam pengertian produk ini harus mudah
sampai
pada tangan konsumen.
campursari, perlu di perhatikan kembali rumusan Ki Hajar
Dewantara
tentang kebudayaan. Mengacu hal tersebut, musik campursari
masuk
dalam ketegori kebudayaan nomor 2 (dua), yakni melakukan
perkawinan dan melahirkan bentuk baru. Berdasarkan pembahasan
di
atas dapat disimpulkan bahwa ketika zaman berubah,maka selera
dan
pola pikir masyarakat pun berubah. Musik tradisional tidak
lagi
Mohamad Fajrin Kobi
20 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
sepenuhnya menjadi hal yang digandrungi masyarakat yang
semakin modern.
Modifikasi musik tradisional jawa dengan permainan musik
modern
dalam musik campursari dapat dianggap sebagai suatu upaya
untuk
mempertahankan keberadaan musik tradisional, bahkan
menghidupkannya kembali di tengah ketenaran musik
modern seperti musik pop. Pembuktian bahwa adanya usaha
pelestaraian kebudayaan tradisional dalam campursari adalah
masih
dapat ditemukannya dan dinikmatinya unsur-unsur kebudayaan
jawa
mulai dari segi instrumen musik yang digunakan, pemilihan lagu
yang
bisa dicampursarikan, hingga penggunaan kostum yang dikenakan
penyanyinya.
Daftar Pustaka
Laronga, S. M. (2008). Campursari music, 1958-present: tracing a
Javanese fusion aesthetic. Madison.
Yudoyono, B. (1984). Gamelan Jawa: awal-mula, makna masa depannya.
Karya Unipress.
Prawiroatmojo, S. (1985). Bausastra awa-lndonesia.
Atmojo, B. S. (2010). Kendhangan Pamijen Gending Gaya Yogyakarta.
RESITAL: JURNAL SENI PERTUNJUKAN, 11(1)
Surtihadi, R. M. (2014). Instrumen Musik Barat dan Gamelan Jawa
dalam Iringan Tari Keraton Yogyakarta. Journal of Urban Society's
Arts, 14(1).
Cerrya Wuri Waheni
21 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN
KOTAGEDE YOGYAKARTA
Cerrya Wuri Waheni
ABSTRAK Rumah yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya
menjadi istilah “omah” pada masyarakat Jawa yang menunjukan suatu
bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau
keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi
yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi
manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan
dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling
publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon
dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke
ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai
ruang yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga
menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi memenuhi
kebutuhan emosional serta biologis. Penulis mencoba melakukan
penelitian dari sudut pandang estetika interior rumah coumpound di
kawasan kotagede Yogyakarta, dengan harapan bisa menambah ilmu
pengetahuan bahwa interior yang terdapat pada rumah Jawa memuat
unsur keindahan dan makna tersendiri sebagai pembelajaran bagi
manusia yang berada di dalamnya. Estetika interior rumah coumpound
ini harapannya juga bisa mengingatkan kembali kepada diri penulis
sendiri sebagai perempuan Jawa dan masyarakat Jawa pada umumnya
yang terkhusus perempuan di Yogyakarta, untuk mengetahui bahwa pada
zaman dahulu rumah coumpound pernah bersaksi di dalam kehidupan
perempuan Jawa. Semoga pengetahuan ini bisa menjadi pengetahuan
dalam pembentukan sikap dan perilaku masyarakat selain masyarakat
Jawa, agar dengan mudah larut dalam pola kehidupan budaya
tradisional Jawa.
Cerrya Wuri Waheni
22 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Kata Kunci: Omah, penelitian, estetika, interior dan
coumpound.
I. PENDAHULUAN Kotagede merupakan kawasan yang memiliki
karakteristik
sebagai kota tradisional Jawa, yang memiliki faktor historis,
sosial dan
kultural. Sejarah Kotagede bermula dari dibukanya Alas Mentaok
oleh
Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 M. Daerah yang dihadiahkan
kepadanya oleh Sultan Hadiwijaya, raja Kerajaan Pajang atas
jasanya
mengalahkan Arya Penangsang, kemudian dijadikan ibukota
Kerajaan
Mataram Islam di tahun 1586 M oleh anaknya, Panembahan
Senapati
(Danang Sutawijaya). Akan tetapi seiring perkembangan zaman
Kotagede menjadi kota yang mewakili berbagai strata. Berbagai
macam
profesi dan tingkatan kedudukan penduduknya masih ada sampai
sekarang.
Yogyakarta, maka tidak akan terlepas dari keberadaan Kotagede,
yang
disebut-sebut sebagai cikal bakalnya Kerajaan Mataram. Kotagede
asli
merupakan kawasan yang memiliki karakteristik sebagai kota
tradisional Jawa. Rentang sejarah panjangnya mengukir banyak
pesona
dan meninggalkan pusaka budaya yang tak ternilai. Sebagai
kerajaan
Jawa, tata kota kawasan ini mengacu prinsip ’Catur Gatra
Tunggal’
yang direpresentasikan dengan adanya Keraton, Alun-alun, Masjid
dan
Pasar. Keraton menjadi titik orientasi arsitektur karena dianggap
pusat
keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos (inti filosofi
Cerrya Wuri Waheni
23 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
kebudayaan Jawa). Karena itu setiap rumah di kawasan ini
menghadap
pada titik dimana pusat pemerintahan (dulu) berada.
Kotagede merupakan kawasan yang mewakili tradisi Jawa.
Kultur peninggalan Kerajaan Mataram Islam masih dapat
ditelusuri
dengan melihat denah kota yang mempunyai ciri khas. Struktur
pemukiman rumah tinggal, bangunan-bangunan yang didirikan
secara
tradisional dan jalan-jalan yang berpotongan membentuk bujur
sangkar
di Kotagede sampai saat ini masih ada. Secara umum tata kota
Kotagede masih mencerminkan struktur asli pada waktu
didirikan.
Meskipun banyak yang sudah berubah menjadi pemukiman yang
padat,
bangunan keraton sudah menjadi makam dan di sekitarnya
berdiri
rumah-rumah penduduk, dan pusat kota tidak lagi di keraton,
karena
sudah berubah fungsi, kecuali pasar. Kepesatan perkembangan
lingkungan di sekitarnya tidak banyak mempengaruhi
perkembangan
fisik lingkungan di dalam lingkup kawasan Kotagede.
Zaman modern dengan dinamika masyarakat yang cukup tinggi,
selain dilandasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
masih
juga terdapat tradisi yang hidup dan berkembang di kalangan
masyarakat dalam kurun waktu yang lama dan merupakan salah
satu
akar budaya bangsa. Masyarakat Jawa dengan faham Jawanya
(kejawen) sering dianggap hidup dalam kepercayaan primitif,
namun
sebenarnya dengan faham itulah mereka kemudian dikatakan
mempunyai sifat-sifat khusus. Hal-hal yang tampak khusus adalah
cara
Cerrya Wuri Waheni
24 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
mereka mempertahankan hidup selaras dan harmonis dengan
lingkungan di sekitarnya.
mempunyai ‘arti dan makna yang dalam’ (Yudohusodo, 1991: 4).
Memahami dan mengartikan maksud dari bangunan bukan hanya
sekedar persepsi visual tetapi seyogyanya ditilik sebagai
sistem
hubungan spasial. Untuk dapat memahami ruang sosial secara
logika
maka lingkungan tersebut harus dideskripsikan secara fisik
berdasarkan
kurun waktu ataupun lingkungan sekitar. Hal tersebut dilakukan
untuk
memahami dan mengetahui hubungan antara pola yang digunakan
dengan aktivitas sosial yang berlangsung didalamnya.
Menurut Djoko Suryo (1985: 111), Yogyakarta adalah salah
satu bagian propinsi di Jawa yang masih kental dan
mempertahankan
tradisi dan filosofi ini. Pengaruh kepercayaan dan mitos secara
turun
temurun masih ditaati dalam sistem kehidupan bermasyarakat.
Salah
satu contohnya adalah dari segi orientasi arah hadap rumah
tinggal,
biasanya menghadap utara atau selatan. Secara kepercayaan arah
hadap
utara adalah untuk menghormati Gunung Merapi yang dianggap
keramat. Sedangkan arah hadap selatan juga terdapat tempat
keramat
yang dihormati yaitu adanya Laut Selatan yang menurut mitos
Jawa
terdapat istana Nyai Rara Kidul yang merajai segala jin dan
setan
(lelembut). Selain itu, susunan atau organisasi ruang, fungsi
ruang,
bentuk arsitektur, memilih letak untuk membangun dan bahan
Cerrya Wuri Waheni
25 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
bangunan pun mempunyai patokan yang mantap, serta
diperhitungkan
dengan matang. Tatanan tersebut kemudian mempengaruhi semua
tingkah laku, penggunaan benda-benda yang dipakai, dibuat,
mantra
dan sesaji, tempat-tempat alamiah, sikap serta
gagasan-gagasannya
(Sumardjo, 309: 2014).
terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan pada
pola
geometris sistematis, tetapi merupakan compound yang terdiri
dari
beberapa keluarga. Setiap satu compound dibangun dengan
pembatas
dinding dari batu bata terbuka atau diplester, dan terdiri dari 6
hingga
10 rumah. Sedangkan Soeryanto dan Indanoe dalam Iswati (2001:
27)
menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara lain
pola
dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di hubungkan
oleh
jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian yang
terbentuk
dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola dengan
beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu
pola
kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding
dengan
jalan rukunan di depan pendopo, dan pola kluster berpagar
dinding
dengan akses hanya dari samping.
Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari
beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan
rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola
kluster
yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding
yang
tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya
terdapat
Cerrya Wuri Waheni
26 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
beberapa rumah tinggal yang dulunya merupakan rumah indung
(rumah
persewaan dulunya milik abdi dalem jurukunci) dan rumah
magersari.
Biasanya dalam satu coumpound merupakan masih dalam satu
kekerabatan atau satu kinship.
kawasan kotagede terpisahkan oleh gang-gang yang dikelilingi
tembok
tinggi dengan kampung sekitarnya. Ini merupakan ciri yang
amat
menonjol dari tipe pemukiman yang ada di Kotagede. Diantara
tembok-
tembok tinggi tersebut biasanya terdapat jalan
penghubung/jalan
rukunan yang disediakan oleh pemilik rumah sehingga bagi
warga
sekitar untuk menuju seberang gang tidak perlu mengitari gang
tetapi
bisa melalui jalan pintas tersebut yang biasanya disebut jalan
rukunan.
Jalan rukunan ini ada yang dibuka tiap jam 6.00 dan ditutup
jam
18.00. Tetapi ada juga yang selalu ditutup dan hanya anggota
keluarga
dalam satu kinship yang bisa melaluinya. Dibalik
tembok-tembok
tinggi tersebut biasanya terdapat ruang tersembunyi berupa open
space
yang orang tidak akan tahu apabila tidak memasuki atau
melalui
tembok tersebut. Ini juga salah satu ciri yang banyak ditemui
di
kampung-kampung Kotagede.
pemukiman compound dengan mudah beradaptasi dalam pola
kehidupan budaya tradisional Jawa. Adaptasi yang mudah
dibuktikan
dengan penyesuaian terhadap rumah tinggalnya yang rata-rata
sudah
berumur ratusan tahun walaupun makna yang ada didalamnya
telah
Cerrya Wuri Waheni
27 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
berubah. Hubungan kekeluargaan dan social intercourse antara
penghuni rumah dengan publik masih sangat erat.
Menurut Haryadi & B. Setiawan (1995: 31) Berbagai
kegiatan
manusia saling berkaitan dalam satu sistem kegiatan. Demikian
juga
wadah-wadah berbagai kegiatan atau ruang-ruang (space)
tersebut,
yang juga terkait dalam satu sistem, yang disebut dengan ‘sistem
ruang’
atau ‘sistem spasial’ (spatial system). Keterkaitan ruang-ruang
sebagai
wadah kegiatan inilah yang membentuk ‘tata ruang’ atau ‘pola
ruang’
yang tertuang sebagai bagian dari arsitektur.
Sedangkan menurut Yulita (2005), sebagai obyek yang tampak
(visible) dan nyata (tangible), sistem hubungan spasialnya tentu
dapat
dipahami secara logis. Masalah utama dalam mengkaji pola
ruang
adalah bagaimana menemukan hubungan antara struktur sosial
dan
struktur spasialnya. Syntax model adalah metode yang bisa
digunakan
untuk menjelaskan permasalahan ruang tersebut.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, peneliti
tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai pola spasial pada rumah
tinggal.
Obyek penelitian yang dipilih adalah rumah tinggal dalam pola
pemukiman compound di kawasan Kotagede. Dengan meneliti
estetika, maka akan diketahui lebih lanjut hubungan antar pola
yang
digunakan dengan aktifitas yang berlangsung di dalamnya dari
sebuah
organisasi ruang rumah tinggal. Kondisi demikian
melatarbelakangi
dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui tentang
karakteristik
Cerrya Wuri Waheni
28 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
secara estetik pada rumah tinggal compound di kawasan
Kotagede
Yogyakarta.
(2001:28) menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede,
antara
lain pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di
hubungkan oleh jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit
hunian
yang terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding,
pola
dengan beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk
suatu
pola kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar
dinding
dengan jalan rukunan di depan pendapa, dan pola kluster
berpagar
dinding dengan akses hanya dari samping. Menurut Wiryomartono
(1995:46), pemukiman di Kotagede terdiri dari beberapa
kelompok
yang tidak didasarkan pada pola geometris sistematis, tetapi
merupakan
compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu
coumpound
dibangun dengan pembatas dinding dari batu bata terbuka atau
diplester, dan terdiri dari 6 hingga 10 rumah.
Cerrya Wuri Waheni
29 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Gambar 1: Lima tipe pemukiman di Kotagede (Sumber: Indanoe dan
Soeryanto, 1987)
Keterangan:
individual maupun kolektif, setiap kelompok dihubungkan oleh
jalan kolektif (rukunan), yang berfungsi sebagai sarana
interaksi
sosial, komunikasi dan sirkulasi dalam satu kelompok hunian.
2. Tipe dengan pola kluster dari beberapa unit hunian yang
terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding,
jalan rukunan (antara pendopo dan dalem) yang
menghubungkan antar unit rumah, dengan pengakhiran regol
pada sisi barat dan timur.
Cerrya Wuri Waheni
30 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
3. Beberapa hunian dengan unit rumah, dengan pengakhiran
regol
pada sisi barat dan timur.
4. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu
lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari
arah depan dan samping, jalan rukunan terletak di depan
pendapa.
5. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu
lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari
arah samping.
Menurut Kamus Inggris-Indonesia (1999:29), compound berati
campuran, majemuk, halaman. Pola pemukiman dengan bentuk
compound merupakan pemukiman berkelompok dalam satu
lingkungan. Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri
dari
beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan
rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola
kluster
yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding
yang
tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya
terdapat
beberapa rumah tinggal. Biasanya dalam satu coumpound
merupakan
masih dalam satu kekerabatan atau satu kinship.
Pola pemukiman compound terbentuk dari kelompok rumah
dan ruang terbuka yang memanjang. Keberadaan pola pemukiman
compound di Kotagede tidak terlepas dari adanya jalan rukunan
sebagai
area sirkulasi warga.
Cerrya Wuri Waheni
31 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Menurut Indanoe dalam Indratoro (1995:28) ada 3 pola
pemukiman compound di Kotagede antara lain :
1. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah ke arah
timur-
barat dengan jalan setapak yang terletak diantara pendapa dan
dalem, jalan setapak ini dihubungkan oleh jalan setapak (arah
utara selatan dengan deretan rumah sekelilingnya.
2. Pola compound dengan dua atau lebih deretan rumah ke arah
timur-barat dengan jalan setapak yang terletak diantara
bangunan pandapa dan dalem (tanpa ada jalur penghubung
dengan deretan rumah sebelahnya).
barat dengan jalan setapak di depan bangunan pendapa.
II. TINJAUAN TENTANG RUMAH TINGGAL
A. Tinjauan tentang Rumah Tinggal
Menurut Yudohusodo (1991:4), rumah dalam arti house akan
menitikberatkan pada fungsi rumah secara fisik, yaitu
melindungi
terhadap pengaruh alam. Sedangkan menurut Frick (1997) rumah
dalam arti home akan menitikberatkan pada kepentingan
kejiwaan,
sosial dan budaya. Rumah tinggal tradisional di Indonesia
pada
umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan dari
kehidupan.
biasanya diasumsikan sebagai tempat yang digunakan untuk
mewadahi
kegiatan sebuah atau beberapa rumah tangga. Rumah bagi tiap
Cerrya Wuri Waheni
32 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
golongan masyarakat mengandung pengertian yang berbeda-beda.
Bila
dikembalikan pada sosok manusianya maka tiap ekspresi manusia
dapat
dibedakan antara lain karena tiap orang berada pada situasi sistem
nilai
yang berbeda.
ditentukan olah faktor alam atau ketrampilan masyarakat, tetapi
yang
lebih penting adalah faktor budaya. Menurut Kartolo dalam
Sondakh
(2003:21), perubahan budaya berdampak pada beberapa
kecenderungan perubahan wujud dan makna arsitektur yang
berlaku
dimasyarakat. Oleh karena itu rumah tinggal menjadi tipe
bangunan
yang paling dekat kehidupan sehari-hari baik secara individu,
keluarga
dan masyarakatnya. Dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal
sebagai
karya nyata manusia dan menjadi wadah paling kompleks
kegiatannya
serta menjadi obyek perwujudan ide, nilai dan norma kehidupan
mereka.
karakter khusus dari ativitas rumah tersebut. Rumah bagi
sebuah
keluarga mempuyai empat fungsi, yaitu:
1. Untuk kehidupan, tidur, makan, sistem pengeluaran dan
sebagainya.
3. Bagi individu untuk berlindung dari tekanan kelompok
4. Sebagai simbol, latar belakang, ekspresi dan kegembiraan
Cerrya Wuri Waheni
33 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Rumah tinggal adalah ungkapan yang sangat sederhana. Rumah
tinggal dalam artian yang sederhana yaitu tempat lindung bagi
manusia
dan keluarganya, sebagai tempat berkembang paling mendasar
dan
membentuk karakter bagi para penghuninya. Banyak aktivitas
terjadi,
sehingga rumah tinggal merupakan tempat paling kompleks
sebagai
wadah kegiatan. Berikut ini adalah contoh rumah yang menjadi
objek
penelitian penulis.
2. Alamat : Alun-alun RT 37 RW IX, Purbayan
3. Tahun dibangun : 1850
4. Tahun Renovasi : 1938
Rumah milik responden 1 adalah rumah yang mewakili dari
salah satu compound di Kotagede yang dijadikan sebagai cagar
budaya
yaitu ‘between two gates’ . Rumah ini mempunyai nilai sejarah,
dan
merupakan rumah warisan secara turun temurun. Hubungan
kekeluargaan dalam satu compound ternyata masih dalam satu
kinship,
artinya ada dalam satu garis keturunan.
Secara fisik, orientasi hadap rumah responden 1 menghadap
selatan, merupakan rumah tradisional Jawa lengkap yang masih
mempunyai pendapa dan adanya ruang-ruang inti seperti dalem,
gandok dan senthong walaupun pada saat ini sudah banyak
mengalami
Cerrya Wuri Waheni
34 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
perubahan fungsi. Antara pendapa dan rumah induk terpisah oleh
jalan
rukunan,
sebagai ruang tamu sebagaimana mestinya rumah Jawa, tetapi
pendapa
digunakan apabila ada acara-acara tertentu. Bagian dalem pada
rumah
responden 1 digunakan sebagai ruang tamu terdapat aktivitas
untuk
menerima tamu keluarga, sentong tengen dan sentong kiwa
difungsikan
sebagai kamar tidur dengan aktivitas utama untuk tidur, berhias
dan
berganti pakaian dan sentong tengah digunakan untuk tempat
sholat.
Gandok lebih difungsikan sebagai ruang serbaguna, kerena
terdapat
beberapa area, antara lain area untuk menonton tv berkumpul
bersama
keluarga, area makan, area setrika dan ganti pakaian. Untuk
dapur
terdapat di sebelah gandok timur, sedangakan kamar mandi dan
tempat
cuci terdapat di gandok belakang yang berupa ruang terbuka
sehingga
difungsikan juga untuk tempat jemuran.
Foto 1: Depan Rumah Tinggal, tampak area duduk biasanya untuk
santai
Cerrya Wuri Waheni
35 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Foto 2: Tampak Pendapa yang terpisah oleh jalan rukunan dengan
rumah induk digunakan sebagai ruang tamu pada acara-acara
tertentu.
Foto 3: Teras rumah sebagai area duduk
Foto 4: Tampak ruang tamu untuk menerima temu keluarga
Cerrya Wuri Waheni
36 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Foto 5: Tampak senthong tengah difungsikan sebagai tempat
solat
Foto 6 Tampak area baca pada dalem
Cerrya Wuri Waheni
37 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Denah dan Pembangunan Area
Keterangan :
B : Dalem 10 : Area Setrika
Cerrya Wuri Waheni
38 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
C : Gandok Timur 4g : Area simpan Sepatu/Sandal
E : Gandok Belakang 5 : Area Ibadah
F : Jalan Rukunan 7 : Area Makan
G1, G2 : Ruang Tidur 9c : Area Memasak
H : Halaman 6 : Area Menonton TV
1 : Area Duduk 11a : Area Mandi
2 : Area Tidur 11b : Area mencuci
3 : Area Berhias 12 : Area Jemur
4a : Area simpan Pakaian 13 : Area Kebun
4b : Area simpan Pajang 14 : Area Ganti Pakaian
4c : Area simpan Pecah Belah 15 : Area Parkir
4e : Area simpan File 9b : Area Meracik/Meramu
B. Makna Rumah Bagi Orang Jawa
Menurut Dakung (1981:52), rumah dalam bahasa Jawa berarti
“Omah” yang berarti tempat tinggal, mempunyai arti yang
sangat
penting, yang berhubungan erat dengan kehidupan orang Jawa.
Dalam
kehidupan orang Jawa, ada tiga ungkapan kata, yaitu : sandang,
pangan
dan papan, yang artinya pakaian, makanan dan tempat tinggal.
Menurut Ronald (1998:71), rumah bagi keluarga Jawa
mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk
pengakuan
umum bahwa keluarga tersebut telah mantap kehidupannya. Sikap
hidup orang Jawa yang tidak individualistik, kebiasaan hidup
yang
mengutamakan kebersamaan dalam segala situasi, mengutamakan
kekerabatan mempengaruhi perilaku orang Jawa dalam
mempersiapkan
pembangunan rumah dan lingkungannya. Akibatnya bangunan rumah
Cerrya Wuri Waheni
39 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas pada
kepentingan
keluarga inti saja, tetapi bilamana mungkin dapat menampung
keluarga
majemuk, meskipun kenyataannya tidak setiap hari diperlukan.
Di sisi lain, Amiseno (1986:36) menyatakan bahwa rumah
(tradisional) bagi masyarakat Jawa mengandung pengertian yang
lebih
jauh, mencakup cerminan perilaku, gaya hidup dan sikap
masyarakatnya.
orang lain. Makna terpenting dalam sebuah rumah tinggal
adalah
tempat mendidik, berkembang, dan tumbuhnya sikap/perilaku.
Hidup
dengan bertoleransi, bergaul dengan yang lain merupakan ciri
hidup
masyarakat Jawa.
Istilah “omah” menurut baoesastra Jawa menunjukan suatu
bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal
atau
keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki
fungsi
yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan
berinteraksi
manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila
disejajarkan
dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang
paling
publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat
(pawon
dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral
ke
ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai
ruang
yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga
Cerrya Wuri Waheni
40 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang
berfungsi
memenuhi kebutuhan emosional serta biologis.
Menurut Dakung (1987) dalam Iswati (2001:31), rumah Jawa
yang ideal terdiri dari paling tidak dua atau tiga unit bangunan
yakni
pendapa (ruang pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan)
dan
dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar
yang
disebut emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding,
bagian
dalam terdiri atas dua bagian (depan dan belakang) ataupun tiga
bagian
(depan, tengah dan belakang). Rumah dengan atap kampung atau
limasan, mempunyai dua bagian ruang, sementara rumah dengan
bentuk atap joglo mempunyai tiga bagian ruang. Bagian
belakang
terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen dan sentong tengah.
Cerrya Wuri Waheni
41 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Gambar 3: Unit dasar rumah tradisional Jawa. (Sumber: Tjahjono,
1989
Subroto (1995:42) menyebutkan bahwa di dalam pandangan
orang Jawa terdapat hubungan antara hirarki rasa personal dan
konsep
perencanaan rumah tradisionalnya. Rumah Jawa dapat dibagi
menjadi
tiga bagian. Pertama, adalah omah ngarep (rumah depan), yaitu
tempat
untuk menerima tamu, dan ditandai dengan adanya pendopo. Bagian
ini
merupakan bentuk dari sikap “ngarep-arep” (menanti dengan
harap),
oleh karenanya pendopo diekspos dan diletakkan di bagian
depan
rumah. Hal ini juga menunjukkan sikap ”ngajeni” (menghormati)
oleh
pemilik rumah pada tamunya.
Cerrya Wuri Waheni
42 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Bagian kedua adalah omah njero (rumah dalam) yang terletak
di bagian tengah rumah, terdiri dari dalem / omah dan gandok.
Omah
dibagi menjadi dua, yakni bagian dalam dan luar. Bagian dalam
ini
bersuasana mistis, tertutup, dan gelap. Di sinilah aktivitas ritual
pribadi
dilaksanakan. Suasana misterius ini menimbulkan rasa ajrih
(takut).
Sementara emperan sebagai bagian luar omah berposisi sebagai
ruang
transisi, antara pendopo sebagai ruang luar dan omah sebagai
ruang
dalam, dan bisa dikatakan sebagai ruang semi privat, yang
juga
mencerminkan rasa sungkan. Mengapit omah atau dalem, terdapat
gandok yang biasanya digunakan sebagai ruang makan, tidur,
dan
berkumpul keluarga. Gandok ini menunjukkan sikap lingsem
(malu).
Pringgitan berfungsi untuk istirahat dan pada saat-saat tertentu
untuk
tempat mengadakan pertunjukkan wayang. Ruang dalem untuk
istirahat
/ tidur anak-anak, sentong kanan dan sentong kiri berfungsi untuk
ruang
tidur orang tua / menyimpan barang berharga, sentong tengah
adalah
tempat sakral, sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
Bagian ketiga adalah omah mburi (rumah belakang), yang
terdiri dari dapur, sumur dan kamar mandi. Bagian ini mewakili
rasa
isin (sangat malu sekaligus rendah diri). Karenanya bagian ini
harus
disembunyikan dan diposisikan jauh dari ruang publik.
Cerrya Wuri Waheni
43 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Gambar 4: Bagan Antar Hirarki Rasa Personal dengan Konsep Rumah
Jawa (Sumber: Subroto, 1995)
Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi
(datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain
wanita, sedang pendapa adalah domain laki-laki. Sementara
pringgitan
merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas.
Jadi
meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian
rumah
Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks
budaya
Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.
Pada kehidupan sehari-hari, tamu perempuan akan lebih
leluasa masuk ke dalem bahkan sampai ke dapur orang lain,
sedangkan
tamu laki-laki tidak boleh begitu saja memasuki ruang-ruang
belakang.
Kalau sedang ada hajat tetangga perempuan akan berkumpul
untuk
memasak bersama di dapur, sedang para lelaki akan membantu
bekerja
di bagian luar atau depan rumah. Bahkan di dalam keseharian pun,
ada
anggapan bahwa laki-laki tidak pantas berada atau beraktivitas di
dapur
Cerrya Wuri Waheni
44 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
meskipun itu dapur rumahnya sendiri, karena dapur adalah
wilayah
perempuan.
membagi rumahnya dalam tiga bagian yaitu profan, semi-profan
dan
sakral. Biasanya profan ditunjukkan oleh adanya pendapa,
dimana
setiap orang bisa memasukinya dan sifatnya publik, sedangkan
rumah/dalem merupakan bagian dari intinya terdiri dari
senthong
tengah, senthong kiwa dan senthong tengen dan sifatnya
privat/sakral.
Sedangkan gandhok kiwa dan gandhok tengen, gadri/pawon
merupakan
ruang semi profan.
cilik/mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede/makrokosmos.
Salah
satu konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima
pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral
sebagai
lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan
tata
ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan
penataan
bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan
timur-
barat.
tinggal Jawa adalah center and duality. Aktivitas yang berlangsung
di
dalam rumah terbagi menjadi aktivitas rutin (kegiatan sehari-hari)
dan
non-rutin (kegiatan ritual). Pembedaan gender di dalam
ruang-ruang
tidak berlaku tegas dalam aktivitas rutin yang melibatkan
seluruh
penghuni kecuali dapur (area wanita), sentong dan ruang tengah
(area
Cerrya Wuri Waheni
45 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
pria dan wanita), pojok selatan-barat (area wanita), pojok
selatan-timur
(area pria). Biasanya dalam beraktivitas rutin penghuni
menghindari
sentong tengah karena dipercaya pusat spiritual dari rumah dan
kegiatan
ritual, ruang yang menghubungkan tanah dengan udara melalui
api.
Tjahjono dalam Setyaningsih (2000:43), rumah bagi orang
Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad cilik /
mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede / makrokosmos. Salah
satu
konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima
pancer)
yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai
lambang
dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata
ruang
makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan
bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan
timur-
barat.
Membahas ‘Kotagede’ tidak akan lepas dari aspek ‘tradisional
Jawa’ yang melingkupi kawasan tersebut. Rumah tinggal di
Kotagede
sebagian besar masih mempunyai akar rumah tinggal Jawa, terdiri
dari
tiga bangunan/ruang utama yaitu pendapa, dalem terdiri dari
ruang-
ruang pringgitan, dalem, sentong kanan, tengah dan kiri. Gandok
terdiri
dari gandok timur dan barat. Mengenai bentuk, bahan, skala dan
hiasan
(ornamen) tergantung status sosial/ekonomi penghuni rumah.
Rumah tinggal di Kotagede terutama di dalam kampung, karena
terbatasnya tanah kepadatan menjadi tinggi, jarak antar rumah
menjadi
sempit sehingga ujud rumah tidak sepenuhnya sama dengan rumah
tradisional Jawa, terdiri dari bangunan dalem, pendapa,
gandok
Cerrya Wuri Waheni
46 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
belakang. Bagi yang mempunyai tanah agak luas ditambah dengan
gandok timur/barat.
masa sebelum tahun 1910, masyarakat Kotagede merupakan
masyarakat Kejawen, yaitu masyarakat yang berorientasi pada
kekuasaan Raja Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) sebagai
titik
pusatnya. Nilai-nilai budaya yang berpengaruh adalah Kejawen.
Pada
periode inilah rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang khas
Kotagede dibangun, rumah-rumah inilah yang lazim disebut
rumah
tradisional Jawa.
pada rumah tinggal di Kotagede, disamping posisi pendopo yang
terpisah dengan bangunan induknya, terdapat fenomena lain,
yaitu
seringnya dijumpai jalan rukunan diantara pendopo dan
bangunan
induknya, atau jalan rukunan yang terletak di depan pendopo.
Menurut hasil penelitian Ikaputra (1993) dalam Iswati
(2001:37) diperoleh temuan bahwa rumah tinggal yang terdapat
di
Kotagede selalu memiliki bagian inti (yaitu bagian yang selalu
ada,
ditemukan pada 80% lebih dari sampel) yang terdiri dari ruang
tamu,
ruang tidur dan dapur. Menurut hasil penelitian Islam (2000)
dalam
Iswati (2001:37) diperoleh temuan bahwa pada rumah tinggal di
lahan
terbatas selalu diprioritaskan adanya KM/WC dan ruang tidur,
kemudian prioritas kedua adalah ruang tamu.
Menurut Wikantyoso (1992) dalam Iswati (2001:37) struktur
ruang rumah Jawa di Kotagede terdiri dari ruang inti (core):
dalem,
Cerrya Wuri Waheni
47 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
sentong (kiwa, tengah dan tengen), pringgitan dan pendopo,
ruang
pelengkap (peripheral): gandok (kiwa, tengen), omah mburi,
pekiwan,
rukunan.
rumah yang memiliki elemen-elemen denah seperti pada rumah
tradisional Jawa dengan fungsi untuk rumah tinggal yang
spesifik.
Gambar. 4; Rumah tipe lengkap Kotagede (Sumber: Iswati, 2001)
Cerrya Wuri Waheni
48 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Pada umumnya terdapat pemisahan yang tegas antara bagian
luar dan bagian dalam rumah. Adanya tiga bagian utama dari
rumah,
yaitu bagian luar : pendapa, bagian antara: pringgitan / emper,
dan
bagian dalam: dalem (yang terdiri dari dalem ageng dan
sentong).
Dalam rumah Jawa tipe lengkap terdapat adanya sumbu simetri
(imaginer) yang membagi dua, rumah secara memanjang dari utara
ke
selatan yaitu bagian timur dan barat. Selain itu pagar halaman
dengan
dinding yang tinggi, menggunakan regol yang letaknya tidak dalam
satu
garis dengan pintu dalem.
didapatkan hasil penelitian tentang karakteristik pola spasial
pada
rumah tinggal compound di kawasan Kotagede melalui metode
spatial
syntax, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Aktivitas
rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta pada
umumnya memiliki kecenderungan:
a. Level teratas dan level non distribusi terakhir terdapat
aktivitas
tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian, beribadah
(sholat).
b. Level 3 terdapat dalem, dengan aktivitas di dalamnya
cenderung
tidur, menyimpan, kerja.
Cerrya Wuri Waheni
49 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
cenderung terdapat gandok, dengan aktivitas di dalamnya
menonton tv, makan, menyimpan, menyetrika.
d. Level non distribusi terakhir terdapat juga pada kamar
mandi,
biasanya terletak pada level 2.
e. Level terendah/ level 1 terdapat jalan rukunan, dimana
aktivitas
di dalamnya adalah mengobrol, bermain anak, menjemur.
Selain itu terdapat gandok belakang, aktivitas di dalamnya
cenderung pada memasak, mencuci, makan, menyimpan
makanan, barang pecah belah dan perkakas rumah tangga.
f. Aktifitas harian (basic need) antara lain : makan,
memasak,
mencuci, membersihkan, menyimpan dan menonton tv, rata-
rata terjadi pada waktu, situasi dan kondisi yang hampir
bersamaan dalam kesehariannya.
h. Aktivitas yang memerlukan privasi yang tinggi yaitu tidur
dan
mandi.
menerima tamu atau hubungan dengan tetangga, terjadi pada
area menerima tamu, jalan rukunan, dan emper.
j. Aktivitas yang membedakan gender/ position of women dalam
kesehariannya sudah tidak berlaku. Kecuali pada saat Ritual
Ceremonial (pernikahan, melahirkan, kematian), aktivitas
laki-
laki berada di area depan (pendapa, pringgitan/emper) dan
perempuan cenderung di belakang (dapur).
Cerrya Wuri Waheni
50 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
k. Ritual Ceremonial (pernikahan dan kematian), dalam rumah
tinggal compound, aktivitas memasak dan menerima tamu
masih melibatkan rumah tinggal disekitarnya.
2. Hirarki
hirarki/kedalaman ruang pada rumah tinggal compound di
kawasan
Kotagede Yogyakarta yang dianalisis menurut pola hubungan non
distribusi dan simetris/asimetris pada umumnya memiliki
kecenderungan:
teratas dan salalu terletak pada garis non distribusi terakhir.
Area
ibadah/tempat sholat terletak pada level 4, kamar mandi dan area
cuci
terletak pada level 4 merupakan non distribusi terakhir. Emper
yang
pada umumnya digunakan untuk menerima tamu terletak pada level
2.
Dalem yang pada umumya digunakan untuk bekerja, menyimpan dan
terkadang juga sebagai ruang tidur terletak pada level 3. Area
random
pada level 2,3,4 non distribusikan area tidur, area berhias,
area
menyimpan pakaian, area ibadah/tempat sholat, kamar mandi dan
area
cuci dengan jalan rukunan dan luar compound.
Ditinjau dari garis hirarki dan pola hubungan non distribusi,
area tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian , area
ibadah/Sholat,
kamar mandi, area cuci merupakan non distribusi terakhir
menempati
hirarki/kedalaman ruang terdalam, sehingga aktivitas di
dalamnya
sangat membutuhkan tingkat privasi yang tinggi. Rata-rata
rumah
Cerrya Wuri Waheni
51 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
tinggal compound di kawasan Kotagede memiliki pola hubungan
non
distribusi dengan 4 garis hirarki, kecuali apabila memiliki
ruang
tambahan dengan adanya lantai 2.
3. Pola Hubungan Ruang
ruang pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede
Yogyakarta
melalui analisis pola hubungan distribusi/ring/cincin
memiliki
kecenderungan:
compound yang bersangkutan, selain itu untuk kepentingan
pribadi
antar lain untuk menjemur pakaian, mengobrol dan bermain
anak.
Emper dengan aktivitas didalamnya secara umum adalah
bersantai,
menerima tamu dan untuk beberapa kasus untuk kerja menjahit.
Ditinjau dari pola hubungan ruang/distribusi secara umum maka
Emper
menduduki pola hubungan ruang yang paling tinggi karena untuk
mencapai Emper baik dari depan maupun belakang harus melalui
dua
tahap (dua area sirkulasi). Sedangkan Dalem dengan aktivitas
didalamnya secara umum adalah tidur, menyimpan, kerja dan
untuk
beberapa kasus untuk area sholat/ibadah memiliki hubungan
ruang
dengan Emper dengan hirarki lebih tinggi.
Emper dan Dalem merupakan interaksi internal penghuni
rumah, sedangkan jalan rukunan dan luar compound merupakan
interaksi eksternal (keterbukaan/kebutuhan sosial) antara
panghuni
dengan tetangga/publik, sedangkan Longkangan merupakan area
Cerrya Wuri Waheni
52 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
sirkulasi penghubung antara internal dan eksternal. Hal
tersebut
membuktikan bahwa rumah dalam compound di Kawasan Kotagede
Yogyakarta, kerukunan/interaksi antar warga masih sangat
kuat.
Dari semua kasus yang diteliti, selain terbentuk
karakteristik
tersebut, terbentuk pula keragaman. Faktor-faktor yang
melatar
belakangi munculnya karakteristik pada rumah tinggal compound
di
kawasan Kotagede Yogyakarta adalah kesamaan kondisi sosial
budaya
yang membentuk kesamaan kognisi mengenai rumah tinggal dan
histori
zaman dahulu sebagai rumah warisan turun temurun. Sementara
faktor-
faktor yang melatar belakangi munculnya keseragaman adalah
kondisi
sosial ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan tuntutan
kebutuhan
dan kemampuan ekonomi, perilaku budaya dan tingkat religi.
Tuntutan gaya hidup/kebutuhan keluarga, tuntutan ekonomi,
tuntutan akibat kebutuhan kerja, tuntutan akibat perluasan
bangunan,
tuntutan akibat kebutuhan akan privasi yang lebih tinggi, tuntutan
akan
luas ruang dan tuntutan kenyamanan fisik mengakibatkan
perubahan
aktivitas di dalamnya tidak lagi sesuai dengan konsep rumah
tinggal
Jawa. Tetapi masih ada ruang-ruang yang tetap dipertahankan
dengan
aktivitas di dalamnya, antara lain emper, dalem dan gandok,
penghuni
rumah hanya beradaptasi dan menyesuaikan.
Cerrya Wuri Waheni
53 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
DAFTAR PUSTAKA
Alvares, E., 1996, Karakter Arsitektur kota Padang, Jurusan Tenik
Arsitektur UGM, Yogyakarta.
Amiseno, Wondo, 1986, Kotagede Between Two Gates, Department of
Architecture, Engineering Faculty Gadjah Mada University,
Yogyakarta.
Ardiyanto, A., 1996, Pola Spasial Permukiman Mlaten Semarang,
Tesis, Program Pascasarjana, Jurusan Teknik Arsitektur UGM,
Yogyakarta.
Budiharjo, Eko, 1996, Menuju Arsitektur Indonesia, Alumni,
Bandung.
Collier, William L., 1981, Agricultural Evolution in Java, dalam
Gary E. Hansen, ed. Agricultural and Rural Development in
Indonesian, Boulder,Westview Press, Colorado.
Frick, H., 1997, Pola Struktur Dan Teknik Bangunan Di Indonesia;
Suatu pendekatan arsitektur Indonesia melalui patern language
secara konstruktif dengan contoh arsitektur Jawa Tengah, Kanisius,
Yogyakarta.
Habraken, NJ, 1978, General Principeles of About The Way
Environment Exist, Departement of Architecture, MT,
Massacuhussets
Hariyadi, Setiawan, B., 1995, Arsitektur Lingungan Dan Perilaku;
Suatu pengantar ke teori, metodologi dan aplikasi, Proyek
Pengembangan Pusat Studi Lingkungan; Dirjen Dikti Depdikbud,
Jakarta.
Hillier, Bill, and Hanson, Julienne, 1984, The Social Logic of
Space, Cambridge University Press, Cambridge.
Indartoro, L, 1992, Rumah Tinggal di Kotagede, Tinjauan Tipologi
dan Morphologi, Tesis Pascasarjana, Program Studi Teknik Arsitektur
UGM, Yogyakarta.
Cerrya Wuri Waheni
54 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Iswati, Triyuni, 2001, Perubahan Denah Rumah Tinggal di Kampung
Dalem Kotagede, Tesis, Pascasarjana, Jurusan Teknik Arsitektur UGM,
Yogyakarta.
Kennedy, Robert Woods. 1963, The House And The Art Of Its Design :
Reinhold Publishing Crporation, New York.
Listiati, Etty E, 1999, Rumah Tinggal Kampug Kauman Semarang, Tesus
S2, Program Pascasarjana, Jurusan Arsitektur UGM, Yogyakarta.
Mulyani, Tri H., 1996, Karakter Visual Koridor Jl. Pemuda Semarang,
Tesis Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur, jurusan
Ilmu-Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.
Mulyati, A., 1985, Pola Spasial Permukiman di Kampung Kauman
Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur,
jurusan Ilmu-Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.
Musdari, 2004. Pola Spasial Permukiman Cina di Makasar. Tesis
Program Studi Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik Universitas Gadjah
Mada.
Normies, A., 1992, Kamus Bahasa Indonesia, Karya Ilmu,
Surabaya.
Pei, M., 1971, Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New
York.
Poerwadarminta, 1972, Kamus Lengkap, Hasta, Jakarta.
Prasetyaningsih, Yulyta P. dan Nuryanto, 2005. Spatial Changes
Pattern on Chinese Houses in Lasem, Rembang. Proceedings
International Seminar on Culture Living, Department of Architecture
and Planning Gadjah Mada University.
Rapoport, A., and Altman, Irwin, 1980, Human Behavior and
Environment, Plenum Press, New York.
Cerrya Wuri Waheni
55 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Ronald, A., 1990, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan
Rumah Jawa, Uneversitas Atmajaya, Yogyakarta.
Santosa, B.Revianto dan Maharika, Ilya Fajar, 1999. Considering
Topological Entity and Level of Arrangement at The Basis of Spatial
Syntax in Vernacular Architecture in Java and Bali. Proceedings
Seminar on Vernacular Settlement : The role of local knowledge in
built environment, The Faculty of Engineering University of
Indonesia.
Setyaningsih, W, 2000, Sistem Spasial Rumah Ketib Di Kauman
Surakarta, Tesis S2 Jurusan Tenik Arsitektur UGM, Yogyakarta.
Shirvani, H., 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold
Company, New York.
Sugini, 1997, Tipomorfologi Perubahan Rumah Pada Perumahan
Minomartani Yogyakarta; Tesis S2, Jurusan Teknik Arsitektur UGM,
Yogyakarta.
Sumardjo, Yakob, 2014. Estetika Paradoks, Penerbit Kelir,
Yogyakarta.
Sungguh, A., 1984, Kamus Istilah Teknik, Kurnia Esa, Jakarta.
Suryo, Djoko, dkk., 1985, Gaya Hidup Masyarakat Jawa Di Pedesaan :
Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Titik, Y., 1995, Sistem Visual Kawasan Pusat Kota Lama, Tesis
Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur, jurusan Ilmu- Ilmu
Teknik, UGM, Yogyakarta.
Tjahjono, Gunawan, 1989. Cosmos, Center, and Duality in Javanese
Architectural Traditions : The Symbolic Dimensions of House Shapes
in Kotagede and Surroundings.Dissertation Doctor of
Cerrya Wuri Waheni
56 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1
7
Philosophy in Architecture of the University of California at
Berkeley.
Widayati, Naniek, 1989, Karakteristik Perkampungan Laweyan di
Surakarta, Pusat Penelitian Teknologi dan Pemukiman, Univ.
Tarumanegara, Jakarta.
Wiryomartono, A. Bagoes P., 1995, Seni Bangunan dan Seni Binakota
di Indonesia, Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik
Kota sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam hingga Sekarang, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yudohusodo, Siswono, 1991 Rumah Untuk Seluruh Rakyat, Kementrian
Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta.
www.yogyes.com.
Febriyando
57 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
KOLABORASI MUSIK ROCK DAN ALAT
MUSIK POLOPALO DALAM KARYA
Febriyando Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia
Yogyakarta
ABSTRAK Polopalo adalah alat musik yang berasal dari Provinsi
Gorontalo yang bahan dasarnya terbuat dari bambu dan bentuknya
menyerupai garputala raksasa, pada jaman dahulu dimainkan oleh
rakyat Gorontalo, dan polopalo tersebut dimainkan pada waktu-waktu
tertentu, seperti saat panen raya atau waktu bulan purnama. Pada
penelitian ini, penulis membuat sebuah karya dengan
mengkolaborasikan musik rock dan alat musik polopalo. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui cara yang efektif dalam
mengkolaborasikan musik rock dan alat musik polopalo. Selain itu
juga untuk mengetahui kendala dalam proses pengkolaborasian, musik
rock dan alat musik polopalo. Danhasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi perbandingan bagi para musisi yang
mempunyai ekplorasi sejenis. Kolaborasi musik rock dengan alat
musik polopalo diterapkan ke dalam karya musik yang berjudul “The
Physical Compete”. Keterbatasan nada yang dihasilkan dari bunyi
alat musik polopalo menjadi suatu hambatan dalam proses kolaborasi,
sehingga cara yang paling efektif dalam kolaborasi yang penulis
lakukan adalah dengan menjadikan alat musik polopalo tersebut
sebagai alat musik perkusi.
Kata kunci: Polopalo, Kolaborasi, Musik Rock.
Febriyando
58 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
A. Pendahuluan
Indonesia memiliki keanekaragaman suku dan budaya, salah
satunya adalah seni musik. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan
alat
musik antara suku satu dan suku lainya, misalnya alat musik
di
Kalimantan yang menggunakan alat musik sampek dan alat musik
di
Jawa yang menggunakan gamelan. Selain sampek dan gamelan,
masih
banyak lagi jenis alat musik tradisional di Indonesia.
Salah satu alat musik tradisional Indonesia Ayang berasal
dari
provinsi Gorontalo adalah alat musik polopalo. Polopalo
merupakan
alat musik yang terbuat dari bambu, yang pada jamannya saat
itu
dimainkan rakyat Gorontalo hanya pada waktu-waktu tertentu. Hal
itu
dilakukan pada saat masyarakat telah selesai melaksanakan panen
raya
atau pada waktu bulan terang (bulan purnama).
Sekitar abad ke 18, polopalo bukanlah merupakan alat musik,
namun lebih banyak digunakan sebagai alat komunikasi yang
dimainkan untuk memanggil masyarakat dalam acara adat
Gorontalo.
Pada jaman dahulu dikenal dengan nama Tonggobi, kemudian di
tahun 1980-an seniman Rusdin Palada memiliki inisiatif untuk
mengalihkan polopalo ini menjadi alat musik. Dilakukan Rusdin
Palada adalah dengan mencermati pembentukan nada pada alat
musik
tersebut, baik dengan mengubah bentuk moncongnya menjadi
lebih
tipis, atau memperbesar lubang dan gagangnya.
Pada perkembangannya, polopalo menjadi sebuah alat yang
memiliki fungsi penting di dalam kegiatan adat istiadat
Gorontalo,
hingga kemudian para pengrajin alat musik polopalo melakukan
Febriyando
59 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
didalam
pola pikirnya telah dipengaruhi oleh berbagai perkembangan
global
dengan tuntutan kemajuan secara instan dari berbagai faktor
(Suwardi,
Daulima, 2006, hal 61).
baku, cara memainkan dan waktu memainkannya. Bahan baku
utamanya adalah bambu. Bambu sendiri memiliki 2 jenis bambu
yaitu
bambu air dan bambu pagar, namun untuk alat musik polopalo
khususnya menggunakan bambu air, karena bambu air tersebut
dapat
menghasilkan bunyi yang lebih nyaring dan sedikit halus.
Keunikan lainnya yaitu polopalo hanya dimainkan pada
malam kamis dan malam minggu saja, karena masyarakat
Gorontalo
percaya bahwa malam-malam tersebut adalah malam yang
istimewa.
Permainannya pun hanya pada malam hari, karena dalam
memainkannya memerlukan ketenangan jiwa yang menurut
masyarakat Gorontalo pada malam tersebut yang paling spesial
bila
dibandingkan dengan malam lain.
Di jaman sekarang, pengkolaborasi anantara musik tradisional
dan musik popular bukan merupakan hal baru lagi. Banyak alat
musik
tradisional seperti gamelan, angklung, sampek dan masih banyak
lagi
alat musik yang sudah pernah dikolaborasikan dengan musik
populer.
Salah satunya di Yogyakarta yang paling mencolok terjadi di
daerah
Malioboro. Para pengamen di Malioboro hampir sebagian besar
melakukan kolaborasi dengan menggunakan alat musik
tradisional
seperti angklung, gamelan dengan alat musik populer seperti
snare,
Febriyando
60 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
drum, simbal, kontra bass, dan lain sebagainya. Kolaborasi
tersebut
sangat bagus untuk dijadikan inspirasi bagi musisi yang
mempunyai
ekplorasi musik sejenis.
daerah Gorontalo dengan aransemen musik rock dan juga
mengkolaborasikan alat musik tradisional Gorontalo, yakni
polopalo
dengan alat musik Barat. Hal tersebut belum pernah ada
dikarenakan
semakin lama alat musik polopalo tersebut semakin tidak digemari
di
kalangan anak muda bahkan kalangan orang tua, sedangkan di
Gorontalo, musik rock banyak digemari di kalangan anak muda
sampai orang tua.
Musik rock adalah genre musik yang mulai dikenal tahun 50-
an, dan puncak kejayaannya pada tahun 80-an akhir sampai
90-an
awal, dimana secara umum ciri khas musik rock terletak pada
bunyi
distorsi gitar dan suara yang melengking. Musik rock dalam
khasanah
musik populer dunia yang biasanya di dominasi oleh vokal,
gitar,
drum, danbass. Banyak juga dengan penambahan instrument lain
seperti keyboard, piano maupun synthesizer. Musik rock
biasanya
mempunyai ketukan yang kuat dan di dominasi oleh gitar, baik
gitar
elektrik maupun akustik (Prier, 2006, hal 121).
Hal ini yang memberikan ide kepada penulis untuk membuat
karya musik dengan mengkolaborasikan alat musik polopalo dan
musik rock, yang kemudian diangkat ke dalam Tugas Akhir
dengan
judul “Kolaborasi Musik Rock dan Alat Musik Polopalo dari
Gorontalo Dalam Karya The Physical Compate (Sebuah Ekplorasi
Febriyando
61 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
Musik)”. Pada resital tugas akhir penulis mempertunjukkan
hasil
kolaborasi tersebut dan diharapkan dapat berguna bagi
pengembangan
eksplorasi musik sejenis di masa yang akan datang, selain
dari
pengembangan alat musik polopalo penulis juga ingin
mengenalkan
alat musik tersebut kepada masyarakat luas.
Alat musik polopalo ini sangat berbeda dengan alat musik
lainnya, karena bunyi yang dihasilkan dari setiap polopalo yang
satu
dengan yang lainnya sangatlah berbeda. Hal tersebut
dikarenakan
setiap bahan bambu yang dipotong saat proses pembuatan sangat
berbeda dan dibuat dengan takaran pemotangan yang tidak sama.
Inilah yang menjadi salah satu kendala penulis dalam
menciptakan
karya dan aransemen saat pengkolaborasian musik rock dan alat
musik polopalo.
diri dari Propinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001, memiliki
jenis
kebudayan dan adat istiadat yang beraneka ragam. Salah satu
kesenian
sebagai bagian dari kebudayaan daerah Gorontalo yang cukup
terkenal
yaitu alat musik tradisional polopalo.
Menurut masyarakat Gorontalo, alat musik tradisional
polopalo merupakan alat musik asli rakyat Gorontalo, namun
pada
perkembangannya, ternyata ditemui ada alat musik daerah lain
yang
hampir serupa dengan alat musik ini yakni alat musik Sasaheng
yang
Febriyando
62 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
berkembang didaerah Sangihe Talaud dan Bonsingdari daerah
Bolaang Mongondow, Manado, Sulawesi Utara.
Pada tahun 60-an sampai tahun 90-an, polopalo biasanya
dimainkan pada waktu-waktu tertentu, yang pada hari tersebut
merupakan hari yang spesial menurut masyarakat Gorontalo.
Contohnya, pada waktu masyarakat daerah Gorontalo telah
selesai
melaksanakan panen raya, pergantian musim atau pada waktu
bulan
terang (bulan purnama).
menunggu perintah atau komando, dalam hal ini masyarakat
tergerak
dengan sendirinya karena merasa harus merayakan atau
bergembira
bersama dalam mensyukuri hari yang indah atau hari yang
spesial
tersebut. Biasanya musik tradisonal polopalo itu dimainkan
kira-kira
pukul 22.00 sampai pukul 01.00 waktu setempat untuk memanggil
masyarakat berkumpul bersama.
memiliki keunikan tersendiri seperti pemilihan bahan baku,
cara
memainkan dan waktu memainkannya. Bahan baku utamanya adalah
bambu. Bambu sendiri memiliki dua jenis bambu yaitu bambu air
dan
bambu pagar namun untuk alat musik polopalo sendiri,
khususnya
menggunakan bambu air.
malam kamis dan malam minggu saja, karena masyarakat
Gorontalo
percaya bahwa malam-malam tersebut adalah malam yang istimewa
bila dibandingkan dengan malam lain, kemudian permainannya
pun
Febriyando
63 | J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1
7
hanya pada malam hari, karena dalam memainkannya memerlukan
ketenangan dan suasana yang tenang.
Alat musik polopalo pada jamannya sering dilombakan.
Biasanya dalam sebuah lomba, juri hadir bersamaan di satu
tempat,
namun dalam lomba polopalo, jurinya berada jauh dengan jarak +
1
km atau 1000 meter. Hal ini dilakukan untuk bisa mendengar
suara
atau bunyi yang paling nyaring. Penentuan juarapun didapatkan
dari
suara ketukan yang terdengar paling nyaring.
Seiring dengan berkembangnya zaman, popularitas alat musik
polopalo saat ini sepertinya tidak lagi diminati masyarakat
Gorontalo.
Hal ini disebabkan kurangnya upaya pelestarian yang dilakukan
untuk
tetap mempertahankan k