54
ANALISA UJI SEROLOGI DIPSTIK BERDASARKAN LAMA DEMAM PADA PENDERITA SUSPEK DEMAM TIFOID JUSNI EKASARI PELU N121 09 502 PROGRAM KONSENTRASI TEKNOLOGI LABORATORIUM KESEHATAN FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

JUSNI EKASARI PELU N121 09 502 - Unhas

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISA UJI SEROLOGI DIPSTIK BERDASARKAN LAMA DEMAM PADA PENDERITA

SUSPEK DEMAM TIFOID

JUSNI EKASARI PELU N121 09 502

PROGRAM KONSENTRASI TEKNOLOGI LABORATORIUM KESEHATAN

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

ANALISA UJI SEROLOGI DIPSTIK BERDASARKAN LAMA DEMAM PADA PENDERITA

SUSPEK DEMAM TIFOID

SKRIPSI

Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

JUSNI EKASARI PELU

N121 09 502

PROGRAM KONSENTRASI TEKNOLOGI LABORATORIUM KESEHATAN

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

PERSETUJUAN

ANALISA UJI SEROLOGI DIPSTIK BERDASARKAN LAMA DEMAM PADA PENDERITA

SUSPEK DEMAM TIFOID

Oleh

JUSNI EKASARI PELU

N121 09 502

Disetujui Oleh :

Pembimbing Utama,

Prof. Dr. H. M. Natsir Djide, MS., Apt. NIP. 19500817 197903 1 003

Pembimbing Pertama,

Prof. dr. Moch. Hatta,Sp,MK.,Ph.D. NIP. 19570416 198503 1 001

Pembimbing Kedua,

Dra. Christiana Lethe, M.Si., Apt NIP. 19481002 198203 2 001

Pada tanggal, 31 Juli 2013

PENGESAHAN

ANALISA UJI SEROLOGI DIPSTIK BERDASARKAN LAMA DEMAM PADA PENDERITA

SUSPEK DEMAM TIFOID

Oleh

JUSNI EKASARI PELU N12109502

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Pada Tanggal 31 Juli 2013

Panitia Penguji Skripsi :

1. Ketua : Usmar, S.Si., M.Si.,Apt …………..

2. Sekretaris : Yusnita Rifai,S.Si.,M.Pharm.,Ph.D.,Apt …………

3. Anggota : Sumarheni,S.Si.,MSc.,Apt …………..

4. Anggota (Ex.Off) : Prof. Dr. H. M. Natsir Djide, MS., Apt …………..

5. Anggota (Ex.Off) : Prof. dr. Moch. Hatta, Sp,MK.,Ph.D …………..

6. Anggota (Ex.Off) : Dra. Christiana Lethe,M.Si.,Apt …………..

Mengetahui : Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt NIP. 19560114 198601 2 001

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini adalah karya

saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak

benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.

Makassar, 31 Juli 2013

Penyusun,

Jusni Ekasari Pelu

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, teriring puji syukur atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan

Semesta Alam, Sang Penguasa Alam dan Sumber Ilmu yang

memberikan limpahan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu

persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) Teknologi

Laboratorium Kesehatan di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Makassar.

Sungguh banyak kendala yang penulis hadapi dalam rangka

penyusunan skripsi ini, namun berkat dukungan dan bantuan berbagai

pihak, akhirnya penulis dapat melewati kendala-kendala tersebut Oleh

karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang

tak terhingga kepada: Prof. Dr. H. M. Natsir Djide, MS, Apt. Prof. dr. Moch.

Hatta, Sp.MK, Ph.D dan Dra. Christiana Lethe,M.Si.,Apt sebagai

pembimbing dan atas bimbingan serta arahannya dalam membantu

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini.

Terima kasih juga penulis haturkan kepada Dekan Fakultas

Farmasi, Ketua Program Konsentrasi Teknologi Laboratorium Kesehatan

(TLK), dosen-dosen Fakultas Farmasi beserta seluruh staf atas segala

fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh studi hingga

menyelesaikan penelitian ini.

vi

Terima kasih pada Direktur RSUD, Syekh Yusuf Kab. Gowa dan

Kepala Instalasi Laboratorium RSUD. Syekh Yusuf Kab. Gowa beserta

seluruh staf dan analisnya, dan Kepala Laboratorium Imunologi dan

Biologi Molekular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin beserta

seluruh staf yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung,

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua teman

seperjuangan di Program Teknologi Laboratorium Kesehatan Fakultas

Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar Farida, Sumardi, Bahtiar

Makmun, Tessa Grace Orno, Yanti Pesurnay, serta semua pihak yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan

dan doa untuk keberhasilan penulis, semoga Allah SWT memberi imbalan

yang sesuai.

Kepada kedua orang tuaku ( Jusuf Pelu dan Djaniba Ollong) yang

telah membesarkanku, saudara-saudaraku (Rafsanjani Pelu dan Rafly

Pelu) dan kepada sahabat terbaikku Fitri llyas yang telah banyak

membantu baik moril maupun materil, penulis mengucapkan terima kasih

yang tulus dan setinggi-tingginya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi kita semua dan kiranya Allah SWT senantiasa memberkati dan

melindungi setiap langkah dan pengabdian kita, Amin.

Makassar, 31 Juli 2013

Jusni Ekasari Pelu

vii

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai analisis uji serologi dipstick berdasarkan lama demam pada penderita suspek demam tifoid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana analisis uji serologi dipstick berdasarkan lama demam tifoid pada minggu I dan II. Jenis penelitian adalah cross sectional study. Subjek penelitian adalah penderita yang telah menjalani pemeriksaan fisik dan dinyatakan sebagai suspek demam tifoid. Penelitian ini menggunakan 30 sampel yang diuji dengan menggunakan metode uji serologi dipstick. Pada hasil Test Chi-Square diatas menunjukkan bahwa nilai Pearson Chi-Square 1,738 dengan nilai P 0,629 dimana lebih besar dari nilai α 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara lama demam dengan hasil pemeriksaan tifoid secara uji dipstick.

viii

ABSTRACT

The research has done on the analysis of serological tests based from the duration of fever in patients with suspected typhoid fever. This study aims to determine how the analysis is based on the old dipstick serologic test typhoid fever in the first and second week. This type of research is a crosssectional study. Subjects were patients who had under gone a physical examination and expressed as suspected typhoid fever. This study used 30 samples tested using serological dipstick test method. In the Chi-Square Test results indicate that the Pearson Chi-Square value of 1.738 with a P value of 0.629 which is greater than α value of 0.05 so that it can be concluded that there is no significant correlation between the duration of typhoid fever with the results of the dipstick test.

ix

DAFTAR ISI

HHaallaammaann PPEERRNNYYAATTAAAANN .............................................................................................................................................................. vv

UUCCAAPPAANN TTEERRIIMMAA KKAASSIIHH................…………………………………………………………................................ vvii

AABBSSTTRRAAKK ………………………………..........……………………………………………………………….................................. vviiiiii

AABBSSTTRRAACCTT............................................................................................................................................................................ iixx

DDAAFFTTAARR IISSII.......................................................................................................................................................................... xx

DDAAFFTTAARR TTAABBEELL............................................................................................................................................................ xxiiiiii

DDAAFFTTAARR GGAAMMBBAARR.................................................................................................................................................... xxiivv

DDAAFFTTAARR LLAAMMPPIIRRAANN ............................................................................................................................................ xxvv

DDAAFFTTAARR AARRTTII LLAAMMBBAANNGG DDAANN SSIINNGGKKAATTAANN ................................................................ xxvvii

BBAABB II PPEENNDDAAHHUULLUUAANN ………………………….................................................................................... 11

BBAABB IIII TTIINNJJAAUUAANN PPUUSSTTAAKKAA........……………………………………………………............................ 44

IIII..11 TTiinnjjaauuaann UUmmuumm DDeemmaamm TTiiffooiidd......................………………...................... 44

IIII..11..11 SSeejjaarraahh.................................................................................................................................... 44

IIII..11..22 PPaattooggeenneessiiss……………………... …………………. 4

IIII..11..33 EEppiiddeemmoollooggii...................................................................................................................... 6

IIII..11..44 GGeejjaallaa KKlliinniiss...................................................................................................................... 77

IIII..11..55 DDiiaaggnnoossiiss.................................................................................................................................. 88

IIII..22 TTiinnjjaauuaann UUmmuumm SSaallmmoonneellllaa ttyypphhii................................................................ 99

IIII..22..11 KKllaassiiffiikkaassii .................................................................................................................................. 99

IIII..22..22 SSiiffaatt--SSiiffaatt.................................................................................................................................... 1100

x

IIII..22..33 MMoorrffoollooggii SSaallmmoonneellllaa ttyypphhii ............................................................................ 1111

IIII..22..44 SSttrruukkttuurr AAnnttiiggeenn SSaallmmoonneellllaa TTyypphhii ...................................................... 1111

IIII..33 TTeess SSeerroollooggii.................................................................................................................................... 1144

IIII..44 DDeemmaamm TTiiffooiidd.............................................................................................................................. 1166

IIII..44..11 DDiiaaggnnoossiiss DDeemmaamm TTiiffooiidd .................................................................................... 1177

BBAABB IIIIII PPEELLAAKKSSAANNAAAANN PPEENNEELLIITTIIAANN ……....……………….............................................. 2200

IIIIII..11 JJeenniiss PPeenneelliittiiaann ………………………………………………………….................................. 2200

IIIIII..22 TTeemmppaatt ddaann WWaakkttuu PPeenneelliittiiaann ………………………………........................ 2200

IIIIII..33 PPooppuullaassii DDaann SSaammppeell PPeenneelliittiiaann……………………………………...... 2200

IIIIII..44 KKrriitteerriiaa SSaammppeell…………………………………………………………………………………… 2211

IIIIII..44..11 KKrriitteerriiaa IInnkklluussii ............ …………………………………….............................................. 2211

IIIIII..44..22 KKrriitteerriiaa EEkksslluussii................................................................................................................ 2211

IIIIII..55 IIzziinn SSuubbjjeekk PPeenneelliittiiaann........................................................................................................ 2211

IIIIII..66 DDeeffeenniissii OOppeerraassiioonnaall …………………………………………………………………….... 2211

IIIIII..77 AAllaatt DDaann BBaahhaann PPeenneelliittiiaann......…………………………………….......................... 2222

IIIIII..88 PPrroosseedduurr PPeenneelliittiiaann..............……………………………………………….......................... 2222

IIIIII..88..11 PPeennggaammbbiillaann DDaarraahh.................................................................................................. 2222

IIIIII..88..22 PPeerrllaakkuuaann TTeerrhhaaddaapp SSaammppeell...................................................................... 2233

IIIIII..99 PPeemmeerriikkssaaaann LLaabboorraattoorriiuumm.................................................................................. 2233

IIIIII..99..11 TTeess PPrriinnssiipp............................................................................................................................ 2233

IIIIII..99..22 CCaarraa KKeerrjjaa.............................................................................................................................. 2233

IIIIII..99..33 IInntteerrpprreettaassii HHaassiill.............................................................................................................. 2244

IIIIII..1100 AAnnaalliissiiss DDaattaa.......................................................................................................................... 2244

xi

BBAABB IIVV HHAASSIILL DDAANN PPEEMMBBAAHHAASSAANN ..........................……....………………...................... 2255

IIVV..11 HHaassiill PPeenneelliittiiaann............................................................................................................ 2255

IIVV..22 PPeemmbbaahhaassaann........................................................................................................................ 2288

BBAABB VV KKEESSIIMMPPUULLAANN DDAANN SSAARRAANN ……………….. …………………….................................. 3311

VV..11 KKeessiimmppuullaann ………………………………………………………………………………………….... 3311

VV..22 SSaarraann ………………………………………………………………………………………………………….. 3311

DDAAFFTTAARR PPUUSSTTAAKKAA .................................................................................................................................................. 3322

LLAAMMPPIIRRAANN .............................................................................................................................................................................. 3355

xii

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ......................... 25

2. Distribusi Hasil Uji Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 25

3. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ....................................... 26

4. Distribusi sampel berdasarkan Lama ........................................ 26

5. Distribusi Hasil Uji Serologi (Dipstick) dengan Lama Demam ... 27

6. Hasil Test Chi-Square ............................................................... 27

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Penularan Salmonella typhi pada manusia................................ 7

2. Struktur Bakteri ......................................................................... 11

3. Respon Antibodi terhadap infeksi S.typhi .................................. 16

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Skema Kerja Penelitian……………………………………… 35

2. Skema Kerja Pemeriksaan Serologi Dri-dot……....……… 36

3. Hasil Pemeriksaan Uji Pemeriksaan Uji Dipstik…………… 37

4. Foto Hasil Pemeriksaan Dipstik …………………………….. 38

xv

1

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti

Ab Antibodi

Ag Antigen

DNA Deoxribonuleic Acid

Dot EIA Dot Enzim Immunoassay

DT Demam Tifoid

EDTA Ethylene DiamineTetra Acetic Acid

ELISA Enzym Linked Immunosorbent Assay

HSP Heat Shock Protein

ICT Imunochromatografi

Ig Imunoglobulin

LPS Lipopolisakarida

mRNA Massenger Ribonucleic Acid

nPCR nested PCR

OMP Outer Membrane Protein

PCR Polimerase Chain Reaction

RNA Ribonucleic Acid

S. paratyphi Salmonella paratyphi

S. typhi Salmonella typhi

Typhoid F Typhoid Fever

xvi

1

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Tifoid adalah Penyakit menular yang akut dan disebabkan

oleh bakteri Salmonella typhi, masa inkubasi pada umumnya 10 sampai

14 hari, gejala dini mencakup demam, perut gembung, sukar buang air

besar, pusing, lesu, tak bersemangat, tidak ada nafsu makan, mual dan

muntah. Diare biasanya terjadi selama infeksi minggu kedua dan mungkin

terdapat darah dalam tinja (1).

Diagnosis demam tifoid sukar ditegakkan hanya atas dasar

beberapa gejala klinis, sebab gambaran klinis penyakit ini sangat

bervariasi dan umumnya tidak khas untuk demam tifoid. Atas dasar ini,

peranan laboratorium dalam membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid sangat penting (2).

Cara yang terbaik untuk memastikan adanya infeksi dengan

Salmonella typhi, yaitu bila bakteri dapat diisolasi dari spesimen klinis

yang berasal dari penderita yang dicurigai menderita demam tifoid, namun

hal ini tak selalu dapat dicapai karena banyaknya faktor kesalahan yang

dapat mempengaruhi isolasi bakteri tersebut. Oleh karena itu,

pemeriksaan serologi untuk demam tifoid memegang peranan penting (2).

Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan

kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan

memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang

cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara

2

berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti

uji TUBEX, Typhidot-M dan dipstik telah dirintis penggunaannya di

Indonesia (3).

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.

typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung

antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human

immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan

komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik

dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap (3).

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini

sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan

86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar

88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail

dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas

uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta

dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin

meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya

serokonversi pada penderita demam tifoid (4).

Uji dipstik terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat

diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang

menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di

3

tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas (5).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan dilakukan

penelitian dengan rumusan masalah bagaimana hasil analisa uji serologi

dipstick pada penderita demam pada minggu I dan II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana analisa uji

serologi dipstick berdasarkan lama demam tifoid pada minggu I dan II.

Manfaat penelitian ini yaitu untuk menambah informasi ilmiah

tentang analisa uji serologi dipstick berdasarkan lama demam tifoid dan

dapat menjadi pegangan dokter yang menangani penderita demam tifoid

dalam memilih tes yang diperlukan sesuai kebutuhan.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Tinjauan Umum Demam Tifoid

II.1.1 Sejarah

Typhoid berasal dari bahasa Yunani yang berarti smoke, karena

terjadinya penguapan panas tubuh serta gangguan keadaan disebabkan

demam yang tinggi. Bretoneau (1813) melaporkan pertama kali tentang

gambaran klinis dan kelainan anatomis dari demam tifoid, sedangkan

Cornwalls Hewett (1826) melaporkan perubahan patologisnya Piere Louis

(1829) memberikan nama typhos yang berasal dari bahasa Yunani

dengan arti asap/kabut, karena umumnya penderita sering disertai

gangguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. A. Pfeifer berhasil

pertama kali menemukan bakteri Salmonella dari feses penderita,

kemudian dalam urine oleh Hueppe dan dalam darah oleh R.d Neuhauss.

Pada waktu yang bersamaan Widal (1896) berhasil memperkenalkan

diagnosis serologis demam tifoid (5).

II.1.2 Patogenesis

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan

oleh Salmonella typhi. Penyakit demam tifoid ditularkan melalui makanan

atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella typhi, yang

dikenal sebagai penularan fecal-oral (6).

Bakteri Salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui mulut

dengan makanan dan air yang tercemar kedalam saluran pencernaan

5

seorang penderita, maka bakteri tersebut akan berkembang biak dan bila

penderita tersebut tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri tersebut,

maka bakteri tersebut akan menempel pada dinding usus penderita dan

menembus epitel usus melalui sel epitel usus menuju ke lamina propia. Di

tempat ini Salmonella typhi akan difagotosis oleh sel fagosit, terutama

makrofag.

Di dalam makrofag, karena terlindungi oleh kapsul Vi, Salmonella

typhi dapat bertahan hidup, bahkan dapat berkembang biak. Selanjutnya

bakteri tersebut akan di bawa ke plek Peyeri, terutama yang berada di

ileum terminalis dan melalui saluran getah bening dibawah kelenjar limfe

mesentrium. Dalam tahap berikutnya Salmonella typhi akan masuk ke

aliran darah dan selanjutnya menyebar ke jaringan Retikuloendotelial di

seluruh tubuh terutama di hati dan limpa. Di dalam organ tersebut

Salmonella typhi keluar dari sel fagosit dan berkembang biak di luar sel

dalam jaringan organ dan menimbulkan keradangan. Proses ini akan

berlangsung selama 7-10 hari (2).

Endotoksin Salmonella typhi berperan pada patogenesis demam

tifoid karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan

tempat Salmonella typhi berkembang biak. Tapi kemudian berdasarkan

penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan

merupakan penyebab utama demam dan gejala-gelala toksemia pada

demam tifoid Demam pada tifoid disebabkan karena Salmonella typhi dan

6

endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh

leukosit pada jaringan yang meradang (8).

II.1.3 Epidemiologi

Demam tifoid endemik di Indonesia, penyakit ini termasuk penyakit

menular yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1962

tentang wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam Undang-

Undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum

ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti.

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih

sering bersifat sporadis terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang

menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah.

Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua

sumber penularan S. typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih

sering adalah carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011

kuman per gram tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang

tercemar. Makanan yang tercemar oleh tinja carrier merupakan sumber

penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Carrier adalah orang

yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi Salmonella

typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi

kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-

kuman Salmonella typhi berada di dalam batu empedu atau dalam dinding

kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang

menahun (9,10,11).

7

Gambar 1. Penularan Salmonella typhi pada manusia (34)

II.1.4 Gejala Klinis

Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari dan gejalanya

muncul bertahap. Paling sering berupa gejala demam yang tidak spesifik,

seperti sakit kepala, lesu, nyeri otot atau nafsu makan menurun. Awalnya

demam cenderung mereda, tetapi secara bertahap meningkat setelah

minggu pertama sampai mencapai suhu lebih dari 40oC. Gejala lain yang

timbul meliputi mual, muntah, menggigil, batuk, lemah dan radang

tenggorokan (12).

Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan

sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid.

Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari

asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah

disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala

sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul

komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini

8

mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya

saja (13).

II.1.5 Diagnosis

Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah pada kurang lebih 90%

penderita selama 2 minggu pertama penyakit tersebut dan dari sekitar

50% pada akhir minggu ke 3. Bakteri tersebut dapat di isolasi dari tinja

pada setiap manapun penyakit ini, tetapi masa sakit dari minggu ke 3

sampai ke 5 memberikan hasil terbaik untuk diagnosis mikrobiologis,

walaupun di sertai dengan pengobatan. 2 atau 3 bulan setelah jatuh sakit

sebanyak 5 sampai 10% penderita masih terus mengeksresikan basilus

salmonella typhi. Mereka yang masih mengeksresikan basilus tersebut

setelah itu dianggap sebagai penular kronis demam tifoid.(1)

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah

tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, uji

serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler (14).

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum

tulang atau cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,

maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum

tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam

urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan

tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya

9

tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil

biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah

dari media empedu, dan waktu pengambilan darah (13,14).

II.2. Tinjauan Umum Salmonella typhi

II.2.1 Klasifikasi

Skema klasifikasi di dasarkan pada reaksi biokimia atau serologis.

Teknologi molekuler memungkinkan klasifikasi pada tingkat gen hibridisasi

DNA yang telah membuktikan bahwa bakteri Salmonella sangat terkait

secara genetik sebagai satu spesies dengan 6 subkelompok, kebanyakan

isolate yang menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang

termasuk subkelompok I. Klasifikasi Salmonella terdiri dari (16) :

Kingdom : Procaryotae

Filum : Proteobacteria

Classis : Gammaproteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Familia : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella typhi

10

II.2.2 Sifat-Sifat

Group Salmonella adalah bakteri-bakteri yang habitatnya (tempat

hidupnya) terutama di dalam usus manusia atau binatang. Terdapat juga

dalam lumpur/air selokan dan air sungai. Oleh karena itu basil-basil

Salmonella dapat diasingkan dari berbagai sumber spesimen (manusia

dan non-manusia) (15).

Kebanyakan strain Salmonella memfermentasi glukosa, manosa,

dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tidak pada laktosa atau

sukrosa. Salmonella typhi tidak menghasilkan gas. Organisme Salmonella

tumbuh secara aerobik dan mampu tumbuh secara anaerobik fakultatif,

dan resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat mati dengan

pemanasan sampai 1300F (540C) selama 1 jam atau 1400F (600C) selama

15 menit. Pertumbuhannya sangat baik pada medium di bawah kondisi

aerob dengan kisaran temperatur 100C-410C (optimal 370C) dan pHnya

berkisar 6 – 8. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau

suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup

selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering dan

bahan kotoran. Dalam air bisa bertahan selama 4 minggu. Salmonella

typhi memiliki kerentanan terhadap sebagian besar bahan-bahan fisika

dan kimia, terutama oleh klorin serta beberapa penggunaan desinfektan,

tetapi sebagian Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu,

misalnya brillian green dan sodium tetrathionat (16).

11

II.2.3 Morfologi Salmonell typhi

Salmonella adalah genus yang termasuk famili Enterobacteriacea

yang terdiri dari tiga spesies utama yaitu Salmonella typhi, Salmonella

choleraesuis, dan Salmonella enteritidis. Dua spesies masing-masing

mempunyai satu serotip, tetapi Salmonella enteritidis berisi lebih dari 1800

serotip yang berbeda. S.typhi berbentuk batang, tidak berspora, bersifat

gram negatif dengan ukuran 1-3,5 X 0,5-0,8 mikron. Mempunyai flagella

peritrikh (16)

Gambar 2. Struktur bakteri (Sumber: Bacteria. http ://www.biologycorner.com /AP-biology/pathology/bacteria.html/

II.2.4 Struktur Antigen Salmonella typhi

Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif

yang umumnya bergerak dengan flagellin dan bersifat aerobik. Salmonella

memiliki sedikitnya 5 macam antigen.

1. Antigen O (Antigen somatik), yang terletak pada lapisan luar dari

tubuh bakteri . Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida

atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan

12

alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. Lipopolisakarida dari

antigen O terdiri dari 3 regio sebagai berikut :

a. Regio I, mengandung antigen O spesifik atau antigen dinding sel

dan merupakan polimer dari unit oligosakarida yang berulang-ulang.

Antigen O ini berguna untuk pengelompokan serologis.

b. Regio II, terikat pada antigen O dan terdiri dari core polysaccharide

serta merupakan sifat yang konstan dalam suatu genus

Enterobacteriaceae tetapi berbeda antara genera.

c. Regio III, mengandung lipid A yang terikat pada core polysaccharide

yang merupakan bagian yang toksik dari molekul. Lipid A ini

menempelkan lipopolisakarida pada membran permukaan sel (outer

membrane).

2. Antigen H (Antigen Flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau

pili dari bakteri. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan

tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan

alkohol.

3. Antigen Vi, yang terletak pada kapsel (envelope) dari bakteri yang

dapat melindungi bakteri terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen

tersebut di atas, di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula

pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

4. Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S. typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di

luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi

13

sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik

yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dalam membran

sitoplasma. Di samping itu OMP berfungsi sebagai reseptor untuk

bakteriofag dan bakteriosin.

OMP dibagi menjadi 2 bagian ;

a. Porin rnerupakan komponen utama dari OMP terdiri dari protein

Omp C, Omp D, dan Omp E. Porin merupakan saluran hidrofilik

yang berfungsi untuk difusi solut dengan berat molekul lebih kecil

dari 6000. Porin mempunyai sifat resisten terhadap proteolisis dan

denaturasi pada suhu di bawah 85-100ºC .

b. Protein non porin terdiri dari protein Omp A, protein A, dan

lipoprotein, mempunyai sifat sensitif terhadap protease. Fungsi dari

protein nonporin masih belum diketahui dengan jelas.

5. Heat Shock Protein (HSP)

Heat Shock protein atau stress protein adalah protein yang

diproduksi oleh jasad renik dalam lingkungan yang terus berubah,

terutama yang menimbulkan stress pada jasad renik tersebut dalam

usahanya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Di samping potensi

biologisnya, HSP mempunyai data imunogenik yang cukup besar

sehingga dapat membangkitkan respons imun, baik seluler maupun

humoral, baik protektif maupun nonprotektif. Atas dasar ini, maka HSP

dapat dipakai baik untuk keperluan diagnostik (sebagai antigen dari

imunoassay) maupun untuk keperluan preventif (untuk vaksin)(4).

14

II.3 Tes Serologi

Tes serologi untuk menunjang diagnosis demam tifoid meliputi dua

kelompok, yaitu pelacakan terhadap antibodi (Ig) spesifik dan antigen

(Ag) spesifik terhadap Salmonella typhi di dalam darah atau cairan

tubuh (19).

Tes Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896, sampai saat ini

masih merupakan tes serologi yang paling banyak digunakan di klinik,

meskipun banyak kelemahannya. Dasar tes ini adalah reaksi aglutinasi

antara Ag Salmonella typhi dengan Ig yang terdapat pada serum

penderita. Ada dua cara tes Widal, yaitu cara tabung dan cara slide.

Sekarang lebih banyak digunakan tes Widal cara slide. Interpretasi tes

Widal untuk menunjang diagnosis harus dilakukan dengan cermat

karena banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain faktor

penderita meliputi: stadium penyakit, terapi antimikroba, teknik

laboratorium, riwayat imunisasi, keadaan umum, penyakit tertentu yang

menghambat pembentukan Ig, imunosupresif dan kortikosteroid, infeksi

subklinis, sedangkan faktor teknis meliputi reaksi silang, konsentrasi

suspensi Ag dan strain Salmonella yang dipakai untuk suspensi Ag.

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas maka

walaupun secara bakteriologik dinyatakan positif Salmonella typhi, tes

Widal dapat memberikan hasil negatif, sehingga tes Widal negatif belum

dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Berdasarkan penelitian

Dasril Daud tahun 1995 yang dilakukan di Ujung Pandang nilai

15

diagnostik titer O adalah > 1/ 320 untuk cara tabung dan > 1/160 untuk

cara slide (20).

Tes serologi lain untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap

antigen Salmonella typhi adalah Enzym Linked immunosorbent Assay

(ELISA). Tes ELISA dapat digunakan untuk memeriksa adanya lgM dan

IgG anti Salmonella typhi lipopolysaccharide antibody, kadar keduanya

meninggi pada penderita demam tifoid. Antibodi yang dilacak dengan uji

ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Untuk

meningkatkan kepraktisan uji ELISA, digunakan teknik Dot-EIA yang

memanfaatkan kertas nitroselulose sebagai fase padat yang memiliki

kapasitas yang tinggi terhadap protein yang dilapiskan, sekali antigen

atau antibodi dilekatkan pada kertas nitroselulose dan diblokade dengan

blocking buffer, ikatan tersebut dapat disimpan dalam keadaan stabil

selama beberapa bulan pada 40C atau selama beberapa tahun pada -

700C (21).

Tes serologi yang banyak dikembangkan adalah tes Typhoid

Dipstick, tes ini 85,7 % sensitif pada penderita demam tifoid dengan

demam > 6 hari dan dengan tes ini antibodi (IgM) sudah dapat terdeteksi

baik untuk infeksi primer maupun infeksi sekunder, sehingga dapat

digunakan untuk deteksi dini. Tes Typhoid Dipstick ini sangat mudah

dilakukan, tidak memerlukan alat, dan penyimpanan yang khusus (7).

16

The image part w ith relationship ID rId10 was not found in the file.

Gambar 3. Respon antibodi terhadap infeksi S.typhi (26)

Untuk melakukan uji laboratorium diagnostic kultur pada Salmonella

typhi langkah-langkah yang dilakukan pertama yaitu pengambilan

spesimen dapat berupa darah, aspirat sum-sum tulang, spesimen tinja,

atau urin. Tahapan selanjutnya adalah penumbuhan Salmonella dari

spesimen-spesimen dari pasien dalam medium pengaya untuk

meningkatkan jumlah Salmonella dan menghambat pertumbuhan jenis

entrobactetriaceae selain Salmonella. Setelah itu, kultur ditumbuhkan

pada medium differensial dan selektif untuk pengisolasian Salmonella.

Selanjutnya, koloni-koloni hasil pertumbuhan pada medium dapat

diidentifikasi melalui tes biokomia dan aglutinasi (22).

II.4 Demam Tifoid

Surveilanse Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam

tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994

terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari

survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan

1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%.

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah.(1).

17

Studi terakhir dari Asia tenggara mendapatkan bahwa insiden

tetinggi terjadi pada anak dibawah usia 2-5 tahun. Kasus yang berujung

pada kematian tidak lebih dari 1%, meskipun demikian, angka ini

bervariasi di seluruh dunia. Di Pakistan dan Vietnam, dari pasien yang

dirawat di rumah sakit, angkanya kurang dari 2%, sementara di beberapa

area di Papua nugini dan Indonesia, angkanya mencapai 30-50%. Hal ini

sebagian besar disebabkan karena tertundanya pemberian antibiotika

yang tepat.(6)

II.4.1 Diagnosis Demam Tifoid

Tidak adanya gejala-gejala atau tanda yang spesifik untuk demam

tifoid, membuat diagnosis klinik demam tifoid menjadi cukup sulit. Di

daerah endemis, demam lebih dari 1 minggu yang tidak diketahui

penyebabnya harus dipertimbangkan sebagai demam tifoid sampai

terbukti penyebabnya. Diagnosis pasti demam tifoid adalah dengan isolasi

atau kultur S.typhi dari darah, sum-sum tulang, atau lesi anatomis yang

spesifik. Adanya gejala klinis yang karakteristik demam tifoid atau deteksi

respon antibody yang spesifik hanya menunjukkan dugaan demam tifoid

tetapi tidak definitif atau pasti.

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk diagnosis

demam tifoid yaitu :

1. Metode Kultur Mikrobiologi

Metode ini dapat mendeteksi Salmonella typhi melalui kultur bakteri

dari spesimen darah, tinja, urin, sumsum tulang atau lesi anatomis

18

tertentu. Kultur darah ini merupakan metode utama untuk diagnosis

demam tifoid (26).

2. Metode Serologis

Metode serologis digunakan untuk mengetahui secara kualitatif

maupun kuantitatif respon tubuh terhadap agen infektif atau dapat pula

digunakan untuk membedakan bakteri yang memiliki hubungan

kekerabatan yang erat. Metode serologis memerlukan waktu yang lebih

singkat dibandingkan dengan kultur mikrobiologis. Metode serologis untuk

diagnosis demam tifoid antara lain adalah tes ELISA, dipstick, tes Widal,

tes Tubex®, tes typhidot, dan tes aglutinasi latex. Demam tifoid

menginduksi respon imun humoral baik sistemik maupun lokal tetapi

respon imun ini tidak dapat memproteksi dengan lengkap terhadap

kekambuhan dan reinfeksi (6,17,27).

3. Teknik Molekuler

Seperti halnya kultur darah, target dari teknik-teknik molekuler

adalah patogen itu sendiri sehingga bermanfaat untuk deteksi awal

penyakit. Teknik hibridisasi menggunakan probe DNA adalah teknik

biologi molekuler pertama yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.

Teknik ini memiliki spesifisitas yang tinggi namun kurang sensitif. Teknik

ini tidak dapat mendeteksi S.typhi bila jumlah bakteri kurang dari

500 bakteri/ml. kemudian berkembang teknik Polymerase Chain Reaction

(PCR) dengan spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik

(1-5 bakteri/ml). PCR untuk identifikasi S.typhi ini tersedia dibeberapa

19

Negara namun penggunaannya masih terbatas untuk penelitian karena

harganya yang cukup mahal. Selain itu diperlukan kehati-hatian dalam

menginterpretasi hasil pemeriksaan teknik molekuler termasuk PCR

terutama didaerah endemisitas yang tinggi seperti Indonesia (17,27).

4

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah cross sectional study. Dilakukan uji serologi

dipstick berdasarkan lama demam typhoid di Rumah Sakit Syekh Yusuf

Kabupaten Gowa.

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai

sampel mencukupi dengan lokasi, yaitu :

1. Poliklinik dan Perawatan Penyakit Dalam Rumah Sakit Syekh Yusuf

Kabupaten Gowa untuk pengumpulan sampel.

2. Laboratorium Biologi Molekuler dan Imunologi, bagian Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar untuk uji

dipstik.

III.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

Populasi sampel adalah penderita suspek demam tifoid yang

berkunjung di poliklinik atau yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam di

Rumah Sakit Syekh Yusuf Kabupaten Gowa. Sampel yang digunakan

sebanyak 30 orang.

20

21

III.4 Kriteria Sampel

III.4.1 Kriteria Inklusi :

1. Penderita demam > 3 hari disertai dengan gejala klinis (lidah kotor,

nyeri perut, mual, muntah dan diare).

2. Penderita yang telah menjalani pemeriksaan fisik dan dinyatakan

sebagai suspek demam tifoid.

III.4.2 Kriteria Eksklusi :

3. Penderita demam lebih dari 15 hari.

III.5 Izin Subjek Penelitian

Permintaan izin ( informed concent ) individu yang bersangkutan

untuk dijadikan sampel penelitian.

III.6. Definisi Operasional

1. Suspek Demam Tifoid adalah penderita yang mempunyai suhu

tubuh > 37ºC selama lebih dari 3 hari dan telah menjalani

pemeriksaan fisik di bagian Poliklinik atau perawatan di Bagian

Penyakit Dalam dan dinyatakan sebagai suspek Demam Tifoid.

2. Serum adalah cairan darah yang terpisah setelah darah

membeku.

3. Tes Serologi adalah tes laboratorium yang mengukur aktivitas

sistem imun (tes yang berdasarkan reaksi invitro antara antigen

dengan antibodi).

22

4. Uji dipstik adalah Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik untuk

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung

antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol.

III.7 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah

dipstick, reagen dipstick yg terdiri dari reconstitution fluid (vial A),

lypholized detection reagen (vial B), dipstick fluid (vial C), serum, tabung

mikro, mikro pipet dan yellow tip.

III.8 Prosedur Penelitian

III.8.1 Pengambilan Darah

Tourniquet diikat pada lengan atas 7,5 – 10 cm diatas bagian yang

akan dilakukan pengambilan darah vena, tempat yang akan ditusuk

diusap dengan kapas alkohol 70% biarkan 30 detik untuk mengeringkan

alkohol, tusuk bagian vena dengan ujung lubang jarum menghadap keatas

dengan sudut kemiringan antara jarum dan kulit 15 derajat. Mengisi

tabung dengan darah dalam jumlah yang sudah ditentukan (5 ml).

Lepaskan karet pembendung agar darah mengalir. Jarum dicabut dari

tempat tusukan, kemudian tempat tusukkan ditutupi dengan kapas steril,

setelah itu jarum dilepaskan dari semprit.

23

III.8.2 Perlakuan Terhadap Sampel

Darah dalam tabung dibiarkan membeku selama 30 menit pada

suhu ruangan, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan

3000 rpm. Darah akan terpisah dan serum berada di bagian atas.

III.9 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan dipstik

II.9.1 Prinsip Tes

Terbentuknya ikatan antara antibody IgM spesifik tifoid dengan

antigen spesifik tifoid. Ikatan antibody IgM spesifik pada reaksi enzimatik

dengan antibody IgM manusia yang bersifat stabil.(21)

III.9.2 Cara Kerja

Detection reagent (vial B) dicampur dengan 5 ml cairan dari

reconstitution fluid (vial A) di kocok hingga homogen kemudian di diamkan

selama 30 menit. Sebanyak 250 ul campuran Vial A dan B (Tabung I)

dimasukkan ke dalam tabung (Tabung II) yang berisi serum sampel

sebanyak 5 ul. Dipstick dicelupkan kedalam vial C selama 15 menit,

kemudian diangkat dan dicelupkan lagi ke dalam tabung II selama 3 jam,

bila terjadi perubahan warna berupa pita di bagian bawah berarti positif

dengan derajat positifnya dari +1 hingga +4 tergantung pada tingkat

perubahan intensitas warna merah yang terjadi, semakin terang yang

terjadi semakin menuju kearah nilai positif yang tinggi.

24

III.9.3 Interpretasi hasil

Positif (+) : Terbentuk 2 garis merah pada bagian kontrol (C) dan tes (T)

Negatif (-) : Hanya 1 garis merah muncul pada bagian kontrol (C)

Invalid : Tidak timbul garis merah pada bagian kontrol (C), timbul hanya

pada bagian tes (T) atau tidak timbul garis merah sama sekali.

III.10 Analisis data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS Chi-Square

Test.

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Penelitian

Telah dilakukan penelitian Analisis Uji Serologi Dipstik berdasarkan

Lama Demam pada Penderita Suspek Demam Tifoid di Rumah Sakit

Syekh Yusuf Makassar pada bulan November sampai Desember 2012

sebanyak 30 sampel.

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik

n (jumlah sampel)

Persentasi (%) Total

Laki-Laki 13 43,3 43,3

Perempuan 17 56,7 56,0

Total 30 100,0

100,0

Pada Tabel 1 diatas penderita suspek demam tifoid lebih tinggi pada

perempuan sebanyak 17 orang (56,7%) dibandingkan dengan laki-laki

sebanyak 13 orang (43,3%).

Tabel 2. Distribusi Hasil Uji Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik Positif

Persentase (%)

Negatif Persentase

(%) Total

Laki-laki 4 30,8 9 69,2 13

Perempuan 2 11,8 15 88,2 17

Total 6 24

30 Pada Tabel 2 diatas hasil positif pada laki-laki sebanyak 4 orang

(30,8%) dan hasil negatif sebanyak 9 orang (69,2%) sedangkan pada

26

perempuan hasil positif sebanyak 2 orang (11,8%) dan hasil negatif

sebanyak 15 orang (88,2%).

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Karakteristik

Jumlah Sampel

Persentase (%) Total

15-24 Tahun 7 23,3 23,3

25-34 Tahun 5 16,7 16,7

35-44 Tahun 10 33,3 33,3

45-54 Tahun 3 10,0 10,0

55-64 Tahun 3 10,0 10,0

65-74 Tahun 2 6,7 6,7

Total 30 100.0

Berdasarkan Tabel 3 diatas, penderita suspek demam tifoid tertinggi

pada kategori usia 35-44 tahun sebanyak 10 orang (33,3%).

Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan Lama demam

Karakteristik

Jumlah sampel

Persentasi (%) Total

Demam 1-3 Hari 13 43,3 43,3

Demam 4-6 Hari 14 46,7 46,7

Demam 7-9 Hari 2 6,7 6,7

Demam 10 Hari 1 3,3 3,3

Total 30 100,0

100,0

Berdasarkan Tabel 4 diatas lama demam tertinggi pada 4-6 hari

sebanyak 14 orang (46,7%).

27

Tabel 5. Distribusi Hasil Uji Serologi (Dipstick) dengan Lama Demam Karakteristik Positif

Persentase (%)

Negatif Persentase

(%) Total

Demam 1-3 Hari 3 23,1 10 76,9 13

Demam 4-6 Hari 2 14,3 12 85,7 14

Demam 7-9 Hari 1 50,0 1 50,0 2

Demam 10 Hari 0 0,0 1 0,0 1

Total 6 24

30

Berdasarkan lama demam pada hari ke 1-3 persentase hasil positif

sebanyak 3 orang (23,1%) dan hasil negatif sebanyak 10 orang (76,9%),

lama demam pada hari ke 4-6 persentase hasil positif sebanyak 2 orang

(14,3%) dan hasil negatif sebanyak 12 0rang (85,7%), lama demam pada

hari ke 7-9 persentase hasil positif sebanyak 1 orang (50,0%) dan hasil

negatif sebanyak 1 0rang (50,0%), lama demam pada hari ke 10

persentase hasil positif sebanyak 0 orang (0,0%) dan hasil negatif

sebanyak 1 0rang (100,0%).

Tabel 6. Hasil Test Chi-Square

Value df Asymp. Sig. (2-

sided) Pearson Chi-Square 1.738a 3 .629 Likelihood Ratio 1.723 3 .632 Linear-by-Linear Association .015 1 .903

N of Valid Cases 30

Pada hasil Test Chi-Square diatas menunjukkan bahwa nilai

Pearson Chi-Square 1,738 dengan nilai P 0,629 dimana lebih besar dari

nilai α 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

28

bermakna antara lama demam dengan hasil pemeriksaan tifoid secara uji

dipstick.

IV.2. Pembahasan

Semakin cepat demam tifoid dapat didiagnosis, maka semakin baik.

pengobatan dalam taraf dini dan akan sangat menguntungkan, mengingat

mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan bakteri masih

terlokalisasi hanya di beberapa tempat. Deteksi secara dini juga sangat

penting sebagai kontrol, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur

diagnosis yang dapat menunjukkan hasil yang benar-benar akurat.

Berbagai teknik digunakan untuk mendiagnosis tifoid, di antaranya adalah

uji serologi, kultur darah dan teknik molekuler (22).

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan serologi yaitu uji Dipstik.

Uji Dipstik didesain untuk serodiagnosis demam tifoid. Uji ini berdasarkan

pada ikatan antibodi IgM spesifik dari sampel dengan antigen LPS S.

typhi. Metode dipstik merupakan suatu uji kualitatif dengan menggunakan

parameter warna yang timbul pada kertas dipstik. Hasil uji ini dapat

terbaca berupa warna dari antigen dan garis kontrol. Hasil tersebut berupa

nilai negatif jika tidak timbul warna pada pita antigen. Jika hasil positif

maka nilai pembacaannya ditunjukkan dengan angka 1+, 2+ 3+, dan 4+.

Timbulnya warna pada strip uji dari sederhana hingga kuat dapat

ditunjukkan berupa garis warna pada strip uji(5).

Penelitian ini dilakukan selama periode November 2012 sampai

Desember 2012 dengan 30 sampel penderita suspek demam tifoid.

Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan uji serologi dipstik untuk

mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap S.typhi dalam serum penderita

suspek demam tifoid.

29

Pada penelitian ini didapatkan jumlah penderita suspek demam

tifoid laki-laki sebanyak 13 orang (43,3%) dan perempuan sebanyak 17

orang (56,7%).

Pada Tabel 2 diatas hasil positif pada laki-laki sebanyak 4 orang

(30,8%) dan hasil negatif sebanyak 9 orang (69,2%) sedangkan pada

perempuan hasil positif sebanyak 2 orang (11,8%) dan hasil negatif

sebanyak 15 orang (88,2%). Angka persentase pada laki-laki lebih tinggi,

hal ini sesuai dengan literatur dimana perempuan mengalami lebih sedikit

infeksi selama hidupnya dibanding laki-laki karena androgen yang dilepas

pada laki-laki umumnya bersifat imunosupresif, sedangkan perempuan

respon imunnya terintegrasi dengan sistem endokrin yakni hormon

estrogen yang merangsang produksi antibodi sehingga perempuan

mengalami lebih sedikit infeksi selama hidupnya dibanding laki-laki (28).

Persentase berdasarkan umur pada tabel 3 menunjukan penderita

demam pada umur 15-24 tahun sebanyak 7 orang (23,3%), umur 25-34

tahun sebanyak 5 orang (16,7%), umur 35-44 tahun sebanyak 10 orang

(33,3%), umur 45-54 tahun sebanyak 3 orang (10,0%), umur 55-65 tahun

sebanyak 3 orang (10,0%), umur 65-74 tahun sebanyak 2 orang (6,7%)

dan yang paling tertinggi adalah 35 - 44 tahun sebanyak 10 orang (33,3

%), hal ini dipengaruhi oleh pola hidup yang lebih sering kontak dengan

penderita dalam aktifitas kerja, perilaku hidup yang disertai dengan

hygiene dan sanitasi yang buruk (28).

30

Berdasarkan jumlah penderita demam pasien yang berkunjung,

lama demam 1-3 hari sebanyak 13 orang (43,3%), demam 4-6 hari

sebanyak 14 orang (46,7%), demam 7-9 hari sebanyak 2 orang (6,7%)

dan demam 10 hari sebanyak 1 orang (3,3%). Berdasarkan disrtibusi

sampel pada tabel 4 menunjukan bahwa angka demam tertinggi pada hari

4-6 sebanyak 14 orang (46,7%)

Berdasarkan lama demam pada hari ke 1-3 persentase hasil positif

sebanyak 3 orang (23,1%) dan hasil negatif sebanyak 10 0rang (76,9%),

lama demam pada hari ke 4-6 persentase hasil positif sebanyak 2 orang

(14,3%) dan hasil negatif sebanyak 12 0rang (85,7%), lama demam pada

hari ke 7-9 persentase hasil positif sebanyak 1 orang (50,0%) dan hasil

negatif sebanyak 1 0rang (50,0%), lama demam pada hari ke 10

persentase hasil positif sebanyak 0 orang (0,0%) dan hasil negatif

sebanyak 1 0rang (100,0%). Tingginya nilai dipstik yang diperoleh pada

setiap pemeriksaan disebabkan oleh tingginya produksi antibodi IgM S.

typhi di dalam tubuh, sehingga nilai dipstik yang dihasilkan lebih tinggi (5).

Pada hasil Test Chi-Square diatas menunjukkan bahwa nilai

Pearson Chi-Square 1,738 dengan nilai P 0,629 dimana lebih besar dari

nilai α 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara lama demam pada minggu I dan II dengan hasil

pemeriksaan tifoid secara uji dipstick.

31

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat diperoleh

kesimpulan bahwa :

1. Pada hasil Test Chi-Square diatas menunjukkan bahwa nilai

Pearson Chi-Square 1,738 dengan nilai P 0,629 dimana lebih

besar dari nilai α 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak

ada hubungan yang bermakna antara lama demam dengan

hasil pemeriksaan tifoid secara uji dipstick.

2. Uji serologi dipstick tidak membatasi pemeriksaan sampel pada

lama demam minggu I dan minggu II.

V.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan lama

demam sebelum minggu II dan setelah minggu II agar diperoleh hasil

yang dapat dijadikan standar untuk mendiagnosis demam tifoid.

32

DAFTAR PUSTAKA 1. Pelczar MJ dan Chan ECS. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas

Indonesia Press. Jakarta. 2008. Hal. 713 2. Handojo I. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi.

Airlangga University Press. Jakarta. 2004. hal.1,5,8.

3. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.

4. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002;51:173-7.

5. Ismail TF, Smits HL, Wasfy MO, Malone JL, Fadeel MA, Mahoney F. Evaluation of disptick serologic tests for diagnosis of brucellosis and typhoid fever in Egypt. J Clin Microbiol 2002;40(9):3509-11.

6. Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Penerbit Buku kedokteran EGC. Jakarta. 2004. Hal 261,166,170

7. Hatta, M., Mubin, H., Abdoel, T., Smits., Henk, L. Response in typhoid

fever in endemik Indonesia and the relevance of 2002. Antibody serology and culture to diagnosis. Southeast Asian Journal Tropical Medicine and Public Health. Vol.33; 182-191, 166.

8. Rampengan T.H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Ed.2. Buku

Kedokteran EGC. Jakarta. 2007. hal. 46

9. Hatta M & Smith HL. Nested PCR the Detection of Salmonella typhi, Annols of Tropical Medicine and Pathology. 2002. hal 2

10. Widodo D. Demam tifoid. Di dalam : Sudoyo AW, editor. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. ed. 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006. hal. 1774-1779

11. Mubarak H. Demam Typhoid. 2009. [dikutip 16 Maret 2009]. Available

from : http//www.wordpress.com

12. World Health Organization. The Diagnosis, treatment and Preventation Of Typhoid Fever. 2003. Hal. 1-18

32

33

13. Mansjoer Arif dkk. Kapita selekta Kedokteran. Edisi ketiga, jilid 1. FK UI. Medica Aesculapius. 2000. Hal.432-433

14. Juwono R. Demam tifoid. Di dalam : Sudoyo AW, editor. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. ed. 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006. hal. 435-451

15. Tumbelaka AR. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid pada Anak.

Simposium Infeksi-Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Jawa Timur. Malang: IDAI Jawa Timur. 2005. Hal 37-50

16. Bergye; David Hendrick, 1974. Bergeys Manual Of Determinative

Bacteriology. Edisi VIII; waverly/incnh. royal and Guilford aveys balvimore, USA. Hal.9

17. Musriani. Deteksi Salmonella typhi dengan Metode Kultur Darah dan

PCR pada Suspek Demam Tifoid Berdasarkan Lama Demam. Skripsi. Fakultas MIPA UNHAS. Makassar. 2003. Hal 8-9

18. Nelson, W.E., Ilmu Kesehatan Anak: Terjemahan oleh A. Samik

Wahab. EGC. 2003. hal. 965-966

19. Kenneth, J.R. & George, C.R. Sherris Medical Microbiology, 4 th edition, Mc Graw – Hill. New York. 2004. Hal 362 – 363

20. Syamsuhidayat, R., Wim de Jong, Infeksi dan Inflamasi, Buku Ajar

Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1997. Hal 3-10

21. Hardjoeno. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Hematologi,

Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. 3rd ed., Hasanuddin University Press, Makassar, 2003 hal.19-28

22. Song, Jae-Hoon., Cho Helen, Park, Mee Yoen Na, Doe Sun, Moon, Hee Bom dan Pai, Chik Hyun. 1993. Detection of Salmonella typhi in the Blood of Pasien with Typhoid Fever by Polymerase Chain Reaction. Journal of Clinical Microbiology. Jun 1993, p. 1439-1443, vol 31 no 6. (Pub Med).

23. Staf Pengajar Fak. Kedokteran UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Ed.Revisi. Bina Rupa Aksara. 1994. Hal. 169-173 24. Gupte S. Mikrobiologi Dasar. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 1990.

Hal272-278.

34

25. Prevention Specific infection Disease. Thypoid Fever in CDC Health Information Travel. [dikutip 24 Januari 2009]. Available from: http//.www.cdc.gov/

26. World Health Organization. The Diagnosis, treatment and Preventation

Of Typhoid Fever. 2003. Hal. 1-18 27. Informasi Laboratorium. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM Untuk

Diagnosis Demam Tifoid. Prodia No 5. 2006 hal. 1-3

28. Baratawidjaja GK, Rengganis I. Imunologi Dasar, Ed 8. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. hal.52-54

35

LAMPIRAN I

SKEMA KERJA PENELITIAN

PASIEN

DARAH

SERUM

HASIL DAN PEMBACAAN HASIL

0 +1 +2 +3 +4

ANALISA DATA

KESIMPULAN

suspek Demam Typoid

diambil darah vena sebanyak 2 ml

disentrifus ± 10 mnt dengan kecepatan 3000 rpm

Dipstik dicelupkan kemudian diinkubasi selama 3 jam

36

LAMPIRAN II

PEMERIKSAAN SEROLOGI DIPSTICK

5ml vial A dimasukan kedalam vial B

250 µl Vial B dimasukkan ke dalam mikrotube

Diambil 5 µl + serum penderita, dihomogenkan

Kertas Dipstik dimasukkan ke dalam Vial C (aquades), + 1 menit

Kertas Dipstik dimasukkan ke dalam mikrotube campuran reaksi deteksi dan serum darah

Diinkubasi selama 3 jam

Kertas Dipstik dicuci pada air mengalir, dikeringkan

Pengamatan Intensitas warna

Dibiarkan 30 menit, dihomogenkan

37

LAMPIRAN III

Hasil Pemeriksaan Uji dipstik

No No Sampel J.Kelamin Umur Lama

Demam Hasil Pemeriksaan Dipstik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

GW 1 GW 2 GW 3 GW 4 GW 5 GW 6 GW 7 GW 8 GW 9

GW 10 GW 11 GW 12 GW 13 GW 14 GW 15 GW 16 GW 17 GW 18 GW 19 GW 20 GW 21 GW 22 GW 23 GW 24 GW 25 GW 26 GW 27 GW 28 GW 29 GW 30

L L P L P P P L P P L P L L P P P L P L L L P P P L L P P P

40 60 17 37 60 23 52 29 54 40 24 35 33 43 20 31 67 18 28 41 28 37 18 36 55 54 40 38 35 15

4 7 3 3 3 4 3 3 1 3 5 4

10 3 7 5 3 4 3 2 3 4 5 4 6 5 3 5 5 5

+1 - -

+4 - - -

+4 - - -

+4 -

+2 -

+4 - - - - - - - - - - - - - -

38

LAMPIRAN IV

FOTO HASIL PEMERIKSAAN DIPSTIK