44
Referat Arthritis Reumatoid Juvenil DAFTAR ISI DAFTAR ISI……………………………………………….…………………………1 KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….2 BAB I PENDAHULUAN ............................................... ............................................3 BAB II PEMBAHASAN ……….………………………………………………..... ...5 II.1. Definisi ………………….................................................... .....................5 II.2. Epidemiologi …………………………................................................. ..5 II.3. Etiologi …………………………................................................. ...........6 II.4. Patofisiologi……………………………………………………………..6 II.5. Manifestasi Klinis …………………………...........................................9 II.6. Pemeriksaan Fisik……………………………………………………....13 II.7. Pemeriksaan penunjang………………………………………………...13 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Periode 18 Mei 2015-25 Juli 2015 RSPI Sulianti Saroso Page 1

Juvenile Reumatoid Arthritis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tentang JRA

Citation preview

Referat Arthritis Reumatoid Juvenil

Referat Arthritis Reumatoid Juvenil

DAFTAR ISIDAFTAR ISI.1KATA PENGANTAR .2BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................3BAB II PEMBAHASAN .........5II.1. Definisi .........................................................................5II.2. Epidemiologi ...................................................5II.3. Etiologi ............................................................6II.4. Patofisiologi..6II.5. Manifestasi Klinis ...........................................9II.6. Pemeriksaan Fisik....13II.7. Pemeriksaan penunjang...13II.8. Diagnosis .......................................................16II.9. Diagnosis Banding......................................................17II.10. Penatalaksanaan ..........................................17II.11. Komplikasi ...................................................24II.12. Prognosis ......................................................25BAB III KESIMPULAN ..................................27BAB IV DAFTAR PUSTAKA .................................................................................28Lampiran Gambar29

KATA PENGANTARPuji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih, karunia dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Arthritis Reumatoid Juvenil dengan baik serta tepat pada waktunya.Adapun referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSPI Sulianti Saroso periode 18 Mei 2015-25 Juli 2015 dan juga bertujuan untuk menambah informasi bagi penulis dan pembaca tentang arthritis reumatoid juvenil.Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, Penulis mengucapkan terimakasih dan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, Juni 2015

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

Arthritis rheumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur dibawah 16 tahun. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada sinovium dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. ARJ dikenal juga sebagai Stills disease. ARJ sering memberikan dampak buruk pada anak-anak berupa kecacatan atau gangguan psikososial. Untuk itu ARJ memerlukan penanganan yang serius.ARJ merupakan penyakit autoimun multisistem yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinik dan derajat penyakit. Ada beberapa terminology untuk mengelompokan arthritis ini. Istilah ARJ lebih banyak digunakan di Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis pada anak dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rheumatoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orangtua atau keluarga yang menderita reumatoid arthritis dengan faktor rematoid positif. Klasifikasi dan kriteria diagnosis penyakit reumatik anak sudah sering menimbulkan kontroversi para peneliti dan ahli reumatologi. Dengan berkembangnya spesialisasi reumatologi pediatri dalam ruang lingkup yang luas, maka berbagai ketidaksepahaman tersebut sudah selayaknya diselesaikan dalam suatu kesepakatan.Reumatologi pediatri mempelajari berbagai kelainan sistim muskuloskeletal yang terjadi pada anak, dan saat ini telah berkembang menjadi spesialisasi sendiri yang menarik banyak minat para spesialis terutama di Amerika Utara dan Eropa. Pada dasarnya perbedaan antara penyakit anak dan dewasa disebabkan oleh proses tumbuh dan kembang yang terjadi pada anak. Untuk penyakit reumatik perbedaan tersebut berhubungan dengan perkembangan sistim limfoid sampai masa remaja yang akan diikuti kemudian oleh involusi bertahap. Selain itu terdapat pula perbedaan derajat maturitas tulang pada setiap tahap perkembangan anak.

Perbedaan fisis dan biokimiawi tulang rawan dan tulang, anatomi serta peran suplai darah untuk metafisis dan epifisis terhadap pertumbuhan tulang, akan sangat mempengaruhi gambaran penyakit reumatik anak. Faktor lain seperti imaturitas gonad, pajanan terhadap antigen, serta ekspresi imunogenetik berperan pula terhadap manifestasi penyakit reumatik anak.

BAB IIPEMBAHASAN

II.1. DefinisiArtritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu penyakit Reumatoid yang paling sering pada anak dan merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan kecacatan. Ditandai dengan kelainan karakteristik yaitu sinovitis idiopatik dari sendi kecil, disertai dengan pembengkakan dan efusi sendi.ARJ didefinisikan sebagai adanya tanda objektif arthritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6 minggu pada anak usia kurang dari 16 tahun.Arthritis itu sendiri merupakan pembengkakan pada sendi atau ditemukannya dua atau lebih tanda berikut : keterbatasan gerak, adanya nyeri tekan, nyeri saat bergerak atau sendi terasa hangat.

II.2. EpidemiologiArtritis kronik pada anak bukan penyakit yang jarang, namun frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini terdapat pada semua ras dan area geografik, namun insidensnya di seluruh dunia berbeda-beda. Insidens artritis kronik bervariasi antara 2 sampai 20 per 100.000, sedangkan prevalensinya berkisar antar 16 sampai 150 per 100.000. Artritis kronik pada anak biasanya bermula sebelum usia 16 tahun. Namun, usia onset juga dapat lebih awal , dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun, meskipun juga tergantung pada tipe onset. Jenis kelamin perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dan rasio tergantung pula pada tipe onset.Prevalensi JRA telah diperkirakan akan 10-20 kasus per 100.000 anak. Prevalensi data berbeda (11-83 kasus per 100.000), tergantung pada lokasi studi. Pauciarticular dan penyakit polyarticular lebih sering terjadi pada anak perempuan, sedangkan kedua jenis kelamin terpengaruh dengan frekuensi yang sama di-serangan penyakit sistemik.Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan.

II.3. EtiologiSampai kini penyebab ARJ masih belum diketahui dan diakui pula bahwa ARJ sebetulnya merupakan sekumpulan penyakit yang tidak homogen. Terdapat banyak sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ dengan berbagai faktor penyebab seperti infeksi, autoimun, trauma, stress, serta faktor imunogenetik.

II.4. PatofisiologiARJ merupakan penyakit autoimun multisistem yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinik dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisnya belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit arthritis kronik heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan arthritis kronik yaitu ditemukannya tanda peradangan pada sinovium. Tanda adanya respon imun yaitu ditemukannya autoantibodi pada pasien ARJ. Faktor autoantibodi tersebut antara lain antibodi ANA, faktor rheumatoid dan antibody heat shock protein. Peran HLA juga sangat besar dalam patogenesis ARJ.

Patogenesis ARJ kemungkinan melibatkan pola respons pejamu terhadap faktor penyebab tersebut. Dalam patofisiologi JRA, setidak-tidaknya ada 2 hal yang perlu diperhitungkan yaitu hipereaktifitas yang berhubungan dengan HLA dan pencetus lingkungan yang kemungkinannya adalah virus.Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator tersebut antara lain IL-2, IL-6, TNF- dan GM-CSF. Sangat besar peranan sel T dalam menimbulkan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel T autoreaktif tidak lepas dari peran HLA. HLA-DR4 menyebabkan tipe poliartikuler, HLA-DR5 dan HLA-DR8, HLA-B27 menyebabkan pauciartikuler. Virus dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan struktur antigen diri ini. Tampaknya ada hubungan antara infeksi virus hepatitis B, virus Eipstein Barr, imunisasi Rubella, dan mikoplasma dengan ARJ.Sitokin juga memegang peran dalam pathogenesis ARJ. Ada 2 tipe sel T yang dikeluarkan. Sel T tipe 1 lebih banyak melepaskan IL-2, IFN-, dan TNF-. Sedangkan tipe 2 sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respon selular dan humoral. Kemokin diduga ikut berperan karena merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T. reseptor kemokin yang bertanggungjawab terhadap klonasi sel T yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggungjawab sel proliferasi tipe 2. CXCR3 dan CCR5 dominan pada ekspresi sel T tipe 1. Sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab terhadap kedua tipe sel T.

Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sinovia. Tahap berikutnya terjadi sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia mengisi rongga sendi. Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah netrofil, setelah itu limfosit, makrofag dan sel plasma. Pada tahap ini sel plasma memproduksi terutama IgG dan sedikit IgM, yang bertindak sebagai faktor rheumatoid yaitu IgM anti IgG. Belakangan terbukti bahwa anti IgG ini jaga bisa dari klas IgG. Reaksi antigen-antibodi menimbulkan kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen dengan akibat timbulnya bahan-bahan biologis aktif yang menimbulkan reaksi inflamasi. Inflamasi juga ditimbulkan oleh sitokin, reaksi seluler, yang menimbulkan proliferasi dan kerusakan sinovia. Sitokin yang paling berperan adalah IL-18,bersama sitokin yang lain IL-12, IL-15 menyebabkan respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya produksi monokin dan kerusakan karena inflamasi berlanjut.Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang rawan ligamen, tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim, pembentukan jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan sinovia dapat mengeluarkan sitokin, kolagenase, prostaglandin dan plasminogen yang mengaktifkan system kalokrein dan kinin-bradikinin. Prosraglandin E2 (PGE2) merupakan mediator inflamasi dari derivat asam arakidonat, menyebabkan nyeri dan kerusakan jaringan. Produk-produk ini akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut seperti yang terlihat pada Artritis Reumatoid kronik.

II.5. Manifestasi KlinisGejala klinis utama yang terlihat secara obyektif adalah artritis, dimana sendi yang terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritema. Secara klinis artritis ditentukan dengan menemukan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi; atau dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pembengkakan disebabkan oleh edema jaringan lunak periartikular, efusi intra-artikular, atau dari hipertofi membran sinovial. Rasa nyeri atau sakit sendi pada pergerakan biasanya tidak begitu menonjol, namun gerakan aktif atau pasif tertentu, terutama gerakan yang ekstrim, dapat memicu nyeri. Pada anak kecil yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pada pagi hari. Gejala konstitusional yang dapat muncul antara lain anoreksia, penurunan berat badan, gejala gastrointestinal dan gagal tumbuh. Kelelahan(fatigue)dapat muncul pada tipe poliartritis dan sistemik, ditandai dengan peningkatan kebutuhan tidur, merasa lemas dan iritabilitas.Artritis SistemikMerupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding dengan kelompok lainnya. Lebih sering dijumpai pada anak berusia dibawah 4 tahun. Gejalanya sangat spesifik. Ditandai dengan : Anak mendadak sakit berat Diawali panas tinggi mendadak dan puncaknya disore hari, selanjutnya kembali normal keesokan harinya. Kadang disertai bercak kemerahan seperti warna daging ikan salmon, bercak ditemukan pada ekstremitas dan badan. Sifat bercak biasanya berkelompok, berbentuk makula atau pruritus, bercak menghilang bila panas turun. Pada pemeriksaaan patologi anatomi bercak hanya didapatkan edema dan infiltrasi periartrikuler.

Gejala lainnya : kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepetosplenomegali. Pada beberapa pasien ditemukan serositis atau perikarditis. Arthritis mungkin terus dapat berlangsung bebrapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit. Sendi yang terkena lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari tangan dapat terkena, tapi jarang. Pada hasil laboratorium ditemukan lekositosis (lekosit diatas 20.000 mm3), anemia non hemolitik yang berat, LED meningkat, tes ANA negative dan kadar feritin yang tinggi, trombosit meningkat.

Oligoarthritis atau PausiartrikularInsidennya 35% dari ARJ. Ditandai dengan arthritis pada 1-4 sendi tanpa gejala sistemik. Pada 40-70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan berumur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Sendi yang sering terkena sendi lutut, pergelangan kaki, siku dan jari tangan.Dikelompokan menjadi : Persisten : arthritis tidak bertambah meskipun telah lebih dari 6 bulan. Eksten : arthritis semakin meluas setelah 6 bulan.

Poliarthritis Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ. 75% menyerang perempuan. Gambaran artritisnya mirip arthritis rheumatoid pada dewasa. Pada umur sekitar 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan. Reumatoid faktor bisa positif atau negatif. Gejala lainnya lemah, demam, anemia dan penurunan berat badan. Uveitis sangat jarang pada kelompok ini. Arthritis bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar. Tetapi dapat diawali dengan arthritis yang terjadi hanya pada beberapa sendi dan setelah beberapa bulan terjadi poliarthritis. Sendi servikal C1-2 seing terkena dan dapat menimbulkan subluksasi.

Entesitis yang terkait dengan arthritisHanya 15-20% dari ARJ yang menyerang anak berumur 8 tahundenagn HLA B27 positif. Artritis asimetris dan menyerang sendi besar. Keluhan yang paling sering dijumpai yaitu nyeri pinggang khususnya pagi hari, kesulitan duduk maupun berdiri lama, jarang sekali tidur nyenyak. Didapatkan entesitis pada patella atau kalkaneus.

Karakteristik artritis kronik menurut tipe onset penyakitKarakteristikPoliartritisOligoartritisSistemik

Persentase kasus306010

Sendi terlibat>5390 C, tanda arthritis, disertai kelainan sistemik lain seperti ruam rheumatoid serta kelainan visceral (hepatospelomegali, serositis, limpadenopati)

II.7. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna. Biasanya ditemukananemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertailekositosis yang didominasi netrofil. Trombositopeniaterdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi penyakit. Peningkatan LED dan CRP,gammaglobulindipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebi tinggi. Faktor Reumatoidlebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif , sering kali pada ARJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA)lebih sering dijumpai pada ARJ. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Pemeriksaan pencitraanPemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal.Selain dengan foto Rontgen biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu. Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi, bursa dan pembungkus tendon.Padapemeriksaan radiologisbiasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Padatipe oligoartritisdapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Padatipe sistemikKauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

II.8. DiagnosisKriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurutAmerican College of Rheumatology(ACR) : Usia penderita kurang dari 16 tahun. Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau terdapat 2/lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada pergerakan, suhu daerah sendi naik). Lama sakit lebih dari 6 minggu. Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari : Poliartritis (5 sendi atau lebih) Oligoartritis (4 sendi atau lebih) Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermitenPenyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan. Walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis.

II.9. Diagnosis Banding Infeksi : bakteri, virus Postinfeksi streptokokus Trauma Kelainan hematologi : leukemia, hemophilia Penyakit kolagen

II.10. PenatalaksanaanPengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup.Garis besar pengobatanMeliputi : (1) Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan lingkungan; (2). Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen; (3). Obat steroid intra-artikuler; (4). Perawatan Rumah Sakit dan (5). Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan(range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.

Tujuan terapi artritis kronikSegera Meredakan gejala Mengembalikan fungsi Mencegah deformitas Mengontrol inflamasiJangka panjang Minimalisasi efek samping pengobatan Meningkatkan proses tumbuh kembang Rehabilitasi Edukasi

Anti-inflamasi non steroid (AINS)Obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut. Ibuprofen merupkan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai toleransi yang baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis dan diberikan bersama makanan. Tolmetin, yang juga diberikan bersama makanan, diberikan dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Diklofenak juga dapat diberikan pada anak yang tidak dapat AINS lain karena adanya efek samping lambung, dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.AnalgesikWalaupun bukan obat anti-inflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali pemberian dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.

ImunosupresanImunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat. Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih dapat diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam artritis kronik. Keunggulan penggunaan obat ini adalah efektif dengan dosis relatif rendah, pemberian oral dan dosis satu kali per minggu.Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis yang agresif atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan AINS, hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m2/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2/minggu bila respons tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimum 30 mg/m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1 mg/hari sering diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat yang tidak berespons dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular atau subkutan.KortikosteroidKortikosteroid diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk menekan inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan poliartritis berat yang tidak berespons dengan terapi lain. Dosis rendah prednison (0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen jembatan dalam terapi inisial anak yang sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 40 mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom Cushing, penekanan pertumbuhan, fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi glukokortikoid.Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespons dengan AINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon dengan AINS. Namun pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi, misalnya 3 kali pada satu sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. Perlu diingat bahwa pemberian kortikosteroid, walaupun dengan dosis tinggi, tidak akan memperpendek aktivitas penyakit, mencegah komplikasi ekstraartikular, atau mengubah hasil akhir. Jadi lebih baik membatasi pemakaian kortikosteroid untuk menghindari efek toksik obat tersebut.Kombinasi terapi AINS dengansteroid pulse therapyjuga dapat digunakan dalam artritis onset sistemik. Steroid yang digunakan biasanya metilprednisolon intavena dengan dosis 15-30 mg/kgBB/pulse. Protokol yang diberikan dapat terdiri darisingle pulsedengan jarak 1 bulan denganpulseberikutnya, atau 3pulsediberikan berurutan dalam 3 hari dalam 1 bulan, atau 3pulsediberikan secara berselang hari dalam 1 bulan. Selama pemberian terapi ini, harus dilakukan monitoring kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit.Biologic Response ModifiersPendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang berfungsi sebagai penghambatTumor Necrosis Factor (TNF), sehingga akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji tuberkulin kulit dengan PPD(purified protein derivative)menunjukkan hasil negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam.Obat antireumatik kerja lambatGolongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat emas oral dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfat sebagai obat tambahan AINS untuk anak besar dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksan mata, khususnya keadaan retina, lapang pandang dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada anak dibawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan. Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500 mg/hari diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB). Dosis dinaikkan sampai 50 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g). Monitor dilakukan melalui pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan sebagai langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain AINS, seperti metroteksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.Nutrisi dan latihan fisikNutrisi dan vitamin suplemen (vitamin D dan asam folat) menjadi aspek penting dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid. Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisasi nyeri, menjaga dan mengembalikan fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak-anak dengan artritis aktif dianjurkan untuk beristirahat setelah pulang sekolah dan meningkatkan waktu tidur saat malam hari. Pasien dengan ARJ harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan atau aktivitas yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari..

Disease Modifying Anti Rheumatic DrugsDMRAIDsEfek SampingPemantauan

HidroksiklorokuinRetinopatiCek Ophtalmologi

PrednisonGangguan pertumbuhan, penekanan poros HPAKadar Cortisol

Garam emasSupresi sumum tulangCek Hematologi

PenisilaminLupus Eritematosus medikamentosa, Sindroma nefrotikHematologi

SufasalazinNausea vomiting, Hemolitik anemi, supresi sumsum tulangHematologi

MetotreksatSupresi sumsum tulang, hepatotoksikHematologi, LFT

SiklofosfamidSupresi susum tulangHematologi

AzatioprinSupresi sumsum tulang, hepatotoksikHematologi, LFT

II.11. KomplikasiKomplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti ankilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan masalah di sekolah.Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal.

II.12. PrognosisPerjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak, tergantung dari umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ. Pada tipe sistemik arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan dosis steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukan prognosis yang buruk. Sekitar 70-90% penderita ARJ sembuh tanpa cacat, 10% menderita cacat sampai dewasa, sebagaian diantaranya akan berkembang menjadi bentuk dewasa disertai kecacatan.Beberapa faktor yang merupakan indicator buruknya prognosis : Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama Poliarthritis Perempuan Faktor rheumatoid positif Kaku sendi yang persisten Tenosinovitis Nodul subkutan Tes ANA positif Arthritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit Erosi yang progresif Pausiartikuler tipe ekstem

Tipe OnsetSubtipeKlinisPrognosis

PoliartritisRF+ANA+SeronegatifWanitaUsia lebih tuaTangan/pergelanganErosi sendiNodulNon remisiWanitaUsia mudaBurukBaikTidak tentu

OligoartritisANA+RF+HLA-B27+SeronegatifWanitaUsia mudaUveitisPoliartritisErosiNon RemisiLaki-lakiSangat baikKurang baikBurukBaikBaik

BAB IIIKESIMPULAN

Arthritis rheumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur dibawah 16 tahun. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada sinovium dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. ARJ dikenal juga sebagai Stills disease. ARJ sering memberikan dampak buruk pada anak-anak berupa kecacatan atau gangguan psikososial. Untuk itu ARJ memerlukan penanganan yang serius. Terdapat banyak sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ dengan berbagai faktor penyebab seperti infeksi, autoimun, trauma, stress, serta faktor imunogenetik. Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan(range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal.

DAFTAR PUSTAKA1. https://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/17/artritis-reumatoid-juvenil/2. Antonius H, Badriul H, Setyo H, Nikmah S, Ellen P, Eva D. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid II. IDAI. Jakarta : 20103. Aru W, Bambang S, Idrus Alwi, Marcellus S, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta : 2009

Lampiran Gambar

Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 18 Mei 2015-25 Juli 2015RSPI Sulianti SarosoPage 13