Upload
hathien
View
230
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
K. Mustarom
ALL EMPIRES FALL
Pudarnya Hegemoni Imperium Amerika Serikat
LAPORAN KHUSUS
EDISI XVI / NOVEMBER-DESEMBER 2014
Penulis:
K. Mustarom
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil
kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun
2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen
umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran
yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli
terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang
dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………….. 3
EXECUTIVE SUMMARY…………………………………………………………………………………… 4
1. AS Sebagai Sebuah Imperium ………………………………………………………..………. 7
Definisi Imperium …………………..………………………………………………….…………. 7
Kunci Kesuksesan Imperium ………………………………………………………....………. 9
2. Usaha Pembangunan Imperium AS ………………………………………………...……… 15
Tema Umum Intervensi AS. .…………………………………………………………..……… 19
3. AS sebagai negara yang paling mengancam dunia….……………………………….… 22
4. Tanda-Tanda Keruntuhan Imperium AS……………………………………..…..………. 24
Kontradiksi Ekonomi ……………..………………………………………………….…………. 26
Kontradiksi Militer ….……………..………………………………………………….…………. 27
Kontradiksi Politik ……….………..………………………………………………….…………. 28
Kontradiksi Budaya ………...……..………………………………………………….…………. 28
Kontradiksi Sosial ……………….....………………………………………………….………… 29
4
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
EXECUTIVE SUMMARY
Imperium adalah sistem Pusat-Perifer lintas
perbatasan, dengan menggunakan budaya
untuk melegitimasi struktur yang tidak
seimbang antara pusat dan perifer:
- Secara ekonomi, antara yang
mengeksploitasi dan yang dieksploitasi, yang
menyebabkan kesengsaraan;
- Secara militer, antara pembunuh dan yang
dibunuh, yang menyebabkan kematian dan
penderitaan;
- Secara politik, antara pengontrol dan yang
dikontrol, yang menyebabkan represi;
- Secara kultural, antara pemrogram dan yang
diprogram, yang menyebabkan alienasi;
Perbatasan dalam sebuah imperium tidaklah
bersifat geografis. Perbedaan antara pusat dan
perifer terjadi dalam setiap dimensi kekuasaan.
Pada bagian pusat cenderung bersifat
mengeksploitasi, membunuh, mengontrol, dan
memprogram. Sedangkan pada bagian perifer
cenderung dieksploitasi, dibunuh, dikontrol,
dan diprogram.
Jika demikian, apakah AS merupakan
sebuah imperium yang melakukan
imperialisme?
Jika kita mencari jawabannya dari
pemerintah Amerika Serikat, maka jawabannya
adalah tidak. Meski telah menjajah dua negara
berdaulat hanya dalam waktu dua tahun—
Afghanistan pada tahun 2001 dan Irak tahun
2003, meski terdapat lebih dari 750 instalasi
militer AS di dua pertiga negara di dunia, dan
meski telah berulangkali menyatakan keinginan
“untuk memperluas manfaat kebebasan… ke
seluruh penjuru dunia,” George W. Bush tetap
bersikukuh bahwa “AS bukanlah sebuah
imperium”. Rumsfeld juga menambahkan
bahwa “kami tidak menginginkan imperium
dan kami tidak melakukan imperialisme.”
Bangsa Amerika punya gagasan ‘suci’ untuk
‘penyebaran demokrasi’ ke penjuru dunia.
Gagasan itu tertuang dalam Manifest Destiny.
Sebuah manifesto yang menyebutkan bahwa
bangsa Amerika telah ditakdirkan oleh Tuhan
untuk menyebarkan demokrasi.
Meski demikian, menurut Bischof, sejarah
menunjukkan bahwa AS adalah imperium dan
mereka selalu melakukan imperialisme.
Amerika Serikat mempunyai konfigurasi yang
lengkap untuk disebut sebagai sebuah
imperium. Kesimpulan ini diartikulasikan
dalam sebuah pernyataan yang diungkapkan
oleh seorang perencana di Pentagon: “Tidak
akan ada perdamaian. Pada saat tertentu
selama sisa hidup kita, akan ada beberapa
konflik dalam bentuk yang bermutasi di
seluruh dunia. Konflik kekerasan akan
mendominasi berita-berita utama… Peran de
facto bagi pasukan bersenjata Amerika Serikat
adalah menjaga dunia tetap aman bagi
ekonomi kita dan terbuka bagi serangan budaya
kita. Dan untuk menggapai tujuan tersebut, kita
akan melakukan cukup banyak pembunuhan.”
5
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Sebelum Perang Dunia Kedua, rata-rata
intervensi militer yang dilakukan AS adalah
1,15/tahun, dan setelah Perang Dunia Kedua,
rata-rata intervensi meningkat menjadi
1,29/tahun. Pasca Perang Dingin, yaitu sejak
tahun 1989, terjadi peningkatan yang cukup
tajam hingga 2,0. Hasil ini kompatibel dengan
hipotesis bahwa perang akan meningkat seiring
dengan tumbuhnya imperium, dimana mereka
semakin merasa punya hak-hak yang harus
dilindungi, lebih banyak kerusuhan yang harus
dipadamkan, dan lebih banyak pemberontakan
yang harus dihancurkan.
Mesin dari kebijakan luar negeri Amerika
dipicu bukan oleh pengabdian terhadap
moralitas, melainkan oleh kebutuhan untuk
melayani kepentingan lain: yaitu membuat
dunia lebih aman bagi perusahaan-perusahaan
Amerika, meningkatkan laporan keuangan
kontraktor pertahanan yang telah memberikan
kontribusi kepada anggota kongres, mencegah
munculnya masyarakat yang bisa berfungsi
sebagai contoh sukses alternatif dibanding
model kapitalis, memperluas hegemoni politik
dan ekonomi seluas mungkin, sebagaimana
layaknya sebuah "kekuatan besar." Atas dasar
tujuan tersebut, selama periode 1945-2000,
Amerika Serikat telah melakukan intervensi
sangat serius ke lebih dari 60 negara.
Hanya orang yang naif, dungu, atau
keduanya yang terkejut dengan terjadinya
serangan 11 September. Terorisme negara tak
terbatas dan tak bertepi yang dilakukan oleh
Amerika Serikat mendapat jawaban yang
sangat tidak mengejutkan: terorisme terhadap
Amerika Serikat. Dengan perkiraan sekitar 13-
17 juta orang tewas, dan rata-rata 10 orang
berduka atas setiap satu korban tewas, yang
mengakibatkan kesedihan dan kepedihan,
maka nafsu untuk membalas dendam
berkembang. Namun, akar dari semua itu
bukanlah pada rantai tak berujung dari
kekerasan untuk membalas dendam. Mereka
adalah konflik tanpa solusi yang dibangun
dalam imperium AS. Barangkali, inilah yang
dimaksud oleh perencana Pentagon yang
memandang bahwa “untuk mencapai tujuan
tersebut, kami akan melakukan banyak
pembunuhan.”
Untuk mengatasinya, para akademisi
berpendapat hanya bisa dilakukan dengan
dibubarkannya imperium AS, sebagaimana
kesimpulan Johan Galtung, “Sepanjang masih
ada imperium militeristik Amerika Serikat,
maka perdamaian dunia tidak akan ada di
muka bumi. Ini adalah ganjalan utama bagi
perdamaian dunia hari ini.” Tak salah jika AS
dinobatkan sebagai negara paling mengancam
perdamaian dunia dalam sebuah polling yang
telah dilakukan sejak tahun 1977 dan baru
dirilis tahun 2013 silam.
Kini, tanda-tanda keruntuhan AS mulai
terlihat. Sangat ironis, hanya satu dekade atau
lebih setelah ide Amerika Serikat sebagai
kekuatan imperium muncul dan diterima, dan
orang-orang mulai dapat berbicara secara
terbuka mengenai imperium Amerika, yang
terjadi justru menunjukkan beberapa tanda-
tanda ketidakmampuannya untuk terus
6
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
berlanjut dan bahkan spekulasi mulai muncul
mengenai keruntuhannya.
Sebagaimana sistem yang lain, imperium
juga mengalami siklus hidup sebagaimana
sebuah organisme. Mereka mengalami
pembuahan, kehamilan, kelahiran, masa bayi,
masa kanak-kanak, remaja, dewasa, penuaan
dan kematian. Benih imperium Amerika
Serikat ditaburkan oleh Imperium Inggris.
Mereka mengasah kemampuan imperium
mereka pada penduduk pribumi, kemudian
berkelana ke luar negeri dalam bentuk
intervensi militer dengan mendefinisikan zona
kepentingan, mengambil alih imperium
Spanyol, kemudian memperluasnya dengan
menjadikan hegemoni di dunia dan ruang
angkasa sebagai tujuan. Sekarang, Amerika
Serikat sedang mengalami fase penuaan,
dengan beban tugas pengendalian yang
melimpah.
Amerika dan sistem nilai yang dibawanya
tidak lagi menjadi model bagi dunia. Seperti
yang disimpulkan Tony Judt: “Tragedi
sesungguhnya adalah kita tidak lagi menjadi
contoh bagi diri kita sendiri.” Dunia tidak lagi
percaya pada mitos “eksepsionalisme Amerika“.
Paul Kennedy menyimpulkan bahwa seluruh
imperium di era modern turun dan runtuh
sebagai hasil dari “imperial overstretch”. Para
pengambil keputusan di Washington harus
menghadapi kenyataan buruk bahwa jumlah
total kepentingan global dan kewajiban
Amerika Serikat saat ini jauh lebih besar
daripada kekuatan negara tersebut untuk
mempertahankan mereka secara simultan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan
berbagai kontradiksi—baik di bidang militer,
ekonomi, politik, maupun kultural—dan
demoralisasi yang terjadi di kalangan elit AS.
Dengan berbagai kontradiksi tersebut, diiringi
dengan demoralisasi yang terjadi di kalangan
elit, Galtung memprediksi terjadinya
penurunan AS secara gradual yang berujung
keruntuhan pada tahun 2020. Semakin kuat
sebuah imperium, semakin cepat ia
meningkatkan kontradiksinya, maka semakin
tinggi kekacauan internal, dan semakin dekat ia
pada keruntuhan. Ini adalah sebuah hukum
yang disimpulkan oleh Galtung dari analisis
perbandingan 10 imperium yang diawali
dengan imperium Romawi.
Semua imperium pada akhirnya runtuh:
Akkad, Sumeria, Babilonia, Niniwe, Asyur,
Persia, Macedonia, Yunani, Carthage, Roma,
Mali, Songhai, Mongol, Tokugawaw, Gupta,
Khmer, Hapbsburg, Inca, Aztec, Spanyol,
Belanda, Turki Utsmani, Austria, Perancis,
Inggris, Uni Soviet. Sebagian besar mereka
runtuh dalam hitungan satu hingga dua ratus
tahun. Alasannya tidak begitu rumit. Sebuah
imperium adalah semacam sistem negara yang
secara tak terhindarkan membuat kesalahan
yang sama hanya dengan sifat struktur
imperlias mereka. Mereka gagal karena ukuran,
kompleksitas, jangkauan wilayah, stratifikasi,
heterogenitas, dominasi, hirarki, dan
ketidaksetaraan.
7
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
“Budaya imperialisme akan runtuh saat
rakyat tidak lagi mempercayainya dan
sihir mereka telah hilang.” 1
1. AS sebagai sebuah Imperium
Diskusi mengenai imperium cukup
menghangat di kalangan akademisi AS,
terutama pasca serangan 11 September.
Sebagian besar warga AS, dalam sejarah
mereka, selalu menentang ide tentang
“imperium AS”. Mereka menggunakan
segala bentuk eufemisme untuk membatasi
status superpower AS selama perang dingin
dan setelahnya. George W. Bush pun
memberi jaminan bahwa “Amerika tidak
pernah menjadi sebuah imperium.
Mungkin kita satu-satunya kekuatan besar
dalam sejarah yang mempunyai kesempat-
an, namun menolaknya—kami lebih
memilih kebesaran daripada kekuasaan,
dan keadilan daripada kejayaan.” 2
Mengomentari pernyataan Bush tersebut,
Gunter Bischoff menanggapi bahwa
meskipun “mendapat gelar dari Yale,
wawasan Bush tentang sejarah AS
nampaknya cukup buruk.”3
Sebelum Bush berkuasa, “Imperium
Amerika” merupakan kata kotor yang tidak
berani mengungkapkan namanya. Namun,
itu semua berubah pasca serangan 11
September. Banyak warga AS, terutama
kalangan neokonservatif yang menjadi
1 Myers, Wally (2013),“Is the Empire Falling?, hal. 20 2Ferguson, Niall (2004) Colossus,“The Price of America’s
Empire,” New York, hal. 6 3 Gunter, Bischoff (2009), “Empire Discourses: The American Empire in Decline?,” Kurswechsel, hal 14–23
penasihat Bush, sangat ingin merangkul
gagasan bahwa AS merupakan “imperium
baru” yang mempunyai kepentingan global,
meskipun Menteri Pertahanan waktu itu,
Donald Rusmfeld, dengan percaya diri
menegaskan bahwa “kami tidak
imperialistik”. 4 Apakah benar AS
merupakan sebuah imperium?
Definisi Imperium
Para ilmuwan sangat berhati-hati dalam
mendefinisikan imperium. Sebagian besar
menyatakan bahwa imperium
“menaklukkan atau menganeksasi beberapa
wilayah, atau mengatur rakyatnya secara
langsung.” 5 Sebagian lain berpendapat
bahwa imperium adalah sistem Pusat-
Perifer lintas perbatasan, dengan
menggunakan budaya untuk melegitimasi
struktur yang tidak seimbang antara pusat
dan perifer:
- Secara ekonomi, antara yang
mengeksploitasi dan yang dieksploitasi,
yang menyebabkan kesengsaraan;
- Secara militer, antara pembunuh dan
yang dibunuh, yang menyebabkan
kematian dan penderitaan;
- Secara politik, antara pengontrol dan
yang dikontrol, yang menyebabkan
represi;
- Secara kultural, antara pemrogram dan
yang diprogram, yang menyebabkan
alienasi; 4 http://www.nytimes.com/2003/04/29/world/aftereffects-military-presence-rumsfeld-says-us-will-cut-forces-in-gulf.html 5 Porter, Bernard (2006), “Empire and Superempire. Britain, America and the World,” New Haven, CT.
8
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Perbatasan dalam sebuah imperium
tidaklah bersifat geografis. Perbedaan
antara pusat dan perifer terjadi dalam
setiap dimensi kekuasaan. Pada bagian
pusat cenderung bersifat mengeksploitasi,
membunuh, mengontrol, dan mem-
program. Sedangkan pada bagian perifer
cenderung dieksploitasi, dibunuh,
dikontrol, dan diprogram. Jika Anda
mengeksploitasi, membunuh, mengontrol,
atau mempogram pihak lain; maka Anda
berada dalam pusat imperium. Jika Anda
dieksploitasi secara ekonomi, diciderai
secara militer, dikontrol secara militer,
dan/atau diprogram secara kultural, maka
Anda berada dalam bagian perifer. Anda
adalah korban dari imperialisme.6
Imperium dibatasi oleh garis demarkasi
imperial yang sangat jelas, dan wilayah
sekitar yang berada di luar perbatasan
imperium tidak dianggap setara dengan
mereka. Mereka yang berada dalam wilayah
perifer sebuah imperium cenderung
mempunyai hak yang lebih sedikit
dibanding mereka yang berada dalam pusat
imperium.
Pada sebuah imperium terdapat negara
satelit dan juga negara hegemonik.
Imperium mempunyai wilayah yang luas
dan berlangsung lama. Imperium bisa
merupakan daratan yang luas seperti Rusia
atau China, atau merentang di seluruh
6Myers, Wally (2013),“Is the Empire Falling? Mostly from
Johan Galtung’s The Fall of the US Empire–And Then What?”, http://www.ncveteransforpeace.org/issues/Empire_Falling.pdf
dunia sebagai imperium laut sebagaimana
imperium Spanyol dan Inggris. Dalam
penelitian Sir John Glubbs, imperium
biasanya berakhir dalam sepuluh generasi
atau sekitar 250 tahun.7
Charles S. Maier menggolongkan
imperium berdasarkan ukuran, hirarki
etnis, dan sentralisasi rezim. Menurutnya,
imperium adalah “sebuah struktur aturan
yang secara teritorial sangat luas yang
biasanya merendahkan bermacam-macam
kelompok etnis dan memberikan kekuasa-
an eksekutif kepada kekuatan yang lebih
besar.” 8 Sedangkan Anatol Lieven
menambahkan bahwa sebuah imperium
berdasarkan definisinya “bukanlah sebuah
pemerintahan yang diatur dengan
persetujuan eksplisit dari pihak yang
diatur.”9
Imperium adalah sekelompok bangsa
atau negara yang dikendalikan oleh negara
paling kuat dalam kelompok tersebut.
Negara yang berkuasa dalam imperium
tersebut harus memiliki rasa kebanggaan
nasional yang kuat dan rakyat dalam
negara yang berkuasa tersebut harus
mendukung penaklukan yang dilakukan.
Negara yang berkuasa menguasai negara
lain disebabkan beberapa alasan:
7 Glubb, Sir John (1976, 1977),“The Fate of Empires and
Search for Survival,” Blackwoods, http ://dariusthemede.tripod.com/glubb/ 8 Maier, Charles S. (2006), “Among Empires. America’s
Ascendancy and Its Predecessors,” Cambridge, MA. 9Ferguson, Niall (2004) Colossus,“The Price of America’s Empire,” New York, hal. 10
9
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
◦ Negara yang berkuasa mempunyai
seorang pemimpin yang bisa
meyakinkan warganya bahwa penjajahan
di negara lain yang mereka lakukan
dimaksudkan untuk membantu rakyat.
Sebagai contoh, para pemimpin Inggris
mengatakan kepada rakyatnya bahwa
sebagai orang Eropa kulit putih, mereka
mempunyai kewajiban untuk me-
ngangkat peradaban negara lain.
◦ Negara yang berkuasa akan menjajah
negara yang mereka anggap sebagai
ancaman
◦ Negara yang berkuasa akan mendapat-
kan keuntungan ekonomi dari
penjajahan yang mereka lakukan di
negara lain.
◦ Negara yang berkuasa ingin mencipta-
kan “buffer zone’ di beberapa negara
untuk melindungi diri mereka dari
serangan.
◦ Negara yang berkuasa ingin menyebar-
kan agama yang ideal versi mereka.
◦ Kekuasaan.
Kunci kesuksesan imperium
◦ Negara yang berkuasa harus memiliki
militer yang kuat. Militer yang kuat akan
membantu negara untuk mengambil alih
dan mengendalikan rakyat setelah
mereka berhasil mengambil alih
kekuasaan.
◦ Negara yang berkuasa juga perlu
memiliki diplomasi yang kuat. Mereka
harus mampu meyakinkan negara-
negara kuat lainnya bahwa membangun
sebuah imperium tidak akan
mengancam keseimbangan kekuatan.
◦ Perlu ada negara yang ingin ditaklukkan.
Biasanya adalah negara yang mengalami
kesulitan ekonomi dan politik. Juga,
kadang-kadang para pemimpin di
negara-negara miskin tersebut bersedia
menjual negara mereka untuk kekuasaan
atau kekayaan.
Jika demikian, apakah AS merupakan
sebuah imperium yang melakukan
imperialisme?
Jika kita mencari jawabannya dari
pemerintah Amerika Serikat, maka
jawabannya adalah tidak. Meski telah
menjajah dua negara berdaulat hanya dalam
waktu dua tahun—Afghanistan pada tahun
2001 dan Irak tahun 2003, meski terdapat
lebih dari 750 instalasi militer AS di dua
pertiga negara di dunia, dan meski telah
berulangkali menyatakan keinginan “untuk
memperluas manfaat kebebasan… ke seluruh
penjuru dunia,” 10 George W. Bush tetap
bersikukuh bahwa “AS bukanlah sebuah
imperium”. Rumsfeld juga menambahkan
bahwa “kami tidak menginginkan imperium
dan kami tidak imperliastik.”11
Meski demikian, menurut Bischof, sejarah
menunjukkan bahwa AS adalah imperium
dan mereka selalu melakukan imperialisme.
Amerika Serikat mempunyai konfigurasi
yang lengkap untuk disebut sebagai sebuah
10
http://www.monde-diplomatique.fr/cahier/irak/a9687 11
http://www.nytimes.com/2003/04/29/world/aftereffects-military-presence-rumsfeld-says-us-will-cut-forces-in-gulf.html
10
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
imperium. Kesimpulan ini diartikulasikan
dalam sebuah pernyataan yang diungkapkan
oleh seorang perencana di Pentagon: “Tidak
akan ada perdamaian. Pada saat
tertentu selama sisa hidup kita, akan
ada beberapa konflik dalam bentuk
yang bermutasi di seluruh dunia.
Konflik kekerasan akan mendominasi
berita-berita utama… Peran de facto
bagi pasukan bersenjata Amerika
Serikat adalah menjaga dunia tetap
aman bagi ekonomi kita dan terbuka
bagi serangan budaya kita. Dan untuk
menggapai tujuan tersebut, kita akan
melakukan cukup banyak pembunuh-
an.”12
Dengan kata lain, Amerika Serikat akan
melakukan kekerasan langsung untuk
melindungi kekerasan struktural yang
dilegitimasi oleh kekerasan kultural. Pusat
dalam imperium ini adalah Amerika Serikat
dan bagian perifer adalah sebagian besar
wilayah di dunia.13
Kedatangan mereka di Virginia pada
tahun 1607 dan di Massachusetts tahun 1620
diirngi dengan pembunuhan 10 juta
penduduk pribumi dan pemusnahan ratusan
12Parameters, Summer 1997, hal. 4-14: US Army War College dan Constant Conflict, Informationclearinghouse.info.http://www.informationclearinghouse.info/article3011.htm 13
Galtung, Johan (2009). The Fall of the US Empire - and Then What? Successors, Regionalization or Globalization? US Fascism or US Blossoming?. Stadtschlaining, Austria, TRANSCEND University Press. Hal. 18
kultur pribumi. Tanah tersebut ditaklukkan.
Ia tidak kosong, namun dikosongkan.14
Ekspansi AS di sepanjang benua Amerika
pada abad ke 19 merupakan upaya
pembangunan imperium kontinental
sebagaimana yang dibangun oleh Rusia pada
abad yang sama. Para ahli sejarah Eropa dan
AS sendiri secara jelas mengakui terjadinya
keberlangsungan imperialisme AS dari abad
19 hingga abad 20.15
Bangsa Amerika punya gagasan ‘suci’
untuk ‘penyebaran demokrasi’ ke penjuru
dunia. Gagasan itu tertuang dalam Manifest
Destiny, sebuah manifesto yang
menyebutkan bahwa bangsa Amerika telah
ditakdirkan oleh Tuhan untuk menyebarkan
demokrasi. Manifest Destiny adalah
kepercayaan historis yang menyebutkan
bahwa Amerika Serikat ditakdirkan, bahkan
dinobatkan oleh Tuhan, untuk menguasai
daratan Amerika Utara, dari pantai Atlantik
hingga pantai Pasifik. Para pendukung
Manifest Destiny percaya bahwa ekspansi itu
bukan hanya bagus, tapi hal itu juga nyata
(manifest) dan pasti (destiny). Konsep ini
begitu mempengaruhi kebijakan negara
Amerika Serikat pada tahun 1800-an.
Istilah Manifest Destiny pertama kali
ditemukan tercetak pada tahun 1839, namun
pertama kali digunakan oleh jurnalis New
York, John L. O’Sullivan, pada tahun 1845,
untuk mendorong penaklukan Texas. Juga
14
http://churchandstate.org.uk/2010/10/the-fall-of-the-us-empire/ 15
Porter, Bernard (2006)
11
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
digunakan untuk melegitimasi perlawanan
terhadap koloni bangsa Eropa dan suku
Indian. O’Sullivan menyatakan bahwa
melalui ekspansi-ekspansi tersebut Amerika
Serikat dapat menjadi negara super power di
bidang sosial dan politik.
Ekspansi Amerika ke Pasifik dan Timur
Jauh (Filipina, Hawaii, Wake, Guam), serta
ke Karibia setelah kekalahan Spanyol pada
tahun 1898 merupakan kelanjutan dari misi
“civilitazion” Amerika terhadap orang-orang
kulit berwarna dan untuk memperkuat posisi
geopolitik mereka sebagai sebuah kekuatan
besar. Mereka melakukan pembangunan
imperium informal di Karibia dan Pasifik
yang penuh dengan kolonialisme, pos
perdagangan, pangkalan militer dan usaha
misionaris pasukan salib.16
Mereka melanjutkannya dengan inter-
vensi militer dan pengiriman misionaris
keuangan ke Karibia dan Amerika Tengah di
bawah Presiden Theodore Roosevelt (1901-
1909), William Howard Taft (1909-1913) dan
Woodrow Wilson (1913-1921). Intervensi
liberal Woodrow Wilson di Meksiko dan
beberapa tempat lain menunjukkan
kehadiran Amerika dalam rangka “membuat
dunia aman bagi demokrasi”. Misi Amerika
untuk mengekspor demokrasi—sebagai alat
kendali bagi imperium liberal—pun terus
berlanjut sepanjang abad.
Setelah Perang Dunia II, AS berusaha
memperkuat imperium globalnya. Dalam
usaha “civilization” melawan Uni Soviet 16
Gunter, Bischoff (2009). hal. 16
pasca Perang Dunia II, AS mengembangkan
kehadiran militernya secara global dan
membangun sistem aliansi multilateral
global dan perjanjian bilateral dengan sekutu
kunci (Jepang, Taiwan, Korea). Pada tahun
1955, AS telah mengunci sekitar 55 negara di
seluruh dunia ke dalam struktur aliansi
global. “Payung Nuklir” Amerika yang
dibangun dalam perang dingin melawan Uni
Soviet dirancang untuk menjamin
perlindungan sekutu Amerika melawan Uni
Soviet. Negara-negara Eropa Barat dan
negeri-negeri lain di seluruh dunia
memohon kepada AS untuk datang dan
melindungi mereka dari ancaman Soviet;
mereka memohon Washington untuk datang
dan masuk ke dalam pakta militer bersama
mereka untuk membantu membendung
Soviet dan menjamin kelangsungan hidup
mereka di dunia nuklir. Pada awal 1950-an,
saat perang berkecamuk di Korea, sekutu AS
merasa mereka perlu “kekuatan keras”
Amerika untuk melawan ancaman komunis.
Dengan kehadiran militer dalam puluhan
pangkalan, Jerman Barat dan Jepang
menjadi quasi-protektorat AS.17
Meningkatnya kehadiran militer Amerika
juga didukung oleh “soft power” AS. Budaya
pop Amerika (jazz, film-film Hollywood)
mulai masuk ke Eropa pasca Perang Dunia I.
Dan pasca Perang Dunia II, banjir budaya
pop Amerika berhasil menaklukkan Eropa
Barat dan negara-negara non-komunis.
17
Ferguson, Niall (2004). “Colossus. The Price of America’s
Empire”. New York. Hal 12
12
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Anak-anak Eropa Barat—yang segera diikuti
oleh para pemuda di seluruh dunia—
terpesona dengan celana jeans dan Coca
Cola, serta Elvis Pressley dan James Dean.
Imperium konsumsi AS ini pun menjadi tak
tertahankan.18
Tak hanya jazz, televisi dan lemari es,
banjir produksi AS juga diekspor melalui
Marshall Plan19 yang menciptakan imperium
produksi. Bangsa Eropa membutuhkan
pinjaman untuk mengisi “kesenjangan
dolar”, dan bantuan Amerika datang dengan
tekanan dari Washington untuk melakukan
konvertibilitas mata uang dan penerimaan
kepemimpinan ekonomi Amerika. Kehadiran
geopolitik Amerika setelah Perang Dunia II
juga datang dengan meningkatnya
keterlibatan ekonomi Amerika dan dominasi
dolar.20
Di atas semua itu, diplomasi publik yang
dilakukan oleh Amerika secara besar-
besaran memborbardir Eropa Barat, baik
dengan program terbuka maupun program
rahasia, dalam perang propaganda melawan
Uni Soviet. Aliansi “hard power” dikuatkan
oleh kampanye “soft power”, yang seringkali
lebih populer dibanding pertumbuhan
18
Maier, Charles S. (2006). “Among Empires. America’s
Ascendancy and Its Predecessors”. Cambridge, MA. Hal 238 19
Program ekonomi skala besar pada tahun 1947–1951 oleh Amerika Serikat yang bertujuan membangun kembali kekuatan ekonomi negara - negara di Eropa setelah Perang Dunia II usai. Inisiatif penamaan diambil dari nama menteri luar negeri AS saat itu, George Marshall. Negara-negara Eropa Barat yang menerima bantuan ekonomi melalui Marshall Plan harus bersedia bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi secara maksimal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan volume perdagangan. 20
Maier, Charles S. (2006). hal. 214
kehadiran AS secara militer, yang pada
pertengahan 1950-an mulai mengganggu
Eropa dan sekutu lainnya. Meski demikian,
kehadiran imperium Amerika sebagian besar
disambut dengan baik—mereka menjadi
imperium dan juga sekutu. John Lewis
Gaddis menyebut imperium AS bersifat
konsensual, paling tidak pada sekutu-sekutu
Baratnya.21 Sejak akhir abad ke-19, kritikan
terhadap pertumbuhan kekuatan ekonomi
dan geopolitik Amerika mulai menggema,
dengan menyebutnya sebagai “imperialisme
dollar”.
Selama dekolonisasi tahun 1960-an, AS
bertindak secara berbeda di “Dunia Ketiga”
saat AS melakukan Perang Dingin dengan
Uni Soviet. Para analis dunia mengatakan
kapitalisme mulai melakukan eksploitasi
ekonomi. 22 Di negara-negara kaya mineral
seperti Kongo, Vietnam, Iran, Guatemala
dan Kuba AS menggunakan kontrol, baik
secara rahasia maupun terbuka, untuk
mengalahkan ancaman komunis. AS bekerja
sama dengan diktator di seluruh dunia di
negara-negara yang baru merdeka. Dalam
kasus ini, AS lebih banyak melakukan
perilaku imperialisme dibanding kebaikan.23
Dunia pasca Perang Dingin membawa AS
sebagai superpower tunggal tanpa pesaing
utama. Intelektual seperti Francis Fukuyama
secara prematur mengumumkan “akhir
21
Gaddis John Lewis (1997). "We Now Know. Rethinking Cold War History." Oxford. Hal. 17 22
McCormick Thomas (1989). “America’s Half-Century. United
States Foreign Policy in the Cold War”. Baltimore. Hal. 2ff 23
Gunter, Bischoff (2009). Hal. 17
13
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
sejarah” dan era abadi demokrasi.
Sementara para analis geopolitik seperti
Henry Kissinger dan Zbiginiew Brezinzinski
memandang dunia yang muncul pasca
Perang Dingin akan mengancam status
kekuasaan unik AS. Pembicaraan mengenai
penurunan kekuatan AS juga muncul dari
para kritikus kekuasaan AS seperti Noam
Chomsky dan Gore Vidal. Bahkan, sebelum
invasi ke Irak tahun 2003, Immanuel
Wallerstein pada tahun 2002
mengemukakan akhir dari hegemoni AS di
dunia.24
Sementara itu, Pentagon terus
membangun mesin militer yang kuat dan
penuh dengan spektrum dominasi AS.
Tampaknya mereka ingin mengikuti pepatah
Romawi “Jika Anda ingin damai, bersiaplah
untuk perang”. 25 Meskipun anggaran
pertahanan dipotong, Pentagon terus
meningkatkan kehadiran militer secara
global dan membangun sistem persenjataan
canggih yang bisa memproyeksikan
kekuatan Amerika di darat, udara dan laut
dalam rangka menghadapi ancaman baru.
Imperium baru dioperasikan secara
sembunyi-sembunyi. 26 Jumlah pangkalan
24 Wallerstein, Immanuel (2002). “The Incredible Shrinking Eagle. The End of Pax Americana”. Foreign Policy. Juli 2002. Hal. 60-68. 25 Zakaria, Fareed (2009). “The Post-American World”. New York. Hal. 115 26
Kaplan, Robert D. (2003). ”Supremacy by Stealth. Ten Rules for Managing the World”. Atlantic Monthly. Juli 2003. Hal 66-83.
militer Amerika pun meningkat, dari 450
hingga lebih dari 700.27
Kekuatan Amerika meningkat drastis
setelah berakhirnya Perang Dingin. Selama
masa jabatan, Presiden Bill Clinton ikut
campur dalam konflik etnis di Balkan.
Clinton mengejar Al-Qaidah di Afghanistan
dan Sudan dengan serangan pesawat tanpa
awak. Dia mendorong batas depan NATO
hingga ke perbatasan Rusia. Ketika George
W. Bush memasuki Gedung Putih, pasca
serangan 11 September 2001, ia menemukan
misi baru dengan memanfaatkan trauma
bangsanya untuk melakukan “perang global
melawan terorisme”.
Amerika pasca 9/11 mengalami sebuah
“Roman moment” dengan melakukan aksi
unilateral di dunia. 28 Untuk melakukan
penegasan kembali kekuatan Amerika di
dunia, pemerintahan Bush mengeluarkan
grand strategy baru dengan melakukan aksi
pencegahan sepihak (unilateral preemption)
terhadap ancaman yang dirasa akan muncul
(perceived threats). 29 Bush percaya bahwa
Amerika harus memaksakan kehendaknya
pada dunia karena: 1) pertama, Amerika
Serikat bisa lolos dengan kebijakan semacam
itu, dan 2) kedua, jika Washington tidak
mengerahkan kekuatannya, Amerika Serikat
27
Johnson, Chalmers (2004). “The Sorrows of Empire. Militarism, Secrecy, and the End of the Republic”. New York. Hal. 24 28
Zakaria, Fareed (2009). “The Post-American World”. New York. Hal. 217 29 Lieven, Anatol (2002).”The Push for War”. London Review of Books. Oktober 2002
14
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
akan menjadi semakin terpinggirkan. 30
Mereka menjual serangan ke Afghanistan
dan Irak dalam bentuk usaha untuk
membunyikan demokrasi di Timut Tengah.
Para “pembebas” dari AS berharap bahwa
mereka akan disambut dengan kalungan
bunga dan ciuman, namun sebaliknya
mereka terjebak dalam penjajahan panjang
dan jahat, dan sebuah perang yang penuh
kekerasan melawan para gerilyawan.
Apakah keterlibatan Amerika di Irak
menjadi ujian sesungguhnya bagi imperium
AS? Charles S. Maier berpendapat bahwa
sangat logis bagi Amerika, dengan ambisi
geopolitik yang besar, untuk tersedot ke
Mesopotamia yang subur sebagaimana
imperium-imperium sebelumnya sejak era
Assyria dan Babilonia. Maier menganggap
AS sebagai remaja belum matang
berkekuatan besar yang sembrono dengan
kekuatannya dan dengan temperamen yang
belum stabil.31
Meski kekuatan militer Amerika tidak
berkurang dan menunjukkan sebuah
dominasi imperial di dunia, soft power
mereka cenderung mengalami penurunan.
Presiden Clinton berpikir bahwa United
States Information Agency (USIA) tidak
diperlukan lagi sebagai alat utama bagi
diplomasi publik untuk mempromosikan
kultur Amerika ke seluruh dunia. 32 Sikap
30
30
Wallerstein, Immanuel (2002). Hal. 66 31 Maier, Charles S. (2006). “Among Empires. America’s Ascendancy and Its Predecessors.” Cambridge, MA. Hal 293 32 Bischof, Günter (2007). “U. S. Public Diplomacy. Lecture delivered at Europäisches Forum
unilateralisme penuh arogansi yang
dilakukan oleh Bush dan strategi
preemptive-nya menghasilkan serangan
balik global. Serangan 11 September
dipandang sebagai awal dari serangan balik
tersebut. Imperialisme Amerika dan operasi
rahasia mereka menuai apa yang telah
mereka tabur. 33 Invasi ke Irak,
penyalahgunaan penjara Abu Ghraib,
penyiksaan –yang oleh CIA disebut dengan
bahasa penghalusan “teknik interogasi yang
ditingkatkan”—di Afghanistan, Irak dan
Guantanamo, telah menghasilkan
munculnya sikap anti-Amerika di seluruh
dunia dan berdampak pada penurunan
prestise Amerika.34 Dengan setiap serangan
drone di Pakistan dan Yaman, bahaya
serangan balik semakin meningkat. Dengan
setiap intervensi AS, tampilan soft power AS
semakin terpuruk.
Kehadiran imperium AS di Timur Dekat
dan di tempat lain tidak lagi dilakukan
melalui “undangan” dan konsensual, tapi
lebih melalui pemaksaan. Amerika dan
sistem nilai yang dibawanya yang tidak lagi
menjadi model bagi dunia. Seperti yang
disimpulkan Tony Judt: “Tragedi
sesungguhnya adalah kita tidak lagi menjadi
contoh bagi diri kita sendiri.”35 Dunia tidak
Alpbach”. 33
Johnson, Chalmers (2004). “The Sorrows of Empire. Militarism, Secrecy, and the End of the Republic.” New York. Hal 8. 34
Bischof, Günter (2007) 35 Judt Tony (2004). “Dreams of Empire.” New York Review of Books. 4 November 2004. Hal 41.
15
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
lagi percaya pada mitos “eksepsionalisme
Amerika “.36
Paul Kennedy menyimpulkan bahwa
seluruh imperium di era modern turun dan
runtuh sebagai hasil dari “imperial
overstretch”. Dia menyimpulkan bahwa:
“Para pengambil keputusan di
Washington harus menghadapi kenyataan
buruk dan kekal bahwa jumlah total
kepentingan global dan kewajiban Amerika
Serikat saat ini jauh lebih besar daripada
kekuatan negara tersebut untuk
mempertahankan mereka secara simultan.”37
2. Usaha Pembangunan Imperium AS
Tepat setelah terjadinya serangan 11
September tahun 2001, Zoltan Grossman
merilis daftar intervensi militer AS selama
111 tahun, dari tahun 1890-2001,
berdasarkan catatan Kongres dan The
Library of Congress Congressional
Research Service. Daftar tersebut dimulai
dari pembunuhan brutal penduduk pribumi
di Wounded Knee, Dakota hingga invasi
militer ke Afghanistan.38
Sebelum Perang Dunia Kedua, rata-rata
intervensi militer yang dilakukan AS adalah
1,15/tahun, dan setelah Perang Dunia
Kedua, rata-rata intervensi meningkat
36 Hodgson Geoffrey (2009). “The Myth of American Exceptionalism”. Hew Haven, CT. 37
Kennedy Paul (1987). “The Rise and Fall of the Great Powers”. New York. Hal. 515 38
Grossman, Zoltán (2001), “A Briefing on The History of U.S. Military Interventions”. Z Magazine. http://academic.evergreen.edu/g/grossmaz/interventions.html
menjadi 1,29/tahun. Pasca Perang Dingin,
yaitu sejak tahun 1989, terjadi peningkatan
yang cukup tajam hingga 2,0. Hasil ini
kompatibel dengan hipotesis bahwa perang
akan meningkat seiring dengan tumbuhnya
imperium, dimana mereka semakin merasa
punya hak-hak yang harus dilindungi, lebih
banyak kerusuhan yang harus dipadamkan,
dan lebih banyak pemberontakan yang
harus dihancurkan.
William Blum juga mencatat tentang
penderitaan yang terjadi dari upaya
pembangunan imperium AS tersebut.
Jumlahnya sangat besar: mulai dari
korban, kerusakan alam, kerusakan
struktur (melalui vertikalisasi), kerusakan
budaya (melalui brutalisasi, mitos balas
dendam dan kehormatan). Dampak
tersebut mengarah pada satu pola tunggal:
membangun imperium AS berdasarkan
eksploitasi ekonomi negara lain dan orang
lain, menggunakan kekerasan langsung dan
tidak langsung—baik secara terbuka (yang
dilakukan oleh Pentagon), maupun
tertutup (CIA)—dengan dukungan terbuka
dan terselubung dari sekutu AS. Hasilnya
adalah struktur kelas internasional yang
semakin meningkatkan kesenjangan antara
negara-negara miskin dan kaya, dan antara
masyarakat miskin dan kaya.39
Tidak ada tanda-tanda benturan
peradaban, atau tanda-tanda ekspansi
teritorial. Tapi ada semangat misionaris
39Blum, William (2000), “Rogue State: A Guide to the World's Only Superpower”, Monroe MA: Common Courage Press.
16
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
dan pembenaran diri yang sangat besar.
Retorikanya pun berubah seiring dengan
keperluan: pencegahan ekspansi Soviet,
perang melawan komunisme, obat-obatan,
intervensi atas nama demokrasi dan hak
asasi manusia, dan yang terkini perang
melawan terorisme.
Blum menyimpulkan bahwa mesin dari
kebijakan luar negeri Amerika dipicu bukan
oleh pengabdian terhadap moralitas,
melainkan oleh kebutuhan untuk melayani
kepentingan lain, yang dapat diringkas
sebagai berikut:
a. Membuat dunia lebih aman bagi
perusahaan-perusahaan Amerika;
b. Meningkatkan laporan keuangan
kontraktor pertahanan yang telah
memberikan kontribusi kepada anggota
kongres;
c. Mencegah munculnya masyarakat yang
bisa berfungsi sebagai contoh sukses
alternatif dibanding model kapitalis;
d. Memperluas hegemoni politik dan
ekonomi seluas mungkin, sebagaimana
layaknya sebuah "kekuatan besar."
Atas dasar tujuan tersebut, selama periode
1945-2000, Amerika Serikat telah
melakukan intervensi sangat serius ke lebih
dari 60 negara. Berikut adalah daftar
intervensi AS sejak tahun 1945 hingga
tahun 2000 yang dicatat oleh Blum40:
1. China 1945-1951,
2. France 1947,
40Blum, William (1999),“A Brief History of U.S. Interventions: 1945 to the Present,” Z Magazine.
3. Marshall Islands 1946-1958,
4. Italy 1947-1970-an,
5. Greece 1947-1949,
6. Philippines 1945-1953,
7. Korea 1945-1953,
8. Albania 1949-1953,
9. Eastern Europe 1948-1956,
10. Germany 1950an,
11. Iran 1953,
12. Guatemala 1953-1990-an,
13. Costa Rica 1950s, 1970-1971,
14. Middle East 1956-1958,
15. Indonesia 1957-1958,
16. Haiti 1959,
17. Western Europe 1950s-1960-an,
18. British Guiana 1953-1964,
19. Iraq 1958-1963,
20. Soviet Union 1940s-1960-an,
21. Vietnam 1945-1973,
22. Cambodia 1955-1973,
23. Laos 1957-1973,
24. Thailand 1965-1973,
25. Ecuador 1960-1963,
26. Congo-Zaire 1977-1978,
27. France-Algeria 1960-an,
28. Brazil 1961-1963,
29. Peru 1965,
30. Dominican Republic 1963-1965,
31. Cuba 1959-sekarang,
32. Indonesia 1965,
33. Ghana 1966,
34. Uruguay 1969-1972,
35. Chile 1964-1973,
36. Greece 1967-1974,
37. South Africa 1960s-1980-an,
38. Bolivia 1964-1975,
17
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Gambar 1. Peta Intervensi militer AS dan CIA sejak Perang Dunia II
39. Australia 1972-1975,
40. Iraq 1972-1975,
41. Portugal 1974-1976,
42. East Timor 1975-1999,
43. Angola 1975-1980s,
44. Jamaica 1976
45. Honduras 1980s,
46. Nicaragua 1978-1990-an,
47. Philippines 1970-an,
48. Seychelles 1979-1981,
49. South Yemen 1979-1984,
50. South Korea 1980,
51. Chad 1981-1982,
52. Grenada 1979-1983,
53. Suriname 1982-1984,
54. Libya 1981-1989,
55. Fiji 1987
56. Panama 1989,
57. Afghanistan 1979-1992,
58. El Salvador 1980-1992,
59. Haiti 1987-1994,
60. Bulgaria 1990-1991,
61. Albania 1991-1992,
62. Somalia 1993,
63. Iraq 1990-an,
64. Peru 1990-an,
65. Mexico 1990-an,
66. Colombia 1990-an,
67. Yugoslavia 1995-1999.
18
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Dari daftar tersebut, terdapat 25 kasus
pengeboman, yaitu China 1945-1946,
Korea/China 1950-1953, Guatemala 1954,
Indonesia 1958, Kuba 1960-1961, Guatemala
1960, Vietnam 1961-1973, Kongo 1964, Peru
1965, Laos 1964-1973, Kamboja 1969-1970,
Guatemala 1967-1969, Grenada 1983,
Lebanon-Suriah 1983-1984, Libya 1986, El
Salvador 1980, Nikaragua 1980, Iran 1987,
Panama 1989, Irak 1991, Kuwait 1991, Somalia
1993, Sudan 1998, Afghanistan 1998,
Yugoslavia 1999.
Pembunuhan pemimpin asing, beberapa
diantaranya adalah kepala negara, juga coba
dilakukan di 35 negara. Mereka juga
melakukan bantuan penyiksaan di 11 negara:
Yunani, Iran, Jerman, Vietnam, Bolivia,
Uruguay, Brazil, Guatemala, El Salvador,
Honduras, dan Panama.
Selain itu, AS juga melakukan intervensi
terhadap pemilihan umum atau mencegah
terjadinya pemilihan umum di 23 negara:
Italia 1948-1970s, Lebanon 1950-an,
Indonesia 1955, Vietnam 1955, Guayana 1953-
1964, Jepang 1958-1970s, Nepal 1959, Laos
1960, brazil 1962, Republik Dominika 1962,
Guatemala 1963, Bolivia 1966, Chile 1964-
1970, Portugal 1974-1975, Australia 1974-
1975, Jamaika 1976, Panama 1984 dan 1989,
Nikaragua 1984 dan 1990, Haiti 1987-1988,
Bulgaria 1991-1992, Rusia 1996, Mongolia
1996, Bosnia 1998.
Dari daftar di atas, Blum menyimpulkan
ada 35 (usaha) pembunuhan + 11 bantuan
penyiksaan + 25 pengeboman + 67 intervensi
+ 23 campur tangan pada pemilihan umum
negara orang lain yang menghasilkan angka
total 161 bentuk kekerasan politik yang
semakin parah sejak Perang Dunia Kedua.
Dan ini adalah sebuah rekor dunia yang
dilakukan oleh AS. Daftar ini bertambah
seiring dengan dilancarkannya perang
melawan terorisme, yang mayoritas diarahkan
ke negara Muslim, yaitu:
1. Yaman 2000
2. Macedonia 2001
3. Afghanistan 2001-?
4. Yaman 2002
5. Philippines 2002-?
6. Colombia 2003-?
7. Iraq 2003-11
8. Liberia 2003
9. Haiti 2004-05
10. Pakistan 2005-?
11. Somalia 2006-?
12. Syria 2008
13. Yemen 2009-?
14. Libya 2011-?
15. Irak 2014 - ?
16. Suriah 2014-?
Musuhnya pun bergeser seiring dengan
perkembangan waktu:
Tahap I - Asia Timur, Konghucu-Buddha
Tahap II- Eropa Timur, Kristen Ortodoks
Tahap III-Amerika Latin, Kristen Katolik
Tahap IV - Asia Barat, Islam
Mungkin dalam beberapa tahap terjadi
tumpang tindih, tapi ini adalah gambaran
umum.
19
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Pada tahap pertama fokus utama adalah
pada orang-orang di Korea, baik selatan
maupun utara, dan petani miskin di Vietnam
yang ingin merdeka. Pada tahap kedua adalah
Perang Dingin untuk menahan laju
komunisme. Pada tahap ketiga sasaran utama
adalah orang-orang miskin, masyarakat
pribumi yang didukung oleh para pengikut
"Maois". Dan terakhir, pada tahap keempat,
yang mendominasi gambar saat ini adalah
negara-negara dan gerakan Islam.
Hal yang baru dalam tahap keempat ini
adalah hubungannya dengan agama. Dewan
Keamanan PBB dengan anggota inti yang
terdiri dari empat negara Kristen dan satu
negara Konghucu tidak memiliki kewenangan
dalam Islam, sebagaimana otoritas yang
mereka nikmati di negara-negara Kristen di
Eropa Timur dan Amerika Latin dan negara
Budha di Asia Timur. Dengan kata lain,
perlawanan nyata akan datang dalam fase
keempat.
Blum memandang bahwa hanya orang yang
naif, dungu, atau keduanya yang terkejut
dengan terjadinya serangan 11 September.
Terorisme negara tak terbatas dan tak bertepi
yang dilakukan oleh Amerika Serikat
mendapat jawaban yang sangat tidak
mengejutkan: terorisme terhadap Amerika
Serikat. Dengan perkiraan sekitar 13-17 juta
orang tewas, dan rata-rata 10 orang berduka
atas setiap satu korban tewas, yang
mengakibatkan kesedihan dan kepedihan,
maka nafsu untuk membalas dendam
berkembang. Namun, akar dari semua itu
bukanlah pada rantai tak berujung dari
kekerasan untuk membalas dendam. Mereka
adalah konflik tanpa solusi yang dibangun
dalam imperium AS. Barangkali, inilah yang
dimaksud oleh perencana Pentagon yang
memandang bahwa “untuk mencapai tujuan
tersebut, kami akan melakukan banyak
pembunuhan.” Untuk mengatasinya, menurut
Blum, adalah dengan dibubarkannya
imperium AS.
Tema Umum Intervensi AS
Dalam mengembangkan imperiumnya, AS
menggunakan beberapa tema dan narasi
sebagai bentuk eufemisme dari usaha
imperialistik mereka. Grossman
menyimpulkan tema umum yang dibawa oleh
AS dalam setiap intervensi yang mereka
lakukan adalah sebagai berikut:41
Pertama, mereka menjelaskan kepada
rakyat AS bahwa mereka membela kehidupan
dan hak-hak penduduk sipil. Namun pada
kenyataannya, taktik militer yang dilakukan
seringkali menyebabkan korban sipil yang
sangat besar. Para perencana perang AS
membuat sedikit perbedaan antara
pemberontak dan warga sipil yang tinggal di
zona yang dikontrol pemberontak, atau antara
aset militer dan infrastruktur sipil, seperti
jalur kereta api, pabrik pertanian, persediaan
obat-obatan, dll. Publik AS selalu percaya
bahwa dalam perang berikutnya, teknologi
militer baru akan mampu menghindari
41http://academic.evergreen.edu/g/grossmaz/interventions.html
20
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
korban sipil di pihak lain. Namun ketika
kematian warga sipil yang tak terelakkan
terjadi, mereka selalu dicekoki penjelasan
dengan dalih "kecelakaan" atau "tidak dapat
dihindari."
Kedua, meskipun hampir semua
intervensi pasca Perang Dunia II dilakukan
atas nama "kebebasan" dan "demokrasi,"
namun hampir semua intervensi yang
dilakukan sebenarnya lebih membela
kediktatoran yang dikendalikan oleh elit pro-
AS, baik itu di Vietnam, Amerika Tengah, atau
di Teluk Persia. AS tidaklah membela
"kebebasan", tapi mereka membela agenda
ideologis (seperti membela kapitalisme) atau
agenda ekonomi (seperti melindungi investasi
perusahaan minyak). Dalam beberapa kasus
ketika pasukan militer AS menggulingkan
kediktatoran—seperti di Grenada atau
Panama—mereka melakukannya pertama kali
dengan cara yang mencegah rakyat negara
tersebut dari menggulingkan diktator mereka
sendiri, dan kemudian memasang sebuah
pemerintahan demokratis baru yang lebih
sesuai dengan keinginan AS.
Ketiga, AS selalu menuduh kekerasan
yang dilakukan oleh lawan-lawan mereka
sebagai "terorisme," "kekejaman terhadap
warga sipil," atau "pembersihan etnis," tapi
mereka meminimalkan atau membela
tindakan yang sama yang dilakukan oleh AS
atau sekutu-sekutunya. Jika suatu negara
memiliki hak untuk "mengakhiri" negara yang
melatih teroris, akankah Kuba atau Nikaragua
memiliki hak untuk meluncurkan serangan
bom defensif pada AS untuk mengambil
teroris yang mereka lindungi? Standar ganda
Washington mendefinisikan tindakan sekutu
AS sebagai tindakan "defensif," namun
mereka mendefinisikan pembalasan yang
dilakukan musuh mereka sebagai tindakan
"ofensif."
Keempat, AS sering menggambarkan diri
sebagai penjaga perdamaian yang netral, yang
tidak memiliki motif apapun selain motif
kemanusiaan yang murni. Namun, setelah
mereka mengerahkan pasukan di suatu
negara, dengan cepat mereka membagi negara
atau wilayah menjadi "teman" dan "musuh,"
berpihak pada satu pihak dan memusuhi
pihak yang lain. Strategi ini cenderung
menyalakan perang atau konflik sipil—seperti
yang ditunjukkan dalam kasus Somalia dan
Bosnia—dan memperdalam kebencian
terhadap peran AS.
Kelima, intervensi militer AS seringkali
kontraproduktif. Bukannya memecahkan akar
konflik politik atau ekonomi, mereka justru
cenderung melakukan polarisasi faksi dan
selanjutnya mengacaukan negara. Akhirnya,
negara yang sama cenderung akan muncul
kembali lagi dan lagi dalam daftar intervensi
AS abad ke-20.
Keenam, AS melakukan demonisasi
pemimpin musuh dan melakukan tindakan
militer terhadap mereka. Sikap ini cenderung
menguatkan kekuasaan mereka dibanding
melemahkan. Jika kita amati, daftar rezim
yang paling ingin diserang oleh AS adalah
21
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Gambar 2. Index Partisipasi Perang
rezim yang justru paling lama menduduki
kekuasaan. Qaddafi, Castro, Saddam, Kim,
dan lain-lain mungkin telah menghadapi
kritik internal yang lebih besar jika mereka
tidak bisa menggambarkan diri mereka
sebagai David yang berdiri melawan Goliath
Amerika.
Grossman menambahkan bahwa salah satu
ide yang paling berbahaya dari abad ke-20
adalah bahwa "orang-orang seperti kita" tidak
bisa melakukan kekejaman terhadap warga
sipil. Warga Jerman dan Jepang percaya, tapi
militer mereka telah membantai jutaan orang.
Warga Inggris dan Prancis percaya, tapi
militer mereka melakukan penjajahan brutal
di Afrika dan Asia.
Warga Rusia percaya, tapi tentara-tentara
mereka membunuh warga sipil di
Afghanistan, Chechnya, dan di tempat lain.
Warga Israel percaya, tapi tentara mereka
membantai warga Palestina dan Lebanon.
Warga AS percaya, tapi militer mereka
membunuh ratusan ribu orang di Vietnam,
Irak, dan di tempat lain.
Grossman menutup tulisannya dengan
menyatakan bahwa “Serangan 11 September
tidak hanya menjadi ujian bagi sikap warga AS
terhadap minoritas etnis/ras di negara
mereka, tetapi juga menjadi ujian bagi
hubungan kita dengan seluruh dunia. Kita
harus mulai bukan dengan memukul warga
sipil di negara-negara Muslim, tapi dengan
mengambil tanggung jawab atas sejarah dan
tindakan kita sendiri, dan bagaimana
tindakan tersebut telah mendulang siklus
kekerasan.”
22
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
3. AS sebagai negara yang paling
mengancam perdamaian dunia
“Amerika Serikat adalah bahaya bagi
dunia,” begitu ungkapan Profesor Niall
Ferguson. Mereka berbahaya karena
menyangkal bahwa mereka adalah sebuah
imperium militer dan ekonomi. Ferguson
menambahkan bahwa penolakan Amerika
untuk mengakui "siapa mereka" berarti
mempertaruhkan risiko untuk tidak pernah
mengambil pelajaran dari ekspansionisme
Inggris.42
"Amerika Serikat adalah imperium yang
tidak berani mengungkapkan namanya.
Mereka adalah sebuah imperium dalam
penyangkalan. Dan penyangkalan AS akan
status tersebut akan menimbulkan bahaya
nyata bagi dunia. Sebuah imperium yang tidak
mengakui kekuasaannya sendiri adalah hal
yang berbahaya."
Dia mengatakan bahwa dengan pangkalan
militer di tiga perempat dari negara-negara di
dunia, dan penguasaan 31% dari seluruh
kekayaan dunia, Amerika membuat imperium
Inggris pada masa puncaknya pada tahun
1920 sekalipun, terlihat "seperti setengah
matang".
Namun dia juga memperingatkan bahwa
Amerika terlalu banyak mendirikan imperium
militer, terlalu suka melakukan intervensi
jangka pendek, sebagaimana di Haiti,
Lebanon, Irak, tanpa memiliki "komitmen
42http://www.theguardian.com/uk/2003/jun/02/highereducation.books
berkelanjutan untuk melakukan
pembangunan kembali".
Kelemahan kritis Amerika, bagaimanapun,
adalah kurangnya pengetahuan tentang diri.
"Ketika Anda berbicara dengan orang Amerika
tentang imperium, mereka akan mengatakan,
'kami muncul untuk melawan imperialisme."
Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld
mengatakan kepada al-Jazeera bahwa “kami
tidak imperialistik.” Tapi bagaimana mungkin
Anda tidak menjadi imperium jika anda
memiliki 750 pangkalan militer di tiga
perempat dari negara-negara di bumi?"
Amerika tidak percaya bahwa mereka adalah
imperium. Tapi sejak mereka mencaplok
Filipina pada tahun 1898, mereka telah
bertindak sebagai sebuah kekuatan
imperium."
Pendapat senada juga diungkapkan oleh
Johan Galtung yang menyatakan “bahwa
sepanjang masih ada imperium militeristik
Amerika Serikat, maka perdamaian dunia
tidak akan ada di muka bumi. Ini adalah
ganjalan utama bagi perdamaian dunia hari
ini.”43
Teori yang diungkapkan Galtung
membuktikan bahwa imperium Amerika
Serikat tidak membutuhkan perdamaian,
mereka hanya butuh perang. Galtung tidak
menemukan dalam sejarah Amerika Serikat
satu contoh pun perdamaian atau inisiatif
perdamaian yang diniatkan dengan baik.
Imperium Amerika Serikat adalah kebebasan
43
http://peacefromharmony.org/?cat=en_c&key=599
23
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
tak terbatas akan kekerasan dan perang,
namun mereka melakukan penindasan
terhadap kebebasan perdamaian dan hak
asasi perdamaian secara konstan. Galtung
yakin, hanya dengan jatuhnya imperium
Amerika Serikat yang akan membuka
perdamaian dunia.44
Kesimpulan tersebut senada dengan hasil
survei yang dilakukan oleh Win/Gallup
44
Ibid
International yang dirilis akhir tahun 2013
silam. Polling tersebut dilakukan sejak tahun
1977 dengan memberikan pertanyaan kepada
lebih dari 66.000 orang di 65 negara tentang
dunia. Hasilnya, AS dianggap sebagai
ancaman paling berbahaya (24%) bagi
perdamaian dunia dengan margin yang cukup
besar dibanding negara lainnya, dengan
Pakistan menduduki posisi kedua (8%).45
45
http://rt.com/news/us-biggest-threat-peace-079/
24
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
4. Tanda-tanda keruntuhan Imperium
Amerika Serikat
Sebagaimana sistem yang lain, imperium
juga mengalami siklus hidup sebagaimana
sebuah organisme. Mereka mengalami
pembuahan, kehamilan, kelahiran, masa bayi,
masa kanak-kanak, remaja, dewasa, penuaan
dan kematian. Benih imperium Amerika
Serikat ditaburkan oleh Imperium Inggris.
Mereka mengasah kemampuan imperium
mereka pada penduduk pribumi, kemudian
berkelana ke luar negeri dalam bentuk
intervensi militer dengan mendefinisikan zona
kepentingan, mengambil alih imperium
Spanyol, kemudian memperluasnya dengan
menjadikan hegemoni di dunia dan ruang
angkasa sebagai tujuan. Sekarang, Amerika
Serikat sedang mengalami fase penuaan,
dengan beban tugas pengendalian yang
melimpah.46
Galtung menegaskan bahwa pertanyaannya
sekarang bukanlah pada apakah imperium
Amerika Serikat akan jatuh, namun lebih
kepada apa, mengapa, bagaimana, kapan, di
mana, oleh siapa, dan melawan siapa proses
runtuhnya kekuatan Amerika Serikat tersebut
akan terjadi. Galtung merinci pertanyaan
tersebut sebagai berikut: 47
Apa: pola pertukaran yang tidak adil dari
keempat dimensi kekuasaan (ekonomi,
politik, militer, dan budaya);
46
http://www.oldsite.transnational.org/SAJT/forum/meet/2004/Galtung_USempireFall.html 47Galtung, Johan (2009). The Fall of the US Empire - and Then What?, hal. 18-19.
Mengapa: mereka telah menyebabkan
penderitaan, kebencian, dan perlawanan yang
tidak mampu ditahan lagi;
Bagaimana: melalui sinergi dari berbagai
kontradiksi yang telah mematang, yang diikuti
dengan demoralisasi yang dialami oleh
kelompok elit imperium;
Kapan: dalam prediksi Galtung, sekitar dua
puluh tahun dari tahun 2000.
Di mana: tergantung pada tingkat
kematangan kontradiksi. Imperium,
sebagaimana organisme lain, retak melalui
titik kelemahannya;
Oleh siapa: para imperialis yang mengalami
demoralisasi, korban yang menderita, mereka
yang setia kawan, dan mereka yang
memerangi imperium Amerika Serikat untuk
menegakkan imperium mereka sendiri.
Melawan siapa: pihak yang mengeksploitasi/
pembunuh/ pengontrol/ progamer, dan siapa
pun yang mendukung imperium Amerika
Serikat demi mendapatkan keuntungan.
Imperialisme memberikan Pusat imperium
cengkeraman rangkap empat terhadap pihak
Perifer. Imperialisme total adalah sindrom
sinergis dimana keempat elemen tersebut
saling mendukung satu sama lain, dengan
kekuatan ekonomi, yang diwujudkan dengan
sistem kapitalisme internasional; kekuatan
militer, yang ditunjukkan oleh militerisme
internasional; kekuatan politik, yang
ditunjukkan oleh hegemoni internasional;
serta kekuatan budaya, yang ditunjukkan oleh
25
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
misionarisme internasional. 48 Imperium
adalah paduan keempatnya, bukan sekadar
hegemoni, yang hanya meliputi kekuatan
politik.
Keempat kekuatan tersebut saling
mendulang satu sama lain demi keuntungan
pihak Pusat. Kekuatan militer digunakan
untuk menaklukkan tanah dan sumber daya,
untuk memerintahkan ketundukan dan
memaksakan budaya. Kekuatan ekonomi bisa
digunakan untuk membeli itu semua,
kekuatan politik digunakan untuk memberi
komando, dan kekuatan kultural untuk
meyakinkan pihak Perifer bahwa eksploitasi,
campur tangan, dan represi dilakukan untuk
kebaikan dan kepentingan mereka sendiri.
Namun, seiring dengan waktu, harga yang
harus dibayar mulai membengkak. Hyper-
capitalism terus bertumpu pada Perifer yang
sudah penuh dengan kesengsaraan dan
kerusakan alam. Intervensi militer melahirkan
perlawanan. Hegemoni menyulut kerinduan
akan otonomi untuk menjadi penguasa di
rumah sendiri. Misionarisme dan
eksepsionalisme—dengan hak untuk
membunuh—merangsang bangkitnya iden-
titas lama atau menciptakan identitas baru.
Kekuatan yang memaksa akan menghasilkan
perlawanan dengan kekuatan.
Saat itulah, sebuah imperium menjadi
kontra produktif. Biaya kontrol melebihi
manfaat yang didapat dari eksploitasi, yang
membuat Pusat dan Perifer berdarah-darah.
48Galtung, Johan (2009). The Fall of the US Empire - and Then What?, hal. 21
Perlawanan, yang didorong oleh kemandirian,
ketidaktakutan, otonomi, dan identitas diri
mulai terbentuk, baik dengan kekerasan
maupun tidak. Dan saat itulah imperium
mulai mengalami penurunan.
Pada tahun 2000, Galtung memprediksi
tanda-tanda keruntuhan imperium AS.
“Prediksi ini dibuat pada tahun 2000, dan
waktu itu saya katakan 25 tahun. Tapi saat
George W. Bush terpilih menjadi presiden,
bersama dengan fundamentalisme dan visi
sempitnya, saya memotongnya lima tahun,
karena saya melihatnya sebagai akselerator,
yang ia lakukan dengan melancarkan tiga
perang: perang melawan terorisme, perang di
Afghanistan, dan perang di Irak. Dan semua
itu terjadi setelah AS tidak bisa menang di
Korea pada tahun 1953, dan kalah pada tahun
1975 di Vietnam. Dengan kata lain, kita saat
ini melakukan perang besar yang kelima.”49
Kondisi ini khas dengan tanda keruntuhan
sebuah imperium. Galtung menyimpulkan
perhitungan tersebut berdasarkan studi
komparatif dari berbagai imperium yang telah
runtuh. Dalam kesimpulannya, imperium
bertahan selama 110-112 tahun. Imperium AS
bermula pada tahun 1898, sejak keruntuhan
imperium Spanyol, yang jika ditambahkan
pada fenomena usia sebuah imperium, maka
Galtung menyimpulkan tahun 2020 sebagai
masa keruntuhan imperium AS.
Kesimpulan tersebut dikuatkan oleh
berbagai pelanggaran kekuasaan empat
49http://www.democracynow.org/2010/6/7/johan_galtung_on_the_fall_of
26
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
dimensi, yaitu ekonomi, militer, politik, dan
kultural. “Jika Anda mencoba untuk
mendominasi dunia secara ekonomi, militer,
politik, dan kultural pada saat yang
bersamaan, dan keempatnya saling
mendukung satu sama lain, maka semua itu
tidak akan berlangsung lama. Dan inilah fase
yang kita alami saat ini.”50
Prediksi Galtung didasarkan pada 14
kontradiksi yang terjadi pada AS saat itu.
Kontradiksi adalah sebuah konflik yang
sangat dalam yang membutuhkan
dilakukannya perubahan sistem untuk
mengatasinya. Imperium jatuh dan runtuh
saat kontradiksi semakin mematang.
a. Kontradiksi Ekonomi
o Antara pertumbuhan dan distribusi
Terjadi lingkaran setan, dengan
terjadinya overproduksi yang
membawa kepada pengangguran yang
membawa kepada ke menurunnya
permintaan dan kelebihan pasokan
yang menyebabkan lebih banyak
pengangguran.
Imperium AS memotong diri sendiri
dengan mengejar pertumbuhan namun
mengabaikan, bahkan mencegah,
distribusi yang bisa meningkatkan
permintaan dengan meningkatkan daya
beli masyarakat bawah, yang
jumlahnya sekitar 50% atau lebih dari
masyarakat.
50
ibid
o Antara ekonomi riil dan ekonomi
keuangan (mata uang, saham, obligasi)
Ketika perputaran pasar keuangan
domestik dan global tinggi, sedangkan
pertumbuhan ekonomi riil lamban dan
distribusi rendah, akan terjadi
akumulasi likuiditas yang tinggi yang
berusaha mencari outlet. Outlet pada
ekonomi keuangan adalah spekulasi.
Ekonomi produktif meresponnya
dengan membuat perusahaan virtual
seperti ENRON dan WORLDCOM yang
membuat pertumbuhan ekonomi
keuangan dengan cepat kehilangan
sinkronisasi dengan pertumbuhan
ekonomi produktif. Depresiasi nilai
dollar menjadi salah satu indikasi
penyakit kronis tersebut.
Obat bagi penyakit tersebut adalah
pendistribusian sistem yang selama ini
dihalangi oleh imperium AS, melalui
Bank Dunia, IMF, dan WTO. Ketiadaan
obat akan menghasilkan peningkatan
nilai produk-produk keuangan dan
akhirnya menimbulkan crash baru.
o Antara produksi-distribusi-konsumsi
dan alam
Keluarnya AS secara sepihak dari
Protokol Kyoto51 semakin menajamkan
kontradiksi ini. Protokol tersebut
dianggap akan menghalangi
51
Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri dunia, yang harus dicapai pada tahun 2012.
27
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
pertumbuhan ekonomi AS. Protokol ini
tidak bisa diterima oleh perusahaan-
perusahaan raksasa. Langkah yang
diambil AS ini akan membahayakan
bumi dan menunjukkan eksprersi
menjijikkan dari sebuah rezim global.
b. Kontradiksi militer
o Antara terorisme negara yang
dilakukan AS dan terorisme
Kontradiksi ini semakin terang pasca 11
September 2001, meski jumlah yang
terbunuh dalam peristiwa tersebut jauh
lebih sedikit dibanding pembunuhan
yang dilakukan sebagai respon atasnya.
AS saat ini melakukan intervensi di
lebih dari 60 negara, sebuah langkah
yang justru akan semakin
memperparah kontradiksi.
AS melakukan psikologi polarisasi
dengan menilai teman berdasarkan
tujuan sah mereka, dan menilai musuh
berdasarkan sarana tidak sah yang
mereka pakai. Jadi terorisme negara
dianggap bisa diterima karena memiliki
tujuan yang sah, yaitu untuk kekalahan
terorisme. Sementara terorisme yang
dilakukan oleh Muslim dicela karena
menggunakan sarana yang tidak sah,
yaitu tindakan membunuh orang yang
tidak bersalah.
Perang melawan terorisme secara de
facto adalah perang melawan Islam.
Perang Irak, Perang Afghanistan
menunjukkan hal itu, dan semuanya
tidak bisa dimenangkan.
o Antara AS dan sekutunya
Imperium AS tidak ingin dilihat sebagai
imperium, tetapi mereka memandang
diri mereka sebagai sebuah kekuatan
yang didukung oleh negara "maju" dan
"beradab" melawan kelompok "jahat",
"pengacau", dan "teroris".
Kontradiksi ini nampak semakin jelas
dalam perang Irak tahun 2003.
Washington melakukan kesepakatan
dengan pemerintah sekutu untuk
melakukan aliansi dan tidak peduli
dengan opini publik setempat.
Penggunaan kekuatan, bujukan,
tawaran dan ancaman dilakukan di
belakang pintu agar tidak terekspos
oleh publik. Jika publik tahu apa yang
terjadi di belakang pintu, maka
perlawanan akan meningkat.
Tren penentangan terhadap dukungan
tanpa syarat kepada imperium AS saat
ini semakin tumbuh, dan kontradiksi
ini akan semakin tajam jika masyarakat
memberikan tekanan yang lebih pada
pemerintah.
o Antara hegemoni US Eurasia dan
Rusia-India-Cina
Terhadap beberapa negara yang AS
tidak mampu secara total
menaklukkannya, AS melakukan
pendekatan kepada mereka melalui
ketakutan mereka terhadap populasi
Muslim. Chechnya, Kashmir dan
Xinjiang adalah contohnya. Setelah
28
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
ekspansi NATO ke wilayah timur dan
ekspansi yang dilakukan oleh aliansi
AS-Jepang ke wilayah Barat sejak
tahun 1995, ketiga negara tersebut
(Rusia-India-China) berusaha semakin
mempererat hubungan diantara
mereka, meski bukan dalam bentuk
aliansi formal. Namun, gerakan
tersebut berusaha dihentikan oleh AS
dengan mengajak mereka dalam perang
melawan terorisme Islam, yang pada
hakikatnya adalah perjuangan yang
dilakukan oleh umat Islam untuk
kemerdekaan di ketiga wilayah
tersebut.
o Antara tentara pimpinan Amerika
Serikat-NATO dan tentara pimpinan
Uni Eropa
Ketika negara-negara Uni Eropa gagal
untuk mendukung AS, mereka akan
menjadi korban dari logika ganda AS:
"karena mereka tidak sepenuhnya
bersama kami, maka berarti mereka
melawan kami."
Langkah ini akan membawa beberapa
anggota Uni Eropa kepada sebuah
kesatuan yang tidak berada dalam
rantai komando dari Washington,
kecuali sekadar dalam pertukaran
informasi.
c. Kontradiksi politik
o Antara Amerika Serikat dan PBB
USA paling sering menggunakan hak
veto di Dewan Keamanan dan mereka
juga melakukan veto ekonomi secara de
facto dengan menahan atau menarik
dukungan terhadap program yang tidak
sesuai dengan keinginan mereka.
Pengaruh ekonomi AS terhadap banyak
anggota PBB, seperti mengubah tingkat
bunga hutang, akan dilakukan
berdasarkan pola voting.
Terhadap resolusi Persatuan untuk
Perdamaian yang stagnan di Dewan
Keamanan PBB, AS melakukan
pemblokiran terhadap usaha
mengangkatnya ke Majelis Umum.
o Antara Amerika Serikat dan Uni Eropa
Jika Uni Eropa secara bertahap
membuka kerjasama dengan Rusia dan
Turki, Uni Eropa akan tumbuh menjadi
750 juta jiwa. Kondisi ini akan
membawa pada pergeseran dari
pembebanan sepihak kepada negosiasi
multilateral, dan dari perdebatan untuk
mendominasi menuju dialog.
d. Kontradiksi budaya
o Antara Yahudi-Kristen AS dan Islam
Islam berkembang dengan cepat,
Kristen tidak. Terdapat aliansi
fundamentalis Kristen-Zionis
berdasarkan pada gagasan bahwa
Armageddon sudah dekat, dan bahwa
kedatangan pertama Mesiah dan
kedatangan kedua Kristus bisa jadi
adalah orang yang sama.
AS menyimpulkan dari Yudaisme
tentang “Orang Terpilih”, “Tanah yang
29
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
Dijanjikan”, dengan membawa sense
eksepsionalisme pada Israel-AS.
Mereka menganggap diri berada di atas
hukum, memiliki hak pembenaran diri,
dan tidak memegang larangan untuk
melakukan tindakan kebrutalan dalam
peperangan dengan alasan keamanan
mereka.
o Antara AS dan peradaban tertua
Mulai terjadi kebangkitan di seluruh
dunia, dengan budaya kuno melihat
diri mereka sendiri bukan sebagai
budaya museum eksotis yang hanya
untuk diamati. Penghancuran artefak
dari Sumer-Babilonia di Irak
dipandang sebagai upaya untuk
mengendalikan Irak dengan
menghancurkan fokus identifikasi.
o Antara AS dan budaya elit Eropa
Barat melihat dunia dengan empat
pusat geo-budaya; Amerika Serikat,
Inggris, Perancis dan Jerman, yang lain
hanya boleh meniru.
e. Kontradiksi sosial
o Antara kelompok elit negara-
perusahaan dan kelas pengangguran
dan pekerja kontrak
Pekerja berusaha dibuat untuk tetap
berada di atas jalur melalui ancaman
pengangguran dan melalui inferioritas
pekerjaan kontrak. Elit negara-
korporasi terorganisir dengan lebih
baik, mereka membuat diri mereka
tidak mampu digantikan,
mempekerjakan dan memecat dari
posisi aman mereka, dengan ancaman
utama outsourcing dan otomatisasi
untuk menyelesaikan masalah.
Sebuah masyarakat postmodern bisa
melakukan pekerjaan dengan lebih
sedikit pekerja, namun tidak dengan
lebih sedikit pelanggan. Memecat
pekerja mengurangi daya beli mereka
dan secara tidak langsung memecat
pelanggan. Kelompok kelas menengah
di dunia dapat menekan imperium AS
melalui pemboikotan produk-produk
seperti minyak dari Irak, pesawat
Boeing, dan barang-barang AS.
o Antara generasi tua dan muda, pria dan
wanita.
Mahasiswa bangkit melawan perang
Vietnam. Siswa SMA saat ini dengan
mudah mendapatkan pencerahan
melalui informasi di internet. Mereka
juga bisa dimobilisasi melalui internet
dan telepon seluler. Dengan menyebut
penindasan kebebasan sipil yang
dilakukan atas nama "keamanan dalam
negeri", mampu membawa wanita
masuk ke dalam jajaran pembela
rumah dan keluarga. Chicanos,
Hispanik, Afrika-Amerika dapat
mencapai status mayoritas pada tahun
2042. Aliansi ini bisa mengalahkan
struktur komando yang menguasai AS
saat ini.
30
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
o Antara mitos dan realitas
Mimpi orang Amerika hanya ada pada
kebanggaan dengan beban utang yang
menggunung untuk generasi
berikutnya. Ini lebih merupakan
ancaman daripada janji. Mimpi orang
Amerika yang terkoyak secara
individual juga akan mengoyak Mimpi
Amerika. Impian kebebasan hak asasi
manusia terkikis oleh Patriot Act dan
kebijakan lainnya pasca 9/11. Alasan
utama tidak dilakukannya serangan
terhadap Amerika Serikat setelah 9/11
mungkin saja disebabkan oleh
kenyataan bahwa AS jauh lebih
mampu untuk menghancurkan
dirinya sendiri daripada serangan
teror dari luar.
Saat kontradiksi di atas semakin
mematang, sinkron, dan bersinergi, Pusat
imperium mungkin akan mulai
mengendorkan cengkeraman pada Perifer
dalam sebuah tindakan yang disengaja, atau
jika tidak mereka akan mengalami
keruntuhan, baik secara lambat, sebagaimana
yang terjadi pada Inggris, maupun secara
cepat, sebagaimana yang terjadi pada Uni
Soviet.
Selain itu, keruntuhan sebuah imperium
juga terjadi saat kelompok elit mulai
kehilangan kontrol atas masyarakat karena
mereka mengalami demoralisasi. Ibnu
Khaldun pada akhir tahun 1300-an
menjelaskan tentang tahapan demoralisasi
yang terjadi pada kelompok elit.
- Mereka mendapatkannya melalui
pencapaian yang hebat dan dengan
dukungan dari masyarakat seseorang
menjadi seorang pemimpin.
- Pemimpin mulai mengejar kemudahan
dan kemewahan.
- Pemimpin memonopoli kejayaan dengan
melakukan marjinalisasi terhadap para
pendukung aslinya. Ia membeli mereka.
- Dia melakukan ekspansi kekuasaan
melalui penguatan orang-orang yang bisa
dia kontrol (yes men)
- Sebuah dinasti keluarga berkembang
dengan akumulasi kekuasaan dan
kekuatan.
- Pada generasi ketiga, penguasa menjadi
tak bermoral, lupa terhadap syarat yang
dibutuhkan oleh posisinya. Biaya
kesenangan, serta biaya yang dibutuhkan
untuk membeli kehormatan dan loyalitas
yang tidak bisa lagi ia inspirasi melonjak
di luar kemampuan yang mampu ia bayar.
- Menaikkan pajak, tapi pihak yang paling
ditekan justru adalah pihak yang paling
sedikit mendapatkan timbal balik.
- Melakukan metode tidak reguler untuk
meningkatkan pendapatan. Melakukan
pemerasan barang dan jasa, namun justru
membuat segalanya menjadi lebih buruk
dengan mengacaukan aktivitas ekonomi.
- Para tentara tidak dibayar, wilayah-
wilayah yang terpencil mulai
mengembangkan otonominya, dan para
pejabat yang disukai masyarakat mulai
merenggut otoritas kerajaan.
31
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
- Korupsi terjadi di luar lingkaran istana
hingga sampai pada kebanyakan
masyarakat, yang mulai bergantung pada
pemerintah dan diperbudak oleh
keinginan-keinginan yang tidak
diperlukan yang bisa membuat mereka
lupa akan agama, moralitas, dan bahkan
kesusilaan.
- Usaha reformasi paling banter hanya akan
menunda hal yang tak terhindarkan.
- Kondisi yang belum mapan dan kelebihan
penduduk akan membawa pada kelaparan
dan wabah, dan pada akhirnya membuat
dinasti runtuh dari kekuasaannya.
Dengan berbagai kontradiksi tersebut,
diiringi dengan demoralisasi yang terjadi di
kalangan elit, Galtung memprediksi terjadinya
penurunan AS secara gradual yang berujung
keruntuhan pada tahun 2020. Semakin kuat
sebuah imperium, semakin cepat ia
meningkatkan kontradiksinya, maka semakin
tinggi kekacauan internal, dan semakin dekat
ia pada keruntuhan. Ini adalah sebuah hukum
yang disimpulkan oleh Galtung dari analisis
perbandingan 10 imperium yang diawali
dengan imperium Romawi.52
AS kini bertindak bak gajah yang terluka,
memukul dan mengibas ke segala arah.
Mereka mengalami tahapan demoralisasi yang
semakin mendidih, dengan emosi
mengalahkan pikiran rasional.
Kondisi tersebut semakin nyata setelah
terkuaknya penyiksaan yang selama ini
52 Galtung, Johan (2009). “The Fall of the US Empire - and Then What?”, hal 167-221
dilakukan oleh AS. Terkait penyiksaan
tersebut, Obama mengatakan bahwa “kami
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
nilai-nilai kita.” Benarkah nilai-nilai AS
memang tidak mengakomodir penyiksaan?
Kita tidak perlu melihat terlalu jauh mengenai
sejarah AS yang menunjukkan nilai-nilai
predator di belakang negara ini. Sejak awal
berdirinya, AS sudah banyak melakukan
perbudakan terhadap orang-orang yang dicuri
dari Afrika, pembantaian terhadap warga
pribumi, hingga pencurian terhadap separuh
wilayah Mexico, perang untuk melakukan
penjajahan dan agresi di seluruh dunia, dan
berbagai kejahatan dan kekejaman lain yang
tak terhitung.53
Sekarang, mari kita lihat nilai dan rasional
di balik apa yang mereka namakan sebagai
“perang melawan teror” yang diluncurkan AS
pasca 9/11—yang pada kenyataannya
merupakan perang untuk memperluas
imperium. Dengan doktrin “preemptive war”,
AS membekali diri dengan hak untuk
menyerang negara manapun di dunia atau
melakukan pembunuhan dan tindakan militer
lainnya secara sepihak di mana saja di dunia
hanya berdasarkan pernyataan bahwa
seseorang, beberapa kelompok, atau
pemerintah mungkin akan merugikan
kepentingan AS di masa depan. Hal ini
dilakukan di bawah papan nama "melindungi
kehidupan warga Amerika"—meski perang ini
sejatinya bukan tentang melindungi
keselamatan rakyat Amerika Serikat, dan 53 http://www.counterpunch.org/2014/11/26/celebrating-the-genocide-of-native-americans/
32
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVI/November-Desember 2014
tentu saja bukan tentang melindungi
masyarakat dunia.
Obama terus-menerus mengejar
kepentingan imperialis AS dengan
mengabaikan hukum internasional dan
kehidupan masyarakat. Di bawah Obama, AS
telah membunuh ribuan orang dengan drone,
melakukan perang kekerasan di seluruh
dunia, hingga memata-matai orang dan aparat
kepolisian negara demi memenuhi
kepentingan perut binatang imperialis.54
Sebagaimana yang diungkapkan George W.
Bush, “You are either with us or against
us”. Semua negara kini hanya dihadapkan
pada dua pilihan: mereka menerima doktrin
neo kolonial Barat atau mereka akan
dihancurkan, sebagaimana Irak, Afghanistan,
Libya, dan Suriah.
Tidak ada logika yang bisa membantu,
tidak ada negosiasi, tidak ada mediasi
internasional dari PBB. Keinginan untuk
berkompromi diperolok. Seruan akan rasa
kemanusiaan tidak mampu menggoyahkan
imperium sedikit pun.
Sangat jelas, bahwa imperium AS kini telah
menyiapkan serangan pamungkas. Mereka
akan menyerang, menghancurkan, dan
memusnahkan. Mengapa semua itu terjadi?
Jawabannya sangat jelas: untuk pertama
kalinya rasa muak akan imperium AS mulai
menyebar dan mendunia. Banyak orang yang
sudah mulai sembuh dari kebutaan. Topeng
kebajikan dan rasionalitas telah terkoyak oleh
54 http://revcom.us/a/348/rendition-torture-and-the-values-of-the-US-empire-en.html
media-media independen. Topeng itu telah
jatuh, yang menampakkan wajah mengerikan,
haus darah, dan rakus dari sebuah monster.
Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari akhir
mereka. Karenanya, mereka akan melakukan
perang pamungkas. Bagi imperialis,
perdamaian hanya punya satu makna:
kekuasaan tanpa perlawanan di muka bumi.
Jika seseorang berperang membela diri, ia
adalah teroris dan bandit.
Semua imperium pada akhirnya runtuh:
Akkad, Sumeria, Babilonia, Niniwe, Asyur,
Persia, Macedonia, Yunani, Carthage, Roma,
Mali, Songhai, Mongol, Tokugawaw, Gupta,
Khmer, Hapbsburg, Inca, Aztec, Spanyol,
Belanda, Turki Utsmani, Austria , Perancis,
Inggris, Uni Soviet. Sebagian besar mereka
runtuh dalam hitungan satu hingga dua ratus
tahun. Alasannya tidak begitu rumit. Sebuah
imperium adalah semacam sistem negara
yang secara tak terhindarkan membuat
kesalahan yang sama hanya dengan sifat
struktur imperlias mereka. Mereka gagal
karena ukuran, kompleksitas, jangkauan
wilayah, stratifikasi, heterogenitas, dominasi,
hirarki, dan ketidaksetaraan.
Sangat ironis, hanya satu dekade atau lebih
setelah ide Amerika Serikat sebagai kekuatan
imperium muncul dan diterima, dan orang-
orang mulai dapat berbicara secara terbuka
mengenai imperium Amerika, yang terjadi
justru menunjukkan beberapa tanda-tanda
ketidakmampuannya untuk terus berlanjut
dan bahkan spekulasi mulai muncul mengenai
keruntuhannya.