34
MAKALAH KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH OLEH: WAWAN SETIAWAN ( 120 630 5404 ) FIRDAUS HERTA PRADANA ( 120 630 5240 ) MATA KULIAH : USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH DOSEN: Dra. Munifah Syanwani, M.Si PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM JAKARTA OKTOBER 2012

Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

  • Upload
    s1n6a

  • View
    1.374

  • Download
    83

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kaidah-kaidah Ushuliyyah

Citation preview

Page 1: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH

OLEH:

WAWAN SETIAWAN ( 120 630 5404 )

FIRDAUS HERTA PRADANA ( 120 630 5240 )

MATA KULIAH :

USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH

DOSEN:

Dra. Munifah Syanwani, M.Si

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM

JAKARTA

OKTOBER 2012

Page 2: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

1

MAKALAH MATA KULIAH “USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH”

KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH

PENDAHULUAN

Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup

metode istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi

(kebahasaan) maupun tarkib (susunan), dan uslub-uslub-nya (gaya bahasanya).

Karena itu semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah

ditetapkan dan disepakati bersama.[1]

Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk

menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu). Menguasai

kaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk menguasai hukum Allah

dalam setiap persitiwa hukum yang dihadapinya.[2]

Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan

pijakan utama tempat kerangka pemikiran mujtahid dalam melakukan proses

ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan hukum yang terdapat dalam nash. ia

bagaikan suatu pola dalam pakaian sehingga dengan pola suatu pakaian dapat

dijahit. Bilamana ijtihad merupakan suatu metode yang menjadi dinamisator

hukum Islam, maka kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi

dinamika hukum Islam.[3]

KAIDAH USHULIYYAH

Untuk dapat memahami kaidah ushuliyyah maka perlu kita pahami

pengertian, pembagian, metode perolehan, dan objek dari kaidah ushuliyyah.

A. Pengertian Kaidah Ushuliyyah

Kaidah Ushuliyyah terdiri dari dua suku kata, yaitu Kaidah dan

Ushuliyyah. Dengan demikian maka selanjutnya akan kita bahas pengertian dari…

[1] Asep Ridwan H, SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Dan Kaidah Istshlah, hal. 13.

[2] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 147.

[3] Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 13.

Page 3: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

2

kedua kata tersebut.

1. Pengertian Kata Kaidah

Kata kaidah merupakan arti dari qa’idah dalam bahasa Arab yang

merupakan mufrad (bentuk tunggal) dari qawa’id (bentuk jamak) yang artinya

kaidah-kaidah. Dan kata qa’idah tersebut telah diserap menjadi bahasa Indonesia

yaitu menjadi kaidah.[4]

Secara etimologi arti kaidah menurut al Asfahani dan al

Zaidy sebagaimana dikutip oleh Rahmat Syafei adalah al asas (dasar), yaitu yang

menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan

fondasinya (pokoknya).[5]

Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa

definisi, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab dibawah ini:[5]

o Dalam Kitab At-Ta’rifat:

“Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bidang-bisangnya (juz-

juznya)” [At-Ta’rifat: 171]

o Dalam Kitab Syarah Jamu’ Al-Jawami’:

“Ketentuan pernyataan universalyang memberikan pengetahuan tentang

berbagai hukum dan bagian-bagiannya” [Al-Mahalli: 21]

o Dalam Kitab At-Talwih ‘alaa At-Tawdih:

“Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa

diketahui hukumnya” [At-Taftajani, I: 20]

o Dalam Kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair:

[4] Muhlis Utsman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah,(Jakarta : Rajawali Press, 2002),

hal 3.

[5] Rachmat Syafei, Op. Cit., hal. 251.

Page 4: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

3

“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta

bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.” [Al-Subki: I]

o Dalam Kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul Fiqh:

“Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui

penalaran” [At-Taufi Al-Hambali, II: 95]

Selain definisi menurut para ulama ushul di atas, ada beberapa definisi lain

terkait kata kaidah, seperti:[6]

o Menurut Dr. Ahmad Muhammad asy-Syafi’i dalam bukunya “Ushul Fiqh

Islam”, 1983:4 menyatakan bahwa kaidah adalah:

“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh (kulli) yang dijadikan jalan untuk

terciptanya masing-masing hukum juz’i.”

o Menurut Fathi Ridwan dalam bukunya “Min Falsafati at-Tasyri’ al-Islami”,

1969:171-172 menyatakan bahwa kaidah adalah:

“Hukum yang bersifat kulli (general law) yang meliputi semua bagian-

bagiannya. ”

o Menurut Hasbi ash-Shidiqi[7]

mengidentikkan makna kaidah dengan asas atau

fondasi, pengertian itu dinukil dari QS. al Baqarah (2):127:

“dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar

Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah

daripada Kami (amalan kami),…”

Selanjutnya beliau menukil pengertian kaidah yang dikemukakan oleh Prof. ...

[6] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 3.

[7] Hasbie ash-Sidiqi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) II, hal 442.

Page 5: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

4

Mustafa az-Zarqa dalambukunya “al-Fiqh fi Tsaubihil Jadid”, 1976:442

sebagai berikut:

“Hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar

bagian-bagiannya”

Dari beberapa definisi di atas dan definisi dari berbagai literatur lain, tidak

semuanya sama, karena sebagaimana menurut Rahmat Syafei[8]

bila diteliti secara

seksama terdapat perbedaan yang esensi diantara definisi-definisi yang ada.

Misalkan yang menyatakan bahwa qaidah adalah “Sesuatu yang masih umum

yang mencakup sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamnya bisa

mengandung arti lain”. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandung arti bahwa

qaidah fikih itu mengandung berbagai macam pengecualian yang menjadi

lawannya. Padahal qaidah fikih itu lebih umum dari pada kulliah (sesuatu yang

mencakup bagian-bagian di bawahnya) dan dari aktsariyyah (kebanyakannya).

Sebagian definisi menyebutkan bahwa kaidah itu berlaku bagi semua

cabangnya, padahal seharusnya berlaku pada sebagian besar cabang. Oleh karena

itu definisi yang lebih baik sebagaimana pemikiran Rahmat Syafei adalah yang

disebutkan oleh Prof. Mustafa az-Zarqa karena pada dasarnya keberlakuan kaidah,

baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah itu bersifat sebagian besar bukan

keseluruhan, dengan alasan sebagai berikut :

1. Kaidah merupakan hasil ijtihad ulama, dan masing-masing ulama mempunyai

kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga hasil konklusinya berbeda juga.

2. Perumusan kaidah berasal dari dalil, sedang dalil itu sendiri ada yang bersifat

qath’i dan ada yang bersifat dhanni, para mujtahid belum sepakat sepenuhnya

mana dalil yang bersifat qath’i dan mana yang dhanni.

3. Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian, sehingga dalam kondisi

pengecualian itu tidak mengaitkan dengan keberlakuan kaidah.

[8] Rachmat Syafei, Op Cit., hal 253.

Page 6: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

5

2. Pengertian Kata Ushuliyyah

Pengertian Ushuliyah secara etimologi diambil dari kata ashal dalam

bahasa Arab yang diberi Ya Nisbah[9]

. Sedangkan secara etimologi kata ashal

tersebut mempunyai makna sebagai berikut:[10]

“Sesuatu yang dijadikan dasar sesuatu lainnya” [Muhammad Ma’ruf ad-

Dawalibi, 1965:11]

Dalam arti terminologi kata ashal mempunyai 5 pengertian, yaitu:

1. Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh; Misalnya kebolehan memakan

bangkai bagi yang terpaksa itu menyalahi hukum ashal yakni menyalahi

kaidah kulliyyah, yaitu:

“Setiap Bangkai adalah Haram”

2. Ashal berarti yang lebih kuat (Rajih); Misalnya kalimat “al-Ashlu fil Kalami

al-Haqiqah” (Ashal yang lebih kuat dari suatu ungkapan adalah makna

sebenarnya bukan makna simbolik).

3. Ashal berarti hukum ashal (Mustashhab); Misalnya ungkapan “al-Ashlu

Baqou ma kana” (Hukum ashal/ istishhab adalah tetapnya apa yang telah ada

atas apa yang telah ada), sebagai contoh misalnya keraguan terhadap wudlu

masih sah atau sedah batal, maka hal tersebut dianggap masih sah.

4. Ashal berarti Maqis ’alaih (dalam bab Qiyas); Misal keberlakuan hokum riba

bagi beras dan gandum. Beras merupakan maqis (yang diserupakan) yang

dikatakan furu’, sedangkan Gandum merupakan maqis ‘alayh (yang diserupai)

yang dikatakan ashal.

5. Ashal berarti dalil; Misal ungkapan “Ashal masalah ini adalah al-Qur-an dan

as-Sunnah” yakni dalilnya. [Abdul Hamid Hakim, 1983:3]

Sepintas terlihat bahwa makna kaidah dengan makna ashal itu sama,

padahal sebenarnya berbeda. Hasbi ash-Shiddiqi dalam bukunya “Pengantar …

[9] Ya Nisbah adalah huruf Ya yang terletak di akhir sebuah kata benda (isim) dan berfungsi

sebagai pembangsaan atau mensejeniskan. Contoh: Arabiyyun yang berarti sebangsa/ sejenis

dengan Arab.

[10] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 5.

Page 7: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

6

Hukum Islam” menegaskan bahwa “ashal itu jalan istinbath kepada cabang, ia

mendahului cabang dalam wujudnya walaupun kebanyakan ashal yang dipegang

para imam dilahirkan dari furu’”. Sedangkan kaidah merupakan pengekang furu’

yang bermacam-macam dan meletakkan furu’-furu’ tersebut dalam satu

kandungan umum yang lengkap. Oleh sebab itu kaidah datang setelah furu’ pada

wujudnya dan dia memudahkan jalan furu’. [Hasbi ash-Shaddiqi, 1975:135] [11]

Setelah kita mengetahui arti kata Kaidah dan Ushuliyyah maka kita dapat

memahami pengertian dari “Kaidah Ushuliyyah”, yaitu suatu “Hukum Kulli yang

dapat dijadikan standar hukum bagi juz’i yang diambil dari dasar kulli yakni al-

Qur-an dan as-Sunnah”. Karena itu Kaidah Ushuliyyah dapat dikatakan sebagai

istinbathiyyah ataupun Kaidah Lughawiyyah.[12]

Dengan demikian kaidah

ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian

hukum dengan memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya

maupun tarkib-nya. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang

umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.[13]

B. Pembagian Kaidah

Pada umumnya kitab Ushul Fiqh membagi kaidah menjadi dua macam,

yaitu Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah. Kedua kaidah tersebut tidak

dapat berdiri sendiri tetapi saling terkait.

1. Kaidah Ushuliyyah/ Kaidah Istinbathiyyah/ Kaidah Lughawiyyah; merupakan

kaidah yang digunakan berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan

dari bahasa Arab setelah dilakukan penelitian oleh para ulama dari ciri-ciri

suatu lafazh ushlub (gaya bahasa). Untuk mengetahui makna yang tepat dari

lafadz atau ushlub itu sendiri maka dapat didasarkan kepada:[14]

a) Pengertian orang banyak yang mutawatir dan secara terbiasa pengertian itu

dipakai dalam percakapan sehari-hari. Seperti kata al ma’ adalah air.

b) Berdasarkan pengertian para ahli bahasa. Menurut imam as Syafi’i disebut

[11] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 6.

[12] ibid.

[13] Rahmat Syafei, Op.Cit., hal 147.

[14] Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 4-5.

Page 8: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

7

ilmu khashah. Dan pengertian lafal atau ushlub ini hanya dimengerti oleh

orang tertentu saja (ahbarul ahad) yang tidak diketahui oleh kelompok

lain. Hal ini hanya didapat dari istilah-istilah ilmiah.

c) Berdasarkan hasil pemikiran akal atau nalar. Salah satunya dengan

menggunakan metode qiyas. Seperti kata al khamr yang tidak diartikan

sebagai perasan anggur saja, akan tetapi setiap minuman yang

memabukan.

Kaidah Ushuliyyah berfungsi sebagai alat dalam menggali hukum yang

terdapat dalam syara’ (al Qur-an dan Hadits). Nash-nash adalah berbahasa

Arab dan oleh karenanya itu kaidah-kaidah bahasa menjadi patokan dalam

memperoleh hukum daripada nash tersebut. Dengan menguasai kaidah

ushuliyyah maka akan dapat mempermudah faqih untuk melakukan ijtihad dan

menetapkan suatu hukum daripada yang terdapat dalam nash secara jelas

maupun yang tersembunyi. Sebagai contoh, ketika terdapat perintah Rasul

untuk berziarah setelah adanya larangan, maka kita dapat menyimpulkan

perintah itu sebagai suatu kebolehan. Kita dapat berpijak pada kaidah:

“Adanya perintah setelah adanya larangan

menunjukan suatu kebolehan”[15]

2. Kaidah Fiqhiyyah; para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa

yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah

umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya atau cabang-

cabangnya.[16]

Secara detil akan dibahas dalam bab khusus selanjutnya.

C. Metode Perolehan Kaidah Ushuliyyah

Metoda perolehan kaidah ushuliyyah dibagi menjadi tiga metode berbeda

yang dilakukan oleh ulama Ushul Fiqh dalam memperoleh suatu kaidah tersebut,

yaitu metode mutakallilim, ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan

menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh.

[15] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) hal 179.

[16] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta.

Page 9: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

8

1. Metode Mutakallimin

Metode mutakallimin sering disebut sebagai metode Syafi’iyyah. Metode

ini banyak dikembangkan oleh golongan Muktazilah Asy’ariyah, Imam Syafi’i,

Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal dan para pengikut madzhab-nya. Ciri

utamanya adalah lebih mengorientasikan kepada kajian hukum terhadap ayat- ayat

al Qur-an dan as Sunnah sebagai implikasi dari dasar pemikiran bahwa syar’i itu

hanyalah Allah dan Rasul-Nya[17]

. Metode mutakalilimin dilakukan dengan cara

pola berfikir deduktif. Mereka menggali suatu makna secara rasional dari suatu

nash atau dalil berdasarkan nalar dan nash yang berpetunjuk. Kemudian dari

makna dalil itu ditarik suatu kaidah yang logis dan umum didasarkan atas

pemikiran nalar yang rasional. Oleh karena itu dalam melahirkan kaidah

ushuliyyah proposisi-proposisi dalam logika (mantiq) dipandang sebagai bagian

dasar dari ilmu ushul fiqh seperti; ilmu, penalaran (nadhar) dan dilalah lafadz atas

makna, definisi suatu istilah dan demonstrasi (burhan). Selain itu karena kajian

kaidah ushul difokuskan kepada nash, maka propesi-propesi yang berhubungan

dengan dalil-dalil syara’ seperti kehujahan khabar ahad dan hadits mursal

menjadi bagian penting dalam metode mutakalilimin.

Untuk dapat lebih memahaminya berikut adalah contoh dari metode

mutakallimin:

Dalam al Qur-an terdapat nash yang lafadz-nya ber-sighat amar (perintah)

seperti perintah melaksanakan sholat. Maka timbulah suatu pertanyaan;

“Apa hukumnya melaksanakan sholat ?”[18]

. Apakah harus/ mesti

dilaksanakan (wajib), atau dianjurkan (sunnah)?

Untuk menjawab hal itu maka ulama harus dapat menentukan hukum yang

terdapat dalam perintah sholat yang lafadznya ber-sighat amar. Metode deduktif

itu secara sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut:

Pernyataan I : Shalat diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia;

Pernyataan II : Allah memandang shalat sebagai suatu yang sangat penting

karena ia sebagai tiang agama, salah satu dari lima bangunan…

[17] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1999),

hal 108.

[18] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat wajib.

Page 10: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

9

Islam, sebagai amal yang pertama dihisab, dan lain

sebagainya[19]

;

Pernyataan III : Seorang hamba atau abdi akan hina jika tidak menunaikan

perintah-Nya, dan hal itu dipandang sebagai suatu

kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah:

“…,maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-

Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang

pedih.”[20]

Ini pula diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa

“bilamana meninggalkan sholat akan disiksa”.[21]

Pernyataan IV : Sesuatu perbuatan yang akan disiksa apabila ditinggalkan dan

mendapat pahala bila dikerjakan adalah hal yang wajib dalam

pemikiran fiqh atau hukum taklif.

Pernyataan V : Maka dengan demikian dapat diartikan bahwa shalat

hukumnya wajib.

PernyatanVI : Adanya sholat karena adanya ayat yang ber-sighat amar.

Selama suatu lafadz dapat dipahami secara hakikat, maka ia

tidak perlu dipalingkan kepada makna majaz'i[22]

. Nah, bila

hukum shalat itu wajib dan adanya shalat disebabkan adanya

nash dengan lafadz yang bersighat amar, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa asal daripada perintah (amar) adalah

menunjukan suatu kewajiban.

Dari penurunan pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat dibuat suatu kaidah

sebagai berikut:

“Pada dasarnya amr itu menunjukkan

(arti) wajib”

[19] An Nasai, 463.

[20] QS an Nuur (24):63.

[21] Musnad Ahmad Ibn Hambal, 26098.

[22] Muchlis Utsman, Op.Cit, hal. 16.

Page 11: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

10

Adapun unsur-unsur pokok metode mutakallimin adalah sebagai berikut:[23]

a) Adanya hukum-hukum aqliyyah dan hukum-hukum kalamiyyah yang

berhubungan dengan metode tersebut.

b) Adanya hukum-hukum logika (mantiq) yang berkaitan dengan ilmu ushul,

seperti masalah ilmu, penalaran, dalil-dalil lafal dan makna, batasan-

batasan serta bukti-bukti (burhan).

c) Dalil-dalil lafaliyyah dan segala macam masalahnya. Seperti masalah lafal

umum, perintah, larangan, makna huruf, mushtarak, dan sebagainya.

d) Pengertian mushthalah ushuliyyah serta penjelasannya sehingga diketahui

pengertian, hokum dan sebagainya.

e) Adanya hukum-hukum syara’ yang dibuat sebagai hujah, seperti hadits

ahad, hadits mursal, qiyas, istishhab syar’i qablana, dan sebagainya.

2. Metode Ahnaf

Metode Ahnaf (hanafiyyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dengan

jalan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan

mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan

sehingga metode ini mengambil konklusi darinya[24]

.

Metode Hanafiyah ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah

dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah

menyandarkan ijtihad-nya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah

tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang

dari kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imamnya.

Sedangkan yang memberi motivasi dan dorongan kepada mereka dalam

membuktikan kaidah-kaidah tersebut adalah beberapa hukum yang telah di-

istinbath-kan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya, bukan hanya dalil

yang bersifat teoritis.

Perhatian mereka semata-mata tertuju kepada ushul fiqh para imam yang

diambil dari masalah furu’ dalam melakukan istinbath[25]

. Oleh karena itu aliran…

[23] Muchlis Utsman, Op.Cit, hal. 9.

[24] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuliy, (Mekkah : Daar al Syrq, 1983), hal.

452.

[25] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Iskandar : Al Barsan, 1989), hal 13.

Page 12: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

11

Ahnaf lebih banyak menghasilkan kaidah fiqhiyyah daripada kaidah ushuliyyah.

Salah satu contoh kaidah ushuliyyah yang dianut oleh Hanafiyah adalah

kaidah mengenai amar dan perintah meninggalkan kebalikannya yang diperoleh

secara istqra (induktif) sebagai berikut:

Pernyataan AI : Manusia diperintahkan untuk beriman,

Pernyataan AII : Manusia dilarang untuk kufur,

Pernyataan AIII : Iman merupakan kebalikan dari kufur.

Pernyataan BI : Jujur itu diperintahkan,

Pernyataan BII : Berbohong itu dilarang,

Pernyataan BIII : Jujur adalah lawan bohong.

Konklusi dari pernyataan-pernytaaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

setiap adanya perintah untuk melakukan sesuatu berarti melarang atas

kebalikannya, maka lahirlah suatu kaidah:

“Sesungguhnya perintah pada sesuatu

berarti melarang atas kebalikannya”.

3. Metode Campuran

Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau

thariqat al-jam’an, yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan

metode hanafiyah dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan

mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Serta memperhatikan

aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap

kaidahkaidah tersebut.[26]

Cara perolehan kaidah bahasa hukum melalui metode ini digabungkan

antara pola deduktif dan induktif, sehingga menghasilkan suatu susunan kaidah-

kaidah yang harmonis sejalan dan menjadi utuh. Metode konvergensi adalah

metode yang digunakan oleh ulama-ulama kontemporer, terutama dalam meng-

istinbath-kan hukum dimana mereka menggunakan kaidah ushul yang telah ada

serta mengambil suatu kesimpulan umum dari berbagai furu’ yang ada. Salah satu

contohnya adalah kaidah yang dicetuskan oleh imam al-Khathabiy yaitu:[27]

[26] Abdul Wahab Khollaf, Op.Cit., hal 13-14.

[27] Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawaa’id Al fiqhiyyah, (Damasyq : Daar al Qalam), hal. 112.

Page 13: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

12

“Perintah yang ditetapkan dengan sesuatu yang diketahui tidak dapat

ditinggalkan dengan perintah yang dzanni”

Kaidah ini secara deduksi diperoleh dengan mempertimbangkan kaidah

bahwa pada lafadz yang dhahir atau jelas tidak perlu mencari makna lain selama

ia masih dapat diartikan sesuai dengan teksnya. Adapun secara induksi diperoleh

dari:

Pernyataan I : Keyakinanan tidak dapat dikalahkan oleh suatu keraguan,

Pernyataan II : Lafadz dhahir lebih kuat daripada lafadz dhanni.

Dari dua kaidah di atas menunjukan bahwa sesuatu yang jelas itu lebih kuat

daripada yang samar. Maka kesimpulan dari dua kaidah diatas adalah bahwa

perintah yang didasari atas sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan

dengan perintah yang masih dhanni.

Setelah kita ketahui metode-metode dari kaidah ushuliyyah, berikut adalah

penjelasan perbedaan karakteristik dari metode mutakallimin dengan metode

ahnaf seperti yang dijelaskan oleh Muchlis Utsman dalam buku “Kaidah-kaidah

Ushuliyyah dan Fiqihiyyah”[28]

:

NO METODE

MUTAKALLIMIN HANAFIYYAH

a. Metodenya hanya dari cara

istinbath-nya sendiri.

Kaidah yang disusun hanya untuk

memperkuat madzhabnya.

b. Kaidahnya dari pemahaman makna

lughawy dan ushlub-ushlub-nya.

Kaidah yang disusun bukan

merupakan penentu terhadap hukum

far’iyyah (cabang);

Kaidah tersusun tidak

memperhatikan pemahaman makna

lughawy melainkan meriwayatkan

yang dinukil dari pemasalahan

far’iyah dari imam madzhab-nya.

c. Disesuaikan dengan hukum fikir

atau logika.

Kaidah ushuliyyah hanya diambil

dari pendapat imam-nya

d. Terdapat relevansi dengan kaidah

ilmu kalam.

Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu

kalam.

[28] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 12.

Page 14: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

13

NO METODE

MUTAKALLIMIN HANAFIYYAH

e. Membagi kejelasan dilalah dengan

nash dan dhohir.

Membagi kejelasan dilalah dzahir,

nash, mufassar dan muhkam.

f. Membagi pemahaman dilalah

dengan mujmal dan mutasyabbih.

Membagi pemahaman makna

dilalah dengan khafi, musykil,

mujmal dan mutsyabih.

g. Membagi petunjuk hukum dengan

manthuq dan mafhum.

Membagi petunjuk hukum dilalah

ibarah, dilalah isyarah, dilalah

nash dan dilalah iqtidha.

i. Dilalah ‘am (umum) yang telah

disebutkan satuannya dinyatakan

sebagai dalil dzanni.

Dilalah ‘am yang telah disebutkan

satuan-satuannya dianggap qath’i

dilalah.

j. Pemahaman makna muthlaq

diikutkan pada makna muqayyad,

misalnya mewajibkan zakat bagi

budak non muslim.

Tidak membawa makna muthlaq

pada muqayyad.

k. Membuang hadits mursal sebagai

hujjah bila hal itu diperlukan.

Menggunakan hadits mursal bila

diperlukan.

l. Menerima hadits ahad sebagai

hujjah jika sanad-nya shahih.[29]

Menolak hadits Ahad.[30]

D. Objek Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

Penggunaan kaidah-kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah hanya

dipakai sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya.

Misalnya penetapan hukum amar, nahi dan sebagainya serta penerimaan atau

penggalian dalil-dalil dhanniyah seperti qiyas, istishhab, istihsan dan

sebagainya.[31]

Dengan kata lain objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu

sendiri dari segi keakuratannya, serta membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di

undang-undangkan.[32]

Oleh karena kaidah-kaidah lughawiyyah berkutat kepada penggalian …

[29] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Op. Cit., hal. 456-462.

[30] ibid.

[31] Abdul Hamid Hakim, al Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, 1983), hal 5 sebagaimana dikutip

oleh Muchlis Utsman, Op. Cit., hal 13.

[32] Islamic Science, Kaedah Ushul Fiqhi dalam Penafsiran al Qur-an,

http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/11/kaedah-ushul-fiqhi-dalam-penafsiran-al.html.

Page 15: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

14

makna hukum yang terdapat dalam nash melalui pendekatan bahasa, maka

objeknya menjadi luas. Ia tidak hanya berkutat kepada kaidah lima yang pokok

(qawa’id al asasiyyah), akan tetapi seluruh hukum yang ter-istikhraj-kan dari

nash-nash yang ada. Berbeda dengan kaidah fiqh, ia merupakan perluasan dan

turunan dari panca kaidah yang pokok.

KAIDAH PELETAKKAN LAFAZH UNTUK MAKNA

Seperti dalam pembahasan di atas, bahwa kaidah ushuliyyah adalah

kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan

memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya.

Berbicara persoalan kebahasaan (ushlub dan tarkib) maka diperlukan mengetahui

kaidah-kaidah yang terkait dengan peletakkan lafazh untuk mendapatkan makna,

seperti Lafazh ‘Amm dan Khas, Amar dan Nahyi, kaidah yang berkaitan dengan

Muthlaq dan Muqayyad, serta Musytarak dan Mu-awwal.

A. Lafazh ‘Amm Dan Khas

1. Lafazh ‘Amm

Pengertian Lafazh ‘Amm

Secara bahasa, ‘Amm berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan

secara istilah adalah lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup

seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[32]

Definisi ‘Amm menurut ulama Hanafiyyah:

“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”

Definisi ‘Amm menurut ulama Syafi’iyyah:

“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih”

[32] Rahmat Syafei, Op.Cit., hal. 193.

Page 16: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

15

Contoh, kata al-Insan yang artinya manusia, berati termasuk setiap jenis

manusia tanpa terkecuali.

Lafazh-lafaz Yang Menunjukkan Arti ‘Amm

Berdasarkan hasil penelitian terhadap mufradat dan ungkapan (gaya

bahasa), dalam bahasa Arab ditemukan bahwa lafazh-lafazh yang

menunjukkan arti ‘Amm adalah sebagai berikut:

a) Lafazh Kullu dan Jami’un

“Setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang

dipimpinnya.”

“Allah menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu…”

Penjelasan: Siapa saja yang menjadi pemimpin akan dimintai

pertanggungjawaban oleh Allah dan apa saja semua yang

ada di bumi dijadikan Allah untuk kepentingan manusia.

b) Lafazh mufrad yang di-ma’rifat-kan dengan al-Jinsiyyah atau idhafah,

berikut masing-masing contohnya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya…” [QS al Maidah (5):38]

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina deralah tiap-tiap

seorang dari keduanya seratus kali dera.” [QS an Nuur (24):2]

Penjelasan: Semua yang berzina baik perempuan maupun lelaki wajib

didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun

perempuan wajib dipotong tangannya.

c) Isim nakirah sesudah الانافية (yang dinafikkan) contoh:

Page 17: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

16

“Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran

yang baik…” [QS al Baqarah (2):235]

Penjelasan: Bahwasanya tidak berdosa seseorang meminang wanita

dengan sindiran yang baik.

d) Isim istifham seperti نم., نيا, ,متى allA namriF امh:

“Bilakah datangnya pertolongan Allah ingatlah sesungguhnya

pertolongan Allah itu amatlah dekat.” [QS al Baqarah (2):214]

Penjelasan: Bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan

saja dapat diberikan.

Dalalah ‘Amm

Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah ‘amm yang

tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut

sebagian ulama ushul (diantaranya Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah)

dalalah ’amm tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan,

apabila dikhususkan maka sisa satuan ‘amm juga dalalahnya dugaan. Ulama

ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa ‘amm

yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah

pengkhususan adalah zhanni (bersifat dugaan).

Pembagian ‘Amm

Melalui pengkajian terhadap nash-nash, ‘amm dibagi menjadi tiga macam:

a) ‘Amm yang secara pasti bermaksud keumuman.

“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti

memberi rizkinya.” [QS Huud (11):6]

b) ‘Amm yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan.

Page 18: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

17

“Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap

Allah.” [QS al Imran (3):97]

c) ‘Amm yang dikhususkan, yaitu al-‘amm al-muthlaq yang tidak disertai

qarinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau

ditiadakan dalalah-nya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafazh-

lafazh ‘amm dan tidak ada qorinah lafazh, akal atau kebiasaan yang bias

menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga

keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang

mengkhususkannya, contoh:

“Perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu.”

Menurut imam Asy-Syaukani, ‘amm yang dimaksudkan sebagai

kekhususan adalah ‘amm yang ketika diucapkan disertai qorinah yang

dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu ialah

khusus bukan umum.

2. Lafzh Khas Dan Takhsis (Pengkhususan)

Pengertian Lafazh Khas dan Takhsis

Khas merupakan kebalikan dari ‘Amm, yaitu lafazh yang hanya

mengandung satu satuan (juz’iyyah) makna. Takhsis adalah mengeluarkan

sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.

Macam-macam Mukhashshis (Penghususan)

Jumhur ulama sepakat bahwa mentakhsis (mengkhususkan) atau

mukhashshis (pengkhusus) lafazh yang umum itu boleh, karena pada

dasarnya semua ayat-ayat al Qur-an mengandung kebolehan mentakhsis.

Beikut macam-macam pengkhususan (mukhashshis), yaitu:

1) Mukhashshish Muttashil (pengkhusus yang bersambung)

a. Istitsna (pengecualian), contohnya:

Page 19: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

18

“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik

(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,

Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.

dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang

yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

[QS an Nuur (24):4-5]

b. Sifat, contohnya:

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin

(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang

siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia

memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta

membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh

itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah….”

[QS an Nisa’ (4):92]

c. Syarat, contoh;

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang

banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf,

(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”

Page 20: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

19

[QS al Baqarah (2):180]

Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat,

maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka

tidak wajib berwasiat.

d. Batas, contoh:

“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai

di tempat penyembelihannya.” [QS al Baqarah (2):196]

Kalimat “sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan”

merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.

e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contoh:

“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup

mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS al Baqarah (2):97]

2) Mukhashshish Munfashil , yaitu pengkhusus yang berada di tempat lain.

a. Ayat Al-Qur’an yang lain.

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber‘iddah)

tiga kali quru’.” [QS al Baqarah (2): 228]

Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang

dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah

dicampuri. Kemudian ayat ini di-takhsis oleh dua ayat

(mukhashshish) yang lain:

“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah

mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

[QS ath Thalaaq (65): 4]

Page 21: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

20

Mukhashshish kedua,

“Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,

kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya,

maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu

minta menyempurnakannya.” [QS al Ahzab (33):49]

b. Hadits (men-takhsis al Qur-an dengan hadits), contohnya:

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

[QS al Baqarah (2):275]

Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti

tersebut pada hadits berikut:

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil

upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang

lain.” [HR. Bukhari].

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli

(binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) di

dalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang

dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang

sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak

onta itu beranak pula.” [HR. Muttafaqun ‘alaihi].

c. Ijma’ (men-takhsis al Qur-an dengan Ijma’), contohnya:

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak- anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan

bagian dua anak perempuan.” [QS an Nisa’ (4):11]

Page 22: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

21

Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus

budak.

d. Qiyas (men-takhsis al Qur-an dengan Qiyas), contohnya:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-

tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” [QS an Nuur (24):2]

Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi

terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari

ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat

fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS an Nisaa’ (4):25, sbb:

“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah

hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

e. Akal (men-takhsis al Qur-an dengan akal), contohnya:

“Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala

sesuatu.” [QS al An’am (6):101]

Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diri-Nya sendiri.

f. Indera (men-takhsis al Qur-an dengan indera), contohnya:

“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah

mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai

singgasana yang besar.” [QS an Naml (27):23]

Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada

wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi

Sulaiman.”

Page 23: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

22

g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq), adalah keterangan yang

mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya:

“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung

yang terletak di dekat laut …?” [QS al A’raaf (7):163]

Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah

tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang

dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.

B. Lafazh Amr Dan Nahyi

1. Lafazh Amr

Pengertian Lafazh ‘Amr

Menurut Prof. Muhammad Abu Zhahrah di dalam bukunya menyebutkan

bahwa amr ialah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya, kepada

pihak yang lebih rendah. Dalam bahasa Arab, bentuk amr adalah dengan

menggunakan shighat if’al yang berarti ‘kerjakan’ dan litaf’al yang berarti

‘hendaklah engkau mengerjakan’. Menurut aslinya, bentuk (shighat) amr

tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah. Sedangkan jika

bentuk (shighat) amr tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain

perintah, seperti untuk membimbing (irsyad), menakut-nakuti (tahdid), dan

untuk do’a atau penghinaan yang bersifat kiasan (majaz).[33]

Bentuk-bentuk Lafzh Amr

Amr itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pengambilan

atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian kita kenal dengan

istilah kaidah. Amr mempunyai beberapa kaidah:

a) Kaidah pertama adalah al ashlu fil amar lil wujub, artinya yaitu pada

dasarnya amr itu menunjukkan wajib. Setiap amr atau perintah itu

menunjukkan hukum wajib atau perintah yang pasti, kecuali ada dalil

atau petunjuk yang menunjukkan arti selain wajib (kebalikannya).

[33] www.dzikrullah.com/bpm_23_shalawat.htm.

Page 24: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

23

b) Al ashlu fil amar li an Nadb, artinya yaitu pada dasarnya amr itu

menunjukkan arti sunnah atau nadb, seperti firman Allah:

“…hendaklah kamu buat perjanjian (menebus diri) dengan mereka

(hamba sahaya), jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…”

[QS an Nuur (24):33].

Ketentuan ini bergantung kepada qarinah yang menentukannya.

Pendapat ini berdasarkan pada pengertian secara bahasa (lughawi).

c) Al ashlu fil amar lil irsyad, artinya yaitu pada dasarnya amr itu

menunjukkan arti (petunjuk), seperti firman Allah:

“Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (hutang) untuk waktu

yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya.”

[QS al Baqarah (2):282]

d) Al ashlu fil amar lil ibahah, artinya pada dasarnya amr itu menunjukkan

arti ibahah (mubah), seperti firman Allah:

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang

hitam yaitu fajar.” [QS al Baqarah (2):187]

e) Amr menunjukkan arti tahdid (ancaman).

f) Amr menunjuk pada arti ikram (memuliakan).

g) Amr menunjukkan pada arti taskhir (penghinaan), sepeti firman Allah:

“Kami berfirman kepada mereka ‘jadilah kamu kera yang hina’.”

[QS al Baqaarah (2):65]

h) Amr menunjukkan pada ta'jiz (melemahkan).

i) Amr menunjukkan pada arti taswiyah (mempersamakan).

j) Amr menunjukkan pada arti doa, atau permohonan seperti firman Allah:

Page 25: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

24

“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan

kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka.”

[QS al Baqarah (2):201]

k) Terakhir ada amr yang menunjukkan kepada arti iltimas, yaitu ajakan

seperti kata-kata kepada kawan-kawan sebaya ‘kerjakanlah’. Sebagai

contoh: tolong ambilkan baju itu, datang lah ke pestaku, …, dll.

Pada hakekatnya, amr adalah lafazh yang mutlak yang tidak diberi batas

(qayd), kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan adanya qayd tersebut.

Demikian juga dengan cepat atau lambatnya hanya bisa ditetapkan jika ada

dalil yang lain.

Selain itu, sighat amr an-sich tidaklah menunjukkan atas berulang-ulangnya

kewajiban yang diperintahkan, juga tidak mengharuskan mengerjakan

kewajiban tersebut secepat mungkin. Berulang-ulangnya kewajiban tersebut

adalah karena berulang-ulangnya sebab yang mewajibkan. Begitupun

sebaliknya, jika tida ada sebab yang demikian maka kewajiban tersebut

tidak berulang-ulang.

Yang harus diperhatikan juga yaitu, sebagian dari ketetapan fiqh ialah

bahwa suatu kewajiban itu mempunyai sarana-sarana vital yang ada untuk

membantu (kelancaran) terlaksananya kewajiban tersebut. Sebagian fuqaha

membagi sarana-sarana vital bagi terealisasinya suatu kewajiban ini menjadi

dua macam, yaitu:

a. Sarana yang ditetapkan oleh syara’ sebagai suatu syarat yang wajib

dikerjakan berdasarkan nash yang berdiri sendiri, bukan berdasarkan

pada kewajiban yang asal.

b. Sarana-sarana vital dimana suatu kewajiban tidak akan terealisir tanpa

adanya sarana tersebut. Sarana ini disebut ’sebab’ yang berupa

perbuatan yang dapat dijangkau manusia untuk merealisir kewajiban

tersebut. Jadi, hal itu menjadi wajib bukan didasarkan kepada nash

tertentu, akan tetapi mengikuti pada kewajiban yang asal.

Page 26: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

25

2. Lafazh Nahyi

Pengertian Lafazh Nahyi

An-Nahyu (nahi) ialah tuntutan dari Allah SWT kepada manusia yang

mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Para ulama

berpendapat bahwa nahi merupakan larangan, baik yang harus ditinggalkan

(yang haram), atau yang sebaiknya ditinggalkan (yang makruh). Yang

menentukan apakah nahi tersebut menunjukkan hukum haram atau makruh

sesuai dengan yang dikehendaki syara’, yaitu qarinah-qarinah yang

menjelaskan.

Sighat nahi, sebagaimana juga dengan amr, tidak menunjukkan bilangan

dari suatu larangan, apakah berlaku sekali, berulang kali atau bahkan

selama-lamanya. Sighat nahi juga tidak dibatasi oleh waktu.

Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat bahwa nahi berlaku sepanjang masa

sejak diungkapkannya untuk yang pertama kali, kecuali jika terdapat qayd.

Jadi, perbuatan yang dilarang tersebut harus sesegera mungkin untuk

ditinggalkan, karena tidak hanya mencegah terjadinya perbuatan yang

dilarang.

Dalil-dalil Nahi

Larangan (nahi) dalam beribadah menyebabkan batalnya ibadah tersebut

ditunjukkan oleh dalil bahwa menjalankan ibadah bertujuan untuk

mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedangkan menjadi mustahil untuk

mendekati Allah apabila dengan suatu cara yang dilarang oleh-Nya. Selain

itu, ibadah adalah perintah agama yang datang langsung dari perintah Allah,

maka jika Allah melarang suatu perbuatan itu berarti perbuatan tersebut

bukan merupakan ibadah dan menjadi ibadah untuk meninggalkannya. Bila

perbuatan yang dilarang itu dikerjakan, berarti sama saja dengan

mengerjakan suatu perbuatan yang bukan merupakan termasuk dalam

ibadah menurut kacamata syara’.

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa larangan (nahi) dalam

mua’malah tidak menimbulkan batalnya aqad, selama larangan tersebut

tidak menyangkut syarat dan rukun mua’malah yang telah ditetapkan oleh

syara’, ialah:

Page 27: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

26

a) Hukum wadh’i yang menetapkan sah atau tidaknya suatu aqad dalam

mua’malah yang dimana sangat tergantung pada syarat dan rukun yang

telah ditetapkan oleh syara’. Jadi, selama terpenuhinya seluruh syarat

dan rukun yang ada, maka aqad tersebut menjadi sah.

b) Aqad dan sejenisnya termasuk dalam kategori adat kebiasaan manusia

yang bertujuan untuk mendekatkan diri manusia dan kehidupan mereka

kepada dunia, bukan kepada Allah (taqarrub ilallah). Oleh karena itu,

larangan syara’ dalam bermua’malah pada waktu tertentu tidaklah

mempengaruhi hasil dari mua’malah tersebut.

c) Larangan tidak dapat membatalkan suatu perbuatan, baik dalam ibadah

maupun dalam mua’malah. Hal ini dikarenakan bahwa suatu larangan

tidak berhubungan dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan, tetapi

hanya mengandung beberapa maksud dan tujuan. Sedangkan maksud

dan tujuan tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan

mua’malah.

C. Lafazh Muthlaq Dan Muqayyad

1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad

Pengertian Muthlaq

Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh

suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya secara

keseluruhan.[34]

Contohnya:

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang

lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh

seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang

hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada-

[34] Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011. Hal. 186.

Page 28: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

27

keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)

bersedekah.” [QS an Nisa’ (4):92]

“fatahriiru roqobah” yang berarti “memerdekakan seorang hamba sahaya”.

Pada kata roqobah yang dimaksud adalah hamba sahaya (budak) secara

mutlak, tidak terbatas pada satu atau lebih maupun mukmin atau kafir.

Pengertian Muqayyad

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang telah dibatasi baik

oleh sifat, syarat dan ghoyah (tujuan). Mengambil contoh di atas, lanjutan

ayatnya adalah “fatahriiru roqobah mu’minah” yang berarti “hamba sahaya

yang mukmin”. Kata hamba sahaya tidak lagi mutlak karena telah dibatasi

oleh kata mukmin.

2. Hukum Muqayyad dan Mutlaq

Pada dasarnya, hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada

bukti yang memutlakkannya. Sebagai contoh adalah kafarat zhihar (perkataan

suami kepada istrinya yang menyamakan istrinya dengan ibunya) yaitu

memerdekakan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau dia

tidak mampu maka harus member makan 60 orang miskin sebagaimana yang

tertuang dalam QS al Mujaadalah (58):3-4.

“orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik

kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang

budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan

kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa

dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak

Page 29: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

28

Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.

Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah

hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”

Sedangkan untuk lafazh mutlaq tidak boleh lagi dikatakan mutlaq jika

telah ada yang membatasinya. Seperti contoh lafazh mutlaq di atas bahwa ketika

telah ada keterangan yang dimerdekakan adalah hamba sahay yang mukmin, maka

tidak boleh dinyatakan cukup hamba sahaya, baik mukmin maupun kafir.

Adapun lafazh muqayyad dapat dihapuskan hokum mmuqayyad-nya

apabila dihapuskan batasannya yang biasanya karena dihadapkan kepada dalil

lain. Sebagai contoh, keharaman menikahi anak tiri dengan alasan, pertama, anak

tiri dalam peliharaan bapak tirinya dan kedua, ibu yang dinikahi oleh bapak

tirinya telah dicampuri. Alasan kedua meupakan batasannya, maka apabila bapak

tiri belum mencampuri ibunya, diperbolehkan menikahi anak tirinya.

Dalam dalil syara’ sering ditemui dalil yang memiliki hukum ganda, di

satu tempat menunjukkan mutlaq dan di tempat lain menunjukkan muqayyad.

Maka, apakah harus dihukumi dengan mutlaq atau muqayyad atau bahkan

masing-masing berdiri sendiri. Untuk menjawabnya, terdapat empat kaidah dalam

hal ini, yaitu:

1. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Contoh:

“Haram bagi kamu makan bangkai dan darah…” [QS al Ma’idah (5):3], dan

“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan

kepadaku, sesuatu yang diharamkanbagi orang yang hendak memakannya,

kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…”

[QS al An’am (6):145]

Dari kedua ayat di atas didapat bahwa terdapat keharaman atas memakan

darah (mutlaq), yaitu darah yang mengalir (muqayyad), sehingga hati atau

limpa (yang tidak mengalir) menjadi halal.

2. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.

Page 30: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

29

Sebagai contoh, antara kafarat membunuh dengan tidak sengaja dengan

kafarat zhihar adalah sama, yaitu memerdekakan hamba sahaya. Namun,

untuk kafarat zhihar tidak dijelaskan apakah hamba sahaya mukmin atau tidak

sedangkan untuk kafarat membunuh tanpa sengaja dijelaskan hamba sahaya

mukmin. Maka, menurut ulama Syafi’iyah hamba sahaya untuk kafarat zhihar

juga harus mukmin, sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup hamba

sahaya, baik mukmin maupun non-mukmin.

3. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.

Contoh:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,

maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah

kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…”

[QS al Ma’idah (5):6), dan

“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu

dan tanganmu dengan tanah itu.” [QS an Nisaa’ (4):43]

Sama-sama membasuh tangan saat berwudhu maupun saat bertayamum,

namun untuk wudhu harus membasuh hingga siku. Pengamalan secara

masing-masing karena tidak saling membatasi.

4. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda.

Kafarat memotong tangan bagi pencuri adalah mutlaq. Sedangkan membasuh

tangan hingga siku saat berwudhu adalah muqayyad. Karena sebab dan

hukumnya berbeda, maka masing-masing ditempatkan pada posisinya masing-

masing.

Page 31: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

30

D. Lafazh Musytarak Dan Mu-awwal

1. Pengertian Musytarak dan Mu-awwal

Pengertian Musytarak

Pengertian Musytarak menurut Muchlis Usman, yang merujuk kepada

Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, yaitu lafazh yang mempunyai dua makna

atau lebih. Lawannya adalah muradif atau lafazh yang memiliki satu

makna.[35]

Pengertian Musytarak

Muawwal adalah lafazh yang dikeluarkan dari makna dhohir-nya pada

makna lain yang mengkhendakinya berdasarkan bukti yang menunjukkan

demikian, serta memungkinkan adanya rajih.[36]

2. Penggunaan Lafal Musytarak

Jumhur ulama dari golongan Syafi’i memperbolehkan penggunaan

musytarak menurut arti yang dikhendaki atau berbagai makna. Sebagai contoh:

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di

langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang yang melata

dan sebagian besar daripada manusia.” [QS al Hajj (22):18]

Terdapat dua makna sujud, yaitu menghadapkan wajah ke tanah dan kepatuhan

(inqiyad). Penggunaan kedua makna (musytarak) ini diperbolehkan sesuai dengan

porsinya.

3. Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan Mu-awwal

Kaidah-kaidah ayng berkaitan dengan muawwal adalah sebagai berikut:

1. Masalah Furu’iyah dan Takwil

[35] Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

1996. hal.64.

[36] Ibid, hal. 67.

Page 32: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

31

Jumhur ulama sepakat bahwa masalah furu’iyah dapat ditakwilkan.

2. Masalah Aqoid, Ushuluddin, atau Ketuhanan dan Takwil

Dalam kaidah masalah yang esensi ini, para ulama berbeda pendapat dalam

penakwilan, antara lain:

a. Golongan Musyabbahah tidak mengkhendaki adanyatakwil pada masalah

aqoid. Contoh:

“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka…” [QS al Fath (48):10]

Menurut golongan ini, pada ayat tersebut selain makna yang tertulis maka

tidak diperbolehkan.

b. Golongan Salaf (Hanbaliyyah) memperbolehkan adanaya takwil pada

masalah esensi namun pada akhirnya penakwilan itu diserahkan kepada

Allah.

Contoh: Bagi mazhab salaf, kata “tangan” dalam QS Al-Fath ayat 10 tetap

diartikan tangan, namun kriterianya apakah seperti tangan manusia

ataukah tangan khusus dimiliki Allah, semuanya diserahkan kepada Allah.

c. Golongan Mutakallimin memperbolehkan adanya takwil pada masalah

esensi.

Contoh: Makna kata yadun (tangan) di atas adalah kekuasaan, yakni

kekuasaan Allah di atas kekuasaan-kekuasaan mereka.

KESIMPULAN

Kaidah bahasa hukum merupakan istilah lain dari qawaa’id al lughah al

ahkaam. Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi

kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah. Kaidah ushuliyyah adalah kaidah-

kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatikan

unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya.. Ia adalah

sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan

ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.

Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi menjadi tiga, yaitu

metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan

Page 33: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

32

menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh. Metode mutakallimin

adalah metode yang dilakukan secara deduktif, sedanagkan metode Ahnaf

(Hanafiyah) ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-

bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah

menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah

tersebut. Metode Ahnaf bercorak induktif. Metode campuran biasa disebut juga

dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan

antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara

memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas

kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh

far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut.

Dalam mempergunakan kaidah-kaidah Ushuliyyah tidak yang terikat

kepada unsur kebahasaan, maka perlu diketahui pula tentang Kaidah Peletakkan

Lafazh untuk mendapatkan Makna. Misalnya sebuah lafazh dapat dilihat apakah

bersifat ‘Amm (umum) atau Khas (khusus), apakah termasuk Amr (perintah) atau

Nahyi (larangan), apakah maknanya mutlaq atau terbatas, apakah memiliki lebih

dari satu makna atau sudah memiliki makna khusus.

Page 34: Kaidah-Kaidah Ushuliyyah

33

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur-an al Kariim.

Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowa’idul al-Fiqhiyyah), Kalam

Mulia, Jakarta.

Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, 1983, al Fikr al Ushuliy, Daar al Syrq ,

Mekkah.

Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawaa’id Al fiqhiyyah, (Damasyq : Daar al Qalam).

Asep Ridwan H, SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Dan Kaidah

Istishlah.

Asrie Alawi, 2008, Kaidah Hukum, Kaidah Qiyas dan Kaidah Istishlah,

http://asridplanet.blogspot.com/2008/01/f1-kaidah-hukum-qiyas-dan-

istishlah.html

Dede Rosyada, 1999, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Perkasa,

Jakarta.

Hasbie ash-Shidiqi, 1976, Filsafat Hukum Islam, Cetakan II, Bulan Bintang,

Jakarta.

Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.

Cet. Ke-5.

Nazar Bakry, 1996, Fiqh dan Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Shidiq Sapiudin, 2011, Ushul Fiqh. Kencana, Jakarta.

Syafe’i. Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Usman. Muchlis, 1996, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah: Pedoman Dasar

Dalam Istimbath Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGafindo Persada, 1996.

Zhahrah, M. Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.