Upload
buiduong
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“KALIMAH SAWA<” SEBAGAI KONSEP TEOLOGI INKLUSIF
NURCHOLISH MADJID
SKRIPSI DiajukanuntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjana Strata Satu (S1)
Oleh:
Bahrur Rosi
1110033100048
JURUSAN AQIDAH FALSAFAH
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017 M.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Kalimah Sawa> Sebagai Konsep Teologi Inklusif Nurcholish
Madjid” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2017, Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
program studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta, 17 Oktober 2017
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap anggota
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 196808031994032002
Sekretaris merangkap sebagai anggota
Dr. Abdul Hakim Wahid, MA
NIP.197804242015031001
Anggota
Dr. Edwin Syarif, MA NIP.196709181997031001
Dr. Arrazy Hasyim
ABSTRAKSI
Konsep pemikiran Nurcholish Madjid, didasarkan pada tiga bentuk, yaitu
Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan, yang kemudian oleh Cak Nur di deklarasikan
pada tahun 1992 di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Sehingga pada tahun 1992,
ceramah Nurcholish Madjid menuai beberapa kritikan dari banyak tokoh terutama toko-tokoh
Islam. Pidato yang disampaikan oleh Cak Nur yaitu tentang Titik Temu Agama-Agama, dalam
bahasa Inggris Commond Platform, atau dalam bahasa Arabnya Kalimah sawa>>.
Menariknya, Cak Nur tidak hanya menggunakan kata Kalimah sawa>> pada Keislaman
saja. Beliau juga menggunakan kata Kalimah sawa>> pada konsep kenegaraan juga, yaitu
dengan menyinkronkan antara Kalimah sawa>> dengan pancasila --khususnya Indonesia. Hal
ini sebagai upaya Cak Nur untuk membangun perdamaian, khususnya tentang ras, suku dan
agama (Islam, Kristen, Hindhu, BudhadanKonghucu).
Dari pemikiran Cak Nur yang paling menarik juga yaitu tentang fitrah: fitrah
munazzalah (fitrah yang diiturunkan) dan fitrah Majbulah (fitrah yang tertanam dalam diri
manusia). Dari point ini dapat mengambil sebuah petunjuk bahwa setiap manusia juga perlu
memainkan fikirannya dalam bertindak dimasa-masa kemodernan seperti sekarang ini.
Di sini akan ditegaskan bahwa konsep pemikiran Cak Nur, pada intinya hanya
didasarkan pada tiga bentuk, yaitu Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan, yang
kemudian oleh Cak Nur di disampaikan lewat ceramahnya pada tahun 1992 di TIM (Taman
Ismail Marzuki) Jakarta. Sehingga pada tahun 1992 ceramah Nurcholish Madjid menuai
beberapa kritikan dari banyak tokoh terutama tokoh-tokoh Islam.
Kata kunci: Kalimah sawa>>, Fitrah, Keislaman, Keindonesiaan, Kemoderenan.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, berjudul: “Kalimahsawa>>
Sebagai Konsep Teologi Nurcholish Madjid”. Salawat dan salam juga penulis curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa semangat pencerahan melalui rahmat
yang dibawa-Nya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan untaian terimakasih dan
penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
1. Dr. Arrazy Hasyim, MA. Selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini
yang telah dengan telaten, sabar, dan ikhlas membimbing penulis serta banyak
meluangkan waktu, tenaga dan fikiran demi memberikan masukan serta
nasehat dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku dekan fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Tien Rahmatin, MA. Selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Abdul Hakim Wahid, SHI. MA. selaku sebagai sekeretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Terimakasih juga kepada seluruh Instansi akademika Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Terimakasih juga yang terdalam kepada kedua orang tua tercinta Rahmat dan
Ummi Qulsum. Juga kepada adek-adek tercinta, Holilullah, Baiturrahman,
Denis al-Farisi.
7. Terimakasih juga kepada abang-abang dan senior-senior; Kanda Edwin
Syarif, Kanda Aminurdin, Kanda Nanang Tahqiq, Kanda Su’udi, Kanda
Asyari, Kanda Dani Ramdhani dan semuanya tanpa terkecuali yang telah
membimbing dan memberikan semangat kepada penulis.
8. Terimakasih juga kepada temen-temen Kosan; Sulaiman, Holil, Tohari,
Saniman, Gazali, Roni, Roman, Hendri, Aliwafa, Hamidi, Anis kurniawa,
Qurnia dan juga lainnya yang penulis tidak sebutkan disini.
9. Terimakasih kasih juga kepada seluruh keluarga besar HMI KOMFUF
Jhojon, Turmudzi, Iksan Yaqub, Annalia, Fikri, Muflih Hamim, Alim, Rohim,
Fauzan, Yadi dan juga lainnya yang tak mungkin penulis sebutkan semuanya
di sini.
Ciputat, 04 Oktober
2017
BAHRUR ROSI
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ........................................................................................................................iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................................ix
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...........................................................................12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................................................13
D. Metodelogi Penulisan dan Teknik Penulisan .............................................................15
E. Sistematika Penulisan ................................................................................................13
BAB II. TEOLOGI INKLUSIF DAN PLURALISME NURCHOLISH MADJID
A. Teologi Inklusif ..........................................................................................................16
B. Perspektif Pluralisme Agama .....................................................................................27
BAB III. RIWAYAT HIDUP NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ............................................................................35
B. Karya-karya Nurcholish Madjid ................................................................................49
BAB IV. KALIMAH SAWA > DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID
A. Kalimah Sawa> Dalam Pandangan Nurcholish Madjid .............................................58
1. Islam sebagai Agama Kemanusiaan ....................................................................66
2. Iman dan Sikap Terbuka ......................................................................................68
3. Masalah Pluralisme dan Dialog ...........................................................................70
B. Kalimah Sawa> Sebagai Teologi Inklusif ..................................................................72
C. Inklusifisme dan Tantangan Modernitas ....................................................................82
1. Manusia Sebagai Khalifah al-Ard .......................................................................87 2. Keadilan ...............................................................................................................89 3. Antar Iman dan Kelompok Keagamaan ...............................................................90 4. Paradigma Islam dan Peradaban Modern ............................................................93
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................96
B. Saran-Saran ................................................................................................................97
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 98
PEDOMANA TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan - ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h} ha dengan titik di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
sh es dan ha ص
d} de dengan titik di bawa ض
t} te dengan titik di bawah ط
z} zet dengan titik di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q qi ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrog \ ء
y ye ي
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
A< fath}ah
I< kasrah
U< d}hammah
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
a> a dengan topi di atas سا
i> i dengan topi di atas سى
u> u dengan topi di atas سو
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah pemikiran Islam, diskursus tentang kalam (teologi)
menempatkan posisi paling utama dalam kajian para ilmuan dan intelektual Islam.
Seperti yang telah dipahami bersama, bahwa perdebatan tentang kalam (teologi)
sebenarnya telah muncul sejak pembunuhan ‘Utsma>n bin Affa>n, khalifah ketiga, atau al-
Fitnah al-Kubra> (Malapetaka besar)1.
Pada dasarnya, isu utama yang berkaitan dengan teologi Islam, dapat dibagi
menjadi tujuh bagian, yaitu: pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, pembuktian
tentang eksistensi Tuhan secara ontologis dan kosmologis; ketiga, hubungan antara
manusia dan Tuhan secara Kosmologis, keempat, respek terhadap perintah-perintah
Tuhan yang berhubungan dengan free will, determinisme, takdir, kebaikan, kejahatan,
siksa dan pahala; kelima, bahasa agama yang pragmatis dan fungsi keanehan (mukjizat)
serta keistimewaan yang dimiliki Nabi, mistik dan pernyataan Nabi; keenam, hubungan
antara akal dan wahyu, ketujuh, politik terhadap aplikasi aturan Tuhan bagi masyarakat.
Pada umumnya pemahaman tentang persoalan-persoalan mengenai teologis,
kebanyakan para pemikir lebih menekankan pada aspek pragmatisme, sebagaimana
yang tercantum pada teks kitab suci (al-Quran), sunnah (al-Hadi>ts) dan ulama klasik
yang beberapa pemikirannya lebih pada wilayah tekstual tanpa menaruh perhatian
sedikitpun pada konteks. Hal itulah yang menjadikan para pemikir menjadi tidak
dinamis, dan bahkan utopis serta lebih cenderung pada determinis. Itulah yang menjadi
fokus utama pemikiran Nurcholis Madjid, yang dicurahkan melalui banyak artikel, buku-
1 Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2
buku dan bahkan khotbah-khotbahnya dengan menggunakan pendekatan rasional dalam
merekonstruksi konsep-konsep kalam.
Sebagaimana yang dipahami oleh para pemikir dan bahkan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Sebab agama adalah kesatuan lembaga dan praktek yang menjelmakan
atau memfokuskan respon pribadi kepada Tuhan (h}a>bl min Alla>h)2 dan agama juga
merupakan tempat pengaplikasian kesalehan sosial (h}a>bl min al-na>s). Kesalehan,
kesadaran individu dan respon pribadi kepada Tuhan, dapat dilalui dengan berbagai cara,
tetapi bagian kecil dengan agama (serangkaian orientasi dan institusi). Hal inilah yang
menjadikan agama sebagai kesalehan dzahir–kesalehan-kesadaran inti batinnya dan
batinnya tidak dapat dijelaskan secara sosiologis.3
Implikasi dari skema yang disebutkan di atas, bahwa semakin dekat manusia
dengan lingkaran batin kepercayaan, semakin jauhlah ia menarik diri dari kekuatan-
kekuatan sosiologis. Oleh karena itu, kepercayaan agama batin adalah independen serta
tak dapat direduksi. Seperti pandangan Turner, inilah yang menjadikan Nurcholis Majid
dalam beberapa artikel dan buku-bukunya, sering kali mengatakan, bahwa “...dalam
memahami paham keagamaan, pandangan ilmiah tidak terlepas dari lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan budaya”.4 Hal ini dapat kita pahami, bahwa pada
dasarnya agama dan aliran keagamaan memberi bentuk eksistensi politik dan kekuasaan,
bahwa semuanya ada pada urutan yang merupakan jalan lebih lanjut bagi keteguhan
agama.5
Hudgson dalam pendapatnya tidak jauh beda dengan pendapat Nurcholis Madjid,
bahwa “...Kesalehan atau agama mengakibatkan kekebalan sosiologis
2 Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, diterjemahkan oleh Eno
Syafrudin, cet. Pertama, (Jakarta, Riora Cipta, 2002), h. 72 3 Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 72 4 Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 475 5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Franz Rossenthal, penerjemah, The Muqaddimah, 3 Jilid, (New
York: Bollingen Foundation, 1958), h. 475
kepercayaan”.6Adapun yang dimaksud pengebalan di sini ditempatkan dalam pandangan
kantian mengenai pergaulan manusia yang di dalamnya masyarakat mendiami dunia
neuminal dimana kesadaran seseorang bebas beroperasi. Dalam hal ini, Smith juga
angkat bicara, menurutnya gagasan agama sebagai sistem sosial relatif lambat dalam
sejarah manusia, sementara kepercayaan telah dibangun jauh sebelum bangkitnya sistem
agama. Karena dalam agama sebagai setting sosial sudah dikembangkan dan
dimapankan.7 Oleh karena itu perlu memperkenalkan Islam secara mendalam dari aspek-
aspek lain, dalam berusaha memperkenalkan Islam terutama masyarakat Muslim
Indonesia dari sudut tinjauan teologi.8
Di dalam buku orientalis Islam, Syamsudin menjelaskan mengenai konsep teologi
dari pandangan tokoh orientalis, diantaranya, yaitu: William L. Rosse “discourse or
reason concerning God” (diskursus pemikiran tentang Tuhan).9 Namun, beberapa ahli
menilainya kurang tepat tentang konsep teolog yang ditawarkan oleh William L. Rosse.
Karena beberapa pertimbangan, yaitu karena dari definisi kata teologi itu sendiri. Teologi
berasal dari kata Yunani theos (Dewa, Tuhan), Logos (Wacana, Ilmu).10 Dalam Literatur
Islam, Logos (Wacana, Ilmu) atau lebih tepatnya Kala>m tidak sesederhana seperti yang
telah dijelaskan oleh William di atas, karena Kala>m dalam dunia Islam juga meliputi
prinsip ke-Imanan dan pokok-pokok ajaran berdasarkan dalil-dalil naqli>(wahyu) maupun
a>qli> (rasio, nalar). Firman Tuhan11:
6 Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 73 7 Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 76 8 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta: UI Press,
2013), h. XI 9 Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam Sketsa Awal, Islamia Majalah Pemikiran dan
Peraban Islam, Jakarta, Vol II No 3, Desember 2005, h. 11 10 Haerul Anwar, Teolgi Dalam Perspektif Fazlurrahman, Program Studi Aqidah dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1433/2012 M. 11Mujamma’ al-Malik Li Tibha’at al-Mush-Haf Asy-Syarif, Medinah Munawwarah
P.O.BOX 6262, Kerajaan Saudi Arabia 1415 H., h. 512
“Dan diantara manusia ada yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengtahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang
bercahaya”.12 (Qs. Alhaj: 8)
Karena itu, demi harkat dan martabatnya, manusia harus menghambakan dirinya
hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa “...Pada
dasarnya manusia melihat keatas hanya kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, Sang
Pencipta, dan kepada Alam harus melihat kebawah. Sedang kepada sesama manusia
harus melihat secara mendatar (Horizontal)”.13
Sebagai seorang cendekiawan Islam, pemikiran tentang keislaman Nurcholish
Madjid memfokuskan pembahasannya pada dua dimensi kehidupanumat Islam, yaitu:
Keindonesiaan dan kemodernan. Merajut tiga segi umat Islam (keislaman, Kemodernan,
Keindonesiaan) membawa Nurcholish Madjid pada upaya pemikiran peradaban
Indonesia modern yang didasarkan pada Islam yang Inklusif,14 seperti yang dikatakan
oleh Goenawan Mohamad yang dikutip dari Nurcholis Madjid15 “...Kita tidak berhenti
pada Ha>blum min Alla>h. Tuhan mengubah dan menggugah, dan manusia terubah dan
tergugah dalam hubungannya dengan manusia lain”. Kutipan ini menunjukkan bahwa
pada dasarnya rasa kemanusiaan manusia yang beriman dapat dilihat hubungannya
dengan manusia lain dalam menjaga suatu kehormatan.
Manusia pada intinya mempunyai sifat yang sangat mulia (selalu cenderung pada
kebenaran) yaitu dalam bahasa Nurcholish Madjid “Fitrah” suci; sifat itulah yang
kemudian menuntun manusia untuk selalu berbuat baik tersmasuk sikap dasar manusia
untuk menerima kebenara, kebenaran sebagai perwujudan perjanjian dengan Tuhan.
Dalam hal ini berhubungan dengan kata Budhy Munawwar Rachman dalam disertasinya
12 Yang dimaksud “Bercahaya” dalam ayat ini ialah “antara yang hak dan yang batil” 13 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Waaf Paramadina, 1992, h. 97 14Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama: Analisis Atas Islam Inklusif
Nurcholis Madjid, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara 2014), h. 18-19 15Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Paramadina 1995), h. xiii
tentang Titik Temu Agama-Agama Nurcholish Madjid, bahwa ada dua jenis fitrah yang
selalu berhubungan, yaitu: Fi}trah munazzalah, fitrah yang diturunkan berupa kitab suci
yang merupakan petunjuk untuk manusia. Fit}rah majbu>lah, Fitrah yang tertanam kokoh
dalam diri manusia (Hati Nurani). 16
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa konsep Keislaman-Keindonesiaan-
Kemodernan tidak bertentangan dengan Islam, bahkan konsep itu menjadi “Kalimah
sawa>>”17 yang diterjemahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai common platform yang
semua ajaran nabi tergabung di sini serta bermuara kepada teologi toleransi yang
merupakan asas civil society (masyarakat madani) yang dicita-citakan Islam dan yang
lainnya kalimah sawa>>ini juga merupakan sebuah pertemuan ajaran-ajaran pokok yang
dibawa oleh para nabi dan rasul.
Jika mencoba ditilik dari sisi sejarah, istilahkalimah sawa>> sebetulnya sudah
dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dari tahun 1992. Dalam perkembangan global,
khususnya sejak 2007 para cendekiawan dan ulama’ Indonesia mengeluarkan dokumen
“A Commond Word,” dan menjadikan Istilah itu menjadi istilah dalam menggali cara
baru, perspektif baru, bahkan sikap baru dalam membangun hubungan Islam-Kristiani
yang lebih baik.18
Paham Islam inklusif yang dikembangkan Nurcholish Madjid merupakan sebuah
perspektif teologis dan filosofis, bahwa jika toleransi diharapkan membawa berkah
pengalaman suatu prinsip dan ajaran kebenaran, “Toleransi bukanlah sejenis netralisme
kosong yang bersifat prosedural semata, tetapi berakar pada pandangan hidup yang
berakar dalam ajaran kebenaran” pendapat Nurcholish Madjid yang dikutip Budy
Munawwar Rachman. Dari paparan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan sementara
16Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama:, h. 22 17Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 18 18Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama,, h. 35
bahwa toleransi tidak hanya persoalan prosedural semata untuk kerukunan hidup, tetapi
merupakan persoalan prinsip ajaran kebenaran.
Hammurabi sebagai tokoh kenegaraan pertama, beliau memiliki kearifan untuk
menuntut tuduk kepada hukum, tidak kepada dirinya sendiri sebagai penguasa.19 Karena
itulah Tuhan membangkitkan seorang Rasul atau sang pengajar kearifan di semua
umat,20 kearifan dimana saja yang merupakan nyata fitrah suci kemanusiaan universal,
karena pada dasarnya kearifan lokal atau regional harus diterima dan dipandang sebagai
kelanjutan ajaran sebagai sang penganjur kebenaran. Firman Tuhan:
Bukanlah kebajikan itu ialah, bahwa kamu mengarahkan wajahmu ke
timur atau kebarat; tetapi kebajikan ialah jika orang beriman kepada Allah,
Hari Kemudian, para malaikat, kitab suci, dan para nabi; dan orang yang
mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin orang terlantar dalam
perjalanan, peminta-minta, dan orang-orang yang dalam belenggu
perbudakan; dan orang yang menegakkan sembhayang, menunaikan zakat
dan mereka yang menepati janji apabila telah berjanji, dan mereka yang tabah
dalam kesusahan kesulitan dan pada saat terjadi bencana. Mereka itulah
orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.21
Oleh karena itu, pada dasarnya prinsip-prinsip inklusivisme dan pluralisme,
semua pemeluk agama atau dalam perbedaan aliran dilarang bertikai, kecuali jika
dihadapkan dengan kedzaliman, sehingga pada dasarnya setiap aliran atau agama harus
mendermakan (berjanji) sumpah setia kepada dasar pegangan (kitab) masing-masing,
karena dalam perbedaan itu masih kesatuan (Tuhan yang sama) Muslim. Maka, dengan
prinsip kesatuan itulah dibangun sistem kehidupan bersama berbentuk polity, demi
terwujudnya maslahat umum yang berbentuk negara bangsa.
Kearifan itulah yang merupakan kelanjutan fitran suci kemanusiaan universal.
Oleh sebab itu manusia dianjurkan untuk mencari ilmu dan kearifan dimana saja,
sehingga dari kearifan lokal itulah terbangun sebuah prinsipil yang dibangun oleh
19Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, Cet: III, 2004), h. 59 20Nurcholish Madjid, Indonesia Kita,, h. 60 21 Qs. 2: 177
kalimah sawa>>(kalimat kesamaan dalam ajaran kitab suci) al-Qur’an, Injil, Zabur, Taurat,
serta menolak-membeda-bedakan antara mereka (utusan Tuhan) adalah perbuatan ingkar
kepada hikmah Ilahi dan kearifan kemanusiaan Universal. Oleh sebab itu, setiap pribadi
manusia harus berbuat baik kepada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri pribadi
terhadap diri pribadi yang lain, serta menghormati hak orang lain dalam jalinan
kehidupan yang damai dan terbuka.22
Dengan demikian, setiap pribadi mempunyai potensi untuk benar. Tetapi, karena
diciptakan sebagai mahluk yang lemah (berpandangan pendek, cenderung kepada hal-hal
yang bersifat segera), maka setiap pribadi mempunyai potensi untuk salah “tergoda” oleh
hal-hal menarik (Nurcholish Madjid dikutip Dari Budhy Munawwar Rachman). Oleh
karena itu, menurut Nurcholish Madjid, jika terjadi percekcokan di dalam masyarakat
merupakan hal yang wajar, karena tidak ada manusia yang terbebas sama sekali dari
perselisihan.23Oleh karena itu, ketidakwajaran itu mulai tampak jika perselisihan
semakin parah dan saling mengucilkan apalagi sampai terjadi terpecahnya hubugan
antara yang satu dengan yang lainnya.24 Karena pada dasarnya beberapa perbedaan
dalam kehidupan tidak selalu disebabkan oleh pemahaman tentang kepercayaan,
melainkan sering disebabkan oleh kepentingan-kepentingan kelompok.
Berdasarkan keterangan di atas, kalimah sawa>>merupakan jalan tengah yang harus
ditempuh untuk melakukan penyerahan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu, implikasi
dari kalimah sawa>>menunjukkan tentang adanya keselamatan bagi setiap individu, sosial.
Jadi dari sini dapat ditegaskan bahwa, keselamatan itu hanya didapat oleh manusia-
manusia yang beriman kepada Tuhan, serta perbuatan-perbuatan yang saleh.
22Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid, (Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2011), h. 197 23Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid h. 199 24 Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin Peradaban,, h. 86
Dampak sosio kultural dalam Islam merupakan ajaran keagamaan yang pertama
kali secara langsung dengan doktrinnya, memperkenalkan toleransi kebebasan dalam
beragama kepada umat manusia, hal ini sesuai dengan pendapat Bertran Russel seorang
filsuf ateis radikal, mengakui kelebihan Islam atas agama lain, sehingga menurutnya
sejumlah kecil tentara Muslim mampu memerintah daerah yang amat luas dengan mudah
dengan adanya konsep Ahli Kitab itu.25 Oleh karena itu, pemeluk agama Allah adalah
Umat yang tunggal.26Penyempurnaan selalu dibutuhkan, sampai saatnya Utusan
(Muhammad) sang penutup itu tiba, karena menurut al-Qur’an, kebenaran dalam proses
sejarah selalu mengalami berbagai bentuk penyimpangan, Firman Allah:
Dia (Allah) mensyariatkan bagi kamu, tentang agama, apa yang di
pesankan kepada Nuh, dan kami kami mewahyukan kepada engkau
(Muhammad), dan yang kami pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu
tegakkanlah olehmu semua agama itu, dan janganlah kalian terpecah belah
mengenainya. Terasa berat bagi kaum musyrik apa yang engkau
(Muhammad) serukan.27
Dengan demikian, dapat yakinkan bahwa hadirnya nabi Muhammad sebagai
penyempurna atas ajarin Nabi-nabi sebelumnya, sebagai makna orientasi kehidupan
kepada Tuhan, maka untuk memahami tentang kehidupan orientasi itu hanya dapat
dilalui dengan berita yang dibawa oleh sang pembawa berita (Nabi). Oleh karena beliau
(Muhammad) sebagai penyempurna utusan sebelumnya, maka sangatlah diwajibkan pula
agar manusia percaya akan kenabian beliau (Muhammad).
Dari berbagai pengalaman yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya hanya
untuk melukiskan tentang nilai Islam serta penghayatan, pengalaman sebagai jalan untuk
menuju pada keinsyafan akan makna dan tujuan akan makna kehidupan untuk sampai
pada keimanan yang utuh, kesadaran orang yang beriman ini merupakan kesadaran akan
ketuhanan. Menurut Nurcholis Madjid, Iman itu tidak cukup hanya dengan percaya
25Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 204 26Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 205 27 Qs. 3: 84-85
kepada Allah, tetapi harus mempercayai Allah dengan kualitas-Nya sebagai satu-satunya
yang bersifat keilahian yang sama sekali tidak memandang adanya kualitas yang serupa
atau bahkan melebihi Dia.28
Kesadaran Ketuhanan yang mendalam, merupakan sebuah fondasi kehidupan
yang benar juga akan melahirkan sebuah ketakwaan. Yang kemudian kata takwa ini oleh
Nurcholish Madjid dipahami sebagai “rabba>ni>yah”dan “rabba>ni>, karenanya kesadaran
ketuhanan merupakan wujud yang sangat penting dari nilai keagamaan yang seharusnya
menjadi dasar dari usaha-usaha apapun, yang mau menyajikan Islam sebagai sumber
keinsyafan hidup.29 Firman Allah “Inilah kitab yang tiada diragukan, suatu petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa.”
Dengan demikian, dapatlah dipahami yang oleh Nurcholish Madjid disebut
sebagai I@sla>m, I@ma>n dan Ih}sa>n. Ihsan (pengalaman kehadiran Tuhan) sebagai
kesempurnaan yang di bawahnya mencakup I@ma>n dan I@sla>m, sementara Iman berada di
tengah yang mencakup Islam yang mendasari sikap keberagamaan. Di sinilah, diletakkan
dasar-dasar filosofis keislaman Nurcholis Madjid, bahwa hakikat seluruh agama ialah
Islam “aslama-yuslimu-isla>man”, yaitu sikap tunduk dan pasrah kepada Allah dengan
tulus dan tawakkal.30
B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah
Berdasarkan keterangan di atas dan demi menjaga efektifitas pembahasan, di sini
penulis membatasi pembahasan pada konsep Islam inklusif sebagai titik temu yang
dinyatakanoleh Nurcholish.Karena dengan pandangan ini, Nurcholis Madjid juga sangat
terbuka pada paham pluralisme agama. Nurcholis Madjid juga tidak banyak
mendialogkan dengan konsep pluralisme yang lebih “sekuler,” jadi dalam hal ini tidak
28Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 103 29Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 105 30 Nurcholish Madjid, Islam dan Hanifah, Makalah, tanpa tahun
hanya mengenai pluralisme agama, melainkan juga mengenai paham kebangsaan yang
dilihat dari sudut kebangsaan.
Penulis mengambil beberapa persoalan Islam Inklusif Nurcholis Madjid, yaitu
diantaranya: Pertama, ke-Isla>m-an, keindonesiaan, kemodernan yang dijadikan dasar
untuk membangun sebuah peradaban Indonesia modern yang didasarkan pada Islam
Inklusif. Kedua, Kalimah sawa>>(commond word) yang menurut Nurcholish Madjid
sebagai tingkatan transenden-keprihatinan etis-pada tingkat imanen. Keempat,
mempersiapkan dasar teologis umat Islam untuk menerima inklusivisme, agar bangsa
Indonesia berperan aktif dalam mengembangkan pemikiran ke-Indonesia-an moderen
tanpa ada halangan agama apapun. Karena pada dasarnya ada beberapa hal kesamaan
yang dimiliki manusia meskipun perbedaan itu ada, dan ada titik persamaan dari
kesemuanya itu yaitu common world .
Karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran Nurcholish Madjid tentang
Islam Inklusif ini. Kemudian penulis memberikan judul yang pas dengan pokok
permasalahan yang sedang dibahas, yaitu Kalimah sawa>> sebagai teologi Inklusif
Nurcholish Madjid. Berdasarkan ruang lingkup di atas, penulis merumuskan beberapa
persoalan, yaitu:
1. Seperti apakah pandangan Nurcholis Madjid mengenai Teologi
Inklusif?
2. Bagaimana korelasi antara Inklusif dengan kalimah sawa>>?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Dilihat dari beberapa judul di atas, memang terkesan tidak ada hal yang baru
dalam beberapa pembahasan skripsi ini, karena persoalan mengenai Inklusif dalam
pandangan Nurcholis Madjid sudah banyak didiskusikan bahkan buku-buku dan artikel-
artikel yang menulis mengenai Islam inklusif oleh para cendekiawan muslim.
Akan tetapi yang menjadi ketertarikan penulis untuk membahas mengenai Islam
inklusif ini, karena kebanggaan penulis terhadap Nurcholis Madjid sebagai tokoh
pembaharu Indonesia dan dari segi pemikirannya yang sangat cemerlang dalam
membahas mengenai ke-Isla>m-an yang sangat memumpuni.
Tujuan dari penulisan skripsi ini secara khusus adalah upaya mengkaji atau
menganalisa dalam memahami konsep teologi yang digagas oleh Nurcholis Madjid
sebagai tokoh pembaharu Indonesia yang dijadikan pegangan oleh banyak para pemikir
Islam di era sekarang.
Sedang tujuan penulisan skripsi ini secara umum yaitu:
1. Memberikan kontribusi wawasan untuk memperkaya khazanah pemikiran
cendikiawan muslim Indonesia, khususnya kepada penulis sendiri.
2. Mendorong kita sebagai masyarakat Indonesia agar bangga terhadap
Pemikiran Islam Indonesia dan guna memahami konstruk pemikiran
Nurcholis Madjid dalam upaya membedah realitas pengetahuan.
3. Untuk membangun peradaban yang lebih maju, terutama dikalangan
mahasiswa UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
4. Untuk melengkapi persyaratan untuk menulis skripsi seperti yang telah di
tentukan oleh pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kegunaan secara teoritis dapat memberikan pemahaman, tentang bagaimana dan
seperti apa pemahaman teologi Inklusif yang digagas oleh Nurcholish Madjid untuk
menjawab perdebatan, dan bahkan perpecahan pada berbagai kalangan cendekiawan
muslim Indonesia sehingga dapat dijadikan landasan kebenaran yang utuh.
D. Metodologi Penelitian Dan Teknik Penulisan
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian kepustakaan.
Data utama yang dipakai dalam penulisan skripsi ini diambil dari buku-buku dan
beberapa artikel yang ditulis oleh Nurcholish Madjid serta didukung data sekunder dari
buku-buku yang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengkaji kemudian
memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada,
kemudian menganalisa secara proporsional dan komprohensif sehingga akan tampak
jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan
yang akan menghasilkan pengetahuan yang baru, jelas dan valid.
Secara teknik, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik
pembahassan secara deskriptif analitis yang bertujuan untuk menghadirkan serta
menggambarkkan pemikiran (konsep teologi) Nurcholish Madjid.Teknik pengumpulan
data dan pembahasan masalah disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah yang
telah ditentukan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu rangkaian
penulisan yang saling berhubungan dengan uraian sebagai berikut:
Bab I berisi tentang Latar Belakang Masalah, Ruang Lingkup dan Pembatasan
Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan dan
Sistematika Penulisan. Dengan menjelaskan beberapa point mengenai beberapa
pembahasan yang akan di ulas pada bab-bab berikutnya, seperti gambaran utama
mengenai pluralisme, inklusifisme, serta tata cara kepenulisan yang telah di tentukan
oleh akademik.
Bab II akan menggambarkan mengenai perkembangan dan beberapa pandangan
dan gesekan keras antara beberapa cendekiawan muslim Indonesia dalam hubungannya
dengan Islam inklusif yang mulai mengakar pada diri cendikiawan. Sebab pada dasarnya
setiap manusia akan mengalami persinggungan, baik internal agama dan ataupun yang
satu dengan yang lainnya, sehingga, dari persinggungan-persinggungan itu menuju satu
titik pertemuan yaitu kalimah sawa>>.Istilah kalimah sawa>>bukan sebuah istilah yang
baru, malainkan telah digunaka Nurcholish Madjid dari tahun 1992, sehingga Istilah
tersebut menjadi sangat popular dalam kalangan cendikawan Islam Indonesia.A
Commond Word/ Kalimat-un sawa’ ini menjadi sangat penting, sebab ide ini dapat
meliputi banyak hal, yaitu teologi, hubungan antar agama, dan bahkan kehidupan social,
politik dan ekonome.
Bab III, berisi tentang biografi Nurcholis Madjidyang meliputi riwayat hidup
beliau dari masa kecil sampai dengan melahirkan karya-karya terbaiknya. Seperti yang
telah di ketahui, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid telah menjadi isu nasonal sebagai
tokoh sekularisasi. Ada beberapa point utamanya yang akan penulis jadikan gambaran
yaitu pentingnya sekularisasi politik dengan membedakan dua porsi yaitu ranah agama
dan ranah politik sehingga muncul sebuah slogan “Islam Yes, PartaiIslam No”.Pada
mulanya, pemikiran Nurcholish Madjid yang sangat kontrofersial dimulai sejak tahun
1970an dan bahkan bertahan sampai sekarang.Nurcholish Madjid sebagai penggagas
utamanya sangat menyayangkan adanya kontrofersi dalam merespon
pemikirannya.Sebab bagi beliau, adanya kontofersi tersebut karena stigma atas
penggunaan istilah sekularisasi yang belakangan setelah terjadi banyak kontrofersi,
istilah tersebut beliau ganti dengan istilah desaklarisasi atau demitologisai.
Bab IV, berisi tentang pandangan teologi Nurcholis madjid yang ditawarkan
secara khusus yang dimulai dari pembahasan tentang Gambaran Pemikiran Nurcholis
Madjid, Islam Inklusif dan Pluralisme. Islam inklusif Nurcholish Madjid telah menjadi
paham toleransi agama yang berkembang di negeri ini dan bahkan telah menjadi cacatan
kaki para penganut paham toleransi,seperti Islam Liberal (yang didirikan oleh Lutfi
Assaukane untuk di wilayah Indonesia) dan juga Liberal Islam.Nurcholish Madjid
sebagai seorang cendikiawan Islam dan inklusif serta pemikiran-pemikiran beliau sangat
erat kaitannya dengan kehidupan lapisan social masyarakat Indonesia dengan merajut
pada tiga deminsi utamnya, yaitu Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan.
Bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh pembahasan yang telah
dituangkan dalam bab-bab sebelumnya serta penulis akan memberikan sebuah gagasan
untuk menyikapi permasalahan Teologi yang sampai saat ini masih menjadi sebuah
pertentangan para tokoh Islam.
BAB II
TEOLOGI INKLUSIF DAN PLURALISME AGAMA
A. Teologi Inklusif
Sebelum masuk pada pembahasan tentang teologi inklusif, maka terasa perlu
untuk membahas terlebih dahulu pengertian tentang Teologi, baik secara etimologis
(bahasa), terminologi (istilah) dan juga perkembangannya dari masa kemasa.
Untuk memahami kata teologi, serta beberapa lapangan pembahasan terkait
teologi. Teologi berasal dari dua kata, yaitu Theos berarti Tuhan, dan logos berarti ilmu.
Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan dan hubungan antara Tuhan dengan manusia.
Sedang teologi Islam adalah ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-
gejalaagama serta hubungan antara manusia dengan Tuhan.31 Dengan kata lain, teologi
merupakan sebuah pentelaahan ajaran dasar agama.32
Dengan demikian, pembicaraan tentang teologi, bertumpu pada tiga hal, yaitu
“pembicaraan”, “pengetahuan”, dan “kebenaran”. Ketiga point ini tidaklah terpisahkan.
Ketiganya yang menjadikan teologi sebagai sebuah disiplin ilmu tentang Tuhan yang
berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Perbedaan ini sangatlah fundamental dan mendasar.
Karena, sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi mempunyai objeknya yang khas untuk
dibicarakan, dan objek tersebut adalah sesuatu yang transendental (Tuhan).33
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tuhan merupakan sebagai penanda
utama teologi (titik berangkat sekaligus sebagai titik akhir) dari refleksi dan pemikiran
dalam teologi dengan menjadikan Tuhan sebagai eidos (substansi) yang sekaligus
31 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta : PT Pustaka al-Husna, 2003), h. 1 32 Hamzah, Teologi Sosial, Telaah Pemikiran Hasan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.
1 33 Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 5
sebagai idea (wacana). Menurut Muhammad al-Fayyad, pembahasan tentang teologi
dapat dibagi menjadi dua sistem, yaitu; teologi sebagai sistem keyakinan, dan teologi
sebagai kajian.
Pertama, sebagai sistem keyakinan, mengacu kepada pandangan dunia yang
dibentuk oleh cita-cita ketuhanan yang terkandung dalam praktek keagamaan itu sendiri.
Kedua, sebagai sebuah kajian, merujuk kepada wacana yang dikembangkan dari studi,
telaah dan pendekatan atas konsep ketuhanan, pada bagian yang kedua, sebagai sebuah
kajian karena lebih bersifat kritis daripada sifat normatif.34
Oleh karena itu, dalam perkembangannya, teologi bermakna secara variatif sesuai
dengan masing-masing agama dan kehidupan tertentu, contoh, St. Eusebius,
merumuskan definisi teologi tentang Kristus. Yang lainnya St. Thomas Aquinas yang
hidup pada sekitar abad pertengahan, beranggapan bahwa teologi sebagai pengetahuan
yang suci (sacra doctrina) di dalam agama Kristen.35
Dalam agama Yahudi, juga memiliki definisi tersendiri tentang definisi teologi,
meskipun teologi yang berkembang dalam agama Yahudi karena terpengaruh dari agama
Islam, mereka menamainya sebagai ilmu kalam. Menurut Saadia bin Joseph,
mendefinisikan teologi Yahudi sebagai pengetahuan tentang dasar-dasar keimanan, yang
sumber utamanya adalah kitab suci dan hasil dari penalaran akal.36
Dalam pemikiran Islam, pengertian teologi mencakup pada tiga pembahasan
besar, yaitu Falsafah Islam, Teologi Islam (ilmu kalam) dan Tasawuf. Namun, dalam
pembahsan ini, penulis akan lebih memfokuskan pembahasan hanya kepada teologi
34 Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi,, h. 5 35 Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi,, h. 64 36 Julius Guttmann, Philosophies of Judaism: The History of Jewish Philosophy from Biblical
Times to Franz Rosenzweigh, terj. David W. Silverman, ( New York: Schocken Books, 1973), h. 70.
Islam (ilmukalam). Sebelum menjadi sebuah keilmuan yang definitif, ilmukalam
mempunyai serangkaian sejarah panjang. Sebelum ilmukalam menjadi sebuah
terminologi khusus seperti yang terjadi seperti sekarang. Namun, seiring dengan
perkembangan sejarah, kata kalam mengalami pengkhususan makna, misalnya dapat
dilihat pada penggunaannya sebagai istilah teknis yang mengacu pada persoalan-
persoalan yang kemudian menjadi objek utama pembahasan.37
Istilah kalam dalam Islam, perkembangannya tampak sebagai sesuatu ilmu setelah
berkembangnya pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. Untuk lebih jelasnya, kenapa keilmuan
ini dinamakan sebagai ilmukalam,menurut Harun Nasution, dalam teologi Islam
dipandang dari dua aspek, yaitu: Pertama, Perspektif Objektif, yaitu karena yang dibahas
dalam ilmu ini adalah sabda Tuhan(al-Qur’an), sebuah persoalan yang telah
menimbulkan pertentangan keras dikalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan
kesepuluh Masehi. Kedua, perspektif subjektif, yaitu karena para ahli kalam dalam
sejarahnya sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi.38
Dengan demikian, jika ditelisik lebih jauh lagi, istilah teologi, sebetulnya
bukanlah hal yang baru dalam Islam, hal ini dapat dilacak pada masa awal Islam, yaitu
pada saat terjadi transformasi Intelektual melalui penerjemahan-penerjemahan buku-
buku Yunani, seperti Theologia Aristoteles, ataupun Elementatio Theologia yang telah
dikenal oleh intelektual Islam pada masa itu. Penggunaan kata teologi sebagai pengganti
kalam tidak lain hanya merupakan sebuah proses sejarah yang berulang. Sehingga hal ini
37 Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-32 Th. XXI, Mei 2015, Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran
Islam Klasik dan Modern, h. 4 38 Harun Nasution, Teologi Islam,, h. ix
merupakan sesuatu yang wajar, sebagai akibat adanya interaksi dialektis seiring dengan
perkembangan pemikiran dalam kontek ruang dan waktu tertentu39.
Untuk mengawali kajian Teologi Inklusif, alangkah sangat penting untuk
mendefinisikan terlebih dahulu kata inklusif. Inklusif dalam bahasa Inggris inclusive,
setelah dirubah menjadi bahasa Indonesia menjadi inklusif yang secara bahasa berarti
terbuka, sebagai lawan dari eksklusif (tertutup). Sehingga ketika dinisbatkan dalam
sebuah agama menjadi teologi inklusif.
Pengertian Teologi Inklusif menurut beberapa tokoh, diantaranya: Nurcholish
Madjid, memaknai kata inklusif pada dua bagian, yaitu pandangan agama-agama lain,
sebagai bentuk implisit dari agama tertentu. Dan yang lainnya, sikap terbuka dan toleran
terhadap penganut agama non Muslim.40 Menurut Alwi Shihab, teologi ini dikaitkan
dengan pandangan Karl Rahner (seorang teolog Katolik), yang intinya menolak asumsi
bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak meyakini Injil.
Baik dalam pandangan inklusif dalam Islam memiliki dasar spritual yang
memadai. Pandangan diantaranya seperti Qs. al-Baqarah: 62
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nashrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka
akan pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati”
Pesan yang kedua digambarkan oleh Qs. al-Maidah: 69.
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin
dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar
39 Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-32 Th. XXI, Mei 2015, Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran
Islam Klasik dan Modern, h. 6 40 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban,, h. 234
saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.”
Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa Cak Nur sebagai pemikir yang Inklusif
serta dikenal juga sebagai cendikiawan muslim Indonesia. Pemikiran-pemikiran ke-Islam-
annya sangat terkait dengan dengan dua dimensi kehidupan umat Islam, yaitu ke-
Indonesia-an dan ke-Moderen-an, yang merajut pada tiga dimensi ke-Islam-an, ke-
Indonesia-an dan ke-Moderen-an. Menurut Budhy Munawwar Rachman:
..... Salah satu masalah yang paling kuat Cak Nur kemukakan adalah
masalah Inklusivisme. Menurut Cak Nur, Inklusivisme adalah salah satu
sendi yang sangat menentukan keberhasilan bangsa Indonesia membangun
peradaban yang adil, terbuka, demokratis. Sebab, tanpa adanya sikap Inklusif,
tidak mungkin demokrasi itu ada. Oleh karena itu, Cak Nur menyiapkan
fondasi demokrasi dengan dasar normatif-teologis terlebih dahulu....
.... pada dasarnya, menurut Cak Nur, keberagamaan pada masa ini
sama sekali harus berbeda dengan masa lalu, yaitu dengan beberapa kunci
yang ditekankan; adil, terbuka dan demokratis (inklusif).41
Nurcholish Madjidtelah memberikan sebuah kontribusi yang sangat luar biasa
terhadap para pemikir Indonesia, baik dalam beragama dan bernegara, seperti demokrasi
Hak Asasi Manusia (HAM), kebesabasan berekspresi dan bahkan sampai kepada gagasan
masalah kemajuan. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa pemikiran Cak
Nur adalah sintesis keislaman dengan dua unsur lainnya, yaitu keindonesiaan dan
kemoderenan. Bahkan dari semua pemikiran Cak Nur tentang Islam Inklusif merupakan
inti dari pemikiran keislamannya.42
Dalam kaitannya antara Islam dan teologi inklusivitas, di sini Cak Nur
memposisikan Islam sebagai agama yang universal, pendapat ini mengacu kepada
beberapa ayat al-Qur’an, bahwa pada dasarnya pesan yang dibawa oleh para Nabi dan
41 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 19-20 42 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 24
Rasul adalah ajaran Islam, yaitu; Nabi Nuh mengajarkan Islam (Qs. Yunus/10:72),43 Nabi
Ibrahim juga membawa Islam, hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa wasiatnya
kepada anak cucu beliau (Qs. Al-Baqarah/2:130-132),44 Ya’qub dan Yusuf juga berdoa
kepada Allah, agar kelak beliau meninggal sebagai seorang Muslim “orang yang
berislam” (Qs. Yusuf/12:101).45
Dengan demikian, semua agama itu adalah sama, seperti yang dibawakan oleh
Nabi Muhammad, dan pada dasarnya agama Islam ini tidak unik (tidak berdiri terpisah
dengan agama lainnya, Kristen, Hindhu, Budha, Yahudi, Konghucu dan beberapa
kepercayaan lainnya), namun pada proses perkembangannya itulah yang membuat Islam
maju dan menarik.46
Di dalam al-Quran sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa, Tuhan mengutus para
Nabi dan Rasul ialah untuk mewujudkan masyarakat yang berketuhanan (Rabba>niya>h),
dari sini terlihat dengan jelas, bahwa makna Isla>m sebagai pasrah kepada Tuhan yang
dibawa oleh para Nabi-Rasul terdahulu ialah untuk mewujudkan masyarakat yang
berketuhanan, Makna raba>niya>h sejajar dengan makna keimanan dan ketaqwaan
(imtaq),47 jika penulis telisik lebih jauh iman dan takwa merupakan sebuah fondasi yang
benar bagi kehidupan manusia.
43 “Jika kamu berpalig (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sekalipun dari padamu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk dari golongan yang
berserah diri”.... Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo S.H., (Jakarta: Yayasan penyelenggara
penerjemah/pentafsir al-Quran, 1971), h. 318 44 “dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang
memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di
akherat benar-benar termasuk orang-orang saleh (130). Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, tunduk dan
patuhlah!, ibrahim menjawab, aku tunduk dan patuh hanya kepada Tuhan semesta alam (131). Dan ibrahim
telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub (Ya’qub berkata), hai anak-
anakku! Sungguh Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali memeluk
agama Islam (132)”... lihat, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, diterjemahkan Bahrun
Abubakar, Toha Putra, Semarang, 1985, h. 382-383 45 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan,, h. 2 46 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, , h. 3 47 Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Republika, 2002), h.93
Seperti yang telah dijelaskan pada alinea sebelumnya, bahwa pemikiran Cak Nur
menjadi sangat penting untuk diaplikasikan di Indonesia, demi sebuah kerukunan umat
beragama.48 Pandangan seperti ini pula yang menjadikan pemikiran Cak Nur sangat
brilian sebab beliau memadukan keislaman dan keindonesia dengan tetap menjaga sisi
kemerdekaan setiap manusia dengan landasan utamanya teologi Inklusif (sunnatullah).
Pandangan hidup dan orientasi manusia pada rabba>niyya>h merujuk kepada
pandangan bahwa manusia (khalifah fil a>rd) merupakan puncak dari ciptaan Tuhan yang
paling baik. Oleh karenanya, manusia sebagai khalifah di dunia harus dapat menjaga
harkat dan martabatnya. Menurut Cak Nur, pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai
mahluk yang baik dan suci (fitra>h), 49 oleh karenanya, sebagai ciptaan yang paling mulia
dan terbaik, setiap manusia (individu) harus dapat memuliakan sesamanya. Oleh karena
itu, sebagai mahluk paling mulia yang Tuhan ciptakan, manusia harus dapat dan mampu
mengamati dan mengapresiasi alam ini, baik dalam bagiannya saja atau bahkan
seutuhnya. Sebab alam ini sebagai manifestasi dari Tuhan, guna menghayati
keagungannya sebagai dasar kesejahteraan spiritual.
Dari sinilah manusia akan mendapatkan titik pangkal kebenaran yang universal
sebagai ketuhanan yang Maha Esa (Tawhid). Menurut Budhy Munawwar Rachman,
pandangan inilah yang dapat ditafsirkan bahwa setiap agama menganut prinsip yang
sama50 maka, dari sebab inilah sebuah titik pertemua atau kalimah sawa>> (dalam istilah al-
Quran) dapat dijumpai dalam kehidupan berbangsa, bernegara dalam kaitan utamanya
dengan sistem kepercayaan. Serta, implikasi utamanya dari kalimah sawa>> adalah
siapapun, dari manapun dan agama apapun dia berhak mendapatkan sebuah keselamatan,
48 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 19-2023 49 Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid,, h.94 50 Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Jakarta, 1999, h. 144
dengan landasan utamanya diaberiman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat
baik (Qs. al-Baqarah/2:62).51
Dari sisi agama sudah sering kali kita mendengarnya, bawa Islam adalah agama
yang toleran, agama yang dapat menghargai agama-agama lain. Tetapi, akhir-akhir ini
sering kali kita mendengarnya bahwa Islam sebagai agama konflik – hal ini dapat dilihat
dari beberapa hal yang diantaranya adalah banyaknya sebagian kelompok para penganut
Islam berjuang dengan kata jiha>ddan bahkan juga meneriakkan bahwa mereka atas nama
Islam.Kedua,lahir beberapa pemahaman radikal seperti teroris, dan juga yang lainnya.
Lantas di sinilah fungsi utama Islam sebagai agama yang toleran harus mampu dan dapat
mensosialisasikan pandangan toleransi sehingga pandangan toleransi di dalam Islam
dapat dihayati, dimengerti, dan diamalkan oleh seluruh lapisan umat Muslim.52
Islam sebagai agama yang toleran, harus dapat mempraktekkan kerukunan dari
sudut agama Islam. Sebab pada dasarnya kerukunan yang harus di praktekkan oleh
ummat Muslim merupakan sebuah akibat wajar dari sistem keimanan manusia, bentuk ini
dapat dilihat dari diutusnya Nabi Muhammad, bahwa beliau diperintahkan untuk
menegaskan, bahwa dirinya bukanlah yang pertama dikalangan para utusan Allah (Qs. al-
Ahqaf/46:9),53 dan juga telah ditegaskan pula oleh Allah bahwa beliau juga sebagai
penerus dari rasul-rasul sebelumnya (Qs. al-Imran/3:144)54 dari dua tujuan hadirnya
51 Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan
orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerimapahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekwatiran bagi mereka dan tidak
pula mereka bersedih hati.... lihat, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, diterjemahkan Bahrun
Abubakar, (Semarang: Toha Putra, 1985), h. 228 52 Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid,, h.77 53 “Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak
mengetahui apa yang akan di perbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah
mwngikuti apa yang di wahyukan kepadaku dan aku tidak lain adalah seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan”. Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo S.H., (Jakarta: Yayasan penyelenggara
penerjemah/pentafsir al-Quran, 1971), h. 823 54 “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau di bunuh kamu berbalik kebelakang (murtad)? Barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maka ia tidak mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur” Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo
S.H., (Jakarta: Yayasan penyelenggara penerjemah/pentafsir al-Quran, 1971), h. 99
Muhammad dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang kesamaan tujuan diutusnya para
rasul, sekalipun syariat yang di praktekkannya berbeda.
Sebagai penjelasan kata Iman pada alinea sebelumnya, bahwa Iman pada dasarnya
berhakikat dinamis. Karena masalah iman menyangkut masalah sikap batin dan hati
(qalb), sehingga tidak mungkin sedemikian rupa, sebab secara harfiah makna qalb adalah
yang berganti-ganti, sehingga untuk dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa iman
menuntut manusia untuk tetap berjuang secara terus menerus (tanpa henti). Sehingga pada
akhirnya dalam agama Islam muncul beberapa kata seperti Syariah, t}ariqah, sabil,
shira>th, minh}ajyang kesemuanya itu bermakna jalan.55 Dari beberapa kata ini sebagai
tuntutan Allah kepada manusia untuk tetap konsisten menuju kepada kebenaran yang
mutlak yaitu Allah swt, sebab inilah sebagai landasan dasar manusia untuk dapat
mencapai sebuah ketakwaan.
Taqwa disatu pihak mencakup pengertian keimanan manusia kepada Allah, hari
akhir, para malaikat, kitab-kitab, dan kepada para nabi terdahulu. Dilain pihak taqwa
disinonimkan dengan nilai... atau kebajikan seperti memberikan hartanya karena
cinta kepada Allah, yang diwujudkan dengan kasih kepada sanak keluarga, anak
yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang membutuhkan pertolongan
dan untuk memerdekakan budak. Selain dari beberapa pengertian di atas, taqwa
juga diwujudkan dalam menegakkan salat dan membayar zakat; dicerminkan dalam
perilaku yang menempati janji tatkala sudah mengikat janjidan sabar pada waktu
mendapatkan kesulitan dan serta sabar dalam waktu menghadapi kesulitan saat
perang. Orang-orang dengan sikap dan perilaku itu disebut orang-orang yang lurus
(shadiqun) dan itu pula yang disebut orang yang bertaqwa.56
Menurut para intelektual Islam, sikap taqwa kepada Tuhan sebagai kelanjutan dari
sikap fitrah manusia. Fitrah sangat berkaitan erat dengan makna hidup manusia. Agama
sebagai fitrah yang diturunkan dari langit (al-Fitrah al-Munazzalah) yang menguatkan
55 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan,, h. 6-7 56 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 54. Lihat juga M. Dawam
Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kuncin,(Jakarta: Paramadina,
1996), h. 166.
fitrah bawaan manusia sejak dari lahir (al-Fitrah Majbu>lah),57 seperti yang telah penulis
jelaskan pada bagian Pertama di atas.
Pesan taqwa yang telah penulis uraikan di atas, pada prinsipnya merupakan
sebuah kesamaan untuk semua manusia yang harus dimiliki. Sebab dengan pesan takwa
inilah setiap manusia akan menemukan sebuah titik pangkal kesatuan yang sama, yaitu
kesamaan pesan dasar yang diberikan oleh Tuhan kepada semua utusan (Nabi dan Rasul)
yang telah Tuhan turunkan kemuka bumi ini. Kesamaan pesan dasar yang dimaksudkan
di sini yaitu dalam al-Quran disebut dengan washiyyah seperti yang ada pada sebuah
ajakan untk menemukan dasar-dasar sebuah kepercayaan, yaitu sikap hidup yang hanif
yang dalam teologi Islam termuat dalam fahamtauh}i>d.58
Kebenaran yang dilindungi dan bahkan didukung oleh al-Quran, merupakan
sebuah kebenaran azazi yang menjadi inti dari semua agama Allah, serta oleh karena
inilah al-Qur’an memberikan istilah al-Di>n (ketundukan, kepatuhan, ketaatan) yang
mengandung makna tidak hanya pada agama tertentu saja, melainkan untuk kebenaran-
kebenaran spiritual asasi yang tidak berubah-ubah, untuk mennjukkanhakikat primordial
manusia.59
Sebab pada dasarnya, setiap agama selalu mempuyai kesamaan klaim kebenaran
terhadap agama lain, yang pada pokoknya menyangkut kesempurnaan agamanya,dengan
merasa bahwa kesempurnaan ini tidak dimiliki oleh agama lain. hal ini juga diakui oleh
IbnTaymiyyah, bahwa kewajiban orang Yahudi dan Kristen menjalankan ajaran kitab suci
mereka itu berlaku sepanjang masa, jika mereka tidak pindah agama (misalnya kedalam
agama Islam), dari pendapat ini Ibn Taymiyyah juga berpendapat, bahwa pada dasarnya
57 Nurcholish Madjid, Makna Hidup Bagi Manusia Modern, Pengantar buku Hanna
Djumhana Bastaman, Meraih Makna Hidup Bermakna, Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis,(Jakarta:
Paramadina, 1996), h. xv 58Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Jakarta, 1999, h. 148 59 Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP),, h. 152
sampai sekarangpun, kitab-kitab suci (Taurat dan Injil) itu masih banyak mengandung
suatu kebenaran, sebab perubahan-perubahan yang terjadi pada kitab tersebut hanya
sebagian saja (yaitu pada yang bersifat berita), seperti bakal tampilnya Nabi penutup
(Muhammah SAW) dan beberapa perintah saja.60
Berpangkal dari berbagai pandangan mengenai toleransi dalam agama Islam, al-
Quran mengajarkan bahwa setiap manusia, harus menghormati semua pengikut kitab suci
(ahl al-kita>b). Seperti halnya yang terjadi pada umat Islam sendiri, diantaranya ada yang
memusuhi, menghormati, ada yang lurus dan begitu juga sebaliknya ada yang tidak lurus
alias melenceng dari garis yang telah di tentukan. Sikap toleransi agama Islam juga
ditunjukkan oleh nabi Muhammad s.a.w sendiri, sikap toleran Nabi ini ditunjukkan dengan
penghormatan beliau kepada orang-orang Nasrani yang lurus dan beliau juga bergaul baik
dengan mereka, sikap toleran Islam juga ditunjukkan oleh al-Quran (Qs. al-
Ankabu>t/29:46)61 (Qs. al-Mumtah}a>nah/60:8).62
Pendapat Cak Nur yang dikutip dari Budhy Munawwar Rachman:
Apa yang kita bawa menghadap Allah adalah amal, dan jika kita sudah
meninggalkan dunia menghadap Allah, maka amal itu terujud di dunia sebagai
bentuk reputasi. Seperti yang dikatakan dalam bahasa melayu, bahasa Indonesia
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia
mati meninggalkan amal”. Amal yang menjadi reputasi, yaitu ketika orang
mengenang seseorang yang sudah meninggal itu baik atau buruk.Dan umur reputasi
itu jauh lebih panjang daripada umur pribadi manusia. Contohnya, sampai sekaran
kita masih menyebut dengan penghargaan pada Achimedes, Aristoteles, apalagi
kepada Nabi yang kita cintai Muhammad saw. Tetapi, kita juga menyebut dengan
penuh kutukan dalam hati, orang-orang seperti Nero, Fir’aun, dan lain-lainnya.
Maka dari itu agar reputasi kita nanti baik, ya beberarti mencerminkan apa yag kita
alami di akhirat, maka hendaknya kita menyadari bahwa Allah itu selalu hadir.
B. Perspektif Pluralisme Agama
60 Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid, h. 79 61Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara baik, kecuali
dengan orang-orang zalim (orang-orang yang telah diberi penjelasan-penjelasan dengan cara baik tetapi tetap
membantah) di antara mereka. Dan katakan: kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepadanya
berserah diri. Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo S.H., Yayasan penyelenggara
penerjemah/pentafsir al-Quran, Jakata, 1971, h. 99 62 Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid,, h. 80
Sejatinya, pluralisme agama telah jelas-jelas ada sejak dahulu. Namun, kata
pluralisme sendiri beserta kajiannya baru tampak pada sekitar abad ke-19, bersamaan
dengan berkembangnya study agama yang terkenal dengan istilah comperatif religion
(perbandingan agama). Kemudian kajian tentang pluralisme agama dalam religius studies
(studi agama), misalnya seperti sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama,
psikologi agama, fenomenologi agama.63 Sebagai contoh, fenomenologi agama,
menemukan “Keimanan Universal” dalam setiap bentuk agama, baik primitif maupun
modern.64
Pendapat yang lainnya, mengenai pluralisme agama, penulis mengambil dari buku
Legenhausen, bahwa inti dari pluralisme agama kebenaran pada setiap agama (Islam,
Kristen, Hindhu, Budha dan Konghucu), menurutnya hal ini adalah sebagai bentuk
toleransi untuk memelihara kerukunan antar umat beragama ditengah-tengah keragaman
yang ada.
Dari beberapa argumentasi di atas penulis akan menghadirkan beberapa
pandangan dari tokoh-tokoh pluralisme, yaitu: Mohammad Fathi Usman, mendefinisikan
pluralisme sebagai bentuk kelembagaan, di mana penerimaan terhadap karagaman
melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, maka pluralisme lebih dari
sekedar toleransi ataupun konsistensi pasif. Pluralisme pada satu sisi mensyaratkan
ukuran-ukuran kelembagaan yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan
mengembangkan ukuran-ukuran kelembagaan yang bersifat bawaan.65
Menurut Budhy Munawwar Rachman yang penulis ambil dari Hendar Riyadi,
Pluralisme tidak hanya berarti actual plurality (kemajmukan atau keaneragaman) yang
63 Maufur, Pluralisme Agama Dalam Buddhisme, UNIVERSUM, Vol. 9 No. 2 Juli 2015, h.
225 64 Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), h. 44 65 Mohammad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan; Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, diterjemahkan oleh Irfan Abubakar, (Jakarta: Pramadina,
2006), h. 2
justru menggambarkan kesan pragmatis, bukan hanya sekedar “kebaikan negatif” sebagai
lawan fanatisme, melainkan harus di fahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan peradaban”.66 Dalam bahasa agama, pluralitas atau kebinekaan agama, merupakan
sunnatullah (kepastian hukum Tuhan) yang bersifat abadi (parennial).67
Sementara di antara argumen historis pluralitas agama juga di kemukakan oleh
Isma>il< R}a>ji> al-Fa>ru>qi>, bahwa kebinekaan atau pluralitas agama disebabkan oleh peradaban
tingkat perkembangan sejarah, sebab pada dasarnya asal agama itu berkembang dari
Tuhan, yang disebut dengan agama fitrah, dengan berlandaskan pada Q.s. Arum; 30
“maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus; (tetaplah) atau fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui ”. tetapi,
kemudian sejalan dengan dengan perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang
menerimanya, sehingga berkembang menjadi agama agama historis atau tradisi agama
yang spesifik dan beraneka, plural.68
Dengan demikian perlunya sebuah agenda intelektual yang mampu memberikan
jawaban terhadap beberapa persoalan mengenai kehidupan bernegara. Hal inilah yang
menjadi sebuah keperluan khusus untuk membangun sebuah faham keagamaan (teologi)
baru sebagai sebuah rekonstruksi terhadap sebuah pemikiran yang lama dan bersifak
ekslusif dan mudah arogan. Serta pentingnya mewacanakan bahwa sebagai wacana
kemanusiaan yang terbuka serta siap berhadapan dengan persoalan-persolan baru dan
sebuah penafsiran yang baru pula.
Islam sendiri sebagai agama yang di peluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia
mempunyai peran yang sangat utama untuk kemajuan negara Indonesia, dan mampu
66 Hendar Riyadi, Melampaui pluralisme; Etika al-Qur’an tentang Keragaman Agama,
(Jakarta: RMBooks dan PSAP, 2007), h. 59-60 67 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 48 68 (diambil dari) Majlis Tarjih dan Pengembangan pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik al-Quran, h. 15
bersikap proaktif dalam setiap perubahan di negeri ini. Namun, yang harus menjadi
catatan dan selalu di perhatikan bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat ke
anekaragaman, baik yang bersifat pemikiran teologis, pemikiran politis maupun pemikiran
sosiologis.69
Oleh karena itu, jika merujuk kepada agama Islam, sejak awal misi Islam adalah
pembebasan dari penindasan, tirani, dan ketidakadilan. Semangat itu perlu terus
dikembangkan, sampai tidak ada lagi kebenaran penafsiran. Liberalisme pada dasarnya
diakui oleh al-Qur’an, walaupun secara eksplisit istilah liberalisasi tidak dijelaskan dalam
al-Qur’an. Islam menjamin kebebasan beragama sebagai salah satu tujuan pokok dari
syari’ah. Menurut Sya>tibi> dalam konsep al-k}u>lliya>tl-k}ha>msah, lima hal pokok dalam
syariah, yang terdiri atas: menjaga agama (h}ifz} al-dî>n), menjaga nalar (h}ifz} al-a>ql),
menjaga keturunan (h}ifz} al-n}a>sh), menjaga harta (h}ifz} al-mâ>l), dan menjaga kehormatan
(h}ifz} al-i>rdli). Dalam h}ifz} al-d}i>n, ajaran Islam menjamin kebebasan seseorang untuk
memeluk agamanya. Al-Qur’an juga menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama.70
Dalam konteks sekularisme yang dikembangkan para pemikir Islam Progresif di
Indonesia, mereka mendukung negara sekular (Negara Pancasila) yang tetap memberi
tempat pada agama. Di sini agama tidak bisa memerintahkan negara, demikian pula
sebaliknya. Yang harus diperjuangkan dalam masyarakat sekular adalah suatu sistem yang
berdasarkan konstitusionalisme, Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjunjung tinggi
kebebasan beragama.
Pancasila, sebagai common platform menurut para pemikir Islam Progresif
merupakan kalimah sawa>>(titik temu agama-agama). Pancasila sudah cukup memuat
seluruh nilai-nilai yang dicita-citakan bersama bagi tatanan yang ideal. Pancasila
69 Von Grubeum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, diterjemahkan oleh, N. Yahya,
(Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 21 70 Budhy Munawwar Rachman, Jurnal Annual Conference on Islamic Studies (ACIS),
Banjarmasin, 2010, h. 4
dirumuskan berdasarkan masyarakat yang majemuk, yang meliputi perbedaan suku dan
agama. Karena itu, maka Pancasila disepakati harus bisa diterima oleh semua umat
beragama, dan karena itu pula tidak bisa disebut sebagai sebuah konsep negara Islam,
dalam arti negara-agama.71 Menurut para pemikir Islam Progresif, Indonesia cukup dan
pantasdengan model seperti saat ini, di mana negara tidak formal atas dasar agama, tetapi
agama menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sensitifitas keberagamaan yang sering memunculkan prilaku emosional
penganutnya ditengarai adanya doktrin-doktrin keagamaan yang ditafsirkan secara tidak
tepat. Hal ini tentunya tidak menafikan adanya sebab-sebab lain seperti setting sosial,
stabilitas ekonomi dan kondisi politik. Dalam konteks Islam, corak penafsiran terhadap
dogma agama biasanya membawa pengaruh terhadap perilaku keberagamaan umat Islam.
Corak penafsiran yang eksklusif akan berdampak pada lahirnya perilaku keberagamaan
yang eksklusif, sementara penafsiran yang inklusif dan toleran juga akan memunculkan
sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran pula. Terkait dengan hal tersebut penafsiran
terhadap dogma fikih mau tidak mau ikut memberi kontribusi atas terjadinya harmoni atau
disharmoni kehidupan beragama umat Islam baik antar sesama mereka maupun dengan
pemeluk agama lain. Di samping memiliki intensitas kajian yang tinggi menyangkut
interaksi umat manusia, juga sering dijadikan tolok ukur kesalihan seseorang dalam
menjalani aktifitas kehidupan. Kesalihan inilah yang nantinya akan menentukan
keselamatan seseorang di kehidupan kelak.72
Bagi masyarakat Indonesia, prinsip toleransi dan kebebasan bukan lagi hal yang
baru. Nenek moyang bangsa sejak dahulu mengenalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan itu tentunya sangatrelevan dengan kondisi bangsaIndonesia yang memiliki
tingkat pluralitas tinggi. Tidak hanya pluralitas etnis, bahasa dan budaya, melainkan juga
71 Budhy Munawwar Rachman, Jurnal Annual ,, h. 2 72 Agus Sunaryo, Teologi Inklusif Nurcholish Madjid dan Pengaruhnya Terhadap Fiqih
Lintas Agama di Indonesia, (Artikel, tanpa tahun dan halaman)
pluralitas agama dan kepercayaan yang kesemuanya terpadu dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pandangan Islam, kemanusiaan adalah sesuatu yang sangat penting bagi
manusia. Kemanusiaan ini tidak akan terpengaruh oleh zaman dan tempat, asal-usul rasial
dan kebahasaan, ia akan tetap ada meskipun zaman. Oleh karenanya Islam selalu
berurusan dengan kemanusiaan, maka ia harus ada bersama manusia tanpa harus ada
batasan-batasan ruang maupun waktu serta tanpa hambatan kualitas lahiriah manusia
(asalusul rasial dan bahasa).73 Dengan bahasa yang lebih sederhana bisa sebutkan bahwa
sikap pasrah kepada Tuhan itu adalah tuntutan alami setiap manusia yang berarti bahawa
agama (ad-Di>n), secara harfiah memiliki makna ketundukan, kepatuhan atau ketaatan,
tidak lain merupakan sikap pasrah kepada Tuhan (al-Isla>m).
Di zaman modern seperti saat ini, ide pluralisme dalam Islam di kembangkan oleh
beberapa pemikir-pemikir muslim kontemporer, seperti Fritjof Schoun, Sayyed Hossein
Nasr, Hasan Askari dan Abdul Azizschedina, dan khusus untuk ranah Indonesia,
dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid, dan juga aliran Islam liberal
seperti yang di motori oleh Ulil Absar Abdallah. Menurut Budhy Munawwar Rachman,
sebenarnya Pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan
manusia tidak hanya berdasarkan pada satu kelompok saja, suku, warna kulit, dan agama,
melainkan Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka dapat dan serta saling
belajar dan membantu antara yang satu dengan yang lainnya.74
Argument dalam pesan agama didasarkan kepada keimanan pribadi atau individu,
atau mungkin dapat dikatakan bahwa keyakinan otoritas individu tidak boleh atau tidak
diperkenankan untuk mengganggu keyakinan individu yang lainnya. Penulis, mengutip
pendapat Schedina dari Budhy Munawwar Rachman:
73 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban,, h. 426 74 Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, (Jakarta: Friedich Naumann Stiftung,
2011), h. 220
Saya sangat percaya, bahwa jika kaum muslim menyadari pentingnya ajara al-
Qur’an mengenai pluralisme kultural atau religius sebagai suatu prinsip pemberian
Tuhan dalam membentuk suasana hidup berdampingan yang harmonis sesama
manusia, maka kaum muslim akan dapat menghindari dalam pemerintahan represif
dan tidak efisien.75
Sebab kehidupan yang didasarkan pada semangat pluralisme atas dasar toleransi,
merupakan sebuah anugerah kesempurnaan. Sebab inilah kondisi yang paling
otentik, serta mengajak kepada nilai-nilai cinta dan keadilan.76 Sedangkan menurut
Cak Nur pluralisme disebut sebagai pertalian kebhinnekaan yang paling sejati
dengan keadaban.77
Islam Inklusif yang pernah Cak Nur Kembangkan dari tahun 1970-an sampai
beliau meninggal, sudah menjadi basis faham toleransi keagamaan dan persepektif
pluralisme agama yang tetap berkembang sampai saat ini. Namun, pada dasarnya faham
pluralisme dapat bertahan bukan sebuah usaha yang tanpa dasar, melainkan telah Cak
Nur persiapkan point-points khusus sebagai sebuah inti yang menjadi pegangan pegangan
utamanya, yaitu diantaranya;
Pertama, orientasi hidup pribadi yang transindental dengan Iman. Kedua,
menerjemahkan orientasi pribadi ke dalam bakti sosial. Ketiga, menerima dan mengakui
adanya hak para anggota masyarakat tempat kita melakukan bakri sosial untuk bebas
menyatakan pendapat dan pikiran yang berguna untuk saling mengawasi dan mengingat
tentang yang benar dan kebenaran. Keempat. Bersikap tabah dalam menjalankan beberapa
point yang telah di jelaskan, sebab dengan prinsip itulah cita-cita besar pluralisme dapat
tercapai.78
Sebab tidak dapat diingkari, artikulasi agama oleh para pemeluknya sering
menimbulkan berbagai persoalan yang menjadi ancaman bagi demokrasi kemanusiaan.
Munculnya fundemintalisme dan kultus dengan mengedepankan truth claim yang
75 Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, h. 221 76 Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, , h. 223 77 Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi; Tantangan dan
Kemungkinan, Republika, 10 Agustus 1999. Lihat Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, ..... h.
224 78 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 29
menjakan umat beragama kurang toleran terhadap pihak, kelompok, aliran dan atau agama
lain serta anti pluralisme merupakan sebuah musuh yang nyata bagi perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara.79
Dari berbagai persoalan yang tumbuh, seperti munculnya pertikaian atas nama
agama tak lepas dari pandang sebuah aliran atau kelompok yang dianutnya dengan cara
pandang yang eksklusif, sehingga, mereka mudah mengklaim bahwa teks-teks agama itu
bersifat, Pertama, konsisten dan penuh dengan kebenaran. Kedua, lengkap dan final,
sehingga tidak ada kebenaran selain agamanya sendiri. Ketiga, teks-teks agama agama itu
dianggab sebagai satu-satunya jalan keselamatan, Keempat, teks-teks tersebut dianggab
sebagai inspirasi langsung oleh Tuhan.80
79 Fihif Abdillah, Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, (tidak
diterbitkan), 2003, h. 3 80 Budhy Munawwar Rachman, Agama Masa Depan; Persepektif Falsafah
Parenial,(Jakarta:Paramadina, 1995), h. xxiv
BAB III
TENTANG NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid merupakan seorang putra dari dua pasangan H. Abdul Majid
dan Hj. Fathonah. Namun, nama Nurcholish Madjid bukanlah nama kecilnya, melainkan
nama kedua setelah beliau sering mengalami sakit-sakita semasa kecilnya, nama kecil
beliau adalah Abdul Malik yang berarti “hamba Allah”. Perubahan nama dari Abdul Malik
ke Nurcholish Madjid terjadi ada saat beliau berumur 6 (enam) tahun.81 Karena Abdul
Malik kecil mengalami sakit-sakitan.82 Pemberian nama Nurcholish Madjid tidak terlalu
jelas asal mulanya, kecuali nama itu dari kata Arab, Nur berarti “Cahaya” dan Cholish
berarti “Murni” atau “bersih”, sementara nama belakangnya Madjid diambil dari nama
ayahnya “Abdul Madjid”.83
Nurcholish Madjid84 lahir dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur.
Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama’) yang berafialiasi pada politik modernis yaitu
Masyumi, Cak Nur mendapatka pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, dan
pendidikan Ibtidaiyahnya di Mojonyar, Jombang. 85 Setelah lulus pada pendidikan
ibtidaiyah, Cak Nur melanjutkan pendidikannya (tingkat SMP) di pesantren Darul Ulum,
Rejoso, Jombang. Karena beliau berasal dari keuarga NU yang berafiliasi Masyumi, beliau
tidak betah dipesantren ini, karena afiliasi pesantren Darul Ulum pada politik NU,
81 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup seorang Visioner,(Jakarta:
Kompas, 2010), h. 1 82 “kebotan jeneng” keberatan nama: Dalam tradisi jawa anak yang sering sakit dianggab
“kebotan jeneng” keberatan nama, sehingga anak yang sering sakit harus diganti namanya biar tak sakit-
sakitan lagi. 83 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 2 84 Nama Nurcholish Madjid, kemudian oleh penulis akan disebut “Cak Nur” seperti panggian
pada panggilan akrabnya. 85 Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan Nurcholish
Madjid, Imania dan (Depok: Paramadina, 2013), h. xiv
sehingga pada akhirnya, Cak Nur pindah ke pesantren yang modernis, yaitu Kulliyatul
Mu’allimin al-Islamiyah, pesantren Darus Salam, Gontor, Ponorogo.86
Perpindahan Cak Nur dari pesantren Darul Ulum, Rejoso ke pesantren Darus
Slam, Gontor, membuat heran masyarakat dikampungnya. Sebab di mata masyarakat
(kaum Nahdliyin Jombang), saat itu pesantren Gontor memiliki citra “setengah Kafir”,
setidaknya pesantren Gontor disebut bukan sebagai pesantren NU, melainkan pesantren
Masyumi.87 Namun, dari pesantren inilah Cak Nur mendapatkan beberapa keahlian dasar-
dasar agama, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris.88
Cak Nur pernah mengatakan, yang penulis kutip dari Budhi Munawwar Rachman:
Gontor memang sebuah pondok pesantren yang sangat modern, malah sangat
modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya modern adalah dari segi
kegiatan-kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodelogi pendidikan. Serta
pengajarannya. Kemodernannya juga nampak pada materi-materi yang
diajarkan, diantaranya seperti bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa
Inggris, bahasa Arab dan bahasa Belanda, sebelum pada akhirnya di hapus
karena ada larangan. Dan semua santri juga di wajibkan menggunakan
bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakan sehari-harinya, serta juga
mendapatkan keringanan untuk santri baru dengan membolehkan berbahasa
Indonesia selama setengah tahun.
Selain dari sistem pengajarannya yang sangat modern, di pesantren ini ada
kegatan olah raga yang sangat maju, termasuk pakaiannya dengan kostum
bercelana pendek. Saya masih ingat, waktu itu sempat menjadi olok-olokan
masyarakat sekitar Jombang, “masuk Gontor santrinya bercelana pendek”,
begitu kata mereka. Soalnya di pesantren lain, seperti Rejoso, santrinya
masih sarungan meskipun saat olah raga dan atau bermain bola.
Waktu itu Gontor merupakan kantong, dan bisa dikatakan terpisah dari dunia
sekitarnya. Karena itu saat seorang pastur berkunjung kesana merasa kaget-
kaget sekali, menurutnya pondok Gontor merupakan pondok modern. Dan
istilah pondok modern ini berasal dari pastur ini.89
Belakangan setelah Cak Nur belajar dan tinggal di Gontor, pada akhirnya beliau
tahu, bahwa pesantren Gontor bukan pesantren Masyumi seprti anggapan masyarakat di
86 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,(Jakarta: Democracy Project,
2010), h. 2 87 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 15 88 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 2 89 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 2-3, diambil dari, Ikhsan
Ali Fauzi, Demi Islam, Demi Indonesia, Manuskrip Otobiografi Nurcholish Madjid, (tidak diterbitkan), 1999
sekitar Cak Nur. Hal ini di buktikan dengan para guru dan siswanya yang belajar di
Gontor, bersal dari berbagai kultur keagamaan. Dan bahkan para pendirinya pun bukan
(K.H. Ahmad Sahal, K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Zainuddin Fanani) bukan orang
Masyumi.90
Pada awalnya, saat Cak Nur masuk ke Gontor, sebenarnya beliau hanya tertarik
pada bahasa Arab dan bahasa Inggris. Tapi, Cak Nur dimadukkan ke kelas ilmu pasti.
Namun, hal itu tidak membuatnya tersudut dan galau mlainkan membuat Cak Nur suka
terhadap semua pelajaran, sebagai contohnya nilai beliau tentang ilmu hitung
mendapatkan nilai 10 (sepuluh). Dan pelajaran yang paling tidak Cak Nur sukai adalah
pelajaran mengarang (al-Insya’). Cak Nur menduga, pelajaran mengarang itu hanya
menduga dan menghayal saja. Dari pada mengarang, Cak Nur lebih suka menterjemahkan
dari pada mengarang, namun dengan cara menterjemahkan beberapa buku dari bahasa
inggris, dan cara inilah yang bisa membuat Cak Nur mendapatkan nilai tinggi.91
Selain menterjemahkan bahasa Inggris dan belajar bahasa Arab, ketika belajar di
Gontor, beliau juga suka mengirimkan surat kepada kedutaan besar asing di Jakarta, dari
hasil inilah Cak Nur mendapatkan banyak buku-buku bahasa Inggris, seperti Hero with the
Thousand Thesis dan Mysticism; East and West. Hal ini terjadi bukan karena di Gontor
tidak ada perpustakaan, melainan sangat sulit diakses oleh para santri. Itulah yang
menyulitkan Cak Nur menyalurkan hobi membacannya yang telah di tanamkan oleh kedua
orang tuanya pada beliau.92
Semasa di Gontor Cak Nur juga aktif menjadi anggota PII (Pelajar Islam
Indonesia), cabang Gontor. Aktivitasnya di PII tidak terlalu banyak menyita waktu,
sehingga beliau masih dapat menjalankan tugas utamanya, yaitu belajar. Dalam proses
pembelajarannya semasa di Gontor inilah, Cak Nur menunjukkan prestasinya. Misalnya,
90 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 15 91 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 19 92 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 20
hanya cukup menyelesaikan selama 5 (lima) tahun untuk menyelesaikan studinya, padahal
biasanya harus 6 (enam) tahun yang harus ditempuh.93
Pada tahun 1960, Cak Nur menyelesaikan studinya di Gontor, dan kemudian
berencana untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Muhammadiyah di Solo.
Tetapi, rencana itu di urngkan, sebab untuk bisa masuk ke perguruan itu harus mempunyai
ijazah SMA. Sehingga kiai Zarkasyi mencoba menenangkan hati Cak Nur, atas
kegagalannya untuk masuk di perguruan tinggi Muhammadiyah itu, dan pada akhirnya
Zarkasyi menjanjikan bahwa pada suatu saat beliau akan mengirim Cak Nur ke Mesir dan
meminta Cak Nur untuk mengajar dulu di Gontor. Cak Nur pun mengikuti saran yang
diberikan oleh kiainya itu.94
Satu tahun Cak Nur mengajar di Gontor, pelajaran yang beliau sampaikan adalah
Ilmu Balagah (ilmu yang mengajarkan tentang keindahan dan ketepatan berbahasa Arab).
Pelajaran ini hanya di sampaikan pada anak-anak yang masih belajar di kelas 5 (lima) dan
6 (enam)95 dan pengajarpun biasanya guru senior. Tetapi, pengecualian terhadap Cak Nur,
sebab dari awalnya Cak Nur memang sudah sering di minta untuk menggantikan guru-
guru yang berhalangan hadir.
Karena berita mngenai beasiswa belajar ke Mesir belum jelas dan pasti, pada
akhirnya beliau memutuskan untuk sekolah di perguruan tinggi IAIN Jakarta, dan ini juga
merupakan syaran dari kiai Zarkasyi, sehingga berangkatlah Cak Nur kejakarta. Pada awal
1961, Cak Nur masuk di fakultas Sastra Arab IAIN Jakarta, karena minatnya juga sangat
besar dalam bidang bahasa Arab. Selain dari minatnya dalam bidang bahasa Arab, Cak
Nur masuk di Fakultas ini karena ada dosen yang Alumnus Gontor juga, yaitu
Abdurrahman Partesentono, Abdurahman juga yang memudahkan Cak Nur masuk di IAIN
Jakarta ini. Sebab pada saat itu, ijazah pesantren belum di akui, dan karena itulah lulusan
93 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 21 94 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 21 95 Kelas 5 (lima) dan 6 (enam) setingkat dengan kelas 2 (dua) dan 3 (tiga) tingkat SMU.
pesantren tidak di akui masuk IAIN, mashasiswa yang masuk di IAIN kebanyakan mereka
lulusan PGA (Pendidika Guru Agama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Namun,
dengan bantuan Abdurahman itu akhirnya Cak Nur bisa masuk ke IAIN Jakarta ini.96
Keterlibatan Cak Nur di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), karena beliau
mengetahui di HMI Cabang Ciputat97 ada A.M. Fatwa yang namanya sudah di dengar
sebagai akivis PII dan HMI yag dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi. Hubungan atara Cak
Nur dan Fatwa, karena Cak Nur mengikuti pesan ayahnya, ayahnya pernah berpesan “agar
di Jakarta Cak Nur menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi. Karena itulah, Cak
Nur berfikiran bahwa, melalui Fatwa inilah perkenalan dengan tokoh-tokoh Masyumi
dapat terujud.98
Pada awal-awal di IAIN Jakarta, Cak Nur selalu berpindah-pindah tempat,
peramanya beliau bertempat di komplek Dosen IAIN Jakarta, bersama teman-teman
kelasnya, setelah itu beliau pidah ke Legoso seberang kampus IAIN Jakarta, beliau
memilih tempat ini karena di koskosan di sekitar kampus sangat mahal. Rumah yang
ditempati Cak Nur di Legoso terbuat dari bambu, disebelahnya terdapat sebuah empang
yang didapati lele dan di atas empang itu ada jamban kayu yang bentuknya mirip dengan
mimbar, sehingga setiap kali mau buang air menyebutnya mau “khutbah”.99
Sejak aktif di HMI selain mengenal Fatwa Cak Nur juga mengenal Zarkasyi
teman seniornya di Gontor, Zarkasyi menawarkan sebuah tempat tinggal (kos) kepada Cak
Nur di daerah kebayoran Baru, di Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Tawaran ini terjadi karena
Zarkasyi akan keluar dar tempat yang pernah dia tempati ini. Dari tempat inilah, fatwa
96 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 24 97 Pada waktu itu, HMI Ciputat hanya sebagai Komisariat yang berada di bawah naungan
HMI Cabang Jakarta. Komisariat di Ciputat didirikan oleh Fatwa dan tiga orang temannya, Abu Bakar,
Salim Umar, dan Komaruddin. 98 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 26 99 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 27
mengajak Cak Nur tnggal bersama dengan di rumah prawoto.100 Selama tinggal bersama
Fatwa inilah, Fatwa mulai mengetahui, bahwa Cak Nur adalah seorang yang pencinta
buku, dah bahkan pada saat antri toeletpun Cak Nur masih sempat membuka dan
membaca buku.101
Karir intelektual Cak Nur sebagai seorang pemikir dimulai pada saat beliau berada
di IAIN Jakarta, terutama pada saat beliau menjabat ketua umum PB HMI selama dua
periode pada tahun 1966-1968 dan 1969-1971.102 Pada masa ini, beliau juga menjadi
presiden pertama PEMIAT (Pesatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan wakil sekjen
IFSO (International Islamic Federation of Student Organizations) 1969-1971.103
Pada masa-masa inilah Cak Nur membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir
muda Islam. Pada masa ini sekitar tahun 1968 Cak Nur juga menulis artikel yang sangat
menarik dan memancing kritikan dari beberapa tokoh, diantaranya H.M. Rasyidi,104 judul
artikel tersebut adalah “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”, artikel ini
sangat terkenal sekali dan bahkan banyak sekali para aktifis HMI yang mendiskusikan
artikel ini sampai pada pelosok-pelosok. Dari artikel inilah kemudian Cak Nur dijuluki
sebagai “Natsir Muda”.
Satu tahun setelah artikel “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”
di cetuskan, Cak Nur membuat satu pegangan khusus dalam organisasi HMI, yaitu NIK
(Nilai Identitas Kader) yang kemudian dirubah menjadi NDP (Nilai-nilai Dasar
Perjuangan), buku kecil inilah yang sampai saat ini masih menjadi sebah pegangan khusus
bagi seluruh kader HMI di seluruh Indonesia. Buku kecil ini juga sebagai pengembangan
dari Dasar-dasar Islamisme yang pernah beliau sampaikan pada training kepemimpinan.
100 Prawoto adalah ketua Masyumi terakhir sebelum di bubarkan, pada saat itu rumah
Prawoto ditempati oleh Fatwa, karena Prawoto masih berada dalam tahanan resim orde lama. 101 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 30 102 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 4 103 Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan ,, h. xv 104 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 5
Buku kecil terbentuk setelah perjalanan beliau ke Amerika setelah beliau lulus lengkap di
IAIN Jakarta, yang kemudia dari perjalanan itu beliau lanjutkan ke Timur Tengah, dan
pergi haji selama tiga bulan.105
Penulis mencoba menganalisa pada “periode I”106 pemikiran Cak Nur dimulai
sejak tahun 1968 dengan diterbitkannya artikel “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan
Westernisasi”, sebab pada masa inilah Cak Nur menunjukkan bahwa beliau sebagai
pemikir nasional,107 serta pada masa ini pula Cak Nur terlihat sebagai pemikir yang
modern yang sekaligus sosialis religius. Dan pada masa ini pula banyak para golongan tua
merasa kecewa pada Cak Nur, dengan cara mempromosikan sekularisasi yang telah beliau
sajikan di depan organisasi-organisasi mahasiswa pada 03 Januari 1970 yang berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”.108
Sebenarnya jika di analisis kembali, artikel Cak Nur yang beliau terbitkan pada
tahun 1970 merupakan sebuah keanjutan dari artikel yang pernah beliau terbitkan pada
tahun 1968 tentang “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”. Didalam
makalah yang di presentasikan pada tahun 1970-an, Cak Nur mnjelaskan tentang
perpecahan yang sangat mendesak untuk di pecahkan, khususnya dalam hubungan
integrasi ummat akibat perpecahan yang sebabkan oleh paham-paham dan kepartaian
politik. Dalam periode pertama ini Cak Nur memperkenalkan Jargon sekularisasinya yang
berbunyi “Islam Yes; Partai Islam No”.109
Artikel yang muncul tahun 1970-an inilah pada akhirnya yang akan menimbulkan
kontroversi lanjutan. Artikel inilah yang sangat menarik untuk dibahas sebab artikel ini
105 Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan,, h. xvi 106 Periode I adalah sebutan khas Budhy Munawwar Rachman untuk menunjukkan bahwa
inilah awal mula pemikiran Cak Nur menjadi sangat luar biasa dan juga menunjukkan bahwa pada pada
tahun-tahun ini pula Cak Nur menunjukkan bakatnya sebagai seorang pemikir dan cendikiawan muda
Indonesia. 107 Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan ,, h. xix 108 Artikel ini Cak Nur presentasikan pada pertemuan silaturahmi antar para aktifis, keluarga
dari empat organisasi Islam (Persami, HMI, GPI, PII) yang diselengarakan oleh PII Cabang Jakarta di
gedung pertemuan Islamic Research Center di jalan menteng Jakarta Raya. 109 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 11
mendapatkan posisi yang sangat substansial, serta artkel ini pula Cak Nur memunculkan
beberapa artikel selanjutnya yang muncul pada 1972 yang berjudul “Beberapa Catatan
Sekitar Masalah Pembaharuan Pemikiran Islam”, “Sekali Lagi tentang Sekularisas”,
“Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” dan “Persepektif
Pembaharuan Pemikiran dalam Islam”.110 Dan harus di fahami bersama, bahwa pada
periode awal ini hanya terbatas pada kalangan-kalangan pemuda, terutama para anggota
dan pemimpin-pemimpin organisasi yang telah penulis jelaskan di atas. Pada periode ini
sebenarnya dapat dikatakan bahwa Cak Nur dalam awal ini memang agak represif oleh
sebab itu, inilah pentingnya bagi penulis untuk lebih mendalami pemahaman Cak Nur
tentang ide-ide pembaharuan. Penulis sependapat dengan pendapat BMR111, bahwa “tidak
ada gagasan yan bersifat ahistoris”.
Istilah sekularisasi ini sebetulnya yang menjadi pangkal kehebohan, serta sebab
dari istilah ini pula Cak Nur dianggab sebagai atau di cap “kaum sekularis”, karena banyak
yang beranggapan bahwa Cak Nur telah mempromosikan sekularisme, padahal beliau
telah menjelaskan secara rinci, bahwa sekularisasi bukanlah sekularisme.112 Persoalan kata
sekularisasi ini menjadi seolah lebih sulit lagi ketika H.M. Rasjidi membuat koreksi
terhadap tulisan Cak Nur dengan judul artikel yang berjudul “Sekularisme dalam
Persoalan: Suatu Koreksi terhadap Tulisan Nurcholish Madjid” yang di terbitkan oleh
Yayasan Bangkit pada tahun 1972, dan koreksi H.M. Rasjidi keduanya di terbitkan oleh
DDII pada tahun 1973, yang berjudul “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”,
dua artikel inilah yang kemudian di terbitkan oleh Bulan Bintang menjadi sebuah buku
yang berjudul “sekularisasi ditinjau Kembali”.113
110 Artkel-artikel ini diterbitkan pada tahun 1970 sampai 1972. 111 BMR adalah singkatan dari nama Budhy Munawwar Rachman. 112 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 30 113 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 32
Namun, gagasan pembaharuan dapat dikatakan mulai surut saat Cak Nur
berangkat ke Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1978-1984. Dan surutnya isu
sekulrisasi ini hanya pada gagasan Cak Nur saja. Tetapi, disisi lain ada pengusung
sekularisasi kembali yang di kepalai oleh Prof. Dr. Harun Nasution,114 dengan gagasan
utamanya membangun suatu teologi Islam rasional atas pemikiran Neo-Mu’tazilah dari
Muhammad Abduh.
Setelah Cak Nur tidak lagi menjabat ketua umum PB HMI pada tahun 1971,
beliau memiliki banyak banyak waktu yaitu untuk memperdalam kata-kata beliau dan juga
untuk ngobrol bersama anak istrinya. Waktu inilah yang menjadi menurut Cak Nur yang
ditunggu-tunggu menebus “kesalahan” pada istrinya. Sebab, selama beliau menjabat di
HMI, beliau sering tidak tidak pulang dan tidak ketemu dengan anak istrinya yang
disebabkan oleh kesibukan beliau sebagai ketua umum. Waktu luang ini Cak Nur alami
selama dua setengah tahun, sebelum beliau disibukkan dengan diskusi-diskusi dengan
kelompok pembaharu.
Namun, dari kelmpok diskusi pembaharu inilah Cak Nur mulai beaktivitas
kembali, dengan membuat LSIK (Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan)115 yang
kemudian lembaga ini di ganti dengan LKIS (Lembaga Kebajikan Samanhudi) pada
sekitar tahun 1974. Dari lembaga LSIK inilah Cak Nur kenal dengan Dr. Taufik
Abdullah116 ada tahun 1973 dan mengajak Cak Nur untuk aktif dalam LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), diri lembaga inilah Cak Nur tidak menyianyiakan kesempatan
beliau untuk mengikuti program penelitian ke daerah-daerah. Dari sinilah Cak Nur
114 Harun Nasution, pernah menjadi Rektor IAIN Jakarta pada 1973, semenjak menjadi rektor
di IAIN Jakarta, beliau merombak sistem pendidikan, dengan membuat sebuah buku pegangan untuk IAIN,
sebelum di ganti menjadi UIN pada tahun 2000. 115 Lembaga LSIK ini didirikan pada tahun 1972 116 Dr. Taufik Abdullah merupakan Derektur Leknas LIPI.
mendapat kepercayaan dari Dr. Taufik Abdullah memproses kepegawaian Cak Nur
sebagai peneliti LIPI.117
Pada tahun 1976, Cak Nur berangkat ke Universitas sebagai Junior Participant
dalam seminar lokakarya Islam and Social Change yang berlangsung selama 8 bulan.118
Cak Nur sebagai tokoh yang menasional sejak tahun 1970-an beliau merasa terkesan saat
berada di Chicago meskipun kegiatan beliau hanya mengurusi lokakarya saja, sebab
kegiatan ini melibatkan banyak tokoh-tokoh besar Islam dari berbagai Universitas dan
dalam seminar ini, sesekali Cak Nur juga tampil sebagai narasumber untuk menjelaskan
Islam di Indonesia. Pada bulan Maret 1978 Cak Nur melanjutkan studinya di universitas
Chicago dengan bantuan beasiswa yang didapat dari Ford Foundation. Di universitas
inilah Cak Nur bergabung denga Arab Circle119 .
Sekitar setelah 4 (empat) tahun Cak Nur mendapatkan beasiswa dari Ford
Foundation. Sejak pada tahun 1980-an Cak Nur berada dibawah bimbingan Fazlurrahman,
seorang ahli dari pakistan yang hijrah ke Amerika karena mendapat tekanan-tekanan dari
negeri akibat pemikirannya yang selalu menyulut kontroversi. Cak Nur berada di bawah
bimbingan beliau merasa nyaman karena Fazlurrahman sebagai Profesor yang Muslim,
dan secara internasional beliau di akui sebagai pemikir besar Muslim.
Di bawah bimbingan Fazlurrahmanlah pada sekitar tahun 1984, Cak Nur
menyelesaikan studinya dengan disertasi doktor berjudul “Ibn Taymiyyah on Kalam and
Falsafah: A Problem of Reasion and Revilation in Islam”. Cak Nur pernah ditanya oleh
Mohammad Roem, mengenai judul skripsinya pada sekitar tahun 1983, kenapa beliau
mengambil pemikiran ibnu taymiah, Cak Nur menjawab:
“saya tertarik pada Ibnu Taymiyyah karena peranannya yang sering di
pandang sebagai leluhur doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan
117 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 137 118 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 138 119 Arab Circle adalah tempat perkumpulan orang-orang Muslim sedunia dan yang tertarik
kepada Islam.
pembaharuan Islam zaman moderen, baik yag fundemintais dan liberalistik.
Kritiknya terhadap kalam dan falsafah dilakukan dengan kompetensi yang
amatmengesankan, karena beliau benar-benar mengusai disiplin keilmuan ke-
Islam-an yang helenistik itu. Ia adalah seorang tokoh seorang tokoh dalam
sejarah pemikiran Islam yang terakhir secara kompeten berusaha
membendung helenisme, meskipun pahamnya sendiri tentang metode qiyas
tetapi bersifat Aristetolian. Ibnu Taymiah adalah seorang intelektual besar
yang tampaknya tidak banyak dipahami, padahal intelektualismenya itu baik
sekali jika dicontoh dan dikembangkan lebih baik.”120
Pada point di atas inilah kenapa Cak Nur pada tesisnya mengambil tentang
pemikiran dari IbnTaymiyyah.
Pada tanggal 4 Juli 1984, Cak Nur pulang dari Chicago ke tanah Air. Kepulangan
Cak Nur ke Indonesia mendapat sambutan yang sangat luar biasa, dengan lebih seratus
orang yang menyabut kehadiran kembali ke Indonesia di Bandara Halim Perdana Kusuma,
Jakarta, diantaranya adalah Sugeng Sarjadi, A.M. Fatwa, Nono Anwar Makarim, Abdul
Latif, Mar’e Muhammad, Sugiat, Dawam Raharjo, dan beberapa tokoh lainnya.
Sekitar dua hari dari kepulanga Cak Nur ke Indonesia, beliau diajak makan sate
oleh temannya Utomo, teman lamanya selama beliau masih aktif di HMI. Sambil bertukar
cerita, Utomo mengingatkan pada Cak Nur tentang hal yang pernah di capai 15 tahun yang
lalu, tepatnya pada periode pertama pemikiran beliau yang di presentasikan di depan 4
organisasi Islam pada tahun 70-an. Utomo mendorong Cak Nur untuk membuat satu
wadah sebagai tempat untuk melanjutkan pembaharuan yang pernah terjadi ada tahun
1970-an. Namun, Cak Nur belum menangkap secara jelas maksud dari apa yang dikatakan
Utomo itu, malah Cak Nur hanya bercerita mengenai karyanya yang paling awal,
Khazanah Intelektual Islam.121
Setelah pulang dari Chicago inilah gagasan tentang pembentukan Pramadina
mulai didiskusikan oleh Cak Nur dan beberapa kawan yang lainnya, dengan
mendiskusikannya pada Majlis Reboan. Sehingga diskusi pembentukan dari forum reboan
120 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 147 121 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 149-150
ini menjadi benar-benar terbentuk pada tahun 1986, pada awalnya, terbentuknya
Paramadina ini disebut sebagai “gang HMI”, karena banyaknya aktifis HMI masuk
kedalamnya. Tetapi, tak bisa di luakan bahwa di dalam Paramadina ada juga Sugiat
Ahmad Sumadi (NU) dan Ahmad Rifa’i, Moosolly Noer, Mohammad Yahya dan Utomo
(yang merupakan bagian dari penggagas terbentuknya Paramadina), mereka semua ini
merupakan aktifis PII.122
Tetapi, yang harus di garis bawahi adalah pembentukan Pramadina didasarkan
pada hukum yayasan, sebagai yayasan wakaf, dengan artian yayasan ini dimiliki oleh umat
bukan eksekutif atau perorangan yang dapat diwariskan turun temurun. Nama Paramadina
mengandung dua unsur, yaitu: Pramadina berasal dari bahasa sansakerta yang berarti
prima atau utama; dan dina berasal dari bahasa Arab, yang berarti Agama, itulah yang
menyebabkan pada awal terbentuknya nama Paramadina di pisahkan (Parama Dina) yang
berarti “Agama Utama”.123
Peluncuran Paramadina yang direncanakan pada 1986, sebagai lebaga ke-Islam-an
yang berambisi menjadi lembaga terbuka. Hal yang paling sulit bagi para pendiri ialah
untuk memperkenalkan lembaga ini kepada para pamerintah, sebab pada tahun 1980-an,
pembentukan apapun yang dasarnya berasaskan Islam sangat sulit, sebab pembicaraan
mengenai agama pada masa itu sangat sensitif. Sebab pada saat rezim Soeharto sangat
rigid dengan ideologi pancasila sebagai azaz tunggal, dimana pada masa itu semua
organisasi berdsarkan pada satu azaz, yaitu Pancasila.
Namun, hal ini sangat berbeda dengan apa yang ditakutkan oleh Cak Nur dan para
pendiri paramadina lainnya. Ini dikarena, Soeharto sangat menerima, dan bahkan telah
mengetahui atas rencana pembentukan Paramadina ini, dan Soeharto sangat mendukung
atas gagasan Cak Nur untuk membuat lembaga Paramadina. Dan Soeharto memberikan
122 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 151 123 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 151
pidato pembukaan pada 28 Oktober 1986 sebagai peluncuran pertamanya di Hotel Sari
Pan Pacific , Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat.124
Sejak awal terbentuknya, Paramadina didesain elit ecara intelekual oleh para
pembentuknya, Cak Nur juga menjelaskan tentang setingan ini, menurut beliau:
“Bila konstituen Paramadina aadalah kelas menengah, sebetulnya itu adalah
hal yang natural. Sebab dalam menguraikan gagasan, kita menggunakan pola
ekpresi tertentu yang disebut ilmiah, akademik dan lain sebagainya, maka
mau tidak mau yang bisa faham hanya kelas menengah. Jadi kelas menengah
paramadina itu bukanlah suatu tujuan tetapi, hanya efek dari pendekatan yag
digunakan saja.....
.... Bila banyak yang memandang Pramadina ini terkesan elit, itu hanya
disebabkan oleh sudut pandang saja. Sama halnya dengan ketika saya tampil
di RCTI pada acara “sahur bersama Cak Nur”, ada berbagai pendapat
diantaranya pendapat mereka adalah, “itu bagai mana Cak Nur kok mau
tampil dalam acara seperti itu, rendah sekali”, begitu juga sebaliknya, ada
yang berkomentar terlalu tinggi ....
.....ya pada intinya Cuma persepektif saja yang bermacam-macam.”125
Paramadina ini pada awalnya dirancang untuk menjadi pusat kegiatan kegiatan
keagamaan yang memadukan tradisi dan modernitas dengan berlandasan pada dalil Ushul
Fiqh, “al-Mahafadzatu ala al-Qadim as-Salih” (memelihara yang lama yang baik), Tradisi,
dan “wa ahdzu bil-Jadid al-Ashlah” (dan mengambil yang baru yang lebih baik),
Modernitas,126 menurut Cak Nur dengan cara inilah Paramadina dapat melampaui
beberapa Ormas-ormas Islam seperti NU (Nahdlatul Ulama’), Muhammadiyah, PERSIS
dan beberapa ormas Islam lainnya.
Sehingga, sejak Paramadina didirikan, inilah Cak Nur memulai menulis kembali,
baik untuk di konsumsi pribadi dan atau untuk keperluan forum diskusi KKA (Klub
Kajian Agama). Sehingga pada periode ini, beliau banyak membuat buku-buku, baik
dalam bentuk kumpulan makah beliau, seperti Islam, Doktrin dan Peradaban (1992),
Kontekstualiasasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), Islam agama peradaban (1995),
124 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 153 125 Pendapat Cak Nur ini, penulis kutip dari BMR dalam ensiklopedinya yang berjudul
“membaca Nurcholish Madjid”. 126 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 154
Islam Agama Kemanusiaan (1995), dan beberapa buku lainnya yang merupakan isi lebih
detail dari program KKA.127
Pada tahun 1992 Cak Nur menyampaikan ceramah yang kedua kalinya setelah
tahun 1972 di satu tempat yang sama.128 Orasi budaya Cak Nur tepatnya pada tanggal 21
Oktober 1992 ini berjudul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di
Indonesia untuk Generasi Mendatang”. Sehingga setelah ceramah tim ini juga, polemik
yang pernah terjadi pada tahun 1970-an terjadi lagi tahun ini.129 Awal terjadinya polemik
ini di mulai dari laporan utama media dakwah yan mencoba mencari asal usul orientasi
pemikiran Cak Nur di TIM itu.
Polemik yang terjadi akibat dari pidatonya di TIM tersebut, terutama Cak Nur
mendapat kritikan dari generasi muda yaitu generasi 1990-an. Sehingga pada polemik kali
ini banyak tokoh-tokoh menyebutnya sebagai “Pengadilan Nurcholish Madjid”, yang
terjadi pada 13 Desember 1992. Kemarahan ini muncul karena dalam pidatonya Cak Nur
mengatakan bahwa fundemintalisme agama sama bahayanya dengan narkoba.130 Mekipun
Irfan adalah bekas aktivis Ikhwan, justru Irfan menegaskan dan mendukung Cak Nur
dengan mengatakan bahwa, fundemintalisme hanya sebuh pelaria ketika kaum Muslim
merasa tidak berdaya di hadapan hegemoni budaya sekuler Barat.131
Dari beberapa kontroversi yang terjadi dari tahun 1970-an dah bahkan sampai saat
ini dalam hubungannya dengan sekularisasi, meminjam kata BMR “pengertian Islam yang
generik dengan pengertian Islam yang par-exelent (yang Organizad)”,132 bukanlah hal
yang baru dah bahkan telah terjadi sejak dahulu kala. Menurut BMR di dalam buku yang
sama, beliau melanjutkan, bahwa persoalan “sekularisasi”, telah terjadi pada masa tokoh-
127 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 38 128 Ahmad Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 225 129 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 39 130 Hasil wawancara Ahmad Gaus dengan Irfan Mohammad (pengajar YISC al-Azhar dan
Jamaah Paramadina) pada tanggal 27 Juni 2007. 131 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 229 132 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 42
tokoh al-Maqribi (Malik Bernabi dan Muhammad Lahbab), di India (Alam Khudmiri)
sampai pada beberapa tokoh yang menganggab bahwa sekularisasi adalah sebagian dari
Islam.133
Namun, yang sangat menarik dari pemikiran Cak Nur adalah, pemikiran beliau
tidak hanya menjadi perdebatan dalam dunia Islam saja melainkan juga menjadi
perdebatan di dalam dunia kristen. Diantara tokoh dari luar Islam yang menyoroti
pemikiran Cak Nur adalah J.B. Binawiratma dari IKIP Sanata Dharma Jogjakarta, Franz
Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Jakarta, dan pendeta Protesten Martin
L. Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta .134
Setelah bebrapa lama Cak Nur bergelut dalam dunia Intelektual, pada akhirnya
hari senin, tanggal 29 Agustus 2005, Cak Nur menghembuskan nafas terakhirnya di RSPI
(Rumah Sakit Pondok Indah), tepatnya jam 14.05 beliau pergi dengan tenang tenang
keharibaan-Nya.135
B. Karya-karya Nurcholish Madjid
Sebagai seorang cendikiawan muslim yang produktif, kita dapat menelusuri
karya-karya ilmiah yang pernah Cak Nur tulis, bauk yang dalam bentuk artikel sampai
dalam bentuk buku yang sering kali dicetak ulang. Dalam pembahasan ini, karya-karya
yang dihasilkan olehCak Nur sengaja tidak diungkap secara keseluruhan. Melainkan buku-
buku atau artikel yang dipaparkan di sini tidak lain lebih ditekankan pada karyakaryanya
yang dianggap mewakili gagasan sentral Cak Nur. Di antara karya-karya Nurcholish
Madjid yang telah beredar antara lain:
Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Karya ini oleh Cak
Nur dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang
133 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 42 134 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 242 135 Ihsan Ali Fauzi – Ade Armando, All You Need is Love; Cak Nur di Mata Anak Muda,
(Jakarta: Democrazy Project, 2012), h. 65
pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini, Cak
Nur memperkenalkan tokoh-tokoh muslim klasik, seperti Al Kindi, Asy‘ari, AFarabi,
Afghani, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah, Ibnu Khaldun dan Muhammad
Abduh. Buku ini sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan
mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam.
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1988). Buku yang
memuat tulisan-tulisan mengenai sekularisasi, slogan“Islam Yes, Partai Islam No”, serta
penolakan terhadap negara Islam.Dalam bukunya ini Cak Nur berusahamemadukan antara
Islam dan kemodernan dan keindonesiaan. Buku initermasuk salah satu karya Cak Nur
yang laris. Ini terbukti denganadanya beberapa kali cetak ulang. Dari cetakan pertamanya
tahun 1988 sampaitahun 1997, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 9 kali. Hal ini
menunjukkanbahwa tulisan-tulisan Cak Nur ini mendapat perhatian luas dari umatIslam,
baik yang pro maupun yang kontra.
Dikarenakan tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan hasil perenungan Cak Nur
selama dua dasawarsa, maka melalui buku ini dapat dilihatproses perkembangan
pemikiran Cak Nur yang mengalami proses pematangan. Sebagai contoh, dalam buku ini
dapat dilihat mengenai permasalahan kata “sekularisasi”. Ketika penggunaan kata
“sekularisasi” itu menimbulkan penentangan keras, Cak Nur berusaha menjelaskan pada
tulisan berikutnya. Akan tetapi walaupun dia telah menjelaskan kata itu, namun tetap saja
penentangan keras tidak mengendur. Akhirnya untuk menghindari penentangan keras yang
justru akan merugikan umat Islam atau dirinya, Cak Nur tidak menggunakan kata itu lagi
dan menggantinya dengan kata “desakralisasi”.
Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992). Buku ini
merupakan kumpulandari sebagian makalah Klub Kajian Agama (KKA) yang
diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Oleh karena itu, tulisan dalam
buku ini memuat pembahasan-pembahasan terkait dengan suatu masalah tertentu, seperti
misalnya pembahasan mengenai Islam dan budaya lokal. Pendekatan topikal ini menurut
Cak Nur diperlukan untuk mempertajam pemusatan pembahasan, sehingga dapat
diperoleh hasil yang maksimal. Dengan tulisantulisan dalam buku ini diharapkan pembaca
mampu memahami Islam secara lebih komprehensif.
Buku ini berusaha menawarkan konsep Islam kultural yang produktif dan
konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua,
rahmatan lil ‘a >lami>n. Islam sebagai sebuah ajaran yang universal harus mampu diterapkan
kepada masyarakat agar Islam dapat membangun peradaban sebagaimana yang pernah
terjadi pada masa Islam klasik dahulu.
Buku ini ditulis sebagai bagian dari usaha membangun dialog keterbukaan dengan
mengembangkan tradisi menyatakan yang benar dan baik secara bebas dan tanpa
prasangka, untuk kepentingan bersama yang diharapkan dapat mendorong tumbuhnya
wawasan jauh ke depan dengan tetap berpegang teguh kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa. Dikarenakan keluasan dan kedalaman pembahasannya, buku ini dianggap sebagai
magnum opus-nya Cak Nur.
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam dan
Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995). Buku ini menyajikan analisadan refleksi wacana
keislaman, baik wacana keislaman klasik maupun modern.Analisis Islam klasik digunakan
untuk merefleksikan wacana keislaman modern.Dalam karyanya ini, Cak Nur, menurut
Komaruddin Hidayat, tidak raguuntuk melakukan kritik historis terhadap perilaku Nabi
dan para sahabat.Kesalahan apapun yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan
mungkinMuhammad sendiri sebagai manusia, sama sekali tidak akan menodai
danmerendahkan ajaran Islam karena Islam memang tidak memiliki obsesi
bagiterwujudnya sebuah masyarakat suci (monastic and sacred society), melainkan
historical society, dengan segala sifat kemanusiaannya.136
Dengan melalui kajian sejarah dan sosiologi, buku ini berusaha menyajikan
wawasan dan interpretasi terhadap Islam, sehingga ajaran Islam dapat terbebas dari mitos,
walaupun menurut Cak Nur sendiri agama Islam merupakan agama yang paling
terbebaskan dari mitos, dan pemihakan ideologis karena kepentingan politik praktis. Hal
ini penting dilakukan karena beberapa ajaran Islam telah “disusupi” oleh mitos-mitos yang
kadangkala diciptakan oleh umat Islam sendiri yang itu mengakibatkan Islam kehilangan
daya pencerahannya.
Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi Visi Baru Islam Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 1995). Di dalam buku ini, nampaknya Cak Nur ingin menunjukkan
bahwa agama dan budaya itu berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Kebenaran Islam
yang universal selalu memiliki kemampuan untuk beradaptasi kepada lingkungan budaya
di mana ia tumbuh dan berkembang, secara otentik dan kreatif.137Dalam buku ini, Cak Nur
berhasil menunjukkan bahwa Islam Indonesia, sebagai pembahasan dalam buku ini,
merupakan Islam yang absah. Artinya Islam Indonesia tidak bisa dianggap “kurang
Islami” apabila dibandingkan dengan Islam di tempat-tempat lain, seperti Islam di Arab.
Setelah membaca buku ini diharapkan pembaca mampu membedakan antara
agama dan budaya sehingga tidak terjadi pencampuradukan antara keduanya. Hal ini
penting agar umat Islam Indonesia mampu memandang masa depannya dengan penuh
percaya diri tanpa merasa rendah diri apabila dibandingkan dengan umat Islam yang
berada di Arab.
136 Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, dalam Cak Nur, Islam Agama Peradaban:
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. xi 137 Cak Nur, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia,Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, hal. xviii
Pintu-Pintu Menuju Tuhan(Jakarta: Paramadina 1996).Melalui buku ini, Cak
Nur ingin menyampaikan pesan bahwa untuk mencari kebenaran tidak harus melalui satu
pintu, tetapi dapat dilakukan dengan melalui berbagai pintu. Sebagaimana “Wahai anak-
anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu, melainkan masuklahdari berbagai pintu
yang berbeda.”138Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam seharusnya memiliki
kreatifitas untuk mencari kebenaran. Dalam buku ini Cak Nur menunjukkan berbagai
pintu untuk mencari kebenaran. Di antara pintu-pintu tersebut adalah pintu tawhid dan
iman, pintu sejarah dan peradaban, pintu tafsir, pintu etik dan moral, pintu spiritual, pintu
pluralisme dan kemanusiaan, dan pintu sosial dan politik. Semua pintu-pintu itu terdapat
dalam ajaran Islam. Dengan menunjukkan pintu-pintu tersebut, Cak Nur ingin
menegaskan bahwa perjuangan umat Islam dalam mencari keridaan Tuhan tidak hanya
bergantung kepada pintu politik semata, melainkan dapat ditempuh melalui pintu-pintu
lainnya.
Namun demikian, Cak Nur menegaskan bahwa dalam mencari kebenaran, sifat-
sifat toleran, lapang dada, terbuka, kerendah-hatian, tidak fanatik, dan tidak berpikiran
sempit, mutlak dibutuhkan. Dengan sifat-sifat tersebut, pencapaian kemenangan Islam
dapat dinikmati oleh setiap makhluk. Hal inilah yang menjadi pesan utama pemikiran-
pemikiran Cak Nur yang tertuang dalam buku ini.
Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997). Buku ini merupakan kumpulan
dari tulisan-tulisan Cak Nur pada tahun-tahun 1986-an sampai 1990-an. Melalui karyanya
ini, Cak Nur ingin menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia, individu maupun kolektif
(masyarakat), memiliki sisi religious (naluri untuk berkepercayaan). Menurut Cak Nur
manusia hidup tidak mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh
emosi dan jiwanya yang dinyatakan dalam keharuan, ketidakberdayaan diri, dan keinsafan.
138 QS. Yusuf:67
Dengan demikian, buku ini menyajikan tesis bahwa makna hidup yang hakiki dan
sejati dalam diri manusia memang ada. Tetapi, hal itu tidak Nampak dalam segi-segi
formal atau bentuk lahiriah kegamaan melainkan ia berada di baliknya. Artinya, segi
formalitas harus “ditembus” dan batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Jika hal itu
mampu dilakukan oleh manusia, maka akan tumbuh sikap-sikap religius yang lebih sejalan
dengan makna dan maksud hakiki ajaran agama. Pada akhirnya buku ini ingin
menunjukkan bahwa manusia, individu maupun masyarakat, dapat berkembang bersama
sisi religius yang dimilikinya yang dalam buku ini sisi religius yang dimaksud adalah
agama Islam.
Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998). Buku ini berbeda dengan buku-buku Cak Nur
sebelumnya. Buku ini merupakan kumpulan wawancara Cak Nur yang pernah dimuat di
berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1996. Oleh karena itu, tema
yang dikemukakan sangat beragam, seperti tema mengenai agama, budaya, politik,
pendidikan, dan lain sebagainya. Dikarenakan dalam bentuk wawancara, tema-tema
tersebut muncul sesuai dengan konteks waktu pada saat wawancara dilangsungkan.
Sebagai sebuah pemikiran, gagasan Cak Nur tentunya tidak sepi dari kritikan.
Artinya tidak semua orang setuju dan menerima gagasan yang dilontarkan oleh Cak Nur.
Bahkan, banyak pihak yang secara keras mengkritik dan menyerang gagasannya itu.
Untuk itu, dibutuhkan sebuah dialog terbuka dan jujur dalam menanggapi berbagai
gagasannya itu. Dialog terbuka dibutuhkan agar tidak terjadi salah paham atau pun
pemitosan terhadap gagasannya itu. Dengan buku ini, gagasan-gagasan Cak Nur dapat
“didialogkan” secara terbuka dan kritis sehingga pemikirannya dapat ditempatkan sesuai
dengan tempat dan proporsinya.
Cita-cita Politik Islam Era Reformasi(Jakarta: Paramadina, 1999). Buku terakhir
yang memuat pemikiran politik Cak Nur. Buku ini memuat tujuh artikel yang pernah
ditulis oleh Cak Nur. Walapun berjudul Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, namun
kebanyakan tulisan yang dimuat dalam buku ini ditulis oleh Cak Nur pada masa sebelum
reformasi bergulir di Indonesia (pada masa Orde Baru), hanya dua tulisan yang ditulis
setelah Soeharto lengser, yaitu Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara
Menuju Peradaban Baru Indonesia (183-199) dan Kalam Kekhalifahan Manusia dan
Reformasi Buku (203-265).
Tulisan-tulisan Cak Nur ini membahas nilai-nilai politik Islam yang dapat
diterapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia atau terciptanya “masyarakat madani”.
Berbagai tema, seperti demokrasi, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan lain sebagainya,
dibahas oleh Cak Nur. Menurut Cak Nur, dalam Islam terdapat nilai-nilai yang dapat
digunakan untuk kemajuan umat Islam, seperti tugas melawan setiap bentuk kezaliman
yang diungkapkan dengan kalimat amr ma’ruf nahi munkar.Umat Islam saat ini hanya
diperlukan untuk mendalami kembali dan mengembangkan nilai-nilai yang telah ada di
dalam Islam sesuai dengan masa saat ini agar umat Islam maju dan berkembang
sebagaimana yang pernah dicapai oleh umat Islam terdahulu, pada masa Rasul dan
Khalifah Ar-Rasyidin.
Buku ini ingin menunjukkan bahwa Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai penting
yang dapat diterapkan untuk menciptakan peradaban besar umat Islam. Tinggal umat
Islam sendiri berusaha untuk merealisasikan perkatan Nabi SAW, “Kamu adalah sebaik-
baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamumenganjurkan kebaikan dan
mencegah kejahatan, lagi pula kamu percaya kepadaTuhan.” Dikarenakan Islam telah
memiliki semua “peralatan” untuk menciptakan sebuah peradaban maju, maka umat Islam
sudah seharusnya merealisasikan cita-cita politik Islam itu agar berguna bagi umat Islam
dan manusia secara keseluruhan, Islam rahmatan lil ‘alamiin.
Dari berbagai karya-karya Cak Nur tersebut dapat dilihat keinginan besarnya
untuk memajukan umat Islam Indonesia. Sesuai dengan gagasan Islam kulturalnya,
kemajuan umat Islam Indonesia dapat diraih tanpa harus melalui pembentukan negara
Islam sebagaimana yang diinginkan oleh pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya. Yang
terpenting menurut Cak Nur adalah terlaksananya nilai-nilainya Islam dalam masyarakat,
seperti demokrasi, keadilan, toleransi, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai Islam tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia tanpa harus
dibentuknya negara Islam secara formal. Dengan melalui pendidikan dan peningkatan
kesadaran umat Islam terhadap nilai-nilai Islam maka umat Islam dapat menerapkan nilai-
nilai itu dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi “negara Islam”
tanpa harus mencantumkan Piagam Jakarta atau Islam secara jelas dan formal dalam
undang-undangnya
Karya-karya yang pernah ditulis Cak Nur, berangkat dari keprihatinan terhadap
kondisi umat Islam. Cak Nur berusaha menyuguhkan alternatif agar Islam menjadi agama
yang benar-benar melekat dan memiliki fungsi dalam kehidupan. Sehingga menurut
Nurcholish Madjid Al-Qur’an dan Sunnah perlu ditafsirkan secara kreatif, kritis.Namun,
tetap dengan sikap yang bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan
menerapkan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya mampu
menjadi landasan bagi kehidupan umat, dan dapat dimanifestasikan secara konkret dalam
hidup ini.
BAB IV
KALIMAH SAWA>DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID
A. Kalimah Sawa> Dalam Kacamata Nurcholish Madjid
Konsep pemikiran Nurcholish Madjid, didasarkan pada tiga bentuk, yaitu
Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan, yang kemudian oleh Cak Nur di
deklarasikan pada tahun 1992 di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Sehingga pada
tahun 1992 itu ceramah Nurcholish Madjid menuai beberapa kritikan dari banyak tokoh
terutama toko-tokoh Islam.
Tetapi, untuk saat ini mungkin apa yang disampaikan oleh Cak Nur di TIM itu
merupakan hal yang sangat biasa, meskipun masih ada beberapa aliran belum sepakat
sepenuhnya kepada Cak Nur. Pidato yang disampaikan oleh Cak Nur yaitu tentang Titik
Temu Agama-Agama, dalam bahasa Inggris Commond Plat Form, atau dalam bahasa
Arabnya kalimah sawa>,139kata kalimatun sawa’ ini oleh Nurcholish Madjid diambil dari
al-Quran, yang artinya:
Katakanlah wahai Muhammad, “Wahai Ahlul Kitab (orang-orang Yahudi
dan Nasrani), marila (berpegang) pada kalimat yang sama, yang tidak ada
perbedaan antara kami dan kalian. Hendaknya kita tidak menyembah selain
Allah dan hendaknya di antara kita tidak menjadikan bagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, (Muhammad
dan orang-orang Mukmin) kepada mereka, kami adalah orang-orang yang
berserah diri.”140
Hal ini juga sama persis dengan kesepakatan yang dibangun oleh beberapa tokoh-
tokoh Islam seperti Sunni, Syiah, Muhammadiyah, dan juga beberapa kalangan lainnya
seperti Ikhwanul Muslimin, yang di motori oleh Prince Ghazi bin Muhammad Talal,
Jordan, setelah mendengar kuliah umum dari Paus benidiktus 14 di Jerman pada tahun
1997.
Dari beberapa konsep pemikiran Cak Nur, utamanya ada beberapa point yang
sangat menarik, yaitu ApakahCak Nur sebagai seorang Pluralis atau bukan? Mengenai
hal ini ada beberapa pendapat, yaitu diantaranya, beberapa aliran mengatakan bahwa Cak
Nur ini bukan seorang pluralis, salah satu pendapat ini disampaikan oleh Frans Magnes
139 Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy Project,
2010), h. 55 140 Qs. Ali Imran (3): 64
Suseno, dan pendapat yang lainnya dari Budhy Munaawar Rahcman, yang meyakini
bahwa Cak Nur adalah seorang yang pluralis.
Budhy Munaawar Rachman yang meyakini bahwa Cak Nur sebagai seorang
pluralis dengan mengambil sebuah alasan dari sisi Inklusifismenya Cak Nur, yaitu dengan
membawa gerbong Cak Nur secara utuh, yaitu Islam Inklusif. Namun, dapat dipastikan
bahwa meskipun Cak Nur sebagai seorang yang pluralis, beliau tidak seperti tokoh
pluralisme lainnya, yaitu dengan menjauhkan diri dari tiga point yang difahami oleh
banyak orang tentang pluralisme yaitu tidak ada keunikan dalam agama, semua agama
sama saja, bisa dicampur-campur, tiga point inilah yang dijahkan para teolog, terutama
Cak Nur.141
Dan yang paling menarik dari pemikiran Cak Nur adalah, Cak Nur tidak hanya
menggunakan kata kalimah sawa> pada Keislaman saja. Beliau juga menggunakan kata
kalimah sawa> ini pada konsep kenegaraan juga, yaitu dengan menyinkronkan antara
kalimah sawa> dengan pancasila-khususnya Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Cak Nur
sebagai jalan atau syarat untuk membuat perdamaian ras, suku dan juga para penganut
agama (Islam, Kristen, Hindhu, Budha dan Konghucu).
Dari bebrapa pemikiran tentang Inklusif Cak Nur ada beberapa point yang sangat
menarik, yaitu tantang fitrah manusia. Cak Nur membagikan pada dua bagian yaitu fitrah
munazzalah (fitrah yang diturunkan “agama”) dan fitrah majbulah (fitrah yang tertanam di
dalam diri manusia). Sebetulnya konsep fitrah Cak Nur tentang fitrah ini mengambil dari
tokoh timur tengah, Ibn Timiyah. Namun dengan konsep ini harus di akui bahwa pada
dasarnya pengertian tentang fitrah ini bisa di pakai pada masa modern seperti skrang ini
agar setiap manusia dalam berfikir bisa menggunakan fikiran.
Islam berarti pasrah sepenuhnya (kepada Allah), Islam merupakan sebuah sebuah
inti dari ajaran setiap agama yang benar, seperti yang telah penulis uraikan pada bagian ke
dua, bahwa nabi Nuh juga mengajarkan Islam, nabi Ibrahim Juga membawa ajaran Islam,
141 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama, Analisis Atas (Jakarta: Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara 2014), h. 23-24
serta Nabi Yusuf juga meminta – agar kelak beliau meninggal dalam keadaan Islam.
Menurut tokoh klasik Ibn Taymiyyah dalam Iqtidla al-Sh}ira>th al-Mustaqi>m, yang penulis
kutip dari Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa agama semua para Nabi sama dan Satu,
yaitu Islam (pasrah) kepada Allah. Namun, harus diakui juga bahwa secara syariat yang
mereka bawa ada perbedaan juga, hal ini sesuai dengan zaman, tempat masing-masing
Nabi itu.142
Islam sebagai sifat pasrah kepada kehendak Allah, mengandung beberapa point
penting di dalamnya yaitu, a, Keimanan, b, selalu berbuat benar, c, menghndarikesalahan.
Dari sinilah dapat kita nilai bahwa Islam tampil, bukan hanya untuk sebagian dan ataupun
untuk Muhammad saja, melainkan untuk semua utusan Allah. Menurut Osman Bakar
kesaksian pertama orang yang ber-Islam adalah keimanan kepada Allah (La> ila>h illa>-
Alla>h).143 Dari pendapat Osman ini dapat kita mengambil satu ksimpulan utamanya,
bahwa kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan ketuhanan,
sebab dari kesadaran ketuhanan itu akan melahirkan sifat takwa kepda Tuhan Yang Maha
Esa, menurut Nurcholish Madjid manusia adalah mahluk yang berasal dari Tuhan dan
yang pasti akan kembali kepadanya (Inna> lil Allah wa inna> ilayhi ra>ji’ un).144
Memahami konsep universalisme Islam Cak Nur, meniscayakan adanya
pengakuan dan penerimaan dari pihak luar atas keyakinan sebuah kelompok, maksunya
apapun yang dianggab benar oleh kelompok atau seseorang dalam situasi yang sama.
Dalam pandangan Islam, alam manusia adalah sesuatu yang sangat penting, sebab alam
kemanusiaan tidak pernah terpengaruh oleh zaman, dan tempat asal-usul rasial dan
kebahasaan. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, islam selalu berurusan dengan alam
142 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2 143 Osman Bakar, Tauhid dan Sains, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. II, 2008), h. 67 144Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,(Jakarta: Yayasan Wakaf Pramadina, 1995), h. xv
kemanusiaan, maka ia harus selalu bersama manusia tanpa ada pembatasan apapun, serta
menghilangkan hambatan kualitas manusia (asal-usul rasial dan bahasa).145
Berbicara tentang Islam, tidak dapat dipisahkan dengan agama (ad-Di>n), yang
secara harfiah berarti tunduk, patuh kepada Tuhan dengan landasan utamanya harus
menyerahkan diri kepada Tuhan. jika memang seperti itu, sangat beralasan, jika firman
Tuhan di dalam surat Ali Imran; 16 “tidak ada agama (al-Di>n) yang benar tanpa
kepasrahan kepada Tuhan (al-Isla>m)”. Konsep al-Islam tumbuh dan berkembang karena
hakikat dan inti ajaran agama, yaitu sifat pasrah kepada Tuhan. mengutip pendapat
Wilfred, bahwa cak Nur berpendapat, Islam bukanlah nama yang lahir berdasarkan
agamanya, melainkan hanya sebuah ajaran yang ajaran-ajarannya diturunkan kepada Nabi
Muhammad,146 atau dapat dikatankan bahwa Islam bukan hanya sekedar sebuah nama
agama.
Adapun, Islam dalam pengertiannya sebagai nama agama, menurut Cak Nur juga
memiliki nilai-nilaiUniversal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi al-Quran, Hadist dan
realitas yang melingkupinya.147 Ataupun lebih jelasnya al-Quran tidak berfungsi sebagai
petunjuk yang absolut (yang mengatur secara rinci dan detail) dalam hubungan dengan
kehidupan manusia. Sedangkan hadist tak lain, hanyalah sebuah penjabaran atas apa yang
telah dijelakan di dalam al-Quran yang tidak lain pemahaman Nabi atas kandungan al-
Qura, yang memiliki fungsi sebagai media transformasi agar cita-cita dan prinsip Tuhan
bisa diterima dengan baik oleh manusia. Menurut pendapat Jamez Kritzeck di dalam
Anthology of Islamic Literature yang penulis kutip dari Cak Nur mengatakan, bahwa tentu
bagi kaum Muslim, al-Qur’an adalah kalam (sabda) Tuhan yang nilainya transindental.
Berdasarkan keterangan di atas, sesungguhnya al-Quran lebih berfungsi sebagai bacaan
145Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 426 146Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Beberapa Aspek,(Jakarta: UI Press, 1985), Edisi I, h.
17 147Budhy Munawwar Rachman, Konteks Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina,
2010), h. 210
suci dalam bahasa aslinya, yaitu Arab tidak dalam terjemahan.Inilah pendapat ulama
klasik.148
Untuk dapat menerapkan prinsip ini, diperlukan sebuah kemampuan zaman yang
baik. Sebuah Hukum hanya akan berlaku efektif apabila pemberlakuannya tidak keluar
dari konteks zaman. Tuntutan spesifik inilah yang kemudia dikenal dengan dogma fiqih
(hukum Islam). Menurut Cak Nur, yang berubah dari hukum Islam itu bukanlah prinsip
dasarnya, melainkan hanya pelaksanaan teknis yang bersifat kongkret dari hukum tersebut
dalam kehidupan masyarakat di masa tertentu.149
Melalui pendekatan holistik terhadap pemikiran Cak Nur akan tampak, bahwa
beliau adalah pembaharu pemikiran Islam yang mengemukakan gagasan tentang Integrasi
Keislaman, Keindonesiaan dan kemudernan sebagai paradiqma pemikirannya. Intregrasi
artinya pembauran sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh, atau proses
penyatuan kelompok budaya sosial kedalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu
identitas nasional. Integrasi pemikiran cak Nur dalam dialektika tiga gagasan tercermin
secara jelas dalam bukunya, Islam, Kemodern dan Keindonesiaan dan Islam Doktrin
Peradaban dan Peradaban.150 Secara giografis Indonesia adalah bangsa muslim terbesar
dunia. Namun, secara religio-politik dan ideologis, Indonesia bukanlah negara Islam.
Indonesia adalah negara yang beridiologi pancasila, yang dipandang sebagai jalan tengah
antara gagasan nasionalis sekuler dan gagasan negara Islam. Pancasila sebagai falsafah
negara dapat “diterima” oleh sebagian besar umat muslim dengan catatan setelah sila-
silanya, sampai batas-batas tertentu, mengalami Islamisasi.151
148Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Bulan
Bintang, 1994), h. 82 149NJ. Coulson, Konflik dalam Jurisprudensi Islam, diterjemahkan oleh, Fuad Zein,
(Yogyakarta: Navila, 2001), h. 221 150Muhammad Rusydy, Paradigma Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Keislaman,
Keindonesiaan dan Kemoderan, dalam Jurnal Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 197 151Mark R. Woordward, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, Diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1998), h. 91
Seperti yang telah djelaskan pada bagian kedua, bahwa salah satu masalah
keislaman yang paling kuat dikemukakan oleh Cak Nur adalah masalah inklusivisme,
menurut Cak Nur, Inklusivisme merupakan sendi yang sangat menentukan keberhasilan
Indonesia, sebab dengan sikap inklusiv akan dapat terbangun yaitu keadilan, keterbukaan
dan demokratis. Kata inklusif dalam konsep keislaman Cak Nur, diambil dari khazanah
keagamaan.Sebab, sebelum Cak Nur memperkenalkan istilah Inklusif, dapat dikatan
bahwa keragaman yang eklusif telah berkembang serta mewarnai corak keberagamaan di
Indonesia.152
Pemikiran Cak Nur merupakan hal yang sangat penting untuk di praktekkan
dalam sebuah Negara bangsa, seperti halnya di Indonesia.Pemikiran Islam yang telah
beliau kembangkan telah diterima oleh berbagai kalangan baik dalam skala nasional
ataupun internasional. Sumbangan pemikiran Cak Nur di Indonesia sendiri telah
menghegemini seperti yang telah di akui oleh seorang ahli Islam Indonesia, Martin van
Bruinessen, yang penulis kutip dari Budhy Munawwar Rachman, yaitu “… The liberal,
tolerant, and open minded discourse of Nurcholish Madjid ….was almost
hegememonic…”.153
Sebagai tokoh intelektual Islam Indonesia, Cak Nur merupakan sebuah sintesis
keislaman dengan dua unsur kehidupan kehidupan umat Islam Indonesia, yaitu
keindonesiaan dan kemodernan.Sintesis keislaman, keindonesiaan dan kemodern,
merupakan sebuah mantra yang sangat ampuh dalam pemikiran Cak Nur. “mengambil
yang lama yang baik, dan mengambil yang baru, yang lebih baik”, itulah yang menjadi
prisip dasar Cak Nur, sebab bagi beliau dapat dikatakan bahwa keindonesiaan dan
kemodernan merupakan koin yang sama dengan keislaman.
152Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 21 153Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 21, lihat, Van Bruinessen,
New Leadership, New Policies, dalam inside Indonesia, 16 juni 2010
Dari faham inklusif inilah Cak Nur melahirkan sebuah faham yang disebut dengan
kalimah sawa>> (dalam bahsa al-Quran), commont platform (dalam bahasa inggris) atau
yang lebih popular commond word, titik temu agama-agama dalam bahasa Indonesianya,
menurutnya inilah tumpuan utama dari semua ajaran yang di bawa oleh semua utusan
Tuhan kemuka bumi.154
Al-Quran sebagai pokok pegangan umat Islam telah menjelaskan bahwa baik
Muhammad ataupun para Nabi-nabi sebelumnya, mendapatkan tugas yang sama dari
Tuhan, yaitu sebuaha pesan untuk bertaqwa kepada Allah seperti yang ditegaskan dalam
al-Quran Q.s 4:131155 dari firman ini, dapat disimpulkan bahwa pesan Tuhan yang
diturunkan merupakan sebuah pesan untuk bertakwa kepada Tuhan. Seperti yang
disebutkan oleh dalam ensiklopedinya, yang penulis kutip dari Budhy Munawwar
Rachman:
… Takwa, menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan.Tetapi implikasi
dari takwa bersifat kemanusiaan.Apabila orang bertakwa kepada Tuhan, maka
implikasinya adalah bersikap adil terhadap sesame manusia.Sikap takwa juga
menyelamat manusia dari kekerdilan jiwa.Nabi Musa diperintah menjaga dirinya,
dengan bertakwa kepada Tuhan, sehingga tuhan menjaganya dari rencana buruk
yang dibuat oleh Fir’un. Takwa adalah dasar dari hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam membentuk keluarga (Qs. 4;1).
….Takwa disatu pihak dalam pengertiannya juga mencakup iman kepada Allah, hari
akhir, para malaikat, kitab-kitab dan para pendahulu…..
Takwa adalah sebuah dasar kemanusiaan.Takwa, menyatakan seluruh kemanusiaan,
hal ini dapat terlihat dengan jelas secara historis.Umpanya bangsa Yahudi pernah
mengklaim, bahwa dirinya sebagai bangsa kekasih Tuhan.Dan sekarang, masih
terlihat dengan jelas, bahwa masih ada sebuah kelompok atau sekumpulan manusia
yang merasa dirinya paling unggul dan paling benar dari pada bangsa yang lainnya.
Namun dibantah oleh al-Qur’an Qs. 49;13156. Dari penjelasan Qs. 49;19, Tuhan
meletakkan kriteria kemuliaan, yaitu dengan sikap taqwa kepada-Nya, inilah kriteria
yang paling objektif yang menjadi hubungan antar bangasa, ras, suku, individu,
154Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 25-26 155“….Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada mereka ahli kitab sebelum kamu,
juga kepada kamu, supaya bertaqwa kepada Allah….” 156“Kami menciptkan kamu dari pria dan wanita, dan membuat kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya sesungguhnya orang yang paling muliaa disisi
Allah adalah orang yang bertakwa di antara kamu”
suatu kriteria yang dapat membuat hidup lebih dinamis, karena disini orang
berlomba-lomba dalam kebaikan.157
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa sifat takwa hanya bisa dapat
dicapai dengan keimanan kepada Tuhan.Sehingga muncul sebuah konsep tawhid
(monoteisme) sebagai sentral pencapaian dari sifat takwa kepada Tuhan. Menurut Cak
Nur, takwa sering diartikan atau diterjamahkan “sikap takut kepada Tuhan” atau “sikap
diri menjaga dari perbuatan jahat serta menjauhkan diri dari larangan Tuhan”. dengan
mengutip Mohammad Asad, seorang penafsir yang terkenal, dalam the Message of the al-
Quran, Cak Nur menerjemahkan kata takwa tersebut sebagai God consciousness, atau
kesadaran ketuhanan (kesadaran Rabba>niyyah).
Dalam al-Quran, pencapaian kesadaran seperti yang dijelaskan di atas, sebagai
tujuan di utusnya para Nabi dan Rasul, yaitu lengkapnya untuk mencapai kesadaran
ketuhanan yang selalu mahahadir, ketuhanan opnipresent, dengan sekaligus sikap dan
kesediaan menyesuaikan diri dibawah cahaya kesadaran Ketuhanan tersebut.158
1. Islam sebagai Agama Kemanusiaan
Islam sebagai agama kemanusiaan, dari makna generiknya sangat jelas, bhawa
Islam sebagai agama yang membawa misi keselamatan.Islam hadir di bumi ini sebagai
sebagai bagian untuk mengajarkan moralitas.Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
157Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, h. 53-54, lihat, Dawan
Rhardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 165-167 158Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 55, fasiran Cak Nur
dengan istilah “kesadaran ketuhanan” ini oleh Cak Nur diambil dari tafsir Mohammad Asad, The Message of
Quran, Ej.Brill, London, 1980, h. 3
pertama, Islam hadir tidak hanya bercorak vertical (ke atas), namun juga membawa ajaran
yang bersifat horizontal (mendatar).
Pendapat di atas, senada dengan pendapat Muhammad Imarah yang penulis kuti
dari fiqih lintas agama cetakan paramadina, bahwa al-Isla>m ilahi> al-mashdar wa
insa>niyyat al-maudlu>(Islam bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan). Atas
dasar inilah Islam bukan hanya sebuah agama yang membawa wahyu ketuhanan,
melainkan juga agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.159
Sebagai agama yang menekankan sifat-sifat kemanusiaan selain dari ketuhanan,
adalah ajaran tentang persaudaraan yang universal, terbuka dan penuh kerahmatan, contoh,
masyarakat Arab sebelum Islam lebih bersifat komunal dengan berlandaskan pada jalur
keturunan, dengan berbagai persoalan yang sangat keras. Sebab di dalam masyarakat
komunal berlaku yang namanya darwinisme social, atau lebih tepatnya yang menentukan
kehidupan adalah pemimpin (penguasa).
Menurut pendapat Karen Amstrong160 pada awalnya kehidupan bangsa Arab
nomaden (sebagai pengelana), dan juga kelompok yang suka bermusuhan dan suka
perang. Mereka (bangsa Arab) suka memelihara unta dan menganggab dirinya sebagai
anak-anak padang pasir (son of the desert).161Menurut pendapat Zuhairi Misrawi;
“…. Kehidupan bangsa pengelana juga amat genting.Diantara bangsa-bangsa
pengelana juga sering terjadi silang selisih yang berkepanjangan, bahkan sampai
pada pertumpahan darah. Satu-satunya sacara bertahan hidup ialah dengan cara
berkelompok. Hal itulah sebagai penentu kehidupan bangsa pengelana untuk tetap
mempertahankan pertalian keluarga.Menanamkan kesetiaan absolut kepada kaum
dan atau kepada kelompokknya sangat penting.Sebab hanya suku yang dapat
menjamin keamanan anggotanya. Ini juga berarti tidak ada ruang sama sekali bagi
159Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Masudi,
Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawwar Rachman, Ahmad Gaus AF, Fiqih Lintas Agama;
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. 176-
177 160Karen Amstrong adalah seorang ahli Islam Inggris yang cukup bijak dalam menulis
kehidupan bangsa Arab pra-Islam. 161Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, diterjmahkan oleh
Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 60, lihat Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam
Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat, (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2004), h. 96
individu untuk berekpresi dan tidak ada hak-hak dan tanggung jawab yang
ditetapkan berdarkan kepentingan individu…”162
Setelah membaca tulisan Zuhairi Misrawi di atas, ada beberapa pertanyaan yang
kemudian muncul dalam benak penulis, apakah benar manusia hidup di dunia ini
mempunyai tujuan hidup? Atau mungkin, kehidupan ini hanya sebeuah kebetulan belaka?,
tanpa makna dan tanpa tujuan sama sekali.? Pertanyaan seperti di atas telah menyibukkan
para pemikir dunia, bahkan jauh sebelum manusia belajar merenungkan kehidupannya.
Menurut Cak Nur, persoalanmakna dan tujuan hidup, bisa di buat bisa dibuat
dengan melompat pada kesimpulan yang sudah tidak menjadi rahasia lagi. Bahwa tujuan
hidup manusia adalah liqa>’ (bertemu) dengan Allah dalam ridla-Nya. Sedangkan makna
hidup manusia didapatkan dari sebuah usaha yang penuh kesungghan (muja>h}adah) untuk
mencapai tujuan itu, dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan cara beriman
kepada-Nya, dan beramal kebajikan.163
Sedikit dari penalaran di atas, dapat dikatakan bahwa yang beragama dan yang
anti agama sama-sama mempunyai pendapat yang sama, bahwa kehidupan cukup
berharga, sebab di dalam kehidupan mengandung tujuan dan makna yang jelas, yaitu
makna dan tujuan, itulah pandangan yang tertanam dalam diri umat Islam khususnya dan
umat manusia pada umumnya. Serta sebagai panikmat kehudipan ini, manusia harus
mampu menjawabnya sendiri makna dan tujuan itu sendiri.
Kesadaran hidup bermakna dan bertujuan diperoleh seseorang hampir semata-
mata karena dia mempunyai tujuan yang dia yakini sebagai cukup berharga untuk di
perjuangkan, kalau perlu dengan pengorbanan.Tetapi itu tak berani, mengatakan bahwa
seseorang hidupnya bermakna, atau malah sangat bermakna, tidak dengan sendirinya
bahwa hidup itu bernilai positif (baik).Sebab selain contoh orang yang hidupnya bernilai
(penuh makna) itu yang disebut dirnya sebagai tokoh.164
162Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran
Rahmat, (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2004), h. 97 163Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 18 164Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 25-26
2. Iman dan Sikap Terbuka
Dalam kehidupan sehari-hari, Iman (i>ma>n) Islam (isla>m) dan ihsan (ih}sa>n), juga
sering terdengar kata yang lain, yaitu takwa (taqwa>), tawakkal (tawakkul) dan ikhlas
(ikhla>s). Beberapa point point ini menunjukkan kualitas pribadi kepada Allah sebagai
mahluk yang mulia dari mempunyai dasar keimanan kepada Allah Yang Maha Esa. Sebab
point-point itu merupakan sebuah kesimpulan keimanan (tunduk, patuh) kepada Allah.
Sebagai mana yang telah disinggung sebelumnya:
Iman (i>ma>n) sering diartkan sebagai percaya, pemberian arti kata iman yang seperti
itu tidak salah tetapi, juga tidak mencakup keseluruhan maknanya.Jika ingin
mendapatkan makna iman yang lengkap harus mengetahui dahulu asal kata iman itu
sendiri, iman berasal dari kata aman (ama>n) yang berarti kesejahteraan/sentausa, dan
amanat (ama>nah) yakni keadaan bisa dipercaya atau diandalkan (trustworthiness),
lawan dari kata khianat.165
Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku.Yaitu mereka yang
mendengarkan perkataan kemudian mengikuti mana yang terbaik.Mereka itulah
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang
berakal budi.166
Jadi, landasan utama pendapat Cak Nur di atas, belandaskan pada Qs. Azzumar;
17 yang telah penulis hadirkan pada bagian sebelumnya. Sebab, orang yang beriman, akan
mendapatkan hidayah dari Tuhan, yaitu dengan mendengarkan perkataan (al-qawl), seperti
perkataan al-Ra>zi dan al-T}haba>ri yang penulis kutip dari Cak Nur, perkataan yang harus
didengarkan meliputi sabda para Nabi (sebagai utusan Tuhan) dan juga firman-firman
Tuhan yang di bawa oleh para utusan-Nya, serta pendapat sesame manusia, kemudian
memahami apa yang dia dengar dengan mengikuti yang baik.167
Iman sebagai jalan penyelamat setiap manusia, maka seperti yang telah penulis
jelaskan pada bagian pertama (pendahuluan), sebagai gambaran grafisnya, untuk melihat
kepada Tuhan, manusia harus melihat keatas, dan kepada alam melihat kepada kebawah,
sedangkan untuk melihat sesame manusia, harus melihat mendatar. Sebab, hanya dengan
165Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 94 166Qs. Azzumar; 17 167Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 10
caraitulah manusia dapat menukan jati dirinya yang fitri. Dengan kata lain, manusia
menumukan sifatnya yang integral dan utuh hanya dengan memusatkan seluruh
perhatiannya kepada Tuhan.
Di sinilah menurut Cak Nur, manusia dapat bertemu dengan makna iman, yaitu
dengan menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya (secara monoistik) arah
dan tujuan kegiatan hidup manusia.Atau dengan ungkapan sehari-hari bahwa kita berbuat
sesuatu lilla>hi Ta’a>la>dan demi ridla Tuhan menggambarkan adanya pengarahan tujuan
hidup kepada-Nya.168
Sedangkan maksud sikap terbuka, ialah sikap taudiri, maksudnya mengetahui
bahwa, mustahil manusia dapat mengetahui seluruh kebenaran akan pengetahuan. Sikap
tahu diri atau dengan kata lain kualitas pribadi, menurut Cak Nur, siapapun yang
mengenal/mengetahui dirinya sendiri akan dapat mengenal Tuhannya, artinya kesadaran
seseorang akan keterbatasan dirinya merupakan sebuah akibat dari keyakinan bahwa
hanya Tuhanlah yang mutlak dan yang paling sempurna.169
Oleh sebab itu, orang yang beriman tentu akan memiliki keyakinan, bahwa hanya
Dia-lah Allah sang penyempurna dan yang paling mutlak Hasbuna> ‘Alla>h wa ni’ m al-
Waki>l (cukup Allah bagi kami”sebagai pelindung” dan Dia-lah tempat sebaik-baiknya
manusia bersandar).Oleh karenanya, diterangkan oleh Tuhan dalam kitab suci Qs. Al-
Hajj;24170sebab tutur kata merupakan sebuah cerminan dari sikap batin, serta tutur kata
yang baik, juga menunjukkan cerminan pribadi yang baik Qs. al-Ahzab; 70-71.171
Menurut Cak Nur, orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang kuat
(batin dan jiwanya), sehingga mereka (yang beriman) tidak akan pernah gentar
168Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 97-98 169Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 11 170Dibimbing kearah tuturkata yang baik, serta dibimbing kea rah jalan (Allah) yang maha
terpuji. 171Wahai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan bertutur katalah yang
baik, maka Allah akan membuatmu baik amal-perbuatanmu sekalian dan mengampuni dosa-dosamu…
menghadapi cobaan dalam kehidupan di dunia ini Qs. al-Hadid; 4,172 maka oleh karena itu,
orang yang senantiasa beriman kepada Allah tidak akan pernah sendiri dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, cukup Allah baginya, karena Allah adalah sebaik-baik al-Waki>l
(tempat bersandar).173
3. Masalah Pluralisme dan Dialog
Faham kemajmukan manusia mendapatkan posisi yang sangat penting dari tatanan
masyarakat yang maju, sehingga dalam hal itu yang menjadi pertaruhan adalah demokrasi,
dan keadilan. Konsep pluralisme tidak hanya mengisyaratkan adanya sikap kesediaan
untuk menerima kelompok lain, melainkan juga kesediaan untuk berlaku adil kepada
kelompok lain atas dasar perdamaian sehingga saling menghormati.
Jelas, harus diakui bahwa bangsa Indonesia telah memperileh manfaat besar
dalam usaha transformasi sosialnya menuju demokrasi dan keadilan jika pluralisme itu
dapat ditanamkan dalam kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar
warga Negara yang secara interen umat Islam , pluralisme adalah persyaratan utama
ukwah Islamiyyah , petunjuk utama al-Quran dalam melihat ukwah Islamiyyah dijelaskan
dalam Qs. Hujarat;11,174 jadi jelas dijelaskan, jadi dalam ayat ini jelas menolak absolutism
sasama Muslim, dan hal ini telah menjadi kesadaran masyarakat muslim terdahulu.
Sikap pluralisme harus menjadi sebuah keinsafan umum dalam suatu masyarakat
modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi yang intensif, baik nasional ataupun
global. Interen umat islam makin hari makin Nampak betapa sebenarnya mereka makin
majmuk.175 Sikap yang serupa (tetapi tidak perlu sama) juga harus diterapkan kepada
golongan lain diluar Islam. Sebagai sebuah ketentuamnyang sangat pasti bahwa Islam
menghormati agama-agama lain.
172Dia (Allah) bersamamu dimanapun kau berada, dan Allah maha teliti akan segala sesatu. 173Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 14 174Wahai sekalian orang-orang yang beriman, kalau-kalau mereka (mereka yang didepan
rendah) itu lebih baik dari pada mereka (yang memandang rendah) 175Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 604
Pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir menunjukkan adanya
unsure kontinuetas serta penyempurnaan, hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab suci,
bahwa setiap umat Islam harus mengimani para Nabi, hal inilah menunjukkan sikap
kontinuetas, serta penjelasan dalam kitab suci, bahwa agam yang dibawa oleh para Nabi
adalah Islam. Jelas dalam hal ini mengandung makna unsure kontinuetas agama-agama
Tuhan dan dengan begitu juga unsure persamaan dasar, yaitu Tuhan yang sama.
B. Teologi Inklusif dan Kalimatun Sawa sebagai Teologi
Agama `diyakini dan dirasakan oleh para pemeluknya sebagai sumber
ketengan.Karena agama agama member arah serta makna hidup yang pasti. Dan
setidaknya agama telah diyakini sebagai kebenaran yang pasti, serta berbeda dengan
kebenaran ilmiah dan filsafat yang mengandung berbagai kemungkinan dan selalu
menyisakan ruang keraguan.kebenaran ilmiah akan tetap terus melahirkan keraguan dan
kritik terus menerus, begitu pula dengan kebenaran filsafat yang radikal secara kritis telah
berjasa bagi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman.
Sedangkan agama, secara gramatikal berarti tidak kacau, menurut wuraish yang
penulis ambil dari Qomaruddin Hidayat , mendefinisikan agama sebagai hubungan
manusia dengan satu kekuatan yang jauh melebihinya dimana manusia patuh kepada
sebuah kekuatan, yang kemudian kata “kekuatan” di sini diartikan sebagai sang pencipta
alam, yaitu Tuhan.176 Dan untuk itu kebenaran yang dimiliki ketiganya akan tetap ada,
sebab pada sejatinya, Agama, filsafat dan ilmu pengetahuan akan saling melengkapi satu
sama lainnya.
176 Qomaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Nouroa Book, 2012), h. VI
Namun, terlepas adanya interpretasi akan adanya berbagai pendapat dan sikap
orang terhadap agama, yang jelas peranan agama dalam perkembangan dewasa ini masih
tetap hidup dan tradisi yang dilahirkannya terus dijaga dan dibela oleh pemeluknya pada
setiap zaman. Bahkan tidak sedikit ada yang membela dengan cara “mengangkat pedang
dan menanam bom”. Berangkat dari pernyataan tersebut, peran dan fungsi agama menjadi
kerdil bahkan tidak sejalan dengan cita-cita awal agama itu sendiri untuk memberikan
kedamaian dan ketenangan batin bagi setiap pemeluknya. Seolah-olah agama menjadi
senjata bagi mereka untuk melakukan gerakan-gerakan dakwah yang sifatnya memaksakan
ummat lain untuk ikut dan taat pada agama yang dianutnya. Hal semacam itu didasari
dengan dalih semangat “jihad” atau tegaknya “kerajaan Tuhan” di muka bumi, dengan
adanya sikap seperti itu merupakan sikap eksklusi dalam beragama.
Munculnya gerakan-gerakan sosial seperti radikalisme atau pun kekerasan atas
nama agama yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak manusiawi merupakan salah satu
dampak akan adanya sikap ekslusif dalam beragama. Jelas sekali hal semacam ini perlu
adanya suatu resolusi yang berarti untuk dapat menuntaskan segala konflik sosial yang
didasari semangat keagamaan.
Seperti yang telah diketahui, bahwa Indonesia menganut ideologi Pancasila
sebagai suatu ideologi yang mengatur cara berkehidupan bangsanya yang multi-kultur.
Dengan keragaman yang dimilikinya, Indonesia harus mampu mewujudkan tatanan sosial
yang toleran di tengah-tengah pluralisme masyarakat Inodnesia. Manakala asumsi orang
yang mengatakan bahwa wajah agama dalam ranah realitas kehidupan kita sekarang ini
ada yang berwajah garang, ada pula yang berwajah menyejukan. Ada yang ramah, dan ada
juga yang menakutkan. Namun demikian, hal tersebut dapat disikapi dengan bijak dan
toleran dengan membentuk paradigma berpikir yang tepat dengan kondisi bangsa
Indonesia yang plural.
Cak Nur merupakan sosok pemikir Islam kontemporer yang memiliki wawasan
ke-Islaman yang luas, bahkan ia sempat disinggung bahwa pernah “berguru” langsung
pada Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer dari Pakistan. Dengan modal
wawasan yang dimilikinya itu, ia mampu melahirkan ledakan pemikiran terkait
pandangannya yang didasarkan pada kehidupan sosio-kultur masyarakat Indonesia yang
majemuk. Di tengah-tengah kegersangan berpikir, ia mampu tampil membawa dobrakan
yang berarti bagi laju perkembangan umat beragama di Indonesia, khususnya Islam.
Dalam upaya merealisasikan pembaruan pemikirannya tentang kondisi Islam di
Indonesia, Cak Nur berpandangan bahwa pentingnya umat memahami esensi Islam itu
sendiri. Yang terpenting bagi Cak Nur, bahwa Islam tidak terletak pada simbol atau
penampakan simboliknya. Akan tetapi yang paling utama adalah bagaimana umat
diarahkan kepada nilai-nilai esensial Islam yang membebaskan.177 Di Indoensia
keragaman agama dan budaya yang memiliki tempat yang sama di depan hukum dan
Negara meskipun mayoritas rakyatnya beragama Islam. Dengan demikian, setiap agama
selalu tumbuh berkembang bersama tradisi dan kondisi geografis setempat.178 Hal ini
merupakan landasan kemunculan pemikiran terkait pluralisme keberagamaan.
Jargon Cak Nur yang cukup popular saat itu adalah “Islam, yes! partai Islam,
no!” yang merupakan penegasan ihwal penting atas esensialitas keberagamaan sebagai
sarana menuju yang transenden, agar umat bisa keluar dari kungkungan simbol-simbol
yang tidak membebaskan. Hadirnya jargon tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya
parpol-parpol yang (sengaja) memakai nama Islam sebagai simbol untuk menarik
dukungan sebanyak-banyaknya. Upaya Cak Nur dalam mengarahkan umat kepada nilai-
nilai esensial Islam pada satu sisi karena kemunculan Orde Baru yang telah meminggirkan
politik Islam. Dan pada sisi yang lain, kebenciannya terhadap ideologi komunisme
177 Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 34 178 Qomaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa,, h. 223-224
mendorong rezim militer mempromosikan pengajaran agama. Akibatnya, saat Islam
politik mandul, ketertarikan orang-orang terhadap Islam justru kian meningkat.179
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Cak Nur
merupakan sebuah bentuk sikap antisipasi yang didasari oleh komitmen keberagamaan
dalam menatap masa depan umat Islam Indonesia. Sikap antisipasi itu muncul di tengah
semakin maraknya umat digiring ke arah yang bersifat simbolik dan cenderung melupakan
yang esensial. Inilah sebuah paradoks keberagamaan yang lahir dari idealisme utopis. Pada
satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di bawah payung partai Islam, dan pada sisi yang
lain mereka lupa meniupkan nilai-nilai keIslaman sebagai nafas perjuangan.180
Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif
dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua,
tanpa eksklusifisme komunal. Orang muslim harus secara otentik mengembangkan paham
kemajemukan masyarakat (pluralisme sosial), dituntut pula kesanggupan mengembangkan
sikap-sikap saling menghargai antar sesama anggota masyarakat, dengan menghormati apa
yang dianggap paling penting pada masing-masing orang dan kelompok. Nilai-nilai
universal selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia.
Nilai-nilai universal itu harus diikatkan kepada kondisi-kondisi nyata ruang dan waktu
agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial. Dan dalam
perkembangannya, Islam selalu dihadapkan dengan tantangan modern yang didalamnya
terdapat keanekaragaman kehidupan baik pemikiran maupun agama.181
Kecenderungan masa kini iptek yang mewakili faktor modernisme telah
bersinggungan keras dengan kaum agamawan dalam hal ini Islam, sehingga kezumudan
berfikir ummat terus tertanam. Dengan demikian, Islam harus senantiasa menyesuaikan
179 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h.
16-17 180Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 56 181 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,, h. 28
dengan semangat zaman yang ada.182 Berbeda dengan agama, gerakan modern mencakup
wilayah yang luas dari berbagai kelompok dengan ragam pemikiran, walaupun bersatu
pada rasa kecemasan terhadap kehidupan masa kini. Sisi gelap dari gerakan ini
menggambarkan rasa putus asa, yang berbicara tentang kehancuran yang tak terelakan dan
kebenaran serta kepastian yang tidak mungkin dicapai.183 Untuk memberikan resolusi atas
pertentangan kaum modernis dengan agamawan adalah dengan mendamaikan diantarnya
dengan suatu sikap yang disebut dengan inklusifisme dan pluralisme dan toleransi dalam
beragama.184
Hubungan agama dan agama-agama harus dirawat dengan sikap toleransi dengan
memahami bahwa Allah telah mendamaikan dirinya dengan orang yang tidak bertuhan
(berikut dengan agamanya) melalui anugerah, seperti kesabaran (pengendalian diri) yang
ditunjukkan oleh Kristus. Secara analogis, agama lain harus dilihat seperti manusia yang
keras kepala dilengan ibunya, dimana Allah tetap melakukan tindakan penyelamatan
walaupun ia ditentang. Dalam hal ini, toleransi bukanlah merupakan suatu semangat untuk
bersikap tidak berlebihan terhadap penganut dan religiusitas agama lain. Toleransi yang
dimaksud adalah melatih pengendalian diri terhadap mereka yang telah mengatakan pada
diri mereka sendiri bahwa iman mereka bukanlah satu-satunya iman, bahwa fanatisme
adalah hal yang buruk, bahwa kasih harus selalu menjadi kata pertama dan terakhir.185
Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk
mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun praktis
dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama. Antara lain dan
paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antarumat
182 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,, h. 30 183Frans Magnis & Suseno. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1988), h. 78 184 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,, h. 43 185Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,(Bandung: Mizan,
1997), h. 132
beragama. Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog yang
digarisbawahi oleh para ahli. Pertama adalah toleransi, dan Kedua adalah Pluralisme.186
Begitu pula dengan sekularisasi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia
tertutup yang baru yang berfungsi sangat mirip dengan agama.187 Dalam hal ini, yang
dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan
ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi
membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana
yang temporal. Lebih lanjut lagi, Cak Nur mengatakan,
Sekularisasi, dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai
“khalifah” Allah dimuka bumi. Fungsi sebagai khlaifah Allah memberikan
kebebasan memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan dan memilih
sendiri cara dan tindakan-tindakan salam rangka perbaikan hidupnya diatas
bumi.dan sekaligus member pembenaran akan adanya sebuah tanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan dihadapan Tuhan.
Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam kehilangan
kreativitasnya dalam hidup di dunia, sehingga memberikan kesan seolah-olah
mereka telah memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa dari pada berbuat salah.
Dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat Ijtihad.188
Dari sedikit penjelasan Cak Nur di atas, sangat erat kaitannya dengan konsekuensi
logis dari tauhid (tawhi>d: keyakinan), inilah sebagai sebuah keharusan, bahwa kaum
Muslim seharusnya bersikap realistis dan apa adanya terhadap kehidupan duniawi, dengan
menghadirkan desakralisasi sebab adanya desakralisasi kepada selain Tuhan itu namanya
syirik, sebagai antonym dari kata syirik.
Oleh karena itu, konsistensi terhadap gagasan kemajuan merupakan sebuah sikap
mental dengan sifat keterbukaan. Diantaranya dapat dikatakan adanya sebuah kesediaan
dalam menerima dalam mengambil nilai-nilai duniawi yang mengandung sikap kebenaran,
186Alwi Shihab, Islam Inklusif,, h. 15 187 Crles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tantang Isu-Isu
Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 488 188 Crles Kurzman, Wacana Islam Liberal,, h. 487
yang diantaranya saling menghormati, saling menjaga kemajmukan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebab adanya sikap terbuka, merupakan sebuah petunjuk Tuhan
Yang Maha Esa Qs.Azzumar; 18.189
Terlepas dari perbedaan penafisiran firman-firman Allah dalam ayat-ayatnya.
Namun harus diakui bahwa firman-firman dalam kitab suci telah banyak membangun
keunikan dalam kehidupan keagamaan, diantaranya yaitu sikap-sikap yang didasari oleh
kesadaran tentang adanya kemajmukan keagamaan (religious pluralisme),190 dengan
sikap-sikap toleransi, keterbukaan, dan fairness (keadilan) yang sangat menonjol dalam
sejarah Islam.
Sikap keterbukaan yang sangat menonjol dalam Islam juga telah digambarkan
oleh seorang pengamat, Max I Dimont, yang diambil dari Cak Nur;
“… Tatkala kaum Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka
adalah kelompok manusia yang telah berumur 2,500 tahun.
Bagi kaum Yahudi, tidak ada tidak ada yang lebih terasa terasing dari peradaban
Islam yang fantastis, yang muncul dari debu padang pasir pada abad ke tujuh ini.
Tetapi, juga tidak ada yang lebih mirip. Meskipun, Islam mewakili suatu peradaban
baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan social baru yang dibangun di atas
ekonome baru, namun Islam menyerupai “prinsip kebahagiaan intelektual” yang
diwadahi dengan baik, yang pernah dihadiahkan kepada kaum Yahudi seribu tahun
yang lalu ketika Iskandar Agung membuka pintu helenistik kepada mereka.
Sekarang masyarakat Islam membuka pintu masjid mereka, sekolah-sekolah mereka
dan kamar tidur mereka untuk pindah agama, pendidikan dan pembaruan, tantangan
orang Yahudi, ialah bagaimana cara berenang dalam semerbak ini tanpa harus
tenggelam, ataud alam sosiologi modern bagaimana cara menikmati kenyamanan
somatic, intelektual, dan spiritual yang ditawarkan oleh mayoritas Islam yang
dominan tanpa lenyap sebagai minoritas marginal.
Kaum Yahudi melakukan hal yang wajar saja. Mereka tinggalkan para penulis kitab
keagamaan yang kuno, dan mengangkat dan mengangkat ahli-ahli baru. Mereka
(Yahudi) bukan menolak peradaban Islam, bahkan mereka sangat menerimanya.
Mereka menolak menjadi fosil-fosil yang terparokialkan, dan mereka bergabung
dengan masyarakat baru, yang sedang bergerak itu anggota pendukungnya. Bahasa
Arab menjadi bahasa Ibu mereka, khamar perempuan dan lagu-lagu duniiawi
menjadi hiburan mereka diwaktu luang; filsafat, matematika, astronomi, diplomasi,
189 “… Harus mendengar dan mengikuti ide-ide dan mengikuti yang paling baik…” 190 Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 188
kedokteran dan sastra, merupakan kesibukan mereka sepenuh waktu. Bangsa Yahudi
belum pernah mengalami hal sebaik itu.191
Dari kutipan di atas, dapat kita lihat, begitu terbukanya masyarakat Islam klasik,
sehingga agama yang telah sejak 2500 tahun sebelumnya juga ikut menikmati peradaban
Islam kala itu. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi landasan dasar atas kebebasan
beragama dalam Islam. Namun menurut Cak Nur kebebasan orang Islam saat ini sama
halnya dengan kebebasan dengan masa masa klasik atau mungkin dapat dikatakan bahwa
kebebasan pada saat ini hanyalah sebuah perkembangan dari kebabsan yang telah terjadi
pada zaman dahulu.
Sebagai contoh, bahwa kebebasan beragama pada masa klasik merupakan sebuah
perjanjian yang dibangun oleh Umar Ibn Khattab dengan penduduk Yarusalem atau bait
al-Maqdis, al-Qud (juga disebut Aelea), bunyi perjanjiannya seperti ini:
Dengan nama Allah yang Maha Esa Maha Pengasih dan Penyayang.
Inilah jaminan keamanan yang diberikan Ibnu Umar kepada penduduk Aelia:
Ia menjamin keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja dan salib-
salib mereka, baik dalam keadaan sakit atau sehat dan untuk mereka secara
keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan di duduki atau dirusak, dan juga tidak
akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari
lingkungannya, serta tidak dari salib mereka. Mereka juga tidak akan dipaksa untuk
meninggalkan agama-agama mereka dan tidak boleh seorangpun dari mereka boleh
diganggu, dan di Aelia tidak seorang Yahudipun boleh ditinggal bersama mereka.
Atas penduduk Aelia, mereka diwajibkan membayar jizyah, sebagai jizyah itu oleh
penduduk kota-kota lain (di Syiria). Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-
orang Romawi dan kaum al-Lasut dari aelea. Tetapi jika mereka orang-orang
Romawi akan keluar ada yang keluar meninggalkan aelea, maka ia dijamin aman
dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi). Dan
jika ada yang mau tinggal, maka iapun dijamin aman, serta berkewajiban juga
membayar Jizyah, seperti halnya penduduk Aelia. Dan jika ada orang Aelia yang
lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta
meninggalkan Gereja-Gereja dan salib-salib mereka.maka keamanan mereka dijamin
berkenaan dengan dengan jiwa mereka. Gereja mereka dan salib-salib mereka
diamin aman aman saman sampai kepada daerah keamanan mereka. Dan
barangsiapa yang telah berbeda disana (Aelia) dari kalangan penduduk setempat
(Syiria) sebelum terjadinya perang tertentu (perang pembebasan Syiria oleh tentara
Muslim), maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan, tetap tinggal, maka Ia
diwajibkan membayar Jizyah seperti penduduk Aelia. Dan jika ia menghendaki,
191 Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 192-192
mereka boleh bergabung dengan penduduk Romawi. And jika mereka mau, mereka
boleh kembali kepada keluarga mereka. Sebab tidak boleh ada sesutupun dari
mereka yang boleh diambil sampai mereka memetik panenan mereka.
Dan atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan
Rasul-Nya, perlindungan para Kholifah dan perlindungan kaum beriman. Jika
mereka penduduk Aelia, membayar jizyah menjadi kewajiban mereka.
Menjadi saksi dalam perjanjian ini Khalid ibn al-Walid, Amr ibn al-Ash,
Abdurahman Ibn Awf, dan Muawiyah Ibn Abi Sofyan, ditulis dan disaksikan pada
pada tahun lima belas (Hijriyah).192
Dari perjanjian di atas, yang kemudian dikenal dengan piagam madinah,
merupakan sebuah perjanjian yang sangat menarik, dan selalu menjadi obrolan para
sarjana modern, sebab perjanjian itu merupakan sebuah perjanjian politik pertama. Jadi,
dapat dikatakan bahwa perjanjian itu merupakan sebuah poerjanjian kemanusiaan, yang
mempunyai semangat cita-cita permaian, sebab dalam ajaran Islam pemaksaan untuk
mengajak seseorang menjadi satu Alur dengan kita (kepercayaan) merupakan perbuatan
yang tidak dibenarkan, sehingga, kaum beriman diperintah untuk menerima pluralitas
masyarakat manusia sebagai kenyataan, sekaligus sebagai tantangan.
Berdasarkan keterangan di atas, menarik untuk diperhatikan, bahwa wacana al-
Quran dapat dengan mudah mendukung etika perbedaan toleransi dan pluralisme. Al-
Quran tidak hanya mengharapkan, melainkan juga menerima kenyataan perbedaan dan
keragaman dalam masyarakat. Para penafsir klasik tidak seutuhnya mengeksplorasi
implikasi dari dibiarkannya keragaman, atau pola interaksi social yang lahir dari
masyarakat yang saling mengenal (li ta’a>>rafu>). Al-Quran juga tidak memberikan sebuah
aturan atau perintah khusus mengenai bagaimana pengetahuan “bangsa-bangsa dan
bersuku-suku” diperoleh. Namun, tidak bias dipungkiri, bahwa terdapat sebuah keragaman
sebagai tujuan utama penciptaan.193
192 Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 194 193 Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung,
2011), h. 289
Dengan demikian, sangat layak untuk dikatakan, bahwa peradaban Islam adalah
peradaban yang pluralistic serta sangat toleran terhadap berbagai kelompok social dan
keagamaan. Adapun untuk menyikapi kemajmukan penting untuk melihat potensi
pluralitas masyarakat, bagaimanapun juga, konteks global yang terjadi sekarang, tidak ada
orang yang bisa hidup dalam kelompok komunitasnya saja. Cepat atau lanbat, pasti akan
dipaksa untuk membangun komunikasi dengan kelompok lain.
Cak Nur sebagai seorang yang Inklusif, atau oleh sebagian orang cendikiawan
menyebutkan sebagai tokoh Muslim terkemuka di Indonesia,pikiran keislamannya cukup
sangat luarbiasa dengan landasan utamanya keindonesiaan dan kemudernan, dua point itu
itu merajut pada tiga deminsi utamanya, yaitu keislama, keindonesiaan dan kemuderenan,
dan memilih kata peradaban sebagai landasan utamanya.194
Menurut Cak Nur, setelah melihat perkembangan dewasa ini, serta setelah bangsa
Indonesia dijajah begitu lama, bangsa Indonesia membutuhkan sebuah corak keberagaman
dalam kehidupannya dengan menggunakan beberapa kata kunci, yaitu terbuka, adil dan
demokratis, menurut budhy Munawwar Rachman tiga kata kunci ini merupakan sebuah
landasan yang utama untuk mencapai keislaman yang hanif (al-Ha>ni>fiyah al-Samh}ah)
yaitu keislaman yang terbuka pada kebenaran, serta membawa pada kelapangan hidup.195
Pikiran-pikiran Cak Nur tentang Islam inklusif didasarkan pada kearifan Islam
klasik yang diberi kontek baru dengan pergulatan Islam di Indonesia yang terjadi pada saat
ini. Sebetulnya, jika di lihat kembali, pemikiran Cak Nur bukan hanya menyumbangkan
untuk umat Islam, tetapi lebih jauhnya sebagai corak yang sangat mendukung tentang
konsep kebangsaan didaerah demokrasi seperti Indonesia. Islam Inklusif yang dibawa Cak
Nur telah member ruang yang selebar-lebarnya untuk membangun sebuah komitment
bersama, yang disebut kalimah sawa>>(titik temu agama-agama). Sebab bagi Cak Nur,
194 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama,, h. 18 195 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 145
Keislaman yang inklusif akan mendorong umat Islam Indonesia, untuk member yang
terbaik untuk kemajuan bangsa Indonesia.196
Pemikiran Cak Nur tentang Islam Inklusif merupakan sebuah inti dari pemikiran
keislamnnya, islam inklusif, berada pada titik berat pada tiga eminsi yang telah disebutkan
di atas (keislaman, keindonesiaan, kemodernan), sehingga dapat dikatakan keislaman
inklusif yang ditawarkan Cak Nur dapat member sebuah wajah baru, yaitu keislaman yang
Indonesia atau keislaman yang modern.
C. Teologi Inklusif Dan Tantangan Modernitas
Seorang ahli filsafat Islam Indonesia, Harun Nasution mengatakan persoalan yang
memicu terjadinya konflik intelektual untuk pertama kalinya adalah keterkaitan
pembahasan tentang masalah hubungan agama dan Negara.197Perbincangan mengenai
agama dan Negara dimulai dari tidak adanya garis pembatas yang sangat jelas diantara
keduanya.Sehingga dari permulaan inilah menjadi meluas sedemikian rupa, sehingga pada
akhirnya sampai pada sebuah wacana yang disebut dengan “Negara Islam”.
Sesunggunya, diskusi-diskusi mengenai hubungan antara agama dan Negara
bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam.198Tetapi, pembiraan antara keduanya
ini sungguh sangat mengesankan, ekpresif dan kompleksitas dalam sejarah kehidupan
manusia, terutama pada masa-masa kontemporer seperti sekarang ini, pembicaraan
mengenai agama dan Negara begitu sangat dinamis.199
Pengalaman tentang agama dan Negara pada zaman modern seperti sekarang ini,
begitu sangat ironis dengan munculnya stigma yang mungkin sangat menggangu
196 Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama,, h. 22 197Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme,, h. 192 198Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, h. 192, Lihat, Franz Magnis Suseno,
Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moder, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 355-366 199Budhy Munawwar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 588, Lihat, Nurcholish Madjid, Agama dan Negara dalam Islam; Telaah atas Fiqih
Siyasi Sunni, (Tanpa halaman dan Tahun).
kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti stigma teologis kafir, murtad, syirik dan lain
sebagainya. Namun, terlepas dari kompleksitas stigma-stigma tersebut, hubungan antara
agama dan Negara dalam, telah diberikan teladannya oleh nabi Muhammad SAW, ntah
apapun makna yang akan di berikan dengan masalah ini.
Cak Nur, sebagai seorang intelektual Muslim Indonesia, telah memberikan banyak
pengaruh tentang pandangan keislaman dan keindonesiaan. Pendapat ini dapat ditunjukkan
dengan penafsiran beliau tentang kehidupan nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekkah
ke Madinah (Madinah: kota, peradaban), nama yang diberikan nabi untuk menggantikan
nama sebelumnya Yatsrib, menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi, berperadaban untuk
menghasilkan negara bangsa (nation state), yaitu Negara yang dapat memberikan
ketenangan kepada seluruh warganya demi sebuah kemaslahata.200
Menurut budhy Munawwar Racman praktek intoleransi keagamaan, khususnya
dalam sepuluh tahun terakhir, telah menimbulkan kekhawatiranbanyak pihak. Tapi yang
lain juga mendorongsebagian kalangan cendikiawan muslim untuk mencari solusi
persepektif keagamaan yang terbuka pada perubahan.201 Nah di sinilah maksud dari budhy
munawwar Rachman, yaitu persepektif yang pernah dibangun oleh cak Nur dahulu, yaitu
rumusan tentang apa yang disebut dengan Islam inklusif. Budhy Munawwar Rachman
melanjutkan:
Apa yang dirintis Cak Nur sejak 1992 telah mengolohkan satu persepektif mengenai
demokrasi secara umum, termasuk di dalamnya pluralisme yang secarab konseptual
filosofis, dapat mendukung sepenuhnya perlindungan toleransi dan kebebasan
beragama di Indonesia.Karena Cak Nur sadar, tanpa pandangan keagamaan yang
inklusif, tatanan demokrasi tidak dimungkinkan dapat berjalan dengan sempurna.
Oleh karenanya beliau mencari landasan titik temu kagamaan.
Medel keberagamaan itu yaitu “Islam yang hanif” atau bahasa yang lainnya “Islam
inklusif”. Islam inklusif yang di cetuskan Cak Nur ini sebetulnya bukan sesuatu
200Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 48 201Trisno S. Susanto, Titik Temu Agama-Agama, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/mencari-titik-temu-agama-agama
yang asal jadi begitu saja melainkan hasil dari perenungan Cak Nur yang diambil
dari sebuah ayat suci pesan Tuhan (al-Quran), yaitu kalimah sawa>,yaitu suatu
agama yang dalam tingkatan transinden bertemu dalam satu ultimate concern,
sementara dalam tingkatan imanen dalam keprihatinan etis.
Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keberagamaan yang berbeda
sama sekali. Masyarakat memerlukan model keberagamaan yang lebih inklusif,
terbuka, adil, dan demokratis.System seperti inilah yang oleh cak Nur disebut
sebagai Islam yang hanif, yakni keislaman yang terbuka pada kebenaran serta
membawa pada kelapangan hidup seluruh bangsa terutama bangsa Indonesia.
Dari sedikit penjelasan budhy Munawar Rachman di atas, menunjukkan jika
system yang ditawarkan oleh Cak Nur berjalan dengan lancer, itulah kemenangan Islam
yang susngguhnya.Kemengan Islam adalah kemengan sebuah ide, sebuah cita-cita, tanpa
terkecuali siapapun yang mempunyai ide tersebut. Menurt Cak Nur, kemenangan Islam di
sini, bukanlah kemenangan Ummat Islam, apalagi kemengan pribadi-pribadinya.
Lihatlah idenya, jangan melihat siapanya, sebab itulah pemahaman kita (umat
Muslim) kepada Islam. Pemahaman Islam dalam hal ini, yaitu pemahaman Islam
yang terbuka, yang karena keterbukaannya itu Is bersifat Inklusif dan mampu
menjadi rahmat kepada seluruh alam. Kemenangan Islam adalah bentuk kebahagiaan
setiap orang, atau bahkan lingkup besarnya yaitu kebahagiaan mahluk.
Di sini, disebut Inklusif, karena Islam mengakui adanya agama-agama lain, malah
mengisyaratkan bahwa para penganut agama-agama itu bisa juga memperoleh
kebahagiaan. Karena watak yang tertanam dalam Islam adalah watak inklusif bukan
watak yang eklusif. Dan bersifat ngemong kepada agama atau bahkan kepada
golongan lain, sebagaimana dalam sejarahnya sendiri. Semangat itulah yang harus
kita (umat Muslim) bangun kembali.202
Dari penjelasan Cak Nur di atas, menunjukkan bahwa dalam ajaran setiap agama,
terutama dalam agama Islam, ada sebuah perintah yang sering kali di lupakan oleh banyak
orang, yaitu ajaran tentang tali hubungan sesame manusia, atau bahasa lainnya sebagai
dimensi social kehidupan bersosial. Sebab, dari kehidupan bersosial, manusia diperintah
untuk selalu bekerjasama, berhunbungan dengan sesame manusia secara baik.
Oleh karena itu, dalam setiap pilihan, manusia dituntut untuk meninggalkan yang
merugikan.Apalagi dalam pilihan tersebut adalah taruhan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegera (kepentingan masyarakat), sebaiknya tidak mengambil resiko yang sangat
202Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan,, h. 279
banyak.Namun, harus diakui juga, bahwa pada akhirnya semuannya harus kembali kepada
keputusan individu, ialah dengan berdasarkan kepada pertimbangan hati nurani masing-
masing.
Nilai-nilai persaudaraan yang di gembar gemborkan oleh cak Nur dan para
koleganya, ialah disebut dengan etika persaudaraan, nilai ini terdapat di dalam kitab suci
“sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara”203 ikatan persaudaraan ini oleh
udhy munawwar Rachman disebut dengan ukhu>wah basyariyyah (persaudaraan
kemanusiaan),204 pendapat ini juga didukung oleh al-Quran dalam surat al-Hujarat 13.205
Tujuan utama yang ingin di bangun dari konsep islam inklusif ialah kemajmukan dalam
kehidupan bernegara.
Nilai atau etika persaudaraan tidak hanya didengungkan oleh cak Nur, melainkan
praktek ini telah di bangun oleh Nabi Muhammad, yaitu persaudaraan yang universal,
terbuka, yang disemangati oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nabi telah mencontohkan, bahwa
dalam membangun persaudaraan yang pertama-tama yang harus dilakukan yaitu
menentang fanatisme.Dalam ungkapan yang sangat populer, yaitu “bukan pengikutku
mereka yang mengkampanyekan fanatisme buta.Bukan pula pengikutku orang yang
menyabung nyawa demi fanatisme. Dan, tidak masuk golonganku mereka yang tewas
terbunuh hanya untuk mempertahankan fanatisme.206
Dalam hubungan social dam masyarakat, promordialisme akan dapat menjungkir
balikkan nilai-nilai kebenaran. Sudut pandang kebenaran fanatisme dijelaskan dengan
pepatah Arab yang menegaskan bahwa sudut pandang kemarahan akan selalu menyingkap
keburukan-keburukan pihak lain. Secara kongkrit, dalam hubungan social, fanatisme
203Qs. al-Hujarat. 10 204Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, , h. 96 205Wahai manusia, sesungguhnya kami ciptakan laki-laki dan perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar supaya kamu saling mengenal.Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu adalah orang yang bertakwa. 206Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif,, h. 103
hanya memandang keburukan kelompok lain, serta tidak ada upaya atau etos untuk
melakukan intropeksi dan koreksi kedalam kelompok.
Fanatisme buta lebih membawa keterbelakangan, bahkan kehancuran bagi para
penganutnya. Karenanya, kalangan ulama menciptakan Istilah tentang persaudaraan di
lingkungan umat Islam, yang mana Istilah ini biasanya disebut dengan ukhu>wah
isla>miyyah (persaudaraan Islam), dalam al-Quran istilah ini disebutkan innama> al-
mu’minu>na ikhwah (sesungguhnya, orang yang beriman itu adalah saudara).207
1. Manusia sebagai khalifah al-ard
Setelah melihat biografi Cak Nur yang telah dijelaskan pada bagian ketiga, dan
juga sedikit pandangan teologis Cak Nur yang telah penulis jelaskan pada bagian kedua,
akan tampak dengan sangat jelas rekonstruksi teologi social Islam. Umat Islam tidak boleh
kehilangan tugas sucinya sebagai penuntut sikap keadilan. Sebab, bagi Cak Nur,
kemengan Islam adalah kemengan ide, cita-cita, sikap hidup, bukan kemengan seseorang
atau individu,208 atau dalam istilah yang popular dewasa ini menumbuhkan masyarakat
madani (civil society) yaitu masyarakat yang berbudy luhur, berahlak mulia dan
berperadaban, seperti yang dicontohkan pada masa Nabi dan masa Khila>fah ra>syidah.
Dalam merelevansikan Madinah dengan konteks Indonesia, Cak Nur
menganalogikan Pancasila dengan Piagam Madinah, karena menurut beliau kedua-
keduanya sebagai common platform “Kalimah sawa>>”antara berbagai macam kelompok
dan agama. Walau pancasila sebagai etika bangsa dan mantap pada tingkat formal-
konstitusional, tetapi penyatuannya semua diperoleh dari beberapa (termasuk sumber
Islam),209 seperti yang akan dijelaskan berikut ini:
207Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme,, h. 98 208Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 175 209Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, , h. 184
Ada sumber-sumber pandangan etis yang meluas dan dominan, yang secara sangat
potensial menjadi ragi pandangan etis bangsa secara keseluruhan, dan yang bias
dijadikan bahan pengisian wadah etika Pancasila, yaitu;
Pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling baiknya dan
penampakan paling dinamisnya ialah bangsa Indonesia; Kedua, etika kemodernan
yang merupakan akibat langsung keberadaan kita di abad modern; Ketiga, etika
Islam, yang sebagai anutan rakyat merupakan agama paling luas yang menyebar
diseluru tanah air, dan yang peranannya diakui oleh ahli sebagai perata jalan untuk
tumbuhnya paham-paham maju dan modern dikalangan rakyat Indonesia, khususnya
dalam bentuk faham persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta
penghargaan kepada adanya hak-hak pribadi.210
Dalam kehidupan bersosial, sungguh sangat dibutuhkan sebuah teologi
bermasyarakat, sangatlah dibutuhkan teologi agama-agama melalui pencarian “Titik Temu
Agama-agama”.Metode ini dilakukan dengan menggunakan metode filsafat perenial
(perenialisme). Secara etimologi, istilah filsafat perenial berasal dari Istilah latin, yaitu,
philosophia parennis yang secara harfiah berarti filsafat yang abadi. Filsafat parenial
adalah filsafat yang abadi, hikmah abadi atau dapat juga disebut dengan hakikat abadi
istilah-istilah ini biasanya muncul dalam wacana filsafat.
Sedangkan dalam istilah agama, agenda-agenda yang dibicarakan adalah
pertama.Tentang talian wujud yang absolut, sumber dari segala wujud Tuhan yang maha
benar adalah satu. Dan hingga semua agama yang muncul dari Yang Satu pada prinsipnya
adalah sama. Kedua, filsafat parenial ingin membahas fenomena pluralisme agama secara
kritis dan kontemplatif.Meskipun agama yang benar hanya satu. Tetapi karena
diturunkannya pada manusia dalam sprektrum historis dan sosiologis maka ia tampil
dalam formatnya yang pluralistik. Sehingga setiap agama mempunyai kesamaan dengan
agama yang lain, sekaligus memiliki kekhasan sehingga berbeda dari yang lain. Ketiga,
filsafat parenial berusaha menelusuri seseorang atau kelompok melalui akar-akar
210Nurcholish Madjid dan Mohammad Roem, Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik
Nurcholish Madjid-Mohammad Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997), h. 75
kesadaran religiousitas seseorang atau kelompok melalui symbol, ritus serta pengalaman
keagamaan.211
Menurut Qomaruddin Hidayat, filsafat parenial berpendapat, hakikat keagamaan
yang benar adalah satu. Namun, karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak
simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk bahasa agama tidak dapat dielakkan
dalam realitas sejarah atau dalam ungkapan lain, pesan kebenaran itu ikut dan bersimbiose
dalam dialektika sejarah.212
Mengatakan bahwa Islam adalah agama universal, sama halnya dengan mengakui
bahwa bumi bulat, hal itu bener untuk masa-masa saat ini. Sepertinya benar jika dikatakan,
bahwa tidak semua penganut Islam sendiri menyadari makna universalisme Islam. Contoh,
mungkin semua orang akan heran jika dikatakan bahwa bumi adalah bulat, karena tidak
ada garis lurus dipermukaan.
Kebanyakan orang Muslim dalam percakapan sehari-hari mengemukakan, bahwa
agama mereka adalah “sesuai dengan segala zaman dan tempat” atau dalam bahasa
Arabnya “al-Isla>m sha>hih li kulli zaman wa maka>n”. Hal ini dibuktikan dengan antara lain
oleh pengamatan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras,
dan kebangsaan dengan kawasan yang meliputi semua cirri klimatologis dan geografis.213
2. Keadilan.
Pada dasarnya, setiap kelompok keagamaan melihat pada masa lampaunya dalam
lukisan ideal. Namun, perbedaan orang muslim dengan komunitas lainnya. Tetapi, untuk
umat Islam sendiri, ada perbedaan yang sangat jelas, yaitu orang muslim modern bias
melihat banyak dukungan kenyataan historis untuk memandang masa lampau yang
211Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, , h. 267 212Qomaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Persepektif Filsafat
Parenial, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 6 213Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 245-426
menurut Cak Nur (dalam literature keagamaan) disebut sala>f (klasik) atau al-Salaf al-
Sha>lih (Klasik yang saleh) dan atau bias juga disebut al-Sadr al-Awwal (Inti pertama)
pada masa selain zaman nabi Muhammad SAW masa para sahabat Nabi dan Ta>biu>n (para
pengikut Nabi).214
Adil dalam al-Qur’an diistilahkan dengan kata a>dl dan qist}.Keadilan sangat erat
kaitannya dengan Ihsan, yaitu sebuah keinginan untuk selalu berbuat baik dengan penuh
ketulusan.Dalam pandangan Cak Nur, adil (a>dl) sebagai bentuk keseimbangan dan
menengahi dalam dalam semangat moderasi dan toleransi, yang oleh beberapa tokoh
teologi Islam juga disebut sebagai pertengahan (wasath).
Secara harifiah, kata adl adalah kata benda abstrak, berasal dari kata kerja adala
yang berarti; pertama, meluruskan atau duduk lurus, mengamandemin atau mengubah;
kedua, melarikan diri, atau mengelak dari jalan yang keliru menuju ke jalan yang benar;
ketiga, sama, sepadan atau menyamakan; keempat, menyeimbangkan atau mengimbangi
(state of equilibrium).215
Dalam kaitannya dengan keadilan, Tuhan tidak pernah mendiskriminasi, hal ini
diperkuat dengan firman Tuhan dalam Qs. 4;123-124,216 dari ayat ini dapat ditegaskan
bahwa Tuhan sebetulkan akan selalu berlaku objektif serta tidak akan memihak kecuali
hanya kepada kebenaran. Dilihat dari kontek ayat di atas, menunjukkan bahwa adanya
ganjaran baik untuk yang baik, dan juga sebaliknya ganjaran jahat untuk semua yang
jahat.217
3. Antar Iman dalam Kelompok Keagamaan.
214Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 185 215Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, , h. 71 216Ganjaran Tuhan itu bukan angan-angan kosongmu, dan pula tidak menurut angan-angan
ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki atau perempuan dari kalangan orang yang
beriman, maka mereakan masuk ke dalam surgadan mereka tidak akan dizalimi (diperlakukan secara tidak
adil) sedikitpun. 217Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif;, h. 47-48
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, konsep keimanan
sangat erat kaitannya dengan keimanan, dan dalam kontek ini dapat difahami sebagai
bentuk kesejajaran antara sesama manusia.Barang tentu sangat logis, jika iman harus
berkaitan dengan faham kemajmukan.Dan bahkan menurut Cak Nur, faham kemajmukan
adalah taqdi>r (suatu kepastian Allah).
Oleh sebab itu, demokrasi menuntut adanya kesediaan dari pihak-pihak yang
bersangkutan untuk kemungkinan terjadinya kompromi atas dasar prinsipil, bukan
oportunisme (hanya semata-mata hanya mendapatkan keuntungan untuk dirinya
sendiri).Sehingga semuanya harus dirangkul, khususnya budaya-budaya yang berkembang
di daerah sebagai kearifan yang dapat memperkaya budaya.Sebab prinsip utama dari
kebhinnekaan adalah mendorong berlangsungnya cross-curtural fertilization (penyuburan
silang budaya) untuk menjadikannya lebih unggul, seprti biasanya yang sering dilakukan
oleh penguasa totaliter.218
Nalar manusia tidak bisa memungkiri, bahwa hadirnya agama dimuka bumi ini
membawa pesan khusus, jika di dalam Islam, yaitu pesan yang dibawa oleh Muhammad
SAW, sebagai penyampai risalah keagamaan, untuk dijadikan pedoman khusus oleh umat
manusia. Namun, salah satu karakter yang terpenting dari pesan Islam adalah kemestian
agar difahami makna terdalamnya atau makna batinnya.Pesan agama yang dibawa oleh
Nabi, bukanlah hanya bentuk titah dari Tuhan kepada manusia, melainkan harus difahami
secara mendalam dari makna batinnya.219
Hampir semua ulamak Islam berpendapat, bahwa taka da pesan Tuhan yang
bersifat sia-sia atau tanpa kandungan maslahat di dalamnya. Maslahat merupakan kosa
kata dari bahasa arab al-maslah}ah , kata maslahat biasanya didefinisikan sebagai “segala
218Nurcholish Madjid, Indonesia Kita,, h. 90-100 219Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif,, h. 55
sesuatu yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Hal ini dapat di tandai dengan
banyaknya ayat al-Qur’an yang tentang apa manfaat maslahat bagi manusia.220
Selain dari apa yang telah dijabarkan di atas, lebih penting lagi, ialah bersyukur
kepada Tuhan, karena founding fathers (pendiri bangsa) telah meletakkan asas kenegaraan
dengan mengedepankan sifat atau prinsip bermusyawarah. Sistem bermusyawarah ini
merupakan point yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apalagi
di Indonesia bangsanya menganut agama yang tidak sama (Islam, Kristen, Protesten,
budha, hindhu dan konghucu dan juga tradisi local “aliran kepercayaan” yang masih
bertahan sampai saat ini).
Namun, harus diakui juga, bahwa system musyawarah yang ada bukanlah tidak
berdasar ataupun berdiri sendiri, melainkan terkait dengan prinsip lain yang tidak bisa di
pisahkan. Konsep musyawarah ini dikaitkan dengan al-Quran dan Hadist, bahwa manusia
adalah mahluk fitrah (suci dan bersih).Karena itu, kesucian diri sering diungkapkan secara
metaforfosis sebagai keadaan bayi yang baru lahir.
Sebab dari kesucian itulah setiap perilaku manusia cenderung pada kebenaran, hal
kebenaran inilah landasan dasar manusia untuk selalu dan atau harus didengar setiap
pendapatnya.Tetapi menurut Cak Nur ada sedikit kontradiksi, jika setiap manusia suci.
Jika masing-masing manusia suci, dan mempunyai potensi pada kebenaran, “lalu
kenapa kita tidak cukup dengan diri kita sendiri?, mengapa masih perlu dan wajib
mendengar orang lain?”, jawabannya adalah meskipun manusia suci (fitri), namun
dia juga bersifat lemah (daif) dan terbatas, sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab
suci. Ini yang membuat manusia tidak mungkin bisa dan pasti dan selamanya baik
dan benar.
Dia hanya potensial baik dan benar, itu menjadi actual baik dan benar, seorang
manusia tidak boleh hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri.Sebab
seseorang yang hanya bmengandalkan dirinya sendiri, merupakan sikap tidak taidiri
dan sombong. Dia harus menyertai orang lain, dalam mencari kebenaran, dan itulah
musyawarah. Lebih-lebih musyawarah juga menyangkut kepentingan orang banyak.
Pendapat ini sangat pas dengan adagium Islam Ra’sul hikmatil masyrah yang
berarti, “pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah.”Dilil inilah yang menjadi dalil
pada sila keempat.221
220Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif,, h. 59
4. Paradigma Islam dan Peradaban Modern
Setelah berbicara tentang beberapa poin yang telah diuraikan dari atas, pada
bagian ini akan menjelaskan tentang situasi yang sangat penting dalam dalam
hubungannya dengan konsep kemanusiaan dalam kehidupan dunia modern. Ketika
mencoba merenungkan tentang kehidupan manusia pada madern seperti
sekarang.Alangkah sangat pentingnya untuk melakukan sebuah refleksi terhadap sebuah
kenyataan yang sering terjadi.
Tema tentang situasi kemanusiaan menjadi sangat penting, mengingat pada masa-
masa modern, bermacam-macam persoalan yang sangat penting untuk diselesaikan.dan
yang lebih menarik lagi bukan tentang kehidupan oranglain, melainkan diri sendiri
terkadang mempunyai masalah yang harus diselasaikan. Menurut Kunto Wijoyo;
Dibalik kemajuan ilmu dan teknologi, sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang
dapat menghancurkan martabat manusia, karena manusiatelah berhasil
mengorganisir ekonome, menata struktur politik serta membangun peradaban yang
maju untuk dirinya sendiri.Namun harus diakui pula, manusia telah menjadi tawanan
ciptaan mereka sendiri.
Sejak manusia memasuki zaman modern, yaitu sejak manusia mampu
mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka memang telah membebaskan
diri dari belenggu pemikiran mistis yang irrasional dan belenggu pemikiran hokum
alam yang sangat mengikat kebebasan manusia.Tetapi, selaindari itu semua, manusia
modern juga dapat menyembah dirinya sendiri.222
Dari penjelasan kunto wijoyo di atas sangat menarik untuk dikaji kembali, yaitu
kaitannya kehidupan manusia modern, dan sangat dibenarkan bahwa hal itu dapat terjadi
dalam masa-masa seperti pada zaman ini yang disebabkan oleh kebebasan manusia yang
terlalu bebas. Namun, pada posisi lain ummat Islam khususnya harus dapat melihat
beberapa kemungkinan juga, sebab jika terlalu mengabaikan kemajuan terjadi di
sekelilingnya. Menurut Cak Nur, pergeseran hirarki nilai, yang mendorong tidak saja
221Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan, , h. 252-253 222Kunto Wijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi, Metodelogi dan Etika, (Jakarta: Refleksi
Masyarakat Maju, 2004), h. 119
penisbian beberapa nilai hidup tertentu, tetapi juga sebaliknya, pemutlakanbeberapa nilai
hidup lainnya, hal ini juga telah menjadi perbincangan yang menarik dalam kehidupan
modern dan modernisasi.223
Dari kedua pendapat di atas sangat jelas, kenyataannya memang zaman modern
menampakkan agama dalam ujian yang sangat berat, khususnya pada ranah
epistemology.Namun haruslah diakui pula, hal yang seperti ini sebenarnya tidak hanya
terjadi pada zaman sekarang ini, melainkan sebelumnya juga pernah terjadi.Meskipun
dalam skala yang mungkin agak ringan.
Sebelum berbicara lebih jauh pandangan yang lain diantaranya, pandangan Islam
tentang manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan apadan bagaimana problem-problem
manusia dalam kebudayaan modern, yang semangatnya dapat dikatakan berangkat dari
barat, atau pula dapat pula dikatakan sebagai cita-cita renaisance, seperti yang telah
dijelaskan dalam buku-buku sejarah, bahwa pada awalnya orang barat masih
berpandangan yang sangat kolot yang pada akhirnya dating renaissance dengan sebuah
cita-cita dan gerakan yang maju, dengan cita-cita utamanya manusia harus menguasai
alam semesta, sebab setiap kekuatan berasal dari manusia sendiri.
Namun pada sisi lain, ada yang beranggapan bahwa pada awalnya manusia yang
merdeka, pada zaman modern telah menurunkan derajatnya sendiri yang tak lebih menjadi
sebagai bagian dari mesin, sebagai mesin raksasa modern.224Karena pandamngan inilah
manusia menjadi tereduksi. Nilai-nilai manusia kini menjadi terdegradasi oleh proses
bekerjanya teknologi.
Dari sedikit penjelasan di atas menurut kunto wijoyo dapat dikatakan bahwa barat
telah terjadi pergeseran konsepsi tantang manusia.manusia yang pada masa renaissance
menjadi gambaran pusat segala sesuatu, pada masa modern seperti sekarang ini telah
223Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 575 224Kunto Wijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi,, h. 122
tereduksi hanya sebagai unsure kecil di dalam system raksasa, dan bahkan dapat dikatakan
telah terbelenggu dalam mikanisme system tersebut.
Sesungguhnya jika ditelisik lebih jauh lagi, gambaran manusia dalam dunia
modern seperti yang dijelaskan dalam filsafat barat sangat jauh dari konsep keislaman.Di
dalam Islam manusia digambarkan sebagai mahluk yang merdeka, dan karena
kemerdekaan itulah manusia mendapatkan posisi yang sangat terhormat,225 seperti yang
telah dijelaskan pada penjelasan diatas, bahwa manusia sebagai khalifah Allah dimuka
bumi ini.
Namun mungkindalam pembahasan ini, terlalu pelik dalam pembicaraan soal
sejarah.Namun, dirasa sangat perlu untuk disari adanya sebuah permasalahan dalam
system kehidupan modern, dalam sebuah susunan yang lebih besar dan juga lebih ruwet.
Mungkin dalam hal inilah yang disebut perlunya ada reinterpretasi dan reaktualisasi
kepada sebuah ajaran-ajaran keagamaan, serta untuk mengefektifkan fungsinya sebagai
sumber kehidupan.
Sikap positif kaum Muslim secara keseluruhan terhadap ilmu pengetahuan itu
tidak dapat diterangkan kecuali dari sudut bahwa Islam adalah agama yang secara sejati
memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan
ilmu pengetahuan itu dalam rangka keimanan.226 Inilah yang sangat kurang, jika
bukannya malah tidak ada sama sekali.
225Kunto Wijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi,, h. 125 226Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 589
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama (Islam, Kristen, Hindhu, Budha dan Konghucu) diyakini sebagai
sumber ketenangan, karena agama member arah serta makna hidup yang pasti. Selain
dari itu, agama juga disebut sebagai sumber yang pasti, tidak seperti keilmuan
lainnya, yang pada akhirnya masih menyisakan keraguan-keraguan. Sehingga, bukan
yang tidak mungkin, jika pada zaman modern seperti saat ini, ada orang yang mencaci
agama dengan menuduh, bahwa agama hanya sebagai seumberpetaka yang dapat
memecah belah bangsa.
Terlepas adanya berbagai interpretasi akan adanya berbagai pendapat dan
sikap terhadap agama, yang jelas, sampai saat ini, agama masih eksis, serta tetap
dijaga eksistensinya. Sedangkan munculnya berbagai gerakan social, seperti
radikalisme ataupun kekerasan atas nama agama tertentu, merupakan adanya sebuah
sikap eksklusif dalam beragama. Jelas, pada bagian ini sangat dibutuhkan sebuah
resolusi khusus untuk menuntaskan gerakan-gerakan mereka dengan cara memberikan
ulang tentang sebuah pemahaman mengenai agama yang sesungguhnya, yaitu tentang
adanya sebuah sikap keterbukaan dengan menghargai sifat-sifat kemanusiaan,
terutama di Indonesia, sebagai Negara yang berideologi pancasila.
Secara umum, pemikiran teologi (Islam) inklusif Cak Nur bermula pada
sebuah pemahaman tentang Islam. Maksudnya, setiap agama samawi pada dasarnya
adalah Islam (pasrah) kepada Tuhan, meskipun Islam yang dimaksud Cak Nur lebih
tertuju kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Teologi Islam
Inklusif yang dimaksud oleh Cak Nur, yaitu pemahaman yang terbuka, serta toleran
atau dengan kata lain, teologi Islam Inklusif adalah keberanian untuk membongkar
sifat-sifat dogmatis yang tertanam dengan rapat didalam diri setiap Individu yang
beragama, sehingga dapat dipat dikatakan bahwa Teologi Islam Inklusif, lebih
menekankan kepada nilai dasar Islam bukan kepada symbol-simbol.
Sedang yang yang lainnya adalah kalimah sawa>>, bermaksud sebuah
keterbukaan untuk semua social guna mengambil sisi positif. Dalam social-budaya,
sejak dari Nabi Muhammad sampai saat ini, Islam terbentuk dari latar belakang social
dalam sejarah-sejarah tertentu. Begitu juga Islam di Indonesia, kita boleh
mengabaikan diri dari latar belakang social-budaya tertentu.
B. Saran-saran
Demi menjaga sebuah tradisi keilmuan, khususnya dalam khazanah
intelektual Islam di dunia akademis, penulis memeberikan bebrapa point saran, yaitu:
1. Tradisi keilmuan, pada dasarnya merujuk kepada tradisi Islam klasik yang sangat
kaya dan bernuansa, sehingga sangat penting untuk dipelajari kembali dan
dikembangkan serta menggali apa yang terkandung di dalamnya.
2. Penulis sangat berharap, kepada civitas akademik pada khususnya para petinggi
universitas agar memberikan sebuah penghargaan dan perhatian kepada para
akademisi yang menggeluti pemikiran keislaman.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Osman, 2008, Tauhi dan Sain, Pustaka Hidayah, Jakarta Cet.II
Bryan, Turner, 2002, Orientalisme, Postmodernisme, dan Glbalisme, Riora Cipta, Jakarta,
Cet. I, Diterjemahkan Oleh Eno Syafrudien dari Judul Asli Orientalism, Post
Modernisme and Globalism, Routledge.
Coulson, 2001, Konflik dalam Jurispondensi Islam, diterjemahkan oleh, Fuad Zein,
Navilla, Yogyakarta.
Djumhana, Hanna Bastaman, 1996, Meraih Makna Hidup Bermakna, Kisah Pribadi
Dengan Pengalaman Tragis, Paramadina, Jakarta.
Fayyadl, 2012, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, LkiS, Yogyakarta
Fathi , Mohammad Osman, 2006, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan;
Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, diterjemahkan
oleh Irfan Abubakar, Pramadina, Jakarta.
Fauzi, Ikhsan Ali, 1999 Demi Islam, Demi Indonesia, Manuskrip Otobiografi Nurcholish
Madjid, (tidak diterbitkan).
Fauzi , Ihsan Ali – Armando, Ade, 2012 All You Need is Love; Cak Nur di Mata Anak
Muda, Democrazy Project, Jakarta.
Grubeum, Von , 1983, Islam Kesatuan dalam Keragaman, diterjemahkan oleh, N. Yahya,
Yayasan Perkhidmatan, Jakarta.
Gaus AF, Ahmad, 2010, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup seorang Visioner,
Kompas, Jakarta.
Guttmann , Julius, 1973, Philosophies of Judaism: The History of Jewish Philosophy from
Biblical Times to Franz Rosenzweigh, terj. David W. Silverman, Schocken
Books, New York.
Hanafi, 2003, Pengantar Teologi Islam, PT Pustaka al-Husna, Jakarta
Hamzah, 2013, Teologi Sosial, Telaah Pemikiran Hasan Hanafi, Yogyakarta: Graha
IlmuMuhammad
Hidayat, Qomaruddin, Wahyuni Nafis, 1995, Agama Masa Depan, Persepektif Filsafat
Parenial, Paramadina, Jakarta.
Hidayat, Qomaruddin, 2012, Agama Punya Seribu Nyawa, Nouroa Book, Jakarta.
Kurzman, Charles, 2003, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global, Paramadina, Jakarta.
Madjid, Nurcholish, 2004, Indonesia Kita, Universitas Pramadina, Jakarta, Cet. III.
Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Doktrin Peradaban; Sebuah Telaah Kerits Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Yayasan Wafakaf
Paramadina, Jakarta, Cet. V.
Madjid, Nurcholish, 1994, Khazanah Intelektual Islam, Yayasan Obor-Bulan Bintang,
Jakarta.
Madjid, Nurcholish, 1997, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta.
Madjid, Nurcholish, 1995, Pintu-pintu Menju Tuhan, Paramadina, Jakarta, Cet. I.
Madjid, Nurcholish, 1995, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Paramadina, Jakarta.
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina, Jakarta Cet. I.
Madjid, Nurcholish, 2008, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung.
Madjid, Nurcholish, Kautsar Azari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Masudi, Zainun
Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawwar Rachman, Ahmad Gaus AF, 2004,
Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Paramadina-The
Asian Foundation, Jakarta.
Misrawi, Zuhairi, Novriantoni, 2004, Doktrin Islam Progresif, Memahami Islam Sebagai
Ajaran Rahmat, Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP), Jakarta.
Nasuition, Harun, 1986, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perandingan, Universitas
Indonesia, Cet. V.
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa, perbandingan, UI
Press, Jakarta.
Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, UI Press, Jakarta, Cet. I
Rachman, Budhy Munawwar, 2011, Membaca Nurcholish Madjid; Islam dan Pluralisme,
Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, Jakara
Rachman, Budhy Munawwar, 2014, Titik Temu Agama-agama; Analisis Atas Islam Inklusif
Nurcholish Mardjid, Sekolah TinggI Filsafat Driyarkara. Jakarta.
Rachman , Budhy Munawwar, 1995, Agama Masa Depan; Persepektif Falsafah Parenial,
Paramadina, Jakarta.
Rachman, Budhy Munawwar, 2011, Islam dan Liberalism, Friedich Naumann Stiftung,
Jakarta.
Rachman , Budhy Munawwar - Taher, Elza Peldi, 2013, Satu Menit Pencerahan
Nurcholish Madjid, Imania dan Paramadina, Depok.
Rachman, Budhy Munawwar, 2010, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Paramadina, Jakarta.
Rahardjo, Dawam , 1996, Ensiklopedi al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kuncin, Paramadina, Jakarta.
Riyadi, Hendar, 2007, Melampaui pluralisme; Etika al-Qur’an tentang Keragaman
Agama, RMBooks dan PSAP, Jakarta.
Rossenthal, Fran, 1986, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Diterjemahkan oleh
Ahmadie Thoha, dari judul terjemahan Inggris, The Moqaddimah, New York
Bolingan Foundation.
Shihab, Alwi, 1997, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan
Bandung.
Sunaryo, 1971, al-Quran dan Terjemahan, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir
al-Quran, Jakarta.
Suseno, Franz Magnes, 2003, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta.
Soenarjo, 1971, Yayasan penyelenggara penerjemah/pentafsir al-Quran, Jakata.
Thaha, Ahmadie– Budhy Munawwar Rachman, 2002, Fatosen Nurcholish Madjid,
Republika, Jakarta.
Wijoyo, Kunto, 2004, Islam sebagai Ilmu, Epistimologi, Metodelogi dan Etika, Refleksi
Masyarakat Maju, Jakarta.
Woordward, Mark, 1998, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, diterjemahkan oleh, Ihsan Ali Fauzi, Mizan, Bandung.
Jurnal dan Artikel
Agus Sunaryo, Teologi Inklusif Nurcholish Madjid dan Pengaruhnya Terhadap Fiqih Lintas
Agama di Indonesia, (Artikel, tanpa tahun dan halaman)Budhy Munawwar
Rachman, Jurnal Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Banjarmasin,
2010.
Arif, Syamsudin, 2005, Orientalis dan Teologi Islam Sketsa Awal, Islamia Majalah dan
Peradaban Islam, Jakarta, Vol. II No. 3.
Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran Islam Klasik dan Modern, Shautut Tarbiyah, Ed.
Ke-32 Th. XXI, Mei 2015,
Fihif Abdillah, 2003, Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, (tidak
diterbitkan).
Trisno S. Susanto, Mencari Titik Temu Agama—Agama,
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/mencari-titik-temu-agama-agama
Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Jakarta, 1999, H. 144
Madjid, Nurcholish, (Tanpa Tahun), Islam dan Hanifah (Makalah).
Majlis Tarjih dan Pengembangan pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-
Quran. (Tidak diterbitkan dan tanpa tahun).
Muhammad Rusydy, Paradigma Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Keislaman,
Keindonesiaan dan Kemoderan, dalam Jurnal Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-
Juni 2015.
Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi; Tantangan dan
Kemungkinan, Republika, 10 Agustus 1999.
BIODATA
Nama : Bahrur Rosi
Tempat, tanggal lahir : Pamekasan, 07 Juni 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki
Email : [email protected]
Alamat : Jurang Dalam, Desa Dempo Barat, Kec. Pasean, Kab.
Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Riwayat Pendidikan :
2003/2004 : SDN (Sekolah Dasar Negeri) Dempo Barat II.
2006/2007 : MTs. Al-Falah
2009/2010 : MA. Al-Falah
2017/2018 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta